91
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI FARMASI INDONESIA PERIODE 1983 – 2005 (PendekatanTotal Factor Productivity) OLEH ATERIS BILADA H14104021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG … · farmasi nasional terhadap bahan baku impor yang mengakibatkan lemahnya daya ... Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI FARMASI INDONESIA

PERIODE 1983 – 2005 (PendekatanTotal Factor Productivity)

OLEH ATERIS BILADA

H14104021

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN

ATERIS BILADA. Analisis Faktor-faktor Produksi yang Mempengaruhi Output Industri Farmasi Indonesia Periode 1983 -2005 (Pendekatan Total Produktivitas Faktor) (dibimbing oleh TANTI NOVIANTI). Industri farmasi sebagai subsektor industri pengolahan, memiliki peran penting dalam menjamin ketersediaan dan memenuhi kebutuhan obat-obatan dan sarana penunjang kesehatan. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk mengimplikasikan peningkatan terhadap kebutuhan akan obat-obatan. Adanya pertumbuhan output industri farmasi tidak menjamin terpenuhinya ketersediaan obat dan keterjangkauan masyarakat dalam mengakses produk farmasi. Pertumbuhan output pada industri farmasi Indonesia mengakibatkan peningkatan volume impor bahan baku obat. Peningkatan harga bahan baku obat internasional yang terjadi pada tahun 2003 mengakibatkan peningkatan biaya produksi industri farmasi Indonesia dimana selanjutnya menyebabkan harga obat domestik semakin mahal. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor produksi yang mempengaruhi output industri farmasi Indonesia melalui pendekatan produktivitas total faktor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang merupakan data sekunder, berupa data deret waktu (time series) dari tahun 1983-tahun 2005. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pertumbuhan Solow dan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Model pertumbuhan Solow mengukur sumber-sumber pertumbuhan output dimana diakibatkan secara langsung oleh adanya pertumbuhan input serta adanya perkembangan teknologi. Sedangkan analisis data diolah dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menggunakan program Eviews 4.1 dan Microsoft Excel 2007. Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan bahwa variabel yang memiliki pengaruh signifikan dan positif pada taraf nyata 10 persen terhadap output industri farmasi adalah tenaga kerja, modal, bahan baku, energi dan progres teknologi (TFP). Pengaruh semua variabel tersebut adalah positif terhadap output industri farmasi kecuali variabel energi yang memiliki pengaruh negatif. Sedangkan nilai variabel progres teknologi (TFP) industri farmasi adalah -0.031. Tanda negatif pada koefisien TFP menunjukkan bahwa penguasaan teknologi dalam industri farmasi masih sangat kecil.

Adapun saran pada penelitian ini adalah industri farmasi nasional perlu memberikan proporsi yang lebih besar dalam alokasi pendanaan bagi riset dan pengembangan produk industri farmasi. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat penguasaan atas teknologi yang digunakan serta tingginya ketergantungan industri farmasi nasional terhadap bahan baku impor yang mengakibatkan lemahnya daya saing industri farmasi nasional. Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan perlu memberikan dukungan yang lebih menyeluruh pada pengembangan industri farmasi, seperti dalam penetapan PPn, bea impor bahan obat-obatan dan kebijakan penetapan harga obat nasional.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI FARMASI

INDONESIA PERIODE 1983 – 2005 (PendekatanTotal Factor Productivity)

OLEH ATERIS BILADA

H14104021

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,

Nama Mahasiswa : Ateris Bilada

Nomor Registrasi Pokok : H14104021

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul :

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian

Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Tanti Novianti SP, MSi NIP. 132 206 249

Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872

Tanggal Kelulusan:

Analisis Faktor-faktor Produksi yang

Mempengaruhi Output Industri Farmasi

Indonesia Periode 1983 – 2005 (Pendekatan

Produktivitas Total Faktor )

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

Ateris Bilada H14104021

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 1 April 1986 dari ayah

Kuswandi dan ibu Ayik Rohimah. Penulis merupakan putra pertama dari dua

bersaudara.

Penulis pernah mengenyam pendidikan di SD Negeri Kepatihan 1 Jember,

kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP di Sekolah Indonesia di Cairo dan

lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis masih melanjutkan

pendidikan SMU di Sekolah Indonesia di Cairo dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor

(IPB). Penulis masuk IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)

dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas

Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti

kepanitian dalam acara yang diselenggarakan Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu

Ekonomi dan Studi Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi dan Badan Eksekutif

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga pernah menjadi anggota

UKM Panahan IPB tahun 2005-2006.

KATA PENGANTAR

Assalamu’alikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang

selalu memberi rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis diberi kemudahan dan

kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian dan dukungan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima

kasih penulis sampaikan kepada :

1. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Kuswandi dan Ibu Hj. Ayik Rohimah

atas doa, dukungan, perhatian dan pengertiannya kepada penulis.

2. Ibu Tanti Novianti SP, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang

dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Bapak Alla Asmara S.Pt dan Bapak Jaenal Effendi MA, selaku dosen

penguji yang telah menguji penulis serta memberikan kritik dan saran

untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Mulyoko, Rifki, Eko, Casnan, Bama, Andika, Faisal, Zein, Kukuh, Hendy

Yunus dan rekan-rekan mahasiswa yang lain yang selalu memberikan arti

di sela suka dan duka yang dialami penulis selama ini. Terima kasih atas

ide-ide, semangat dan dukungannya selama ini.

5. Andika, Bagus, Deny, Eko, Maya, Priyanto, Saiful, dan semua rekan-rekan

angkatan 41 jurusan Ilmu Ekonomi, terima kasih atas bantuan dan

semangat yang diberikan selama ini.

6. Semua staf Fakultas Ekonomi dan Manajemen yang telah memberikan

perhatian dan bantuan sehingga memudahkan penulis menyelesaikan

skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan

masyarakat serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu

pengetahuan, khususnya dalam Ilmu Ekonomi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Penulis menghaturkan maaf apabila terdapat hal yang kurang

berkenan selama penulisan skripsi ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, September 2008

Ateris Bilada

H14104021

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……………………………………………………........ iv

DAFTAR GAMBAR………………………………………………........... v

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………… vi

I PENDAHULUAN…………………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang……………..………………………………......... 1

1.2 Perumusan Masalah …………………………………………….. 4

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………... 5

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………. 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian………………………………………. 6

II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………. 7

2.1Tinjauan Teori……………………………….…………………... 7

2.1.1 Industri…………………………...…………………….......... 7

2.1.2 Industri Farmasi……………………………………………... 9

2.2 Produksi dan Produktivitas…………………………………........ 13

2.2.1 Produksi …………………………………………………….. 13

2.2.2 Produktivitas……………………………………………........ 15

2.3 Konsep Pertumbuhan Solow…………………………………...... 20

2.4 Fungsi Produksi Cobb-Douglas………………………………..... 22

2.5 Penelitian Terdahulu…………………………………………….. 25

2.6 Kerangka Pemikiran…………………………………………….. 27

2.7 Hipotesis……………………………………………………........ 28

III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………….. 29

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………. 29

3.2 Jenis dan Sumber Data…………………………………………... 29

3.3 Keterbatasan Penelitian…………………………………………. 29

3.4 Metode Analisis Data……………………………………..…….. 30

3.4.1 Analisis Regresi Linear Berganda…………………………... 30

3.4.2 Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas……………………... 31

3.4.3 Model Pertumbuhan Solow………………………………..... 32

3.4.4 Asumsi-Asumsi Linear Berganda…………………………… 33

IV GAMBARAN UMUM……………………………………………… 39

4.1 Sejarah Farmasi………………………………………………..... 39

4.2 Perkembangan Industri Farmasi…………………………............ 40

4.2.1 Kondisi Industri Farmasi Nasional………………………….. 43

V HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………... 48

5.1 Analisis Produktivitas Parsial…………………………………… 47

5.2 Analisis Total Factor Productivity (TFP)……………………..... 51

5.2.1 Pengujian Asumsi Linear Berganda………………………… 52

5.2.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)……………………………... 54

5.2.3 Uji Parameter Statistik…………..…………………………... 54

5.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Output Dengan

Memasukkan Variabel Progres Teknologi Terhadap Fungsi

Produksi……………………………………………………….... 57

5.3.1 Pengujian Asumsi Regresi Linear Berganda ……………….. 57

5.3.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)……………………………... 59

5.3.3 Uji Parameter Statistik ……………………………………… 59

5.3.4 Uji Ekonomi ………………………………………………… 60

VI KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………... 64

6.1 Kesimpulan…………………………………………………..….. 64

6.2 Saran………………………………………………………..…… 64

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 66

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. 69

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Kontribusi Terhadap PDB Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2000 -2007……………………………………………...…………………... 1

1.2 Volume Impor Bahan-bahan Obat dan Hasilnya Berdasarkan Dokumen PIB Tahun 2000 -2007…………………………………………………….……... 3

1.3 Klasifikasi dan Komposisi Struktur Biaya Obat…………………………….. 10

4.1 Perkembangan Pangsa Pasar Farmasi Global Tahun 2000 -2007……………. 41

4.2 Nilai Ekspor Bahan-Bahan Obat-obatan Beserta Hasilnya menurut kode SITC digit 2 ..................................................................................................... 44

5.1 Nilai Produktivitas Rata – Rata Faktor Produksi……………………………. 47

5.2 Hasil Estimasi Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Menghitung Koefisien Total Factor Productivity (TFP)…………………...………...…... 51

5.3 Hasil Estimasi Dengan Memasukkan Variabel Progres Teknologi (TFP) ke Fungsi Produksi……………………………………………………………… 56

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Grafik Perkembangan Pasar Obat Generik (Rp Milyar)…….………... 2

2.1 Kurva Peningkatan Produktivitas ……………..……………………… 17

2.2 Diagram Alur Kerangka Pemikiran Konseptual ……………..…….… 28

4.1 Kerangka Perubahan Research And Development Industri Farmasi…. 43

4.2 Grafik Perkembangan Pangsa Pasar Industri Farmasi Global……………….

45

4.3 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Farmasi Tahun 1983-2005……………………………………………………………..

44

5.1 Pertumbuhan Produktivitas Parsial Tenaga Kerja……………………. 48

5.2 Pertumbuhan Produktivitas Parsial Modal……………………………. 49

5.3 Produktivitas Parsial Bahan Baku…………………………………….. 50

LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Logaritma Output Riil dan Variabel Input Riil Industri Farmasi Tahun 1983 -2005……………………………………………………………

69

2. Data Pertumbuhan Output Riil dan Variabel Input Riil Industri Farmasi Tahun 1983 – 2005…………………………………………………..............

70

3. Produktivitas Riil Variabel Input Industri Farmasi………………………..... 71

4. Hasil Perhitungan Total Productivity Factor (TFP)……………………........ 72

5. Hasil Estimasi Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglass Tanpa Memasukkan Variabel Progres Teknologi (TFP)……………………............

73

6. Hasil Uji Multikolinearitas dengan Correlation Matrix…………………...... 73

7. Hasil Uji Normalitas Error Term dengan Jarque-Berra Test………...…... 74

8. Hasil Pengujian Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial....................... 74

9. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas dengan menggunakan Uji White- Heteroscedasticity……………………………………………………............

74

10. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglass dengan Memasukkan Kontribusi Variabel Progres Teknologi (TFP)………………………............

74

11. Hasil Uji Multikolinearitas dengan Correlation Matrix ……………………. 74

12. Hasil Uji Normalitas Error Term …………………………………………… 76

13. Hasil Uji Serial Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test…………………………………………………………

76

14. Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan White-Heteroscedasticity……………. 76

I . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industrialisasi merupakan salah satu proses yang dapat memacu

pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan bangsa. Hal ini dikarenakan

sektor industri dipercaya memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap PDB

dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Selain itu, industri juga

berperan sebagai leading sector dimana percepatan pertumbuhan sektor

perekonomian yang lain dapat didukung dengan kinerja sektor industri yang

produktif. Tabel 1.1 memperlihatkan kontribusi sektor industri terhadap

pertumbuhan PDB tiap tahunnya, dimana hal ini dapat menggambarkan bahwa

sektor industri memiliki prospek untuk dikembangkan.

Tabel 1.1 Kontribusi Terhadap PDB Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2000 – 2007

No Lapangan Usaha 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1 Pertanian, Peternakan,

Kehutanan dan Perikanan 15,6 15,3 15,5 15,2 14,3 13,1 13,0 13,8

2 Pertambangan dan Penggalian

12,1 11,0 8,8 8,3 8,9 11,1 11,0 11,1

3 Industri Pengolahan 27,7 29,3 28,7 28,3 28,1 27,4 27,5 27,0 a.Industri Migas 3,9 3,8 3,8 3,9 4,1 5,0 5,2 4,6 b. Industri Non Migas 23,8 25,2 24,9 24,4 24,0 22,4 22,4 22,4

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,6 0,7 0,8 1,0 1,0 1,0 0,9 0,9 5 Konstruksi 5,5 6,7 6,1 6,2 6,6 7,0 7,5 7,7 6 Perdagangan, Hotel dan

Restauran 16,2 16,1 17,1 16,6 16,1 15,6 15,0 14,9

7 Pengangkutan dan komunikasi

4,7 4,7 5,4 5,9 6,2 6,5 6,9 6,7

8 Keuangan, Real estate dan Jasa perusahaan

8,3 8,2 8,5 8,6 8,5 8,3 8,1 7,7

9 Jasa - Jasa 9,3 9,2 9,1 9,9 10,3 10,0 10,1 10,1 Sumber : BPS (2007)

2  

  

Industri farmasi sebagai subsektor industri pengolahan non migas

memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Menurut data Badan Pusat

Statistik (2006), jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2000 hingga 2005

mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2,1 persen. Pada sensus penduduk tahun

2000, penduduk Indonesia berjumlah 205.132.458 jiwa, kemudian meningkat

setiap tahunnya hingga pada tahun 2005 menjadi 218.868.791 jiwa. Sejalan

dengan adanya pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya, hal

ini mengakibatkan adanya peningkatan jumlah permintaan akan obat-obatan dan

produk farmasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Sumber : IMS (2004)

Gambar 1.1 Grafik Konsumsi Obat dan Produk Farmasi di Indonesia (Rp Milyar)

Beberapa tahun terakhir ini, perkembangan industri farmasi nasional

mengalami kecenderungan mengalami peningkatan nilai produksi setiap tahunnya

akan tetapi peningkatan ini menimbulkan permasalahan ketersediaan bahan baku.

Pada tahun 2000, nilai produksi industri farmasi mencapai 8.290 triliun rupiah,

sedangkan pada akhir tahun 2001, industri farmasi mengalami pertumbuhan lebih

dari 30 persen yaitu pada nilai produksi 14.469 triliun rupiah. Selanjutnya nilai

produksi industri farmasi mengalami fluktuasi tiap tahunnya dalam pertumbuhan

3  

  

rata-rata pertahun yang dapat dicapai sebesar 14,6 persen. Titik puncak nilai

produksi industri tercapai pada tahun 2005 dengan nilai produksi sebesar 16.060

triliun rupiah (Badan Pusat Statistik, 2005).

Peningkatan nilai produksi ini mengakibatkan adanya permasalahan pada

sektor industri farmasi yaitu peningkatan penggunaan jumlah bahan baku.

Menurut Kendra (2008), sekitar 95 persen bahan kimia yang menjadi bahan baku

obat dan industri farmasi dipasok dari luar negeri, dengan besaran bea masuk

berkisar antara 5 persen hingga 15 persen. Peningkatan impor bahan baku terjadi

pada tahun 2003, dengan pertumbuhan sebesar 4,09 persen dibandingkan impor

pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

(2007), peningkatan impor bahan baku obat dan industri farmasi mengalami

peningkatan semenjak tahun 2003, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar

17,18 persen. Peningkatan impor bahan baku mengakibatkan harga obat di

Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku di pasar internasional yang

cenderung fluktuatif dan mengalami peningkatan.

Tabel 1.2 Volume Impor Bahan-bahan Obat dan Hasilnya Berdasarkan Dokumen Pajak Impor Barang (PIB) Tahun 2000 -2007

Tahun Volume Impor ( ribu USD ) Pertumbuhan Per Tahun (%) 2000 382690 - 2001 374970 -2,01 2002 357770 -4,58 2003 372405 4,09 2004 598990 60,84 2005 608014 1,50 2006 651805 7,20 2007 731878 12,28

Sumber : Ditjen Bea dan Cukai (2007)

Ketergantungan akan bahan baku impor yang tinggi secara langsung

membawa dampak terhadap kinerja dan produktivitas industri farmasi dalam

4  

  

negeri. Peningkatan harga bahan baku internasional yang secara bersamaan terjadi

pada tahun 2003, mengakibatkan peningkatan biaya produksi untuk menghasilkan

output. Selanjutnya permasalahan tersebut mengakibatkan industri farmasi tidak

efisien dan tidak produktif dalam menghasilkan outputnya.

Berdasarkan data International Marketing Service Health (2005), struktur

konsumsi Indonesia untuk bidang kesehatan adalah sangat rendah, yaitu hanya

sekitar 2 persen dari keseluruhan PDB per kapita. Persentase ini adalah sangat

rendah apabila dibandingkan dengan negara Jepang yang memiliki struktur

konsumsi untuk kesehatan per kapita sebesar 10 persen. Hal ini merupakan

tantangan bagi sektor industri farmasi dimana produktivitas industri adalah salah

satu indikator yang diharapkan peningkatannya guna tercapainya efisiensi biaya

produksi sehingga keterjangkauan masyarakat untuk mengakses produk farmasi

terjamin. Adapun peran Pemerintah yang proaktif untuk mendukung

perkembangan produktivitas sektor industri farmasi adalah sangat diharapkan.

1.2 Rumusan masalah

Penelitian mengenai karakteristik faktor-faktor produksi yang

mempengaruhi output dan produktivitas industri farmasi merupakan hal yang

menarik untuk diteliti. Adanya pertumbuhan output industri farmasi tidak

memberikan jaminan adanya ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat dalam

mengakses obat serta produk farmasi lainnya. Peningkatan pada nilai output

industri mengakibatkan peningkatan pada volume impor bahan baku obat.

Peningkatan volume impor bahan baku obat mengakibatkan tingginya tingkat

ketergantungan industri farmasi nasional terhadap impor. Selanjutnya tingkat

5  

  

ketergantungan bahan baku obat terhadap pasar internasional mengakibatkan

biaya produksi obat domestik meningkat, karena harga bahan baku impor

dipengaruhi harga bahan baku internasional yang cenderung meningkat setiap

tahunnya. Ketergantungan terhadap bahan baku impor merupakan permasalahan

utama sektor industri farmasi dimana hal itu memiliki hubungan yang erat dengan

fungsi produksi, faktor-faktor produksi input serta tingkat penggunaan teknologi.

1.3 Tujuan Penelitian

Perkembangan industri tidak terlepas dari peningkatan kuantitas output

yang dihasilkan dan produktivitas faktor–faktor produksi yang digunakan di

dalam industri tersebut. Untuk itu penelitian ini bertujuan antara lain :

1. Mendeskripsikan kondisi dan perkembangan industri farmasi nasional.

2. Menganalisis faktor – faktor produksi yang mempengaruhi output industri

farmasi nasional.

3. Menganalisis produktivitas total faktor (progres teknologi) industri farmasi

nasional.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah

sebagai referensi dalam penetapan kebijakan regulasi di bidang farmasi.

Bagi para pelaku industri farmasi, diharapkan dapat dijadikan referensi

untuk pengembangan sektor industri farmasi sehingga selain pertumbuhan output

dapat dicapai juga terjadi peningkatan produktivitas dari faktor-faktor produksi

dan total produktivitas faktor industri farmasi.

6  

  

Sedangkan bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan, dapat

menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian mengenai total produktivitas faktor industri

farmasi di Indonesia dengan kategori industri farmasi besar dan sedang menurut

Statistik industri KLUI (Klasifikasi Lapangan Usaha Industri) revisi 2004. Selama

rentang waktu penelitian yang dilakukan (1983-2005) sektor industri farmasi telah

mengalami tiga kali perubahan dalam pembagian golongan pokok industri. Pada

tahun 1983 hingga tahun 1989, industri farmasi termasuk dalam Klasifikasi

Lapangan Usaha Indonesia ( KLUI) lima digit yaitu 35221. Kemudian pada tahun

1990-1997 klasifikasinya berubah menjadi 35222. Pada tahun 1998-2005 kode

industri farmasi berubah menjadi 24232.

7  

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1 Industri

Definisi mengenai Industri memiliki ruang lingkup mikro dan makro.

Secara mikro, industri diartikan sebagai kumpulan dari perusahaan – perusahaan

yang menghasilkan barang – barang sejenis (homogeny), atau barang- barang yang

mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Sedangkan secara makro,

ditinjau dari segi pembentukan pendapatan, industri adalah kegiatan ekonomi

yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan,1993).

Pendefinisian industri menurut Sumarni (1998), industri diartikan sebagai

kegiatan pengadaan suatu barang (economic goods) untuk keperluan dan

kesejahteraan manusia orang-orang tertentu di suatu tempat tertentu. Barang

ekonomi dapat berupa bahan atau barang misalnya tekstil, mobil, hasil pertanian,

obat-obatan atau dapat pula berupa jasa seperti perbankan.

Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan industri sebagai suatu unit

(kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi bertujuan menghasilkan

barang atau jasa dimana terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan

mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya

serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut. Jadi

pengertian industri dapat diartikan suatu unit usaha yang melakukan kegiatan

ekonomi yang mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang

terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu serta mempunyai catatan

administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang

8  

  

atau lebih yang bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut. Industri itu terdiri

dari berbagai macam sektor, diantaranya industri jasa, industri pengolahan,

industri farmasi, industri kelistrikan, industri makanan dan minuman, industri

perbankan dan banyak lagi industri lainnya.

Selanjutnya Departemen Perindustrian (2005) membagi beberapa jenis

industri berdasarkan karakteristik penggunaan input, yaitu :

1. Industri Padat Sumber Daya Alam, meliputi industri–industri yang banyak

menggunakan sumber daya alam sebagai bahan baku.

2. Industri Padat Tenaga Kerja, meliputi industri-industri yang banyak

menggunakan tenaga kerja. Untuk dapat mengembangkan produk ini

diperlukan usaha meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga

kerja, baik melelui penanaman modal maupun penerapan teknologi.

3. Industri Padat Modal, meliputi industri–industri yang banyak

menggunakan modal. Dalam pengembangan produk ini diperlukan usaha

meningkatkan penanaman modal asing. Dan pada umumnya

pengembangan produk berdasarkan kategori industri padat modal memiliki

ketergantungan pada faktor eksternal dari industri tersebut.

4. Industri Padat Teknologi, meliputi industri–industri yang mengandalkan

teknologi sebagai faktor keunggulan untuk dapat bersaing. Untuk

mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penguasaan

teknologi yang menyatu pada barang modal yang diimpor.

9  

  

2.1.2 Industri Farmasi

Secara spesifik industri farmasi merupakan industri hilir yang melakukan

kegiatan produksi obat-obatan termasuk vitamin, suplemen serta bahan-bahan

dapat berfungsi penunjang kesehatan. Menurut Departemen Kesehatan Republik

Indonesia dalam Kebijakan Obat Nasional (2005), Obat adalah sediaan atau

paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau

menyedilidki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan

diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan

kontrasepsi.

Pada industri farmasi, knowledge dan knowledge management mempunyai

peran yang penting karena industri farmasi adalah strongly sciencebased-industry

dan the most research–intensive and innovative sectors of manufacturing. Obat-

obat baru dikembangkan dengan cara yang sistematik, investasi yang signifikan

termasuk dalam hal waktu (time), iklim yang inovatif, SDM yang berbakat serta

melibatkan seluruh sumberdaya perusahaan. Dalam konteks R&D di dalam

industri farmasi, yang perlu mendapat perhatian adalah peran strategis dari human

capital. Perusahaan perlu merekrut skilled scientist dan mengupayakan agar

mereka berada dalam perusahaan untuk jangka yang panjang Hal ini dapat

dimengerti karena kapabilitas human capital akan sangat menentukan kekuatan

R&D suatu perusahaan farmasi dalam melakukan inovasi sebagai sumber

keunggulan kompetitifnya. Perusahaan perlu mengintegrasikan ilmuwan

(scientist) dalam organisasi untuk mentrasformasikan ilmu pengetahuan mereka

dalam proses pembelajaran kolektif. Scientific knowledge mempunyai peran

penting dalam aktivitas perusahaan dan ini dihasilkan dari penguatan organisasi

10  

  

risetnya. Selanjutnya organisasi dan intensitas riset akan menjadi determinan

keberhasilan perusahaan, dengan kata lain, aktivitas laboratorium R&D dan

personil yang bekerja disana mempunyai pengaruh strategis pada perusahaan dan

memainkan peran implisit dalam corporate governance (Sampurno, 2004).

Di dalam Industri farmasi terdapat pengklasifikasian obat, yaitu obat

generik, obat generik bermerek dan obat paten ( Hamzah, 2007). Dalam

pengklasifikasian tersebut dibedakan dalam komposisi struktur biaya dengan

proporsi Harga Netto Apotek keseluruhan 100 persen, selengkapnya dapat dilihat

Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi dan Komposisi Struktur Biaya Obat (Persentase)

Komposisi Struktur Biaya

Jenis Obat Obat Generik ( % ) Obat Generik

Bermerek (%) Obat Paten ( % )

Biaya Produksi 70 50 60 Biaya Pemasaran dan Distribusi

20 40 30

Keuntungan Produsen

5 – 10 10 10

HNA Apotek 100 100 100 Sumber : Pane (2007)

Puspitasari (2004) menjelaskan pengklasifikasian industri farmasi nasional

menurut Permenkes No.222./Kab/BVII/69 tanggal 3 Oktober 1969. Industri

farmasi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:

1. Industri farmasi

Industri farmasi yang dimaksud adalah perusahaan berbadan hukum

Perseroan terbatas (PT) yang melakukan produksi obat-obatan berdasarkan

ketentuan yang diatur dalam SKEP Menkes RI no 90/Kab/B.Vii/71 – 24 April

1971 , SKEP Menkes RI No 2819/A/SK/71 – 26 April 1971 , SKEP Menkes RI

11  

  

No. 125/Kab/BVII/71 – 9 Juni 1971, Permenkes RI No 389/Menkes/PeR/X/80 –

19 oktober 1980 , paket kebijaksanaan deregulasi 28 mei 1990 berupa peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 242. Dan no 245/ Menkes/SK/V/90 dengan klasifikasi,

yaitu industri farmasi Badan Usaha Milik Negara ( BUMN), Penanaman Modal

Asing dan Swasta nasional.

Industri farmasi BUMN merupakan industri farmasi yang modalnya

dimiliki oleh Negara. Contoh industri farmasi BUMN adalah PT Indofarma, PT

Biofarma, PT Kimia Farma, dan NV Phapros. Industri farmasi di Indonesia pada

umumnya memproduksi obat etikal yaitu obat–obatan yang bisa disediakan

dengan resep dokter dan obat bebas (OTC) atau obat- obatan yang dapat dibeli

tanpa resep dokter.

2. Pedangang Besar Farmasi (PBF)

PBF di Indonesia merupakan distribusi farmasi yaitu perusahaan yang

berbadan hukum berupa perseroran terbatas yang melalukan distribusi obat. PBF

diatur dalam permenkes No.163/Kab/B.Vii/72 – 28 Agustus 1972, SKEP Menkes

No.809/Ph/64/b-28 Januari 1964 dan SKEP Menkes RI No 3987/A/SK/73 – 30

April 1973. Paket kebijaksanaan deregulasi tanggal 28 Mei 1990 Permenkes RI

No.243/Menkes/SK/V/90 menunjuk berbagai fungsi jenis PBF.

3. Apotek

Apotek adalah suatu perusahan tempat sarana pengabdian Apoteker.

Apotek melakukan distribusi obat langsung kepada pasien atau apotik lainnya.

Apotek melakukan distribusi kepada poliklinik untuk obat-obatan termasuk obat

keras dengan resep dokter, obat-obat bebas terbatas, maupun obat bebas. Apotek

didirikan berdasarkan peraturan Pemerintah No. 26/1965 juncto Peraturan

12  

  

Pemerintah no 25 tahun 1980, permenkes No.26/ Menkes/ Per/ I/ 81 serta

berbagai permenkes lainya seperti no. 278, 279 dan 280/ Menkes/ SK/ 80 tanggal

30 Mei 1981.

4. Toko obat

Toko obat adalah perusahaan yang melaksanakan penyaluran obat bebas

dan bebas terbatas. Toko obat dibagi menjadi ;

a. Toko obat berizin, merupakan suatu usaha tempat mendistribusikan obat

secara eceran langsung kepada konsumen terutama dalam klasifikasi

penyaluran obat bebas terbatas dan obat bebas.hal ini sesuai dengan

ketentuan Permenkes no.167/kab/ BVII/ 72 tanggal 28 Agustus 1972

penanggung jawab teknis adalah asisten apoteker.

b. Toko obat biasa adalah usaha yang sebagian besar kegiatannya

mendistribusikan obat secara eceran langsung kepada para konsumen

berupa obat bebas saja.

Mempelajari industri farmasi sama dengan mempelajari dasar pengetahuan

mengenai industri. Sumber daya yang mendasar industri farmasi terdiri dari

pengetahuan manjemen, daya saing dan aset baik yang berwujud maupun tidak

sama persis seperti pengetahuan dasar industri. Sejak proses awal produksi, obat

merupakan komoditi ekonomis, karena perangkat investasi maupun pelaksanaan

proses produksi dilakukan dengan hukum- hukum ekonomi. Obat merupakan

komoditi yang memerlukan penanganan teknologi tinggi untuk keselamatan

manusia dimana setiap prosesnya tidak hanya memerlukan acuan Good

Manufacturing Practice, namun pola perkembangan kesehatan dunia

mensyarakatkan current Good Manufacturing Practice artinya harus mengikuti

13  

  

cara pembuatan obat yang senantiasa mutakhir. Disamping persyaratan umum

cGMP harus pula mengkuti perkembangan berbagai uji stabilitas bio-equivalen

dan bio-availability, uji klinis dan lainnya.

Dalam perkembangannya proses penemuan obat memerlukan waktu dan

biaya yang sangat lama. Menurut World Health Organization (1998), Industri

farmasi merupakan industri yang berbasis riset dan secara berkesinambungan

memerlukan inovasi, memerlukan promosi yang membutuhkan biaya mahal,

organisasi dan sistem pemasaran yang baik, serta produk yang diatur secara ketat,

baik pada tingkat nasional maupun internasional.

2.2. Produksi dan Produktivitas

Hingga saat ini sering terjadi pembauran antara pengertian produktivitas

dan produksi. Beberapa orang mengartikan kedua hal tersebut adalah sama.

Komaruddin dalam Rachmadona (2002) mengatakan bahwa kenaikan produksi

memperlihatkan peningkatan jumlah hasil yang dicapai. Produktivitas seringkali

diartikan adanya perbaikan atau daya atas pencapaian hasil suatu proses.

2.2.1 Produksi

Produksi merupakan semua kegiatan untuk menciptakan dan menambah

kegunaan suatu barang atau jasa dengan memanfaatkan faktor–faktor produksi

yang tersedia. Faktor–faktor produksi adalah sumber–sumber ekonomi yang harus

diolah oleh perusahaan untuk dijadikan barang dan jasa untuk kepuasan konsumen

sekaligus memberikan keuntungan bagi perusahaan (Sumarni, 1998).

14  

  

Pengertian fungsi produksi menurut Nicholson (1995) merupakan

hubungan teknis fungsional diantara beberapa input dalam rangka proses

perubahan menjadi output. Fungsi produksi mencerminkan kombinasi berbagai

faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output. Selain itu, fungsi

produksi dapat menunjukkan jumlah maksimal barang yang dapat diproduksi

dengan menggunakan kombinasi faktor produksi yang ada, yaitu modal dan

tenaga kerja.

Lipsey dalam Yunnisa (2004), berpendapat bahwa faktor produksi adalah

sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan. Sumber daya tersebut seringkali dipisahkan dalam kategori

dasar, yaitu : tanah, tenaga kerja dan modal.

Pembentukan fungsi produksi dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan

pada waktunya, yaitu:

1. Fungsi Produksi Jangka Pendek ( Short Run )

Fungsi produksi jangka pendek memiliki dua jenis input yaitu input tetap

dan input variabel. Dalam jangka pendek hanya input variabel yang dapat

diubah – ubah, dengan input tetap pada suatu nilai tertentu yang tetap.

2. Fungsi Produksi Jangka Panjang ( Long Run )

Fungsi produksi jangka panjang, semua input dapat berubah sehingga

dapat dikatakan tidak ada input yang tetap.

Berdasarkan pengertian produksi diatas, maka produksi merupakan suatu

sistem. Sistem produksi adalah suatu keterkaitan unsur-unsur produksi secara

terpadu yang menyatu dan menyeluruh dalam melakukan transformasi masukan

menjadi keluaran. Oleh karena itu pengambilan keputusan dalam bidang produksi

15  

  

perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai produksi dan sistem

produksi, sehingga proses produksi yang berjalan dapat mencapai tujuan yang

diharapkan (Assuari, 1980 ).

2.2.2 Produktivitas

Menurut Moelyono (1993), sebenarnya filosofi tentang produktivitas

mengandung arti keinginan dan usaha dari setiap individu untuk selalu

meningkatkan kualitas kehidupannya. Kehidupan hari ini harus lebih baik dari

hari kemarin dan kehidupan hari esok tentunya harus lebih baik dari kehidupan

hari ini. Pandangan tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan

produktivitas. Setiap individu maupun organisasi dimungkinkan memandang

kerja sebagai suatu keutamaan. Mengutamakan bekerja dengan mengacu kepada

unsur efisiensi dan efektivitas sebenarnya telah merupakan penjabaran dan konsep

produktivitas.

Dalam pengukurannya, produktivitas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Produktivitas Parsial

Produktivitas Parsial menghubungkan antara jumlah output yang

dihasilkan dengan jumlah input yang digunakan untuk menghasilkan output

tersebut. Deflatornya hanya salah satu dari input yang digunakan. Secara

matematis, produktivitas parsial dapat dituliskan sebagai berikut :

Produktivitas Parsial =

Output adalah produk akhir dari sebuah proses dimana dapat berupa

barang jadi atau pemberian layanan. Sedangkan input adalah jumlah

16  

  

sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang atau untuk

penyediaan layanan.

b. Produktivitas Multi Faktor

Produktivitas Multi Faktor adalah rasio dari output terhadap lebih dari

satu faktor input. Deflatornya adalah semua input. Produktivitas Multi Faktor

ini merupakan pendekatan dasar dari Produktivitas Faktor Total (Total Factor

Productivity/ TFP) atau disebut juga laju progres teknologi.

TFP dapat diartikan sebagai kumpulan dari seluruh faktor kualitas yang

menggunakan sumberdaya yang ada secara optimal untuk menghasilkan lebih

banyak output dari tiap unit input. TFP menggambarkan keefisienan dan

keefektifan dimana faktor–faktor produksi diproses secara bersama untuk

menghasilkan output, baik berupa barang ataupun jasa. Oleh karena itu, output

tetap dapat ditingkatkan tanpa menggunakan penambahan input. Hal ini berarti

bahwa perlu peningkatan kualitas yang lebih baik dari sumberdaya yang telah

digunakan, seperti:

a. Memperkenalkan teknologi baru;

b. Meningkatkan teknologi informasi;

c. Berinovasi dalam penciptaan bahan baku;

d. Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan energi;

e. Memperbaiki teknik manajemen;

f. Meningkatkan pendidikan dan ketrampilan pekerja.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa produksi berbeda dengan

produktivitas. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan

17  

  

produktivitas. Hal ini disebabkan karena produksi dapat meningkat walaupun

produktivitasnya tetap atau menurun (Ravianto, 1986).

Sumber : Nicholson (1995)

Gambar 2.1 Kurva Peningkatan Produktivitas

Pada Gambar 2.1 dengan mengasumsikan bahwa hanya ada input modal

dan tenaga kerja, sebuah perusahaan dapat meningkatkan produktivitas melalui

dua cara, yaitu :

a. Fungsi produksi tidak berubah dengan intensitas modal meningkat.

Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa peningkatan intensitas modal dalam

fungsi produksi yang tetap ditandai dengan bergeraknya intensitas modal dari

titik P0 ke P1. Dengan meningkatnya intensitas modal dari K/ L0 ke K/ L1 akan

meningkatkan produktivitas dari Y/ L0 ke Y/ L1.

18  

  

b. Fungsi produksi berubah dengan intensitas modal tetap.

Adanya perubahan fungsi produksi dari F(t0) menjadi F(t1) mengakibatkan

jumlah produksi meningkat dari P1 ke P2. Dengan intensitas modal yang tetap,

K/LI akan meningkatkan produktivitas dari Y/L1 ke Y/L2 sehingga

memperbaiki TFP. Produktivitas yang meningkat akan memperkuat daya

saing perusahaan. Hal ini disebabkan karena perusahaan dapat berproduksi

dengan biaya yang lebih rendah dan mutu produksi lebih baik. Produktivitas

juga mendorong terciptanya perluasan tenaga kerja. Selain itu, produktivitas

menunjang kelestarian dan perkembangan perusahaan. Dengan begitu,

hubungan industrial yang lebih baik akan terwujud.

Menurut Nugroho dalam Anindita (2004) mengungkapkan bahwa

produktivitas juga dapat dilihat sebagai tiga konsep, yaitu :

1. Konsep teknikal

Produktivitas diartikan sebagai perbandingan antara output yang dihasilkan

dengan tiap unit sumberdaya yang digunakan (input). Pada suatu waktu

perbandingan ini dapat menjadi sebuah rasio yang memiliki kualitas yang sama

atau meningkat.

2. Konsep Manajemen

Dalam konsep manajemen, produktivitas terdiri dari dua unsur yaitu

efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berarti melaksanakan sesuatu dengan tepat.

Sedangkan efisiensi memiliki arti melaksanakan sesuatu dengan benar.

19  

  

3. Konsep Sosial

Sebagai konsep sosial, produktivitas merupakan sebuah pemikiran tentang

sikap. Berdasarkan keyakinan bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan

besok harus lebih baik dari hari ini, pengembangan akan terjadi terus menerus dari

apa yang telah ada. Jadi, dapat disimpulkan bahwa produktivitas adalah tujuan

bagi siapapun untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Sedangkan definisi produktivitas menurut Kohler’s Dictionary for

Accountants dalam Moelyono (1993) merupakan hasil yang didapat dari setiap

proses produksi dengan menggunakan satu atau lebih faktor produksi. Seringkali

produktivitas dihitung sebagai rasio output terhadap input. Tolok ukur

produktivitas dapat dinyatakan dalam physical productivity dan financial

productivity.

Konsep produktivitas dalam pandangan ilmu ekonomi biasanya dikaitkan

dengan jumlah output dan harga output. Seringkali produktivitas didefinisikan

sebagai efisiensi dalam memproduksi output atau rasio output dibanding input.

Dan pengertian efisiensi dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Cost efficiency adalah kemampuan produksi pada tingkat tertentu dengan

biaya rendah dibandingkan dengan produsen lain. Dapat pula diartikan

sebagai kemapuan produksi pada tingkat yang lebih tinggi dengan biaya

yang sama.

b. Technical efficiency adalah kemampuan produksi sebesar mungkin dengan

jumlah input tertentu. Dapat pula diartikan sebagai kemampuan

menghasilkan jumlah output yang sama dengan menggunakan jumlah

input seminimal mungkin.

20  

  

Dalam penelitian ini, konsep produktivitas dapat diartikan sebagai ukuran

sampai seberapa jauh sumberdaya – sumberdaya yang ada disertakan dan

dipadukan dalam organisasi untuk mencapai suatu hasil tertentu. Dengan begitu,

konsep produktivitas menekankan pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam

setiap usaha ( Moelyono, 1993).

2.3 Konsep Pertumbuhan Solow

Dalam analisis tentang sumber–sumber pertumbuhan sering diasumsikan

bahwa teknologi tidak mempengaruhi fungsi produksi yang tidak berubah.

Kenyataannya, kemajuan teknologi meningkatkan fungsi produksi. Oleh karena

itu, perubahan teknologi akan dimasukkan dalam fungsi produksi.

Dengan mengasumsikan tidak adanya perubahan teknologi, fungsi

produksi yang mengaitkan produksi (Y) dengan faktor produksi modal (K) dan

tenaga kerja (L) adalah konstan. Persamaan dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = f(K,L)……………………………………………………………..(2.1)

Kenaikan kedua faktor produksi sebesar ∆K dan ∆L akan meningkatkan

output. Dengan membagi kenaikan ini menjadi dua sumber dengan menggunakan

produk marjinal dari dua input :

∆Y= ( MPK x ∆K ) + ( MPL x ∆L ) …………………………………..(2.2)

Bagian pertama dalam tanda kurung merupakan kenaikan output yang

disebabkan oleh kenaikan modal. Sedangkan bagian kedua merupakan kenaikan

output yang disebabkan oleh kenaikan tenaga kerja. Persamaan 2.2 dapat ditulis

dalam bentuk lain sebagai berikut :

∆ = ∆ + ∆ ………………………………………. (2.3)

21  

  

Bentuk persamaan ini menunjukkan hubungan antara tingkat pertumbuhan

output ∆Y/Y, dengan tingkat pertumbuhan modal, ∆K/K, dan tingkat

pertumbuhan tenaga kerja, ∆L/L. (MPK x K)/ Y adalah bagian modal dari output.

Sedangkan (MPL x L)/Y adalah bagian tenaga kerja dari output. Dengan asumsi

bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan, (MPK x K)/ Y dan

(MPL x L)/ Y memiliki bagian sama dengan satu. Dalam hal ini, dapat ditulis

sebagai berikut :

∆ = α ∆ + (1-α) ∆ …………………………………………………... (2.4)

Dimana α adalah bagian modal dan (1-α) adalah bagian tenaga kerja.

Menurut Robert M. Solow dalam Mankiw (2003), fungsi produksi juga

mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja

menjadi output. Jadi, perubahan teknologi mempengaruhi fungsi produksi, karena

teknologi produksi yang ada menentukan berapa banyak output diproduksi dari

jumlah modal dan tenaga kerja tertentu. Setelah dimasukkan dampak perubahan

teknologi ke dalam Persamaan 2.1 diatas, maka persamaan diatas menjadi :

Y = Af ( K, L ) ………………………………………………………...(2.5)

Dimana A adalah ukuran dari tingkat teknologi terbaru yang disebut Total

Factor Productivity (TFP). Jadi, peningkatan produksi tidak hanya disebabkan

oleh peningkatan modal dan tenaga kerja, namun juga karena kenaikan TFP.

Dengan demikian, Persamaan 2.4 berubah menjadi :

∆ = α∆ + (1-α) ∆ + ∆ ……………………………………………… (2.6)

Persamaan ini mengidentifikasi dan mengukur tiga sumber pertumbuhan.

Ketiga sumber pertumbuhan tersebut adalah perubahan jumlah modal, perubahan

jumlah tenaga kerja, dan perubahan TFP. TFP tidak dapat diamati secara langsung

22  

  

sehingga diukur secara tidak langsung. Dengan mengubah Persamaan 2.6, dapat

diketahui pertumbuhan TFP. Persamaan tersebut setelah diubah akan

menghasilkan persamaan ;

∆ = ∆ ∆ 1 ∆ …………………………………………… (2.7)

∆A/A menginterpretasikan perubahan output yang tidak dapat dijelaskan

oleh perubahan input. Oleh karena itu, pertumbuhan TFP ini dihitung sebagai

residu dan disebut sebagai Residu Solow. Residu merupakan jumlah pertumbuhan

output yang tersisa setelah menghitung determinan pertumbuhan yang dapat

diukur.

TFP dapat berubah karena berbagai alasan. Perubahan sering disebabkan

karena meningkatnya ilmu pengetahuan tentang metode produksi. Oleh karena itu,

Residu Solow sering digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa TFP mencakup semua yang mengubah hubungan antara input

dan output.

Model pertumbuhan Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi

memiliki skala hasil konstan (constant return to scale). Asumsi ini menyatakan

bahwa peningkatan dalam persentase yang sama dalam seluruh faktor – faktor

produksi menyebabkan peningkatan output dalam persentase yang sama. Fungsi

produksi dikatakan memiliki skala hasil konstan jika :

zY = F (zK, zL ) ………………………………………………………(2.8)

dengan z bernilai positif. Persamaan ini menyatakan bahwa jika jumlah modal dan

jumlah tenaga kerja dikalikan dengan z maka output juga dikalikan dengan z.

23  

  

2.4 Fungsi Produksi Cobb Douglas

Fungsi Produksi Cobb Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang

melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut dengan

variabel tidak bebas (Y), dan yang lain disebut variabel bebas (X) (Soekartawi,

2003). Secara matematis, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai

berikut ;

Y = aX1b1 X2

b2 X3b3 …Xi

bi…Xnbn eu

= aΠ Xibi eu.......................................................................... (2.9)

Jika fungsi produksi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y

dan X, maka :

Y = f( X1, X2, …., Xi ,…,Xn)…………………………………... (2.10)

Dimana

Y = Variabel yang dijelaskan

X = Variabel yang menjelaskan

a,b = Besaran yang akan diduga

u = Kesalahan ( disturbance term )

e = Logaritma natural, e = 2,718

Untuk memudahkan pendugaan terhadap Persamaan (2.9) maka

persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara

melogaritmakan persamaan tersebut. Logaritma dari persamaan diatas adalah :

Log Y = Log a + b1 Log X1 + b2 LogX2 + v ………………………. (2.11)

Y* = a* + b1X1* + b2*X2* + v*…………………………………….. (2.12)

Dimana :

Y* = Log Y

24  

  

X* = Log X

v* = Log v

a* = Log a

Pada Persamaan (2.12) terlihat bahwa walaupun dilogaritmakan namun

nilai b1 dan b2 tidak berubah. Hal ini dikarenakan oleh nilai b1 dan b2 pada fungsi

produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas X terhadap Y.

Dalam menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain :

a. Tidak ada pengamatan yang bernilai nol. Alasannya, logaritma dari nol

adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui ( infinite )

b. Jika menggunakan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut

terletak pada intercept, bukan pada kemiringan garis (slope) model

tersebut;

c. Perbedaan lokasi seperti iklim telah tercakup pada faktor kesalahan u.

Fungsi produksi ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain :

1. Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah

dibandingkan dengan fungsi yang lain karena fungsi produksi ini dapat

dengan mudah ditransfer ke bentuk linier.

2. Kemungkinan terjadinya masalah heteroskedastisitas dapat dikurangi.

3. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, koefisien pangkat dari fungsi

produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas

produksi dari masing – masng faktor produksi yang digunakan terhadap

output, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang

optimum dari pemakaian faktor – faktor produksi;

25  

  

4. Hasil dari penjumlahan koefisien elastisitas dari masing – masing faktor

produksi tersebut menunjukkan fase pergerakan skala usaha ( return to

scale ) atas perubahan faktor – faktor produksi yang digunakan dalam

proses produksi.

5. Fungsi produksi Cobb-Douglas sering digunakan dalam penelitian,

sehingga dapat dengan mudah dibandingkan dengan penelitian lain yang

menggunakan alat analisis yang sama.

Dari beberapa kelebihan diatas, fungsi produksi Cobb-Douglas juga

memiliki beberapa kelemahan, antara lain :

a. Elastisitas produksinya dianggap konstan;

b. Nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias jika faktor

produksinya yang digunakan tidak tetap.

c. Tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf

penggunaan faktor produksi sama dengan nol.

2.5 Penelitian Terdahulu

Fitriani (2004) melakukan penelitian tentang pengaruh faktor – faktor

produksi terhadap output industri ban di Indonesia periode 1984 – 2002.

Penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor – faktor produksi yang berpengaruh

positif terhadap peningkatan nilai output industri ban di Indonesia adalah faktor

produksi tenaga kerja, bahan baku, dan bahan bakar. Faktor Produksi modal

memberikan nilai negatif dan berpengaruh tidak nyata terhadap peningkatan

output. Perbedaannya penelitian Fitriani (2004) dengan penelitian ini adalah

penulis memasukkan faktor progres teknologi dalam mempengaruhi peningkatan

26  

  

output dan menitikberatkan pada pembahasan faktor-faktor produksi yang

mempengaruhi output industri farmasi Indonesia.

Penelitian Rivai (1991) bertujuan untuk menjelaskan proses perkembangan

industri pengolahan kayu sebagai hasil dari perubahan dalam teknik produksi,

penyerapan tenaga kerja dan produktivitas kerja dengan menggunakan model

fungsi CES dan Cobb-Douglas. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri

pengolahan kayu cenderung menggunakan teknik produksi yang padat modal,

peranan tenaga kerja sangat penting dalam menentukan besarnya output dimana

dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas besarnya elastisitas output

terhadap tenaga kerja adalah lebih besar daripada elastisitas output terhadap

modal. Persamaan antara penelitian ini dengan analisis dalam skripsi ini adalah

penggunaan alat analisis untuk menjelaskan peranan tenaga kerja dengan Cobb-

Douglas, perbedaannya yaitu dalam komoditi yang dianalisis dan dalam model

fungsi produksi lain yang digunakan.

Yulaekha (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Produktivitas

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia ( Periode 1983-2002 ) ,

meneliti model yang terbaik untuk menganalisis produktivitas dan sumber –

sumber peningkatan output industri TPT Indonesia periode 1983-2002 adalah

model persamaan linier. Beliau juga menyimpulkan bahwa faktor produksi bahan

baku dan energi memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output TPT

Indonesia, sedangkan tenaga kerja, kapital dan dummy krisis memberikan

pengaruh tidak nyata terhadap peningkatan output. Perbedaan penelitian Yulaekha

dengan penelitian dalam skripsi ini berbeda dalam hal objek penelitian. Selain itu,

Yulaekha melakukan pemilihan model fungsional terbaik sebelum menganalisis

27  

  

produktivitas industri TPT, sedangkan penelitian ini menggunakan model fungsi

produksi Cobb Douglas .

2.6 Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, industri farmasi nasional merupakan salah subsektor

didalam sektor industri dimana perkembangan subsektor ini juga mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan industri farmasi nasional tidak

lepas dari adanya pertumbuhan output dan peningkatan produktivitas industri.

Akan tetapi pertumbuhan output pada industri farmasi nasional yang terjadi

beberapa tahun terakhir ini mengakibatkan adanya peningkatan penggunaan bahan

baku impor obat. Hal ini mengakibatkan tingginya biaya produksi obat di

Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor–

faktor produksi yang mempengaruhi pertumbuhan output industri farmasi nasional

melalui pendekatan produktivitas. Analisis produktivitas parsial digunakan untuk

mengukur produktivitas masing-masing variabel input yang digunakan didalam

produksi sedangkan analisis total produktivitas faktor merupakan analisis terhadap

seberapa besar penggunaan teknologi pada industri farmasi yang juga

mempengaruhi output.

28  

  

Gambar 2.2 Diagram Alur Kerangka Pemikiran Konseptual

2.7 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari hasil penelitian yang masih

harus diuji terlebih dahulu kebenarannya. Dalam penelitian ini hipotesis yang

diajukan adalah sebagai berikut :

1. Tenaga kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap output

sektor industri farmasi Indonesia.

2. Modal memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap output sektor

industri farmasi Indonesia.

3. Bahan baku memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap output

industri farmasi Indonesia

4. Energi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap output industri

farmasi Indonesia.

5. Tingkat perkembangan teknologi (TFP) memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap output industri farmasi Indonesia.

29  

  

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Indonesia dimana faktor–faktor yang

mempengaruhi output sektor industri farmasi dianalisis melalui metode total

produktivitas faktor (TFP). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga

Juli 2008, yang meliputi kegiatan pengumpulan data, pengolahan data, analisis

data serta penulisan laporan dalam bentuk skripsi.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Dalam pelaksanaan penelitian diperlukan data-data yang akurat untuk

membahas dan menganalisa hasil penelitian. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data nasional meliputi data sekunder kuantitatif yang berupa

data deret waktu (time series). Data deret waktu tersebut meliputi data tahunan 22

tahun (1983-2005). Jenis data tersebut meliputi data tahunan input industri

farmasi meliputi pengeluaran total untuk tenaga kerja, akumulasi penambahan

modal, data penggunaan bahan baku dan penggunaan energi dan data produksi

industri farmasi. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan

Departemen Perindustrian, Perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan

internet.

3.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan waktu, dan

sumber data yang dimiliki oleh penulis sehingga dalam menganalisis

produktivitas sektor industri farmasi tidak mendalam dalam hal menganalisis

30  

  

tingkat keterjangkauan masyarakat akan obat. Didalam analisis fungsi produksi,

adanya keterbatasan data tenaga kerja mengakibatkan data input tenaga kerja yang

digunakan merupakan data total pengeluaran untuk tenaga kerja dalam industri

farmasi. Selain itu dalam penelitian ini, ketergantungan industri farmasi terhadap

bahan baku impor tidak dikaji secara mendalam.

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regresi merupakan studi dalam menjelaskan dan mengevaluasi

hubungan antara suatu peubah bebas (independent variable) dengan satu peubah

tak bebas (dependent variable). Tujuan analisis regresi adalah mengestimasi atau

meramalkan nilai peubah tak bebas didasarkan pada nilai peubah bebas yang

diketahui (Gujarati, 1999).

Metode regresi linear berganda dapat digunakan untuk melihat pengaruh

beberapa peubah penjelas atau peubah bebas terhadap satu peubah tak bebas.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear

berganda. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk melihat pengaruh

faktor-faktor produksi tenaga kerja, modal, bahan baku, dan energi terhadap

output industri farmasi dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Selain itu analisis

regresi berganda juga digunakan untuk mengukur variabel progres teknologi yang

diturunkan dengan fungsi produksi Cobb-Douglas dan persamaan pertumbuhan

Solow.

31  

  

3.4.2 Model Fungsi Produksi Cobb Douglas

Model pertama yang digunakan pada penelitian ini adalah model regresi

linier berganda. Tambunan (1997) menggunakan persamaan fungsi produksi

Cobb-Douglass yang dalam bentuk linier dapat ditulis sebagai berikut :

Y = + ∆ + ∆ + β ∆ ……………………(3.1)

Dimana ∆ dan ∆ masing-masing adalah elastisitas modal dan tenaga

kerja terhadap output, sedangkan ∆ adalah pertumbuhan TFP.

Pada penelitian ini, terdapat sedikit perubahan dalam penggunaan variabel

bebas yang kemudian diuji pengaruhnya terhadap variabel tidak bebas, yaitu

penambahan variabel input bahan baku dan input energi. Persamaan yang

digunakan adalah sebagai berikut :

………. (3.2)

Dimana :

Y = Produksi riil (rupiah)

= Intersep

L = Jumlah tenaga kerja riil (rupiah)

K = Jumlah modal riil (rupiah)

R = Jumlah bahan baku (rupiah)

E = Jumlah energi riil (rupiah)

TFP = Pertumbuhan Total Factor Productivity (persen)

a,b,c,d, = Konstanta

Ln = Logaritma natural

32  

  

3.4.3 Model Pertumbuhan Solow

Sedangkan model kedua yang digunakan pada penelitian ini didasarkan

pada penelitian terdahulu oleh Tambunan (1997) untuk meneliti kontribusi

pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) terhadap pertumbuhan output

agregat. Untuk mengetahui laju progress teknologi, Tambunan menggunakan

model pertumbuhan Solow untuk mengukur pertumbuhan TFP, dengan rumus

sebagai berikut :

∆AA

= ∆YY

- ∆ ∆KK

- ∆ ∆ ……………………………………...(3.3)

Dimana :

∆AA

= Pertumbuhan TFP atau laju progress teknologi (persen)

∆YY

= Pertumbuhan output (persen)

∆KK

= Pertumbuhan modal (persen)

∆LL

= Pertumbuhan tenaga kerja (persen)

∆ , ∆ = Bagian dari modal dan tenaga kerja

Pada penelitian ini terdapat sedikit penambahan dalam penggunaan

sumber-sumber pertumbuhan, yaitu dengan menambahkan perubahan jumlah

bahan baku dan perubahan jumlah energi. Persaman tersebut menjadi :

∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ……………………………….(3.4)

Dimana :

∆AA

= Pertumbuhan TFP (persen)

33  

  

∆YY

, ∆LL

, ∆KK

, ∆RR

, ∆EE

= Pertumbuhan produksi riil, tenaga kerja riil, modal riil

Bahan baku riil, dan energi riil (persen)

a,b,c,d = Bagian dari masing-masing faktor-faktor produksi.

3.4.4 Asumsi-Asumsi Regresi Linear Berganda

Penggunaan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dapat dilakukan

apabila asumsi regresi linear klasik terpenuhi. Beberapa asumsi yang harus

dipenuhi oleh persamaan regresi linear berganda ini adalah sebagai berikut :

1. Normalitas, regresi linear klasik mengasumsikan bahwa tiap iε mengikuti

distribusi normal iε ~ N (0, 2σ ).

2. Non autokorelasi antar sisaan, berarti cov ( ),( ji εε = 0, dimana i ≠ j.

3. Homoskedastisitas, var ( iε ) = 2σ untuk setiap i, i = 1,2,…,n yang artinya

varians dari semua sisaan adalah konstan atau homoskedastik.

4. Tidak terjadi multikolinearitas yang artinya tidak terdapat hubungan linear

yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel yang

menjelaskan model regresi.

Untuk mengetahui apakah model persamaan yang digunakan sudah

memenuhi asumsi-asumsi regresi tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan

pada masing-masing asumsi. Pemeriksaan asumsi regresi linear klasik dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Pemeriksaan asumsi kenormalan sisaan

Pemeriksaan kenormalan sisaan bertujuan untuk melihat distribusi sisaan

( iε ). Pemeriksaan kenormalan sisaan dilakukan dengan memeriksa apakah error

34  

  

term mendekati distribusi normal. Uji ini perlu dilakukan jika jumlah sampel yang

digunakan kurang dari 30 (n < 30). Hipotesisi pengujiannya adalah :

H0 : 0=α , error term terdistribusi normal

H1 : 0≠α , error term tidak terdistribusi normal

Wilayah kritis penolakan H0 adalah Jarque-Bera (J-B) > X2df-2 atau

probabilitas (p_value) < α , sedangkan daerah penerimaan adalah Jarque-Bera (J-

B) < X2df-2 atau probabilitas (p_value) > α . Jika H0 ditolak maka disimpulkan

error term tidak terdistribusi normal, sedangkan jika H0 diterima maka

disimpulkan bahwa error term terdistribusi normal.

b. Pemeriksaan asumsi non autokorelasi

Autokorelasi dapat diartikan sebagai korelasi sisaan yang satu ( iε ) dengan

sisaan lainnya ( jε ). Biasanya autokorelasi sering terjadi pada data-data time

series. Penyebab utama terjadinya autokorelasi adalah ada variabel penting yang

tidak digunakan dalam model. Pendeteksian autokorelasi dapat dilakukan dengan

melihat probabilitas Obs*R-squared menggunakan statistik Breusch-Godfrey

Serial Correlation LM. Hipotesis dalam uji ini adalah :

H0 : 0=ρ , tidak terdapat auto korelasi

H1 : 0≠ρ , terdapat autokorelasi

Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probabilitas Obs*R-squared < α

sedangkan wilayah penerimaan H0 adalah probabilitas Obs*R-squared>α . Jika

H0 ditolak maka terjadi auto korelasi (positif atau negatif) dalam model.

Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada auto korelasi dalam model.

35  

  

c. Pendeteksian asumsi homoskedastisitas

Homoskedastisitas artinya pada nilai variabel bebas berapapun variannya

konstan. Jika variannya berbeda-beda atau bervariasi, berarti terjadi

heteroskedastisitas. Pendeteksian heterosekedastisitas dapat dengan menguji

White Heterodescedasity atau Autoregressive Conditonal Heteroscedasticity

(ARCH) test. Hipotesis yang diuji adalah :

H0 : 0=γ , tidak terdapat heteroskedastisitas

H1 : 0≠γ , terdapat heteroskedastisitas

Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probability Obs*R-squared <α ,

sedangkan wilayah penerimaan H0 adalah Probability Obs*R-squared >α . Jika

H0 ditolak maka varians dari error term untuk setiap pengamatan berbeda untuk

setiap variabel bebas, sebaliknya jika H0 diterima maka varians dari error term

untuk setiap pengamatan sama untuk seluruh variabel bebas.

d. Pendeteksian asumsi non multikolinearitas

Multikolinearitas adalah terjadinya hubungan linier yang sempurna atau

pasti antara peubah-peubah bebas. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan

melihat koefisien korelasi antar variabel independen yang terdapat pada matriks

korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari 8.0 maka terdapat

gejala multikolinearitas (Gujarati, 1999). Multikolinearitas sering terjadi ketika

nilai R2 tinggi yaitu ketika nilainya setara 0,7 dan 1. Meskipun nilai R2 sangat

tinggi, multikolinearitas cenderung menyimpulkan menerima H0 artinya pengaruh

variabel variabel bebas tidak signifikan. Untuk mengetahui multikolinearitas

dalam suatu model, salah satu caranya adalah dengan menggunakan Correlation

Matrix, dimana batas terjadinya korelasi antara sesama variabel bebas adalah tidak

36  

  

lebih dari |0,8|. Semakin besar nilai Correlation Matrix maka semakin erat

hubungan antara variabel-variabel bebas tersebut atau multikolinearitas yang

terjadi akan semakin tinggi. Melalui Correlation Matrix ini dapat pula digunakan

uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas (Gujarati, 1993). Jika nilai korelasi

lebih dari |0,8| dan tidak lebih dari nilai R2 maka multikolinearitas dapat

diabaikan.

3.4.4.1 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi merupakan besaran yang lazim digunakan untuk

mengukur kelayakan model (lack of fit test). Koefisien determinasi ini dikenal

dengan besaran R2. Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui proporsi

varians variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-

sama atau secara verbal R2 mengukur proporsi (bagian) atau persentase total

variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi (Gujarati, 1999).

R2 diperoleh dengan rumus :

=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

=

=

=

n

ii

n

ii

YY

YYR

1

_2

1

2_^

2

)(SSTSSR ………………………………………………... (3.5)

R2 terletak antara 0 dan 1.Jika R2 = 1, berarti suatu kecocokan sempurna.

Jika R2 = 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dan variabel

bebas. Semakin besar nilai R2 maka model semakin baik untuk digunakan.

Jika regresi terdiri atas variabel bebas yang lebih dari dua, maka

sebaiknya digunakan R2 yang disesuaikan yang diperoleh dari :

37  

  

( )( )1

1)1(1 22

−−−

−−=kn

nRRa ......................................................................(3.6)

dengan :

k = banyaknya parameter penduga dalam model

n = banyaknya percobaan.

3.4.4.2 Pengujian Parameter

Pengujian penduga parameter memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat

keberartian penduga parameter yang digunakan melalui pengujian hipotesis. Jika

hipotesis ditolak maka dapat disimpulkan bahwa penduga parameter tersebut

signifikan atau berarti.

a. Uji-F

Uji F dilakukan untuk mengetahui keberartian model secara berama-sama.

Pengujian Hipotesis :

H0 : 0....21 ==== kβββ , dengan k adalah peubah bebas

Ha : minimal ada 0≠iβ dengan i = 0,1,2,...,

Statistik uji yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut :

)(( )1−−

=knSSE

kSSRFhit ............................................................................(3.7)

dimana : k adalah banyaknya parameter yang diduga

n adalah banyaknya obeservasi

Keputusan :

[ ][ )1−−≤ knkahit FF , maka H0 diterima

[ ][ )1−−> knkahit FF , maka H0 ditolak

38  

  

Keputusan yang diharapkan adalah tolak H0 yang berarti peubah-peubah

bebas yang dimasukkan ke dalam model secara bersama-sama mempengaruhi

peubah tidak bebas pada tingkat kepercayaan (1 - α ) persen. Pengambilan

keputusan dalam output eviews juga dapat dilihat dari tingkat signifikannya < α

yang ditetapkan, maka keputusannya adalah H0 ditolak.

b. Uji t

Uji t dilakukan untuk mengetahui keberartian dari masing-masing

penduga parameter secara parsial, apakah koefisien parsial yang diperoleh

tersebut mempunyai pengaruh atau tidak dengan asumsi bahwa variabel tidak

bebas lainnya konstan.

Hipotesisnya adalah :

H0 : 0=iβ (tidak ada pengaruh dari peubah Xi terhadap Y)

Ha : 0≠iβ (ada pengaruh dari peubah Xi terhadap Y)

Statistik uji yang digunakan diformulasikan sebagai berikut :

)( i

ihit bS

bt = ..........................................................................................(3.8)

Dimana : bi adalah koefisien regresi ke-i

S(bi) adalah standar error dari koefisien regresi ke-i.

Keputusan yang diambil adalah :

)1(2/ −−≤ knhit tt α , maka H0 diterima

)1(2/ −−> knhit tt α , maka H0 ditolak

Keputusan yang diharapkan adalah tolak H0. Hal ini berarti bahwa ada

pengaruh nyata peubah-peubah bebas secara individu terhadap peubah tidak bebas

pada tingkat kepercayaan (1-α ) persen.

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Sejarah Farmasi

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia, perkembangan industri

farmasi dalam mencukupi kebutuhan alat, sediaan, obat serta sarana penunjang

kesehatan lainnya harus mendapatkan perhatian. Luasnya cakupan industri

farmasi yang sebagian merupakan industri hilir mengakibatkan penelitian tentang

farmasi adalah sangat menarik. Industri farmasi yang ada di Indonesia sebagian

besar merupakan industri yang beroperasi pada obat off patent atau obat copy

(Sampurno,2003).

Penelitian mengenai bidang farmasi sebenarnya telah lama dilakukan oleh

manusia. Mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik yang berasal

tumbuhan dan berdasarkan pengalaman. Pada akhirnya Paracelsus (1541-1493

SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu adanya pengetahuan

kandungan zat aktifnya. Hippocrates (479-370 SM) yang dikenal sebagai bapak

kedokteran, dalam prakteknya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan.

Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyebuhan penyakit dengan teori

kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi. Selanjutnya Ibnu sina (980-

1037) telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan dan

penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil,

supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai

Negara. Johann Jakob Wepfer (1620-1695) berhasil melakukan verifikasi efek

farmakologi dan toksikologi obat pada hewan percobaan yang sekaligus menjadi

orang pertama yang melakukan penelitian farmakologi dan toksikologi pada

40  

  

hewan percobaan. Percobaan pada hewan merupakan uji praklinik yang sampai

sekarang merupakan persyaratan sebelum diuji-coba secara klinik pada manusia.

Sampai akhir abad 19, obat merupakan produk organis atau anorganis dari

tumbuhan atau hewan yang dikeringkan atau segar.

Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari

berbagai sumber. Selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji

yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum

diresmikan sebagai obat oleh badan pemberi izin.

4.2 Perkembangan Industri Farmasi

Perkembangan industri farmasi dunia mengalami pertumbuhan pangsa

pasar yang berfluktuasi. Pada tahun 2000 pertumbuhan pangsa pasar dunia

mencapai 11,5 persen pertahun, kemudian meningkat 0,3 persen pada akhir tahun

2001. Akan tetapi pada tahun 2002 perkembangan pasar farmasi global menurun

hingga pada angka 9,5 persen pertahun. Hal ini diakibatkan oleh adanya kenaikan

harga minyak dunia yang merupakan salah satu variabel input dalam industri

farmasi. Selanjutnya pada bulan September tahun 2003 terjadi kenaikan kurang

lebih 34 persen pada harga bahan baku industri farmasi, akan tetapi hal ini tidak

terlalu mempengaruhi pertumbuhan. Pasar global mengalami pertumbuhan hingga

sebesar 5,3 persen akhir tahun 2003 (International Marketing Service Health,

2007). Pada tahun 2004, pasar farmasi dunia mengalami penurunan sebesar 2,3

persen dan pada tahun 2007 pangsa pasar farmasi dunia hanya mencapai 6,4

persen. Hal ini dikarenakan pengaruh adanya kenaikan bahan bakar minyak dunia

yang terjadi setiap tahun. Adapun selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 .

41  

  

Tabel 4.1 Perkembangan Pangsa Pasar Farmasi Global Tahun 2000-2007

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Total Pangsa Pasar

Dunia (Milyar dollar AS)

365 392 428 299 578 578 578 705

Pertumbuhan Pangsa Pasar ( % ) 11.5 11.8 9.5 10.3 8.0 7.3 7.1 6.4

Sumber : International Marketing Service Health (2007)

Sebenarnya pada awal tahun 2000, perusahaan-perusahaan farmasi global

telah mengekplorasi Asia sebagai manufacturing base yang penting untuk

memproduksi bahan baku (patented bulk material) maupun produk formulasi.

Jepang dengan market share paling besar di Asia telah mengembangkan basis

industri farmasi yang modern dan memiliki keunggulan termasuk dalam

penemuan molekul baru (new chemical entity). Demikian juga Korea, pada tahun-

tahun terakhir ini mereka telah dapat mengembangkan belasan obat baru termasuk

tiga diantaranya telah disetujui oleh US-FDA untuk dilakukan investigasi klinis.

Sementara itu China juga mengalami banyak kemajuan dalam pengembangan

obat-obat baru, bahkan diprediksikan di masa mendatang China akan berada di

baris depan di antara negara-negara Asia.

Tiga puluh tahun terakhir ini industri farmasi mengalami perubahan yang

dramatik. Kemajuan pada sain biologi dan hadirnya bioteknologi merupakan

mesin revolusi ini. Dimulai penemuan “double helix structur of DNA” dan

pengembangan teknik rekayasa genetik maka kemampuan untuk memahami

mekanisme aksi obat dan biokimia serta akar molekuler banyak penyakit menjadi

meningkat cepat. Industri bioteknologi bertumpu pada dua kemajuan revolusioner,

yaitu penemuan rekayasa genetik (genetic engineering) dan teknologi antibodi

monoclonal (monoclonal antibody). Perubahan terpenting terutama adalah

ditemukannya target molekuler pada enzim dan permukaan sel reseptor. Dengan

42  

  

demikian obat dapat diarahkan pada sasaran nuclear sebagai nucleic acid, faktor-

faktor transkripsi dan reseptor-reseptor intra selular. Perusahaan–perusahaan

farmasi yang berbasis riset mengintegrasikan teknologi ini dan melakukan

investasi secara besar-besaran (Sampurno, 2007). Secara umum perubahan

revolusi dalam Research And Development industri farmasi global dapat dilihat

pada Gambar 4.1.

Sumber : International Marketing Service Health (2004) Gambar 4.1 Kerangka Perubahan Research And Development di Pasar

Farmasi Global

Berdasarkan International Marketing Services Health (2008) dalam

jurnalnya mengemukakan bahwa perkembangan pangsa pasar industri farmasi

global dari tahun 2004 hingga tahun 2007 mengalami penurunan dan

diprediksikan penurunan pangsa pasar ini terjadi hingga akhir tahun 2008. Adapun

selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.2. Menurunnya pangsa pasar industri

farmasi global sebagian besar diakibatkan oleh meningkatnya biaya bahan baku

obat di tingkat internasional dan peningkatan biaya pada Research and

Development yang terjadi tiap tahunnya. Peningkatan harga bahan baku

internasional terjadi semenjak akhir tahun 2003 sebesar 30 persen, sedangkan

peningkatan rata-rata pada biaya Research and Development terjadi pada tahun

2005 sebesar 14 hingga 17 persen. Selanjutnya Hal ini sangat mempengaruhi

43  

  

kondisi industri farmasi nasional yang sebagian besar bahan bakunya diimpor dari

luar negeri

Sumber : International Marketing Service Health (2004)

Gambar 4.2 Perkembangan Industri Farmasi Global Tahun 2004 – 2008

4.2.1 Kondisi Industri Farmasi Nasional

Perkembangan industri farmasi nasional memiliki keterkaitan yang erat

dengan industri farmasi global. Keterkaitan ini terjadi pada proses pengadaan

bahan baku obat. Menurut Aziz (2008) dalam Asing Menguasai Pasar Farmasi

Domestik, sekitar 95 persen bahan baku industri farmasi merupakan barang

impor. Hal ini mengakibatkan harga obat domestik dipengaruhi oleh harga bahan

baku dari impor yang selanjutnya mengakibatkan harga obat domestik mengalami

kenaikan.

Perkembangan output industri farmasi nasional mengalami kecenderungan

meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2005) nilai

produksi industri farmasi memiliki kecenderungan untuk meningkat. Pada tahun

2000, nilai produksi industri farmasi mencapai 8.290 triliun rupiah. Pada akhir

44  

  

tahun 2001 industri farmasi mengalami pertumbuhan lebih dari 30 persen yaitu

pada nilai produksi 14.469 triliun rupiah.

Sejalan dengan pertumbuhan nilai output, pertumbuhan total ekspor rata-

rata bahan baku beserta hasil industri farmasi dari tahun 2000 hingga tahun 2005

memiliki nilai positif, yaitu sebesar 9,54 persen. Pada tahun 2000 hingga akhir

tahun 2003, ekspor bahan baku besarta hasil industri farmasi Indonesia secara

umum mengalami peningkatan, sedangkan pada tahun 2004 dan 2005 ekspor

mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Nilai Ekspor Bahan-Bahan Obat-obatan Beserta Hasilnya menurut kode SITC digit 2

Tahun Nilai Ekspor ( ribu US$ ) Pertumbuhan (%) 2000 79602 16,02 2001 94293 18,45 2002 107833 14,35 2003 134620 24,84 2004 134043 -0,42 2005 112652 -15,95

Sumber : Bank Indonesia (2007), diolah.

Jumlah perusahaan dalam industri farmasi juga cenderung mengalami

peningkatan. Semenjak tahun 1983, jumlah perusahaan yang ada didalam industri

farmasi mengalami peningkatan hingga tercapai titik teratas yaitu sebanyak 173

perusahaan pada tahun 1989. Hal ini menunjukkan bahwa usaha di sektor industri

farmasi masih memberikan harapan akan insentif sehingga perusahaan baru

masuk dalam industri. Akan tetapi pada tahun 1990 jumlah perusahaan industri

farmasi mengalami kecenderungan menurun, hal ini terus terjadi hingga mencapai

titik terendah pada tahun 2001 dengan 138 perusahaan. Pada tahun 2001,

perusahaan industri farmasi banyak yang gulung tikar dan sukar untuk kembali

45  

  

berdiri akibat efek dari krisis ekonomi tahun 1998. Selengkapnya dapat dilihat

pada Gambar 4.1

Sumber : BPS (2006), diolah. Gambar 4.3 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Farmasi Tahun

1983 – 2005.

Jika dilihat dari divisi kegiatan, industri farmasi dikelompokkan dalam

empat golongan, yaitu industri penelitian dan pengembangan farmasi, industri

kimia farmasi industri manufaktur farmasi dan jasa farmasi. Biasanya industri

farmasi di negara-negara yang sudah maju memiliki keempat divisi tersebut

(Biantoro, 2002)

GP Farmasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah induk organisasi

perusahaan farmasi di Indonesia. Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi)

Indonesia didirikan melalui SKEP. Menteri Kesehatan RI Prof dr. G.A.

Siwabessy, No. 222/Kab/B.VII/69 tanggal 3 Oktober 1969. GP Farmasi Indonesia

berfungsi sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antara pengusaha farmasi,

pemerintah dan pihak lain yang terkait mengenai masalah yang berkaitan dengan

46  

  

produksi obat, distribusi obat dan pelayaranan obat. GP Farmasi bekerja sama

dengan pemerintah bertujuan secara aktif melakukan usaha bagi pembangunan

nasional khususnya dalam bidang farmasi dalam meningkatkan kesejahteraan

derajat kesehatan rakyat.

Ada tiga tipe kompetensi yang berharga dalam industri farmasi, yaitu

teknologikal, pemasaran dan regulatori (Bogner & Thomas, 1994). Di negara-

negara maju kompetensi teknologikal perusahaan pada industri farmasi diukur

dengan indikator berapa banyak produk paten yang telah dihasilkan oleh

perusahaan yang bersangkutan. Akan tetapi di Indonesia, karena industri farmasi

yang ada bukan research based company, sehingga baik perusahaan nasional

maupun perusahaan investasi asing (MNC), memiliki keterbatasan dalam kegiatan

risetnya. Perusahaan MNC di Indonesia tidak melakukan riset karena riset

dilakukan di pabrik induknya, sedangkan perusahaan farmasi nasional melakukan

kegiatan R&D hanya terbatas pada aspek-aspek yang berkaitan dengan formulasi

produk (Sampurno, 2005).

Perkembangan Industri farmasi Indonesia juga tidak terlepas dari beberapa

isu strategis yang mempengaruhi produktivitas industri farmasi Indonesia. Salah

satu isu strategis tersebut, antara lain harmonisasi industri farmasi di ASEAN.

Sebagai salah satu rangkaian kerja sama AFTA 2003, isu ini akan mempengaruhi

perkembangan industri farmasi Indonesia. Pemberlakuannya pada akhir tahun

2008 akan melahirkan pasar tunggal farmasi ASEAN. Hal ini akan membawa

implikasi yang luas dan persaingan industri farmasi yang semakin tajam. Produk-

produk farmasi akan lebih leluasa keluar masuk di antara negara- negara anggota

ASEAN tanpa adanya barrier, baik tariff barrier maupun non-tariff barrier. Pasar

47  

  

tunggal farmasi ASEAN memang merupakan peluang tetapi sekaligus dapat

menjadi ancaman. Peluang akan terbuka luas bila industri farmasi Indonesia

memiliki keunggulan daya saing di pasar tunggal farmasi ASEAN.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Produktivitas Parsial

Dalam melakukan analisis total faktor produktivitas, langkah pertama

adalah menganalisis secara parsial produktivitas masing – masing faktor produksi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data nilai output dan data nilai

faktor – faktor produksi yang digunakan sebagai input. Selanjutnya dilakukan

analisis produktivitas parsial berdasarkan pendekatan rasio output terhadap salah

satu input. Penghitungan produktivitas parsial dihitung dengan membagi nilai

output total dengan nilai salah satu variabel input. Produktivitas tenaga kerja

dihitung berdasarkan rasio output terhadap input tenaga kerja. Produktivitas

modal dihitung berdasarkan rasio output terhadap input modal sedangkan

produktivitas bahan baku dihitung berdasarkan rasio output terhadap input bahan

baku. Produktivitas energi dihitung berdasarkan rasio output terhadap input

energi.

Tabel 5.1 Nilai Produktivitas Rata – Rata Faktor Produksi

Sumber : BPS (2007), diolah

Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa rasio nilai output terhadap

input tenaga kerja sebesar 8,51388 berarti produktivitas rata –rata yang dihasilkan

oleh tiap unit variable tenaga kerja untuk memproduksi tiap unit outputnya adalah

Variabel Nilai Produktivitas Rata – rata Tenaga Kerja 8,51388

Modal 3,77533 Bahan Baku 3,76677

Energi 81,0123

49  

sebesar 8,51388. Pada tahun 1999 faktor produksi tenaga kerja mengalami tingkat

pertumbuhan yang paling tinggi yaitu 3,88888, dimana hal ini diakibatkan oleh

adanya imbas dari krisis ekonomi. Penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit

dalam menghasilkan output yang jumlahnya sama dengan sebelumnya secara

tidak langsung menggambarkans industri bekerja lebih efisien dibandingkan

sebelumnya. Hal ini sesuai dengan konsep produktivitas, bahwa peningkatan

produktivitas tidak selalu mengarah kepada peningkatan hasil akan tetapi

penurunan biaya produksi akan melahirkan cost efficiency lebih tinggi

dibandingkan sebelumnya, dengan kata lain ada peningkatan produktivitas.

Meskipun pertumbuhan produktivitas tenaga kerja berfluktuatif akan tetapi secara

agregat, tingkat produktivitas tenaga kerja dalam keadaaan baik (Tabel 5.1).

Sumber : BPS (2007),diolah

Gambar 5.1 Pertumbuhan Produktivitas Parsial Tenaga Kerja

Faktor produksi modal memiliki produktivitas rata-rata sebesar 3.77533.

Produktivitas modal memiliki trend pertumbuhan yang lebih bervariasi daripada

produktivitas tenaga kerja (seperti dalam Gambar 5.2). Tingkat penurunan

produktivitas terjadi pada tahun 1999 dan 2004, hal ini terjadi karena pada tahun

1999 krisis moneter menimpa perekonomian nasional. Terjadinya krisis ekonomi

mengakibatkan tingkat investasi di sektor industri secara umum tidak menarik

50  

perhatian investor baik dalam negeri maupun asing untuk menanamkan modalnya,

terlebih lagi secara spesifik pada sektor industri farmasi dimana tingkat modal

yang diperlukan untuk membangun usaha tersebut tidak sedikit. Produktivitas

modal mengalami titik puncak pertumbuhannya pada tahun 2004, dengan nilai

rasio produktivitas output terhadap modal sebesar 8,95. Adapun selengkapnya

dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Sumber BPS (2007)diolah

Gambar 5.2 Pertumbuhan Produktivitas Parsial Modal

Produktivitas parsial bahan baku dalam industri farmasi memiliki nilai

produktivitas rata-rata yaitu 3,76677. Namun trend produktivitas variabel ini tidak

terlalu bervariasi dibandingkan produktivitas rata-rata faktor produksi tenaga kerja

dan modal. Produktivitas bahan baku secara keseluruhan berkecenderungan

mengalami peningkatan. Akan tetapi pada akhir tahun 2003 produktivitas bahan

baku obat cenderung menurun. Hal ini dikarenakan peningkatan yang terjadi pada

harga bahan baku internasional, sehingga mengakibatkan kenaikan biaya produksi

yang menjadikan harga obat lebih mahal dan rendahnya keterjangkauan

masyarakat terhadap obat.

51  

Sumber : BPS (2007), diolah

Gambar 5.3 Produktivitas Parsial Bahan Baku

Faktor produksi energi memiliki nilai produktivitas rata-rata paling besar

dan berfluktuasi. Trend peningkatan produktivitas energi terjadi hingga akhir

tahun 1990, kemudian produktivitas mengalami fluktuasi karena harga energi

yang meliputi harga bahan bakar minyak, listrik dan gas yang dipengaruhi oleh

harga internasional tidak stabil. Akan tetapi produktivitas rata-rata untuk energi

memiliki nilai sebesar 81,0123. Jadi, secara agregat produktivitas energi juga

dalam keadaan baik. Mengenai data produktivitas faktor produksi secara

terperinci dapat dilihat di Lampiran 3.

 

5.2 Analisis Total Factor Productivity (TFP)

TFP dapat diartikan sebagai kumpulan dari seluruh faktor kualitas yang

menggunakan sumberdaya yang ada secara optimal untuk menghasilkan lebih

banyak output dari tiap unit input. Untuk jangka panjang TFP dapat dianggap

sebagai suatu ukuran peningkatan efisiensi dari proses produksi dan progres

52  

teknologi. Laju proses teknologi dihitung untuk memperlihatkan bahwa dalam

jangka panjang teknologi tidak bernilai konstan.

Sebelum menghitung Total Factor Productivity (TFP) atau laju progress

teknologi dilambangkan dengan ∆ terlebih dahulu perlu meregresikan tenaga

kerja (L), modal (K), bahan baku (R), energi (E) sebagai faktor-faktor produksi

dari industri farmasi Indonesia. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 .

Tabel 5.2 Hasil Estimasi Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglas untuk Menghitung Koefisien Total Factor Productivity (TFP)

5.2.1 Pengujian Asumsi Regresi Linier Berganda

a. Uji Kenormalan

Berdasarkan hasil pengujian dari Jarque-Berra Test pada Lampiran 7

terlihat bahwa nilai Jarque-Berra Probability adalah 0,519051. Nilai ini lebih

53  

besar dari nilai signifikansinya yaitu 0,1 ( 10% . Jadi, dapat disimpulkan data

faktor – faktor produksi menyebar normal.

b. Uji Autokorelasi

Pendeteksian gejala autokorelasi dilakukan dengan uji Breusch Godfredy

Serial Correlation LM Test. Suatu model terbebas dari masalah autokorelasi jika

nilai probabilitas Obs*R-S-quared dari Breusch-Godfrey Serial Correlation LM-

Test lebih besar dari taraf nyata yang digunakan pada model. Berdasarkan

Lampiran 8, Nilai probabilitas Obs*R-Squared dari uji ini adalah 0,637857 dan

nilai tersebut lebih besar dari tingkat signifikansinya yaitu pada taraf nyata 10%

persen.

c. Uji Heteroskedastisitas

Dalam asumsi model regresi linear, nilai variabel bebas berapapun variannya

konstan. Jika variannya berbeda-beda atau bervariasi, berarti terjadi

heteroskedastisitas. Pengujian yang dilakukan untuk menangani masalah

heteroskedastisitas yaitu dengan menggunakan uji white Heteroskedasticity Test.

Persamaan regresi yang ada pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas,

karena probabilitas Obs*R-Squared memiliki nilai yang lebih tinggi dari tingkat

siginfikansinya. Nilai Obs*R-Squared dari Lampiran 9 yaitu sebesar 0,648142

sedangkan tingkat signifikansinya bernilai 0,1 (α = 10%). Jadi dapat disimpulkan

bahwa hasil estimasi persamaan tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas.

d. Uji Multikolinearitas

Untuk melihat adanya gejala multikolinearitas dapat dilihat melalui

Correlations Matrix. Multikolinearitas adalah terjadinya hubungan linier yang

sempurna atau pasti antara peubah-peubah bebas. Multikolinearitas dapat

54  

dideteksi dengan melihat koefisien korelasi antar variabel independen yang

terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar

dari 8.0 maka terdapat gejala multikolinearitas (Gujarati, 1999). Pada Lampiran

6 dapat ditunjukkan bahwa tidak ada nilai koefisien korelasi antar variabel yang

melebihi 0,8. Jadi dapat disimpulkan hasil estimasi persamaan diatas tidak

mengandung gejala multikolinearitas.

Gujarati (1999) menyatakan bahwa apabila asumsi-asumsi regresi klasik

tersebut terpenuhi, menjadikan teknik analisis dengan menggunakan metode

kuadrat terkecil biasa (OLS) menghasilkan penaksir tak bias linier terbaik (BLUE/

Best Linear Unbiased Estimator).

5.2.2 Koefisien Determinasi (R2)

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai R-squared dari persamaan tersebut.

Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa nilai R-squared adalah sebesar 0,9475, artinya

faktor-faktor produksi tenaga kerja, modal, bahan baku, dan energi yang terdapat

dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 94,75 persen dan sisanya 5,25

persen dijelaskan oleh faktor produksi lain yang tidak dimasukkan ke dalam

model fungsi produksi tersebut.

5.2.3 Uji Parameter Statistik

Uji statistik diperlukan untuk melihat nyata tidaknya pengaruh variabel

yang dipilih terhadap variabel yang diteliti. Pengujian statistik meliputi :

55  

a. Uji t-Statistik

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai t-Statistik dari masing-masing

variabel bebas tersebut. Pada Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa faktor produksi tenaga

kerja, bahan baku, modal, dan energi berpengaruh nyata terhadap produksi. Hal

ini dapat dibuktikan dengan nilai t-Statistik yang memiliki nliai yang lebih besar

dari nilai t-tabel pada tarat nyata 10 persen (t tabel =1,753).

b. Uji F-Statistik

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai F-Statistik dari persamaan tersebut.

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 5.2 diperoleh nilai F-Statistik sebesar

81.25228. Nilai tersebut lebih besar dari nilai F-tabel pada tingkat signifikansi 10

persen(F-tabel=2,36). Dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu variabel

yang berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 10 persen.

Langkah selanjutnya adalah menghitung pertumbuhan pertahun dari

kelima variabel fungsi produksi, yaitu Y,L, K, R, dan E. Setelah didapatkan nilai

∆ , ∆ , ∆ , ∆ , ∆ , masing- masing nilai tersebut ( kecuali ∆ dikalikan dengan

koefisien variabel yang diperoleh dari hasil estimasi regresinya. Mengenai data

pertumbuhan faktor produksi input riil serta output riil dapat dilihat pada

Lampiran 4. Kemudian untuk menghitung TFP, hasil yang diperoleh tersebut

dimasukkan ke dalam Persamaan (3.3) Perhitungan tersebut adalah sebagai

berikut :

∆ ∆ - a ∆ – b ∆

- c ∆ - d ∆

= 0.132 – (0.185 x 0.119) – ( 0.354 x 0.1614) – (0.775 x 0.126) – (-0.081 x 0.1524) = -0.0316786

56  

Dari perhitungan diatas diperoleh hasil TFP atau laju progress teknologi

adalah sebesar -0.031 persen. Nilai TFP yang negatif menunjukkan bahwa

penguasaan teknologi pada industri farmasi masih lemah.

Nilai TFP yang negatif diduga disebabkan oleh tiga faktor. Pertama,

kondisi makroekonomi Indonesia yang tidak stabil. Berdasarkan Bank Indonesia

(2006) dapat dilihat bahwa secara umum pertumbuhan ekonomi meningkat dari

tahun 2002 hingga 2005, akan tetapi di sisi lain tingkat suku bunga bulanan

(monthly interest rate) masih cukup tinggi, yaitu diatas 5 persen. Sedangkan

inflasi yang terjadi dari tahun 2002 hingga tahun 2005 masih berfluktuasi. Hal ini

mengakibatkan rendahnya tingkat investasi pada sektor industri farmasi dari tahun

2002 sampai tahun 2005.

Kedua, penguasaan teknologi juga dipengaruhi oleh pertumbuhan dan

perkembangan industri hulu. Industri farmasi memiliki lebih dari 95 persen dari

biaya produksinya adalah biaya untuk bahan baku. Kurang lebih 95 persen bahan

baku industri farmasi merupakan barang-barang impor dan sebagian besar industri

farmasi Indonesia bukan merupakan research based industry (Hamzah ,2007).

Hal ini mengakibatkan industri farmasi tidak dapat meraup keuntungan yang

maksimal dari nilai tambah yang dihasilkan oleh proses produksi yang dilakukan,

karena bahan baku yang ada sebagian berasal dari impor.

Ketiga, Research dan Development (R&D) pada industri farmasi masih

lemah. Sebagian besar industri farmasi di Indonesia merupakan industri non

research based industry. Hal ini menyebabkan lambatnya proses alih teknologi

pada industri farmasi. Lemahnya R&D pada industri farmasi diduga akibat masih

kurangnya kebijakan pemerintah yang memberikan insentif bagi perusahaan-

57  

perusahaan yang giat melakukan R&D, serta kurangnya kesadaran beberapa

pelaku usaha akan pentingnya R&D sehingga menyebabkan kurangnya

penghargaan yang layak bagi karyawan bidang R&D di perusahaan.

Keempat, regulasi di bidang perpajakan kurang mendukung perkembangan

sektor industri farmasi. Penetapan PPn dan bea impor terhadap bahan baku obat

yang secara langsung akan meningkatkan biaya produksi industri farmasi.

Kemudian mengenai sarana dan prasarana, pemerintah dalam hal ini sudah

memfasilitasi. Akan tetapi secara umum fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah

kurang mendapatkan perawatan sehingga banyak yang mengalami kerusakan,

seperti misalnya jalan rusak. Keadaan jalan yang rusak tentunya akan

memperlambat proses distribusi barang ke konsumen sehingga mengakibatkan

sektor industri kurang efisien.

5.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Dengan

Memasukkan Variabel Progres Teknologi terhadap Fungsi Produksi

Kontribusi progress teknologi terhadap produksi dapat dilihat dengan

meregresikan variabel Y, L, R, E, dan TFP melalui metode Ordinary Least

Square (OLS). Hasil estimasi regresi tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 5.3 Hasil Estimasi Dengan Memasukkan Variabel Progres Teknologi (TFP) ke Fungsi Produksi

Variabel Dependen

LN_Y

Metode Ordinary Least Square Variabel Koefisien Standar Eror t-Statistik Probabilitas LN_L 0.208028 0.054709 3.802463 0.0016 LN_K 0.301320 0.058425 5.157404 0.0001 LN_R 0.843642 0.067958 12.41419 0.0000 LN_E -0.070996 0.032721 -2.169702 0.0454 TFP 0.406133 0.084012 4.834197 0.0002

58  

5.3.1 Pengujian Asumsi Regresi Linear Berganda

a. Uji Kenormalan

Berdasarkan hasil pengujian dari Jarque-Berra Test pada lampiran 12

terlihat bahwa nilai Jarque probability adalah 0,759950. Nilai ini lebih besar dari

nilai signifikansinya yaitu 0,1 (α=10%) . Jadi, dapat disimpulkan bahwa

kenormalan data telah terpenuhi.

b. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial

Correlation LM Test. Uji ini dengan melihat koefisien yang ada bahwa nilai p-

value atau probability Obs*R-squared yang diperoleh adalah sebesar 0,486426 (

Lampiran 13). Nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansinya sebesar 0,1 . Jadi

dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami gejala autokorelasi.

c. Uji Multikolinearitas

Uji multikolineartias dilakukan dengan menggunakan Correlations Matrix.

Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari 8,0 maka terdapat gejala

multikolinearitas (Gujarati, 1999). Pada Lampiran 11 dapat ditunjukkan bahwa

tidak ada nilai koefisien korelasi antar variabel yang melebihi 0,8. Jadi dapat

disimpulkan hasil estimasi persamaan diatas tidak mengandung gejala

multikolinearitas.

d. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan White

Heteroskedasticity Test. Pada lampiran 14 diperoleh nilai p-value atau probability

Obs*R-squared sebesar 0,545940. Nilai ini memiliki nilai yang lebih besar dari

59  

tingkat signifikansinya yang bernilai 0,1 (α=10%). Jadi, pada persamaan ini tidak

terdapat gejala heteroskedastisitas.

5.3.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai R-squared dari persamaan tersebut.

Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa nilai R-squared adalah sebesar 0,9734. Artinya

faktor-faktor produksi tenaga kerja, modal, bahan baku, energi, dan progres

teknologi yang terdapat dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 97,34

persen dan sisanya 2,66 persen dijelaskan oleh faktor produksi lain yang tidak

dimasukkan ke dalam model fungsi produksi tersebut.

5.3.3 Uji Parameter Statistik

Uji statistik diperlukan untuk melihat nyata tidaknya pengaruh yang

dipilih terhadap variabel yang diteliti. Pengujian statistik meliputi :

a. Uji t-Statistik

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai t-Statistik dari masing – masing

variabel bebas tersebut. Pada Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa variabel tenaga kerja,

modal, bahan baku, energi dan TFP berpengaruh nyata terhadap produksi. Hal ini

dapat ditunjukkan dengan nilai t-Statistik masing - masing yang lebih besar dari

nilai t-tabel pada taraf nyata 10 persen ( t-tabel=1,782).

b. Uji F-Statistik

Uji ini dilakukan dengan melihat nilai F-Statistik dari persamaan tersebut.

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 5.3 diperoleh nilai F-Statistik sebesar

117.4091. Nilai tersebut lebih besar dari nilai F-tabel pada tingkat signifikansi

60  

10% persen (F-tabel=2,39). Dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu

variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 5%.

5.3.4. Uji Ekonomi

Uji ekonomi dilakukan untuk melihat kecocokan tanda dan nilai koefisien

penduga dengan teori atau nalar. Berdasarkan hasil analisis regresi pada diperoleh

persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara matematis dapat dituliskan

sebagai berikut :

LN_Y = -3.4004 + 0.20803LN_L + 0.30133LN_K + 0.8436LN_R - 0.0709LN_E

+ 0.40613TFP

Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa faktor produksi bahan

baku (R) , memiliki pengaruh paling besar, kemudian diikuti oleh progress

teknologi (TFP), faktor produksi modal(K) , tenaga kerja (L) dan energi (E).

Pengaruh variabel tersebut semuanya memiliki pengaruh yang nyata bagi variabel

dependen (Y). Pengaruh yang diberikan terhadap variabel dependen Y , semuanya

positif kecuali pada variabel energi (E).

Bahan baku memiliki nilai koefisien sebesar 0,843642. Ini berarti setiap

penambahan faktor produksi bahan baku sebesar satu persen akan meningkatkan

produksi sebesar 0,843643 persen dengan mempertahankan faktor produksi lain

konstan. Nilai koefisien bahan baku yang lebih besar dibanding nilai koefisien

faktor-faktor produksi lainnya menunjukkan bahwa produksi lebih peka terhadap

perubahan bahan baku daripada perubahan faktor produksi selain bahan baku.

Maksudnya adalah peranan bahan baku sangat penting dalam menentukan

besarnya produksi. Adanya peningkatan harga bahan baku internasional akan

61  

mengakibatkan industri kurang produktif karena dengan sejumlah unit bahan baku

yang sama, cost efficiency yang dicapai akan lebih rendah dibandingkan sebelum

adanya kenaikan harga bahan baku. Hal ini mempertegas bahwa keberadaan

industri farmasi nasional memiliki ketergantungan yang sangat besar pada

variabel input bahan baku yang merupakan impor.

Faktor produksi modal memiliki nilai koefisien sebesar 0,301320. Artinya

peningkatan faktor produksi modal sebesar satu unit akan meningkatkan output

industri sebesar 0,301320 persen. Faktor produksi modal memiliki koefisien

positif yang lebih kecil dibandingkan faktor produksi bahan baku, tenaga kerja

dan progres teknologi, hal ini diakibatkan oleh lemahnya tingkat penanaman

modal yang ada di industri farmasi Indonesia.

Nilai koefisien TFP terhadap produksi adalah positif yaitu sebesar 0,40613

dan secara statistik memiliki pengaruh nyata terhadap output. Hal ini berarti

variabel progress teknologi (TFP) memberikan kontribusi yang positif terhadap

produksi industri farmasi di Indonesia. Koefisien variabel teknologi terbukti

memiliki pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan koefisien tenaga kerja dan

modal. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya peran diluar proses produksi input

tersebut, seperti misalnya :

a. Penggunaan teknologi baru;

b. Peningkatan teknologi informasi;

c. Inovasi dalam penciptaan bahan baku

d. Efisiensi dalam penggunaan energi;

e. Teknik manajemen;

f. Peningkatan pendidikan dan ketrampilan pekerja.

62  

Telah disebutkan sebelumnya bahwa produksi berbeda dengan

produktivitas. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan

produktivitas. Hal ini disebabkan karena produksi dapat meningkat walaupun

produktivitasnya tetap atau menurun ( Ravianto,1986). Achilladelis dan Antonakis

(2000) dalam studinya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan/korelasi antara

level belanja R&D dengan kemampuan inovasi. Dalam kasus industri farmasi,

Amerika Serikat, Switzerland, Jerman, Inggris dan Perancis memberikan

kontribusi lebih dari 80 persen inovasi dan mereka mengekspor lebih dari 60

persen perdagangan farmasi dunia. Sejalan dengan meningkatnya belanja R&D

pada industri farmasi, penjualan global produk farmasi juga meningkat dalam

jumlah yang signifikan.

Tenaga kerja memiliki koefisien sebesar 0,208028. Artinya setiap

penambahan faktor produksi tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan

produksi sebesar 0,208028 persen dengan mempertahankan faktor produksi lain

konstan. Sedangkan variabel energi (E) memiliki koefisien sebesar -0,070996. Ini

mengartikan bahwa setiap penambahan faktor produksi energi sebesar satu persen

akan menurunkan output produksi sebesar 0,0709 persen dengan mempertahankan

faktor produksi lain konstan. Adanya pengaruh negatif yang diakibatkan oleh

variabel energi, dikarenakan bahwa dalam rentang periode penelitian terjadi

penggunaan energi yang berlebih pada industri farmasi yang mengakibatkan

ketidakefisienan kegiatan produksi dan adanya kecenderungan variabel energi

untuk mengalami pertumbuhan tiap tahunya, padahal belum tentu pertumbuhan

ini dikarenakan oleh adanya peningkatan penggunaan akan tetapi pertumbuhan

63  

yang diakibatkan oleh adanya peningkatan harga dari faktor produksi energi itu

sendiri.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya

mengenai analisis faktor –faktor yang mempengaruhi output industri farmasi di

Indonesia tahun 1983 – 2005 dengan menggunakan pendekatan Total Factor

Productivity (TFP) sebagai variabel progres teknologi, maka didapat kesimpulan

bahwa :

1. Peubah yang berpengaruh nyata dan berhubungan secara positif dengan

ouput produksi farmasi nasional antara lain variabel tenaga kerja (L),

modal (K), bahan baku (R), dan progres teknologi (TFP).

2. Sedangkan peubah yang berpengaruh nyata dan berhubungan negatif

dengan output produksi farmasi nasional adalah variabel energi (E).

3. Nilai variabel progres teknologi (TFP) yaitu -0,032. Tanda negatif pada

koefisien TFP menunjukkan bahwa penguasaan teknologi dalam industri

farmasi masih sangat kecil.

6.2 Saran

Untuk mencapai pertumbuhan output yang juga didukung oleh

peningkatan produktivitas faktor dalam produksi industri farmasi maka terdapat

beberapa saran antara lain :

1. Industri farmasi nasional perlu memberikan proporsi yang lebih besar

dalam alokasi pendanaan bagi riset dan pengembangan produk industri

farmasi. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat penguasaan atas teknologi

65  

yang digunakan serta tingginya ketergantungan industri farmasi nasional

terhadap bahan baku impor yang mengakibatkan lemahnya daya saing

industri farmasi nasional.

2. Pemerintah sebagai fasilitator pembangunan perlu memberikan dukungan

yang lebih menyeluruh pada pengembangan industri farmasi, seperti dalam

penetapan PPn , bea impor bahan obat-obatan dan kebijakan penetapan

harga obat nasional.

66

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim].2008. Menguak Akar Usaha Farmasi.

http://isnet.org/buddy/2008/01/04/menguak-akar-usaha-farmasi/. [12 Juni 2008].

[Anonim].2008.Industri Farmasi Terancam Dalam Persaingan di ASEAN.

http://www.antara.co.id/print/?i=1172150684. [12 Juni 2008]. [Anonim].2008. Harga Obat Melambung, Menkes Lempar Handuk.

http://www.apotekkita.com/?cat=4 06/. [12 Juni 2008]. [Anonim].2008. Industri Farmasi Masih Belum Efisien.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/05/nas09.html. [20 Mei 2008]. [Anonim].2005. Industri farmasi Indonesia - Jepang Perlu Meningkatkan

Kerjasama Untuk Menghadapai Pasar Farmasi ASEAN.http://wahyublocknote.blogspot.com/2006/11/industri-farmasi-indonesia-dan-jepang.html. [15 Juli 2008].

[Anonim]. 1995. Siklus Hidup Produksi Obat; Susahnya Masuk Dalam

IndustriFarmasi.http://www.astaqauliyah.com [12 Juni 2008]. Anindita, S. 2004. Analisis Produktvitias Industri Ban Indonesia tahun 1984 –

2003 dengan Pendekatan Total Produktivitas Faktor (TFP). [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Bogor, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 1983-2005. Kumpulan Data Sektor Industri .Vol 2-3. BPS. Jakarta. ____________________ . Indeks Harga Konsumen. BPS. Jakarta. Bank Indonesia. 2007. Nilai Ekspor Bahan-Bahan Obat-obatan Beserta Hasilnya

menurut kode SITC digit 2. BI. Jakarta. Departemen Kesehatan. 2005. Kebijakan Harga Obat Nasional. Jakarta. __________________. 2006. Suvey Harga Netto Apotek Tahun 2005. Jakarta __________________. 2007. Perkembangan Ekspor Farmasi. Jakarta __________________. 2007. Perkembangan Industri Farmasi. Jakarta Departemen Perindustrian.2005. Statistik Industri 2005. Jakarta

67

Departement of Commerce United States of America. 2008. World Population. http://www.census.gov/ipc/www/idb/worldpopinfo.html. [28 Juni 2008]. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2007. Nilai Impor Barang tahun 2000-

2007.Jakarta Fitriani. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Output Industri Ban

di Indonesia tahun 1984 – 2002. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Bogor, Bogor.

GP Farmasi. 2005. Pasar Farmasi dan Sistem Penetapan Obat.

http://www.gpfarmasi.co.id.[30 Mei 2008]. ____________________. 2007. Perkembangan Pasar Obat Generik 2000-

2007. http://www.gpfarmasi.co.id.[30 Mei 2008]. Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Sumarno, Z [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hamzah, A.P. 1995. Imbas kenaikan harga BBM terhadap harga obat.

http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=10191&coid=2&caid=3. [12 Juni 2008].

Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli dan Regulasi.

LP3ES, Jakarta. International Marketing Service Health. 2005. Global Pharmaceutical Sales. ____________________. 2004. Changes in Research And Development. Ibnu,A..2008. Asing Menguasai Pasar Farmasi

Domestik.2003.http://www.hizbuttahrir.or.id/alwaie/index.php/2008/05/06/asing-menguasai-industri.[12 Juni 2008]

International Financial Statistics. 2008. Gross Domestic Product America.http://www.ifs.org/html. [10 April 2008]. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press. Bogor. Lipsey. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid I. Edisi Ke-10. Binarupa

Aksara. Jakarta. Nicholson W. 1995. Toeri Ekonomi Mikro. Edisi Ke-2. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Puspitasari, H. 2004. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Farmasi

(Pendekatan Organisasi). [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Bogor, Bogor.

68

Pinzon, R. 2008. Etika Bisnis Farmasi [Jurnal].

http://suarapembaca.detik.com/index.php/detikread/tahun/2008/bulan/02/tgl/15/time/.[20 Mei 2008]

Rachmadona. 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Tanaman Karet di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rivai. 1991. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Industri

Pengolahan Kayu di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sampurno, H. 2004. Membangun Daya Saing Farmasi Indonesia Menghadapi

Harmonisasi Regulasi Farmasi ASEAN. http://strategicmanage.com/?p=32 8/.[11 Agustus 2008]

_________________.2006.PROSPEK FARMA 2007.http://strategic-

manage.com/?p=36 [26 Juni 2008]. _________________. 2003. Kompetensi dan Imitabilitas Pada Industri Farmasi ;

Analisis Hubungannya dengan Kinerja Perusahaan.[Jurnal]. Program S3 Strategic Management. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Sukirno, S. 1985. Pengantar Teori Mikroekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Turnip, C. E. 2002. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor dan Aliran Perdagangan Kopi Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yulaekha, S. 2005. Analisis Produktivitas Industri Tekstil dan Produk Tekstil

(TPT) Indonesia (Periode 1983 – 2003). [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Bogor, Bogor.

Wahyuana. 2006. Industri Farmasi Indonesia dan Jepang Perlu Meningkatkan

Kerjasama Untuk Menghadapi Pasar Bebas Obat ASEAN 2008. http://media-liputanku.html. [12 Mei 2008].

Walpole, E. R. 1992. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

LAMPIRAN

69  

Lampiran 1. Data Logaritma Output Riil dan Variabel Input Riil Industri Farmasi Tahun 1983 -2005

70  

Lampiran 2. Data Pertumbuhan Output Riil dan Variabel Input Riil Industri Farmasi Tahun 1983 – 2005

71  

Lampiran 3. Produktivitas Riil Variabel Input Industri Farmasi

72  

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Total Productivity Factor (TFP)

73  

Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglass Tanpa Memasukkan Variabel Progres Teknologi (TFP)

Lampiran 6. Hasil Uji Multikolinearitas dengan Correlation Matrix

74  

Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas Error Term dengan Jarque-Berra Test

Lampiran 8. Hasil Pengujian Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test

Lampiran 9. Hasil Pengujian Heteroskedastisitas dengan menggunakan Uji White-Heteroscedasticity

75  

Lampiran 10. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglass dengan Memasukkan Kontribusi Variabel Progres Teknologi (TFP)

Lampiran 11. Hasil Uji Multikolinearitas dengan Correlation Matrix

76  

Lampiran 12. Hasil Uji Normalitas Error Term

Lampiran 13. Hasil Uji Serial Autokorelasi dengan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test

Lampiran 14. Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan White-Heteroscedasticity Test