14
Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 52 Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika Tahun 2017 Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Email: [email protected] Abstract Morocco’s return to the African Union ended the 33-year absence between Morocco and the regional institution. Morocco’s return is a surprise thing, since Sahrawi Arab Democratic Republic (SADR) is still a member in African Union. In fact, Morocco has refused to return as long as SADR’s membership in the African Union is not revoked. Moreover, African Union is still supporting SADR. It is an interesting topic to be researched, by discussing why Morocco decided to join the African Union even though SADR is still a member. The author uses a synthesis of rationalism and constructivism approach in order to answer the research question. In this research, it is concluded that the reason why Morocco joining is because of the incentives that Morocco can use in response to Western Sahara issue, such as reducing transaction cost by providing stable negotiating forum, and potential delegitimation of Western Sahara issue. Furthermore, Morocco can also involved in norm construction relating to the issues of migration and terrorism, of which Morocco has the experience and success in their domestic policy towards both issues. Keywords: Morocco, Western Sahara, African Union, transaction cost, idea legitimation, norm construction Abstrak Bergabungnya Maroko kembali ke Uni Afrika mengakhiri absensi 33 tahun antara Maroko dan institusi regional tersebut. Bergabungnya Maroko merupakan hal yang mengejutkan, mengingat Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) masih menjadi anggota dalam organisasi regional tersebut. Padahal, Maroko selama ini menolak untuk bergabung dengan Uni Afrika sebelum keanggotaan RDAS dicabut. Selain itu, Uni Afrika masih berada dalam posisi mendukung RDAS. Hal ini menjadi topik yang menarik untuk diteliti, dengan membahas mengapa Maroko memutuskan untuk bergabung dengan Uni Afrika kendati RDAS masih menjadi anggota. Penulis menggunakan gabungan pendekatan rasionalisme dan konstruktivisme untuk menjawab rumusan masalah tersebut. Di dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa alasan Maroko bergabung disebabkan adanya insentif-insentif yang dapat digunakan Maroko dalam menanggapi masalah Sahara Barat, seperti pengurangan transaction cost melalui pengadaan forum yang stabil, dan potensi delegitimasi ide mengenai Sahara Barat. Selain itu, Maroko juga dapat terlibat dalam konstruksi norma terkait isu-isu migrasi dan terorisme, yang mana Maroko memiliki pengalaman dan keberhasilan dalam kebijakan domestiknya terhadap kedua isu tersebut. Kata kunci: Maroko, Sahara Barat, Uni Afrika, Transaction Cost, Legitimasi Ide, Konstruksi Norma

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika Tahun 2017journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiab9781ee69full.pdf · memberikan penjelasan memuaskan mengenai alasan negara bergabung

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 52

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

Tahun 2017

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra Departemen Hubungan Internasional,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Email: [email protected]

Abstract

Morocco’s return to the African Union ended the 33-year absence between Morocco and the regional institution. Morocco’s return is a surprise thing, since Sahrawi Arab Democratic Republic (SADR) is still a member in African Union. In fact, Morocco has refused to return as long as SADR’s membership in the African Union is not revoked. Moreover, African Union is still supporting SADR. It is an interesting topic to be researched, by discussing why Morocco decided to join the African Union even though SADR is still a member. The author uses a synthesis of rationalism and constructivism approach in order to answer the research question. In this research, it is concluded that the reason why Morocco joining is because of the incentives that Morocco can use in response to Western Sahara issue, such as reducing transaction cost by providing stable negotiating forum, and potential delegitimation of Western Sahara issue. Furthermore, Morocco can also involved in norm construction relating to the issues of migration and terrorism, of which Morocco has the experience and success in their domestic policy towards both issues.

Keywords: Morocco, Western Sahara, African Union, transaction cost, idea legitimation, norm construction

Abstrak

Bergabungnya Maroko kembali ke Uni Afrika mengakhiri absensi 33 tahun antara Maroko dan institusi regional tersebut. Bergabungnya Maroko merupakan hal yang mengejutkan, mengingat Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) masih menjadi anggota dalam organisasi regional tersebut. Padahal, Maroko selama ini menolak untuk bergabung dengan Uni Afrika sebelum keanggotaan RDAS dicabut. Selain itu, Uni Afrika masih berada dalam posisi mendukung RDAS. Hal ini menjadi topik yang menarik untuk diteliti, dengan membahas mengapa Maroko memutuskan untuk bergabung dengan Uni Afrika kendati RDAS masih menjadi anggota. Penulis menggunakan gabungan pendekatan rasionalisme dan konstruktivisme untuk menjawab rumusan masalah tersebut. Di dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa alasan Maroko bergabung disebabkan adanya insentif-insentif yang dapat digunakan Maroko dalam menanggapi masalah Sahara Barat, seperti pengurangan transaction cost melalui pengadaan forum yang stabil, dan potensi delegitimasi ide mengenai Sahara Barat. Selain itu, Maroko juga dapat terlibat dalam konstruksi norma terkait isu-isu migrasi dan terorisme, yang mana Maroko memiliki pengalaman dan keberhasilan dalam kebijakan domestiknya terhadap kedua isu tersebut.

Kata kunci: Maroko, Sahara Barat, Uni Afrika, Transaction Cost, Legitimasi Ide, Konstruksi Norma

53 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

Pada 31 Januari 2017, keanggotaan Uni Afrika (UA) bertambah menjadi 55 negara setelah KTT Uni Afrika (UA) ke-28 yang diadakan di Addis Ababa memutuskan untuk menerima Maroko sebagai anggota (Mohamed, 2017). Bergabungnya Maroko kembali ke UA melengkapi keanggotaan UA yang kini meliputi seluruh negara di Afrika, sekaligus mengakhiri absensi 33 tahun antara Maroko dan institusi regional tersebut. Bergabungnya Maroko merupakan langkah yang mengejutkan mengingat adanya permasalahan antara Maroko dengan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) yang masih menjadi anggota UA

Merujuk pada sejarahnya, Maroko termasuk salah satu negara yang ikut mendirikan OAU pada 1963. Namun, keanggotaan Maroko di OAU tersebut terpaksa berakhir setelah Maroko memutuskan keluar dari organisasi tersebut pada 1984. Alasan keluarnya Maroko dari organisasi tersebut saat itu dikarenakan penerimaan Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS) menjadi anggota OAU (BBC, 2016a). Bagi Maroko, RDAS adalah entitas pemberontak yang merongrong kedaulatan Maroko di Sahara Barat. Maroko menganggap wilayah Sahara Barat adalah wilayahnya secara historis. Ketika OAU bertransformasi menjadi UA pada 2002, Maroko tidak menunjukkan minat untuk bergabung (Ankomah, 2002). Sebelum resmi bergabung kembali dengan UA, Maroko menjadi satu-satunya negara di Afrika yang belum bergabung dengan UA.

Alasan Negara Bergabung dengan Organisasi Internasional

Dalam literatur hubungan internasional, terdapat beberapa pendekatan yang menjawab mengapa negara memutuskan untuk bergabung dengan organisasi internasional. Pendekatan pertama adalah rasionalisme, yang mana didasarkan pada rasionalisme manusia. Pendekatan berikutnya adalah konstruktivisme, yang

didasarkan pada realitas adalah hasil konstruksi.

Dalam pendekatan rasionalisme, tiap aktor memiliki rasionalitas. Rasionalitas yang dimiliki ini menjadikan aktor selalu berusaha untuk memaksimalkan kepentingannya. Untuk mencapai kepentingan tersebut dapat dicapai melalui kerja sama. Rasionalitas juga mendorong negara untuk menentukan apakah negara tersebut akan bergabung dalam organisasi internasional atau tidak. Negara tidak akan bekerja sama apabila mereka melihat tidak ada manfaat yang diperoleh dari kerja sama tersebut dan sebaliknya akan bekerja sama apabila kepentingannya dapat tercapai (Lamy, 2014: 133). Karena itu, organisasi internasional menyediakan berbagai kelebihan bagi negara untuk mencapai kepentingannya.

Pendekatan berikutnya adalah konstruktivisme, yang melihat bahwa tidak ada kenyataan sosial objektif, sehingga dunia sosial tidak dilihat sebagai sesuatu yang given, melainkan hasil dari konstruksi manusia (Jackson dan Sorensen, 2009). Konstruktivisme percaya bahwa organisasi internasional memainkan peran penting dalam penyebaran norma-norma internasional, terutama kepada negara-negara anggota organisasi tersebut. Bagi konstruktivisme, organisasi internasional adalah wadah bagi interaksi antar negara-negara anggota, yang mana nilai dan norma yang disebarkan oleh organisasi tersebut berperan penting dalam pembentukan kesepakatan yang selalu mengalami perubahan. Di sisi lain, negara juga dapat berpartisipasi dalam proses sosial dan pembentukan ide yang ada dalam organisasi internasional.

Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai alat analisis. Kekurangan pendekatan rasionalisme adalah bagaimana identitas dan kepentingan dilihat sebagai sesuatu yang given, Konstruktivisme di sisi lain kurang

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 54

memberikan penjelasan memuaskan mengenai alasan negara bergabung dengan organisasi internasional. Untuk menjawab hal tersebut, penulis menggunakan pemikiran Abbott dan Snidal yang menggabungkan keduanya. Abbott dan Snidal (1998) menjelaskan bahwa negara bergabung dengan organisasi internasional dikarenakan beberapa alasan, yakni: (1) mengurangi transaction cost; (2) mengonstruksi ide dan norma; (4) melegitimasi atau mendelegitimasi ide dan norma; dan (4) meningkatkan kapabilitas negara.

Keterkaitan Masalah Sahara Barat dengan Hubungan Maroko-OAU/UA

Sahara Barat merupakan wilayah gurun seluas 266.000 kilometer persegi yang terletak di barat laut Afrika. Sahara Barat berbatasan dengan Maroko di utara, Aljazair di timur laut, Mauritania di timur dan selatan, dan Samudera Atlantik di barat. Populasi Sahara Barat mencapai 600.000, dengan 40% tinggal di El-Aaiun (CIA, 2018). Sahara Barat dipisahkan oleh tembok pasir sepanjang 2700 km, yang membatasi wilayah Sahara Barat yang dikuasai Maroko dan Polisario. Meski berstatus sebagai non-self-governing territory, sekitar 80% wilayah Sahara Barat dikuasai Maroko dan sisanya dikuasai Polisario.

Gambar 1: Peta Sahara Barat

Sebelum konflik, wilayah Sahara Barat dikuasai Spanyol pada akhir abad ke-19 sebagai hasil Perjanjian Berlin. Seiring dengan maraknya dekolonisasi di wilayah Afrika lain, Sahara Barat dijadikan sebagai non-self governing territory oleh PBB. Konflik baru dimulai setelah wilayah Sahara Barat dibagi kepada Maroko dan Mauritania oleh Spanyol berdasarkan Perjanjian Madrid

pada 14 November 1975, yang memicu ketidakpuasan dari Polisario dan membuat Polisario menyatakan perang terhadap Maroko dan Mauritania. Mauritania menyerah pada 7 Agustus 1979, sehingga menyisakan Polisario dan Maroko sebagai pihak yang berperang. Perang antara keduanya baru selesai pada 1991, seiring dengan ditandatanganinya perjanjian gencatan

Sumber: http://socialistproject.ca

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

55 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

senjata yang digagas oleh OAU dan PBB, OAU Settlement Plan 1988 (Omar, 2012).

Sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonialisasi baru, Polisario mendapatkan dukungan dari sebagian besar negara-negara Afrika, terutama dari Aljazair dan Libya. Kedua negara tersebut mendukung agar Polisario dapat masuk sebagai anggota OAU. Aljazair melakukan lobi-lobi intensif dalam OAU agar negara-negara OAU mendukung RDAS. Pada 1982, RDAS telah diakui oleh setidaknya 35 negara, yang semuanya didasarkan persamaan nasib dengan RDAS (Naldi, 1982: 152). Hal ini menjadikan RDAS tinggal menunggu waktu untuk diterima sebagai anggota OAU, mengingat mekanisme penerimaan anggota OAU menggunakan sistem simple majority.

Dalam pertemuan Dewan Menteri OAU pada Februari 1982 di Addis Ababa, Sekjen OAU, Edem Kodjo, membuat langkah dengan mengundang perwakilan RDAS yang resmi menjadikan RDAS sebagai anggota OAU. Masuknya RDAS melalui jalur yang tidak biasa ini mengundang protes dari Maroko, yang memboikot KTT OAU ke-19 di Tripoli pada Agustus 1982. Boikot yang dilakukan Maroko dan 18 negara OAU lainnya tersebut berhasil menggagalkan diadakannya KTT, namun tidak berhasil mengubah pendirian OAU terkait penerimaan RDAS. Tidak ada perkembangan berarti sampai KTT ke-20 di Addis Ababa pada 12 November 1984, yang mana delegasi RDAS hadir untuk pertama kali dalam KTT OAU. Delegasi Maroko menyatakan ketidakpuasannya dan keengganannya duduk bersama delegasi RDAS, yang berujung pada walk out dan menandai keluarnya Maroko dari OAU (Hasnaoui, 2017: 8).

Keluarnya Maroko dari OAU nyatanya tidak memberikan perubahan berarti dalam dinamika konflik. OAU/UA terus menjaga agar konflik Sahara Barat tetap menjadi isu di Afrika. UA masih mengusahakan cara-cara diplomatik untuk menjamin hak masyarakat Sahrawi akan self-

determination. UA mendorong PBB agar menetapkan referendum dan memberikan mekanisme perlindungan HAM terhadap MINURSO, pasukan penjaga perdamaian PBB yang ditempatkan di Sahara Barat. Pada Juni 2014, UA mengangkat Joaquim Chissano sebagai Utusan Khusus UA terhadap Sahara Barat, yang bertugas memberikan perkembangan di Sahara Barat kepada PSC dan Komisi UA sekaligus mempromosikan self-determination masyarakat Sahrawi dalam pertemuan dengan DK PBB. Selain itu, UA juga mengecam eksploitasi Sahara Barat oleh Maroko yang dinilai melanggar hukum internasional.

Posisi OAU/UA yang konsisten mendukung RDAS menjadikan Maroko menolak keterlibatan OAU/UA dalam penyelesaian konflik Sahara Barat. Pernyataan awal terkait penolakan ini disampaikan oleh mantan Menteri Luar Negeri Maroko, Abdellatif Fillali, yang menganggap OAU tidak lagi ada (Pazzanita, 2006: 26). OAU/UA dinilai tidak netral karena terang-terangan mendukung RDAS dan menggunakan kampanye untuk menyerang posisi Maroko. Omar Hilale, Duta Besar Maroko untuk PBB, dalam suratnya kepada Sekjen dan DK PBB, menyatakan bahwa:

“The credibility of the African Union on the issue of the Moroccan Sahara is compromised given its position, which prejudged, in a biased manner, the outcome of the political negotiations under the auspices of the United Nations, by admitting, within its membership, an entity that has on attribute of sovereignty” (Sahara Question, 2016).

Tindakan UA yang terlalu berpihak tersebut dinilai bertentangan dengan usaha-usaha PBB untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Karena itu, UA dianggap tidak memiliki kredibilitas dalam menyelesaikan konflik. Meski Maroko bergabung dengan UA, namun tidak serta-merta menjadikan Maroko

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 56

menyetujui keterlibatan UA dalam penyelesaian konflik tersebut. Maroko menginginkan agar UA mengambil posisi netral guna mencapai kontribusi yang konstruktif (Mohammed VI, 2016a).

Kronologi Bergabungnya Maroko ke UA

Maroko dalam tiga dekade terakhir berusaha mempertahankan pengaruhnya di UA kendati tidak berstatus sebagai anggota. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan Maroko untuk tetap berada di luar keanggotaan UA telah gagal dalam mencapai kepentingannya dalam konflik Sahara Barat. Gagasan bahwa absennya Maroko dalam UA telah melemahkan posisi Maroko sendiri, baik secara regional maupun internasional. Eksistensi RDAS masih terjaga di UA dan dukungan UA terhadap RDAS masih tidak berubah. Selain itu, absennya Maroko berarti membiarkan Aljazair dan Afrika Selatan untuk menyetir posisi UA sesuai dengan kepentingannya (Hernando de Larramendi, 2018: 17). Hal ini mendorong Maroko untuk keluar dari zona nyaman diplomasinya yang selama ini berfokus di Afrika Barat. Dengan bergabung dalam UA, berarti Maroko telah sepakat untuk duduk bersama dengan RDAS dalam kondisi setara, sesuatu yang selama ini enggan dilakukan oleh Maroko.

Proses bergabungnya Maroko ke dalam UA dapat ditarik sejak kunjungan Taib Fassi Fihri ke Kenya pada 15 Juli 2016. Pertemuan yang diadakan di Nairobi tersebut membahas mengenai keinginan Maroko untuk bergabung dengan UA tanpa syarat. Hal ini berbanding terbalik dengan posisi Maroko sebelumnya yang menuntut dikeluarkannya RDAS dari keanggotaan UA sebagai prasyarat Maroko untuk bergabung kembali dengan UA. Alasan terpilihnya Kenya sebagai negara pertama untuk mencari dukungan dikarenakan Raja Mohammed VI menganggap Kenya sebagai pihak netral yang dapat bekerja sama dengan Maroko untuk mencapai perdamaian dan

keamanan di Afrika, serta kepercayaannya dengan kepemimpinan Presiden Uhuru Kenyatta, sehingga Raja Mohammed VI merasa perlu untuk mendapatkan dukungan dari Kenya dalam usahanya untuk membawa Maroko bergabung ke dalam UA (PSCU, 2016).

Ketika KTT UA ke-27 di Kigali diselenggarakan, tidak ada perwakilan Maroko yang menghadiri acara tersebut. Namun, Ketua UA, Idriss Deby Itno, melalui korespondensi dengan Raja Mohammed VI, telah menginformasikan Ketua Komisi UA, Nkosazana Dlamini-Zuma, terkait intensi Maroko untuk bergabung dengan UA. Melalui pesan yang disampaikan dalam KTT tersebut, Raja Mohammed VI menyebutkan bahwa telah tiba waktunya bagi Maroko untuk mendapatkan tempatnya kembali dalam organisasi tersebut. Dengan bergabung, Maroko akan menjadikan UA sebagai organisasi yang lebih kuat, memiliki kredibilitas, dan menghilangkan hambatan dalam UA yang membuat negara-negara anggota UA kesulitan mencapai persatuan dan kohesi (Mohammed VI, 2016a). Pesan tersebut juga menyinggung mengenai konflik Sahara Barat, yang menurut Raja, OAU telah melakukan kesalahan dengan menerima entitas yang tidak diakui di dunia internasional. Karena itu, Raja mengingatkan UA agar tidak mengulangi dan menanggung beban kesalahan sejarah seperti yang dilakukan OAU (The Moroccan Times, 2016).

Seiring dengan disampaikannya pesan Raja Mohammed VI tersebut, 28 negara anggota UA mengajukan mosi terkait pembekuan keanggotaan RDAS dalam UA dan segala organ di dalamnya, kendati pesan tersebut tidak membahast pengeluaran RDAS dari keanggotaan. Mosi yang diajukan tersebut ditujukan agar UA dapat mengambil langkah lebih lanjut dan memungkinkan UA untuk memainkan peran konstruktif, seperti bekerja sama dengan PBB dan mendukung usaha PBB untuk menemukan resolusi konflik akhir dari konflik Sahara Barat. Mosi tersebut

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

57 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

diajukan oleh Presiden Gabon, Ali Bongo Ondimba, yang mewakili Benin, Burkina Faso, Burundi, Djibouti, Eritrea, Gabon, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Guinea Ekuator, Komoro, Liberia, Libya, Pantai Gading, Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Sao Tome dan Principe, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Swaziland, Tanjung Verde, Togo, dan Zambia (MAP, 2016).

Meski demikian, mosi yang diajukan 28 negara tersebut tidak mendapatkan persetujuan dan gagal disampaikan mengingat Konstitusi UA tidak mengatur mengenai pengeluaran negara anggota. Adanya mosi tersebut menunjukkan bahwa status keanggotaan RDAS tidak aman meski didukung oleh UA. Terlebih, sebagian dari 28 negara yang mendukung pengeluaran RDAS tersebut dulunya adalah negara yang mengakui kedaulatan RDAS. Selain itu, tidak adanya mekanisme pengeluaran anggota tidak menjamin keamanan status keanggotaan RDAS, terutama mengingat Konstitusi UA dapat mengalami perubahan apabila dua pertiga negara anggota menghendaki demikian (Louw-Vaudran, 2018: 11).

Terkait penerimaan anggota baru UA, pasal 29 dari Konstitusi UA menyebutkan bahwa mekanisme pendaftaran anggota baru UA harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti negara yang ingin bergabung tersebut berada di Afrika, serta memberitahukan intensinya kepada ketua komisi UA. Maroko sendiri dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan yang diajukan tersebut. Secara geografis, Maroko berada di benua Afrika. Selain itu, merujuk pada dukungan yang didapatkan Maroko melalui mosi 28 negara UA yang mengajukan pengeluaran RDAS dalam KTT UA ke-27 tersebut, Maroko sendiri telah mengumpulkan setidaknya 28 suara atau lebih dari 50% dari keseluruhan anggota UA, sehingga telah memenuhi kuorum simple majority sebagai syarat diterimanya suatu negara sebagai anggota UA.

Maroko secara resmi mengajukan permintaan untuk bergabung dengan UA pada 22 September 2016, setelah Taib Fassi Fihri menemui Nkosazana Dlamini-Zuma di New York, di sela-sela sesi Majelis Umum PBB, untuk memberitahukan bahwa letter of intent telah dikirimkan ke markas besar UA, serta persetujuan Maroko untuk mematuhi Konstitusi UA, sesuai yang disyaratkan pasal 29 ayat 1 (African Union, 2016). Proses akan dilanjutkan dengan Dlamini-Zuma, sebagai ketua komisi UA, memberikan pemberitahuan resmi kepada negara-negara anggota UA. Dengan ini, keputusan terkait penerimaan Maroko sebagai anggota UA resmi menjadi agenda dalam KTT UA selanjutnya, yang mana penentuan penerimaan tersebut akan ditentukan dalam voting oleh negara-negara anggota UA sendiri.

Kendati dukungan negara-negara UA terhadap Maroko telah memenuhi kuorum, nyatanya hal tersebut tidak membuat Raja Mohammed VI merasa puas. Usaha-usaha Maroko untuk bergabung tersebut juga diikuti lobi-lobi dan diplomasi yang intensif. Raja Mohammed VI melakukan tur ke negara-negara yang secara tradisional mendukung RADS dalam rentang November 2016 hingga diadakannya KTT UA ke-28. Raja mengadakan dua tur dengan mengunjungi beberapa negara di Afrika Timur dalam rentang Oktober hingga Desember 2016. Tur tahap pertama dilaksanakan pada Oktober dan November 2016, dengan Rwanda, Tanzania, dan Etiopia sebagai negara destinasi (Morocco World News, 2016a). Tur tahap kedua dilaksanakan pada Desember 2016, yang mana Raja Mohammed VI mengunjungi Madagaskar, Nigeria, dan Zambia (Igrouane, 2016).

Pada 24 Januari 2017, Maroko resmi mengirimkan instrumen ratifikasi Konstitusi UA tersebut, dan secara resmi memberitahukan kepada negara-negara anggota UA terkait ratifikasi tersebut (Morocco World News, 2017a). Ratifikasi tersebut merupakan langkah terakhir

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 58

dari mekanisme pendaftaran keanggotaan baru UA. Penerimaan Maroko sebagai anggota baru UA menjadi agenda dalam KTT UA ke-28. Dalam KTT tersebut, Maroko berhasil diterima sebagai anggota baru UA setelah hasil voting menyatakan 39 negara mendukung Maroko, 9 negara menolak penerimaan Maroko, serta 6 negara memilih abstain (Mohamed, 2017). Dengan masuknya Maroko, keanggotaan UA kini meliputi seluruh negara Afrika yang berdaulat.

Insentif Bergabungnya Maroko ke dalam UA

Bergabungnya Maroko dalam UA memberikan beberapa keuntungan bagi Maroko, seperti: pengurangan transaction cost, delegitimasi ide, dan konstruksi norma. Pengurangan transaction cost bagi Maroko penting dalam berinteraksi dengan negara-negara Afrika, mengingat keanggotaan UA meliputi seluruh negara Afrika. Transaction cost yang dimaksud adalah biaya sosial yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan negara-negara anggota UA lain. UA memberikan forum-forum negosiasi yang stabil bagi Maroko untuk berdiskusi dengan negara-negara anggota UA lainnya untuk membahas permasalahan yang dihadapi Maroko maupun isu-isu yang menjadi perhatian di Afrika.

Salah satu organ yang dapat digunakan Maroko adalah Peace and Security Council (PSC), yang mana merupakan organ dalam UA untuk pencegahan, manajemen, dan resolusi konflik. PSC didirikan untuk menjaga keamanan kolektif dan pengaturan peringatan dini dengan kemampuan untuk memfasilitasi respons yang efektif dan tepat waktu dalam situasi krisis dan konflik. Fungsi utama PSC adalah untuk menyelenggarakan sistem peringatan dini dan diplomasi preventif, memfasilitasi perdamaian, membangun operasi mendukung perdamaian, dan merekomendasi intervensi di negara-negara anggota untuk mempromosikan perdamaian, dan menciptakan stabilitas

keamanan. PSC juga bekerja untuk membantu peace-building, resolusi pascakonflik, sekaligus aksi humanitarian dan manajemen bencana (African Union, t.t.).

Dengan bergabung ke PSC, Maroko dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam PSC dan berkontribusi untuk mencapai tujuannya, terutama terkait isu-isu keamanan dan perdamaian di Afrika. Isu-isu tersebut mencakup keadaan di Republik Demokratik Kongo dan Republik Afrika Tengah, serta Sudan Selatan, yang mana Maroko menjanjikan bantuan kemanusiaan di negeri yang dilanda konflik tersebut (Louw-Vaudran, 2018: 15). Isu lainnya adalah terorisme, yang juga dihadapi oleh Maroko. Aktivitas kelompok teroris Al-Qaeda in Maghreb (AQIM) semakin meningkat di wilayah Sahel, sehingga timbul kekhawatiran apabila aktivitas terorisme tersebut merembet hingga ke Maroko (Lamzouwaq, 2017). Selain isu-isu tersebut, Maroko juga dapat menggunakan kedudukannya di PSC untuk menghentikan segala diskusi terkait Sahara Barat, yang mana sejalan dengan kepentingan dan strategi Maroko untuk memusatkan pembahasan terkait Sahara Barat di PBB saja (Louw-Vaudran, 2018: 15).

Selain mengurangi transaction cost, Maroko dapat mendelegitimasi ide mengenai Sahara Barat dalam UA. Sebelum Maroko bergabung dengan UA, legitimasi UA terhadap masalah Sahara Barat begitu kuat sehingga meski sebagian besar negara anggota UA sudah menarik pengakuannya terhadap RDAS, tidak ada upaya lebih lanjut untuk menggugat legitimasi tersebut. Ketika Maroko menyatakan keinginannya untuk bergabung, negara-negara yang tidak mengakui RDAS mulai bergerak dengan mengajukan mosi dalam KTT UA ke-27 yang menuntut agar RDAS dikeluarkan dari keanggotaan UA.

Maroko sendiri sudah mengupayakan bagaimana agar negara-negara di dunia dapat menarik

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

59 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

pengakuannya terhadap RDAS, mengubah posisinya menjadi netral, atau mendukung posisi Maroko dalam konflik tersebut. Upaya Maroko dalam melakukan delegitimasi terhadap RDAS menemui keberhasilan, yang mana dapat dilihat dari berkurangnya jumlah negara yang mengakui RDAS, yang kini menjadi 44 negara saja (World Statesmen, t.t). Ada beberapa alasan mengapa banyak negara yang menarik dukungannya terhadap RDAS. Alasan pertama adalah adanya kepentingan khusus negara tersebut terhadap Maroko. Menguatnya perekonomian Maroko menjadikan beberapa negara berubah haluan dengan menarik pengakuannya terhadap RDAS menjadi mendukung posisi Maroko. Alasan kedua adalah negara tersebut secara sukarela menarik pengakuannya terhadap RDAS untuk mengubah posisinya menjadi netral, atau berperan aktif sebagai mediator seperti Kenya pada 2006 (McNamee, Mills, dan Pham, 2013: 12).

Maroko juga menunjukkan citra baik dengan membangun Sahara Barat untuk meraih dukungan dunia internasional. Pembangunan di Sahara Barat baru mulai digalakkan setelah Maroko menguasai wilayah tersebut, yang disebabkan kondisinya yang tertinggal jauh dibandingkan dengan provinsi-provinsi di utara dan tengah Maroko. Pembangunan yang dilakukan oleh Maroko di Sahara Barat menjadikan standar hidup di Sahara Barat lebih tinggi daripada wilayah lain di Maroko (El Fadli, 2016). Pada 2015, Raja Mohammed VI meluncurkan model pembangunan baru untuk Sahara Barat, dengan membangun banyak infrastruktur strategis dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Sahrawi. Proyek ambisius Maroko tersebut menghabiskan 77 miliar dirham, tujuh kali lebih besar daripada pendapatan Maroko yang berasal dari Sahara Barat (Maroc.ma, 2017a). Hal ini menunjukkan komitmen Mohammed VI bahwa sumber daya Sahara Barat digunakan untuk kepentingan Sahara Barat.

Selain menunjukkan citra baik, Maroko juga mengusahakan agar penyelesaian konflik menjadi domain eksklusif PBB. Maroko enggan melibatkan UA dalam penyelesaian konflik karena dianggap bias dan tidak netral. Selain itu, Maroko juga mendapatkan dukugan lebih besar di PBB, terutama dukungan dari Prancis dan AS. Meski kedua negara tersebut tidak mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, namun keduanya merasa bahwa ketiadaan Maroko di Sahara Barat berdampak pada ketidakstabilan di kawasan Afrika Utara. Transformasi konflik pun akan membutuhkan banyak sumber daya yang tidak berkaitan dengan kepentingan kedua negara tersebut (Chavez Fregoso dan Zivkovic, 2012: 144). Karena itu, tidak ada anggota tetap DK PBB yang berani memaksakan referendum untuk digelar di Sahara Barat meski ditekan berkali-kali oleh UA. Prancis akan memveto keputusan tersebut, dan AS akan menentang (Theofilopoulou dan Mundy, 2010). Sebaliknya, kedua negara tersebut cenderung mendukung proposal otonomi Maroko yang dinilai lebih realistis dibanding melakukan referendum. Tanpa adanya referendum pun, posisi Maroko masih berada di atas posisi Polisario, sehingga Maroko merasa tidak perlu menekan PBB kecuali apabila terdapat gangguan terhadap status quo.

Diplomasi Maroko di Afrika juga mengalami peningkatan seiring dengan munculnya intensi untuk bergabung, Raja Mohammed VI mengadakan tur ke negara-negara Afrika Timur, yang mana kebanyakan mengakui dan mendukung RDAS, seperti Rwanda, Tanzania, Etiopia, Ghana, Nigeria, dan Sudan Selatan. Perbaikan hubungan dengan negara-negara yang mendukung RDAS juga diikuti oleh pembukaan lima kedutaan baru di Rwanda, Tanzania, Mozambik, Mauritius, dan Benin. Secara khusus, Raja juga mengundang pemimpin negara-negara tersebut ke Maroko, seperti yang dilakukan Presiden Rwanda, Paul Kagame, pada Juni 2016. Pendekatan yang dilakukan Maroko ini umumnya berpusat pada area kerja sama

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 60

ekonomi, mengingat Maroko menyadari posisinya sebagai investor terbesar kedua di Afrika (Hernando de Larramendi dan Tomé-Alonso, 2017: 230).

Menggunakan logika Kerja Sama Selatan-Selatan, tur Raja Mohammed VI menghasilkan beberapa kesepakatan kerja sama, janji-janji investasi, serta pengadaan proyek bersama. Contohnya adalah kunjungan tahap pertama Raja Mohammed VI di Afrika Timur pada Oktober dan November 2016, setidaknya 47 kesepakatan kerja dalam berbagai bidang diteken oleh Maroko dengan ketiga negara tersebut, dengan 19 kesepakatan dengan Rwanda (Morocco World News, 2016b), 21 kesepakatan dengan Tanzania (Kamagi, 2016), serta 7 kesepakatan dengan Etiopia (Morocco World News, 2016c), yang mana salah satunya adalah pembangunan proyek pabrik pupuk. Dari kunjungan yang berhasil dilaksanakan dalam tur tahap kedua pada Desember 2016, terdapat 22 kesepakatan kerja sama yang diteken antara Maroko dan Madagaskar (Morocco World News, 2016d), sementara terdapat 15 kesepakatan antara Maroko dan Nigeria, termasuk proyek strategis pembangunan pipa gas yang menghubungkan Nigeria dan Maroko (Daka, 2016).

Diplomasi ekonomi yang dilakukan oleh Raja tersebut berhasil menyumbang suara bagi Maroko untuk diterima sebagai anggota. Lebih lanjut, dengan adanya diplomasi ekonomi, negara-negara yang mengakui RDAS tersebut dapat menarik pengakuannya dan berbalik mendukung posisi Maroko. Negara terbaru yang menarik pengakuannya terhadap RDAS adalah Malawi, yang menarik pengakuannya pada Mei 2017 (Maroc.ma, 2017)b. Dengan menggunakan pola diplomasi yang sama dalam UA, peluang Maroko untuk melakukan delegitimasi ide dan norma yang selama ini berlaku di UA terkait permasalahan Sahara Barat terbilang besar, mengingat mayoritas negara UA sendiri sudah tidak mengakui entitas tersebut. Dengan merangkul negara-negara yang mengakui RDAS,

Maroko dapat memecah konsensus dukungan UA dan negara-negara Afrika terhadap RDAS sekaligus menjaga kepentingannya di Afrika.

Alasan terakhir adalah adanya keinginan Maroko untuk berkontribusi di UA. Dalam kasus Maroko, keinginan untuk terlibat dalam proses pembentukan norma menjadi salah satu alasan mengapa Maroko bergabung dengan UA. Raja Mohammed VI telah lama menegaskan bahwa Afrika berada dalam prioritas utama dalam kebijakan luar negeri Maroko. Maroko telah lama berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan inisiasi yang melibatkan Afrika, kendati Maroko belum menjadi bagian dari UA saat itu. Komitmen Maroko untuk terlibat terhadap berbagai isu di Afrika tidak diiringi dengan intensi untuk melakukan eksploitasi sumber daya di Afrika, yang mana berbeda dengan negara-negara kolonial. Negara-negara kolonial justru melahirkan berbagai masalah yang sekarang harus dihadapi Afrika, seperti kemiskinan, keterbelakangan, konflik, dan terorisme (Morocco World News, 2016e). Karena itu, momen bergabungnya Maroko dilihat sebagai komitmen Maroko untuk mengembalikan Afrika ke tangan orang-orang Afrika sendiri.

Kembalinya Maroko diiringi dengan keinginan untuk terlibat dalam terhadap isu-isu yang ada di Afrika, utamanya migrasi dan terorisme. Dalam pidatonya untuk memperingati Revolusi Rakyat dan Raja ke-63, Raja menegaskan:

“Morocco’s national responses to many complex regional and international issues – such as development, migration and the fight against terrorism – are in line with a firm commitment to serve African peoples.” (Mohammed VI, 2016b).

Upaya Maroko untuk terlibat penyelesaian isu migrasi dan terorisme di UA diperkuat oleh pidato yang disampaikan pada KTT UA ke-28. Dalam pidato tersebut, Raja Mohammed VI menyatakan:

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

61 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

“All this confirms that Morocco is right to choose Africa. By doing so, my country has opted to share and transfer its know-how; in concrete terms, it is offering to build a safe, solidarity-based future. We are proud to see history has proved us right. Morocco is not returning to the African Union through the back door, but by the main gate.” (Mohammed VI, 2017)

Keterlibatan Maroko dalam pembentukan norma terkait isu migrasi dan terorisme di Afrika didasarkan pada keberhasilan kebijakan domestiknya. Dalam hal ini, Maroko sebagai norm entrepreneur menggunakan keberhasilan domestiknya sebagai alat untuk meyakinkan negara-negara anggota UA lainnya. Secara umum, norma dalam mengatasi migrasi dan terorisme di UA tidak jauh berbeda dengan Maroko. Namun, norma-norma tersebut tergerus karena hanya sedikit negara anggota UA yang mampu menerapkan norma tersebut dalam lingkungan domestiknya.

Dalam isu terorisme, UA sendiri memiliki kerangka pemberantasan terorisme, seperti Konvensi Aljazair 1999 dan Protokol untuk Konvensi OAU dalam Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme 2004, yang berfokus pada kondisi struktural, peningkatan capacity building, langkah preventif, dan penegakan HAM dalam pemberantasan terorisme (Allison, 2015). Namun, implementasi kerangka tersebut terhambat akibat kurangnya political will negara-negara UA dan kurangnya sumber daya. Tidak semua negara Afrika memprioritaskan terorisme sebagai ancaman utama. Ketika ada yang menjadikan terorisme sebagai isu prioritas, negara tersebut kesulitan dalam mengimplementasikan langkah-langkah yang direkomendasikan akibat kurangnya sumber daya. Selain itu, beberapa negara juga menggunakan taktik yang bertentangan dengan apa yang ada dalam kerangka pemberantasan terorisme UA, seperti penyiksaan dan pembunuhan (Allison, 2015). Hal ini diperparah dengan

ketidakmampuan UA untuk mengawasi dan menegaskan komitmen negara-negara anggotanya.

Dalam isu migrasi, Maroko mendorong berbagai inisiatif yang ditujukan untuk mengubah pandangan mengenai bagaimana isu migrasi tersebut diselesaikan, utamanya dengan menggunakan pendekatan humanis. Penerapan pendekatan humanis ini terlihat ketika Maroko mulai mengadopsi kebijakan regularisasi bagi migran ireguler pada 2014, yang mana berhasil meregulerisasi 17.916 orang (Lahlou, 2015: 14). Pendekatan humanis inilah yang dibanggakan oleh Raja Mohammed VI, mengingat Maroko merupakan satu-satunya negara Afrika yang berhasil menerapkan pendekatan tersebut pada kebijakan domestiknya. Hal ini juga membedakan Maroko dengan negara-negara Afrika lainnya yang kebanyakan masih menerapkan pendekatan keamanan dalam menangani isu migrasi, sehingga migran ireguler dianggap sebagai ancaman alih-alih kesempatan (The North Africa Post, 2017).

Keberhasilan domestik dan pandangan Maroko terkait migrasi tersebut mengantarkan Raja Mohammed VI didapuk oleh UA untuk menjadi Leader of the African Union on the Question of Migration dalam KTT ke-28 UA (Kasraoui, 2018). Dalam mengemban posisi tersebut, Raja memiliki tugas untuk merumuskan proposal mengenai agenda UA terkait masalah migrasi, yang nantinya disampaikan dalam KTT UA ke-30 pada Januari 2018. Sebagai bagian dari proposal tersebut, Maroko juga diminta untuk menjadi tuan rumah bagi konferensi migrasi Afrika, yang berpotensi menjadi langkah dalam merumuskan Posisi Afrika untuk Migrasi (Louw-Vaudran, 2018: 6). Penunjukan Raja Mohammed VI sebagai pemimpin tersebut menjadi kontribusi awal Maroko dalam mengatasi isu migrasi dalam UA.

Dalam isu terorisme, Maroko percaya bahwa isu tersebut tidak dapat diselesaikan sendiri. Terlebih, terorisme menjadi ancaman utama bagi Afrika.

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 62

Sejak 2006, serangan teroris di Afrika meningkat lebih dari 1000%, dengan peningkatan tajam pada tahun 2013 dan 2014 (Rezrazi, 2017: 41). Aktivitas-aktivitas terorisme tersebut membentang dari wilayah Tanduk Afrika hingga utara Nigeria, yang mana meliputi negara-negara Afrika Utara dan sebagian negara di dataran Sahel. Meningkatnya aktivitas terorisme tersebut mengancam Maroko karena aktivitas terorisme dapat merembet ke Maroko.

Dengan bergabung ke UA, Maroko dapat mengembangkan kerja sama antiterorisme di tingkat regional. Maroko memiliki fondasi kuat dalam kebijakan kontraterorisme domestiknya, yang turut diperkuat dengan peran Raja dan negara dalam mengatur kehidupan beragama warga negaranya. Institusionalisasi agama Maroko dijalankan dengan mempromosikan Islam mazhab Maliki yang dianut rakyat Maroko, mengubah kurikulum (Alaoui, 2017: 109), dan memberikan kesempatan kepada wanita untuk terlibat dalam mempromosikan Islam yang moderat dan toleran (El Katri, 2013: 59). Maroko juga terlibat dalam berbagai kerja sama bilateral maupun internasional, yang dapat dilihat dari keanggotaan Maroko dalam Trans-Saharan Counterterrorism Partnership (TSCTP) dan Global Counterterrorism Forum (GTF), yang bertujuan untuk mengurangi kerentanan orang terhadap terorisme (Morocco on the Move, 2016). Semua upaya tersebut menjadikan Maroko sebagai negara yang paling sedikit terdampak serangan terorisme sejak 2001 (Business Wire, 2017). Dengan berbagai pengalaman tersebut, Maroko dapat mengirimkan tenaga ahli ke negara-negara Afrika, terutama negara-negara Afrika yang terdampak parah oleh terorisme. Tenaga ahli dan transfer know-how juga dapat ditawarkan dalam skala yang lebih luas dan dalam kerangka yang lebih efisien (Mohammed VI, 2016).

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa alasan Maroko

memutuskan bergabung kembali dengan UA dikarenakan adanya insentif yang dapat digunakan Maroko dan keinginan keterlibatan Maroko dalam konstruksi norma dalam UA terkait isu-isu migrasi dan terorisme. Insentif yang digunakan terkait dengan penyediaan forum negosiasi yang stabil dalam UA. Dalam hal ini, Maroko dapat menggunakan badan-badan yang ada dalam UA, seperti PSC, untuk menjamin keterlibatan Maroko dalam bidang perdamaian dan keamanan. Dalam kaitannya dengan Sahara Barat, Maroko dapat menggunakan PSC untuk memblok segala isu sensitif mengenai Sahara Barat di UA, termasuk menggunakan UA sebagai instrumen untuk mengarahkan kembali posisi UA agar netral dan mendukung PBB menciptakan resolusi konflik yang konstruktif.

Insentif lain yang didapatkan Maroko adalah peluang untuk melakukan delegitimasi terhadap ide-ide yang mendukung Sahara Barat dalam UA, dengan merangkul negara-negara yang mengakui RDAS. Dengan menerapkan pola diplomasi yang sama dalam UA, maka posisi RDAS semakin terpojok. Terlebih, 28 negara telah menyatakan agar UA segera mengeluarkan keanggotaan RDAS, meski Konstitusi UA tidak memiliki mekanisme pengeluaran anggota. Namun, apabila dua pertiga anggota mengajukan amandemen terhadap Konstitusi UA, maka bukan tidak mungkin Maroko dapat mewujudkan pengeluaran RDAS dari keanggotaan UA.

Insentif lainnya adalah Maroko dapat terlibat dalam konstruksi norma terkait isu migrasi dan terorisme dalam UA. Keinginan untuk terlibat tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa baik isu migrasi dan terorisme masih menjadi isu-isu utama dalam UA. Dengan memanfaatkan keberhasilan kebijakan domestiknya, Maroko dalam hal ini dapat mengonstruksi norma-norma yang terkikis akibat ketidakmampuan negara-negara UA dalam implementasi norma yang sudah ada. Dalam isu migrasi, Maroko dapat mengonstruksi norma

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

63 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

mengenai isu migrasi berdasarkan pendekatan humanis, bukan pendekatan keamanan yang memandang migran ireguler sebagai ancaman. Dalam isu terorisme, Maroko dapat membantu negara-negara anggota UA lainnya

melalui pengiriman tenaga ahli dan transfer know-how, sehingga negara-negara UA lainnya dapat mematuhi norma-norma terkait pemberantasan terorisme dalam UA.

Daftar Pustaka

BUKU [1] Jackson, R., &. Sorensen, G., 2009.

Pengantar Studi Hubungan Internasional. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh D. Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp. 12-23.

[2] Lamy, S., 2014. Contemporary Mainstream Approaches: Neo-realism and Neo-liberalism. Dalam: J. Baylis, S. Smith & P. Owens, eds. The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press.

[3] Pazzanita, A.G., 2006. Historical Dictionary of Western Sahara. Oxford: Scarecrow Press.

[4] Rezrazi, E.M., 2017. Facing the New Generation of Terrorism and the Opportunities for a Common Continental Responses Capabilities. Atlantic Currents: An Annual Report on Wider Atlantic Perspectives and Patterns, 4th edition. Rabat: OCP Policy Center.

PAPER DAN JURNAL: [5] Abbott, K.W. & Snidal D., 1998. Why State

Act Through Formal International Organizations. The Journal of Conflict Resolution, 42(1).

[6] Alaoui, A.B., 2017. Morocco's Security Strategy: Preventing Terrorism and Countering Extremism. European View, 16, hlm. 103-120.

[7] Allison, S., 2015. Good Talk, Not Enough Action: The AU's Counter-terrorism Architecture and Why It Matters. ISS Policy Brief 66.

[8] Chavez Fregoso, C. & Zivkovic, N., 2012. Western Sahara: A Frozen Conflict. Journal of Regional Security, 7(2), hlm. 139-150.

[9] El Katri, M., 2013. The Institutionalisation of Religious Affairs: Religious Reform in Morocco. The Journal of North African Studies, 18, hlm. 53-69.

[10] Hasnaoui Y., 2017. Morocco and the African Union: A New Chapter for Western Sahara Resolution?. Arab Center for Research & Policy Studies Research Paper.

[11] Hernando de Larramendi, M. & Tomé-Alonso, B., 2017. The Return of Morocco to the African Union. IEMed Mediterranean Yearbook 2017, hlm. 229-232.

[12] Hernando de Larramendi, M., 2018. Doomed Regionalism in a Redrawn Maghreb? The Changing Shape of the Rivalry between Algeria and Morocco in the Post-2011 Era. The Journal of North African Studies, hlm. 1-26.

[13] Lahlou, M., 2015. Morocco's Experience of Migration as a Sending, Transit and Receiving Country. IAI Working Paper, 15, hlm. 2-19.

[14] Louw-Vaudran, L., 2018. The Meaning of Morocco’s Return to the African Union. ISS North Africa Report 1, hlm. 1-20.

[15] McNamee, T., Mills, G. & Pham, P.J., 2013. Morocco and the African Union: Prospects for Re-engagement and Progress on the Western Sahara. Brenthurst Discussion Paper I/2013. Johannesburg: The Brenthurst Foundation.

[16] Naldi, J. The Organization of African Unity and the Saharan Arab Democratic Republic. Journal of African Law, 26(2), hlm. 152-162.

BERITA: [17] BBC, 2016a. Morocco 'Should Not Rejoin

African Union'. BBC, [Online] 10 November. Tersedia di: http://www.bbc.com/news/world-africa-37941687. [Diakses 31 Maret 2017].

[18] Business Wire, 2017. Morocco Remains Safe despite Rise in Terrorist Activity in North Africa/Sahel in 2016. Business Wire, [Online] 14 April. Tersedia di: https://www.businesswire.com/news/home/20170414005297/en/Morocco-Remains-Safe-Rise-Terrorist-Activity-North [Diakses 9 Mei 2018].

[19] Daka, T., 2016. Moroccan King, Buhari sign 15 Bilateral Agreements. The Guardian Nigeria, [Online] 3 Desember. Tersedia di: https://guardian.ng/news/moroccan-king-buhari-sign-15-bilateral-agreements/ [Diakses 7 Mei 2018].

[20] Igrouane, Y., 2016. King Mohammed VI to Visit Nigeria and Zambia in Early December. Morocco World News, [Online] 21 November. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2016/11/201927/king-mohammed-vi-visit-nigeria-zambia-early-december/ [Diakses 30 April 2018].

[21] Kamagi, D., 2016. East Africa: New Dawn As Dar, Rabat Sign Over 20 Bilateral Agreements. All Africa, [Online] 25 Oktober. Tersedia di: http://allafrica.com/stories/201610250123.html [Diakses 7 Mei 2018].

[22] Kasraoui, S., 2018. King Mohammed VI Unveils Draft African Agenda on Migration to AU Summit. Morocco World News, [Online] 29 Januari. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2018/01/239515/king-mohammed-vi-unveils-

Riezchy Amien Ullah Sukarno Putra

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 64

draft-african-agenda-migration-au-summit [Diakses 9 Mei 2018].

[23] Lamzouwaq, S.E., 2017. ISIS, AQIM, and Polisario: How Do Terrorist Threats in the Sahel Affect Morocco?. Morocco World News, [Online] 2 Juni. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2017/06/218501/isis-aqim-and-polisario-terrorist-threats-sahel-affect-morocco/ [Diakses 7 Mei 2018].

[24] Maroc.ma, 2017a. Natural Resources of Moroccan Sahara Are Exploited in Line of International Law, National Sovereignty. Maroc.ma, [Online] 5 Mei. Tersedia di: http://www.maroc.ma/en/news/natural-resources-moroccan-sahara-are-exploited-line-international-law-national-sovereignty [Diakses 8 Mei 2018].

[25] Maroc.ma, 2017b. Malawi's Withdrawal of Recognition of SADR, Fruition of Africa-Oriented Vision. Maroc.ma, [Online] 8 Mei. Tersedia di: http://www.maroc.ma/en/news/malawis-withdrawal-recognition-sadr-fruition-africa-oriented-royal-vision [Diakses 7 Mei 2018].

[26] Mohamed, H., 2017. Morocco Rejoins the African Union after 33 Years. Al-Jazeera, [Online] 31 Januari. Tersedia di: http://www.aljazeera.com/news/2017/01/morocco-rejoins-african-union-33-years-170131084926023.html. [Diakses 31 Maret 2017].

[27] Morocco World News, 2016a. King Mohammed VI Begins Visit to Rwanda, Tanzania, Ethiopia. Morocco World News, [Online] 18 Oktober. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2016/10/199253/king-mohammed-vi-begins-visit-rwanda-tanzania-ethiopia/ [Diakses 7 Mei 2018].

[28] Morocco World News, 2016b. King Mohammed VI, Rwandan President Chair Signing Ceremony of 19 Agreements. Morocco World News, [Online] 10 Oktober. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2016/10/199357/king-mohammed-vi-rwandan-president-chair-signing-ceremony-19-agreements/ [Diakses 7 Mei 2018].

[29] Morocco World News, 2016c. King Mohammed VI, Ethiopian President Chair Signing of Seven Agreements. Morocco World News, [Online] 19 November. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2016/11/201758/king-mohammed-vi-ethiopian-president-chair-signing-of-seven-agreements/ [Diakses 7 Mei 2018].

[30] Morocco World News, 2016d. King Mohammed VI, Malagasy President Chair Signing of 22 Cooperation Agreements. Morocco World News, [Online] 21 November. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2016/11/201918/king-mohammed-vi-malagasy-president-chair-signing-22-cooperation-agreements/ [Diakses 7 Mei 2018].

[31] Morocco World News, 2016e. King Mohammed VI: Africa, Top Priority in

Morocco’s Foreign Policy. Morocco World News, [Online] 20 Agustus. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2016/08/194771/king-mohammed-vi-africa-top-priority-moroccos- foreign-policy/ [Diakses 9 Mei 2018].

[32] Morocco World News, 2017a. Morocco Notifies AU Members of its Ratification of AU Constitutive Act. Morocco World News, [Online] 25 Januari. Tersedia di: https://www.moroccoworldnews.com/2017/01/206496/morocco-notifies-au-members-of-its-ratification-of-au-constitutive-act/ [Diakses 7 Mei 2018].

[33] PSCU, 2016. Morocco Seeks Uhuru's Support to Rejoin AU after 32 Years Out. Daily Nation, [Online] 15 Juli. Tersedia di: https://www.nation.co.ke/news/africa/Morocco-seeks-Kenya-support-in-quest-to-rejoin-AU/1066-3296366-lgsxb4z/index.html [Diakses 30 April 2018].

[34] The Moroccan Times, 2016. King Mohammed VI’s Letter to Join the African Union. The Moroccan Times, [Online] 19 Juli. Tersedia di: http://themoroccantimes.com/2016/07/20237/morocco-join-african-union. [Diakses 31 Maret 2017].

[35] The North Africa Post, 2017. New Migration Policy Strengthens Morocco’s Soft Power in Africa. The North Africa Post, [Online] 23 Desember. Tersedia di: http://northafricapost.com/21417-new-migration-policy-strengthens-morocco-soft-power-africa.html [Diakses 9 Mei 2018].

[36] Theofilopoulou, A. & Mundy, J., 2010. Why the UN Won’t Solve Western Sahara (until It Becomes a Crisis). [Online] Tersedia di: http://foreignpolicy.com/2010/08/12/why-the-un-wont-solve-western-sahara-until-it-becomes-a-crisis/ [Diakses 5 Mei 2018].

ARTIKEL: [37] El Fadli, A., 2016. Living Standards in

Southern Provinces, the Highest in Morocco. [Online] Tersedia di: http://autonomy-plan.org/1506-living-standards-in-southern-provinces-the-highest-in-morocco.html [Diakses 8 Mei 2018].

[38] Morocco on the Move, 2016. Morocco Combats Terrorism at Home and Abroad. [pdf] Tersedia di: http://moroccoonthemove.com/wp-content/uploads/2016/09/FS_MoroccoTerrorism7July2016.pdf [Diakses 9 Mei 2018].

[39] Naji, A., 2015. Moroccan Green March: The First Peaceful March to End Spanish Colonization. [Online] Tersedia di: http://wsimag.com/economy-and-politics/18719-moroccan-green-march [Diakses 8 Mei 2018].

[40] Omar, S.M., 2012. OAU/AU and the Question of Western Sahara. [Online] Tersedia di: https://www.pambazuka.org/global-south/oauau-and-question-western-sahara [Diakses 15 April 2018].

Alasan Maroko Bergabung Dengan Uni Afrika

65 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

[41] Sahara Question, 2016. Morocco Rejects African Union’s Involvement in Western Sahara Dispute. [Online] Tersedia di: https://sahara-question.com/en/news/morocco-rejects-african-union%E2%80%99s-involvement-western-sahara-dispute [Diakses 17 April 2018].

SITUS RESMI: [42] African Union, 2016. Morocco Officially

Requests to Join the African Union. [Online] Tersedia di: https://au.int/en/pressreleases/20160923 [Diakses 30 April 2018].

[43] African Union, t.t. Peace and Security Council. [Online] Tersedia di: http://au.int/en/organs/psc [Diakses 6 Mei 2018].

[44] CIA, 2018. Western Sahara. [Online] Tersedia di: https://www.cia.gov/library/Publications/the-world-factbook/geos/wi.html [Diakses 11 April 2018].

PESAN DAN PIDATO KENEGARAAN: [45] Mohammed VI, 2016a. Royal Message to

the 27th African Union Summit. [Online] Tersedia di: http://www.maroc.ma/en/royal-speeches/full-text-royal-message-27th-african-union-summit [Diakses 14 Februari 2018].

[46] Mohammed VI, 2016b. Royal Speech on 63th Anniversary of the King and People's Revolution Day. [Online] Tersedia di: http://www.maroc.ma/en/royal-speeches/full-text-royal-speech-king-and-peoples-revolution-day [Diakses 14 Februari 2018].

[47] Mohammed VI, 2017. Royal Speech at 28th African Union Summit. [Online] Tersedia di: http://www.maroc.ma/en/royal-activities/full-speech-hm-king-28th-african-union-summit [Diakses 14 Februari 2018].

LAIN-LAIN: [48] World Statesmen, t.t. Western Sahara.

[Online] Tersedia di: http://www.worldstatesmen.org/Western_Sahara.html [Diakses 20 April 2018].