Upload
hoangnhan
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AGRITEXTS
Agritexts merupakan media ekspresi karya akademik dalam bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian/Pengembangan Masyarakat Desa dalam ar� luas.
Naskah dan ar�kel yang dibuat merupakan karya asli yang belum pernah dipublikasikan dan atau penyempurnaan karya ilmiah yang pernah disampaikan dalam pertemuan ilmiah atau pertemuan-pertemuan informal yang memusatkan perha�annya kepada upaya pengembangan masyarakat pedesaan, pengembangan wilayah pertanian, perhutanan sosial, kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan, pengembangan sumberdaya mansia, sosiologi pedesaan, penyuluhan masyarakat, pengorganisasian, kelembagaan, pengembangan lembaga swadaya masyarakat, pendidikan luar sekolah, pela�han, komunikasi pertanian dan lain-lain.
Isi tulisan dapat berupa hasil peneli�an, pengamatan lapang, hasil pemikiran atas konsep, teori, metodologi, kajian empirik dan atau kajian terapan yang dilakukan sebagai pelaksanaan tri dharma perguruan �nggi maupun kerjasama kemitraan.
PRODI PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNS
Siap menjalin kemitraan kerja dengan instansi pemerintah/swasta dan lembaga swadaya masyarakat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan: pela�han, peneli�an dan pendampingan untuk pemberdayaan kepada masyarakat di bidang kegiatan pengembangan masyarakat dalam bentuk:
o Pengkajian, pengujian, inves�gasio Survey, kajian dasar, dan studi kelyakano Perencanaan dan pengembangan model, pemantau, evaluasi o Pela�han: analisis data, pembuat film (CD) dll.o Pendampingan teknis dan manjerialo Penyelenggaraan pertemuan, seminar, diskusi, lokakarya, dan pamerano Penerbitan dan publikasi
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya jurnal AGRITEXTS edisi Mei 2016. Sebagai insan akademis yang memiliki �ga fungsi pokok, pengajaran, peneli�an, dan pengabdian kepada masyarakat sudah semes�nya senan�asa mengembangkan ilmu dan tehnologi dalam rangka mendukung proses-proses pengajaran, peneli�an, dan pengabdian kepada masyarakat.
Harapan besar dari redaksi semoga jurnal yang telah terbit dapat memberikan kontribusi yang posi�f terhadap perkembangan dunia pertanian khususnya pada upaya pengembangan masyarakat pedesaan, pengembangan wilayah pertanian, pemberdayaan masyarakat, kebijakkan pertanian dan pedesaan, pengembangan sumberdaya manusia, sosiologi pedesaan, penyuluhan pembangunan, pendampingan dan pengembangan par�sipasi masyarakat, pengorganisasian, kelembagaan, pendidikan luar sekolah, pela�han, komunikasi pertanian dan lain-lain.
Untuk pengembangan jurnal AGRITEXTS, redaksi masih mengharapkan naskah, ar�kel, dan karya ilmiah. Masukan berupa kri�k dan saran yang membangun kami harapkan.
Redaksi
PelindungDekan Fakultas Pertanian
Penanggung JawabWakil Dekan Bidang Akademik
Kepala Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi PertanianFakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Pimpinan RedaksiDr. Suminah, M.Si.
Mitra BebestariDr. Si� Amanah, Med (IPB)
Dr. Sumaryo Gito, M.Si (UNILA)Subejo, SP., M.Sc., Ph.D (UGM)
Ananta Kumar Giri, Ph.D (Madras Ins�tute of Development Studies)Jess Fernandez, Ph.D (ICRAF)
Sekretaris RedaksiArip Wijianto, SP., M.Si
Anggota RedaksiDr. Ir. Suwarto, M.Si
Ir. Retno Setyowa�, MSIr. Sugihardjo, MS
Hanifah Ihsaniya�, SP., M.Si
Tata Usaha dan SirkulasiKusharjan�, S.Sos
Aridius Dwi HAryanto, S.Pd
AGRITEXTSTerbit dua kali per tahun, se�ap bulan Mei dan Oktober
Bagi yang berminat dapat meda�arkan melalui surat ke alamat:Fakultas Pertanian UNS, Jl. Ir. Sutamai No. 36 A (Kampus Ken�ngan)
Telp. 0271-632386, Fax 0271-637457 dan e-mail: [email protected]
AGRITEXTSA G R I C U LT U R A L E X T E N S I O N
50 - 58
59 - 73
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PEMBENTUK PERSEPSI DENGAN PERSEPSI P E M U D A D E S A T E R H A D A P P E K E R J A A N S U B S E K T O R PETERNAKAN....................................................................................................
SOSIALISASI GERAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN PROGRAM TO THE FARMER ..............................................................................
15 - 34
STUDI POLA KOMUNIKASI PEMERINTAH DAN PESANTREN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT......................................................................
Muhamad Fajar Pramono
01 - 14
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN PERSEPSI PETANI TERHADAP SISTEM RESI GUDANG KOMODITAS PADI (ORYZA SATIVA) ........
Kurnia Bayu Pratama , Suminah , Supanggyo
74 - 90
SIKAP PETANI TERHADAP GABUNGAN KELOMPOK TANI (GAPOKTAN)...............
Yunus Puratmoko , Kusnandar , Arip Wijianto
35 - 49
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DAN UNSUR TUMBUH KEMBANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN.........
Nurul Risca Pratiwi , Agung Wibowo , Bekti Wahyu Utami
Rindea Wini Pertiwi , Suwarto , Agung Wibowo
Yanuarti Hapsari , Arip Wijianto , Sutarto
AGRITEXTSA G R I C U LT U R A L E X T E N S I O NA G R I C U LT U R A L E X T E N S I O NA G R I C U LT U R A L E X T E N S I O N
Jurnal Penyuluhan Dan Komunikasi PertanianJurnal Penyuluhan Dan Komunikasi PertanianJurnal Penyuluhan Dan Komunikasi Pertanian
ISSN-0854-8382
3)
3)
3)
3)
3)
2)
2)
2)
2)
2)
1)
1)
1)
1)
1)
1)
Volume XL Edisi 1 Mei 2016
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DENGAN PERSEPSI
PETANI TERHADAP SISTEM RESI GUDANG KOMODITAS PADI (ORYZA SATIVA)
THE RELATIONSHIP CHARACTERISTICS OF FARMERS
WITH PERCEPTION FARMERS OF THE WAREHOUSE RECEIPT SYSTEM IN RICE COMMODITIES (ORYZA SATIVA)
Kurnia Bayu Pratama , Suminah , Supanggyo
Prodi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Abstract
Warehouse receipt system has a very useful role for the life of farmers, particularly in assisting farmers in marketing their results, provision of warehousing facilities and credit. This research was conducted in Sub District Jaten by using descriptive analytical method. The research location was determined purposively in Sub District Jaten, because the warehouse and management of warehouse receipt system in Sub District Jaten. Respondents as much as 60 respondents using teknik proportional random sampling. While the analytical methods used to analyze using Spearman Rank Correlation Test Keofisien (rs). Results of Spearman Rank analysis and test of significance at 95% confidence level is obtained the result that the relationship between the characteristics of farmers with farmer perceptions is that there is no significant, relationship between the area of land tenure to farmers with perceptions there is a significant, correlation between perceptions and of formal education with farmer perceptions there was a significant, relationship between non-formal education, experience, social environment, economic environment, and information with farmers' perception of warehouse receipt system in commodities of rice in Sub District Jaten Regency Karanganyar there is a significant.
Keyword: Farmer perceptions, management of warehouse receipt system, oryza sativa
Abstrak
Sistem Resi Gudang mempunyai peranan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan petani khususnya dalam membantu petani dalam memasarkan hasil, penyediaan fasilitas pergudangan dan pemberian kredit. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Jaten dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Pemilihan daerah sampel dilakukan secara sengaja (purposive). Responden sebanyak 60 responden dengan menggunakan teknik acak sebanding (proporsional random sampling). Analisis data dilakukan dengan Uji Keofisien Korelasi Rank Spearman (rs). Hasil analisis Rank Spearman pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa hubungan antara karekteristik petani dengan persepsi petani tidak signifikan, luas penguasaan lahan dengan persepsi petani terdapat hubungan yang
1) 2) 3)
1
signifikan, pendidikan formal dengan persepsi petani terdapat hubungan yang sangat signifikan, demikian juga dengan pendidikan non formal, pengalaman, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, dan informasi dengan persepsi petani terhadap sistem resi gudang pada komoditas padi terdapat hubungan yang signifikan.
Kata kunci : Persepsi petani, sistem resi gudang, komuditas padi
PENDAHULUAN
Peningkatan produksi padi
selain untuk menjamin terpenuhi-
nya kebutuhan pangan (beras)
nasional, juga merupakan salah satu
upaya untuk menaikkan penda-
patan atau kesejahteraan petani dan
keluarganya. Namun peningkatan
produksi yang dicapai petani pada
panen raya dalam kenyataannya
belum membawa petani pada
peningkatan pendapatan atau
kesejahteraan tersebut. Ketahanan
pangan yang ada pada suatu daerah
sangat penting, dikarenakan hal
tersebut akan menentukan bagai-
mana suatu daerah untuk
memenuhi kebutuhan pangan yang
ada pada sauatu daerah tersebut.
Sebagai upaya dalam mem-
bangun ketahanan pangan, maka
mitra strategis antara pemerintah
melalui instasi terkait dengan para
petani harus dijalin dengan baik.
Maka dari itu peran pemerintah
sangat diperlukan salah satu upaya
yang dilakukan yaitu dengan adanya
Sistem Resi Gudang. Beberapa
manfaat yang dapat dirasakan
dalam memanfaatkan jasa dari SRG
adalah memperpanjang masa
penjualan hasil produksi, membuka
pasar baru untuk menjual komoditas
melalui pengelola SRG dan
membuka akses permodalan
kelembaga perbankan. Melihat
peranan SRG yang langsung
berimplikasi pada usaha tani yang
dilakukan petani seperti yang
dijelaskan diatas. Berdasarkan pada
Undang-undang Nomor 9 Tahun
2006 tentang Sistem Resi Gudang,
sejak tahun 2009 Pemerintah
Kabupaten Karanganyar sebagai
upaya untuk menjaga ketahanan
pangan.
Ketahanan pangan tidak
hanya mencakup pengertian keter-
sediaan pangan yang cukup, tetapi
juga kemampuan mengakses (ter-
masuk membeli) pangan, keamanan
pangan (terkai keterjaminan
kualitas) dan tidak terjadinya
ketergantungan pangan pada pihak
manapun. Dalam hal ini, petani
punya kedudukan strategis dalam
ketahanan pangan. Petani adalah
2
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
produsen pangan sekaligus kelom-
pok konsumen terbesar yang
sebagian masih miskin dan berdaya
beli rendah. Petani harus memiliki
kemampuan untuk memproduksi
pangan sekaligus juga pendapatan
yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan mereka
(Krisnamurthi, 2005).
Keberadaan dari pengelola
mau-pun gudang dari SRG berada di
Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar. SRG yang baru
berjalan di Kecamatan Jaten
tersebut perlu diketahui bagaimana
persepsi petani terhadap kebera-
daan lembaga tersebut, sehingga
nantinya akan dapat dijadikan dasar
untuk lebih memaksimalkan kinerja
dari SRG sebagai mitra petani dalam
membantu usahatani yang
dilakukan oleh petani. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kajian yang lebih
mendalam mengenai hubungan
karak-teristik petani dengan
persepsi petani terhadap sistem resi
gudang komoditas padi di Kecama-
tan Jaten Kabupaten Karanganyar.
Berdasarkan uraian diatas,
dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut : 1). Bagaimana
persepsi petani terhadap SRG
komoditas padi di Kecamatan Jaten
Kabupaten Karanganyar? 2).
Bagaimana kondisi karakteristik
petani di Kecamatan Jaten Kabupa-
ten Karanganyar?. 3). Bagai-mana
hubungan karakteristik petani
dengan persepsi petani terhadap
SRG komoditas padi di Kecamatan
Jaten Kabupaten Karanganyar ?.
Berdasarkan permasalahan
yang telah dirumuskan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah: 1).
Menganalisis persepsi petani ter-
hadap SRG komoditas padi di
Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar. 2). Menganalisis
kondisi karakteristik petani di
Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar 3). Menganalisis
hubungan karakteristik petani
dengan persepsi petani terhadap
SRG komoditas padi di Kecamatan
Jaten Kabupaten Karanganyar.
Untuk lebih jelasnya keterkaitan
antar variabel dapat dilihat pada
kerangka piker di bawah ini.
Kerangka berfikir dalam penelitian
ini dapat ditu-angkan sebagai
berikut :
3
Persepsi petani, sistem resi gudang,,, Pratama, Suminah, Supanggyo
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Hipotesis dalam penelitian
ini adalah diduga ada hubungan
yang signifikan antara karakteristik
petani yang meliputi faktor internal
(pendidikan formal, pendidikan non
formal, pengalaman, luas pengua-
Karakteristik internal dan ekternal petani :
Faktor internal 1. Pendidikan formal 2. Pendidikan non formal 3. Pengalaman
sebelumnya 4. Luas penguasaan lahan
Faktor eksternal 1. Lingkungan sosial adalah lingkungan masyarakat
yang keberadaanya dapat mendorong atau menghambat dalam menjalin kerjasama dengan SRG
2. Lingkungan ekonomi adalah kekuatan ekonomi dalam masyarakat yang secara langsung mendorong atau menghambat dalam menjalin kerjasama dengan SRG
3. Informasi tentang SRG
persepsi petani terhadap SRG 1. Kelembagaa SRG 2. Tugas SRG
a. Pemasaran hasil b. Penyedia fasilitas pergudangan c. Membuka akses permodalan ke lembaga perbankan
3. Pembiayaan SRG
Ketahanan Pangan
Koperasi Unit Desa (KUD)
Badan Urusan Logistik (BULOG)
Sistem Resi Gudang (SRG)
Manfaat yang diperoleh oleh petani yang memanfaatkan SRG: 1. Memperpanjang masa penjualan hasil
produksi 2. Tersedianya fasilitas pergudangan 3. Membuka pasar baru untuk menjual
komoditas melalui pengelola SRG. 4. Membuka akses permodalan ke lembaga
perbankan. 5. Menjaga stabilitas harga.
4
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
saan lahan) dan faktor ekternal
(lingkungan sosial, lingkungan
ekonomi dan informasi) dengan
persepsi kelompok tani terhadap
sistem resi gudang pada komoditas
padi di Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar.
METODE PENELITIAN
Metode dasar yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif, dengan
teknik survai. Penentuan lokasi
secara purposive (sengaja) di
Kecamatan Jaten dengan pertim-
bangan pengelolaan gudang SRG
sudah berjalan. Penentuan sampel
penelitian diambil sebanyak 60
petani yang tergabung dalam
kelompok tani dengan mengguna-
kan teknik proportional random
sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan
wawancara, observasi dan doku-
mentasi. Analisis data digunakan uji
korelasi Rank Spearman (rs).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persepsi Petani terhadap Sistem Resi Gudang Komoditas Padi di Kecamatan Jaten Tabel 1. Persepsi petani terhadap Sistem Resi Gudang komoditas padi di Kecamatan
Jaten
Kategori Skor Jumlah Prosentase (%) Median
Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
19 41 -
31,7 68,3
0
2
Jumlah 60 100
Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010
Berdasarkan Tabel 1
tersebut menunjukkan bahwa
persepsi petani terhadap SRG
termasuk dalam kategori sedang.
Hal tersebut didukung pula dalam
persepsi petani terhadap kelem-
bagaan maupun tugas dari SRG yang
tergolong dalam kategori sedang
pula, sedangkan pada persepsi
petani terhadap pembiayaan SRG
tergolong dalam kategori tinggi. Hal
ini tidak terlepas dari keberadaan
dari SRG yang baru berjalan lebih
dari satu tahun ini, yaitu mulai
diresmikan pada tahun 2009.
Sehingga petani yang ada belum
begitu memahami sepenuhnya
tentang SRG, walaupun demikian
5
Persepsi petani, sistem resi gudang,,, Pratama, Suminah, Supanggyo
perlu terus ditingkatkan peran serta
penyuluh dan pengelola yang
senantiasa menyampaikan informasi
berkaitan dengan sosialisasi tentang
keuntungan memanfaatkan jasa dari
SRG. Selain itu SRG sebagai mitra
petani menawarkan banyak
keuntungan-keuntungan yang dapat
digunakan petani apabila meman-
faatkan jasa dari SRG. Keuntungan
yang dapat dimanfaatkan ketika
memanfaatka jasa dari SRG antara
lain yaitu fasilitas pergudangan,
usaha pengelola SRG untuk
membantu petani dalam memasar-
kan hasil dari komoditas yang
disimpan dan juga menyediakan
akses kepada perbankan kepada
bank yang sudah ditunjuk.
2. Persepsi Petani terhadap kelembagaan Sistem Resi Gudang komoditas padi di Kecamatan Jaten Tabel 2. Persepsi petani terhadap kelembagaan Sistem Resi Gudang komoditas padi
di Kecamatan Jaten
Kategori Skor Jumlah Prosentase (%) Median
Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
17 41 2
28,4 68,3 3,3
2
Jumlah 60 100
Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010
Keadaan tersebut dapat
digam-barkan persepsi responden
terhadap kelembagaan Sistem Resi
Gudang dikate-gorikan sedang. Hal
tersebut menunjukkan bahwa
kelembagaan melalui pengelola dari
SRG melakukan pertemuan dengan
petani ataupun kelompok tani
antara 4 samapai 6 kali dalam satu
musim tanam terakhir. Pertemuan
tersebut tidak terlepas dari
sosialisasi tentang SRG terhadap
petani, tetapi pertemuan tersebut
belum sepenuhnya dapat membuat
petani memahami tugas maupun
manfaat dari SRG itu sendiri. Hal ini
tidak terlepas dari belum
maksimalnya pertemuan yang
diadakan pengelola SRG dengan
petani untuk mensosialisasikan
tugas maupun manfaat dari SRG.
Pertemuan yang dilakukan baru
sebatas sosialisasi tentang SRG
tetapi belum memberikan informasi
yang berkaitan tentang bagaimana
hak dan kewajiban dari petani ketika
meman-faatkan jasa dari SRG begitu
juga hak dan kewajiban dari
6
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
pengelola. Selain itu juga
keberadaan SRG yang tergolong
baru belum banyak memberikan
manfaat yang dapat dirasakan oleh
petani sehingga membuat petani
masih ragu untuk memanfaatkanya.
3. Persepsi petani terhadap tugas Sistem Resi Gudang komoditas padi di Kecamatan Jaten Tabel 3. Persepsi petani terhadap tugas Sistem Resi Gudang komoditas padi di
Kecamatan Jaten
Sub Variabel Tugas
Kategori Skor Jumlah Prosentase (%)
Median Median Gabungan
Pemasaran Hasil
Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
13 39 8
21,7 65
13,3
2
2 Fasilitas
Pergudangan Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
53 7 0
88,3 11,7
0
3
Akses Permodalan
Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
17 42 1
28,3 70 1,7
2
Jumlah 60 100
Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010
Berdasarkan pada tabel
tersebut pula dapat diketahui
bahwa persepsi petani terhadap
tugas SRG untuk memasarkan hasil
komoditas padi di Kecamatan Jaten
tergolong dalam kategori sedang
dengan median skornya adalah 2,
atau dengan kata lain keberadaan
SRG untuk membantu membuka
pasar baru untuk menjual komoditas
melalui pengelola SRG belum
sepenuhnya dapat menjual dari
komoditas yang disimpan. Pemasa-
ran hasil melalui pengelola SRG
sangat tergantung pada permitaan
yang ada, permintaan pada pasar
kadang tidak sesuai dengan
ketersediaan barang yang disimpan-
kan pada SRG sehingga tidak dapat
diperjualkan. Pada umumnya ketika
komoditas yang ada tidak dapat
dijual oleh pengelola SRG, petani
menjual sendiri komoditas tersebut
pada saat harga dianggap sudah
stabil yaitu ketika sudah melewati
panen raya. Keberadaan dari tugas
SRG untuk membantu membuka
pasar baru untuk menjual komoditas
melalui pengelola SRG ini
memberikan keuntungan pada
7
Persepsi petani, sistem resi gudang,,, Pratama, Suminah, Supanggyo
petani, dalam hal memasarkan hasil
sehingga akan dapat meningkatkan
pendapatan dari petani itu sendiri
walaupun belum semua komoditas
yang ada dapat dijual oleh pengelola
dari SRG.
Berdasarkan pada tabel
tersebut pula dapat diketahui
bahwa persepsi petani terhadap
tugas SRG untuk menyediakan
fasilitas pergudangan komoditas
padi di Kecamatan Jaten tergolong
dalam kategori tinggi dengan
median skornya adalah 3, atau
dengan kata lain tugas dari SRG
untuk menyediakan fasilitas
pergudangan untuk menyimpan dari
komoditas yang ada sudah baik. Hal
ini terbukti petani memandang
dengan memanfaatkan jasa dari SRG
maka akan tidak berkurang kualitas
maupun kuantitas dari barang yang
disimpankan ke pengelola SRG.
Responden memandang dengan
adanya fasilitas pergudangan yang
memadai tersebut cukup membantu
responden dalam memperpanjang
masa penjualan komoditas yang
disimpan pada pengelola SRG.
Keberadaan dari fasilitas pergu-
dangan ini diharapakan dapat
membantu petani dalam memper-
panjang masa penjualan. Sehingga
petani dapat menghindari turunnya
harga pada saat panen raya dan
menjualnya kembali pada harga
yang sudah dianggap dapat
memberikan keuntungan.
Berdasarkan pada tabel
tersebut pula dapat diketahui
bahwa persepsi petani terhadap
tugas SRG untuk membuka akses
kepada lembaga perbankan tergo-
long dalam kategori sedang atau
dengan median skornya adalah 2,
atau dengan kata lain tugas dari SRG
untuk membuka akses permodalan
kepada perbankan belum sepenuh-
nya dimanfaatkan oleh petani yang
menggunakan jasa dari SRG. Hal ini
tidak terlepas dari uraian yang
disampaikan diatas yaitu belum
maksimalnya pertemuan yang
dilakukan oleh pengelola dengan
petani, sehingga petani enggan
untuk memanfaatkan jasa dari SRG
dikarenakan patani masih belum
mengetahui hak dan kewajiban apa
yang akan didapat jika meman-
faatkan lembaga perbankan yang
disediakan. Hal tersebut juga
dipengaruhi oleh kebutuhan
ekonomi dari masing-masing petani
dalam melakukan budidaya tana-
man padi. Keberadaan tugas dari
SRG untuk membuka akses kepada
perbankan dapat membantu petani
dalam melakukan budidaya yang
dilakukan. Akses kepada perbankan
dimanfaatkan untuk memenuhi atau
8
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
mencukupi permodalan dalam
melakukan budidaya pada musim
tanam yang berikutnya. Jadi dengan
adanya SRG ini petani selain dapat
memperpanjang masa penjualan
dari komoditas yang ada juga dapat
memperoleh permodalan dengan
membuka akses kepada perbankan.
4. Persepsi petani terhadap pembiayaan Sistem Resi Gudang komoditas padi di Kecamatan Jaten Tabel 4. Persepsi petani terhadap pembiayaan Sistem Resi Gudang komoditas padi di
Kecamatan Jaten
Kategori Skor Jumlah Prosentase (%) Median
Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
34 24 2
56,7 40 3,3
3
Jumlah 60 100
Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010
Berdasarkan pada penjela-
san diatas dapat diketahui bahwa
persepsi petani terhadap pembia-
yaan SRG pada komoditas padi di
Kecamatan Jaten tergolong dalam
kategori tinggi. Hal ini berarti
sebagian besar dari responden
membayarkan biaya yang harus
dikeluarkan untuk memanfaatkan
jasa dari SRG secara tepat waktu.
Walaupun cukup memberatkan
harus mengeluarkan biaya untuk
memanfaatkan jasa dari SRG tetapi
apabila manfaat yang akan diterima
lebih besar maka akan dapat
memberikan keuntungan. Biaya
yang harus dikeluarkan antar
responden berbeda satu sama lain
tergantung pada jumlah komoditas
yang dimasukkan pada SRG. Hal
tersebut menggambarkan respon-
den banyak yang membayarkan
sesuai dengan biaya yang sudah
ditentukan oleh pengelola yaitu
sebesar Rp 9/ kg selama tiga bulan
memanfaatkan SRG. Pihak pengelola
memberikan batas waktu ketika
petani memanfaatkan jasa dari SRG
yaitu paling lama 3 bulan, hal
tersebut dikarenakan untuk
menghindari penumpukan komodi-
tas yang disimpan di gudang
pengelola SRG. Pada umumnya
petani memanfaatkan SRG tidak
melebihi waktu yang ditentukan
oleh pengelola, dikarenakan petani
memanfaatkan jasa dari SRG untuk
menghindari menurunnya harga
pada saat panen raya.
9
Persepsi petani, sistem resi gudang,,, Pratama, Suminah, Supanggyo
5. Hubungan Antara Karakteristik Petani Dengan Persepsi petani Terhadap Sistem Resi Gudang (SRG) Komoditas Padi di Kecamatan Jaten Tabel 5. Hubungan antara karakteristik petani dengan persepsi petani terhadap
Sistem Resi Gudang (SRG) komoditas padi di Kecamatan Jaten
Karakteristik petani (X) Persepsi petani (Y)
rs t hitung t tabel α Keterangan
1. Pendidikan Formal 2. Pendidikan Non Formal 3. Pengalaman 4. Luas Penguasaan Lahan 5. Lingkungan Sosial 6. Lingkungan Ekonomi 7. Informasi
0,270* 0,358** 0,373** -0,008 NS 0,381** 0,413** 0,449**
2,134 2,920 3,062 -0,061 3,138 3,454 3,828
2,001 2,001 2,001 2,001 2,001 2,001 2,001
0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05
S SS SS NS SS SS SS
Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010 Keterangan :
* = Signifikan pada = 0,05
** = Signifikan pada = 0,01 NS = Tidak signifikan
S = Signifikan SS = Sangat Signifikan rs = Korelasi rank Spearman
Berdasarkan Tabel 5. diketa-
hui terdapat hubungan yang
signifikan antara pendidikan formal
dengan persepsi petani terhadap
SRG. Pada tingkat kepercayaan 95 %
diperoleh nilai rs adalah 0,270 dan
nilai t hitung (2,134) > t tabel
(2,001). Menunjukkan bahwa
pendidikan formal memiliki
hubungan dengan persepsi petani
terhadap SRG. Pendidikan formal
tidak secara langsung memberikan
informasi tentang pertanian tetapi
tingkat pendidikan formal menun-
jukkan rasionalitas dan kemampuan
berpikir seseorang. Semakin tinggi
tingkat pendidikan formal petani,
maka akan mendorong mereka
berpikir lebih maju dan lebih
rasional. Seiring bertambahnya
pengetahuan yang dimiliki oleh
petani, tanggapan petani pun
terhadap SRG yang ada di
Kecamatan Jaten yang dapat
membantu petani dalam melakukan
pengelolaan usahatani pun akan
juga lebih baik.
Terdapat hubungan sangat
signifikan antara pendidikan non
formal dengan persepsi petani
terhadap SRG. Pada tingkat
kepercayaan 99 % diperoleh nilai rs
adalah 0,358 dan nilai t hitung
(2,920) > t tabel (2,001). Menunjuk-
kan bahwa pendidikan non formal
memiliki hubungan dengan persepsi
petani terhadap SRG. Frekuensi
kegiatan penyuluhan yang semakin
10
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
sering dapat membuat petani
banyak menerima informasi,
sehingga berguna meningkatkan
pengetahuan, khususnya pengeta-
huan tentang SRG. Kegiatan
penyuluhan dilakukan tidak bisa
dipisahkan dari peran serta
penyuluh yang senantiasa mem-
bantu petani dalam proses
pengelolaan usahatani. Selain itu
pengelola dari SRG yang
bekerjasama dengan penyuluh juga
melakukan sosialisasi yang berkaitan
tentang keberadaan dari SRG serta
manfaat-manfaat yang akan
diperoleh petani jika menggunakan
jasa dari SRG.
Terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara pengalaman
dengan persepsi petani terhadap
SRG. Terlihat pada tingkat
kepercayaan 99 % diperoleh nilai rs
adalah 0,373 dan nilai t hitung
(3,062) > t tabel (2,001). Hal ini
menunjukkan bahwa pengalaman
memiliki hubungan dengan persepsi
petani terhadap SRG pada
komoditas padi di Kecamatan Jaten.
Pengalaman dapat bertambah
melalui rangkaian peristiwa yang
dialami selama memanfaatkan jasa
dari SRG. Pengalaman yang sudah
dimiliki petani tersebut, dimana
kondisi baik maupun buruk sudah
pernah dialami petani, sehingga
dapat dijadikan sebagai bahan
pembelajaran bagi petani untuk
menentukan keputusan atau
tindakan dalam memanfaatkan jasa
dari SRG. Petani dengan pengala-
man yang dimiliki akan memberikan
pengaruh pada persepsi petani
terhadap SRG pada komoditas padi.
Tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara luas pengu-
saan lahan dengan persepsi petani
terhadap SRG. Pada nilai rs adalah -
0,008 dan tingkat kepercayaan 95 %
diperoleh nilai t hitung (-0,061) < t
tabel (2,001). Berdasarkan analisis
tersebut dapat diketahui kebera-
gaman luas penguasaan lahan tidak
berpengaruh pada persepsi petani
terhadap SRG pada komoditas padi.
Luas penguasaan lahan yang dimiliki
oleh petani merupakan salah satu
faktor yang akan mempengaruhi
pada jumlah produksi dari budidaya
yang dilakukan petani, tetapi hal
tersebut tidak mempengaruhi
persepsi petani terhadap SRG pada
komoditas padi. Hal tersebut
dikarenakan petani menggunakan
jasa dari SRG memanfaatkan
kelompok tani sebagai wadah, jadi
secara bersama-sama memanfaat-
kan jasa dari SRG. Jadi jumlah
minimum komoditas yang ditentu-
kan oleh pengelola SRG dapat
dipenuhi petani dengan cara
11
Persepsi petani, sistem resi gudang,,, Pratama, Suminah, Supanggyo
bersama memanfaatkan jasa SRG
dengan wadah kelompok tani.
Terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara lingkungan
sosial dengan persepsi petani
terhadap SRG. Terlihat tingkat
kepercayaan 99 % diperoleh nilai rs
adalah 0,381 dan nilai t hitung
(3,138) > t tabel (2,001). Berdasar-
kan pada analisis tersebut dapat
diketahui bahwa lingkungan sosial
dimana responden berada atau
bertempat tinggal akan berpenga-
ruh pada persepsi petani terhadap
SRG. Responden yang bermata
pencaharian sebagai petani selain
mahkluk pribadi juga merupakan
mahkluk sosial, dimana kehidupan-
nya tidak bisa dipisahkan dengan
lingkungan dimana petani berada.
lingkungan sosial mempunyai
peranan yang sangat penting dalam
mempengaruhi persespsi petani
terhadap SRG pada komoditas padi
dalam menerima ataupun menyam-
paikan informasi.
Terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara lingkungan
ekonomi dengan persepsi petani
terhadap SRG. Pada tingkat
kepercayaan 99 % diperoleh nilai rs
adalah 0,413 dan nilai t hitung
(3,454) > t tabel (2,001). Berdasar-
kan pada analisis tersebut dapat
diketahui bahwa lingkungan
ekonomi dimana responden berada
atau bertempat tinggal akan
berhubungan dengan persepsi
petani terhadap SRG pada komodi-
tas padi. Lingkungan ekonomi pada
penelitian kali ini tidak bisa
dilepaskan dengan faktor ekonomi.
Besarnya keuntungan yang akan
didapat jika memanfaatkan SRG
ataupun lingkungan ekonomi
lainnya akan dijadikan pertim-
bangan petani dalam memandang
SRG. Pengelolaan usahatani tidak
dapat dipisahkan dengan faktor
ekonomi yang akan menentukan
keberlanjutan dari usahatani
tersebut.
Terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara informasi
dengan persepsi petani terhadap
SRG. Terlihat pada tingkat
kepercayaan 99 % diperoleh nilai rs
adalah 0,449 dan nilai t hitung
(3,828) > t tabel (2,001). Hal ini
menunjukkan bahwa informasi
memiliki hubungan dengan persepsi
petani terhadap SRG pada komodi-
tas padi di Kecamatan Jaten.
Informasi mempunyai peran dalam
mempengaruhi pemikiran petani
tentang keberadaan SRG ataupun
tentang manfaat-manfaat yang akan
diperoleh jika berkerjasama dengan
SRG. Informasi yang didapat petani
sebagian besar berasal dari
12
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
penyuluh dan juga pengelola SRG
yang mensosialisasikan SRG
tersebut. Jadi semakin banyaknya
informasi yang berkaitan tentang
SRG akan berpengaruh terhadap
persepsi petani yang tergabung
dalam kelompok tani terhadap SRG
pada komoditas padi di Kecamatan
Jaten.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1) Persepsi petani terhadap SRG
komoditas padi di Kecamatan
Jaten dapat dikatakan tergolong
dalam median gabungan skor 2
dengan kategori sedang. Hal ini
didukung pada persepsi petani
terhadap kelembagaan dan
tugas SRG tergolong dalam
kategori sedang, sedangkan
pada persepsi petani terhadap
pembiayaan SRG termasuk
dalam kategori tinggi.
2) Hubungan antara karekteristik
petani dengan persepsi petani
terhadap SRG pada komoditas
padi di Kecamatan Jaten adalah
terdapat hubungan yang tidak
signifikan antara luas pengu-
asaan lahan dengan persepsi
petani terhadap SRG pada
komoditas padi di Kecamatan
Jaten. Terdapat hubungan yang
signifikan antara pendidikan
formal dengan persepsi petani
terhadap SRG pada komoditas
padi di Kecamatan Jaten.
Terdapat hubungan yang sangat
signifikan antara pendidikan non
formal, pengalaman, lingkungan
sosial, lingkungan ekono-mi, dan
informasi dengan persepsi
petani terhadap SRG pada
komoditas padi.
Beberapa hal terkait
hasil penelitian dapat direkomen-
dasikan bahwa:
1) Kegiatan sosialisai yang
berkaitan tentang SRG akan
lebih baik jika melibatkan semua
pihak diantaranya dari penyuluh,
pengelola SRG ataupun pihak
lain yang berwenang perlu
ditingkatkan agar petani
ataupun pihak lain bisa dapat
memperoleh pengetahuan,
informasi, serta manfaat jika
menggunakan jasa dari SRG.
2) Perlu adanya fasilitas berupa
transportasi pengakutan untuk
komoditas yang ada dengan
ketentuan-ketentuan yang ada.
Misalnya dengan biaya yang
harus dikeluarkan dengan
besaran yang tidak memberat-
kan, sehingga petani yang ada
akan lebih tertarik untuk
13
Persepsi petani, sistem resi gudang,,, Pratama, Suminah, Supanggyo
memanfaatkan system resi
gudang dengan adanya kemuda-
han yang ditawarkan tersebut.
3) Perlu adanya bimbingan tentang
memanfaatkan SRG secara
bersama-sama dengan melalui
wadah kelompok tani, agar
lebih mudah memenuhi jumlah
minimum komo-ditas padi.
DAFTAR PUSTAKA Derr, R. L. 1983. A Conceptual
Analysis of Information Need.
Inform. Proc & Manag. 19(5)
: 273-278.
Hadisapoetro, Soedarsono. 1973.
Pembangunan Pertanian.
Departemen Ekonomi Perta-
nian Fakultas Pertanian
UGM. Yogyakarta.
Hernanto, F. 1991. Usahatani.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Kartasapoetra. 1996. Teknologi
Penyuluhan Pertanian. Bina
Aksara. Jakarta.
Krisnamurthi, Bayu, 2005. Agenda
Pemberdayaan Petani Dalam
Rangka Pemantapan Ketaha-
nan Pangan Nasional.
http://www. Ekonomirakyat.
org/edisi_19/artikel_3.htm.
Download 3 November 2009.
Kurniawan, Doni. 2007. Strategi
Pengentasan Kemiskinan dan
Pembangunan Pedesaan
Mela-lui Pengembangan
Sistem Resi Gudang Gabah
Pada Koperasi Pertanian.
http://doni-jkk.blog. friend
ster.com. Diakses tanggal 3
November 2009.
Undang-undang Nomor 9 Tahun
2006 tentang Sistem Resi
Gudang.
14
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
STUDI POLA KOMUNIKASI PEMERINTAH DAN PESANTREN
DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
STUDY OF PATTERNS OF COMMUNICATION GOVERNMENT AND THE BOARDING IN COMMUNITY
DEVELOPMENT
Muhamad Fajar Pramono1, Dosen ISID/ Unida Gontor, Kepala LPPM UNIDA
E-mail:[email protected]
Abstract
Historical development of boarding school itself can not be separated
from the history of the development of Islam in the archipelago. Even genealogy boarding school education system can be traced from the time before the advent of Islam in Indonesia. Along with the development program in Indonesia, with the character of independence, Pondok Pesantren experiencing rapid development. Pondok Pesantren is not only incarnated as an educational institution of the people, but also as agents of change and community development. With the enactment of Law No. 20 of 2003 on National Education System, Boarding School entered a new phase in the world of education in this country, Pondok Pesantren has entered an integral part in the national education system. If all this has been donating all its schools for the benefit of citizens (state), then there must be a symbiotic mutualism between the two. It's time the state (government) pay serious attention to the continuity of boarding. If all this can exist with non-boarding schools, then the existence will be maximized if it is supported by the state. Moreover, the challenges ahead are certainly more severe because the social dynamics are also increasingly complex. Therefore, the necessary revitalization of the relationship between schools and the government during this flow. Pesantren has thus become and always become "a pioneer or pioneer development in Indonesia. Of course this should be accompanied with awareness building attitude and professional behavior. Keywords: Patterns of Communication, Government, Pesantren and Community Development
Abstrak
Sejarah perkembangan Pondok Pesantren itu sendiri tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perkembangan Islam di wilayah Nusantara. Bahkan geneologi sistem pendidikan Pondok Pesantren dapat ditelusuri dari masa sebelum masuknya Islam di Indonesia. Seiring dengan program pembangunan di Indonesia,
15
dengan watak kemandiriannya, Pondok Pesantren mengalami perkembangan pesat. Pondok Pesantren tidak hanya menjelma sebagai lembaga pendidikan rakyat, tetapi juga sebagai agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Dengan lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pondok Pesantren memasuki babak baru dalam dunia pendidikan di negeri ini, Pondok Pesantren telah masuk bagian yang tak terpisahkan dalam Sistem Pendidikan nasional. Kalau selama ini pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya. Sudah waktunya negara (pemerintah) memberikan perhatian serius atas kelangsungan pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara. Apalagi tantangan ke depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga semakin kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara pesantren dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Pesantren dengan demikian telah menjadi dan selalu menjadi ”pelopor atau pioneer pembangunan di Indonesia. Tentu saja hal ini harus dibarengi dengan kesadaran membangun sikap dan perilaku profesional. Kata Kunci: Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan Pengembangan Masyarakat
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan Pondok
Pesantren diakui sebagai sistem
pendidikan tertua dan memiliki
sejarah yang panjang di negeri ini.
Sejarah perkembangan Pondok
Pesantren itu sendiri tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perkem-
bangan Islam di wilayah Nusantara.
Bahkan geneologi sistem pendidikan
Pondok Pesantren dapat ditelusuri
dari masa sebelum masuknya Islam
di Indonesia. Hal senada, sebagai-
mana diungkapkan oleh Manfred
Ziemek (1986) bahwa pada mulanya
banyak pesantren dibangun sebagai
pusat reproduksi spiritual, yakni
tumbuh berdasarkan sistem-sistem
nilai yang bersifat Jawa, tapi para
pendukungnya tidak hanya semata-
mata menanggulangi isi pendidikan
agama saja.
Pesantren bersama - sama
dengan para muridnya (santri) atau
dengan kelompoknya yang akrab
mencoba melaksanakan gaya hidup
yang menghubungkan kerja dan
pendidikan serta membina ling-
kungan desa berdasarkan struktur
budaya sosial. Karena itu pesantren
mampu menyesuaikan diri dengan
bentuk masyarakat yang amat
berbeda maupun dengan kegiatan-
kegiatan individu yang beraneka-
ragam. Akhirnya pesantrenlah yang
hampir semata-semata merupakan
basis terbuka bagi penduduk desa
demi terlaksananya swadaya dalam
16
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
bidang sosial, budaya dan
perekonomian2.
Karena itulah, dalam
perjalanan sejarah keindonesiaan,
pesantren tidak pernah lekang oleh
waktu, bahkan secara kuantitas
terus mengalami kenaikan (Rahim :
146). Karena itu masyarakat
pesantren sejak awal merupakan
komposisi besar kelompok sosial
budaya di Indonesia. Hal itu
sebagaimana Geertz membagi
kategori sosial masyarakat Jawa
menjadi santri, priyayi dan abangan,
walaupun pilahan sosial ini dewasa
ini semakin absurd. Selama ini
kelompok santri yang terlembaga-
kan dalam masyarakat pesantren
identik dengan masyarakat tradisio-
nal. Berbeda dengan masyarakat
modern, masyarakat tradisional
merupakan kelompok ter-besar
dalam pelapisan sosial di Indonesia.
Memasuki era kolonial,
Pondok Pesantren adalah satu-
satunya lembaga pedidikan rakyat
yang berkembang di masyarakat
selain di surau-surau dan langgar-
langgar. Barulah pada dasawarsa
terakhir abad ke-19, Pemerintah
Kolonial Belanda memperkenalkan
sistem Pendidikan Nasional. Inipun
hanya diperuntukkan bagi sekelom-
pok kecil masyarakat, terutama
kalangan ningrat. Demografisnya
yang kebanyakan berada di wilayah
pinggiran serta doktrin jihad yang
kuat untuk melawan penjajah,
menjadikan Pondok Pesantren tidak
hanya menjadi pusat pendidikan
rakyat tetapi juga menjadi simbol
perlawanan terhadap Pemerintah
Kolonial3.
Sementara dalam era
Pemerintah Orde Baru tekanan
kepada pesantren sebagai basis
pembetukan santri pejuang pem-
bangunan, distigmakan secara
lembaga. Proses sekulerisasi
pendidikan nasional diberlakukan
dan diskriminasi terhadap pendidi-
kan agama terjadi. Tujuannya, agar
kaum santri terpelajar dalam bidang
agama tak dikembangkan diri dalam
dunia akademis, agar ”rongrongan”
terhadap negara terminimalisasi.
Seiring dengan program
pem-bangunan di Indonesia, dengan
watak kemandiriannya, Pondok
Pesantren mengalami perkem-
bangan pesat. Pondok Pesantren
tidak hanya menjelma sebagai
lembaga pendidikan rakyat, tetapi
juga sebagai agen perubahan dan
pembangunan masyarakat. Dengan
lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pondok Pesantren memasuki babak
17
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
baru dalam dunia pendidikan di
negeri ini, Pondok Pesantren telah
masuk bagian yang tak terpisahkan
dalam Sistem Pendidikan nasional.
Fakta ini memperlihatkan
fenomena kian sadarnya masyarakat
Indonesia bahwa kesan buruk yang
disematkan kepada santri maupun
pesantren, tak lagi ”laku”. Juga
membuktikan bukti bahwa apresiasi
dan penerimaan masyarakat
terhadap pendidikan pesantren
yang mampu menghasilkan santri
generasi pejuang dan pembangunan
bangsa. Menurut Hamid Fahmy,
pakar pemikiran Islam, bahwa
semestinya kini tak perlu lagi
mempertanyakan apa peran dan
fungsi pesantren dalam pem-
bangunan negara ini. Yang justru
perlu dipertanyakan adalah apa
yang telah dilakukan Pemerintah
dalam membangun pesantren dan
apa yang belum.4.
Pesantren merupakan lem-
baga keagamaan yang sangat
mengakar di masyarakat. Sebagai
lembaga yang telah mengakar dan
telah menjadi bagian sosiokultural
masyarakat, pesantren memiliki
peluang sebagai salah satu
penggerak pembangunan. Sebagian
besar pesantren berada di daerah
pedesaan sehingga potensi
pertanian menjadi salah satu
alternatif kegiatan pemberdayaan
ekonomi pesantren. Konsep
pengembangan pertanian yang
dilakukan di pesantren sudah
seharusnya menggunakan pendeka-
tan agribisnis. Sebagai suatu sistem,
agribisnis akan memberikan nilai
tambah melalui kegiatan-kegiatan
subsistem yang ada di dalamnya.
Landasan kultural yang
ditanamkan kuat di pesantren
diharapkan menjadi guidence dalam
implementasi berbagai tugas baik
pada ranah sosial, ekonomi, hukum,
maupun politik baik di lembaga
pemerintahan maupun swasta yang
konsisten, transparan, dan akun-
tabel. Ini penting karena pesantren
merupakan kawah candradimuka
bagi munculnya agent of social
change. Dan negara sangat
berkepentingan atas tumbuhnya
generasi yang mumpuni dan
berkualitas. Oleh sebab itu, kepe-
dulian dan perhatian negara bagi
perkembangan pesantren sangat
diperlukan.
Kalau selama ini pesantren
telah menyumbangkan seluruh
dayanya untuk kepentingan warga
negara (negara), maka harus ada
simbiosis mutualistis antara
keduanya. Sudah waktunya negara
(pemerintah) memberikan perhatian
18
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
serius atas kelangsungan pesantren.
Kalau selama ini pesantren bisa eksis
dengan swadaya, maka eksistensi
tersebut akan lebih maksimal
apabila didukung oleh negara.
Apalagi tantangan ke depan tentu
lebih berat karena dinamika sosial
juga semakin kompleks. Oleh sebab
itu, diperlukan revitalisasi relasi
antara pesantren dan pemerintah
yang selama ini berjalan apa adanya.
PEMBAHASAN
1. Konsep Pembangunan
Sejak puluhan tahun lalu
konsep pembangunan selalu
menjadi perdebatan, yang pada
gilirannya mengalami perubahan-
perubahan. Pada era pasca kolonial
berakhir Perang Dunia II, konsep
pembangunan didominasi oleh
perspektif ekonomi. Para ekonom
dalam dasawarsa 1950-an lebih
banyak memperdebatkan konsep ini
berdasarkan pada lingkup keilmuan-
nya, dimana industrialisasi dianggap
sebagai hal hakiki dalam pertum-
buhan (Suwarsono, 1991: hal. 7)
Pendekatan yang dilaksana-
kan adalah merangsang pertum-
buhan sektor industri, sedangkan
sektor tradisional kurang mendapat-
kan perhatian. Pendekatan ini jelas
mengedepankan modernitas yang
berimplikasi pada investasi yang
besar pada tahap awal pembangu-
nan dan kesulitan penerapan
modernitas pada mayoritas kebuda-
yaan tradisional pada saat itu.
Persepktif ini selanjutnya mendapat-
kan kritikan karena ketimpangan
sosial yang terjadi.
Perkembangan lain muncul
ketika ”ekonomi politik” menjadi
berpengaruh pada akhir 1960-an
dan 1970-an. Inti pemikirannya
adalah masalah ekonomi hanya
dapat dipahami dalam konteks
realitas politik. Ahli ekonomi politik
berangkat dari anggapan bahwa
masalah-masalah politik, kepemili-
kan sumber daya, kekuasaan dan
distribusi berpengaruh besar
terhadap proses pembangunan.
Untuk selanjutnya konsep pem-
bangunan bergeser pada konsep
ketergantungan yang bertumpu
pada negara-negara maju.
Dari setiap perspektif
pembangunan tersebut muncul
konsepsi baru yang lebih luas, yang
tidak hanya mencakup pertum-
buhan, melainkan juga kapasitas,
keadilan dan penumbuhan kuasa
serta wewenang. Konsepsi baru
tersebut berimplikasi pada ber-
gesernya paradigma dalam menen-
tukan masa depannya sendiri.
Partisipasi masyarakat diperlukan
mulai dari identifikasi kebutuhan
19
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
sampai pada proses evakuasi.
Keberhasilan proses pembangunan
semacam ini sangat terkait dengan
pola komunikasi yang dilakukan
dalam prosesnya. Dalm hal ini yang
berperan adalah para pelakunya,
baik dari pemerintah, para agen
perubahan, maupun masyarakat
sendiri (Everett M. Rogers, 1989:
hal. 2)
2. Konsep Komunikasi
Studi komunikasi dewasa ini
telah banyak melahirkan berbagai
macam teori yang masing-masing
memiliki kelebihan dan kelemahan
tersendiri. Ada banyak teori tentang
komunikasi. Berdasarkan kurun
waktu dan pemahaman atas makna
komunikasi, teori komunikasi
semakin hari berkembang seiring
berkembangnya teknologi informasi
yang memakai komunikasi sebagai
fokus kajiannya. Teori komunikasi
kontemporer yang merupakan
perkembangan dari teori komunikasi
klasik melihat fenomena komunikasi
tidak fragmatis. Artinya, komunikasi
dipandang sebagai sesuatu yang
kompleks-tidak sesederhana yang
dipahami dalam teori komunikasi
klasik (Totok Mardikato, 1997: hal.
27).
Komunikasi merupakan pro-
ses penyampaian pesan dari
komunikator pada sasaran dengan
tujuan makna yang sama. Ada tiga
kopseptualisasi yang dikemukakan
oleh John R. Wenburg dan William
W. Wilmot, juga Kennet K. Sereno
dan Edward M. Bodaken, yakni
komunikasi sebagai tindakan satu
arah, komunikasi sebagai interaksi
dan komunikasi sebagai transaksi5.
Komunikasi yang dikonsep-
kan sebagai ”tindakan satu arah”
dianggap merupakan suatu proses
linier yang dimulai dengan sumber
atau pengirim, komunikator dan
berakhir pada penerima, sasaran
dan tujuannya. Hanya saja, kerangka
pemahaman ini kurang sesuai jika
diterapkan untuk komunikasi tatap
muka, namun mungkin ini tidak
keliru jika diterapkan pada
komunikasi level publik (pidato)
yang tidak melibatkan tanya jawab
dan sisi komunikasi massa (cetak-
elektronik) (Mardikanto, 1997: hal.
148)
Oleh Michael Burgoon6
”komunikasi satu arah” disebut
sebagai ”definisi berorientasi
sumber”, (source-oriented defini-
tion). Definisi ini menyiratkan
komunikasi sebagai kegiatan secara
20
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
sengaja dilakukan seseorang
menyampaikan rangsangan untuk
membangkitkan respon orang lain.
Dalam konteks komunikasi dianggap
suatu tindakan yang disengaja
(intentional act) untuk menyam-
paikan pesan demi memenuhi
kebutuhan komunikator. Konsep ini
mengabaikan komunikasi yang tidak
disengaja, seperti pesan yang tidak
direncanakan yang tersirat dalam
nada suara atau ekspresi wajah,
atau isyarat lain yang spontan.
Selain itu, komunikasi satu arah juga
mengabaikan pengaruh timbal balik
antara pembicara dan pendengar.
Konsep kedua adalah
interaksi menyertakan komunikasi
sebagai ”proses sebab-akibat” atau
”aksi-reaksi”, yang arahnya bergan-
tian. Konsep kedua ini dipandang
lebih dinamis dari yang pertama.
Namun masih menganggap para
peserta komunikasi berorientasi
pengirim dan penerima pesan,
karena itu masih berorientasi
sumber walaupun secara bergan-
tian. Sehingga proses interaksi yang
berlangsung masih bersifat
mekanisme statis (B. Aubrey Fisher,
1978: hal. 228).
Komunikasi sebagai ”transak-
si” ini, yang merupakan konsep
ketiga diartikan sebagai suatu
proses personal, karena makna atau
pemahaman yang kita peroleh pada
dasarnya bersifat pribadi. Penafsiran
terhadap pesan verbal atau non-
verbal terhadap orang lain yang
disampaikan pada gilirannya akan
mengubah penafsiran orang lain
yang akan berganti pula seterusnya.
Karenya, pada konsep ini
komunikasi lebih dinamis dan tidak
membatasi yang disengaja atau
respon yang diamati saja. Pada
konsep ini komunikasi dianggap
telah berlangsung apabila seseorang
telah menafsirkan orang perilaku
orang lain, baik verbal maupun non-
verbalnya. Menurut Burgoon,
konsep ketiga ini mirip ”definisi”
berorientasi penerima (Receiver-
Oriented definition).
3. Konsep Komunikasi Pembangu-
nan
Selain tiga kerangka pemaha-
man tersebut, komunikasi sebenar-
nya tidak lepas dari konteks-
konteks, model dan pola. Karena
proses komunikasi tidak berlang-
sung dalam suatu ruang hampa-
sosial. Pertama, konteks fisik,
dimana proses komunikasi berlang-
sung dalam ruang situasi, iklim,
udara, penataan dinding, warna dan
lainnya. Kedua, konteks psykologi,
yaitu situasi psykologis para peserta
komunikasi, seperti, sikap, emosi,
21
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
prasangka dan lainnya. Ketiga,
konteks sosial, seperti, norma
kelompok, nilai sosial dan
karakteristik budaya. Keempat,
konteks waktu yang terkait dengan
komunikasi berlangsung.
Sedangkan dalam hal fungsi,
terdapat tiga fungsi modal: peluki-
san proses komunikasi, menujukkan
hubungan visual, dan membantu
dalam menentukan-memperbaiki
kemacetan sebuah komu-nikasi.
Penentuan suatu model komunikasi
yang dilakukan dalam komunikasi
pembangunan misalnya sangat
penting artinya untuk tercapainya
tujuan dan target pembangunan
yang diinginkan.
Dari hal tersebut diatas,
komunikasi pembangunan dapat
dikatakan sebagai komunikasi yang
dirancang, dan sebagai bagian dari
kegiatan pembangunan dengan
tujuan untuk mendorong partisipasi
aktif para pelaku pembangunan.
Partsisipasi aktif dalam pembangu-
nan itu meliputi: identifikasi
kebutuhan dan potensi yang
dimiliki, penyusunan rencana,
pelaksanaan program, monitoring
dan evaluasi, kaderisasi dan peman-
faatan hasil pembangunan (Totok
Mardikaton, 1997: hal. 25).
Karya Rostow The Strages of
Economic Growth a non Communist
Manifesto (1960) sangat berpenga-
ruh pada saat itu. Para ahli
komunikasi pembangunan pada saat
itu dapat menerima pemikiran
tersebut. Karya-karya Schramm
(1964), Lerner (1958), Lerner dan
Schramm (1967) serta Pye (1963)
berpengaruh besar dalam penga-
kuan pendekatan ini. Mereka
berpendapat bahwa media massa
dapat menciptakan iklim yang
kondusfif bagi terlaksannya pem-
bangunan (Suwarsono, 1991: hal
16).
Menurut Disssayanke, pen-
dekatan model pertama di atas
disamping mengandung filsafat
pembangunan tertentu, juga
terdapat filsafat komunikasi yang
mendasarinya. Pengaruh model
Aristoteles sangat kuat, yaitu empat
komponen komunikasi: komunika-
tor, pesan, penerima dan tujuan.
Penekannya ada pada komunikator
(media massa), dan sedangkan
penerima serta struktur sosialoginya
hanya mendapat sedikit perhatian.
Pendekatan kedua, para ahli
komunikasi terdorong untuk mem-
buat strategi baru. Dengan didasar-
kan pada pengalaman dengan
pendekatan pertama, mereka
berusaha menjawab permasalahan
ketidakmerataan distribusi hasil
pembangunan, ide-ide kemandirian
22
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
(self-reliance), pengelolaan sendiri
(self-management), pembangunan
sendiri (self-development) dan
partisipasi rakyat. Juga untuk
menjawab masalah-masalah yang
itu tidak terjawab pada pendekatan
pertama, seperti penerapan media
yang lebih purposif.
Pada pendekatan kedua ini
terjadi pergeseran model komuni-
kasi yang semula: dari model lineir,
mekanistik dan dari satu arah,
beranjak pada model-model yang
berorientasi pada proses (process
oriented) yang dua arah. Dengan
munculnya tulisan-tulisan Serlo
(1969, 1979) dan Sarlund (1970),
komunikasi kemudian lebih dilihat
sebagai suatu proses yang interaktif,
di mana komunikator dan khalayak
mempunyai tanggung-jawab yang
sederajat.
Pendekatan kedua ini belum
sepe-nuhnya menjelaskan peranan
komunikasi pembangunan, karena
baru sampai pada perpaduan media
komunikasi modern dengan tradiso-
nal, untuk menciptakan suatu
proses komunikasi yang timbal balik
antara pembuat kebijakan dengan
publik. Pendekatan ini merupakan
perintis jalan bagi evolusi model
komunikasi pem-bangunan7.
Pendekatan keempat, ditan-
dai dengan penekanan eksplisit
untuk mengandalkan kemampuan
diri sendiri (self reliance), melalui
strategi pemaduan ide - ide;
memaksimalkan partisipasi masya-
rakat paling bawah (grassroot level),
pembangunan desa secara terpadu,
penggunaan teknologi tepat guna
(appropriate technology) dan peme-
nuhan kebutuhan dasar.
Pendekatan-pendekatan di
atas, dari satu kurun waktu
keberikutnya tampak bahwa
komunikasi mengalami pergeseran
konsep dan mencoba menyesuaikan
dengan konsep pembangunan saat
itu. Kebanyakan dari pendekatan
tersebut masih menekankan pada
media-centric lebih menekankan
pada media dan pesan yang
disampaikan melalui media apa.
Kekurangan dalam pendekatan
sepihat itu dicoba untuk diperbaiki
oleh Rogers dan Akhikarya (1978)
dengan merumuskan pendekatan
konvergensi yang didasarkan pada
model komunikasi sirkuler, yang
menggantikan pendekatan linier.
Cara atau strategi Rogers
dan Adhikarya tersebut, tepat untuk
pembangunan yang mengedepan-
kan partisipasi aktif masyarakat
dalam menentukan nasibnya
sendiri, sebagaimana paradigma
23
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
pembangunan yang terlibat ini
sedang digulirkan oleh pemerintah
Indonesia. Pola komunikasi dalam
proses pembangunan, merupakan
pola yang juga melibatkan LSM.
Mereka adalah para pelaku
pembangunan yang pola komuni-
kasinya dalam proses pembangunan
turut menentukan berhasil tidaknya
pembangunan yang telah direncana-
kan (h. 143).
Dengan demikian ada
keterkaitan penting antara komuni-
kasi dengan pembangunan, khusus-
nya yang berkaitan dengan proses
pelaksanaan pembangunan. Ada
beberapa pemikiran yang mngaitkan
kedua komponen tersebut sebagai-
mana yang dikemukakan oleh
Schramm dan Dube, yakni:
1) Komunikasi berfungsi untuk
menciptakan iklim agar pem-
bangunan dapat berjalan
dengan baik.
2) Komunikasi adalah mekanisme
untuk mobilisasi (a mobilization
mechanism).
3) Komunikasi berperan untuk
menyedia-kan: Informasi ten-
tang kebutuhan akan
perubahan, Informasi tentang
kebutuhan akan perubahan,
Informasi tentang perubahan
yang akan terjadi, Informasi
tentang alternatif-alternatif
yang tersedia, Informasi ten-
tang metode, alat, keuntungan
mengadopsi ide baru dan cara
untuk mengerjakan sesuatu.
Komunikasi pembangunan
merupakan komunikasi yang
dirancang sebagai bagian dari
kegiatan pembangunan dengan
tujuan untuk mendorong
partisipasi aktif para pelaku
pembangunan tersebut. Partisi-
pasi aktif dalam pembangunan
meliputi identifikasi kebutuhan
dan potensi yang dimiliki;
penyusunan rencana; pelaksa-
naan program, monitoring dan
evaluasi; kaderisasi dan
pemanfaata hasil pembangu-
nan.
24
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Mengenei peran dan fungsi komunikasi dalam pembangunan dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 1: Peran dan Fungsi Komunikasi Dalam Pembangunan
4. Pola Komunikasi Dalam
Pemberdayaan Masyarakat
Pengembangan masyarakat
atau sering disebut Community
Development (CD) dalam pem-
bangunan merupakan model atau
alternatif yang dapat memecahkan
masalah kemiskinan yang terjawab
oleh penerapan paradigma mode-
renisasi. Sasaran utama CD adalah
menolong masyarakat untuk
meningkatkan kondisi ekonomi dan
sosial mereka. Hasil akhir dari CD
adalah terciptanya masya-rakat
yang mendorong dirinya sendiri dan
sustainable economic growth
dengan menggunakan sumber daya
yang tersedia. CD dapat dipahami
pula sebagai usaha-usaha kelompok
orang dalam sebuah lokalitas untuk
menciptakan sebuah proses sosial
kolektif dalam memperbaiki kondisi
ekonomi, sosial, budaya dan atau
lingkungan mereka. Dalam bahasa
sehari-hari, model ini biasa disebut
dengan ”pemberdayaan masyarakat
lokal”.
Ada beberapa karakteristik
pende-katan Community Develop-
ment (CD) yang juga merupakan
Partisipasi Masyarakaat
yg Berkualitas
Penyediaan Sarana & Prasarana
Penegakkan Hukum
Pengakuan Hak Azasi Manusia
Peningkatan Kompetensi Penciptaaan Iklim Kerja yg
memotivasi
Kebijakan Politik
Penciptaan Rasa Aman
Penciptaaan Iklim Usaha yg menguntungkan
Penciptaan Lingkungan Fisik yg favorabel
Kebijakan Ekonomi & Moneter
25
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
acuan pelaksanaan kegiatan pem-
bangunan, yaitu: berkelan-jutan
(sustainable), pemberdayaan (empo
-werment); efektif dan efesien
untuk masyarakat lokal; demokratik
dan partisipatif; distribusi hasil dan
manfaat yang lebih merata dalam
masyarakat lokal, keterkaitan
kelembagaan intra dan ekstra; tidak
merugikan atau mengecam budaya
lokal; dan peka terhadap masalah
gender (wanita dimasukkan sebagai
stakeholder) (Jim Ife & Frank
Teseriero, 2008: hal. 285).
Pola komunikasi pem-
bangunan dalam kajian ini adalah
bentuk atau model komunikasi yang
dilakukan oleh pelaku pembangu-
nan. Dalam pembangunan yang
menggunakan strategi pengem-
bangan masyarakat atau Community
Development (CD), pelaku pem-
bangunan bukan hanya pemerintah,
karena partisipasi aktif masyarakat
setempat yang diperlukan. Sehingga
pembangunan banyak dilakukan
oleh masyarakat sendiri dengan
didorong para pelaku perubahan.
Pemerintah selaku regulator,
fasilitator dan dinamisator mem-
bantu dalam pengambilan kebijakan
secara makro. Sedangkan kebijakan
mikro dilakukan oleh para pelaku
pembangunan lokal. Masyarakat
sebagai pelaku pembangunan bersa-
ma agen perubahan, baik Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau
lainnya dan pemerintah dalam
proses pelaksanaan pembangunan
perlu suatu pola komunikasi yang
tepat agar target pembangunan
yang diharapkan bisa tercapai
(Mardikanto, 1997: hal. 16).
Proses komunikasi pada
pembangunan yang didasarkan
partisipasi aktif masyarakat harus
didasarkan pada kondisi dan kultur
setempat, sehingga para agen
pembangunan sebagai motivator
banyak bergerak dalam tataran
interpersonal communication atau
komunikasi antar pribadi. Hal ini
disebabkan pendekatan komunikasi
interpersonal ini lebih mampu
mengetahui aspirasi masyarakat
tentang kebutuhan-kebutuhannya
karena sifatnya feedback-nya yang
langsung. Sebagai ilustrasi bisa
dilihat gambar berikut:
26
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Gambar 2: Skema Pola Komunikasi Dalam Pengembangan Masyarakat dan Agen
Pembangunan
5. Pemerintah, Pesantren dan
Pengembangan Masyarakat
Dari diskusi tentang
karakteristik pesantren dan unsur-
unsur kunci yang menentukan
proses pembelajaran didalamnya,
pesantren dipandang memiliki
grounded nature dan pranata sosial
yang tangguh dan mewakili aspirasi
sebagian besar masyarakat sekitar-
nya. Oleh karena itu, pesantren
dipandang sangat potensial untuk
berperan sebagai basis pem-
bangunan wilayah yang strategis.
Contoh pesantren yang berhasil
memberikan dampak pembangunan
terhadap masya-rakat lokal di
sekitarnya antara lain Pesantren
Daarut Tauhid pimpinan KH
Abdullah Gymnastiar di Bandung,
Pesantren Agrobisnis Al-Ittifaq di
Ciwidey, Pesantren Al-Amanah
dengan peternakan ayam dan
ikannya di Cililin (Dodi Nandika,
2005).
Hal yang sama dilakukan
Pondok Pesantren Maslakul Huda,
sebuah pesantren salaf yang berdiri
di Desa Kajen, Pati, Jawa Tengah.
Pesantren yang diasuh KH
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
atau akrab disapa Kiai Sahal ini telah
memberi kontribusi positif dan
signifikan terhadap persoalan-
Pendekatan Komunikasi
Strategi Komunikasi Proses Komunikasi
Komunikasi Interpersonal
Kelompok Komunikasi Makro & Mikro Proses Sirkuler
Komunikasi Dikdaktik
Komunikasi Triadik
Mikro Group Komunikasi Paradigmatik
Komunikasi Interpersonal
Komunikasi kelompok
Umpan Balik, Interaksi & Koherensi
27
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
persoalan sosial masyarakatnya. Di
antara keberhasilan Kiai Sahal dan
komunitas pesantrennya dalam
memberdayakan masyarakat adalah
dengan mendirikan dan mengem-
bangkan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Artha Huda Abadi yang
beraset puluhan miliar rupiah, Unit
Simpan-Pinjam Syari’ah (USPS),
beberapa Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) binaan, pem-
buatan pakan ternak dari limbah
tapioka, dan masih banyak lagi
usaha sosial lainnya (Zubeidi, 2007).
Paradigma pesantren tam-
paknya sangat didominasi oleh
karakteristiknya yang sangat dekat
dengan masyarakat. Pada saat
kultur pesantren ditarik pada
tataran formal, ada dua hal yang
mungkin terjadi. Pertama, pesan-
tren mampu melakukan modernisasi
di lingkungan masyarakatnya.
Kedua, pesantren berubah menjadi
institusi pendidikan formal yang
terpisah dari kultur masyarakatnya.
Kemungkinan yang kedua terjadi
karena grounded nature pesantren
terlepas dari akar masyarakatnya,
sehingga pesantren berubah
menjadi sekolah formal biasa.
Dari ketiga contoh pesantren
tersebut di atas menunjukan bahwa
diversifikasi program dan kegiatan
life skills di pesantren makin terbuka
dan luas, jika mampu melakukan
penggalangan sumber daya masya-
rakat sekitarnya dapat berfungsi
sebagai pusat pengembangan
masyarakat (Hasbullah, 1999). Oleh
karena itu, seiring dengan kuatnya
modernisasi pondok pesantren,
maka rekonstruksi peran pondok
pesantren yang tadinya hanya
mempelajari kitab-kitab Islam klasik
kiranya dapat diberdayakan secara
maksimal sebagai agen dalam pem-
bangunan wilayah (Dodi Nandika,
2005).
Melalui pendekatan ini,
sumber daya atau unsur-unsur
pondok pesantren termasuk kiai /
guru, masjid, santri, pondok, kitab-
kitab klasik hingga ilmu penge-
tahuan yang baru dapat didayaguna-
kan dalam proses pendidikan life
skills secara berkelanjutan untuk
membangun manusia yang memiliki
pemahaman ilmu pengetahuan,
potensi kemasyarakatan, dan pem-
bangunan wilayah. Hal ini berujung
pada penciptaan sumber daya
manusia yang berdaya saing dan
produktif. Dengan demikian, pondok
pesantren tidak hanya menjadi
penempa nilai-nilai spiritual saja,
tetapi juga mampu meningkatkan
kecerdasan sosial, dan keterampilan
dalam membangun wilayahnya.
28
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Pengembangan program dan
kegiatan pesantren agar berperan
sebagai basis pembangunan wilayah
pada dasarnya dimulai dari
kemampuan pesantren tersebut
untuk memberdayakan potensi-
potensi yang ada di lingkungannya
oleh sumber daya manusia yang ada
di pesantren. Sumber daya manusia
pesantren diberikan kemampuan
pengeta-huan dan keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan
masyarakatnya, sehingga dapat
berperan sebagai driving force
masya-rakatnya. Dengan demikian,
program dan kegiatan life skills yang
dikembangkan pada pesantren
sebagai institusi pendidikan berasal
dan dipelajari dari lingkungan
masyarakatnya, serta tumbuh dan
berkembang secara bottom-up, dan
bukan ditentukan terlebih dahulu
sebagai ekspektasi formal suatu
kurikulum persekolahan.
Oleh karenanya, pemban-
gunan pendidikan di kalangan
pesantren memerlukan keterlibatan
elemen masyarakat sekitar dan
pemerintah daerah (pemda), baik
provinsi maupun kabupaten/ kota.
Dalam upaya mencari model yang
tepat agar peran pondok pesantren
dalam pembangunan wilayah
berjalan efektif, pemda perlu
merangkul perguruan tinggi sebagai
mitra. Hal ini dikarenakan perguruan
tinggi memiliki sumber daya yang
memadai dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kegiatan riset.
Model yang akan dikem-
bangkan paling tidak memiliki
beberapa komponen bantuan
berikut: Pertama, pemberian dana
atau modal bergulir atau ventura
yang dikaitkan dengan pengem-
bangan potensi wilayah; Kedua,
pendampingan tenaga ahli dari
perguruan tinggi; pendampingan
tenaga ahli di sini meliputi transfer
teknologi dari perguruan tinggi ke
pesan-tren, yang mencakup sumber,
buku-buku atau media tulis pendu-
kung lainnya; Ketiga, penggunaan
Information Communi-cation Tech-
nology (ICT) untuk mendukung
kegiatan dan akses informasi; Keem-
pat, pengadaan dan pengembangan
teknologi atau peralatan produksi
untuk meningkatkan potensi lokal.
Kerja sama Terinspirasi oleh
model land grant college yang
berhasil melakukan modernisasi
pertanian di India dan Amerika
Serikat beberapa dekade yang lalu,
pemda harus bekerja sama dengan
perguruan tinggi untuk mengem-
bangkan lingkungan masyarakat di
sekitar pesantren sebagai inkubator
pengembangan program - program
29
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
pembangunan masyarakat yang
sesuai dengan potensi wilayah
setempat.
Secara sederhana sumber
daya ekonomi masyarakat pesan-
tren dapat dipilah menjadi dua,
yaitu modal dan tenaga kerja yang
keduannya bersifat tangible
(Rahardjo, 1999 : 337). Modal
mencakup uang, tanah/sumber daya
alam, bangunan, mesin atau
peralatan yang dimiliki oleh
masyarakat pesantren, sedangkan
tenaga kerja merupakan faktor
produksi sesudah modal yang
kadang disebut dengan modal insani
(human capital). Modal insani
memegang peran yang teramat vital
dalam faktor produksi, karenanya
dikenal human investmen dengan
harapan mendapatkan modal insani
yang berkualitas (Rahardjo, 1999 :
335). Ketersediaan faktor modal
tidak menjamin suksesnya pengem-
bangan ekonomi bila tidak diiringi
dengan kualitas SDM. Contoh
konkrit dalam hal ini adalah
Indonesia di satu sisi dengan Jepang,
Korea Selatan, dan Taiwan di sisi
yang lain.
Kualitas sumber daya manu-
sia tidak selalu tercermin dalam
ketrampilan dan fisik manusia akan
tetapi juga pendidikan, kadar
pengetahuan, pengalaman /
kematangan dan sikap atau nilai-
nilai yang dimiliki. Berkaitan dengan
unsur yang terakhir, pakar ekonomi
memandang pentingnya ”etos” dari
human capital. Etos dalam
pengertian sosiologis adalah
“sekumpulan ciri-ciri budaya, yang
dengannya suatu kelompok mem-
bedakan dirinya dan menunjukkan
jati dirinya berbeda dengan kelom-
pok yang lain”.
Anggota masyarakat dengan
bantuan para santri pesantren yang
telah memperoleh alih teknologi
dari perguruan tinggi, menentukan
paket-paket program yang akan
dipilih. Paket-paket tersebut dapat
berupa usaha warung serba ada
(waserda), ternak ikan, pembibitan
kelapa hibrida, usaha fotokopi dan
penjilidan, atau jenis usaha atau
pekerjaan apa saja yang sesuai
dengan potensi wilayah setempat.
Akuntabilitas program kelak dapat
dilihat dalam tiga tahap. Pertama,
keberhasilan alih teknologi dari
perguruan tinggi ke pesantren
sebagai institusi sehingga pesantren
dan santri-santrinya mampu
berperan menjadi motor penggerak
pertumbuhan usaha dan lapangan
kerja yang ada di lingkungan
masyarakatnya. Kedua, keberlan-
jutan program dan dampaknya
terhadap pertumbuhan lapangan
30
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
usaha dan pekerjaan di ling-kungan
masyarakat tersebut, pasca
penghentian bantuan dari pemda
dan perguruan tinggi, Ketiga,
peningkatan sumber daya manusia
masyarakat setempat dalam menge-
lola lapangan usaha baru.
Yang patut menjadi catatan
adalah, model ini tidak bisa
diberlakukan secara umum dan
dijadikan obat generik untuk semua
pesantren di Indonesia. Hal ini
dikarenakan, pada dasarnya pem-
bangunan pondok pesantren sangat
dipengaruhi oleh kultur lokal yang
melekat dengan perilaku dan
kemampuan para santrinya sebagai
potential driving force, serta kejelian
seorang pimpinan pesantren untuk
melihat peluang-peluang yang ada
di dalam masyarakatnya. Akankah
keunggulan institusi pesantren ini
menjadi perhatian pemerintah
dalam membangun wilayahnya ?
Kenapa tidak.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas
bahwa selama ini telah terbukti
tanggung menghadapi berbagai
tantangan karena kuatnya nilai-nilai
agama yang dijadikan pijakan dan
prisinsip kemandirian. Dalam hal ini
pengembangan ekonomi adalah bisa
memiliki jiwa dan semangat kewira-
usahaan (enterprenurship) yang
menjadi signifikan dan strategis bagi
pengembangan masyarakat.
Pesantren dengan demikian
telah menjadi dan selalu menjadi
”pelopor atau pioneer pembangu-
nan di Indonesia. Tentu saja hal ini
harus diberengi dengan kesadaran
membangun sikap dan perilaku
profesional.
Berpijak dari pemikiran dan
fakta di lapangan seperti yang
dijelaskan, ada beberapa hal penting
yang harus dilakukan pesantren
dalam kapasitas sebagai motivator,
dinamisator dan fasilitator pember-
dayaan atau pengembangan masya-
rakat (Civil Empowerment and
Community Development), sebagai
berikut:
Pertama, tantangan terberat
pesantren adalah dengan mencegah
terjadinya aliansi modal simbolik
(Otoritas Religius), modal kultural
(Intensitas) dan modal ekonomi
yang berpotensi diselewengkan oleh
kelompok kepentingan (interest
group) tertentu.
Kedua, sebagai lembaga
yang dekat dan dipercaya oleh
masyarakat, pesantren hendaknya
melakukan program kerja pember-
dayaan masyarakat, menuju
terciptanya ”kedewasaan” masyara-
31
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
kat, sejajar dengan masyarakat
lainnya.
Ketiga, dalam bidang pereko-
nomian pesantren perlu melakukan
kegiatan produktif ekonomis yang
berbasis pada sumber daya lokal.
Upaya ini mendesak dilakukan
segera membebaskan masyarakat
sekitar pesantren dari jeratan
kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Halim, Rr. Suhartini, M. Choirul
Arif, A. Sunarto (eds) (Juli
2005). Manajemen Pesan-
tren. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, Cet. I.
Arief, Sritua. (1998). Pembangu-
nanisme dan Ekonomi
Indonesia. Bandung: Zaman
Wacana Mulia.
Ballling dan Totten, (1985).
Modernisasi Masalah Model
Pembangunan, Jakarta :
Rajawali Press, 1985, cet II
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi
Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES, 1982.
Dodi Nandika,”Pesantren Sebagai
Basis Pembangunan Wila-
yah”, dalam Republika,
Jum’at, 25 Februari 2005.
Effendi, Tadjudin Noer. (1998).
Sumber Daya Manusia
Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Field, John (Maret 2010). Modal
Sosial. Bantul: Kreasi
Wacana, Cet. I.
Fisher, B. Aubrey. (1986). Teori-Teori
Komunikasi. Bandung: Rema-
ja Rosdakarya.
H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud.
Kerajaan-Kerajaan Islam
Pertama di Jawa- Kajian
Sejarah Politik Abad ke-15
dan ke-16. Jakarta: Grafiti
Press, 1986.
Hamka, (1981). Sejarah Umat Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
IV.
Jim Ife dan Frank Tesoriero.
(September 2008). Commu-
nity Development: Alternatif
Pengembangan Masyarakat
di Era Globalisasi. Yogyakar-
ta: Pustaka Pelajar, Cet. I.
Karim, M. Rusli. Dinamika Islam di
Indonesia Suatu Tinjauan
Sosial Politik. Yogyakarta:
Hanindita, 1985.
Korten, David C. (1989). Getting to
The 21st Century Voluntary
Action and the Global
Agenda. Connecticut, USA:
Kumarian Press, Inc.
Litlejohn, Stephen W. & Karen A.
Foss. (2008). Theories of
32
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Human Communication.
Belmot, USA: Pre-Press
Company, Inc, Ninth Edition.
Mardikanto, Totok. (1997). Dasar-
dasar Komunikasi
Pembangunan. Jakarta: Balai
Pustaka, Cet I.
Midgley, James. (2005).
Pembangunan Sosial:
Perpektif Pembangunan
Dalam Kesejahteraan Sosial.
Jakarta: Ditperta Depag RI.
Nasution, Z. 2004. Komunikasi
Pembangunan. Pengenalan
Teori dan Penerapannya.
Rajawali Pers. Jakarta.
Panitia PM Gontor. K.H. Imam
Zarkazy Dari Gontor Merintis
Pesantren Modern.
Ponorogo: Gontor Press,
1996.
Pembangunan Indonesia :
Menyongsong Abad XXI.
Pustaka Pembangunan
Swadaya Nusantara. Jakarta.
Rogers, E. M (Ed). 1989, Komunikasi
dan Pembangunan:
Perspektif Kritis. LP3S.
Jakarta.
Rogers, E. M. 2003, Diffusion of
Innovations: Fifth Edition.
Free Press. New York.
Rovihandono, Rio, dkk (Januari
2006). Merekam jejak Mitra
Pengelolaan Sumber Daya
Alam Berbasis Masyarakat.
Jakarta: Yayasan
Keanekaragaman Hayati
Indonesia, Cet. I.
Suman, Agus dan Ahmad Erani
Yustika. (1997). Perspektif
Baru Pembangunan
Indonesia catatan Kritis
terhadap Isu-Isu Aktual,
Malang: Brawijaya Press, cet.
I.
Suwarsono & Alvin Y. So (1991),
Perubahan Sosial dan
Pembangunan di Indonesia –
Teori-teori Modernisasi,
Dependensi dan Sistem
Dunia, Jakarta: LP3ES, Cet. 1
(Selasa, 2 Nopember 2010).
Tilaar, H.A.R, (1997), Pengembangan
Sumber Daya Manusia
Dalam Era Globalisasi.
Jakarta: Gramedia.
Yaya M. Abdul Aziz (ed.),”Visi Global
Antisipasi Indonesia
Memasuki Abad Ke 21,
Jakarta: Yayasan Islam Abad
21, cet I.
Yustina, Ida dan Sudrajat, Adjat
(Penyt.), 2003,
Membentuk Pola Perilaku
Manusia Pembangunan :
Didedikasikan Kepada Prof.
Dr. H.R. Margono Slamet,
IPB Press : Bogor.
33
Pola Komunikasi, Pemerintah, Pesantren dan,,, Fajar Pramono
Zarkasyi, Imam dan Ahmad Sahal.
Wasiat, Pesan, Nasehat dan
Harapan Pendiri Pondok
Modern Gontor. Ponorogo:
Pondok Modern Gontor.
Ziemek, Manfred. (September
1986). Pesantren Dalam
Perubahan Sosial. Jakarta:
Perhimpunan
Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat, Cet. I.
Zubeidi.2007.Pemberdayaan Masya-
rakat Berbasis Pesantren.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet I.
34
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DAN UNSUR TUMBUH KEMBANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM
KELUARGA HARAPAN
RELATIONSHIP OF SOCIAL CAPITAL AND GROWING ELEMENTS PUBLIC PARTICIPATION AT THE FAMILY HOPE
PROGRAM
Nurul Risca Pratiwi1), Agung Wibowo2), Bekti Wahyu Utami3) 1) Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
2, 3)Dosen Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
This research aims to assess the level of social capital, assess the level of an element of growth and development participation, and examines the relationship between capital social and an element of the growth of participation on CCT in Wonogiri Subdistrict of Wonogiri Regency. Location research done purposively and taking the number of samples is done by proportional random sampling. Methods of data analysis is the measurement interval width and Rank Kendall correlation test. Based on the results of correlation Rank Kendall, a variable that has a significant relationship with the participation of KSM in CCT at all stages of participation is variable reciprocity the value Zcount 3.808, solidarity with Zcount 5.771, willingness with Zcount 4.326, opportunity with Zcount value of 5.716, and the ability with a value of 4,435 Zcount. It shows that the variable relationship reciprocity, solidarity, willingness, opportunity, and ability with the participation of KSM in PKH is significant because the value of Ztable is greater than Zcount 2,580 at 99% confidence level. Thus, the higher the level of reciprocity, solidarity, willingness, opportunity, and ability to KSM, the higher the participation in CCT.
Keywords: Social Capital, Conditional Cash Transfers
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat modal sosial, mengkaji tingkat unsur tumbuh kembang partisipasi, dan mengkaji hubungan modal sosial dan unsur tumbuh kembang partisipasi terhadap tingkat partisipasi dalam PKH di Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dan pengambilan jumlah sampel dilakukan dengan proportional random sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah pengukuran lebar interval dan uji korelasi Rank Kendall. Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Kendall, variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan partisipasi KSM dalam PKH pada seluruh tahapan partisipasi adalah variabel reciprocity dengan nilai zhitung 3,808, solidaritas dengan nilai zhitung, kemauan dengan nilai zhitung 4,326, kesempatan dengan nilai zhitung 5,716, dan kemampuan dengan nilai zhitung 4,435. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan variabel reciprocity, solidaritas, kemauan,
35
kesempatan, dan kemampuan dengan partisipasi KSM dalam PKH adalah signifikan karena nilai zhitung lebih besar daripada ztabel 2,580 pada tingkat kepercayaan 99%. Sehingga, semakin tinggi tingkat reciprocity, solidaritas, kemauan, kesempatan, dan kemampuan KSM, maka akan semakin tinggi pula partisipasinya dalam PKH.
Kata kunci: Modal Sosial, Program Keluarga Harapan
PENDAHULUAN
Indonesia hingga saat ini
masih termasuk ke dalam kategori
negara berkembang. Pembangunan
yang dilakukan suatu negara
berkembang diharapkan dapat
mengantarkannya menuju negara
yang maju. Proses pembangunan di
Indonesia sendiri terhambat oleh
beberapa masalah salah satunya
adalah kemiskinan. Kondisi kemiski-
nan di Indonesia masih cukup tinggi,
berdasarkan data yang disajikan
Badan Pusat Statistik dari bulan
Maret 2014 jumlah penduduk
miskin sebanyak 28,3 juta jiwa atau
11,22 % dan bulan September 2014
masih sebanyak 27,73 juta jiwa atau
10,99 % dari 252,164 juta jiwa total
penduduk (BPSa,2015). Pembangu-
nan dapat dilakukan melalui
program pengembangan masyara-
kat, dimana hal tersebut akan
membawa pada perbaikan layanan
kesehatan dan pendidikan; perbai-
kan ekonomi yang berkelanjutan;
perbaikan penggunaan lahan;
perbaikan fasilitas masyarakat dan
layanan publik (Theresia dkk, 2014).
Salah satu program pengem-bangan
masyarakat yang sedang digunakan
pemerintah melalui Kementrian
Sosial untuk menanggulangi kemiski-
nan adalah Program Keluarga
Harapan (PKH), dimana program
tersebut sekaligus untuk percepatan
pencapaian tujuan pertama yang
tercantum dalam Millennium
Development Goal’s (MDGs), yaitu
pengentasan kemiskinan dan
kelaparan ekstrem.
PKH adalah program
pengentasan kemiskinan dengan
memberikan bantuan tunai bersya-
rat (Conditional Cash Transfers)
kepada Keluarga Sangat Miskin
(KSM) yang sudah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 2007. Tujuan
umum dari PKH adalah meningkat-
kan kualitas sumber daya manusia,
dan mengubah pandangan, sikap,
serta perilaku KSM untuk lebih
dapat mengakses layanan kesehatan
dan pendidikan yang diharapkan
dapat memutus rantai kemiskinan
antargenerasi, selain itu KSM juga
diharapkan mandiri melalui
Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
36
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Kabupaten Wonogiri sudah
selayaknya menjadi salah satu
daerah penerima PKH karena
masyarakat miskin disana tidak rutin
dalam memanfaatkan fasilitas
kesehatan. Persentase pendidikan
tertinggi yang ditamatkan sebagian
besar penduduk khususnya di
Kecamatan Wonogiri juga hanya
setingkat SD yaitu sebesar 28.105
atau 51,54% (BPSd,2015). Hal itu
terkendala oleh kondisi ekonomi
dari masyarakat miskin sehingga
tidak dapat mengenyam pendidikan
yang lebih tinggi atau pun kondisi
sosial budaya lingkungan yang
memotivasi masyarakat untuk tidak
meneruskan sekolah. Selain itu,
Kecamatan Wonogiri masih
mengalami kendala terkait KUBE
padahal akses terhadap bantuan
permodalan dan pemasaran lebih
mudah, serta lebih cepat dalam
memperoleh informasi ketika
terdapat pelatihan-pelatihan yang
diadakan instansi terkait.
Potensi tersebut apabila
dapat dimanfaatkan dengan optimal
akan membantu sebagian bahkan
seluruh KSM untuk dapat mandiri
setelah kategori penerima bantuan
habis serta berpotensi menjadi
percontohan bagi KUBE di
kecamatan bahkan kabupaten lain.
Dalam proses pembangunan yang
diwujudkan melalui program
pengembangan masyarakat PKH,
lebih mendasarkan pentingnya
partisipasi dari peserta program
karena peserta program adalah
subjek pembangunan. Kunci
keberhasilan pembangunan sendiri
ditentukan oleh partisipasi aktif
peserta mulai dari perencanaan
hingga pemanfaatan hasil pem-
bangunan.
Tingginya tingkat partisipasi
tersebut dapat ditentukan oleh
kondisi modal sosial dan unsur
tumbuh kembang partisipasi yang
dimiliki peserta program. Berdasar-
kan hasil penelitian Rozaqi (2009),
unsur tumbuh kembang partisipasi
yaitu kemauan, kemampuan, dan
kesempatan masyarakat berhu-
bungan signifikan dengan tingkat
partisipasi masyarakat dalam PNPM
Mandiri Perdesaan; hasil penelitian
Apandi (2010) mengemukakan
bahwa modal sosial vertikal yaitu
tingkat kepercayaan, kerjasama, dan
kuat jaringan berhubungan dengan
tingkat partisipasi masyarakat dalam
program; sedangkan hasil penelitian
Taryania (2013) mengemukakan
bahwa modal sosial tingkat keperca-
yaan, norma, dan jaringan peserta
program memiliki hubungan dengan
partisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pemanfaatan hasil
37
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
pada keeratan hubungan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu,
penelitian mengenai Hubungan
Modal Sosial dan Unsur Tumbuh
Kembang Partisipasi Masyarakat
Dalam Program Keluarga Harapan di
Kecamatan Wonogiri Kabupaten
Wonogiri menjadi perlu dilakukan
untuk mengetahui sejauh mana
hubungan modal sosial yaitu social
networks, reciprocity, trust, solidari-
tas, kebersamaan dan unsur tumbuh
kembang partisipasi yaitu kemauan,
kesempatan, kemampuan terhadap
partisipasi masyarakat peserta
program atau keluarga sangat
miskin (KSM) dalam PKH.
METODE PENELITIAN
Metode dasar yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif yaitu
metode penelitian dengan mem-
bahas suatu permasalahan dengan
cara meneliti, menguraikan, menga-
nalisis dan menginterpretasikan hal-
hal yang ditulis dengan pembahasan
teratur dan sistematis (Arifin dan
Junaiyah, 2010). Pelaksanaan peneli-
tian ini menggunakan teknik survai.
Teknik survai merupakan pelaksa-
naan penelitian dengan cara
mengambil sampel dari suatu
populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan
data yang pokok (Singarimbun,
1995).
Metode untuk mengetahui
tingkat modal sosial dan unsur
tumbuh kembang partisipasi
menggunakan alat analisis penguku-
ran lebar interval, sedangkan untuk
menganalisis hubungan modal sosial
dan unsur tumbuh kembang
partisipasi terhadap tingkat partisi-
pasi Keluarga Sangat Miskin (KSM)
dalam PKH dilakukan dengan uji
korelasi Rank Kendall melalui
pemanfaatan program SPSS 20.0 for
windows untuk mempermudah
proses pengolahan data dan uji
tingkat signifikansi hubungan
melalui perhitungan Zhitung kemudian
membandingkannya dengan Ztabel.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
meng-gunakan teknik wawancara
melalui pertanyaan yang diajukan
secara lisan kepada responden
terpilih, teknik observasi yaitu
melakukan pengamatan langsung ke
lapangan dengan melihat objek
penelitian, dan teknik pencatatan.
Sampel penelitian ditentu-
kan secara proportional random
sampling yaitu sebanyak 40 peserta
program di empat desa, dimana
beberapa kelompok KSM telah
memperoleh bantuan modal KUBE
38
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
kemudian diambil secara proporsio-
nal agar dapat mewakili 147
populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kantor Unit Pelaksana
Program Keluarga Harapan (UPPKH)
terletak di sebelah utara Kecamatan
Wonogiri, lebih tepatnya yaitu di
Kelurahan Wonokarto. Berdasarkan
Statistik Daerah Kecamatan
Wonogiri (2015), Kecamatan
Wonogiri merupakan daerah
pegunungan. Sebagian besar
Kecamatan Wonogiri memiliki
topografi yang datar dengan
ketinggian rata-rata 158 mdpl.
Kecamatan Wonogiri terbagi
kedalam 15 desa / kelurahan, dan
desa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Desa
Purwosari, Sonoharjo, Bulusulur,
dan Wonoboyo.
Memperkuat modal sosial
kelompok miskin berarti meningkat-
kan kesempatan bagi mereka untuk
berpartisipasi. Berikut tingkat social
networks, reciprocity, trust, solidari-
tas, kebersamaan, KSM dalam PKH
dii Kecamatan Wonogiri dapat
dilihat pada Tabel 1.
Pemberian kesempatan
harus dilandasi oleh pemahaman
bahwa masyarakat bersangkutan
layak bukan hanya karena memiliki
kemampuan-kemampuan yang
diperlukan, namun sebagai sesama
warga negara yang berhak
berpartisipasi dan memanfaatkan
setiap kesempatan membangun
bagi perbaikan mutu hidup
khususnya melalui PKH. Tingkat
kemauan, kesempatan, dan kemam-
puan dalam PKH di Kecamatan
Wonogiri dapat dilihat pada Tabel 2.
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara
modal sosial dan unsur tumbuh
kembang partisipasi terhadap
partisipasi Keluarga Sangat Miskin
(KSM) dalam PKH di Kecamatan
Wonogiri Kabupaten Wonogiri.
Hubungan tersebut akan dapat
dilihat dengan Uji Korelasi Rank
Kendall melalui pemanfaatan
program SPSS 20.0 for windows
untuk mempermudah proses
pengolahan data dan untuk
mengetahui tingkat signifikansi
dengan membandingkan besarnya
nilai zhitung dan ztabel dimana tingkat
kepercayaan yang digunakan 95% (α
= 0,05) dan 99% (α = 0,01). Apabila
zhitung ≥ ztabel maka Ho ditolak, artinya
ada hubungan yang signifikan antara
modal sosial dan unsur tumbuh
kembang partisipasi terhadap
partisipasi KSM dalam PKH di
Kecamatan Wonogiri Kabupaten
Wonogiri. Sebaliknya, apabila zhitung
39
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
< ztabel maka Ho diterima, artinya
tidak ada hubungan yang signifikan
antara antara modal sosial dan
unsur tumbuh kembang partisipasi
dengan partisipasi KSM terhadap
PKH di Kecamatan Wonogiri
Kabupaten Wonogiri. Hasil analisis
hubungan antara modal sosial dan
unsur tumbuh kembang partisipasi
dengan partisipasi KSM dalam PKH
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Tingkat Modal Sosial KSM dalam PKH di Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri
No Tingkat Interval Kategori Jumlah Prosentase (%)
1 Social networks 7,0-16,3 16,4-25,7 25,8-35,0
Rendah Sedang Tinggi
0 27 13
0,0 67,5 32,5
2 Reciprocity 7,0-16,3 16,4-25,7 25,8-35,0
Rendah Sedang Tinggi
0 16 24
0,0 40 60
3 Trust 10,0-23,3 23,4-36,7 36.8-50,0
Rendah Sedang Tinggi
0 1
39
0,0 2,5
97,5
4 Solidaritas 9,0-21,0 21,1-33,0 33,1-45,0
Rendah Sedang Tinggi
0 1
39
0,0 2,5
97,5
5 Kebersamaan 9,0-21,0 21,1-33,0 33,1-45,0
Rendah Sedang Tinggi
0 15 25
0,0 37,5 62,5
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
Tabel 2. Tingkat Unsur Tumbuh Kembang Partisipasi KSM dalam PKH di Kecamatan
Wonogiri Kabupaten Wonogiri No Tingkat Interval Kategori Jumlah Prosentase (%)
1 Kemauan 9,0-21,0 21,1-33,0 33,1-45,0
Rendah Sedang Tinggi
0 0
40
0,0 0,0
100,0
2 Kesempatan 12,0-28,0 28,1-44,0 44,1-60,0
Rendah Sedang Tinggi
1 30 9
2,5 75,0 22,5
3 Kemampuan 12,0-28,0 28,1-44,0 44,1-60,0
Rendah Sedang Tinggi
0 25 15
0,0 62,5 37,5
Sumber : Analisis Data Primer, 201
40
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Tabel 3. Uji Hipotesis Hubungan antara Modal Sosial dan Unsur Tumbuh Kembang Partisipasi terhadap Partisipasi KSM dalam PKH di Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri
Var Y1 Y2 Y3 Y4 Ytot
τ Z hit τ Z hit τ Z hit τ Z hit τ Z hit
X1
X1.1 0,222 2,017* 0,189 1,718 0,168 1,527 0,143 1,300 0,181 1,645
X1.2 0,509 4,626** 0,369 3,353** 0,345 3,135** 0,477 4,335** 0,419 3,808**
X1.3 0,085 0,772 0,036 0,327 0,131 1,191 0,167 1,518 0,136 1,236
X1.4 0,274 2,490* 0,527 4,789** 0,499 4,535** 0,584 5,307** 0,635 5,771**
X1.5 0,150 1,363 0,333 3,026** 0,382 3,472** 0,482 4,380** 0,447 4,062**
X2 X2.1 0,460 4,180** 0,442 4,017** 0,415 3,771** 0,435 3,953** 0,476 4,326** X2.2 0,483 4,389** 0,491 4,462** 0,566 5,144** 0,608 5,525** 0,629 5,716** X2.3 0,532 4,835** 0,400 3,635** 0,489 4,444** 0,481 4,371** 0,488 4,435**
Xtot 0,423 3,844** 0,525 4,771** 0,570 5,180** 0,714 6,489** 0,712 6,471**
Sumber: Analisis Data Primer, 2016
Keterangan:
Berdasarkan Tabel 3 dapat
diketahui hubungan antara social
net-works dengan partisipasi dalam
perenca-naan mempunyai nilai τ
0,222 dan nilai zhitung 2,017. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan
variabel social networks dengan
partisipasi dalam perencanaan
adalah signifikan karena nilai zhitung
lebih besar daripada ztabel 1,960
pada tingkat kepercayaan 95%.
Sehingga, semakin tinggi tingkat
social networks atau semakin
banyak responden/KSM bergabung
dalam bebe-rapa jaringan maka
akan semakin tinggi pula partisipasi-
nya dalam tahap perencanaan.
Fakta di lapangan, responden/KSM
telah mengikuti lebih dari satu
organisasi sosial selain PKH, yaitu
Dasawisma dan PKK. Responden /
KSM yang tergabung pada lebih dari
satu jaringan sudah terbiasa
berpartisipasi dalam perencanaan
suatu kegiatan dengan mengetahui
tujuan dari organisasi yang diikuti
tersebut, sering menghadiri
pertemuan rutin, mengajukan ide /
gagasan, mem-buat kesepakatan
bersama, dan mengambil keputusan
X1,1 : Social networks X1,2 : Reciprocity X1,3 : Trust X1,4 : Solidaritas X1,5 : Kebersamaan X2,1 : Kemauan X2,2 : Kesempatan X2,3 : Kemampuan Xtotal : Modal sosial dan unsur tumbuh
kembang partisipasi Y1 : Partisipasi dalam perencanaan
Y2 : Partisipasi dalam pelaksanaan
kegiatan
Y3 : Partisipasi dalam pemantauan & evaluasi pembangunan
Y4 :: Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan
Ytotal : Partisipasi KSM dalam PKH τ Zhit * **
: Koefisien Korelasi Rank Kendall : Z hitung : Signifikan pada Z tabel = 0,05 : Signifikan pada Z tabel = 0,01
Z tabel 0,05 Z tabel 0,01
: 1,960 : 2,580
41
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
bersama dalam kelompoknya sesuai
prioritas kebutuhan saat itu.
Hubungan antara social networks
dengan partisipasi dalam pelaksa-
naan kegiatan mempunyai nilai τ
0,189 dan nilai zhitung 1,718,
hubungan antara social networks
dengan partisipasi dalam peman-
tauan dan evaluasi pembangunan
mempunyai nilai τ 0,168 dan nilai
zhitung 1,527, hubungan antara
social networks dengan partisipasi
dalam pemanfaatan hasil pem-
bangunan mempunyai nilai τ 0,143
dan nilai zhitung 1,300, serta
hubungan antara social networks
dengan partisipasi dalam PKH
mempunyai nilai τ 0,181 dan nilai
zhitung 1,645. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan variabel social
networks dengan partisipasi dalam
pelaksanaan kegiatan, pemantauan
dan evaluasi, serta pemanfaatan
hasil pembangunan adalah tidak
signifikan karena zhitung lebih kecil
daripada ztabel 1,960 pada tingkat
kepercayaan 95% sehingga
walaupun responden/KSM mengi-
kuti jaringan selain PKH belum tentu
partisipasinya tinggi dalam pelaksa-
naan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi, serta pemanfaatan hasil
pembangunan. Fakta di lapangan,
hal tersebut terjadi karena KSM
belum tentu aktif dalam kepenguru-
san kelompok; tidak begitu sering
dalam memberikan saran saat
pertemuan kelompok karena
mengikuti arahan ketua kelompok
atau pendamping saja; terdapat
KSM yang belum membentuk dan
menjalankan KUBE karena terken-
dala kesibukan sehingga hanya
dapat memberikan sumbangan uang
untuk arisan dan iuran sosial saja
serta belum dapat merasakan
manfaat dari hasil kegiatan KUBE.
Hubungan antara recipro-
city dengan partisipasi dalam
perencanaan mempunyai nilai τ
0,509 dan nilai zhitung 4,626,
hubungan reciprocity dengan
partisipasi dalam pelaksanaan kegia-
tan mempunyai nilai τ 0,369 dan
nilai zhitung 3,353, hubungan
reciprocity dengan partisipasi dalam
pemantauan dan evaluasi pem-
bangunan mempunyai nilai τ 0,345
dan nilai zhitung 3,135, hubungan
reciprocity dengan partisipasi dalam
pemanfaatan hasil pembangunan
mempunyai nilai τ 0,477 dan nilai
zhitung 4,335, dan hubungan
reciprocity dengan partisipasi dalam
PKH mempunyai nilai τ 0,419 dan
nilai zhitung 3,808. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan
variabel reciprocity dengan
partisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan kegiatan, pemantauan
42
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
dan evaluasi, pemanfaatan hasil
pembangunan, serta partisipasinya
secara keseluruhan dalam PKH
adalah signifikan karena zhitung
lebih besar daripada ztabel 2,580
pada tingkat kepercayaan 99%.
Sehingga, semakin tinggi tingkat
reciprocity responden/KSM maka
akan semakin tinggi pula partisipasi-
nya dalam perencanaan, pelaksa-
naan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi, pemanfaatan hasil
pebangunan, serta partisipasinya
secara keseluruhan dalam PKH.
Fakta di lapangan, KSM yang pernah
saling menolong, mulai dari
pemberian gagasan/saran berkaitan
dengan kendala/masalah yang
disampaikan saat pertemuan kelom-
pok hingga bantuan materi akan
merangsang KSM yang dibantunya
di kesempatan mendatang untuk
membalasnya dengan hal yang sama
bahkan lebih.
Hubungan antara trust
dengan partisipasi dalam perenca-
naan mempunyai nilai τ 0,085 dan
nilai zhitung 0,772, hubungan trust
dengan partisipasi dalam pelaksa-
naan kegiatan mempunyai nilai τ
0,036 dan nilai zhitung 0,327,
hubungan trust dengan partisipasi
dalam pemantauan dan evaluasi
pembangunan mempunyai nilai τ
0,131 dan nilai zhitung 1,191,
hubungan trust dengan partisipasi
dalam pemanfaatan hasil pem-
bangunan mempunyai nilai τ 0,167
dan nilai zhitung 1,518, dan
hubungan trust dengan partisipasi
dalam PKH mempunyai nilai τ 0,136
dan nilai zhitung 1,236. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan
variabel trust dengan partisipasi
dalam perencanaan, pelaksanaan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi,
pemanfaatan hasil pembangunan,
serta partisipasinya secara keseluru-
han dalam PKH adalah tidak
signifikan karena zhitung lebih kecil
daripada ztabel 1,960 pada tingkat
kepercayaan 95%. Sehingga,
walaupun tingkat trust responden /
KSM tinggi belum tentu partisipasi-
nya tinggi dalam perencanaan,
pelaksanaan kegiatan, pemantauan
dan evaluasi, pemanfaatan hasil
pembangunan, serta dalam PKH
secara keseluruhan. Fakta di
lapangan, hal itu terjadi karena
sebagian besar responden/KSM
hanya saling mempercayai sebatas
dengan KSM satu kelompoknya saja;
dapat memaklumi apabila ada KSM
yang tidak bisa hadir dengan
memberi alasan ketidak hadirannya;
tidak semua KSM dapat membentuk
dan melaksanakan KUBE karena
kesibukan yang berbeda-beda; KSM
tidak selalu memberikan ide/
43
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
gagasan dan saran atas masalah dan
kendala yang sedang dihadapi
karena sudah mempercayakan
kepada ketua kelompok.
Hubungan antara solidari-
tas dengan partisipasi dalam peren-
canaan mempunyai nilai τ 0,274 dan
nilai zhitung 2,490. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan
variabel solidaritas dengan partisi-
pasi dalam perencanaan, adalah
signifikan karena zhitung lebih besar
daripada ztabel 1,960 pada tingkat
kepercayaan 95%. Hubungan
solidaritas dengan partisipasi dalam
pelaksanaan kegiatan mempunyai
nilai τ 0,527 dan nilai zhitung 4,789,
hubungan solidaritas dengan
partisipasi dalam pemantauan dan
evaluasi pembangunan mempunyai
nilai τ 0,499 dan nilai zhitung 4,535,
hubungan solidaritas dengan
partisipasi dalam pemanfaatan hasil
pembangunan mempunyai nilai τ
0,584 dan nilai zhitung 5,307, dan
hubungan solidaritas dengan
partisipasi dalam PKH mempunyai
nilai τ 0,635 dan nilai zhitung 5,771.
Hal ini menunjukkan bahwa hu-
bungan variabel solidaritas dengan
partisipasi dalam pelaksanaan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi,
pemanfaatan hasil pembangunan,
serta partisipasinya secara keseluru-
han dalam PKH adalah signifikan
karena zhitung lebih besar daripada
ztabel 2,580 pada tingkat keper-
cayaan 99%. Sehingga, semakin
tinggi tingkat solidaritas responden /
KSM maka akan semakin tinggi pula
partisipasinya dalam perencanaan,
pelaksanaan kegiatan, pemantauan
dan evaluasi, pemanfaatan hasil
pembangunan, serta dalam PKH
secara keseluruhan. Fakta di
lapangan, responden/KSM telah
mematuhi kesepakatan untuk
melakukan perte-muan kelompok
rutin. Sedangkan kesepakatan lain,
seperti arisan kelompok KSM setuju
karena akan berguna bagi yang
membutuhkan. Kesetiaan dan
keyakinan KSM dalam melakukan
kumpulan kelompok diwujudkan
dengan ia sering datang baik saat
penyaluran bantuan maupun
kumpulan kelompok rutin. Selain itu
KSM juga sangat bangga dalam
mengikuti PKH maupun menjadi
peserta PKH.
Hubungan antara kebersa-
maan dengan partisipasi dalam
perencanaan mempunyai nilai τ
0,150 dan nilai zhitung 1,363. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan
variabel kebersamaan dengan
partisipasi dalam perencanaan
adalah tidak signifikan karena
zhitung lebih kecil daripada ztabel
1,960 pada tingkat kepercayaan
44
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
95%. Sehingga, walaupun tingkat
kebersamaan responden/KSM tinggi
belum tentu partisipasinya juga
tinggi dalam tahap perencanaan.
Fakta di lapangan, hal itu terjadi
karena masih terdapat responden /
KSM yang jarang mengajukan ide
atau gagasan; KSM cenderung
mempercayakan ide / gagasan
cemerlang dari ketua kelompoknya.
Sedangkan, hubungan kebersamaan
dengan partisipasi dalam pelaksa-
naan kegiatan mempunyai nilai τ
0,333 dan nilai zhitung 3,026,
hubungan keber-samaan dengan
partisipasi dalam pemantauan dan
evaluasi pembangunan mempunyai
nilai τ 0,382 dan nilai zhitung 3,472,
hubungan kebersamaan dengan
partisipasi dalam pemanfaatan hasil
pembangunan mempunyai nilai τ
0,482 dan nilai zhitung 4,380, dan
hubungan kebersamaan dengan
partisipasi dalam PKH mempunyai
nilai τ 0,447 dan nilai zhitung 4,062.
Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan variabel kebersamaan
dengan partisipasi dalam pelaksa-
naan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi, pemanfaatan hasil
pembangunan, serta partisipasinya
secara keseluruhan dalam PKH
adalah signifikan karena zhitung
lebih besar daripada ztabel 2,580
pada tingkat kepercayaan 99%.
Sehingga, semakin tinggi tingkat
kebersamaan responden/ KSM maka
akan semakin tinggi pula partisipasi-
nya dalam pelaksanaan kegiatan,
pemantauan dan evaluasi, peman-
faatan hasil pembangunan, serta
dalam PKH secara keseluruhan.
Fakta di lapangan, hal tersebut
karena sebagian besar KSM merasa
penting untuk berkumpul dengan
KSM lain dalam kelompoknya baik
saat penyaluran maupun diluar
penyaluran; mau saling bergotong-
royong untuk menciptakan keman-
dirian melalui pembentukan usaha
kelompok (KUBE); dan saling
mendukung dalam musyawarah
mufakat.
Hubungan antara kemauan
dengan partisipasi dalam perenca-
naan mempunyai nilai τ 0,460 dan
nilai zhitung 4,180, hubungan
kemauan dengan partisipasi dalam
pelaksanaan kegiatan mempunyai
nilai τ 0,442 dan nilai zhitung 4,017,
hubungan kemauan dengan partisi-
pasi dalam pemantauan dan
evaluasi pembangunan mempunyai
nilai τ 0,415 dan nilai zhitung 3,771,
hubungan kemauan dengan partisi-
pasi dalam pemanfaatan hasil
pembangunan mempunyai nilai τ
0,435 dan nilai zhitung 3,953, dan
hubungan kemauan dengan partisi-
pasi dalam PKH mempunyai nilai τ
45
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
0,476 dan nilai zhitung 4,326. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan
variabel kemauan dengan partisipasi
dalam perencanaan, pelaksanaan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi,
pemanfaatan hasil pebangunan,
serta partisipasinya secara keseluru-
han dalam PKH adalah signifikan
karena zhitung lebih besar daripada
ztabel 2,580 pada tingkat keper-
cayaan 99%. Sehingga, semakin
tinggi tingkat kemauan responden /
KSM maka akan semakin tinggi pula
partisipasinya dalam perencanaan,
pelaksanaan kegiatan, pemantauan
dan evaluasi, pemanfaatan hasil
pem-bangunan, serta partisipasi
dalam PKH secara keseluruhan.
Fakta di lapangan, responden/KSM
memiliki motivasi yang tinggi dalam
mengikuti PKH karena adanya
kesadaran dari dirinya sendiri untuk
memperbaiki kehidupannya. Guna
memperoleh segala yang dibutuh-
kan, sebagian besar KSM berupaya
dengan mau melakukan kegiatan
atas dasar kesadarannya.
Hubungan antara kesempa-
tan dengan partisipasi dalam
perencanaan mempunyai nilai τ
0,483 dan nilai zhitung 4,389,
hubungan kesempatan dengan
partisipasi dalam pelaksanaan
kegiatan mempunyai nilai τ 0,491
dan nilai zhitung 4,462, hubungan
kesempatan dengan partisipasi
dalam pemantauan dan evaluasi
pembangunan mempunyai nilai τ
0,566 dan nilai zhitung 5,144,
hubungan kesempatan dengan
partisipasi dalam pemanfaatan hasil
pembangunan mempunyai nilai τ
0,608 dan nilai zhitung 5,525, dan
hubungan kesempatan dengan
partisipasi dalam PKH mempunyai
nilai τ 0,629 dan nilai zhitung 5,716.
Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan variabel kesempatan
dengan partisipasi dalam perenca-
naan, pelaksanaan kegiatan, peman-
tauan dan evaluasi, pemanfaatan
hasil pembangunan, serta partisi-
pasinya secara keseluruhan dalam
PKH adalah signifikan karena zhitung
lebih besar daripada ztabel 2,580
pada tingkat kepercayaan 99%.
Sehingga, semakin tinggi tingkat
kesempatan responden/KSM maka
akan semakin tinggi pula partisipasi-
nya dalam perencanaan, pelaksa-
naan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi, pemanfaatan hasil pem-
bangunan, serta dalam PKH secara
keseluruhan. Fakta di lapangan, KSM
telah diberikan kesempatan untuk
berpartisipasi mulai tahap perenca-
naan, dimana pada tahap awal
selalu diberikan sosialisasi apabila
terdapat informasi mulai dari
kewajiban KSM, hak KSM, dan
46
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
sumbangan apa saja yang dapat
diberikan KSM terhadap program.
KSM diminta memberikan ide /
gagasannya mengenai program dan
saran untuk setiap pemecahan
masalah / kendala yang sedang
dihadapi.
Hubungan antara kemam-
puan dengan partisipasi dalam
perencanaan mempunyai nilai τ
0,532 dan nilai zhitung 4,835,
hubungan kemampuan dengan
partisipasi dalam pelaksanaan
kegiatan mempunyai nilai τ 0,400
dan nilai zhitung 3,635, hubungan
kemampuan dengan partisipasi
dalam pemantauan dan evaluasi
pembangunan mempunyai nilai τ
0,489 dan nilai zhitung 4,444,
hubungan kemampuan dengan
partisipasi dalam pemanfaatan hasil
pembangunan mempunyai nilai τ
0,481 dan nilai zhitung 4,371, dan
hubungan kemampuan dengan
partisipasi dalam PKH mempunyai
nilai τ 0,488 dan nilai zhitung 4,435.
Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan variabel kemampuan
dengan partisipasi dalam perenca-
naan, pelaksanaan kegiatan, peman-
tauan dan evaluasi, pemanfaatan
hasil pem-bangunan, serta partisi-
pasinya secara keseluruhan dalam
PKH adalah signifikan karena zhitung
lebih besar daripada ztabel 2,580
pada tingkat kepercayaan 99%.
Sehingga, semakin tinggi tingkat
kemampuan responden / KSM maka
akan semakin tinggi pula partisipasi-
nya dalam perencanaan, pelaksa-
naan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi, pemanfaatan hasil pem-
bangunan, serta dalam PKH secara
keseluruhan. Fakta di lapangan,
responden/KSM di Kecamatan
Wonogiri sudah memiliki kesediaan
berpartisipasi tinggi yang akan
membantu upaya pembangunan,
dimana kesediaan nantinya akan
mendorong peningkatan kemam-
puan melalui berbagai upaya.
Apabila kemampuan dalam peman-
faatan potensi telah dimiliki,
diharapkan kemandirian responden
/ KSM yang dibangun melalui KUBE
juga akan tercapai.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji
korelasi Rank Kendall, variabel yang
memiliki hubungan signifikan terha-
dap partisipasi KSM dalam PKH pada
seluruh tahapan partisipasi adalah
variabel reciprocity (X2), solidaritas
(X4), kemauan (X6), kesempatan (X7),
dan kemampuan (X8).
Adapun saran yang dapat
menjadi pertimbangan oleh peserta
program dan peneliti selanjutnya:
(1) Modal sosial dan unsur tumbuh
47
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
kembang partisipasi yang sudah baik
supaya dapat dijaga bahkan
ditingkatkan agar partisipasi KSM
optimal dalam setiap tahap
partisipasi. Hal itu dapat dilakukan
salah satunya dengan mewajibkan
KSM yang belum membentuk KUBE
untuk segera membentuk KUBE
karena secara alamiah akan terjalin
komunikasi dan interaksi antar KSM
yang lebih intensif. Komunikasi dan
interaksi yang baik akan menghasil-
kan masyarakat yang tidak indivi-
dualistik, kemudian akan meningkat-
kan modal sosial dan membawa
kepada pertumbuhan ekonomi dan
kestabilan demokrasinya. (2) Peneli-
tian ini menggunakan alat analisis uji
korelasi Rank Kendall yang diharap-
kan pada penelitian selanjutnya
dapat dikembangkan menjadi uji
korelasi Rank Kendall secara parsial.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapkan terima kasih
disampaikan kepada Bapak Agung
Wibowo, SP., M.Si, Ibu Bekti Wahyu
Utami, SP., M.Si, Ibu Eny Lestari, SP.,
M.Si, selaku dosen pembimbing dan
tim penguji yang telah membantu
dalam menyempurnakan penelitian
ini, serta kedua orang tua penulis
yang senantiasa memberikan
semangat dan do’a tulusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Apandi, A.R. (2010). Tingkat Partisi-
pasi Masyarakat Dalam
Program Pemberdayaan
Ekonomi “Aku Himung
Petani Banua” Dari
Perspektif Kapital Sosial
(Kasus: PT Arutmin Indone-
sia Satui Mine, Kalimantan
Selatan). Skripsi. Bogor:
Departemen Sains Komuni-
kasi Dan Pengembangan
Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia IPB.
Arifin dan Junaiyah H.M. 2010.
Keutuhan Wacana. Grasin-
do. Jakarta.
BPSa. (2015). Statistik Indonesia
2015. http://www.bps.go.id
/index.php/publikasi/1045.
Diakses tanggal 29 Januari
2016.
BPSd. (2015). Kecamatan Wonogiri
Dalam Angka 2015. http://
wonogirikab. bps.go.id/ web
site / flipping_ publikasi /
Kecamatan-Wonogiri-Dalam-
Angka-2015/ indexFlip.php.
Diakses tanggal 2 Maret
2016.
Rozaqi, H. (2009). Analisis Tingkat
Partisipasi Masyarakat
Terhadap Unit Pengelola
Kegiatan Program Nasional
Pemberdayaaan Masyarakat
48
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Mandiri Perdesaan Di
Kecamatan Kalijambe Kabu-
paten Sragen. Skripsi.
Surakarta: Fakultas Pertanian
UNS.
Siegel, S. (1997). Statistik Non
Parametrik untuk Ilmu-ilmu
Sosial. Jakarta: PT. Gramedia.
Singarimbun, M. & Effendi, S.
(1995). Metode Penelitian
Survai. Jakarta: LP3ES.
Statistik Daerah Kecamatan
Wonogiri. (2015). Statistik
Daerah Kecamatan Wonogiri
2015. Wonogiri: BPS.
Taryania, R. (2013). Analisis Modal
Sosial dan Tingkat Partisipasi
Masyarakat dalam Program
Pengembangan Masyarakat.
Skripsi. Bogor: Departemen
Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
IPB.
Theresia, A., Andini, K.S., Nugraha,
P.G.P., & Mardikanto, T.
(2014). Pengembangan
Masyarakat Community
Development Acuan Bagi
Praktisi, Akademisi, Dan
Pemerhati Pengembangan
Masyar akat. Surakarta: UNS
Press.
49
Modal Sosial, Program Keluarga Harapan, Pratiwi, Wibowo, Utami
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PEMBENTUK PERSEPSI DENGAN PERSEPSI PEMUDA DESA TERHADAP PEKERJAAN
SUB SEKTOR PETERNAKAN
RELATIONSHIP BETWEEN THE PERCEPTION WITH FORMING FACTORS PERCEPTION OF RURAL YOUTH WORK
LIVESTOCK SECTOR SUB
Rindea Wini Pertiwi1), Suwarto2), Agung Wibowo3)
1)Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta 2,3) Program Studi Penyuluhan Dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
This research aims to analyze a relation between the factors with perception, and different perception of the swain who lived near and far away from central government.The basic research is descriptive analytical method. Research locations in the village ringin larik and lampar. Sampling methods used the cluster of sampling a multistage, total sample is 50. The data used is primary and secondary data. The analysis to know the relationship between the factors with perceptionis rankspearman, t test to test the significance of the rankspearman, u-mann-whitney to test different perceptions.The result showed: A factor shaping the perception towards revenue farm work is age, involvement of work, family environment, social environment primer, cosmopolitan. A factor shaping the perception thowards status of employment is involvement of work, family environment, social enivironment primer. A factor shaping the perception towards the location of employment is involvement of work, family environment, social environment primer, social environment secunder, economic environment, social culture. A factor shaping the perception towards the opportunity or develop a career is family environment, economic environment. A factor shaping the perception thowards retirement is non formal education, involvement of work, social culture. In general, the factors forming perception towards is involvement of work, family environment and social environment primer. Perception of the swain that lived away in good than the swain who lived near.
Key Words: Cosmopolitan, retirement, social environment primer, social environment secunder
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan yang signifikan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi pemuda desa terhadap pekerjaan sub sektor peternakan, dan perbedaan persepsi pemuda yang tinggal di dekat dan jauh dari pusat pemerintahan. Metode dasar penelitian menggunakan deskriptif analitis. Lokasi penelitian di Desa Ringinlarik dan Lampar. Metode sampling menggunakanmultistage cluster sampling, jumlah sampel 50. Data yang digunakan data primer dan sekunder. Metode analisi untuk mengetahui hubungan antara faktor pembentuk dengan persepsi adalah Rank Spearman, uji t untuk menguji tingkat signifikansi Rank Spearman, u-mann-whitney untuk menguji
50
perbedaan persepsi. Hasil penelitian menunjukkan: Faktor pembentuk persepsi terhadap pendapatan adalah umur, keterlibatan kerja, lingkungan keluarga, lingkungan sosial primer, kosmopolitan. Faktor pembentuk persepsi terhadap status pekerjaan adalah keterlibatan kerja, lingkungan keluarga, lingkungan sosial primer. Faktor pembentuk persepsi terhadap lokasi pekerjaan adalah keterlibatan kerja, lingkungan keluarga, lingkungan sosial primer, lingkungan sosial sekunder, lingkungan ekonomi, sosial budaya. Faktor pembentuk persepsi terhadap peluang atau kesempatan pengembangan karier adalah lingkungan keluarga, lingkungan ekonomi. Faktor pembentuk persepsi terhadap jaminan hari tua adalah pendidikan non formal, keterlibatan kerja, sosial budaya. Secara umum faktor pembentuk persepsiadalah keterlibatan kerja,lingkungan keluarga, lingkungan sosial primer. Persepsi pemuda yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan Kecamatan Musuk dan pasar induk Kecamatan lebih baik dari pada yang dekat.
Kata Kunci: Jaminan hari tua, kosmopolitan, lingkungan sosial primer, lingkungan sosial sekunder
PENDAHULUAN
Peternakan merupakan sub
sektor yang memiliki peluang sangat
besar untuk dikembangkan sebagai
usaha di masa depan. Kebutuhan
masyarakat akan produk peternak-
an akan semakin meningkat setiap
tahunnya. Selain itu sub sektor ini
juga berperan dalam pengentasan
kemiskinan melalui penyediaan
lapangan kerja dan peningkatan
pendapatan rill masyarakat.
Menurut Santosa (2001), usaha
peternakan di Indonesia di dominasi
oleh peternak rakyat yang berskala
kecil. Peternakan bukanlah suatu hal
yang jarang dilaksanakan. Hanya
saja skala pengelolaannya masih
merupakan sampingan yang tidak
diimbangi permodalan dan pengelo-
laan yang memadai. Dalam tata
laksana suatu usaha perternakan,
ternak yang bernilai genetis baik dan
berkualitas tinggi dengan sendirinya
akan diperoleh bila peternakan
dikelola secara terampil berdasarkan
pemahaman teori ilmiah praktis.
Pemilihan ternak tanpa disertai
pemahaman keterampilan yang
memadai tidak akan menghasilkan
ternak berkualitas baik, bahkan bisa
jadi karena salah dalam penanga-
nan, ternak yang baik akan terapkir
dan ternak yang jelek akan terambil.
Dewasa ini diduga usaha
peternakan lebih banyak dikelola
dan dilaksanakan oleh Bapak dan
Ibu dari keluarga inti dan kaum tua
di pedesaan. Hal ini berkaitan
dengan alasan para pemuda atau
anak-anak peternak jarang sekali
diikut sertakan dalam hal pengelo-
laan dalam usaha peternakan. Oleh
karena jarangnya pemuda diikut
51
Jaminan hari tua, kosmopolitan,,,, Pertiwi, Suwarto, Wibowo
sertakan dalam kegiatan peterna-
kan, baik itu menyangkut kegiatan
pengambilan keputusan maupun
kegiatan pengelolaan peternakan itu
sendiri, sehingga pemuda desa
memiliki minat yang rendah untuk
bekerja di sub sektor peternakan
dan lebih memilih untuk bekerja di
sub sektor non peternakan.
Tingkat pendapatan yang
rendah disub sektor peternakan
rakyat juga dapat menjadi alasan
para pemuda atau anak peternak
memilih bekerja di sub sektor non
peternakan. Rendahnya tingkat
pendapatan di sub sektor peterna-
kan tersebut dipengaruhi oleh
sedikitnya hewan ternak yang
dimiliki atau hewan ternak yang
dimiliki bukan termasuk hewan
ternak yang bisa menghasilkan
produk atau jasa secara berkala
sehingga tidak mendapatkan
keuntungan yang besar. Selain itu
bisa juga hewan ternak yang
diusahakan bukanlah milik sendiri
melainkan hewan ternak dengan
sistem bagi hasil (gado) yaitu bentuk
pemeliharaan dengan sistem kerja-
sama antar pemilik modal dan
peternak, dimana pemilik modal
menyediakan hewan ternak untuk
dipelihara dan dikembangkan oleh
peternak. Kemudian hasil dari
peternakan tersebut dibagi dua
antar kedua belah pihak (pemilik
modal dan peternak) yaitu 50%
untuk peternak dan 50% untuk
pemilik modal atau sesuai dengan
kesepakatan dari kedua belah pihak.
Penelitian ini mengkaji
mengenai sebuah persepsi oleh
pemuda mengenai pekerjaan sub
sektor peternakan. Persepsi kerja
dinyatakan sebagai suatu proses
membangun kesan (forming inpres-
sions) atau membuat penilaian
(making judgement). Adanya unsur
interpretasi ini membuat persepsi
kita sedikit ataupun banyak men-
gandung muatan-muatan subjektif.
Hal inilah yang kerap menyebabkan
persepsi seseorang tentang sesuatu
hal dapat berbeda dari persepsi
orang lain maupun tidak sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya
(bias)(Biran, 2006). Dan pemuda
dalam Undang-undang Republik
Indonesia tahun 2009 no 40 pasal 1
ayat 1 merupakan warga negara
Indonesia yang memasuki periode
penting pertumbuhan dan perkem-
bangan yang berusia 16 (enam
belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.
Terdapat banyak faktor yang
kemudian membentuk persepsi para
pemuda desa terhadap pekerjaan di
sub sektor peternakan. Karena pada
saat ini diduga para pemuda desa
lebih memilih bekerja di sub sektor
52
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
non peternakan seperti buruh
bangunan, buruh pabrik dan lain
sebagainya. Hal ini mendorong
peneliti untuk mengetahui persepsi
pemuda desa mengenai pekerjaan
sub sektor peternakan itu sendiri,
dimana lebih khusus peneliti ingin
mengangkat masalah persepsi
pemuda desa terhadap pekerjaan
sub sektor peternakan di Kecamatan
Musuk Kabupaten Boyolali yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor
dari dalam (internal) maupun dari
luar (eksternal). Penelitian ini dikhu-
suskan di Kecamatan Musuk
Kabupaten Boyolali karena di
Kecamatan Musuk merupakan suatu
wilayah yang sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian
sebagai peternak, selain itu iklim di
Kecamatan Musuk juga sangat
mendukung untuk usaha peternakan
khususnya ternak sapi perah.
Menurut Pane (1993) peternakan
sapi di Indonesia sejak zaman
dahulu telah berkembang sebagai
suatu usaha sambilan. Hingga saat
ini umumnya belum banyak didapati
usaha peternakan sapi yang dikelola
secara maju, demi mengejar
keuntungan. Meskipun sejak dahulu
beternak sapi dilakukan sebagai
usaha sambilan yang merupakan
celengan atau untuk tenaga kerja
didaerah pertanian, beberapa
daerah di Indonesia terkenal sebagai
gudang ternak dan sanggup
mengekspor ternak potong ke luar
negeri. Selain sebagai celengan dan
tenaga kerja, ternak sapi juga dapat
dipakai sebagai kriteria atau faktor
penentu kedudukan seseorang di
pedesaan.
METODE
Metode dasar penelian ini
menggunakan metode deskriptif
analisis dengan tehnik survai. Lokasi
yang diambil adalah Kecamatan
Musuk Kabupaten Boyolali dengan
alasan bahwa kecamatan ini
merupakan daerah yang memiliki
hewan ternak dan pemilik ternak
ter-banyak di Kabupaten Boyolali,
serta memiliki iklim yang baik untuk
perkembangan hewan ternak
khususnya sapi perah yaitu pada
suhu maksimum mencapai 330
sedangkan suhu minimum mencapai
180. Untuk mengetahui hubungan
antara faktor pembentuk persepsi
dengan persepsi pemuda terhadap
pekerjaan sub sektor peternakan
dapat diketahui dengan rumus
koefisien korelasi Rank Spearman :
Menguji tingkat signifikansi
hubungan digunakan uji t karena
sampel yang diambil lebih dari 10
(N>10) dengan tingkat kepercayaan
95%. Untuk mengetahui perbedaan
53
Jaminan hari tua, kosmopolitan,,,, Pertiwi, Suwarto, Wibowo
persepsi pemuda yang tinggal di
dekat dan jauh dari pusat pemerin-
tahan dan pasar induk Kecamatan
Musuk Kabupaten Boyolali dapat
diketahui dengan menggunakan uji
Mann-Whitney.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Teknik pengum-
pulan data yang digunakan dalam
penelitian inia dalah observasi,
wawancara, dan dokumenter.
Populasi dalam penelitian ini adalah
pemuda desa dari anak peternak di
Desa Ringinlarik dan Desa Lampar
Kecamatan Musuk. Penentuan
sampel pada penelitian ini meng-
gunakan metode proportional ran-
dom sampling yaitu sebanyak 50
responden.
Metode Analisis Data
Mendeskripsikan persepsi
dan faktor-faktor yang membentuk
persepsi dalam penelitian ini diukur
dengan metode analisis deskriptif
yang terbagi menjadi 5 kriteria dan
dibagi menggunakan rumus lebar
interval.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Hubungan antara faktor pembentuk persepsi dengan persepsi pemuda desa terhadap pekerjaan sub sektor peternakan di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Tabel 1. Hubungan Antara Faktor-Faktor Yang Membentuk Persepsi Pemuda Dengan
Persepsi Pemuda Desa Terhadap Pekerjaan Sub Sektor Peternakan Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali
Faktor Yang Membentuk Persepsi
Persepsi Pemuda Desa Terhadap Pekerjaan Sub Sektor Peternakan
Pendapatan Status Pekerjaan Lokasi Pekerjaan
Peluang Atau Kesempatan Pengembangan Karier
Jaminan Hari Tua
Pekerjaan Sub Sektor Peternakan (Ytotal)
Rs thitung Rs thitung Rs thitung Rs thitung Rs thitung Rs thitung
Umur 0,330* 2,422 0,214 1,518 - 0,020 -0,139
0,159 1,116 0,085 0,591 0,183 1,290
Pendidikan Formal
- 0,550**
-4,563 0,236 1,683 0,014 0,097 0,113 0,788 0,088 0,612 0,189 1,333
Pendidikan Non Formal
0,070 0,486 0,160 1,123 0,081 0,563 0,110 0,767 0,371** 2,768 0,256 1,835
Keterlibatan Kerja
0,424** 3,244 0,510** 4,108 0,451** 3,501 0,262 1,881 0,306* 2,227 0,546** 4,515
Lingkungan Keluarga
0,344* 2,538 0,342* 2,521 0,417** 3,179 0,315* 2,299 0,210 1,488 0,441** 3,404
Lingkungan Sosial Primer
0,335* 2,463 0,290* 2,099 0,405** 3,069 0,253 1,812 0,214 1,518 0,435** 3,347
Lingkungan Sosial Sekunder
0,187 1,319 0,179 1,261 0,279* 2,013 0,058 0,403 0,069 0,479 0,202 1,429
Lingkungan Ekonomi
0,201 1,422 0,044 0,305 0,363** 2,699 0,430** 3,300 0,201 1,422 0,216 1,533
Kosmopolitan 0,287* 2,076 0,165 1,159 0,141 0,987 0,172 1,210 0,230 1,637 0,215 1,525 Sosial Budaya 0,141 0,987 - 0,038 -0,263 0,375** 2,803 0,041 0,284 0,383** 2,873 0,202 1,429
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
54
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Faktor umur, pendidikan
formal, keterlibatan kerja, ling-
kungan keluarga lingkungan sosial
primer, dan kosmopolitan memben-
tuk persepsi pemuda desa terhadap
pekerjaan sub sektor peternakan.
Semakin bertambah umur dan
pendidikan formal yang tinggi
mempengaruhi pola pikir serta
penge-tahuan mengenai pekerjaan
sub sektor peternakan. Tingginya
keterlibatan kerja, keadaan ekonomi
dan dukungan keluarga menjadikan
pemuda lebih tau mengenai biaya
dan pendapatan yang diperoleh dari
pekerjaan ini. Dukungan dari
lingkungan sosial primer serta
tingkat kosmopolitan yang tinggi
akan menambah informasi pemuda
mengenai pekerjaan sub sektor
peternakan. Sehingga faktor-faktor
tersebut akan membentuk pan-
dangan pemuda bahwa pendapatan
yang diperoleh dari pekerjaan sub
sektor peternakan adalah tinggi.
Faktor keterlibatan kerja,
lingkungan keluarga, dan lingkungan
sosial primer mem-bentuk persepsi
pemuda terhadap status pekerjaan
sub sektor peternakan. Pemuda
yang terlibat dalam pekerjaan ini
akan menyadari bahwa masyarakat
yang memiliki banyak hewan ternak
akan dinilai tinggi status sosial
mereka. Dukungan dari keluarga dan
lingkungan sosial primer untuk
mengem-bangkan usaha menjadi
skala besar juga membuat respon-
den berpikir bahwa pekerjaan ini
akan mampu mengubah status
sosial mereka. Sehingga pemuda
akan lebih tekun dan berusaha
mengembangkan usaha ini untuk
meningkatkan status sosial mereka.
Faktor keterlibatan kerja,
lingkungan keluarga, lingkungan
sosial sekunder, lingkungan ekono-
mi dan sosial budaya membentuk
persepsi pemuda desa terhadap
lokasi pekerjaan sub sektor
peternakan. Mereka yang terlibat
dalam pekerjaan akan lebih menge-
tahui lokasi mana yang baik untuk
usaha ini. Lingkungan sosial primer
dan sekunder juga memberikan
banyak informasi mengenai lokasi
yang baik untuk pekerjaan ini.
Keadaan lingkungan ekonomi
responden juga sangat mendukung
untuk perkembangan usaha, selain
itu budaya orang desa bahwa
kandang akan lebih aman apabila
dekat dengan rumah. Sehingga
pemuda akan memilih lokasi
pekerjaan sub sektor peternakan
yang dekat dengan rumah agar
aman, nyaman, dan tetep dekat
dengan keluarga.
Faktor lingkungan keluarga
dan lingkungan ekonomi memben-
55
Jaminan hari tua, kosmopolitan,,,, Pertiwi, Suwarto, Wibowo
tuk persepsi pemuda desa terhadap
peluang atau kesempatan pengem-
bangan karier. Keluarga akan sangat
mendukung untuk meneruskan
usaha mereka menjadi usaha
dengan skala besar. Keadaan
lingkungan dengan iklim yang baik
untuk perkembangan hewan ternak
serta mayoritas masyarakat yang
bekerja pada sub sektor ini akan
menjadi peluang atau kesempatan
baik untuk mengembangkan karier
pemuda. Sehingga pemuda akan
berminat dan berlomba-lomba
untuk bekerja dan mengembangkan
usaha sub sektor peternakan.
Faktor pendidikan non
formal, keterlibatan kerja dan sosial
budaya membentuk persepsi pemu-
da desa terhadap jaminan hari tua
pekerjaan sub sektor peternakan.
Pendidikan non formal yang mereka
ikuti akan membuat mereka
semakin sadar akan pentingnya
jaminan hari tua. Kebudayaan desa
yang sedikit banyak telah tercampur
orang kota akan mempengaruhi
pola pikir mereka bahwa mereka
membutuhkan jaminan hari tua.
Sehingga mereka akan lebih rajin
bekerja agar dapat mengembangkan
ternak yang dimiliki untuk
kebutuhan hari tua nanti.
Secara umum faktor keterli-
batan kerja, lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial sangat berpenga-
ruh dalam membentuk persepsi
pemuda desa terhadap pekerjaan
sub sektor peternakan. Pemuda
yang sangat terlibat dalam
pekerjaan sub sektor peternakan
cenderung lebih mengetahui tingkat
kesulitan, serta alokasi waktu
pekerjaan sub sektor peternakan.
Kondisi lingkungan keluarga dan
dorongan serta motivasi yang
diberikan oleh keluarga juga akan
meningkatkan persepsi pemuda.
Dukungan dan motivasi yang
diberikan oleh keluarga untuk
meneruskan dan mengembangkan
usaha peternakan yang dimiliki oleh
keluarga juga akan meningkatkan
persepsi pemuda terhadap
pekerjaan sub sektor peternakan.
Informasi yang diberikan oleh
lingkungan sosial primer akan
menambah pengetahuan pemuda
mengenai pekerjaan sub sektor
peternakan sehingga persepsi
pemuda akan tinggi.
56
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Analisis Perbedaan Antara Persepsi Terhadap Pekerjaan Sub Sektor Peternakan Oleh Pemuda Desa yang Tinggal di Dekat dan Jauh dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Musuk.
Tabel 2. Persepsi Pemuda Desa Ringinlarik dan Desa Lampar Terhadap Pekerjaan Sub Sektor Peternakan Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali
Jumlah Skor Kategori
Distribusi
Desa Ringinlarik (Dekat) Desa Lampar (Jauh)
(Orang) (%) (Orang) (%)
50 – 90 SangatBuruk 0 0,00 0 0,00 91 – 120 Buruk 2 8,34 0 0,00
121 – 160 Sedang 3 12,50 3 11,54 161 – 200 Baik 19 79,16 23 88,46 201 – 250 SangatBaik 0 0,00 0 0,00
Jumlah 24 100,00 26 100,00
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
Tabel 3. Analisis Perbedaan Antara Persepsi Terhadap Pekerjaan Sub Sektor Peternakan Oleh Pemuda Desa yang Tinggal Dekat dan Jauh dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Musuk
Desa JumlahResponden Nilai Tengah Jumlah Total Persepsi
Ringinlarik 24 21,13 507 Lampar 26 29,54 768
Jumlah 50 50,65 1275
Sumber : Analisis Data Primer, 2016 Tabel 4. Uji Beda Antara Persepsi Pemuda yang Dekat dan Jauh dari Pusat Pemerintahan Terhadap Pekerjaan Sub Sektor Peternakan
Nilai Persepsi
Mann-Whitney U 207,000 Wilcoxon W 507,000 Z -2,049 Asymp. Sig (2-tailed) 0,040
Sumber : Analisis Data Primer, 2016
Terdapat adanya perbedaan
persepsi terhadap pekerjaan sub
sektor peternakan oleh pemuda
desa yang tinggal dekat dan jauh
dari pusat pemerintahan Kecamatan
Musuk. Responden yang berada di
desa Lampar memiki persepsi yang
lebih baik dibandingkan dengan
responden di desa Ringinlarik dika-
renakan sebagian besar responden
di desa Lampar masih sangat terlibat
dalam usaha peternakan keluarga
mereka. Berbeda dengan responden
yang berada di dekat pusat
pemerintahan, tingkat kosmopolitan
mereka jauh lebih tinggi, informasi
mengenai pekerjaan non peterna-
kan juga lebih mudah didapat.
57
Jaminan hari tua, kosmopolitan,,,, Pertiwi, Suwarto, Wibowo
Sehingga mereka akan cenderung
untuk mencari pekerjaan yang lebih
baik dari pekerjaan sub sektor
peternakan.
KESIMPULAN
Faktor yang membentuk
persepsi pemuda terhadap penda-
patan adalah umur, keterlibatan
kerja, lingkungan keluarga, sosial
primer, kosmopolitan. Terhadap
status pekerjaan adalah keterlibatan
kerja, lingkungan keluarga, sosial
primer. Terhadap lokasi pekerjaan
adalah keterlibatan kerja, ling-
kungan keluarga, sosial primer,
sosial sekunder, ekonomi, dan sosial
budaya. Terhadap kesempatan
pengembangan karier adalah
lingkungan keluarga dan ekonomi.
Terhadap jaminan hari tua adalah
pendidikan non formal, keterlibatan
kerja, sosial budaya. Secara umum
faktor pembentuk persepsi terhadap
pekerjaan sub sektor peternakan
adalah keterlibatan kerja, ling-
kungan keluarga, dan lingkungan
sosial primer. Pemuda desa yang
tinggal jauh dari pusat pemerin-
tahan Kecamatan Musuk memiliki
persepsi yang lebih tinggi dari pada
yang dekat dari pusat pemerintahan
Kecamatan Musuk
DAFTAR PUSTAKA
Biran, H, Misbach Yusa, 2006. Teknik
Menulis Skenario Film Cerita .
Jakarta : Dunia Pustaka
Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan. 2014. Rencana
Strategis (Renstra) Tahun
2013-2018. Ungaran. Dinas
Peternakan dan Kesehatan
Hewan Jawa Tengah.
Kementerian Pertanian. 2013. Ren-
cana Kerja Tahunan (RKT)
Kementerian Pertanian 2014.
Jakarta :Kementerian Perta-
nian
Pane, I. 1993. Pemuliabiakan Ternak
Sapi. Cetakan Kedua. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
Santosa, U. 2001. Mengelola Peter-
nakan Sapi secara Profesio-
nal. Depok : Penebar
Swadaya.
Soeprapto. 1984. Citra Pemuda
Indonesia. Pengarahan Gu-
bernur KDKI Jakarta pada
Diskusi Panel yang diseleng-
garakan oleh DPD Dati I
Jakarta, tanggak Desember
1984. Jakarta
58
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
SOSIALISASI GERAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN PROGRAM TO THE FARMER
THE SOCIALISATION AGROPOLITAN MOVEMENT AREA DEVELOPMENT PROGRAM TO THE FARMER
Yanuarti Hapsari1), Arip Wijianto2), Sutarto3) 1,2,3) Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret
Abstract
The aimed of this research is to know how the socialization Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan (GPKA) Program, knowing constraint delayed on socialization Movement Development Program of Agropolitan Dictrict (SMAD), and knowing the way of socialization Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan (GPKA) Program Regency of Boyolali. The method are used is kualitative with descriptive approach. Location of this research used purposive ways that on Regency of Boyolali. From Regency of Boyolali was choosen two subdistrict, that is subdistrict of Ampel and Boyolali. The informan are used with purposive ways and snowball sampling. The sources data its come from the informan, place and activities and also document/archieve. Whereas the technique to collected data had done with interview, observation, and content analysis. To measure of data used triangulation data (sources). The data was analysed by using reduction data, saw data, and verification.The result of this research showing that The Sosialization Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan (GPKA) Program had done with elucidation/companionship with group farmer/GAPOKTAN, PPL, and official related, training, and contiguous. Constraint that fight are amount personil in concerned stint, presence either one staf section Agribisnis mutation, the farmer not all known about the GPKA program, cost limit for activity GPKA program, the farmer activity, and the farmer whole lot have same view and attitude about GPKA. The way used are coordinating amount personil in concerned, giving suggestion to tow removal the staf involved, the change information with farmer other, make proposal for GPKA Program, and coordination across sector intensived and contiguous.
Keyword: Socialisation, agropolitan, movement area development program, to the farmer
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sosialisasi Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan (GPKA), mengetahui kendala yang dihadapi dalam mensosialisasikan Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan (GPKA), dan mengetahui upaya yang dilakukan dalam sosialisasi Program Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan (GPKA) di Kabupaten Boyolali. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) yaitu di Kabupaten Boyolali. Dari Kabupaten Boyolali dipilih 2
59
kecamatan yaitu Kecamatan Ampel dan Kecamatan Boyolali. Penentuan informan dilakukan secara purposive (sengaja) dan snowball sampling (teknik bola salju). Jenis sumber data yang digunakan adalah informan, tempat dan peristiwa/aktivitas, serta sumber tertulis. Sedangkan teknik pengumpulan datanya adalah wawancara, observasi, dan content analysis. Untuk mengukur validitas data menggunakan triangulasi data (sumber). Analisis data yang digunakan ialah reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi Program GPKA dilakukan melalui penyuluhan/pertemuan antara kelompok tani/GAPOKTAN, PPL, dan dinas terkait, pelatihan, dan pendampingan. Kendala yang dihadapi yaitu jumlah personil yang dilibatkan terbatas, adanya mutasi salah satu staf Seksi Agribisnis, tidak semua petani mengetahui tentang Program GPKA, keterbatasan dana untuk kegiatan program GPKA, aktivitas petani, dan petani belum seluruhnya memiliki sikap dan pandangan yang sama terhadap GPKA. Upaya yang dilakukan adalah mengkoordinasi jumlah personil yang akan dilibatkan, membuat proposal pelaksanaan GPKA, dan memberi masukan untuk menunda kepindahan staf bersangkutan, bertukar informasi kepada petani lain, dan mengintensifkan
koordinasi lintas sektor dan pendampingan.
Kata kunci: Sosialisasin, agropolitan, pengembangan kawasan, to farmer’s
PENDAHULUAN
Basis pembangunan perta-
nian adalah pembangunan pedesaan.
karena kawasan pedesaan merupa-
kan daerah tempat tinggal sebagian
besar penduduk Indonesia. Berdasar-
kan hasil sensus penduduk tahun
2006, diketahui kurang lebih 54%
penduduk Indonesia bermukim di
pedesaan (Rustiadi dan Sugimin
Pranoto, 2007). Oleh karena itu,
pem-bangunan pedesaan perlu lebih
dimantapkan agar memiliki ketaha-
nan yang lebih kuat. Mengingat
pentingnya fungsi daerah pedesaan
terutama dalam hal penyedia bahan
pangan untuk penduduk, penyedia
tenaga kerja untuk pembangunan,
penyedia bahan baku untuk
industri dan penghasil komoditas
untuk diekspor ke luar negeri
(Kantor Ketahanan Pangan Kabupa-
ten Boyolali, 2008).
Menyikapi berbagai tantan-
gan dan ancaman dalam pengem-
bangan bidang pertanian di pede-
saan maka diperlukan terobosan
program yang melibatkan berba-gai
pihak yang perlu dilakukan secara
terarah dan terkoordinasi. Salah satu
program tersebut adalah Program
Gerakan Pengembangan Kawasan
Agropolitan (GPKA).
Konsep agropolitan pada
dasarnya adalah sebuah gerakan
untuk kembali membangun desa.
Desa yang baik idealnya harus bisa
menjadi suatu tempat yang nyaman,
aman dan dapat mensejahterakan
masyarakatnya. Konsep agropolitan
ini basisnya pada membangun fungsi
kota pertanian dalam artian luas.
60
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Dimana pertanian itu tidak dilihat
dari sisi bercocok tanam dan
mencangkul saja (Rustiadi, 2006).
Tujuan pengembangan kawasan
agropolitan adalah untuk mening-
katkan pendapatan dan kesejah-
teraan masyarakat melalui percepa-
tan pengembangan wilayah dan
peningkatan keterkaitan desa dan
kota dengan mendorong berkem-
bangnya sistem dan usaha agribisnis
yang berdaya saing berbasis
kerakyatan, berkelanjutan (tidak
merusak lingkungan) dan terdesen-
tralisasi di kawasan agropolitan.
Program GPKA ini dilak-
sanakan di empat kecamatan, yaitu
Kecamatan Cepogo, Kecamatan
Ampel, Kecamatan Selo, dan
Kecamatan Boyolali atau biasa
disingkat dengan nama “GOASEBO”.
Program tersebut sudah ada sejak
tahun 2003 dan sempat fakum pada
tahun 2006-2007 dan pada tahun
2008 mulai dikembangkan lagi.
Untuk mengatasi kefakuman terse-
but maka perlu adanya sosialisasi
yang lebih baik lagi daripada tahun
sebelumnya. Proses sosialisasi ini
perlu dilakukan mengingat bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia
termasuk masyarakat di Kabupaten
Boyolali bermata pencaharian
sebagai petani. Proses sosialisasi
dapat dilakukan melalui penyu-
luhan, pelatihan, maupun pendam-
pingan kepada petani.
METODE PENELITIAN
Disain penelitian yang diguna-
kan adalah metode penelitian kuali-
tatif dengan pendekatan deskriptif
(menguraikan sifat/karakteristik dari
suatu fenomena tertentu, mengum-
pulkan fakta dan menguraikannya
secara menyeluruh dan teliti sesuai
dengan persoalan yang akan
dipecahkan/objek yang diteliti)
(Hasan, 2002). Penentuan lokasi
penelitian dilakukan secara purposive
yaitu Kabupaten Boyolali karena
Program GPKA sebagai salah satu
instrument Program Revitalisasi
Pertanian Perikanan dan Kehutanan
yang ditetapkan sebagai salah satu
program prioritas dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) di Kabupaten
Boyolali tahun 2006–2010.
Pemilihan informan dalam
penelitian ini dilakukan dengan dua
cara yaitu purposive sampling
(sengaja) dan snowball sampling
(teknik bola salju). Jenis sumber data
yang digunakan adalah informan,
tempat dan peristiwa/aktivitas, serta
sumber tertulis (dokumen/arsip)
dengan menggunakan teknik
pengumpulan data wawancara,
observasi, serta mengkaji dokumen
61
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
dan arsip (content analysis). Validitas
data dalam penelitian ini berupa
triangulasi data (sumber) dan review
informan kunci dengan mengguna-
kan teknik analisis interaktif (reduksi
data, sajian data, dan penarikan
kesimpulan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Tentang Program
Gerakan Pengembangan Kawasan
Agropolitan (GPKA) di Kabupaten
Boyolali
Rustiadi dan Sugimin
Pranoto (2007) mengemukakan
bahwa konsep pengembangan
kawasan agropolitan muncul dari
permasalahan adanya ketim-pangan
wilayah antara kota dan pedesaan.
Kota sebagai pusat kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi sedangkan
pedesaan sebagai pusat kegiatan
pertanian yang tertinggal.
Program Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kabupaten
Boyolali telah berlangsung sejak
tahun 2003. Pada awal pemben-
tukannya berupa program “rintisan
agropolitan” yang dilaksanakan di
empat kecamatan (Cepogo, Ampel,
Selo, dan Boyolali) atau disebut
dengan “GPKA GOASEBO”. Dalam hal
ini Kecamatan Ampel dipilih sebagai
kota tani utama karena wilayahnya
lebih luas (8.468,06 Ha) dibanding-
kan dengan empat kecamatan yang
lain yang termasuk dalam GOASEBO
dan telah memiliki BPP Model.
Kecamatan Ampel juga merupakan
satu-satunya kecamatan yang
memiliki jumlah kelompoktani ter-
banyak di Kabupaten Boyolali.
Sedangkan Kecamatan Boyolali
dipilih sebagai daerah penyangga
(hinterland) karena wilayahnya
belum berkembang seperti
Kecamatan Ampel. Luas wilayahnya
hanya 2.625,10 Ha dan lokasi BPP
masih bergabung dengan kantor
kecamatan (Kantor Ketahanan
Pangan Boyolali, 2008).
Program GPKA ini merupa-
kan program dari pemerintah pusat
melalui Departemen Pertanian yang
memberi mandat kepada Dinas
Pertanian Perkebunan dan Kehuta-
nan (DISPERTANBUNHUT) di masing-
masing kabupaten yang ada di
Indonesia, termasuk Kabupaten
Boyolali untuk melaksanakan Prog-
ram GPKA. DISPERTANBUNHUT ber-
samasama BAPPEDA kemudian
melakukan perencanaan terhadap
Program GPKA tersebut. Setelah
perencanaan matang baru kemudian
di limpahkan kepada Kantor Ketaha-
nan Pangan (KKP). Untuk memper-
mudah sosialisasi program tersebut,
KKP bekerja sama dengan BPP
kemudian menyampaikannya kepada
62
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
petani di masing-masing wilayah
yang bersangkutan. Adapun tim
Pembina Program GPKA dapat dilihat
pada Tabel 1.
Pentahapan pengembangan
kawasan agropolitan dimulai dengan
menyusun Master Plan terlebih
dahulu. Master Plan berisi konsep
rencana kawasan agropolitan yang
terpilih (misalnya mengenai: kebija-
kan penetapan kawasan, kajian teori
tentang pengembangan kawasan,
dan penetapan sarana prasarana
pada kawasan yang terpilih). Tahap
berikutnya adalah penyusunan RPJM
(Rencana Program Jangka Me-
nengah), yang berisi rencana–
rencana yang akan dilaksanakan
dalam jangka menengah. Setelah
penyusunan RPJM, tahap terakhir
yang ditempuh dalam pengem-
bangan kawasan agropolitan ialah
pembentukan DED (Detail Enginee-
ring Design). DED merupakan disain
rincian teknis atau teknis pelak-
sanaan dari program tersebut.
Tabel 1 Susunan Tim Pembina Program GPKA di Kab. Boyolali Tahun 2008 No Jabatan dalam Dinas Kedudukan dalam Tim
TINGKAT KABUPATEN
1. Bupati Boyolali Penanggung Jawab 2. Wakil Bupati Boyolali Penasihat 3. Sekretaris Daerah Kab. Boyolali Pengarah 4. Asisten Admin Pembangunan Sekda Kab. Boyolali Ketua 5. Kepala Bappeda Kab. Boyolali Wakil Ketua 6. Kabid Ekonomi Bappeda Kab. Boyolali Sekretaris 7. Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kab. Boyolali Wakil Sekretaris 8. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Boyolali Anggota 9. Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan, Pertambangan dan
Kebersihan Kab. Boyolali Anggota
10. Kadin Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Boyolali Anggota 11. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pengelolaan Pasar Kab.
Boyolali Anggota
12. Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kab. Boyolali Anggota 13. Kepala Dispertanbunhut Kab. Boyolali Anggota 14. Kadin Perternakan dan Perikanan Kab. Boyolali Anggota 15. Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kab.
Boyolali Anggota
16. Kepala Badan Lingk Hidup Kab. Boyolali Anggota 17. Kabag Pemerintahan Desa dan Kelurahan Setda Kab. Boyolali Anggota
TINGKAT KECAMATAN
1. Camat Ketua 2. Kepala UPT DISPERTANBUNHUT yang berwilayah kerja di kecamatan
bersangkutan Sekretaris
3. Kepala UPT Dinas Peternakan dan Perikanan yang berwilayah kerja di kec. bersangkutan
Anggota
4. Kepala UPT DPUPPK yang berwilayah kerja di kecamatan bersangkutan Anggota
Sumber : Surat Keputusan Bupati Boyolali
63
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
Sosialisasi Program Gerakan Pen-
gembangan Kawasan Agropolitan
(GPKA)
Sosialisasi Program GPKA di Keca-
matan Ampel
Pelaksanaan sosialisasi Pro-
gram GPKA meliputi penyuluhan,
pelatihan, dan pendampingan.
1. Penyuluhan
Untuk pertama kalinya
kegiatan penyuluhan tentang Pro-
gram GPKA dilaksanakan di BPP
Ampel dengan sasaran seluruh
kelompok tani yang tergolong dalam
Program GPKA. Sebagai nara
sumbernya adalah dari DISPER
TANBUNHUT yang kebetulan ditun-
juk sebagai pihak konsultan dan
Kantor Ketahanan Pangan serta
mengundang kepala desa masing-
masing kecamatan yang tergolong
dalam GOASEBO, camat masing-
masing kecamatan yang tergolong
dalam GOASEBO, dan perwakilan
dari pelaku agribisnis (pedagang).
Materi yang pertama kali
disampaikan kepada sasaran adalah
perkenalan dan penjelasan terlebih
dahulu tentang Program GPKA. Hal
ini sifatnya permission atau meminta
ijin kepada warga setempat dengan
menjelaskan segala hal yang
berkaitan dengan program, misalnya
tujuan, lingkup kegiatan, dan
manfaat bagi warga setempat.
Dalam kegiatan penyuluhan
tersebut konsultan menggunakan
media bantu berupa laptop, LCD,
serta dilengkapi dengan peta ukuran
besar selain itu konsultan juga
membagikan kuisioner yang berisi
tentang permintaan usulan–usulan
program pembangunan sarana dan
prasarana kawasan agropolitan.
Diharapkan dari kuisioner tersebut
mendapatkan masukan/usulan yang
sebanyak–banyaknya mengenai
kebutuhan sarana dan prasarana
yang belum tersedia atau memer-
lukan perbaikan maupun perawatan.
Materi penyuluhan selanjut-
nya ialah penjelasan tentang pem-
berdayaan yang disampaikan oleh
Bapak Tri Hartoyo (perwakilan dari
Kantor Ketahanan Pangan). Pember-
dayaan merupakan kegiatan identifi-
kasi terhadap tindakan pember-
dayaan yang perlu dilaksanakan
untuk menumbuhkan partisipasi dan
kemandirian masyarakat melalui
kegiatan pembangunan fisik sarana
dan prasarana, termasuk di
dalamnya adalah penentuan visi dan
misinya. Selain itu juga dilakukan
diskusi/tukar informasi guna
mendapatkan masukan/ide tentang
kondisi dan permasalahan yang
dihadapi masyarakat setempat, serta
64
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
dilakukan penyerapan aspirasi dari
masyarakat untuk memper-oleh
umpan balik/tanggapan.
Tahun 2008 kegiatan
sosialisasi ini mulai dilaksanakan
kembali guna mengingatkan para
petani tentang Program GPKA karena
pada tahun 2006-2007 sempat
mengalami kefakuman. Pelaksana-
annya masih sama yaitu melalui
penyuluhan. Materi penyuluhan yang
disampaikan mengenai revitalisasi
kelompok tani. Revitalisasi kelompok
tani merupakan proses/upaya untuk
mengaktifkan kembali kelompok
tani, yang sebelumnya masih pasif
diharapkan agar ikut berpartisipasi
dalam kegiatan kelompok tani.
Materi yang diberikan pada saat
kegiatan tersebut antara lain tentang
peningkatan kemampuan kelompok
tani, wilayah kerja, kepengurusan
dan keang-gotaannya.
Pada kegiatan penyuluhan
ini dinas terkait juga berencana
untuk memberikan bantuan berupa
bibit/benih buah-buahan (salak
pondoh, durian, pisang, dan lain-lain)
dan sayuran (jagung, kacang tanah,
dan lain-lain), bantuan obat-obatan,
alsintan, serta alat pengolahan pasca
panen. Banyaknya bantuan yang
akan disesuaikan dengan kebutuhan
dari masing-masing kelompok tani
yang akan diserahkan bersamaan
dengan pelatihan secara bergilir.
2. Pelatihan dan pendampingan
Kegiatan pelatihan ini mulai
dilakukan pada tahun 2008 setelah
wilayah yang bersangkutan menda-
pat penyuluhan dari dinas terkait.
Pelatihan yang dilakukan disini
antara lain pelatihan penguatan
modal kelompok, pelatihan pengola-
han pasca panen. Sedangkan
pendampingan dilakukan bersamaan
dengan pelatihan.
Pelatihan Penguatan Ke-
lembagaan, materi yang dipelajari
mengenai ciri, fungsi, dasar
penumbuhan dan pengem-bangan
kelompok tani, kemitraan, serta
asosiasi petani. Sebagai pemateri /
nara sumber yaitu dari Kantor
Ketahanan Pangan dan UPT
DISPERTANBUNHUT. Adapun alat
Bantu yang digunakan adalah LCD,
note book, dan ATK (Alat Tulis
Kantor).
Pelatihan pengolahan pasca
panen, materi yang disampaikan
mengenai pengolahan hasil perta-
nian, teori dan praktek pembuatan
kripik dari buah nangka. Sebagai
pemateri/nara sumber berasal dari
Kantor Ketahanan Pangan dan SMKN
1 Mojosongo, Boyolali.
65
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
Alat bantu yang digunakan
adalah LCD, note book, ATK, dan alat
mesin pengolahan hasil pertanian.
Pemakaian alat mesin tersebut
secara bergantian yakni memberi
kesempatan kepada semua warga
desa yang ingin mengembangkan
usaha, baik individu maupun
kelompok. Peminjaman ini tanpa
dipungut biaya dan untuk sementara
waktu diserahkan kepada Kepala
Desa Candi. Apabila kerusakannya
tidak terlalu parah maka hanya
diperbaiki sendiri agar tidak meng-
habiskan biaya yang banyak atau
menghubungi teknisi untuk
memperbaikinya apabila memang
diper-lukan (Kantor Ketahanan
Pangan Boyolali, 2008).
Hasil Sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Ampel
Secara teknis: adanya umpan
balik atau respon dari peserta
sosialisasi khususnya petani terhadap
permasalahan yang terkait dengan
Program GPKA. Secara psikologis:
pemahaman petani terhadap
sosialisasi Program GPKA dapat
dikatakan baik. Hal ini berarti bahwa
dengan adanya sosialisasi yang
dilakukan melalui penyuluhan,
pelatihan, dan pendampingan dapat
menambah pengetahuan petani.
Dengan bertambahnya pengetahuan
petani maka dapat membantu
terlaksananya Program GPKA. Secara
kuantitas: jumlah kelompok tani yang
mengikuti kegiatan penyuluhan dan
pelatihan tentang Program GPKA
sebanyak 200 kelompok tani. Hal ini
membuktikan bahwa hampir seluruh
petani aktif dalam melaksanakan
GPKA.
Sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Boyolali
Proses pelaksanaan sosiali-
sasi di Kecamatan Boyolali sama
dengan soasialisasi di Kecamatan
Ampel, yaitu meliputi penyuluhan,
pelatihan, dan pendampingan.
1. Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan ini
merupakan kelanjutan dari penyulu-
han sebelumnya yang diseleng-
garakan di BPP Ampel melalui koor-
dinasi dengan perangkat kecamatan
untuk mengidentifikasi stakeholder
yang terlibat dalam kegiatan
agribisnis. Akan tetapi penyuluhan
kali ini dilaksanakan di Balai Desa
Kecamatan Boyolali. Sebagai nara
sumbernya adalah dari DISPER
TANBUNHUT dan Kantor Ketahanan
Pangan serta mengun-dang kepala
desa Kecamatan Boyolali, dan Camat
Boyolali.
Media Bantu yang digunakan
dalam kegiatan penyuluhan adalah
66
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
white bord, spidol, microphone, tape,
dan ATK. Materi yang disampaikan
menyangkut tentang pembinaan
kelompok tani. Materi pembinaan
kelompok tani ini tidak cukup hanya
dengan diskusi saja tetapi ditindak
lanjuti dengan peran aktif dari para
anggota kelompok tani.
Setelah materi tersebut
selesai dilanjutkan dengan rapat
koordinasi. Kegiatan tersebut
membahas tentang rencana kerja
maupun hal teknis lapangan yang
akan dilakukan kedepannya. Hasil
yang diperoleh dari kegiatan tersebut
adalah terkoordinasinya pengem-
bangan kawasan agropolitan, baik
fisik maupun non fisik, koordinasi
vertikal maupun horizontal. Koordi-
nasi vertikal misalnya koordinasi
dengan dinas di tingkat atas
(kabupaten) sedangkan koordinasi
horizon-tal misalnya koordinasi
dengan tingkat yang sama (sesama
petani).
Pada kegiatan penyuluhan ini
dinas terkait juga berencana untuk
memberikan bantuan berupa bibit /
benih buah-buahan (pisang, kelapa,
dan lain-lain) dan sayuran (jagung,
kacang tanah, dan lain-lain), bantuan
obat-obatan, alsintan, serta alat
pengolahan pasca panen. Banyaknya
bantuan yang akan disesuaikan
dengan kebutuhan dari masing-
masing kelompok tani yang akan
diserahkan bersamaan dengan pela-
tihan secara bergilir.
Sayangnya respon peserta
dalam kegiatan penyuluhan ini
kurang baik karena peserta tidak
begitu antusias dalam mengikuti
materi yang disampaikan. Beberapa
peserta yang hadir tidak begitu
mengetahui tentang Program GPKA.
Menurut peserta yang penting
Program GPKA tersebut diharapkan
dapat membantu mengembangkan
usahataninya.
2. Pelatihan dan Pendampingan
Pelatihan merupakan salah
satu usaha tindak lanjut yang
dilaksanakan setelah wilayah yang
bersangkutan mendapatkan penyulu-
han. Sedangkan pendampingan dila-
kukan bersamaan dengan pelatihan.
Alat bantu yang digunakan yaitu alat
perajang criping/ubi kayu. Sasaran
pelatihan ini adalah dikhususnya
pada wanita, baik wanita tani
maupun ibu rumah tangga.
Pelatihan yang dilakukan
adalah pelatihan usaha pengolahan
hasil pertanian. Dalam hal ini hasil
pertanian yang akan diolah adalah
criping/ubi kayu yaitu diolah menjadi
kripik. Para peserta pelatihan mem-
praktekkan sendiri apa yang
diperintahkan oleh demonstrator
67
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
sehingga dapat mengetahui sejauh
mana kemampuan yang ia miliki.
Yang ditunjuk sebagai demonstrator
dalam pelatihan ini adalah ibu
Sukarni selaku PPL Boyolali.
Hasil Sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Boyolali
Secara teknis: kurangnya
umpan balik/respon dari peserta
sosialisasi. Peserta cenderung
bersikap pasif, tidak begitu antusias
dalam mengikuti sosialisasi karena
pada saat diadakan sosialisasi yang
pertama kali, ada yang tidak hadir
sehingga informasi yang diperoleh
kurang. Secara psikologis: petani
kurang memahami tentang sosialisasi
Program GPKA. Akan tetapi kegiatan
tersebut dapat menambah pengeta-
huan petani. Secara kuantitas:
jumlah kelompok tani yang
mengikuti kegiatan penyuluhan dan
pelatihan tentang Program GPKA
sebanyak 50 kelompok tani.
Kendala Yang Dihadapi Dalam Sosia-
lisasi Program Gerakan Pengemban-
gan Kawasan Agropolitan (GPKA)
Kendala Sosialisasi di Kecamatan
Ampel
1. Terbatasnya jumlah personil yang
dilibatkan dalam program.
Dalam hal ini personil/tim
yang ditunjuk hanya berasal dari
tingkat kabupaten dan kecamatan
saja. Seharusnya tingkat daerah
(seperti PPL) juga dilibatkan dalam
perencanaan program karena tingkat
daerah berperan sebagai penyalur
informasi antara dinas terkait dengan
petani dan secara tidak langsung juga
sebagai pelaksana dari Program
GPKA sehingga perlu mengetahui
tentang program tersebut.
2. Ketersediaan Dana untuk sosia-
lisasi Program GPKA
Hal ini dianggap penting
karena jenis kegiatan yang termasuk
dalam Program GPKA tidaklah sedikit
sehingga membutuhkan dana dalam
jumlah banyak. Misalnya dana untuk
kegiatan penyuluhan dalam rangka
sosialisasi Program GPKA. Untuk
mengadakan penyuluhan pasti
mengundang kelompok tani dan
dinas terkait serta membutuhkan
alat tulis kantor, LCD, leaflet,
konsumsi, dan lain-lain. Apabila dana
yang diberikan kurang maka petugas
terkait terpaksa menggunakan dana
mereka sendiri.
3. Aktivitas petani
Aktivitas para petani selaku
sasaran dalam Program GPKA
terkadang dapat menjadikan suatu
kendala karena aktivitas dari tiap-
tiap petani berbeda-beda dan
68
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
terkadang tidak terduga sehingga
pertemuan antara petani dengan
dinas terkait perlu dijadwalkan
terlebih dahulu. Penetapan waktu
pertemuan sebaiknya disesuaikan
dengan kesepakatan bersama antara
petani dengan dinas terkait.
Kendala Sosialisasi di Kecamatan
Boyolali
1. Adanya mutasi dan penggantian
salah satu staf Seksi Agribisnis.
Adanya mutasi ini terjadi
pada saat Kasi Agribisnis sedang
mengikuti Diklat Pim IV di
Donohudan Kecamatan Ngemplak.
Padahal pada Program GPKA sedang
berjalan yaitu pada tahap pelaksa-
naan kegiatan fisik (pemberian
bantuan bibit/benih dan pemberian
bantuan obat-obatan/pupuk kepada
petani) dan non fisik (revitalisasi
kelompok tani dan koordinasi
dengan dinas terkait tentang
Program GPKA).
Meskipun posisi staf yang di mutasi
telah diganti oleh staf yang baru
namun staf yang baru tersebut
kurang memahami tentang Program
GPKA sehingga perkembangan dari
Program GPKA sempat terhambat /
fakum. Adanya mutasi dan penggan-
tian staf ini ditangani oleh TU di
Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten
Boyolali.
2. Tidak semua petani mengetahui
tentang Program GPKA.
Hal ini dikarenakan pada
saat diadakan penyuluhan tentang
GPKA, petani ada yang tidak hadir
karena memiliki kesibukan sendiri-
sendiri. Disisi lain meskipun petani
hadir tetapi mereka hanya sekedar
mendengarkan saja tanpa ada
respon/tindakan pada diri mereka.
3. Petani belum seluruhnya memiliki
sikap dan pandangan yang sama
terhadap GPKA.
Menurut Sunarsih dan
Ashari (2004) kemampuan anggota
masyarakat dalam menghargai tata
nilai “maju” dapat dianggap sebagai
salah satu ciri penting tingginya
kualitas SDM. Kualitas SDM ini akan
mempengaruhi sikap dan pandangan
petani terhadap hasil sosialisasi
tentang Program GPKA yang mereka
terima. Apabila sikap dan pandangan
petani tidak sama maka sulit untuk
mengajak petani agar mau
malaksanakan apa yang disuluhkan
oleh PPL.
69
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
Upaya Untuk Mengatasi Kendala
Dalam Sosialisasi Program Gerakan
Pengembang-an Kawasan
Agropolitan (GPKA)
Upaya yang dilakukan di Kecamatan
Ampel
1. Mengkoordinasikan lagi jumlah
personil yang akan dilibatkan.
Jumlah personil yang
dilibatkan diusahakan benar–benar
sanggup dan mampu untuk
melaksanakan Program GPKA agar
program tersebut berjalan lancar
sesuai keinginginan bersama. Bila
perlu menambah jumlah PPL karena
jumlah PPL tidak sebanding dengan
jumlah kelompok tani yang ada di
sana. Jumlah PPL hanya 11 orang
sedangkan jumlah kelompok tani 230
kelompok.
2. Membuat proposal pelaksanaan
Program GPKA
Upaya yang ditempuh oleh
dinas terkait dengan cara membuat
proposal pelaksanaan Program GPKA
diharapkan mendapat persetujuan
dari pusat. Di dalam proposal
tersebut berisi rincian kegiatan dan
dana yang dibutuhkan untuk
kegiatan GPKA. Apabila mendapat
persetujuan dari tingkat pusat maka
dapat mengurangi masalah keterse-
diaan dana.
Upaya yang dilakukan di Kecamatan
Boyolali
Memberi masukan kepada
pimpinan agar staf yang bersang-
kutan ditunda kepindahannya untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan.
Upaya tersebut meskipun pernah
ditempuh tetapi belum mendapatkan
hasil yang maksimum. Staf tersebut
tetap harus pindah karena sudah
menjadi keputusan bersama dan
mau tidak mau harus menerimanya.
Bertukar informasi dengan petani
lain apabila ada informasi baru
terutama kepada petani yang tidak
hadir pada saat penyuluhan.
Hal ini perlu dilakukan
karena agar semua anggota kelom-
pok tani mengetahui informasi
terkait tentang Program GPKA yang
dilaksanakan di daerahnya. Apabila
informasi tersebut kurang lengkap,
petani dapat menanyakan-nya
langsung kepada dinas terkait/
berkonsultasi dengan PPL. Perlu
diingat bahwa yang terpenting
adalah pesan yang disampaikan
dapat dipahami oleh petani.
Menurut Brooks (1971) Jika
beberapa orang menerima pesan
yang disampaikan berarti komunikasi
berjalan dengan baik, namun jika
pesan tidak mampu diterima oleh
orang lain maka dapat dikatakan
70
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
bahwa komunikasi berjalan kurang
baik.
Mengintensifkan koordinasi lintas
sektor dan pendampingan
Koordinasi lintas sektor dan
pendampingan perlu lebih diintensif-
kan agar petani memiliki sikap dan
pandangan yang sama terhadap
Program GPKA. Dengan begitu para
petani akan bersama-sama mensuk-
seskan Program GPKA karena
keberhasilan dari program ini berada
ditangan dinas terkait dan para
petani.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Ampel dan Boyolali
dilakukan melalui penyuluhan,
pelatihan, serta pendampingan.
2. Kegiatan sosialisasi Program GPKA
di Kecamatan Ampel dan Boyolali
ternyata dapat menambah penge-
tahuan dan pemahaman petani
terkait tentang usahatani dan
mendapat respon/umpan balik
dari para petani.
3. Alat/media bantu yang diperguna-
kan dalam mensosialisasikan
Program GPKA antara lain LCD,
note book, ATK, laptop, peta, dan
leaflet.
4. Kendala yang dihadapi dalam
sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Ampel antara lain
terbatasnya jumlah personil yang
dilibatkan, ketersediaan dana
untuk sosialisasi kegiatan Program
GPKA, dan aktivitas petani.
5. Kendala yang dihadapi dalam
sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Boyolali adalah adanya
mutasi salah satu staf Seksi
Agribisnis pada saat Kasi Agribisnis
sedang mengikuti Diklat Pim IV,
tidak semua petani mengetahui
tentang Program GPKA karena
pada saat diadakan penyuluhan
tentang GPKA petani ada yang
tidak hadir, dan petani belum
seluruhnya memiliki sikap dan
pandangan yang sama terhadap
GPKA.
6. Upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala dalam
sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Ampel adalah
mengkoor-dinasikan lagi jumlah
personil yang akan dilibatkan,
membuat proposal pelaksa-naan
Program GPKA.
7. Upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala dalam
sosialisasi Program GPKA di
Kecamatan Boyolali adalah
memberi masukan kepada
pimpinan agar staf yang
71
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
bersangkutan ditunda kepin-
dahannya, bertukar informasi
kepada petani lain apabila ada
informasi baru terutama kepada
petani yang tidak hadir pada saat
penyuluhan, dan mengintensifkan
koordinasi lintas sektor dan pen-
dampingan.
Beberapa hal yang dapat
direkomendasikan adalah bagi dinas
terkait, perlu menambah jumlah
personil yang akan dilibatkan dalam
mensosialisasikan Program GPKA,
Bagi petani, diharapkan selalu aktif
dalam mengikuti penyuluhan dan
berkonsultasi dengan penyuluh yang
ada di daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, William D. 1971. Speech
Comunication. Brown Com-
pany Publishers. The United
States of America.
Departemen Pekerjaan Umum. 2006.
Rencana Program Jangka
Menengah: Pengembangan
Kawasan Agropolitan Kabu-
paten Boyolali. Direktorat
Jenderal Cipta Karya.
Boyolali.
Hasan, Iqbal. 2002. Analisis Data
Penelitian dengan Statistik.
Bumi Aksara. Jakarta.
Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten
Boyolali. 2008. Agropolitan.
Boyolali.
Rivai, Deddy Effendi. 2003.
Pengembangan Kawasan
Agropolitan sebagai Pende-
katan Wilayah dan Pember-
dayaan Masyarakat Perta-
nian. Disampaikan dalam
Makalah Pengantar Falsa-
fah Sains (PPS702) Program
Pasca Sarjana/ S3. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rustiadi, Ernan. 2006. Gerakan
Pengembangan Kawasan
Agropolitan. http: // Jakar
talitbang. go. id/ klinikagro
bisnis. Diakses tanggal 18
September 2008.
______ dan Sugimin Pranoto. 2007.
Agropolitan: Membangun
Ekonomi Perdesaan. Crest-
pent Press. Bogor.
Sajogyo. 1982. Bunga Rampai
Perekonomian Desa. Yaya-
san Agroekonomika. Yogya-
karta.
Sunarsih dan Ashari. 2004. Aspek
Kelembagaan dan Aplikasi-
nya dalam Pembangunan
Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosek
Pertanian dan Badan
Litbangtan. Bogor.
72
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Yusroni. 2005. Strategi Sosialisasi
dan Pelaksanaan Program
Sosialisasi Berbagai
Peraturan Daerah Tentang
Pengelolaan Pasar pada
Pasar Tradisional Di Kota
Surakarta. Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta.
73
Sosialisasin, agropolitan,,, Hapsari, Wijianto, Sutarto
SIKAP PETANI TERHADAP GABUNGAN KELOMPOK TANI
(GAPOKTAN)
FARMER’S ATTITUDE TO ALIANCE FARMER’S GROUP (GAPOKTAN)
Yunus Puratmoko1), Kusnandar2), Arip Wijianto3) 1,2,3) Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret
Abstract
This research aim to study farmer’s attitude to Gapoktan, studying farmer’s former factors for attitude to Gapoktan and study the relation between farmer’s former factors for attitude with its attitude to Gapoktan. Basic method used by quantitative research method with survay technique. Research location determined by purposive that is in District of Banyudono Sub Province Boyolali. Withdrawal of sample done by Stratified Random Sampling, chosen three Countryside they were Tanjungsari, Banyudono and Batan. After obtained by countryside is later taken by proportional random sampling, for the farmer sample a number of 40 by Random. Type and data source cover primary data and sekunder data. Analysis method used to know the farmer’s former factor for attitude and farmer’s attitude to Gapoktan is class wide formula. While to test relation between farmer’s former factors for attitude with its attitude to Gapoktan use Rank Spearman correlation analysis.Result of research indicate that farmer’s attitude to Gapoktan pertained goodness. From result of Rank Spearman analysis and significance test at trust level 95% personal experience do not significant with farmer’s attitude to Gapoktan assess correlation coefficient (-0,174). While lionized others influence (0,443), formal education (0,442) and of non formal education (0,469), or significant and correlate positive with farmer’s attitude to Gapoktan.
Keywords: Farmer, Attitude, Aliance Farmer’s Group
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sikap petani terhadap Gapoktan, mengkaji faktor-faktor pembentuk sikap petani terhadap Gapoktan dan mengkaji hubungan antara faktor-faktor pembentuk sikap petani dengan sikapnya terhadap Gapoktan. Metode dasar yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan teknik survai. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali. Penarikan sampel dilakukan secara Stratified Random Sampling, terpilih tiga Desa yaitu Tanjungsari, Banyudono dan Batan. Setelah diperoleh desa kemudian diambil secara proporsionalrandom sampling sampel petani sejumlah 40 secara Random. Jenis dan sumber data meliputi data primer dan data sekunder. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui faktor pembentuk sikap dan sikap petani terhadap Gapoktan adalah
74
rumus lebar kelas. Sedangkan untuk menguji hubungan antara faktor-faktor pembentuk sikap petani dengan sikapnya terhadap Gapoktan menggunakan analisis korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap petani terhadap Gapoktan tergolong baik. Dari hasil analisis Rank Spearman dan uji signifikansi pada tingkat kepercayaan 95% pengalaman pribadi tidak berhubungan signifikan dengan sikap petani terhadap Gapoktan dengan nilai koefisien korelasi (-0,174). Sedangkan pengaruh orang lain yang dianggap penting (0,443) dan pendidikan formal (0,442), dan pendidikan non formal (0,469), atau signifikan dan berhubungan positif dengan sikap petani terhadap Gapoktan. Kata Kunci: Sikap, Petani, Gapoktan
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian
dapat dilaksanakan dengan cara
revitalisasi pertanian dalam rangka
pengurangan kemiskinan dan
pengangguran serta peningkatan
daya saing ekonomi nasional dan
menjaga kelestarian sumber daya
pertanian. Selama ini revitalisasi
telah digalakkan akan tetapi masih
perlu tindak lanjut dan perkem-
bangan yang lainnya. Salah satu
aspek yang paling mempengaruhi
dalam perkembangan pertanian
adalah sumber daya manusia.
Pengembangan kelompok tani
diarahkan pada peningkatan
kemampuan setiap kelompok tani
dalam melaksanakan fungsinya,
peningkatan kemampuan para
anggota dalam pengembangan
agribisnis, penguatan kelompok
tani menjadi organisasi petani yang
kuat dan mandiri. Kelompok tani
yang berkembang bergabung ke
dalam Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan).
Usaha untuk mencapai
keberhasilan dari Gapoktan ini
sangat diperlukan sikap atau respon
yang baik dari petani terhadap
pengembangan kelembagaan perta-
nian. Ketika diketahui sikap petani
maka pemerintah dan pengambil
kebijakan dapat mempertimbang-
kan kebijakan apa yang cocok untuk
pengembangan kelembagaan perta-
nian. Tentunya hal baru yang
dirasakan petani akan menimbulkan
sikap yang berbeda-beda terhadap
terbentuknya Gabungan Kelom-pok
Tani (Gapoktan). Sikap petani yang
positif akan membantu keberlang-
sungan dan kemajuan Gapoktan
akan tetapi ketika sikap petani
negatif maka Gapoktan akan
mengalami hambatan.
Lemahnya kelembagaan
pertanian, seperti perkreditan,
lembaga input, pemasaran, dan
75
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
penyuluhan, telah menyebabkan
belum dapat terciptanya suasana
kondusif untuk pengembangan
agroindustri pedesaan. Selain itu,
lemahnya kelembagaan ini
berakibat pada tidak efisiennya
sistem pertanian, dan rendahnya
keuntungan yang diterima petani.
Dari sisi kelembagaan, akan dijum-
pai kendala yang bersifat fungsi-
onal, karena pendekatan strategi
revitalisasi pertanian yang terkesan
tidak menyeluruh, seperti juga yang
terjadi pada Gapoktan.
Pada pelaksanaan suatu
kegiatan dalam kelembagaan di
suatu daerah akan mendapatkan
respon atau sikap oleh sasaran.
Menurut Azwar (1995) sikap
dikatakan sebagai suatu respon
evaluatif. Respon akan timbul
apabila seseorang dihadapkan pada
suatu stimulus tertentu yang
menghendaki adanya reaksi sese-
orang atau individu. Sikap
mempunyai arah, artinya sikap
terpilah menjadi dua arah
kesetujuan yaitu apakah setuju atau
tidak setuju dan apakah mendukung
atau tidak mendukung, memihak
atau tidak memihak terhadap
sesuatu sebagai obyek. Dalam
interaksi sosialnya, individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu
terhadap berbagai objek psikologis
yang dihadapinya.
Usaha untuk mencapai
keberhasilan dari Gapoktan ini
sangat diperlukan sikap atau respon
yang baik dari petani terhadap
pengembangan kelembagaan perta-
nian. Ketika diketahui sikap petani
maka pemerintah dan pengambil
kebijakan dapat mempertimbang-
kan kebijakan apa yang cocok untuk
pengembangan kelembagaan perta-
nian. Dalam penelitian ini akan
mengkaji sikap petani terhadap
Gabungan Kelompok Tani (Gapok-
tan) di Kecamatan Banyudono
Kabupaten Boyolali. Kecamatan
Banyu-dono merupakan Kecamatan
yang mempunyai 8 Gabungan
Kelompok Tani. Peneliti memilih
Gapoktan yang ada di Banyudono
karena jumlah Gapoktan berada
pada pertengahan dari jumlah
keseluruhan Gapoktan yang ada di
Kabupaten Boyolali. Selain itu juga
Kecamatan Banyudono merupakan
daerah yang mudah dijangkau oleh
peneliti.
Dari uraian diatas dapat
dirumus-kan berbagai permasalahan
yang nantinya akan dikaji dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana
sikap petani terhadap Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) di
Kecamatan Banyudono Kabupaten
76
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Boyolali? Faktor-faktor apa saja
yang membentuk sikap petani
terhadap Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) di Kecamatan Banyudo-
no Kabupaten Boyolali? Bagaimana
hubungan antara faktor-faktor
pembentuk sikap dengan sikap
petani terhadap Gabungan Kelom-
pok Tani (Gapoktan) di Kecamatan
Banyudono Kabupaten Boyolali?
Berdasarkan permasalahan
yang telah dirumuskan, maka tujuan
peneliti-an ini adalah: Mengkaji
sikap petani terhadap Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) di
Kecamatan Banyudono Kabupaten
Boyolali, Mengkaji faktor apa saja
yang membentuk sikap petani
terhadap Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) di Kecamatan Banyudo-
no Kabupaten Boyolali, Mengkaji
hubungan antara faktor-faktor
pembentuk sikap dengan sikap
petani terhadap Gabungan Kelom-
pok Tani (Gapoktan) di Kecamatan
Banyudono Kabupaten Boyolali.
METODE PENELITIAN
Metode dasar penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kuantitatif
(Singgih, 2006). Sedangkan teknik
pelaksanaan penelitian ini menggu-
nakan teknik survai yaitu penga-
matan atau penyelidikan yang kritis
untuk mendapatkan keterang-an
yang sebenarnya dan baik terhadap
suatu persoalan tertentu dan di
dalam suatu daerah (Singarimbun
dan Effendi, 1995). Pemilihan lokasi
penelitian dilakukan dengan sengaja
(purposive) yaitu Kecamatan
Banyudono Kabupaten Boyolali
dengan pertimbangan bahwa
dikecamatan Banyudono merupa-
kan daerah yang mempunyai jumlah
Gapok-tan berada pada pertenga-
han dari jumlah keseluruhan
Gapoktan yang ada di kabupaten
Boyolali. Kecamatan Banyu-dono
mempunyai 8 Gapoktan.
Populasi dalam penelitian ini
adalah petani yang tergabung dalam
Gabungan Kelompok Tani (Gapok-
tan) yang ada di Kecamatan
Banyudono Kabupaten Boyolali.
Penentuan sampel dilakukan
dengan menggunakan teknik sample
acak distratifikasi (Stratified Random
Sampling), maka populasi yang
bersangkutan harus dibagi-bagi
dalam lapisan-lapisan (strata) yang
seragam berdasarkan luas lahan,
dan dari setiap lapisan diambil
sampel secara acak (Singarimbun
dan Effendi, 1995). Dengan teknik
ini diperoleh desa kemudian diambil
secara proporsional sampel petani
sejumlah 40 secara acak (Random).
77
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
Tabel. 1 Data Jumlah sampel sasaran yang tergabung dalam Gapoktan
No Gapoktan Jumlah Anggota Jumlah Sampel
1. Sari Tani (Tanjungsari) 315 25
2. Tani Makmur (Banyudono) 120 10
3. Tani Mulya (Batan) 62 5
Jumlah 497 40
Sumber : Data Dispertanbunhut 2008
Data yang dikumpulkan akan
dianalisis, menurut Djarwanto (1996)
sesuai data yang tersedia data primer
dianalisis melalui tahap editing,
coding dan tabulasi. Kategori
pengukurannya dengan mengguna-
kan rumus lebar interval kelas.Untuk
mengetahui hubungan antara
faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap petani dengan
sikapnya terhadap Gabungan Kelom-
pok Tani (Gapoktan) dapat diketahui
dengan rumus koefisien korelasi
(Rank Spearman). Untuk menguji
tingkat signifikansi hubungan
digunakan uji t karena sampel yang
diambil lebih dari 10 (N>10) dengan
tingkat kepercayaan 95% (Siegel,
1997).
Pertemuan rutin setiap 35
hari sekali, tempat pertemuan
biasanya di balai desa dan ada juga
yang tempatnya bergiliran pada
masing-masing anggota. Atau apabila
telah memiliki tempat pertemuan
khusus, maka Gapoktan mempergu-
nakan fasilitas tersebut. Dalam
pertemuan itu ada kegiatan yaitu
pembuatan program kerja disetiap
tahunnya, arisan anggota dan ada
juga simpan pinjam. Ada juga
penyuluhan yang dilakukan oleh PPL
dari Dispertan-bunhut. Untuk
kerjasama dengan perusahaan
saprodi yaitu pupuk organik
Gapoktan di Kecamatan Banyudono
pernah melakukan kerjasama akan
tetapi karena ketentuan yang cukup
rumit maka kerjasama tersebut
sekarang tidak berjalan lagi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecamatan Banyudono Kabu-
paten Boyolali mempunyai delapan
Gabungan Kelompok Tani (Gapok-
tan). Pembentukan Gapoktan di
Kecamatan Banyudono dilakukan
dalam suatu musyawarah yang
dihadiri oleh para kontak tani/ketua
kelompok tani yang akan bergabung,
setelah sebelumnya di masing
masing kelompok telah disepakati
bersama para anggota kelompok
untuk bergabung ke dalam
78
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
Gapoktan. Kemudian untuk menda-
patkan legitimasi, kepengurusan
Gapoktan dikukuhkan oleh bupati
Boyolali. Kelembagaan Gapoktan di
Banyudono masih tergolong belum
lama karena baru berdiri sejak tahun
2003. Berikut data Gapoktan yang
ada di Kecamatan Banyudono.
Tabel 2 Gapoktan di Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali Tahun 2009
No Nama Gapoktan Alamat (Desa) Tahun Berdiri Ketua
1. Sari Tani Tanjungsari 25 Agustus 2007 Djuliman
2. Tani Mukti Jipangan 28 Agustus 2007 Teguh Sambodo
3. Tani Rahayu Trayu 12 Desember 2003 Lomo Suparno
4. Tani Makmur Banyudono 29 Agustus 2007 Suyoto
5. Marsudi Tani Ketaon 2 Pebruari 2002 Anom Wirejo
6. Agung Mukti Denggungan 27 Agustus 2007 Sarno
7. Kembang Tani Bangak 5 Pebruari 2002 Ir. Sunarto
8. Tani Mulyo Batan 3 Pebruari 2003 Cipto Martono
Sumber : Data Dispertanbunhut 2009
Tabel 3 menggambarkan
bahwa mayoritas umur responden
termasuk dalam umur 15 sampai 64
tahun yaitu sebanyak 35 orang (87,5
persen). Kategori umur ini tergolong
umur produktif, artinya pada umur
tersebut responden masih mampu
bekerja untuk memenuhi kebutuhan
perekonomian keluarga dan
mengembangkan usaha taninya.
Dengan demikian tingkat kema-
tangan, baik fisik, cara berpikir dan
tingkat emosionalnya cukup baik.
Luas lahan yang diusahakan oleh
responden sebagian besar masuk
dalam kategori sempit yaitu kurang
dari atau sama dengan satu hektar
yaitu sebesar 72,5 persen (29 orang),
sebanyak 7 orang (17,5 persen)
memiliki luas lahan dengan kategori
sedang (1,1 – 2 ha) dan ada sebanyak
10 persen dari jumlah responden (4
orang) memiliki luas lahan dengan
kategori luas (2,1 – 3 ha). Untuk
ukuran luas, dari data di atas
sebagian besar responden memiliki
luas lahan yang tergolong sempit. Hal
ini akan mempengaruhi tingkat
partisipasi petani didalam kegiatan
Gapoktan karena seperti bantuan
pupuk itu berdasarkan luasan lahan
yang dimiliki oleh petani. Jadi secara
tidak langsung petani yang
mempunyai lahan semakin luas maka
bantuan pupuk yang akan diperoleh
semakin banyak.
79
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
Tabel 3. Identitas responden No Keterangan Kategori Skor Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Umur Non produktif 0-14 0 0 Produktif 15 - 64 35 87,5 Non Produktif > 64 5 12,5
Jumlah 40 100,0
2. Luas Usaha (ha) Sempit 0 - 1 29 72,5 Sedang 1,1 - 2 7 17,5 Luas 2,1 - 3 4 10
Jumlah 40 100,0
Sumber : Analisis data primer 2009
Tabel 4 menggambarkan
bahwa pengalaman pribadi respon-
den termasuk kategori sedang ada
37 petani atau (92,5 persen).
Pengalaman pribadi petani di
Kecamatan Banyudono masih dalam
kategori sedang karena sebenar-nya
banyak petani yang telah
berusahatani lebih dari 10 tahun,
namun untuk kelembagaan Gapok-
tan itu sendiri masih belum lama.
Untuk kelembagaan Gapoktan di
Kecamatan Banyudono baru
dibentuk antara satu hingga lima
tahun. Hal ini mempenga-ruhi
pengalaman petani dalam kelem-
bagaan Gapoktan ini. Sehingga
dalam pemenuhan kebutuhan
usaha-tani petani masih banyak
yang berusaha sendiri. Harapan dari
petani semakin lama berdirinya
Gapoktan maka fungsi dari
Gapoktan semakin baik, sehingga
Gapoktan dapat mencukupi semua
kebutuhan usahatani yang
dibutuhkan oleh petani. Dengan
demikian pengalaman pribadi
petani dapat semakin meningkat.
Tabel 4. Distribusi faktor-faktor pembentuk sikap No Kategori Skor Jumlah (orang) Persentase (%)
Pengalaman pribadi
1 Sangat Buruk 3-5,4 - 0 2 Buruk 5,5-7,9 2 5 3 Sedang 8-10,4 37 92,5 4 Baik 10,5-12,9 1 2,5 5 Sangat Baik 13-15,4 - 0
Pengaruh orang lain
1 Sangat Buruk 4-7,2 - 0 2 Buruk 7,3-10,5 11 27,5 3 Sedang 10,6-13,8 19 47,5 4 Baik 13,9-17,1 9 22,5 5 Sangat Baik 17,2-20,4 1 2,5
Pendidikan Formal
1 Tidak SD/Tidak Tamat SD 1 - 0
80
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
2 SD 2 13 32,5 3 SMP 3 13 32,5 4 SLTA 4 9 22,5 5 D3/Sarjana 5 5 12,5
Pendidikan Non Formal
1 Sangat Buruk 2-3,6 3 7,5 2 Buruk 3,7-5,3 11 27,5 3 Sedang 5,4-7 13 32,5 4 Baik 7,1-8,7 7 17,5 5 Sangat Baik 8,8-10,4 6 1,5
Sumber : Analisis data primer 2009
Pengaruh orang lain yang
dianggap penting (PPL, ketua
Gapoktan dan Aparat Desa)
termasuk dalam kategori sedang
yaitu ada 19 petani atau (47,5
persen). Dari hasil analisis tersebut
dapat disimpulkan bahwa peran
orang lain yang dianggap penting
cukup berpengaruh pada sikap
petani dalam kelembagaan
Gapoktan. Hal ini dikarenakan sejak
awal kegiatan Gapoktan yaitu pada
proses perencanaan hingga pelaksa-
naan kegiatan baik penyuluh, ketua
Gapoktan turut berperan dalam
mendukung terbentuknya Gapok-
tan. Bentuk dukungan yang diberi-
kan oleh orang-orang yang dianggap
penting tersebut diantaranya dilaku-
kan melalui ajakan untuk mening-
katkan produksi dan nilai tambah
dari usahataninya, saran untuk
mengikuti pertemuan rutin, saran
dan informasi seputar teknologi
yang baru. Banyaknya dukungan
dari pihak-pihak yang oleh petani
sendiri dianggap penting menjadi-
kan respon dan sikap petani
terhadap Gapoktan. Akan tetapi
disini peran aparat desa masih
dianggap kurang oleh petani karena
ajakan, saran dan informasi banyak
disampaikan oleh PPL dan Ketua
Gapoktan itu sendiri. Aparat desa
hanya menghadiri ketika rapat rutin
berlangsung dan ketika ada tamu
dari pihak pemerintahan.
Tingkat pendidikan respon-
den termasuk kategori sedang
sampai dengan buruk yaitu SD dan
SMP sebanyak 32,5 persen. Tingkat
pendidikan mempengaruhi kualitas
sumberdaya manusia, jika semakin
banyak pengalaman yang diperoleh
dari tingkat pendidikan yang
diselesaikannya, maka semakin
maju pola berfikirnya. Pentingnya
pendidikan sebagai sarana untuk
menambah ilmu pengetahuan telah
mulai diperhatikan oleh petani
sendiri. Petani telah menempatkan
pendidikan sebagai sesuatu yang
penting. Untuk tingkat pendidikan
mereka berdasarkan usia, semakin
81
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
usianya tua maka tingkat
pendidikannya semakin rendah.
Pendidik-an ini dapat menunjang
kelancaran aktivitas kegiatan
Gapoktan, misalnya dalam hal
administrasi.
Pendidikan non formal yang
diukur dalam penelitian ini adalah
kegiatan penyuluhan dan pelatihan-
pelatihan yang pernah diikuti oleh
petani selama dalam kurun waktu
setahun terakir. Pelatihan yang
pernah dilaksanakan adalah Sekolah
Lapang Pengendalian Hama dan
Penyakit Terpadu (SLPHT) dan juga
Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SLPTT). Kegiatan
penyuluhan banyak dilakukan oleh
PPL ketika Gapoktan tersebut
melakukan pertemuan rutin yang
dilakukan setiap satu bulan sekali.
Dengan demikian PPL dapat
memberikan penyuluhan serta
dapat mengawasi jalannya kegiatan
Gapoktan, serta memberikan ajakan
untuk mengelola keuangan secara
mikro dan melakukan usaha simpan
pinjam sehingga masalah kebutuhan
modal usaha dapat teratasi.
Pendidikan non formal
responden termasuk dalam kategori
sedang yaitu ada 13 petani (32,5
persen). Untuk kegiatan pelatihan
yang dilakukan oleh Dinas Pertanian
tidak semua dilibatkan, hanya
perwakilan dari petani saja yang
diikutsertakan, hal ini diharapkan
petani yang mengikuti pelatihan
dapat menyampaikan informasi dan
ilmu yang diperoleh pada saat
pelatihan kepada petani lain
sehingga ilmu yang diperoleh dari
mengikuti pelatihan dapat tersalur-
kan. Petani juga berharap melalui
kegiatan penyuluhan dan pelatihan
dapat menambah pengetahuan dan
ketrampilan mengelola usaha
taninya. Dengan demikian petani
akan mendapatkan keuntungan
yang lebih sehingga kesejah-teraan
petani dapat semakin meningkat.
Tabel 5. Distribusi petani menurut sikap petani terhadap Gapoktan No Kategori Skor Jumlah
(orang) Persentase (%)
Tujuan Gapoktan 1 Sangat Buruk 4-7,2 - 0 2 Buruk 7,3-10,5 - 0 3 Netral 10,6-13,8 1 0,25 4 Baik 13,9-17,1 34 85 5 Sangat Baik 17,2-20,4 5 1,25
Sasaran Gapoktan 1 Sangat Buruk 5-9 - 0 2 Buruk 9,1-13,1 - 0
82
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
3 Netral 13,2-17,2 1 2,5 4 Baik 17,3-21,3 35 87,5 5 Sangat Baik 21,4-25,4 4 10
Pelaksanaan 1 Sangat Buruk 11-19,8 - 0 2 Buruk 19,9-28,7 - 0 3 Netral 28,8-37,6 21 52,5 4 Baik 37,7-46,5 19 47,5 5 Sangat Baik 46,6-55,4 - 0
Manfaat Gapoktan 1 Sangat Buruk 5-9 - 0 2 Buruk 9,1-13,1 - 0 3 Netral 13,2-17,2 8 20 4 Baik 17,3-21,3 29 72,5 5 Sangat Baik 21,4-25,4 3 7,5
Monev Gapoktan 1 Sangat Buruk 5-9 - 0 2 Buruk 9,1-13,1 - 0 3 Sedang 13,2-17,2 7 17,5 4 Baik 17,3-21,3 27 67,5 5 Sangat Baik 21,4-25,4 6 15
Jumlah 40 100,00
Sumber : Analisis data primer 2009.
Berdasarkan Tabel 5 dapat
dilihat bahwa sikap petani terhadap
tujuan Gapoktan tergolong baik.
Petani yang mempunyai sikap yang
baik terhadap tujuan Gapoktan ada
34 petani atau (85 persen). Petani
dapat bersikap baik karena patani
merasa mengetahui dan memahami
tentang tujuan Gapoktan walaupun
tidak secara keseluruhan, oleh
karena itu petani setuju dengan
berdirinya kelembagaan Gapoktan
karena memberikan manfaat bagi
petani untuk meningkatkan kemam-
puan mengembang-kan usaha
taninya. Selain itu dengan adanya
Gapoktan, petani memiliki harapan
akan peningkatan pendapatan dan
keuntungan dari hasil kegiatan yang
dapat terwujud.
Sikap petani terhadap
sasaran yang ingin diwujudkan
melalui kelembagaan Gapoktan
tergolong baik. Sebanyak 35 petani
(87,5 persen) mempunyai sikap yang
baik terhadap sasaran Gapoktan.
Hal ini menunjukkan bahwa petani
memiliki tanggapan yang menye-
tujui terhadap sasaran Gapoktan
yaitu meningkatkan sumber daya
manusia dalam melaksanakan
usahatani dalam suatu wilayah
melalui kegiatan produksi, pengo-
lahan dan pemasaran dalam suatu
sistem manajemen. Selain itu juga
sebagai pengembangan aspek
statika (organisasi, administrasi) dan
83
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
aspek dinamika (kegiatan dan
kepengurusan) serta aspek
kepemimpinan (kaderisasi anggota
organisasi).
Pelaksanaan kegiatan Gapok-
tan dapat dilihat dari keikutsertaan
petani dalam pengadaan dan
distribusi input (bibit, pupuk,
pestisida), budidaya tanaman
pangan mulai dari penanaman
hingga pemasaran serta keterlibatan
petani dalam penggunaan saprodi
yang disediakan seperti traktor,
hand spayer. Berdasarkan data
Tabel 5.8 dapat disimpulkan bahwa
sikap petani terhadap pelaksanaan
kegiatan Gapoktan tergolong netral.
Sebanyak 21 petani (52,5 persen)
mempunyai sikap yang netral. Ini
menunjukkan bahwa kegiatan yang
dilakukan dalam kegiatan Gapoktan
dapat terlaksana dengan cukup baik.
Hal ini disebabkan petani dalam
pelaksanaan kegiatan Gapoktan
belum seluruhnya mengalami keber-
hasilan. Masih minimnya kerjasama
yang dilakukan petani kepada pihak
lain dalam pengolahan hasil
pertanian dan pemasaran, sehingga
hasil panen masih banyak yang
langsung dijual kepada tengkulak.
Sikap petani terhadap
manfaat dan hasil dari pelaksanaan
kegiatan Gapoktan yang tergolong
baik. Petani yang mampunyai sikap
baik ada 29 petani atau (72,5
persen). Hasil dari kegiatan
Gapoktan dirasakan petani dapat
menunjang peningkatan usaha
taninya walaupun belum maksimal.
Dengan inisiatif sendiri petani selalu
berusaha memanfaatkan hasil dari
setiap kegiatan diantaranya pema-
kaian alat-alat pertanian ataupun
pinjaman kas Gapoktan untuk
tambahan modal. Meskipun sarana
produksi yang diberikan oleh
pemerintah kuantitasnya terbatas
sehingga dalam pemanfaatannya
harus bergantian, tidak menjadikan
minat petani untuk terus meman-
faatkan hasil yang diperoleh dari
kegiatan tersebut berkurang. Disam-
ping itu, petani juga aktif
menyebarluaskan pengetahuan
yang didapatnya dari kegiatan
Gapoktan serta mempunyai inisiatif
untuk menerapkan ilmu yang telah
diperoleh dari kegiatan SLPHT dan
SLPTT. Dengan demikian manfaat
telah sangat dirasakan oleh petani
dan dapat membantu menunjang
peningkatan usahataninya.
Sikap petani terhadap moni-
toring dan evaluasi Gapoktan
termasuk dalam kategori baik.
Sebanyak 27 petani atau (67,5
persen) menyatakan bahwa pelak-
sanaan kegiatan Gapoktan telah
berhasil dan sesuai dengan rencana
84
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
serta apa yang menjadi tujuan dari
Gapoktan itu sendiri. Selain itu juga
petugas atau penyuluh, aparat desa
dan ketua gapoktan telah
membimbing petani dari tahap
perencanaan sampai dengan
monitoring dan evaluasi. Sikap yang
demikian menunjukkan bahwa
petani menyetujui, menerima dan
mau menjalankan dengan baik
keseluruhan kegiatan Gapoktan
dengan harapan keberadaan
Gapoktan membawa dampak yang
menguntungkan bagi kesejahteraan
petani yaitu adanya peningkatan
produksi, pendapatan bahkan
semakin terbukanya peluang pasar
bagi hasil usahanya.
Tabel 6. Uji Hipotesis hubungan antara faktor pembentuk sikap dengan sikap petani
terhadap Gapoktan No Hubungan antar variabel Koefisien korelasi Rs t
hitung t tabel Ket
1. Hubungan antara pengalaman pribadi dengan sikap petani terhadap Gapoktan
– 0,174
-1,089
2,024
NS
2. Hubungan antara pengaruh orang lain dengan sikap petani terhadap Gapoktan
0,443(**)
3,046
2,024
S
3. Hubungan antara pendidikan formal dengan sikap petani terhadap Gapoktan
0,442(**)
3,037
2,024
S
4. Hubungan antara pendidikan non formal dengan sikap petani terhadap Gapoktan
0,469(**)
3,273
2,024
S
Sumber : Analisis data primer 2009 Keterangan : S : Signifikan pada = 0,05
NS: Non Signifikan (tidak signifikan pada = 0,05)
Dari Tabel 6 dapat dilihat
bahwa hasil analisis menunjukkan
hubungan yang signifikan antara
variabel pembentuk sikap dengan
sikap petani terhadap Gapoktan,
namun ada juga yang tidak
signifikan. Untuk hubungan antara
pengalaman pribadi terhadap sikap
petani dari hasil analisis diperoleh
nilai koefisien korelasi rs –0,174.
Sehingga dapat dilihat bahwa pada
taraf kepercayaan 95% dengan rs –
0,174 dan t hitung < t tabel (-1,089
< 2,024) ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan hubungan
antara pengalaman pribadi dengan
sikap petani terhadap Gapoktan.
Artinya semakin tinggi pengalaman
petani maka tidak berhubungan
dengan tingginya sikap petani
terhadap Gapoktan. Hal ini
dikarenakan petani dalam memberi-
kan sikap didasarkan pada hasil
pengalaman yang telah dijalani
terutama yang berkaitan dengan
keikutsertaan Gapoktan. Semakin
banyak pengalaman petani, dan
semakin lama keikutsertaan-nya
85
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
dalam Gapoktan maka semakin
banyak mendapatkan kesempatan
ber-partisipasinya. Dengan demikian
pengalaman yang dimiliki akan
terus bertambah, dan bagaimana
mengatasi permasalahan-permasa-
lahan yang ada. Pengalaman yang
semakin bertambah menjadikan
petani lebih matang dalam
mengambil sikap dan keputusan ter-
utama mengenai Gapoktan.
Hubungan antara pengaruh
orang lain yang dianggap penting
dengan sikap petani terhadap
Gapoktan diketahui bahwa nilai
koefisien korelasi (rs) antara
pengaruh orang lain yang dianggap
penting dengan sikap petani dalam
Gapoktan adalah 0,443 maka t
hitung > t tabel (3,046 > 2,024).
Sehingga dari hasil analisis tersebut
dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara
pengaruh orang lain yang dianggap
penting dengan sikap petani
terhadap Gapoktan.
Semakin banyak petani
mendapatkan saran dari orang-
orang yang dianggap penting (PPL,
ketua Gapoktan dan aparat desa),
menjadikan petani merasa menjadi
bagian penting dalam Gapoktan,
sehingga sikap yang ditunjukkan
petani juga baik. Sikap petani yang
mendukung keberadaan Gapoktan
diperlihatkan oleh petani dari
tingginya minat dan kesungguhan
petani dalam pelaksanaan kegiatan
Gapoktan yang telah dirumuskan
dalam tujuan. Sehingga dari hasil
pelaksanaan kegiaatn proyek petani
merasakan manfaat yang berarti
diantaranya peningkatan sumber
daya manusia, kegiatan simpan
pinjam guna memperoleh pinjaman
modal dan ketrampilan dalam
usahatani dengan adanya SLPHT dan
SLPTT dan semakin bertambahnya
wawasan petani terhadap teknologi
baru yang dikenalkan oleh
penyuluh. Walaupun pada kenya-
taannya keputusan yang diambil
oleh petani didasarkan pada penge-
tahuan dan pengalaman petani,
namun peran orang-orang yang
dianggap penting oleh petani juga
cukup berpengaruh terhadap
keputusan yang diambil untuk
bergabung dengan Gapoktan.
Petani menganggap penyuluh,
ketua Gapoktan dan aparat desa
merupakan orang-orang yang cukup
berpengaruh terhadap sikap petani
menerima suatu inovasi. Selain itu
juga bagaimana membentuk kelem-
bagaan yang baik, begaimana
bermitra dengan pihak ketiga
sampai pengelolaan keuangan mikro
dan simpan pnjam dalam Gapoktan
86
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
perlu adanya bimbingan dari
penyuluh.
Hubungan antara pendidikan
formal dengan sikap petani
terhadap Gapoktan dapat diketahui
bahwa nilai koefisien rs sebesar
0,442 maka t hitung > t tabel (3,037
> 2,024) ini menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara
pendidikan formal dengan sikap
petani terhadap Gapoktan. Dari
hasil analisis di atas dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan formal yang
ditempuh oleh petani, maka sikap
petani terhadap Gapoktan yang
diperlihatkan petani juga semakin
baik.
Tingkat pendidikan yang
semakin tinggi akan menambah
pengetahuan seseorang dan mem-
berikan wawasan yang lebih luas
terhadap segala bentuk inovasi yang
diterapkan. Dengan kata lain, petani
dengan tingkat pendidikan formal
yang lebih tinggi akan cenderung
memiliki pola pikir yang lebih maju.
Dengan tingkat pendidikan yang
tinggi maka akan berpengaruh
terhadap sikap petani terhadap
suatu inovasi yang diterapkan.
Hubungan antara pendidikan
non formal dengan sikap petani
terhadap Gapoktan diketahui nilai
koefisien rs sebesar 0,469 maka t
hitung > t tabel (3,273 > 2,024).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan
antara pendidikan non formal
dengan sikap petani terhadap
Gapoktan. Hal ini berarti semakin
tinggi pendidikan non formal yang
dimiliki petani maka akan semakin
positif sikapnya terhadap Gapoktan.
Pendidikan non formal diukur
dengan frekuensi petani mengikuti
kegiatan penyuluhan dan pelatihan
dalam kegiatan Gapoktan selama
satu tahun. Petani mengikuti
pendidikan non formal dalam
kegiatan Gapoktan seperti SLPHT
dan SLPTT. Materi pendidikan non
formal yang diikuti oleh petani
banyak memberikan pengetahuan
mengenai kelembagaan dan cara
pengelolaannya.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis
dan pembahasan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: Faktor-
faktor pembentuk sikap yang ada di
Kecamatan Banyudono menurut
penelitian ini dapat diketahui
sebagai berikut : Pengalaman
pribadi petani sebagian besar
termasuk kategori sedang yaitu
sebanyak 37 petani yang
mempunyai sikap sedang atau (92,5
%), artinya petani mempunyai
87
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
penga-laman pribadi yang cukup
baik dalam bidang pertanian,
Pengaruh orang lain yang dianggap
penting sebagian besar petani
termasuk dalam kategori sedang
yaitu ada 19 petani atau (47,5%),
artinya PPL, Ketua Gapoktan, dan
Aparat Desa cukup berpengaruh
dalam memberikan saran dan
ajakan, Pendidikan formal petani
sebagian besar termasuk dalam
kategori sedang yaitu 13 petani atau
(32,5%) yang mempunyai pendidi-
kan formal yaitu sampai dengan
SMP, Pendidkan non formal petani
sebagian besar termasuk kategori
sedang yaitu 13 petani atau (32,5%),
artinya petani telah cukup mempun-
yai tingkat pendidikan formal.
Sikap petani terhadap
Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) adalah sebagai berikut :
Sikap petani terhadap tujuan
Gapoktan termasuk dalam kategori
baik yaitu 34 petani atau (85%),
artinya petani setuju dan telah
memahami tentang apa yang
menjadi tujuan dari Gapoktan, Sikap
petani terhadap sasaran Gapoktan
termasuk dalam kategori baik yaitu
35 petani atau (87,5%), artinya
petani setuju dengan apa yang
menjadi sasaran dari Gapoktan yaitu
meningkatkan sumber daya
manusia, Sikap petani terhadap
pelaksanaan kegiatan Gapoktan
terma-suk dalam kategori netral
yaitu 21 petani atau (52,5%), artinya
petani mempunyai sedikit keraguan
dalam melaksanakan kegiatan yang
ada pada Gapoktan, namun
partisipasi petani sudah cukup baik,
Sikap petani terhadap manfaat dan
hasil Gapoktan termasuk dalam
kategori baik yaitu 29 petani atau
(72,5%), artinya petani telah
menerima dan merasakan manfaat
dari adanya kegiatan dalam
Gapoktan, Sikap petani terhadap
monitoring dan evaluasi Gapoktan
dalam kategori baik yaitu 27 petani
atau (67,5%), artinya monitoring
dan evaluasi dalam kegiatan
Gapoktan telah dirasa baik oleh
petani dan kegiatan Gapoktan telah
sesuai dengan tujuan.
Hubungan antara faktor
pembentuk sikap dengan sikap
petani terhadap Gapoktan di
Kecamatan Banyudono Kabupaten
Boyolali pada tingkat kepercayaan
95 % ( = 0,05) adalah : Hubungan
antara pengalaman pribadi dengan
sikap petani terhadap Gapoktan
adalah negatif dan tidak signifikan
dengan rs = (– 0,174), artinya
tingginya pengalaman pribadi tidak
berhubungan dengan tingginya
sikap petani terhadap Gapoktan,
Hubungan antara pengaruh orang
88
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016
lain yang dianggap penting dengan
sikap petani terhadap Gapoktan
adalah signifikan dengan rs=
(0,443),artinya semakin tinggi
frekuensi orang lain yang dianggap
penting dalam memberikan saran
dan ajakan maka sikap petani akan
semakin baik, Hubungan antara
pendidikan formal dengan sikap
petani terhadap Gapoktan adalah
signifikan dengan rs= (0,442),
artinya semakin tinggi pendidikan
formal yang ditempuh oleh petani
maka sikap petani terhadap
Gapoktan akan semakin baik,
Hubungan antara pendidikan non
formal dengan sikap petani
terhadap Gapoktan adalah signifikan
dengan rs= (0,469), artinya semakin
banya pendidikan formal yang
diikuti petani maka sikap petani
terhadap Gapoktan akan semakin
baik.
Berdasarkan kesimpulan
hasil penelitian sikap petani
terhadap Gapoktan, dapat diajukan
beberapa saran sebagai berikut :
Sikap petani terhadap Gapoktan
sudah baik, hendaknya hal ini dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah untuk menambah
berbagai kegiatan pendidikan non
formal petani melalui sekolah
lapang sehingga kemampuan petani
akan semakin bertambah dan akan
mempunyai nilai tawar yang tinggi
dan diharapkan kesejahteraan
petani akan semakin meningkat,
Pertemuan rutin perlu dijaga
kesinambungannya, karena melalui
pertemuan rutin ini semua informasi
dari PPL, perangkat desa maupun
dari petani lain dapat disampaikan
dan ketika ada kendala dan masalah
dapat diselesaikan secara cepat,
Kurang berjalannya kerjasama
dengan pihak ketiga. Maka
peningkatan kerja sama yang lebih
intensif antara pihak ketiga seperti
perusahaan penyedia sarana dan
prasarana produksi pertanian,
pengusaha pengolahan hasil dan
pemasok kebutuhan pasar dengan
petani sangatlah perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 1995. Sikap Manusia Teori
Dan Pengukurannnya. Yogya-
karta Pustaka Pelajar
Djarwanto. 1996. Mengenal Bebe-
rapa Uji Statistik dalam
Penelitian. Yogyakarta. Liber-
ty.
Mahmud, D. 1990. Psikologi Suatu
Pengantar. Yogyakarta. BPFE.
Mar’at, 1981. Sikap manusia
perubahan serta pengu-
kurannya. Bandung.Ghalia
Indonesia.
89
Sikap, Petani, Gapoktan , Puratmoko, Kusnandar, Wijianto
Mardikanto, Totok..1993. Penyu-
luhan Pembangunan Perta-
nian. Surakarta. UNS Press
Mosher . 1966. Getting Agriculture
Moving : Essentials for
Development and Moderniz-
ation. The Agricultural
Development Council. Inc.
London
________ . 1981. Menggerakkan
dan Membangun Pertanian.
CV Yasaguna. Jakarta.
Mueller, Daniel J. 1986. Mengukur
Sikap Sosial : Pegangan
Untuk peneliti dan Praktisi.
Bumi Aksara. Jakarta
Peraturan Menteri Pertanian. 2007.
Tentang: Pedoman Pembi-
naan Kelembagaan Petani.
Nomor: 273/KPTS/OT.160/4/
2007. Departemen Pertanian
Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan
Roosganda EM. 2003.
Transformasi Kelembagaan
untuk Mendukung Ekonomi
Kerakyatan di Pedesaan.
Laporan Penelitian. PSE,
Bogor.
Siegel, S. 1997. Statistik Non Para-
metrik. Jakarta.PT. Gramedia.
Singarimbun, Masri dan Effendi,
Sofian. 1995. Metode
Penelitian Survai. Jakarta.
Pustaka LP3ES.
Singgih Dody S. 2006. Metode
Penelitian Sosial: Berbagai
Alternaif Pendekatan .
Jakarta. Kencana.
Syahyuti. 2007. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Analisis Kebijakan
Pertanian. Volume 5 No. 1,
Maret 2007 : 15-35
Van den Ban.AW dan Hawkins, HS.
1999. Penyuluhan Pertanian.
Yogyakarta. Kanisius.
90
Agritexts Volume XL Edisi 1 Mei 2016