Upload
muhamad-ridwan-nurrohman
View
216
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 1/9
1
Ahmad Hassan
dalam Arus Pemikiran Islam
di Indonesia
Prof. Dr. Syafiq A. Mughni
agi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan
merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di
Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Di samping itu, sejumlahartikel telah muncul di pelbagai media, dan bahkan di awal tahun 1980-an telah
terbit paling tidak tiga buah buku khusus tentang A. Hassan, Hassan Bandung:
Pemikir Islam Radikal (1980) oleh Syafiq Mughni, Riwayat Hidup A. Hassan
(1980) oleh Tamar Djaja, dan A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid
(1985) oleh Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni. Dengan penekanan
yang agak berbeda, ketiga buku tersebut saling melengkapi dalam
memberikan gambaran tentang perjalanan hidup dan karir perjuangannya
dalam menyebarkan faham-faham ishlah, perbaikan, atau tajdid, pembaruan di
paruh pertama abad ke-20 ini. Tulisan ini berusaha memberikan gambarantentang hal-hal yang dalam tulisan-tulisan sebelumnya tidak menjadi tekanan,
tetapi juga tidak akan sama sekali baru. Mungkin lebih tepat bahwa tulisan ini
merupakan penghargaan terhadap warisan pemikiran dan perjuangan A.
Hassan, sambil menyinggung beberapa hal yang relevan dari kehidupan
masyarakat pada zamannya.
Awal abad ke-20 telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang
pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam perkembangan faham
Islam di Indonesia, yaitu pemikiran di sekitar usaha penyembuhan umat dari
penyakit kejumudan, dengan jalan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah.
Usaha ini biasa disebut gerakan ishlah atau tajdid, atau dalam sosiologi Barat
disebut reformasi. Dalam kerangka itu, A. Hassan merupakan seorang figur
yang sangat penting, bahkan mungkin paling penting. Kecuali karena pikiran-
pikirannya, ada faktor sampingan yang sangat mendukung penilaian itu;
antara lain, keberaniannya secara terbuka untuk menentang arus pemikiran
yang dipandang menjadi kendala bagi kemajuan umat, dan ketekunannya
untuk menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan
pemikiran.
B
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 2/9
2
Untuk membuat penilaian keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu saja
tidak cukup dengan melihatnya dalam kurun masa hidup seorang penggerak,
tetapi harus dilihat dalam pengaruh yang timbul sesudahnya. Sebab seorang
mushlih (pelaku ishlah) atau mujaddid (pelaku tajdid) akan selalu menentangarus masanya dan menghadapi suatu masyarakat yang memerlukan proses
dan berubah. Pemikir-pemikir dalam tradisi Hanbali, misalnya Ibn Taymiyyah
(w. 1328), yang misi utamanya ialah kritik pemikiran dan kehidupan sosial,
mendapat reaksi yang keras dari lawan-lawannya, tetapi beberapa abad
kemudian, khususnya dua abad terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat
terhadap gerakan Islam, mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya,
tetapi dalam metode dan semangatnya. Secara umum barangkali bisa disebut
bahwa karir A. Hassan merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-
akarnya bisa dilihat dalam tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerusAhmad bin Hanbal (w. 855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-
menarik dengan kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial
yang ada.
Pergeseran dan tarik-menarik antara berbagai kekuatan yang dialami
telah membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat hidupnya
yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat penting dalam
menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus pemikiran ishlah
ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika masih muda telahmenyaksikan polemik di Singapura tentang mencium tangan seorang sayyid
(orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik yang menggugat hak-
hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut perlakuan istimewa dari
masyarakat umumnya. Tahun 1921 ia pindah ke Surabaya untuk berdagang,
dan di kota itu ia bertemu dengan Wahhab Hasbullah (w. 1971), salah seorang
pendiri NU yang mempertahankan ushalli. Pertemuan itu kemudian mengubah
Hassan ke suatu kesimpulan bahwa mengucapkan ushalli tidak punya dasar
yang kuat. Bergerak dari itu, kemudian lahir pendiriannya untuk menentang
setiap bid’ah. Pertemuannya dengan Faqih Hasyim, seorang yang telahdipengaruhi oleh pemikiran ishlah, juga memperkuat arah pemikirannya.
Setelah itu, ia pindah ke Bandung pada tahun 1923 untuk belajar pertenunan,
tetapi titik yang menentukan arah hidupnya telah terjadi ketika berkenalan
dengan Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam, yang
memperkenalkan organisasi tersebut. Kehidupannya selama di Bandung
akhirnya tercurah pada kegiatan menulis dan mengajar, suatu pekerjaan yang
ditekuni sampai akhir hayatnya.
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 3/9
3
Ide Dasar dan Metode
Dengan melihat tulisan-tulisannya, kita akan bisa menangkap apa yang
sesungguhnya ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad Hassan
menginginkan agar umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-
sungguh dan semurni-murninya, baik dalam tingkat individu, keluarga,
masyarakat, dan negara. Pelaksanaannya harus didasarkan pada pemahaman
yang benar menurut nas-nas Al-Quran dan Sunnah, serta pengingkaran semua
hal yang berbau bid’ah dan khurafat. Untuk mencapai itu umat Islam harus
melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba’, dan menjauhi taklid, suatu
penyakit yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Kerangka berpikir di
atas oleh A. Hassan disebut “mengikuti jejak salaf”, jajaran generasi yang
terdekat baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi Muhammad.
Hal-hal seperti tersebut di atas tampaknya merupakan tema yang selalu
berulang-ulang sepanjang sejarah Islam setelah terjadinya kontak antara
ajaran Islam dengan pelbagai pemikiran asing yang mengakibatkan kaburnya
ajaran otentik Islam. Seperti diakui oleh Persis sendiri dalam Mukaddimah
Qanun Asasi (anggaran dasar)-nya, bahwa kondisi semacam itu senantiasa
memunculkan mujaddid, seperti yang telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad
saw, pada awal setiap abad. Tema-tema ishlah atau tajdid, misalnya, bisa
ditemukan dalam kebanyakan pemikir Hanbali, Muhammad ‘Abduh (w. 1905)
dan Rasyid Ridha (w. 1935). Tetapi perlu disadari bahwa arus pemikiran Islam
itu terus bergerak secara kumulatif dari sumber yang sama, Al-Quran dan
Sunnah, tetapi situasi dan tantangan yang berbeda akan memerlukan respon
dengan penekanan yang berbeda. Di situlah kita melihat A. Hassan dalam
bangunan pemikiran Islam di Indonesia.
Untuk melihat secara jelas ketajaman dan tekanan simbol-simbolnya,
pemikiran A. Hassan perlu diletakkan dalam konteks kesejarahan pada awal
abad ke-20. Kemajuan sikap dan pemikirannya telah mendorong umat Islam
untuk meninjau kembali setiap adat dan kebiasaan yang selama ini dianggapmapan dan tidak perlu dipertanyakan lagi, seperti dianut oleh “kaum
tradisionalis”. Umat Islam telah ditantang untuk berpikir kritis dengan kritik-
kritiknya yang tajam terhadap setiap tindakan dan pemikiran yang tidak
bersumber dari ajaran agama. Tantangan A. Hassan untuk berpikir kritis itu
bukan berarti mengajak orang untuk anti-dogma, dan bahkan dengan tajam ia
mengkritik orang-orang sekuler, yang diwakili oleh penganjur “faham
kebangsaan”. Serangan A. Hassan terhadap kelompok tradisionalis dan
sekularis itu mengingatkan kita kepada serangan Ibn Taymiyyah terhadap para
sufi yang menyimpang dan para filsuf yang angkuh. Pada dasarnya A. Hassan
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 4/9
4
berusaha agar seluruh umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang telah
lama dilupakan dan disalahpahami oleh pemeluknya sendiri.
Salah satu kesalahpahaman yang dikritik secara tajam oleh A. Hassan
ialah ide sekuler dalam hubungan antara Islam dan faham kebangsaan
(nasionalisme). Setelah berkembang pada abad ke-18 di Eropa Barat, faham
kebangsaan itu baru masuk ke Indonesia pada abad ke-20, yang ditandai
dengan munculnya ide kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atas dasar
ideologi “asli”. Ada kecenderungan bahwa ideologi “asli” itu dimaksudkan
untuk menolak apa saja yang berbau “asing” termasuk memisahkan
kehidupan politik dari asas-asas agama. Polemik mengenai ideologi ini telah
melibatkan sejumlah tokoh dengan pendapat yang berbeda-beda. Terhadap
lawan fahamnya, seperti Soekarno dan Soetomo, A. Hassan melancarkan
kritiknya secara tajam, dan menyatakan bahwa faham kebangsaan seperti
dipahami oleh mereka itu adalah sama dengan ‘ashabiyyah, fanatisme
kesukuan, suatu semangat solidaritas yang ditentang oleh Islam. Di samping A.
Hassan, Natsir secara jenius tampil dalam majalah Pembela Islam dengan
tulisan berseri yang berjudul “Kebangsaan Muslimin” yang juga merupakan
kritik terhadap nasionalisme sekuler dan sekaligus pandangan terhadap
ideologi yang tepat untuk Indonesia.
Kritik seperti itu dilakukan oleh A. Hassan dengan cara yang tajam dan
terbuka terhadap siapa saja yang dianggap salah, termasuk terhadap mereka
yang secara pribadi maupun aspirasi dekat dengannya. Ia pernah mengkritik
Hasbi ash-Shiddiqie karena soal “jabat tangan”, Umar Hubaisy dan Bey Arifin
soal madzhab, dan juga Hamka tentang faham kebangsaan. Semua kritik itu
dilakukan dengan tajam sekali, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan
kebencian. Kesan tersebut sebenarnya tidak tepat, karena kejujuran dan
keikhlasanlah yang menyebabkan kritik itu pedas, bahkan terkadang kelewat
pedas menurut ukuran perasaan “Jawa”. Orang sering terkejut bahwa A.
Hassan yang keras dalam kritik itu adalah A. Hassan yang lemah-lembut dalam
pergaulan.
Di samping sebagai kritikus, A. Hassan juga dikenal sebagai seorang
polemis dan debator. Polemik dan debat digunakan sebagai senjata untuk
mematahkan faham lawannya, dan membuktikan kebenaran fahamnya
sendiri. Dalam hal itu, pendengar atau pembaca diharapkan dengan mudah
memahami mengapa suatu faham itu salah atau benar, berdasarkan kaidah
agama atau logika. Misalnya dalam perdebatan dengan Wahhab Hasbullah,
orang ditantang untuk memilih kebanaran, setelah tahu alasan diperbolehkan
atau diharamkan taklid. Begitu juga dalam polemik dengan Hussein al-Habsyi
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 5/9
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 6/9
6
1942), at-Taqwa (1937-1941), Lasykar Islam (1937-) dan al-Hikam (1939-) yang
banyak memperkenalkan pikiran, di samping A. Hassan, penulis-penulis muda
lainnya, seperti Muhammad Natsir, seorang murid yang mewarisi semangat
perjuangan dan pemikiran A. Hassan. Ketika A. Hassan pindah ke Bangil (1940),terbit pula majalah al-Muslimun sampai sekarang.
Nama A. Hassan dan Persis menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan,
karena begitu dominan pemikiran-pemikirannya dalam memberi warna
organisasi tersebut. Mengapa demikian?
Setiap pergerakan baru akan berkembang bila memiliki ideologi yang
cocok dengan momentum sejarah. Awal abad ke-20 merupakan masa yang
sangat memerlukan ideologi, sehubungan dengan derasnya arus nasionalisme
dan reformisme serta ideologi lainnya. Umat Islam Indonesia sedang mencarimasa depannya di tengah-tengah pertarungan ideologi itu. Seperti telah
disinggung di muka bahwa sebelum masuknya A. Hassan, Persis tidak lebih
dari sekedar kelompok pengajian yang tidak memiliki ideologi yang jelas.
Sesudah menemukan ideologi ishlah yang pertama-tama muncul dari A.
Hassan itu, Persis menjadi daya tarik yang kuat bagi kalangan muda terdidik
terutama di kota Bandung. A. Hassan berfungsi seperti pemimpin kharismatik
bagi Persatuan Islam.
Kaderisasi
A. Hassan telah menjadi figur yang menarik orang untuk masuk
Persatuan Islam. Dalam lembaga itu, di antara mereka ada yang sempat
terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A. Hassan. Pada titik ini
orang bisa membandingkan secara sederhana antara A. Hassan dan Agus
Salim. Dalam Jong Islamieten Bond (JIB), Agus Salim telah berfungsi sebagai
bapak intelektual yang berperan dalam mempersiapkan generasi muda Islam
yang pada saatnya menduduki jabatan elit politik mewakili umat Islam.
Hasilnya ialah kelompok modernis dengan segala kejujuran intelektual dan
integritas pribadi mereka yang, seperti telah diduga oleh Fazlur Rahman
sebagai ciri umum golongan modernis di mana saja, kurang memiliki akar ilmu
agama. Dalam hal ini, kita melihat jasa A. Hassan dalam mengisi dimensi ilmu
agama. Dan Muhammad Natsir tampaknya menjadi orang yang beruntung
mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim dan juga A. Hassan.
Dalam proses kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan
tersendiri bagi murid-muridnya. M. Natsir, seorang yang tertarik pada A.
Hassan sejak duduk di sekolah menengah, dalam tulisannya menggambarkan
sebagai berikut:
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 7/9
7
Suatu keistimewaan beliau (A. Hassan) ialah setiap orang yang berkenalan dengan
beliau segera tertarik kepada pribadinya. Seorang ulama .... memikat hati anak-anak
muda sekelilingnya. Kepada semua orang, beliau semata-mata memanggil “tuan” ....
Kami, beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore
datang ke rumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hatiterbuka dan serius. Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran
akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah saw.
(Tamar Djaja, 1985: 55-56).
Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses
kaderisasi yang dilakukan oleh Hassan, yaitu dalam hal melatih memberikan
reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam. Pada
suatu hari surat kabar berbahasa Belanda AID di Bandung menyiarkan suatu
khutbah seorang bernama Christoffles, isinya menghina Nabi Muhammad saw.
Natsir meminta pandangan A. Hassan tentang perlunya menangkispenghinaan itu, dan bahkan mengharapkannya untuk melakukannya. Hassan
menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang
menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke Hassan, karena
Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa Hassan
tidak mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu keluar, A. Hassan
tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit dalam
bentuk risalah berjudul Muhammad als Profeet. Natsir menyatakan kesannya
sebagai berikut:
.... beliau tidak mau menyuapkan ibarat makanan kepada kader-kadernya. Kalau beliau
sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya.
Beliau mendidik kadernya berani bertanggung jawab dan sanggup berjuang
menghadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya. .... Inilah yang dinilainya
baik bagi angkatan pemuda Islam. .... Kami pemuda-pemuda yang berada di dekat
beliau selalu diteliti dengan kuat, disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab
masing-masing .... Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri, ....
Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary dan lainnya.
(Tamar Djaja, 1985: 55-56).
Hasil kaderisasi itu bisa kita lihat dalam dua figur yang mewakilikecenderungan pemikiran Hassan, yakni Natsir dan Abdul Qadir, putera
pertama A. Hassan. Orang yang disebut pertama itu telah mewarisi
kecenderungan pemikiran politik A. Hassan, dan bahkan dengan integritas
pribadinya telah memberikan teladan etika politik yang sangat berharga bagi
generasi muda. Adapun yang kedua itu mewarisi minat Hassan dalam
menekuni dunia ilmu agama dan pendidikan, seperti terlihat dalam tulisan-
tulisannya dan kegiatannya dalam mengasuh Pesantren Persis Bangil. Di luar
kedua orang itu, tentu masih banyak tokoh-tokoh lain yang bisa disebut, tetapi
karena terbatasnya ruang ini tidak mungkin diuraikan satu persatu.
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 8/9
8
Warisan
Dengan melihat warisan A. Hassan dalam konteks budaya pemikiran
Islam di Indonesia, akan tampak perannya dalam pendewasaan pemikiran
umat. Dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-madzhab, A. Hassan
memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran
agama tanpa terikat oleh suatu madzhab seperti ditekankan oleh A. Hassan
diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan
umat akibat belenggu taklid-madzhab yang telah menjadi tradisi sejak
berabad-abad yang lampau. Ajakan A. Hassan agar kita selalu merujukkan
pandangan terhadap Al-Quran dan Sunnah mengantarkan usaha untuk
meminati ilmu-ilmu alat yang berkaitan dengan kedua sumber itu, misalnya
Ushul Fiqh dan Musthalah al-Hadis, dua ilmu yang pada masa A. Hassan masih
bersifat elitis. Dengan kata lain, gerakan A. Hassan telah memberikan
dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.
Dalam fase pencarian bentuk bagi politik Indonesia pada dua dekade
seputar kemerdekaan, A. Hassan telah secara aktif ikut serta dalam dialog
terbuka antar berbagai arus pemikiran yang hidup di masyarakat. Hal ini bisa
terlihat dalam tulisan-tulisannya, antara lain Pemerintahan Cara Islam (1974),
Islam dan Faham Kebangsaan (1941), ABC Politik (1974), dan Merebut Kekuasaan
(1946). Dalam buku-buku itu Hassan menggambarkan bagaimana sikap Islam
terhadap politik khususnya di Indonesia, dan dengan semangat demokratis
mengemukakan apa semestinya dilakukan oleh pemerintah. Membaca tulisan-
tulisan itu, kita sama sekali tidak menentukan faham fanatisme, suatu kesan
yang biasanya hanya diperoleh oleh mereka yang tidak faham cara berpikir
kesejarahan, dan tidak mengetahui nilai perbedaan pemikiran dalam
menemukan apa yang selanjutnya dipandang baik dan benar.
***
Seperti telah disinggung di muka bahwa Persis dalam bidang-bidang
yang sangat karakteristik mengalami masa surut. Dalam bidang publikasi dan
produktivitas pemikiran saat ini tidak lagi berbeda dengan organisasi-
organisasi lain. Bahkan ada tanda-tanda bahwa nantinya Persis hanya akan
menjadi bahan kenangan. Salah satu tanda yang sangat menonjol ialah
rendahnya rekrutmen, salah satu sumber energi yang sangat diperlukan bagi
kelangsungan sebuah gerakan. Rendahnya rekrutmen itu telah mencapai
kualitatif yang mempengaruhi kesan orang. Namun yang lebih penting dari itu
sesungguhnya ialah muncul suatu keadaan yang diakibatkan oleh gerakan itu
sendiri. Maksudnya, ideologi ishlah yang selama ini menjadi tema terpenting
7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 9/9
9
dari gerakan Persis telah diambil dengan baik oleh organisasi-organisasi
lainnya, misalnya Muhammadiyah, yang memiliki basis anggota lebih meluas
karena perhatiannya yang sangat awal terhadap etos sosial Islam. Selanjutnya,
ide-ide ishlah itu tidak lagi menjadi milik khas gerakan-gerakan yang dahulunyadikenal berjiwa ishlah, dan bahkan ide-ide dasarnya hampir menjadi milik umat.
Akibat lemahnya tantangan terhadap ide ishlah itu, gerakan-gerakan tersebut
menjadi tidak bergairah untuk memberikan tanggapan.
Kenyataan itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa warisan-warisan
yang ditinggalkan oleh A. Hassan telah diterima dengan baik. Memang ada
kecenderungan yang cukup kuat untuk memahami ajaran Islam di kalangan
umat, tetapi pada saat yang sama muncul juga kecenderungan untuk
meninggalkan “ilmu-ilmu agama” yang dianggap terlalu pelik dan melelahkan.
Sebagai contoh ilmu Musthalah al-Hadis yang merupakan warisan intelektual
sejak berabad-abad dan yang dalam gerakan ishlah menjadi alat analisis A.
Hassan dan puteranya, Abdul Qadir, untuk membongkar bid’ah dan khurafat,
saat ini tampaknya kurang diminati di kalangan pedukung gerakan ishlah. Bila
keadaan ini berlanjut, akan berakibat berhentinya itu sehingga orang akan
cenderung bergantung pada hasil kritik sejarah yang telah dilakukan oleh A.
Hassan atau Abdul Qadir. Ini berarti munculnya kondisi taklid, suatu keadaan
yang sangat ditentang oleh A. Hassan. ◊◊
Di ambil dari buku:“Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi”
Karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Hlm. 127-141.