Upload
trinhnhi
View
286
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
115
BAB III
PTRIARKHI DALAM PONDOK PESANTREN
DI KABUPATEN KEDIRI
A. Pondok Pesanten Lirboyo Kediri
1. Sejarah Latar Belakang Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Seiring dengan berdirinya kerajaan Kadiri di wilayah selatan bagian
barat Jawa Timur, lahirlah Kota Kediri dengan slogan "Kediri Bersemi".
Nama Kota Kediri yang terbelah menjadi dua bagian oleh sungai Brantas
itu, konon berasal dari kata ‘kedi’ yang artinya mandul atau wanita yang
tidak datang bulan. Sedang menurut kamus Jawa Kuno karangan
Wayowasita, ‘kedi’ berarti orang kebiri, bidan, atau dukun1.
Konon, sejarah masuknya agama Islam di Kota yang memiliki luas
63,40 Km 2 itu, dibawa oleh orang-orang Arab, disamping para pedagang
Islam yang bukan Arab. Untuk memastikan tahunnya, sangat sukar. Tapi
jika berpedoman pada nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik
(tertulis tahun 1419 M.), dapat diambil kesimpulan sekitar tahun itulah
Islam masuk di Kediri, karena memang di daerah muara sungai Brantas
terjadi perkembangan agama Islam. Hingga kini pun kiai-kiai pondok
pesantren yang berada di Desa Banjarmelati, Kediri, masih dianggap
banyak orang sebagai keturunan Sunan Ampel dan Sunan Giri2.
1 Asep Bahtiar dkk, Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa,Fenomena dan Legenda (Kediri: BPKP2L(Badan Pembina Pondok Pesantren Lirboyo, 2010), 3. 2 Ibid, 14-15.
116
Masjid tertua kota ini dibangun sekitar tahun 1800 M. Dalam cerita
rakyat Kediri yang telah dibenarkannya hingga kini, disebutkan bahwa
pendiri masjid yang hanya berjarak lima meter dari sungai Brantas itu
adalah seorang muballigh Islam bernama kiai Ali asal dari desa Srigading,
Kalangbret Tulungagung Jatim. Konon, cucu kiai Abdulloh Mursyad,
beliau adalah salah seorang keturunan Sunan Giri. Makam beliau berada di
desa Bakalan, Grogol, Kabupaten dan biasa disebut Setono Landean.
Sebelum mendirikan masjid beliau terlebih dahulu menyusuri sungai
Brantas dengan perahu guna mencari tanah yang cocok untuk mendirikan
masjid. Ketika sampai di selatan jembatan Kotamadya Kediri, di situlah
beliau menemukan tanah yang berbau harum bagai bunga melati3.
Lirboyo adalah pesantren yang dibangun oleh keturunan kiai Ali
yang dirintis oleh menantu beliau pada tahun 1910 M., KH. Abdul Karim.
Mbah Manab (sebutan Kiai Abdul Karim sebelum menunaikan ibadah
haji) adalah seseorang 'alim yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah.
Beliau dinikahkan dengan putri Kiai Sholeh yang bernama Nyai Khodijah
(Dlomroh). Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan
Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah berdiri hunian
atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren
Lirboyo. Pondok pesantren Lirboyo didirikan pada tahun 1910 Masehi
oleh Kiai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis
3 Ibid, 26-27.
117
oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang
yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Lirboyo sendiri adalah sebuah nama yang diambil dari dua kata yaitu
“Lir” yang artinya selamat dan “Boyo” yang artinya bahaya. Penamaan
tersebut tidak terlepas dari kondisi dan situasi Lirboyo pada saat itu,
penduduk merasa dihantui dengan perasaan cemas dan gelisah akan aksi
rampok, maker dan segala tindak-tanduk kriminalitas tingkat tinggi4
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas
dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang
da’i, karena Kiai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim
di Lirboyo agama Islam lebih tersebar dimana-mana. Disamping itu, juga
atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kiai Sholeh untuk berkenan
menempatkan salah seorang menantunya (Kiai Abdul Karim) di desa
Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula rawan kejahatan
menjadi sebuah desa yang aman dan tentram5.
Di samping mendirikan pesantren, KH. Abdul karim juga punya
andil besar dalam menyebarkan Islam di daerah Lirboyo dan sekitar yang
pada waktu itu para penduduk masih banyak yang menganut agama
Hindu-Budha, dan dalam istilah Jawa popular dengan sebutan “engkik”,
sebuah nama yang digunakan untuk mewakili agama kepercayaan di tanah
Jawa.6 Meski saat itu perubahan sosial yang sejalan belum nampak dengan
4 Ibid, 38. 5 Ibid, 38. 6 Budaya kepercayaan orang Jawa kususnya yang tinggal di daerah pedesaan sangat percaya dengan dunia gaib dan mitos. Dengan adanya pandangan seperti itu orang jawa memiliki ritus
118
perkembangan tekhnologi maupun piranti- piranti modern serta kemajuan
aspek lainnya, stabilitas pranataan dan perkembangan masyarakat Lirboyo
cukup signifikan setelah hadirnya KH. Abdul karim yang muncul di sana
sebagai tokoh sentral religius yang amat memukau. Ditambah dengan
keberadaan adik iparnya KH. Ya’kub Sholeh yang membantu mengurangi
tindak kejahatan kriminal dengan de facto maupun de jure. Situasi
kehidupan masyarakat yang semula mengalami dekadensi moral i mencuri,
berjudi, mabuk dan lain sebagainya, lambat laun berubah menjadi kawasan
aman, tentram, damai, meskipun kadang masih muncul kejahatan kecil
yang mengganggu kondisi stabilitas ketentraman desa Lirboyo7.
Dengan ketekunan dan kesabaran para pendirinya akhirnya Lirboyo
menjadi salah satu pondok terbesar di Indonesia. Begitu juga tidak bisa
dipunkiri, bahwa pondok pesantren Lirboyo memiliki andil yang sangat
besar dalam penyebaran agama islam dan berbagai macam disiplin
keilmuannya di penjuru Nusantara ini. Dalam perjalanannya yang panjang
banyak di antara alumni pondok tersebut yang menjadi tokoh agama
ataupun tokoh nusantara8.
Tahun demi tahun, Lirboyo semakin dikenal masyarakat luas dan
bertambah banyaklah santri yang berdatangan. Hal tersebut mengharuskan
religius yang sangat sentral bagi jawa (kejawen) seperti sesajen, selametan, sesembahan, dan sebagainya. 7 Asep Bahtiar dkk, Pesantren Lirboyo, 183. 8 Sampai usia ke-seratus tahunnya, Lirboyo telah banyak mencetak tokoh. KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur), KH. Maimun Zubair (Sarang), KH. Ahsin Sakho (Cirebon), KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH. Said Aqil Siradj (Cirebon), KH. Muhaimin Iskandar (Semarang), KH. Nur Muhammad Iskandar (Jakarta), KH. Anwar Iskandar (Kediri), Fadholi El-Muhir (pendiri Forum Betawi Rembug, Jakarta) dan lainnya.
119
adanya fasilitas guna menunjang proses belajar mengajar para santri.
Sekitar tahun 1913 H. Muncullah gagasan untuk mendirikan masjid guna
memaksimalkan kegiatan santri. Masjid pun akhirnya berdiri dengan amat
sederhana. Karena bangunan yang apa adanya ini, masjid Lirboyo pernah
porak-poranda disapu angin beliung. Pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347
H. / 1928 M. Lirboyo memiliki masjid yang lebih permanen, lebih megah
dengan mustika yang menjulang tinggi. Lebih dari itu, untuk mengenang
kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, pintu yang semula
hanya satu ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat
Fatimiyyah. Di masjid inilah, kegiatan para santri dipusatkan9.
Hingga saat ini pondok pesantren Lirboyo telah berkembang pesat
dengan dibangunnya beberapa cabang pesantren oleh keluarga besar Kiai
Lirboyo (dzurriyah). Pesantren Lirboyo, terdiri atas pesantren induk dan
pesantren unit. Secara umum, pesantren unit tumbuh dan berkembang
sejalan dengan bertambahnya ‘gus’ atau putra kiai.
2. Kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo
Pondok pesantren Lirboyo memang dikenal kental dalam
mempertahankan tradisi salafinya dalam medernitas keilmuan yang kian
berkembang. Namun hal tersebut justru menjadikan pesantren ini semakin
menutup ruang gerak santrinya dalam mengembangkan pengetahuannya
terutama dalam mengritisi budaya-budaya patriarkhi yang tumbuh subur di
kalangan pesantren. Jika kita melihat realitas yang terjadi di dalam
9 Asep Bahtiar dkk, Pesantren Lirboyo, 140-142.
120
pesantren, maka nampak jelas tidak ada peran signifikan dan posisi
strategis bagi nyai maupun santri putri dalam berbagai aktifitas yang
terjadi di pesantren. Posisi-posisi kepemimpinan lembaga umumnya
dipegang dan di bawah kendali kiai dan santri putra yang dianggap senior.
Para nyai dan santriwati hanya menjadi bawahan yang harus menjalankan
peraturan dan sistem yang dikembangkan oleh para pemimpinnya. Peta
structural kepemimpinan pondok pesantren Lirboyo tersusun sebagaimana
berikut:
Stuktur Badan Pembina Kesejahteraan Pesantren Lirboyo Kota
Kediri Jawa Timur Tahun 2012/2013
No Jabatan Nama
1. Ketua KH. Idris Marzuqi
2. Wakil Ketua KH. Anwar Manshur
3. Sekretaris KH. Abdul Aziz Manshur
4. Anggota
KH. Abdullah Kafabihi Mahrus
5. KH. Thohir Marzuqi
6. K. Rofi’i Ya’qub
7. KH. Maftuh Basthul Birri
8. KH. Nur Hamid Zainuri
9. KH. A. Mahin Thoha
10. KH. Bahrul Ulum Marzuqi
11. KH. Hasan Zamzami Mahrus
12. KH. An’im F. Mahrus
121
13.
KH. Atho’illah S. Anwar
14. KH. Nur Hamid Zainuri
15. K. Nurul Huda Ahmad
16. Agus Zainal Abidin
17. K. Abdul Kholiq Ridhwan
18. KH. Nur Muhammad Ya’kub10
Dari keseluruhan posisi kepemimpinan pondok pesantren Lirboyo
hanya diisi oleh kalangan laki-laki pesantren (para Kiai dan Gus). Setiap
tahunnya struktur kepemimpinan tersebut dibentuk, namun mulai dari awal
berdirinya sampai saat ini tidak pernah satupun kalangan perempuan
mengisi posisi kepemimpinan tersebut.
Menurut Nyai Hj. Azza Kaffa Bih, tentang keanggotaan pimpinan
lembaga dan peserta musyawarah dari golongan perempuan (nyai) sudah
pernah diusulkan, akan tetapi ditolak oleh mayoritas kiai.11 Mengenai hal
tersebut suami beliau yakni KH. Kaffa Bih memberikan penjelasan
sebagaimana berikut:
“Memang para lelaki (kiai) yang menjadi pimpinan dan anggota musyawarah keluarga, kita tidak melibatkan perempuan (nyai) karena di samping laki-laki wawasannya lebih luas juga karena biar tidak terjadi fitnah. Sebagaimana yang diketahui, bahwa musyawarah lembaga kadang terdapat hal-hal yang tidak untuk konsumsi publik, di sinilah kadang kelemahan perempuan yang kadang kurang bisa menjaga rahasia tersebut”12.
10 Team Redaksi, Ketetapan Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo Periode: 1433-1434 H/ 2012-2013 M (Kediri: PP. Lirboyo, 2012). 6 11 Nyai Hj. Azza Kaffa Bih, Wawancara, Kediri, 5, Desember 2013. 12 KH. Abdullah Kaffa Bihi Mahrus, Wawancara, Kediri, 5, Desember 2013.
122
Bangunan sosio-kultural kepemimpinan pesantren dengan
menempatkan superioritas kiai dalam berbagai hal, akan semakin
memberikan peluang terjadinya prilaku-prilaku individual kiai yang
merugikan nyai, seperti peluang berpoligami dan lainnya. Namun di sisi
yang lain, dengan keberadaan kiai yang dihormati dan disegani baik dalam
posisi pimpinan atau seorang suami, akan memudahkan terselenggaranya
roda organisasi pesantren secara dinamis, karena dapat dibayangkan ketika
antara suami (kiai) dan istri (nyai) sama-sama mempunyai wewenang
untuk menetapkan dan memutuskan kebijakannya, maka yang terjadi
adalah kompetisi mewujudkan popularitasnya masing-masing di depan
para santri dan masyarakat bila terdapat perpedaan pandangan atau
pendapat. Inilah yang justru akan menjatuhkan martabat (muru’ah)
keluarga pengasuh pesantren.
Penciptaan konstruksi sejarah patriarkhi dalam lingkup pesantren
Lirboyo sebenarnya merupakan gagasan-gagasan yang berakar dari
pemahaman individu atas sebuah realitas kemanusiaan yang turun temurun
dan hal tersebut sangat bertentangan dengan gagasan kemanusiaan dan
misi agama. Pembatasan, pemarjinalan dan pendeskriditan perempuan
telah mengabaikan syari’at Islam yang senantiasa mengumandangkan
kesetaraan, keadilan dan kepedulian terhadap sesama manusia tanpa
memandang jenis kelamin, warna kulit, suku ataupun bangsa.
123
3. Kurikulum Pondok Pesantren Lirboyo.
Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo diawal berdirinya
menggunakan metode salafi, sebuah metode dengan format pengajian
weton, sorogan (santri membaca dan mengulas pelajaran langsung
dihadapan kiai) dan bandongan (santri menyimak dan memaknai kitab
sesuai dengan makna yang dibacakan oleh kiai). Seiring dengan
perkembangan pesantren Lirboyo dan grafik statistik santri yang terus
meningkat setiap tahunnya, sementara metode belajar pada saat itu masih
kurang maksimal dalam mengakomodir santri dan kompleksitas materi
yang harus dipelajari, mengharuskan Lirboyo untuk menerapkan sistem
klasikal13.
Atas inspirasi KH. Abdul Wahab pada tahun 1925 untuk merintis
sistem pendidikan klasikal dan mendapatkan restu KH. Abdul Karim
dengan dawuh, “Santri kang durung biso moco lan nulis kudu sekolah”
(Santri yang belum bisa membaca dan menulis harus sekolah), maka
berdirilah Madrasah Hidayatul Mubtadiin (madrasah diniyah Lirboyo).14
Pada tahun 1947 madrasah diniyah Lirboyo merombak sistem
pendidikannya. Untuk tingkat Sifir diganti dengan tingkat Ibtidaiyah (4
tahun) dan tingkat Ibtidaiyah menjadi tingkat Tsanawiyah (4 tahun). Di
tahun ini pula timbul gagasan dari KH. Zamroji (yang pada waktu itu
menjadi guru kelas terakhir tingkat Tsanawiyah) untuk mendirikan
tingkatan Mu’allimin (setingkat Aliyah), KH. Abdul Karim menyetujui 13 Team Redaksi, Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, http://www.lirboyo.net (situs resmi MADRASAH DINIYAH LIRBOYO Lirboyo), (13 12 2013). 14 Ibid, (13 12 2013).
124
gagasan tersebut. Sedangkan materi yang diajarkan pada tingkatan
Mu’allimin tersebut adalah Fath} al-Wahha>b, Uqu>d al-Juma>n, Jam’u al-
Jawa>mi’, dan lainnya15.
Sebagai respon pendidikan luar pondok pesantren, pada tahun 1977-
1978 M. Sidang panitia kecil yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir yang
dihadiri oleh PP. Lirboyo menetapkan; jenjang tingkat Ibtidaiyah menjadi
6 tahun dan untuk tingkat Mu’allimin dirubah menjadi tingkat Aliyah.
Sejak itu, jenjang pendidikan Madrasah yang ada di bawah naungan
Ponpes Lirboyo adalah tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun),
dan Aliyah (3 tahun). Sedangkan untuk materi pelajaran tingkat Aliyah,
Sidang panitia kecil madrasah diniyah Lirboyo yang dipimpin oleh KH.
Ilham Nadzir pada tahun 1983 M., menetapkan kurikulum untuk tingkat
Aliyah adalah al-Ja>mi’ al-Shaghi>r, al-Mahally>, , Uqu>d al-Juma>n, Jam’u al-
Jawa>mi’,dan lain-lain. Karena agenda pendidikan di madrasah diniyah
Lirboyo menggunakan kalender Hijriyah, maka waktu penerimaan siswa
baru tidak sama dengan pendidikan nasional yang menggunakan tahun
Masehi. Untuk mengantisipasi siswa yang daftar terlambat karena
perbedaan kalender tersebut, maka tanggal 25 Juli 1989 madrasah diniyah
Lirboyo membuka tingkatan I’da>diyah atau Sekolah Persiapan (SP)16.
Tingkatan SP ini terdiri dari dua kelas, SP I dan II. SP I (dengan
materi pelajaran ‘Awa>mil al-Jurja>ni, Tanwi>r al-Hija> dan lainnya)
dilaksanakan pagi hari dan diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk di
15 ibid 16 Ibid.
125
kelas II atau III Ibtidaiyah. Sedangkan SP II (dengan materi pelajaran al-
Ajuru>miyah, Qa>’idah S}arfi>>yah, al-Amthilah at-Tas}ri>fiy>ah dan lainnya)
dilaksanakan pagi hari atau malam hari dengan mempertimbangkan kelas
dan gedung yang tersedia. SP II ini diproyeksikan untuk siswa yang akan
masuk di kelas IV Ibtidaiyah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya,
di kelas ini banyak siswa yang karena pernah belajar di pesantren lain dan
ingin meneruskan pendidikannya di madrasah diniyah Lirboyo, akhirnya
masuk ke kelas I Tsanawiyah atau Aliyah melalui tes17.
Sedangkan materi ujian yang harus dijalani siswa yang ingin masuk
kelas I Tsanawiyah diantaranya adalah: Fikih (membaca kitab Fath} al-
Qari>b), ujian bab shalat dan mufasshala>t mulai surat an-Na>s sampai surat
as-Syamsi, serta hafalan nadzam Alfi>y>ah ibn Ma>lik 350 bait. Untuk yang
ingin masuk tingkat I Aliyah harus menjalani tes dengan materi antara
lain: Fikih (membaca kitab Fath} al-mu’i>n), ujian bab shalat dan
mufasshala>t mulai surat an-Nas sampai surat al-‘Ala>, serta hafalan nadzam
‘Uqu>d al-juma>n sebanyak 350 bait18.
Untuk menunjang pelajaran di kelas, madrasah diniyah Lirboyo
mengadakan kegiatan ekstrakurikuler berupa Muha>fad}ah (hafalan)
mingguan, tamri>n (ulangan) tiap malam Senin, musyawarah kitab Fath} al-
mu’i>>n, Fath} al-Qari>b, al-Mah}ally>.
Fenomena pesantren sekarang seperti Lirboyo yang mengadopsi
pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap
17 Ibid. 18 Ibid.
126
mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk
meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan
calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional19. Senada dengan
penjelasan tersebut KH. Idris Marzuqi menjelaskan bahwa bagaimanapun
perkembangan pendidikan dan majunya sebuah kebudayaan, mustahil jika
pesantren salaf meninggalkan ciri khasnya, yaitu melestarikan pengajaran
kitab kuning warisan para leluhur pendahulunya20.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa kandungan kitab-kitab kuning
klasik karangan ulama’ terdahulu yang dikaji di pesantren Lirboyo syarat
akan nuansa patriarkhi, terutama kitab fiqih dan tafsir. Diakui ataupun
tidak, sebenarnya banyak dari kalangan pesantren yang sadar mengetahui
hal tersebut, namun hampir tidak ada yang melakukan kajian kritis tentang
isi kitab tersebut.
Dilestarikannya kitab-kitab yang bernuansa patriarkhi dan tidak ada
usaha evaluasi dari muatan kitab tersebut, memiliki dampak positif pada
praktik patriarkhi kepemimpinan pesantren Lirboyo.
4. Ar-Risalah: Pondok Pesantren Salaf Terpadu di Tengah Maenstreem
Kepemimpinan Patriarkhi Pesantren Lirboyo.
Di tengah-tengah tradisionalisme pesantren yang sangat kuat di
pesantren Lirboyo, muncul lembaga baru yang merupakan salah satu anak
lembaga pesantren Lirboyo yaitu pesantren salaf terpadu Ar-Risalah.
19 Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1998), 95-96. 20 KH. Idris Marzuqi, Wawancara, Kediri, 4, Desember 2013.
127
Pesantren tersebut menjelma sebagai pesantren yang semi moderen dengan
mengadopsi kurikulum ilmu umum dan mengkolaborasikan dengan ilmu
agama.
Dalam proses operasional pembelajarannya pun pesantren terpadu
Ar-Risalah sudah menerapkan model pembelajaran berbasis IT dengan
dipandu oleh guru-guru profesional. Dalam pengelolaan lembaga, Ar-
Risalah juga menerapkan sistem audit seluruh elemen sehingga semua
bentuk kegiatan serta pelaporannya sangat transparan. Hal inilah yang
menjadikan pondok tersebut memperoleh banyak prestasi dan apresiasi
baik dari dalam maupun luar negeri.
Pondok Pesantren Salafiy Terpadu Ar-Risalah didirikan oleh KH.
M. Ma’roef Zainuddin beserta istrinya nyai Hj. Aina ‘Ainaul Mardliyyah
Anwar pada tahun 1426 H., tepatnya pada bulan Syawwal atau bulan
Februari 1995. Secara geografis, pondok pesantren ini terletak di Desa
Lirboyo Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur, menempati satu
komplek dengan Pondok Pesantren Lirboyo. Perkembangan yang relatif
cepat pada lembaga yang baru ini ditindaklanjuti dengan pendirian
Yayasan Pendidikan Ar-Risalah yang akta notarisnya diterbitkan pada
tahun 1995. Satu tahun kemudian, pendidikan formal tingkat Sekolah
Dasar dimulai tahun pelajaran 1996-1997. Pada tahun pelajaran 1997–
1998 mulai diadakan pembenahan pengelolaan pendidikan dengan
pemilahan lokasi dan lembaga pengelola. Sesuai dengan namanya, Pondok
Pesantren Salafiy Terpadu Ar-Risalah mengelola tiga macam pendidikan
128
yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar ketiganya bisa saling menambah
dan melengkapi, yakni Pendidikan al-Qur’an, Pendidikan Diniyyah,
Pendidikan Umum, dan kegiatan ekstrakurikuler sebagai wadah
pengembangan minat dan bakat santri21.
a. Pendidikan al-Qur’an
Pendidikan al-Qur’an Pondok Pesantren Salafiy Terpadu Ar-
Risalah dilaksanakan pada waktu pagi setelah salat Shubuh (05.00–
06.30 WIB). Pendidikan al-Qur’an terdiri dari 3 tingkatan meliputi
Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyyah. Untuk tingkat Ibtidaiyyah,
materi pelajaran meliputi hafalan Juz ‘amma, surat al-Waqi>’ah, surat-
Ya>sin, surat al-Mulk, Surat Ass-ajdah, Surat ad-Dukha>n, surat al-
Kahfi, penambahan ilmu tajwid dan masalah ‘ubu>diyyah22.
Untuk tingkatan Tsanawiyah meliputi: al-Qur’an bi an-Nadha>r 30
juz serta pemahaman bacaan– bacaan ghari>b (asing) yang ada didalam
al-Qur’an. Untuk tingakat Aliyah meliputi: tahfi>dz al-Qur’an serta
pendidikan ‘Ulu>m al-Qur’an. Pendidikan al-Qur’an menggunakan
standart Tajwid Rasm ‘Uthmani>y dengan buku pegangan standar
pondok pesantren Ar-Risalah. Pengajaran dilakukan dengan sistem
sorogan dan tadarusan. Setiap santri secara rutin mengkhatamkan al-
Qur’an setiap dua bulan sekali untuk tingkat bi an-nadzha>r dan satu
bulan sekali untuk tingkat bi al-ghai>b. Bagi santri baru yang belum
mampu membaca al-Qur’an dikelompokkan dan dikelola dalam kelas
21 Team Ar-Risalah, http://arrisalah.org, 23/02/2014 22 Ibid.
129
i’da>diyah ( persiapan ) dengan materi tila>wati , juz ‘amma, surat al-
mulk, surat al-wa>qi’ah dan surat ya>sin serta ilmu tajwid selanjutnya
memasuki jenjang sesuai dengan kemampuannya23.
b. Pendidikan Diniyah
Pendidikan agama dengan referensi al-kutub as-salafi>yyah
(kitab-kitab kuno) dikelola di bawah naungan Lembaga Pendidikan
Diniyah, meliputi tingkat Iibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Pendidikan diniyah dilakukan pada pukul 14.30-17.30 WIB.
Bimbingan belajar diniyah dilakukan di malam hari pada pukul 18.30-
19.30 WIB dengan sistem belajar kelompok yang dipandu oleh
sebagian santri yang memiliki kemampuan pemahaman yang baik
dengan tetap dalam pantauan seorang ustadz .Kegiatan belajar
menekankan kemampuan siswa untuk belajar dengan aktif dan
menjalankan sistem diskusi serta musyawarah. Kurikulum pendidikan
menyesuaikan pondok pesantren dengan mengikuti standar pondok
Lirboyo. Kurikulum pendidikan tersebut meliputi ilmu tauhid, hadith,
al-Qur’an, fiqh, akhlaq, nahwu sharf, balaghah, dan ilmu mantiq.
Kitab yang menjadi pegangan adalah kitab karangan para ulama salaf,
disertai dengan referensi dari berbagai kitab karangan para intelektual
modern. Sebagai media pemahaman kitab salafi, disediakan
23 Ibid.
130
perpustakan dan pembelajaran komputerisasi al-kutub as-sala>fi>yyah
24.
Untuk meningkatkan kemampuan penguasaan kitab kuning,
dibentuk kelompok kajian kitab kuning yang diselenggarakan setiap
kamis malam yang dikelola oleh lembaga ekstrakurikuler. Santri yang
telah mampu membaca dengan baik berusaha memecahkan
permasalahan yang diberikan oleh guru pembimbing dan
dimusyawarahkan dengan santri-santri yang lain dalam forum kajian
kitab kuning. Santri-santri dibina dengan praktik ‘Amali>yh ‘ubu>di>yah
sebagai penguasaan pemahaman kitab kuning dalam kehidupan di
masyarakat. Aktivitas santri di bawah penguasaan pengurus pondok
selalu dicerminkan pada pembentukan jiwa akhla>q al-kari>mah.
Sebagai wujud kesuksesan pada lembaga diniyah ini. Pada tahun
2006 menorehkan prestasi yang patut untuk di banggakan, yakni
dengan sukses mengantarkan lima delegasi dalam musa>baqah qira>’ah
al-kutub tingkat nasional tahun 2006. Disamping itu, keberhasilan
pada MQK Nasional tersebut dapat dijadikan sebuah motivasi pada
lembaga Diniyah ini, untuk bisa menjadi lebih baik di tahun
berikutnya. Pondok pesantren salafiy terpadu Ar-Risalah menerapkan
kedisiplinan yang ketat dengan memanfaatkan waktu sepenuhnya
24 Ibid.
131
untuk pembinaan santri, selalu bersahabat dengan ilmu, menekuni dan
menjadikannya sesuatu yang dirasa sangat berharga25.
c. Pendidikan Umum
Di bawah naungan Lembaga Pendidikan Umum Pondok
Pesantren untuk semua tingkat Pendidikan Umum tingkat SD, SMP,
dan SMA, kurikulum pendidikan sesuai dengan Dinas Pendidikan
Nasional, dengan menambah bahasa Arab untuk semua tingkatan,
bahasa Jepang untuk tingkat SMP dan bahasa Mandarin untuk tingkat
SMA. Pendidikan umum merupakan pengembangan pengetahuan
santri dalam penguasaan ilmu agama serta menjadi jembatan untuk
kesinambungan intelektual mengenal lingkungan hidup serta
merupakan lahan implementasi kepribadian yang dijiwai akhla>q al
kari>mah untuk hidup bersama dengan masyarakat modern. Waktu
sekolah umum diselenggarakan pada pagi hari pukul 07.30 hingga
pukul 12.15 wib dengan pembagian kelas kecil yaitu maksimal 20
siswa setiap kelas dan diharapkan para guru mampu mengoptimalkan
pengajarannya. Pendidikan umum mulai SD sampai dengan SMA
sudah terakreditasi dengan status terakreditasi A untuk tingkat SMP
dan tingkat SMA.
Pada UNAS tahun Ajaran 2005 – 2006 SMP Ar-Risalah bisa
menyandang nama sebagai SMP terbaik se- Kota Kediri dengan
menghantarkan siswa-siswinya lulus 100 % dan mendapatkan nilai
25 Ibid.
132
rata-rata terbaik se-Kota Kediri. Seiring dengan kemajuan dan
perkembangan yang pesat pada SMP Ar-Risalah, SMA ikut
melangkah setapak demi setapak untuk mengantarkan siswa dan
siswinya untuk bisa menjadi yang terbaik. Pada tahun 2007 SMA Ar-
Risalah mengirimkan salah satu siswanya untuk studi ke negara
Amerika Serikat selama satu tahun sebagai salah satu program yang
diselenggarakan oleh pemerintah Amerika. Sebagai upaya dalam
meningkatakan kualitas pendidikan selalu ditingkatkan dengan
mendatangkan guru dari luar negeri, diantaranya pada tahun ajaran
2004-2006 Ar-Risalah mendapatkan guru bantu dari negara Australia
sebagai program pengembangan Bahasa Inggris selama dua tahun26.
Tahun Ajaran 2006 – 2007 merupakan yang kedua kalinya Ar-
Risalah mendapatkan guru bantu dari China, sedangkan untuk yang
pertama kalinya pada tahun ajaran 2004-2005, disamping upaya
peningkatan pada pengembangan bahasa Inggris dan bahasa
Mandarin, juga diselenggarakan pengembangan bahasa Arab sebagai
wujudnya yakni diadakan kerja sama dengan Lembaga Pendidikan
Bahasa Arab Sunan Ampel Surabaya. Pondok Pesantren Ar-Risalah
selalu memacu dan memotivasi anak didikanya untuk selalu semangat
di dalam belajar, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Ar-Risalah telah menjalin kerjasama dengan Departemen
Agama berkaitan dengan beasiswa untuk para santri agar dapat
26 Ibid.
133
melanjutkan jenjang pendidikannya keperguruan tinggi negeri favorit.
Tidak cukup sampai disitu, berkaitan dengan beasiswa studi ke luar
negeri, Ar-Risalah pada tahun 2008 berusaha untuk dapat membawa
anak didiknya belajar ke negeri Arab, khususnya Mesir dan Yaman.
Para santri dibina dengan mengembangakan bakat dan minatnya,
mengoptimalkan segala potensi diri yang dimiliki untuk mampu
bersaing memposisikan diri di tengah masyarakat modern.
Dengan pendidikan umum ini para santri dibawa pada
kemampuan produktif dan aktif sehingga memiliki mental
mengembankan diri dan mandiri. Sarana pendidikan dilengkapi
dengan laboratorium bahasa, komputer, IPA , IPS, ruang multimedia
serta ruang english center. Disamping pendidikan di kelas para siswa
melakukan kegiatan belajar dan mengajar dengan disertai praktik, agar
proses pengajaran tidak hanya didapati di dalam kelas melainkan juga
didapatkan dari luar kelas. Sejak tahun ajaran 2007-2008 sistem
pengajaran di SMA Ar-Risalah sudah berbasis TI&K. Guru dan siswa
menggunakan media laptop agar mempercepat proses kegiatan belajar
mengajar27.
d. Pendidikan Ekstrakurikuler
Departemen Apresiasi Dan Kesenian mengelola kegiatan
Ekstrakurikuler secara menyeluruh dengan beralokasikan waktu pada
malam Jumat dan Jumat pagi. Kegiatan meliputi kelompok Jam’i>yyah
27 Ibid.
134
Barzanji> Mana>qib, Tahli>l, Bah}th al-Masa>il, Kursus Bahasa Arab,
Inggris, Mandarin, Jepang, kaligrafi Arab, shalawat rebana, nasyi>d,
dan drum band. Kegiatan asrama dikelola oleh organisasai pondok
pesantren dan pengurus asrama meliputi : koperasi, bimbingan belajar,
jam’i>yah, pengajian sistim bandongan. Kepengurusan asrama
ditangani oleh para santri di bawah pengawasan pengurus pondok
sebagai media pelatihan kepemimpinan kepada anak didik28.
e. Organisasi
Organisasi Siswa Intra Sekolah ( OSIS ) di bawah naungan
lembaga pendidikan SMP dan SMA mengelola kegiatan kesenian,
bahasa, dan jurnalistik, dengan menerbitkan buletin untuk tingkat
SMA dan majalah dinding untuk tingkat SMP. Para santri yang telah
berpotensi dalam bidang tertentu, dijadikan pembimbing bagi siswa
pemula. Para santri Ar-Risalah banyak mendapatkan sarana
pengembangan kemampuan dalam wadah Yayasan Pendidikan Ar-
Risalah29.
B. Pondok Pesanten Darussalam Sumbersari Kediri
1. Sejarah Latar Belakang Pondok Pesantren Darussalam Sumbersari
Kediri
Kampung Sumbersari adalah sebuah perkampungan kecil yang
berjarak 40 km. arah timur kota Kediri Jatim. Awal mulanya kampung
tersebut dirintis oleh seorang Kiai yang bernama K. Nur Aliman sekitar
28 Ibid 29 Ibid.
135
tahun 1946, kemudian diteruskan oleh K. Iskandar dan K. Abdurrahman.
Beberapa waktu setelah itu, tepat tanggal 13 Maret 1949 datanglah K.
Imam Faqih Asy’ari bersama sang istri, Nyai Munifah Faqih bersama 12
santri dari Pondok Pesantren Jombangan Pare Kediri, untuk nasyru al‘ilmi
wa al-di>ni>y (menyebarkan ilmu dan agama) dengan mendirikan Lembaga
Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren Darussalam (Ma’had Islamy
Darussalam yang disingkat “MAHISD”) 30.
Setelah itu, tepatnya pada tahun 1958 berdirilah sistem pendidikan
klasikal Madrasah Islamiyah Darussalamah yang disingkat “MIDA”.
Pondok dan madrasah Darussalamah terus berkembang pesat di tengah-
tengah masyarakat. Hingga saat ini, pondok tersebut terus berkembang
seiring tumbuh dewasanya para putra dan putri pendirinya. Sebagaimana
perkembangan pondok-pondok salaf yang lainnya, pondok Darussalam
Sumbersari juga berkembang dengan berdirinya beberapa cabang atau
komplek, yaitu:
1. Madrasah Islamiyah Darussalamah PP. Darussalam putra.
2. Madrasah Islamiyah Darussalamah PP. Darussalam putrid.
3. PP. Darul Qur-an putrid.
4. PP.Darul Hidayah (Anak-anak putri).
5. PP. Ma’hadus Sibyan (Anak-anak putra)31.
30 Team Redaksi, profil pondok pesantren Darussalam (Kediri: PP. Darussalam Sumbersari,
2012) 31 Ibid.
136
2. Kepemimpinan Pondok Pesantren Darussalam Sumbersari
Untuk mengetahui gambaran kepemimpinan pondok pesantren
Darussalam, maka bisa dilihat pada peta struktur kepemimpinan pesantren
tersebut sebagaimana berikut:
Stuktur Pimpinan Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren
Darussalam Sumbersari Kediri Tahun 2012/2013
No Jabatan Nama
1. Ketua KH. A. Zaenuri Faqih
2.
Angota
KH. Asyrofi Abi Yusa’
3. KH. Abi Musa Asy’ari
4. KH. Solehan
5. KH. Hadlirin Abd Rohman
6. KH. Zaini Kudhori.
7. KH. Khozin.
8. Ny. Hj. Aminatussa’diyah32.
Dari gambaran struktur kepemimpinan pondok pesantren
Darussalam Sumbersari memang tidak seperti yang terjadi di pondok
pesantren Lirboyo yang secara keseluruhan menempatkan posisi laki-laki
pada struktur kepemimpinan pesantren. Pondok pesantren Darussalam
Sumbersari masih memberi kesempatan kepada aktor perempuan (nyai)
dalam turut serta memimpin pesantren.
32 Ibid.
137
Namun demikian, posisi nyai masih tetap di bawah kiai dalam
penetapan kebijakan, bahkan tidak jarang ketika diadakan rapat yayasan
hanya melibatkan para laki-laki (kiai). Meskipun di situ hadir nyai,
mereka harus duduk di balik tabir dan tidak bisa menyalurkan
pendapatnya. Dengan kata lain mereka hanya sebagai “pelengkap” dalam
struktur kepemimpinan pesantren.
KH. Zainuri Fakih sebagai ketua dewan pengasuh pesantren
memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Dalam hal musyawarah pengambilan keputusan rapat yang terjadi di pesantren Darussalam Sumbersari Kediri, para Kiai masih tetap menjadi aktor utama dan Nyai hanya diberi hak suara tanpa bisa mengambil suatu kebijaksanaan. Menurut KH. Zaenuri Faqih, hal tersebut sudah merupakan tradisi turun temurun dan harus dilestarikan, karena Kiai adalah laki-laki yang jelas secara keilmuan dan wawasan lebih luas dari perempuan”.33
Kebijakan di atas, secara keseluruhan hanya membatasi laki-laki
sebagai aktor pemegang kendali pesantren. Keberadaaan Nyai, para putri
Kiai (Neng), dan santri putri hanyalah pelengkap dalam urusan roda
kepemimpinan pesantren, bahkan seperti sudah menjadi aturan bulat
bahwa warisan kepemimpinan pesantren selalu jatuh pada anak laki-laki
atau menantu laki-laki.
Disamping itu, pergantian kepemimpinanan ini bernuansa
membangun Dinasti Keluarga “Dynasty of Family”. Cara praktis seperti ini
yang sering dilakukan pesantren untuk mempertahankan tradisi-tradisi
33 KH. Zaenuri Faqih, Wawancara, Kediri, 10, Desember 2013.
138
pesantren supaya tidak punah34. Secara faktual, dinasti pesantren tidak
hanya dilihat dari proses regenerasi atau pergantian kiai, tetapi lebih dari
itu, dinasti pesantren dapat dianalisis dari proses pendistribusian
keturunannya. Di salah satu pesantren seorang kiai sepuh (tua) akan
menyuruh keturunannya untuk membentuk pesantren baru melalui
perkawinan yang pada hakikatnya bertujuan untuk mempertahankan dan
menguatkan tradisi pesantren lama.
Namun seperti yang terjadi pada pesantren pada umumnya,
peralihan kepemimpinan pesantren Darussalam tidak dilandaskan pada
kualitas individu calon pemimpin, namun justru lebih dinilai dari sudut
pandang gender. Kalangan perempuan pesantren meskipun misalnya
mempunyai kemampuan serta integritas leadership yang tinggi dan
mengalahkan laki-laki, dalam praktiknya tetap yang dipiliih adalah laki-
laki. Lebih ironis lagi, dalam proses penetapan kebijakan serta strategi
pengelolaan lembaga tidak melibatkan aktor perempuan yang sebelumnya
memiliki kemampuan lebih dibanding laki-laki.
3. Kurikulum Pembelajaran
Selain dari relitas kepemimpina pesantren, tradisi patriarkhi dalam
pesantren juga bisa diidentifikasi melalui praktik keseharian kalangan
pesantren yang salah satunya adalah penetapan kurikulum serta proses
pembelajarannya. Kurikulum pembelajaran pondok pesantren Darussalam
Sumbersari Kediri tersusun sebagaimana tabel berikut:
34 Ibid, 61-62.
139
TAMAN KANAK-KANAK ISTI’DADIYAH
NO Pelajaran Pelajaran Jam
1 PPKn. Aqidatul ‘Awam 1 Jam
2 Tarikh Islam B. Arab 1 Jam
3 Kemampuan berbahasa Hidayatul Mustafid & Al Qur’an 2 Jam
4 Perasaan & Kemasyarakatan Matan Al Jurumiyah 3 Jam
5 Kesadaran Lingkungan Shorof Isthilahi 3 Jam
6 Daya cipta Q. Shorof Isthilahi 2 Jam
7 Daya fikir I’lal Isthilahi 1 Jam
8 Pengetahuan Jasmani & Rokhani Q. I’lal Istilah 1 Jam
9 Mengaji Yanbua Mabadi Fiqih III 2 Jam
10 Tahajji 1 Jam
11 Fasholatan 1 Jam
12 Khulashoh Juz I 1 Jam
13 Al Akhlaq Lilbanin-nat Juz I 2 Jam
14 Qiroatul Kitab 1 Jam
15 Muhafadhoh 1 Jam
16 B. Indo./IPS/MMK 1 Jam
24
Ibtidaiyah
Kelas I (satu) Kelas II (dua) Kelas III (tiga)
No Pelajaran Jam Pelajaran Jam Pelajaran Jam
1 Sullamud Diyanah 1 Jam Aqidatul Awam 1 Jam Aqidatul ‘Awam 1 Jam
2 Fasholatan 1 Jam AlQur’an 1 Jam Al Qur an 1 Jam
3 Fiqh Jawan 1 Jam Tanwirul Qori’ 1 Jam Hidayatussibyan 1 Jam
4 Tahajji 1 Jam Ala La & 1 Jam Muhafadloh 1 Jam
140
Muhafadhoh
5 Qiroatul Ushriyah 1 Jam Mabadi Fiqh I 1 Jam Mabadi Fiqih II 1 Jam
6 Imla’ I 1 Jam Tarikh Nabi 1 Jam Almathlab 1 Jam
7 Sirotun Nabi 1 Jam Imla’ II 1 Jam Tareh Nabi 1 Jam
8 Tahsinul Khot 1 Jam Tahsinul Khot II 1 Jam Imla’ III/ Tah.Khot
1 Jam
9 Bahasa Arab 1 Jam Bhs. Arab 1 Jam Bahasa Arab 1 Jam
10 PPKn.&B.Ind 1 Jam PPkn & Bhs.Indonesia
1 Jam Berhitung &IPA 1 Jam
11 Berhitung 1 Jam Berhitung 1 Jam IPS & B. Daerah 1 Jam
12 B. Daerah / B.Inggris
1 Jam B. Inggris & B. Daerah
1 Jam B.Ind, B.Ing & PPKn
1 Jam
12 12 12
Kelas IV (empat) Kelas V (lima) Kelas VI (enam) No Pelajaran Jam Pelajaran Jam Pelajaran Jam 1 Syu’abul Iman 1
Jam Khoridatul Bahiyah
1 Jam
Bad’ul Amal 1 Jam
2 Al Qur an 1 Jam
Hidayatul Mustafid. & Al Qur an
1 Jam
Jazariyah &Al Qur an 2
Jam 3 Tuhfatul Athfal 1
Jam Al Jurumiyah 1
Jam Abi Syuja’ 2
Jam 4 Khulashoh I 1
Jam Shorof Isthilahi 2
Jam Al Amrithi 6
Jam 5 Syabrowi 1
Jam Q. Shorof Isthilahi
1 Jam
Shorof Lughowi 2 Jam
6 Akhlaq lilbaninnat I
1 Jam
Akhlaqul Banin/nat II
1 Jam
Q. Shorof Lughowi
2 Jam
7 Mabadi Fiqih III 1 Jam
Muhafadhoh 1 Jam
Arba’in Nawawi 1 Jam
8 Imlak IV 1 Jam
Mabadi Fiqih IV
1 Jam
Taisirul Kholaq 1 Jam
9 Muhafadloh 1 Jam
I’lal Isthilahi & Q. I’lal
1 Jam
I’lal 1 Jam
10 Bahasa Arab 1 Bahasa Arab 1 Bahasa Arab 1
141
Jam Jam Jam 11 B.Indonesia, IPS
& PPKn 1
Jam Bhs. Indo/IPS/MMT
1 Jam Muhafadloh 1
Jam 12 MMT, IPA &
Bhs. Daerah 1
Jam Khulashoh N. Y. II
1 Jam
13 Qiroatul Kitab 1 Jam
14 MMT, IPA 1 Jam
15 B.Indo.&PKn 1 Jam
12 12 24
Tsanawiyah
Kelas I (satu) Kelas II (dua) Kelas III (tiga)
No Pelajaran Jam Pelajaran Jam Pelajaran Jam
1 Ta’lim Muta’alim 1 Jam Tahliyah 1 Jam Uddatul Faridl 2 Jam
2 Sanusiyah 1 Jam Tijan Durori 1 Jam Jauharotut Tauchid 2 Jam
3 B. Inggris 1 Jam B. Inggris 1 Jam Adabusyar’iyah 1 Jam
4 MMT & IPA 1 Jam B. Indonesia & IPA
1 Jam ‘Arudl 1 Jam
5 B. Indonesia & IPS
1 Jam MMT & IPS 1 Jam B. Inggris 1 Jam
6 Bulughul Marom 1 Jam Bulughul Marom 1 Jam B. Indonesia & IPS
1 Jam
7 Khulashoh N. Y. III
1 Jam Alfiyah Ibni Malik
8 Jam MMT & IPA 1 Jam
8 Fathul Qorib 4 Jam Fathul Qorib 4 Jam Mustholahul Hadits
1 Jam
9 Alfiyah Ibni Malik 8 Jam Qowaidul I’rob 2 Jam Jawahirul Bukhori 1 Jam
10 Al Maqsud 2 Jam Al I’rob 1 Jam Al Jauhar Al Maknun
6 Jam
p11 Q. Kitab 1 Jam Muhafadhoh 1 Jam Fathul Qorib 4 Jam
12 Muhafadhoh 1 Jam Bahasa Arab 1 Jam Bhs. Arab 1 Jam
13 Bahasa Arab 1 Jam Q. Kitab 1 Jam Muhafadhoh 1 Jam
14 Q. Kitab 1 Jam
142
24 24 24
Aliyah
Kelas I (satu) Kelas II (dua) Kelas III (tiga)
No Pelajaran Jam Pelajaran Jam Pelajaran Jam
1 Husunul Hamidiyah I
2 Jam Husunul Hamidiyah II 2 Jam Addasuqi 1 Jam
2 Attajridussorih 2 Jam Attajridussorih 2 Jam Attajridusshorih 2 Jam
3 Bahasa Arab 1 Jam Tafsir Jalalain 2 Jam Tafsir Jalalain juz 3 1 Jam
4 Tashiluturuqot 2 Jam Addurus Alfalakiyah & MMT
2 Jam Durrotussaniyah & Hisab
3 Jam
5 PPKn. IPS & Bhs. Ind
1 Jam Sulamul Munauroq 2 Jam ‘Idhotunnasyi’in 2 Jam
6 Bhs. Inggris 1 Jam Bahasa Arab 1 Jam Assullam 1 Jam
7 Tafsir Jalalain 2 Jam PPKn. Bhs. Indo & IPS
1 Jam B.Indo,PPKn,Dikdaktik & Ilmu Ekonomi
2 Jam
8 Uqudul Juman I 6 Jam Bahasa Inggris 1 Jam Bahasa Inggris 1 Jam
9 Fathul Mu’in 5 Jam Uqudul Juman II 4 Jam Bahasa Arab 1 Jam
10 Muhafadhoh 1 Jam Fathul Mu’in 4 Jam Tafsir Jalalain 2 Jam
11 Q. Kitab 1 Jam Alfaroid Albahiyah 3 Jam Alfaroid Albahiyah 3 Jam
12 Fathul Mu’in 5 Jam
24 24 2435
Meskipun dalam kurikulum pembelajaran sudah lebih maju dari pada
Lirboyo dengan mulai dikenalkannya materi umum pada santri, materi-materi
35 Team Redaksi, profil pondok pesantren Darussalam (Kediri: PP. Darussalam Sumbersari, 2012)
143
tersebut hanya berupa pada materi umum inti seperti matematika dan bahas
Inggris dan masih memperioritaskan kajian kitab kuning sebagai materi utama.
Dalam konteks penerapan kitab kuning sebagai kurikulum pembelajaran di
dalam pondok pesantren Darussalam Sumbersari Kediri, salah satunya telah
memunculkan pemahaman dan sikap konservatif, deskriminatif, dan apologetic
pimpinan pesantren atas isu-isu gender yang sudah gencar didiskusikan oleh
kalangan pesantren sendiri. Penanaman pemahaman atas relasi antara laki-laki
dan perempuan melalui kitab kuning sudah terkonstruk rapi dalam paradigma
komunitas pesantren.
Naifnya, mayoritas pengasuh pondok pesantren Darussalam Sumbersari
Kediri sebagai pemegang kendali otoritas pesantren cenderung memilih
tertutup dan mengamini karya-karya misioginistik tersebut dari pada
mengadakan kajian secara mendalam baik secara filosofis, teologis maupun
historis. Bahkan tidak jarang di antara pengasuh yang mengharamkan berfikir
kritis-transformatif terutama bagi komunitas pesantren, karena hal tersebut
dianggap sebagai budaya barat yang akan merusak tatanan keislaman yang
telah mapan. Jika keadaan ini terus berlangsung tanpa ada usaha menuju
perubahan yang lebih baik, maka selamanya dapat dipastikan pesantren akan
menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam yang menjadi pelopor
tumbuhnya budaya patriarkhi di kalangan masyarakat dan tentunya sangat
menciderai citra Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi asas kesetaraan
(musa>wah) dan keadilan (‘ada>lah).
144
Dalam proses pembelajarannya, pondok pesantren Darussalam Sumbersari
juga menetapkan kebijakan bahwa pengajar pondok untuk kelas ibtida’iyah
terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun untuk tingkat tsanawiyah ke atas
guru atau ustadz harus dari laki-laki baik untuk kelas khusus laki-laki ataupun
perempuan. Menegenai hal tersebut KH. Zaenuri Faqih memberikan
penjelasan:
“Untuk guru tingkat tsanawiyah memang tenaga professional yang kita punyai hanya laki-laki, kita hampir tidak menjumpai guru perempuan yang fak(professional di bidangnya), hal tersebut dikarenakan mayoritas santri putri yang senior harus keluar dari pesantren untuk menikah”36. Masih menurut beliau, selain faktor usia belajar santri hal tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan laki-laki yang jauh di atas perempuan, karena agama sendiri yang memberikan “Nash” tentang itu, jadi sebagai perempuan tidak boleh iri hati terhadap apa yang telah dikodratkan oleh tuhan37. Jika hal demikian dibiarkan terus menerus tanpa membuka adanya kritik
dan saran dari berbagai kalangan, maka dapat dipastikan budaya patriarkhi
akan semakin kokoh dan tak tergoyahkan di lembaga pendidikan Islam pondok
pesantren secara luas.
C. Pondok Pesantren Al-Ishlah Bandar Kediri
1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah Bandar
Studi situasi dan kondisi menjelang lahirnya pondok pesantren Al-
Ishlah, sangatlah penting mendapatkan porsi pembahsan tersendiri. Sudah
barang tentu esensi dari pembahasan ini adalah rekaman aneka peristiwa
yang mengantarkan lahirnya pondok pesantren Al-Ishlah. Ternyata kondisi
36 KH. Zaenuri Faqih, Wawancara, Kediri, 10, Desember 2013. 37 Ibid.
145
sosio-kultural dan lingkungan yang berkembang waktu itu merupakan
faktor utama yang mendorong KH. Thoha Mu’in untuk mendirikan
pondok pesantren Al-Ishlah38.
Namun peristiwa kami rekam secara sekilas, untuk dapat
dijadaikan pijakan untuk menyusun sejarah berdirinya pondok pesantren
Al-Ishlah. Al-Ishlah didirikan satu tahun menjelang pemilihan umum
pertama tahun 1955, tepatnya pada tanggal 17 oktober 1954. Saat itu
situasi sedang dimanfaatkan oleh para politisi dan gembong-gembong
partai untuk mengadakan persaingan mencari pengaruh dan perebutan
kekuasaan yang saling menjatuhkan. Kondisi masyarakat Indonesia yang
sangat plural, banyak suku, ras dan agama berkembang dengan pesat
sangat rentan terhadap konflik. Hal ini tentunya dapat berdampak negatif
terhadap kondisi umat Islam, karena Islam sebagai agama yang banyak
dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia ternyata juga terdapat
beragam madzbah yang berbeda-beda dan mempunyai basis masa yang
tidak sedikit jumlahnya. Hal ini tentunya menjadi ladang subur untuk
memperoleh dukungan massa yang sebesar-besarnya, jangan sampai
keutuhan umat Islam ini dimanfatkan pihak ketiga untuk kepentingan
kelompok atau golongan tertentu dengan aksi dukung mendukung yang
rawan terhadap konflik39.
Melihat kenyataan yang demikian ini, sebagai upaya untuk
menghindari perpecahan umat maka beliau memilih Al-Ishlah sebagai
38 Team Redaksi, Profil al-Ishlah (Kediri: PP. Al-Ishlah, 2000) 39 Ibid
146
nama pondok pesantren yang didirikannya sebagai simbol perdamaian
umat. Beliau berharap dengan nama Al-Ishlah santri-santrinya mampu
menginternalisasikan nilai-nilai perdamaian untuk membangun umat yang
rukun dan damai tanpa memihak satu kelompok manapun40.
2. Kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Ishlah
Sebagaimana pembahasan pada pondok-pondok sebelumnya, untuk
mengetahui bagaimana realitas patriarkhi dalam pesantren Al-Ishlah
dimulai dari paparan sistem kepemimpinan pesantren yang sedang
berlangsung. Struktur kepemimpinan pesantren Al-Ishlah dipaparkan
sebagai berikut:
Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Putra Al-Ishlah
1. K. Fuaddudin Thoha : Ketua
2. KH. Zubaduzzaman : Sekretaris
3. A. Fauzi Muallaa : Bendahara
4. A. Azharul Ma’ali : Anggota
5. H.A. Qowimuddin Thoha : Anggota
6. A. Faruk Zakiyunnuha : Anggota
7. A. Rodliyulloh Elbana : Anggota
8. H.A. Ahsinil Umam : Anggota41
Dewan Penasehat Pondok Pesantren Putra Al-Ishlah
1. K. Fuaddudin Thoha
2. KH. Zubaduzzaman
40 Ibid 41 Ibid
147
3. H.A. Rofi’uddin Romli42
Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Ishlah
1. K. Fuaddudin Thoha : Ketua
2. KH. Zubaduzzaman : Sekretaris
3. Hj. Faridatul Aliyyah : Bendahara
4. A. Fauzi Mualla : Anggota
5. Hj. Uria Rita : Anggota
6. A. Azharul Ma’ali : Anggota
7. H.A. Qowimuddin Thoha : Anggota
8. A. Faruk Zakiyunnuha : Anggota
9. A. Rodliyulloh Elbana : Anggota
10. H.A. Ahsinil Umam : Anggota
11. Ning Arinal Husna : Anggota43
Dewan Penasehat Pondok Pesantren Putri Al-Ishlah
1. K. Fuaddudin Thoha
2. KH. Zubaduzzaman
3. Hj. Faridatul Aliyyah
4. Hj. Uria Rita
5. Hj. Lilik Muhibbah
6. Nawaning44
Dari paparan data struktur kepemimpinan pesantren di atas, nampak
jelas pemberdayaan kalangan perempuan yang melebihi pesantren 42 Ibid 43 Ibid 44 Ibid
148
Darussalam. Pesantren Al-Ishlah telah memberikan cukup ruang bagi
kalangan perempuan pesantren untuk turut serta dalam mengelola dan
mengembangkan pesantren. Dari situ, kalangan perempuan pesantren
memiliki mementum dalam mengaktualisasikan serta mengembangkan
kemampuannya dalam segi keilmuan dan pengalaman penting lainnya.
Pembagian kerja yang positif dalam kepemimpinan pesantren Al-
Ishlah antara laki-laki dan perempuan menjadikannya sebagai percontohan
dari upaya penegakan gender di dalam lingkup kepemimpinan pesantren.
Lebih dari itu, para pemangku pesantren juga memberikan kebebasan
kepada seluruh elemen pesantren tanpa terkecuali untuk berkiprah dalam
wilayah eksternal pesantren seperti kegiatan politik dan organisasi
kemasyarakatan.
Salah satu bentuk kongrit dari emansipasi perempuan pesantren yang
memiliki kebebasan dalam mengekspresikan keilmuannya dan
mendedikasikan diri dalam wilayah yang lebih luas muncul dari diri nyai
Luluk Muhibbah adalah. Ia turut serta dalam dunia politik praktis dan saat
ini menjabat sebagai wakil Wali Kota Kediri. Penempatan posisi yang
berbeda antara menjadi Bu Nyai dalam pesantren dan wakil Wali Kota
dalam wilayah yang lebih luas menjadikan beliau semakin lebih fleksibel
dan akuntabel dalam menjalankan roda kepemimpinan.
Apa yang sedang dialami oleh Nyai Luluk Muhibbah memberikan
bukti kepada seluruh pesantren pada umumnya bahwa perempuan
sebenarnya juga mampu melakukan apa yang dianggap hanya bisa
149
dilakukan oleh laki-laki. Hal ini juga menunjukkan bahwa perempuan
pesantren sesungguhnya juga bisa berbuat lebih jauh melampaui
ekspektasi yang disandarkan padanya sebagai perempuan pesantren oleh
masyarakat umum.
Walaupun pesantren Al-Ishlah telah memberikan ruang yang lebar
bagi kalangan perempuan pesantren untuk bisa mengaktualisasikan diri
dalam bentuk kegiatan positif, hanya saja dalam internal pelaksanaan
kepemimpinan lembaga masih saja menempatkan laki-laki padi posisi
hierarki tertinggi. Hal tersebut nampak pada peta kepemimpinan pesantren
secara keseluruhan, di mana seluruh kepemimpinan baik pesantren putra
maupun putri selalu diketuai oleh laki-laki. Dari realitas tersebut dapat
disimpulkan bahwa seperti apapun produktifitasnya para pemimpin
pesantren baik laki-laki (kiai) maupun perempuan (nyai) dalam usaha
mengembangkan pesantren, keputusannya tetap milik mutlak ketuanya
(kiai).
Dari seluruh penjelasn tentang sistem dan pola kepemimpinan
pesantren Al-Ishlah tersebut di atas, meskipun dalam penyelenggaraan
roda kepemimpinan sudah memberikan posisi yang lebar kepada para
aktor perempuan (nyai), masih terdapat cela akan terjadinya praktik
patriarkhi dalam kepemimpinannya jika penentu kebijakan tetap hanya di
bawah kekuasaan kiai.
3. Kurikulum Pembelajaran
150
Mayoritas pondok pesantren di Indonesia, terutama pesantren salaf
seperti Al-Ishlah kurikulum pendidikannya lebih di dominasi oleh
pengetahuan-pengetahuan yang berorientasi pada penguasaaan keilmuan
Islam, seperti: bahasa Arab ilmu nahwu, shraf, ilmu fiqih, ushu>l al-fiqh,
ulum al-Qur’an, kajian kitab tafsir, hadith, ilmu hadith, disamping itu juga
mengkaji ilmu kalam (tauhid), mantiq (logika), ta>rikh nabi, tasawuf dan
akhlaq.
Berdasarkan kurikulum tersebut, maka Al-islah menentukan kitab-
kitab yang dikaji oleh para santri, antara lain45:
No Bidang Kajian Nama Kitab
1. Nahwu/Sharf al-juru>mi>yyah, al-imri>thiy>, alfi>yah ibn
ma>lik, ibn ‘aqi>l, jawa>hir al- maknu>n,
amthilaty> tas}ri>fi>yah, qawa>’id al-
sharfiy>yah,al-maqs}u>d,dan sebagainya.
2 Fiqh Maba>di’ al-fiqhiy>yah, al-sulam at-
tawfi>q, fath} al-qari>b, fath} al-mu’i>n,
al-iqna>’,dan sebagainya.
3. Ushu>l al-fiqh Maba>di’ ul awwa>liy>yah, as-sulam
4. Hadist Arba’i>n nawa>wi>, bulu>gh al –mara>m,
riya>dh as-sha>lihi>n, adzka>r an-nawa>wi,
abi> jamrah, jawa>hir al bukha>ri>, tanqi>h}
al-qau>l, dan sebagainya.
45 Ibid.
151
5. Tauhid Da>su>ki>, jauhar at-tawhi>d, kifayah al-
‘awa>m, hida>yah as-s}ibya>n, dan
sebagainya.
6. Tasawuf Kifa>yah al-atkiya>’, al-h}ikam, nas}aih}
al-’iba>d, minha>j al-‘abidi>n, dan
sebagainya.
7. Tafsir Tafsi>r jala>lai>n, tafsi>r mara>kh lubai>d
(tafsir muni>r)
8. Akhlaq ala>-la>, ta’li>m al-muta’allim, taisi>r al-
khala>q, was}a>yah al- a>ba>’ li al-abna>’,
dan sebagainya.
9. Tajwid Hida>yah as-s}ibya>n, tuh}fah al- at}fa>l,
dan sebagainya.
Hanya yang menjadi bacaan rutin (wiridan) KH. Thoha Mu’id
setiap hari antara lain: setiap ba’da subuh beliau membaca kitab al-awra>d
li ina>rah al-aqba>d dan al-Qur’an bersama para santri (dikhatamkan setiap
tahun sekali dan di ulangi kembali dari awal), tafsi>r jala>lai>n, tafsir muni>r,
alfi>yah ibn ma>lik dan ibn aqi>l, fath} al-qari>b, fath} al-mu’i>n, al-h}ika>mi46.
semua materi pembelajaran tersebut adalah sebagian dari kitab yang
masuk dalam daftar kurikulum pondok pesantren Al-Islah
46 Ibid.
152
Metode pembelajaran di pondok pesantren Al-Islah pernah
mengalami beberapa perubahan, karena mengikuti tuntutan perkembangan
zaman di bidang pendidikan dan pengajaran. Sejak berdirinya (1954)
hingga pada tahun 1966 Al-Islah hanya menerapkan sistem pendidikan
yang berorientasi pada kiai centered system (kiai menjadi satu-satunya
nara sumber dari materi pendidikan yang diberikan) dengan menggunakan
metode wetonan, bandongan (halaqah) yang sebenarnya merupakan
gambaran pendidikan pesantren yang menempatkan Kiai sebagai pusat
sistem.
Kiai aktif membaca, memberikan ceramah atau memberikan
penjelasan maksud dalam kitab yang diajarkan, sementara para santri
secara pasif mengikuti pembelajaran dengan mendengarkan ceramah
sambil duduk di sekeliling ataupun di hadapan kiai yang sedang
menerangan pelajaran47.
Metode weton sendiri adalah sitem belajar mengajar konvensional
yang berlaku dalam sistem pengajaran dan pendidikan di pondok
pesantren Al-Ishlah, yaitu sang kiai menyampaikan materi pelajaran
dengan membaca teks (kitab kuning) baris demi baris, menerjemahkan,
dan kalau dipandang perlu memberikan penjelasan. Sedangkan santri
memberikan catatan kecil yang berkaitan dengan makna pada kitab yang
sedang dikaji atau yang sering dikenal dengan ngesahi (memberikan
makna perhuruf pada kitab kuning, biasanya menggunkan Arab pegon).
47 Ibid.
153
Kata weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu, karena pada
dasarnya kegiatan pengajian seperti ini dilakukan pada waktu-waktu
tertentu, seperti setelah shoalat wajib. Akan tetapi setiap daerah
mempunyai istilah yang berbeda-beda dalam menyebut metode ini, di
Jawa Barat menggunakan istilah bandongan, sedangkan di Sumatra
terkenal dengan halaqah. Keduanya mempunyai maksud yang sama yaitu
metode pengajian di mana para santri duduk melingkar di sekeliling kiai
untuk mengikuti pengajian yang disampaiakan oleh kiai48.
Selanjutnya adalah metode sorogan. Sorogan sendiri berasal dari
kata “sorog” yang berarti mengajukan. Sorogan merupakan salah satu
sistem belajar mengajar konvensional yang berlaku di pesantren.
Caranya,seorang santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan kiai atau
pembantu Kiai, kemudian Kiai memberikan tuntunan bagaimana cara
membacanya, menghafalkannya dan bila telah meningkat termasuk
tentang terjemahan dan tafsirnya secara lebih mendalam, santri di
instruksikan untuk mempelajari suatu naskah atau literatur secara mandiri,
kemudian ia harus mempresentasikannya di hadapan sang Kiai49.
Seiring dengan perkembangan metode pembelajaran di dunia
pendidikan, maka Al-Islah pun berusaha untuk menyesuaikan diri. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan metode
pembelajarannya, seperti menggunkan metode syawir
(musyawarah/diskusi) praktikum (ibadah dan mu’amalah), belajar
48 Ibid. 49 Ibid.
154
kelompok dan lain-lain. Di samping itu, pondok pesantren Al-Islah juga
menerapkan sistem pengajian kilatan (pengajian yang dilaksanakan dalam
waktu yang cukup singkat) yang dilaksanakan setiap tanggal 1-20 bulan
Ramadhan50
Dari penjelasan mengenai kurikulum pembelajaran serta proses
pembelajaran yang terjadi di pesantren Al-Ishlah tersebut di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa, meskipun pesantren tersebut sudah mulai
menerapkan metode pembelajaran baru dengan muatan materi pada
kurikulum yang masih mengandalkan kitab kuning sebagai pegangan
utama dan sistem tradisional yang juga masih dilestarikan (sorogan,
bondongan, wetonan), maka pondok pesantren Al-Ishlah masih hampir
mirip dengan pondok-pondok lain yang dalam implikasi pembelajarannya
memungkinkan terjadinya pemahaman serta konstruk patriarkhi terutama
bagi pembacanya. Namun demikian, secara keseluruhan tentang
transformasi kepemimpinan, kurikulum serta proses pembelajaran yang
terjadi di dalam lingkup pesantren patut mendapatkan apresiasi dari
masyarakat, khususnya bagi kalangan perempuan pesantren yang
menginginkan adanya perubahan maenstrem subordinasi bagi mereka.
D. Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri
1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri
Kediri sebagai salah satu kota yang terletak di wilayah Propinsi Jawa
Timur telah lama dikenal sebagai salah satu kawah candradimuka dan
50 Ibid.
155
pencetak kader-kader handal dalam bidang ilmu keagamaan, khususnya
agama Islam. Sebutan ini tentunya tidak lepas dari banyaknya pesantren
yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota, Kabupaten, bahkan di
pedesaannya. Dari sekian banyak pesantrenyang ada di Kediri, pesantren
al-Hikmah adalah salah satunya. Pesantren tersebut didirikan oleh KH.
Badrus Sholeh Arif atau yan lebih dikenal denan gus Sholeh51.
KH. Badrus Sholeh lahir pada tahun 1917 di desa Banyakan
Kabupaten Kediri. Beliau adalah putra dari pasangan Kiai Muhammad
Arif bin Hasan Alwi dan Nyai Sriatun. Beliau menikah dengan Hj. Azizah
Badriyah binti KH. Ihsan desa Banaran Kertosono. Dari pernikahan
tersebut beliau dikaruniai 8 (delapan) anak yaitu KH. Zaimuddin, KH,
Abdul Wahid, Nyai Hj. Nur Chalidah, KH. Abdul Nashir, KH. Ahmad
Da’in Arif, KH. M. Yahya, KH. Nasrul Islami dan KH. Fathul Karim52.
Pondok pesantren al-Hikmah ini didirikan oleh KH. Badrus Sholeh
Arif pada awal-awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1948. Pada masa
penjajahan tentara Jepang di Indonesia beliau turut serta berperang demi
merebut kemerdekaan, dengan gigih berani beliau mengangkat senjata
dengan prinsip menegakkan kebenaran di Bumi Nusantara.
Pesantren al-Hikmah mulai bersinar dan berkembang pada tahun
1959 dengan didirikannya Kulliyatul Mu’alimin. Namun lembaga
pendidikan ini tidak berlansung mulus kerena pada saat itu muncul sebuah
gerakan pemberontakan PKI yang meluas di Indonesia termasuk di Kediri.
51 Team redaksi, Profil Pondok Pesantren al-hikmah (Kediri: PP. Al-Hikmah, 2000) 52 Ibid
156
Kemudian pada tahun 1964 tepatnya pada tanggal 7 Agustus, atas inisiatif
lurah dan dewan pengajar, maka dibentuklah sebuah yayasan pendidikan
Islam al-Hikmah yang nantinya dari yayasan ini muncul beberapa model
pendidikan mulai dari pendidikan usia dini hinga perguruan tinggi53.
Pada tanggal 14 April 1967 pendidikan Mu’allimin dirubah menjadi
pendidikan Guru Agama Islam Negeri (PGAN) yang diresmikan langsung
oleh Menteri Agama RI yaitu KH. Ahmad Dahlan. Selanjutnya pada tahun
1970 KH. Badrus Sholeh Arif mendirikan Madrasah Islamiyah al-Hikmah
dengan jenjang pendidikan ibtida’iyah, tsanawiyah, dan aliyah. Kemudian
pada tahun 1976 didirikan sebuah Perguruan Tinggi al-Hikmah dengan
SK. Menteri Agama RI no.kep/D.Y/204/7654.
Meskipun beberapa kali telah mengalami perubahan administrasi
kelembagaan, hingga sampai sekarang pondok pesantren al-Hikmah terus
mengalami peningkatan dalam kuantitas santri maupun lembaganya.
Sebagai pondok induk al-Hikmah memiliki 6 cabang pesantren dibawah
naungan lembaga.
2. Kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Hikmah
Sebagaimana pondok pesantren salaf pada umumnya, pondok
pesantren Al-Hikmah dalam kepemimpinannya juga masih menerapkan
sistem kepemimpinan patriarkhi. Realita tersebut bisa dinilai dari
penempatan posisi laki-laki pada keseluruhan struktur kepemimpinan
53 Ibid. 54 Ibid.
157
lembaga dan hanya menempatkan satu aktor perempuan yang sebenarnya
jauh dari cukup jika mengacu pada usaha penegakan kesepadanan gender.
Gambaran tentang struktur kepemimpinan lembaga tersebut
dipaparkan sebagai berikut:
Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Islam Al-Hikmah
1. H. Abdul Hafid Izzudin
2. H. Amanu Yahya
Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan Islam Al-Hikmah
1. Drs. H. Akhwan Mukarrom
2. Drs. H. Sudjak
Dewan Pengasuh Yayasan Pendidikan Islam Al-Hikmah
Ketua : KH. Zaimmudin Badrus
Wakil Ketua : KH. Abdul Wahid Badrus
Sekretaris : KH. Ahmad Da’in Arif Badrus
Wakil Sekretaris : Nyai Hj. Noer Chalida Badrus
Bendahara : KH. Abdul Nashir Badrus
Wakil Bendahara : KH. M. Yahya Badrus55
Dengan kondisi struktur kepemimpinan seperti ini bisa dipastikan
terdapat kesenjangan yang nyata antara laki-laki dan perempuan dalam
penyaluran kreatifitas ide maupun penentuan kebijakan lembaga. Dengan
dominasi laki-laki atas perempuan dalam peran dan posisi kepemimpinan
55 Ibid.
158
dapat dipastikan memberikan dampak subordinasi tersendiri bagi kalangan
perempuan.
Meskipun demikian, kondisi yang terjadi di lapangan tidak
menghalangi beberapa aktor dari kalangan perempuan pesantren Al-
Hikmah untuk dapat merebut dan mendapatkan haknya. Di antara mereka
ada yang memilih berdikari di luar pesantren untuk mengembangkan dan
mengaktualisasikan diri baik sebagai da’i ataupun akademisi bahkan
politisi.
3. Kurikulum Pembelajaran
Tidak jauh berbeda dengan pesantren salaf pada umumnya, dalam
penetapan kurikulum pembelajaran, pondok pesantren Al-Hikmah
Purwoasri masih mempertahankan kitab-kitab kuning karangan ulama’
klasik sebagai muatan materi utama. Pemberian materi-materi tersebut
ditetapkan secara sistematis mulai dari jenjang yang paling bawah hingga
jenjang teratas.
Secara garis besar, materi-materi tersebut terdapat pada rincian
kitab-kitab yang diajarkan sebagai berikut:
a. Ilmu Alat : Juru>mi>yyah, Amthi>lah at-tas}ri>fiyyah, al-I’la>l, al-‘Imri>t}i>y,
qawa>’id al-I’ra>b, Mutammimah, al-maqs}u>d li as-s}arf, alfi>yah ibn
ma>lik.
b. Ilmu kalam: Jauhar al-maknu>n, H}ujjah ahlu as-sunnah
c. Ilmu fiqih: Fas}alatan fi> al-fiqh, Safi>nah as-s}ala>h fi> fiqh, maba>di’ al-
fiqhi>yyah, Safi>nah an-naja>h}, riya>dh al-badi>’ah, dhurar al-bahi>yah fi>
159
al-fiqh, at-taqri>b, minha>j al-qawi>m, Fath} al-mu’i>n, al iqna>’, Fath} al-
wahha>b, al far>aidh al-bahi>yah, Sullam at-tawfi>q.
d. Ilmu tajwid: Syifa>’ al-jina>n, Tuh}fah al-at}fa>l, Jazari>yah, Fath} al –
manna>n.
e. Ilmu h}adith dan mus}t}ala>h} al-h}adi>th: bulu>gh al-mara>m, Jawa>hir al-
bukha>ri, Arba’i>n nawa>wi>, S}ah}i>h} muslim.
f. lmu tauhid (Keesaan) dan akhlaq (tasawuf): Aqi>dah al-‘awa>m,
Was}a>ya al-a>ba>’ li al-abna>’, Jawa>hir al-kala>mi>yyah, Nas}a>ih} al‘iba>d
Tambi>h al-gha>fili>n, Bida>yah al-hida>yah Ta’li>m al-muta’allim.
g. Ilmu tafsir: al-ibri>z, al-jala>lai>n
h. Lain-lain: al-khat, ‘iddah al-fari>d, Khula>s}ah nu>r al-yaqi>n56.
Kurikulum tersebut di atas hampir tidak ada yang berbeda dari
kurikulum yang diterapkan oleh pendok-pondok pesantren pada
pembahasan sebelumnya, maka juga tidak jauh berbeda pula implikasi
yang akan ditimbulkannya, yakni penguatan terhadap tradisi patriarkhi
dalam pesantren Al-Hikmah.
Dalam proses pembelajaran yang berlangsung dalam pesantren Al-
Hikmah dan juga tiga pesantren sebelumnya (pesantren Lirboyo,
Darussalam Sumbersari dan Al-Ishlah Bandar) diadakan diskusi rutin
mingguan maupun bulanan dalam kegiatan bah}th al-Masa>’il. Namun
demikian, dalam penggalian hukum yang diadakan melalui musyawarah,
santri hanya diperkenankan menggunakan kitab-kitab kuning sebagai
56 Ibid.
160
referensi atas permasalahan kekinian yang terjadi tanpa boleh
menggunakan nalar kritis subjektif, lebih-lebih menggunakan kaedah atau
dasar-dasar filsafat. Dengan demikian dipastikan telah terjadi usaha
penyesuaian hukum hasil ijtihad ulama’ klasik dengan problem kekinian,
di mana jarak antara penggalian hukum serta penetapannya saat itu sangat
jauh dari sekarang.
Dari penjelasan di atas dapat dibayangkan, bahwa penafsiran
ulama’ zaman dulu yang berjarak ribuan tahun dari sekarang, dengan
kondisi kultur serta budaya yang berbeda, dengan kondisi zaman yang
berbeda pula, harus disesuaikan dengan problem-problem kekinian.
Penggalian hukum dengan menggunakan mara>ji’ (referensi) kitab kuning
klasik justru akan menjerumuskan pada stagnasi keilmuan pesantren itu
sendiri, begitu juga validasi hukum yang ditetapkan juga terbuka lebar
untuk dipertanyakan lagi.
Kajian filologis yang dilakukan oleh pesantren Al-Hikmah begitu
juga umumnya pondok pesantren salaf lainnya dalam bah}th al-masa>’il
masih serba kurang lengkap, karena hanya menyentuh aspek-aspek yang
dangkal dan diarahkan pada usaha pemahaman harfiah atas teks kitab
kuning, tanpa mengaitkannya dengan konteks sosial saat khazanah itu
dilahirkan. Untuk itu, tidak terlalu asing bila khazanah ilmu-ilmu
161
keislaman yang mereka tangkap dengan kerangka tersebut menelorkan
pemahaman parsial yang reduksionistik.57
Kesenjangan interpretatif antara teks dan konteks akhirnya
mengundang timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang keras dan
rigid,58 bahkan akan memungkinkan terjadinya intellectual suicide atau
taqdi>s al-afka>r ad-di>ni>yyah . Dalam penafsiran demikian, biasanya
perkembangan sosial diakomodasikan dengan cara-cara artifisial dan
bahkan kadang terkesan apologetik. Penanganan atas masalah baru biasa
dilakukan lewat penyelesaian formalistik-dangkal tanpa meninjau lebih
dalam sampai pada akar kontekstual dari masalah tersebut. Pemisahan
antara teks dan konteks itu lalu berlanjut dengan munculnya anggapan
bahwa teks adalah entitas mandiri yang mengandung kecukupan dalam
dirinya (self sufficient). Padahal, sebuah teks pada hakikatnya sarat dengan
muatan spasiotemporal yang jarang dipertimbangkan.
Dengan demikian, teks diasumsikan sebagai produk dalam ruang
kosong. Artinya, kitab kuning sebagai wujud dari tradisi keilmuan Islam
klasik dan pesantren pada umumnya dianggap sebagai “produk jadi”,
“produk instan”, atau “produk siap pakai”, sehingga generasi yang datang
belakangan meskipun wilayah pengalaman keberagamaan mereka jauh
57 Saefuddin Zuhri,”Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan,” dalam Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid, et.al (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 204. 58 Lebih-lebih, adanya inklinasi personal dari sang kiai dalam memberikan interpretasi dan stressing terhadap suatu masalah, sehingga menjadi wajar, bilamana santri memahami Islam dengan prespektif halal-haram, atau sahbatal. Lihat Maksun, “Tradisi Studi Fiqh di Pesantren” dalam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru FiqhIndonesia, ed. Anang Haris Himawan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000). 169.
162
lebih kompleks dari pada generasi sebelumnya tidak merasa perlu untuk
meninjau kembali rumusan-rumusan yang telah ada sebelumnya. Bentuk
piramida pemikiran Islam dalam pesantren yang meliputi kalam, fiqh dan
tasawuf adalah bentuk bangunan yang “paten” dan tidak dapat dirubah dan
didiskusikan (ghai>r qabi>l li al-taghyi>r wa al-niqa>sh).59
Penciptaan konstruksi sejarah patriarkhis dalam lingkup pesantren
sebenarnya merupakan gagasan-gagasan yang berakar dari pemahaman
individu atas sebuah realitas kemanusiaan yang turun temurun, hal tersebut
sangat bertentangan dengan gagasan kemanusiaan dan misi agama.
Pembatasan, pemarjinalan dan pendeskriditan perempuan telah
mengabaikan syari’at Islam yang senantiasa mengumandangkan
kesetaraan, keadilan dan kepedulian terhadap sesama manusia tanpa
memandang jenis kelamin, warna kulit, suku ataupun bangsa.
59 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 31.