Analisa - blasemarang.kemenag.go.idblasemarang.kemenag.go.id/journal/repository/...02-Juli-Desember-200… · Naqsyabandiyah mengenai ajaran taubat, zikir, dan makrifat dalam naskah

Embed Size (px)

Citation preview

  • Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

    AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

    Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

  • Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Jurnal Analisa terbit enam bulan sekali. Redaksi menerima artikel dari hasil penelitian dan pemikiran mengenai kehidupan keagamaan, pendidikan agama

    dan keagamaan, serta lektur keagamaan. Panjang tulisan untuk artikel hasil penelitian

    antara 15 20 halaman ( 30.000 40.000 karakter) dan artikel pemikiran antara 10

    15 halaman (20.000 30.000 karakter). Diketik dengan kertas ukuran kuarto (A4), 1,5

    spasi dan font huruf Times New Roman ukuran 12 pt. Artikel dilengkapi dengan abstrak

    maksimal 200 kata dan kata kunci. Transliterasi bahasa Arab menggunakan pedoman

    yang ditetapkan oleh Departemen Agama dan Departemen P dan K. Naskah diserahkan

    dalam bentuk print out dan softcopy kepada redaksi Jurnal Analisa Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Redaksi berhak menyunting naskah artikel tanpa

    mengubah maksud isi artikel. Isi artikel menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.

    I S S N : 1 4 1 0 - 4 3 5 0

    AnalisaJurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan

    Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Penanggung JawabProf. Dr. H. Muslich Shabir, M.A.

    RedaktuR ahli/ MitRa bestaRiProf. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A.

    (Universitas Diponegoro),Prof. Dr. H. Muhtarom HM.

    (IAIN Walisongo), Prof. Dr. Iwan Junaedi

    (Universitas Negeri Semarang)

    PeMiMPin RedaksiDrs. H. Ahmad Sodli, M. Ag.

    anggota RedaksiDrs. Mulyani Mudis Taruna, M. Pd.,

    Drs. R. Aris Hidayat, M. Pd.

    adMinistRasiJoko Tri Haryanto, S. Ag., M.S.I.,

    Moh Hasim, S. Ag., M.Pd., Umi Muzayanah, S.Si.

    diteRbitkan olehBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

    alaMat RedaksiBalai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

    Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep, Ngaliyan Semarang. Telp. (024) 7601327.

  • Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Kata Pengantar vii-viii

    PeneLItIan

    SamidiTarekat Naqsyabandiyyah di Pontianak (Studi Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah) 139-152

    Umi maSrifahMakna Salat dalam Naskah Suluk Saking Kitab Markun Karangan Kiai Tumenggung Arungbinang 153-169

    mUkhtarUddinWatak Manusia dalam Naskah Geguritan Joharsa 171-183

    Joko tri haryantoStruktur dan Stratifikasi Sosial Umat Khonghucu di Kabupaten Tuban Jawa Timur 185-200

    a. m. WiboWoAjaran Syaikh Khusaeri Hikmatullah Si Wali Kutub Tentang Puasa di Kota Pekalongan Jawa Tengah 201-214

    marmiati maWardiCorak Kerukunan Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan Provinsi NTT 215-227

    WahabPelaksanaan KTSP Pada MTsN Malang III Kabupaten Malang 229-242

    mUlyani mUdiS tarUna Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pada MTs Negeri 1 Provinsi Jawa Timur 143-255

    yUStiani S.Pendidikan Agama Pada Sekolah Luar Biasa 257-270

    PeMIKIran

    mUStolehUdinPengelolaan Perpustakaan Masjid di Era Globalisasi Informasi 271-282

    BIOData PenULIS 283-285

  • Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Pembaca Budiman

    Jurnal Analisa edisi ini menampilkan sepuluh artikel yang terfikir atas sembilan artikel hasil penelitian dan satu artikel hasil pemikiran. Sembilan artikel hasil penelitian tersebut secara berurutan merupakan penelitian pada bidang Lektur Keagamaan, bidang Kehidupan Keagamaan, serta bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan masing-masing tiga artikel.

    Artikel Lektur Keagamaan di antaranya mengungkap ajaran Tarekat Naqsyabandiyah mengenai ajaran taubat, zikir, dan makrifat dalam naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah. Artikel ini ditulis oleh Samidi. Artikel berikutnya mengungkapkan makna salat dan simbolisasi salat, seperti niat, surat al-Fatihah, ruku dan itidal sebagaimana dalam naskah Suluk Saking Kitab Markum karya Kyai Temenggung Arungbinang. Artikel ini ditulis oleh Umi Masfiah. Artikel lainnya mengungkapkan watak-watak manusia yang baik dan yang buruk, sesuai penggambaran pada pribadi yang disebutkan dalam naskah Geguritan Joharsa. Artikel ini ditulis oleh Mukhtaruddin.

    Tulisan berikutnya dari bidang Kehidupan Keagamaan, di antaranya mengulas tentang struktur dan stratifikasi sosial umat Konghucu. Umat Konghucu ternyata tidak hanya terdiri atas struktur umat dan rohaniawan saja, tetapi juga ada struktur pengurus klenteng yang juga memiliki peran bear dalam umat Konghucu. Artikel tersebut ditulis oleh Joko Tri Haryanto. Artikel selanjutnya mengenai ajaran puasa dari Syekh Khusaeri di Pekalongan, yang dalam pelaksanaannya berbeda dari umat Islam pada umumnya. Puasa yang diajarkan Syekh Khusaeri dilaksanakan mengikuti bulan Masehi, yaitu bulan Juni, bukan bulan Ramadan. Artikel ini ditulis oleh A.M, Wibowo, Sedangkan tulisan lainnya mengenai corak kerukunan antara umat Kristen dan umat Islam di Kelurahan Naikolan di provinsi Nusa Tenggara Timur yang ditulis oleh Marmiati Mawardi.

    Artikel bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan mengungkapkan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada MTsN Malang III Kabupaten Malang yang ditulis oleh Wahab. Tulisan lain juga tentang penerapan KTSP yang dilaksanakan di MTsN Malang I Jawa Timur oleh Mulyani Mudis Taruna. Tulisan artikel lainnya mengenai pendidikan agama pada Sekolah Dasar LUar Biasa (SDLB) Dharma Asih Kota Pontianak.

    PENGANTAR REDAKSI

  • Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Pendidikan Agama di SDLB ini cukup lancar, tetapi masih terkendala belum tersedianya buku pelajaran Agama khusu untuk anak-anak di sekolah luar biasa. Artikel ini hasil peneltian Yustiani.

    Sementara artikel hasil pemikiran adalah tulisan Mustolehuddin tentang perpustakaan masjid. Tulisan ini lebih dalam menyoroti pengelolaan literatur masjid pada era globalisasi informasi. Perpustakaan masjid sebagai wadah literatur agama harus dikelola dengan baik dan profesional sesuai dengan standar pengelolaan perpustakaan nasional. Salah satu upayanya adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi.

    Demikian artikel-artikel dalam Jurnal Analisa Vol.XVI no.02 Juli-Desember 2009 ini kami haturkan bagi Pembaca yang budiman. Kritik dan saran demi perbaikan jurnal Analisa ini senantiasa kami nnntikan. Selamat membaca.

    Redaksi

  • 139Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    AbstrAct :This manuscript studies using historical approach and hermeneutic

    analysis. As for who becomes the object of study is the script tariqat Naqsyabandiyah (NTN), one script that provides information about teaching in Naqsyabandiyah tariqat in Pontianak. Tariqat Naqsyabandiyah, becoming known by the people of West Kalimantan, Pontianak, especially since the Dutch colonial period (ca. 1919), after the return of Ismail Jabal from Mecca. Manuscript NTN is a private collection H. Zahry Abang Abdullah Al Ambawwi, one of the Indigenous Cultural Council board Melayu (MABM) West Kalimantan. Manuscript provides clues about the teaching of the doctrine Naqsyabandiyah tariqat Repentance, Remembrance and Makrifat Concept.

    Keywords: Tariqat Naqsyabandiyah, Manuscript, Dhikr, Repentance

    PendAhuluAn Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi lebih cenderung pada

    pengamalan atau prakarsanya dalam kehidupan sehari-hari. Pengamalan tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial. Pengamalan tersebut dilakukan dengan menjalankan amalan-amalan yang bersifat sunah, baik itu sebelum atau sesudah mengerjakan shalat wajib. Hal demikian dikerjakan berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw: syariat itu adalah perkataanku, tarekat itu perbuatanku, dan hakikat itu adalah kelakuanku. Dengan demikian muncul suatu keyakinan di kalangan ahli tasawuf bahwa syariat itu hanyalah peraturan-peraturan belaka, sedangkan tarekat merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila syariat dan tarekat dikerjakan sesuai dengan aturan, maka akan lahirlah hakikat yang tidak lain adalah perbaikan hal dan ahwal, sedangkan tujuannya adalah Marifat yaitu mengenal Tuhan dan mencintainya dengan benar dan sebaik-baiknya. (Zahri, 1995:57).

    TAREKAT NAQSYABANDIYAHDI PONTIANAK

    (Studi Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    Oleh SamIDI

    PENELITIAN

  • 140 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    Tarekat merupakan salah satu ajaran pokok dalam tasawuf, karena ilmu tarekat sama sekali tak dapat dipisahkan dengan tasawuf. Tarekat adalah tingkat ajaran pokok dalam tasawuf, sedangkan ajaran tasawuf adalah ajaran yang diamalkan oleh para sufi (pengamal tasawuf) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Khalili, 1990 : 10)

    Pada masa kemunculannya, hanya terdapat dua macam tarekat, yaitu tarekat Nabawiyah dan tarekat Salafiyah. Namun, setelah abad ke-2 Hijriyah tarekat Salafiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini sebagai imbas dari berkembangnya alam pikir filsafat dan berbagai macam alirannya yang mengalir memasuki negara-negara Arab. Pengaruh filasat Yunani dan praktek-praktek aliran kebatinan telah memberikan warna baru dalam dunia tasawuf salafiyah.

    Perkembangan lebih lanjut adalah lahirnya berbagai macam metode atau teknik tertentu untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Maka muncullah tarekat sufiah yang diamalkan oleh kaum sufi, yang bertujuan untuk mensucikan diri melalui empat tingkatan yaitu syariat, tarekat, hakikat dan marifat. Dari tarekat sufiyah inilah bermunculan para sufi yang mengajarkan tarekat yang berbeda-beda. Gerakan tarekat menonjol dalam dunia Islam yaitu pada abad ke-12 Masehi. Kemudian disusul oleh tarekat-tarekat yang lainnya, (Sihab, 2001:172) seperti tarekat Syaziliyah, Tijaniyah, Sanusiyah, Rifaiyah, Syuhrawardiyah, Ahmadiyah, Mulawiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Hadadiyah dan lain sebagainya. (Fuad, 1999 : 13-21)

    Demikian juga halnya dengan Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki banyak bentuk dan aliran tarekat di berbagai daerah. Ada yang bersifat lokal seperti tarekat Wahidiyah dan Siddiqiyah di Jawa Timur, tarekat Syahadatain di Jawa Tengah dan sebagainya. Ada yang diterima sesuai syariat (berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah), tetapi ada juga yang keluar dari rel Islam, karena prinsip-prinsip dan praktek yang diajarkan syeikhnya sebagian bertentangan dengan Islam. (Sihab, 2001 : 174) mungkin kesan tersebut yang menyebabkan para kiyai di Indonesia mendirikan organisasi Ahlul Tarekat Mutabaroh yang menentukan bentuk-bentuk tarekat di Indonesia.

    Tarekat yang terdapat di Indonesia yang terbesar adalah tarekat Naqsyabandiyah, dengan tiga cabangnya (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Tarekat Naqsyabandiyah ini kemudian terpecah-pecah setelah Syeikh Abdul Karim al-Banten yang merupakan mursyid terakhirnya wafat. Pengarahan Syeh Abdul Karim semasa hidupnya dahulu senantiasa dipatuhi oleh sesama khalifahnya, tetapi setelah beliau meninggal cabang-cabang satu dengan yang lainnya tidak lagi saling bergantung. (Bruinessen,1992 : 93)

    Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan hampir ke seluruh Indonesia. Pontianak merupakan salah satu kota persebaran Tarekat Naqsyabandiyah yang sampai saat ini masih

  • 141Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Samidi

    banyak memiliki pengikut atau murid. Oleh sebab itu, penelitian ini berupaya mengungkap ajaran tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak Kalimantan Barat. Kajian mengenai tarekat telah banyak dilakukan oleh para peneliti, namun sepengetahuan penulis tidak banyak kajian yang berdasarkan Naskah atau manuskrip. Manuskrip sebagai salah satu jenis peninggalan atau warisan para ulama (intelektual muslim) Nusantara, merupakan simbol jati diri Bangsa Indonesia.

    Secara historis, kebanyakan para penulis naskah (manuskrip) pada zamannya memiliki tujuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain atau masyarakat. Naskah atau manuskrip mempunyai otoritas dan otentisitas kesejarahan yang tinggi dalam merekam dan menceritakan suatu peristiwa pada zamannya (masa lampau). Seorang peneliti naskah harus mampu membuka segala aspek di dalam naskah tersebut, karena di dalamnya terdapat teks yang memuat berbagai informasi tentang peristiwa-peristiwa pada masanya. Teks dalam naskah memuat berbagai informasi secara jujur dan objektif, tanpa adanya tendensi apapun, kecuali untuk caatan dan sumber informasi bagi masa sesudahnya. (Nasarudin dalam Adiwidjajanto, 2008:63)

    Penelitian ini adalah tentang naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah (NTN) yang penulis dapatkan dari H. Abang Zahry Abdullah Al Ambawwi, salah seorang pengurus Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalimantan Barat. Naskah tersebut memberikan petunjuk tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah yang ada di Kalimantan Barat. Sebagai salah seorang pengurus MABM, beliau juga masih termasuk keluarga Kerajaan Al Kadriyah Pontianak. Naskah tersebut banyak memberikan informasi tentang ajaran, ritual, dan tata cara pengamalan Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak.

    Di Kalimantan Barat khususnya Pontianak, Tarekat Naqsyabandiyah mulai dikenal oleh masyarakat kalimantan Barat pada masa penjajahan Belanda (sekitar tahun 1919) setelah kembalinya Ismail Jabal dari Mekah. (Rahimi, 2007:3) ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak memiliki ciri khas yang berbeda dengan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah lain. Jika dikaji dari sumbernya langsung, yakni naskah atau manuskrip yang ditulis oleh para guru-guru Tarekat. Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah, memberikan petunjuk tentang bagaimana seorang salik sebelum mengamalkan ajaran tarekat, amalan apa saja yang harus dibaca, bagaimana akhlak yang harus dimiliki, dan masih bayak lagi informasi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah ini sangat menarik untuk dikaji dari sisi ajaran yang terkandung di dalamnya, atau dari sosio-historis penulisan naskahnya.

    Berdasarkan paparan permasalahan tersebut, maka penelitian ini berupaya mengungkap ajaran Tarekat Naqsyabandiyah berdasarkan naskah Nukilan Tarekat Naqsyabaniyah.

  • 142 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    Metode

    Penelitian ini adalah penelitian literer, dengan mengungkapkan berbagai aspek dalam naskah (manuskrip). Isi atau teks yang terkandung di dalam naskah Nukilan Tarekat Naqsyabaniyah akan dikaji dengan pendekatan Hermeneutika. Dalam analisis ini, peneliti bertindak sebagai penafsir, artinya teks dalam naskah tersebut diterjemahkan, diartikan, dan ditafsirkan.

    PembAhAsAnAjaran Tarekat Naqsyabandiyah dalam Naskah NTN 1. Ajaran Taubat

    Sebagai seorang salik memiliki kesadaran dan mengakui, sekalipun hanya dalam hati, pernah melakukan dosa, melanggar aturan Allah SWT. Pelanggaran atas aturan atau syariat Allah Swt ini yang kemudian dikenal dengan dosa. Segala dosa yang telah diperbuat, baik itu secara sengaja atau tidak, dapat menjadikan malas beribadah. Dosa sekecil apapun akan tetap mengotori hati, jiwa, dan juga akal pikiran, pada ujungnya adalah menjadi penghalang melakukan ibadah. Jika hati telah kotor, jiwa menjadi malas, akal pikiran tidak lagi jernih, tidak segera dibersihkan, maka akan menjadi hijab (benteng ghaib) yang menghalangi hubungan manusia (sebagai hamba) dengan Allah SWT sebagai Khaliqnya. Hati yang ternoda, jiwa yang kotor, akal pikiran menjadi liar, sehingga hidup tidak tenang, jauh dari cinta (mahabah) dan kasih (rahim) Allah SWT.

    Langkah awal yang harus ditempuh dalam melakukan perjalanan ruhaniah, menuju cinta dan kasih sayang Allah Swt, adalah dengan cara membuka pintu ampunan-Nya. Membuka pintu ampunan atau yang kita kenal dengan istilah taubat, adalah memohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Namun bagi kalangan sufi, taubat tidak hanya menyesal karena telah berbuat dosa, tetapi lalai atau lupa tidak mengingat Allah (zikir) dalam waktu tertentu saja harus melakukan taubat.

    Ajaran taubat itu disebutkan dalam naskah NTN pada bagian awal, bahwa ajaran atau ritual pertama yang harus dilakukan oleh seorang salik adalah taubat. Ajaran ini memiliki peran yang cukup besar dalam dunia tasawuf, khususnya bagi mereka yang masuk dalam dunia tarekat.

    Taubat secara lughat (bahasa) berarti kembali, yaitu kembali ke ajaran Allah Swt yang berdasarkan al Quran dan al Hadits. Untuk membuka pintu ampunan Allah ini tidaklah mudah, harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

    Pertama, seseorang harus menyesali akan segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat. Bahkan jika perlu, dihitung satu persatu, selalu diingat segala dosa dan kesalahan tersebut. Dengan cara ini akan membuat semangat

  • 143Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Samidi

    dengan sungguh-sungguh mohon ampun kepada-Nya, dengan meneteskan air mata setiap kali berdoa, mohon ampun pada-Nya.

    Kedua, berikrar sepenuh hati untuk berhenti selama-lamanya dari kebiasaan jelek yang menimbulkan dosa, atau dari segala perbuatan yang menyebabkan penyesalan. Berjanji dengan kesaksian atas nama Allah Swt, untuk tidak mengulangi semua perbuatan tersebut.

    Ketiga, apabila melakukan dosa yang berkaitan dengan sesama manusia (haqul adam), maka harus meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.

    Bagi para salik, taubat menjadi suatu kewajiban, sekalipun di mata orang biasa (awam) mereka tidak pernah melakukan kesalahan. Ada beberapa pendapat para sufi, tentang apa itu maksud taubat yang sebenarnya.

    Dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia itu laksana debu dan hati ibarat kaca. Kaca yang belum terkena debu tentunya bersih dan tembus pandang. Kaca yang bersih akan mampu dipakai untuk melihat cahaya di balik sana, dan apa-apa yang ada di balik sana. Namun sedikit demi sedikit ada debu yang menempel. Jika dibiarkan kaca itu semakin lama semakin buram dari pada akhirnya gelap sama sekali. Kalau sudah dalam keadaan demikian, debu tadi menempel dengan keras dan untuk membersihkannya memerlukan jerih dan usaha yang keras. Kalau kaca sudah tertempeli debu, maka tak akan mampu menembuskan sinar atau tak akan mampu dipakai melihat apa-apa yang ada di baliknya. Itulah ibarat hati yang jika terkena noda dosa dibiarkan selalu. Pada akhirnya permukaan mata hati tertutup sama sekali, kita tak bisa berhubungan dengan Tuhan. Bahkan untuk menerima ilmu saja sulit rasanya. Cara membersihkannya ialah dengan bertaubat. Sebagaimana dijelaskan dalam naskah NTN bahwa seorang salik sebelum memasuki suluk harus melakukan salat taubat dan membaca zikir taubat, yaitu doa sayidul istigfar.

    Salat taubat ini dikerjakan boleh kapan saja, tanpa dibatasi oleh waktu kecuali waktu-waktu yang diharamkan salat. Salat taubat dapat dikerjakan setiap hari, minimal setiap bulan sekali, atau setahun sekali. Hal ini dijelaskan dalam teks :

    Ini sembahyang Taubat dimana suka boleh, kita mengerjakannya tiap-tiap bulan tahun (NTN, h.3).

    Salat taubat lebih afdal dikerjakan pada malam hari, dalam suasana yang hening, sehingga menambah kekhusyukan. Salat taubat dikerjakan dua rakaat, seperti salat-salat sunnah lainnya. Adapun tata cara salat taubat dijelaskan dalam teks :

    Niat salat Taubat :

    Ini Usallinya Ualli sunatan taubati rakataini lillhi ta l Allhu Akbar . Artinya : Ku sembahyang sunnah taubat dua rakaat karena Allah. (NTN, h.3)

    Rakaat Pertama setelah membaca Surat al-Fatihah kemudian membaca ayat berikut :

  • 144 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    I Faal fkhisyatan aw alam anfusahum akarallha fastagfir Lizun(bi) Waman yagfiru a-unuba Illallh. Walam yusyrik al m faal wahum yalamn ulika jaz uhum min rabbihim wajann tun tajr min tahti(h)al anhru khlid na fh wanima ajru almil na ( NTN, h.3-4).

    Rakaat kedua setelah membaca surat al-Fatihah membaca ayat : Wa Man yamal s an ya()lim nafsahu umma yastagfirullha yajidill

    ha Gafrrahm (NTN, h.4).

    Setelah selesai melakukan salat sunah taubat, kemudian membaca :

    1. Astagfirullh al am 7 kali 2. Tasbih 100 kali.

    3. Membaca :Subnall hil am l ilha (illa) Allhu Wadahul syar kalahu lahul mulku

    walahul amdu yuhyi wayumtu Wahuwa al kulli syaiin qadr 10 kali.

    Kemudian membaca sayidul istigfar sebagai berikut :Allahumma anta rabb l ilha illa anta khalaqtan, Wa ana al abduka wa ana al

    ahdika, Wawadika masta()atu, aubika min syarri m anatu abu laka binimatika alayya, wa abu bianb, (fagfirl) fainnahu l yagfiruunba illa anta.

    Artinya : Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Telah Kau ciptakan aku dan

    karena itu aku hamba-Mu. Aku senantiasa berada dalam kekuasaan-Mu, aku tidak memiliki kemampuan dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat yang Kau berikan padaku, dan kuakui pula dosaku, maka ampunilah aku, karena

    sesungguhnya tak ada yang dapat menghapuskan segala dosa kecuali Engkau.

    2. Konsep Zikir Tarekat NaqsyabandiyahAmalan pokok paling mendasar bagi penganut Tarekat Naqsyabandiyah

    adalah dzikrullah (mengingat Allah). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Mir Valiuddin (1996 : 20), bagi para pengamal tarekat naqsyabandiyah meyakini bahwa waktu luang seseorang itu sangatlah berharga dan bernilai, serta tidak boleh dibiarkan berlalu sia-sia begitu saja. Waktu luang itu mestilah digunakan untuk melantunkan zikir kepada Allah SWT. Tarekat Naqsyabndiyah tidak memerlukan banyak berjaga malam dan lapar, tetapi hendaklah mengambil jalan tengah dalam segala perkara beserta hari yang selalu hadir mengingat Allah, baik menyendiri maupun ketika sedang berkumpul dengan orang banyak.

    Hadits-Hadits yang menerangkan kelebihan zikir itu cukup banyak. Adapun zikir bagi kalangan pengamal (salik) Tarekat Naqsyabandiyah, khususnya Naqsyabandiyah Mazhariyah di Pontianak berdasarkan naskah NTN yaitu :

    1. Zikir Lisan (lidah)

    Zikir dengan lisan ialah menyebut Allah dengan berhuruf dan bersuara, dilakukan seribu kali dalam sehari semalam. Adapun tata cara sebelum melakukan zikir ismu zat (Allah...Allah) itu diterangkan dalam naskah NTN

  • 145Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Samidi

    pada halaman 7 sebagai berikut :

    a. Membaca Istigfar (astagfirullha rabb min kulli anbin wa atbu ilaihi) 5 X.

    b. Membaca Salawat (Allahhumma alli ala sayyidina muammadin wa al li sayyidina Muammad) 5 X.

    c. Membaca Surat Al Fatiah untuk guru 1 X.d. Membaca Surat Al Ikhlas (Qul Huwallahu Aad) 3 X.e. Membaca ismu zat (Allah) 1000 X.

    f. Membaca doa Ilh anta maqud warika malub atin Maabbataka wa marifataka di dalam hati.

    Zikir lisan ini sukar untuk dilakukan secara kontinyu (terus menerus), karena banyak kesibukan yang mengganggu, dari mencari nafkah, berusaha menutupi keperluan hidup, dan berbagai urusan duniawi lainnya. Meskipun zikir lisan ini sangat sulit, tetapi bagi para salik tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tetap mengamalkannya, karena mereka sudah terikat dengan baiat. Oleh sebab itu untuk menjaga amaliah agar tetap dawam atau istiqomah, sang mursyid menganjurkan agar salik untuk mengimbanginya dengan zikir qalbi. Dengan maksud zikir qalbi ini dapat menutupi kekurangan zikir lisan sang salik.

    2. Zikir Qalbi (hati)

    Zikir qalbi atau zikir dengan hati bagi para pengamal tarekat Naqsyabandiyah itu menjadi amaliah sir (rahasia) yang dipandang memiliki banyak fadilah (keistimewaan). Zikir qalbi yang dimaksud ialah mengingat atau menyebut Allah dalam hati, tidak berhuruf dan tidak bersuara. Zikir dalam hati itu tidak mudah diganggu oleh kesibukan-kesibukan duniawiah, sehingga relatif lebih mudah dilakukan dimana saja dan kapan saja. Keistimewaan lainnya adalah amal ibadah yang tidak terlihat oleh orang lain, sehingga terbebas dari sifat riya atau pamer.

    Oleh karena itu penganut Tarekat Naqsyabandiah memilih zikir qalbi, karena peranan hati dalam kehidupan sangat menentukan. Hati adalah tempat iman, sumber pancaran cahaya dan penuh dengan rahasia. Jika hati baik, niscaya anggota tubuh yang lain akan menjadi baik, dan apabila ia kotor atau tidak baik, melekat didalamnya sifat-sifat tercela (mazmumah), maka seluruh anggota menjadi kotor dan tidak baik.

    Titik berat amalan penganut tarekat itu adalah zikrullah secara berkesinambungan, pada waktu pagi, sore, siang, malam, duduk, berdiri, di waktu sibuk dan di waktu senggang.

    Zikir hati ialah tafakkur mengingat Allah, merenungi rahasia ciptaan-Nya secara mendalam dan merenungi tentang zat dan sifat Allah Yang Maha Mulia. Adapun tafakur dalam tarekat Naqsyabandiyah itu ada 3 (tiga) macam,

  • 146 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    yaitu :

    1. Tafakur Murat, yaitu dengan memperhatikan atau merenungkan segala seuatu ciptaan Allah swt yang ada alam semesta ini yang dapat menghantarkan seorang salik kepada kecintaan Allah swt.

    2. Tafakur Aini, artinya senantiasa mengingat Allah swt dalam segala hal dan ahwal.

    3. Tafakur Nafas, yaitu menjaga keluar masuknya nafas untuk senantias mengingat Allah swt. Tafkur ini caranya yaitu, keluarnya nafas Huw dan masuknya nafas Allah (Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah, hal. 8-9).

    Demikian ajaran zikir Tarekat Naqsyabandiyah di dalam naskah NTN, hanya mengulas tentang sedikit metode zikir yang harus diamalkan oleh pengikutnya. Masih banyak ajaran zikir yang belum dimuat, mungkin ini sesuai dengan judul naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah. Sebatas nukilan-nukilan yang tidak memberikan penjelasan atau keterangan secara lengkap tentang metode, adab, kaifiat, atau tingkatan zikir dalam tarekat Naqsyabandiyah.

    3. Konsep Makrifat Tarekat Naqsyabandiyah.

    Maqamat atau tingkatan ruhaniah bagi para salik Tarekat Naqsyabandiyah dalam berjalan menuju Allah swt itu dibagi menjadi 4 (empat), yaitu : Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat. Konsep mendekatkan diri pada Tuhan melalui 4 tingkatan atau maqamat tersebut dapat dilihat dalam naskah NTN pada halaman 8-9, sebagai berikut :

    (Ini pasal Syariat dan Tarekat dan Makrifat)Mengetahui pekerjaan satu-satu yang empat serta mengetahui yang dinamakan yang empat itu : Adapun artinya Syariat itu perbuatan, Adapun artinya Tarekat itu jalan perbuatan, Adapun Haqiqat itu menetapkan perbuatan akan sesuatunya,Adapun Makrifat itu tetap tiada lagi bergerak.Adapun Marifat sebenar-benarnya menetapkan barang yang diputuskan oleh haqiqat,Adapun haqiqat memutuskan sesuatu,Adapun Tarekat menjalankan yang diputuskan oleh Haqiqat,Adapun Syariat tempat zahir perbuatan yang tiga itu,Adapun yang tersebut diatas ini terhimpun semuanya kepada Makrifat,Jadi itu semua itu Makrifat. (h.8)

    Ini Suatu FasalApa nama jalan yang empat pada tubuh kita manusia, Pertama Syariat dan kedua Tarekat dan ketiga Haqiqat dan keempat Marifat itulah itulah jalan yang empat.Pada tubuh kita manusia maka marifat itu dimana istananya, dan Tarekat

  • 147Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Samidi

    itu dimana istananya, dan Haqiqat itu dimana istananya, dan Syariat itu dimana istananya. Maka jawabnya : maka Syariat itu pada lidah istananya, dan Tarekat pada hati istananya, dan Haqiqat itu pada jantung istananya, dan makrifat itu pada ruh istananya (h.9).

    Berdasarkan teks tersebut, adapun artinya syariat itu perbuatan dapat diartikan bahwa syariat itu merupakan tahap awal salik dalam menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah, atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Dalam tahap atau maqamat ini, seorang salik diharuskan untuk suci secara lahiriah, yaitu dengan cara berwudlu (mengggunakan air) ketika hendak melaksanakan salat pada umumnya.

    Pada maqam syariat, seorang salik wajib menegerjakan salat lima waktu, yang diikuti dengan zikir lisan setelahnya, dengan berpedoman pada aturan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini, seseorang diharuskan melaksanakan salat dan berbagai macam kewajiban agama lainnya, secara terus menerus, tepat dan tekun. Zikir lisan merupakan laku pertama yang harus dikerjakan oleh seorang salik, karena pada maqam ini mengutamakan pada aspek zahiriyah, dan pusat amaliah zikir secara syariat ini adalah pada lisan. Dengan demikian, maqam syariat ini dapat disebut sebagai Sembah Lisan bagi salik Tarekat Naqsyabandiyah yang sedang menuju Allah swt. Sebagaimana diungkapkan dalam teks sebagai berikut:

    Dan Syariat itu dimana istananya. Maka jawabnya maka Syariat itu pada lidah istananya(h.9).

    Maqam syariat merupakan rangkaian jalan hidup seorang salik, meskipun menekankan gerak laku jasmani tetapi juga tetap harus berpedoman pada aspek-aspek batiniah (tarekat, hakikat dan makrifat). Laku spiritual salik harus tetap berpedoman pada al-Quran dan as-Sunnah, karena dengan landasan tersebut, maka akan terkumpul semua aspek, dengan kata lain syariat adalah cermin sempurnanya laku spiritual. Dengan demikian pada maqam syariat ini sebenarnya terdapat semua aspek atau maqam tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam teks :

    Adapun Syariat tempat dzahir perbuatan yang tiga itu (h.8).

    Maqam Tarekat dalam ajaran Tarekat Naqsyabandiyah adalah maqam dimana seorang salik dalam beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan lebih mengutamakan hati atau batin, sebagaimana dalam teks, Adapun artinya Tarekat itu jalan perbuatan. Tarekat yang dalam bahasa Arab berarti jalan, dalam teks diartikan dengan jalan perbuatan. Dengan demikian tarekat lebih merupakan aspek esoteric (batin) dari syariat itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan dalam teks, bahwa tarekat itu merupakan laku atau apa-apa yang telah diputuskan oleh hakikat :

    Adapun Tarekat menjalankan yang diputuskan oleh Haqiqat (h.8).

  • 148 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    Tarekat sebagai laku batin, didasarkan pada aspek zikir yang diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu zikir lisan dan zikir qalbi. Para salik lebih banyak mengambil zikir qalbi daripada zikir lisan, yang tidak terikat oleh waktu dan keadaan. Dengan zikir qalbi ini, dapat memberikan dampak pada kebersihan batin atau hati dari sifat-sifat tercela. Zikir Qalbi ini yang akan memberikan atsar atau efek yang lebih besar bagi para salik pada kesadaran untuk mengendalikan hawa nafsu dari keinginan-keinginan duniawiyah. Qalbi atau hati merupakan pusat dari zikir tarekat, sebagaimana diungkapkan dalam teks : dan Tarekat pada hati istananya (h.9).

    Dengan demikian, maqam tarekat bagi para pengamal Tarekat Naqsyabandiyah yang mengutamakan qalbi (hati) dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah swt, dapat disebut dengan maqam Sembah Hati.

    Maqam Hakikat, dalam istilah naskah NTN ini disebut dengan Sembah Jantung, karena pusat ibadah atau zikir maqam ini adalah pada jantung. Sebagaimana disebutkan dalam teks : dan Haqiqat itu pada jantung istananya (h.9). Pada maqam (tingkatan) ini seorang salik sudah pada saatnya menetapkan perbuatan akan sesuatunya. Adapun Haqiqat itu menetapkan perbuatan akan sesuatunya, artinya adalah bahwa seorang salik jika telah sampai pada maqam hakikat ini berarti dia mengetahui rahasia di balik suatu perbuatan atau kejadian. Maqam hakikat ini adalah laku spiritual sang salik dalam mendekatkan diri kepada Allah swt dengan mengutamakan detak jantung. Di dalam jantung terdapat ruh, yang sifatnya sangat halus dan lebih dalam dari kalbu. Dalam setiap detak jantung seorang salik harus selalu ingat kepada Allah, jangan sampai gaflah (lupa), dan lebih meresapi semua aspek ibadah, secara menyeluruh tanpa henti setiap harinya.

    Dengan demikian seorang salik tidak ragu lagi dalam mengambil keputusan, tidak memiliki rasa takut dan khawatir dalam mengatasi perubahan hidup dan kehidupan. Sebagaimana diungkapkan dalam teks : Adapun haqiqat memutuskan sesuatu, artinya memutuskan segala sesuatu selain Allah swt.

    Berbeda dengan maqam syariat dan tarekat, karena pada tahap hakikat (Sembah Jantung) ini merupakan akhir perjalanan (suluk) menuju Allah swt. Pada tahap syariat mengutamakan laku perbuatan zahir, pada tahap tarekat mengutamakan kesucian kalbu dari kejahatan hawa nafsu, dan menggantinya dengan akhlak al-karimah. Maka pada tahap hakikat ini lebih mengutamakan pada pengisian seluruh aspek jiwa, memutuskan segala sesuatu dari selain Allah swt. Pada maqam ini seorang salik hati dan jiwanya senantiasa penuh dengan kesadaran, zikir kepada Allah Swt, dan mengosongkan dari apa saja selain Dia. Setiap detak jantungnya adalah zikrullah, ingat kepada Allah, tidak pernah kosong dari Dia.

    Pada maqam Makrifat ini, seseorang sudah benar-benar tenggelam dalam alam ruh. Menggunakan segala daya hidup yang dimiliki oleh ruh

  • 149Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Samidi

    untuk menghayati segala intisari kehidupan makhluk di alam semesta, dalam mendekatkan diri pada Allah swt. Pusat atau istana ibadah ahl al-Makrifat ini pada ruh, sehingga dapat dikatakan bahwa maqam makrifat ini adalah maqam Sembah Ruh. Sebagaimana disebutkan dalam naskah : dan makrifat itu pada ruh istananya (h.9). Ruh adalah media yang mampu menangkap segala gambaran Tuhan, karena ruh itulah yang merupakan percikan dari zat Tuhan itu sendiri yang diberikan kepada manusia.

    Ketika seorang salik sudah menguasai Sembah Ruh, mencapai maqam Makrifat, maka tidak lagi membutuhkan bimbingan guru. Sang salik harus menggunakan kekuatan batinnya sendiri, karena sudah tidak ada lagi tabir penutup antara dirinya dengan Tuhan. Sehingga seluruh kesadaran salik berada dalam genggaman kekuasaan Allah SWT, tiada gerak dan diam bagi salik melainkan Allah yang menggerakkan, sebagaimana disebutkan dalam teks: Adapun Makrifat itu tetap tiada lagi bergerak (h.8).

    Jika pada tahap syariat seorang salik melakukan Sembah Lisan, pada maqam tarekat seorang salik mendekatkan diri pada Tuhan dengan qalbunya, pada tahap hakikat berarti seorang salik mendekatkan diri pada Tuhan dengan menggunakan jantungnya, maka pada tahap makrifat ini berarti seorang salik telah mampu menggunakan ruh itu sendiri untuk menatap Wajah Tuhan. Jadi, makrifat yang dimaksud disini adalah keadaan setelah sang salik mampu memutuskan segala sesuatu selain Allah SWT (alam dan seisinya), kemudian memutuskan untuk bersama Allah SWT itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan dalam teks: Adapun Makrifat sebenar-benarnya menetapkan barang yang diputuskan oleh haqiqat (h.8).

    Konsep makrifat merupakan tahap terbukanya hijab antara manusia dengan Tuhan. Bagi orang yang telah mencapai kematangan ruhani pada maqam makrifat ini, tidak lagi memiliki rasa was-was atau takut, karena sudah manunggal (bersatu) antara kehendak dirinya dengan kehendak Tuhan. Kematangan rohani tersebut tidak hanya nampak dalam aspek perilaku jasmani dan jiwanya saja, tetapi juga dalam mengenal Tuhan dengan lubuk hati sanubarinya (rasa).

    Melalui zikir dan tafakur bagi para pengamal Tarekat Naqsyabandiyah, maka seorang salik akan terbuka hijabnya dan mencapai derajat makrifat. Makrifat merupakan keadaan dimana sang salik sudah benar-benar seluruh kesadaran tubuhnya dikendalikan oleh Ruh. Ruh yang merupakan pancaran Ilahi, tiada lagi gerak dan diamnya hamba melainkan diam dan geraknya Allah swt itu sendiri. Inilah kondisi ruhaniah seseorang yang telah mampu menguasai Sembah Ruh, merasakan kehadiran Ilahi dalam setiap ucapan (lisan), apa yang dibatin (qalbi), dan setiap hembusan nafasnya (detak jantung), hanyalah Allah semata. Keempat perangkat sembah tersebut (lisan, qalbi, jantung, dan ruh) benar-benar telah berfungsi sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk memutuskan apa-apa selain Dia, dan menyemayamkan Dia di dalamnya.

  • 150 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    PenutuPNaskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah yang penulis singkat dengan

    NTN adalah naskah dan teks tunggal yang tidak ada pembanding dan tidak ada teks yang dapat dibandingkan. Naskah tersebut merupakan salah satu koleksi pribadi dari Drs. Haji Abang Zahry Abdullah Al-Ambawwi, yang tinggal di Jalan Surya No.12 RT 05 / VII Kelurahan Akcaya, Pontianak Kalimantan Barat. Beliau merupakan salah satu pengurus Masyarakat Adat dan Budaya Melayu (MABM) yang berada di Jl. Sutan Syahrir, Kota Baru Pontianak.

    Naskah NTN tergolong muda, karena ditulis pada awal abad ke-20. pada halaman sampul terdapat tulisan dari pemilik naskah, yang memberi nama naskah tersebut Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah, sedangkan judul di dalam teksnya adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Dengan demikian, judul dalam sampul atau naskah sesuai dengan teks, antara judul dalam dan luar teks sama. Naskah tersebut ditulis oleh Kyai Bijaksana dari Negeri Piasak, dengan bahasa Melayu dan ditulis dengan aksara Jawi. Adapun ukuran teksnya tidak beraturan, tidak memiliki kesamaan jumlah baris pada tiap halaman dalam bentuk prosa

    Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di dalam naskah NTN, hanya mengulas tentang sedikit metode zikir yang harus diamalkan oleh pengikutnya. Masih banyak ajaran zikir yang belum dimuat, mungkin ini sesuai dengan judul naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah. Sebatas nukilan-nukilan yang tidak memberikan penjelasan atau keterangan secara lengkap tentang metode, adab, kaifiat, atau tingkatan zikir dalam Tarekat Naqsyabandiyah.

    Sekalipun berupa nukilan, naskah NTN cukup memberikan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Tarekat Naqsyabandiyah tentang pengetahuan dan jalan bagi para salik atau murid untuk mencapai wushul atau marifat. Oleh sebab itu, secara ringkas naskah NTN memberikan pengetahuan tentang ajaran taubat, zikir, konsep makrifat, dan cara mencapai tingkat keyakinan tersebut.

  • 151Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Samidi

    Adiwidjajanto, Koes (ed). 2008. Filologi Teks dan Manuskrip. Surabaya : IAIN Sunan Ampel

    Al-Taftazami, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 1985. Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. terj. Ahmad Rofi Utsmani, Bandung: Pustaka

    Amin, Syekh Najmudin, tt. Tanwirul Qulub. Beirut: Darul Fikri

    Atjeh, Abu Bakar. 1996. Pengantar Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu

    Atjeh, Abu Bakar. 1988. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadani

    Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

    Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning. Bandung: Mizan

    .................. 1992. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia : Survey Historis, Geografis, dan Sosiologis. Bandung : Mizan

    Burhanuddin, Mamat S. 2006. Hermeneutika Al Quran Ala Pesantren (Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya KH. Nawawi Banten). Yogyakarta: UII Press

    Depag RI, Tim Penerjemah al-Quran. 1975. Al Quran Dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al Quran, Depag

    Ensiklopedi Indonesia. 1984. Jakarta : Ichtiar Baru-Van Hoeve

    Gadamer, Hans, 1977, Philosophical Hermeneutics, diterjemahkan oleh David E. Linge, London-Englan: University of California Press

    H. A. R Gibb, 1911, Mohammedanism, London

    Idaroh Aliyah. t.t. Thariqah Mutabaroh Nahdliyah. Semarang. Toha Putera

    Khaeri, Syekh Fadhlullah. The Elements of Sufism, terj. Muhammad Hasyim Assegaf. Jakarta: Lentera Baristama

    Khalili, Al Bamar & Hanafi, R. 1990. Ajaran Tarekat. Surabaya: Bintang Remaja

    Makluf, Louis. 1973. al-Munjid. Beirut: Darul Masyriq

    Naqsyabandi, Syekh Muhamad bin Abdullah. 1977. Al Bahjatus Sunniah. Turki : Fatih Istambul

    Nasution, Harun,dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Lengkap Indonesia. Jakarta : Djambatan

    DAFTAR PUSTAKA

  • 152 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak(Study Naskah Nukilan Tarekat Naqsyabandiyah)

    Rahimi, Muhamad. 2007. Asbal dalam Tarekat Naqsyabandiyah, dalam Khatulistiwa Journal of Islamic Studies. Pontianak : STAIN Pontianak Press

    Said, Fuad. 2003. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah. Jakarta : Pustaka al-Husna Baru

    Saputra, Karsono H. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

    Sihab, Alwi. 2001. Islam Sufistik : Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia. Bandung : Mizan

    Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo

    Sumaryono, 1999, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius

    Trimingham, J. Spencer. 1999. The Sufi Orders in Islam, terj. Lukman Hakim. Bandung: Pustaka

    Valiuddin, Mir. 1996. Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf. Bandung : Pustaka Hidayah

    Zahri, Mustafa. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu

  • 153Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    AbstrAct :Conduct to Markun book a Kyai Tumenggung Arungbinang essay

    explaining the problem of prayers. Prayer is an act that begins with takbiratul ikhram, ushalli intend to read, read the letter al-Fatikhah, bow, itidal, prostrate and tahiyat and ends with a greeting. Conduct of Book Markun gives specific meaning to the members in the prayer. Takbiratul Ikhram (standing) meant as a reminder that everything comes from nothing into existence. When lafad Allahu Akbar read is to strengthen your heart (those who perform their prayers) to Allah who has created the Great from nothing into existence.

    Intention is the lust of the prayers, because if the intention was not due to glorify God Almighty could make you disbelievers. The Spell of ushalli is not the intention, because the main intention is an intention where there is no difference between the position and Kawulo Gusti. If God has loved a servant, then all requests will be granted.

    Surat al-Fatihah is a spirit of prayer, because the letter al-Fatihah is heart of Al-Quran and Al-Fatihah heart is in his heart of Bismillah and the heart of Bismillah is the letter Alif. Bow down to the bone prayer. Bow is not just bow, but humbles them before God Almighty that the actual bow. Itidal a body prayer, while prayer tahiyyat be hand foot and will be praying. Tahiyyat real meaning is not worship besides Him, have no desire other than to Him.

    Keywords: Prayer, Book of Conduct of Markun, Kyai Tumenggung Arungbinang.

    PendAhuluAnRuntuhnya kerajaan Majapahit sekitar tahun 1478 M, menjadikan pusat

    kekuasaan pemerintahan pindah ke pesisir utara yaitu ke Demak Bintara dengan pemerintahan bercorak Islam. Pengaruh Islam semakin bertambah dengan masuknya Brawijaya V, raja terakhir Majapahit yang menjadikan rakyat berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam istilah orang Jawa dikenal prinsip agama ageming aji dalam arti agama rakyat mengikuti agama rajanya, apalagi setelah disusul berdirinya kerajaan Demak sebagai kerajaan yang menggunakan kitab suci al-Quran sebagai

    mAKnA sAlAt dAlAm nAsKAh SULUK SAKING KITAB MARKUN KArAnGAn

    KIAI tumenGGunG ArunGbInAnG

    Oleh UmI maSfIah

    PENELITIAN

  • 154 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    undang-undang.(Hariwijaya, 2004: vii)

    Bidang karya sastra juga mengalami perubahan. Pada jaman Hindu-Budha sastra Jawa kebanjiran kata-kata bahasa Sansekerta, cerita-cerita Hindu dan pustaka-pustaka agama Hindu dan Budha, pada jaman Islam Demak Bintara bahasa Jawa menjadi bertambah kaya lagi dengan masuknya istilah-istilah bahasa Arab dan cerita-cerita yang pernah terjadi di tanah suci Ngarbi dan panutan-panutan agama Rasul.(Djojosantoso, 1989: 13)

    Karya sastra-karya sastra yang kebanyakan ditulis oleh para pemuka agama ini pada awalnya masih berbau Hindu-Budha dan berbentuk loka, disamping yang menggunakan bentuk prosa atau gancaran.(Djojosantoso, 1989: 13) Kemudian dengan masuknya unsur-unsur pengetahuan agama Islam pada karya sastra, maka muncullah suluk. Kata suluk dimungkinkan berasal dari pergeseran kata loka (Djojosantoso, 1989: 14) dan bentuk karangan suluk juga dimungkinkan merupakan pengembangan dari bentuk loka karena pada masa tersebut belum terdapat bentuk karya sastra baru.(Djojosantoso, 1989: 13)

    Proses Islamisasi yang terjadi pada masyarakat Jawa waktu itu ternyata tidak mudah karena masyarakat Jawa telah mengenal dan menganut ajaran agama Hindu terlebih dahulu. Faktor ini menjadi salah satu penyebab corak ke-Islaman masyarakat Jawa bernuansa sinkretik sebagaimana dikemukakan oleh M. Hariwijaya bahwa Islam Jawa yang dianut sebagian masyarakat adalah Islam sinkretik, penuh khurafat dan sebagainya. (Musahadi, dkk., 2004: xi)

    Pandangan sinkretis dan mistis berperan memberi sumbangan yang besar bagi pertumbuhan kepustakaan Jawa khususnya kepustakaan Islam yang berpusat di keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta. (Suhandjati, 2004: 6) Karya sastra-karya sastra yang dihasilkan para pujangga-pujangganya memiliki corak beragam, salah satunya berupa serat suluk. Sebagaimana digambarkan dalam bagan sebagai berikut:(Sudardi, 2003: 78)

    Lelampahan : kisah-kisah petualangan

    Carios Babad : sejarah

    Serat Suluk : ajaran mistik Islam

    Piwulang Etika : ajaran / tata krama

    Mistik : ajaran mistik & lakunya

    Naskah serat suluk yang berisi ajaran-ajaran mistik Islam memiliki ciri khas bercorak tasawuf. Sebagaimana diketahui, daya resepsi keraton

  • 155Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    untuk masalah persentuhan budaya, terutama budaya spiritual keagamaan masih terbatas pada format tasawuf.(YKII, 2006: 5) Pada masa tersebut, kebanyakan karya sastra yang ditulis berupa kitab-kitab jenis Suluk, misalnya Suluk Burung, Suluk Bonang, dsb.

    Naskah serat suluk termasuk dalam kepustakaan Islam Kejawen. Kepustakaan Islam Kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan syariat, tasawuf dan budi luhur.(Simuh, 1998: 2) Ciri khusus kepustakaan Islam Kejawen antara lain ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa dan bentuk tulisan yang digunakan bervariasi, sebagian menggunakan tulisan huruf latin, huruf Arab pegon dan tulisan huruf Jawa. (Simuh, 1998: 2)

    Kepustakaan Islam Kejawen mencakup di dalamnya naskah-naskah yang disusun pada masa kerajaan Kartasura. Kerajaan Kartasura setelah dipecah menjadi tiga, yaitu Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran semua kekuasaan dirampas oleh Belanda sehingga konsentrasi istana terfokus pada bidang kesusastraan dan seni.

    Pada masa ini, perkembangan kesusastraan dan seni sangat pesat. Begitu pesatnya perkembangan kesusatraan dan seni hingga G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanesse letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan baru yang berlangsung selama 125 tahun sekitar tahun 1757 hingga tahun 1873 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita), atau bahkan sampai tahun 1881 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita dan raja Mangkunagara IV). (Simuh, 1998: 25)

    Naskah serat suluk Saking Kitab Markun sebagai bagian dari naskah yang disusun pada masa renaissance of modern javanesse letters tentunya memiliki nilai penting berkaitan dengan perkembangan pemikiran Islam Kejawen dan sinkretisasi yang muncul di dalam naskah-naskah Islam Kejawen. Selain itu, belum banyak ditemukan penelitian terhadap naskah suluk di masyarakat serta yang lebih penting lagi isi yang terkandung di dalam naskah serat suluk Saking Kitab Markun menarik untuk dikaji lebih lanjut.

    Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, penelitian kepustakaan Islam Kejawen memfokuskan pada kajian isi naskah Serat Suluk Saking Kitab Markun karangan kiai Tumenggung Arungbinang.

    KerAnGKA KonsePtuAlKerangka konseptual kajian naskah serat suluk Saking Kitab Markun akan

    menguraikan pengertian naskah dan pengertian semiotika poststruktural yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Kerangka konseptual ini diuraikan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai naskah dan metode analisis semiotika poststruktural.

  • 156 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    1. Naskah

    Naskah (manuscript/hanscrift) menurut Siti Baroroh Baried pada hakekatnya adalah semua bahan tulisan tangan yang berisi tentang ungkapan pikiran dan perasaan penulis sebaga hasil budaya bangsa di masa lampau. Jadi, naskah merupakan benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang. Di dalam naskah tersimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan seseorang, sebagai hasil budaya di masa lampau. (baried, 1985: 55)

    Naskah suluk Saking Kitab Markun berupa naskah berbahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Jawa dan berisi tentang perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Sehingga suluk Saking Kitab Markun termasuk naskah Islam Kejawen. Naskah Islam Kejawen lainnya di antaranya primbon, wirid, dan suluk.

    Kandungan isi naskah secara umum disebut teks, yakni sesuatu yang abstrak dan hanya dapat dibayangkan saja. Teks terdiri atas isi dan bentuk. Isi berupa ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca, sedangkan bentuk adalah cerita / paparan dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari melalui berbagai pendekatan mengenai alur, perwatakan, gaya bahasa, dan lainnya. Naskah suluk Saking Kitab Markun berbentuk prosa dan tembang.

    2. Semiotika poststruktural

    Semiotika poststruktural meliputi konsep tentang tanda, kode, dan lambang. Tanda adalah bagian dari ilmu semiotika yang menandai sesuatu hal atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan objek kepada subjek. Tanda selalu menunjukkan pada sesuatu hal yang nyata, misalnya tulisan, bahasa, benda, kejadian, tindakan, dan lainnya. Tanda adalah arti yang statis, umum, lugas, dan objektif. Kode adalah tanda yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh modus transaksi amanat dari suatu karya sastra. Kode bisa berbentuk lambang atau lainnya. Lambang adalah bagian dari tanda yang berupa sesuatu hal atau keadaan, yang dapat menuntun pembaca sebagai subjek kepada makna karya sastra sebagai objek. Lambang dapat dikatakan sebagai tanda yang bermakna dinamis, khusus, dan subjektif.

    Di dalam filologi dikemukakan bahwa naskah memiliki unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang berkenaan dengan karakteristik naskah, termasuk isi naskah. Penelaahan unsur intrinsik dapat dilakukan dengan pendekatan intrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berkenaan dengan faktor-faktor lain di luar karakteristik naskah, misalnya latar belakang sosial pengarang, keadaan lingkungan pengarang, dan sebagainya. Penelaahan unsur ekstrinsik dapat dilakukan dengan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik dan ekstrinsik ini merupakan pendekatan dalam studi filologi. Penelitian ini hanya akan mengkaji unsur-unsur intrinsik dari naskah suluk Saking Markun bernuansa keagamaan Islam. Berdasarkan pendekatan intrinsik, unsur-unsur yang akan ditelaah meliputi unsur kodeks dan teks yang ada dalam naskah itu.

  • 157Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    Pada penelitian ini, isi dan makna yang terkandung di dalam teks naskah suluk Saking Kitab Markun bernuansa keagamaan Islam akan ditelaah dengan teori semiotika post structural dari Roland Barthes. Teori ini menyatakan bahwa isi dan makna suatu teks pada dasarnya merupakan pesan atau amanat dari penulis/pengarangnya. Pesan atau amanat itu berupa tanda (sign/ semion) yang dapat ditangkap oleh pembaca. Tanda yang berupa pesan atau amanat itu merupakan kode, yang di dalamnya terkandung lambang-lambang. Untuk memperoleh modus transaksi amanat dari suatu teks, dia menawarkan lima kode yang dapat digunakan oleh pembaca untuk mengenali tanda dalam naskah suluk Saking Kitab Markun. Lima kode itu adalah kode teka-teki (the hermeneutic code), kode konotatif (the code of semes or signifier), kode simbolis (the symbolic code), kode aksian (the proairetic code), dan kode budaya (the cultural code or reperence code).(Santoso, 1993: 31)

    Kode teka-teki (the hermeunetic code) adalah pertanyaan dalam batin pembaca yang dapat membangkitkan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan inti yang dikandung dalam karya satra. Kode ini dipakai bilamana pembaca berhadapan dengan sesuatu yang tidak segera dapat dipahami dan untuk memahaminya perlu adanya usaha interpretasi, misalnya puisi. Kode konotatif (the code of semes and signifiers) atau kode semantis adalah kode tentang dunia yang ditransformasikan ke dalam deretan tanda tulis yang bersifat lihatan. Pada kode ini, fakta dalam kehidupan sehari-hari telah mengalami modifikasi (rekayasa), artifisial (penyimpangan dengan aslinya), dan interpretatif (penafsiran) sesuai dengan konteks action (tindakan) yang diinginkan pengarangnya. Makna tambahan atau arti sertaan yang mengikuti arti leksikalnya menyebabkan terjadinya poly interpretable (banyak tafsir).

    Kode simbolis (the symbolic code) adalah kode tentang perlambang, yakni personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupannya. Perlambang dapat dikenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau berbagai bentuk yang teratur, mengulangi bermacam-macam mode atau bermacam-macam maksud dalam sebuah teks susastra yang pada akhirnya menghasilkan sebuah pengertian tentang makna kode tersebut. Kode aksian (the proairetic code) adalah kode tentang perbuatan, yakni bahwa pada prinsipnya di dalam suatu tuangan bahasa secara tertulis itu, perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier. Hal itu bukan berarti bahwa perbuatan-perbuatan dalam suatu peristiwa harus disusun secara berurutan secara kronologis.

    Kode budaya atau kode acuan (the cultural code atau the reference code) adalah kode tentang budaya masyarakat yang melingkupinya. Kode ini menyatakan bahwa latar sosial budaya yang terdapat dalam sebuah cerita rekaan memungkinkan adanya suatu kesinambungan dari budaya sebelumnya. Selain itu, dapat juga sebagai penyimpangan dari budaya sebelumnya, entah sebagian atau seluruhnya terhadap budaya yang telah mapan.

  • 158 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    metode PenelItIAn1. Sasaran Penelitian

    Sasaran penelitian ini adalah naskah Serat Suluk Saking Kitab Markun yang merupakan bagian dari Serat Suluk Zaman Keraton Dalem Ing Surakarta urutan nomor 20 dari keseluruhan isi naskah yang berjumlah 27 naskah. Naskah tersebut tersimpan di museum Sasono Pustaka keraton Surakarta.

    2. Data penelitian

    Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primernya berupa naskah lengkap, yang terdiri atas kodeks dan teks. Sedang data sekundernya adalah naskah lain yang diduga ada hubungannya dengan data primer. Di samping itu data sekunder lainnya adalah data berupa informasi atau keterangan yang diperoleh dari petugas museum maupun petugas perpustakaan yang ada kaitannya dengan naskah.

    3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

    Pengumpulan data menggunakan tekhnik pencatatan dan pengumpulan naskah dan kritik teks. Teknik pencatatan dan pengumpulan naskah menggunakan teknik snow ball, yakni menelusuri atau mencari keberadaan naskah ke tempat-tempat penyimpanan naskah, baik yang berada pada museum keraton Solo maupun pada museum atau perpustakaan lainnya yang ada di Jawa Tengah dengan cara bertanya-tanya secara berangkai.

    Sedang analisis data menggunakan metode semiotika post-struktural Roland Barthers. Ada lima kode yang ditawarkan Roland Barthers, yaitu kode teka-teki (the hermeneutic code), kode konotatif (the code of semes or signifier), kode simbolis (the symbolic code), kode aksian (the proairetic code), dan kode budaya (the cultural code or reference code).

    Lima kode yang ditawarkan oleh Roland Barthes tidak semuanya dikaji dalam penelitian ini. Penelitian ini pada bab analisis dibatasi pada analisis kode simbolis (the symbolic code) dan analisis kode budaya (the cultural code or reference code). Analisis kode simbolis dan analisis kode budaya dipilih dengan alasan kedua kode tersebut dianggap paling sesuai untuk menganalisis isi teks Naskah Jawa Klasik bernuansa keagamaan Islam dengan fokus sinkretisme.

    hAsIl PenelItIAn1. Deskripsi Naskah

    Naskah yang diteliti adalah Serat Suluk Saking Kitab Markun karangan Kyai Tumenggung Arungbinang. Naskah tersebut merupakan bagian dari kumpulan naskah yang berjudul Serat Suluk Jaman Keraton Dalem ing Surakarta dan telah ditransliterasi oleh Nancy K. Florida. Secara lengkap keterangan yang terdapat pada sampul naskah disebutkan:

  • 159Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    Judul : Serat Suluk jaman Keraton Dalem ing Surakarta

    Naskah Asli Saking

    Sasono Poestoko

    Keraton Surakarta

    No. 244 Na

    SMP. K 5 # = 481

    Reel = 151 / 8

    Kasalin Aksara Dening

    Nancy K. Florida

    Desember 1984

    Keterangan lain: Pada bagian sisi kanan terdapat cap stempel dari museum Sasono Poestoko Surakarta dengan keterangan tahun 1920.

    2. Corak Sastra Jaman Surakarta Awal

    Jaman kerajaan Surakarta Awal sekitar tahun 1744, dengan raja-raja yang memerintah diantaranya Sri Sasuhunan Pakubuwana III, Sri Sasuhunan Pakubuwana IV, Sri Sasuhunan Pakubuwana V menjadi masa renaisance terutama dalam bidang sastra. Mereka memberikan dukungan dan pengayoman kepada tokoh-tokoh sastra yang terkenal dengan sebutan pujangga, seperti R. Ng. Yasadipura I dan diteruskan oleh anak cucunya R. Ng. Yasadipura II dan R. Ng. Ranggawarsita. Termasuk Kyai Tumenggung Arungbinang, salah seorang bupati kerajaan yang ternyata juga menulis naskah.

    Sesudah kerajaan Kartasura ( 1680 1744 ) dipecah menjadi tiga, yaitu Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran, semua kekuasaan dirampas oleh Belanda sehingga konsentrasi istana terfokus pada bidang kesusastraan dan seni. Begitu pesat perkembangan tersebut hingga G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanesse letters, yaitu masa kebangkitan kepustakaan baru yang berlangsung selama 125 tahun sekitar tahun 1757 hingga tahun 1873 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita), atau bahkan sampai tahun 1881 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita dan raja Mangkunagara IV).(Simuh, 1988: 25)

    Menurut Poerbatjaraka dan Tarjan Hadikusuma (1952: 152) yang dikutip oleh Simuh (1988: 25), perkembangan kesusatraan tersebut di atas didapat dengan jalan mengubah kitab-kitab Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa Baru. Kemudian diikuti dengan kegiatan penyusunan karya-karya baru, memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam.

    Sehingga jika dilihat dari isi kandungan karya sastra jaman Surakarta Awal ini, maka sinkretisasi Jawa-Hindu-Budha-Islam seolah-olah menyatu dan nampak seimbang sehingga semakin sulit untuk membedakan unsur-unsur yang ada di dalamnya.

  • 160 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    Ajaran sinkretik dalam naskah suluk tidak bisa lepas dari pengaruh telah dianutnya agama Budha dan Hindu semenjak lama sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Hal lainnya bahwa masyarakat Jawa memiliki daya resepsi (penerimaan) yang sangat lentur terhadap ajaran-ajaran yang masuk dan mempengaruhinya. Kalimat yang populer disebutkan bahwa : terbuka oleh pengaruh kebudayaan asing tetapi tetap tidak kehilangan jati-diri kebudayaan Jawa.(Damami, 2002: 102)

    Kemudian jika dilihat dari sejarah perkembangan Islam di nusantara akan diketahui bahwa kekuasaan kerajaan Islam Demak Bintara tidak bertahan lama sehingga pengetahuan Islam baru dimiliki oleh sebagian kecil para kesatriya penguasa pemerintah dan belum sempat menembus ke sanubari masyarakat Jawa seluruhnya.(Dojosantoso, 1989: 14) Jadi pada kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan pandangan sinkretis berkembang dalam masyarakat dan berpengaruh terhadap karya sastra-karya sastra terutama karya sastra Jawa.

    Meskipun sinkretisasi terdapat pada naskah-naskah suluk, bukan berarti ajaran Islam tidak dapat diterima oleh masyarakat Jawa dan agama Islam dinomorduakan akan tetapi sinkretisasi yang berkembang terutama pada masa jaman Surakarta Awal sangat berkaitan dengan pengaruh kepercayaan lama yang sudah sangat melekat masih sulit untuk dihilangkan. Menurut kesimpulan Mohamad Rasjidi bahwa masyarakat Jawa, sejak dahulu masih tetap meyakini Islam sebagai agama, sebagaimana raja-raja mereka sebelumnya.(Shihab, 2001: 159-160)

    Jika dilihat lebih spesifik, sinkretisasi yang terdapat pada naskah-naskah suluk biasanya berkaitan dengan konsep-konsep ke-Tuhanan. Dalam sejarah perkembangan pernaskahan Nusantara, keterpengaruhan konsep-konsep ajaran diawali dengan karya-karya Hamzah al-Fansuri dan para pengikutnya yang condong terhadap paham wahdat al-wujd yang menurut masyarakat Jawa lebih dekat dengan kepercayaan-kepercayaan mereka dibandingkan dengan ajaran-ajaran tasawuf Sunni al-Ghazali, seperti tercermin dalam ajaran-ajaran Walisongo dan para pengikutnya.(Shihab, 2001: 160)

    Ajaran-ajaran tentang keTuhanan tersebut memang sudah menjadi pandangan hidup masyarakat Jawa yang senantiasa mengarahkan semua aspek kehidupan pada keterikatan yang erat dengan sang Pencipta. Sehingga isi naskah-naskah suluk juga merupakan pengejawantahan dari konsep keTuhanan masyarakat Jawa yang telah dimasuki dengan ajaran Islam dan diungkapkan dengan bahasa sastra dan bahasa simbol yang cukup rumit.

    3. Kandungan Isi Suluk Saking Kitab Markun Karangan Tumenggung Arung Binang

    a. Simbol dan Makna Gerakan-Gerakan Shalat

    Suluk Saking Kitab Markun berisi tentang ajaran salat dan makna dari

  • 161Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    gerakan-gerakan salat. Ibadah salat yang diawali dengan takbiratul ikram dan diakhiri dengan salam dalam Suluk Saking Kitab Markun disimbolkan sebagaimana anggota-anggota tubuh manusia, seperti niat digambarkan sebagai nafsu, bacaan surat al-Fatihah sebagai roh, rukuk menjadi tulangnya dan jasadnya adalah itidal serta tangan dan kakinya adalah tahiyyat dan salam.

    Secara rinci simbol dan makna dari gerakan-gerakan salat tersebut dipaparkan pada makna dan lambang gerakan-gerakan salat.

    1). Makna Takbiratul Ikram

    Ikram artinya berdiri, maknanya bahwa ketika seseorang berdiri maka ia berasal dari tidak ada kemudian menjadi ada. Berdiri dengan kaku dengan maksud agar ia lupa dalam ingatan artinya seseorang yang memulai shalat ia melupakan semua hal lainnya dan hanya ingat akan satu hal, yaitu Allah Yang Maha Besar. Ikram maksudnya penghayatan nyata akan lafadz Allahu Akbar.

    Disebutkan pada bait ke 4 pupuh Asmarandhana, sebagai berikut :4. Ekram maksudnya nyata / lupa mengenal pada Tuhan / ketahuilah artinya / di dalam

    Tuhan tidak ada / kemantapan hatimu / terhadap nama Allah Yang Maha Besar //

    2). Nafsunya Salat : Niat

    Niat yang dimaksud bukanlah bahasa suara, bukan lafadz nawaitu-nya akan tetapi niat sejatinya adalah suksma, bukan akal pikiran dan bukan angan-angan. Niat berasal dari Nur Johar yang tidak hanya berorientasi dunia tetapi juga menggapai akhirat.

    Niat menghubungkan antara seorang hamba yang beribadah dengan Tuhan. Seluruh indera, jiwa dan raga serta rasa terkumpul dalam niat. Oleh karenanya niat dapat mengantarkan seseorang menjadi mukmin sejati atau menjadi kafir.

    Disebutkan pada bait 11 dan 12, pupuh Asmarandhana, sebagai berikut :11. Ketahuilah sebenarnya anakku / Nafsunya shalat adalah niat / bukan niat nawaitunya /

    Yang berniat itu / kufur kafir jadinya / Adapun sebaliknya, keinginan itu / niat bukan bahasa suara //

    12. Sebenarnya bukan akal pikiran / dan bukan angan-angan pikiran / Nur Johar awal sejatinya / yang berada di dunia akhirat / Hidupnya Johar / abadi sejatinya / Niat sejatinya Suksma //

    3). Rohnya Salat : Surat al-Fatihah

    Surat al-Fatihah menjadi rohnya salat, seperti disebutkan pada bait ke 14, pupuh Asmarandhana yaitu :

    14. Roh dari salat yang sebenarnya / Fatekhah bukan Fatekhah / yang dibaca alhamdunya / bukan roh ilafi itu / kenyataannya satu / yang berbunyi alhamdu itu / adalah kenyataan zat Allah //

    Hati dari salat adalah alhamdu (sembah dan puji) yang terdapat pada surat al-Fatihah. Surat al-Fatihah menjadi hatinya al-Quran, sedangkan hatinya surat al-Fatihah ada pada lafadz Bismillah dan hatinya lafadz

  • 162 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    Bismillah terdapat pada huruf Alif. Dan huruf Alif melambangkan hal yang bersifat ghaib, itulah Tuhan.

    Disebutkan pada bait 25 dan 26, pupuh Asmarandhana yaitu :25. Sembah dan pujimu itu / sebenarnya hati rohani / Quran tiga puluh juznya / sudah habis

    oleh Fatekah / Fatekah itu juga / habis oleh Bismillah itu / Bismillah oleh Alif itu //

    26. Alif sudah diberi gaib / atau yang disebut shalat / pakailah fatekahnya / karena itu tidak lain / ketika belum ada dunia / Bumi dan langit belum Takyun / hanya dirinya yang

    berniat //

    4). Tulangnya Salat : Rukuk

    Rukuklah yang menjadi tulangnya salat, akan tetapi yang dimaksud rukuk yang sebenarnya bukanlah sekedar gerakan membungkukkan badan, tetapi merendahkan diri itulah sebenarnya makna rukuk. Merendahkan diri bagi seorang hamba dihadapan Tuhan, merendahkan diri untuk mengakui Kekuasaan, Keagungan dan Maha Besarnya Sang Pencipta, itulah yang disebut Sadrah Rohani.

    Disebutkan dalam bait ke 16, pupuh Asmarandhana yaitu :16. Tulangnya Shalat yang sebenarnya / rukuk bukan rukuk / rukuk bukan rukuk itu / yang

    membungkukkan badannya / merendahkan diri / itulah sebenarnya sadrah / sadrah rohani itu / sebenarnya rasanya Tuhan //

    5). Jasadnya Salat : Itidal

    Itidal menjadi jasadnya salat. Maksud itidal yang sebenarnya bukanlah sekedar bangun dari rukuk akan tetapi kesadaran seseorang akan keberadaannya dari suatu at yang menciptakan keberadaannya.

    Disebutkan dalam bait ke 17, pupuh Asmarandhana yaitu ;17. Jasad dari shalat yang sebenarnya / iktidal bukan iktidal yang / bangun dari rukuk /

    ingatlah jika bukan dari / sesungguhnya dari ada / ketahuilah artinya / sebenarnya

    iktidal itu //

    6). Tangannya Salat : Tahiyyat

    Makna tahiyyat yang sebenarnya adalah tidak menyembah selain kepada Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa. Sifat dan perbuatan Tuhan disebutkan kalau Dia Maha Melihat tapi tidak dengan mata, dan memiliki wujud meski wujudnya bukanlah wujud. Tahiyyat menjadi tanda sempurnanya salat, karena hanya salat yang sampai pada tahiyyat yang dapat disebut sebagai shalat yang sempurna.

    Disebutkan pada bait ke 27 dan bait ke 28, pupuh Asmarandhana :27. Makna dari Tahiyyat sesungguhnya / adalah tidak menyembah / tidak ada yang lainnya

    / itulah sebenarnya tahiyyat / yang besar adalah Yang Kuasa / ketika insan kamil itu / adanya dari tidak ada //

    28. Tidak mempunyai keinginan sebenarnya / tidak mendengar adanya Tuhan / mempunyai mata sesungguhnya / melihat tidak dengan mata / mempunyai wujud tidak berkata /

    sempurnanya shalat itu / yaitu yang sampai pada tahiyyat //

    7). Kakinya Salat : Salam

    Salam dalam salat itu bukan sekedar gerakan kepala saat menengok ke

  • 163Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    kanan ataupun ke kiri, akan tetapi berharap akan keselamatan selamanya itulah makna salam. Keselamatan baik di dunia maupun diakhirat kelak, sehingga saat menoleh baik ke kanan maupun ke kiri yang tampak hanyalah dzat Allah.

    Disebutkan pada bait ke 21 dan bait ke 22, pupuh Asmarandhana sebagai berikut :

    21. Kaki dari shalat yang sesungguhnya / itu salam bukan salam / roh dan jasad perlambangnya / yang sebenarnya dari menoleh / Roh dan jasad sejatinya / adanya dzat Alloh itu / adalah sebanarnya salam //

    22. ke kiri da ke kanan itu / jasad latif sebenarnya / yang dijelaskan sebenarnya / keelokan dari dzat Alloh / itu makna dari salam / selamat selamanya / ke kiri dan ke kanan itu //

    AnAlIsIsa). Makna lambang gerakan salat

    Rincian dari lambang-lambang gerakan salat yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya membawa satu pengertian bahwa nilai salat sesungguhnya bukan pada wujud gerakan-gerakan yang dilakukan oleh jasad tubuh manusia, akan tetapi nilai dan bobotnya tersembunyi di balik gerakan-gerakan yang dipraktekkan dalam salat, yang biasa disebut dengan nilai yang bersifat batiniyah atau dalam bahasa tasawuf biasa disebut dengan nilai esoterik.

    Nilai batiniyah yang ada pada salat disebutkan bahwa takbiratul ikram memiliki nilai agar tumbuh kesadaran dalam diri seseorang akan adanya Allah Yang Maha Besar, sehingga selain Allah adalah makhluk yang kecil. Niat yang terutama bukan pada lafadz nawaitu, akan tetapi niat adalah sesuatu yang disebut dengan suksma yang hanya tertuju pada Tuhan. Ketika membaca surat al-Fatihah, hal terpenting ada pada penghayatan makna alhamdu, bahwa hanya Allahlah yang pantas mendapatkan penyembahan dan pemujaan. Demikian pula ketika rukuk, itidal, sujud, tahiyyat hingga salam, semuanya bermuara pada satu tujuan yaitu Allah.

    Selain tentang makna batiniyah salat, maka pemakaian simbol penamaan yang digunakan untuk menggambarkan gerakan-gerakan salat yang telah disebutkan dalam suluk Saking Kitab Markun di samping fungsinya sebagai media untuk menyampaikan pesan secara halus (Hariwijaya, 2006: 89) juga memiliki maksud dan tujuan sebagaimana dikatakan oleh Michael Landman bahwa setiap karya manusia niscaya mempunyai tujuan.(Herusatoto, 2001: 9)

    Setiap maksud dan tujuan suatu lambang atau simbol sebagaimana lambang gerakan-gerakan salat dalam suluk Saking Kitab Markun senantiasa berkaitan dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Dalam kebudayaan Jawa terdapat tiga metodologi kebudayaan Jawa yaitu : pertama, kemahiran dalam menerapkan othak-athik gathuk (kreatif dalam menemukan titik-titik penyesuaian sehingga kelihatan pas), kedua, peka dalam pemahaman

  • 164 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    simbolik, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan, wong Jowo iku nggoning semu, sinamun ing samudane, sesadone ingadu manis maksudnya orang Jawa itu tempatnya segala simbol, segala sesuatunya disamarkan berupa simbol, dengan maksud agar tampak indah dan manis. (Hariwijaya, 2006: 77) Sedangkan ketiga, bahwa orang Jawa cenderung menerima fakta secara mitos, yaitu cenderung melebih-lebihkan realitas yang sesungguhnya. (Hariwijaya, 2006: 41)

    Konsep budaya orang Jawa yang telah disebutkan di atas, ketika dikaitkan dengan simbol nama gerakan-gerakan salat yang berasal dari bahasa Arab kemudian disimbolkan dengan anggota tubuh manusia, cenderung mengarah kepada tujuan agar ajaran-ajaran salat beserta gerakan-gerakannya lebih mudah dipahami. Sebagaimana disebutkan oleh Budiono Herusatoto bahwa benda-benda bentuk atau atau hal-hal simbolis diciptakan manusia semata untuk mempermudah ingatan, sehingga energi otak manusia dapat dihemat untuk mengingat simbol-simbol pengetahuan lainnya. (Herusatoto, 2001: 28) Di samping bahwa penamaan simbol nama gerakan-gerakan salat dalam Suluk Saking Kitab Markun telah diothak-athik gathuk dan disesuaikan dengan pemahaman orang Jawa.

    Yang menarik dalam karangan ini terletak pada bagaimana pengarang membedah spiritualitas salat melalui simbol dari nama-nama jasad manusia itu sendiri. Terdapat dua arah makna yang bisa diambil dari konsep ini. Pertama, mengartikan gerakan salat dan kedua mengartikan anggota tubuh manusia.

    Gerakan salat dibedah untuk mengurai rahasia ajaran shalat dalam Islam dalam rangka mencapai penghayatan akan tujuan diperintahkannya salat bagi manusia. Gerakan jasad diharapkan melahirkan aura atau cahaya yang memancar melalui pancarana penghayatan. Penghayatan yang terbentu dalam aura ini yang akan menjadi sarana seorang hamba menuju Tuhan-Nya. Jasad manusia terbang melalui aura penghayatan tersebut menuju hadirat Ilahi. Bukan bentuk jasad yang datang menemui Tuhan-Nya, akan tetapi aura penghayatan gerakan shalat itulah yang bertemu.

    Sedangkan mengumpamakan jasad menjadi nama-nama gerakan salat, menjadikan jasad manusia begitu berarti dalam konsep tumenggung Arungbinang. Tumenggung Arungbinang adalah salah seorang bupati yang memiliki peran sebagai utusan raja dalam perjanjian Giyanti. Dikarenakan minimnya informasi tentang biografi pengarang, maka dalam analisis difokuskan pada teks terutama pada makna simbol yang ada.

    Dalam pemahaman penulis, makna dari nafsu sebagai simbol niat karena baik nafsu maupun niat dapat mengantarkan seseorang menuju kebaikan maupun keburukan. Dalam salat jika niatnya bukan dalam rangka mengabdi pada-Nya maka dapat menjadikan seseorang kafir, sedang jika niatnya utuh dalam rangka ibadah kepada-Nya maka ia dapat menjadi mukmin sejati.

  • 165Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    Makna dari roh sebagai simbol bacaan surat al-Fatihah karena tanpa bacaan surat al-Fatihah, shalat seseorang tidak akan sah. Demikian juga bagi manusia, tanpa roh jasad seorang manusiapun tidak dapat hidup. Makna dari tulang sebagai simbol rukuk karena tulanglah yang menegakkan jasad, sebagaimana rukuk yang menjadikan sesudahnya itidal dalam posisi tegak berdiri.

    Makna dari jasad sebagai simbol itidal dikarenakan itidal dilakukan dengan berdiri tegak, bagaikan sebuah jasad. Makna dari tangan sebagai simbol tahiyyat bahwa tahiyyat-lah yang menjadi penyempurna shalat, tanpa tahiyyat shalat seseorang tidak sempurna sebagaimana jasad manusia tanpa tangan maka ia adalah jasad yang cacat.

    Makna dari kaki sebagai simbol salam bahwa saat salam seseorang akan menoleh ke sekitar dirinya dan yang dijumpai disemua arah adalah Tuhan, sebagaimana kaki ia dapat melangkah kemanapun dan kemanapun ia melangkah di situlah Tuhan.

    b). Makna Salat

    Makna salat dalam Suluk Saking Kitab Markun adalah orang yang beragama sebenarnya, dialah orang yang telah sempurna makrifatnya. Di antara tanda telah mencapai makrifat bahwa ia telah mencapai penghayatan pada makna lafadz Allahu Akbar, bukan sekedar mengucapkannya. Ia telah mendapatkan anugerah pengetahuan akan dzat Allah, bahwa Allah telah dilambangkan dalam Alif yang bersifat gaib, Allah ada ketika bumi dan langit belum ada, yang ada hanya Dia, Dialah Yang Maha memiliki Kehendak. Dalam konsepnya, Simuh yang diambil dari pemikiran Ranggawarsita dikatakan bahwa, Tuhan diibaratkan sebagai halnya huruf Alif, yang disifati dengan wajib al-wujud. Istilah wajib al-wujud dalam ilmu kalam berarti ada dari Dzat-Nya sendiri, tanpa sebab dari luar. Dan adanya adalah wajib, artinya pasti adanya, mustahil bila tidak ada.(Simuh, 1988: 54)

    Allahlah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat tetapi tidak dengan mata dan memiliki wujud yang tidak bisa diserupakan dengan apapun, sehingga sempurnanya shalat adalah yang sampai pada tahiyyat, pada bentuk penyembahan hanya kepada Allah Yang Maha Besar.

    Disebutkan pada bait 23, 24, 25 dan 26, pupuh Sinom yang berbunyi :23. Ada yang diceritakan lagi / makna dari shalat / yaitu orang yang beragama sebenarnya

    / Agama itu dzat Allah / sempurnanya makrifat / tunggal kasih sayang dengan kawula / itu tidak lama kemudian //

    24. Jika berapa lama kemudian / kawula Gusti itu / menjadi batal anugerahnya / yang mengucap Allahu Akbar / itu bukan anugerah / sebenarnya anugerah luhur / adalah roh dzat Allah //

    25. Sembah dan pujimu itu / sebenarnya hati rohani / Quran tiga puluh juznya / sudah habis oleh Fatekah / Fatekah itu juga / habis oleh Bismillah itu / Bismillah oleh Alif itu //

    26. Alif sudah diberi gaib / atau yang disebut shalat / pakelah Fatekahnya / karena itu tidak lain / ketika belum ada dunia / Bumi dan langit belum takyun / hanya dirinya yang berniat.

  • 166 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    Ibadah shalat pula yang membedakan siapa yang disebut mukmin sejati dan siapa yang kafir. Orang kafirlah yang yang meninggalkan perintah Tuhan, menertawakan orang-orang yang taat menyembah kepada Allah. Orang kafir juga tidak mau percaya kepada Rasul utusan Tuhan, seperti perilaku orang Yahudi yang diakhirat nanti akan pasti abadi menjadi dasarnya neraka.

    Disebutkan pada bait 1, pupuh Sinom :1. Seperti apa datanglah / penglihatannya kepada Tuhan / meninggalkan perintah dan

    hanya menggertak / menertawakan orang yang menyembah / agak membantah / seperti tidak percaya kepada rasul / kafirnya sudah jelas / seperti perilaku orang Yahudi / pasti abadi menjadi dasarnya neraka //

    Sedangkan mukmin sejati, merekalah yang senantiasa menjalankan perintah Tuhan dan tidak pernah membantah meskipun sehari semalam selama 50 waktu hanya mengerjakan perintah shalat seperti telah dicontohkan oleh umatnya nabi Musa. Disebutkan pada bait ke 4, pupuh Sinom :

    4. Nabi Musa diceritakan / diperintahkan Tuhan / lima puluh waktu perlunya / sehari semalam / semua umat menjalankan /perintah Tuhan / tidak ada yang membantah /

    itu mukmin yang hakiki / iya itu mukmin yang sudah datang //

    c). Hubungan antara Kawula dan Gusti dalam salat

    Istilah kawula-Gusti yang terdapat pada Suluk Saking Kitab Markun menunjukkan hubungan kawula-Gusti yang tidak lagi sekedar hubungan antara seorang hamba dengan tuannya, akan tetapi merupakan bentuk hubungan antara yang di kasihi dan yang mengasihi. Disebutkan dalam bait 13, pupuh Sinom sebagai berikut :

    13. Mana yang disebut kawula / yang dinamakan kawula sebenarnya / yaitu yang menerima / cintanya pada Tuhan / tidak ada dua / yang memberi jalan yang luhur / sungguh-sungguhlah ikhlas menerima / kasih sayangnya Tuhan / akan menjadi kawula terpilih //

    14. Jika mantap yang ikhlas menerima / pada siang maupun malam / itu yang diterima / mengabdilah kepada Tuhan / apabila Gusti sudah datang / semua yang diminta dikabulkan / Bagaimana puji dan sembah / penglihatannya belum sempurna / yang dibicarakan hanya wali Allah yang datang //

    Antara kawula-Gusti sudah terjalin hubungan saling mengasihi antara seorang hamba yang telah diciptakan dengan Tuhan yang telah menciptakan. Jika seorang hamba sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan dengan penuh rasa cinta maka ibadah yang dilakukannya bukan sekedar memenuhi perintah Tuhan, akan tetapi dikarenakan cinta yang melimpah dalam sanubarinya. Sehingga Tuhanpun menyambut cinta seorang hamba dengan cinta pula. Kemudian, karena cinta Tuhan telah tercurah pada hamba-Nya tersebut, maka semua yang diinginkan dan diminta hamba-Nya akan dikabulkan. Merekalah yang telah mendapatkan derajat orang-orang yang dekat dengan Tuhan dan mendapat gelar Wali Allah Swt. atau orang-orang yang dekat dengan Allah Swt.

    Dalam salat yang sempurna sudah tidak ada lagi kawula-Gusti, lebur sirna tak berbekas, sudah menyatu, wujud hamba hilang diganti oleh Tuhan,

  • 167Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    bagaikan bintang kesiangan terbenam oleh cahaya matahari, hilanglah cahaya bintang itu, yang ada hanyalah sinar matahari. Merekalah yang menjalankan salat kasdu, takrul dan takyin bersamaan dengan niat.

    Kasdu itu keluarnya niat, akan tetapi ia bukan suara. Kasdu berwujud kemauan usholli berupa pernyataan yang dikerjakan dan takyin yaitu penyebutan akan jumlah rakaat dan waktu salat. Kasdu, takrul dan takyin lebur dengan lafad Allahu Akbar. Pada kondisi pengakuan akan lafad Allahu Akbar inilah yang kemudian menyatukan hamba dan Gusti.

    Disebutkan pada bait ke 7 dan ke 8, pupuh Sinom yang berbunyi :7. Yang dinamakan kawula / lebur sirna tidak berbekas / akan hilang wujudmu / diganti

    oleh Tuhan / hilangnya wujud ini / yaitu perlambangnya / bagaikan bintang kesiangan / terkena cahaya matahari / bintang hilang terkena cahaya matahari //

    8. Yang menjalankan shalat /tangak kasdu takrul takyin / yaitu sudah terbayang / di mata dalam hati / dengan hati jernih / Hati jernih maknanya / akan membolehkan / tangak kasdu takrul dan takyin / lafal Allah bersamaan ketiga niat //

    Seseorang sah salatnya jika kemauannya dalam takbir awal sampai akhir tetap. Lafadz Allah Swt. menjadi tujuan dari perbuatan niat, Allahlah at itu yang disembah dan dipuji dan lafadz Akbar menjadi penyempurna niat.

    Sedang yang disebut niat utama adalah menghilangkan dua perbedaan Gusti dan Kawula, jika masih kawula Gusti itu belum utama, belum meninggalkan salatnya, artinya menyatu, menyatunya tetap dua, tidak hilang, keduanya tetap adanya. Disebutkan pada bait ke 10, pupuh Sinom bahwa :

    10. Sejatinya niat utama / hendak menghilangkan dua / tidak ada Gusti-kawula / jika masih kawula-Gusti/ itu belum utama / belum meninggalkan salatnya / artinya sudah menyatu / menyatunya masih dua / tidak hilang keduanya tetap adanya //

    Siapa yang disebut kawula terpilih, dialah yang menerima cintanya Tuhan (Allah), sungguh-sungguh ikhlas menerima kasih sayangnya Tuhan. Jika ikhlas menerima kasih dan sayangnya Tuhan ia selalu mengabdi kepada Tuhan baik siang maupun malam.

    Meskipun sudah menjadi kekasih Tuhan tetapi sembahnya masih kurang tepat, arahnya salah duga, ia dapat menjadi kafir yang makin tersesat, sehingga matinya menjadi babi hutan.

    PenutuP1. Kesimpulan

    Suluk Saking Kitab Markun berisi tentang ajaran salat yang dilambangkan dalam wujud anggota tubuh manusia. Suluk Saking Kitab Markun juga berisi ajaran tentang aspek-aspek hubungan antara makhluk dan Tuhan (Allah Swt.) terutama ketika melaksanakan salat.

    a). Simbol-simbol gerakan salat yaitu niat dilambangkan sebagai nafsu salat, bacaan surat al-Fatihah dilambangkan sebagai rohnya salat, rukuk

  • 168 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Makna Salat dalam Suluk Saking Kitab Markun Karangankyai Tumenggung Arungbinang

    sebagai tulang salat, itidal ibarat jasad, tangan dan kaki salat disimbolkan dengan tahiyyat dan salam.

    b). Hubungan antara makhluk dan Tuhan (Allah Swt.) dalam salat, memiliki makna sebagai berikut, pertama kedudukan seseorang menjadi kafir atau mukmin sejati tergantung dari ibadah salat yang dikerjakannya. Jika selama melaksanakan salat niatnya sejak awal hingga akhir salat utuh hanya beribadah kepada Allah Swt, maka ia menjadi mukmin sejati sedang jika niatnya melenceng bukan dalam rangka hanya menyembah padaNya ia dapat menjadi kafir. Kedua, makna salat bagi seseorang sesungguhnya adalah beragama yang benar-benar dengan melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi larangannya. Ketiga, ibadah salat dapat menunjukkan kedudukan seorang hamba dengan Tuhan, jika salatnya sempurna maka seorang hamba dapat menjadi kekasih Tuhan sebagaimana para wali Allah.

    2. Rekomendasi

    Naskah-naskah Jawa terutama yang bernuansa Islam, termasuk naskah-naskah suluk yang masih ada di museum-museum, perpustakaan atau dimiliki oleh masyarakat isinya dapat mengungkap aspek-aspek perkembangan Islam di Jawa baik dari segi ajaran maupun sejarah yang tercakup di dalam naskah. Oleh karenanya kegiatan penelitian naskah-naskah terutama naskah Jawa yang bernuansa Islam masih sangat perlu dilakukan.

  • 169Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Umi masf iah

    DAFTAR PUSTAKA

    Bared, St Baroroh.1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembnaan dan Pengembangan Bahasa

    Dojosantoso. 1989. Unsur Religius dalam Sastra Jawa. Semarang: Aneka Ilmu Damam, Muhammad. 2002. Makna Agama Dalam Masyarakat jawa.Yogyakarta:

    LESFIHerusatoto, Budono. 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Ha-

    nndta Graha WdaHarwjaya, M. 2006. Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang Musahad dkk., 2004. Membangun Negara Bermoral, Etika Bernegara dalam Naskah

    Klasik Jawa Islam. Semarang: Pusat Pengkajan Islam dan Budaya Jawa (PP-IBJ) dan Pustaka Rzk Putera

    Sudard, Ban. 2003. Sastra Sufistik, Internalisasi Ajaran-Ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia. Solo: Tga Serangka

    Smuh. 1998 Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: Unerstas Indonesa (UI-Press)

    Santosa, Puj. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa

    Sukr, Sr Suhandjat. 2004. Ijtihad Progresif Yasadipura II, dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa. Yogyakarta

    Shhab, Alw. 2001. Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia. Bandung: Mzan

    YKII. 2006. Aspek-Aspek Ajaran Islam dalam Manuskrip Keraton. Yogyakarta. YKII.

  • 171Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    AbstrAct :The study of Balinese manuscripts Classical Islamic religious nuance

    is done using philological approach and method of content analysis based on the framework of semio tic analysis of Roland Barthes post-structural. Stages of this research include the transfer of language or transliteration of the manuscript into Indonesian. After that, then the manuscript was translated into Indonesian. Indonesian-language translation is being analyzed. Geguritan Joharsa analyzed in this report only 4 Canto, namely Canto 19 to Canto 22. Geguritan Joharsa Canto 19 to Canto 22 describes the character of each actor in this geguritan. Those cantos describe good human nature and human nature is not good.

    Human nature is well reflected by Joharsa, Narawulan and Nahoda as perpetrators. Joharsa has noble character exemplary human beings. Character is very important in family life and in public life. Character in accordance with Joharsa is Narawulan. She has devoted to her husbands character. She faced a difficult life very hard, but she remained faithful to her husband until met. Nahoda character is like to distance them from the world and like to help with no strings attached. Which is not good character played by King Lokantara. King has a character Lokantara arrogant and angry.

    Key Words: Geguritan Joharsa, Human Character

    PendAhuluAnAgama Islam dalam sejarahnya di Indonesia mengalami perkembangan

    yang cukup unik. Di lihat dari segi agama, suku-suku di Indonesia sebelum menerima pengaruh agama Islam telah memiliki kepercayaan sendiri dan juga telah menerima pengaruh agama Hindu dan Budha. Kepercayaan asli masyarakat Indonesia berupa Animisme dan Dinamisme. Kepercayaan asli itu secara berangsur-angsur mengalami penyusutan dan penyesuaian-penyesuaian semenjak masuknya agama-agama Hindu, Budha, dan Islam. Proses perubahan kepercayaan itu berlangsung secara perlahan tetapi terus-menerus sehingga mampu merubah dan menggeser kepercayaan asli bangsa Indonesia menjadi kepercayaan baru yang dipengaruhi oleh agama-agama tersebut.(Simuh, 1988: 1; Djojosantoso, 1986: 5-10)

    WATAK MANUSIA DALAM NASKAH GEGURITAN JOHARSA

    Oleh mUkhtarUDDIN

    PENELITIAN

  • 172 Jurnal Analisa Volume XVI, No. 02, Juli - Desember 2009

    Watak Manusia Dalam Naskah Geguritan Joharsa

    Hinduisme dan Budhaisme di Indonesia umumnya diperkenalkan oleh golongan bangsawan dan para cendekiawan. Dari pemahaman dan pengolahan para bangsawan dan kaum cendekiawan inilah orang-orang awam di Indonesia menerima pengaruh Hindu dan Budha. Sedangkan agama Islam umumnya diperkenalkan oleh pedagang dari Arab dan India yang berkolaborasi dengan golongan cendekiawan dari masyarakat setempat. Islam yang sudah diolah dan dipahami oleh para pedagang dan cendekiawan itu diperkenalkan kepada para bangsawan dan masyarakat awam secara santun dan damai.(Koentjaraningrat, 1990: 21-26)

    Sesudah kerajaan Majapahit yang mayoritas penganut Hindu runtuh, maka penganut agama Hindu mulai berkurang di Jawa pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Bersamaan dengan itu, berdirilah kerajaan Demak yang bercirikan Islam. Penganut setia agama Hindu yang tidak mau menerima Islam melarikan diri dari Jawa ke pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa, termasuk pulau Bali dan Lombok. Pelarian itu dimaksudkan untuk menghindari tekanan dari kerajaan Islam yang mulai menyebar di seluruh pulau Jawa.

    Per