Upload
vuhuong
View
241
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS NILAI EKONOMI KONSERVASI
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PELUANG ADOPSI KONSERVASI USAHATANI KENTANG
DATARAN TINGGI DI KECAMATAN PASIRWANGI
KABUPATEN GARUT
DINDA ASYIFA DEVI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Nilai Ekonomi Konservasi
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani
Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Penulis
RINGKASAN
DINDA ASYIFA DEVI. Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran
Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Dibimbing oleh SUTARA
HENDRAKUSUMAATMAJA.
Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam
pembangunan karena merupakan penyedia kebutuhan pangan bagi rakyat
Indonesia yang terus bertambah, penyedia bahan baku industri, penyumbang
devisa, penyerap tenaga kerja atau penciptaan kesempatan kerja dan sebagai
jaminan pendapatan bagi sebagian besar penduduk, serta penunjang utama
kelestarian lingkungan hidup. Besarnya manfaat sektor pertanian membuat
kegiatan pertanian dilakukan di lahan sawah serta lahan kering. Tanaman
semusim yang dominan ditanam di lahan kering adalah jagung, kentang, kubis,
tomat, wortel, tembakau dan berbagai jenis bunga. Beberapa jenis tanaman seperti
kentang, tomat, buncis, wortel, dan lainnya hanya dapat tumbuh dan
menghasilkan dengan baik pada ketinggian tempat tertentu, sehinga terdapat
sentra-sentra produksi untuk tanaman-tanaman tersebut (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).
Berdasarkan luas tanam per tahun, Kabupaten Bandung dan Garut
merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Pada tahun 2010 Kabupaten Garut
memiliki produktivitas yang lebih tinggi yaitu 21,74 ton/ha dibandingkan dengan
Kabupaten Bandung yang hanya memiliki produktivitas sebesar 20,48 ton/ha.
Berdasarkan data luas panen, produksi dan produktivitas, di Garut mengalami
perkembangan yang negatif, bahkan pada tahun 2009 dan 2010 persentase
penurunan produksi lebih besar dibandingkan dengan persentase penurunan luas
lahan. Penyebab penurunan produktivitas kentang ini diduga oleh terjadinya erosi.
Erosi menyebabkan banyak unsur hara dan bahan organik tanah hilang melalui
sedimen yang terangkut aliran permukaan, pencemaran tanah, air, dan lingkungan.
Oleh karena itu, untuk melestarikan sumberdaya lahan di daerah-daerah sentra
produksi ini perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan
tindakan konservasi tanah (Katharina, 2007).
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi
konservasi, dan (2) menghitung nilai ekonomi dari usahatani kentang yang
melakukan konservasi. Penelitian dilakukan di Desa Padaawas dan Desa Barusari
Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut. Lokasi ini dipilih secara tertuju
(purposive) karena merupakan salah satu sentra penghasil kentang terbesar di
Kabupaten Garut dengan kemiringan lahan yang beragam. Metode pengambilan
contoh yang digunakan adalah simple random sampling. Jenis data yang
digunakan adalah data cross section. Pengambilan data primer dilakukan selama
bulan Juni 2011 – Juli 2011. Data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung kepada petani kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner.
Metode analisis yang digunakan yaitu model logit untuk melihat faktor yang
mempengaruhi adopsi konservasi dan analisis nilai ekonomi konservasi usahatani
kentang. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0.
iv
Pada penelitian ini petani yang melakukan konservasi adalah petani yang
melakukan sistem penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah
yang memanjang menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur).
Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng
maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada alur-alur diantara
tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan cepat ke bawah
(Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang menyebabkan lahan
kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012). Berdasarkan hasil
wawancara, petani yang melakukan pola konservasi sebanyak 36 petani (72
persen), dan yang tidak melakukan pola konservasi sebanyak 14 petani (28
persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan pola konservasi, diperoleh
informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan sistem penanaman guludan
searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur yang dibuat mempermudah
pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga kerja.
Dilihat dari kriteria ekonomi, hasil analisis regresi logit menunjukkan
umur, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan status kepemilikan lahan yang
merupakan variabel dummy, mempunyai tanda positif terhadap keputusan petani
dalam mengadopsi konservasi. Artinya, jika umur petani, pendapatan, dan tingkat
kecuraman lereng meningkat, maka peluang petani untuk mengadopsi konservasi
meningkat. Dummy status kepemilikan lahan menunjukkan bahwa petani pemilik
memiliki peluang untuk melakukan adopsi konservasi lebih tinggi dibandingkan
petani penyewa. Pendidikan, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan
pengalaman memiliki tanda negatif. Artinya, peningkatan pendidikan, luas lahan,
jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman, akan menurunkan peluang petani
melakukan adopsi konservasi. Variabel yang sesuai dengan hipotesis yaitu status
kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan jumlah tanggungan
keluarga. Selanjutnya berdasarkan kriteria statistik, variabel yang berpengaruh
secara signifikan pada taraf nyata α = 20 persen yaitu status kepemilikan lahan,
luas lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani.
Usahatani dengan konservasi memberikan pendapatan atas biaya tunai dan
atas biaya total yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani tanpa konservasi.
Dilihat dari aspek lingkungan pendapatan total dapat menunjukkan nilai ekonomi
konservasi. Nilai ini didapat dengan menghitung selisih pendapatan atas biaya
total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai ekonomi konservasi usahatani
kentang sebesar Rp 10.163.428,60.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumuskan saran (1) Perlu dilakukan
penyuluhan yang membahas mengenai konservasi secara lebih mendalam tidak
hanya fokus pada budidaya tanaman. Hal ini perlu dilakukan agar petani lebih
paham mengenai manfaat yang dapat diterima dan biaya yang harus ditanggung
secara lebih jelas sehingga tingkat adopsi konservasi dapat meningkat, (2)
Penyuluhan lebih baik diarahkan pada petani yang menggarap lahan di kecuraman
lahan tinggi karena memiliki peluang adopsi konservasi yang lebih tinggi, dan (3)
Pemerintah perlu memperkecil laju konversi tanah agar mengurangi perambahan
lahan kehutanan sehingga satus penguasalahan menjadi jelas dan adopsi
konservasi dapat dilakukan dengan lebih baik.
Kata kunci: erosi, konservasi, usahatani kentang dataran tinggi
v
ANALISIS NILAI EKONOMI KONSERVASI
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PELUANG ADOPSI KONSERVASI USAHATANI KENTANG
DATARAN TINGGI DI KECAMATAN PASIRWANGI
KABUPATEN GARUT
DINDA ASYIFA DEVI
H44070006
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Penelitian : Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani
Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi
Kabupaten Garut
Nama : Dinda Asyifa Devi
NRP : H44070006
Disetujui,
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M. Sc
Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc., selaku Pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, bimbingan, arahan sistematika berfikir, perhatian,
motivasi dan dukungan semangat untuk terus menyelesaikan skripsi ini.
2. Ir. Ujang Sehabudin selaku Dosen Penguji Utama dan Novindra, S.P, M. Si
selaku Dosen Penguji Wakil Departemen pada ujian akhir atas masukan dan
sarannya untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Pimpinan, seluruh Staf Pengajar, dan Staf Administrasi di Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
IPB atas dorongan, motivasi dan perhatian yang diberikan.
4. Sahabat terbaik, Lingga Divika Anggiruling, S.Si, Nuzulia Farhani, SE, dan
Rina Gustiyana serta teman seperjuangan Raisa, SE, Norita Vibrianto, SE,
dan Rizki Amelia atas kerjasama, dukungan dan doa selama penyusunan
skripsi.
5. Teman-teman ESL 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan banyak bantuan dan kenangan terindah.
6. Vera Verisa, Hermud Farhan, Septian Riski Sitompul yang telah banyak
membantu penulis dalam pengumpulan data di lapang.
7. Para petugas penyuluh lapang; Bpk Burhanudin, Ibu Tati Kartini, Ibu Eneng;
terima kasih atas waktu yang diberikan dan atas bantuannya dalam pencarian
informasi di lapangan.
viii
8. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada para ketua
kelompok tani para petani yang menjadi responden, atas waktu yang
disediakan untuk wawancara dan memberikan informasi serta data lapangan
yang sangat berharga untuk penulisan skripsi ini
9. Kedua orang tua tercinta Drs. Entang Sutarsa, MPd dan Dr. Ir. Wini
Nahraeni, M.Si yang selalu mengalirkan doa dalam setiap detik waktu yang
tiada henti untuk keberhasilan anaknya, dorongan semangat, dan perhatian
yang tulus selama penulis menyelesaikan studi, serta adikku Luthfiansyah
Dwiantara atas dorongan semangat serta perhatiannya.
Bogor, Januari 2013
Penulis
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul ‘Analisis
Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang
Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi
Kabupaten Garut’ diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana ekonomi pada Depatemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang sangat baik
diusahakan di dataran tinggi. Namun hal ini banyak mendapat sorotan karena
diduga dapat menyebabkan erosi, terutama untuk tanaman semusim, khususnya
kentang. Data menunjukkan bahwa produktivitas sayuran kentang di Jawa Barat
mengalami penurunan. Salah satu penyebab penurunan produktivitas ini yaitu
karena terjadi erosi yang tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan dilakukannya
tindakan konservasi. Adopsi konservasi merupakan sebuah faktor kunci kearah
keuntungan jangka panjang, sehingga diperlukan sebuah kajian adopsi konservasi
terhadap usahatani kentang dataran tinggi di Kabupaten Garut.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya
ini dapat berguna bagi mereka yang memerlukan.
Bogor, Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...……………………..….……..…..…...…...…..... xii
DAFTAR GAMBAR ..………………………...…...…..……………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………...………………....... xiii
I. PENDAHULUAN ……………..….….…..………...…........…... 1
1.1 Latar Belakang ……...……..……......….....…...………....... 1
1.2 Rumusan Masalah ..…….…….…..…...…..……..……...…. 5
1.3 Tujuan …….……...….…………..….….....……...………... 8
1.4 Manfaat Penelitian ……...……...….....…….....…...………. 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ……………………......…........... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………..………..…..…….... 9
2.1 Lahan Kering …….…..…….....………...………………..... 9
2.1.1 Jenis Lahan Kering ……………….....………............. 9
2.2 Erosi ………………………...….……..……………............. 10
2.3 Biaya Erosi Tanah …….…….…..……………....……...…. 12
2.4 Konservasi …………………………………...……….......... 13
2.5 Konsep Usahatani ....………………………......……….…... 14
2.5.1 Konsep Pendapatan Usahatani ……..……………….. 14
2.5.2 Usahatani Kentang Kabupaten Garut ……………...... 17
2.6 Adopsi Inovasi …....…..………………….……………...… 18
2.7 Pengambilan Keputusan Adopsi Teknologi Baru ................. 19
2.8 Penelitian Terdahulu …………………….……………….... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ……...…...….....……………….... 30
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ……......………..…………… 30
3.1.1 Model regresi Logit ...……...…………………………. 30
3.1.2 Pengambilan Keputusan adopsi ……………………... 31
3.1.3 Nilai Ekonomi Konservasi …….……………...…....… 36
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional …….………..…..…........ 37
3.3 Hipotesis Penelitian ..…….………….….……………...…... 40
IV. METODE PENELITIAN ……......…………….………………. 41
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………..……...….............. 41
4.2 Jenis dan Sumber Data .…………………......…………….. 42
4.3 Kerangka Sampling dan Penentuan Responden ……………. 42
4.4 Metode Pengumpulan Data …………………...…….…….. 43
4.5 Metode Analisis Data ...………………...….…………….... 43
4.5.1 Model Regresi Logistik ……………..…………..…… 44
4.5.2 Analisis Nilai Ekonomi …………………………...…. 45
4.5.3 Pengujian Hipotesis ………….…………………...…... 46
4.5.4 Definisi Operasional …………..………………............ 49
xi
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ……….…….…………... 52
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian .……...…..…..………….......... 52
5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi …...……….……......…...…… 53
5.2.1 Petani …………...……..………………………............ 53
5.2.2 Tanaman Kentang ………………...…………............. 54
5.3 Karakteristik Responden ………………….…...…………… 54
5.3.1 Jenis Kelamin dan Usia …………………..……...…… 55
5.3.2 Lama Bertani ……………..………………………...… 56
5.3.3 Pendidikan Formal …………….……………………... 57
5.3.4 Luas dan Status Kepemilikan Lahan ………..…...…… 58
5.3.5 Penyuluhan …………………..……………………...... 61
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………….……….………... 63
6.1 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi
Konservasi ……………………………………………….…. 65
6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani dalam
Adopsi Konservasi …………...………........................ 70
6.2 Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang ...….…...…... 75
VII. SIMPULAN DAN SARAN ……………..…….…………..…...... 82
7.1 Simpulan ………………………..……………………...…… 82
7.2 Saran ……………………………..……………………...….. 82
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…….. 84
LAMPIRAN ............................................................................................ 89
RIWAYAT HIDUP …………………………….…….……...………… 99
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Produktivitas Kentang di Kabupaten Bandung
dan Garut Tahun 2006-2010 …………..……………………........
4
2. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas
Kentang di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010 …………..……...
4
3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Jawa Barat
Tahun 2006-2011 .…………..…………..………….…………......
17
4. Kemiringan Lahan, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas
Kentang Beberapa Sentra Produksi di Kabupaten Garut, 2009 …..
41
5. Karakteristik Desa Terpilih di Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……. 43
6. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data ….... 43
7. Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani
Kentang …………………………………………………………...
45
8. Perhitungan Nilai Ekonomi Adopsi Konservasi ............................. 46
9. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Usia di
Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 …......……………...…...……
56
10. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Lama
Bertani di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 ….……..……..…..
57
11. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan
Pendidikan Formal di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 …........
58
12. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Luas
Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 …...…...…………...
59
13. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Status
Kepemilikan Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011 ….......
60
14. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang Dataran Tinggi di
Kecamatan Pasirwangi, 2011 …..…………………...…………….
63
15. Hasil Analisis Regresi Logit untuk Mengadopsi Konservasi pada
Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi,
2011 ……………….……………..……………..…………………
68
16. Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada
Berbagai Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi,
2011 ……………..………………………………………………...
72
17. Struktur Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Kentang
per Hektar Per Musim Tanam di Kecamatan Pasirwangi Tahun
2011 ……………………..…………………………………….......
77
18. Perhitungan Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang di
Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……………………………………..
81
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional ……………..………....... 39
2. Karakteristik Petani Berdasarkan Usia …………….……….…… 55
3. Karakteristik Petani Berdasarkan Lama Bertani …..…………….. 56
4. Karakteristik Petani Berdasarkan Pendidikan Formal …………... 58
5. Karakteristik Petani Berdasarkan Luas Lahan …………...........… 59
6. Lahan dengan Penanaman Searah Kontur (Konservasi) di
Kecamatan Pasirwangi, 2011 ……..……………………………...
64
7. Lahan dengan Penanaman Searah Lereng (Non-Konservasi) di
Kecamatan Pasirwangi, 2011 …………………………………....
64
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Luas lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia Tahun 2003-
2007 ………………………………..…………..……….……......
90
2. Analisis Usahatani Kentang Konservasi dan Non-Konservasi
per Hektar per Musim Tanam di Dua Desa Kecamatan
Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011 …………...……….
91
3. Karakteristik Petani Contoh di Dua Desa Kecamatan Pasirwangi
Kabupaten Garut, Tahun 2011 …………...……………………..
92
4. Hasil Output Regresi Logit dengan SPSS 16.0 ………...…….…. 96
5. Peta Lokasi Penelitian …………………………………………... 98
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam
pembangunan. Sektor pertanian merupakan penyedia kebutuhan pangan, penyedia
bahan baku industri, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja, serta penunjang
utama kelestarian lingkungan hidup. Upaya peningkatan sektor pertanian
merupakan langkah strategis dalam pembangunan nasional mengingat peranannya
yang besar dalam mendukung pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan
perekonomian nasional pada umumnya.
Pada tahun 2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6,5 persen yang
didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,6 persen (Badan Kebijakan
Fiskal Kementrian Keuangan RI, 2011). Dilihat dari sumbangannya terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 2011 sektor pertanian menyumbang
14,7 persen terhadap PDB nasional (Badan Pusat Statistik (BPS), 2012). Sektor
pertanian berkaitan erat dengan wilayah pedesaan. Berdasarkan data BPS (2012)
sekitar 46 persen masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan
pertanian seperti pertanian tanaman pangan, non-pangan, peternakan, dan
perikanan air tawar sebagai pekerjaan utama.
Selain sebagai penghasil produk pertanian, sektor pertanian juga
memberikan produk sampingan (multifungsi) antara lain: perlindungan terhadap
lingkungan (penanggulangan erosi, pengendalian banjir, pendaurulangan air,
penambatan karbon, penyangga kenaikan suhu udara, pembersih udara), penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan, penyangga gejolak ekonomi (economic
buffer), serta pelestarian nilai budaya pedesaan. Berbagai fungsi (multifungsi) dari
2
pertanian memberikan manfaat tidak saja untuk petani sebagai penyedia jasa,
tetapi juga masyarakat luas yang berada di sekitarnya (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).
Lahan pertanian Indonesia terdiri atas lahan sawah dan lahan kering.
Lahan Kering mendominasi luas lahan di Indonesia. Pada tahun 2007, hampir 82
persen dari luas lahan keseluruhan merupakan lahan kering dan hampir semua
pulau didominasi oleh lahan kering (Lampiran 1). Dengan demikian lahan kering
merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk
mendukung pembangunan pertanian di Indonesia, baik ditinjau dari luas areal
maupun peluang produksi komoditas yang diusahakan. Peluang produksi tersebut
tidak hanya untuk tanaman pangan tetapi juga untuk tanaman hortikultura,
tanaman industri, dan tanaman perkebunan.Pada usahatani berbasis lahan kering,
usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman perkebunan,
usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan khususnya
unggas.
Berbagai usahatani yang dilakukan pada lahan kering dataran tinggi adalah
tanaman semusim dan tahunan seperti teh, kina, kopi, kayu manis dan lainnya.
Tanaman semusim yang dominan ditanam adalah jagung, kentang, ubi jalar,
kubis, tomat, buncis, wortel, tembakau dan berbagai jenis bunga. Beberapa jenis
tanaman seperti kentang, kubis, tomat, cabe, buncis, wortel, dan lainnya hanya
dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada ketinggian tempat tertentu,
sehinga terdapat sentra-sentra produksi untuk tanaman-tanaman tersebut. Selain
itu, kemajuan cenderung spesifik lokal dalam arti perkembangan yang cukup
nyata adalah di sentra-sentra produksi sedangkan di wilayah non sentra produksi
3
kurang berkembang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
2005).
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas sayuran
terbesar di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Jenis sayuran
unggulan di Jawa Barat meliputi bawang merah, cabe merah, kentang, kubis, dan
tomat. Diantara komoditas hortikultura lainnya, kentang merupakan tanaman yang
banyak diusahakan petani. Kentang dipilih karena nilai ekonomis kentang yang
tinggi dan harga yang cenderung stabil. Selain itu, kentang merupakan komoditas
yang memiliki daya tahan simpan cukup lama, yaitu sampai 5 tahun (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2003)
Berdasarkan luas tanam per tahun, Kabupaten Bandung dan Garut
merupakan sentra penghasil kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2010). Kontribusi kentang di Kabupaten
Bandung dan Garut masing-masing adalah sebanyak 56,52 persen dan 36,53
persen dari total produksi Jawa Barat. Dari kedua sentra produksi kentang
tersebut, pada tahun 2010 Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih
tinggi yaitu 21,74 ton/ha dibandingkan dengan Kabupaten Bandung yang hanya
memiliki produktivitas sebesar 20,48 ton/ha. Namun berdasarkan data luas panen,
produksi dan produktivitas, Kabupaten Garut mengalami perkembangan yang
negatif, bahkan pada tahun 2009 dan 2010, persentase penurunan produksi
kentang lebih besar dibandingkan dengan persentase penurunan luas lahan (Tabel
1).
4
Tabel 1. Perkembangan Produktivitas Kentang di Kabupaten Bandung dan Garut
Tahun 2006-2010
No
Kabupaten
/Kota
Produktivitas (Ton/Ha)
2006 2007 (%)* 2008 (%)* 2009 (%)* 2010 (%)*
1 Bandung 19,55 19,60 0,03 20,21 0,03 20,34 0,01 20,48 0.01
2 Garut 22,67 22,95 0,01 23,30 0,02 23,25 -0,00 21,74 -0.07
Keterangan : * perkembangan
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)
Luas area panen di Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak
12,86 persen. Selain itu, produksi kentang dari tahun ke tahun pun mengalami
peningkatan kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 13,05
persen. Penurunan produksi kentang yang lebih tinggi daripada penurunan luas
area tanam berimbas pada menurunnya produktivitas kentang sejak tahun 2009
hingga tahun 2010 (Tabel 2).
Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang
di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010
Tahun Luas panen
(Ha) (%)*
Produksi
(Ton) (%)*
Produktivitas
(Ton/Ha) (%)*
2006 4.427 100.378 22,67
2007 5.139 16,08 117.942 17,50 22,95 1,22
2008 5.833 13,50 135.910 15,23 23,30 1,52
2009 5.083 -12,86 118.175 -13,05 23,25 -0,22
2010 6.442 26,74 140.029 18,49 21,74 -6,50
Keterangan : * perkembangan
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)
Penyebab penurunan produktivitas kentang ini diduga adanya dipengaruhi
beberapa faktor seperti cuaca, perubahan iklim, dan tingkat efisiensi faktor
produksi yang masih kurang efisien, serta degradasi lingkungan. Selain itu, faktor
lain yang diduga sangat berpengaruh adalah karena terjadinya erosi. Erosi
menyebabkan banyak unsur hara dan bahan organik tanah hilang melalui sedimen
yang terangkut aliran permukaan, pencemaran tanah, air, dan lingkungan.
5
Sehingga untuk mengatasinya petani memberikan pupuk dan pestisida dalam
dosis tinggi (Haryati dan Erfandi, 2011). Oleh karena itu, untuk melestarikan
sumber daya lahan didaerah-daerah sentra produksi ini perlu dilakukan
pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan tindakan konservasi tanah
(Katharina, 2007a).
1.2 Perumusan Masalah
Kabupaten Garut merupakan salah satu tempat yang memanfaatkan lahan
pegunungan untuk pertanian. Jenis tanah andisol yang mendominasi bagian utara
Kabupaten Garut memberikan peluang terhadap potensi usaha sayur mayur.1
Sifat-sifat tanah tersebut cukup baik, namun karena terletak pada lereng yang
curam, disertai curah hujan yang tinggi (>2000 mm th-1
) dan pengusahaan yang
intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Sehingga walaupun
menguntungkan, namun usahatani tanaman semusim pada lahan pegunungan,
memiliki dampak negatif.
Menurut Abdurrachman dan Sutono dalam Katharina (2007a), di areal
pertanian, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk
budidaya tanaman semusim yang tidak dilengkapi dengan tindakan-tindakan
konservasi tanah. Hal ini terjadi karena pengelolaan tanah dilakukan pada waktu
sebelum tanam, dan setelah panen, sehingga tanah menjadi terbuka terhadap
pukulan air hujan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
2005). Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan yang
cenderung turun (Arsyad, 2000), hal ini ditunjukkan oleh produksi yang
1 http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/details/sekilas_geografi_kondisi_tanah
6
cenderung terus menurun dari tahun ke tahun, seperti ditunjukkan pada
pertanaman kentang di Kabupaten Garut.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya konservasi yang dapat menahan laju
erosi dan memperbaiki produktivitas tanaman kentang. Menurut Dewi dan
Hendayana (2002) keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu
menciptakan kondisi lahan yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara
lestari dan terpeliharanya produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh
positif pada peningkatan pendapatan petani. Sehingga pada tahun 2006 menteri
pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
47/Permentan/Ot.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada
Lahan Pegunungan (Departemen Pertanian, 2006).
Namun pada praktiknya, di Kabupaten Garut, sebagian besar petani belum
menerapkan praktek konservasi tanah. Tidak diterapkannya kaidah-kaidah
konservasi oleh petani sangat dipengaruhi oleh kondisi finansial petani
(Sabarman, 2006) dan faktor sosio-kultural, meliputi kurangnya sumberdaya yang
layak, tenaga kerja, kematangan perencanaan, dan peralatan (Joseph et al, 2012).
Selain itu, rendahnya penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani sayuran
dataran tinggi disebabkan berbagai alasan seperti tingginya biaya pembuatan dan
pemeliharaan (Lapar et al, 1999), kekhawatiran akan menurunnya produksi
tanaman sayuran akibat terjadinya peningkatan kelembaban tanah dan
berkurangnya populasi tanaman (Haryati dan Erfandi, 2011). Petani mengggap
bahwa penerapan teknik konservasi hanya memberikan tambahan kerja, tetapi
tidak memberikan tambahan pendapatan (Ladamay, 2010).
7
Selain erosi, saat ini pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan
kepada masalah besarnya pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan
sehingga menyebabkan usahatani relatif tidak efisien. Praktek pemupukan di
tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah, sampai sangat tinggi.
Sering kali suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain
diberikan kurang dari yang semestinya sehingga efisiensi penggunaan pupuk
menjadi rendah. Pemberian satu atau dua unsur yang berlebihan sering disebabkan
oleh pemberian pupuk yang hanya berdasarkan kebiasaan atau berdasarkan
rekomendasi dari produsen pupuk (Haryati dan Erfandi, 2011).
Pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan ini akan menyebabkan
produktivitas lahan menurun dan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Hal
lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani, status kepemilikan,
sehingga sayuran yang dihasilkan menjadi tidak optimal dan efisien. Selain lahan,
faktor sumber daya manusia khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial
petani juga menyebabkan inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini
akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam
pengelolaan usahataninya (Nahraeni, 2012).
Dari penjabaran di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran
tinggi untuk mengadopsi konservasi?
2. Bagaimana nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran
tinggi?
8
1.3 Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang
dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi
2. Menghitung nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran
tinggi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaaat akademik yang
memperkaya penelitian ekonomi pertanian. Selain itu, hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan manfaat praktis bagi para pengambil kebijakan dan pemerhati
pertanian dalam pengembangan pertanian di lahan kering, sehingga dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan petani kentang.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
petani untuk mengadopsi pola konservasi dengan komoditas kentang sebagai
obyek penelitian. Analisis hanya dilakukan untuk satu musim tanam kentang
dalam rentang waktu antara Juli 2010 – Juni 2011. Penelitian dilakukan di
Kecamatan Pasirwangi sebagai salah satu sentra produksi kentang terbesar di
Kabupaten Garut.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan kering
Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak
pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun
atau sepanjang tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
2005). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, Badan Pusat Statistik
(BPS) mengelompokkan luas lahan kering menjadi lahan tegal atau kebun, ladang
atau huma, lahan sementara tidak diusahakan, dan rawa yang tidak ditanami.
Kadekoh (2007) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan
kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah
tergenang sepanjang tahun. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering
umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan
sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering
(kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.
2.1.1 Jenis Lahan Kering
Berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dan topografi, lahan kering
dibedakan menjadi dataran rendah (elevasi < 700 m dpl.) dan dataran tinggi
(elevasi > 700 m dpl.), dengan luasan masing-masing sebesar 87,3 juta Ha dan
56,7 juta Ha. Lahan kering dataran rendah pada umumnya datar berombak,
berombak bergelombang, dan berbukit, sedangkan lahan kering dataran tinggi
umumnya bergelombang, berbukit, sampai bergunung (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan relief atau bentuk
wilayah, lahan kering dibedakan menjadi lahan datar berombak dengan lereng 3-8
10
persen, berombak bergelombang dengan lereng 8-15 persen, berbukit dengan
lereng 15-30 persen, dan bergunung dengan lereng 30 persen. Berdasarkan
kondisi iklim, lahan kering dibedakan menjadi lahan iklim basah dan iklim kering.
Lahan kering dataran rendah berada pada kondisi iklim basah pada ketinggian 700
m dpl dengan curah hujan tinggi (> 1500 mm/th) dengan masa hujan relatif
panjang. Sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1500
mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).
2.2. Erosi
Pertanian lahan kering umumnya terdapat di daerah hulu (up land) hingga
daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995
dalam Ladamay 2010). Keadaan lahan seperti ini merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Erosi adalah
peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu
tempat ke tempat lain oleh media alami (air atau angin). Erosi dapat menyebabkan
terdegradasinya lahan melalui hilang atau terkikisnya lapisan tanah atas, sehingga
dapat berdampak buruk terhadap tanah. Dampak buruk dari erosi ada dua, yaitu
dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian
erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan
tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan
kerusakan struktur tanah, rusaknya bangunan konservasi atau bangunan lainnya,
dan turunnya pendapatan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site adalah
berkurangnya alternatif penggunaan tanah, timbulnya dorongan membuka lahan
baru, serta munculnya biaya lain untuk perbaikan lahan dan bangunan yang rusak.
11
Dampak langsung diluar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan
pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan
pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air,
rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi masa kekeringan.
Dampak tidak langsung erosi off-site yaitu kerugian akibat memendeknya umur
waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000).
Erosi yang terbanyak terjadi adalah erosi yang disebabkan oleh air. Erosi
oleh air terjadi dimana tanahnya terbuka terhadap terpaan butir air hujan (erosi
percikan), terhadap aliran air yang meluas sehingga terkikisnya permukaan tanah
secara merata (erosi kulit), atau terhadap aliran air yang terkumpul dalam suatu
alur (erosi alur dan erosi parit). Menurut Rahim (2003) terdapat tiga faktor utama
yang dapat mempengaruhi erosi, yaitu: (1) energi, meliputi hujan, air limpasan,
angin, kemiringan, dan panjang lereng, (2) ketahanan, meliputi erodibilitas tanah
(ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah),dan (3) proteksi yaitu penutupan
tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi.
Selain itu, Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pada dasarnya faktor-
faktor penyebab erosi dibedakan atas; (1) faktor-faktor yang dapat diubah oleh
manusia seperti tumbuhan yang tumbuh diatas tanah, sebagai sifat-sifat tanah
seperti kesuburan, ketahanan agregat, kapasitas infiltrasi dan panjang lereng, serta
(2) faktor-faktor yang tidak dapat diubah seperti iklim, tipe tanah dan kecuraman
lereng. Pengendalian erosi sangat bergantung pada pengelolaan yang baik melalui
upaya penutupan lahan atau penanaman tanaman penutup tanah yang baik disertai
dengan penyeleksian tindakan pembajakan atau pengelolaan tanah yang tepat.
12
2.3. Biaya Erosi Tanah
Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya
kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah,
berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnnya kapasitas
tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan
produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar
lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat
erosi lahan (Katharina, 2007a).
Menurut Barbier (1996), dari persfektif petani, ada dua komponen utama
yang menjadi biaya dari erosi tanah, yaitu biaya langsung dan output yang hilang.
Biaya langsung adalah biaya bagi petani untuk upaya (contohnya tenaga kerja),
material, peralatan, struktur fisik, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk
melakukan konservasi tanah. Output yang hilang adalah kehilangan dari output
saat ini karena menggunakan lebih sedikit tanah atau lahan saat ini.
Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di
lokasi (on site), menurut Barbier (1996) antara lain adalah pendekatan perubahan
produktivitas (productivity change approach) dan pendekatan biaya pengganti
(replacement cost approach). Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya
erosi tanah di lahan usahatani setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang
dinilai sesuai dengan harga pasar. Dengan kata lain, perubahan produktivitas
merupakan perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi
tinggi dan erosi rendah. Metode pendugaan biaya erosi tanah dengan pendekatan
biaya pengganti (replacement cost approach) adalah mengukur unsur hara tanah
yang hilang melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang yang
13
ditunjukkan dengan penggunaan pupuk. Pendekatan biaya pengganti didasarkan
pada asumsi bahwa erosi tanah dan aliran permukaan menyebabkan terjadinya
pencucian hara dan efektivitas pupuk bagi tanaman lebih rendah yang pada
akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi. Pemberian pupuk buatan atau
pupuk organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari
dari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman terus-menerus adalah cara-cara
untuk mencegah kerusakan dan memulihkan kesuburan tanah (Arsyad, 2000).
2.4. Konservasi
Salah satu cara pengendalian erosi yang tepat untuk digunakan yaitu
dengan melakukan konservasi tanah. Konservasi tanah adalah penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selain untuk mencegah kerusakan
tanah oleh erosi, usaha konservasi tanah ditujukan untuk memperbaiki tanah yang
rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat
dipergunakan secara lestari. Selanjutnya, menurut Arsyad (2000), konservasi
tanah tidak berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan
tanah, tetapi menyesuaikan macam penggunaannya dengan kemampuan tanah dan
memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah
dapat berfungsi secara lestari.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
(2005), teknik pengendalian erosi dapat dibagi dua, yaitu mekanis dan biologis
atau vegetatif. Namun keduanya sering digabung sehingga lebih efektif.
Pengendalian erosi secara mekanis dapat dilakukan dengan menerapkan teras
14
baku dan teras gulud. Secara teknis, teras baku merupaka pengendalian erosi yang
efektif. Teras baku memotong panjang lereng dan menghambat laju permukaan
aliran permukaan, sehingga pengangkutan partikel-partikel tanah pun terhambat.
Teknik konservasi menggunakan teras gulud dianggap lebih mudah dan lebih
sederhana dalam pembuatannya dibanding teras baku. Teras gulud merupakan
modifikasi dari guludan untuk bertanam ubi jalar pada lahan-lahan datar yang
diterapkan pada lahan miring. Secara vegetatif, teknik pengendalian erosi yang
dapat digunakan adalah strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah
konservasi, dan pertanaman lorong,
2.5. Konsep Usahatani
Menurut Prof. Tb. Banchtiar Rifai (1960) dalam Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan (1983), usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun
(organisasi) dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di
lapangan pertanian. Soekartawi et al. (1985) menyatakan bahwa usahatani
merupakan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan,
kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya.
Pada awalnya manusia mengenal usaha bertani dengan cara-cara yang sederhana
dengan tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri
(subsisten). Disini, bertani dipandang sebagai suatu cara hidup (way of life)
daripada suatu bisnis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983).
2.5.1 Konsep Pendapatan Usahatani
Berusahatani akan dinilai pada biaya yang dikeluarkan dan penerimaan
yang diperoleh oleh petani. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan yang
akan diperoleh untuk usahanya. Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki
15
nilai positif dan semakin besar nilainya maka semakin baik, meskipun besar
pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan
yang besar mungkin saja diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula.
Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila dapat memenuhi kewajiban membayar
bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga luar serta sarana produksi lain
termasuk kewajiban terhadap pihak ketiga dan dapat menjaga kelestarian
usahanya (Suratiyah, 2011). Beberapa istilah yang biasanya dipergunakan dalam
menganalisis pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1985), yaitu:
1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan
produk usahatani.
2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
3. Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani
dan pengeluaran tunai usahatani
4. Penerimaan kotor usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
5. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau
dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
6. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani
dengan pengeluaran total usahatani.
Menurut Soekartawi (2002) Biaya usahatani dapat di bedakan atas:
1. Biaya tunai, merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani, meliputi
biaya tetap misalnya pajak, dan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk
bibit, obat-obatan dan biaya untuk pembayaran tenaga kerja luar keluarga.
16
2. Biaya yang diperhitungkan, merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai
dikeluarkan petani. Biaya yang diperhitungkan dapat berupa faktor produksi
yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti biaya untuk
sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga
kerja keluarga yang dinilai berdasarkan upah yang berlaku, penggunaan benih
dari hasil produksi sebelumnya dan penyusutan dari sarana produksi.
Analisis terhadap pendapatan usahatani juga dapat digunakan untuk
mengukur efisisensi usahatani terhadap penerimaan yang diperoleh untuk setiap
rupiah yang dikeluarkan (Revenue Cost Rasio atau R-C Rasio). Analisis R-C rasio
digunakan untuk mengetahui keuntungan relatif usahatani berdasarkan
keuntungan finansial, yang menunjukan besarnya penerimaan yang diperoleh
dengan pengeluaran tertentu dalam satu satuan biaya. Semakin besar nilai R-C
rasio maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap
rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan
usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.
Kelayakan usahatani berdasarkan besarnya nilai R-C rasio dapat dikatakan
layak apabila nilai R-C rasio lebih besar dari satu, nilai ini berarti setiap tambahan
biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih
besar daripada tambahan biayanya. Secara sederhana kegiatan usahatani tersebut
dapat dikatakan menguntungkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya, apabila nilai
rasio R-C rasio lebih kecil dari satu, artinya tambahan biaya menghasilkan
tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan
tidak menguntungkan. Sedangkan jika nilai rasio R-C sama dengan satu, maka
kegiatan usahatani tidak mendapatkan keuntungan atau kerugian
17
2.5.2 Usahatani Kentang Kabupaten Garut
Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan di Jawa
Barat yang banyak ditanam di daerah dataran tinggi karena kentang cocok
ditanam pada ketinggian 500-3000 mdpl. Selain itu, tanaman kentang cocok
ditanam pada jenis tanah Andosol dan Grumosol dengan tekstur sedang dan
struktur gembur, dengan pH tanah 5,0 – 6,5. kondisi iklim yang cocok untuk
tanaman kentang adalah tempat dengan curah hujan 1000 mm/th dan temperatur
15-25°C (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat, 2003) .
Jawa Barat mengalami penurunan luas panen tanaman kentang sejak tahun
2007 hingga tahun 2011. Hal ini diikuti dengan penurunan produksi pada tahun
yang sama. Namun, pada tahun 2009 luas panen dan produksi kentang mengalami
peningkatan, masing-masing 10,60 persen dan 9,84 persen dari jumlah tahun
2008. Berbeda dengan luas panen dan produksi, produktivitas tanaman kentang di
Jawa Barat mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga tahun 2008, namun
terus mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2011. Hal ini terjadi
karena pada tahun 2007 dan 2008, laju penurunan luas panen lebih besar dari laju
penurunan produksi. Sedangkan pada tahun 2009 hingga 2011, laju penurunan
luas panen lebih kecil daripada laju penurunan produksi (Tabel 3).
Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Jawa Barat Tahun
2006-2011
Tahun Luas Panen
(Ha)
Perubahan
(persen)
Produksi
(Ton)
Perubahan
(persen)
Produktivitas
(Ton/Ha)
Perubahan
(persen)
2006 17.242
349.157
20,25
2007 16.479 - 4,43 337.369 -3,38 20,47 1,10
2008 13.873 -15,81 294.564 -12,69 21,23 3,71
2009 15.344 10,60 323.543 9,84 21,09 -0,69
2010 13.553 -11,67 275.100 -14,97 20,30 -3,74
2011 11.327 -16,42 220.154 -19,97 19,44 -4,25
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2010-2011)
18
Jawa Barat memiliki beberapa sentra produksi kentang, yaitu di Bandung
dan Garut, dengan kecamatan utama yaitu Lembang, Kertasari dan Cimenyan
untuk Kawasan Bandung, dan Pasirwangi, Cikajang, Cisurupan, Samarang, dan
Bayongbong untuk Kawasan Garut. Selain itu, pada tahun 2010 Jawa Barat
sedang mengembangkan Majalengka, Bandung Barat, Kuningan, Cianjur, dan
Sumedang untuk menjadi sentra produksi kentang (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010).
Kabupaten Garut merupakan penghasil kentang terbesar kedua di Jawa
Barat setelah Kabupaten Bandung. Namun, dibandingkan dengan Kabupaten
Bandung, Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi sejak tahun
2006 hingga 2010 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010).
Pada tahun 2010, dengan luas panen 6.442 hektar, produksi kentang yang
dihasilkan di Kabupaten Garut adalah 140,029 ton. Dengan kata lain pada tahun
2010 produktivitas kentang adalah 21,74 Ton/Hektar. Produksi ini masih dapat
dikembangkan, karena Kabupaten Garut masih memiliki 3400 hektar area yang
masih berpotensi untuk ditanami kentang (Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Garut, 2009).
2.6. Adopsi Inovasi
Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental sejak seorang
mulai mengenal suatu inovasi sampai memutuskan untuk menerima atau
menolaknya, dan proses itu memerlukan waktu (Rogers dan Schoemaker, 1986
dalam Nahraeni, 2000). Dalam hal mengambil keputusan, seseorang dapat
menerima atau menolak inovasi. Bila ia menerima inovasi (mengadopsi) artinya ia
19
menggunakan ide baru, barang baru, dan praktek baru dan menghentikan ide-ide
yang digantikan oleh inovasi itu. Namun, sebelum mengambil keputusan inovasi,
biasanya petani memperoleh keyakinan akan keberhasilan metode itu. Terdapat
lima tahap proses adopsi yaitu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni,
2000) :
1. Tahap kesadaran; seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi
kekurangan informasi mengenai hal itu.
2. Tahap menaruh minat; seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan
mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut.
3. Tahap penilaian; seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru tersebut
dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa datang
mencobanya atau tidak.
4. Tahap percobaan; seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil
untuk menentukan kegunaan apakah sesuai dengan situasi dirinya.
5. Tahap penerimaan (adopsi); seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap
dalam skala yang luas.
2.7. Pengambilan Keputusan Adopsi
Penerapan teknik pengendalian erosi pada lahan-lahan pertanian pada
umumnya belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga sistem
pertanian yang lestari dan berwawasan lingkungan belum tercapai. Aspek-aspek
sosial dan ekonomi, termasuk peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan
kelembagaan penyuluhan, khususnya penyuluh konservasi tanah, perlu mendapat
perhatian yang lebih besar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
20
Agroklimat, 2005). Namun, peran yang paling penting tetap dipegang oleh para
petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian.
Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa cara yang ditempuh suatu rumah
tangga petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha tani tergantung
pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan, misalnya jumlah anggota
keluarga, usia, kondisi kesehatan, kemampuan, keinginan, kebutuhan, pengalaman
bertani, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antaranggota rumah
tangga. Selain itu, pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani meliputi
faktor-faktor yang kompleks, termasuk ciri biofisik usahatani, ketersediaan dan
kualitas input luar dan jasa serta proses sosioekonomi dan budaya di dalam
masyarakat. Tujuan suatu rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil
usahatani merupakan pusat sekaligus obyek pengambilan keputusan. Rumah
tangga petani secara bersama memiliki berbagai macam tujuan yang bisa
digolongkan sebagai produktivitas, keamanan, kesinambungan, dan identitas.
Menurut Pattanayak et al. (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi
adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu:
1. Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk
diukur, maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi
seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial. Masih terdapat
berbagai pertentangan akan pendekatan mana yang terbaik, sebagai contoh
adalah faktor pendidikan digunakan untuk mengukur opportunity cost
terhadap pekerja pada investasi teknologi agroforestri
2. Resources endowment, digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya
pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan pada teknologi baru. Contoh:
21
kepemilikan aset, seperti lahan, tenaga kerja, ternak, dan tabungan. Umumnya
resources endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi
3. Insentif pasar, merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya
atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Insentif pasar fokus pada
faktor-faktor ekonomi seperti harga, ketersediaan pasar, transportasi dan
pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan
sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi
4. Faktor biofisik, faktor ini diharapkan dapat mempengaruhi proses produksi
yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan. Contohnya kualitas
lahan, kemiringan lahan dan ukuran lahan. Umumnya jika kondisi biofisik
rendah (seperti tingginya tingkat erosi) akan berkorelasi positif dengan
kesediaan untuk menerima adopsi teknologi.
5. Resiko dan ketidakpastian, faktor ini memperlihatkan ketidaktahuan pasar
dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek contoh
dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga komoditi, output dan
curah hujan. Pada jangka panjang contohnya adalah hak sewa menyewa yang
tidak aman. Adopsi teknologi akan menurunkan resiko dan ketidakpastian
pada investasi pertanian dan kehutanan selama periode pertumbuhan.
Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010) mengidentifikasikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi yakni:
1. Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan
petani yang lebih muda.
2. Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi
pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi
22
pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung
semakin mudah menerima praktek-praktek baru.
3. Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatism,
orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas
didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin
dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan
penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain,
sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi
seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru.
4. Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani
cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.
5. Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi,
karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
6. Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung
semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi
mendapatkan simbol status).
7. Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak
memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinas-
dinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya
masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani.
8. Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovesai maka akan semakin
lambat tingkat adopsinya. Berikut contoh yang paling cepat diterima, hingga
yang paling rumit:
23
a. Perubahan hanya dibahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau
pelaksanaan (misalkan : varietas baru suatu benih)
b. Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam alat
atau bahan (misal: perubahan dalam rotasi tanaman)
c. Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour
cropping)
d. Perubahan total kegiatan usaha (misal dari usaha tanaman ke peternakan)
Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek
pertanian, seperti:
a. Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat
diadopsi dibading modal kecil.
b. Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekan, maka akan lebih
cepat diadopsi.
c. Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode
konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi
d. Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya,
lebih lambat diadopsi
e. Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat
akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin
dilakukan.
9. Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas
dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu
inovasi.
24
2.8. Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi teknologi konservasi
telah banyak dilakukan di beberapa lokasi seperti Pangalengan, Garut, dan
Gunung Kidul. Selain itu, topik mengenai adopsi teknologi konservasi pun telah
dilakukan di berbagai Negara seperti Zimbabwe dan Sri Lanka.
Pertanian komunal dihadapkan pada tantangan mengupayakan
peningkatan produksi sebaik seperti melestarikan sumberdaya alam. Produktivitas
yang rendah, degradasi lahan, sumberdaya pertanian yang tidak memenuhi syarat,
dan ketidaklayakan teknik pertanian menandai pertanian komunal di Zimbabwe.
Joseph et al. (2012) melakukan penelitian untuk memastikan faktor apa yang
mempengaruhi adopsi praktik konservasi pertanian di area pertanian komunal
Madziva, Zimbabwe, dan menilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis dari
praktik konservasi tersebut. Fungsi produksi transidental digunakan untuk
mengestimasi efisiensi ekonomis dan efisiensi teknis, sedangkan untuk menetukan
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi konservasi digunakan model
regresi logit.
Berdasarkan data dari 75 petani terpilih, didapat nilai Marginal Physical
Product (MPP) dan Value of Marginal Product (VMP) yang masing-masing
mengindikasi efisiensi teknis dan ekonomis. Teknik konservasi pertanian efisien
secara teknis karena MPP > 0, dan nilai VMP menunjukkan terjadinya efisiensi
ekonomi. Petani dapat menutupi investasi awal mereka dalam satu atau dua tahun,
sehingga investasi dalam konservasi pertanian dikatakan berhasil. Namun, hanya
27 persen petani yang mengadopsi konservasi pertanian. Usia, luas lahan, dan
25
lama pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan adopsi
teknologi konservasi.
Menurut Lapar dan Pandey (1999) degradasi lahan di dataran tinggi Asia
adalah sebuah masalah yang serius yang menjadi kendala dalam keberlanjutan
dalam pertanian. Meskipun beberapa teknologi konservasi lahan sudah dibangun
dan dipromosikan, namun adopsinya belum tersebar. Sebuah analisis ekonomi
mikro dari adopsi konservasi kontur oleh petani dataran tinggi di Philipina
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan adopsi. Hasil empiris
dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa adopsi dipengaruhi oleh
beberapa karakteristik usahatani dan petani dan kepentingan relatif dari faktor
tersebut berbeda untuk setiap daerah. Biaya tinggi saat pembuatan, perawatan dan
kehilangan lahan untuk konservasi dianggap sebagai kendala utama untuk
melakukan adopsi oleh non-adopter.
Komoditas kentang merupakan tanaman yang menarik secara ekonomi,
tetapi menyebabkan erosi tanah di daerah perbukitan di Nuwara Eliya, Sri Lanka.
Untuk mengatasi terjadinya erosi yang serius dibutuhkan program konservasi
tanah. Namun, belum ada penelitian tentang konservasi tanah dan tingkat adopsi
konservasi tanah. Oleh karena itu, Bandara dan Thiruchelvam (2008)
menganalisis faktor yang mempengaruhi pemilihan adopsi praktik konservasi
tanah oleh petani kentang di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Tujuan dari penelitian ini
mencari perbedaan tentang konservasi tanah, tingkat adopsi, dan faktor sosial
ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani di Nuwara Eliya. Analisis data
menggunakan multinomial logit. Hasil menyatakan bahwa 30 persen, 52 persen,
dan 18 persen dari petani kentang mengkonservasi tanahnya pada tingkat baik,
26
rata-rata dan buruk. Tingkat adopsi konservasi lahan yang baik dapat
meningkatkan produksi kentang dan pendapatan petani kentang. Biaya usahatani
dipengaruhi oleh adopsi program konservasi petani. Peluang adopsi dipengaruhi
positif dan signifikan oleh pendidikan, dan luas lahan. Sekitar 60 persen dari
petani kentang mempunyai pendirian yang baik kearah pentingnya meningkatkan
konservasi tanah. Kepemilikan lahan merupakan faktor penting untuk konservasi
lahan. Pendekatan training (pelatihan), penyuluhan, dan subsidi konservasi
direkomendasikan untuk meningkatkan konservasi lahan guna keberlanjutan
pengusahaan kentang.
Katharina (2007a) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi di
Pangalengan Jawa Barat. Hasil analisis menggunakan model logit menunjukkan
kecuraman lereng, status lahan dan jumlah anggota keluarga dewasa berpengaruh
secara nyata terhadap keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem
pertanian konservasi. Kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap peluang
adopsi konservasi. Semakin curam lereng lahan yang diusahakan, semakin tinggi
peluang petani mengadopsi teknik konservasi tanah. Status lahan sewa
berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi dan mengurangi peluang
petani untuk melakukan adopsi konservasi tanah. Jumlah anggota keluarga di
Pangalengan berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin
besar jumlah angkatan kerja tersedia dalam keluarga, semakin rendah peluang
untuk mengadopsi teknik konservasi tanah.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2006) bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk
27
mengkonservasi atau tidak mengkonservasi lahan dan untuk mengevaluasi secara
simultan pengaruh keputusan mereka terhadap output. Penelitian menggunakan
data petani sawah sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Hasil penelitian
menunjukkan hanya 13,5 persen petani yang mengkonservasi lahannya. Hasil dari
spesifikasi logit, faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani
mengkonservasi (atau tidak mengkonservasi) adalah jumlah output yang
dihasilkan, persepsi kualitas lahan, jumlah anggota keluarga petani, dan usia
petani. Dengan menggunakan pendekatan instrument variabel ditemukan bahwa
keputusan untuk mengkonservasi atau tidak, mempengaruhi secara nyata terhadap
jumlah output yang dihasilkan. Output juga dipengaruhi oleh luas areal dan
jumlah kredit. Salah satu saran yang diajukan agar usahatani berkelanjutan adalah
pemerintah memperbaiki akses petani terhadap kredit mikro.
Keuntungan finansial dari konservasi pertanian belum dapat diprediksi.
Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk konservasi pertanian lebih kecil
dibandingkan dengan pertanian konvensional, tetapi hasil yang didapatkan sangat
berfluktusi pada wilayah yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Hardjanto
(2010), pendapatan usahatani konservasi di Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat
lebih kecil daripada pendapatan usahatani non-konservasi. Hal ini terjadi karena
belum diperhitungkannya nilai jasa lingkungan.
Sabarman (2006) meneliti aspek ekonomi (fungsi produksi) usahatani akar
wangi, yaitu pola petani, introduksi, dan konservasi. Hasil analisis finansial dari
ketiga pola menunjukkan bahwa pola usahtani petani, introduksi, dan konservasi
layak untuk dikembangkan karena B-C rasio > 1, NPV positif dan IRR di atas
bunga bank (15 persen/tahun). Berdasarkan penelitian, dari ketiga pola tersebut,
28
pola konservasi memeberikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp 17.220.000
pertahun diikuti oleh pola usahatani petani dengan pendapatan Rp 13.740.000
pertahun. Sedangkan pola usahatani introduksi menghasilkan pendapatan sebesar
Rp 10.185.000 pertahun dengan luasan satu hektar.
Selain dapat mempengaruhi pendapatan petani, kegiatan konservasi lahan
pun dapat menurunkan tingkat erosi lahan. Dewi dan Handayana (2002)
melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah
dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem
lahan kering. Penelitian dilakukan di Desa Rejosari Kecamatan Semin kabupaten
Gunung Kidul.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis, tingkat erosi menurun
antara 3,75 persen sampai 86,68 persen dengan rata-rata 75,20 persen. Dalam
kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan
dampak potensial, yaitu perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi
keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah
dan air dalam hutan rakyat. Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal
di lokasi desa ini tidak produktif sama sekali, sehingga dengan dilakukannya
penanaman tanaman tahunan produkstif yang komersial seperti jambu mete, kayu
akasia, jati, sonokeling, dan mahoni, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan
tersebut.
Topik penelitian mengenai perhitungan nilai ekonomi pengendalian erosi
telah dilakukan oleh Yana (2010) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, kabupaten
Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan dari penelitian tersebut adalah
menentukan nilai ekonomi pengendalian hutan terhadap erosi. Analisis dilakukan
29
dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, yaitu
melalui harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur
hara yang hilang. Nilai ekonomi pengendalian erosi melalui pendekatan biaya
pengganti di lima lokasi penelitian seluas 8.060,6 ha sebesar Rp 3.596.806.591
per tahun.
Beberapa penelitian mengenai adopsi sistem konservasi telah banyak
diteliti di berbagai tempat. Namun, di Kecamatan Pasirwangi penelitian mengenai
adopsi konservasi pada usahatani kentang belum pernah dilakukan. Selain itu,
faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk mengadopsi konservasi
merupakan aplikasi dari teori dan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang telah ada karena menghitung nilai ekonomi dari
sistem konservasi usahatani kentang yang dilakukan petani.
30
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian merupakan struktur
pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian
dengan tujuan tujuan penelitian yang ingin dicapai.
3.1.1. Model Regresi Logit
Di sebagian besar survey mengenai perilaku manusia, tanggapan yang
banyak diberikan berbentuk kualitatif, dapat berupa jawaban ya atau tidak sebagai
pilihan. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan nilai ini
disebut peubah biner. Ketika satu atau lebih explanatory variabel dalam model
regresi adalah binary, hal ini dapat digambarkan sebagai dummy variable. Namun
ketika dependent variable berupa peubah biner, maka penyelesaiannya akan
menjadi lebih kompleks ketika kita membangun model karena binary choice
model mengasumiskan bahwa individu dihadapkan pada pilihan diantara dua
alternatif pilihan yang tergantung pada karakteristik mereka. Untuk
menyelesaikan masalah yang memiliki pilihan biner, terdapat beberapa model
yang dapat digunakan, yaitu: liner probability model, model logit, dan model tobit
(Pindyck and Rubinfeld, 1998).
Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani dalam
menerapkan pola konservasi digunakan model fungsi logit. Model logit digunakan
karena dari sisi matematika merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan mudah
digunakan serta parameter koefisiennnya mudah diinterpretasikan (Juanda, 2009).
Alat analisis ini telah banyak digunakan Siregar (2006), Katharina (2007a),
Bandara dan Thiruchelvam (2008), dan Joseph et al. (2012). Secara teoritis,
31
model Logit didasarkan pada cumulative logistic probability function dan
dispesifikasikan menjadi (Pindyck and Rubinfeld, 1998):
Dari persamaan 7, diperoleh
Selanjutnya, dengan membaginya dengan Pi, diperoleh
Dengan mendefinisikan , maka diperoleh:
Dengan menggunakan logaritma natural dari kedua sisi, diperoleh:
Atau dari persamaan (1) diperoleh
Pi = Peluang melakukan pilihan-1
1-Pi = Peluang tidak melakukan pilihan-1
α,β = Parameter dugaan
Xi = Peubah bebas
3.1.2. Pengambilan Keputusan Adopsi
Rogers dan Schoemaker (1986) dalam Nahraeni (2000) menyatakan
bahwa terdapat empat paradigma proses keputusan inovasi yaitu tahap
pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Pada tahap keputusan seseorang
32
terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima dan
menolak inovasi. Rogers (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi adopsi, yaitu karakteristik sosialekonomi, karakteristik diri petani,
dan tingkah laku dalam komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur,
pendidikan, tingkat melek huruf, tingkat status sosial, mobilitas sosial, luas lahan,
orientasi ekonomi, akses terhadap kredit, dan spesialisasi. Variabel yang termasuk
kedalam karakteristik diri petani adalah empati, dogmatis, kemampuan berfikir
abstrak, rasionalitas, intelegensi, perilaku kearah perubahan, kemampuan
mengatasi ketidakpastian, sikap yang lebih terhadap pendidikan, sikap yang lebih
terhadap ilmu pengetahuan, fatalism, aspirasi yang lebih tinggi terhadap
pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tingkah laku dalam komunikasi
terdiri dari beberapa variabel, yaitu partisipasi sosial, keterkaitan dengan sistem
sosial, wawasan yang luas, hubungan dengan agen pengubah, pemasaran media
massa, komunikasi interpersonal, pencarian informasi secara aktif, pengetahuan
mengenai inovasi, kepemimpinan, kesesuaian dengan sistem yang saling terkait.
Lebih lanjut, Rogers (1983) menyatakan bahwa seluruh variabel diatas
berpengaruh positif terhadap adopsi kecuali umur, dogmatis, dan fatalism.
Berdasarkan penelitian mengenai adopsi, ada hasil penelitian yang mendukung
dan tidak mendukung karakteristik dari kategori adopter tersebut. Adopsi suatu
teknologi petani berkaitan erat dengan perilaku petani sebagai pengelola usahatani
yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Karakteristik pengambilan
keputusan itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga,
status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi
penyuluhan dan kontak lembaga. Faktor lain yang mempengaruhi pengambilan
33
keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan,
keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan.
Menurut Rogers (1983), terjadi ketidakkonsistenan dalam hubungan
antara umur dan inovasi. Pengaruh dari umur petani dalam adopsi konservasi
dapat diangggap merangkum pengaruh dari pengalaman petani dan rencana
jangka panjang. Petani yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman bertani
yang lebih baik sehingga mudah menerima adopsi (Lapar dan Pandey, 1999). Hal
ini tampak pada penelitian Siregar (2006), serta Lapar dan Pandey (1999) di Cebu,
Filipina. Namun, dilain pihak petani muda dianggap memiliki pemikiran jangka
panjang yang lebih baik, sehingga adopsi lebih mudah diterima (Lapar dan
Pandey, 1999). Ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968) dalam Indraningsih
(2010), petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani
yang lebih muda, dan terlihat pada hasil peneltian Lapar dan Pandey (1999) di
Claveria, Filipina dan D’Souza, et al. (1993) di Virginia Barat.
Jumlah Tangggungan Keluarga berpengaruh negatif terhadap keputusan
konservasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka eksploitasi terhadap
sumberdaya tanah semakin besar dengan harapan meperoleh keuntungan yang
lebih banyak lagi. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teknologi
pertanian yang baru, sehingga diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi
pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin
mudah menerima praktek-praktek baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Bandara dan Thiruchelvam (2008). Pengalaman bertani berpengaruh positif
terhadap keputusan petani untuk mengadopsi konservasi. Petani yang
34
berpengalaman mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena mereka
belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya (Nahraeni, 2012)
Status lahan milik bagi petani, akan mempercepat adopsi konservasi,
artinya status lahan milik berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi.
Menurut Lapar dan Pandey (1999) rendahnya status property right di dataran
tinggi Filipina diangggap sebagai faktor utama yang menyebabkan erosi tanah di
dataran tinggi. Hwang et al. (1994) dalam Katharina (2007b) menyatakan bahwa
status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya
bersifat jangka pendek. Keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi
oleh status kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih
memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan,
1987 dalam Katharina, 2007b) dibandingkan dengan status sewa. Selain itu, bila
petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang
dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek-
praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah
(Reijntjes, et al. 1992).
Luas lahan berpengaruh secara positif terhadap keputusan adopsi
konservasi. Semakin luas lahan yang digarap, maka adopsi lebih cepat dilakukan
karena petani memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger (1968)
dalam Indraningsih (2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (1983)
bahwa luas lahan memberikan pengaruh positif terhaadap adopsi teknologi, serta
hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008).
Petani dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mudah mengadopsi
konservasi, karena memiliki modal yang cukup untuk mengadopsi suatu teknik
35
konservasi. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah cenderung akan
menghindari resiko dalam mencoba suatu inovasi karena jika ternyata keputusan
inovasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik, maka modal untuk usatani
berikutnya akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968),
yang menyatakan semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung
lebih cepat mengadopsi inovasi.
Adopsi terhadap konservasi bertujuan untuk mengurangi terjadinya erosi.
Menurut Arsyad (2000) erosi bergantung pada iklim, topografi, tumbuh-
tumbuhan, tanah, dan manusia. Di daerah beriklim basah faktor iklim yang
mempengaruhi erosi adalah hujan. Unsur topografi yang paling berpengaruh
terhadap aliran permukaan dan erosi adalah panjang lereng dan kemiringan
lereng. Semakin tinggi kecuraman lerang, maka semakin meningkatkan potensi
terjadinya erosi. Sehingga kecuraman lereng diharapkan dapat berpengaruh positif
terhadap keputusan adopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Lapar dan Pandey (1999) serta Katharina (2007a) yang menyatakan bahwa
kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras baku maupun
membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan
semakin besar.
Pengaruh tumbuh-tumbuhan (vegetasi) terhadap aliran permukaan dan
erosi yaitu intersepsi hujan oleh tanjuk tanaman, mengurangi kecepatan aliran
permukaan dan kekuatan perusak air, stabilitasi struktur dan proporsi tanah, dan
transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Berbagai tipe
tanah mempunyai kepekaan berbeda terhadap erosi. Faktor manusia menentukan
perlakuan dalam penguasaan tanah, faktor tersebut antara lain, luas lahan
36
pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status pengusahaan tanah,
tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil pertanian, akses kredit,
dan akses pasar Arsyad (2000). Keputusan petani untuk menerapkan teknologi
baru dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sosial yang berasal dari dalam diri
petani dan faktor ekonomi yang berasal dari luar usahataninya (Rogers dan
Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000).
3.1.3. Nilai Ekonomi Konservasi
Pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan tunai usahatani dan
pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah nilai yang diterima
dari penjualan produk usahatani dikurangi jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani
adalah penerimaan dari produk usahatani baik yang dijual maupun yang tidak
dijual dikurangi nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan
produksi termasuk biaya yang diperhitungkan (Soekartawi et al.,1985).
Biaya atau cost juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total.
Biaya tunai di dalam usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan usahatani. Biaya total adalah seluruh
nilai yang dikeluarkan bagi usahatani, baik tunai maupun yang diperhitungkan.
Rumus penerimaan, biaya dan pendapatan adalah :
……………………………………………...……………... (7)
………...…………………………………………………... (8)
....................................................................................... (9)
............................................................................ (10)
............................................................................ (11)
37
............................................................................. (12)
Dimana :
TRtunai = Total penerimaan tunai usahatani (Rupiah)
TRtotal = Total penerimaan semua produksi usahatani (Rupiah)
TCtunai = Total biaya tunai usahatani (Rupiah)
TCtotal = Total biaya usahatani (Rupiah)
π = Pendapatan (Rupiah)
Bd = Biaya yang diperhitungkan (Rupiah)
Py = Harga output (Rupiah)
Y = Jumlah produksi (Kg)
TVC = Total biaya variabel (Rupiah)
TFC = Total biaya tetap (Rupiah)
Nilai ekonomi konservasi merupakan tambahan pendapatan (incremental
net benefit) yang diperoleh oleh petani jika melakukan konservasi. Sehingga nilai
ekonomi konservasi merupakan perbedaan total pendapatan usahatani kentang
konservasi dan non-konservasi.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah yang memiliki luas lahan
kering terbesar di Provinsi Jawa Barat, namun belum digunakan secara optimal.
Kentang merupakan salah satu komoditas andalan yang dapat ditanam di dataran
tinggi. Namun, usahatani kentang dilakukan di dataran tinggi dengan tingkat
kemiringan lereng lebih dari 15 persen sehingga pengusahaannya masih dianggap
menimbulkan masalah karena dapat menyebabkan erosi tanah. Masalah yang
diakibatkan erosi, dapat dilihat dari penurunan produktivitas kentang di
38
Kabupaten Garut dari tahun ke tahun dan akhirnya menurunkan pendapatan
petani. Untuk itu, perlu diadakan suatu upaya konservasi untuk dapat
meminimalisir terjadinya erosi yang lebih besar.
Pola konservasi untuk mencegah laju erosi pada usahatani kentang sudah
banyak disosialisasikan oleh para pakar dan sudah diatur dalam Peraturan Menteri
Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum
Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Namun, kenyataannya tidak semua
petani melakukan pola konservasi yang dianjurkan. Sehingga, perlu diteliti faktor-
faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi pola konservasi
atau tidak mengadopsi. Pendekatan dilakukan melalui wawancara kepada petani
secara langung dan dianalisis dengan model logit.
Faktor ekonomi sangat mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan
usahatani. Jika sistem usahatani tertentu dianggap lebih menguntukan dari sisi
pendapatan, maka petani lebih mudah untuk mengadopsi sistem usahatani
tersebut. Salah satu cara melihat manfaat dari sistem usahatani konservasi adalah
adanya nilai ekonomi yang dihasilkan. Penghitungan nilai ekonomi konservasi
dianggap perlu dilakukan agar dapat terlihat secara riil manfaat dari sistem
konservasi. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari wawancara
langsung terhadap petani.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu merumuskan
upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatan adopsi konservasi.
Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini merupakan keterkaiatan
antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berasal dari petani
39
sebagai unit sampel dan data sekunder yang berasal dari instansi terkait. Alur
proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Usahatani
Kentang
Permasalahan:
Penggunaan lahan dengan
kemiringan lebih dari 15
persen menyebabkan erosi
Produktivitas kentang menurun
sehingga pendapatan petani
menurun
Faktor-faktor adopsi
pola konservasi
Rekomendasi Kebijakan untuk
Meningkatkan Adopsi Pola
Konservasi dan Pendapatan Usahatani
Peluang :
Permintaan Kentang lebih besar
dari Penawaran
Kentang merupakan komoditas
yang bernilai ekonomi tinggi
Garut merupakan salah satu
sentra penghasil kentang
terbesar di Jawa Barat
PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR : 47/Permentan/OT.140/10/2006
Tentang Pedoman Umum Budidaya
Pertanian pada Lahan Pegunungan
Nilai Ekonomi
Konservasi
Usahatani
konservasi
Usahatani non-
konservasi
Pendapatan
usahatani
Pendapatan
usahatani
40
3.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka
pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa
hipotesis.
1. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap keputusan petani dalam
mengadopsi pola konservasi adalah pendidikan, luas lahan yang digarap,
pendapatan tunai petani, status kepemilikan lahan, tingkat kecuraman lahan
usahatani, dan pengalaman bertani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga
dan umur petani berpengaruh negatif terhadap keputusan adopsi konservasi.
2. Sistem konservasi usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi memiliki
nilai ekonomi.
41
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengumpulan data primer penelitian dilakukan di Kabupaten Garut
Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kentang terbesar
kedua di Jawa Barat. Kecamatan terpilih yang dijadikan lokasi penelitian adalah
Kecamatan Pasirwangi, karena merupakan salah satu kecamatan yang memiliki
luas panen kentang terbesar di Kabupaten Garut namun memiliki produktivitas
yang lebih rendah dibanding sentra produksi lainnya. Selain itu Kecamatan
Pasirwangi memiliki karakteristik kemiringan lahan yang bervariasi (Tabel 4).
Tabel 4. Kemiringan Lahan, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang
Beberapa Sentra Produksi di Kabupaten Garut, 2009
Kecamatan
Kemiringan Lahan (%) Kentang
0-2 2-5 15-40 > 40
Luas
Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ton/Ha)
Cikajang 437 985 6.458 4.615 1.407 30.710 21,83
Pasirwangi 702 1.502 1.526 940 1.042 20.976 20,13
Cisurupan 1.596 2.001 1.843 2.648 551 11.768 21,36
Samarang 1.029 812 2.842 1.288 338 9.403 27,82
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2012
Selanjutnya dari 12 desa yang ada, dipilih dua desa sebagai lokasi
penelitian yang dapat mewakili karakteristik yang diinginkan, yaitu desa Barusari
dan desa Padaawas. Kedua desa tersebut dipilih karena hampir di setiap dusun
para petani mengembangkan komoditas kentang (Badan Ketahan Pangan
Kabupaten Garut, 2010). Pengambilan data primer dilakukan selama bulan Juni
2011 – Juli 2011.
42
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data cross section.
Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari hasil wawancara langsung kepada petani melalui kuesioner dan pengamatan
lapang. Data primer yang diambil adalah data yang diperlukan dalam analisis
pendapatan dan biaya erosi dalam usahatani kentang, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi petani untuk mengadopsi pola konservasi. Data tersebut meliputi
data mengenai karakteristik petani (umur, pendidikan, pengalaman, jumlah
tanggungan keluarga), luas lahan, kecuraman lereng, tingkat produksi,
penerimaan, penggunaan input, dan lainnya. Data sekunder diperoleh dari Badan
Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa
Barat, dan literatur-literatur yang relevan dalam penelitian, seperti jumlah
produksi kentang dari tahun ke tahun, luas panen usahatani kentang, produktivitas
kentang, penggunaan pupuk ideal untuk pertanaman kentang, dan sebagainya.
4.3 Kerangka Sampling dan Penentuan Responden
Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah simple random
sampling. Pada penelitian ini, responden adalah petani kentang dataran tinggi
yang menanam kentang pada periode antara September 2010 sampai Juni 2011.
Data dikumpulkan dari PPL (Petugas Penyuluh Lapang) Desa Barusari dan
Padaawas. Berdasarkan data dari PPL didapatkan 120 nama petani kentang yang
dijadikan kerangka sampling. Nama-nama tersebut diberi nomor urut 1-120 dan
kemudian dilakukan pengundian agar nama-nama tersebut memiliki peluang yang
sama untuk menjadi responden. Sehingga terpilih 50 petani kentang yang
dijadikan responden. Jumlah ini dianggap sudah memenuhi batas minimum
43
sampel (30 sampel) yang dapat digunakan untuk menduga karakteristik dari
populasi. Karakteristik Desa Padaawas dan Desa Barusari tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Desa Terpilih di Kecamatan Pasirwangi, 2011
Kriteria
Desa
Kemiringan
(%)
Ketinggian
(dpl)
Infrastruktur
Jarak ke
Pusat
kecamatan
(Km)
Tanaman
Utama*)
Jumlah
Responden
(orang)
Padaawas 0 - >40 500 - >1000 baik 2 Kentang-
kubis-tomat 27
Barusari 2 - >40 500 - >1000 Kurang baik 3,5 Kentang-
kubis-tomat 23
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2012)
Keterangan : * urutan pertama menunjukkan tanaman utama
4.4 Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui survey dan wawancara langsung kepada petani
kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan.
4.5 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi menggunakan Excell.
Analisis yang dilakukan yaitu analisis nilai ekonomi konservasi dan untuk melihat
faktor yang mempengaruhi adopsi digunakan model Logit. Pengolahan data
menggunakan SPSS 16.0. Berikut ini tabel keterkaitan antara tujuan penelitian,
sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 6. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data
No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1 Mengidentifikasi
faktor-faktor yang
mempengaruhi
keputusan petani untuk
mengadopsi konservasi
Data sekunder
dan data primer
melalui
wawancara dan
peninjauan lapang
Analisis menggunakan model
regresi logistik dengan
menggunakan maximum
likelihood estimator (MLE)
2 Menghitung nilai
ekonomi konservasi
usahatani kentang
Data sekunder
dan data primer
melalui
wawancara dan
peninjauan lapang
Analisis nilai ekonomi
konservasi usahatani kentang
(perbedaan pendapatan
usahatani konservasi dan
non-konservasi)
44
4.5.1 Model Regresi Logistik
Untuk melihat peluang petani dalam mengadopsi pola konservasi,
dilakukan model regresi logit. Berdasarkan teori ekonomi dan analisis empiris,
faktor-faktor yang diduga berpengaruh adalah umur, pendidikan formal petani,
status kepemilikan lahan, pendapatan petani, jumlah tanggungan keluarga, luas
lahan garapan, tingkat kecuraman lahan, dan pengalaman bertani. Berdasarkan
faktor-faktor tersebut, maka model logit dapat dijabarkan sebagai berikut:
Keterangan:
Pi = peluang kesediaan petani mengadopsi pola konservasi (Pi = 1 jika
petani mengadopsi konservasi, dan Pi = 0 jika petani tidak
mengadopsi konservasi
1 – Pi = peluang ketidaksediaan petani mengadopsi pola konservasi
Zi = keputusan petani
β0 = intersep
βi = parameter peubah (i = 1, 2, 3, …, 10)
UMR = umur (tahun)
PDKN = lamanya petani menempuh pendidikan formal (tahun)
LLHN = luas lahan garapan (Ha)
SLHN = status kepemilikan lahan
D = 1, lahan milik sendiri;
D = 0, lainnya
PDPT = pendapatan tunai petani (Rp/Ha)
45
JTK = jumlah tanggungan keluarga (jiwa)
CURM = tingkat kecuraman lahan usahatani (persen)
PLMN = pengalaman bertani (tahun)
Pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan metode
pendugaan kemungkinan maksimum atau maximum likelihood estimator (MLE).
Pendugaan MLE memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan
dengan parameternya) berbeda membangkitkan contoh-contoh berbeda; suatu
conoth apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang)nya lebih besar berasal
dari beberapa populasi daripada populasi lainnya (Juanda, 2009).
4.5.2 Analisis Nilai Ekonomi
Persamaan berdasarkan teori ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah
dilakukan sebelumnya, diperoleh rumusan yang ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang
Deskripsi Perhitungan
A. Jumlah Produksi Kentang (Kg)
B. Jumlah Kentang yang Dijual (Kg)
C. Harga Kentang (Rp)
D. Penerimaan Total A * C
E. Penerimaan Tunai B * C
F. Biaya Tunai :
Benih (Rp)
Pupuk Organik (Rp)
Pupuk An-organik (Rp)
Pestisida (Rp)
Tenaga Kerja Luar Keluarga (Rp)
Ajir dan Mulsa (Rp)
Bahan Bakar (Rp)
Pajak (Rp)
G. Biaya Diperhitungkan :
Sewa Lahan (RP)
Penyusutan Alat (Rp)
Tenaga Kerja Dalam Keluarga (Rp)
H. Biaya Total F + G
I. Pendapatan Tunai E – F
J. Pendapatan Total D – H
46
Selanjutnya, diperoleh rumusan untuk menghitung nilai ekonomi
konservasi (Incremental Net Benefit) yang ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perhitungan Nilai Ekonomi Adopsi Konservasi
Deskripsi
Sistem Penanaman
Konservasi Non Konservasi
A Penerimaan 1 3
B Biaya 2 4
C Net Benefit dengan Konservasi (Rp) 1-2
D Net Benefit Tanpa Konservasi (Rp) 3-4
E Incremental Net Benefit (Nilai Ekonomi) (Rp) C-D
4.5.3. Pengujian Hipotesis
1. Uji Multikolinearitas
Uji asumsi klasik yang sering dipergunakan dalam regresi linear
berganda adalah uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan
uji multikolinearitas. Dari keempat uji tersebut, uji normalitas, uji
heteroskedastisitas dan uji autokorelasi berkaitan dengan nilai residualnya,
sedangkan uji multikolinearitas berkaitan dengan variabel bebasnya. Uji
multikolinearitas digunakan untuk menguji bahwa tidak ada hubungan
linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut (Juanda, 2009).
Regresi logistik adalah regresi di mana variabel terikatnya adalah dummy,
yaitu 1 dan 0. Dengan demikian, residualnya yang merupakan selisih
antara nilai prediksi dengan nilai sebenarnya tidak perlu diuji. Sehingga
pada regresi logistik, uji asumsi klasik yang perlu dilakukan adalah uji
multikolinearitas. Pada pengujian multikolinearitas, indikasi adanya
korelasi yang kuat antara variabel independen, ditunjukkan dengan angka
korelasi yang melebihi 0,8 (Gujarati, 2004).
47
2. Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test
Uji ini digunakan untuk menguji kelayakan model regresi. Jika nilai
signifikasi Hosmer and Lemeshow’s Test lebih besar dari 0,05 maka
hipotesis nol maka terima hipotesis nol, artinya model regresi layak
digunakan untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat
dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara
klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati.
3. Uji Likelihood Ratio
Untuk menguji apakah model logit secara keseluruhan dapat
menjelaskan keputusan kualitatif (Y), statistik uji yang digunakan adalah
dengan likelihood ratio. Uji Likelihood ratio adalah uji secara keseluruhan
model logit dimana rasio fungsi kemungkinan modelUR (lengkap) terhadap
fungsi kemungkinan modelR (H0 benar) (Juanda, 2009). Hipotesis yang
digunakan adalah:
H0 : β2 = β3 = … = βn
H1 : minimal ada βj ≠ 0, untuk j= 2,3, … n
Statistik uji-G dibawah ini menyebar menurut sebaran khi-kuadrat dengan
derajat bebas (k-1)
Jika menggunakan taraf nyata α, hipotesis Ho ditolak (model signifikan)
jika statistik G > X2
α,k-1
48
4. Omnibus Test of Model Coefficient
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel
yang diuji secara simultan berpengaruh terhadap variabel independent.
Hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope pada model sama
dengan nol harus ditolak jika nilai signifikasi pada nilai Chi-square lebih
kecil dari 0,05.
5. Uji Wald
Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata
terhadap pilihannya, dapat menggunakan statistik uji Wald yang serupa
dengan statistik uji-t atau uji-Z dalam regresi linear biasa (Juanda, 2009).
Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : βj = 0, untuk j= 2,3, …, n
H1 : βj ≠ 0
Statistik uji yang digunakan adalah:
Dimana βj = koefisien regresi
Se (βj) = standard error of β (galat kesalahan dari β)
6. Odds Ratio
Kajian hubungan antara variabel kategorik dikenal adanya ukuran
asosiasi atau ukuran keeratan hubungan antar variabel kategorik. Salah
satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik
adalah odds ratio. Odds ratio sering diistilahkan dengan resiko atau
kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan-1 terhadap peluang
terjadinya pilihan-0 alternatifnya (Juanda, 2009). Secara matematis dapat
ditulis:
49
Dimana : P = peluang kejadian yang terjadi
P – 1 = peluang kejadian yang tidak terjadi
4.5.4. Definisi Operasional
1. Konservasi adalah sistem penanaman yang dilakukan oleh petani yaitu
dengan membuat guludan melintang searah kontur. Sedangkan apabila petani
membuat guludan searang lereng, petani dikatakan tidak melakukan
konservasi.
2. Jumlah produksi kentang adalah jumlah produk kentang yang dihasilkan
dalam produksi, baik yang dijual, dikonsumsi, diberikan, dan dijadikan bibit
diukur dalam kilogram (Kg).
3. Jumlah produksi kentang yang dijual adalah jumlah produk kentang yang
dijual, diukur dalam kilogram (Kg)
4. Harga kentang adalah harga kentang di tingkat petani, diukur dalam
Rupiah/Kg.
5. Penerimaan total adalah jumlah produksi yang diukur dalam kilogram
dikalikan dengan harga kentang di tingkat petani yang diukur dalam rupiah
6. Biaya total adalah jumlah biaya tunai usahatani dan biaya-biaya yang
diperhitungkan dan diukur dalam rupiah
7. Pendapatan total adalah selisih antara total penerimaan usahatani dengan
biaya total dan diukur dalam rupiah
8. Penerimaan tunai adalah jumlah kentang yang dijual dikalikan dengan harga
kentang, dan diukur dalam rupiah
50
9. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan selama usahatani dan diukur
dalam rupiah
10. Pendapatan tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya tunai yang
dikeluarkan petanidan diukur dalam rupiah.
11. Benih adalah jumlah benih yang digunakan petani dalam proses produksi
dikalikan dengan harga benih diukur dalam rupiah (Rp).
12. Pupuk Organik adalah jumlah pupuk kandang (kotoran ayam) dikalikan harga
pupuk kandang. Harga pupuk kandang adalah harga yang diterima petani
ditambah dengan biaya transport dan biaya angkut, diukur dalam rupiah.
13. Pupuk An-Organik adalah jumlah pupuk Urea, ZA, TSP/SP36, KCL, dan
NPK, dikalikan harga masing-masing jenis pupuk. Harga pupuk an-organik
adalah harga yang diterima petani ditambah dengan biaya transport dan biaya
angkut, diukur dalam rupiah.
14. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida, baik cair maupun padat
dikalikan dengan harga pestisida. Dalam penelitian ini jumlah pestisida
dihitung dengan penggunaan pestisida terbanyak oleh petani, yaitu Daconil.
Harga pestisida adalah harga Daconil yang berlaku di daerah penelitian
diatambah dengan transport, diukur dalam rupiah.
15. Tenaga Kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan
kentang, meliputi tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga diukur
dalam hari kerja setara pria (HKP). Harga tenaga kerja adalah upah yang
berlaku di daerah penelitian diukur dalam rupiah.
16. Pajak adalah jumlah pajak yang dibayarkan petani per hektar, diukur dalam
rupiah.
51
17. Sewa Lahan adalah besarnya uang sewa yang berlaku di daerah penelitian,
diukur dalam rupiah.
18. Umur, merupakan umur petani sampai wawancara dilakukan, diukur dalam
tahun
19. Pendidikan Formal Petani, merupakan lamanya pendidikan formal yang
diselesaikan oleh petani, diukur dalam tahun
20. Luas Lahan, Luas lahan merupakan input tetap adalah luas lahan garapan
yang digunakan untuk menanam kentang, diukur dalam hektar.
21. Status Kepemilikan Lahan yang dimaksud adalah status kepemilikan lahan
yang digarap petani untuk menanam kentang. Dibedakan antara petani
pemilik dan petani penyewa. Petani pemilik dalah petani yang akses untuk
dapat menggarap lahan tersebut tanpa hambatan dari orang lain, meskipun
tidak ada status hukum atas lahan tersebut. Petani penyewa adalah petani
yang mengusahakan lahan orang lain dengan memberi imbalan berupa hasil
panen sesuai dengan perjanjian sewa.
22. Pendapatan Petani, pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang
dihasilkan dari usahatani kentang pada musim tanam tahun terakhir.
23. Jumlah Tanggungan Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang secara
ekonomi masih dalam tanggungan petani.
24. Tingkat Kecuraman Lahan Usahatani, Kecuraman lahan yang digunakan
untuk usahatani kentang petani yang diukur dalam persentase.
25. Pengalaman adalah waktu yang dihabiskan petani sejak memulai usahatani,
diukur dalam tahun.
52
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN
5.1. Gambaran Lokasi Penelitian
Kecamatan Pasirwangi merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarang
yang diresmikan pada 20 Januari 2001, terletak 27 km sebelah barat dari Ibu Kota
Kabupaten Garut dan 80 km sebelah selatan dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa
Barat. Secara geografis, kecamatan ini terletak pada 7010’-7
015’ Lintang Selatan
dan 107041’ – 107
050’ Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Pasirwangi adalah
5.002,888 Ha yang terdiri dari perumahan dan pekarangan seluas 347,359 Ha
(6,94 persen), sawah 1.211,42 Ha (24,21 persen), tanah ladang 1.720,651 Ha
(34,39 persen), empang/kolam 38 Ha (0,76 persen), sarana pemerintahan dan
sosial 16,920 Ha (0,34 persen), Hutan 1.167 Ha (33,32 persen), sarana
perdagangan dan jasa 1,25 (0,03 persen), dan lainnya 0,288 Ha (0,01 persen).
Kecamatan Pasirwangi berada pada ketinggian antara 900 – 1400 m diatas
permukaan laut dengan bentuk wilayah, 23 persen datar sampai berombak, 57
persen berombak sampai berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung).
Jenis tanah didominasi oleh jenis asosiasi andosol (60 persen), dan podsolik (40
persen) dengan derajat keasaman (PH) tanah umumnya berkisar 4,5 – 6,5. Suhu
udara berkisar antara 200C- 34
0C dengan Curah hujan rata-rata adalah 1.592,7 mm
per tahun (132,7 mm per bulan). Bulan basah terjadi selama 6,3 bulan, yaitu
periode Oktober sampai dengan April, bulan kering 4,3 bulan, yaitu periode Mei
sampai dengan September. Kondisi ini membuat Kecamatan Pasirwangi
merupakan salah satu wilayah potensial penghasil sayur-mayur.
Secara administratif Kecamatan Pasirwangi terdiri dari 12 desa, yaitu Desa
Pasirwangi, Karyamekar, Padaasih, Padamulya, Padaawas, Padasuka, Pasirkiamis,
53
Sarimukti, Talaga, Barusari, Padamukti, dan Sirnajaya. Batas wilayah
administratif sebagi berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Samarang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukaresmi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung
- Sebelah Timur berbatasn dengan Kecamatan Samarang dan Kecamatan
Bayongbong
5.2. Karakteristik Sosial Ekonomi
Jumlah penduduk di Kecamatan Pasirwangi pada tahun 2011 adalah
66.561 jiwa terdiri dari 33.640 jiwa penduduk laki-laki (50,54 persen) dan 32.921
jiwa penduduk perempuan (49,46 persen). Jumlah kepala keluarga yang berada di
Kecamatan Pasirwangi sebanyak 16.161 jiwa. Mata pencarian yang dominan
terdapat di kawasan ini adalah agribisnis dan perdagangan. Jumlah penduduk yang
bekerja sebagai petani sebanyak 10.027 jiwa (15,06 persen), sebagai buruh tani
sebanyak 1.152 jiwa (1,37 persen), dan pedagang sebanyak 914 jiwa (1,373
persen) dari total penduduk.
5.2.1. Petani
Petani di Kecamatan Pasirwangi dapat digolongkan berdasarkan status
kepemilikan lahan, luas lahan garapan, dan bentang lahan. Berdasarkan status
kepemilikan lahan, petani di Kecamatan Pasirwangi digolongan menjadi pemilik
penggarap sebanyak 1.100 orang, pemilik penggarap sebanyak 4.161 orang,
penggarap sebanyak 2.194 orang, dan penyewa sebanyak 1.001 orang. Petani
memiliki luas lahan garapan yang berbeda-beda. Berdasarkan luas lahan garapan,
jumlah petani dengan luas lahan garapan 0,5 ha sebanyak 1.913 orang, 0,5 – 0,7
54
ha sebanyak 6.378 orang, 0,8 – 1,0 ha sebanyak 3.189 orang, 1,0 – 1,5 ha
sebanyak 1.430 orang, dan lebih dari 1,5 ha sebanyak 1.427 orang.
Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim yang dimiliki, Kecamatan
Pasirwangi sangat cocok untuk pengembangan hampir semua komoditi pertanian,
terutama kembang kol, labu siam, kubis, dan kentang. Selain itu, berdasarkan
bentang lahan, lahan yang berada pada kemiringan 0 – 10 persen sebanyak 287,62
ha, 11 –20 persen sebanyak 579,645 ha, 21 – 30 persen sebanyak 928,405 ha, 31 –
45 persen sebanyak 1.216,125 ha, dan lebih dari 45 persen sebanyak 1.437,015 ha.
5.2.2. Tanaman Kentang
Luas penanaman kentang di Kecamatan Pasirwangi tahun 2009 adalah
2.250 ha dengan luas panen 2.200 ha. Produktivitas yang dicapai oleh petani 175
kw/ha. Masalah teknis yang terjadi pada usahatani kentang di Kecamatan
Pasirwangi adalah penggunaan bibit unggul sesuai anjuran yang dilaksanakan
rata-rata 73 persen akibat harga benih unggul yang relative mahal, dan hanya 34
persen petani yang melaksanakan OPT sesuai anjuran. Sebagian petani
mengendalikan hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida dengan dosis
yang berlebihan dengan frekuensi aplikasi yang terlalu sering, bahkan sebelum
hama/penyakit menyerang. Hal ini berpengaruh pada pemborosan biaya produksi
yang ditanggung petani (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010).
5.3. Karakteristik Responden
Karakteristik responden diperoleh berdasarkan survey yang dilakukan
terhadap 50 petani kentang di Desa Barusari dan Desa Padaawas Kecamatan
Pasirwangi. Karakteristik dibedakan atas petani yang mengadopsi pola konservasi
yaitu sebanyak 36 petani dan yang tidak mengadopsi pola konservasi sebanyak 14
55
petani. Karakteristik umum responden dilihat dari beberapa variabel meliputi jenis
kelamin dan usia, pendidikan formal, luas lahan, status kepemilikan lahan, serta
lama bertani. Selain itu, digambarkan bagaimana kondisi penyuluhan di daerah
penelitian.
5.3.1. Jenis Kelamin dan Usia
Petani yang menjadi sample sebanyak 50 orang yang keseluruhannya
adalah pria dengan tingkat usia yang bervariasi, mulai dari 25 tahun hingga 67
tahun. Petani yang memiliki usia pada kisaran 30-50 tahun sebanyak 64 persen,
diatas 50 tahun sebanyak 28 persen, dan berusia dibawah 30 tahun sebanyak 8
persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi
kurang diminati oleh pria berusia muda. Persentase petani berdasarkan usia dapat
dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Data Primer (2012)
Gambar 2. Karakteristik Petani berdasarkan Usia
Selanjutnya, berdasarkan keputusan untuk melakukan konservasi,
mayoritas petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi
berusia 30-50 tahun yaitu sebanyak 63,89 persen dan 64,29 persen. Selain itu,
yang menarik dari umur petani adalah tidak adanya petani berusia kurang dari 30
yang tidak melakukan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani muda
< 30 th8%
31 - 50 th64%
>51 th28%
56
cenderung lebih mudah menerima penggunaan konservasi untuk usahatani mereka
(Tabel 9).
Tabel 9. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Usia di
Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011
Interval (Tahun)
Konservasi Non-konservasi
Jumlah Petani
(orang) (%)
Jumlah Petani
(orang) (%)
< 30 4,00 11,11 - -
30-50 23,00 63,89 9,00 64,29
>50 9,00 25,00 5,00 35,71
Total 36,00 100,00 14,00 100,00
Usia Rata-rata (Tahun) 42,94 47,14
Usia Maksimum (Tahun) 67,00 60,00
Usia Minimum (Tahun) 25,00 32,00
Sumber: Data Primer (2012)
5.3.2. Lama Bertani
Pengalaman petani yang ditunjukkan dengan lamanya bertani cukup
variatif, yaitu antara 2 tahun hingga 49 tahun. Responden yang telah bertani dalam
waktu kurang dari 10 tahun sebanyak 26 persen, antara 10 tahun – 20 tahun
sebanyak 36 persen, antara 20 tahun – 30 tahun sebanyak 20 persen, dan yang
lebih dari 30 tahun sebanyak 18 persen. Persentase lama bertani petani dapat
dilihat pada Gambar 3. Selanjutnya, karakteristik petani berdasarkan lama bertani
disajikan padaTabel 10.
Sumber: Data Primer (2012)
Gambar 3. Karakteristik Petani berdasarkan Lama Bertani
< 10 th26%
11 - 20 th36%
21 - 30 th20%
> 30 th18%
57
Petani yang berpengalaman lebih dari 20 tahun lebih banyak tidak
melakukan konservasi, yaitu sebanyak 57,14 persen dibandingkan petani yang
melakukan konservasi yang hanya sebanyak 30,55 persen (Tabel 10). Artinya, di
Kecamatan Pasirwangi adopsi pola konservasi kurang diterima oleh petani yang
lebih berpengalaman. Hal ini terjadi karena petani merasa usahatani yang mereka
telah jalankan selama bertahun-tahun lebih mudah untuk dilakukan, dan hasil
yang didapat pun tidak jauh berbeda dengan usahatani yang dilakukan dengan
pola konservasi.
Tabel 10. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Lama Bertani
di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011
Interval
Konservasi Non-konservasi
Jumlah Petani
(orang) (%)
Jumlah Petani
(orang) (%)
< 10 12,00 33,33 1,00 7,14
11-20 13,00 36,11 5,00 35,71
21-30 7,00 19,44 3,00 21,43
>30 4,00 11,11 5,00 35,71
Total 36,00 100,00 14,00 100,00
Lama Bertani Rata-rata (Tahun) 16,81 25,29
Lama Bertani Maksimum (Tahun) 36,00 49,00
Lama Bertani Minimum (Tahun) 2,00 3,00
Sumber: Data Primer (2012)
5.3.3. Pendidikan Formal
Tingkat pendidikan responden cukup variatif. Namun mayoritas responden
berpendidikan SD yaitu sebanyak 64 persen. Responden yang berpendidikan
tamat SMP dan tamat SMA masing-masing sebanyak 30 persen dan 4 persen.
Selain itu, sebanyak 4 persen responden tidak tamatan SD. Persentase tingkat
pendidikan dapat dilihat pada Gambar 4.
58
Sumber : Data Primer (2012)
Gambar 4. Karakteristik Petani berdasarkan Pendidikan Formal
Berdasarkan adopsi konservasi, petani yang melakukan konservasi
maupun tidak melakukan konservasi mayoritas menempuh pendidikan sampai
dengan tamat SD yaitu 61,11 persen petani melakukan konservasi dan 64,29
persen petani tidak melakukan konservasi. Namun, yang menarik adalah tidak ada
petani non-konservasi yang menyelesaikan pendidikan sampai dengan SMA
(Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
kesadaran pentingnya konservasi semakin mudah diterima.
Tabel 11. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Pendidikan
Formal di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011
Interval
Konservasi Non-konservasi
Jumlah Petani
(orang) (%)
Jumlah Petani
(orang) (%)
Tidak Tamat SD 1,00 2,78 1,00 7,14
Tamat SD 22,00 61,11 9,00 64,29
Tamat SMP 11,00 30,56 4,00 28,57
Tamat SMA 2,00 5,56 - -
Total 36,00 100,00 14,00 100,00
Sumber: Data Primer (2012)
5.3.4. Luas dan Status Kepemilikan Lahan
Persentase terbesar penguasaan lahan dari responden yaitu sebesar 46
persen menggarap lahan kurang dari 0,25 ha. Petani dengan lahan garapan antara
Tidak Tamat SD
4%
Tamat SD62%
Tamat SMP30%
Tamat SMA4%
59
0,26 -0,50 ha dan antara 0,51-0,75 ha masing-masing sebanyak 38 persen dan 6
persen. Sebanyak 10 persen responden mengarap lahan lebih dari 0,75 ha.
Persentase lusas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber: Data Primer (2012)
Gambar 5. Karakteristik Petani berdasarkan Luas Lahan
Selanjutnya, luas lahan petani yang melakukan konservasi maupun tidak
melakukan konservasi pun bervariasi. Mayoritas petani menggarap lahan kurang
dari 0,5 ha, yaitu 88,88 persen untuk petani yang melakukan konservasi, dan
71,43 persen untuk petani yang tidak melakukan konservasi (Tabel 12). Hal ini
menunjukkan bahwa petani menggarap lahan sempit.
Tabel 12. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Luas Lahan di
Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011
Interval
Konservasi Non-konservasi
Jumlah Petani
(orang) (%)
Jumlah Petani
(orang) (%)
≤ 0.25 ha 16,00 44,44 7,00 50,00
0.26 - 0.50 ha 16,00 44,44 3,00 21,43
0.51 - 0.75 ha 1,00 2,78 2,00 14,29
≥ 0.76 ha 3,00 8,33 2,00 14,29
Total 36,00 100,00 14,00 100,00
Luas Lahan Rata-rata (ha) 0,32 0,34
Luas Lahan Maksimum (ha) 1,00 0,80
Luas Lahan Minimum (ha) 0,04 0,04
Sumber: Data Primer (2012)
Berdasarkan status kepemilikan lahan, di lokasi penelitian lebih banyak
petani berstatus pemilik, yaitu sebanyak 29 petani (58 persen), sedangkan 21
≤ 0.25 Ha46%0.26 - 0.50
Ha38%
0.51 -0.75 Ha
6%
≥ 0.76 Ha10%
60
petani (42 persen) sisanya berstatus penyewa. Namun, dari 29 petani yang
mengakui lahan tersebut adalah lahan milik mereka, hanya 18 petani yang benar-
benar milik sendiri, sedangkan 11 petani sisanya sebenarnya adalah penggarap
lahan kehutanan. Hal ini terjadi karena tidak ditentukannya biaya sewa lahan oleh
kehutanan karena lahan tersebut sebenarnya memang tidak diperuntukan untuk
lahan pertanian, terutama untuk tanaman semusim. Selain itu, petani merasa telah
mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membuka lahan, sehingga mereka
menggap bahwa lahan tersebut secara otomatis telah menjadi lahan milik mereka.
Namun, jumlah petani pemilik yang digunakan dalam analisis adalah
sebanyak 58 persen petani. Hal ini dikarenakan pembagian status lahan didasarkan
pada upaya pengelolaan, bukan status hukum. Selain itu, petani yang merasa
sebagai pemilik lebih mudah dalam melakukan adopsi konservasi, hal ini
ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Status
Kepemilikan Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011
Interval
Konservasi Non-konservasi
Jumlah Petani
(orang) persentase
Jumlah Petani
(orang) persentase
Sewa 13,00 36,11 8,00 57,14
Milik 23,00 63,89 6,00 42,86
Total 36,00 100,00 14,00 100,00
Sumber: Data Primer (2012)
Berdasarkan Tabel 13 petani yang melakukan konservasi yang menggarap
lahan milik lebih banyak daripada yang menggarap lahan sewa, masing-masing
yaitu 63,89 persen dan 36,11 persen. Sedangkan untuk petani yang tidak
melakukan konservasi, petani penggarap lahan sewa lebih banyak daripada petani
penggarap lahan milik, masing-masing sebanyak 57,14 persen dan 42,86 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa petani pemilik lebih banyak melakukan adopsi
61
konservasi, karena mereka telah sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lahan
garapan mereka untuk menunjang keberanjuran usahatani mereka.
5.3.5. Penyuluhan
Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator Petugas Penyuluh
Lapang (PPL), diakui bahwa bahwa dalam melaksanakan tugasnya hampir 75
persen waktunya habis untuk rapat, membuat laporan dan kegiatan administrasi
lainnya sehingga waktu untuk memberikan penyuluhan berkurang. Pada
umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah penelitian sudah terbentuk
dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain pada materi penyuluhan, juga
jumlah penyuluh di lapangan yang relatif kurang. Para penyuluh yang ada
sekarang sebagian besar mendekati umur pensiun, dan para penyuluh Tenaga
Harian Lepas (THL) yang pada umumnya relatif masih muda.
Digabungkannya para penyuluh dalam satu badan yaitu Badan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( BP3K) membuat para penyuluh
menghadapi kendala dalam memberikan penyuluhan, karena tidak jarang
penyuluh kehutanan atau perikanan harus memberikan penyuluhan tentang
komoditas hortikultura. Akibatnya ada rasa kurang percaya diri dari penyuluh.
Namun, tidak sebaliknya, penyuluh pertanian ataupun perikanan jarang
memberikan materi mengenai kehutanan karena materi penyuluhan lebih
mengarah pada budidaya pertanian, yaitu tindakan pemupukan, pengendalian
hama, pemanenan, dan lain-lain. Padahal sekitar 1.393,433 ha luas areal hutan di
Kecamatan Pasirwangi tahun 2009 merupakan hutan lindung yang dikelola pleh
Perum Perhutani, namun sebagian besar lahannya dirambah oleh masyarakat tani
untuk dijadikan lahan pertanian, hal ini menunjukkan bahwa saat ini petani perlu
62
pembinaan sebagai penyadaran untuk mengurangi bahkan menghentikan
perambahan hutan yang dalam jangka panjang akan berdampak negatif. Sehingga
seharusnya lebih sering diberikan materi mengenai konservasi jika memang sulit
untuk menghentikan perambahan hutan lindung. Selain itu, mayoritas petani
menyatakan tidak pernah bertemu penyuluh dalam satu tahun terakhir ini.
63
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak
ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani
kentang di daerah ini banyak memanfaatkan lahan dengan tingkat kecuraman
lereng tinggi yang kurang cocok untuk usahatani tanaman semusim. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006
Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan, pada
lereng dengan kemiringan 15 – 25 persen, maksimal proporsi tanaman semusim
yang dianjurkan adalah 50 persen, dan sisanya ditanami tanaman tahunan.
Sedangkan pada kemiringan 25 – 40 persen, hanya 25 persen lahan yang
direkomendasikan tanaman semusim. Bahkan pada kemiringan >40 persen,
tanaman semusim tidak direkomendasikan untuk ditanam.
Berdasarkan wawancara, dari 50 petani contoh, sebagian besar petani (56
persen) menggarap lahan untuk usahatani kentang pada kemiringan 15 - 45 persen
(Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan Menteri Pertanian belum
sepenuhnya dilaksanakan di tingkat lapangan.
Tabel 14. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang Dataran Tinggi di
Kecamatan Pasirwangi, 2011
Kecuraman Lereng
(%)
Jumlah Petani
(orang) Persentase
< 14 22,00 44,00
15 – 24 14,00 28,00
25 – 40 11,00 22,00
> 41 3,00 6,00
Total 50,00 100,00
Kecuraman Lereng Rata-rata (%) 16,66
Kecuraman Lereng Maksimum (%) 45,00
Kecuraman Lereng Minimum (%) 0,00
Sumber : Data Primer (2012)
64
Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani mengusahakan
lahan yang kurang sesuai untuk usahatani tanaman kentang. Oleh karena itu,
tindakan konservasi sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi dampak negatif
akibat pengusahaan lahan-lahan di kelerengan tinggi. Salah satu teknik konservasi
yang cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10 – 40 persen adalah teras
gulud, yaitu membuat barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di
bagian belakang gulud (Permentan, 2006). Fungsi dari teras gulud untuk menahan
laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah.
Petani yang melakukan konservasi adalah petani yang melakukan sistem
penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah yang memanjang
menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur) (Gambar 6).
Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng
(Gambar 7) maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada alur-
alur diantara tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan
cepat ke bawah (Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang
menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012).
Gambar 6. Lahan dengan Penanaman
Searah Kontur (Konservasi)
di Kecamatan Pasirwangi,
2011
Gambar 7. Lahan dengan Penanaman
Searah Lereng (Non-
Konservasi) di Kecamatan
PasirWangi, 2011
65
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara, petani yang melakukan pola
konservasi sebanyak 36 petani (72 persen), dan yang tidak melakukan pola
konservasi sebanyak 14 petani (28 persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan
pola konservasi, diperoleh informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan
sistem penanaman guludan searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur
yang dibuat mempermudah pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga
kerja.
6.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi
Konservasi
Analisis regresi logit digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi konservasi pada usahatani kentang di Kecamatan
Pasirwangi. Beberapa literatur (Solis et all, 2009; Katharina, 2007a). menyatakan
bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi yaitu umur
petani, pendidikan petani, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan,
status penguasaan lahan, pendapatan, informasi teknologi yang didapat dari
penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok, dan akses terhadap kredit. Selain
itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi meliputi faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi erosi yaitu jenis tanah, tingkat kecuraman lereng, iklim
(curah hujan), dan panjang lereng.
Berdasarkan literatur yang diperoleh, sumber informasi mengenai
konservasi dapat diperoleh melalui kegiatan penyuluhan dan keikutsertaan dalam
kegiatan kelompok tani. Namun, di daerah penelitian, meskipun penyuluhan
cukup sering dilaksanakan, materi penyuluhan yang disampaikan lebih sering
mengarah pada praktik budidaya, yaitu pembibitan, pemupukan, serta perawatan
tanaman, penyemprotan tanaman, tanpa membahas mengenai praktik konservasi.
66
Selain itu, kelompok tani yang ada jarang melakukan kegiatan, bahkan jika ada
kegiatan, petani enggan ikut serta meskipun terdaftar sebagai anggota. Hal ini
disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan lebih banyak berbentuk penyuluhan atau
bahkan promosi pupuk dan obat yang banyak dilakukan oleh dealer pupuk/obat.
Petani lebih banyak mendapat informasi mengenai tindakan konservasi dari petani
lain. Oleh karena itu, penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak
dimasukkan ke dalam model.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi adalah akses
terhadap kredit. Akses terhadap kredit penting karena berhubungan dengan modal
yang dimiliki petani. Tindakan konservasi yang harus dilakukan petani
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja sehingga modal yang diperlukan lebih
banyak. Namun pada praktiknya petani di Kecamatan Pasriwangi sulit mengakses
lembaga-lembaga keuangan formal karena keterbatasan syarat-syarat yang harus
dipenuhi, seperti agunan serta pola angsuran yang wajib dibayar per bulan,
padahal petani melakukan panen minimal tiga bulan untuk satu musim. Oleh
karena itu petani lebih memilih mengakses kredit informal, yaitu dengan
meminjam dalam bentuk saprodi, seperti pupuk dan pestisida. Sistem ini telah
menjadi kebiasaan bagi petani, karena untuk menanam kentang, modal yang
diperlukan cukup besar. Karena seluruh petani yang menjadi sampel dalam
penelitian ini mengakses kredit dengan cara yang sama, maka variabel ini tidak
dimasukkan kedalam model karena dianggap tidak ada variasi data,.
Faktor penyebab erosi dapat mempengaruhi petani dalam keputusan
adopsi konservasi karena tujuan dari konservasi adalah mencegah atau
mengurangi erosi yang terjadi (Kataharina, 2007). Pada penelitian ini jenis tanah
67
dan iklim (curah hujan) dianggap sama untuk setiap petani karena berada pada
lokasi yang sama. Sehingga variabel ini tidak dimasukan kedalam model. Selain
itu, informasi mengenai panjang lereng cukup sulit didapat karena mayoritas
petani tidak yakin akan panjang lereng dari lahan mereka. Pada saat dilakukan
wawancara para petani hanya dapat mennjawab panjang lereng hanya dengan
perkiraan saja. Selain itu, kurangnya informasi mengenai panjang lereng karena
adanya keterbatasan peneliti dalam mengakses lahan garapan petani. Oleh karena
itu panjang lereng tidak dimasukkan kedalam model. Satu-satunya variabel
lingkungan yang masuk kedalam model adalah tingkat kecuraman lereng, faktor
ini didapat secara sederhana dengan bertanya langsung kepada petani dengan
menggunakan ilustrasi gambar.
Dengan demikian dalam penelitian ini variabel-variabel penjelas yang
digunakan dalam model logit yaitu umur (UMR), pendidikan petani (PDKN), luas
lahan (LLHN), pendapatan (PDPT), jumlah tanggungan keluarga (JTK), tingkat
kecuraman lereng (CURM), pengalaman bertani (PLMN), dan satu variabel
dummy, yaitu status kepemilikan lahan (SLHN). Untuk variabel pendapatan,
pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang diperoleh petani, yaitu
selisih produksi kentang yang dijual dan biaya tunai yang dikeluarkan. Pemilihan
penggunaan perhitungan pendapatan tunai karena pada tingkat petani, keputusan
petani untuk melanjutkan atau melakukan alternatif lain dari usahatani mereka
dipengaruhi oleh pendapatan tunai yang secara riil diterima. Variabel respon yang
digunakan dalam analisis ini adalah peluang petani melakukan pola konservasi.
Jika petani melakukan pola konservasi, maka diberi nilai satu dan jika petani tidak
dilakukan pola konservasi, maka diberi nilai nol.
68
Berdasarkan hasil pengolahan regresi logit diperoleh bahwa 57,1 persen
pengamatan aktual (Y = 0) diprediksi dengan benar dan 91,7 persen pengamatan
aktual (Y = 1) diprediksi dengan benar. Secara keseluruhan, 82,0 persen
pengamatan aktual (Y = 0 atau Y = 1) diprediksi dengan benar (Lampiran 4).
Tabel 15 menyajikan data hasil analisis regresi logit.
Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logit untuk Mengadopsi Konservasi pada
Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011
Variabel Koefisien Sig. Odds Ratio
Constant 0,981 0,766 2,666
UMR 0,026 0,669 1,027
PNDKN -0,178 0,509 0,837
LLHN c -4,727 0,184 0,009
SLHN a 2,583 0,046 13,233
PDPT c 0,000 0,171 1,000
JTK -0,375 0,259 0,687
CURM a 0,125 0,021 1,133
PNGLMN b
-0,079 0,138 0,924
-2 Log likelihood 41,293
Chi-Square 18,002
Hosmer and Lemeshow test
(signifikansi) 0,541
Sumber : Data primer,dioleh (2012)
Keterangan : a = Signifikan pada α = 5 persen
b = Signifikan pada α = 15 persen
c = Signifikan pada α = 20 persen
Berdasarkan Tabel 15, hasil pengujian Hosmer and Lemeshow test,
menunjukkan nilai signifikasi 0,541, lebih besar dari α = 5 persen maka terima H0.
Artinya model regresi layak dipakai untuk analisis selanjutnya dan model yang
dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata
antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati. Selanjutnya, didapatkan
nilai -2 Log likelihood sebesar 41,293 dan nilai Chi-square sebesar 18,002 dengan
69
signifikasi 0,021. Angka ini menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan
bahwa semua slope dalam model sama dengan nol harus ditolak pada taraf nyata α
= 5 persen. Artinya, terdapat minimal satu slope model yang tidak sama dengan
nol atau variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap
peluang mengadopsi atau tidak mengadopsi konservasi. Berdasarkan hubungan
antar variabel (korelasi) masalah multikolinearitas tidak ditemukan pada model
regresi logit, karena hubungan antar variabel independen tidak ada yang bernilai
lebih dari 0,8 (Lampiran 4).
Hasil analisis regresi logit digunakan untuk membangun model yang
menjelsakan pengaruh masing-masing variabel penjelas terhadap variabel respon.
Nilai koefisien (β) menunjukkan pengaruh variabel penjelas terhadap peluang
melakukan adopsi konservasi, yaitu dapat meningkatkan peluang adopsi atau
mengurangi peluang adopsi. Nilai Odds ratio adalah perbandingan antara
besarnya peluang melakukan adopsi konservasi dengan peluang tidak melakukan
adopsi konservasi. Jika nilai Odds ratio sama dengan satu, maka peluang untuk
mengadopsi dan tidak mengadopsi konservasi adalah sama. Nilai Odds ratio lebih
dari satu, maka peluang untuk mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang
tidak mengadopsi konservasi. Sebaliknya, jika nilai Odds ratio kurang dari satu,
maka peluang melakukan adopsi konservasi lebih kecil daripada peluang tidak
melakukan adopsi konservasi. Berdasarkan hasil analisis model regresi pada Tabel
15, persamaan model yang dihasilkan adalah:
70
6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Adopsi
Konservasi
Dilihat dari kriteria ekonomi, berdasarkan hasil regresi logit pada Tabel 15
dari delapan variabel yang dimasukan ke dalam model, empat variabel bertanda
positif (umur, status kepemilikan lahan, pendapatan, dan tingkat kecuraman
lereng), dan empat variabel bertanda negatif (pendidikan petani, luas lahan,
jumlah tanggungan keluarga, dan pengalam bertani). Dilihat dari kriteria statistik,
luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan
pengalaman bertani secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam
mengadopsi pola konservasi. Selain itu, faktor lain yang tidak berpengaruh secara
signifikan pada keputusan petani adalah umur, pendidikan, dan jumlah
tanggungan keluarga.
Variabel tingkat kecuraman lereng memiliki P-value 0,021 berpengaruh
nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Koefisien tingkat kecuraman
lereng memiliki tanda positif, artinya semakin tinggi kecuraman lereng, peluang
untuk melakukan konservasi semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis
awal yaitu semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, maka diharapkan semakin
tinggi kesediaan petani untuk melakukan konservasi, karena semakin tinggi
kecuraman lereng, maka potensi erosi pun semakin besar yang akhirnya akan
menurunkan produktivitas. Nilai odds ratio pada variabel tingkat kecuraman
lereng sebesar 1,133, artinya semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, peluang
untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi daripada peluang tidak melakukan
adopsi konservasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) yang
menyatakan peluang petani Pangalengan untuk melakukan konservasi meningkat
seiring dengan meningkatnya kecuraman lereng.
71
Variabel pendapatan berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai
P-value yang lebih kecil dari α = 0,20, yaitu 0,171. Nilai odds ratio pada variabel
pendapatan adalah 1,00, artinya pengaruh pendapatan terhadap peluang petani
untuk melakukan konservasi sama dengan peluang petani tidak melakukan
konservasi. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang dihitung adalah pendapatan
tunai yang tidak merangkum penerimaan petani dari keseluruhan hasil produksi.
Variabel status kepemilikan lahan memiliki P-value 0,046 berpengaruh
nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Variabel ini mempunyai tanda
positif, artinya status lahan milik dapat meningkatkan peluang petani untuk
mengadopsi pola konservasi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan nilai odds
ratio untuk status kepemilikan lahan sebesar 13,233. artinya, peluang petani
pemilik untuk melakukan konservasi lebih besar dibandingkan dengan petani
penyewa.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi di
Pangalengan. Status sewa lahan yang berdurasi pendek menyebabkan kurangnya
insentif untk melakukan konservasi di lahan yang diusahakannya. Manfaat dari
menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau
panjang. Sebaliknya, kerugian dari tidak menerapkan konservasi pun tidak akan
terasa dalam jangka pendek. Selain itu, menurut Reijntjes (1992) bila petani tidak
yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan,
perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek-praktek
konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah.
72
Variabel luas lahan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan
petani dalam mengadopsi pola konservasi. Hal ini ditunjukkan dengan P-value
0,184 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata α = 0,20. Variabel ini memiliki
koefisien yang bertanda negatif, artinya peningkatan luas lahan dapat mengurangi
peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Hal ini tidak sesuai dengan
hipotesis awal, yaitu luas lahan diharapkan berpengaruh secara positif terhadap
adopsi pola konservasi. Nilai odds ratio pada variabel luas lahan adalah sebesar
0,009, artinya apabila luas lahan semakin meningkat, maka peluang petani untuk
tidak mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang untuk mengadopsi
konservasi.
Berdasarkan pengamatan lapang seperti ditunjukkan pada bab gambaran
umum, rata-rata luas lahan garapan petani konservasi lebih luas dibandingkan
petani non-konservasi (Tabel 12). Selain itu, luas lahan yang ada di Kecamatan
Pasirwangi untuk lahan pertanian terbatas, sehingga jika petani ingin memperluas
lahan garapan ushatani kentang, petani banyak memanfaatkan lahan di lereng
pegunungan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang sebenarnya tidak cocok
untuk usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata luas
lahan garapan petani yang terbesar berada pada tingkat kecuraman lereng lebih
dari 30 persen.
Tabel 16. Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada Berbagai
Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi, 2011
Tingkat Kecuraman Lereng
(%)
Jumlah Petani
(persen)
Rata-rata Luas Lahan Garapan
(ha)
< 14 44 0,292
15-30 42 0,294
>31 14 0,551
Sumber : Data primer,diolah (2012)
73
Salah satu alasan mengapa luas lahan bertanda negatif atau tidak sesuai
dengan harapan karena di daerah penelitian dengan semakin meningkatnya luas
lahan garapan, maka petani kentang membutuhkan modal yang lebih banyak
terutama untuk biaya tenaga kerja. Peningkatan biaya ini disebabkan oleh
semakin tinggi kecuraman lereng pengelolaan usahatani semakin sulit sehingga
lebih banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Disamping itu pada lahan berlereng
untuk mempertahankan produktivitas yang sama petani harus menambahkan
pupuk yang tidak sedikit sehingga memerlukan tambahan biaya yang besar.
Variabel pengalaman berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai
p-value yang lebih kecil dari α = 0,15, yaitu 0,138. Koefisien ini bertanda negatif,
yang berbeda dengan hipotesis awal bahwa pengalaman akan berpengaruh positif
terhadap adopsi konservasi. Pengalaman memiliki nilai odds ratio sebesar 0,924.
ini artinya bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi lebih kecil dari
peluang petani tidak mengadopsi.
Pengalaman berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi
karena pengalaman yang dimasukkan dalam model adalah lama bertani petani
melakukan usahatani kentang, bukan melakukan usahatani dengan konservasi.
Rata-rata lama bertani petani yang melakukan konservasi lebih tinggi daripada
petani yang tidak melakukan konservasi, yaitu 25,29 tahun dan 16,81 tahun (Tabel
9). Terhambatnya penerimaan praktik adopsi konservasi karena banyak petani
yang enggan mencoba inovasi baru akibat kurangnya informasi yang mereka
dapat sehingga masih berfikir bahwa apa yang mereka lakukan selama bertahun-
tahun adalah usaha terbaik untuk melakukan usahatani kentang. Semakin banyak
pengalaman, petani semakin mengetahui risiko produksi dan biaya yang harus
74
ditanggung. Berdasarkan pengalaman petani, untuk melakukan konservasi, yaitu
membuat guludan searah kontur sulit dalam pengerjaan sehingga membutuhkan
tenaga kerja yang lebih banyak. Selain itu dalam pengelolaan tanaman, seperti
penyiraman, pemupukan, penyiangan, dan juga saat panen pun memerlukan
tenaga kerja yang lebih banyak, dan menurut petani penanaman searah kontur
akan menimbulkann penyakit, karena adanya genangan air yang terhambat oleh
guludan.
Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga yang
termasuk faktor internal dalam mempengaruhi keputusan petani tidak berpengaruh
nyata terhadap kesediaan petani mengadopsi konservasi. Variabel-variabel
tersebut tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai p value yang lebih besar
dari α = 0,20, yaitu masing-masing sebesar 0,669, 0,509, dan 0,259.
Jumlah Tanggungan Keluarga memiliki nilai odds ratio sebesar 0,687
dengan koefisien yang beratnda negatif. Artinya peluang petani untuk melakukan
adopsi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi, atau semakin banyak
jumlah tanggungan petani, maka peluang adopsi semakin kecil. Hal ini sesuai
dengan hipotesis awal, bahwa jumlah tanggungan keluarga dapat menurunkan
peluang adopsi konservasi. Tidak berpengaruh nyatanya jumlah tanggungan
keluarga terhadap keputusan adopsi konservasi karena rata-rata jumlah
tanggungan keluarga petani di Kecamatan Pasirwangi hampir sama antar petani
yaitu sebanyak 3 orang (Lampiran 3), sehingga jumlah tanggungan keluarga
bukan penentu keputusan adopsi.
Variabel umur memiliki nilai odds rasio sebesar 1,027. Artinya dengan
meningkatnya umur petani, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi
75
daripada tidak mengadopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Siregar (2006) dan Lapar dan Pandey (1999). Namun, secara statistik umur tidak
berpengaruh nyata terhadap keputusan adopsi konservasi. Pendidikan memiliki
nilai odds rasio sebesar 0,837. Artinya semakin tinggi pendidikan petani peluang
mengadopsi konservasi cenderung lebih kecil daripada tidak mengadopsi
konservasi.
Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak
berpengaruh karena mayoritas petani di Kecamatan Pasirwangi adalah petani
pengikut (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010). Status ini
mengakibatkan petani hanya mengikuti usaha-usaha yang telah secara nyata
memberikan hasil yang lebih baik bagi petani lain yang telah menjalankan inovasi
baru, karena menghindari risiko yang mungkin didapat. Selain itu, tidak
signifikannya variabel-variabel tersebut kemungkinan terkait dengan sifat dan
karakteristik teknik konservasi tersebut yang merupakan program pemerintah,
sehingga kesadaran pentingnya konservasi sangat kurang.
6.2. Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang
Analisis nilai ekonomi konservasi usahatani kentang didasarkan pada
perbedaan pendapatan total (net benefit) antara usahatani kentang yang
menggunakan sistem konservasi dan tanpa konservasi. Analisis pendapatan total
merangkum seluruh biaya yang secara riil dikeluarkan oleh petani dan biaya-biaya
yang diperhitungkan, serta penerimaan dari seluruh hasil produksi usahatani, baik
yang dijual, maupun yang tidak dijual.
Analisis pendapatan untuk usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi
didasarkan pada harga dan upah tenaga kerja yang berlaku di lokasi penelitian
76
pada tahun 2010-2011, dan dilakukan untuk usahatani kentang per satu musim
tanam. Jumlah pestisida dihitung dengan penggunaan pestisida setara Daconil.
Perhitungan biaya pestisida setara Daconil didasarkan pada jumlah petani yang
paling banyak menggunakan jenis pestisida tertentu. Di daerah penelitian
sebanyak 62 persen petani menggunakan merek pestisida Daconil. Jumlah
pestisida yang digunakan dihitung berdasarkan biaya total pestisida per sampel
dibagi dengan harga pestisida Daconil.
Tabel 17 menyajikan data struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan
usahatani kentang per Hektar per musim tanam di Kecamatan Pasirwangi tahun
2011. Berdasarkan hasil analisis, usahatani dengan konservasi memiliki
produktivitas yang lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, yaitu masing-
masing sebesar 18,74 ton/ha dan 16,23 ton/ha. Hasil ini dapat membuktikan
bahwa dengan melakukan konservasi, petani dapat mempertahankan unsur hara
tanah yang baik untuk tanaman, sehingga dapat mempertahankan produktivitas
lahan. Namun, untuk melakukan usahatani dengan konservasi, petani
membutuhkan modal yang lebih banyak dibandingkan usahatani konservasi.
Penggunaan modal yang tinggi dapat terlihat dari biaya yang dikeluarkan
untuk usahatani dengan konservasi lebih tinggi daripada usahatani tanpa
konservasi. Hal ini disebabkan oleh adanya biaya lebih yang dikeluarkan untuk
konservasi, yaitu biaya tenaga kerja, terutama tenaga kerja saat membuat guludan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, pengerjaan guludan yang dibuat searah
kontur lebih sulit dibandingkan dengan pengerjaan guludan searah lereng,
sehingga dibutuhkan waktu pengerjaannya yang lebih lama. Pengeluaran petani
yang melakukan konservasi untuk tenaga kerja luar keluarga lebih tinggi daripada
77
petani yang tidak melakukan konservasi dengan perbedaan Rp 2.209.040,01.
Petani yang tidak melakukan konservasi mengeluarkan biaya tenaga kerja dalam
keluarga yang lebih tinggi daripada petani yang melakukan konservasi dengan
perbedaan Rp 1.655.334,81. Secara total, petani yang melakukan konservasi
mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dengan total perbedaan sebesar
Rp 553.705,2. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani konservasi menyerap tenaga
kerja yang lebih banyak dibandingkan usahatani non-konservasi (Tabel 17).
Tabel 17. Struktur Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usahatani Kentang per
Hektar Per Musim Tanam di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011
Deskripsi
Sistem Penanaman
Perbedaan Konservasi
(Searah Kontur)
Non Konservasi
(Searah Lereng)
Total Produksi (Kg) 18.740,87 16.230,04 2.510,83
Total Jual (Kg) 16.147,21 14.632,31 1.514,90
Harga (Rp) 4.896,60 4.896,60 0,00
Biaya Tunai (Rp)
a. Benih 16.232.891,38 16.311.738,97 -78.847,60
b. Pupuk Organik 7.744.785,71 6.501.938,73 1.242.846,97
c. Pupuk An-Organik 1.359.037,17 1.642.814,33 -283.777,16
d. Pestisida 5.495.524,42 5.218.810,30 276.714,13
e. TK 8.088.993,54 5.879.953,53 2.209.040,01
f.Ajir,Mulsa 2.065.402,52 1.584.723,53 480.678,99
g.Bahan Bakar pompa 338.704,01 421.715,65 -83.011,64
h.Pajak 64.946,11 69.363,91 -4.417,80
Biaya Diperhitungkan (Rp)
a. Sewa Lahan 1.000.000,00 1.000.000,00 0,00
b. Penyusutan 205.078,78 177.871,03 27.207,75
c.TK 1.618.405,77 3.273.740,58 -1.655.334,81
TR tunai (Rp) 79.066.424,34 71.648.556,18 7.417.868,16
TR total (Rp) 91.766.536,09 79.472.008,65 12.294.527,44
TC tunai (Rp) 41.390.284,86 37.631.058,96 3.759.225,90
TC total (Rp) 44.213.769,41 42.082.670,58 2.131.098,84
Pendapatan Tunai (Rp) 37.676.139,48 34.017.497,22 3.658.642,26
Pendapatan Total (Rp) 47.552.766,68 37.389.338,07 10.163.428,60
R-C rasio tunai 1,91 1,90 0,01
R-C rasio total 2,08 1,89 0,19
Sumber: Data Primer (diolah)
78
Berdasarkan Tabel 17, pendapatan tunai yang diterima dalam usahatani
kentang menunjukkan pendapatan per hektar usahatani yang melakukan sistem
konservasi lebih tinggi daripada usahatani tanpa konservasi, sengan perbedaan
sebesar Rp 3.658.642,26/ha. Pendapatan tunai rata-rata usahatani dengan
konservasi sebesar Rp 37.676.139,48/ha, sedangkan pendapatan tunai rata-rata
usahatani tanpa konservasi sebesar Rp 34.017.497,22/ha. Selanjutnya,
berdasarkan pendapatan total yang diperoleh, usahatani kentang dengan
konservasi memberikan pendapatan total yang lebih tinggi daripada usahatani
tanpa konservasi, dengan perbedaan sebesar Rp 10.163.428,60/ha. Usahatani
kentang dengan konservasi memberikan pendapatan total sebesar
Rp 47.552.766,68/ha, lebih besar daripada usahatani tanpa konservasi yang
memberikan pendapatan total sebesar Rp 37.389.338,07/ha.
Hasil analisis pendapatan tunai dapat dapat melihat hasil usahatani secara
riil sehingga dapat mempengaruhi keputusan petani untuk melanjutkan usahatani
yang telah dilakukan atau tidak. Sedangkan analisis pendapatan total dapat
digunakan untuk melihat penampilan usahatani secara keseluruhan, sehingga
dapat dijadikan acuan dalam bisnis (ekonomi), karena telah memperhitungkan
produksi yang dikonsumsi, digunakan dalam usahatani untuk benih, dan untuk
diberikan kepada orang lain (Soekartawi, 1985), serta dapat melihat keberlanjutan
pendapatan dari usahatani tersebut. Pada usahatani kentang di Pasirwangi, kedua
sistem penanaman dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan usahatani kubis di dataran tinggi Provinsi Jawa Barat yang memberikan
pendapatan sebesar Rp 7.039.940/ha (Nahraeni, 2012).
79
Nilai R-C rasio atas biaya tunai usahatani dengan konservasi adalah 1,91,
artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan, memberikan penerimaan
sebanyak 1,91 kali. Sedangkan nilai R-C rasio atas biaya tunai usahatani tanpa
konservasi sebesar 1,90, artinya setiap satu satuan biaya tunai yang dikeluarkan
memberikan penerimaan sebersar 1,90 kali. Sehingga dapat disimpulkan nilai R-C
rasio atas biaya tunai menunjukkan bahwa setiap satuan biaya tunai yang
dikeluarkan dalam usahatani kentang dengan konservasi memberikan penerimaan
yang lebih besar daripada usahatani kentang tanpa konservasi.
Berdasarkan perhitungan R-C rasio atas biaya total, usahatani kentang
dengan konservasi memberikan nilai R-C rasio yang lebih tinggi dari R-C rasio
usahatani kentang tanpa konsevasi. Nilai R-C rasio atas biaya total untuk
usahatani kentang dengan konservasi adalah 2,08 yang artinya setiap satu satuan
biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani, akan memberikan penerimaan
sebanyak 2,08 kali. Sedangkan usahatani tanpa konservasi memberikan nilai R-C
rasio atas biaya total sebesar 1,89, artinya setiap satu satuan biaya total yang
dikeluarkan memberikan penerimaan sebanyak 1,89 kali.
Sistem penanaman yang sama memperlihatkan adanya perbedaan R-C
rasio antara R-C rasio tunai dan R-C rasio total. Pada usahatani kentang dengan
konservasi, terlihat R-C rasio atas biaya total yang lebih besar daripada R-C rasio
atas biaya tunai dengan perbedaan sebesar sebesar 0,17. Artinya dari sisi bisnis,
usahatani kentang dengan konservasi memberikan penerimaan yang lebih baik
dibandingkan perhitungan dari sisi akuntansi. Atau penerimaan yang diperoleh
pada usahatani kentang dengan konservasi dapat didapat secara berkelanjutan. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007b) yang menyatakan manfaat
80
dari menerapkan konservasi akan terlihat dalam beberapa musim dan sifatnya
jangka panjang, selain itu tindakan konservasi tanah merupakan investasi untuk
meningkatkan produktivitas lahan dimasa mendatang (Lapar dan Pandey, 1999).
Sebaliknya, pada sistem usahatani kentang tanpa konservasi, terlihat
bahwa R-C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R-C rasio atas biaya total.
Hal ini menunjukkan bahwa secara riil petani mendapatkan penerimaan yang
lebih besar, namun penerimaan yang didapatkan tidak akan berkelanjutan karena
secara keseluruhan masih banyak biaya yang cukup besar yang dapat mengurangi
penerimaan, terutama jika petani menghitung opportunity cost dari tenaga kerja
dalam keluarga.
Berdasarkan analisis ekonomi, nilai R-C rasio untuk usahatani kentang
dengan konservasi lebih besar daripada usahatani kentang tanpa konservasi,
Artinya setiap satuan biaya yang dikeluarkan pada usahatani dengan konservasi
memberikan penerimaan yang lebih besar dibandingan dengan usahatani tanpa
konservasi. Nilai R-C rasio untuk kedua sistem tanam tersebut lebih besar
daripada nilai R-C rasio hasil analisis Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Garut (2009), yaitu 1,73.
Perbedaan antara usahatani konservasi dan non-konservasi dapat dilihat
dari aspek lingkungan, yang ditunjukkan dengan nilai ekonomi konservasi. Nilai
ekonomi konservasi merupakan keuntungan yang diperoleh petani jika melakukan
konservasi atau kerugian yang diderita petani jika tidak melakukan konservasi.
Oleh karena itu, nilai ekonomi konservasi usahatani kentang adalah selisih
pendapatan total antara petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan
konservasi. Dengan tidak dilakukannya konservasi, maka lahan petani akan
81
mengalami erosi yang lebih tinggi sehingga menghasilkan produksi kentang yang
lebih sedikit dibandingkan dengan petani yang melakukan konservasi, karena
hilangnya unsur hara tanah akibat terbawa erosi. Selain itu petani pun harus
mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk melakukan konservasi.
Analisis pendapatan total merangkum seluruh biaya yang secara riil
dikeluarkan oleh petani dan biaya-biaya yang diperhitungkan, serta penerimaan
dari seluruh hasil produksi usahatani, baik yang dijual, maupun yang tidak dijual.
Oleh karena itu, pebedaan pendapatan total dapat merangkum kerugian petani
yang tidak melakukan konservasi akibat produktivitas yang lebih rendah, serta
tambahan biaya yang dikeluarkan petani untuk konservasi. Berdasarkan hasil
analisis dapat dilihat bahwa perbedaan pendapatan total antara petani yang
melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi sebesar Rp 10.163.428,60
atau nilai ekonomi dari konservasi usahatani kentang sebesar Rp 10.163.428,60
(Tabel 18).
Tabel 18. Perhitungan Nilai Ekonomi Konservasi Usahatani Kentang di
Kecamatan Pasirwangi, 2011
Deskripsi
Sistem Penanaman
Perbedaan Konservasi
(Searah Kontur)
Non Konservasi
(Searah Lereng)
A Penerimaan
Nilai Produksi (Rp) 91.766.536,09 79.472.008,65 12.294.527,44
B Biaya
Biaya Tunai (Rp) 41.390.284,86 37.631.058,96 3.759.225,90
Biaya Diperhitungkan (Rp) 2.823.484,55 4.451.611,61 -1.628.127,06
Biaya Total (Rp) 44.213.769,41 42.082.670,58 2.131.098,84
C Net Benefit dengan
Konservasi (Rp) 47.552.766,68
D Net Benefit Tanpa
Konservasi (Rp) 37.389.338,07
E Incremental Net Benefit
(Nilai Ekonomi) (Rp) 10.163.428,60
Sumber: Data Primer (diolah)
82
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dengan menggunakan analisis regresi logit, umur, status kepemilikan lahan,
pendapatanan dan tingkat kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap
keputusan petani dalam mengadopsi konservasi. Sedangkan pendidikan, luas
lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman berpengaruh secara
negatif. Selanjutnya variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf
nyata α = 20 persen, yaitu luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan,
tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani.
2. Usahatani kentang memberikan keuntungan baik bagi responden yang
mengadopsi konservasi maupun yang tidak mengadopsi konservasi. Namun,
berdasarkan hasil analisis adopsi sistem konservasi yang dilakukan petani
memberikan nilai ekonomi sebesar Rp. 10.163.428,60/Ha.
7.2 SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dirumusakan saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penyuluhan yang membahas mengenai konservasi secara
lebih mendalam tidak hanya fokus pada budidaya tanaman, terutama sasaran
penyuluhan pada petani penyewa-penggarap. Hal ini perlu dilakukan agar
petani lebih paham mengenai manfaat dan biaya yang harus ditanggung
secara lebih jelas sehingga dapat meningkatkan adopsi konservasi,
83
2. Penyuluhan lebih baik diarahkan pada petani yang menggarap lahan di
kecuraman lahan tinggi karena memiliki peluang adopsi konservasi yang
lebih tinggi.
3. Dengan semakin langkanya lahan, petani beralih menggarap lahan kehutanan
pada tingkat kecuraman lahan lebih dari 30 persen yang tidak
direkomendasikan untuk tanaman semusim karena akan memperbesar tingkat
erosi. Dengan demikian pemerintah perlu mempertegas aturan batas
kecuraman lahan yang diperbolehkan ditanam tanaman semusim, khususnya
kentang.
84
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Aryadi H. 2006. Analisis Karakteristik Spasial Penggunaan Lahan dan Tingkat
Kerusakan Akibat Gempa Melalui Penggunaan Sistem Informasi Geografi
(SIG) (Studi Kasus Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut Sebelum dan
Sesudah Gempa). [Skripsi]. Program Studi Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut PErtanian Bogor, Bogor.
Abdurachman A. dan Sutono S. 2002. Teknologi pengendalian Erosi Lahan
Berlereng. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian
Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat Bogor. dalam Katharina, R. 2007. Adopsi
Konservasi Sebagai Bentuk Investasi Usaha Jangka Panjang (Studi Kasus
Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi Pangalengan). Jurnal
Manajemen dan Agribisnis. Vol. 4 No. 1 Maret 2007.
Badan Kebijakan Fiskal. 2011. Pertumbuhan PDB Menurut Sektor Ekonomi
2005-2010. Kementrian Keuangan RI, Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kabupaten Garut. 2010. Programa Penyuluh
Pertanian BPP Kecamatan Pasirwangi Tahun 2010. Garut
Badan Pusat Statistik. 2003. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
. 2004. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
. 2005. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
. 2006. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
. 2007. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
. 2008. Luas Lahan Menurut Penggunaanya. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2012. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi
Statistik No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012. Jakarta Indonesia.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 2012. Profil Garut per Kecamatan 2012.
Garut
85
Bandara DGVL, Thiruchelvam S. 2008. Factor Affecting the Choice of Soil
Conservation Practices Adopted by Potato Farmers in Nuwara Eliya
District, Sri Lanka. Tropical Agricultural Research & Extension 11, 2008.
Barbier EB. 1996. The Economic of Soil Erosion: Theory, Methodology, and
Examples. Spesial paper. Paper based on a Presentation to the Fifth
Biannual Workshop on Economy and Environment in Southeast Asia.
Singapore, November 28-30, 1995.
D’Souza G, Cyphers D, and Phipps T. 1993. Factor Affecting the Adoption of
Sustainable Agricultural Practices. Agricultural dan Resource Economics
Review. October 1993.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Usahatani. Departemen
Pendidikan.
Departemen Pertanian. 2006. Lampiran Peraturan Menteri Pertanian. Nomor :
47/Permentan/Ot.140/10/2006 Tanggal : 9 Oktober 2006 Tentang
Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan.
Departemen Pertanian. http://perundangan.deptan.go.id/admin/p_mentan/
Permentan-47-06.pdf diakses pada 5 Januari 2012
Dewi YA, Hendayana R. 2002. Usaha Konservasi Tanah dan Air Sebagai
Alternatif Peningkatan Pendapatan Petani di Lahan Kering (Kasus
Konservasi Tanah dan Air di Desa Rejosari, Kecamatan Semin, Kabupaten
Gunungkidul, Propinsi DIY). ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2005/SP/
usahakonservasi.doc diakses pada tanggal 5 Februari 2011.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2003. Buku Informasi
Sayuran. Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Bandung.
. 2010. Laporan Tahunan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
. 2011. Laporan Tahunan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. 2009. Profil Tanaman
Kentang di Kabupaten Garut. http://www.garut.kab.go.id diakses pada 3
Maret 2012.
Feder, G. and T. Ochan. 1987. Land Ownership Security and Farm Investment in
Thailand. American Journal of Agriculture Economics. 69:311-320. dalam
Katharina R. 2007. Adopsi Sitem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang
di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gujarati, D. 2004. Basic Econometrics, Fourth Edition. The McGraw-
HillCompanies.
86
Hardjanto, A. 2010. Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Petani dalam Adopsi Teknologi Konservasi Lahan (Studi Kasus di: Daerah
Tangkapan Air (DTA) Saguling, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Harijaya, O. 1995. Konservasi Tanah dan Air Lanjutan Bahan Kuliah Program
Pascasarjana IPB. (Tidak Diterbitkan). dalam Ladamay I. 2010.
Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Haryati U, dan Erfandi D. 2011. Laporan Akhir Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan Lahan untuk Meningkatkan Produktivitas
Hortikultura > 20% Mendukung Pengembangan Kawasan Hortikultura.
Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.
Henny H. 2012. Perencanaan Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang
di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi. [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hidayat A, Mulyani A. 2005. Lahan Kering untuk Pertanian dalam Buku
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering, Menuju Pertanian Produktif dan
Ramah Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
Hwang S W, J Alwang, and GW Norton. 1994. Soil Coservation Practices and
Farm Income in the Dominican Republic. Agricultural System 46: 59-77.
Elseiver Science Limited. dalam Katharina R. 2007. Adopsi Sitem
Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi
Kecamatan Pangalengan, Bandung [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Indraningsih K.S. 2010. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal kasus Adopsi
Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana IPB.
Joseph PM, Chimvuramahwe J, Borerwe R. 2012. Adoption and Efficiency of
Selected Conservation Farming Technologies in Madziva Communal
Area, Zimbabwe: A Transcendental Production Function Approach.
Bulletin of Environment, Pharmacology & Life Sciences. Volume 1, Issue
4, March 2012: 27 – 38.
Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.
Kadekoh I. 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan dengan
Sistem Polikultur Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi
Lahan Marginal.
87
Katharina R. 2007a. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahatani Kentang di
Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan, Bandung
[Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
. 2007b. Adopsi Konservasi Sebagai Bentuk Investasi Usaha Jangka
Panjang (Studi Kasus Usahatani Kentang Lahan Kering Dataran Tinggi
Pangalengan). Jurnal Manajemen dan Agribisnis. Vol. 4 No. 1 Maret
2007.
Ladamay I. 2010. Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan [Disertasi].
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lapar Ma. Lucila A, and Pandey S. 1999. Adoption of Soil Conservation: The
Case of The Philippine Uplands. Agricultural Economics 21 (1999) 241-
256.
Lionberger HF. 1968. Adoption of New Ideas and Practices. Iowa: The Iowa State
University Pr. dalam Indraningsih K.S. 2010. Penyuluhan pada Petani
Lahan Marjinal kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Sekolah
Pascasarjana IPB.
Minardi S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan
Pertanian Tanaman Pangan dalam Makalah Seminar Optilmalisasi
Sumberdaya Pertanian pada Agroekosistem Lahan Kering. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementrian Pertanian.
Nahraeni W. 2000. Keputusan Petani dalam Penerapan Teknologi Tanam Benih
Langsung (Tabela) Program Pengkajian SUTPA [Tesis]. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
. 2012. Efisiensi dan Nilai Keberlanjutan Usahatani Sayuran Dataran
Tinggi di Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Pattanayak SK, Mercer DE, Sills E, and Yang JC. Taking Stock of Agroforestry
Adoption Studies. Jurnal Agroforestry System. 57:173-186.
Pindyck RS, Rubinfeld DL. 1998. Econometric Models and Economic Forecasts
Fourth Edition. The McGraw-Hill Companies. New York.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering, Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
Rahim SE. 2003. Pengendalian erosi tanah: dalam rangka pelestarian lingkungan
hidup. Jakarta: Bumi Aksara
88
Reijntjes C, Haverkort B, Waterrs-Bayer A. 1992. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk PErtanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah
(Farming For The Future, An introduction to Low-External-Input and
Sustainable Agriculture. Sukoco Y. Kanisius. Yogyakarta.
Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovation Third Edition. The Free Press. New
York.
, dan Schoemaker FF. 1986. Communication of Inovators A Cross-
Cultural Approach. The Mc Milland. New York. dalam Nahraeni W.
2000. Keputusan Petani dalam Penerapan Teknologi Tanam Benih
Langsung (Tabela) Program Pengkajian SUTPA [Tesis]. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sabarman D. 2006. Pengembangan Usaha Pertanian Konservasi Tanaman Akar
Wangi (Studi Kasus Das Cimanuk Hulu, Kabupaten Garut) [Disertasi].
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Selian ARK. 2008. Analisa kadar Unsur Hara Kalium (K) dari Tanah Perkebunan
Kelapa Sawit Bengkalis Riau Secara Spektrofootometri Serapan Aton
(SSA) [Tugas Akhir]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sumatera Utara, Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/13969/1/09E00416.pdf. diakses pada 4 Juni 2012.
Siregar H. 2006. Social-Economic Reasons to Soil Conservation: An Econometric
Analysis on Cross-Sectional Lore Lindu Data. Jurnal Agro Ekonomi,
Volume 24 No. 1, Mei 2006.
Soeharjo dan Patong, 1973. Ilmu Usahatani, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press.
, Soeharjo A, Dillon J, Hardaker J. 1985. Ilmu Usahatani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker JB,
Penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Farm Management
Research for Small Development.
Solis D, Bravo-Ureta BE, dan Quiroga RE. 2009. Technical Efficiency among
Peasant Farmers Participating in Natural Resource Management
Programmes in Central America. Journal of Agricultural Economics, Vol.
60, No. 1, 2009, 202-219.
Suratiyah K. 2011. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya.
Yana B. 2010. Nilai Ekonomi Pengendalian Erosi Hutan Alam Produksi: Kasus di
IUPHHK-HA PT. Autral Byna, Kabupaten Barito Utara, Provinsi
Kalimantan Tengah [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran 1. Luas lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia Tahun 2003-2007
Tahun Lahan Sawah Lahan Kering*)
Luas (ha) Perkembangan Luas (ha) Perkembangan
2003 Jawa 3.257.048 3.178.554
Luar Jawa 4.824.433 33.504.166
Indonesia 8.081.481 36.682.720
2004 Jawa 3.211.605 -1,40 3.134.613 -1,38
Luar Jawa 4.687.611 -2,84 7.234.074 11,13
Indonesia 7.899.216 -2,26 10.368.687 10,05
2005 Jawa 3.232.998 0,67 3.162.780 0,90
Luar Jawa 4.580.318 -2,29 6.290.392 -2,53
Indonesia 7.813.316 -1,09 9.453.172 -2,27
2006 Jawa 3.235.455 0,08 3.160.182 -0,08
Luar Jawa 4.627.763 1,04 3.639.763 -7,30
Indonesia 7.863.218 0,64 6.799.945 -6,73
2007 Jawa 3.231.882 -0,11 3.224.888 2,05
Luar Jawa 4.650.678 0,50 3.500.539 -0,41
Indonesia 7.882.560 0,25 6.725.427 -0,20
Rata-
rata
Jawa -6.292 -0,19 11.584 0,37
Luar Jawa -43.439 -0,90 -907 0,22
Indonesia -49.730 -0,61 10.677 0,21
Sumber : Luas Lahan Menurut Penggunaannya, BPS (2003 – 2007), diolah.
Keterangan : Lahan kering meliputi lahan tegal/kebun, Ladang/huma, Lahan
Sementara tidak Diusahakan, Rawa yang tidak ditanami
91
91
Lampiran 2. Analisis Usahatani Kentang Konservasi dan Non-Konservasi per Hektar per Musim Tanam di Dua Desa Kecamatan
Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011
Uraian
Konservasi (Searah Kontur) Non-Konservasi (Searah Lereng)
Jumlah Harga satuan
(Rp) Nilai (Rp) Jumlah
Harga satuan
(Rp) Nilai (Rp)
Output
Produksi (kg)
1 Jual 16.147,21 4.896,60 79.066.424,34 14.632,31 4.896,60 71.648.556,18
2 Konsumsi 92,77 4.896,60 454.258,39 50,68 4.896,60 248.139,68
3 Diberikan 130,48 4.896,60 638.900,06 66,49 4.896,60 325.573,98
4 Benih 2.370,41 4.896,60 11.606.953,31 1.480,57 4.896,60 7.249.738,81
Penerimaan Tunai
79.066.424,34
71.648.556,18
Penerimaan Total
91.766.536,09
79.472.008,65
Input
Biaya Tunai
1 Pajak Lahan
64.946,11
69.363,91
2 Benih (kg) 1.418,02 11.447,57 16.232.891,38 1.424,91 11.447,57 16.311.738,97
3 Pupuk (kg)
ZA 323,02 1.458,84 471.238,80 303,89 1.458,84 443.334,85
TSP 183,19 2.190,55 401.289,95 268,86 2.190,55 588.942,53
KCL 36,86 3.293,09 121.384,94 34,13 3.293,09 112.379,76
Kandang 19.638,04 394,38 7.744.785,71 16.486,62 394,38 6.501.938,73
Cair 18,83 19.393,00 365.123,48 25,69 19.393,00 498.157,19
4 Pestisida (liter) 38,29 143.507,83 5.495.524,42 36,37 143.507,83 5.218.810,30
5 Ajir (buah) 5.080,21 221,45 1.125.019,22 1.189,81 221,45 263.485,00
92
92
Lampiran 2. Lanjutan
Uraian
Konservasi (Searah Kontur) Non-Konservasi (Searah Lereng)
Jumlah Harga satuan
(Rp) Nilai (Rp) Jumlah
Harga satuan
(Rp) Nilai (Rp)
6 Mulsa (buah) 2,00 470.191,65 940.383,30 2,81 470.191,65 1.321.238,53
7 Bahan Bakar Pompa (liter) 64,68 5.236,75 338.704,01 80,53 5.236,75 421.715,65
8 Tenaga Kerja Luar Keluarga (HKP) 402,24 20.110,00 8.088.993,54 292,39 20.110,00 5.879.953,53
Biaya Diperhitungkan
1 Sewa Lahan
1.000.000,00
1.000.000,00
2 Penyusutan Alat
205.078,78
177.871,03
3 Tenaga Kerja Dalam Keluarga (HKP) 80,48 20.110,00 1.618.405,77 162,79 20.110,00 3.273.740,58
Biaya Tunai Total 41.390.284,86 37.631.058,96
Biaya Diperhitungkan Total 2.823.484,55 4.451.611,61
Biaya Total 44.213.769,41 42.082.670,58
Pendapatan atas Biaya Tunai 37.676.139,48 34.017.497,22
Pendapatan atas Biaya Total 47.552.766,68 37.389.338,07
93
93
Lampiran 3. Karakteristik Responden di Dua Desa Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut, Tahun 2011
NO NAMA RESPONDEN KONSERVASI UMR PDKN LLHN SLHN PDPT JTK CURM PLMN
1 Juju 0 55,00 9,00 0,44 MILIK 9.396.000,00 1,00 4,00 36,00
2 Asum Syaiful R. 1 36,00 9,00 0,42 MILIK 14.932.500,00 3,00 8,00 2,00
3 Danu 1 37,00 6,00 0,49 SEWA 16.963.400,00 3,00 7,00 10,00
4 Ucup Kurnia 1 42,00 6,00 0,18 MILIK 6.566.000,00 6,00 15,00 34,00
5 Alit 1 47,00 6,00 0,70 MILIK 7.993.500,00 4,00 45,00 21,00
6 Ruhiyat 1 65,00 6,00 0,28 SEWA 3.032.200,00 1,00 8,00 15,00
7 Ade Juanda 1 56,00 9,00 0,80 MILIK 32.092.500,00 2,00 15,00 20,00
8 Piyat Supriatna 1 31,00 9,00 0,10 MILIK 2.447.500,00 4,00 8,00 5,00
9 Ayyub 0 60,00 6,00 0,80 SEWA 18.113.090,91 3,00 13,00 49,00
10 Amin 1 52,00 6,00 0,20 MILIK 3.740.000,00 5,00 4,00 36,00
11 Amang Ristandi 1 40,00 6,00 0,10 SEWA 4.525.333,33 3,00 20,00 20,00
12 Dani Hamdani 1 53,00 6,00 0,50 SEWA 16.659.000,00 3,00 15,00 20,00
13 Aat Sapaat 1 34,00 6,00 0,18 SEWA 312.000,00 3,00 20,00 5,00
14 Ujang Husnul H. 1 32,00 9,00 0,08 MILIK 1.350.200,00 3,00 15,00 8,00
15 Yaya 0 41,00 6,00 0,32 SEWA 2.022.000,00 6,00 45,00 3,00
16 Ade Hidayat 0 48,00 6,00 0,32 SEWA 13.638.883,33 4,00 25,00 28,00
17 Alit Lesmana 1 35,00 9,00 0,16 MILIK 1.202.701,56 3,00 15,00 10,00
18 Barnas 0 36,00 6,00 0,04 SEWA 3.005.000,00 3,00 10,00 17,00
19 Idan 1 37,00 12,00 0,32 MILIK 5.769.500,00 5,00 30,00 17,00
20 Endang 0 60,00 6,00 0,80 SEWA 35.441.260,91 3,00 10,00 49,00
21 Saepurohman 1 37,00 12,00 0,16 SEWA 8.541.875,00 5,00 35,00 17,00
22 Dadan Hamdani 1 31,00 9,00 0,07 MILIK 2.856.041,67 2,00 7,00 7,00
23 Acung Sucipto 0 47,00 6,00 0,10 MILIK 2.119.000,00 4,00 3,00 31,00
94
94
Lampiran 3. Lanjutan
NO NAMA RESPONDEN KONSERVASI UMR PDKN LLHN SLHN PDPT JTK CURM PLMN
24 Tarna Sutarna 1 67,00 6,00 0,12 MILIK 9.924.137,50 1,00 15,00 27,00
25 Muchsin 0 47,00 9,00 0,14 MILIK 2.500.750,00 4,00 5,00 21,00
26 Sukon 1 52,00 6,00 0,40 MILIK 23.477.750,00 2,00 6,00 8,00
27 Holil 1 50,00 6,00 0,35 SEWA 2.942.000,00 3,00 15,00 31,00
28 Dirman 1 38,00 6,00 0,28 MILIK 16.293.950,00 3,00 30,00 3,00
29 H. Toad 1 60,00 6,00 1,00 MILIK 13.863.729,50 1,00 35,00 30,00
30 Mimin 1 50,00 6,00 0,35 SEWA 19.190.750,00 3,00 15,00 31,00
31 Asep Suharto 0 39,00 6,00 0,16 SEWA 4.539.000,00 3,00 20,00 19,00
32 Dadi 1 60,00 6,00 1,00 MILIK 34.569.567,00 1,00 35,00 30,00
33 Syamsudin 0 59,00 2,00 0,20 MILIK 1.353.000,00 6,00 0,00 39,00
34 Ucep Rohmat 0 32,00 6,00 0,56 MILIK 8.616.250,00 3,00 0,00 11,00
35 Udin 1 46,00 6,00 0,12 MILIK 5.794.044,50 5,00 6,00 21,00
36 Idho 1 40,00 6,00 0,42 MILIK 3.491.850,00 3,00 25,00 21,00
37 Adun 1 25,00 6,00 0,14 MILIK 5.163.000,00 2,00 30,00 7,00
38 Nandang 0 46,00 9,00 0,56 MILIK 15.594.600,00 6,00 0,00 15,00
39 Icang Suparman 1 45,00 6,00 0,04 MILIK 1.036.140,00 4,00 5,00 18,00
40 Caca Amir 1 44,00 9,00 0,40 SEWA 21.005.700,00 5,00 15,00 2,00
41 Eno 1 36,00 9,00 0,40 SEWA 15.300.400,00 1,00 30,00 8,00
42 Sodin 1 55,00 6,00 0,44 MILIK 37.820.500,00 1,00 15,00 20,00
43 Iman Setiawan 1 48,00 3,00 0,28 MILIK 23.442.344,18 4,00 15,00 20,00
44 Ujang Deni 1 29,00 6,00 0,32 SEWA 2.983.500,00 2,00 35,00 16,00
45 Uus Bunai 1 30,00 9,00 0,16 MILIK 11.373.000,00 4,00 9,00 11,00
46 Iwan Supriatna 1 40,00 6,00 0,20 SEWA 4.292.333,33 4,00 25,00 23,00
95
95
Lampiran 3. Lanjutan
NO NAMA RESPONDEN KONSERVASI UMR PDKN LLHN SLHN PDPT JTK CURM PLMN
47 Eep 1 30,00 9,00 0,16 MILIK 6.175.000,00 4,00 8,00 11,00
48 Enjang 1 36,00 9,00 0,36 SEWA 17.804.750,00 3,00 45,00 20,00
49 Tatang Hidayat 0 52,00 9,00 0,24 SEWA 14.028.000,00 1,00 5,00 21,00
50 Ade Handa 0 38,00 6,00 0,10 SEWA 4.584.000,00 2,00 10,00 15,00
Rata-rata 44,12 7,00 0,33 10797590,65 3,20 16,62
KETERANGAN :
UMR = Umur (Tahun)
PDKN = Lama Pendidikan (Tahun)
LLHN = Luas Lahan (Hektar)
SLHN = Status Kepemilikan Lahan
PDPT = Pendapatan (Rupiah)
JTK = Jumlah Tanggungan Keluarga (Jiwa)
CURM = Tingkat Kecuraman Lereng (Persen)
PLMN = Pengalaman Bertani (Tahun)
96
Lampiran 4. Hasil Output Regresi Logit dengan SPSS 16.0
Classification Table
a,b
Observed
Predicted
KONSERV Percentage
Correct 0 1
Step 0 KONSERV 0 0 14 .0
1 0 36 100.0
Overall Percentage 72.0
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is .500
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 18.002 8 .021
Block 18.002 8 .021
Model 18.002 8 .021
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square Nagelkerke R
Square
1 41.293a .302 .435
a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 6.964 8 .541
Classification Table
a
Observed
Predicted
KONSERV Percentage
Correct 0 1
Step 1 KONSERV 0 8 6 57.1
1 3 33 91.7
Overall Percentage 82.0
a. The cut value is .500
97
Variables in the Equation
B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)
Step 1a UMR .026 .062 .182 1 .669 1.027
PNDKN -.178 .270 .436 1 .509 .837
LLHN -4.727 3.557 1.766 1 .184 .009
SLHN 2.583 1.296 3.972 1 .046 13.233
PDPT .000 .000 1.875 1 .171 1.000
JTK -.375 .332 1.276 1 .259 .687
CURM .125 .054 5.322 1 .021 1.133
PNGLMN -.079 .053 2.198 1 .138 .924
Constant .981 3.296 .089 1 .766 2.666
a. Variable(s) entered on step 1: UMR, PNDKN, LLHN, SLHN, PDPT, JTK, CURM, PNGLMN.
Correlation Matrix
Constant UMR PNDKN LLHN SLHN PDPT JTK CURM PNGLMN
Step 1
Constant 1.000 -.671 -.546 -.113 .071 .188 -.428 -.163 .096
UMR -.671 1.000 -.066 -.239 .228 .101 .093 .320 -.622
PNDKN -.546 -.066 1.000 .339 -.509 -.471 .262 -.375 .382
LLHN -.113 -.239 .339 1.000 -.491 -.799 .320 -.379 .223
SLHN .071 .228 -.509 -.491 1.000 .597 -.494 .654 -.352
PDPT .188 .101 -.471 -.799 .597 1.000 -.325 .407 -.292
JTK -.428 .093 .262 .320 -.494 -.325 1.000 -.309 -.015
CURM -.163 .320 -.375 -.379 .654 .407 -.309 1.000 -.279
PNGLMN .096 -.622 .382 .223 -.352 -.292 -.015 -.279 1.000
98
Lampiran 5. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: Aryadi (2006)
99
RIWAYAT HIDUP
Dinda Asyifa Devi dilahirkan di Garut pada tanggal 5 September 1990
putri dari pasangan Bapak Entang Sutarsa, S. Pd, M. Pd dan Ibu Dr. Ir. Wini
Nahraeni, M. Si. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pada
tahun 1996 penulis memulai studinya di SDN Brawijaya Kota Sukabumi dan lulus
pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Kota Sukabumi dan
lulus pada tahun 2004, melalui program akselerasi. Setelah itu penulis
melanjutkan sekolah di SMAN 3 Kota Sukabumi, dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan studi dengan
menjadi mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas
Ekonomi dan Manajemen.
Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi dalam kampus, yaitu Shariah
Economic Student Club (SES-C) FEM IPB sebagai bendahara divisi Riset pada
periode 2008-2009, dan bendahara divisi Sharia Research and Education (Shar-e)
pada periode 2009-2010. Selain itu, penulis aktif di Ikatan Keluarga Mahasiswa
Sukabumi (IKAMASI).