9
1 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia Prof. Dr. Syafiq A. Mughni agi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Di samping itu, sejumlah artikel telah muncul di pelbagai media, dan bahkan di awal tahun 1980-an telah terbit paling tidak tiga buah buku khusus tentang A. Hassan, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal  (1980) oleh Syafiq Mughni, Riwayat Hidup A. Hassan  (1980) oleh Tamar Djaja, dan  A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid  (1985) oleh Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni. Dengan penekanan yang agak berbeda, ketiga buku tersebut saling melengkapi dalam memberikan gambaran tentang perjalanan hidup dan karir perjuangannya dalam menyebarkan faham-faham ishlah, perbaikan, atau tajdid, pembaruan di paruh pertama abad ke-20 ini. Tulisan ini berusaha memberikan gambaran tentang hal-hal yang dalam tulisan-tulisan sebelumnya tidak menjadi tekanan, tetapi juga tidak akan sama sekali baru. Mungkin lebih tepat bahwa tulisan ini merupakan penghargaan terhadap warisan pemikiran dan perjuangan A. Hassan, sambil menyinggung beberapa hal yang relevan dari kehidupan masyarakat pada zamannya. Awal abad ke-20 telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam perkembangan faham Islam di Indonesia, yaitu pemikiran di sekitar usaha penyembuhan umat dari penyakit kejumudan, dengan jalan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Usaha ini biasa disebut gerakan ishlah atau tajdid, atau dalam sosiologi Barat disebut reformasi. Dalam kerangka itu, A. Hassan merupakan seorang figur yang sangat penting, bahkan mungkin paling penting. Kecuali karena pikiran- pikirannya, ada faktor sampingan yang sangat mendukung penilaian itu; antara lain, keberaniannya secara terbuka untuk menentang arus pemikiran yang dipandang menjadi kendala bagi kemajuan umat, dan ketekunannya untuk menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran. B

Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 1/9

1

Ahmad Hassan

dalam Arus Pemikiran Islam

di Indonesia

Prof. Dr. Syafiq A. Mughni

agi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan

merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di

Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Di samping itu, sejumlahartikel telah muncul di pelbagai media, dan bahkan di awal tahun 1980-an telah

terbit paling tidak tiga buah buku khusus tentang A. Hassan, Hassan Bandung:

Pemikir Islam Radikal  (1980) oleh Syafiq Mughni, Riwayat Hidup A. Hassan 

(1980) oleh Tamar Djaja, dan  A. Hassan: Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid 

(1985) oleh Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni. Dengan penekanan

yang agak berbeda, ketiga buku tersebut saling melengkapi dalam

memberikan gambaran tentang perjalanan hidup dan karir perjuangannya

dalam menyebarkan faham-faham ishlah, perbaikan, atau tajdid, pembaruan di

paruh pertama abad ke-20 ini. Tulisan ini berusaha memberikan gambarantentang hal-hal yang dalam tulisan-tulisan sebelumnya tidak menjadi tekanan,

tetapi juga tidak akan sama sekali baru. Mungkin lebih tepat bahwa tulisan ini

merupakan penghargaan terhadap warisan pemikiran dan perjuangan A.

Hassan, sambil menyinggung beberapa hal yang relevan dari kehidupan

masyarakat pada zamannya.

Awal abad ke-20 telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang

pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam perkembangan faham

Islam di Indonesia, yaitu pemikiran di sekitar usaha penyembuhan umat dari

penyakit kejumudan, dengan jalan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah.

Usaha ini biasa disebut gerakan ishlah atau tajdid, atau dalam sosiologi Barat

disebut reformasi. Dalam kerangka itu, A. Hassan merupakan seorang figur

yang sangat penting, bahkan mungkin paling penting. Kecuali karena pikiran-

pikirannya, ada faktor sampingan yang sangat mendukung penilaian itu;

antara lain, keberaniannya secara terbuka untuk menentang arus pemikiran

yang dipandang menjadi kendala bagi kemajuan umat, dan ketekunannya

untuk menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan

pemikiran.

B

Page 2: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 2/9

2

Untuk membuat penilaian keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu saja

tidak cukup dengan melihatnya dalam kurun masa hidup seorang penggerak,

tetapi harus dilihat dalam pengaruh yang timbul sesudahnya. Sebab seorang

mushlih  (pelaku ishlah) atau mujaddid  (pelaku tajdid) akan selalu menentangarus masanya dan menghadapi suatu masyarakat yang memerlukan proses

dan berubah. Pemikir-pemikir dalam tradisi Hanbali, misalnya Ibn Taymiyyah

(w. 1328), yang misi utamanya ialah kritik pemikiran dan kehidupan sosial,

mendapat reaksi yang keras dari lawan-lawannya, tetapi beberapa abad

kemudian, khususnya dua abad terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat

terhadap gerakan Islam, mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya,

tetapi dalam metode dan semangatnya. Secara umum barangkali bisa disebut

bahwa karir A. Hassan merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-

akarnya bisa dilihat dalam tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerusAhmad bin Hanbal (w. 855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-

menarik dengan kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial

yang ada.

Pergeseran dan tarik-menarik antara berbagai kekuatan yang dialami

telah membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat hidupnya

yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat penting dalam

menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus pemikiran ishlah 

ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika masih muda telahmenyaksikan polemik di Singapura tentang mencium tangan seorang sayyid 

(orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik yang menggugat hak-

hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut perlakuan istimewa dari

masyarakat umumnya. Tahun 1921 ia pindah ke Surabaya untuk berdagang,

dan di kota itu ia bertemu dengan Wahhab Hasbullah (w. 1971), salah seorang

pendiri NU yang mempertahankan ushalli. Pertemuan itu kemudian mengubah

Hassan ke suatu kesimpulan bahwa mengucapkan ushalli  tidak punya dasar

yang kuat. Bergerak dari itu, kemudian lahir pendiriannya untuk menentang

setiap bid’ah. Pertemuannya dengan Faqih Hasyim, seorang yang telahdipengaruhi oleh pemikiran ishlah, juga memperkuat arah pemikirannya.

Setelah itu, ia pindah ke Bandung pada tahun 1923 untuk belajar pertenunan,

tetapi titik yang menentukan arah hidupnya telah terjadi ketika berkenalan

dengan Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam, yang

memperkenalkan organisasi tersebut. Kehidupannya selama di Bandung

akhirnya tercurah pada kegiatan menulis dan mengajar, suatu pekerjaan yang

ditekuni sampai akhir hayatnya.

Page 3: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 3/9

3

Ide Dasar dan Metode

Dengan melihat tulisan-tulisannya, kita akan bisa menangkap apa yang

sesungguhnya ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad Hassan

menginginkan agar umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan sungguh-

sungguh dan semurni-murninya, baik dalam tingkat individu, keluarga,

masyarakat, dan negara. Pelaksanaannya harus didasarkan pada pemahaman

yang benar menurut nas-nas Al-Quran dan Sunnah, serta pengingkaran semua

hal yang berbau bid’ah dan khurafat. Untuk mencapai itu umat Islam harus

melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba’, dan menjauhi taklid, suatu

penyakit yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Kerangka berpikir di

atas oleh A. Hassan disebut “mengikuti jejak salaf”, jajaran generasi yang

terdekat baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi Muhammad.

Hal-hal seperti tersebut di atas tampaknya merupakan tema yang selalu

berulang-ulang sepanjang sejarah Islam setelah terjadinya kontak antara

ajaran Islam dengan pelbagai pemikiran asing yang mengakibatkan kaburnya

ajaran otentik Islam. Seperti diakui oleh Persis sendiri dalam Mukaddimah

Qanun Asasi  (anggaran dasar)-nya, bahwa kondisi semacam itu senantiasa

memunculkan mujaddid, seperti yang telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad

saw, pada awal setiap abad. Tema-tema ishlah  atau tajdid, misalnya, bisa

ditemukan dalam kebanyakan pemikir Hanbali, Muhammad ‘Abduh (w. 1905)

dan Rasyid Ridha (w. 1935). Tetapi perlu disadari bahwa arus pemikiran Islam

itu terus bergerak secara kumulatif dari sumber yang sama, Al-Quran dan

Sunnah, tetapi situasi dan tantangan yang berbeda akan memerlukan respon

dengan penekanan yang berbeda. Di situlah kita melihat A. Hassan dalam

bangunan pemikiran Islam di Indonesia.

Untuk melihat secara jelas ketajaman dan tekanan simbol-simbolnya,

pemikiran A. Hassan perlu diletakkan dalam konteks kesejarahan pada awal

abad ke-20. Kemajuan sikap dan pemikirannya telah mendorong umat Islam

untuk meninjau kembali setiap adat dan kebiasaan yang selama ini dianggapmapan dan tidak perlu dipertanyakan lagi, seperti dianut oleh “kaum

tradisionalis”. Umat  Islam telah ditantang untuk berpikir kritis dengan kritik-

kritiknya yang tajam terhadap setiap tindakan dan pemikiran yang tidak

bersumber dari ajaran agama. Tantangan A. Hassan untuk berpikir kritis itu

bukan berarti mengajak orang untuk anti-dogma, dan bahkan dengan tajam ia

mengkritik orang-orang sekuler, yang diwakili oleh penganjur “faham

kebangsaan”. Serangan A. Hassan terhadap kelompok tradisionalis dan

sekularis itu mengingatkan kita kepada serangan Ibn Taymiyyah terhadap para

sufi yang menyimpang dan para filsuf yang angkuh. Pada dasarnya A. Hassan

Page 4: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 4/9

4

berusaha agar seluruh umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang telah

lama dilupakan dan disalahpahami oleh pemeluknya sendiri.

Salah satu kesalahpahaman yang dikritik secara tajam oleh A. Hassan

ialah ide sekuler dalam hubungan antara Islam dan faham kebangsaan

(nasionalisme). Setelah berkembang pada abad ke-18 di Eropa Barat, faham

kebangsaan itu baru masuk ke Indonesia pada abad ke-20, yang ditandai

dengan munculnya ide kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atas dasar

ideologi “asli”. Ada kecenderungan bahwa ideologi “asli” itu dimaksudkan

untuk menolak apa saja yang berbau “asing” termasuk memisahkan

kehidupan politik dari asas-asas agama. Polemik mengenai ideologi ini telah

melibatkan sejumlah tokoh dengan pendapat yang berbeda-beda. Terhadap

lawan fahamnya, seperti Soekarno dan Soetomo, A. Hassan melancarkan

kritiknya secara tajam, dan menyatakan bahwa faham kebangsaan seperti

dipahami oleh mereka itu adalah sama dengan ‘ashabiyyah, fanatisme

kesukuan, suatu semangat solidaritas yang ditentang oleh Islam. Di samping A.

Hassan, Natsir secara jenius tampil dalam majalah Pembela Islam  dengan

tulisan berseri yang berjudul “Kebangsaan Muslimin” yang juga merupakan

kritik terhadap nasionalisme sekuler dan sekaligus pandangan terhadap

ideologi yang tepat untuk Indonesia.

Kritik seperti itu dilakukan oleh A. Hassan dengan cara yang tajam dan

terbuka terhadap siapa saja yang dianggap salah, termasuk terhadap mereka

yang secara pribadi maupun aspirasi dekat dengannya. Ia pernah mengkritik

Hasbi ash-Shiddiqie karena soal “jabat tangan”, Umar Hubaisy dan Bey Arifin

soal madzhab, dan juga Hamka tentang faham kebangsaan. Semua kritik itu

dilakukan dengan tajam sekali, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan

kebencian. Kesan tersebut sebenarnya tidak tepat, karena kejujuran dan

keikhlasanlah yang menyebabkan kritik itu pedas, bahkan terkadang kelewat

pedas menurut ukuran perasaan “Jawa”. Orang sering terkejut bahwa A.

Hassan yang keras dalam kritik itu adalah A. Hassan yang lemah-lembut dalam

pergaulan.

Di samping sebagai kritikus, A. Hassan juga dikenal sebagai seorang

polemis dan debator. Polemik dan debat digunakan sebagai senjata untuk

mematahkan faham lawannya, dan membuktikan kebenaran fahamnya

sendiri. Dalam hal itu, pendengar atau pembaca diharapkan dengan mudah

memahami mengapa suatu faham itu salah atau benar, berdasarkan kaidah

agama atau logika. Misalnya dalam perdebatan dengan Wahhab Hasbullah,

orang ditantang untuk memilih kebanaran, setelah tahu alasan diperbolehkan

atau diharamkan taklid. Begitu juga dalam polemik dengan Hussein al-Habsyi

Page 5: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 5/9

Page 6: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 6/9

6

1942), at-Taqwa  (1937-1941), Lasykar Islam  (1937-) dan al-Hikam  (1939-) yang

banyak memperkenalkan pikiran, di samping A. Hassan, penulis-penulis muda

lainnya, seperti Muhammad Natsir, seorang murid yang mewarisi semangat

perjuangan dan pemikiran A. Hassan. Ketika A. Hassan pindah ke Bangil (1940),terbit pula majalah al-Muslimun sampai sekarang.

Nama A. Hassan dan Persis menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan,

karena begitu dominan pemikiran-pemikirannya dalam memberi warna

organisasi tersebut. Mengapa demikian?

Setiap pergerakan baru akan berkembang bila memiliki ideologi yang

cocok dengan momentum sejarah. Awal abad ke-20 merupakan masa yang

sangat memerlukan ideologi, sehubungan dengan derasnya arus nasionalisme

dan reformisme serta ideologi lainnya. Umat Islam Indonesia sedang mencarimasa depannya di tengah-tengah pertarungan ideologi itu. Seperti telah

disinggung di muka bahwa sebelum masuknya A. Hassan, Persis tidak lebih

dari sekedar kelompok pengajian yang tidak memiliki ideologi yang jelas.

Sesudah menemukan ideologi ishlah  yang pertama-tama muncul dari A.

Hassan itu, Persis menjadi daya tarik yang kuat bagi kalangan muda terdidik

terutama di kota Bandung. A. Hassan berfungsi seperti pemimpin kharismatik

bagi Persatuan Islam.

Kaderisasi

A. Hassan telah menjadi figur yang menarik orang untuk masuk

Persatuan Islam. Dalam lembaga itu, di antara mereka ada yang sempat

terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A. Hassan. Pada titik ini

orang bisa membandingkan secara sederhana antara A. Hassan dan Agus

Salim. Dalam  Jong Islamieten Bond  (JIB), Agus Salim telah berfungsi sebagai

bapak intelektual yang berperan dalam mempersiapkan generasi muda Islam

yang pada saatnya menduduki jabatan elit politik mewakili umat Islam.

Hasilnya ialah kelompok modernis dengan segala kejujuran intelektual dan

integritas pribadi mereka yang, seperti telah diduga oleh Fazlur Rahman

sebagai ciri umum golongan modernis di mana saja, kurang memiliki akar ilmu

agama. Dalam hal ini, kita melihat jasa A. Hassan dalam mengisi dimensi ilmu

agama. Dan Muhammad Natsir tampaknya menjadi orang yang beruntung

mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim dan juga A. Hassan.

Dalam proses kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan

tersendiri bagi murid-muridnya. M. Natsir, seorang yang tertarik pada A.

Hassan sejak duduk di sekolah menengah, dalam tulisannya menggambarkan

sebagai berikut:

Page 7: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 7/9

7

Suatu keistimewaan beliau (A. Hassan) ialah setiap orang yang berkenalan dengan

beliau segera tertarik kepada pribadinya. Seorang ulama .... memikat hati anak-anak

muda sekelilingnya. Kepada semua orang, beliau semata-mata memanggil “tuan” ....

Kami, beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore

datang ke rumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hatiterbuka dan serius. Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran

akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah saw.

(Tamar Djaja, 1985: 55-56).

Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses

kaderisasi yang dilakukan oleh Hassan, yaitu dalam hal melatih memberikan

reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam. Pada

suatu hari surat kabar berbahasa Belanda AID di Bandung menyiarkan suatu

khutbah seorang bernama Christoffles, isinya menghina Nabi Muhammad saw.

Natsir meminta pandangan A. Hassan tentang perlunya menangkispenghinaan itu,  dan bahkan mengharapkannya untuk melakukannya. Hassan

menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang

menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke Hassan, karena

Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa Hassan

tidak mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu keluar, A. Hassan

tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit dalam

bentuk risalah berjudul Muhammad als Profeet. Natsir menyatakan kesannya

sebagai berikut:

.... beliau tidak mau menyuapkan ibarat makanan kepada kader-kadernya. Kalau beliau

sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya.

Beliau mendidik kadernya berani bertanggung jawab dan sanggup berjuang

menghadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya. .... Inilah yang dinilainya

baik bagi angkatan pemuda Islam. .... Kami pemuda-pemuda yang berada di dekat

beliau selalu diteliti dengan kuat, disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab

masing-masing .... Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri, ....

Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary dan lainnya.

(Tamar Djaja, 1985: 55-56).

Hasil kaderisasi itu bisa kita lihat dalam dua figur yang mewakilikecenderungan pemikiran Hassan, yakni Natsir dan Abdul Qadir, putera

pertama A. Hassan. Orang yang disebut pertama itu telah mewarisi

kecenderungan pemikiran politik A. Hassan, dan bahkan dengan integritas

pribadinya telah memberikan teladan etika politik yang sangat berharga bagi

generasi muda. Adapun yang kedua itu mewarisi minat Hassan dalam

menekuni dunia ilmu agama dan pendidikan, seperti terlihat dalam tulisan-

tulisannya dan kegiatannya dalam mengasuh Pesantren Persis Bangil. Di luar

kedua orang itu, tentu masih banyak tokoh-tokoh lain yang bisa disebut, tetapi

karena terbatasnya ruang ini tidak mungkin diuraikan satu persatu.

Page 8: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 8/9

8

Warisan

Dengan melihat warisan A. Hassan dalam konteks budaya pemikiran

Islam di Indonesia, akan tampak perannya dalam pendewasaan pemikiran

umat. Dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-madzhab, A. Hassan

memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran

agama tanpa terikat oleh suatu madzhab seperti ditekankan oleh A. Hassan

diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan

umat akibat belenggu taklid-madzhab yang telah menjadi tradisi sejak

berabad-abad yang lampau. Ajakan A. Hassan agar kita selalu merujukkan

pandangan terhadap Al-Quran dan Sunnah mengantarkan usaha untuk

meminati ilmu-ilmu alat yang berkaitan dengan kedua sumber itu, misalnya

Ushul Fiqh dan Musthalah al-Hadis, dua ilmu yang pada masa A. Hassan masih

bersifat elitis. Dengan kata lain, gerakan A. Hassan telah memberikan

dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.

Dalam fase pencarian bentuk bagi politik Indonesia pada dua dekade

seputar kemerdekaan, A. Hassan telah secara aktif ikut serta dalam dialog

terbuka antar berbagai arus pemikiran yang hidup di masyarakat. Hal ini bisa

terlihat dalam tulisan-tulisannya, antara lain Pemerintahan Cara Islam (1974),

Islam dan Faham Kebangsaan (1941), ABC Politik (1974), dan Merebut Kekuasaan 

(1946). Dalam buku-buku itu Hassan menggambarkan bagaimana sikap Islam

terhadap politik khususnya di Indonesia, dan dengan semangat demokratis

mengemukakan apa semestinya dilakukan oleh pemerintah. Membaca tulisan-

tulisan itu, kita sama sekali tidak menentukan faham fanatisme, suatu kesan

yang biasanya hanya diperoleh oleh mereka yang tidak faham cara berpikir

kesejarahan, dan tidak mengetahui nilai perbedaan pemikiran dalam

menemukan apa yang selanjutnya dipandang baik dan benar.

***

Seperti telah disinggung di muka bahwa Persis dalam bidang-bidang

yang sangat karakteristik mengalami masa surut. Dalam bidang publikasi dan

produktivitas pemikiran saat ini tidak lagi berbeda dengan organisasi-

organisasi lain. Bahkan ada tanda-tanda bahwa nantinya Persis hanya akan

menjadi bahan kenangan. Salah satu tanda yang sangat menonjol ialah

rendahnya rekrutmen, salah satu sumber energi yang sangat diperlukan bagi

kelangsungan sebuah gerakan. Rendahnya rekrutmen itu telah mencapai

kualitatif yang mempengaruhi kesan orang. Namun yang lebih penting dari itu

sesungguhnya ialah muncul suatu keadaan yang diakibatkan oleh gerakan itu

sendiri. Maksudnya, ideologi ishlah  yang selama ini menjadi tema terpenting

Page 9: Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

7/26/2019 Ahmad Hassan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia

http://slidepdf.com/reader/full/ahmad-hassan-dalam-arus-pemikiran-islam-di-indonesia 9/9

9

dari gerakan Persis telah diambil dengan baik oleh organisasi-organisasi

lainnya, misalnya Muhammadiyah, yang memiliki basis anggota lebih meluas

karena perhatiannya yang sangat awal terhadap etos sosial Islam. Selanjutnya,

ide-ide ishlah itu tidak lagi menjadi milik khas gerakan-gerakan yang dahulunyadikenal berjiwa ishlah, dan bahkan ide-ide dasarnya hampir menjadi milik umat.

Akibat lemahnya tantangan terhadap ide ishlah itu, gerakan-gerakan tersebut

menjadi tidak bergairah untuk memberikan tanggapan.

Kenyataan itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa warisan-warisan

yang ditinggalkan oleh A. Hassan telah diterima dengan baik. Memang ada

kecenderungan yang cukup kuat untuk memahami ajaran Islam di kalangan

umat, tetapi pada saat yang sama muncul juga kecenderungan untuk

meninggalkan “ilmu-ilmu agama” yang dianggap terlalu pelik dan melelahkan.

Sebagai contoh ilmu Musthalah al-Hadis yang merupakan warisan intelektual

sejak berabad-abad dan yang dalam gerakan ishlah  menjadi alat analisis A.

Hassan dan puteranya, Abdul Qadir, untuk membongkar bid’ah dan khurafat,

saat ini tampaknya kurang diminati di kalangan pedukung gerakan ishlah. Bila

keadaan ini berlanjut, akan berakibat berhentinya itu sehingga orang akan

cenderung bergantung pada hasil kritik sejarah yang telah dilakukan oleh A.

Hassan atau Abdul Qadir. Ini berarti munculnya kondisi taklid, suatu keadaan

yang sangat ditentang oleh A. Hassan. ◊◊ 

Di ambil dari buku:“Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi” 

Karya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Hlm. 127-141.