Agama Asli

Embed Size (px)

Citation preview

AGAMA ASLINUSANTARA

14 Januari 2011 Elang Nusantara Tinggalkan Komentar Go to comments

Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam dan Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama resmi (agama yang diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, sepertiSunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten;Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agamaCigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agamaBuhun di Jawa Barat;Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;agama Parmalim, agama asli Batak; agamaKaharingan di Kalimantan;kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara;Tolottang di Sulawesi Selatan;Wetu Telu di Lombok;Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll.

Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut di degradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.

Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan diKTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil ,dsb. Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada didaerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman Irian Jaya.

Di Indonesia, aliran kepercayaan yang paling banyak penganutnya adalah Agama Buhun. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Daftar Agama Asli Nusantara (kepercayaan)

Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)Buhun (Jawa Barat)Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)Parmalim (Sumatera Utara)Kaharingan (Kalimantan)Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)Tolottang (Sulawesi Selatan)Wetu telu (Lombok)Naurus (pulau Seram, Maluku)Aliran Mulajadi NabolonMarapu (Sumba)PurwaduksinaBudi LuhurPahkampetanBolimBasoraSamawiSirnagalih

1. Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda: Sunda permulaan, Sunda sejati, atau Sunda asli) adalah agama atau kepercayaan asli masyarakat Sundayang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Bantendan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sundasebelum datangnya ajaran Hindu.

Berdasarkan keterangankokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hinduatau Buddha, melainkan penganut ajaran leluhur, yaitu kepercayaan asli nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran IslamDalam Carita Parahyangankepercayaan ini disebut sebagai ajaran Jatisunda.

Mitologi dan sistem kepercayaan

Kekuasaan tertinggi berada padaSang HyangKersa (Yang Mahakuasa) atauNu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagaiBatara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa),Batara Jagat (Penguasa Alam), danBatara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam diBuana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:

Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas

Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah

Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernamaBumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyanganatau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asridan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertiannurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Filosofi

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:

Welas asih: cinta kasihUndak usuk: tatanan dalam kekeluargaanTata krama: tatanan perilakuBudi bahasa dan budayaWiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.

Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:

RupaAdatBahasaAksaraBudaya

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.

Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lainYang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu(dalam bahasa orang Kanekes disebut Buyut) paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Tradisi

Dalam ajaran Sunda Wiwitan terdapat tradisi nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.

2. Agama Djawa Sunda

Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadiADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagaiCara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang),agama Sunda Wiwitan,ajaran Madrais atauagama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dariagama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sundayang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduydi Kabupaten Lebak, para pemeluk Agama Kuring di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.

Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemelukagama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madraisdari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920untuk melanjutkan ajarannya.

Madrais yang biasa juga dipanggilKiai Madrais adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belandamenyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagaiPangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islamdan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantrensebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.

Ajaran dan ritual dalam ADS

Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taunyang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma.

Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhankepada manusia. Upacara Seren Taun yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara Seren Taun pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.

Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri(Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi.

Selain itu karena non muslim Agama Djawa Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.

Masa depan ADS

Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, hingga akhirnyabanyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.

Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 juli 1981mendirikanPaguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).

Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Pangeran Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.

3. Kejawen

Kata Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan kejawen bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama asli Nusantara. Seorang ahli anthropologi Amerika Serikat, Clifford Geertzpernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut Agami Jawi.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikapserta filosofii orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlahlaku. Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep keseimbangan. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianismeatau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.

Simbol-simbol laku biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak memahami yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretismeini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Beberapa aliran kejawen

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktekkan ajaran agama (lain) tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar

Padepokan CakrakembangSumarahBudi DharmaManeges

Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar.

4. Parmalim

Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dibilang agama yang terutama dianut di Propinsi Sumatra Utara. Agama Parmalim adalah agama asli suku Batak.

Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja marnangkok Naipospos.

Agama ini bisa dikatakan merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air Indonesia sejak dahulu kala. Tuhan Debata Mulajadi Nabolon adalah pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh Umat Ugamo Malim (Parmalim).

5. Kaharingan

Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah kepercayaan/agama lokalsuku Dayakdi KalimantanIstilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilahdanum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa(Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Karena Pemerintah Indonesiamewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agamayang diakui Pemerintah,kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tolottang (Hindu Tolottang)pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindusejak 20 April 1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebutRanying.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampityang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau BALAI KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia.

Tetapi di Malaysia Timur( Sarawak dan Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah majelis Besar Agama Hindu Kaharingan(MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah

6. Wetu Telu

Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombokdalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Sejarah

Konon, sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinemismekemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawayakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah Bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadatbagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.

Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan Waktu Telu sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme, dinamisme dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan Waktu Lima karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.

Lokasi

Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjidyang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa. Namanya Kemaliq yang artinya tabu, suci dan sakral.terletak di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat, yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama Upacara Pujawali Dan Perang Topat sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.

7. Marapu

Marapu adalah sebuah agama lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan peninggalan nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.

Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagaiPrai Marapu.

upacara keagamaan marapu ( seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah menjadi tradisi turun temurun yang terus di jaga di Sumba.

AGAMA MARAPU

AgamaMarapu adalah agama asli yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebutMarapu , berarti yang dipertuan atau yang dimuliakan. Karena itu agama yang mereka anut disebutMarapu pula.Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaituMarapu danMarapu Ratu.Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatukabihu (keluarga luas,clan), sedangkanMarapu Ratu ialahmarapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari paramarapu lainnya, jadi merupakanmarapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Kehadiran paramarapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebutTanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan diPangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menarauma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatukabihu. Walaupun mempunyai banyakMarapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepadaMawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinanMarapu, Yang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan paraMarapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagailindi papakalangu ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah leluhur, jugapercaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin olehratu (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebutTanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkannuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia. Dalam kepercayaan agamaMarapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh inilah yang harus kembali kepadaMawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuniParai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagaiMarapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segalanuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaituhamangu (jiwa, semangat) danndiawa ataundewa (roh suci, dewa).Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkathamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak.Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua.Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebutndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni paraimarapu pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agamaMarapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebutLii Ndai atauLii Marapu yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak. Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka lakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan diantara mereka. Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Mereka menyembahMawulu Tau Majii Tau dengan perantaraan paramarapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya. Setiapkabihu mempunyaimarapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Paramarapu itu diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatukabihuterutama di rumah yang disebutuma bokulu (rumah besar, rumah pusat) atauuma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh wargakabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada paramarapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu dikatoda, tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacamlingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayukunjuru atau kayukanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah bermacam-macam sesaji, sepertipahapa (sirih pinang),kawadaku(keratan mas) danuhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk dipersembahkan kepadaUmbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu. Di dalam suatuparaingu biasanya terdapat pemujaan kepada satumarapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena itu rumah pemujaan tersebut bernamaUma Ndapataungu (rumah yang tak berorang) yang dalamluluku (bahasa puitis, berbait)disebut sebagaiUma Ndapataungu Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah permujaanUma Ndapataungu disebut jugaUma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; danUma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula.Uma Ndapataungu berbentukuma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arahtundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagiankani padua (pertengahan, pusat) dariParaingu Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan itu ialah kayundai linga atauai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahanruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahanhuaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernamaKaali Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan diUma Ndapataunguialah upacaraPamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacaraWunda lii hunggu Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali. Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segalanuku hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat,tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. (P. Soeriadiredja).MARAPU: AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR

(P. Soeriadiredja, LABANT FS UNUD, DENPASAR 2002)

Makna istilah agama sering menimbulkan banyak kontroversi yang lebih besar daripada arti penting permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut religi (Koentjaraningrat, 1974:137-142). Untuk menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan, serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi merupakan suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam pembahasan ini akan digunakan istilah agama saja untuk menyebut suatu sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan tersebut penulis tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama sebagai bagian dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi terlepas dari kekeramatan dan kesucian yang terkait padanya secara dogmatis. Hendak melihat suatu kenyataan dari sudut pandang pelaku. Secara umum, Parsudi Suparlan (dalam Robertson,1988:v-xvi) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Sebagai inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan, sistem keyakinan ini seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai tersebut yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai tersebut sukar diganti dengan nilai-nilai lain (Koentjaraningrat,1974:13,32-33).

SUMBER : WIKIPEDIA

About these ads

Share this:

DiggTwitter5Facebook389Info GueLintas BeritaRedditSurat elektronikStumbleUponGoogle

Like this:

Categories: Sejarah Kaitkata:Agama, Agama asli, Agama asli Nusantara, Agama Djawa Sunda, Agama Jawa Sunda, Agama leluhur, Agama lokal, Ajaran Leluhur, Animisme, Artikel, Berhala, Dinamisme, Kaharingan, Kebatinan, Kejawen, Madrais, Marapu, Parmalim, Peninggalan leluhur, Penyembah berhala, Ritual, Samadhi, Sunda Wiwitan, Wetu Telu

Komentar (34) Lacak Balik (0) Tinggalkan Komentar Lacak balik

Red

14 Januari 2011 pada 12:49 pm | #1

Balas | Kutipan

artikelnya mantap kang! saya selalu berpendapat jika agama2 besar dari luar itu kayak MNC (Multi National Corporation) s[pt KFC atau McD dan agama2 asli / lokal itu spt warteg. MnC bisa menyebar secara homogen di setiap negara sedangkan warteg di tiap daerah kan beda2 ragam dan rasanya.

btw itu floating images di bawah kok mengganggu yah? terlalu gede kang

Elang Nusantara

14 Januari 2011 pada 6:58 pm | #2

Balas | Kutipan

Tks sobat atas kunjungan serta commentnya Hehehe , perumpamaan yang menarik sobat Floating images mengganggu, yah ?! Ok, tks byk atas masukannya, klo begitu nnt biar tak ilangin saja lah Sekali lg tks byk, ya

Ki Darmawiyata

30 November 2011 pada 7:56 pm | #3

Balas | Kutipan

Bagi saya barang import bila baru datang dalam negeri untuk pertama kalinya, harus ada promosi, Biasanya pake bumbu apus-apus yang bukan kasunyatan. Setelah laku, maka kemasannya yang diperbaharui. Lha wong barang nya ya itu-itu saja, semenjak product lounching dari negri asalnya. Nah yang domestic, tidak butuh promosi, karenanya tidak perlu ngapusi. Tapi sejak zaman ja-majuja, silahkan setiap konsumen boleh incip-incip. Enak ya silahkan konsumsi terus, bahkan menjadi distributor resmi, mulai dari rohaniwan/wati di pelosok hingga sang penguasa. tapi bila ngga doyan barang import mbok yao jangan di jagal suruh menelan/nguntal. inilah pelanggaran HAM. Berat lho konsekwensinya!

iik

17 Januari 2011 pada 5:57 pm | #4

Balas | Kutipan

belajar agama asli leluhur nusantar

menurut uraian di atas, agama asli nusantara adalah ajaran agama turun-temurun dari nenek moyang, saya mau tanya, bagaimana nenek moyang nusantara ini berfikir bahwa tuhan2 itu adalah batu, atau benda2 lain? bagaimana cara nenek moyang menemukan teori keagamaan seperti itu?

Elang Nusantara

18 Januari 2011 pada 1:34 am | #5

Balas | Kutipan

Tks atas komentarnya, sdr Iik Dalam kaitan ajaran leluhur, yang saya pahami adalah Kejawen, oleh karenanya saya akan menjawab pertanyaan anda dari sudut Kejawen.Dalam ajaran Kejawen, tidak ada anggapan atau ajaran bahwa Tuhan itu adalah batu. Tuhan adalah suatu kekuatan yang Maha segalanya di luar pemikiran manusia dan tidak terjangkau alam pemikiran manusia. Mungkin anda perlu mempertegas pertanyaan anda atau memberikan contoh-contoh tentang anggapan anda bahwa ajaran leluhur menganggap Tuhan adalah batu itu, sehingga sayapun bisa menjelaskan secara lebih gamblang.Sebelum dan sesudahnya, tks byk sobat, atas kunjungannya

iik

18 Januari 2011 pada 9:23 am | #6

Balas | Kutipan

ya sama2,sdr elang bilang kejawen adalah ajaran leluhur, lantas siapakah leluhur Indonesia (orang pertaman yang hidup di Indonesia), & apa agamanyabagaimana cara nenek moyang menemukan teori ketuhanan, jika dalam Islam kan jelas seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, namun bagaimana dengan nenek moyang Indonesia? dan bagaimana nenek moyang indonesia bisa menemukan cara ritual kpd tuhan (dalam Islam sudah sangat jelas ritualnya berdasarkan Al-Quraan & Hadits)

Elang Nusantara

18 Januari 2011 pada 10:08 pm | #7

Balas | Kutipan

Kejawen, adalah ajaran leluhur manusia di tanah Jawa. Untuk mempersempit pembahasan, saya akan bicara tentang leluhur saya saja sesuai yang tercantum dalam silsilah keluarga saya. Dalam silsilah, leluhur saya jika diurutkan sampai jaman Majapahit, adalah Prabu Brawijaya V, namun melalui putra dari selir, yaitu Bondan Kejawan. Dalam Ajaran Kejawen yang di ajarkan secara turun temurun oleh leluhur saya, ritual dalam berketuhanan adalah dengan cara bersamadhi (atau ada juga orang umum yang bilang ber meditasi). Tentang apa dan bagaimana itu samadhi, saya juga sudah buat artikelnya di blog ini, kalau berkenan, anda juga bisa membacanya.Orang Jawa jaman dahulu, tidak ada yang beragama seperti agama-agama yang kita kenal sekarang, namun memeluk keyakinan seperti yang saya utarakan dalam artikel di atas. Jadi, dalam ajaran Kejawen, cara sembahyang dan ritual berketuhanannya ya dengan bersamadhi itu

iik

19 Januari 2011 pada 9:19 am | #8

Balas | Kutipan

wah mas, kl sampai kerajaan majapahit berarti sudah masu hindu-budha dunk

memang agama nusantara yang ada pada zaman dahulu seperti yang mas utarakan (7 agama/keyakinan), namun yang saya tanyakanPENGHUNI NUSANTARA PERTAMA MENGANUT KEYAKINAN YANG MANA?mungkin menganut keyakinan sunda wiwitan atau mungkin yang wetu telu, jadi yang menganut yang mana mas???

ritual kejawen yang mas bilang kan bersemedi, nah yang saya tanyakan ituDarimana para leleuhur bisa menerapkan bersemedi sebagai ritual dalam keyakinannya??mungkin para leluhur mendapat ilham atau mimpi yang menyuruhnya bersemedi, atau gimana gitu

Elang Nusantara

19 Januari 2011 pada 12:43 pm | #9

Balas | Kutipan

Yang anda katakan benar, bahwa majapahit adalah MASA MASA KEJAYAAN KERAJAAN HINDU BUDDHA, namun perlu di garis bawahi, Prabu Brawijaya V bukanlah pemeluk salah satu agama tersebut. Saya mencontohkan Bondan Kajawan, prabu Brawijaya V, itu karena nama2 itu sangat dikenal oleh masyarakat umum. Kalau saya tarik lagi ke belakang, ke pribadi-pribadi yang menurunkan prabu Brawijaya V ataupun selir prabu Brawijaya V yang menurunkan Bondan Kejawan tersebut, saya yakin anda tidak akan mengenal nama-nama tersebut.

Tidak usah jauh-jauh, pada masa mataram di mana Panembahan Senopati menjadi Raja, masa itu masih termasuk MASA KEJAYAAN ISLAM, namun Panembahan Senopati sendiri bukanlah penganut ajaran islam. Lebih dekat lagi, KGPAA Mangkunegara IV adalah Raja Mangkunegaran, masa itupun masa-masa kejayaan Islam, namun KGPAA Mangkunegara IV bukanlah pemeluk agama Islam, dan masih banyak contoh lagi.

Agama yang di anut manusia Nusantara sebelum masuknya agama-agama yang di akui Indonesia saat ini, seperti yang sudah saya tulis di atas BERDASARKAN FAKTA SEJARAH YANG MASIH TETAP DI AKUI SAMPAI SAAT INI, yaitu yang hidup di pulau Jawa menganut Kejawen, yang di Sunda ada yang menganut Sunda Wiwitan, ADS dan lain sebagainya itu. Kalau anda ingin mengetahui lebih jauh, darimana para sejarawan bisa menyimpulkan hal tersebut, LEBIH TEPATNYA anda bertanya kepada para sejarawan tersebut, darimana mereka bisa menyimpulkan seperti itu. Dan jika anda mempunyai data atau fakta bahwa penghuni nusantara pertama bukanlah penganut ajaran tersebut namun justru penganut ajaran lain, JANGAN RAGU-RAGU, SAMPAIKAN SAJA KEPADA PARA SEJARAWAN tersebut, agar mereka bisa merevisi penemuan dan kesimpulannya yang menyatakan bahwa itulah agama-agama pertama manusia Nusantara

Tentang DARIMANA leluhur bisa memperoleh ritual dalam bersamadhi, itu saya tidak tahu, hanya saja, secara turun temurun leluhur mengajarkan begitulah caranya untuk sembahyang kepada Tuhan. Entah leluhur dapat ilham atau mimpi, sayapun kurang tahu. Namun yang pasti, dengan cara bersamadhi itu dalam keyakinan Kejawen, manusia bisa bertemu dengan Tuhan.Contoh-contoh yang mendukung hal tersebut adalah Prabu Jayabaya, berhasil menerawang kejadian yang belum terjadi selama kurang lebih ratusan tahun sebelumnya, Ranggawarsitapun juga demikian, dan penerawangan-penerawangan merekapun telah terbukti terjadi. Dan masih banyak lagi contoh2 pujangga Jawa yang mempunyai kemampuan tersebut. Mrk memiliki kemampuan tersebutpun karena seijin Tuhan dan mendapatkan penglihatan tersebut juga dari Tuhan, logikanya, mana mungkin mereka bisa mengetahui hal2 yang belum terjadi ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya tersebut dari kekuasaan di luar kekuasaan Tuhan, karena bukankah segala yang terjadi di jagat raya ini adalah karena seijinNya dan KehendakNya ? Apa yang akan terjadi di masa mendatang adalah rahasia Tuhan, tapi pujangga2 tsb di atas telah mampu mengungkapnya atas seijinNya. Dan yang perlu juga di catat, beliau2 dapat melakukan hal itupun juga setelah ber samadhi dan bertemu dengan Tuhan.

Demikian sobat, semoga jawaban ini bisa memuaskan keingintahuan anda Salam

iik

19 Januari 2011 pada 1:56 pm | #10

Balas | Kutipan

trims massaya jadi tau ternyata sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan siapa penghuni pertama nusantara & dia memeluk keyakinan apa?

serta jelas ternyata ritual2 keyakinan nusantarapun tak jelas asalnya darimana.

hhhmmm..masalah dengan semedi bisa mengetahui kejadian yang akan datang (bisa dibilang ramalan), saya tidak mau mengomentari banyak, namun dalam agama yang saya yakini, haram hukumnya mempercayai ramalan (karena sudah mendahului kehendak ALLAH, karena ALLAH lah yang tau segalanya)

Elang Nusantara

19 Januari 2011 pada 4:46 pm | #11

Balas | Kutipan

Hehehe silahkan mas, tks byk sudah bersedia berkunjung. Saya menghormati keyakinan anda akan hal itu Salam

Arya Dipa

15 Agustus 2011 pada 12:04 pm | #12

Balas | Kutipan

*

Yth. Mas ArisManusia pasti akan selalu di lingkupi oleh berbagai pertanyaan dalam benaknya, karena manusia diberi akal oleh kita sebut saja Sang pencipta.Pertanyaanpertanyaan mencakup pula dari mana dia berasal.

Siapakah aku?dari manakah aku?untuk apa aku hidup di dunia ini?harus bagaimana aku hidup di dunia inidan mau kemana aku setelah hidup di dunia ini?

semua pertanyaan ini senantiasa melingkupi akal budi sejak manusia ada manusia

Apalagi di tanah nusantara yang di anugrahi oleh tanah yang subur.kesempatan manusia untuk berpikir dan menemukan jati dirinya dan mencari tahu siapa penciptanya lebih banyak

beda halnya dengan manusia yang tinggal di tinggal di padang pasir yang mereka pikirkan setiap harinya hanya perut dan perut saja bahkan terkadang untuk menyelesaikan masalah yang satu ini manusia bisa lupa akan kemanusiaanya. bahkan bisa lebih kejam dari binatang terbuas sekalipun.

Dari situlah di tanah nusantara ini lahir berbagai kepercayaan tentang ketuhanan.

Mohon maaf jawabannya baru sedikit nanti saya tambahkan di lain waktu

1. Belum ada trackback.

VIDEO SMACK DOWN JUPE VS DEPE ! ILMU KEBATINANumpan RSS

* Google* Youdao* Xian Guo* Zhua Xia* My Yahoo!* newsgator* Bloglines* iNezha

TwitterWaktu saat ini

[Click to see how many people are online] My Popularity (by popuri.us)Google Translate[English] [Chinese] [Korean] [Germany] [France] [Japanese] [Arabian]RSS DetikNews

* Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Posting & Halaman Populer

* CARA MEMPEROLEH KEMBALI PASSWORD FACEBOOK YANG KENA HACK* VIDEO SMACK DOWN JUPE VS DEPE !* RAMALAN MASA DEPAN INDONESIA DAN DUNIA DI TAHUN 2011* PUASA MENURUT AJARAN JAWA KEJAWEN* CARA AGAR DAPAT MELIHAT MAKHLUK HALUS MENURUT AJARAN JAWA KEJAWEN

KategoriArsip Blog

* Februari 2011 (5)* Januari 2011 (48)* Desember 2010 (8)

Daftar Isi

* POTRET NEGERI YANG (KATANYA) BERADAB (TRAGEDI AHMADIYAH CIKEUSIK)* 5 STEPS TO AWARENESS ; 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan (Langkah Ke Dua ; Point 9-11)* Tat Tvam Asi : Itulah Kau !* 5 STEPS TO AWARENESS ; 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan (Langkah Pertama ; Point 7-8)* 5 STEPS TO AWARENESS ; 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan (Langkah Pertama ; Point 4-6)* 5 STEPS TO AWARENESS ; 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan (Langkah Pertama ; Point 1-3)* 5 STEPS TO AWARENESS ; 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan (Pendahuluan)* SEKILAS TENTANG ANAND KRISHNA ; Guru Spiritual yang dituduh melakukan tindak pelecehan seksual* INDONESIAKU SAYANG, INDONESIAKU MALANG NEGERI KAYA RAYA YANG SEMAKIN TERPURUK !* LAMBANG UFO DI SLEMAN JUGA TERJADI DI BELAHAN BUMI LAIN SEJAK TAHUN 1647* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN VIII* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN VII* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN VI* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN V* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN IV* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN III* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN II* BELAJAR WEDHATAMA ( WEJANGAN SEORANG BAPAK KEPADA PUTRINYA ) BAGIAN I* RAHASIA OTAK MANUSIA JAWA* BOT ALLAH APA GUSTI* KANJENG RATU KIDUL ; BENARKAH HANYA SEBUAH MITOS ?* CARA AGAR DAPAT MELIHAT MAKHLUK HALUS MENURUT AJARAN JAWA KEJAWEN* GADIS TUDING DIN SYAMSUDIN PROVOKATOR BERKEDOK TOKOH AGAMA* CANDRASANGKALA ; ANGKA-ANGKA YANG DISANDIKAN DALAM UNTAIAN KATA-KATA* DITEMUKAN KUBURAN MASSAL JAMAN PRA SEJARAH* PUASA MENURUT AJARAN JAWA KEJAWEN* JANGAN MEMAKSAKU TUK MEMILIH * MENJUAL GARUDA, MENJUAL ASET EKONOMI DAN SEJARAH BANGSA !* VIDEO SMACK DOWN JUPE VS DEPE !* AGAMA ASLI NUSANTARA* ILMU KEBATINAN* JAYABAYA ; Sekelumit Sejarah dan Cerita Rakyat* REFLEKSI TOLERANSI KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA PADA TAHUN 2010* BLUEBERRY PERTAJAM DAYA INGAT* Inilah 9 Kebohongan Baru Pemerintah* SHOLAT ? PERCUMA, TIDAK PRODUKTIF !* DISKOTEK DENGAN DESAIN MIRIP MASJID* DESAIN RUMAH ZAMAN MAJAPAHIT DISIAPKAN* PRANATA MANGSA DAN CANDRA NYA BERDASARKAN PERHITUNGAN KALENDER JAWA KUNO* TANGGAL 1 SURA MENURUT KALENDER JAWA KUNO* JAWA ADALAH PUSAT KEBUDAYAAN DUNIA !* KEJAWEN, ISLAM DAN AGAMA* CATATAN AKHIR TAHUN 2010, INDONESIA MAKIN TERPURUK * SBY DENGAN TKW NYA LOLOS SELEKSI TUJUH KEAJAIBAN DI DUNIA* CARA MEMPEROLEH KEMBALI PASSWORD FACEBOOK YANG KENA HACK* TIPS MENGHINDARI PENCURIAN FACEBOOK EMAIL DAN PASSWORD* HIDUP DI JALAN YANG BENAR (DALAM FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA)* ADA ANJING BERANAK AYAM DI FLORES, NTT !* Membongkar Gurita Cikeas (di balik skandal Bank Century)* SBY TERANCAM LENGSER* RAMALAN MASA DEPAN INDONESIA DAN DUNIA DI TAHUN 2011* PERMOHONAN MAAF KEPADA SELURUH TEMAN-TEMAN SAYA DI FACEBOOK* BENARKAH MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI HUKUMNYA HARAM ?* NGUDI KASAMPURNANING GESANG* SAKTI TANPA AJI-AJI* LABU KUNING DAN DELIMA, PENUMPAS KANKER PAYUDARA* TUNTUNAN SAMADHI 2* ADA FACEBOOK PALSU ! WASPADALAH, WASPADALAH !!!* TUNTUNAN SAMADHI 1* SALAM KENAL !* Hello world!

Blog Budaya

* Jawa-Suriname* Maulanusantara* Sabdalangit* Alang alang kumitir* Kariyan Santri Gundhul* Nurdayat Foundation* Padepokan Gantharwa* Anomancakti School* Islam Abangan* Kangtono* Ngurip urip Basa Jawa* Indonesia Terpopuler

Blogroll

* Terlantar Blog* Nuswantara kita* Diary Mas Elang Nusantara* Ketoprak Jawa* Puri Damar Shashangka* WordPress.com News* Betina Ganteng* Abinahasyas Blog* Blog Sastra (31 Oktober)* Rahasia Otak

Pengunjung Blogfree countersLangganan Surel

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

Komentar TerbaruSang Lembayung on TUNTUNAN SAMADHI 1AAN on HIDUP DI JALAN YANG BENAR (DALAhmad muhammad alawi on ILMU KEBATINANwahyoe on PUASA MENURUT AJARAN JAWArikosaputra on CARA AGAR DAPAT MELIHAT MAKHLUbudi on ILMU KEBATINANGalih on SEKILAS TENTANG ANAND KRISHNA Spam Blocked43 spam comments blocked byAkismetMeta

* Daftar* Masuk log* RSS Entri* RSS Komentar* WordPress.com

Tukeran LinkPuncak WordPressCopyrigh

Arya Dipa

15 Agustus 2011 pada 12:09 pm | #13

Balas | Kutipan

*

Yth. Mas ArisManusia pasti akan selalu di lingkupi oleh berbagai pertanyaan dalam benaknya, karena manusia diberi akal oleh kita sebut saja Sang pencipta.Pertanyaanpertanyaan mencakup pula dari mana dia berasal.

Siapakah aku?dari manakah aku?untuk apa aku hidup di dunia ini?harus bagaimana aku hidup di dunia inidan mau kemana aku setelah hidup di dunia ini?

semua pertanyaan ini senantiasa melingkupi akal budi manusia

Apalagi di tanah nusantara yang di anugrahi oleh tanah yang subur.kesempatan manusia untuk berpikir dan menemukan jati dirinya lebih banyak

beda halnya kalau kita tinggal di padang pasir yang kita pikirkan setiap harinya hanya perut dan perut saja bahkan terkadang untuk menyelesaikan masalah yang satu ini manusia bisa lupa akan kemanusiaanya. bahkan bisa lebih kejam dari binatang terbuas sekalipun.

Dari situlah di tanah nusantara ini lahir berbagai kepercayaan tentang ketuhanan.

Mohon maaf jawabannya baru sedikit nanti saya tambahkan di lain waktu

aris

30 April 2011 pada 4:06 pm | #14

Balas | Kutipan

mas kalau aku boleh tanya,tolong dong aku dikasih tau apa saja sih adat istiadat asli jawa?karena saya cuma taunya sungkem tiap weton pada orang tua,mertua,dan saudara2 tua tok maz.dan ritual sungkem itu udah aku lakukan lebih dari 1 tahun disaat wetonku.aku ingin tau yang laine maz.karena aku ingin kearifan lokal jawa tetap exis

Arya Dipa

14 Agustus 2011 pada 2:03 pm | #15

Balas | Kutipan

Yth. Mas ArisManusia pasti akan selalu di lingkupi oleh berbagai pertanyaan dalam benaknya, karena manusia diberi akal oleh kita sebut saja Sang pencipta.Pertanyaanpertanyaan mencakup pula dari mana dia berasal.

Siapakah aku?dari manakah aku?untuk apa aku hidup di dunia ini?harus bagaimana aku hidup di dunia inidan mau kemana aku setelah hidup di dunia ini?

semua pertanyaan ini senantiasa melingkupi akal budi manusia

Apalagi di tanah nusantara yang di anugrahi oleh tanah yang subur.kesempatan manusia untuk berpikir dan menemukan jati dirinya lebih banyak

beda halnya kalau kita tinggal di padang pasir yang kita pikirkan setiap harinya hanya perut dan perut saja bahkan terkadang untuk menyelesaikan masalah yang satu ini manusia bisa lupa akan kemanusiaanya. bahkan bisa lebih kejam dari binatang terbuas sekalipun.

Dari situlah di tanah nusantara ini lahir berbagai kepercayaan tentang ketuhanan.

Mohon maaf jawabannya baru sedikit nanti saya tambahkan di lain waktu

Anwar Cibubur

3 Agustus 2011 pada 11:19 pm | #16

Balas | Kutipan

Artikelnya bagus Mas,Saya percaya kepercayaan terhadap Tuhan YME, yang mengajarkan kebajikan dan tuntunan hidup memang berasal dari Tuhan, dengan kemasan dan tingkatan yang sesuai dengan nalar masyarakat pd masa itu.Di dalam agama yg saya anut (Islam) diyakini bahwa Allah telah memberikan ajarannya kepada setiap bangsa manusia melalui nabi dari bangsa itu sendiri (diyakini ada ~124.000 nabi)

Tasya Kania

14 Agustus 2011 pada 7:21 am | #17

Balas | Kutipan

Keren. saya sekarang penganut salah satu agama Nusantara, dan saya tinggalin agama import dari dari timur tengah, saya pikir lebih cocok dengan saya dengan pemikiran sederhananya dan kearifan lokalnya. TOLONG JANGAN ada yang MENGGANGGU saya, dengan pilihan saya teriam kasih.

nyoman sanjaya

19 Oktober 2011 pada 4:57 pm | #18

Balas | Kutipan

Om suwastiastu, namo budhaya,semoga semua mahluk hidup berbahagia,saya orang bali asli.dan saya sangat setuju dengan pendpt tasya kania.saya penganut ciwa budha saat ini, krn di KTP hrs di cantumkan nama agama,sy isi hindu. Tp itu bukan masalah buat saya,mlh sy lbh setuju nama agama di KTP di hilangkan, krn ini udh mlanggar hak asasi atau terbawa politik.hindu bali ada bedanya dgn hindu di dunia,.krn kami lbh mengdepankan nilai luhur budaya bali.yaitu slslu bertrimakasi sama alam dan isi nya,sling jaga,menghormati dgn berbagai cara sesuai dgn daerah masing2.artinya tuhan satu,tp tidak bs di gambarkan, melestarikan ciptaanya dgn kenyataan, lebih berbudaya dr pada menggrmbor2kan namaNYA, tuhan mh tahu, adil, bijaksana, dn lainnya,melakukan ritual untuk ciptaanya lbh arif dr pada bnyk ceramahnya, jgn laut di garam mi, jgn bebek di ajari berenang,krn pikiran kita jauh dangkal dan picik.knp hindu atau budha kami ambil, krn hampir sesuai dgn ajarannya, yg ngk memaksa.NB apa membantu kehidupan anda, itulah tuhan mu, kenyataan. Ngk usah ngomongin negara jauh yg hancur2an, fakta mreka ngk menghormati alam dan isinya,OM shant3 OM

Elang Nusantara

20 Oktober 2011 pada 7:47 pm | #19

Balas | Kutipan

Om Swastiastu, Namo Buddhaya_/|\_

Sepakat bli Nyoman Sanjaya,

Om Shanti 3x Om,Saddhu 3x_/|\_

tu dika

10 Juni 2012 pada 2:25 pm | #20

Balas | Kutipan

pedas manis bli.. salam sejahtra____ Svaha

Kresna Ksuma Hamijaya

7 September 2011 pada 12:20 am | #21

Balas | Kutipan

pendapat saya, kalau kita tinggal di tanah jawa ya ojo ilang jawane, dan dimanapun kita tinggal sebaiknya kita harus kuat dengan kearifan lokal. (saya setuju dengan sdr, Tasya Karnia). bahasa sederhananya ajaran /agama yang tepat untuk kita bukan agama impor. tapi ajaran /agama yang telah diturunkan oleh leluhur kita. karena merekalah yng lebih tau tentang kondisi alam, lingkungan, budaya dll yang ada disekitar kita. mohon maaf kalau pendapat saya salah, mohon dibenarkan, terima kasih

Eric

29 September 2011 pada 8:47 am | #22

Balas | Kutipan

ijin share link-nya di page FB

Elang Nusantara

29 September 2011 pada 8:43 pm | #23

Balas | Kutipan

Silahkan mas Eric

Abed Saragih

23 Oktober 2011 pada 7:05 pm | #24

Balas | Kutipan

kunjungan dan komentar balik ya gan

salam perkenalan dari

http://diketik.wordpress.com

sekalian tukaran link ya

semoga semuanya sahabat blogger semakin eksis dan berjaya.

Elang Nusantara

24 Oktober 2011 pada 7:24 pm | #25

Balas | Kutipan

Siippp,,,,Tks byk atas kunjungannya Gan

Abed Saragih

24 Oktober 2011 pada 11:27 pm | #26

Balas | Kutipan

Thks gan udah pasang link saya

link agan udah sya pasang juga disidebar saya

komentar baliknya ditunggu gan

Elang Nusantara

25 Oktober 2011 pada 6:44 pm | #27

Balas | Kutipan

Okeyyy,,, tks,,,Langsung meluncurrrr ,,,, CLING !

Anda

8 November 2011 pada 6:19 pm | #28

Balas | Kutipan

Informatif mas, bisa tolong lebih banyak dishare keyakinan-keyakinan lokal/agama nusantara biar lebih terbuka tks

Elang Nusantara

8 November 2011 pada 8:35 pm | #29

Balas | Kutipan

Tks banyak mas, atas sarannya,,,saya usahakan .

divanie

11 November 2011 pada 6:01 am | #30

Balas | Kutipan

Selamat pagi Pak Lurah,

Pak mohon bantuannya, apakah saya bisa mendapat informasi tentang 245 aliran kepercayaan yang terdaftar itu?

Saya ini orang Indonesia asli yang ingin sekali mengenal leluhur kita di Nusantara ini.

Selain itu apakah pak Lurah punya informasi tentang apa yang dimaksud dengan Mandala?

Terimakasih.

Kanjeng Mas

12 Januari 2012 pada 9:25 pm | #31

Balas | Kutipan

inspiratif sekali GAN,,,,Mantaaap

liban kicir

23 Januari 2012 pada 10:22 pm | #32

Balas | Kutipan

Aliran Kepercayaan kalau ditelilti lebih jauh pasti akan ketemu sumbernya dari mana. ada akibat pasti ada sebabnya.Contoh : ajaran Kejawen tak lihat sepintas ya mirip dengan ajaran Hindu. Kayaknya itu bersumber daari Hindu. Karena Hindu sangat- sangat fleksibel sesuai dengan desa, kala, patra maka disesuaikan dengan kondisi jawa.. Semua ajaran kejawen ada pada ajaran Weda.

abinahasya

24 Januari 2012 pada 6:38 pm | #33

Balas | Kutipan

salam kenal mas, kalo ga salah ajaran wetu telu itu bukan ajaran lokal nusantara, tapi itu adalah ajaran Islam, tapi belum sempurna, sebab mereka hanya melakukan sholat 3 kali dalam sehari. Menurut penelitian sejarah yg pernah sy baca, kemungkinan itu adalah ketidaksempurnaan dalam penyebarannya, jd baru sebagian dalam penyampaiannya, itu seingat saya. terima kasih

cuki

21 Juni 2012 pada 9:30 pm | #34

Balas | Kutipan

stuju mas .mantaf ulasan nya.Tuhan itu abadi, tidak dapat menggambarkan perwujudan-Nya, merupakan sebab yang pertama dan merupakan tujuan terakhir dari segala ciptaan yang ada .

http://elangnusantara.wordpress.com/2011/01/14/agama-asli-nusantara/" http://elangnusantara.wordpress.com/2011/01/14/agama-asli-nusantara/

Swara Kafir

Top of Form

Type here

Bottom of Form

BerandaAbout

Jawa Barat : penghancuran agama Sunda Wiwitan olehIslam

Posted by Pencerah Iman on April 5, 2013 12 Komentar

Rate This

Ilustrasi

Aliran Perjalanan, Spiritualitas Kebangsaan dari Tatar Sunda25 September 2011 | 10:44 WIB

Begitu banyak sumber daya kultural dinegeri ini yang secara esensial mengandung spirit kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai faktor seolah menjadi hilang ditelan pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperialisme dan kolonialisme selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu ajaran yang berbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian, meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.

Aliran Perjalanan muncul pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata. Beliau mengagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontemplasinya yang mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya, Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.

Nama Perjalanan yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang mengandung makna filosofis. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap perjalanan air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat bagi kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inilah yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa kita sebagai manusia haruslah memberikan manfaat bagi alam sekitar kita selama perjalanan manusia mengaliri dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata ini, seperti agama Buhun, Agama Pancasila serta Agama Kuring. Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.

Lalu siapakah sebenarnya Mei Kartawinata?

Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini lahir di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika itu menimbulkan keprihatinan yang mendalam dalam diri Mei Kartawinata. Keprihatinan itulah yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi mencapai kemerdekaan.

Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata, dimasa pergerakan nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung karno mengenai berbagai hal menyangkut politik dan ideologi, termasuk mengenai ideologi Indonesia bila merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal tahun 1950-an. Pada Pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.

Selain berkecimpung dalam pergerakan politik, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, Kartawinata menulis beberapa buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini seringkali dianggap sebagai kitab suci bagi pengikut aliran Perjalanan oleh banyak pihak, meskipun para penganut ajaran Kartawinata sendiri tidak menganggapnya demikian.

Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa diartikan sebagai daya kaula, sila Kemanusiaan bermakna badan kaula, sila Kebangsaan maknanya bakat kaula, sila Kedaulatan Rakyat berarti darah kaula, serta sila Keadilan Sosial memiliki makna kacukupan kaula. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energi bagi rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).

Menurut ajaran Kartawinata, kekuatan untuk mencapai kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah kesatu paduan seluruh insan masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung Karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran Kartawinata.

Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang tidak individualis. Kartawinata juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika setiap insan menjadi penggerak sistem/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan kreatif bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia secara jasmaniah.

Karakter sosialis dalam ajaran Kartawinata juga terlihat dalam Dasa Wasita atau sepuluh wangsit yang menjadi sumber ajaran ini. Pada wangsit kesepuluh ditegaskan bahwa seorang insan harus bergerak untuk kepentingan bersama, dengan cara membantu mereka yang kesulitan agar berkurang penderitaannya. Hal ini perlu dilakukan agar kelak tercapai masyarakat humanis yang merdeka dan gandrung kebenaran.

Di masa kini, komunitas pengikut aliran Perjalanan yang berbasis di daerah Ciparay, Bandung masih tetap teguh menganut ajaran Mei Kartawinata. Meskipun berbagai hambatan berupa diskriminasi dari aparatur negara dan stigmatisasi dari kalangan fundamentalis agama kerap mereka terima.

Sejatinya, aliran Perjalanan yang berlandaskan spriritualitas kebangsaan dapat menjadi energi kultural bagi peradaban bangsa yang kini tengah terancam penjajahan gaya baru. Mengingat realitas kekinian, ketika para pemegang kendali pemerintahan di republik ini justru abai dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, hingga berakibat pada terjerumusnya bangsa ini menjadi bangsa kuli dalam pusaran arus globalisasi.

*) Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan alumnus Antropologi Universitas Padjajaran (Unpad)

http://m.berdikarionline.com/sisi-lain/ sunda.html

Faithfreedom IndonesiaFaithfreedom forum staticFaithfreedompedia

Opsi

Mengungkap Misteri 1.168 menyukai ini

1 Januari pukul 18:42

SUNDA WIWITANPajajaran, sebuah kerajaan yang pernah eksis di tatar Sunda, dikenal oleh khalayak sebagai kerajaan Hindu. Bila merujuk pada buku-buku pelajaran Sejarah yang digunakan di sekolah maupun instansi pendidikan umumnya, maka Pajajaran akan diletakkan dalam kategori kerajaan Hindu-Budha yang pernah berjaya di bumi nusantara. Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa sejarah resmi yang diyakini oleh mainstream masyarakat tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan hingga kini.Sebagian masyarakat Sunda yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama asli Sunda) justru meyakini bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Sunda Pajajaran maupun Galuh (kerajaan yang ada sebelum Pajajaran muncul) adalah agama Sunda Wiwitan, bukan agama Hindu. Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda pun berpendapat sama, yakni ada kesalahan interpretasi sejarah dengan menyebut Pajajaran sebagai kerajaan Hindu. Pendapat yang tentunya disertai argumentasi rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.Pajajaran dan Agama SundaSumber-sumber sejarah yang penulis ketahui memang menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Sunda pra maupun pasca Pajajaran terbentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan, misalnya, mendeskripsikan adanya kaum pendeta Sunda yang menganut agama asli Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Mereka juga disebut mempunyai semacam tempat suci yang bernama kabuyutan parahyangan, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama Hindu.Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah sewabakti ring batara upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.[2] Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episode Curug Si Pada Weruh. Dalam pantun tersebut diberitakan begini:Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..Artinya : Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.Yang dimaksud dengan urang Hindi dalam pantun tersebut adalah orang Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo). Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut. Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.Konon, kota yang kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan ini terletak di daerah Pandeglang, Banten. Kerajaan Salakanagara yang pusat pemerintahannya terletak di Rajatapura telah ada sejak abad 2 Masehi. Aki Tirem merupakan penguasa pertama daerah ini. Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Dewawarman, imigran sekaligus pedagang dari India yang kemudian menjadi menantu Aki Tirem.[3] Dewawarman inilah yang dimaksud sebagai urang Hindi oleh Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan Dewawarman dan rombongannya ke Salakanagara, penduduk Rajatapura telah memiliki agama sendiri, yakni agama Sunda. Dewawarman sendiri bertahta di Salakanagara dari tahun 130-168 M. Sedangkan dinastinya tetap berkuasa hingga akhirnya pusat kekuasaan dipindahkan ke Tarumanagara pada tahun 362 M oleh Jayasingawarman, keturunan ke-10 Dewawarman.[4]Masih menurut naskah Pustaka Wangsakerta, agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa di tatar Sunda pada periode 1175-1297 M.[5] Menarik untuk disimak, bahwa agama Sunda yang telah berumur sekitar 1000 tahun atau 1 Milenium, baru mempunyai kitab suci tertulis pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Wisnu. Penulis berasumsi, mungkin selama era sebelum Prabu Sanghyang Wisnu berkuasa, kehidupan beragama di tanah Sunda belum mendapat perhatian yang serius dari penguasa kerajaan. Setelah masa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah agama Sunda menjadi agama resmi kerajaan.Beberapa bukti sejarah itu menunjukkan keberadaan agama Sunda asli atau Sunda Wiwitan sebagai sebuah agama yang dianut oleh masyarakat maupun penguasa Sunda kuno adalah fakta tak terbantahkan. Lalu bagaimanakah kedudukan agama Hindu di era Sunda kuno atau Sunda Pajajaran? Bukankah cikal bakal kerajaan Sunda kuno berasal dari orang-orang India yang notabene beragama Hindu? Bagaimana pula perbedaan mendasar antara agama Hindu dan agama Sunda Wiwitan?Perbedaan Hindu dan Sunda WiwitanKonsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme atau percaya akan adanya satu Tuhan yang dikenal sebagai Sanghyang Keresa atau biasa juga disebut Batara Tunggal. Dalam menjalankan tugasnya mengatur semesta alam, Sanghyang Keresa dibantu oleh para Sang Hyang lainnya seperti Sanghyang Guru Bumi, Sanghyang Kala, Sanghyang Ambu Jati, Sunan Ambu, dan lainnya.Agama Sunda Wiwitan juga mengenal klasifikasi semesta alam menjadi tiga bagian, yakni Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa), Buana Panca Tengah (tempat hidup manusia dan mahluk hidupnya) dan Buana Larang (neraka). Selain itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan juga dikenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan mandala di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala yang harus dilalui manusia tersebut adalah (secara vertikal): Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar dan Mandala Agung.Bila kita merujuk pada ajaran Hindu, akan ditemukan perbedaan mendasar dengan ajaran agama Sunda terutama menyangkut konsep teologis. Hindu merupakan agama yang memiliki karakteristik Politeisme atau meyakini adanya lebih dari satu Tuhan atau Dewa. Dalam agama Hindu dikenal banyak dewa, diantaranya tiga dewa yang paling utama (Trimurti) yakni dewa Wisnu (pelindung), Brahma (pencipta) dan Siwa (perusak). Tidak dikenal istilah Sanghyang Keresa dalam ajaran Hindu.Perbedaan lainnya adalah mengenai sarana peribadatan dari kedua agama. Pada era Sunda Pajajaran, agama Sunda Wiwitan mengenal beberapa tempat suci yang juga dijadikan sarana peribadatan seperti Balay Pamunjungan, Babalayan Pamujan serta Saung Sajen. Hampir semua tempat ibadah tersebut berbentuk punden berundak yang terdiri dari kumpulan batu-batu besar dan arca.[6] Sementara pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sarana peribadatan yang banyak didirikan justru candi yang hingga kini masih dapat kita temui peninggalannya. Bahkan candi juga terkait dengan simbol kekuasaan penguasa tertentu.Your ads will be inserted here byAdSense Now!.Please go to the plugin admin page to paste your ad code.Sedangkan budaya keberagamaan masyarakat Sunda yang menganut Sunda Wiwitan pada masa Sunda kuno sungguh berbeda. Mereka tidak mendirikan candi untuk beribadah, melainkan memusatkan kegiatan keagamaannya pada beberapa punden berundak yang dikenal sebagai kabuyutan. Di punden berundak inilah ritual atau prosesi keagamaan khas Sunda Wiwitan dilakukan oleh masyarakat Sunda. Beberapa peninggalan tempat ibadah era Pajajaran yang masih dapat kita temukan kini adalah kabuyutan Sindang Barang (kini menjadi kampung budaya Sindang Barang, Bogor) dan Mandala Parakan Jati di kaki Gunung Salak.Hal inilah yang juga dapat menjawab pertanyaan sebagian orang mengenai kelangkaan candi di tatar Sunda. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat penganut Sunda Wiwitan memang tidak membutuhkan candi sebagai sarana peribadatan, melainkan kabuyutan yang masih kental tradisi megalitiknya. Jadi sedikitnya candi di tanah Sunda bukan karena kemiskinan peradaban Sunda di masa lampau, melainkan kondisi sosio-religiusnya yang berbeda dengan masyarakat Jawa-Hindu.Bukti lainnya yang juga menunjukkan kelemahan klaim sejarah yang berhubungan dengan ke-Hindu-an kerajaan Sunda Pajajaran adalah tidak ditemukannya stratifikasi sosial khas masyarakat Hindu atau kasta pada masyarakat Sunda Kuno. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian serta sumber-sumber sejarah lainnya tidak menunjukkan adanya strata sosial yang didalamnya terdapat kasta Waisya, brahmana atau Sudra sebagaimana masyarakat Hindu di Jawa dan Bali. Disamping itu, tidak ditemukan pula konsep raja adalah titisan Tuhan atau Dewa (God-King) pada sistem pemerintahan Sunda Pajajaran atau Galuh sebagaimana dijumpai dalam sistem kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur.Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unsur kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak). Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan perilaku, itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang menjurus pada sinkretisme.Sunda Wiwitan di Masa KiniSudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten. Selain itu, penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi. Masing-masing komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh negara.[7] Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini. Jangan-jangan, penulisan buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang orientasinya ingin menghapukan jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah? WallahualamHISKI DARMAYANA, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni Antropologi FISIP Universitas Padjajaran.[1] Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul, kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang berdiri sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun 669 M.[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.[5] Dalam beberapa cerita Pantun, beliau dijuluki Prabu Resi Wisnu Brata. Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.[6] Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.[7] Melalui UU No.1/1965 beserta aturan turunannya, Negara hanya mengakui 6 agama yang berhak hidup di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu ,Budha dan KongHuChu.http://m.berdikarionline.com/suluh/20120506/benarkah-sunda-pajajaran-adalah-kerajaan-hindu.htmlAgama Sunda WiwitanOleh Rofi Uddarojat*Menurut Dewi, intoleransi terhadap kelompok kepercayaan sebenarnya sudah terjadi sejak penjajahan Belanda. Pada saat itu pemerintah kolonial sengaja untuk mengadu domba institusi agama seperti pesantren dengan aliran kepercayaan. Untuk membatasi eksistensi aliran kepercayaan, pemerintah kolonial membuat stigma bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok sesat. Kepada kelompok muslim, pemerintah kolonial mengatakan bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok murtad. Sehingga resistensi terhadap kelompok kepercayaan pun semakin besar.Agama Sunda Wiwitan adalah agama asli Indonesia. Namun sayangnya, kepercayaan minoritas ini masih mendapat diskriminasi dengan tidak diakui sebagai aliran kepercayaan resmi Indonesia. Sampai saat ini penganut aliran Sunda Wiwitan sulit mendapat identitas diri karena belum diakui oleh pemerintah. Untuk membahasnya lebih jauh, Radio KBR68H bersama Tempo, melalui Program Agama dan Masyarakat pada tanggal 19 Oktober 2011 mengangkat sebuah diskusi bertema Agama Sunda Wiwitan bersama seorang penganut Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setyaningsih dan aktivis Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Syarifudin.Menurut Dewi, makna wiwitan dalam Sunda Wiwitan adalah permulaan atau awal. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain sistem keyakinan tradisi Sunda Lama sebelum datangnya agama-agama lain ke nusantara. Kata Sunda sendiri bukan hanya bermakna etnis Sunda, tetapi bermakna filosofis yang artinya damai dan cahaya. Dewi sendiri menghayati ajaran Sunda Wiwitan sebagai penghayatan terhadap anugerah kodrati sang pencipta. Kesadaran itulah yang melandasi kepercayaan terhadap ajaran Sunda Wiwitan. Sebelum agama-agama lain datang ke Nusantara, penganut Sunda Wiwitan sudah terlebih dulu menjalankan tradisi ageman atau pedoman hidup dari leluhurnya. Dalam ajarana Sunda Wiwitan juga terdapat pikukuh tilu yakni pedoman kemanusiaan dan kebangsaan. Saat ini penganut Sunda Wiwitan terdapat di beberapa tempat, diantaranya Karakas dan Cigugur Kuningan. Dewi juga membantah bahwa Sunda Wiwitan dianggap sebagai aliran animisme, karena menurutnya Sunda Wiwitan adalah keyakinan yang meyakini tentang sang pencipta, termasuk lingkungan dan alam sekitarnya. Ketika penganut Sunda Wiwitan terlihat menyembah pohon atau bangunan lainnya, itu hanya dianggap sebagai sarana penyembahan kepada yang maha pencipta. Jadi yang diambil adalah spirit dan nilai-nilainya, bukan materinya.Selain itu menurut Dewi, intoleransi terhadap kelompok kepercayaan sebenarnya sudah terjadi sejak penjajahan Belanda. Pada saat itu pemerintah kolonial sengaja untuk mengadu domba institusi agama seperti pesantren dengan aliran kepercayaan. Untuk membatasi eksistensi aliran kepercayaan, pemerintah kolonial membuat stigma bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok sesat. Kepada kelompok muslim, pemerintah kolonial mengatakan bahwa aliran kepercayaan adalah kelompok murtad. Sehingga resistensi terhadap kelompok kepercayaan pun semakin besar.Sedangkan menurut Nia, konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Namun dia sangat menyayangkan masih banyak terjadi diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan. Klo pun tidak ada pemaksaan terhadap enam agama yang diakui, pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) akan menimbulkan stigma bahwa penganut Sunda Wiwitan tidak bertuhan, yang akhirnya akan menimbulkan diskriminasi yang lebih besar. Selain itu, penganut aliran kepercayaan masih dipersulit ketika akan melangsungkan pernikahan, salah satunya dengan diwajibkannya bergabung dengan organisasi tertentu. Akibatnya, banyak pernikahan Sunda Wiwitan yang tidak tercatat oleh negara sehingga berdampak pada anak-anak yang dilahirkan tanpa dokumen. Ketika anak-anak penganut kepercayaan bersekolah, di sekolah tersebut tidak disediakan guru agama kepercayaan anak tersebut. Karena pihak sekolah hanya menyediakan guru agama yang diakui.Selain itu, hal yang menjadi perhatian serius lainnya adalah masalah pemakaman umum yang kian mendiskriminasi penganut aliran kepercayaan. Pemakaman umum yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, kini diperuntukkan bagi agama yang diakui saja. Akhirnya, tidak sedikit penganut aliran kepercayaan yang dikuburkan di belakang rumahnya. Nia juga mengkritik negara yang belum optimal dalam melaksanakan pasal 29 UUD 1945, dengan adanya diskriminasi dalam hal mengurus agama dan kepercayaan. Enam agama ditampung dalam satu kementerian dibawah menteri, tetapi kepercayaan tidak mendapat tempat yang sederajat. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi yang paling nyata. Padahal menurut Nia, dalam deklarasi HAM internasional semua bentuk agama (religion) dan kepercayaan (belief) ditempatkan dalam satu posisi yang sama.Kaitan kepercayaan lokal dengan lingkungan hidup, menurut Nia, diskriminasi terhadap budaya dan kepercayaan lokal mempengaruhi kerusakan lingkungan di Indonesia. Masyarakat lokal yang selama ini memegang teguh prinsip menjaga lingkungan, semakin terpinggirkan sehingga banyak pihak yang bebas mengeksploitasi hutan. Padahal selama ini masyarakat lokal sangat berjasa dalam pelestarian lingkungan. Nia mencontohkan suku Dayak di Kalimantan, sangat berjasa dalam menjaga hutan Kalimantan.Menanggapi komentar pendengar, Dewi membenarkan bahwa yang harus diutamakan adalah titik temu antara agama-agama, bukan meyibukkan dengan perbedaan simbol dan istilah. Tidak berbeda dengan Dewi, Nia membenarkan bahwa kepercayaan lokal harus dijaga dan menghapuskan segala diskriminasi yang ada.

https://www.facebook.com/permalink.php?id=139807309504129&story_fbid=145658642252329" https://www.facebook.com/permalink.php?id=139807309504129&story_fbid=145658642252329

NEO-LIBERALISME RINTANGAN BAGINASIONALISME

NEO-LIBERALISME RINTANGAN BAGI NASIONALISME

Abdul Hadi W. M.

SepertI sistem pemerintahan dan politik lain, sebuah sistem ekonomi kemasyarakatan senantiasa didasarkan atas pemikiran atau dasar falsafah tertentu. Demikian neo-liberalisme yang sering diperdebatkan selama beberapa tahun terakhir ini dan dipandang menggerogoti dasar-dasar falsafah bangsa kita Pancasila serta sistem sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan dicita-citakan Mukadimah UUD 45 dan batang tubuhnya. Oleh sebab itu neo-liberalisme tidak hanya bisa diperdebatkan hanya dalam lingkup ilmu ekonomi, tetapi juga dari perspektif sejarah pemikiran filsafat. Sebagai aliran pemikiran kemasyarakatan, neo-liberalisme sering dikaitkan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain sebagainya. Yang kedua lahir dari paham seperti altruisme, kolektivisme, dan sosialisme, baik sosialisme bercorak secular maupun keagamaan.

Liberalisme dan Neo-Liberalisme

Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke. Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dapalm kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian sesuai.

Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggeris abad ke-17 M, Thomas Hobbes dan John Locke. Aliran ini berkembang pasat pada abad ke-18 M. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale) adalah mengutamakan kepentingan pribadi. Dalam bukunya Leviathan Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lopus). Semboyannya yang lain yang terkenal ialah a war of all against all. Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya Le`etat est moi (negara adalah saya). Dengan jalan piikiran yang sama John Locke membawa liberalismenya ke tempat lain.

Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai instrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan negara. Berdasarkan pemkiran dua fiolosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. Menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar.

Di sini liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972:14-6). Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-fa