38
KONSEP FRAKTUR COSTAE 1. Definisi Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang mengganggu proses respirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur. 2. Etiologi Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costa. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut.Dari keduabelas pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat mobile. Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :

Alwan-konsep Fraktur Costae

Embed Size (px)

Citation preview

KONSEP FRAKTUR COSTAE

1. Definisi

Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang

memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan

yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru.

Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan

yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Fraktur

costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang mengganggu proses respirasi, disamping

itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan perhatian

khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak fraktur costa sangat

jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur. 

2. Etiologi

Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena

tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka

setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costa. Fraktur costa

dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut.Dari keduabelas pasang costa

yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan

karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami

fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit,

sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur

oleh karena sangat mobile.

Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :

a. Disebabkan trauma

Trauma tumpul

Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur

costa antara lain: Kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki,

jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat

perkelahian.

Trauma Tembus

Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa :Luka

tusuk dan luka tembak

Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena

luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela

iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa

adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.

Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila

terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus

neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis,

subklavia),bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula

b. Disebabkan bukan trauma

Yang dapat mengakibatkan fraktur costa ,terutama akibat gerakan

yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena

adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur,seperti pada gerakan

olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf.

3. Klasifikasi

a. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :

Fraktur simple

Fraktur multiple

b. Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat :

o Fraktur segmental

o Fraktur simple

o Fraktur comminutif

c. Menurut letak fraktur dibedakan :

o Superior (costa 1-3 )

o Median (costa 4-9)

o Inferior (costa 10-12 ).

d. Menurut posisi :

o Anterial

o Lateral

o Posterior.

e. Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula

o Akibat dari tenaga yang besar

o Meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru,

pembuluh darah besar

o Mortalitas sampai 35%.

f. Fraktur Costae tengah (4-9) :

o Peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa

komplikasi dapat ditangani pada rawat jalan.

o MRS jika pada observasi

o Penderita dispneu

o Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan

o Penderita berusia tua

Memiliki preexisting lung function yang buruk.

g. Fraktur Costae bawah (10-12) :

Terkait dengan resiko injury pada hepar dan spleen

4. Patofisiologi

Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah

depan,samping ataupun dari arah belakang.Trauma yang mengenai dada biasanya

akan menimbulkan trauma costa,tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa

pada dinding dada,maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa.

Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costa

pada tempat traumanya .Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat terjadi

apabila energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costa

tersebut.Seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan

belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costa,dimana

pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah.

Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya

atau bahkan organ dibawahnya.Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai

a.intercostalis ,pleura visceralis,paru maupun jantung ,sehingga dapat

mengakibatkan timbulnya hematotoraks,pneumotoraks ataupun laserasi jantung.

5. Manifestasi Klinis

a. Sesak napas

Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke

rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan

jaringan pada rongga dada lalu dapat terjadi pneumothoraks dan

hemothoraks yang akan menyebabkan gangguan ventilasi sehingga

menyebabkan terjadinya sesak napas.

b. Tanda-tanda insuffisiensi pernapasan: Sianosis, takipnea

Pada fraktur costa terjadi gangguan pernapasan yang disertai

meningkatnya penimbunan CO2 dalam darah (hiperkapnia) yang

bermanifestasi menjadi sianosis.

c. Nyeri tekan pada dinding dada

Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke

rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan

jaringan pada rongga dada dan terjadi stimulasi pada saraf sehingga

menyebabkan terjadinya nyeri tekan pada dinding dada.

d. Kadang akan tampak ketakutan dan kecemasan

Rasa takut dan cemas yang dialami pada pasien fraktur costa

diakibatkan karena saat bernapas akan bertambah nyeri pada dada.

e. Adanya gerakan paradoksal

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen standar

Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu

diagnosis hematothoraks dan pneumothoraks ataupun contusio pulmonum,

mengetahui jenis dan letak fraktur costae. Foto oblique membantu diagnosis

fraktur multiple pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen toraks harus

dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk

identifikasi fraktur iga.

b. EKG

c. Monitor laju nafas, analisis gas darah

d. Pulse oksimetri

7. Penatalaksanaan

Berdasarkan letak fraktur maka dapat dibagi menjadi:

a. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)

b. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks,

pneumotoraks)

c. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,

hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:

• Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)

• Bronchial toilet

• Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas

darah

• Cek Foto Ro berkala

Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot

merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan

rumah sakit diperlukan untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan

pengisapan endotrakeal.

Berdasarkan tahapan penatalksanaan:

a. Primary survey

o Airway dengan kontrol servikal

Penilaian:

o Perhatikan patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)

o Penilaian akan adanya obstruksi

Management:

o Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line

immobilisasi

o Bersihkan airway dari benda asing.

b. Breathing dan ventilasi

Penilaian

Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol

servikal in-line immobilisasi

Tentukan laju dan dalamnya pernapasan

Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan

terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak,

pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.

Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor

Auskultasi thoraks bilateral

Management:

Pemberian oksigen

Pemberian analgesia untuk mengurangi nyeri dan membantu

pengembangan dada: Morphine Sulfate. Hidrokodon atau kodein yang

dikombinasi denganaspirin atau asetaminofen setiap 4 jam.

Blok nervus interkostalis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri berat

akibat fraktur costae

Bupivakain (Marcaine) 0,5% 2 sampai 5 ml, diinfiltrasikan di

sekitar n. interkostalis pada costa yang fraktur serta costa-costa di atas

dan di bawah yang cedera. Tempat penyuntikan di bawah tepi bawah

costa, antara tempat fraktur dan prosesus spinosus. Jangan sampai

mengenai pembuluh darah interkostalis dan parenkim paru

Pengikatan dada yang kuat tidak dianjurkan karena dapat membatasi

pernapasan.

c. Circulation dengan kontrol perdarahan

Penilaian

Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal

Mengetahui sumber perdarahan internal

Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.

Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda

diperlukannya resusitasi masif segera.

Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.

Periksa tekanan darah

Management:

o Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal

o Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel

darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, golongan darah dan cross-

match serta Analisis Gas Darah (BGA).

o Beri cairan kristaloid 1-2 liter yang sudah dihangatkan dengan tetesan

cepat

o Transfusi darah jika perdarahan masif dan tidak ada respon os

terhadap pemberian cairan awal.

o Pemasangan kateter urin untuk monitoring indeks perfusi jaringan.

d. Disability

o Menilai tingkat kesadaran memakai GCS

o Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi

tanda-tanda lateralisasi.

e. Exposure/environment

o Buka pakaian penderita

o Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan temapatkan pada

ruangan yang cukup hangat.

Tambahan primary survey

o Pasang monitor EKG

o Kateter urin dan lambung

o Monitor laju nafas, analisis gas darah

o Pulse oksimetri

Pemeriksaan rontgen standar

Lab darah

Resusitasi fungsi vital dan re-evaluasi

Penilaian respon penderita terhadap pemberian cairan awal

Nilai perfusi organ (nadi, warna kulit, kesadaran, dan produksi urin) serta

awasi tanda-tanda syok.

Secondary survey

o Anamnesis à AMPLE dan mekanisme trauma

o Pemeriksaan fisik

Kepala dan maksilofasial

Vertebra servikal dan leher

Thorax

Abdomen

Perineum

Musculoskeletal

Neurologis

Reevaluasi penderita

Rujuk

o Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena

keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih

memungkinkan untuk dirujuk.

o Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, dan kebutuhan penderita

selama perjalanan serta komunikasikan dnegan dokter pada pusat rujukan

yang dituju.

6. Penatalaksanaan umum untuk fraktur

Prinsip penanganan pada fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.

a. Reduksi

Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi atau

mengembalikan fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk

kembali seperti letak asalnya. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah

dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih

untuk reduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.

Pada fraktur iga digunakan reduksi terbuka dengan fiksasi interna

yang digunakan dengan menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah

dengan operatif untuk menghindari cacat permanen. Alat fiksasi interna yang

digunakan berupa pin, kawat, sekrup, plat. Indikasi Operasi (stabilisasi) pada

flail chest bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain seperti

hematotoraks.

b. Imobilisasi

Imobilisasi digunakan dengan mempertahankan dan mengembalikan

fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan, untuk itu pasien dengan fraktur iga dianjurkan untuk tidak

melakukan aktivitas fisik untuk sementara waktu. Perawat berpartisipasi

membantu segala aktivitas perawatan mandiri pasien. Pada fraktur iga tidak

dianjurkan dilakukan pembebatan karena dapat mengganggu mekanisme

bernapas.

a. Rehabilitasi

Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan, mengoptimalkan serta

stabilisasi fungsi organ selama masa imobilisasi. Bersama ahli fisioterapi

secara bertahap dilakukan aktifitas fisik yang ringan hingga tahap pemulihan

fungsi organ terjadi.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR COSTAE

Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan

lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera

vaskuler, edema, pembentukan trombus)

c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan

membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi

restriktif (imobilisasi)

b. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,

sekrup)

c. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,

taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan

b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan

kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

Intervensi Keperawatan

a.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,

cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

Tujuan:    Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan

menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur,

istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan

aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI

KEPERAWATANRASIONAL

1.  Pertahankan imobilasasi bagian

yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat

dan atau traksi

2.  Tinggikan posisi ekstremitas

yang terkena.

3.  Lakukan dan awasi latihan

gerak pasif/aktif.

4.  Lakukan tindakan untuk

meningkatkan kenyamanan (masase,

perubahan posisi)

5.  Ajarkan penggunaan teknik

manajemen nyeri (latihan napas dalam,

imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6.  Lakukan kompres dingin

Mengurangi nyeri dan

mencegah malformasi.

Meningkatkan aliran balik

vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan

otot dan meningkatkan sirkulasi

vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi

umum, menurunakan area tekanan

lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian

terhadap nyeri, meningkatkan kontrol

terhadap nyeri yang mungkin

berlangsung lama.

selama fase akut (24-48 jam pertama)

sesuai keperluan.

7.  Kolaborasi pemberian analgetik

sesuai indikasi.

Evaluasi keluhan nyeri (skala,

petunjuk verbal dan non verval,

perubahan tanda-tanda vital)

Menurunkan edema dan

mengurangi rasa nyeri.

Menurunkan nyeri melalui

mekanisme penghambatan rangsang

nyeri baik secara sentral maupun

perifer.

Menilai perkembangan

masalah klien.

b.      Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah

(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

Tujuan   : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria

akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif

INTERVENSI

KEPERAWATANRASIONAL

1.    Dorong klien untuk secara

rutin melakukan latihan menggerakkan

jari/sendi distal cedera.

2.    Hindarkan restriksi sirkulasi

akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu

ketat.

3.    Pertahankan letak tinggi

ekstremitas yang cedera kecuali ada

kontraindikasi adanya sindroma

kompartemen.

4.    Berikan obat antikoagulan

(warfarin) bila diperlukan.

5.    Pantau kualitas nadi perifer,

aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan

Meningkatkan sirkulasi darah

dan mencegah kekakuan sendi.

Mencegah stasis vena dan

sebagai petunjuk perlunya

penyesuaian keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena

dan menurunkan edema kecuali

pada adanya keadaan hambatan

aliran arteri yang menyebabkan

penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai

upaya profilaktik untuk menurunkan

trombus vena.

Mengevaluasi

kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi

yang normal.

perkembangan masalah klien dan

perlunya intervensi sesuai keadaan

klien.

c.       Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,

perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

Tujuan     :   Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi

dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam

batas normal

INTERVENSI

KEPERAWATANRASIONAL

1.    Instruksikan/bantu latihan

napas dalam dan latihan batuk efektif.

2.    Lakukan dan ajarkan

perubahan posisi yang aman sesuai

keadaan klien.

3.    Kolaborasi pemberian obat

antikoagulan (warvarin, heparin) dan

kortikosteroid sesuai indikasi.

4.    Analisa pemeriksaan gas

darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan

trombosit

5.    Evaluasi frekuensi pernapasan

dan upaya bernapas, perhatikan adanya

stridor, penggunaan otot aksesori

pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis

Meningkatkan ventilasi

alveolar dan perfusi.

Reposisi meningkatkan

drainase sekret dan menurunkan

kongesti paru.

Mencegah terjadinya

pembekuan darah pada keadaan

tromboemboli. Kortikosteroid telah

menunjukkan keberhasilan untuk

mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan

peningkatan PCO2 menunjukkan

gangguan pertukaran gas; anemia,

hipokalsemia, peningkatan LED dan

kadar lipase, lemak darah dan

penurunan trombosit sering

berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea

dan perubahan mental merupakan

tanda dini insufisiensi pernapasan,

mungkin menunjukkan terjadinya

emboli paru tahap awal.

sentral.

d.          Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,

nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

Tujuan   :   Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada

tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional

meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh

menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas

INTERVENSI

KEPERAWATANRASIONAL

1.    Pertahankan pelaksanaan

aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,

kunjungan teman/keluarga) sesuai

keadaan klien.

2.    Bantu latihan rentang gerak

pasif aktif pada ekstremitas yang sakit

maupun yang sehat sesuai keadaan klien.

3.    Berikan papan penyangga

kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai

indikasi.

4.    Bantu dan dorong perawatan

diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan

klien.

5.    Ubah posisi secara periodik

sesuai keadaan klien.

6.    Dorong/pertahankan asupan

cairan 2000-3000 ml/hari.

7.    Berikan diet TKTP.

Memfokuskan perhatian,

meningkatakan rasa kontrol

diri/harga diri, membantu

menurunkan isolasi sosial.

Meningkatkan sirkulasi

darah muskuloskeletal,

mempertahankan tonus otot,

mempertahakan gerak sendi,

mencegah kontraktur/atrofi dan

mencegah reabsorbsi kalsium

karena imobilisasi.

Mempertahankan posis

fungsional ekstremitas.

Meningkatkan kemandirian

klien dalam perawatan diri sesuai

kondisi keterbatasan klien.

Menurunkan insiden

komplikasi kulit dan pernapasan

(dekubitus, atelektasis,

penumonia)

Mempertahankan hidrasi

adekuat, men-cegah komplikasi

8.    Kolaborasi pelaksanaan

fisioterapi sesuai indikasi.

9.    Evaluasi kemampuan

mobilisasi klien dan program imobilisasi.

urinarius dan konstipasi.

Kalori dan protein yang

cukup diperlukan untuk proses

penyembuhan dan mem-

pertahankan fungsi fisiologis

tubuh.

Kerjasama dengan

fisioterapis perlu untuk menyusun

program aktivitas fisik secara

individual.

Menilai perkembangan

masalah klien.

e.       Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi

(pen, kawat, sekrup)

Tujuan   :   Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku

tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai

indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.     Pertahankan tempat tidur

yang nyaman dan aman (kering, bersih,

alat tenun kencang, bantalan bawah siku,

tumit).

2.      Masase kulit terutama

daerah penonjolan tulang dan area distal

bebat/gips.

3.     Lindungi kulit dan gips pada

daerah perianal

4.      Observasi keadaan kulit,

penekanan gips/bebat terhadap kulit,

insersi pen/traksi.

Menurunkan risiko

kerusakan/abrasi kulit yang lebih

luas.

Meningkatkan sirkulasi

perifer dan meningkatkan

kelemasan kulit dan otot terhadap

tekanan yang relatif konstan pada

imobilisasi.

Mencegah gangguan

integritas kulit dan jaringan akibat

kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan

masalah klien.

 

f.       Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan

kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang

Tujuan   :   Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase

purulen atau eritema dan demam

INTERVENSI

KEPERAWATANRASIONAL

1.    Lakukan perawatan pen

steril dan perawatan luka sesuai

protokol

2.    Ajarkan klien untuk

mempertahankan sterilitas insersi

pen.

3.    Kolaborasi pemberian

antibiotika dan toksoid tetanus

sesuai indikasi.

4.    Analisa hasil

pemeriksaan laboratorium (Hitung

darah lengkap, LED, Kultur dan

sensitivitas luka/serum/tulang)

5.      Observasi tanda-tanda

vital dan  tanda-tanda peradangan

lokal pada luka.

Mencegah infeksi

sekunderdan mempercepat

penyembuhan luka.

Meminimalkan

kontaminasi.

Antibiotika spektrum

luas atau spesifik dapat

digunakan secara profilaksis,

mencegah atau mengatasi

infeksi. Toksoid tetanus untuk

mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya

terjadi pada proses infeksi,

anemia dan peningkatan LED

dapat terjadi pada

osteomielitis. Kultur untuk

mengidentifikasi organisme

penyebab infeksi.

Mengevaluasi

perkembangan masalah

klien.

h.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,

keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

Tujuan     :   klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria

klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya

INTERVENSI

KEPERAWATANRASIONAL

1.      Kaji kesiapan klien mengikuti

program pembelajaran.

2.      Diskusikan metode mobilitas

dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

3.      Ajarkan tanda/gejala klinis

yang memerluka evaluasi medik (nyeri

berat, demam, perubahan sensasi kulit

distal cedera)

4.      Persiapkan klien untuk

mengikuti terapi pembedahan bila

diperlukan.

Efektivitas proses

pemeblajaran dipengaruhi oleh

kesiapan fisik dan mental klien

untuk mengikuti program

pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi

dan kemandirian klien dalam

perencanaan dan pelaksanaan

program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan

klien untuk mengenali tanda/gejala

dini yang memerulukan intervensi

lebih lanjut.

Upaya pembedahan

mungkin diperlukan untuk

mengatasi maslaha sesuai kondisi

klien.

PATHWAY FRAKTUR COSTAE

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR COSTAE

Penugasan ini disusun untuk memenuhi tugas individu profesi keperawatan

Oleh:

Maya Rachmah Sari

NIM. 0910723033

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan

bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan

bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor

dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala

dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan

pencegahan.

B. PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan

glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf

hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai

cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun

sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan

kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh

kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan

glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila

kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala

permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh

berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme

anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada

kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan

asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan

oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis

metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah

50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari

cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical

myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.

Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia,

fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana

penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan

berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah

arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

1. Klasifikasi cidera kepala

a. Cidera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi rotasi )

yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cidera primer dapat terjadi :

1). Geger kepala ringan

2). Memar otak

3). Laserasi.

b. Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :

1). Hipotensi sistemik

2). Hiperkapnea

3). Hipokapnea

4). Udema otak

5). Komplikasi pernapasan

6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2. Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :

a. Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat

pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang

terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri

karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari.

Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala – gejalanya :

1). Penurunan tingkat kesadaran

2). Nyeri kepala

3). Muntah

4). Hemiparese

5). Dilatasi pupil ipsilateral

6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )

7). Penurunan nadi

8). Peningkatan suhu

b. Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan

kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang

biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode

akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Bingung

3). Mengantuk

4). Menarik diri

5). Berfikir lambat

6). Kejang

7). Udem pupil.

c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya

pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Komplikasi pernapasan

4). Hemiplegi kontra lateral

5). Dilatasi pupil

6). Perubahan tanda – tanda vital

d. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan

permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Hemiparese

4). Dilatasi pupil ipsilateral

5). Kaku kuduk.

3. Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan

Udema cerebriGangguan kesadaran /Penurunan GCS

Penurunan ADO2, VO2, CO2, Peningkatan katekolamin, Peningkatan Asam Laktat

Komotio cerebriKontutio cerebriLateratio cerebri

Kerusakan / Penekanan sel otak local / Difus

Dampak Tidak LangsungDampak LangsungNyeri intracerebral

Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding dan peningkatan TIK

Cedera kepala sekunder-hipotensi, infeksi general, syok, hipertermi,

hipotermi, hipoglikemi

Cedera kepala primer-Komotio, Kontutio, laserasi cerebral

Resiko trauma

KejangGangguan sel glia / gangguan polarisasi

Gangguan seluruh kebutuhan dasar (oksigenasi, makan,

minum, kebersihan diri, rasa aman, gerak, aktivitas dll

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem

persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis

injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.

b. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama,

suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien

dengan penanggungjawab.

c. Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris

atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan,

adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.

Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan

sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat

penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.

d. Pemeriksaan Fisik

1) Aktifitas / istirahat

S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam

berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.

2) Sirkulasi

O : Tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.

3) Integritas ego

S : Perubahan tingkah laku / kepribadian

O : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive

4) Eliminasi

O : bab / bak inkontinensia / disfungsi.

5) Makanan / cairan

S : Mual, muntah, perubahan selera makan

O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

6) Neuro sensori :

S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,

perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.

O : Perubahan kesadara, koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi)

perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,

pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,

desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.

7) Nyeri / rasa nyaman

S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O : Wajah menyeringa, merintih.

8) Repirasi

O : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas berbunyi, stridor ,

ronchi dan wheezing.

9) Keamanan

S : Trauma / injuri kecelakaan

O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang

kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.

10) Intensitas sosial

O : Afasia, distarsia

e. Pemeriksaan penunjang

1) CT- Scan ( dengan tanpa kontras )Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan

jaringan otak.

2) MRI

Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3) Cerebral Angiography

Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak

sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4) Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5) X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan struktur garis

( perdarahan / edema ), fragmen tulang.

6) BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7) PET

Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.

8) CFS

Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

9) ABGs

Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika

terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

10) Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan

intrakranial.

11) Screen Toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

f. Penatalaksanaan

Konservatif :

- Bedres total

- Pemberian obat – obatan

- Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :

1). Memaksimalkan perfusi / fungsi otak

2). Mencegah komplikasi

3). Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.

4). Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5). Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana, pengobatan

dan rehabilitasi.

Tujuan :

1). Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap

2). Komplikasi tidak terjadi

3). Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang lain

4). Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

5). Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga

sebagai sumber informasi.

Prioritas Diagnosa Keperawatan :

1. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan peredaran darah karena

adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma).

2. Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan, berhubungan dengan kerusakan

pusat pernapasan di medulla oblongata.

3. Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan adanya proses

desak ruang akibat penumpukan cairan darah di dalam otak.

4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dnegan penurunan produksi

anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya hipotalamus.

5. Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran.

6. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring.

7. Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan daya penangkapan sensoris.

8. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya kuman melalui jaringan atau

kontinuitas yang rusak.

9. Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan kerusakan jaringan otak dan

perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.

10. Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan ketidakpastian terhadap

pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi dan krisis.

Intervensi :

1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab coma/penurunan perfusi

jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.

2. Monitor GCS dan mencatatnya.

R/ Menganalisa tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan lokasi dari lesi.

3. Memonitor tanda-tanda vital.

R/ Suatu kedaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari multiple trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan perkembangan dari gangguan batang otak.

4. Evaluasi pupil.

R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Keseimbangan saraf antara simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek nervus kranial.

5. Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi reflek babinski.

R/ Kemungkinan injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan merupakan tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek dari gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak piramidal.

6. Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.

R/ Panas merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang peningkatan ICP.

7. Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa membran mukosa.

R/ Indikasi dari gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes insipedus atau syndroma peningkatan sekresi ADH.

8. Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dnegan sedikit bantal. Hindari

penggunaan bantal yang banyak pada kepala.

R/ Arahkan kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena cerebral dan meningkatkan ICP.

9. Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.

R. Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif.

10. Kurangi rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung,

lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak

gaduh.

R/ Memberikan suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah.

11. Bantu pasien jika batuk, muntah.

R/ Aktivitas ini dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam abdomen dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.

12. Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.

R/ Tingkah non verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek nyeri dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatakan ICP.

13. Palpasi pada pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika

digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.

R/ Dapat meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.

Kolaborasi :

14. Naikkan kepala pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi.

R/ Peningkatan drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan edema/resiko terjadi ICP.

15. Berikan cairan intra vena sesuai dengan yang dindikasikan.

R/ Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan ICP.

16. Berikan Oksigen.

R/ Mengurangi hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan volume darah dan menaikkan ICP.

17. Berikan obat Diuretik contohnya : mannitol, furoscide.

R/ Diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain cells, dan mengurangi edema cerebral dan ICP.

18. Berikan Steroid contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone.

R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.

19. Berikan analgesik dosis tinggi contoh : Codein.

R/ Mungkin diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada ICP tetapi dapat digunakan dengan sebab untuk mencegah.

20. Berikan Sedatif contoh : Benadryl.

R/ Mungkin digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi.

21. Berikan antipiretik, contohnya : aseptaminophen.

R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.