Upload
agung-yuriandi
View
2.874
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pertentangan nilai-nilai yang sering terjadi dalam peraturan dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan tarif berupa cukai. Penerapan cukai kepada IHT bagaikan buah simalakama. Di satu sisi ada tekanan dari Luar Negeri, disisi lain harus memperhatikan nasib petani-petani tembakau dan pekerja-pekerja buruh.
Citation preview
ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA
NASKAH PUBLIKASI
TESIS
OLEH
AGUNG YURIANDI 087005039/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2010
HALAMAN PENGESAHAN (NASKAH PUBLIKASI)
JUDUL : ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI
TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA
NAMA MAHASISWA : Agung Yuriandi NOMOR POKOK : 087005039 PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., M.Li)
K e t u a
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum)
A n g g o t a
(Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum) A n g g o t a
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH)
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum)
ANALISIS HUKUM KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA
Agung Yuriandi *)
Ningrum Natasya Sirait **) Runtung Sitepu **) Mahmul Siregar **)
ABSTRAK
Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara.
Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di Indonesia. Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan tembakau di seluruh dunia. Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai. Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja juga sebagai salah satu objek yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
Namun, ada tekanan dari luar untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control yang tidak lain adalah untuk mengendalikan dampak negatif dari rokok ditinjau dari segi kesehatannya. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 dengan visi untuk mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan tidak mengenyampingkan aspek kesehatan. Disamping Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau untuk meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk cukai.
Kebijakan pemerintah tersebut dinamakan kebijakan tarif tunggal (single tariff policy) yang memberatkan industri hasil tembakau sedangkan penerimaan negara dapat ditingkatkan. Kebijakan single tariff tersebut menyulitkan Industri Hasil Tembakau yang ada di Sumatera Utara karena merupakan industri skala kecil dan menengah. Sudah pasti tidak adil bagi daerah Sumatera Utara yang industrinya merupakan skala kecil dan menengah yang rentan terhadap perubahan harga. Dengan adanya perubahan harga maka konsumen rokok pada industri kecil dan menengah akan mencari substitusi produk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : perlu adanya kajian terhadap penerapan single tariff dan kebijakan yang berdasarkan pada pendapatan negara. Dengan cara mengimbangi antara tujuan meningkatkan pendapatan negara dengan kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, dan industri hasil tembakau itu sendiri; sebaiknya pemerintah daerah melakukan upaya-upaya yang bertujuan untuk memperbaiki iklim usaha dengan cara mengurangi transaction cost yang ditimbulkan *) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
oleh peraturan daerah dan memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara; dan melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang diterima oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan dampak yang diterima oleh lingkungan daerah Industri Hasil Tembakau itu berdiri, juga diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran atau porsi yang baik dalam menentukan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang lebih adil bagi daerah Sumatera Utara. Kata Kunci : - Kebijakan Tarif Tunggal
- Industri Hasil Tembakau - Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
LEGAL ANALYSIS OF INDUSTRIAL POLICY RATES EXCISE OF TOBACCO PRODUCTS INDUSTRY IN NORTH SUMATRA
Agung Yuriandi *)
Ningrum Natasya Sirait **) Runtung Sitepu **) Mahmul Siregar **)
ABSTRACT
Tobacco is the kind of commodities subject to excise duty by the government.
The application of excise duty on tobacco has been conducted in the days of empire in Indonesia. Indonesia accounted for 2,1% of the woldwide supply of tobacco. The tobacco industry is contribute to the government revenue through excise. In terms of state revenue in the form of foreign exchange, export value of tobacco and tobacco result also holds an important role. The tobacco has a large contribution to labor absorption also as one of the objects that can be used as source of Revenue for Regional Real Income associated with the Fund For The Tobacco Excise Results.
However, there is pressure from outside to ratify the Framework Convention on Tobacco Control which is none other than to control the negative impacts of smoking in terms of health. Therefore, the government issued a Tobacco Product Industries Roadmap 2007-2020 with the vision to realize the Tobacco Industry, strong and competitive in the domestic and global markets with no waive the health aspects. Besides Roadmap 2007-2020 of Tobacco Product Industries Government also issued a Regulation of the Minister of Finance No. 181/PMK.011/2009 about Tobacco Excise Tariff to Boost Government Revenues In The Form of Excise Duty.
The government policy is called single tariff policy that hold the tobacco industry can be enhanced while government take the revenue. Single Tariff Policy is complicated for Tobacco Product Industries in North Sumatra due to the Small and medium scale of industries. It is certainly not fair to the industrial region of North Sumatra is a small scale and medium enterprises that are vulnerable of price changes. With the change in the consumer price of cigarettes in small and medium industries will find the substitution products.
The results showed that : the need for study of a single application of tariff rates and policies based on government revenue. By the way of balance between the goal of increasing government revenues with the interests of the community, local government, and the tobacco industriy itself; local government should make efforts that aim to improve the business climate by reducing the transaction costs incurred by the local regulations and improving infrastructure investments in North Sumatra; and conduct a review of the allocation of Profit Sharing Fund Tobacco Excise results received by the Local Government to consider the environmental impact received by the region’s standing Tobacco Industry Results, further studies are also required to *) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra **) Lecturer of Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra
obtain quantity or a good portion in determining the Sharing Fund Tobacco Excise a fairer results for the region of North Sumatra. Key Words : - Single Tariff Policy
- Tobacco Product Industry - Profit Sharing Fund Tobacco Excise
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur yang penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW
atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta
kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.
Penulisan tesis ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar
Magister Humaniora di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam
penulisan tesis ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh
masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan
menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan tesis ini,
penulis tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.),
sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan mengenai sejarah hukum dalam penyelesaian tesis
ini.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program
Magister (S2) dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister
(S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., sebagai Dosen
Pembimbing I yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan semangat
pantang menyerah kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.
6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III
yang telah memberikan dukungan moral dan sistem pengajaran yang sangat
baik sehingga penulis mengerti apa maksud dan tujuan dari menulis.
7. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Penguji I yang telah
memberikan masukan dalam hal pengajaran di dalam kelas.
8. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I
dan sebagai Penguji II yang telah memberikan kemudahan dalam urusan
birokrasi, juga masukan dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.
9. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah menjelaskan proses
administrasi di bagian keuangan.
10. Bapak Ir. Yusuf Husni, sebagai Pembantu Rektor V yang telah banyak
memberikan nasihat-nasihat positif dan pandangan hidup serta cara berusaha
kepada penulis.
11. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum., sebagai Dosen pada saat penulis menjalani
studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis.
12. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara, Kak Fika, Kak Juli, Kak Fitri, Buk Ganti, Buk Niar, Bang
Udin, Bang Hendra, Bang Herman, yang telah memberikan informasi dan
membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara.
13. Juga saya ucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua
penulis yang telah sabar dan mencurahkan segenap kasih sayangnya dan
segala pengorbanannya serta doanya sehingga penulis dapat memperoleh
pendidikan tinggi ini, kepada orang tua Ayahanda Yuri Subandi dan Ibunda
Dewi Lastina, BA., dengan doa mereka jualah penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
14. Juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
untuk adik penulis, Wenny Subandi, SE., yang telah memberikan dukungan,
dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.
15. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kelvina Sefialora, SH., yang telah
memberikan perhatian dan semangat serta doa kepada penulis ketika
mengalami kejenuhan dan penat selama menyelesaikan studi di Sekolah Pasca
Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
16. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku Radian Alfin, SH.,
M. Fadli Habibie, SH., M.Hum., Sudirman Simamora, SH, M.Hum., Ya’ti
Syahri, SH., Tri Murti Lubis, SH., Muhammad Suhandi, SH., Muhammad
Hanafi Matondang, Dyah Ayunda Utami Putri, S.Kom., Subandi, Amd., Eko
Neilamzulsyah, Amd., Dolly Tirta, Amd., Riadi, Syaiful Bahri, Asnan, Melfa,
yang sangat membantu selama penyelesaian tesis, yang selama ini bersama-
sama dalam suka maupun duka dan teman-teman tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu-persatu.
Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di
Indonesia.
Wassalamualaikum wr. wb.
Medan, September 2010
Penulis
Agung Yuriandi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Agung Yuriandi
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 07 Juli 1985
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pendidikan :
- Lulusan SD Percobaan Negeri Medan, tahun 1997;
- Lulusan SLTP Negeri 3 Medan, tahun 2000;
- Lulusan SMU Negeri 6 Medan, tahun 2003;
- Lulusan S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007;
- Lulusan S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, tahun 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Persetujuan ii
Abstrak iii
Kata Pengantar vii
Daftar Riwayat Hidup xi
Daftar Isi xii
Daftar Tabel xv
Daftar Gambar xvi
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 19
C. Tujuan Penelitian 19
D. Manfaat Penelitian 20
E. Keaslian Penelitian 20
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi 21
G. Metode Penelitian 28
1. Jenis dan Sifat Penelitian 30
2. Sumber Bahan Hukum 31
3. Teknik Pengumpulan Data 33
4. Analisis Data 34
BAB II : KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA 37
A. Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau 37
1. Masa Sebelum Kemerdekaan 42
2. Masa Sesudah Kemerdekaan 43
3. Masa Orde Baru & Reformasi 46
4. Masa Pasca Reformasi 47
B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 49
1. Departemen Keuangan 51
2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan 59
3. Departemen Pertanian 62
C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Peruntukannya
64
BAB III : PENGARUH KEBIJAKAN TARIF CUKAI TERHADAP INDUSTRI
HASIL TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA 71
A. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 71
1. Industri Rokok 71
a. Perusahaan Besar Tembakau 72
b. Perusahaan Tembakau Dalam Negeri Khususnya Sumatera
Utara
74
2. Masyarakat 78
3. Pendapatan Negara 82
B. Hambatan yang Dihadapi Perusahaan-Perusahaan Rokok Nasional 83
1. Peredaran Rokok Illegal dan Pita Cukai Palsu 83
2. Kebijakan yang Kurang Mendukung 85
3. Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok 91
C. Pengaruh Eksternal 93
1. Liberalisasi Perdagangan Dunia 93
2. Framework Convention on Tobacco Control 102
3. Trend Akuisisi Perusahaan Rokok Nasional oleh Investor Asing 117
BAB IV : KETENTUAN PEMBAGIAN CUKAI HASIL TEMBAKAU
DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN BAGI SUMATERA UTARA SEBAGAI DAERAH PENGHASIL TEMBAKAU DAN LOKASI INDUSTRI HASIL TEMBAKAU DALAM KERANGKA KEBIJAKAN TARIF
119
A. Cukai Tembakau dan Retribusi Daerah 119
B. Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff 124
C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau 127
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 134
A. Kesimpulan 134
B. Saran 137
DAFTAR PUSTAKA 139
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau 41
Tabel 2 Golongan Pengusaha Hasil Tembakau 52
Tabel 3 Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan PMK No. 181/PMK.011/2009 53
Tabel 4 Target dan Realisasi Penerimaan Cukai APBN 2005 – 2010 59
Tabel 5 Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009 61
Tabel 6 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009 65
Tabel 7 Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999 73
Tabel 8 Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 – 2009 119
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008 40
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia
termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun
tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,
sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian
nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan
pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani
dan pengolahan rokok).1
Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara.
Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di
Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus
membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya
(barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula
barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang
membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai
1 Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2. 2 Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara
menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.
Namun, adakalanya pedagang memberikan jumlah yang lebih dari yang diharuskan,
dengan maksud agar syahbandar dapat ”membujuk” raja dan pegawai-pegawainya
agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah,
termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus
membayar 6% pajak kerajaan (3% untuk orang Melayu).3
Pengutipan cukai tembakau pada zaman kerajaan tersebut di atas masih
berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima
tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada
tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008.4 Pengutipan cukai tembakau
tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundang-
undangan.
Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar
di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia.5 Cukai Industri
Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu
besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak
jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).6
3 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, From The Red Sea to Japan Written
in Malacca and India (1512-1515), Volume I, Hakluyt Society, (Nederland : Kraus Reprint Limited Nendeln/Liechtenstein, 1967), hal. 135-136, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hal. 153.
4 Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
5 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.
6 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 2.
Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia.
Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik
dan produk-produk tembakau lainnya. 7 Penerimaan negara melalui Industri Hasil
Tembakau diterima dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau
yang dihasilkan setiap perusahaan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Jember (LPM UNEJ) pada tahun 2008 menggambarkan
peran penting tembakau dan industri rokok dalam perekonomian nasional sebagai
berikut :
“Dibanding sektor-sektor pertanian yang lain baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan, sektor tembakau memiliki nilai keterkaitan ke belakang untuk output tertinggi setelah sektor unggas dan hasilnya. Sumbangan untuk sektor tembakau (Sektor 11) dan industri rokok (Sektor 34) terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Nilai ini adalah didasarkan dari data I-O Indonesia tahun 2005. Namun, berdasarkan data Dirjenbun, sumbangan sektor tembakau berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2005 bernilai Rp. 17,72544 triliun. Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong industri yang memiliki nilai keterkaitan output ke depan dan belakang tidak terlalu tinggi. Sumbangan untuk sektor tembakau dan sektor industri rokok terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor tembakau dan industri rokok tidak dimasukkan dalam perekonomian nasional adalah Rp. 46,195 triliun”.8
7 ”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com
/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 21 Mei 2010.
8 LPM UNEJ, ”Laporan Penelitian Tembakau dan Industri Rokok : Perspektif Petani, Perilaku Konsumsi, Serapan Tenaga Kerja dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Nasional”, (Jember : LPM UNEJ & GAPPRI, 2008), hal. VII – 5., dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 89.
Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai.
Pengutipan cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata
13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 9
Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah
penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai
hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun.11 Pada tahun 2010 ini ditargetkan
penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun. 12 Berdasarkan
gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil
Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan
peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan.
Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil
tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit
perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor
tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor
tembakau mencatat pertumbuhan sebesar 9,2% dalam lima tahun terakhir, dengan
9 Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 83. 10 Anton Aprianto, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo,
31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
11 Agoeng Wijaya, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04 November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
12 “Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26 Mei 2010.
rata-rata nilai ekspor mencapai sebesar US$. 65,7 juta dalam kurun waktu tahun 2004
– tahun 2008.13
Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap
penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung
maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang,
petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang,
pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan,
periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.14
Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di
Sumatera Utara, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan
Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan
kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan
Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan
bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk
mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan
ekonomi di daerah penghasil tembakau. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
13 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 68. 14 “Produksi Rokok Akan Dibatasi”, http://bataviase.co.id/detailberita-10376818.html.,
diakses pada 13 Juni 2010.
Tembakau (DBH CHT) ini sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 39
Tahun 2007 tentang Cukai diatur bahwa dari penerimaan cukai hasil tembakau
dialokasikan 2% kepada daerah penghasil tembakau.15
Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut, diperkirakan sebanyak
Rp. 900 miliar, atau 2% dari penerimaan cukai tembakau pada tahun 2009, akan
dibagikan kepada 5 provinsi penghasil cukai tembakau, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Utara.16
Dengan demikian, dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap Pendapatan
Daerah Sumatera Utara adalah meningkatkan pendapatan daerah selama Industri
Hasil Tembakau di provinsi tersebut dapat terus berkembang secara optimal. Namun
harus diingat bahwa instrumen kebijakan ’Cukai’ akan sangat menentukan terhadap
perkembangan Industri Hasil Tembakau. Hal ini didasarkan pada fungsinya yang
berbanding terbalik dengan pengembangan Industri Hasil Tembakau. Semakin tinggi
tarif cukai ditetapkan, maka akan semakin besar pula beban yang dipikul Industri
Hasil Tembakau.17
Oleh karena itu dampak dari kenaikan cukai hasil tembakau hendaknya
dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena bukanlah suatu hal yang mudah
untuk diterapkan dalam waktu dekat ini, tanpa harus menimbulkan pengorbanan.
Seperti diketahui, kondisi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara saat ini sedang
15 Sri Mulyani Indrawati, ”Optimalisasi DBH CHT untuk Menunjang Pembangunan Daerah”,
(Solo : Pidato Sambutan Tertulis dibacakan oleh Lisbon Sirait, 2010), sebagaimana dimuat dalam ”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”, http://www.antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.
16 Loc.cit., hal. 86. 17 Ibid., hal. 86-87.
mengalami persoalan yang serius. Kurangnya peranan pemerintah daerah dalam
mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau telah menyebabkan kondisi
industri ini berada dalam kesulitan yang sangat nyata.18
Meskipun Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi positif bagi
ekonomi nasional, akan tetapi Industri Hasil Tembakau itu sendiri menghadapi
sejumlah masalah (termasuk Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara), yaitu :
ketersediaan bahan baku (tembakau), karena sebahagian diimpor; Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan ke Industri Hasil Tembakau
masih sangat kecil; semakin tingginya kampanye anti merokok; Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) mengenai pengendalian dampak tembakau;
iklim usaha yang tidak baik, seperti infrastruktur dan keamanan; peredaran rokok
illegal; kebijakan tarif cukai yang merupakan hambatan dalam hal regulasinya.
Masalah ketersediaan bahan baku yang masih kurang akan tetapi tidak
menjadi kendala bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, karena masih bisa
dipenuhi dengan pasokan tembakau dari luar Sumatera Utara. Mencerminkan bahwa
peredaran dan distribusi bahan baku baik dilaksanakan oleh pemerintah. Terbukti
dengan meningkatnya produksi perkebunan tembakau di Indonesia dari tahun 2005 –
tahun 2009 yaitu sebesar 153.470 ton di tahun 2005, 146.265 ton di tahun 2006,
164.851 ton di tahun 2007, 169.668 ton di tahun 2008, dan di tahun 2009 mencapai
172.701 ton. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan lahan
18 Ibid., hal. 87.
perkebunan tembakau dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu 198.212 ha pada tahun
2005 dan meningkat terus sampai tahun 2009 adalah 212.698 ha.19
Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah
melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun
pada tahun 2009 yang diterima oleh Sumatera Utara adalah Rp. 1,42 miliar pada
tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp.
3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara, dengan jatah 30% dari total
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008
mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak
yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan
dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah
baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah.20
Terhambatnya perkembangan Industri Hasil Tembakau juga dipicu dengan
maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari
Sumatera Utara berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang
bidang usahanya bergerak dalam sektor perkebunan tembakau terjadi pengurangan
lahan untuk ladang pertanaman yakni 475 ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang
dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut
19 “Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.
20 Loc.cit., hal. 37-38.
mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270
bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali
menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil
lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan
rata-rata harga €. 30,- /kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770
bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun
2009.21
Iklan rokok juga sebagai hambatan Industri Hasil Tembakau, sebelum
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) disusun pada setiap negara
sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian
menguat. Menurut Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan,
Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ”...kampanye anti
rokok ini juga menghambat perkembangan Industri Hasil Tembakau dan
mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara drastis”.22
Dalam lingkungan internasional, Industri Hasil Tembakau dihambat oleh
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC) merupakan konvensi yang dirancang oleh World Health
Organization (WHO) sejak tahun 1999 dan ditetapkan tanggal 28 Mei 2003 di
Genewa. Diberlakukan tanggal 27 Februari 2005 serta sudah ditandatangani dan
diratifikasi lebih dari 40 negara. Sampai dengan Juni 2008, Framework Convention
21 “Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com
/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010. 22 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal
17 Maret 2010).
on Tobacco Control sudah ditandatangani lebih dari 168 negara dari jumlah tersebut
sebanyak 157 negara yang sudah melakukan ratifikasi. Indonesia termasuk salah satu
negara yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi konvensi
tersebut.23
Hal-hal pokok yang diatur dalam Framework Convention on Tobacco Control
antara lain meliputi : penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan,
pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur dan pelarangan
penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Penerapan pajak yang tinggi
terhadap produk tembakau akan berdampak terhadap penurunan produksi dan
konsumsi tembakau disamping itu akan mendorong peningkatan produksi dan
peredaran rokok tanpa cukai (rokok ilegal).24
Hambatan Industri Hasil Tembakau tidak sampai Framework Convention on
Tobacco Control melainkan sampai ke permasalahan domestik yaitu mengenai
infrastruktur, keamanan, transaction cost yang tinggi, maraknya rokok illegal,
semakin banyak peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat tertentu.
Mengenai infrastruktur yang menjadi penghambat dalam perkembangan
Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya
tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga
bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang
masih banyak rusak menyebabkan pengiriman barang menjadi lambat. Masalah
23 “Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net
/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni 2010.
24 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 97.
keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil
Tembakau untuk berkembang.
Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga retribusi-
retribusi akibat perda-perda yang notabene meningkatkan pendapatan daerah. Seperti
pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada
harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat
Keterangan Domisili dari kelurahan yang ditandatangani oleh Camat. Selanjutnya ke
Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan
yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang
dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan
juga ’ongkos’ pengurusan yang dikutip melalui pejabat setempat.
Belum lagi masalah Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia mengenai rokok
yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.
6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Menurut Thomas Sugijata sebagai
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa :
“...fatwa haram terhadap rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, akan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Mengenai seberapa besar pengaruhnya, baru bisa dihitung satu atau dua bulan setelah fatwa tersebut diberlakukan”.25
Biaya lainnya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau yang dikutip sebelum rokok
dipasarkan (dibayar didepan). Dengan peraturan inilah pemerintah menetapkan harga
setiap batangnya rokok yang dijual dibebankan kepada pemakai, tapi dibayarkan
25 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Op.cit.
terlebih dahulu oleh Industri Hasil Tembakau. Penerapan peraturan ini menyebabkan
harga naik hingga 36%, jika harga naik maka yang berlaku adalah hukum permintaan
dan penawaran, yaitu apabila harga naik maka permintaan akan menurun, permintaan
menurun begitu juga dengan harga penjualan akan menurun mengikuti permintaan
dan pasokan barang. Apabila penjualan mengalami penurunan, maka pendapatan
perusahaan rokok akan menurun pula.26
Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau apabila
dibandingkan dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 bervisi untuk
mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam
negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh
Departemen Perindustrian Republik Indonesia, maka Departemen Keuangan
Republik Indonesia mengatakan bahwa :
”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan cukai tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran. Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga jugal eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung melainkan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, beban cukai secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup bervariasi. Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada Sigaret Putih Mesin diambil dalam rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret Kretek Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp. 20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesar
26 Loc.cit., hal. 162.
Rp. 20,-; Sigaret Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II sebesar Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-; Sigaret Kretek Tangan II sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27
Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan mengarah kepada
kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan
tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan Industri Hasil
Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret
Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tariff tersebut dapat
memberatkan pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah.
Dasar hukum cukai sebagai instrumen pengendali Industri Hasil Tembakau
yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan
Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang
Ordonansi Cukai Tembakau merupakan produk kolonial Belanda. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan
beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda tersebut yang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang 39 Tahun 2007.
Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang
dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk
mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.28
27 Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan
Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).
28 Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Selanjutnya menurut Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Kebijakan
Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia (menjabat pada waktu itu)
menyatakan bahwa :
“Kenaikan tarif cukai rokok tersebut adalah untuk melindungi Sigaret Kretek Tangan yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dibanding dengan pabrik rokok mesin. Sekalipun tarif cukai rokok naik, pemerintah tetap melindungi industri rokok skala kecil. Untuk selanjutnya pemerintah akan menyatukan tarif cukai Sigaret Putih Mesin dengan Sigaret Kretek Mesin. Dengan demikian nantinya industri rokok cuma ada dua yaitu yang dibuat dengan tangan dan dibuat dengan mesin”.29
Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok
putih, muncul dugaan adanya keterlibatan perusahaan multinasional dalam regulasi
Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau
nasional dengan menggunakan instrumen regulasi cukai dan Framework Convention
on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak
dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil
Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai
rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat
bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli
rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan
ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.
Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan
menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil
29 Wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Anggito Abimanyu, Jakarta, dilakukan oleh Agus Samiadji, ”Kenaikan Tarif Rokok Tidak Adil”, http://www.harianbhirawa.com/opini/2781-kenaikan-tarif-rokok-tidak-adil., diakses pada 05 Juni 2010.
Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual
perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar,
seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain.
Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil
Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik lebih
kurang 80% dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT.
British American Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai
bukan tidak mungkin selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.30
Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah
ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding
Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan perpanjangan tangan
perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran
adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.
Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita
baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan
kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan Penetapan
Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri
Keuangan Republik Indonesia 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama
2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek.
Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan
menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal,
30 Wawancara dengan PT. Sumatera Tobacco Trading Company, PT. Stabat Industri, PT.
Permona, dan PT. Wongso Prawiro. Medan, 25 November 2009 di Kantor PT. Sumatera Tobacco Trading Company Medan., sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 98-99.
seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai
lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran
maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang
harus hidup diantara para raksasa rokok.31
Apabila hal diatas terjadi maka yang disulitkan adalah Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa
untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sebagai contoh
perusahaan lokal Sumatera Utara seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company
dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau
dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup
dan tidak beroperasi lagi.
Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau
sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap
pembangunan dalam bentuk sumbangan kepada penerimaan negara khususnya dalam
kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.32
Kebijakan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau cenderung terus
meningkat naik bertujuan untuk penerimaan negara, dengan cara membatasi produksi
setiap tahunnya bagi Industri Hasil Tembakau dan menaikkan tarif cukai tembakau
untuk menetapkan penerimaan negara. Jadi, konsumsi rokok diperkecil dengan
31 “Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum Natasya
Sirait, et.al., Op.cit., hal. 100. 32 ”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,
www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.
penetapan angka produksi oleh pemerintah diikuti dengan penetapan single tariff
yang memberatkan perusahaan rokok sehingga penerimaan negara tetap atau dapat
naik.
Setelah cukai dipungut dari Industri Hasil Tembakau, pemerintah
berkewajiban untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) dengan diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2009. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, lingkungan sosial,
sosialisasi ketentuan di bidang cukai illegal khususnya di Sumatera Utara yang
kontribusinya tidak terlihat signifikan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) tersebut disalurkan.
Menurut Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2009, Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana sebesar
Rp. 1.193 triliun, untuk Kota Medan sebesar Rp. 426 juta.33 Dana inilah yang akan
digunakan sebagai pengendalian dampak tembakau, seperti pembangunan sarana dan
prasarana kesehatan berupa perlengkapan alat-alat kesehatan, pembangunan tempat-
tempat merokok di daerah umum, dan lain sebagainya.
Kebijakan cukai spesifik yang mulai diterapkan sejak tahun 2008 berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Kedua atas
33 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, hal. 1.
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar
dan Tarif Cukai Hasil Tembakau kurang mencerminkan rasa keadilan antara Industri
Hasil Tembakau skala menengah-bawah dan Industri Hasil Tembakau skala
menengah-atas. Beberapa tarif yang dibebankan berdasarkan jenis dan golongan
justru memberi beban yang lebih besar untuk Industri Hasil Tembakau skala
menengah-bawah. Hal ini bisa terlihat dari rasio cukai yang tidak seimbang.34
Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat
dari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi
Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada
Sumatera Utara. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri
Hasil Tembakau di Sumatera Utara membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil
Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar.
Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau
sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik
dalam meregulasi Industri Hasil Tembakau, khususnya regulasi tarif cukai tembakau,
yakni : peningkatan pendapatan negara melalui cukai tembakau, pengendalian
dampak tembakau untuk alasan kesehatan, dan peran Industri Hasil Tembakau pada
perekonomian nasional seperti penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan
rakyat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan Industri Hasil Tembakau.35
34 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 53. 35 Ibid., hal. 100.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di
Sumatera Utara?
3. Bagaimana ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek
keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi
Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui peranan hukum
dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara terkait dengan Industri Hasil
Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara
lain :
1. Untuk menganalisis kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau
di Sumatera Utara.
3. Untuk menganalisis ketentuan pembagian cukai hasil tembakau yang ditinjau
dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau
dan lokasi Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Industri Hasil Tembakau dalam
mengambil langkah yang ditempuh untuk membela industri
menengah-kecil agar menghindari kerugian perusahaan akibat
kebijakan single tariff.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) agar
terbentuk peraturan atau kebijakan yang mampu menciptakan
kestabilan, keterprediksian, dan keadilan bagi seluruh anggota
masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada
lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa
penelitian dengan judul “Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil
Tembakau di Sumatera Utara” sudah pernah dilakukan oleh Ningrum Natasya Sirait,
et.al, yang dilakukan di Medan pada tahun 2009 dengan rumusan masalah dan kajian
yang membahas mengenai Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Investasi.
Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kebijakan tarif khususnya masalah cukai
tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan rumusan
masalah dan kajian yang berbeda dan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya
ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi,
permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi
Penelitian tesis ini menggunakan teori hukum mengenai “peranan hukum
dalam kegiatan ekonomi“ (rule of law in economic development), teori analisis
ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law).
Dalam analisis hukum mengenai peranan hukum dalam kegiatan ekonomi
digunakan teori Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa :
”faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum itu mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang telah diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan”.36
36 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 106-107.
Hukum dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan
ekonomi, apabila peraturan hukum yang dihasilkan memenuhi unsur stabilitas
(stability), keterprediksian (predictability) dan berkeadilan (fairness).
Peraturan hukum dapat menciptakan stabilitas jika peraturan hukum tersebut
memiliki kepastian baik dari segi substansi maupun struktur dan didukung oleh
budaya hukum yang baik. Maksudnya adalah bahwa peraturan mengenai kebijakan
tarif cukai seharusnya tidak cepat berubah-ubah dengan demikian akan memudahkan
para pelaku usaha untuk mengerti dan memahami hukum yang berlaku terkait dengan
kebijakan tarif cukai.
Prediktabilitas dari peraturan hukum akan membantu para pelaku ekonomi
dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasi kegiatan ekonomi yang lebih
efektif dan efisien. Hal ini bisa tercapai dengan dukungan stabilitas dan kepastian
hukum. Hubungannya adalah dengan izin, biaya, politik, keamanan, ekonomi, sosial,
dan lainnya. Hukum yang terprediksi harus bisa berkepastian hukum agar dapat
memprediksi seluruh ketentuan yang berlaku.
Keadilan hukum akan memberikan hak dan kewajiban secara berimbang
kepada setiap orang untuk meningkatkan taraf hidupnya, akomodatif terhadap
berbagai kepentingan dan melindungi pihak-pihak yang kurang beruntung. Peraturan
berkeadilan hukum maksudnya adalah kebijakan tarif cukai di Indonesia tidak hanya
mementingkan penerimaan negara tetapi juga harus memperhatikan dampak
kesehatan dan lebih berpihak kepada Industri Hasil Tembakau.
Mengenai keadilan sangat diperlukan dalam substansi hukum. Khususnya
dalam hukum ekonomi, pranata hukum harus mengakomodasi secara adil berbagai
kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya.
Hukum di bidang ekonomi dengan demikian harus berimbang dalam mengatur
kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda skala ekonominya. Hal ini merupakan
implementasi dari pesan konstitusional yang tidak mengizinkan adanya keberpihakan
negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk
menciptakan keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lemah melalui
hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih
menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.37
Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang
menyatakan bahwa :
”Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan”.38
Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum
berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang
melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,
contohnya dalam menentukan kebijakan tarif cukai, yang dalam hal ini hukum
berfungsi mencegah Industri Hasil Tembakau mengalami kerugian yang besar namun
tidak terlepas dari pengendalian kesehatan masyarakat oleh pemerintah.
37 Ibid., hal. 108. 38 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, (Medan :
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan
pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu
meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan
legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.39
Hukum ekonomi di Indonesia menjamin kepastian hak setiap orang untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi,
peluang-peluang ekonomi yang ada untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya.
Oleh karena itu, hukum di Indonesia tidak menghendaki adanya konsentrasi
penguasaan sumber daya ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Konsentrasi
ini cenderung akan menimbulkan berbagai macam masalah yang akan dihadapi.
Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Tembakau adalah untuk meningkatkan penerimaan negara demi kepentingan nasional
tanpa mengenyampingkan para pelaku usaha untuk tetap eksis di jalur Industri Hasil
Tembakau.
Uraian-uraian teoritis tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan
fenomena Industri Hasil Tembakau dan kebijakan tarif cukai yang ditetapkan
Pemerintah. Banyak pandangan yang mengisyaratkan bahwa kebijakan cukai yang
ditetapkan oleh pemerintah tidak konsisten dengan Roadmap Industri Hasil
Tembakau yang telah disepakati bersama. Salah satunya adalah pembinaan Industri
Hasil Tembakau untuk membuka peluang kesempatan berusaha dan kesempatan kerja
yang lebih luas. Kebijakan tarif hasil tembakau yang ditetapkan justru tidak konsisten
dengan kesepakatan tersebut. Tarif yang tinggi dan kedepan akan diterapkan secara
39 Ibid.
seragam untuk semua jenis Industri Hasil Tembakau lebih berorientasi pada aspek
penerimaan negara. Kebijakan yang demikian sangat dikhawatirkan akan menekan
Industri Hasil Tembakau Indonesia, khususnya Industri Hasil Tembakau yang
berskala kecil dan menengah. Kebijakan yang demikian diprediksikan akan
menimbulkan kecenderungan semakin menyempitnya ruang kesempatan berusaha
bagi Industri Hasil Tembakau, khususnya yang tergolong dalam Usaha Mikro Kecil
Menengah. Produktifitas Industri Hasil Tembakau akan menurun, rasionalisasi tenaga
kerja, kehilangan pendapatan dan penurunan tingkat kesejahteraan adalah peluang-
peluang yang sangat mungkin terjadi.40
Keadaan ini akan diperburuk oleh sejumlah permasalahan domestik yang
dihadapi oleh Industri Hasil Tembakau di Indonesia, antara lain iklim usaha yang
kurang kondusif, infrastruktur yang kurang mendukung, masalah bahan baku,
ekonomi biaya tinggi dan semakin maraknya produk rokok ilegal.41
Kecenderungan lain yang sangat mungkin terjadi adalah banyak Industri Hasil
Tembakau yang akan keluar dari pasar karena tidak sanggup bertahan dan bersaing,
dan yang bertahan akan sangat terbuka peluang untuk menyelamatkan keberadaan
perusahaannya melalui restrukturisasi perusahaan, baik dengan menggunakan metode
merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) atau menyerahkan perusahaan untuk
diakuisisi (pengambilalihan) oleh perusahaan-perusahaan yang lebih kuat. Praktik
monopoli akan sangat berpeluang dalam pasar hasil tembakau di Indonesia, karena
keadaan-keadaan sebagaimana dikemukakan diatas, akan menyisakan beberapa
40 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 109. 41 Ibid., hal. 110.
pelaku usaha Industri Hasil Tembakau saja, khususnya yang berskala besar dan kuat,
tidak tertutup kemungkinan adalah Industri Hasil Tembakau asing.42
Tidak disangkal bahwa hasil Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok,
memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan meningkatkan belanja kesehatan
masyarakat akibat rokok. Hal ini harus dikendalikan untuk kepentingan masyarakat
luas. Hanya saja cara untuk mengendalikan tersebut harus proporsional, dan
akomodatif terhadap berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda-beda. Tidak
dikehendaki adanya kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan secara
proporsional dampak yang mungkin timbul dari regulasi yang dikeluarkan.43
Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan
bahwa kegunaan dari hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak.
Apabila menemui kasus yang permasalahannya seperti pedang bermata dua. Jadi,
untuk memilih peraturan mana yang paling baik untuk mengatur permasalahan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dalam Industri Hasil Tembakau di
Indonesia adalah dengan melihat posisi mana yang lebih banyak diuntungkan apakah
pro dengan Industri Hasil Tembakau atau kontra dengan Industri Hasil Tembakau.
Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep
yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi
operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan :
42 Ibid. 43 Ibid., hal. 111.
1. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang menghasilkan, atau
mendistribusikan atau memasarkan atau menjual produk yang dihasilkan dari
pengolahan tembakau.44
2. Manfaat ekonomi adalah berkaitan dengan penerimaan negara untuk
meningkatkan pendapatan negara melalui cukai yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat dan pemerintah.
3. Hambatan Industri Hasil Tembakau adalah berupa kebijakan tarif cukai hasil
tembakau, Framework Convention on Tobacco Control, Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, peraturan daerah yang melarang merokok pada tempat-tempat
tertentu, kampanye anti rokok, rokok ilegal, iklim usaha yang tidak
mendukung, dan ketersediaan bahan baku.
4. Tarif Cukai adalah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
5. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagaimana yang ditetapkan
oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
atau penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang diterapkan di
Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil tembakau sebesar 2%.
6. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam
undang-undang.45 Dalam tulisan ini adalah cukai hasil tembakau.
44 Ibid. 45 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, Op.cit.
7. Iklim Usaha adalah keadaan perekonomian pada satu bidang usaha, seperti
Industri Hasil Tembakau ditinjau dari sisi keamanan, infrastruktur, dan lain
sebagainya.
8. Hukum adalah setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan jajarannya serta pemerintah daerah dan jajarannya yang
terkait dengan pengaturan industri hasil tembakau.46
9. Industri Rokok adalah industri yang menghasilkan, atau mendistribusikan atau
memasarkan atau menjual hasil olahan tembakau berupa rokok.47
10. Roadmap Industri Hasil Tembakau adalah program pemerintah yang
dicanangkan sejak tahun 2007 – 2020 untuk mengembangkan Industri Hasil
Tembakau.
11. Kebijakan Single Tariff adalah kebijakan dimana setiap jenis hasil olahan
tembakau/produk keluaran dikenakan cukai dengan tarif yang sama.
12. Transaction Cost adalah biaya-biaya non-produktif yang harus ditanggung
oleh Industri Hasil Tembakau untuk mencapai suatu transaksi ekonomi.48
G. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-
hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan
46 Loc.cit., hal. 112. 47 Ibid. 48 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), hal 3.
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.
Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian
termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.49
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan
pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun
masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan
penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh
semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian
termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.50 Kejujuran ilmiah adalah kode
etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :
1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri; 8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri; 9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 51
49 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2. 50 Ibid. 51 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif. 52 Dengan demikian objek penelitian adalah norma
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
terkait secara langsung dengan kebijakan tarif dalam Industri Hasil Tembakau di
Sumatera Utara.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam
melakukan pengkajian kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera
Utara. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri
pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini
menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi
Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.
52 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan
batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.53
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi studi terhadap kebijakan tarif
dalam Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara.
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan
dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan
dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : Undang-
Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Undang-Undang No. 16 Tahun
1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau
(Staatsblad 1932 No. 517) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan diubah kembali dengan Undang-
Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai dan peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
53 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).
Tidak Sehat, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang
No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; juga
sejumlah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia terkait Penetapan
Tarif Cukai Hasil Tembakau, seperti Peraturan Menteri Keuangan No.
43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil
Tembakau, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Keuangan No. 43/PMK.04/2005, diubah kembali dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga, dan Peraturan
Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau.
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan seperti Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 yang
dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan tehnik studi
kepustakaan 54 (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang
dipandang relevan, antara lain instansi terkait dan pelaku usaha Industri Hasil
Tembakau. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara.
Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain
bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan
sejumlah informan yang dipandang relevan yaitu : pengelola/pengurus perusahaan
rokok dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara di Medan, dengan
metode wawancara mendalam (in-depth interview)55. Informan yang dipilih adalah
yang terlibat langsung dalam penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) yaitu Dinas Pendapatan Daerah pada tingkat Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
54 Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
55 Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
4. Analisis Data
Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka
ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis
proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik
informasi, data, dan proses suatu fenomena.56
Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan
sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya
terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan
prediktabilitas hukum, mencari keadilan hukum, perlindungan hukum, dan lain-lain.57
Analisis dilakukan secara holistik58 dan integral untuk menemukan hubungan
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
antara lain meliputi hubungan antara kebijakan tarif cukai hasil tembakau,
penerimaan negara, peran ekonomi Industri Hasil Tembakau dalam hal Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil
56 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Op.cit., hal. 153. 57 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,
dalam Burhan Bungin, Op.cit., hal. 144-145. 58 Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 13 Agustus 2010.
Menengah, dampak negatif hasil tembakau, dan lain-lain yang ditemukan dalam
penelitian.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.59
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi
seluruh bagian dari Industri Hasil Tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
agar menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.60
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam kebijakan tarif cukai hasil tembakau terhadap industri hasil tembakau di
Sumatera Utara. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan
melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama
sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka
59 Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No. 2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.
60 Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.
deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang
digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan
pembuktian teori tersebut apakah : 1) hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori
tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada; 2) apakah teori
dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan
karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah
berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi; 3) apakah
membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka
semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan
fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau
direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan
menggunakan teori baru.61
61 Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26-29.
BAB II
KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA
A. Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau
Pengaturan cukai tembakau di Indonesia di pengaruhi oleh Politik Hukum
yang terjadi, yaitu perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan. Politik
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negari. Dunia politik
tidak terlepas dari kekuasaan dan wewenang penguasa.
Menurut C.F. Strong, politik hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang
negara. Negara merupakan organisasi kekuasaan karena di dalam negara selalu
dijumpai pusat-pusat kekuasaan, baik dalam suprastruktur (terjelma dalam lembaga
politik dan lembaga negara) dan infrastruktur yang meliputi :
1. ”Partai Politik, yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus;
2. Golongan kepentingan, yaitu sekelompok manusia yang bersatu atau mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu baik merupakan kepentingan umum atau masyarakat umum;
3. Golongan penekan, yaitu sekelompok manusia yang bergabung menjadi satu anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak ke luar sebagai golongan yang sering mempunyai keinginan untuk memaksakan kepada pihak penguasa;
4. Alat komunikasi politik, yaitu media komunikasi, komunikasi kontak langsung, dan jaringan-jaringan infrastruktur; dan
5. Tokoh politik, yaitu orang-orang yang terlibat dalam dunia politik itu sendiri, lebih kepada yang terlibat pada suatu negara dalam hal penyelenggaraannya”.62
62 C.F. Strong dalam Satya Arinanto, “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, (Jakarta :
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 1.
Menurut Mahfud M.D., politik hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi :
1. ”Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum”.63
Dari kedua pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan. Politik dan hukum sangat berhubungan karena
ada intervensi politik terhadap hukum, politik kerapkali melakukan intervensi
terhadap pembentukan dan pelaksanaan hukum. Hukum dalam arti peraturan
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
bersaing.64
Dalam hal pengaturan cukai hasil tembakau juga dipengaruhi oleh penguasa.
Pada zaman kerajaan Indonesia dahulu sudah tentu yang mempengaruhi
pengaturannya adalah penguasa setempat dimana tembakau tersebut diperjualbelikan.
Pada masa sebelum kemerdekaan, tepatnya masa pemerintahan Hindia-Belanda
pengaturan cukai tembakau dipengaruhi oleh Belanda pada masa itu demi keuntungan
mereka semata. Seluruh keuntungan (masa sekarang disebut Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT)) dari penjualan tembakau dibawa ke negeri Belanda
63 Mahfud M.D. dalam Ibid. 64 Ibid., hal. 4-16.
untuk membangun negara tersebut. Perubahan terjadi setelah kemerdekaan tercapai,
sepenuhnya pengaturan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Sebelum berbicara mengenai pengaturan cukai tembakau, akan dilihat
kemajemukan hukum di Indonesia pada sebelum abad VII – 2008 pada gambar di
bawah ini :
Gambar 1 Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008
Sumber : Satya Arinanto, ”Modul Perkuliahan Politik Hukum : Kemajemukan Hukum di Indonesia”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,
2008)
Abad VII
Abad XIV
Abad XVII
1819 1848
1854
1855
1870
1890
1900
1940
1945
1949
1990
1998
2008
HK. ADAT ASLI
HK. ADAT ASLI + HK.
HINDU
HK. ADAT ASLI + HK..
HINDU + HK. ISLAM
HK. ADAT ASLI + HK. HINDU + HK. ISLAM +
HK. KRISTEN + HK. KATOLIK +
HK. EROPA
- Dalam periode sekitar 130 tahun (1819 – 1949), pemerintah Belanda memberlakukan ± 7.000 peraturan di wilayah Hindia Belanda;
- Menurut penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada sekitar tahun 1992 masih tersisa sekitar 400 peraturan kolonial yang masih berlaku; dan
- Pada saat ini jumlah tersebut semakin berkurang.
1840
Masa Liberalisme
(1840 – 1890)
Terjadi revolusi Eropa dan Belanda
memberlakukan Grundwet baru
Pemberlakuan RR
Pemberlakuan IS
Pemberlakuan Agrarische
Wet
Masa Politik Etis
(1890 – 1840)
Pasca 1900 Pra 1900 Masa Kekuasaan Kelompok Universalis Ms. Kekuasaan Klp.
Liberal Partikuler
Masa Dekolonisasi &
Orde Baru
Masa Reformasi – Pasca Reformasi
(1998 - ...)
Proklamasi : Pemberlakuan
UUD ’45
Pasal II Aturan Peralihan UUD ’45 (sebelum perubahan) : - Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini;
- Untuk mengisi kekurangan hukum.
Berdasarkan pembagian masa-masa kemajemukan hukum di atas maka dapat
dibagi menjadi perkembangan pengaturan cukai tembakau pada 4 (empat) masa
pengaturan cukai tembakau, yaitu : 1) sebelum kemerdekaan; 2) sesudah
kemerdekaan; 3) orde baru & reformasi; dan 4) Masa Pasca Reformasi. Adapun
pembagian tersebut diatas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1 Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau
No. Masa Nama, Nomor, dan Tahun
Peraturan Tentang
Staatsblad No. 517 Tahun 1932 Staatsblad No. 560 Tahun 1932
1.
Sebelum Kemerdekaan Staatsblad No. 234 Tahun 1949
Tabaksaccijns-verordening
UU Darurat No. 22 Tahun 1950 Penurunan Cukai Tembakau PP No. 8 Tahun 1951 Perubahan "Tabaks-Accijnsverordening”
(Staatsblad 1932 No. 560)
2.
Sesudah Kemerdekaan
UU No. 16 Tahun 1956 Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517)
Perpres No. 189 Tahun 1967
Perhitungan Untuk Pemungutan Cukai Atas Hasil Tembakau yang Berasal Dari Luar Negeri
Perpres No. 38 Tahun 1969
Pencabutan Keppres No. 63 Tahun 1968 dan Pembebanan Bea Masuk/Cukai & Pungutan-Pungutan Lainnya Atas Pemasukan Hasil Tembakau Buatan Luar Negeri
UU No. 11 Tahun 1995 Cukai PP No. 24 Tahun 1996 Pengenaan Sanksi Administrasi di
Bidang Cukai PP No. 25 Tahun 1996 Izin Pengusaha Barang Kena Cukai
3.
Orde Baru & Reformasi
PP No. 55 Tahun 1996 Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai
UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai
PP No. 72 Tahun 2008 Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai
Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005
Penetapan Harga Dasar & Tarif Cukai Hasil Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar & Tarif Cukai Hasil Tembakau
4.
Pasca Reformasi
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar & Tarif
Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008
Tarif Cukai Hasil Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.07/2008
Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009
Tarif Cukai Hasil Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
Alokasi Dana Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010
Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Tahun Anggaran 2010
Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah
Sumber : Website resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional, www.bphn.go.id., diakses pada 08 September 2010
1. Masa Sebelum Kemerdekaan
Cukai tembakau pada masa ini diatur dengan yang disebut Staatsblad No. 517
Tahun 1932, Staatsblad No. 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad No. 234
Tahun 1949 tentang ”Tabaksaccijns-Ordonnantie”. Peraturan tersebut memakai teks
asli berbahasa Belanda.
Peraturan-peraturan tersebut diatas mengatur tentang pita cukai, eksportir dan
importir (dalam hal bea masuk). Juga mengenai besaran jumlah yang diterima
pemerintah dalam pengutipan cukai tersebut.
2. Sesudah Kemerdekaan
Sesudah kemerdekaan cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang Darurat
No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. Penetapan dalam peraturan
ini mengatur tentang Harga Jual Eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan,
dan penetapan golongan-golongan pengusaha.
Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai
Tembakau pada Pasal 10 menyebutkan bahwa :
(1) ”Cukainya berjumlah : a. Untuk rokok-rokok sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris
lima puluh persen dari harga eceran; b. Untuk rokok-rokok sigaret lain dari pada yang dibuat dengan mesin empat
puluh persen dari harga eceran; c. Untuk hasil-hasil lain yang dikenai cukai tiga puluh persen dari harga
eceran. (2) Dalam hal keragu-raguan atau perbedaan pendapat apa hasil-hasil tembakau
yang dikenakan cukai termasuk di bawah a. dari ayat di muka ini, atau di bawah b. atau c. dari ayat itu, diputuskan oleh Menteri Keuangan.
(3) Jikalau menurut Pasal 31 penjualan diizinkan dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran yang tersebut di pita yang dilekatkan menurut Pasal 12, maka dengan tidak memperhatikan perbedaan pada ayat (1) harus dibayar cukai sebanyak lima puluh persen dari jumlah yang melampaui harga itu”.65 Penetapan cukai dengan persentase yang ditetapkan dihitung dari Harga Jual
Eceran setiap bungkus rokok. Misalnya satu bungkus rokok dijual dengan harga Rp.
5.000,- maka cukai tembakau tersebut adalah 50% dari Harga Jual Eceran yaitu Rp.
2.500,- jadi, total jualnya adalah Rp. 7.500,-.
Untuk pita cukainya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1951 yang ditetapkan pada 20 Januari 1951. Peraturan ini mengatur tentang warna-
65 Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau,
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 21.
warna pita yang ditempelkan pada setiap bungkus rokok tersebut. Hal ini diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa :
(3) ”Pita-pita itu, yang diperuntukkan guna memenuhi cukai dari barang-barang tembakau yang bersama-sama disebut sebagai berikut, dikeluarkan dengan jenis-jenis sebagai berikut : dengan warna hijau : seri A : serutu, yang dipitai satu demi satu; seri B : rokok-rokok daun dan tembakau senggruk, begitu pula serutu-serutu
dalam bungkusan eceran berisi kurang dari 50 batang; seri D : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih; seri E : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih; dengan warna hitam : seri B : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin; seri C : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin; seri E : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin; dengan warna blau : seri B : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris; seri C : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris; seri E : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau
iris;”
Pada masa pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan sudah diatur
penetapan cukai dan warna-warna pita cukai untuk produk tembakau, yaitu warna
hijau, hitam, dan blau (sekarang biru). Penentuan warna ini digunakan untuk
penggolongan hasil tembakau yang diproduksi, yaitu : cerutu, rokok yang dibuat
dengan mesin (disebut Sigaret Kretek Mesin pada masa sekarang).
Pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang
Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Peraturan ini dikeluarkan
dengan maksud untuk mengurangi dampak banyaknya perusahaan-perusahaan rokok
yang tutup akibat tingginya pengenaan cukai tembakau, juga peraturan-peraturan
yang tidak tersusun secara rapi mengenai rokok. Dalam hal ini pemerintah
memberikan tunjangan kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa penurunan cukai
tembakau pada jumlah tertentu dan cukai yang tidak dikutip dari pengusaha-
pengusaha rokok selama satu tahun.
Pada memori penjelasan peraturan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956
tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Dijelaskan
bahwa : ”a. sigaret-kretek, kelembakmenyan 40% dari 5 (lima) sen sebatang; dan b.
rokok daun (strootjes) 30% dari 21/2 sen sebatang”.66
Penetapan tersebut diatas tidak lagi berdasarkan Harga Jual Eceran melainkan
dikenakan atas jumlah batang rokok pada setiap bungkusnya. Jadi, yang tadinya
dihitung berdasarkan Harga Jual Eceran, pada peraturan ini dikurangin dengan
menerapkan cukai pada setiap batang rokok.
Pengawasan dan pemungutan dengan jalan pita cukai tidak dapat diterapkan
dengan baik karena sumber daya manusia yang tidak memadai untuk melakukan hal
tersebut. Jadi, cara yang ditempuh oleh peraturan ini adalah menetapkan isi per
bungkus rokok tersebut bahwa bungkusan harus berisi 2, 5, atau 10 batang saja
dengan cara melekatkan pita cukai dengan harga eceran masing-masing dari 10, 25
dan 50 sen untuk batang-batang rokok tersebut.67
Kebaikan peraturan ini adalah bahwa pengusaha dapat menghitung harga
penjualan rokok tersebut dengan cara menghitung jumlah cukai yang ditetapkan dan
66 Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi
Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1043.
67 Memori Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Ibid.
harga penjualan rokok dapat diubah sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga
bahan baku berubah-ubah dengan tidak perlu menambah pita cukainya.68
3. Orde Baru & Reformasi
Pada masa Orde Baru & Reformasi ditetapkanlah Undang-Undang No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang
Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan Peraturan Pemerintah No. 55
Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Mengenai persentase cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai, pada Pasal 5 menyebutkan bahwa :
(1) “Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya :
a. dua ratus lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual Pabrik; atau
b. lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
(2) Barang Kena Cukai yang diimpor dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya :
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan Barang Kena Cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Ketentuan tentang besarnya tarif cukai untuk setiap jenis Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri”.69
68 Ibid. 69 Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.
Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan
Harga Jual Eceran (HJE). Namun, dapat juga ditetapkan per batangnya apabila diatur
dalam peraturan menteri keuangan. Apabila dihitung-hitung cukai tembakau jika
dikenakan berdasarkan Harga Jual Eceran dan per batang rokok, maka hasil yang
didapat adalah sama atau tidak jauh berbeda.
4. Pasca Reformasi
Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada
saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang
mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan
bahwa :
(1) “Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi : a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
b. Untuk yang diimpor : 1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
(2) Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi : a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b. Untuk yang diimpor : 1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila
harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk; atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-Republik Indonesia) untuk mendapat persetujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri”. 70
Ketentuan cukai tersebut di atas digunakan sebagai pungutan negara yang
digunakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik
sesuai dengan undang-undang merupakan penerimaan negara guna mewujudkan
kesejahteraan bangsa. Hal tersebut adalah memberikan kepastian hukum dan keadilan
serta menggali potensi penerimaan cukai.
Untuk penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005, pada peraturan ini
dilakukan pembagian jenis-jenis hasil tembakau, penggolongan pengusaha pabrik
hasil tembakau, nilai tarif cukai dan batasan harga jual eceran hasil tembakau buatan
dalam negeri dan luar negeri, batasan harga jual eceran dan tarif cukai hasil tembakau
yang diimpor maupun tidak. Peraturan ini diubah dengan Peraturan Menteri
70 Pasal 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4755.
Keuangan No. 118/PMK.04/2006 pada tahun 2006, diubah kembali pada tahun 2007
dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007.
Pada tahun 2008 dikeluarkan peraturan baru yang mengatur tentang tarif cukai
hasil tembakau dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan
diubah kembali pada tahun 2009 dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009. Perubahan yang dilakukan berulang-ulang ini dimaksudkan
untuk mengikuti perubahan perekonomian negara mengikuti inflasi dan kenaikan
harga yang terjadi. Hal-hal yang diubah adalah mengenai tarif dasarnya. Mengenai
pengaturan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tata urutan pelaksanaan
pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ke daerah diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai tanggapan setiap
departemen pemerintahan yang berbeda-beda mengenai perubahan atau kenaikan
cukai hasil tembakau yang diterapkan.
B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Setelah mengetahui sejarah bea cukai dan Industri Hasil Tembakau,
selanjutnya akan dibahas mengenai paradigma kebijakan tarif cukai hasil tembakau.
Apabila berbicara mengenai paradigma maka tidak terlepas dari pandangan berbagai
pihak terhadap kebijakan tarif cukai hasil tembakau.
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang
sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang
mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi
realita itu.71
Paradigma hukum adalah pandangan terhadap positivisme hukum yang
berlaku berkaitan dengan cukai hasil tembakau. Adapun yang berkaitan dengan
paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil tembakau, antara lain : 1) Departemen
Keuangan; 2) Departemen Perindustrian dan Perdagangan; dan 3) Departemen
Pertanian.
Ditekankan lagi disini bahwa paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil
tembakau adalah pandangan hukum setiap departemen yang ada bagi kebijakan tarif
cukai hasil tembakau di Indonesia. Pada departemen keuangan, sudah pasti berbicara
mengenai penerimaan negara dalam bentuk cukai yang dapat membantu
meningkatkan pendapatan negara. Pada departemen perdagangan, mengenai
penjualan daun tembakau yang digunakan untuk pembungkusan cerutu di dunia. Pada
departemen pertanian adalah mengenai lahan-lahan yang digunakan untuk menanam
tembakau apakah berkurang atau bertambah. Pada departemen perindustrian,
berkaitan dengan industri rokok itu sendiri. Pada departemen kesehatan, berbicara
mengenai dampak rokok bagi kesehatan. Pandangan departemen tenaga kerja dan
71 Pengertian paradigma menurut Thomas Kuhn, The Structure of scientific Revolution, 2nd
Ed., (Chicago & London : University of Chicago Press, 1970), dalam Herry Tjahyono, The XO Way : 3 Giants 6 Liliputs, (Jakarta : Grasindo, 2007), hal. 61-67.
transmigrasi adalah berkaitan dengan industri rokok yang dapat menampung banyak
tenaga kerja yang ada. Pandangan sosial adalah mengenai dampak dari industri rokok
menampung banyak tenaga kerja yang sudah pasti akan mengurangi pengangguran di
suatu negara. Pada akhirnya, departemen agama berbicara mengenai haramnya
merokok. Selanjutnya akan dipaparkan pada sub-sub bagian di bawah ini.
1. Departemen Keuangan
Dari paradigma Departemen Keuangan mengenai kebijakan tarif cukai hasil
tembakau di Indonesia yang berbicara mengenai pendapatan negara melalui
penerimaan negara. Negara mendapat pemasukan dari pengutipan cukai yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah Departemen
Keuangan.
Pengutipan cukai ini dilakukan Pemerintah melalui Departemen Keuangan,
Direktorat Bea dan Cukai adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kuangan
No. 181/PMK.011/2009, tanggal 16 November 2009 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut dan menyatakan tidak belaku
lagi Peraturan Menteri Keuangan mengenai tarif cukai hasil tembakau sebelum-
sebelumnya, yaitu : 1) Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005; 2)
Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006; 3) Peraturan Menteri Keuangan
No. 134/PMK.04/2007; dan 4) Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008.
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau adalah mengenai Golongan
Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau, Batasan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai per
Batang atau Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri, dan Tarif Cukai dan Harga
Jual Eceran Minimum Hasil Tembakau yang Diimpor.
Adapun pengaturan penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau yang
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif
Cukai Hasil Tembakau di atas dapat dilihat pada tabel yang tertera sebagai lampiran
pada peraturan tersebut, yaitu :
Tabel 2 Golongan Pengusaha Hasil Tembakau
Golongan Pengusaha Pabrik
Hasil Tembakau No.
Urut Jenis Golongan
Batasan Jumlah Produksi
I Lebih dari 2 milyar batang 1.
Sigaret Kretek
Mesin II Tidak lebih dari 2 milyar batang
I Lebih dari 2 milyar batang 2.
Sigaret Putih
Mesin II Tidak lebih dari 2 milyar batang
I Lebih dari 2 milyar batang
II Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang
3. Sigaret Kretek Tangan atau Sigaret Putih
Tangan III Tidak lebih dari 500 juta batang I Lebih dari 2 milyar batang
4.
Sigaret Kretek Tangan Filter atau Sigaret
Putih Tangan Filter
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
5. Tembakau Iris Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
6. KLM atau Klobot
Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
8. Cerutu Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
9. Hasil Pengelolaan Tembakau Lainnya
Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Jika dibandingkan dengan tarif cukai hasil tembakau sebelumnya yang
ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 tentang
Tarif Cukai Hasil Tembakau, maka Peraturan Menteri Keuangan 181/PMK.011/2009
tersebut telah menaikkan tarif cukai tembakau hasil seluruh jenis dan golongan,
kecuali TIS (Tembakau Iris), KLB (Rokok Daun atau Klobot), CRT (cerutu) dan
HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) tidak mengalami peningkatan tarif
cukai.
Apabila diperbandingkan, maka kenaikan cukai rokok berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan No.181/PMK.011/2009 adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel
3 dibawah ini :
Tabel 3 Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 dan Peraturan Menteri Keuangan 181/PMK.011/2009
[dalam Rupiah]
Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau
Nilai Cukai
No. Urut
Jenis
Golongan
Batasan Harga Jual Eceran Per Batang atau Gram
Peraturan Menteri
Keuangan 203/2008
Peraturan Menteri
Keuangan 181/2009
Kenaikan
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20 (6.89%)
Lebih dari Rp 630 sampai dengan Rp 660
280 300 20 (7.14%)
I
Paling rendah Rp 600 sampai dengan Rp 630
260 280 20 (7.69%)
Lebih dari Rp 430 210 230 20 (9.52%)
Lebih dari Rp 380 sampai dengan Rp 430
175 195 20 (11.42%)
1.
Sigaret Kretek Mesin
II
Paling rendah Rp 374 sampai dengan Rp 380
135 155 20 (14.81%)
Lebih dari Rp 600 290 310 20 (6.89%)
Lebih dari Rp 450 sampai dengan Rp 600
230 275 45 (19.56%)
I
Paling rendah Rp 375 sampai dengan Rp 450
185 225 40 (21.62%)
Lebih dari Rp 300 170 200 30 (17.64%)
Lebih dari Rp 254 sampai dengan Rp 300
135 165 30 (22.22%)
2.
Sigaret Putih Mesin
II
Paling rendah Rp 217 sampai dengan Rp 254
80 105 25 (31.25%)
Lebih dari Rp 590 200 215 15 (7.50%)
Lebih dari Rp 550 sampai dengan Rp 590
150 165 15 (10 %)
I
Paling rendah Rp 520 sampai dengan Rp 550
130 145 15 (11.53%)
Lebih dari Rp 379 90 105 15 (16.67%)
Lebih dari Rp 349 sampai dengan Rp 379
80 95 15 (18.75%)
II
Paling rendah Rp 336 sampai dengan Rp 349
75 90 15 (20%)
3.
Sigaret Kretek Tangan
atau SPT
III Paling rendah Rp 234 40 65 25 (62.5%)
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20 (6.89%)
Lebih dari Rp 630 sampai dengan Rp 660
280 300 20 (7.14%)
I
Paling rendah Rp 600 sampai dengan Rp 630
260 280 20 (7.69%)
Lebih dari Rp 430 210 230 20 (9.52%)
Lebih dari Rp 380 sampai dengan Rp 430
175 195 20 (11.42%)
4.
Sigaret Kretek Tangan
Filter atau Sigaret Putih
Tangan Filter
II
Paling rendah Rp 374 sampai dengan Rp 380
135 155 20 (14.81%)
Lebih dari Rp 250 21 21 0 (0.00%)
Lebih dari 149 sampai dengan Rp 259
19 19 0 (0.00%)
5.
Tembakau Iris
Tanpa
Golongan
Paling rendah Rp 40 sampai dengan Rp 149
5 5 0 (0.00%)
Lebih dari Rp 250 25 25 0 (0.00%)
6.
Klobot
Tanpa
Golongan Paling rendah Rp 180 sampai dengan Rp 250
18 18 0 (0.00%)
7. KLM Tanpa Golongan
Paling rendah Rp 180 17 17 0 (0.00%)
Lebih dari Rp 100.000 100.000 100.000 0 (0.00%)
Lebih dari Rp 50.000 sampai 20.000 20.000 0
dengan Rp 100.000 (0.00%) Lebih dari Rp 20.000 sampai dengan Rp 50.000
10.000 10.000 0 (0.00%)
Lebih dari Rp 5.000 sampai dengan Rp 20.000
1.200 1.200 0 (0.00%)
8.
Cerutu
Tanpa Golongan
Paling rendah Rp 275 sampai dengan Rp 5.000
250 250 0 (0.00%)
9. Hasil Pengelolaan Tembakau Lainnya
Tanpa Golongan
Paling rendah Rp 275 100 100 0 (0.00%)
Sumber : Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; dan Tabel 6, Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif Terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diberikan beberapa catatan terhadap
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau, sebagai berikut72 :
1. Seluruh tarif cukai pada industri yang menghasilkan sigaret (rokok), baik yang
menggunakan mesin ataupun tangan, baik yang menggunakan filter maupun
tanpa filter mengalami kenaikan tarif cukai.
2. Hasil tembakau berupa Tembakau Iris, Klobot, KLM, Cerutu dan Hasil
Pengelolaan Tembakau Lainnya tidak mengalami kenaikan tarif cukai.
3. Kenaikan tarif cukai terbesar adalah pada jenis industri sigaret putih mesin
golongan I dengan batasan harga jual eceran paling rendah Rp. 450,-/batang
sampai dengan Rp. 600,-/batang, dengan besaran kenaikan tarif Rp. 45,-
/batang.
72 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Loc.cit., hal. 216-217.
4. Persentase kenaikan cukai terbesar adalah pada industri jenis Sigaret Kretek
Tangan dan SPT Golongan III dengan batasan harga jual eceran paling rendah
Rp. 234,-/batang, yakni sebesar 62,5%.
5. Tarif cukai pada industri sigaret kretek mesin untuk golongan I dan Golongan
II naik seluruhnya sama sebesar Rp. 20,- per batang. Persentase kenaikan
terendah ada pada Sigaret Kretek Mesin Golongan I dengan harga jual eceran
lebih dari Rp. 660,-/perbatang, yakni sebesar 6,89% dan tertinggi pada Sigaret
Kretek Mesin Golongan II dengan harga eceran terendah Rp. 374,- sampai
dengan Rp. 380,-, yakni sebesar 14,81%.
6. Tarif cukai pada industri sigaret putih mesin naik secara bervariasi. Jumlah
kenaikan tarif terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan
harga jual eceran lebih dari Rp. 450,- sampai dengan Rp. 600,-, dengan
kenaikan tarif cukai sebesar Rp. 45,- per batang. Sedangkan terendah pada
Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan harga juel eceran lebih dari Rp. 660,-
/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin
Golongan II dengan harga eceran paling rendah Rp. 217,- sampai dengan Rp.
254,-/batang, yakni sebesar 31,25 % dan persentase terenedah pada Sigaret
Putih Mesin Golongan I dengan batasan harga jual eceran lebih dari Rp. 600,-
/batang yakni sebesar 6,89%.
7. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tangan dan sigaret putih tangan
mengalami kenaikan yang sama yakni sebesar Rp. 15,-/batang, kecuali untuk
golongan III dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang naik sebesar
Rp. 25,-/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Golongan III
dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang, yakni sebesar 62,5% dan
persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan atau SPT Golongan I dengan
batasan harga jual eceran Rp. 590,-/batang yakni sebesar 7,20%.
8. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tanpa filter dan sigaret putih tanpa
filter mengalami kenaikan tarif yang sama untuk semua golongan, yakni
sebesar Rp. 20,-/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Sigaret
Kretek Tangan Filter dan Sigaret Putih Tangan Filter Golongan II dengan
harga eceran paling rendah Rp. 374,- sampai dengan Rp. 380,-/batang, yakni
sebesar 14.81% dan persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan Filter
atau Sigaret Putih Tangan Filter Golongan I dengan batasan harga jual eceran
Rp. 660,-/batang yakni sebesar 6,89%.
9. Terdapat perbedaan besaran persentase kenaikan berdasarkan Harga Jual
Eceran untuk golongan yang sama antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret
Putih Mesin, misalnya untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan Harga
Jual Eceran lebih dari Rp 660,- besarnya cukai adalah Rp 310,- dengan %
sebesar 46.97% sedangkan untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan
Harga Jual Eceran lebih dari Rp 600,- besarnya cukai Rp 310,- dengan %
kenaikan sebesar 51.67 %. Artinya lebih besar beban persentase kenaikan
pada Sigaret Putih Mesin dibandingkan Sigaret Kretek Mesin.
Kebijakan seperti yang disebutkan di atas lebih berorientasi pada aspek
penerimaan negara. Apabila cukai dinaikkan, produksi rokok akan dikurangi tapi
penerimaan negara harus ditingkatkan. Kebijakan seperti inilah yang disebut
kebijakan simplifikasi tarif atau single tariff.
Pemerintah memutuskan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 7% yang
dilaksanakan pada 1 Februari 2009 untuk mengendalikan konsumsi rokok dan
mencapai target penerimaan cukai senilai Rp. 53.30 triliun. Kenaikan setoran Industri
Hasil Tembakau ini harus dibarengi penurunan konsumsi rokok. Untuk mencapai
target tersebut, pemerintah akan menekan pertumbuhan konsumsi rokok di level 5%
dengan menaikkan beban cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Peraturan tersebut di atas
juga mengatur penyederhanaan jumlah golongan pabrik, dari tiga golongan menjadi
dua golongan untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin
(SPM). Untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap terdiri dari tiga golongan.
Pemerintah dari waktu ke waktu akan terus melakkukan penyederhanaan golongan
pabrik menjadi dua jenis, yakni Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Kretek Tangan.
Untuk Sigaret Putih Mesin, akan dimasukkan dalam kategori Sigaret Kretek Mesin.73
Inilah yang disebut simplifikasi tarif atau sama dengan single tariff. Jadi, Industri
Hasil Tembakau kecil dipaksa untuk bersaing melawan raksasa Industri Hasil
Tembakau.
Berikutnya dapat dilihat penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau dari
tahun 2005 sampai 2009, sebagai berikut :
73 Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Cukai Rokok
Diputuskan Naik 7%”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten-view.asp?id=20080511101818., diakses pada 30 Agustus 2010.
Tabel 4 Target dan Realisasi Penerimaan Cukai
Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005-2010
Tahun Target (Rp. Triliun)
Realisasi (Rp. Triliun)
Rasio Cukai (Persen)
2005 32.24 33.26 103.16 2006 38.52 37.80 98.13 2007 42.03 44.70 106.35 2008 45.72 51.25 112.10 2009 53.30 - -
Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2010.
Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai
sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja
dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa
disadari oleh pemerintah kebijakan tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil
Tembakau untuk bertahan.
2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam hal kebijakan tarif cukai
hasil tembakau berperan dalam hal merumuskan Roadmap Industri Hasil Tembakau
yang merupakan aplikasi dari prioritas atas aspek tenaga kerja, penerimaan dan
kesehatan, diantaranya dengan menghilangkan rokok ilegal dan pita cukai palsu.
Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu berarti tidak ada penerimaan negara dari
sektor cukai tembakau.
Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu yang merupakan hambatan dari
penerimaan negara pasti membuat gerah pemerintah, maka Pemerintah melalui
Departemen Perindustrian dan Perdangangan mengeluarkan rencana kerja di dalam
Roadmap Industri Hasil Tembakau tersebut yang terbagi dalam beberapa jangka
waktu, yaitu74 :
a. Tahun 2007-2010 yang merupakan jangka pendek, urutan prioritas pada
aspek : tenaga kerja – penerimaan negara – kesehatan.
b. Tahun 2010-2015 atau jangka menengah, urutan prioritas pada aspek :
penerimaan negara – kesehatan – tenaga kerja.
c. Tahun 2015-2020 atau jangka panjang, prioritas pada aspek kesehatan
melebihi aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.
Disamping penerimaan negara menjadi berkurang, persaingan bisnis hasil
tembakau juga menjadi tidak sehat karena produk tembakau ilegal bisa menjual
dengan harga lebih murah dari yang legal. Bila hal ini terjadi maka jumlah produk
hasil tembakau di pasaran meningkat, dan masyarakat dapat memperoleh dengan
mudah akibatnya berdampak pada kesehatan masyarakat karena konsumsi tembakau
yang meningkat.75
Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani
Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut
adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh
wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke
tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita
74 Departemen Perindustrian Republik Indonesia, “Roadmap Industri Pengolahan Tembakau”,
(Jakarta : Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 203.
75 Ibid., hal. 204.
cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup
dengan kedok kegiatan penjualan.76
Tabel 5 Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009
Tahun Jumlah Kasus yang Ditangani 2006 31 2007 146 2008 750 2009 415
Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia, 2010.
Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam
menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat
pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh
Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia)
dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut.
Setiap departemen pemerintahan mempunyai pandangan yang berbeda-beda
dalam hal cukai hasil tembakau tersebut dikarenakan ada tugas yang berbeda pula
pada setiap departemennya. Perbedaan persepsi yang ada ini tidak mungkin untuk
disatukan melihat perbedaan tanggung jawab dan wewenang dari setiap departemen.
3. Departemen Pertanian
Pada Departemen Pertanian dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau
adalah melalui perkembangan dari jumlah lahan yang digunakan dalam pertanian
tembakau dan penelitian-penelitian untuk mencari substitusi produk. Departemen
76 Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009,
http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-negara-rp1-5-triliun., diakses pada 30 Agustus 2010.
Pertanian mendukung sepenuhnya perkembangan lahan dan penelitian mengenai
pengembangan tembakau tersebut.
Isu strategis untuk komoditas tembakau adalah ditetapkannya rokok sebagai
salah satu industri prioritas. Industri rokok di Indonesia menggunakan 80% bahan
baku tembakau lokal. Tembakau cerutu merupakan komoditas ekspor yang sudah
terkenal sejak lama. Areal pertanaman tembakau setiap tahun mencapai 220.000 ha,
sekitar 60% di Jawa Timur, selebihnya tersebar di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Pada umumnya tembakau diusahakan oleh
petani berskala kecil, hanya sebagian yang diusahakan oleh Badan Usaha Milik
Negara dan Perusahaan Swasta.77
Sumbangan tembakau terhadap pendapatan petani dan negara cukup besar.
Usaha tani dan industri tembakau dapat menghidupi 10 juta jiwa yang meliputi 4 juta
petani, 600.000 orang tenaga kerja di pabrik-pabrik rokok, 4,5 juta orang yang terlibat
dalam perdagangan, dan 900.000 orang terlibat dalam transportasi dan periklanan.
Tembakau memberikan sumbangan pendapatan negara dalam bentuk cukai dan
devisa dari ekspor tembakau. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan
tembakau adalah rendahnya produktivitas dan beragamnya mutu yang dihasilkan,
serta tekanan masyarakat internasional terkait isu kesehatan.78
Oleh karena itu Departemen Pertanian menggalakkan penelitian yang
diarahkan pada peningkatan produktivitas dan mutu tembakau serta mengurangi
77 Balittas, “Status Komoditi Tembakau”, Departemen Pertanian,
http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=category&id=56&Itemid=60., diakses pada 30 Agustus 2010.
78 Ibid.
senyawa-senyawa yang mempengaruhi kesehatan perokok misalnya kandungan
nikotin yang lebih rendah.79
Apabila dilihat dari sisi petani tembakau, tembakau sebagai tanaman industri
yang merupakan pilihan oleh petani dalam berusaha tani. Pilihan yang dipilih petani
tersebut didasarkan pada pemikiran dan kondisi yang sangat rasional dan
menguntungkan. Petani pada prinsipnya tidak memilih menanam komoditas
tembakau apabila tanaman tersebut tidak memberikan keuntungan.80 Pemilihan petani
berusaha tani tembakau mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang No. 12
Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam Pasal 6 Ayat (1)
menyebutkan bahwa : ”Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis
tanaman dan pembudidayaannya”.81
Berdasarkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman, hak-hak petani sebagai seorang warga negara mendapat
perlindungan hukum. Seperti diketahui bahwa berbagai jenis tanaman memiliki sifat
lokal dan spesifik, misalnya kelapa sawit kurang sesuai ditanam di Pulau Jawa.
Demikian juga dengan tembakau memiliki sifat dan lokalisasi dan spesifik. Artinya,
tanaman ini sangat sesuai apabila ditanam pada wilayah-wilayah tertentu, seperti
Madura, Bojonegoro, Besuki, Sleman, Temanggung, Deli, Lombok, dan lainnya.
Sifat yang lokal dan spesifik tersebut sangat sesuai dengan pola tanam yang telah
79 Ibid. 80 Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin & Tar
Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”, http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=62., diakses pada 30 Agustus 2010.
81 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3478.
dilaksanakan oleh para petani di masing-masing lokasi penanaman tembakau. Oleh
karena itu, sangat naif sekali apabila petani diminta untuk mengurangi atau
mengendalikan tanaman tembakau. Apabila hal ini dilakukan maka perusahaan-
perusahaan rokok akan mengalami kesulitan dalam bahan baku untuk membuat rokok.
Kesulitan bahan baku tersebut akan dipenuhi dengan melakukan impor daun
tembakau, yang pada akhirnya dapat mengurangi devisa negara.82
Jika sudah mengancam pengurangan devisa negara, pastilah pemerintah sudah
mulai mengambil sikap untuk mempertahankan penerimaan negara tersebut.
Pengurangan devisa berasal dari masuknya barang impor ke dalam negeri. Berbagai
upaya ditempuh untuk menggalakkan kembali pertanian tembakau, salah satunya
adalah dengan mengembangkan penelitian terhadap tembakau rendah nikotin dan tar
untuk mengurangi dampak rokok terhadap kesehatan.
C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dan Peruntukannya
Setelah dana cukai hasil tembakau dikutip selanjutnya akan dikumpulkan oleh
pemerintah untuk dikembalikan kembali kepada masyarakat, disebut Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)).
Semua peraturan yang diterapkan dalam pembagian ini ditetapkan oleh Peraturan
Menteri Keuangan. Dimulai dari cukai hasil tembakau dan dasar pembagian kepada
daerah. Sedangkan untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
82 Direktorat Jenderal Perkebunan, Loc.cit.
CHT) hanya diketahui oleh daerah masing-masing karena penggunaannya
menggunakan metode block grant.83
Pada tahun 2009 anggaran yang ditetapkan pemerintah dalam alokasi dana
bagi hasil cukai hasil tembakau adalah sebesar Rp. 964 miliar lebih, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran
2009.
Tabel 6 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Tahun Anggaran 2009 No. Daerah Jumlah No. Daerah Jumlah
I Provinsi Sumatera Utara 1.193.498.600 14. Kab. Klaten 5.208.380.679 1. Kab. Asahan 41.155.200 15. Kab. Kudus 70.825.701.253 2. Kab. Dairi 41.155.200 16. Kab. Magelang 3.343.769.279 3. Kab. Deli Serdang 41.155.200 17. Kab. Pati 4.574.257.602 4. Kab. Karo 41.155.200 18. Kab. Pekalongan 2.551.070.667 5. Kab. Labuhan Batu 41.155.200 19. Kab. Pemalang 2.538.495.874 6. Kab. Langkat 41.155.200 20. Kab. Purbalingga 3.376.486.400 7. Kab. Mandailing Natal 41.155.200 21. Kab. Purworejo 2.555.339.464 8. Kab. Nias 41.155.200 22. Kab. Rembang 2.491.600.180 9. Kab. Simalungun 41.155.200 23. Kab. Semarang 2.909.634.764
10. Kab. Tapanuli Selatan 41.155.200 24. Kab. Sragen 2.640.937.713 11. Kab. Tapanuli Tengah 41.155.200 25. Kab. Sukoharjo 2.772.201.919 12. Kab. Tapanuli Utara 41.155.200 26. Kab. Tegal 3.084.378.575 13. Kab. Toba Samosir 41.155.200 27. Kab. Temanggung 8.589.695.352 14. Kota Binjai 41.155.200 28. Kab. Wonogiri 2.483.494.026 15. Kota Medan 426.078.400 29. Kab. Wonosobo 3.776.362.073 16. Kota Pematang Siantar 1.208.660.600 30. Kota Magelang 2.468.701.775 17. Kota Sibolga 41.155.200 31. Kota Pekalongan 3.294.158.494 18. Kota Tanjung Balai 41.155.200 32. Kota Salatiga 3.354.690.119 19. Kota Tebing Tinggi 41.155.200 33. Kota Semarang 8.204.835.400 20. Kota Padang Sidempuan 41.155.200 34. Kota Surakarta 2.764.989.068 21. Kab. Pakpak Bharat 41.155.200 35. Kota Tegal 2.551.471.647 22. Kab. Nias Selatan 41.155.200 Total Prov. JATENG 282.458.370.000 23. Kab. Humbang Hasundutan 41.155.200 IV. Provinsi D.I. Yogjakarta 2.534.358.000
83 Block Grant adalah sejumlah dana berupa uang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan memenuhi persyaratan terlebih dahulu untuk menggunakan uang tersebut. Dalam kajian ini block grant dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan 0,5% dari jumlah yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat harus digunakan untuk sektor pendidikan. Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Medan, 25 Agustus 2010 di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
24. Kab. Serdang Bedagai 41.155.200 1. Kab. Bantul 1.689.572.000 25. Kab. Samosir 41.155.200 2. Kab. Gunung Kidul 844.786.000 26. Kab. Batu Bara 41.155.200 3. Kab. Kulon Progo 1.267.179.000 27. Kab. Labuhan Batu Utara 41.155.200 4. Kab. Sleman 1.182.700.400 28. Kab. Labuhan Batu Selatan 41.155.200 5. Kota Yogjakarta 929.264.600 29. Kab. Padang Lawas Utara 41.155.200 Total Prov. D.I. YOGJA 8.447.860.000 30. Kab. Padang Lawas 41.155.200 V. Provinsi Jawa Timur 179.807.154.000
Total Prov. SUMUT 3.978.330.000 1. Kab. Bangkalan 4.827.991.000 II. Provinsi Jawa Barat 21.168.078.000 2. Kab. Banyuwangi 5.077.844.000 1. Kab. Bandung 827.398.867 3. Kab. Blitar 8.147.131.000 2. Kab. Bekasi 17.527.734.661 4. Kab. Bojonegoro 16.180.107.000 3. Kab. Bogor 814.156.846 5. Kab. Bondowoso 8.310.589.000 4. Kab. Ciamis 815.416.522 6. Kab. Gresik 4.931.230.000 5. Kab. Cianjur 815.900.699 7. Kab. Jember 8.881.538.000 6. Kab. Cirebon 1.762.779.429 8. Kab. Jombang 8.665.564.000 7. Kab. Garut 823.344.814 9. Kab. Kediri 40.439.736.000 8. Kab. Indramayu 814.156.846 10. Kab. Lamongan 7.471.848.000 9. Kab. Karawang 5.535.032.242 11. Kab. Lumajang 5.767.563.000
10. Kab. Kuningan 814.597.634 12. Kab. Madiun 5.868.054.000 11. Kab. Majalengka 815.260.916 13. Kab. Magetan 5.409.331.000 12. Kab. Purwakarta 814.156.846 14. Kab. Malang 26.309.449.000 13. Kab. Subang 814.156.846 15. Kab. Mojokerto 6.279.890.000 14. Kab. Sukabumi 814.156.846 16. Kab. Nganjuk 8.693.462.000 15. Kab. Sumedang 819.525.517 17. Kab. Ngawi 7.625.025.000 16. Kab. Tasikmalaya 819.095.531 18. Kab. Pacitan 5.491.580.000 17. Kota Bandung 814.717.067 19. Kab. Pamekasan 18.505.921.000 18. Kota Bekasi 814.156.846 20. Kab. Pasuruan 39.087.881.000 19. Kota Bogor 814.174.038 21. Kab. Ponorogo 5.828.686.000 20. Kota Cirebon 6.582.136.601 22. Kab. Probolinggo 10.549.339.000 21. Kota Depok 814.156.846 23. Kab. Sampang 6.288.888.000 22. Kota Sukabumi 814.156.846 24. Kab. Sidoarjo 9.579.298.000 23. Kota Cimahi 814.156.846 25. Kab. Situbondo 5.541.379.000 24. Kota Tasikmalaya 815.182.169 26. Kab. Sumenep 13.321.702.000 25. Kota Banjar 818.011.052 27. Kab. Trenggalek 5.548.492.000 26. Kab. Bandung Barat 814.462.627 28. Kab. Tuban 6.190.436.000
Total Prov. JABAR 70.560.260.000 29. Kab. Tulungagung 10.765.363.000 III. Provinsi Jawa Tengah 84.737.511.000 30. Kota Blitar 5.476.281.000 1. Kab. Banjarnegara 2.457.318.751 31. Kota Kediri 41.053.938.000 2. Kab. Banyumas 2.511.354.331 32. Kota Madiun 4.918.193.000 3. Kab. Batang 3.223.109.285 33. Kota Malang 17.628.730.000 4. Kab. Blora 3.467.162.799 34. Kota Mojokerto 5.468.411.000 5. Kab. Boyolali 3.425.770.857 35. Kota Pasuruan 5.605.436.000 6. Kab. Brebes 2.498.146.883 36. Kota Probolinggo 4.840.917.000 7. Kab. Cilacap 2.639.202.510 37. Kota Surabaya 13.877.089.000 8. Kab. Demak 6.026.330.489 35. Kota Batu 5.077.714.000 9. Kab. Grobogan 5.035.985.688 Total Prov. JATENG 599.357.180.000
10. Kab. Jepara 2.693.632.118 11. Kab. Karanganyar 5.662.862.425 12. Kab. Kebumen 2.576.797.667 13. Kab. Kendal 9.142.532.869
T O T A L
964.802.000.000
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tetang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa pemerataan pembagian Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) telah tercapai (di mata pemerintah), jika
memandang dari perspektif petani tembakau ataupun Industri Hasil Tembakau maka
pembagian seperti itu adalah tidak adil bagi daerah penghasil tembakau. Keadaan
inilah yang membuat situasi dan kondisi Industri Hasil Tembakau di Indonesia saling
tarik menarik antara kebijakan pemerintah dengan Industri Hasil Tembakau.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut di atas
diberikan melalui transfer ke rekening masing-masing daerah melalui Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan yang dibawah Departemen Keuangan yang
dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan dasar Peraturan Menteri Keuangan No.
126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer
ke Daerah. 84 Pada Pasal 21 ketentuan ini menyebutkan bahwa pelaksanaan
84 Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 343, Pasal 21 menyebutkan bahwa :
(1) Penyaluran DBH CHT dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut : a. Triwulan I dilaksanakan bulan Maret sebesar 20% (dua puluh persen) dari alokasi
sementara; b. Triwulan II dilaksanakan bulan Juni sebesar 30% (tiga puluh persen) dari alokasi
sementara; c. Triwulan III dilaksanakan bulan September sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
alokasi dana sementara; dan d. Triwulan IV dilaksanakan bulan Desember sebesar selisih antara alokasi definitif
dengan jumlah dana yang telah disalurkan pada triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.
(2) Penyaluran triwulan I dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT semester II tahun anggaran sebelumnya dari Gubernur;
(3) Penyaluran triwulan III dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT semester I tahun berjalan dari Gubernur.
(4) Dalam hal laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menunjukkan tidak adanya realisasi penggunaan, penyaluran DBH CHT ditunda sampai dengan disampaikannya laporan konsolidasi penggunaan dana atas pelaksanaan kegiatan DBH CHT.
penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dilakukan
triwulanan. Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
akan dilakukan apabila telah disampaikannya laporan konsolidasi, yaitu laporan
penggunaan dana yang tandatanganin oleh Gubernur.
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas
Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, pada Pasal 2
peraturan ini menyebutkan bahwa :
1. “Penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, digunakan untuk mendanai kegiatan : a. Peningkatan kualitas bahan baku; b. Pembinaan industri; c. Pembinaan lingkungan sosial; d. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau e. Pemberantasan barang kena cukai ilegal.
2. Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing”.
Dalam peraturan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) seluruhnya digunakan untuk menanggulangi permasalahan yang timbul dari
tembakau tersebut, seperti para petani yang kesulitan bibit dan pupuk harus diberikan
jalan keluar dengan cara memberikan bibit dan pupuk gratis melalui Dinas Pertanian
masing-masing daerahnya. Cara yang lebih real lagi adalah dengan memberikan para
petani tembakau tersebut informasi mengenai daftar harga pasaran dari tembakau
agar petani tidak menjual dengan harga yang sudah ditentukan oleh Industri Hasil
Tembakau tersebut (tengkulak).
Dalam hal penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
untuk pembinaan Industri Hasil Tembakau dilakukan dengan cara memberikan
kemudahan dalam pengurusan izin-izin terkait usaha industri rokok tersebut. Apabila
Industri Hasil Tembakau ingin mengekspor produksinya banyak sekali tahapan-
tahapan yang harus dilaluinya, seperti pembuatan Nomor Registrasi Produk (NRP).
Pembuatan Nomor Registrasi Produk tersebut harus menggunakan Tanda Daftar
Perusahaan (TDP) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi. Pengurusan izin terkait ekspor tersebut
memiliki hambatan dalam hal pungutan liar yang dilakukan oleh para pegawai-
pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi (Depperindag). Setelah izin-
izin tersebut selesai dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, belum
bisa digunakan untuk mengekspor masih ada lagi pengurusan Nomor Registrasi
Produk di pusat. Hal ini yang membuat para pengusaha Industri Hasil Tembakau
kesulitan dalam mengekspor produk mereka.
Dalam pembahasan bab ini ditemukan bahwa ada pandangan yang berbeda-
beda dari setiap departemen pemerintah terkait dengan kebijakan tarif cukai hasil
tembakau. Namun keadaan seperti ini diluruskan kembali oleh pemerintah dengan
mengeluarkan Roadmap Tembakau 2007 – 2020 dengan pembangunan bertahapnya.
BAB III
PENGARUH KEBIJAKAN TARIF TERHADAP INDUSTRI HASIL
TEMBAKAU DI SUMATERA UTARA
A. Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Kebijakan tarif cukai tembakau yang diterapkan pemerintah melalui Peraturan
Menteri Keuangan berpengaruh kepada industri rokok itu sendiri, masyarakat, dan
negara. Pada industri rokok terbagi 2 (dua) yaitu : a) Perusahaan besar tembakau; dan
b) Perusahaan tembakau dalam negeri. Pengaruhnya terhadap masyarakat berkaitan
dengan tenaga kerja dan efek yang ditimbulkan dari hilangnya lapangan pekerjaan.
Pengaruh terhadap pendapatan negara adalah bahwa kebijakan tarif tersebut
meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pendapatan melalui cukai. Adapun
pengaruh tersebut di atas, antara lain :
1. Industri Rokok
Industri Hasil Tembakau adalah sama dengan industri rokok yang artinya
adalah kumpulan perusahaan yang sangat berbeda ukuran dan makna atau
pengaruhnya. Ada yang bersifat lokal atau nasional, ada yang dimiliki pemerintah,
namun yang paling besar dan berkuasa adalah beberapa perusahaan multinasional
yang memiliki usaha pada skala global. Seperti perusahaan lain, mereka berjuang
meningkatkan pangsa pasar dan keuntungan untuk kepentingan para pemegang
sahamnya. Tidak heran, industri rokok sangat kuat menentang semua upaya yang
dirancang untuk mengurangi konsumsi tembakau. Penolakan mereka bisa terbuka dan
diketahui oleh masyarakat luas. Namun, seringkali akan lebih berbahaya bila bersifat
tidak langsung dan tersembunyi.85
a. Perusahaan Besar Tembakau
Di samping China, yang menyerap sepertiga lebih konsumsi rokok dunia,
perdagangan tembakau dunia selebihnya didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan
tembakau multi nasional. Perusahaan multi nasional yang terbesar adalah Philip
Morris International, British American Tobacco (BAT), dan Japan Tobacco
International.86
Phillip Morris International mencakup kegiatan internasional perusahaan
Philip Morris asli, si pembuat merek rokok yang paling besar penjualannya di dunia
yaitu Marlboro. Perusahaan induk Philip Morris adalah Altria yang masih menjadi
pemilik perusahaan yang berada di Amerika yakni Philip Morris Amerika Serikat.
Hasil penjualan rokok Philip Morris International yang merek utamanya adalah
Marlboro dan L&M, mencapai 63 miliar dollar AS pada tahun 2008. Pendapatan
tersebut lebih besar daripada seluruh kegiatan ekonomi di banyak negara
berpendapatan rendah.87
85 John Crofton dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh
Angela N. Abidin, et.al., (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009), hal. 135. 86 Ibid., hal. 137. 87 Ibid., hal. 138.
Dua perusahaan internasional raksasa lainnya adalah British American
Tobacco (BAT) yang merek dunianya mencakup Dunhill, Lucky Strike, dan Pall
Mall; dan Japan Tobacco International (JTI) dengan merek Winston, Camel, Mild
Seven, Benson & Hedges.88
China memiliki sekitar seperempat perokok dunia, yang menghisap sekitar
sepertiga dari rokok dunia. Pangsa pasarnya begitu besar hingga seorang eksekutif
tembakau di Barat mencoba memikirkan statistik merokok orang China seperti
memikirkan batas ruang angkasa. Sejauh ini, perusahaan tembakau paling besar
adalah Chinese National Tobacco Corporation, namun beberapa perusahaan patungan
dengan perusahaan asing telah terbentuk pada tahun-tahun terakhir.89
Tabel 7 Perusahaan Tembakau Teratas Tahun 1999
No. Nama Perusahaan Pusat Jumlah Produksi
(miliar batang rokok) 1. Perusahaan Nasional Tembakau China Cina > 1.600 2. Philip Morris Amerika Serikat > 800 3. British American Tobacco (BAT) Inggris < 400 4. Japan Tobacco Jepang < 100 5. Tabakprom Rusia < 100 6. Altadis Prancis/Spanyol < 100 7. RJ Reynolds Amerika Serikat < 100 8. KT & G Korea Selatan < 100 9. Tekel Turkey < 100
10. Reemtsma Jerman < 100 11. Gudang Garam Indonesia < 100 12. ITC India < 100 13. AAMS Italia < 100 14. Imperial Tobacco Inggris < 100 15. Lorillard Amerika Serikat < 100 16. TTM Thailand < 100 17. Gallaher Inggris < 100 18. Fortune Tobacco Filipina < 100 19. HM Sampoerna Indonesia < 100 20. Austria Tobacco Austria < 100 21. Taiwan Monopoly Taiwan < 100
88 Ibid. 89 Ibid.
Sumber : Goldman Sachs Global Equity Reasearch, dalam John Crofton dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh Angela N. Abidin, et.al., (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009), hal. 138.
Dalam 50 tahun terakhir, upaya aktivis kampanye anti tembakau telah
menghasilkan penurunan pasar tembakau di Amerika Utara, Eropa (khususnya Eropa
Selatan) dan Australia. Sebagai jawabannya, perusahaan multinasional telah beralih
membangun pasarnya di negara sedang berkembang dan di pasar yang baru dibuka di
Eropa Tengah dan Timur serta bekas Uni Soviet. Berkembangnya ekonomi di
beberapa negara Asia begitu menarik. Angka merokok yang rendah di kalangan
perempuan di banyak negara sedang berkembang dipandang sebagai peluang besar
untuk perluasan pasar, menggunakan iklan dan taktik promosi lainnya.90
b. Perusahaan Tembakau Dalam Negeri Khususnya Sumatera Utara
Di Indonesia industri rokok dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar seperti
PT. Bentoel Internasional Investama, Tbk., PT. HM. Sampoerna, Tbk., Gudang
Garam, dan lain sebagainya. Sedangkan di Sumatera Utara, perusahaan rokok yang
tersisa saat sekarang ini, antara lain : PT. Stabat Industri; PT. Pagi Tobacco
Company; PT. Sumatera Tobacco Trading Company; PT. Senang Jaya; PT. Wongso
Prawiro; dan PT. Permona.
Setelah cukai tembakau dinaikkan rata-rata 7%, perusahaan-perusahaan rokok
yang ada di Sumatera Utara mengalami dampak yang berbeda antara satu dengan
90 Ibid., hal. 139.
yang lain. Namun, tetap memiliki satu esensi yaitu takut kehilangan konsumen
mereka.
Pada rokok kelas menengah bawah atau Golongan III sangat sensitif terhadap
perubahan harga. Disini berlaku teori ekonomi bahwa apabila harga naik maka akan
terjadi substitusi produk. Enam perusahaan yang ada di Sumatera Utara adalah
termasuk ke dalam Golongan III. Jika dibandingkan dengan Golongan I dan
Golongan II, konsumennya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap produk tersebut.
Persaingan pasar rokok pada Golongan III sangat ketat karena terlalu banyak
perusahaan rokok yang berkembang tanpa terdaftar dan diketahui oleh pemerintah.
Belum lagi disebabkan oleh peredaran cukai palsu yang merugikan negara.
Perusahaan rokok yang tidak terdaftar tadi menggunakan cukai palsu tersebut untuk
mengedarkan dan menjual produknya. Dengan begitu produk tersebut sudah pasti
murah dan menjadi substitusi produk.91
Saat ini produsen Golongan III (segmentasi bawah), kondisi kenaikan cukai
membuat sulit untuk berusaha. Saat ini harga produk mereka dijual paling murah Rp.
2.500,- per bungkus. Dengan adanya Harga Jual Eceran (HJE) yang baru, akan
memaksa mereka untuk menaikkan harga rokok jualannya. Padahal, dalam hal ini
rokok ilegal dijual dengan kisaran harga Rp. 2.000,- s/d Rp. 2.500,- per bungkusnya.
Dapat dikatakan permintaan rokok kelas bawah lebih elastis terhadap perubahan
harga, berubah saja harga maka akan direspon dengan penurunan permintaan.
Konsumen juga akan beralih pada rokok ilegal, sebagai barang substitusinya.92
91 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 157. 92 Ibid.
Kondisi tersebut berbeda dengan kelas menengah dan kelas atas. Pada
konsumen level ini, mereka lebih memiliki loyalitas terhadap produk. Merokok jenis
tertentu adalah merupakan hal yang tidak bisa dicari substitusinya. Hal yang
demikian membuat produsen rokok Golongan I dan Golongan II dapat membebankan
cukainya kepada konsumen.93
Pada kondisi tersebut di atas posisi produsen rokok Golongan III menaikkan
harga jual akan ditinggal konsumen, sedangkan menurunkan harga jual akan dapat
membuat perusahaan tidak mampu menutup biaya produksi dan akhirnya bangkrut
atau mati dengan sendirinya.
Selain dari beban cukai yang menyulitkan industri rokok di Sumatera Utara,
Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara juga dipersulit lagi dengan kelangkaan
bahan baku atau tembakau lokal. Tingginya biaya produksi akibat bahan baku harus
dipasok dari Pulau Jawa dapat mengancam keberadaan industri rokok di daerah ini.94
Target produksi rokok Sumatera Utara pada 2009 mencapai 1,8 miliar batang
atau turun dari tahun sebelumnya sebesar 2 miliar batang. Selain itu, industri rokok
juga harus menghadapi kenaikan biaya produksi rokok juga harus menghadapi
kenaikan harga biaya produksi hingga mencapai 10% dari tahun lalu. Padahal harga
produk tidak mungkin disesuaikan karena pertimbangan daya beli masyarakat, serta
persaingan ketat rokok asal luar negeri, baik legal maupun ilegal. Gencarnya anjuran
93 Ibid. 94 Eva Simanjuntak, “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global, http://www.harian-
global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20448:industri-rokok-sumut-terancam&catid=27:bisnis&Itemid=59., diakses pada 31 Agustus 2010.
pemerintah akan bahaya rokok terhadap kesehatan, berpengaruh besar pada
permintaannya.95
Ironisnya, pemerintah setempat belum memberikan perhatian serius sehingga
kalangan industri rokok di daerah menjadi resah. Sementara, dukungan pemerintah
sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi industri padat karya. Dapat dikatakan
peran pemerintah tidak ada. Padahal, ada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) yang harus dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan industri
rokok.96
Adanya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk
mendorong pertumbuhan industri rokok tersebut seharusnya dialokasikan sebenar-
benarnya untuk meningkatkan sektor pertanian tembakau. Memang, benar adanya
bahwa dana yang dialokasikan ke Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp.
1.558.056.950,- untuk Bulan Juli 2010 pada pembagian tahun 2010.
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
masih tidak jelas keberadaannya apakah digunakan dengan metode block grant
ataukah untuk kegiatan sosialisasi, pemberantasan cukai ilegal, pembinaan bahan
baku dan pembinaan industri rokok seperti yang diamanatkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau.
95 Ibid. 96 Ibid.
Belum lagi masalah pekerja yang teranjam menganggur karena kenaikan
cukai yang menyulitkan industri rokok. Bila pemerintah memberlakukan Roadmap
Industri Hasil Tembakau 2007-2020 maka sudah pasti para pekerja rokok yang
jumlahnya ribuan bahkan jutaan orang pada jangka waktu 2015-2020 akan habis dan
industri rokok akan tutup. Hal ini karena pemerintah lebih mementingkan aspek
kesehatan daripada aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.
Dalam hal kenaikan cukai yang baru sudah mulai terjadi gejolak seperti aksi
unjukrasa di Jawa. Bisa saja aksi serupa turut terjadi di daerah-daerah lainnya yang
ada pabrik rokok. Pada tahun 2008, ada satu perusahaan rokok yang tutup akibat dari
kenaikan cukai tembakau. Sedangkan pada tahun 2010 akan terancam dua perusahaan
rokok akan menyusul bankrut. Dengan demikian, ribuan pekerja rokok di Sumatera
Utara pasti akan kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran.97
2. Masyarakat
Dengan tutupnya perusahaan rokok tadi, maka jumlah pengangguran juga
akan meningkat mengikuti ketersediaan pekerjaan yang ada. Berbicara mengenai
industri rokok maka akan selalu ada kelompok yang pro dan kontra karena industri
rokok adalah industri yang kontroversial. Di satu pihak industri rokok menyerap
banyak tenaga kerja, memberikan pemasukan cukai terbesar (sekitar 95%) kepada
pemerintah Indonesia sebagai pendapatan negara, namun industri rokok juga
97 “Tolak Kenaikan Cukai, Ribuan Pekerja Rokok Terancam Jadi Pengangguran”,
http://beritasore.com/2009/12/08/tolak-kenaikan-cukai-ribuan-pekerja-rokok-terancam-jadi-pengangguran/., diakses pada 31 Agustus 2010.
menimbulkan beberapa kerugian seperti penyakit yang ditimbulkan baik untuk
perokok aktif maupun perokok pasif, sampah puntung rokok yang semakin banyak
akan mengotori lingkungan, dan rokok dapat mengantarkan rakyat miskin ke jurang
kehancuran. Oleh karena itu, tentunya social cost yang ditimbulkan dari rokok
tidaklah murah.98
Walaupun industri tembakau mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran, tetapi kualitas kesejahteraan pekerja industri rokok tergolong buruh,
upah yang diterima oleh para pekerja hanya cukup untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari-hari, tidak termasuk untuk menabung dan membiayai pendidikan anak-
anaknya. Tetapi tidak banyak para pekerja yang mengeluhkan baik upah maupun
tingkat kesejahteraan mereka, karena lebih memilih bekerja dengan upah yang kecil
tetapi memiliki kontinuitas yang tetap ketimbang menjadi pengangguran atau bekerja
yang memiliki kelanjutan yang jelas dan tetap.99
Salah satu kerugian yang ditimbulkan oleh rokok terhadap masyarakat adalah
membuat rakyat miskin menjadi lebih miskin lagi. Karena harus mengeluarkan biaya
untuk mengobati kesehatan yang diperburuk akibat merokok. Orang yang sakit harus
ke dokter, setelah menemui dokter harus membeli obat, jika penyakit bertambah
parah maka pengobatan berlangsung ke rumah sakit setempat atau di daerahnya.
Dalam kata-kata merokok dapat ”mengantar rakyat miskin ke dalam jurang
kehancuran” mengandung maksud bahwa rokok memakan atau menghabiskan cukup
98 Rissabela, “Industri Rokok : Fakta Industri Rokok di Indonesia”,
http://rissabela.wordpress.com/industri-rokok/., diakses pada 31 Agustus 2010. 99 Ibid.
banyak biaya dari anggaran rumah tangga setiap keluarga yang anggota keluarganya
ada yang menjadi perokok aktif.
Dapat dibayangkan apabila salah satu anggota keluarga merokok 5 batang per
harinya. Jika dalam satu keluarga yang merokok terdapat 2 – 3 orang, maka tambahan
total pengeluaran untuk rokok menjadi 2 – 3 kali lipatnya. Sedangkan pada faktanya
dan didukung dengan Survei yang dilakukan oleh World Trade Organization
menunjukkan bahwa pria yang tidak sekolah atau tidak tamat SD merupakan jumlah
perokok terbanyak. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih
mudah orang tersebut untuk memahami dan mengerti dampak dari merokok.100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 70% perokok Indonesia mulai
merokok sebelum berumur 19 tahun. Banyaknya perokok pemula di kalangan anak-
anak dan remaja mungkin karena mereka belum mampu menimbang bahaya merokok
bagi kesehatan dan dampak adiktif yang ditimbulkan nikotin. Perokok mungkin
beranggapan bahwa diri sendirilah yang menanggung semua bahaya dan resiko akibat
kebiasaan merokok, tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka juga memberikan
beban fisik dan ekonomi pada orang lain di sekitarnya sebagai perokok pasif.101
Tapi terkadang bagi orang yang tidak merokok merasa seperti dikucilkan oleh
teman-teman yang merokok dan dikatakan ”banci” oleh orang yang merokok atau
dikatakan ”kurang gaul”. Orang perokok itu pada awalnya hanya coba-coba saja,
hanya ingin menghormati teman yang memberikan rokok karena semua teman dalam
kelompok itu merokok, karena stress banyak masalah, karena agar dianggap gaya,
100 Ibid. 101 S. Riyanto, “Rokok dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat”, http://padang-
today.com/index.php?today=article&j=6&id=704., diakses pada 31 Agustus 2010.
dan lain sebagainya. Orang yang menghisap benda beracun tersebut bukan saja orang
dewasa yang sudah bekerja tetapi anak-anak usia sekolah juga menikmatinya.
Terkadang di sekolah diterapkan peraturan bagi siswanya dilarang merokok di dalam
kelas maupun di lingkungan sekolah, tetapi gurunya sendiri terkadang memberi
contoh dengan merokok di depan kelas ketika mengajar. Padahal seorang guru itu
adalah orang yang harus dicontoh dan ditiru setiap perkataan dan tindakannya.
Karena seorang guru itu merupakan panutan bagi setiap siswa di sekolahnya.102
Terkadang orang tua melarang anaknya merokok, tapi orang tuanya sendiri
merupakan perokok berat. Tidak mudah untuk bisa berhenti merokok bagi seorang
perkokok, apa lagi bagi seorang pecandu rokok berat. Lingkungan yang tidak
mendukung seseorang ingin berhenti merokok di antaranya pada saat main kartu atau
catur, sedang menunggu, stress, minum kopi, habis makan, dan jumpa teman lama
yang perokok. Oleh karena itu, untuk berhenti merokok itu tidak bisa karena hanya
orang lain melainkan karena dirinya sendiri dengan niat dari hati dan dibantu oleh
lingkungan yang mendukung.103
Jadi, pengaruh kenaikan cukai tembakau bagi masyarakat adalah karena
naiknya harga rokok yang dikonsumsi oleh masyarakat. Kenaikan cukai tembakau
membuat masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli rokok
guna pemenuhan kebutuhan. Bagi sebagian orang merokok sudah termasuk ke dalam
kehidupan sehari-hari jadi masuk ke dalam biaya pengeluaran kebutuhan hidup.
102 Ibid. 103 Ibid.
3. Pendapatan Negara
Pengaruh kenaikan cukai tembakau terhadap pendapatan negara sangat bagus
karena menjadi pemasukan negara yang meningkatkan cadangan devisa negara.
Pemasukan negara berimbas kepada naiknya anggaran Anggaran Pendapatan Belanja
Negara tiap tahun. Pendapatan negara disini maksudnya adalah pendapatan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dari pusat ke daerah, dalam hal ini
adalah daerah provinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 2009, pemerintah provinsi Sumatera Utara mendapatkan
Rp. 1.193.498.600,-104 meningkat terus sampai pada saat sekarang ini tahun 2010
provinsi Sumatera Utara mendapatkan Rp. 10.387.046.342,-. 105 Dengan kenaikan
cukai tembakau tersebut kelihatan dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam hal
dana bagi hasilnya.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dapat dipakai
daerah untuk membangun sektor yang berkaitan dengan tembakau. Hal ini tentu akan
sangat berarti untuk meningkatkan alokasi anggaran pembangunan di daerah. Hanya
saja perlu diperhatikan bahwa pemerintah provinsi Sumatera Utara juga harus dapat
memberikan kontribusi dari pada pajak daerah kepada pemerintah kabupaten dan kota
yang ada. Sehingga, perolehan pajak daerah tersebut dapat dirasakan oleh semua
104 Angka didapat dari Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 493, namun diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK.07/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang DBH CHT T.A. 2009 yang menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Utara mendapatkan DBH CHT sebesar Rp. 2.049.939.000,-.
105 Angka didapat dari Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 No. 142.
pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Besaran
pembagiannya disesuaikan dengan peraturan yang ditetapkan.
Diyakini bahwa pengenaan pajak daerah terhadap rokok akan sangat
membantu pemerintah daerah dalam menambah sumber Pendapatan Asli Derah
(PAD). Dana yang masuk dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di
berbagai bidang. Untuk jangka panjang, pelaksanaan program pembangunan yang
masih terhambat masalah dana akan teratasi dengan baik.106
B. Hambatan yang Dihadapi Perusahaan-Perusahaan Rokok Nasional
Disamping masalah kenaikan kebijakan tarif cukai hasil tembakau, justru
Industri Hasil Tembakau (IHT) atau Industri Rokok yang menghadapi permasalahan
yang menyebabkan daya saing industri pada sektor ini semakin menurun. Hambatan-
hambatan yang dihadapi perusahaan-perusahaan rokok nasional, antara lain : 1)
Peredaran rokok ilegal dan pita cukai palsu; 2) Kebijakan yang kurang mendukung;
dan 3) Peraturan daerah tentang larangan merokok.
1. Peredaran Rokok Illegal dan Pita Cukai Palsu
Peredaran rokok ilegal masih mengkhawatirkan karena penegakan hukum
yang dilakukan hingga kini dinilai belum menimbulkan efek jera karena pelaku hanya
mendapat sanksi pidana ringan. Selama tahun 2004 baru 34 kasus yang digelar oleh
106 Hisar Hasibuan, “Pajak Rokok Sebagai Sumber PAD Sumatera Utara, Harian Medan Bisnis : Selasa, 16 Desember 2008, http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4211., diakses pada 31 Agustus 2010.
Pengadilan kendati kerugian negara diperkirakan mencapai Rp. 150 miliar.
Keseluruhan kasus yang masuk hanya kategori Tindak Pidana Ringan (TIPIRING),
kondisi ini jelas tidak akan menimbulkan efek jera bagi pengedar rokok ilegal.
Tingginya pengedaran rokok ilegal juga dipicu oleh mudahnya pengurusan izin usaha
perindustrian rokok. Gampang sekali menanamkan investasi di sektor ini karena
hanya perlu mengeluarkan uang Rp. 3 juta, selain itu ada aturan-aturan yang perlu
disempurnakan karena turut menyebabkan maraknya peredaran cukai palsu.107
Aturan pendirian yang mudah didapat dengan cara “membayar pengurusan” di
Sumatera Utara khususnya berakibat pada maraknya industri rokok kecil dimana
selama kurun waktu tiga tahun terjadi penambahan hingga 2.200 unit padahal 2001
baru 600 industri rokok kecil yang beroperasi di Indonesia.108
Modus pelanggaran yang banyak dilakukan, antara lain : mempertahankan
tarif cukai yang kecil dengan tidak meningkatkan level usaha namun mendirikan
cabang-cabang baru dengan skala kecil dan menggunakan tarif cukai yang lebih
rendah dari ketentuan yang sebenarnya.109
Pemerintah telah menetapkan bahwa rokok ilegal yaitu rokok yang
menggunakan pita cukai palsu, rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai bekas
pakai, rokok dengan pita cukai bukan haknya dan rokok yang menggunakan pita
cukai bukan seharusnya.110 Ditjen Bea Cukai telah melangsungkan operasi intelijen
107 “Penanganan Rokok Ilegal Belum Optimal”,
http://www.beacukai.go.id/news/readNews.php?ID=878&Ch=01., diakses pada 01 September 2010. 108 Ibid. 109 Ibid. 110 Ibid.
yang dilakukan hingga ke pabrik-pabrik rokok serta distributor rokok namun hanya
mampu menjaring pelaku-pelaku pelanggaran ringan atau Tindak Pidana Ringan.111
Namun, langkah ini sangat sulit dilakukan karena masih sedikitnya personil
pengawasan yang tersedia sehingga tidak menjangkau seluruh wilayah hukum dari
Ditjen Bea Cukai. Sudah dilakukan kerja sama dengan Asosiasi industri terkait, dan
dinas-dinas tingkat provinsi untuk melakukan pengawasan yang lebih melekat di
daerah, tetap saja tidak jalan karena dana yang disalurkan ke situ tidak ada.
2. Kebijakan yang Kurang Mendukung
Setiap tahun pemerintah menggenjot pemasukan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara melalui pajak bea cukai dari Industri Hasil Tembakau. Kebijakan atau
”Policy” yang dibuat tiga departemen Pemerintah SBY pada tahun 2007, Depkeu,
Depnaker dan Deptan mengagendakan ‘Roadmap Industri Hasil Tembakau dan
Kebijakan Cukai tahun 2007 hingga 2020″, dimana produksi rokok yang pada 2007 –
2010 mencapai 240 miliar batang akan digenjot sampai 260 miliar batang pada tahun
2015 – 2020.112
Meski menjadi sektor penyumbang pemasukan cukai terbesar, Industri Hasil
Tembakau menilai bahwa kebijakan pemerintah masih kontraproduktif dalam
mendukung perkembangan industri hasil tembakau tersebut. Hingga saat ini beberapa
kebijakan antar departemen kurang mendukung dalam mendorong pertumbuhan
industri rokok. Misalnya, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian,
111 Ibid. 112 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 170.
Departemen Pertanian, dan Departemen Keuangan memberi dukungan karena
pendapatan cukai rokok sangat besar. Tetapi, Departemen Kesehatan justru
mengeluarkan kebijakan yang berlawanan.113
Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara menilai bahwa kebijakan
pemerintah memang masih mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau di
tengah desakan dunia. Akan tetapi masih tetap terfokus pada pendapatan negara tanpa
memperdulikan kemampuan Industri Hasil Tembakau. Hal ini dapat terlihat dari hasil
wawancara sebagai berikut :
“Selaku Pihak Pembina dan Pengawas, pada prinsipnya sebagian besar kebijakan Pemerintah memang masih mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau ditengah desakan dunia, Depkes dan berbagai lembaga swadaya masyarakat dalam pengamanan dampak hasil tembakau. Hal ini antara lain, hingga saat ini Pemerintah (Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian dan Menko Kesera) telah memiliki kesepakatan belum akan mengaksesi FCTC (Frame Work Convention On Tobacco Control) dalam waktu dekat, karena berbagai pertimbangan terutama segi ekonomi”. ”Namun, terhadap pungutan-pungutan baik Pusat maupun daerah, Pemerintah masih terfokus pada peningkatan pendapatan tanpa memperdulikan kemampuan Industri. Ada beberapa pungutan-pungutan baik Pusat maupun daerah yang tumpang tindih (overlapping) sifatnya. Khusus untuk Industri Rokok, rencana pengenaan Pajak Rokok yang telah diatur pada Undang-Undang No. 34 tahun 2009 jelas-jelas merupakan pajak ganda karena dikenakan Cukai, PPN dan PPH. Apabila tujuan pengenaan pajak untuk pengendalian konsumsi pada prinsipnya telah diakomodir oleh pengenaan Cukai. Sehingga landasan pengenaan pajak terhadap obyek rokok pada prinsipnya lemah dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi”.114
Salah satu kebijakan pemerintah yang memberatkan dan tidak memperdulikan
kemampuan Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok putih di Sumatera Utara
113 Ibid. 114 Wawacara dengan pengelola PT. Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), Medan, 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, sebagaimana dijelaskan
dalam petikan wawancara berikut :
“Kebijakan Pemerintah saat ini kurang mendukung Industri Hasil Tembakau terutama golongan kecil, hal ini terlihat oleh kebijakan yang diambil Pemerintah selalu merugikan golongan kecil. Istilahnya belum bisa bangkit, kami sudah ditimpa lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 yang jauh-jauh lebih memberatkan. Kenaikan tarif Cukai SKM (Sigaret Kretek Mesin) Rp. 20,- perbatang sehingga Sigaret Kretek Mesin hanya dibebani kenaikan tarif cukai Rp. 240,- perbungkus (untuk yang isinya 12 batang). Sedangkan sebagian besar jenis produksi kami yaitu Sigaret Putih Mesin (SPM), naik Rp. 30,- perbatang sehingga untuk setiap bungkus Sigaret Putih Mesin yang sesuai kebijakan Pemerintah hanya diperkenankan isi 20 batang perbungkus, terpaksa tarif cukainya naik Rp. 600,- perbungkus. Disamping ketidakadilan kenaikan beban cukai untuk jenis Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin, apabila kita pelajari Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, malah rata-rata kenaikan beban cukai perbatang perusahaan kami yaitu Rp. 25,- perbatang lebih besar dari kenaikan Pabrikan Golongan I strata I dimana merek-merek Pabrikan raksasa besar berada yaitu hanya Rp. 20,- perbatang. Dimana logikanya? Karena, dengan kebijaksanaan cukai sedemikian rupa justru penerimaan negara menjadi lebih kecil, kog Perusahaan raksasa dengan pangsa pasar yang jauh lebih besar (lebih dari 75% pangsa pasar Sigaret Putih Mesin Indonesia) dibebani kenaikan yang amat kecil, sedangkan disisi lain konsumennya tidak elastis dengan kenaikan harga. Kenapa kami yang pangsa pasarnya sangat kecil dengan konsumen yang amat sangat elastis terhadap kenaikan harga justru dibebani cukai yang tinggi?
Kebijakan Tarif Cukai saat ini sudah diluar kemampuan kami, dengan diterapkannya peraturan baru ini. Harga Jual juga akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan sehingga kami pesimis dengan prospek kedepannya. Disamping itu, sesuai dengan pasal 15 A dan Pasal 15 B, apabila terjadi kenaikan produksi yang berakibat kenaikan golongan Pengusaha diberi tenggang waktu 6 bulan untuk penyesuaian tarif cukainya. Padahal pada Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya, apabila terjadi kenaikan produksi hingga mengakibatkan kenaikan golongan pengusaha wajib menyesuai langsung pada saat itu”.115
115 Wawancara dengan pengelola PT. Wongso Pawiro, di Medan, tanggal 1 Desember 2009,
sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Peraturan Menteri Keuangan ini membebankan kenaikan tarif cukai bagi
industri rokok skala kecil dan menengah dengan rata-rata kenaikan sebesar Rp. 30,-
perbatang, beban kenaikan ini lebih besar dibandingkan rata-rata kenaikan tarif cukai
bagi pabrikan Golongan I strata I dimana merek-merek pabrikan raksasa besar berada,
yaitu hanya Rp. 20,- perbatang. Dengan kenaikan tarif cukai tersebut, maka industri
rokok skala kecil akan mengalami peningkatan biaya produksi, sehingga seharusnya
diimbangi dengan kenaikan harga jual. Masalahnya adalah konsumen daya beli dan
elastisitas dari konsumen produk rokok Industri Hasil Tembakau skala kecil berbeda
dengan konsumen industri rokok skala besar. Konsumen Industri Hasil Tembakau
skala kecil adalah masyarakat bawah yang daya belinya rendah dan elastisitasnya
terhadap perubahan harga jual sangat tinggi. Apabila Industri Hasil Tembakau skala
kecil menaikkan harga jual maka dengan daya beli yang rendah tersebut, dipastikan
konsumen akan sangat terpengaruh dan berpindah pada rokok dengan harga yang
lebih murah. Pilihan yang sangat mungkin adalah rokok kretek yang bebannya lebih
kecil atau rokok ilegal yang harganya lebih murah.116
“Kenaikan tarif cukai rokok berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 sudah menyimpang dari rasa keadilan bagi industri rokok skala kecil dengan konsumen yang daya belinya rendah dan sangat elastis terhadap perubahan harga jual. Hal ini berbeda terhadap Sigaret Putih Mesin berskala besar, khususnya perusahaan rokok putih multinasional, seperti PT. British American Tobacco atau Philip Morris. Kenaikan harga mereka lebih rendah sementara daya beli konsumen mereka lebih baik dan umumnya konsumen rokok putih merek yang diproduksi perusahaan rokok multinasional adalah konsumen yang tidak elastis terhadap perubahan harga. Jadi, prinsipnya mereka kurang terpengaruh dengan kebijakan tersebut dibandingkan dengan industri rokok putih skala kecil.”
116 Ibid., hal. 172.
Nampaknya Pemerintah menyamaratakan seluruh industri rokok putih (Sigaret Putih Mesin) seperti perusahaan rokok putih multinasional. Padahal masih banyak industri rokok Sigaret Putih Mesin adalah industri skala kecil dengan kemampuan permodalan dan teknologi yang terbatas. Kebijakan yang seperti ini jelas tidak adil dan adanya perbedaan perlakuan yang lebih menguntungkan industri rokok kretek dan industri rokok putih multinasional. Atau dengan kata lain cara pandang yang mendasari kebijakan pemerintah tersebut semata-mata untuk meningkatkan pendapatan negara, meskipun dengan membuat kebijakan yang menyulitkan berkembangnya industri nasional, khususnya industri skala menengah dan kecil.117
Bagi industri rokok skala kecil, keberlanjutan usaha tetap harus dipertahankan,
mengingat tidak sedikit tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada
keberadaan industri tersebut. Untuk menghadapi kenaikan tarif cukai yang tinggi
tersebut, menaikkan harga secara proporsional dengan kenaikan tarif cukai bukanlah
pilihan yang bijaksana, mengingat daya beli konsumen produk mereka adalah rendah
dan elastisitas keterpengaruhan konsumen terhadap kenaikan harga sangat tinggi. Jika
harga dinaikkan sebanding dengan kenaikan tarif cukai, maka konsumen akan
berpindah, dan perusahaan akan mengalami penurunan pangsa pasar secara terus
menerus. Untuk menghindari hal ini, maka kebijakan yang banyak ditempuh adalah
dengan cara mensubsidi konsumen dengan tetap menjaga harga yang terjangkau
konsumen meskipun biaya produksi semakin tinggi karena kewajiban tarif cukai yang
naik cukup signifikan. Namun, permasalahannya adalah sampai berapa lama industri
skala kecil tersebut akan mampu memberikan dukungan subsidi pada konsumen.
Lambat laun dipastikan perusahaan rokok skala kecil ini akan mati. Salah satu upaya
Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara dalam menghadapi kendala-kendala
tersebut adalah dengan tetap mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap
117 Wawacara dengan pengelola PT. Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), Medan, 1 Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 173.
produk mereka. Berikut ini petikan hasil wawancara dengan pengelola Industri Hasil
Tembakau di Sumatera Utara :
”Yang paling utama adalah upaya mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap produk kami, namun hal ini perlu pengorbanan yang sangat besar berupa mempertahankan harga eceran tidak naik secara drastis, walaupun beban cukai yang dipungut naik cukup tinggi. Kata subsidi adalah kata yang tepat dan tidak terelakkan, namun daya tahan Perusahaan sangat terbatas dan pada titik temunya secara jangka panjang, Perusahaan akan mengalami kolaps”.118 Penjelasan yang senada juga dikemukakan oleh pengelola PT. Sumatera
Tobacco Trading Company sebagai berikut :
“Untuk mencegah peralihan konsumen PT. Sumatera Tobacco Trading Company yang berada pada segmen menengah bawah ke SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan Rokok Ilegal, PT. Sumatera Tobacco Trading Company telah berusaha mengsubsidi beban konsumen tersebut sehingga harga jual rokok hanya berkisar 90% harga bagi agen. Tetapi ditengah tingginya beban-beban industri dan kenaikan beban cukai yang terus menerus, untuk jangka panjang PT. Sumatera Tobacco Trading Company tidak akan mampu mengsubsidi konsumen lagi”.119 Masalah lain terkait dengan kebijakan adalah pengenaan pajak rokok dan
pungutan-pungutan lainnya oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ada beberapa
pungutan-pungutan baik Pusat maupun daerah yang tumpang tindih (overlapping)
sifatnya. Khusus untuk Industri Rokok, rencana pengenaan Pajak Rokok yang telah
diatur pada Undang-Undang No. 34 tahun 2009 jelas-jelas merupakan pajak ganda
karena dikenakan Cukai, PPN dan PPH. Apabila tujuan pengenaan pajak untuk
pengendalian konsumsi pada prinsipnya telah diakomodir oleh pengenaan cukai.
118 Wawancara dengan pengelola PT. Permona, Medan, 2 Desember 2009, sebagaimana
dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 174. 119 Wawancara dengan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company, Medan 1
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Sehingga landasan pengenaan pajak terhadap obyek rokok pada prinsipnya lemah dan
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.120
Jelas bahwa industri rokok nasional di Indonesia sangat terbebani dengan
pungutan-pungutan yang lahir dari kebijakan yang demikian, belum lagi adanya
pungutan-pungutan yang sifatnya tidak resmi yang secara keseluruhan sangat
mempengaruhi kinerja industri rokok di Sumatera Utara yang berskala kecil, karena
munculnya ekonomi biaya tinggi. Keadaan semacam ini sangat tidak kondusif bagi
perkembangan industri di Sumatera Utara dan secara nasional pada umumnya.
Kebijakan yang kurang tepat dan terarah justru muncul sebagai hambatan bagi
industri nasional sendiri.121
3. Peraturan Daerah tentang Larangan Merokok
Provinsi DKI Jakarta ada Perda/Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun
2005 yang melarang merokok di tempat umum dengan sanksi yang cukup berat,
yakni kurungan/penjara badan selama 6 (enam) bulan di penjara atau denda uang
sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Kenyataan yang terjadi di lapangan
adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok aktif banyak yang
merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori kawasan dilarang merokok.
Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok, terkadang masih
120 Ibid., hal. 174-175. 121 Ibid., hal. 175.
banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan kenyamanan dan
kesehatan orang lain.122
Merokok sangat merugikan kesehatan baik manusia maupun hewan karena
mengandung racun yang sangat berbahaya. Orang yang merokok biasanya memilki
paru-paru yang busuk dan berwarna gelap, sangat berbeda dengan orang yang tidak
menghisap batang rokok. Merokok adalah haram hukumnya dalam agama karena
tidak ada dampak positif dari rokok, yang ada hanya efek negatifnya saja, sehingga
merokok itu adalah perbuatan dosa. Perokok juga termasuk dalam kegiatan yang
boros, karena seseorang bisa menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan rupiah per
bulan untuk membeli berbungkus-bungkus rokok. Kasihan dan menyedihkan sekali
bagi pecandu rokok yang memiliki penghasilan kecil, karena dipaksa untuk membeli
rokok akibat kecanduan. Anak dan istri pun jadi tekena imbas karena untuk makan,
sekolah, rumah, bayar tagihan listrik, dan sebagainya kurang mencukupi.123
Seharusnya dibuat suatu mekanisme yang mengubah sanksi perda tersebut
menjadi alat untuk mengeruk pendapatan asli daerah. Dengan mendapatkan lima
puluh juta per orang kaya yang merokok maka dalam setahun mungkin bisa
didapatkan masukan sebesar milyaran sampai trilyunan rupiah. Untuk orang yang
ekonomi menengah kebawah dapat disiasati dengan potongan masa tahanan dengan
pembayaran sebagian denda. Contohnya apabila seseorang bayar hanya 25 juta, maka
hukuman penjaranya dikurangi jadi hanya 3 bulan penjara.124
122 Ibid. 123 Ibid., hal. 176. 124 Ibid.
Penegakan hukum sanksi merokok di tempat umum harus ketat dan
melibatkan partisipasi masyarakat dengan hadiah. Misal warga bisa merekam orang
yang merokok di tempat umum untuk diadukan ke pihak yang berwajib dengan
imbalan tertentu yang menggiurkan. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat
shock therapy agar takut untuk merokok di kawasan umum. Namun hal ini belum
tentu disukai banyak orang. Banyak oknum politisi yang suka merokok sembarangan
di tempat umum sehingga pelaksanaan pemungutan denda tersebut bisa dihambat
total.125
C. Pengaruh Eksternal
Pengaruh eksternal yang berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau ataupun
Industri Rokok, antara lain : 1) Liberalisasi perdagangan dunia; 2) Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC); dan 3) Trend akuisisi perusahaan rokok
nasional oleh investor asing.
1. Liberalisasi Perdagangan Dunia
Proses globalisasi ekonomi wujud nyatanya adalah liberalisasi pasar yang
terbuka dan bebas. Liberalisasi ini adalah sebuah upaya besar (grand design) yang
sulit dihindari, karena kuatnya pengaruh negara-negara pro-globalisasi dan
liberalisasi yang secara ekonomi dan politik amat kuat dan berpengaruh. Saat ini,
hampir seluruh negara-negara di dunia sedemikian tingginya tingkat saling
125 Ibid., hal. 176-177.
ketergantungan. Dampak dari arus globalisasi ekonomi ini lebih terasa lagi setelah
dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah
diupayakan dan didukung secara bersama-sama oleh seluruh negara di dunia dalam
berbagai macam kesepakatan dan perjanjian antar negara, baik dalam tingkat bilateral,
regional dan multilateral seperti kesepakatan negara-negara NAFTA (North American
Free Trade Area), EU (European Union), AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation), GATT (General Agreement on Trade and
Tariffs), dan WTO (World Trade Organization). Menolak tren globalisasi dan
perdagangan dunia tampaknya jauh lebih menyulitkan ketimbang mengikutinya.
Namun, bukan berarti desain besar ini diterima dengan tangan terbuka di seluruh
dunia. Ada beberapa kalangan masyarakat di beberapa negara seperti Perancis,
Meksiko, secara keras menolak liberalisasi ekonomi dan perdagangan, karena
mengacaukan usaha pertanian domestik.126
Ide dasar liberalisasi adalah untuk mengahapuskan semua hambatan dalam
perdagangan dan ekonomi, sehingga semua pelaku bisnis dari berbagai negara bisa
melakukan perdagangan di dunia ini tanpa ada diskriminasi. Pemerintah setiap negara
hanya bertugas sebagai pembuat kebijakan untuk memperlancar perdagangan bebas,
tetapi liberalisasi ekonomi menimbulkan dampak, yaitu kian ketatnya persaingan dan
efisiensi di bidang ekonomi dan perdagangan.127
126 M. Irsan Nasaruddin, dan Indra Surya, dan kawan-kawan, Aspek Hukum Pasal Modal
Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 177.
127 Ibid., hal. 178.
Persoalan besar dari liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan ekonomi
adalah tidak adanya tingkat kesetaraan dari segi ekonomi dan politik di antara negara-
negara di dunia. Negara-negara kaya dan maju masih jauh lebih sedikit daripada
negara-negara berkembang atau miskin. Negara maju yang berjumlah sedikit tersebut
mempunyai kekuatan dan dominasi perdagangan dan ekonomi yang lebih kuat yang
pada akhirnya lebih kuat secara politik. Sementara negara-negara berkembang dan
miskin berada dalam pengaruh negara-negara kaya dan tidak mempunyai kekuatan
tawar menawar yang setara serta sekuat negara-negara maju, sehingga negara-negara
berkembang lebih banyak dipaksa untuk mengikuti tren ini.128
Bagi Indonesia, perdagangan dunia atau pasar bebas merupakan tantangan
berat sekaligus peluang untuk mengefisienkan dan mengefektifkan perekonomiannya.
Momentum liberalisasi harus dijadikan titik masuk menuju perekonomian Indonesia
yang lebih baik daripada menentang gelombang besar sejarah dan mengkhawatirkan
kemampuan diri untuk bertahan dan berjaya. Pada tahun 2003 Indonesia sudah masuk
dan menerapkan era perdagangan bebas untuk lingkungan ASEAN (AFTA), tahun
2010 yang tinggal beberapa hari lagi Indonesia sudah harus menerapkan dan
memasuki pasar negara industri maju anggota APEC, dan pada tahun 2020 siap
membuka pasar dalam negeri bagi seluruh negara-negara APEC. Tampaknya
persiapan Indonesia memasuki pasar negara industri menghadapi kendala yang cukup
berat akibat hantaman krisis multidimensi dan faktor situasi politik dan keamanan
yang belum dapat dikendalikan sepenuhnya.129
128 Ibid., hal. 178-179. 129 Ibid., hal. 179.
Walaupun situasi dan kondisi yang berat di segala bidang, dengan penuh rasa
optimis dan bekerja sekuat tenaga, Indonesia harus tetap melaju dan bersaing di pasar
bebas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat ini, seolah-olah
batas suatu negara sudah tidak ada, Teknologi Informasi (TI) telah mengglobal.
Seluruh aspek kehidupan manusia mengalami perubahan dan perkembangan serba
cepat di pelbagai bidang kehidupan, tak terkecuali sektor Industri Hasil Tembakau
khususnya di Sumatera Utara.130
Proses liberalisasi kompetitif mendorong banyak negara terlepas dari apapun
filosofi yang dianut, untuk kemudian berkompetisi secara agresif. Liberalisasi
perdagangan dan investasi mempengaruhi perubahan hukum di banyak negara.
Negara-negara melakukan sejumlah deregulasi dan debirokratisasi untuk menarik
aliran modal global guna mengintegrasikan ekonominya pada sistem ekonomi global.
Tujuannya untuk mengambil manfaat dari aliran bebas barang, jasa dan modal global
guna mendukung percepatan pembangunan ekonominya. Pada sisi lain, Multinational
Corporation (MNCs) memandang perubahan ini sebagai peluang untuk memperkuat
pengaruh mereka pada perekonomian global karena terbukanya akses pasar yang
cukup luas.131
Industri Hasil Tembakau atau industri rokok domestik Indonesia khususnya
Sumatera Utara (Usaha Mikro Kecil Menengah, swasta besar dan Badan Usaha Milik
Negara) dalam sistim yang sangat kompetitif ini mau tidak mau harus berhadapan
dengan perusahaan-perusahaan asing, hal inilah yang menjadi kekhawatiran dan
130 Ibid. 131 Ibid., hal. 180.
hambatan bagi perusahan-perusahan Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara,
apakah mampu bersaing dan bertahan hidup di era liberalisasi ini. Namun, persaingan
ini justru harus dihadapi dengan sejumlah persoalan yang sangat krusial, seperti iklim
usaha yang tidak kondusif, persaingan yang tidak sehat, infrastruktur yang kurang
mendukung, ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian hukum dan regulasi yang kurang
terencana dan tidak konsisten yang justru banyak menimbulkan beban bagi Industri
Hasil Tembakau di Sumatera Utara.132
Kecenderungan yang akan terjadi adalah perusahaan rokok besar memperluas
pasar-pasar baru terutama di negara yang belum berkembang karena di negara
tersebut belum kuat gerakan anti merokok baik oleh pemerintah maupun organisasai
non pemerintah. Perusahaan rokok besar mempunyai kecenderungan untuk membeli
perusahaan rokok kecil yang tidak dapat bersaing dengan perusahaan besar yang
mempunyai fasilitas modern. Kondisi ini menjadikan pasar global rokok hanya
dikuasai oleh beberapa industri besar seperti Phillip Morris, Japan Tobacco
International, Reemmstma.133
Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok
putih, muncul dugaan adanya keterilbatan perusahaan multinasional dalam regulasi
Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau
nasional dengan menggunakan instrument regulasi cukai dan Framework Convention
on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak
dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil
132 Ibid. 133 Ibid., hal. 180-181.
Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai
rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat
bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli
rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan
ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.
Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan
menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil
Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelematan menjual
perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar,
seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dll. Dengan
cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil Tembakau
multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestic lebih kurang 80%
dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT. British American
Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai bukan tidak mungkin
selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.134
Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah
ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding
Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan kepanjangan tangan
perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran
adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.
Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita
baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan
134 M. Irsan Nasaruddin, dan Indra Surya, dan kawan-kawan, Op.cit.
kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan penetapan
Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri
Keuangan 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama 2 tahun, sementara
ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek. Kebijakan yang
demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan menengah. Masalahnya
ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal, seperti Wismilak dan
Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai lebih tinggi akibat
harga produk mereka yang melewati batas harga eceran maksimum untuk pabrik
sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang harus hidup diantara para
raksasa rokok.135
Sepertinya, tekanan pada industri hasil tembakau akan bertambah berat,
mengingat desakan agar pemerintah Republik Indonesia segera membuat Undang-
undang tentang dampak tembakau sebagai realisasi akan diratifikasi Framework
Convention Tobacco Control (FCTC) kian hari kian kencang. Oleh karena itu,
sebelum terlambat, sebaiknya para pengambil kebijakan mencari jalan keluar agar
para pelaku industri hasil tembakau tidak terpuruk (terutama yang kelas Usaha Mikro
Kecil Menengah). Begitu pun halnya petani tembakau sebaiknya dibantu agar tidak
menjadi pengangguran dengan terbitnya kebijakan tarif.136
Pada tanggal 19 Agustus 2009. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian
Mutu Barang Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan
mengadakan pertemuan pengurus Lembaga Tembakau (LT), di ruang rapat
135 “Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum
Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 182-183. 136 Ibid., hal. 183.
auditorium III gedung utama Departemen Perdagangan. Pertemuan Pengurus
Lembaga Tembakau dibuka oleh Direktur Pengawasan dan Pengendalian Mutu
Barang selaku Ketua Lembaga Tembakau, dan dihadiri oleh anggota pengurus
Lembaga Tembakau yang merupakan pejabat eselon 2 di beberapa instansi terkait,
Lembaga Tembakau Surabaya, Jember, Surakarta dan Medan, serta asosiasi pabrikan
rokok (GAPPRI dan GAPRINDO), asosiasi petani tembakau dan wakil dari pabrikan
rokok. Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Tembakau sesuai Surat Keputusan
Menteri Perindustrian Perdagangan No.433/MPP/Kep/7/2004 tanggal 8 Juli 2004
tentang Pembebasan dan Pengangkatan Keanggotaan Pengurus Lembaga Tembakau
Pusat.137
Dalam Pertemuan Lembaga Tembakau dibahas isu utama pertembakauan dan
pengusahaan hasil tembakau nasional antara lain antisipasi terhadap FCTC
(Framework Convention on Tobacco Control), issue pelarangan impor rokok di
Amerika (US Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act, pelarangan
impor rokok yang mengandung cita rasa di Canada serta Rancangan Undang-Undang
tentang pengendalian produk tembakau serta Roadmap pengusahaan tembakau dan
hasil tembakau nasional.138
Penyusunan Draft Undang-undang Pertembakauan yang sudah disepakati
dapat ditindak lanjuti mengingat dasar-dasar penyusunannya sudah mengadop dari
137 Ibid., hal. 183-184. 138 Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang, Departemen Perdagangan
Republik Indonesia, Agustus 2009, sebagaimana dikutp Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi
kesehatan dan sudah dilengkapi dengan hasil kajian akademis.139
Rancangan Undang-Undang Pertembakauan diharapkan dapat mengakomodir
isu-isu yang terus berkembang seperti isu tentang dampak kebijakan tarif industri
hasil tembakau terhadap persaingan usaha di bidang industri hasil tembakau, isu
tentang iklim usaha di bidang industri hasil tembakau dengan diberlakukannya
kebijakan tariff, isu tentang terciptanya pengangguran, tentang single tariff yang
berdampak terpuruknya industri hasil tembakau, dan yang menjadi kekhawatiran
semua pihak khususnya pengusaha industri hasil tembakau adalah Rancangan
Undang-Undang tentang dampak tembakau dan kebijakan single tariff tersebut
dibentuk karena adanya indikator global perusahaan asing mengambil alih industri
hasil tembakau di Republik Indonesia.140
Keputusan terakhir untuk mengatasi dilema ini tentu berada di tangan
pemerintah Republik Indonesia. Sekarang pemerintah hanya tinggal memilih pihak
mana yang akan dibela kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita,
anak-anak dan kaum miskin, terutama yang bukan perokok namun terancam
kesehatan dan masa depannya, atau industri yang pada dasarnya tidak dirugikan
secara signifikan eksistensinya, atau perusahaan asing yang siap memangsa industri
hasil tembakau Indonesia.141
139 Ibid., hal. 184. 140 Ibid. 141 Ibid.
2. Framework Convention on Tobacco Control
Ketika sebuah lembaga bernama Forum Parlemen Indonesia (Indonesian
Parliament Forum) menelurkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan
Dampak Tembakau (sebut saja Rancangan Undang-Undang Tembakau) bagi
Kesehatan, banyak pihak kebakaran jenggot, terutama kalangan industri rokok. Bak
gaya sepak bola, industri rokok menggunakan jurus total football untuk menganulir
Rancangan Undang-Undang ini, termasuk "membeli" ilmuwan dari universitas
termasyhur di negeri ini. Rancangan Undang-Undang ini telah mengantongi
dukungan 224 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (40,7%) dan kini sedang
didesakkan untuk menembus Program Legislasi Nasional (Prolegnas) melalui pintu
masuk Badan Legislasi DPR.142
Layak dipertanyakan, atas pertimbangan yang digunakan sehingga Rancangan
Undang-Undang ini urgent untuk segera dibahas dan disahkan. Tidak terlalu sulit
membeberkan pembenarannya. Pertama, kepentingan kesehatan dan sosial. Ekses
eksternalitas tembakau dengan segala turunannya sudah final. Sebatang rokok
mengandung 4.000 racun kimia berbahaya, 10 di antaranya bersifat karsinogenik.
Ekses negatif itu tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga ekses sosial,
ekonomi, moral, dan budaya. Disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, 2006) membuktikan perilaku merokok
berkontribusi signifikan terhadap tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti
penggunaan narkotik, tindak kekerasan, bahkan HIV/AIDS. Sergapan asap rokok
terhadap pelajar kini pun amat merisaukan, setidaknya menurut Global Youth
142 Ibid., hal. 185-186.
Tobacco Survey 2006 versi World Trade Organization, yaitu 37,3% pelajar laki-laki
dan perempuan di Indonesia mengaku pernah merokok serta 24,5% pelajar laki-laki
bahkan telah menjadi perokok aktif.143
Sementara itu, menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan
Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit
yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability
adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun
pada 2005 sebesar US$. 900, total biaya yang hilang US$. 4.870.713.600.144
Kedua, ketika dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan akibat rokok begitu
menggawat, ironisnya hingga detik ini kita belum mempunyai produk hukum yang
secara komprehensif mengatur industri rokok. Bagaimanapun industri rokok adalah
industri yang memproduksi dan memasarkan "barang bermasalah". Saat ini masalah
bahaya rokok hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Penanggulangan Bahaya Rokok bagi Kesehatan, yang merupakan turunan dari Pasal
44 Undang-Undang tentang Kesehatan. Namun, faktanya, Peraturan Pemerintah ini
nyaris tidak bisa "mematuk" siapa pun yang melanggarnya, termasuk pelanggaran
jam tayang iklan rokok oleh media massa. Secara historis-politis, proses pembahasan
Peraturan Pemerintah ini justru didikte oleh industri rokok.145
Ketiga, konstelasi politik internasional. Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Dampak Tembakau menjadi urgen mengingat saat ini pemerintah
Indonesia telah menjadi obyek cemoohan komunitas internasional, terutama oleh
143 Ibid., hal. 186. 144 Ibid., hal. 186-187. 145 Ibid., hal. 187.
negara anggota World Trade Organization dan komunitas lembaga swadaya
masyarakat. Bahkan pemerintah Indonesia diberi award bernama ashtray award, alias
negara keranjang sampah nikotin. Itu semua terjadi karena pemerintah Indonesia
tidak menandatangani/meratifikasi konvensi yang bernama Framework Convention
on Tobacco Control (FCTC). Penolakan pemerintah Indonesia terhadap Framework
Convention on Tobacco Control merupakan pengingkaran terhadap komitmen
internasional, karena delegasi Indonesia justru terlibat aktif dalam pembahasan draf
Framework Convention on Tobacco Control (sebagai drafting committee members).
Delegasi Indonesia juga menerima secara bulat substansi Framework Convention on
Tobacco Control dalam Sidang Kesehatan Dunia (World Health Assembly) di Jenewa,
Swiss, Mei 2003. Kini Framework Convention on Tobacco Control telah menjadi
hukum internasional dan 137 negara telah meratifikasinya. Lalu mengapa industri
rokok dan kroni-kroni dekatnya begitu serius "menaklukkan" Badan Legislasi DPR
agar tidak memasukkan Rancangan Undang-Undang ini ke dalam Program Legislatif
Nasional (Prolegnas). Menurut industri rokok, jika DPR berhasil menggunakan hak
inisiatifnya untuk menggolkan Rancangan Undang-Undang, mereka akan kolaps
seketika. Ribuan petani kehilangan lahan, ratusan ribu tenaga kerja kena pemutusan
hubungan kerja, dan pemerintah pun akan kehilangan triliunan rupiah dari cukai
rokok.146
Saat ini negara penghasil tembakau terbesar di dunia, seperti Cina (38%),
Brasil (10,3%), dan India (9,1%), kendati telah meratifikasi Framework Convention
on Tobacco Control, industri rokoknya masih sehat walafiat. Jika ketiga negara itu,
146 Ibid., hal. 187-188.
yang notabene lebih besar penghasilan tembakaunya ketimbang Indonesia, berani
meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control, mengapa Indonesia yang
hanya berkontribusi 2,3% dari tembakau dunia tidak berani.147
Minimal ada dua poin yang menjadi puncak ketakutan industri rokok terhadap
Framework Convention on Tobacco Control dan Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Dampak Tembakau ini, yaitu soal kebijakan cukai tinggi (tax
increasing) dan larangan menyeluruh terhadap promosi rokok (total ban promotion).
Menurut mereka, ketentuan ini akan menggusur industri rokok. Padahal, di dunia
mana pun, cukai rokok pasti tinggi. Contoh terdekat Thailand, cukai rokoknya
mencapai 75% dari harga rokok. Indonesia masih sangat rendah, maksimal hanya
30%. Itu pun hanya beberapa merek rokok. Harga rokoknya pun masih amat murah.
Akibatnya, rokok dapat diakses oleh anak-anak dan orang miskin, yang notabene
belum/tidak layak mengkonsumsi rokok. Cukai rokok tinggi justru akan mengatrol
pendapatan pemerintah dan akan memotong akses masyarakat miskin dan anak-anak
untuk membeli rokok. Biarkan yang merokok itu orang dewasa, dan berkantong tebal
pula.148
Total ban terhadap promosi rokok juga tidak akan berpengaruh signifikan
terhadap penjualan rokok. Rokok adalah produk in-inelastis, sebagaimana narkotik.
Narkotik yang jelas-jelas terlarang dan tidak pernah dipromosikan, toh laku keras bak
kacang goreng. Barang in-inelastis adalah barang yang menimbulkan efek
ketergantungan akut, ke mana pun akan diburu kendati harganya selangit. Sungguh
147 Ibid., hal. 188. 148 Ibid., hal. 188-189.
keterlaluan jika rokok yang merupakan produk bermasalah (in-inelastis) ini masih
juga dipromosikan.149
Secara minimalis, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Dampak Tembakau bagi Kesehatan akan menutup malu pemerintah
Indonesia di dunia internasional, yang bergeming dengan Framework Convention on
Tobacco Control. Industri rokok juga tidak perlu mendramatisasi situasi, apalagi
mempolitisasinya. Sebab, sekuat apa pun pengawasan dan pembatasan produk rokok,
maksimal hanya akan mampu mengurangi pasokan rokok 1%. Bandingkan dengan
rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia yang sebesar 1,32% per tahun (artinya
tidak akan kehilangan pangsa pasar).150
Framework Convention on Tobacco Control menjadi isu kritis terhadap
kesehatan masyarakat dan pertanggungjawaban perusahaan karena hampir 5 juta
orang mati setiap tahun yang disebabkan oleh berbagai penyakit terkait dengan
tembakau, jauh lebih besar dibandingkan dengan korban malaria yang hanya
memakan korban 3 juta orang pertahunnya di dunia. Wabah penyakit yang terkait
dengan tembakau tersebut disebarluaaskan oleh korporasi tembakau transnational
seperti Philip Morris/Altria, PT. British American Tobacco dan JTI. Jika tidak ada
penanganan yang serius maka tembakau akan menjadi penyebab kematian tertinggi di
dunia pada 2030, dengan 70% kematian itu terjadi di Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Perusahaan tembakau internasional adalah salah satu contoh dari
149 Ibid., hal. 189. 150 Ibid.
korporasi raksasa yang paling bertanggungjawab atas melambungnya biaya kesehatan
dan ancaman kematian masyarakat dunia.151
Framework Convention on Tobacco Control menetapkan sesuatu yang dapat
dijadikan teladan penting untuk peraturan korporasi internasional dan lokal yang
mengambil keuntungan atas meningkatnya biaya-biaya kesehatan kita, lingkungan
kita dan hak asasi manusia; seperti pada industri-industri riskan lainnya di bidang
pertanian, minyak, farmasi, air dan senjata.152
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik
yang baru saja menandatangai Framework Convention on Tobacco Control, sejak
awal (selama kurun waktu 2000-2003) Indonesia termasuk negara yang membidani
dan menjadi kontributor yang aktif bagi lahirnya dokumen tersebut. Dalam
pertemuan-pertemuan Intergovermental Negotiating Body (INB) delegasi Indonesia
selalu hadir dengan timnya yang kuat dalam 6 kali pertemuan INB tersebut.153
Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah pada waktu itu adalah alasan
klasik seperti : tingginya tingkat konsumsi rokok kita; Indonesia termasuk dari lima
Negara produsen tembakau terbesar di dunia; cukai dari rokok mencapai 50 trilyun
rupiah; dan Indonesia memiliki 2000 perusahaan industri rokok dengan jumlah
pekerjanya mencapai ratusan ribu orang. Sehingga perdebatannya justru
didikotomikan antara para petani tembakau dan kesehatan masyarakat. Padahal secara
faktual, para petani dan buruh pabrik rokok juga adalah korban dari penghisapan
keuntungan industri rokok kita dan internasional. Social cost yang diderita anak-anak,
151 Ibid., hal. 190. 152 Ibid. 153 Ibid., hal. 190.191.
remaja, pemuda, kaum perempuan dan warga miskin sangat besar. Belum lagi
maraknya kasus narkoba saat ini justru pintu masuknya dari kebiasaan merokok yang
akut karena cirri dan modus operandinya adalah sama yaitu adiksi (kecanduan).154
Sebagai bangsa saat kini kita seolah-olah bangga; padahal kita sedang
dilecehkan oleh raksasa industri rokok. Untuk itulah Indonesian Tobacco Control
Network (ITCN) mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menandatangai
Framework Convention on Tobacco Control tersebut demi menyelamatkan generasi
mendatang dari wabah penyakit yang disebarluaskan oleh industri rokok.155
Indonesian Tobacco Control Network adalah jaringan masyarakat sipil
Indonesia baik Non-Governmental Organization, maupun individu yang peduli
terhadap kerja-kerja advokasi demi melindungi generasi sekarang dan mendatang dari
kerusakan kesehatan, kerusakan sosial, kerusakan lingkungan dan konsekuensi
ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau. Untuk saat
ini Indonesian Tobacco Control Network beranggotakan: Forum Warga Kota Jakarta
(FAKTA), Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) Jakarta, Kaukus Lingkungan
Hidup Jakarta, Perguruan Karate Gojuryu Karatedo Shinbukan Indonesia Jakarta,
Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), Yayasan Kanker Indonesia,
Yayasan jantung Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen ndonesia (YLKI),
Perkumpulan Keluarga Berencana Jawa Barat, Komisi Nasional Perlindungan Anak
(KOMNAS PA), Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia (IAKMI), Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
154 Ibid., hal. 191. 155 Ibid., hal. 191.
Universitas Indonesia, Gerakan Pramuka Institut Pertanian Bogor, Universitas
Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Esa Unggul, dan seterusnya. Indonesian
Tobacco Control Network bersifat egaliter dan dikoordinasi oleh anggota secara
bergiliran sesuai dengan kebutuhan lembaga dan jaringan. Tembakau membunuh
lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, diproyeksikan akan
membunuh 10 juta orang sampai tahun 2020, dengan 70% kematian terjadi di Negara
berkembang. Tembakau juga memakan biaya yang sangat besar dalam pelayanan
kesehatan, kehilangan produktifitas, dan tentunya biaya yang tidak terlihat dari
kesakitan dan penderitaan yang timbul terhadap perokok aktif, pasif dan keluarga
mereka.156
Dalam rangka mengatasi epidemi tembakau ini, Sidang Majelis Kesehatan
Dunia (WHO) ke 56 pada bulan Mei 2003, 192 negara anggota World Trade
Organization dengan suara bulat mengadopsi Kerangka Kerja Konvensi
Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control - FCTC).
Sebagaimana tertulis dalam pembukaan, tujuan Framework Convention on Tobacco
Control adalah untuk “melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan
kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau
serta paparan terhadap asap tembakau.” Sampai 31 Mei 2005, 168 negara telah
menandatangani Framework Convention on Tobacco Control dan 66 negara
meratifikasi. Konvensi ini menjadi hukum internasional pada tanggal 27 Februari
2005.157
156 Ibid., hal. 191-192. 157 Ibid., hal. 192-193.
Ketentuan Pokok Framework Convention on Tobacco Control
Pasal 2.1 Framework Convention on Tobacco Control mendorong seluruh
negara peserta Konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dari
standar minimal yang ditentukan dalam Konvensi. Ketentuan-ketentuan signifikan
yang diatur dalam Konvensi termasuk158 :
Iklan, Promosi dan Pemberian Sponsor (Pasal 13)
Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan negara anggota
untuk melaksanakan larangan total terhadap segala jenis iklan, pemberian sponsor,
dan promosi produk-produk tembakau baik secara langsung maupun tidak, dalam
kurun waktu 5 tahun setelah meratifikasi Konvensi. Larangan ini juga termasuk iklan
lintas batas yang berasal dari salah satu negara peserta. Bagi negara-negara yang
memiliki hambatan konsitusional, larangan total iklan, pemberian sponsor dan
promosi ini dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara
tersebut.159
Asap Rokok Bekas/Secondhand Smoke (Pasal 8)
Paparan asap rokok telah terbukti secara ilmiah menyebabkan kematian,
penyakit dan cacat. Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan
seluruh negara peserta untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam melindungi
bukan perokok dari asap rokok di tempat-tempat publik, termasuk di tempat-tempat
158 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kerangka Kerja Konvensi Tentang Pengendalian
Tembakau, Jenewa, 21 Mei 2003, diterjemahkan oleh Sularno Popomaruto, dalam Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 193.
159 Ibid.
kerja, kendaraan umum, serta ruangan-ruangan di tempat publik lainnya. Telah
terbukti bahwa langkah yang efektif dalam melindungi bukan perokok adalah dengan
larangan total merokok.160
Pengemasan dan Pelabelan (Pasal 11)
Pasal 11 Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan agar
sedikitnya 30% dari permukaan kemasan produk digunakan untuk label peringatan
kesehatan dalam kurun waktu 3 tahun setelah meratifikasi Framework Convention on
Tobacco Control. Pasal ini juga mengharuskan pesan tersebut diganti-ganti, dan dapat
menggunakan gambar.161
Peringatan yang mengandung kata-kata yang menyesatkan seperti
“light”, ”mild,” dan “rendah tar” dilarang. Penelitan membuktikan rokok yang
berlabel light, mild dan rendah tar sama bahayanya seperti rokok pada umumnya.
Negara-negara peserta sepakat untuk melarang segala kata-kata yang menyesatkan
dalam kurun waktu 3 tahun setelah menjadi anggota Framework Convention on
Tobacco Control.162
Penyelundupan (Pasal 15)
Framework Convention on Tobacco Control mensyaratkan dilakukan suatu
tindakan dalam rangka mengatasi penyelundupan tembakau. Tindakan tersebut
termasuk menuliskan asal pengiriman serta tempat tujuan pengiriman di semua
160 Ibid., hal. 193-194. 161 Ibid., hal. 194. 162 Ibid., hal. 194.
kemasan tembakau. Selain itu, negara-negara peserta dihimbau untuk melakukan
kerjasama penegakan hukum dalam penyelundupan tembakau lintas negara.163
Pajak dan Penjualan Bebas Bea (Pasal 6)
Framework Convention on Tobacco Control menghimbau negara-negara
peserta untuk menaikkan pajak tembakau dan mempertimbangkan tujuan kesehatan
masyarakat dalam menetapkan kebijakan cukai dan harga produk tembakau.
Penjualan tembakau bebas bea juga sebaiknya dilarang. Kenaikan harga tembakau
terbukti langkah yang efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau, terutama di
kalangan anak-anak dan remaja.164
Pengungkapan dan Pengaturan Kandungan Produk (Pasal 9 dan 10)
Produk tembakau perlu diatur. Negara-negara peserta sepakat untuk
membentuk suatu acuan yang dapat digunakan seluruh negara-negara dalam
mengatur kandungan produk tembakau. Negara-negara peserta juga harus
mewajibkan pengusaha tembakau untuk mengungkapkan kandungan produk tembaku
kepada pemerintah.165
Pertanggungjawaban (Pasal 4.5 dan 19)
Tindakan hukum perlu dilakukan sebagai strategi pengendalian dampak
tembakau. Framework Convention on Tobacco Control melihat bahwa
pertanggungjawaban merupakan program yang penting dalam pengendalian dampak
tembakau. Negara-negara peserta sepakat untuk melakukan pendekatan legislatif dan
163 Ibid. 164 Ibid., hal. 194-195. 165 Ibid., hal. 195.
hukum dalam mencapai tujuan pengendalian dampak tembakau dan bekerjasama
dalam pengadilan yang terkait dengan masalah tembakau.166
Treaty Oversight (Pasal 23)
Konferensi dari negara-negara peserta akan mengawasi Framework
Convention on Tobacco Control. Framework Convention on Tobacco Control
membentuk Konferensi negara-negara peserta/Conference of the Parties (COP) yang
akan diselenggarakan pada tahun 2006. Conference of the Parties diberdayakan untuk
mengawasi implementasi Framework Convention on Tobacco Control serta
mengadopsi protokol, tambahan (annex) dan perubahan Framework Convention on
Tobacco Control. Selain itu juga untuk membentuk badan subsider untuk menjalani
tugas-tugas tertentu.167
Pendanaan (Pasal 26)
Negara-negara peserta telah berkomitmen untuk memberikan dana untuk
pengendalian dampak tembakau secara global. Negara-negara peserta sepakat untuk
mengerahkan bantuan keuangan dari sumber dana yang ada untuk pengendalian
dampak tembakau di negara-negara berkembang dan di negara-negara yang
mengalami transisi ekonomi, termasuk juga organisasi interpemerintah baik regional
maupun internasional.168
Komitmen Penting Lainnya
166 Ibid. 167 Ibid. 168 Ibid., hal. 196.
Adapun komitmen penting lainnya, adalah bahwa169 :
a. Setiap negara peserta membentuk suatu mekanisme koordinasi keuangan
nasional atau focal point untuk pengendalian dampak tembakau (Pasal 5).
b. Negara-negara peserta berusaha untuk menyertakan usaha berhenti merokok
dalam program kesehatan nasional mereka (Pasal 14).
c. Negara-negara peserta melarang atau mempromosikan larangan pembagian
produk tembakau secara gratis (Pasal 16).
d. Negara-negara peserta mempromosikan partisipasi LSM-LSM dalam program
pengendalian dampak tembakau nasional (Pasal 12).
e. Negara-negara peserta melarang penjualan produk tembakau kepada mereka
yag dibawah umur menurut hukum nasional mereka, atau 18 tahun (Pasal 16).
f. Negara-negara yang meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control
tidak dapat melakukan reservasi (mengecualikan) salah satu pasal dari
Framework Convention on Tobacco Control (Pasal 30).
Reaksi Industri Tembakau
Framework Convention on Tobacco Control jelas ditentang oleh industri
tembakau. Mereka menyatakan bahwa Framework Convention on Tobacco Control
adalah obsesi negara maju yang dipaksakan terhadap negara berkembang. Mereka
menyangkal bahwa Framework Convention on Tobacco Control adalah hasil
negosiasi dari banyak negara, tidak hanya negara-negara berkembang. Mereka
menyatakan bahwa Framework Convention on Tobacco Control hanya akan
merampas hak pemerintah dalam menentukan kebijakan pengendalian dampak
169 Ibid.
tembakau nasional. Selain itu, mereka secara terus menerus menakut-nakuti
pemerintah bahwa Framework Convention on Tobacco Control akan merusak tatanan
ekonomi, tanpa mengindahkan penemuan Bank Dunia yang menyatakan bahwa
pengendalian dampak tembakau baik untuk kesehatan masyarakat dan ekonomi.170
Industri tembakau berpegang pada alasan bahwa tidak ada hasil bumi atau
pilihan pengganti lainnya. Sangatlah logis untuk berpikir bahwa konsumen yang
berhenti merokok akan mengalokasikan pengeluaran tembakau mereka ke barang dan
pelayanan ekonomi yang lain. Oleh karena itu, penurunan pekerjaan dalam industri
tembakau akan seimbang dengan meningkatnya pekerjaan di industri lain.
Bagaimanapun juga, dalam masa pertengahan, untuk Negara yang sangat bergantung
pada ekspor tembakau (contoh : ekonomi berasal dari ekspor bersih tembakau),
penggolongan dalam bidang ekonomi/pertanian sepertinya akan menyebabkan
kerugian pekerjaan.171
Framework Convention on Tobacco Control mempunyai pandangan jangka
panjang dari penggolongan bidang pertanian. Pendekatan panduan kerangka kerja
disediakan sebagai pendekatan yang evolusioner untuk mengembangkan sebuah
sistem internasional legal pengendalian tembakau, sehingga seluruh isu tidak perlu
dikemukakan pada saat yang bersamaan. Lebih jauh lagi, kebutuhan dana multilateral
untuk membantu negara-negara tersebut akan sangat mendukung perubahan
kebutuhan biaya yang tinggi telah terbukti.172
170 Ibid., hal. 197. 171 Ibid. 172 Ibid., hal. 197-198.
Framework Convention on Tobacco Control mungkin akan menjadi alat
pertama pencarian dukungan dunia untuk para petani tembakau. Dan catatan penting
jika prevalensi penggunaan tembakau masih sama, saat ini sebanyak 1,1 milyar
perokok di dunia, pada tahun 2025 diprediksikan meningkat menjadi 1,64 milyar,
sesuai dengan peningkatan penduduk di Negara berkembang. Oleh karena itu, Negara
penanam tembakau sangatlah tidak mungkin (lewat beberapa dekade) menderita
secara ekonomi dari aksi pengendalian tembakau seperti Framework Convention on
Tobacco Control. Sekalipun usaha pengendalian tembakau secara keseluruhan sangat
sukses, di tahun 2030, dunia mungkin akan memiliki pengguna tembakau sebanyak 1
sampai 1,2 milyar.173
Potensi Framework Convention on Tobacco Control
Framework Convention on Tobacco Control telah berkontribusi banyak dalam
mengubah persepsi publik mengenai tembakau dan dan perlunya memiliki Undang-
Undang dan peraturan yang kuat untuk mngontrol penggunaan tembakau. Framework
Convention on Tobacco Control sampai saat ini telah174 :
a. Memberikan dorongan baru untuk membuat legislasi nasional serta tindakan
untuk mengontrol dampak tembakau.
b. Memberikan bantuan secara teknis dan finansial untuk pengendalian dampak
tembakau baik nasional maupun global.
173 Ibid., hal. 198. 174 Ibid., hal. 198-199.
c. Memobilisasi LSM dan masyarakat sipil untuk menguatkan upaya
pengendalian dampak tembakau.
d. Meningkatkan kesadaran publik mengenai taktik pemasaran yang digunakan
perusahan tembakau multinasional.
3. Trend Akuisisi Perusahaan Rokok Nasional oleh Investor Asing
Akuisisi atau pengambilalihan industri hasil tembakau oleh investor asing saat
sekarang cukup diminati . Seperti diketahui, bulan Juni 2009 lalu British American
Tobacco, Plc (BAT) mengakuisisi 85% saham PT. Bentoel Internasional Investama
Tbk., senilai lebih dari Rp. 5 triliun. Perusahaan yang berkantor pusat di London itu
membeli 56% saham Rajawali Group dan pemegang saham lainnya di Bentoel.
Perusahaan rokok asal Amerika Serikat, Philip Morris International Inc., sebelumnya
mengakuisisi 98% saham PT. HM Sampoerna, Tbk. melalui PT. Philip Morris
Indonesia pada 2005.175
Indonesia menjadi target industri rokok asing karena lemahnya regulasi
pengendalian tembakau. Indonesia, misalnya, sampai sekarang belum meratifikasi
Frame Convention Tobacco Control (FCTC). Cina dan India sudah meratifikasi
aturan itu. Indonesia, yang pasarnya jauh lebih besar ketimbang kedua negara tersebut,
sampai sekarang belum melakukannya. Indonesia menjadi negara kelima terbesar
konsumen pasar rokok dunia. Lantaran Indonesia belum meratifikasi aturan
175 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 199.
pengendalian tembakau itu, asing berpeluang menyerbu. "Secara ekonomi pasar
Indonesia memang menggiurkan".176
Sebelumnya Philip Morris dan PT. British American Tobacco mengincar Cina.
Namun, Cina keburu meratifikasi aturan pengendalian tembakau internasional
sehingga mereka berpaling ke Indonesia. Investor asing memilih Indonesia karena
regulasi perlindungan kesehatan dari rokok sangat lemah dan konsumsi rokok di
Indonesia cukup besar, sebagaimana disebutkan dalam kutipan wawancara di bawah
ini177 :
”Hal ini menunjukkan menariknya Pasar Rokok Indonesia bagi Pihak Asing sehingga mengundang mereka untuk mengakuisisi pabrikan-pabrikan besar Rokok di Indonesia. Jumlah konsumsi rokok Indonesia pada tahun 2007 mencapai 215 miliar batang merupakan negara ke-5 terbesar setelah Cina (1,643 miliar batang), Amerika Serikat (460 miliar), Rusia (330 miliar) dan Jepang (260 miliar batang). Perkiraan pangsa pasar Rokok Indonesia yang telah dikuasai pabrikan yang terafiliasi dengan Pihak Asing adalah sebagai berikut : Pasar Sigaret Putih Mesin Sebagaimana kami kemukakan di atas, diperkirakan ± 80% pangsa pasar Sigaret Putih Mesin Indonesia dikuasai PT. PMI dan PT. British American Tobacco. Padahal pada tahun 1984, Sumatera Tobacco Trading Company pernah meraih kejayaannya menguasai ± 48% pangsa pasar Sigaret Putih Mesin Indonesia. Pasar Sigaret Kretek Mesin Dengan diakuisisinya PT. Sampoerna oleh PT. PMI dan PT. Bentoel oleh PT. British American Tobacco maka kepemilikan asing diperkirakan telah mencapai ± 70% pangsa pasar Sigaret Kretek Mesin Indonesia”.178
176 Ibid. 177 Ibid., hal. 200. 178 Wawancara dengan pengelola PT. Sumatera Tobacco Trading Company, Medan, 2
Desember 2009, sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 199-200.
BAB IV
KETENTUAN PEMBAGIAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DITINJAU DARI
ASPEK KEADILAN BAGI SUMATERA UTARA SEBAGAI DAERAH
PENGHASIL TEMBAKAU DAN LOKASI INDUSTRI HASIL TEMBAKAU
DALAM KERANGKA KEBIJAKAN TARIF
A. Cukai Tembakau dan Retribusi Daerah
Berbicara mengenai cukai tembakau tidak terlepas dari pendapatan negara
yang juga pendapatan daerah melalui ketentuan pembagian cukai hasil tembakau atau
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) di Sumatera Utara dapat yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 8 Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 – 2009
Peraturan Menteri
Keuangan No. 60/PMK.07/2008
Peraturan Menteri Keuangan No.
85/PMK.07/2009
Peraturan Menteri Keuangan No.
66/PMK.07/2010
Rp. 428.097.200,-
Rp. 1.193.498.600,-
Rp. 10.387.046.342,-
Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi
Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008, Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, dan Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010
Total tersebut di atas adalah pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) setiap tahun dari 2008 – 2010 yang disalurkan ke
provinsi Sumatera Utara oleh Kementerian Keuangan yang membawahi Departemen
Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dengan
menggunakan Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut disalurkan dengan cara transfer
melalui rekening kas daerah Sumatera Utara. Dengan menggunakan username
rekening kas daerah dan password 4 digit angka terakhir nomor rekening kas daerah
Sumatera Utara.
Pada tahun 2009 dan 2010 masih didapat dana alokasi sementara, maksudnya
adalah bahwa dana tersebut akan naik lagi apabila kepala daerah menyampaikan
laporan konsolidasi (penggunaan dana) kepada pemerintah pusat oleh Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan. Apabila disampaikan dengan baik maka Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut akan ditambahkan lagi ke
rekening daerah Sumatera Utara.
Segitu banyaknya dana yang ditransfer ke rekening daerah tapi pemerintah
provinsi sendiri tidak tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa, padahal sudah
dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.179
179 Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan, 25
Agustus 2010 di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Kendati demikian, pemerintah provinsi Sumatera Utara menginginkan untuk
menerapkan Pajak Daerah atau Retribusi Daerah (jika Rencana Pengesahan
Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disahkan), yang
antara lain akan memperbolehkan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara untuk
memberlakukan pajak rokok, berpotensi menghasilkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) hingga mencapai Rp. 100 miliar. Pemerintah provinsi Sumatera Utara
meminta agar asosiasi pengusaha pada Industri Hasil Tembakau tidak memperlambat
penerapan pajak rokok tersebut.180
Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara telah menghitung potensi
penerimaan dari penerapan pajak rokok, yang bisa mencapai Rp. 100 miliar per
tahunnya. Hasil wawancara mengenai pajak rokok di daerah adalah sebagai berikut :
“Kami memang pernah menghitung volume penjualan rokok di seluruh Sumut. Dengan menghitung nilai pajak sebesar 15% dari harga jual, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bisa mendapatkan Rp. 100 miliar per tahun. Meski nilai tersebut didistribusikan ke kabupaten/kota dengan proporsi 20% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota. Saat ini Dinas Pendapatan juga tengah memikirkan formulasi pemberlakuan pajak rokok, Apakah menumpang dengan pemberlakuan cukai tembakau atau dengan cara lain”.181
Pajak rokok yang wewenang pungutnya ada pada pemerintah provinsi jika
Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di sahkan. Dalam hal
ini tetap saja industri rokok lokal yang akan menerima imbasnya. Ada dua kali
pengenaan pungutan disini yaitu cukai tembakau dengan ketentuan peraturan menteri
keuangan mengenai tarif cukai tembakau dan pajak daerah atau retribusi daerah.
180 Ibid. 181 Ibid.
Untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
tersebut Dinas Pendapatan Daerah sama sekali tidak memiliki otoritas/kewenangan
dalam hal penggunaannya. Semua itu terdapat pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sumatera Utara.182
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) masuk ke rek
Setdaprovsu untuk selanjutnya diserahkan kepada dinas yang bertanggung jawab
untuk mendayagunakannya/mengalokasikannya. Apabila dana tersebut
disalahgunakan maka peraturan yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan No.
84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) pada Pasal 14 yang menyebutkan bahwa :
(1) Atas penyalahgunaan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau dapat diberikan sanksi berupa penangguhan sampai dengan penghentian penyaluran dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia.
(2) Termasuk dalam kategori menyalahgunakan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau adalah provinsi/kabupaten/kota yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa sanksi berupa penangguhan apabila
menyalahgunakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), yang
ditangguhkan disini adalah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)-nya
yang tidak ditransfer ke daerah. Tidak ditransfernya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) tersebut karena menunggu laporan konsolidasi dari kepala
daerah. Jika yang dituduhkan kepada kepala daerah tidak terbukti maka penangguhan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan dicabut dan Dana Bagi
182 Ibid.
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) akan disalurkan kembali, hal ini disebut
dalam Pasal 16 ayat (1). Dana yang ditangguhkan akan disalurkan kembali mengikuti
transfer triwulan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.183
Pada Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008
menyebutkan bahwa akan dihentikan penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) apabila kesalahan dari kepala daerah yang tidak menyalurkan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) sebagaimana semestinya
dilakukan 2 (dua) kali.184 Tidak adanya sanksi yang dapat menimbulkan efek jera
bagi kepala daerah pada peraturan ini, dapat mengakibatkan penyalahgunaan
wewenang kepala daerah.
Setiap peraturan pastinya ada struktur yang mengawasi atau yang disebut
badan pengawas ketentuan tersebut.185 Dalam hal penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT) ini, yang menjadi pengawas adalah Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai beserta Kepolisian. Keduanya bekerja bersama-sama dalam
mengawasi penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
tersebut.
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Provinsi
Sumatera Utara digunakan untuk keperluan kantor setempat yaitu dimana uang
tersebut disalurkan. Setiap dana yang keluar dari Setdaprovsu diserahkan 10% kepada
183 Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
184 Ibid. 185 Seperti yang dikatakan Lawrence M. Friedman, jika hukum ingin berjalan dengan baik
maka harus memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu : 1. substance (substansi hukum); 2. structure (struktur hukum); dan 3. culture (budaya hukum). Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Sistem Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008).
pejabat terkait dengan cara membuat proyek fiktif, alasannya jelas adalah untuk biaya
administrasi. Setelah dana masuk ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera
Utara, sisanya hanya digunakan untuk proyek-proyek pembangunan dan tidak jelas
kemana tujuan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dialokasikan.
Hal ini tidak seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.
84/PMK.07/2008.186
B. Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Single Tariff
Mengenai tarif cukai yang mengarah kepada single spesifik tarif atau
kebijakan single tariff, akan membuka peluang bagi industri rokok untuk melakukan
monopoli. Jika perusahaan rokok di Indonesia diakuisisi oleh perusahaan asing,
termasuk perusahaan di Sumatera Utara. Maka akan terjadi monopoli rokok,
perusahaan-perusahaan lokal akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional dengan begitu suatu negara yang tidak punya daun tembakau satu
lembar pun akan dapat mengendalikan peredaran rokok di Indonesia karena
konsumen terbesar adalah Indonesia.
Tembakaunya ditanam di Indonesia, dibuat oleh orang Indonesia, pabrik-
pabrik produksi di Indonesia, dan dipasarkan di Indonesia tapi hasil penjualan produk
rokok tersebut lari ke luar negeri. Hasil yang didapat Indonesia adalah hanya penyakit
saja yang diderita akibat merokok.
186 Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara, Op.cit.
Hal ini disebut dengan monopoli karena yang mengendalikan harga adalah
perusahaan rokok multinasional tadi. Bisa saja satu bungkus rokok dijual dengan
harga mencapai Rp. 50.000,- yang biasanya dapat dibeli dengan harga Rp. 10.000,-.
Bagi konsumen Golongan I dan Golongan II, hal ini tidak jadi masalah karena
loyalitas mereka terhadap suatu produk tinggi.
Monopoli yang dilakukan adalah dengan cara kartel yaitu perjanjian antara
perusahaan-perusahaan rokok yang ada dengan menentukan harga rokok di atas harga
pasaran. Disebut monopoli karena hanya beberapa perusahaan yang menguasainya.
Namun, kartel dapat tidak terjadi apabila ada salah satu perusahaan yang ingkar janji
dengan cara menurunkan Harga Jual Ecerannya (HJE) demi mendapatkan konsumen
yang lebih banyak dari pesaingnya.187
Namun dalam teori ekonomi industri, kartel dalam industri beragam
bentuknya, tetapi umumnya terjadi dalam 2 (dua) cara yaitu : dengan penetapan
harga; dan penetapan output. Mengacu pada teori tersebut, dapat dipastikan bahwa
industri rokok tidak akan membentuk kartel melalui penetapan harga karena harga
jugal produk rokok diatur oleh pemerintah melalui Harga Jual Eceran dan penetapan
cukai yang sejatinya sebagai alat untuk mengontrol konsumsi barang berbahaya.
Industri rokok juga tidak akan membentuk kartel melalui penetapan output, karena
187 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia : Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004), hal. 57-71.
pada prinsipnya setiap perusahaan berkeinginan untuk memaksimalkan
keuntungan.188
Bentuk kartel yang paling memungkinkan adalah dalam bentuk lobi yang
sampai saat ini dipraktekkan. Lobi yang telah dilakukan salah satunya adalah
ancaman bahwa perusahaan rokok akan beralih ke mekanisasi apabila pemerintah
Republik Indonesia memberlakukan cukai spesifik, dan tentunya lagi-lagi akan
tercipta pengangguran tambahan akibat pengalihan tersebut. Meskipun menurut
penelitian yang dilakukan sebenarnya tidak terdapat pengaruh antara kenaikan cukai
dan penetapan kebijakan terhadap pertumbuhan tenaga kerja, namun lobi semacam
ini ternyata terbukti efektif mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah,
karena telah berhasil melemahkan, membuat ambigu dan/atau tidak implementatifnya
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di masa lalu, dan berlaku sampai saat
ini. Seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 46 butir 3,
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59 dan
89 ayat (2). Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 44, Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok, setelah diubah sebanyak
2 (dua) kali dan justru menjadi lebih lemah dibandingkan peraturan sebelumnya. Lobi
semacam itu juga telah berhasil menggagalkan Rancangan Undang-Undang
188 Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup
Keuntungan dari Kematian (Taktik Industri Rokok di Indonesia)”, IFPPD, Rabu 26 Mei 2010.
Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan untuk dimasukkan ke
dalam Prolegnas pada masa pemerintahan berjalan.189
Keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah untuk mengatasi dilema
tersebut. Sekarang pemerintah hanya memilih pihak mana yang akan dibela
kepentingannya, masyarakat umum yang terdiri dari wanita, anak-anak dan kaum
miskin, terutama bukan perokok namun terancam kesehatan dan masa depannya, atau
industri yang pada dasarnya tidak dirugikan secara signifikan eksistensinya.190
C. Aspek Keadilan Terhadap Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Untuk memecahkan permasalahan yang timbul mengenai ketentuan
pembagian cukai hasil tembakau di Indonesia dan khususnya di Sumatera Utara
sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil Tembakau maka akan
digunakan teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham (1748-1873) yang disebut Utility
Theory (the greatest happines for the greatest number of people).191
Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan
utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi,
baik buruknya atau adilnya tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.192
189 Ibid. 190 Ibid. 191 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan : Filsafat Hukum”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2009). 192 Teori utilitarianisme mengemukakan bahwa kebenaran dan kesalahan dari setiap tindakan
seluruhnya tergantung pada hasil yang diperoleh dari suatu perbuatan. Dengan kata lain, baik niat di balik tindakan ataupun kebenaran dan kesalahan yang fundamental dari tindakan yang dilakukan, hanya sebagai konsekuensi. Pendekatan ini sangat pragmatis terhadap pembuatan keputusan etis.
Kebahagiaan yang disebut dalam teori ini seharusnya dapat dirasakan oleh
setiap individu. Tetapi hal tersebut tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin),
diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam
masyarakat (bangsa) tersebut. Tujuan hukum pada teori utilitarianisme adalah
menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat sebesar-
besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Berarti hukum merupakan
pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.193 Setelah
mendapatkan mana yang menjadi manfaat terbesarnya maka itulah yang dinamakan
keadilan.
Dengan begitu dapat diterapkan dalam menentukan kegunaan dari cukai hasil
tembakau yang digunakan apakah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Sebagaimana
telah diuraikan pada sub bab terdahulu bahwa kebijakan pengendalian rokok melalui
instrumen kebijakan cukai dengan menaikkan cukai yang tinggi, sebagaimana
diterapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK 011/2009 tidak
memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi industri skala kecil. Semakin tinggi Harga
Jual Eceran produk hasil tembakau, maka semakin rendah rasio kenaikan tarif cukai
yang wajib dibayar kepada negara. Produk-produk Industri Hasil Tembakau skala
kecil umumnya adalah produk pada kisaran Harga Jual Eceran rendah, sehingga rasio
pengenaan tarif dari Harga Jual Eceran lebih besar dari produk-produk merek terkenal
yang sudah mapan dan umumnya diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar dan Semacam estimasi rasional dari hasil dibuat dan tindakan untuk memaksimalkan manfaat terbesar bagi mayoritas orang. Tentu saja, dalam pemikiran sebagian orang, pendekatan ini sering berujung pada “tujuan membenarkan cara”. Jeremy Bentham dalam Bryan Magee, The Story of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Edisi Indonesia, diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, (Yogjakarta : Kanisius, 2008), hal. 182-185.
193 Loc.cit.
multinasional. Kenaikan tarif yang lebih tinggi tersebut membuat Industri Hasil
Tembakau skala kecil semakin termarginalkan dari pasar Industri Hasil Tembakau.
Sementara itu, konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil sangat rentan dengan
kenaikan harga. Apabila harga jual ke konsumen dinaikkan, maka dengan daya beli
yang terbatas, maka konsumen Industri Hasil Tembakau skala kecil akan
mengalihkan konsumsinya kepada produk yang lebih murah, meskipun produk
tersebut diketahui ilegal. Keadaan ini diperburuk oleh banyak peredaran rokok ilegal
yang harganya lebih murah dari produk Industri Hasil Tembakau skala kecil. Berbada
dengan konsumen merek-merek terkenal dan produk Industri Hasil Tembakau
multinasional yang secara umumnya adalah konsumen inelastis yang tidak
dipengaruhi oleh kenaikan tarif dan harga jual, karena daya beli yang tinggi.194
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Industri Hasil Tembakau skala
kecil memandang kebijakan tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK
011/2009 tidak memenuhi rasa keadilan karena hanya mengakomodir kepentingan
Industri Hasil Tembakau skala besar dan Industri Hasil Tembakau multinasional,
sebagaimana disebutkan dibawah ini :
“Perusahaan kami bergerak di produk segmen menengah bawah dan sangat rentan terhadap setiap perubahan kebijakan yang dterapkan oleh Pemerintah. Perubahan Kebijakan Pemerintah atas Barang Kena Cukai dirasakan semakin memberatkan kami sebagai pengusaha lokal. Sebagai perusahaan lokal dengan jumlah produksi yang relatif kecil, kami merasa terlalu dijauhkan dari rasa keadilan. Aspirasi yang disampaikan tidak relevan dengan kebijakan/penetapan tarif yang berlaku. Pada akhirnya, Pengusaha lokal bermodal kecil hanya akan menjadi penonton di negeri sendirinya”. “Apresiasi Pemerintah Pusat kepada Pengusaha lokal atas peran mereka dalam membantu menekan angka pengangguran dan meningkatkan taraf kehidupan
194 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 256-257.
masyarakat di sekitarnya sangat kecil kalau tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Nuansa keberpihakan kepada Pengusaha bermodal besar dan PMA sangat kentara”. “Penetapan Single Tariff hanya akan mematikan para pengusaha lokal bermodal kecil dan memperbesar peluang dari Perusahaan besar dan PMA dalam menguasai pasar di Indonesia. Dengan pemberlakuan single tarif, merek-merek lokal dengan skala produksi terbatas akan semakin sulit bersaing dan bertahan”.195
Muncul anggapan bahwa kebijakan pemerintah berpihak pada kelompok
masyarakat tertentu dan menyampingkan kelompok masyarakat lainnya. Dalam
konteks penerapan tarif cukai, pemerintah cenderung lebih berpihak pada pengusaha
Sigaret Kretek Mesin dibandingkan pelaku usaha Sigaret Putih Mesin lokal karena
penerapan tarif cukai yang tidak memperhitungkan daya beli dan kemampuan
Industri Hasil Tembakau, sebagaimana dikemukakan pengelola PT. Sumatera
Tobacco Trading Company berikut :
“Ketidakadilan dan ketidakseimbangan bagi Konsumen Rokok segmen menengah bawah karena dengan penerapan sistem spesifik murni dan rencana Pemerintah menuju unifikasi (single rate), tidak menutup kemungkinan beban cukai konsumen akan disamakan tanpa memperdulikan kemampuan daya beli konsumen”. “Untuk mencegah peralihan konsumen PT. Sumatera Tobacco Trading Company yang berada pada segmen menengah bawah ke SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan Rokok Ilegal, PT. Sumatera Tobacco Trading Company telah berusaha mengsubsidi beban konsumen tersebut sehingga harga jual rokok hanya berkisar 90% harga bagi agen. Tetapi ditengah tingginya beban-beban industri dan kenaikan beban cukai yang terus menerus, untuk jangka panjang PT. Sumatera Tobacco Trading Company tidak akan mampu mengsubsidi konsumen lagi”. “Pemerintah telah memberikan keringanan-keringanan bagi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan beban cukai yang jauh lebih rendah dari jenis rokok lainnya. Namun, Pemerintah belum memperhatikan perusahaan-perusahaan
195 Wawancara dengan pengelola PT. Stabat Industri, Medan, 5 Desember 2009, sebagaimana
dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 257.
rokok Sigaret Putih Mesin modal Nasional dan seolah-olah para pelaku industri di jenis Sigaret Putih Mesin seluruhnya Perusahaan Multinasional. Sehingga Perusahaan Sigaret Putih Mesin Modal Nasional dengan keterbatasan Modal dipaksa berhadapan langsung dengan Perusahaan Raksasa Multinasional tanpa perlindungan wajar Pemerintah”. “Ada perbedaaan perlakuan kemasan Rokok Putih dengan Rokok Kretek. Untuk Rokok Putih diwajibkan 20 batang perbungkus, sedang untuk Rokok Kretek diperbolehkan 10 batang, 12, 16 dan 20 batang perbungkus”. “Sehingga ditengah daya beli sebagian besar konsumen melemah dan elastis maka kebijaksanaan kemasan tersebut lebih berpihak dan menguntungkan Rokok Kretek”.196
Aturan-aturan dan kebijakan terkait bidang ekonomi harus berdimensi
keadilan. Aturan dan kebijakan dibuat sedemikian rupa, agar tidak menutup mata
terhadap fakta adanya ketidakmerataan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.
Aturan dan kebijakan harus memberikan jaminan adanya kesempatan dan perlakuan
yang sama bagi pihak-pihak yang memiliki kelemahan/kekurangan secara ekonomi
dan sosial. Dalam banyak hal, terkadang aturan menjadi diskriminatif positip untuk
melindungi mereka yang lemah.197
Telah dijelaskan pada bagian-bagian terdahulu, bahwa Industri Hasil
Tembakau, khususnya berskala kecil saat ini menghadapi permasalahan yang sangat
kompleks dan rumit dalam upaya mempertahankan keberadaan usaha, yang meliputi
iklim usaha dan iklim persaingan yang tidak kondusif, modal, bahan baku,
pemasaran, tekanan rokok ilegal, kemampuan beli konsumen, peraturan-peraturan
larangan merokok di tempat-tempat tertentu, pengaruh Framework Convention on
Tobacco Control, infrastruktur, dan sebagainya. Justru pada saat yang bersamaan
196 Ibid. 197 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 269.
peraturan membebankan tarif cukai yang menurut mereka tidak adil dan tidak
proporsional.198
Kebijakan cukai yang tinggi dan tidak proporsional menimbulkan kesulitan
bagi Industri Hasil Tembakau skala kecil, karena pengaruh kemampuan beli
konsumen, elastisitas konsumen dan peredaran rokok ilegal yang secara umum lebih
murah dari yang mereka hasilkan. Aturan dan kebijakan semestinya merespon fakta
yang demikian, sehingga output kebijakan tidak menimbulkan rasa ketidakadilan bagi
sekelompok pelaku usaha (Industri Hasil Tembakau skala kecil). Dengan pola rasio
kenaikan cukai yang lebih besar bagi Harga Jual Eceran yang semakin rendah, maka
produk Industri Hasil Tembakau skala kecil akan menanggung rasio kenaikan cukai
yang lebih besar, mengingat secara umum Harga Jual Eceran produk mereka lebih
murah. Demikian pula perbedaan kenaikan antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret
Putih Mesin juga menimbulkan rasa ketidakadilan bagi Sigaret Putih Mesin karena
kenaikan cukai pada jenis Industri Hasil Tembakau ini lebih tinggi dibandingkan
dengan Sigaret Kretek Mesin. Hal yang demikian menyebabkan aturan atau kebijakan
menimbulkan suasana yang tidak stabil, dan penolakan.199
Dari sisi penerimaan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menginginkan Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut dibagikan secara lebih banyak kepada
daerah penghasil. Pembagian tersebut agar dapat digunakan seperti yang diamanatkan
oleh peraturan menteri keuangan tentang pengalokasian dana bagi hasil cukai hasil
198 Ibid. 199 Ibid., hal. 269-270.
tembakau. Ketentuan pembagian yang 2% oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai tidak
berdasar. Pembagian tersebut dinilai tidak adil karena pemerintah pusat mendapatkan
porsi yang lebih besar.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka format kebijakan cukai
semestinya tidak menyimpang dari prinsip proporsionalitas dan rasa keadilan dengan
mempertimbangkan fakta-fakta konkrit berupa kemampuan daya beli konsumen dan
kemampuan Industri Hasil Tembakau (khususnya skala kecil) terhadap beban yang
ditetapkan.200
200 Ibid., hal. 270.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian dan wawancara dengan pihak terkait mengenai
Analisis Hukum Kebijakan Tarif Cukai Terhadap Industri Hasil Tembakau di
Sumatera Utara, didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia mengarah pada dua hal
pokok, yaitu : tarif cukai hasil tembakau yang cenderung terus meningkat
(naik); dan kebijakan tarif tunggal (single tariff policy) yang menyamaratakan
tingkat tarif antara seluruh golongan industri hasil tembakau. Kebijakan yang
demikian mendorong peningkatan pendapatan negara dari cukai hasil
tembakau dan menjadikan sistem tarif menjadi lebih sederhana, akan tetapi
kurang mempertimbangkan daya dukung industri hasil tembakau yang masuk
ke dalam golongan industri menengah dan industri kecil. Hal ini dikarenakan
tingkat tarif cukai yang terus meningkat menyebabkan beban biaya bagi
industri hasil tembakau. Beban ini lebih dirasakan oleh industri hasil
tembakau yang masuk dalam golongan industri menengah dan kecil
dibandingkan dengan industri hasil tembakau berskala besar. Umumnya beban
tarif cukai hasil tembakau oleh industri hasil tembakau akan dialihkan
menjadi beban konsumen melalui harga jual eceran rokok. Industri hasil
tembakau golongan besar pada umumnya memproduksi rokok bermerek
dengan karakter konsumen yang tidak dipengaruhi oleh harga jual rokok
sehingga beban tarif cukai yang tinggi dapat dialihkan kepada konsumen
dengan menaikkan harga jual. Kondisi berbeda dengan industri hasil
tembakau berskala menengah dan kecil yang umumnya memiliki konsumen
yang sangat dipengaruhi oleh harga jual rokok. Beban tarif cukai yang tinggi
apabila dialihkan kepada konsumen, maka akan terjadi penurunan penjualan
akibat konsumen industri hasil tembakau berskala menengah dan kecil
tersebut mengalihkan konsumsinya pada rokok yang harganya sesuai dengan
kemampuan keuangannya. Pada konteks ini indistri hasil tembakau berskala
menengah dan kecil tersebut berpotensi kehilangan konsumen.
Dengan demikian, kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang lebih
dipengaruhi oleh upaya meningkatkan pendapatan negara dan penyederhanaan
sistem ke arah single tariff tersebut menyebabkan dampak yang diskriminatif
dan menimbulkan beban biaya (transaction cost) bagi industri hasil tembakau
skala menengah dan skala kecil.
2. Kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang cenderung terus menerus
meningkat (naik) dan mengarah pada kebijakan tarif tunggal (single tariff
policy) berpengaruh terhadap industri hasil tembakau di Sumatera Utara.
Pengaruh tersebut terutama dikarenakan industri hasil tembakau yang ada di
Sumatera Utara selama ini telah menghadapi masalah-masalah yang
menghambat perkembangan usaha mereka, antara lain : peredaran cukai rokok
palsu; peredaran rokok palsu; dan kebijakan yang kurang mendukung.
Masalah ini belum seluruhnya terselesaikan, justru industri-industri tersebut
harus dihadapkan pada beban kenaikan cukai hasil tembakau yang tinggi dan
sangat berpengaruh terhadap kemampuan produksi dan penjualan dari
industri-industri tersebut. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari : menurunnya
jumlah perusahaan Industri Hasil Tembakau yang ada di Sumatera Utara; dan
tidak jelasnya pengalokasian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) yang sudah ditransfer oleh pemerintah pusat.
3. Ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek keadilan bagi
Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi Industri Hasil
Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif kurang berpihak kepada daerah
penghasil tembakau. Kurang keberpihakan tersebut ditinjau dari Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dapat dilihat dari persentasi yang
diterima oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan persentase yang
diterima oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menerima 2% dari
keseluruhan penerimaan negara melalui cukai, persentasi itu juga masih
dibagi-bagi lagi dengan daerah lain yang bukan penghasil tembakau. Dari
provinsi Sumatera Utara dengan alokasi penerimaan 2%, pemerintah daerah
menerima dampak negatif dari industri hasil tembakau seperti : limbah yang
dihasilkan industri hasil tembakau; penggunaan tanah/lahan pertanian yang
mengurangi kesuburan tanah; dan dampak negatif dari rokok itu sendiri; serta
jika terjadi gejolak dalam industri rokok misalnya : demonstrasi buruh maka
pemerintah daerahlah yang menghadapinya. Apalagi dengan
disalahgunakannya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang
tidak teralokasikan dengan baik dan benar. Untuk penyaluran Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut sebaiknya diawasi dan
dikendalikan agar dapat menjamin penggunaan dana serta pelaksanaan
program kegiatan yang efektif dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.
B. Saran
Berdasarkan analisis dan kesimpulan, selanjutnya akan disarankan hal-hal
sebagai berikut :
1. Dalam hal kebijakan single tariff yang diterapkan pemerintah sebaiknya perlu
ditinjau kembali penerapan kebijakan single tariff dan kebijakan yang hanya
berdasarkan pada pendapatan negara. Dengan mengimbangi antara tujuan
meningkatkan pendapatan negara dengan kepentingan masyarakat, pemerintah
daerah, dan industri hasil tembakau itu sendiri.
2. Untuk mengurangi dampak kenaikan tarif yang tinggi bagi industri hasil
tembakau di Sumatera Utara disarankan agar pemerintah daerah melakukan
upaya-upaya yang bertujuan memperbaiki iklim usaha, antara lain : dengan
mengurangi transaction cost yang ditimbulkan oleh peraturan daerah dan
memperbaiki infrastruktur investasi di Sumatera Utara.
3. Mengenai kebijakan single tariff bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera
Utara yang kurang berpihak kepada Industri Hasil Tembakau atau Industri
Rokok sebaiknya melakukan peninjauan ulang terhadap alokasi Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang diterima oleh daerah yang
mempertimbangkan dampak yang diterima oleh daerah. Oleh karena itu,
diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan besaran Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang lebih adil bagi daerah Sumatera
Utara.
Demikianlah saran yang diajukan agar kiranya dapat menjadi pertimbangan di
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.
Arinanto, Satya., “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Aulia, Emil W., Berjuta-juta Dari Deli : Satoe Hikajat Koeli Contract, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009.
Crofton, John., dan David Simpson, Tembakau : Ancaman Global, diterjemahkan oleh Angela N. Abidin, et.al., Jakarta : Elex Media Komputindo, 2009.
Devi, T. Keizerina., Peonale Sanctie : Studi tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004.
Diah, Marwah M., Restrukturisasi BUMN di Indonesia : Privatisasi atau Korporatisasi, Jakarta : Literata, 2003.
Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007.
Magee, Bryan., The Story of Philosophy : Kisah Tentang Filsafat, Edisi Indonesia, diterjemahkan Marcus Widodo dan Hardono Hadi, Yogjakarta : Kanisius, 2008.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.
Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Vol. 3, 1992.
Rachmat, Muchjidin., dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia, Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Rajagukguk, Erman., ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003.
Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020, Departemen Perindustrian Republik Indonesia : Dirjend Bea dan Cukai, 2009.
Sirait, Ningrum Natasya., et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009.
Sirait, Ningrum Natasya., Hukum Persaingan di Indonesia : Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004.
Siregar, Mahmul., “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
-------- ., “Modul Perkuliahan : Filsafat Hukum”, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
-------- ., “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Sistem Hukum”, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1979.
Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2010.
Tjahyono, Herry., The XO Way : 3 Giants 6 Liliputs, Jakarta : Grasindo, 2007.
WHO Indonesia, “Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)”, Switzerland : World Health Organization Document Production Services, 2003.
ARTIKEL DAN MAJALAH
Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009, http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-negara-rp1-5-triliun., diakses pada 30 Agustus 2010.
Aprianto, Anton., “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo, 31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com /hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Cukai Rokok Diputuskan Naik 7%”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten-view.asp?id=20080511101818., diakses pada 30 Agustus 2010.
Balittas, “Status Komoditi Tembakau”, Departemen Pertanian, http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=category&id=56&Itemid=60., diakses pada 30 Agustus 2010.
“Daftar Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa”, http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_anggota Perserikatan_Bangsa-Bangsa., diakses pada 31 Mei 2010.
Darmawan, Yusran., ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 13 Agustus 2010.
Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).
Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.
Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin & Tar Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”, http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=62., diakses pada 30 Agustus 2010.
Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id/perpustakaan/.../Munandir%20 (kode% 20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.
Gatra, “Tembakau Deli Manikam nan Nyaris Pudar”, Tanggal 22 Agustus 2007.
“Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id /index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26 Mei 2010.
Gibbons, Zeynita., ”Bursa Tembakau Bremen, Apa Perlu Dipertahankan”, http://www.antara.co.id/berita/1246836766/bursa-tembakau-bremen-apa-perlu-dipertahankan., diakses pada 13 November 2009.
“Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”, http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.
Hasibuan, Hisar., “Pajak Rokok Sebagai Sumber PAD Sumatera Utara, Harian Medan Bisnis : Selasa, 16 Desember 2008, http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=4211., diakses pada 31 Agustus 2010.
Indonesian Forum of Parlieamentarians on Population and Development, “Meraup Keuntungan dari Kematian (Taktik Industri Rokok di Indonesia)”, IFPPD, Rabu 26 Mei 2010.
Junaidy. Ronny K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.
“Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com /industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010.
”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”, www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.
”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”, http://www. antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.
“Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Jakarta : Suara Pembaruan, tanggal 17 Maret 2010.
“Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net /nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni 2010.
“Penanganan Rokok Ilegal Belum Optimal”, http://www.beacukai.go.id/news/readNews.php?ID=878&Ch=01., diakses pada 01 September 2010.
Rahmadi, Anton., ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com content& task= view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.
Rissabela, “Industri Rokok : Fakta Industri Rokok di Indonesia”, http://rissabela.wordpress.com/industri-rokok/., diakses pada 31 Agustus 2010.
Riyanto, S., “Rokok dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan Masyarakat”, http://padang-today.com/index.php?today=article&j=6&id=704., diakses pada 31 Agustus 2010.
Sigit, Darmawan., “Sejarah Bea Cukai”, http://sipetualang.com/?p=8., diakses pada 07 September 2010.
Simanjuntak, Eva., “Industri Rokok Sumut Terancam”, Harian Global, http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20448:industri-rokok-sumut-terancam&catid=27:bisnis&Itemid=59., diakses pada 31 Agustus 2010.
“Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/Ekonomic TobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 10 April 2010.
Susanto, Heri., “Dari Kudus Jadi Bos Superblok Grand Indonesia”, http://bisnis.vivanews.com/news/read/136634-dari_kudus_jadi_bos_ superblok_grand_indonesia., diakses pada 10 April 2010.
“Tanah Apanage di Jawa”, http://fms.ormawa.uns.ac.id/2008/10/20/tanah-apanage-di-jawa/., diakses pada 11 November 2009.
“Tolak Kenaikan Cukai, Ribuan Pekerja Rokok Terancam Jadi Pengangguran”, http://beritasore.com/2009/12/08/tolak-kenaikan-cukai-ribuan-pekerja-rokok-terancam-jadi-pengangguran/., diakses pada 31 Agustus 2010.
Wijaya, Agoeng., “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04 November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis /2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
Wikipedia, ”Kretek”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek., diakses pada 13 November 2009.
Wikipedia, “Sejarah”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kretek#Sejarah., diakses pada 13 November 2009.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 dan Lampiran tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009.
Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 437.
Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 343.
Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2010, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 142.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1951 tentang Perubahan Tabaks-Accijns-Verordening (Staatsblad 1932 No. 560), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3629.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Baranag Kena Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3630.
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3651.
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4917.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen.
Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 21.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3274.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3478.
Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4866.
Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4755.