Upload
dangnga
View
249
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
EMBRIOGENESIS SOMATIK BAWANG MERAH
(Allium cepa var. aggregatum) KULTIVAR TIRON PADA
BEBERAPA KONSENTRASI 2,4 D DAN BAP
FAUZAN HIDAYATULLAH SEMENDAYA
A24144008
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Embriogenesis
Somatik Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum) Kultivar Tiron pada
Berbagai Konsentrasi 2,4 D dan BAP adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Fauzan H. Semendaya
NIM A24144008
ABSTRAK
FAUZAN H. SEMENDAYA. Embriogenesis Somatik Bawang Merah (Allium
cepa var. aggregatum) Kultivar Tiron pada Beberapa Konsentrasi 2,4 D dan BAP.
Dibimbing oleh DINY DINARTI dan MEGAYANI SRI RAHAYU
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi 2,4-D dan BAP
terbaik untuk menghasilkan kalus proembriogenik dan embrio somatik pada
bawang merah cv. Tiron. Penelitian di laksanakan pada bulan Februari-Juni 2016
di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.
Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap
teracak. Percobaan 1 (inisiasi kalus) disusun secara faktorial dengan faktor
pertama 2,4 D (0,5, 1,0, 1,5, 2,0) ppm dan faktor kedua BAP (0 dan 0,5) ppm.
Percobaan 2 (regenerasi kalus proembriogenik) terdiri atas satu faktor konsentrasi
BAP (0, 2,5, 5,0, 7,5, 10) ppm. Hasil penelitian pada percobaan pertama
menunjukkan bahwa konsentrasi BAP mempengaruhi persentase berkalus pada
(1 dan 3) MST. Hasil interaksi konsentrasi 2,4 D dan BAP menunjukkan bahwa
media terbaik untuk induksi kalus dan menghasilkan kalus proembriogenik
terbanyak adalah media dengan konsentrasi BAP 0 ppm dan 2,4 D 1,5 ppm. Hasil
percobaan 2 menunjukkan bahwa media regenerasi terbaik untuk menghasilkan
embrio somatik bawang merah kultivar Tiron adalah media dengan konsentrasi
BAP 5 ppm.
Kata kunci: embrio somatik, kalus proembriogenik, regenerasi
ABSTRACT
FAUZAN H. SEMENDAYA. Somatical Embryogenesis of Shallot (Allium cepa
var. aggregatum) Cultivar Tiron at Various Concentrations of 2,4 D dan BAP.
Supervised by DINY DINARTI and MEGAYANI SRI RAHAYU
This research aimed is to get the best combination of 2,4-D and BAP to
produce embryogenic callus and somatic embryos on shallot cv. Tiron. This study
was conducted on February-June 2016 at Tissue Culture Laboratory, Department
of Agronomy and Horticulture, IPB. This research consisted of two experiments
used a randomized complete block design. The first experiment (callus induction)
used factorial treatments with the first factor was the BAP (0 and 0.5) ppm and
the second factor was 2,4 D (0.5, 1.0, 1.5, 2.0) ppm. The second experiment
(regeneration of proembriogenic callus) used BAP concentrations (0, 2.5, 5.0,
7.5, 10) ppm. The first experiment resulted the concentration of BAP affected the
percentage of callus at 1 and 3 week after treatment (WAT). The interaction
between BAP and 2,4D consentrasion showed that the best medium for callus
induction and proembryogenic callus was medium with BAP 0 ppm and 2,4 D 1.5
ppm. Results of the second experiment showed that the best regeneration medium
to produced somatical embryos of shallot cultivar Trion was medium with BAP
consentration of 5 ppm.
Keywords: somatic embryos, proembryogenic callus, regeneration
ii
EMBRIOGENESIS SOMATIK BAWANG MERAH
(Allium cepa var. aggregatum) KULTIVAR TIRON PADA
BEBERAPA KONSENTRASI 2,4 D DAN BAP
FAUZAN HIDAYATULLAH SEMENDAYA
A24144008
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii
iii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agronomi
dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Judul skripsi yang disusun adalah
“Embriogenesis Somatik Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum) Kultivar
Tiron pada Berbagai Konsentrasi 2,4 D dan BAP” dapat diselesaikan dengan baik.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada
bulan Februari-Juni 2016.
. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Diny Dinarti, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran dalam penyelesaian usulan penelitian ini.
2. Ir. Megayani S. Rahayu, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran dalam menyelesaikan usulan penelitian ini.
3. Dr. Ir. Desta Wirnas, M.S. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam melaksanakan kegiatan akademik selama menempuh
pendidikan
4. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, M.S. selaku penguji skripsi yang telah memberikan
banyak sarann untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. Ir. Heni Purnamawati, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Agronomi dan
Hortikultura yang telah memberikan arahan dan nasihat selama menempuh
pendidikan.
6. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang
diberikan kepada penulis selama ini.
7. Rekan-rekan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB, dan rekan-rekan satu angkatan (Lotus AGH 49), atas dukungan
yang telah diberikan selama penulis menjalani kuliah dan melakukan penelitian
disana.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai acuan dalam melaksanakan
kegiatan penelitian serta semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2016
Fauzan H. Semendaya
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i DAFTAR TABEL ii DAFTAR GAMBAR ii DAFTAR LAMPIRAN ii PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Tujuan 2
Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA 2
Bawang Merah 2 Kultur In-Vitro 3 Embryogenesis 4
METODE PENELITIAN 5 Waktu dan Tempat 5 Bahan dan Alat 5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 5 Prosedur Percobaan 6 Pengamatan 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Sterilisasi Eksplan 7 Percobaan 1 Induksi Kalus 8 Percobaan 2 Regenerasi Kalus Proembriogenik 14
KESIMPULAN DAN SARAN 20 Kesimpulan 20 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 20 LAMPIRAN 23 RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL
1. Rekapitulasi hasil percobaan induksi kalus bawang merah cv. Tiron 8 2. Persentase berkalus bawang merah cv. Tiron pada 2 konsentrasi BAP
selama 3 MST. 10 3. Interaksi 2,4 D dan BAP pada 3 MST terhadap persentase berkalus
bawang merah cv Tiron. 10 4. Warna kalus bawang merah cv. Tiron pada media dengan berbagai
konsentrasi 2,4 D dan BAP. 11
5. Tekstur kalus bawang merah cv. Tiron dengan berbagai konsentrasi 2,4
D dan BAP pada 3 MST 12 6. Persentase kalus proembriogenik bawang merah cv. Tiron beberapa
konsentrasi 2,4 D dan BAP pada 3 MST. 13 7. Rekapitulasi regenerasi kalus proembriogenik bawang merah cv.
Tiron. 14 8. Persentase kalus bawang merah cv. Tiron yang beregenerasi pada
media dengan berbagai konsentrasi BAP. 14 9. Persentase kalus berakar dan jumlah akar bawang merah cv. Tiron
pada media dengan berbagai konsentrasi BAP. 15 10. Persentase kalus bertunas dan jumlah tunas bawang merah cv. Tiron
pada media regenerasi dengan berbagai konsentrasi BAP. 16 11. Persentase kalus membentuk embrio somatik dan jumlah embrio
somatik pada media regenerasi dengan berbagai konsentrasi BAP. 17
DAFTAR GAMBAR
1. Grafik waktu berkalus bawang merah cv. Tiron. 9 2. Tekstur kalus bawang merah cv. Tiron 12 3. Kalus proembriogenik bawang merah cv. Tiron. 13 4. Regenerasi kalus bawang merah cv. Tiron menjadi organ pada 8 MST
dengan perbesaran mikroskop 10x.1 17 5. Tahapan perkembangan embrio somatik bawang merah cv. Tiron 18 6. Penampang melintang dan membujur kecambah dari embrio somatik
bawang merah cv. Tiron 19
DAFTAR LAMPIRAN
1. Deskripsi varietas tanaman bawang merah cv. Tiron 25 2. Komposisi media Murashige dan Skoog (MS) 26
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah merupakan komoditas penting sehingga menjadi salah satu
prioritas dalam pengembangan sayuran di Indonesia. Bawang merah
dipergunakan sebagai bumbu yang belum dapat disubstitusi rempah lainnya dan
selalu ada pada hampir seluruh menu masakan Indonesia. Kebutuhan bawang
merah per kapita per tahun pada tahun 2015 mencapai 2,7 kg (BPS, 2016), dan
akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk.
Produktivitas bawang merah berfluktuasi dan pada tahun 2015 mencapai
10,07 ton Ha-1
(BPS, 2016). Produktivitas yang tinggi salah satunya ditunjang
oleh ketersediaan benih. Kebutuhan benih umbi bawang merah sekitar 1 ton Ha-1
.
Kebutuhan benih umbi bawang merah nasional mencapai 99.000 ton. Sampai saat
ini penyediaan benih bawang merah belum dapat dipenuhi penangkar. Menurut
Pangestuti dan Sulistyaningsih (2011), bawang merah selama ini dibudidayakan
dengan menggunakan benih yang berasal dari umbi yang masih lemah dalam
kualitas, penyediaan, pengelolaan, penyimpanan dan distribusinya. Penggunaan
umbi dari kultivar yang sama secara terus menerus akan menyebabkan kecilnya
peluang perbaikan sifat/kualitas sehingga daya saing bawang merah Indonesia
akan menurun.
Salah satu kultivar lokal bawang merah unggul dan sudah dirilis
Kementrian Pertanian adalah Tiron. Menurut Warintek Bantul (2015), bawang
merah kultivar Tiron berasal dari Bantul dengan potensi hasil sebesar 9-13 ton
Ha-1
. Bawang merah kultivar Tiron juga memiliki ketahanan terhadap penyakit
busuk ujung daun (Phytopthora porii) dan relatif tahan busuk umbi
(Botrytis alii) (Lampiran 1).
Teknik kultur in vitro dapat memproduksi benih secara massal dan bebas
dari penyakit. Kultur in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan, dan organ yang ditumbuhkan pada
kondisi aseptik, sehingga dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap
(Wattimena et al,. 2011). Proses regenerasi eksplan in vitro salah satunya dengan
embriogenesis. Menurut Finer (2006), embriogenesis adalah proses inisiasi dan
pengembangan embrio melalui empat tahap yaitu globular, heart, torpedo dan
kotiledon. Embrio yang terbentuk pada proses embriogenesis somatik merupakan
embrio yang berasal dari jaringan somatik. Perbanyakan tanaman dengan
embriogenesis somatik lebih menguntungkan karena dari kalus proembriogenik
yang terbentuk akan dihasilkan planlet tanpa melalui tahap induksi tunas dan
pengakaran, dan diperoleh planlet dalam jumlah masal.
Pemberian auksin dan sitokinin akan sangat berpengaruh pada proses
embriogenesis. Hasil penelitian embriogenesis somatik pada bawang merah
kultivar Bima Juna, Timor dan Kuning menunjukkan bahwa media dengan
penambahan 1,5 ppm 2,4-D memberikan hasil pembentukan kalus
proembriogenik terbaik (Dinarti et. al., 2007). Hasil penelitian lainnya
mennjukkan pada kultivar Sumenep persentase kultur membentuk kalus
proembriogenik mencapai 95% diperoleh pada media dengan 2,4-D 1,5 ppm dan
2
2,4-D 1,5 ppm + Kinetin 1 ppm (Hellyanto, 2008). Kalus proembriogenik
bawang merah dapat beregenerasi membentuk embrio somatik dengan
penambahan BAP atau Kin 10 ppm (Dinarti et al., 2007; Hellyanto, 2008).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mendapatkan kombinasi 2,4-D dan BAP terbaik
untuk menghasilkan kalus proembriogenik dan untuk mendapatkan konsentrasi
BAP terbaik dalam pembentukan embrio somatik pada bawang merah cv. Tiron.
Hipotesis
Percobaan I
1. Konsentrasi 2,4-D 1,5 ppm merupakan konsentrasi terbaik pada induksi kalus
proembriogenik bawang merah kultivar Tiron
2. Konsentrasi BAP 0,5 meningkatkan persentase kalus proembriogenik
3. Terdapat kombinasi 2,4 D dan BAP yang menghasilkan kalus
proembriogenik terbaik
Percobaan II
1. Terdapat konsentrasi BAP yang menginduksi embrio somatik terbaik pada
bawang merah kultivar Tiron
TINJAUAN PUSTAKA
Bawang Merah
Bawang merah (Allium cepa var. aggregatum) merupakan tanaman yang
berasal dari Asia Tengah dan mempunyai banyak kegunaan diantaranya sebagai
penyedap masakan dan obat tradisional. Bawang merah termasuk tanaman dwi
musim yang berumbi lapis, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 50 cm. Bawang
merah memiliki banyak nama daerah diantaranya brambangan (Jawa),
bhabangmera (Madura), lasuna mahamu (Minahasa), bawaroriha (Ternate), dan
jasun mirah (Bali) (Swasono, 2006).
Bawang merah dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi
dan secara generatif menggunakan biji. Perbanyakan dengan biji lebih murah
namun penyediaan biji bawang merah lebih sulit. Teknik in vitro merupakan cara
lain yang dapat menyediakan sejumlah bibit tanaman dalam waktu yang relatif
cepat, bebas dari patogen (jamur dan bakteri) atau virus, klonal dan tersedia tanpa
dipengaruhi musim (Dinarti et al., 2007).
Bawang merah yang ditanam di Indonesia terdiri dari beberapa kultivar,
salah satunya adalah Tiron. Menurut Warintek Bantul (2015), bawang merah
kultivar Tiron diambil dari nama seorang petani yang menemukan umbi bibit
bawang merah di pesisir wilayah Kretek Bantul. Bawang merah Tiron disukai
petani karena produksinya cukup tinggi, umur genjah 55 hari, tahan terhadap
penyakit busuk ujung daun (Phytophthora porii) dan cukup tahan penyakit busuk
3
umbi (Botrytis allii), serta memiliki potensi hasil sebesar 9-13 ton umbi basah per
hektar. Bawang merah cv. Tiron tumbuh dan berkembang dengan baik pada
ketinggian 0-100 m dari permukaan laut (mdpl). Bawang merah Tiron juga dapat
berproduksi tinggi di musim kemarau dan di musim hujan. Ukuran umbi bawang
merah kultivar ini relatif kecil sehingga menghemat penggunaan benih per satuan
luas.
Kultur In Vitro
Kultur jaringan awalnya berkembang dengan adanya teori totipotensi sel,
bahwa setiap sel, jaringan, dan organ mempunyai potensi untuk beregenerasi
menjadi tanaman lengkap. Tujuan perbanyakan mikro ini adalah untuk
memproduksi tanaman dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat khususnya
untuk varietas-varietas unggul baru yang dihasilkan (Wattimena et al., 2011).
Kultur jaringan menggunakan bahan tanam yang disebut dengan eksplan.
Eksplan merupakan faktor yang menentukan laju pertumbuhan dan mutu tanaman
yang diregenerasikan. Beberapa hal yang diperhatikan dalam pengambilan
eksplan adalah sumber eksplan, umur, dan perlakuan terhadap eksplan sebelum
dikulturkan. Hampir seluruh bagian tanaman dapat digunakan sebagai ekpslan,
tergantung dengan tujuan dan spesies tanaman yang dikulturkan
(Wattimena et al., 2011).
Menurut Yuwono (2008), bahwa terdapat lima komponen utama dalam
media in vitro, yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, suplemen
organik., dan zat pengatur tumbuh. Pemilihan media untuk kultur jaringan
tergantung pada spesies, jaringan atau organ yang akan digunakan, dan tujuan
dilakukan kultur jaringan (Wattimena et al., 2011). Media Murashige-Skoog (MS)
merupakan media yang telah digunakan secara luas dalam kultur in vitro untuk
berbagai tipe kultur jaringan dan berbagai spesies.
Zat pengatur tumbuh perlu ditambahkan dalam kultur in vitro untuk
mendukung pertumbuhan eksplan. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
adalah sitokinin dan auksin. Keduanya sering ditambahkan dalam perbandingan
konsentrasi tertentu yang interaksinya dapat mengendalikan pertumbuhan dan
diferensiasi (Wattimena et al., 2011).
Auksin digunakan untuk merangsang pertumbuhan kalus, perpanjangan
tunas dan pembentukan akar. Auksin pada konsentrasi rendah akan memacu akar
adventif sedangkan pada konsentrasi tinggi akan mendorong terbentuknya kalus
(Pierik, 1987). Auksin berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman,
seperti pembesaran sel, menghambat mata tunas samping, menghambat
pengguguran daun (absisi daun), aktivitas kambium, pertumbuhan akar,
pembungaan pada Bromeliaceae, pembentukan buah partenokarpi, pembentukan
bunga betina pada tanaman diocious, dominan apikal, dan respon tropisme
(Nurhasanah, 2009).
Salah satu jenis auksin adalah asam 2,4-diklorofenoksiasetat atau yang
dikenal dengan 2,4 D yang merupakan auksin sintetik. Aktivitas dari senyawa
2,4 D lebih tinggi jika dibandingkan dengan IAA yang menunjukan aktivitas yang
lebih rendah (Wattimena et al., 1992). Senyawa 2,4 D merupakan senyawa yang
dapat menginduksi pembelahan sel akan tetapi menekan diferensiasi sel pada
4
tanaman dikotil, dan juga diketahui 2,4 D efektif dalam menginduksi
embriogenesis somatik tanaman monokotil (Yuwono, 2008).
Sitokinin merupakan senyawa golongan adenin yang berperan penting
dalam pengaturan sel dan morfogenesis. Sitokinin pertama kali ditemukan adalah
kinetin yang diisolasi oleh Prof. Skoog dalam laboratorium botani di University of
Wisconsin (Gunawan, 1992). Salah satu jenis sitokinin yang sering digunakan
adalah 6-benzylaminopurine atau yang dikenal dengan BAP. Senyawa ini
banyak digunakan dalam kultur jaringan untuk induksi kalus, dan morfogenesis.
Senyawa ini lebih sering digunakan dibandingkan dengan kinetin untuk
multiplikasi tunas (Franklin dan Dixon, 2006).
Embriogenesis
Proses embriogenesis atau pembentukan embrio pada tanaman dapat
dibedakan menjadi dua tipe yaitu embriogenesis zigotik dan embriogenesis
somatik. Embriogenesis zigotik adalah proses pembentukan embrio dari zigot,
sedangkan embriogenesis somatik adalah proses perkembangan sel somatik
menjadi tanaman lengkap melalui karakteristik stadia pembentukan embrio tanpa
melalui peleburan sel gamet (Santos et al., 2006). Regenerasi melalui
embriogenesis somatik memberikan banyak keuntungan, yaitu waktu perbanyakan
lebih cepat, pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman lebih
cepat, dan jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya (Mariska 1996).
Embrio pada embriogenesis somatik sama seperti struktur yang dapat
berkembang menjadi tanaman utuh pada embrio zigotik, akan tetapi embrio
somatik terbentuk dari jaringan somatik. Embrio somatik dapat diproduksi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik langsung terjadi apabila
embrio langsung terbentuk dari eksplan yang dikulturkan. Ini terjadi pada sel-sel
yang menentukan proembriogenik, dimana sel-sel telah memasuki perkembangan
embrionik. Embrio somatik tidak langsung terjadi apabila embrio somatik
melewati pembentukan kalus terlebih dahulu, dimana eksplan yang dikulturkan
berkembang membentuk sel yang tidak teratur. Kalus ini bila disubkulturkan
berulang-ulang dengan mengganti media akan terjadi dua kemungkinan, yaitu sel
dapat berubah menjadi meristemoid yaitu kumpulan sel meristematik yang berisi
sel-sel parenkhim padat dengan nukleus yang sangat besar dan akan tumbuh terus
kemudian berdiferensiasi dan berkembang menjadi tunas akar adventif, atau sel-
sel kalus berubah bentuk menyerupai embrio yang dinamakan embrio somatik
(Ammirato, 1982; Yadav dan Yadav, 2011).
Pembentukan embrio somatik secara in vitro adalah pembentukan embrio
dari sel-sel non seksual yang dikulturkan. Eksplan diberi hormon dengan kadar
yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan normal dan teratur, terbentuk kalus atau
sel-sel yang tersuspensi dalam media kultur. Kalus atau sel-sel tersebut akan terus
berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak. Sel somatik pada
embriogenesis somatik akan dalam keaadaan tereduksi, sehingga akan
menghasilkan sel-sel embriogenik, kemudian mengalami serangkaian perubahan
morfologi dan biokimia dan akhirnya terbentuk embrio somatik (Hartman
et al., 1990; Jimenez, 2001). Embriogenesis dimulai dari tahap inisiasi, proliferasi,
maturasi, dan perkecambahan.
5
Media yang digunakan untuk proliferasi jaringan memegang peranan
penting untuk terjadinya embriogenesis. Embrio somatik dapat ditumbuhkan pada
media White hingga formulasi Gamborg, SH, B5, dan MS. Media MS banyak
digunakan sebagai media dasar dalam pembentukan kalus dan diferensiasi kalus
dengan penambahan hormon 2,4 D (Ammirato, 1982; Chen, 1990). Hasil
penelitian pada komoditas bawang merah menunjukkan aplikasi 2,4 D dengan
kosentrasi 1,5 ppm menunjukan kemampuan untuk membentuk embrio somatik
rata-rata 15,60, dan interaksi kultivar kuning tablet dengan dosis awal 2,4 D 1,5
ppm dan BAP 10 ppm menunjukan nilai rata-rata paling baik, dalam peubah
jumlah embrio somatik. Persentase kultur berkalus dan persentase bentuk embrio
globular mencapai 95% pada kultivar Bima Juna pada media [MS + 2,4 D
1,5 ppm]. Pada kultivar Sumenep presentase kultur membentuk kalus 95%
diperoleh pada media [MS + 2,4 D 1,5 ppm] dan [MS + 2,4 D 1,5 ppm + Kinetin
1 ppm] (Tiran, 2007; Hellyanto, 2008). Zat pengatur tumbuh sitokinin juga dapat
digunakan dalam embriogenesis somatik dengan fungsi membantu perkembangan
kotiledon dan pemasakan embrio somatik, dan diperlukan untuk pertumbuhan
embrio menjadi planlet (Ammirato, 1982). Tahap transisi dari proembrio menjadi
embrio somatik, maka kalus proembriogenik umumnya disubkultur pada media
tanpa zat pengatur tumbuh atau media yang mengandung sitokinin seperti BAP
tanpa auksin (Manil dan Sentil, 2011).
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2016 di
Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Bahan dan Alat
Bahan tanaman umbi bawang merah kultivar Tiron yang digunakan pada
percobaan I adalah eksplan tunas adventif dan kalus proembriogenik pada
percobaan II. Bahan lainnya yang digunakan antara lain media MS, zat pengatur
tumbuh 2.4-D, BAP, gula, aquadestilata, alkohol, spritus,fungisida dan
bakterisida. Alat-alat yang digunakan adalah karet gelang, plastik, tisu, hand
sprayer, botol kultur, cawan petri, pinset, skalpel, mata pisau, bunsen, autoclave,
laminar air flow cabinet, kertas`pH, ATK, kamera.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Percobaan 1. Induksi kalus proembriogenik
Percobaan pertama menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap
Teracak (RKLT) yang disusun secara faktorial. Faktor pertama yaitu 2,4 D terdiri
dari 4 taraf konsentrasi (0,5, 1,0, 1,5, dan 2,0 ppm ). Faktor kedua yaitu 2 taraf
konsentrasi BAP (0 dan 0,5 ppm). Terdapat 8 kombinasi perlakuan yang diulang 6
kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 4
6
botol kultur yang masing-masing ditanami satu eksplan sehingga terdapat 192
satuan amatan. Pengelompokan dilakukan berdasarkan perbedaan waktu tanam.
Data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) atau uji F,
apabila hasil uji F nyata ada pengaruh perlakuan, maka akan diuji lanjut dengan
Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Percobaan 2. Regenerasi kalus proembriogenik
Percobaan kedua menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
yang disusun dalam satu faktor. Percobaan terdiri dari 5 konsentrasi BAP (0, 2,5,
5, 7,5, 10 ppm) yang diulang sebanyak 6 kali sehingga terdapat 30 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 4 botol kultur yang berisi satu
clump kalus masing-masing berukuran 0,25 cm2, sehingga terdapat 120 satuan
amatan. Kalus yang disubkultur berasal dari media terbaik percobaan pertama.
Data dianalisis menggunakan ANOVA atau uji F, apabila hasil uji F perlakuan
berpengaruh nyata, maka akan diuji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range
Test (DMRT).
Prosedur Percobaan
Sterilisasi alat dan media
Cawan petri, botol kultur, pinset, gunting, scalpel, mata dan peralatan
lainnya disterilkan dengan autoclave pada suhu 121°C dengan tekanan 17,5 psi
selama 30 menit. Botol kultur berisi media perlakuan disterilisasi dengan
autoclave suhu 121°C dengan tekanan 17,5 psi selama 15 menit
Pembuatan Media
Larutan stok MS yang telah dibuat dipipet sejumlah volume yang sudah
ditentukan dan dimasukkan ke labu ukur. Larutan stok zat pengatur tumbuh
dipipet sesuai perlakuan. Gula 30 g L-1
ditimbang, dilarutkan dan dimasukkan ke
dalam labu ukur. Aquadestilata ditambahkan sampai garis tera pada labu ukur.
Kemasaman media ditentukan pada pH 5,6-5,8 diatur dengan menambahkan HCl
atau KOH 1M. Larutan media ditambahkan agar-agar sebanyak 8 g L-1
dan
dimasak sampai mendidih. Media yang sudah mendidih di tuang ke dalam botol
kultur steril, ditutup dengan plastik dan diikat karet gelang dan diberi label
perlakuan.
Sterilisasi bahan tanaman
Umbi bawang merah dikupas bagian kulit terluarnya dan dibersihkan
bagian basalnya, dicuci bersih dan direndam dalam larutan fungisida dan
bakterisida masing–masing 2 g L-1
selama 12 jam. Umbi dibilas dengan
aquadestilata dan direndam dalam larutan NaClO 1,05 % selama 15 menit dan
NaClO 0,525 % selama 20 menit.. Umbi dikupas sampai diperoleh ukuran tunas
adventif 3-5 mm. Tunas direndam dalam larutan NaClO 0,2625% selama 5
menit. Eksplan ditanam pada media tanpa zat pengatur tumbuh dan diinkubasi
selama satu minggu.
7
Induksi kalus
Eksplan tunas adventif yang bebas dari kontaminan dan tumbuh
disubkultur ke media perlakuan pada percobaan 1. Setiap botol kultur ditanam
satu tunas adventif steril. Kultur diletakkan di rak kultur tanpa pencahayaan
(ruang gelap) selama 3 minggu.
Induksi Embrio Somatik
Kalus proembriogenik yang dihasilkan dari media terbaik pada 3 MST
selanjutnya disubkultur ke media regenerasi. Kalus berukuran 0,25 cm2
disubkultur ke media regenerasi yang mengandung BAP. Setiap botol kultur
ditanam 1 clump kalus. Kultur diletakkan di ruang kultur dengan intensitas cahaya
600-1.000 lux selama 24 jam pada suhu ruangan kultur 23 oC. Kultur diinkubasi
selama 8 minggu setelah subkultur.
Pengamatan
Peubah yang diamati setiap hari selama 3 minggu pada percobaan I yaitu :
jumlah eskplan hidup dan steril, hari munculnya kalus, jumlah eksplan berkalus,
warna kalus, tekstur kalus (remah atau kompak), dan jumlah kalus yang
embriogenik. Peubah yang diamati setiap minggu selama 8 minggu pada
percobaan II yaitu: jumlah kalus yang beregenerasi, jumlah kalus berakar, jumlah
kalus bertunas, jumlah kalus membentuk embrio somatik, jumlah tunas, jumlah
akar, jumlah embrio somatic dan histologi embrio somatik.
Pengamatan kalus dan embrio soamtik dibantu dengan menggunakan
mikroskop stereo dengan perbesaran 10x1 sampai 10x2 untuk melihat dengan
jelas keragaannya. Pengamatan histologi embrio somatik dilakukan menggunakan
mikroskop binokuler dengen perbesaran 10x40.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sterilisasi Eksplan
Komposisi media tumbuh yang diberikan agar eksplan dapat berkembang
juga merupakan situasi yang menguntungkan bagi sumber kontaminan seperti
cendawan dan bakteri. Mikroorganisme yang mengontaminasi media kultur akan
dapat berkembang dengan pesat dan akan menyerang eksplan melalui luka-luka
yang terjadi pada saat pemotongan yang dapat mengakibatkan kematian eksplan.
Sumber kontaminasi yang paling sulit ditangani adalah yang berasal dari ekplan
itu sendiri (Zulkarnain, 2014). Eksplan bawang merah yang berasal dari umbi
akan menyebabkan tingginya kemungkinan sumber kontaminan dari eksplan
Ekplan bawang merah berupa tunas yang telah disterilisasi ditanam terlebih
dahulu pada media tanpa ZPT (MS0) sebelum ditanam pada media perlakuan.
Hasil sterilisasi terlihat bahwa 90% eksplan steril, akan tetapi didapatkan pula
bahwa hanya rata-rata 60% ekplan yang mampu hidup. Eksplan hidup jika
8
eksplan mampu tumbuh dan mengeluarkan tunas berwarna hijau setelah
diinkubasi selama satu minggu. .
Penggunaan NaClO 0,2625% selama 5 menit pada tahap akhir sterilisasi
menyebabkan banyaknya eksplan yang streril akan tetapi tidak mampu hidup.
Menurut Zulkarnain (2014), Natrium hypocloride (NaClO) merupakan bahan
yang sering digunakan dalam sterilisasi eksplan karena sangat efektif sebagai
disinfektan, akan tetapi juga dapat menyebabkan matinya jaringan pada eksplan.
Natrium hypocloride juga dapat meracuni tanaman, sehingga konsentrasi dan
lamanya perlakuan harus diperhatikan untuk mengurangi resiko kematian
jaringan. Ekplan yang berukuran kecil akan sangat rentan mati ketika disterilisasi
dengan larutan NaClO. Ukuran eksplan yang kecil akan meminimalkan
kontaminasi dan peluang variasi genetik akan lebih kecil, akan tetapi
memperbesar kemungkinan kerusakan selama penanganan kultur dan kegagalan
selama fase awal kultur.
Percobaan 1 Induksi Kalus
Kalus diinduksi menggunakan media dengan beberapa taraf konsentrasi 2,4
D dan BAP. Inisiasi kalus dilakukan selama 3 minggu di ruangan gelap.
Berdasarkan hasil analisis ragam menggunakan uji F, perlakuan tidak memberikan
respon yang nyata terhadap waktu berkalus. Konsentrasi BAP mempengaruhi
persentase berkalus pada 1 dan 3 MST. Interaksi antara zat pengatur tumbuh 2,4
D dan BAP terjadi pada peubah pengamatan persentase berkalus dan persentase
kalus proembriogenik pada 3 MST (Tabel 1).
Tabel 1. Rekapitulasi hasil percobaan induksi kalus bawang merah cv. Tiron
Peubah pengamatan BAP 2,4 D Interaksi % KK
Waktu berkalus tn tn tn 26,64
Persentas berkalus (1 MST)t * tn tn 28,39
Persentase berkalus (2 MST)t tn tn tn 26,68
Persentase berkalus (3 MST) * tn * 17,35
% Kalus proembriogenikt tn tn * 25,83
Keterangan: tn= perlakuan tidak berpengaruh nyata; *= perlakuan berpengaruh
nyata; t= data di trasformasi menggunakan tranformasi akar kuadrat
Waktu Berkalus
Kalus mulai bisa diamati pada 7 HSP (hari setelah perlakuan). Hasil uji F
pada parameter waktu berkalus diketahui bahwa konsentrasi 2,4 D dan BAP tidak
mempengaruhi waktu terbentuknya kalus (Tabel 1). Nilai rataan waktu berkalus
paling cepat adalah 9 hari pada media dengan konsentrasi BAP 0 ppm dan 2,4 D
1,5 ppm (Gambar 1). Hellyanto (2008), melaporkan hasil penelitiannya bahwa
waktu berkalus bawang merah kultivar Bima Juna tercepat yaitu 4,3 hari pada
media MS + 2,4D 1,5 ppm, dan waktu berkalus kultivar Sumenep tercepat yaitu
5,85 hari pada media MS + 2,4 D 1,5 ppm + BA 0,5 ppm. Dinarti et. al. (2007)
menyatakan bahwa rataan waktu berkalus untuk kultivar Bima Juna adalah 8,4
hari, kultival Kuning Tablet selama 10,6 hari dan kultival Timor selama 10,7 hari.
9
Setiap kombinasi ZPT yang diujikan dapat menginduksi kalus dengan
waktu yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya
penambahan BAP ataupun tanpa penambahan BAP, hari terbentuknya kalus tidak
berbeda. Menurut Franklin dan Dixon (2006), BAP merupakan sitokinin yang
sering digunakan dalam multiplikasi dan juga inisiasi kalus, akan tetapi lebih
sering digunakan pada multiplikasi tunas dibandingkan dengan Kinetin.
Berdasarkan hasil penelitian Hellyanto (2008), penambahan sitokinin (benzil
adenin dan kinetin) dan tanpa penambahan sitokinin, tidak berpengaruh nyata
terhadap hari terbentuknya kalus pada bawang merah varietas Bima Juna dan
Sumenep.
Persentase Berkalus
Pemberian sitokinin berupa BAP pada media menunjukkan perbedaan
yang nyata dibandingkan dengan tanpa pemberian BAP terhadap persentase
berkalus. Hasil analisis lanjut menggunakan metode DMRT pada 1 MST dan 3
MST, media tanpa BAP nyata menunjukkan pembentukan kalus yang lebih baik.
Persentase pembentukan kalus pada media yang mengandung BAP memiliki nilai
rata-rata yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase berkalus
pada media tanpa BAP atau 0 ppm BAP. Rata-rata hasil persentase pembentukan
kalus pada media tanpa BAP selama 3 MST mampu terbentuk sebanyak 64,59%.
Hal ini berarti bahwa penambahan BAP sebanyak 0,5 ppm menurunkan
kemampuan inisiasi kalus bawang merah cv. Tiron (Tabel 2). Lizawati et. al.,
(2012), melaporkan bahwa persentase eksplan daun durian berkalus paling tinggi
diperoleh pada perlakuan tanpa BAP dan 2,4-D 5 ppm.
0
2
4
6
8
10
12
14
16w
aktu
ber
kalu
s (h
ari)
Perlakuan
BAP 0 ppm + 2,4 D 0,5 ppm
BAP 0 ppm + 2,4 D 1,0 ppm
BAP 0 ppm + 2,4 D 1,5 ppm
BAP 0 ppm + 2,4 D 2,0 ppm
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 0,5 ppm
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 1,0 ppm
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 1,5 ppm
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 2,0 ppm
Gambar 1. Grafik waktu berkalus bawang merah cv. Tiron.
10
Tabel 2. Persentase berkalus bawang merah cv. Tiron pada 2 konsentrasi BAP
selama 3 MST.
BAP
(ppm)
MST
1 2 3
-----------------------------------------%-----------------------------------------
0 22,92a 51,04 64,59a
0,5 19,79b 54,17 52,09b Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan hasil DMRT pada taraf 5%
Perlakuan konsentrasi 2,4 D menunjukkan respon yang sebaliknya dengan
perlakuan konsentrasi BAP. Konsentrasi 2,4 D tidak mempengaruhi secara
tunggal persentase pembentukan kalus pada bawang merah cv. Tiron. Rata-rata
persentase eksplan berkalus pada media dengan 2,4 D secara tunggal adalah
berkisar antara 52,1 - 62,5%.
Nilai rata-rata persentase pembentukan kalus pada media dengan 2.4 D 1,5
ppm dan BAP 0 ppm merupakan yang terbesar mencapai 79,17% pada minggu
ke-3 setelah perlakuan (Tabel 3). Interaksi 2,4 D dan BAP memberikan nilai rata-
rata tertinggi yang lebih besar dibandingkan dengan pengaruh 2,4 D dan BAP
secara tunggal. Nilai rata-rata parameter pengamatan waktu berkalus pada
kombinasi media 2,4 D 1,5 ppm dan tanpa BAP juga menunjukkan pembentukan
kalus yang lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi media ini
merupakan kombinasi terbaik dibandingkan kombinasi media lainnya dalam
pembentukan kalus bawang merah cv. Tiron. Berdasarkan hasil penelitian
Hellyanto (2008), kalus bawang merah cv. Sumenep paling optimal terbentuk
sebesar 95% pada media MS + 2,4 D 1,5 ppm dan media MS + 2,4 D 1,5 ppm +
Kinetin 1 ppm. Kalus bawang merah pada cv. Bima Juna sebanyak 95% terbentuk
pada media MS + 2,4 D 1,5 ppm + Kinetin 1 ppm. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Devy dan Hardiyanto (2009), bahwa kemampuan membentuk kalus
bergantung pada karakteristik individu eksplan.
Tabel 3. Interaksi 2,4 D dan BAP pada 3 MST terhadap persentase berkalus
bawang merah cv Tiron.
BAP
(ppm)
2,4 D (ppm)
0,5 1 1,5 2
----------------------------------%---------------------------------
0 62,5ab 66,67ab 79,17a 50b
0,5 62,5ab 50b 41,67b 54,17b Keterangan: Angaka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan hasil DMRT pada taraf 5%
Pembentukan kalus dipengaruhi beberapa faktor antara lain genotip
tanaman, jenis eksplan, jenis media dan zat pengatur tumbuh serta umur eksplan.
Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media kultur merupakan senyawa
penting dalam pembentukan kalus. Konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam setiap
tanaman bervariasi dan bahkan dapat bergantung pada sumber eksplan yang
digunakan atau genotipe individu tanaman, umur dan status nutrisinya (Smith,
2006).
11
Warna Kalus
Warna kalus diamati secara visual dengan skor pengamatan putih, putih
kekuningan, putih kehijauan, putih kecoklatan, dan coklat. Warna pada kalus
menunjukkan pigmen yang terdapat pada kalus. Kalus yang terbentuk pada
1 MST 100% berwarna putih dan berubah seiring umur terbentuknya kalus
(Tabel 4).
Tabel 4. Warna kalus bawang merah cv. Tiron pada media dengan berbagai
konsentrasi 2,4 D dan BAP.
Kombinasi
media
MST
1 2 3
BAP 0 ppm +
2,4 D 0,5 ppm Putih Putih Putih
BAP 0 ppm +
2,4 D 1 ppm Putih Putih Putih
BAP 0 ppm +
2,4 D 1,5 ppm Putih putih, putih kekuningan putih, putih kekuningan
BAP 0 ppm +
2,4 D 2 ppm Putih putih, putih kekuningan putih, putih kekuningan
BAP 0,5 ppm +
2,4 D 0,5 ppm Putih Putih putih, putih kekuningan
BAP 0,5 ppm +
2,4 D 1 ppm Putih Putih Putih
BAP 0,5 ppm +
2,4 D 1,5 ppm Putih putih, putih kekuningan putih, putih kekuningan
BAP 0,5 ppm +
2,4 D 2 ppm Putih Putih putih, putih kekuningan
Berdasarkan hasil pengamatan warna kalus menunjukkan bahwa warna
kalus yang terbentuk selama 3 MST antara putih sampai dengan putih
kekuningan. Kalus akan berwarna putih pada saat pertama kali terbentuk. Kalus
pada minggu ke-2 setelah perlakuan mulai mengalami perubahan warna menjadi
putih kekuningan. Kalus yang menunjukkan warna putih kekuningan hanya
16,67% saja dari setiap kombinasi perlakuan, dan sisanya menunjukkan warna
putih ataupun berubah menjadi warna cokelat. Menurut Paterson dan Smith
(1991), perbedaan warna kalus yang terjadi dapat dipengaruhi oleh adanya
perbedaan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada media. Kalus proembriogenik
dicirikan dengan adanya perubahan warna menjadi putih kekuningan dan
mengkilat.
Proses perubahan warna kalus menunjukkan adanya perubahan warna
menjadi warna coklat. Perubahan warna menjadi lebih kecoklatan dikarenakan
metabolisme senyawa fenol yang bersifat toksik, semakin bertambahnya umur sel
atau jaringan kalus, maka warna kalus akan semakin gelap dan menyebabkan
pertumbuhan ekplan terhambat serta matinya jaringan eksplan (Lizawati, 2012b;
Sugiyarto dan Kuswandi, 2014)
12
Tekstur Kalus
Tekstur kalus yang terbentuk pada bawang merah cv. Tiron adalah remah
dan kompak. Kalus bertekstur remah memiliki ciri-ciri kalus yang berupa butiran-
butiran halus dan mudah terpisahkan satu sama lain, sedangkan kalus bertekstur
kompak dicirikan oleh kalus dengan bentuk seperti gumpalan yang padat dan sulit
untuk dipisahkan (Gambar 2).
(a) Kalus bertekstur remah
(b) Kalus bertekstur kompak
Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa kalus yang terbentuk
pada 3 MST didominasi oleh kalus kompak. Kalus bertekstur remah paling
banyak didapatkan sebanyak 20% pada media dengan BAP 0,5 ppm dan 2,4 D 1
ppm. Kalus bertekstur kompak sebanyak 100% didapatkan pada perlakuan BAP 0
ppm + 2,4 D 1 ppm, BAP 0 ppm + 2,4 D 1,5 ppm, BAP 0 ppm + 2,4 D 2 ppm,
dan BAP 0,5 ppm + 2,4 D 2 ppm (Tabel 5).
Tabel 5. Tekstur kalus bawang merah cv. Tiron dengan berbagai konsentrasi 2,4
D dan BAP pada 3 MST
Perlakuan Tekstur kalus
BAP 0 ppm + 2,4 D 0,5 ppm 16,7% remah dan 83,3% kompak
BAP 0 ppm + 2,4 D 1,0 ppm 100% kompak
BAP 0 ppm + 2,4 D 1,5 ppm 100% kompak
BAP 0 ppm + 2,4 D 2,0 ppm 100% kompak
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 0,5 ppm 16,7% remah dan 83,3% kompak
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 1,0 ppm 20% remah dan 80% kompak
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 1,5 ppm 16,7% remah dan 83,3% kompak
BAP 0,5 ppm + 2,4 D 2,0 ppm 100% kompak
Hasil pengamatan inisisasi kalus pada eksplan kacang tanah menunjukan
hasil bahwa kalus yang terbentuk memiliki tekstur kompak pada seluruh
perlakuan konsentrasi 2,4 D (1,0, 1,5, 2,0, 2,5, 3,0, dan 3,5) ppm (Bustami, 2011).
Kalus pada beberapa eksplan awalnya terbentuk memiliki tekstur yang remah
kemudian menjadi kompak pada minggu berikutnya. Kalus yang langsung
terbentuk dengan tekstur kompak, diduga karena fase remah yang terbentuk tidak
terlihat secara visual dikarenakan ukuran eksplan yang kecil. Menurut Hellyanto
(2008), kalus yang terbentuk pada bawang merah kultivar Bima Juna dan
Gambar 2. Tekstur kalus bawang merah cv. Tiron
(a) (b)
3 mm 2 mm
13
Sumenep menunjukkan kecendrungan tekstur kalus remah akan menjadi kompak
seiring dengan lamanya waktu inisiasi.
Persentase Kalus Proembriogenik
Embrio somatik akan terbentuk dari kalus yang memiliki sifat
embriogenik yaitu kalus yang membentuk nodul-nodul dan berwarna putih sampai
putih kekuningan (Paterson dan Smith, 1991) (Gambar 3). Persentase
pembentukan kalus proembriogenik pada media dengan penambahan berbagai
konsentrasi 2,4 D dan BAP menunjukkan berpengaruh nyata pada 3 MST (Tabel
1). Konsentrasi 2,4 D 1,5 ppm dan BAP 0 ppm pada 3 MST menunjukkan hasil
yang nyata lebih tinggi pembentukan kalus proembriogenik sebesar 25% (Tabel
6). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin 2,4 D 1,5 ppm dan tanpa
disertai dengan penambahan BAP dapat menginduksi kalus proembriogenik yang
optimal pada cv. Tiron. Menurut hasil penelitian Lizawati (2012a) pada tanaman
jarak pagar, secara umum pemberian auksin pada media padat tanpa disertai
dengan pemberian sitokinin akan meningkatkan induksi kalus proembriogenik,
dan penambahan auksin disertai juga dengan penambahan sitokinin pada media
padat akan meningkatkan proliferasi kalus proembriogenik.
Tabel 6. Persentase kalus proembriogenik bawang merah cv. Tiron beberapa
konsentrasi 2,4 D dan BAP pada 3 MST.
BAP
(ppm)
2,4 D (ppm)
0,5 1 1,5 2
0 16,67ab 4,17b 25a 4,17b
0,5 4,17b 4,17b 8,33ab 20,83ab Keterangan: Angaka pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan hasil DMRT pada taraf 5%
Hasil percobaan menunjukkan pembentukan kalus paling besar 25% dari
seluruh kalus yang diinisiasi pada 8 kombinasi media. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak semua kalus yang diinisiasi akan menjadi kalus proembriogenik.
Pembentukan kalus proembriogenik tidak terjadi pada seluruh jaringan ekplan
yang membentuk kalus, hanya sebagian dari basal ekplan yang membentuk kalus
dan menjadi kalus proembriogenik. Kalus merupakan suatu kumpulan sel
amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus
menerus, sehingga tidak semua sel pada eksplan berkontribusi dalam pembetukan
kalus, dan tidak semua sel kalus dapat beregenerasi menjadi struktur organ
( Gunawan, 1992; Smith, 2006).
(a) Eksplan yang membentuk kalus proembriogenik (b) Eksplan yang membentuk kalus non embriogenik
Gambar 3. Kalus proembriogenik bawang merah cv. Tiron.
(a) (b)
3 mm 2 mm 1 mm
14
Percobaan 2 Regenerasi Kalus Proembriogenik
Regenerasi kalus dilakukan pada kalus proembriogenik yang terbentuk
pada percobaan sebelumnya, sehingga ekplan yang digunakan pada percobaan ini
berasal dari perlakuan yang berbeda pada percobaan sebelumnya. Regenerasi
kalus proembriogenik menunujukkan hasil bahwa secara umum perlakuan BAP
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, kecuali pada parameter jumlah akar
pada 6-8 MST yang menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 7). Pemberian
BAP 10 ppm pada bawang merah menghasilkan rata-rata paling baik terhadap
peubah jumlah embrio somatik sekunder (Dinarti et al., 2007) dan pemberian
BAP 1 ppm pada tanaman cendana mampu menghasilkan embrio somatik sebesar
63,6% (Sukmadjaja, 2005).
Tabel 7. Rekapitulasi regenerasi kalus proembriogenik bawang merah cv. Tiron.
Parameter pengamatan MST
1 2 3 4 5 6 7 8
Persen kalus beregenerasit tn tn tn tn tn tn tn tn
Persen kalus berakar tn tn tn * * * * *
Waktu berakart tn tn tn tn tn tn tn tn
Jumlah akar tn tn tn tn tn tn tn tn
Persen kalus bertunast tn tn tn tn tn tn tn tn
Waktu bertunas tn tn tn tn tn tn tn tn
Jumlah tunast tn tn tn tn tn tn tn tn
Persen kalus membentuk embrio somatikt tn tn tn tn tn tn tn tn
Waktu terbentuk embrio somatikt tn tn tn tn tn tn tn tn
Jumlah embrio somatikt tn tn tn tn tn tn tn tn
Keterangan: tn= perlakuan tidak berpengaruh nyata; *=perlakuan berpengaruh nyata,
t= data di transformasi menggunakan tranformasi akar kuadrat
Persentase Kalus Beregenerasi
Sel secara umum memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi. Arah
diferensiasi kemampuan totipotensi sel bergantung pada beberapa hal, yaitu
eksplan, komposisi media, zat pengatur tumbuh, cahaya, suhu, dan kelembapan.
Kalus pada medium regenerasi akan berdiferensiasi menjadi embrio somatik,
akar, dan tunas (Gunawan, 1992; Zulkarnain, 2014). Kalus yang berhasil
beregenerasi pada media dengan berbagai taraf BAP pada 1 MST sampai dengan
8 MST adalah antara 7,50% sampai 31,94%. (Tabel 8).
Tabel 8. Persentase kalus bawang merah cv. Tiron yang beregenerasi pada media
dengan berbagai konsentrasi BAP.
BAP
(ppm) MST
1 2 3 4 5 6 7 8
----------------------------------------------%----------------------------------------
0 7,50 16,39 16,39 21,94 21,94 21,94 27,50 27,50
2,5 21,94 21,94 21,94 21,94 21,94 21,94 21,94 21,94
5 15,28 22,78 22,78 31,94 31,94 31,94 31,94 31,94
7,5 26,11 30,28 30,28 30,28 30,28 30,28 30,28 30,28
10 19,72 19,72 19,72 25,28 25,28 25,28 25,28 25,28
Hasil pengamatan persentase kalus beregenerasi menunjukkan bahwa
respon kalus terhadap perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata pada setiap
15
minggunya. Hal ini berarti bahwa BAP memberikan respon yang kurang optimal
dalam proses regenerasi kalus bawang merah cv. Tiron. Menurut Zulkarnain
(2014), zat pengatur tumbuh akan memberikan respon yang berbeda-beda antar
genus, spesies, dan bahkan kultivar.
Pembentukan Akar
Persentase kalus berakar dipengaruhi secara nyata oleh pemberian BAP
pada 4-8 MST. Persentase kalus berakar paling besar didapatkan pada konsentrasi
BAP 0 ppm. Konsentrasi BAP tidak mempengaruhi jumlah akar yang terbentuk
selama 8 MST (Tabel 9 ).
Tabel 9. Persentase kalus berakar dan jumlah akar bawang merah cv. Tiron pada
media dengan berbagai konsentrasi BAP.
BAP
(ppm)
MST
1 2 3 4 5 6 7 8
Persentase kalus berakar (%)
0 7,50 12,22 12,22 17,78a 17,78a 17,78a 17,78a 17,78a
2,5 0,00 0,00 0,00 0,00b 0,00b 0,00b 0,00b 0,00b
5 0,00 0,00 0,00 0,00b 0,00b 0,00b 0,00b 0,00b
7,5 0,00 0,00 0,00 0,00b 0,00b 0,00b 0,00b 0,00b
10 6,67 6,67 6,67 6,67ab 6,67ab 6,67ab 6,67ab 6,67ab
Nilai KK 28,99 28,56 28,56 28,99 28,99 28,99 28,99 28,99
Jumlah akar
0 0,50 0,92 2,00 2,50 3,25 3,42 3,67 3,75
2,5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
7,5 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
10 0,33 0,33 0,42 0,42 0,42 0,42 0,50 0,50
Nilai KK 18,66 22,86 19,35 21,08 23,67 24,71 26,30 26,82
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa BAP menghambat kalus untuk
beregenerasi menjadi organ akar. Persentase kalus berakar memiliki pengaruh
yang nyata mulai pada 4 MST dan nilainya tetap sampai 8 MST. Zulkarnain
(2014), menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh sitokinin akan menghambat
pembentukan akar, menghalangi pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh
auksin dalam inisiasi akar, sehingga biasanya sitokinin tidak digunakan dalam
media inisiasi akar.
Pembentukan akar juga terjadi pada media yang mengandung BAP 10
ppm sebanyak 6,67%. Pembentukan akar ini dimungkinkan terjadi karena
pengaruh dari media perlakuan pada percobaan sebelumnya. Eksplan kalus yang
digunakan pada percobaan 2 berasal dari hasil inisiasi kalus pada percobaan
16
sebelumnya, sehingga dimungkinkan adanya residu dari 2,4 D yang digunakan
pada percobaan sebelumnya.
Pembentukan Tunas
Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan penambahan BAP pada media
regenerasi kalus tidak ada yang berpengaruh nyata terhadap parameter
pembentukan tunas. Jumlah tunas yang terbentuk pada 8 MST paling banyak
sebesar 0,33 tunas (Tabel 10).
Tabel 10. Persentase kalus bertunas dan jumlah tunas bawang merah cv. Tiron
pada media regenerasi dengan berbagai konsentrasi BAP.
BAP
(ppm)
MST
1 2 3 4 5 6 7 8
Persentase kalus bertunas (%)
0 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17 8,33 8,33 8,33
2,5 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67 6,67
5 0,00 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17
7,5 0,00 0,00 0,00 7,50 7,50 7,50 7,50 7,50
10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3,33 3,33 3,33
Nilai KK (%) 23,23 26,75 26,75 29,12 29,12 29,21 29,21 29,21
Jumlah tunas
0 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,33 0,33 0,33
2,5 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
5 0,00 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
7,5 0,00 0,00 0,00 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,17 0,17 0,17
Nilai KK (%) 10,66 13,19 13,19 15,36 15,36 16,81 16,81 16,81
Sebagian kalus dapat beregenerasi menjadi organ tunas pada setiap
perlakuan BAP yang diberikan, akan tetapi persentase pembentukannya sangat
rendah. Pembentukan tunas paling besar hanya sekitar 8,33% pada 6 minggu
setelah dipindahkan ke media regenerasi. Jumlah tunas hasil regenerasi yang
terbentuk untuk setiap konsentrasi BAP juga menunjukkan hasil yang sangat
rendah dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan antar perlakuan.
Kalus yang beregenereasi dinyatakan sebagai tunas apabila menunjukkan
ciri terbentuknya organ dengan bentuk kerucut atau lonjong dengan semburat
warna hijau, sedangkan akar akan memiliki bentuk yang lurus dengan ukuran
cukup panjang dengan warna putih dan terkadang memiliki serabut akar
(Gambar 4).
17
(a) Kalus beregenerai menjadi tunas
(b) Kalus beregenerasi menjadi akar
Pembentukan Embrio Somatik
Embriogenesis merupakan suatu teknik yang menjanjikan dalam
perbanyakan tanaman secara massal dan cepat. Embrio-embrio dapat terbentuk
langsung pada permukaan eksplan ataupun melalui regenerasi dari kalus
(Zulkarnain, 2014). Media regenerasi dengan beberapa konsentrasi BAP
memberikan hasil yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap persentase kalus
membentuk embrio somatik dan jumlah embrio somatik. Persentase kalus yang
membentuk embrio somatik paling besar adalah pada media dengan BAP 5 ppm
yaitu 26,11% dan yang paling rendah pada BAP 0 ppm sebesar 8,33% (Tabel 10).
Rata-rata jumlah embrio somatik yang terbentuk menunjukkan bahwa media
tanpa BAP memberikan hasil yang lebih rendah.
Tabel 11. Persentase kalus membentuk embrio somatik dan jumlah embrio
somatik pada media regenerasi dengan berbagai konsentrasi BAP.
BAP MST
1 2 3 4 5 6 7 8
Persentase kalus membentuk embrio somatik (%)
0 4,17 4,17 4,17 4,17 4,17 8,33 8,33 8,33
2,5 16,39 17,78 17,78 17,78 17,78 17,78 17,78 17,78
5 26,94 22,78 22,78 22,78 26,11 26,11 26,11 26,11
7,5 17,22 26,94 18,61 18,61 22,78 22,78 22,78 22,78
10 15,28 25,28 15,28 15,28 15,28 18,61 18,61 18,61
Nilai KK (%) 29,09 28,28 25,95 25,95 26,67 27,12 27,12 27,12
Jumlah embio somatik
0 1,00 1,00 2,00 3,00 3,17 3,17 3,17 3,17
2,5 6,25 7,00 9,67 10,25 10,58 11,33 12,17 12,67
5 2,25 3,17 8,08 9,08 10,75 11,17 11,92 12,17
7,5 2,67 3,50 7,08 7,08 8,33 8,33 8,33 8,75
10 5,11 5,38 7,17 9,17 9,83 10,25 10,50 10,83
Nilai KK (%) 28,63 25,65 29,10 27,46 26,08 28,27 28,29 28,63
Gambar 4. Regenerasi kalus bawang merah cv. Tiron menjadi organ pada 8 MST
dengan perbesaran mikroskop 10x1.
(a)
(b)
5 mm 5 mm
(a)
18
Jumlah embrio somatik yang terbentuk pada konsentrasi BAP 2,5 dan 5
ppm menunjukkan respon yang berbeda dengan hasil persentase kalus membentuk
embrio somatik. Persentase kalus membentuk embrio menunjukkan bahwa
konsentrasi BAP 5 ppm memberikan hasil yang lebih tinggi, sedangkan hasil
jumlah embrio somatik yang terbentuk menunjukkan bahwa konsentrasi BAP 2,5
ppm membentuk embrio lebih banyak. Hasil perkalian antara persentase kalus
yang membentuk embrio dengan jumlah embrio somatik yang terbentuk
memberikan hasil yang lebih tinggi pada konsentrasi BAP 5 ppm sebesar 3,18,
sedangkan pada konsentrasi BAP 2,5 ppm sebesar 2,25.
Keberhasilan dalam pembentukan embrio somatik sangat dipengarui oleh
faktor formulasi media yang berbeda pada setiap tahap perkembangan embrio
somatik serta jenis eksplan yang digunakan (Sukmadjaja, 2005). Hasil penelitian
Hellyanto (2008), perlakuan eksplan embrio globular Kultivar Bima Juna yang
dipindah ke media [MS+2,4 D 1,5 ppm + Kinetin 1 ppm] terbentuk 40% embrio
dengan tahapan yang lengkap, sedangkan pada kultivar Sumenep rata-rata 67,5 %
embrio terbentuk pada eksplan embrio globular yang dipindah ke media [MS+BA
10 ppm]. Menurut Zulkarnain (2014), respon eksplan terhadap zat pengatur
tumbuh akan berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisiologis ekplan. Keragaman
yang terjadi bisa sangat tinggi antar genus, antar spesies, bahkan antar kultivar.
Konsentrasi BAP 0 ppm mampu menghasilkan embrio somatik, tetapi
persentase dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pada media yang
mengandung BAP. Embrio somatik pada konsentrasi 0 ppm juga tidak ditemukan
adanya perkembangan embrio membentuk embrio dewasa. Menurut Yelnititis
(2013), pertumbuhan embrio somatik merupakan hasil dari aktifitas sitokinin pada
saat diferensiasi sel-sel kalus. Hasil penelitian Rohani et. al. (2012), pada eksplan
daun manggis yang diregenerasikan pada media tanpa sitokinin jenis kinetin, tidak
dapat menghasilkan embrio somatik.
Rendahnya hasil pembentukan embrio somatik pada penelitian ini sejalan
dengan rendahnya persentase kalus yang terbentuk dan rendahnya pembentukan
kalus proembriogenik. Hal ini disebabkan karena ukuran ekplan yang kecil
sehingga bagian yang beregenerasi menjadi kalus juga semakin kecil. Zulkarnain
(2014), menyatakan bahwa semakin besar ukuran eksplan akan semakin besar
kemungkinan untuk ploriferasi, tetapi akan semakin besar kemungkinan untuk
terkontaminasi. Fase-fase embrio yang terlihat pada percobaan ini adalah globular,
hati, torpedo, dan koleoptil (Gambar 4).
(a) Fase globular dengan perbesaran 10x1
(b) Fase hati dengan perbesaran 10x2
(c) Fase torpedo dengan perbesaran 10x2
(d) Fase embrio dewasa (koleoptil) dengan perbesaran 10x1
Gambar 5. Tahapan perkembangan embrio somatik bawang merah cv. Tiron
(a) (b) (c) (d)
5 mm 3 mm
19
Embriogenesis somatik adalah proses perkembangan sel somatik menjadi
tanaman lengkap melalui karakteristik stadia pembentukan embrio tanpa melalui
peleburan sel gamet (Santos et. al., 2006). Embrio somatik yang terbentuk
biasanya berkembang melewati beberapa tahap yaitu oktan, globular, awal hati,
hati, torpedo dan embrio dewasa (Zulkarnain, 2014). Tahapan embrio ini sulit
dilihat secara kasat mata karena ukurannya yang kecil dan posisinya saling
bertindih satu sama lainnya. Tahapan embrio yang terlihat pada fase globular,
hati, torpedo dan embrio dewasa. Embrio dewasa yang terbentuk pada tanaman
dikotil biasanya memiliki bentuk kotiledon, akan tetapi pada tanaman monokotil
seperti bawang merah, embrio dewasa yang terbentuk adalah koleoptil. Hasil ini
juga dinyatakan oleh Sholeha et. al. (2015) dalam penelitiannya mengenai
embriogenesis tebu, bahwa fase embrio dewasa pada tanaman tebu (monokotil)
adalah fase koleoptil.
Pembentukan embrio dewasa pada embriogenesis somatik merupakan
proses morfogenetik yang penting (Yelnitits, 2013). Embrio somatik dewasa akan
berkembang menjadi individu tanaman layaknya pada perkembangan embrio
zigotik yang akan menghasilkan tunas dan akar. Hasil analisis histologi
penampang melintang pada kecambah yang berkembang dari embrio somatik
dewasa bawang merah cv menunjukkan adanya basal plate bawang merah
(Gambar 6).
(a) Kecambah dari embrio somatik
(b) Penampang melintang bagian dasar kecambah dengan perbesaran 10x40
(c) Penampang membujur kecambah dari embrio somatik dengan perbesaran
10x40
Gambar 6. Penampang melintang dan membujur kecambah dari embrio somatik
bawang merah cv. Tiron
daun
akar
(c)
basal
plate
epidermis
(a)
(b)
tunas
adventif 0,1mm 0,1mm
3 mm
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi 2,4 D (0,5 – 2,0) ppm tidak berpengaruh secara tunggal dalam induksi
kalus bawang merah cv. Tiron. Peningkatan konsentrasi BAP menjadi 0,5 ppm
berpengaruh menurunkan induksi kalus bawang merah cv. Tiron. Kombinasi
terbaik antara konsentrasi 2,4 D 1,5 ppm dan BAP 0 ppm mampu menghasilkan
persentase kalus proembriogenik terbesar. Hasil percobaan kedua menunjukkan
bahwa konsentrasi BAP tidak berpengaruh dalam pembentukan embrio somatik
bawang merah cv. Tiron, tetapi media tanpa BAP memberikan hasil pembentukan
embrio somatik yang lebih rendah dibandingkan dengan media yang ditambahkan
BAP. Konsentrasi BAP 5 ppm merupakan media regenerasi kalus proembriogenik
bawang merah cv. Tiron terbaik yang mengasilkan total jumlah embrio yang
terbentuk lebih banyak dibandingkan perlakuan konsentrasi BAP (0, 2,5, 7,5 dan
10) ppm.
Saran
Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan subkultur beberapa kali untuk
proliferasi kalus.
DAFTAR PUSTAKA
Ammirato. 1982. Embryogenesis in Evan, Sharp, In Ammirato and Yamada (Eds).
1984. Technique for Propagation and Breeding. Hand Book of Plant Cell
Culture. Macmillan. Publishing Company, New York.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat
Statistik. Indonesia.
Bustami M. U. 2011. Penggunaan 2,4 D induksi kalus kacang tanah. Media
Litbang Sulteng IV (2) : 137 – 141.
Devy N. F. dan Hardiyanto. 2009. Kemampuan regenerasi kalus segmen akar
pada beberapa klon bawang putih lokal secara in vitro. J. Hort. 19 (1): 6-13
Chen, Z. 1990. Cell Suspention Culture and Mutant Screening in Parennial crops.
Hand Book Culture. 6
Dinarti D., Purwito A., Susila A. D., dan Tiran R. 2007. Embriogenesis somatik
pada bawang merah. Prosiding Simposium, Seminar dan Kongres IX
PERAGI. Bandung ,15-17 November 2007.
[Ditbenih Horti] Direktorat Benih Hortikultura. 2002. Database varietas terdaftar
hortikultura. http://varitas.net/dbvarietas/deskripsi/2016.pdf. [14 Oktober
2016]
Finer J. J. 2006. Plant regeneration via embryogenic suspension cultures. In
Dixion R. A. and Gonzales R. A. (Eds.). Plant Cell Culture A Partical
Approach Second Edition. Oxport University Press, Oklahoma.
21
Franklin, C. I. and Dixion R. A. 2006. Initiation and maintance of callus and cell
suspention cultures. In R. A. Dixion and Gonzales R. A. (Eds.). Plant Cell
Culture A Partical Approach Second Edition. Oxport University Press,
Oklahoma.
Gunawan, L.W.1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Bogor.
Hartman H. T., Dale E., Kester and Davies F.T. 1990. Plant Propagation,
Principle and Practices 5-th Edition. Prentice Hall International, New
Jersey.
Hellyanto R. 2008. Pengaruh jenis media terhadap embriogenesis somatik dua
kultivar bawang merah (Allium Cepa Cv. Ascalonicum L.). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Lizawati. 2012a. Proliferasi kalus dan embriogenesis somatik jarak pagar
(Jatropha curcas L.). J. Unja.1 (4): 32-41.
Lizawati. 2012b. Induksi kalus proembriogenik dari eksplan tunas apikal tanaman
jarak pagar ( Jatropha curcas L.) dengan penggunaan 2,4 D dan
TDZ. J. Unja. 1 (2): 75-87.
Lizawati, Neliyati dan Desfira R. 2012. Induksi kalus eksplan daun durian (Durio
zibethinus Murr. cv. Selat Jambi) pada beberapa kombinasi 2,4-d dan
BAP. J. Unja. 1 (1): 19-25.
Jimenez V. M. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis
on the role of endogenous hormones. R. Bras. Fisiol. Veg. (13):196-223.
Manil T. and Senthil K. 2011. Multiplication of chrysanthemum through somatic
embryogenesis. Asian J. Pharm. Tech.1(1): 13-16.
Mariska I. 1996. Embriogenesis somatik tanaman kehutanan. Prosiding Kursus
Bioteknologi, 4-9 November 1996. Badan, Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. Serpong.
Nurhasanah, E. 2009. Perbanyakan anggrek Grammatophyllum scriptum melalui
proliferasi tunas adventif secara in vitro. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Pangestuti R. dan Sulistyaningsih E. 2011. Potensi penggunaan true seed shallot
sebagai sumber benih bawang merah di Indonesia. Prosiding Semiloka
Nasional Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani. Semarang,
14 Juli 2011.
Paterson G. and Smith R. 1991. Effect of abscisic acid and callus size on
regeneration of American and international rice varieties. Plant Cell
Reports. 10: 35-38.
Pierik R. L. M. 1987. In vitro culture of higher plant. Matinus Nijhoff Publisher,
Dordrecht.
Rohani E.R., Ismanizan I., dan Noor N. M. 2012. Somatic embryogenesis of
mangosteen. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 110: 251 – 259.
Santos K.G.B, Mariath J.E.A., Moco M.C.C., and Zanettini M.H.B. 2006. Somatic
embryogenesis from immature cotyledons of soybean (Glycine max (L.)
Merr.): Ontogeny of Somatic Embryos. Braz.Arch.Biol.Technol. 4: 49-55.
Sholeha W., Sugiharto B., Setyati D., dan Dewanti P. Induksi embriogenesis
somatik menggunakan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-d) dan kinetin
22
pada eksplan gulungan daun muda tanaman tebu. Jurnal Ilmu Dasar. 16
(1): 17-22.
Smith R. H. 2006. Plant Tissue Culture Techniques and Experiments. Elsevier,
Texas.
Sugiyarto L dan Kuswandi P. C. 2014. Pengaruh 2,4-Diklorofenoksiasetat (2,4-d)
dan benzyl aminopurin (BAP) terhadap pertumbuhan kalus daun binahong
(Anredera cordifolia l.) serta analisis kandungan flavonoid total. J.
Saintek. 19 (1): 1-6.
Sukmadjaja, D. 2005. Embriogenesis somatik langsung pada tanaman cendana. J.
Bioteknologi Tanaman. 10 (1) :1-6.
Swasono, F. D. H. 2006. Peranan mikoriza Arbuskula dalam mekanisme adaptasi
beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman kekeringan. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Tiran, R. 2007. Embrio dan seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman
aluminium pada bawang merah (Allium ascalonikum L.). Skripsi. Program
Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
[WARINTEK Bantul] Warung Informasi dan Teknologi Kabupaten Bantul. 2015.
Perbenihan Bawang Merah (Allium ascalonicum) Varietas Tiron Bantul.
http://warintek.bantulkab.go.id/web.php?mod=basisdata
&kat=1&sub=2&file=29. [08 Maret 2015].
Wattimena, G. A., Nurhajati A. M., Wiendi N. M. A., Purwito A., D. Efendi A.,
Purwoko B. S. dan Khumaida N.. 2011. Bioteknologi dalam Pemuliaan
Tanaman. PT. Penerbit IPB Press, Bogor.
Wattimena, G. A., Gunawan L. W., Matjik N. A., Syamsudin A., Wiendi N. M.
A., dan Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur
Jaringan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi-IPB. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
Yadav, N. R. and Yadav R. C. 2011. Plant tissue culture: fundamentals and
aplications. In M. K. Rana (Eds). Physio-Biochemistry and Biotechnology
of Vegetable Crops. New India Publishing Agency, New Delhi.
Yelnititis. 2013. Induksi embrio somatik Shorea pinanga scheff. pada kondisi fisik
media berbeda. J. Pemuliaan Tanaman Hutan. 7 (2) : 73-84.
Yuwono, T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Zulkarnain. 2014. Kultur Jaringan Tanaman. PT Bumi Aksara, Jambi.
23
LAMPIRAN
10
25
Lampiran 1. Deskripsi varietas tanaman bawang merah cv. Tiron
Tanggal pelepasan
Keputusan Menteri Pertanian
Asal tanaman
:
:
:
21 Agustus 2002
No. 498/Kpts/TP.240/8/2002
Kabupaten Bantul
Umur tanaman : mulai berbunga 45 hari
panen 55 hari (daun melemas > 60%)
Tinggi tanaman : 37 – 44 cm
Jumlah anakan : 9 – 21 umbi
Jumlah daun per umbi : 3 – 5 helai
Jumlah daun per rumpun : 34 – 57 helai
Bentuk daun : pipa dengan ujung runcing
Warna daun : hijau keputihan
Panjang daun : 24 – 42 cm
Diameter daun : 33 – 53 mm
Bentuk bunga : seperti payung
Warna bunga : putih
Bentuk biji : bulat
Warna biji : abu-abu
Bentuk umbi : cenderung bulat
Warna umbi : merah keunguan
Berat umbi basah (panen) : 44 – 149 gram per rumpun
Potensi hasil : 9 – 13 ton umbi basah per hektar
Susut bobot umbi : ± 30 %
Keterangan : cocok untuk ditanam pada ketinggian
0 – 100 meter di atas permukaan laut dan
lahan berpasir serta dapat dikembangkan
pada musim penghujan
Pengusul/ peneliti : BPSB-TPH dan Diperta DIY/ UGM serta
Pemda Bantul/ H. Idham Samawi, H.
Marsudi, Pulung Haryadi, Nanang
Suwandi, Mustikaningrum, Rohadi,
Martapa Indria W., Atik Triwiji Astuti,
Tonny Koenardi, Tuhono, Purnomo,
Suparjo, dan Sutardi
Sumber : Ditbenih Horti, 2002
26
Lampiran 2. Komposisi media Murashige dan Skoog (MS)
Stok Bahan kimia
Konsentrasi
larutan stok
(g l-1
)
Pemakaian per
liter media
(ml l-1
)
Konsentrasi
pada media
(ppm)
A NH4NO3 82,500 20 1.650,000
B KNO3 95,000 20 1.900,000
C
KH2PO4 34,000
5
170,000
H3BO3 1,240 6,200
KI 0,166 0,830
NaMoO4 2H2O 0,050 0,250
CoCl2 6H2O 0,005 0,025
D CaCl2 2H2O 88,000 5 440,000
E
MgSO4 7H2O 74,000
5
370,000
MnSO4 4H2O 4,460 22,300
ZnSO4 4H2O 1,720 8,600
CuSO4 7H2O 0,005 0,025
F Na2EDTA 2H2O 3,370
10 37,300
FeSO4 7H2O 2,780 27,800
Myo Myo-Inositol 10,000 10 100,000
Vitamin
Thiamine 0,010
10
0,100
Nicotine 0,050 0,500
Pyridoxine 0,050 0,500
Glycine 0,200 2,000
27
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera
Selatan pada tanggal 9 April 1993. Penulis merupakan anak sulung dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Ramlan Solihin dan Ibu Adilah. Penulis
mulai bersekolah di SD Negeri 8 OKU pada tahun 2000 hingga tahun 2006.
Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 OKU pada tahun 2006
hingga tahun 2009 dan melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri 4 OKU.
Penulis lulus dari SMA pada tahun 2011 kemudian melanjutkan sekolahnya
ke jenjang pendidikan tinggi di Program Kehalian Teknologi Industri Benih,
Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Penulis lulus dari Program
Diploma IPB pada tahun 2014 sebagai Lulusan Terbaik pada Program
Keahlian Teknologi Industri Benih.
Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi
akademiknya di Departemen Agronomi dan Hortikultura melalui Program
Alih Jenis Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB
pada tahun 2014. Selama menjadi mahasiswa penulis bergabung dalam
kepanitian Festival Bunga dan Buah Nusantara 2015 dan pada tahun 2016
penulis diangkat menjadi Deputy Event Manager Fruit Contest pada Fruit
Indonesia 2016.