Upload
letruc
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ANALISIS OTONOMI DAERAH DALAM MENGUATKAN
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
(STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 Juncto UNDANG-UNDANG NO 12 TAHUN 2008 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH)
DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
NURIA SISWI ENGGARANI
NIM: T310907006
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Ikutilah diriku bila aku maju, doronglah diriku bila aku berhenti, dan berilah aku inspirasi bila aku jatuh
Hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada Allah lah kami meminta pertolongan (QS AL Fatihah)
Kupersembahkan karya ini dengan penuh rasa syukur kepada :
1. Kedua Orang Tuaku yang penulis hormati dan sayangi.
2. Suami dan anakku yang tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Dengan Mengucapkan Syukur Alhamdulillah, Penulis Panjatkan Kehadirat
Illahi‟ Robby Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Yang Telah
Melimpahkan Rahmat, Taufiq Dan Hidayahnya, Sehingga Penulis Dapat
Menyelesaikan Disertasi Yang Berjudul Analisis Otonomi Daerah Dalam
Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang No 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintahan Daerah).
Tujuan ini diawali rasa keprihatinan penulis yang mengamati bahwa
otonomi daerah di Indonesia yang berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 masih
menimbulkan kekhawatiran keluar dari bingkai Negara kesatuan Republik
Indonesia, terbukti dengan dianutnya system otonomi seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten kota dengan pembagian
kewenangan yang menganut system residu.
Penulis sangat menyadari keterbatasan bekal ilmu yang dimiliki, ketika
meyusun disertasi. Banyak pihak yang baik secara langsung maupun tidak
langsung telah memberikan masukan, arahan, bimbingan dan spirit yang luar
biasa, sehingga penulis dapat meningkatkan pemahaman ilmu dan pengetahuan
dalam menyelesaikan disertasi ini. Untuk itu dalam konsep ini perkenankan
penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan dalam pengantar disertasi
ini:
1. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr. H Ravik Karsidi
MS, Rektor UNS yang telah memfasilitasi penulis dalam proses
penyusunan disertasi sehingga mempermudah penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini.
2. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr. Hartiwiningsih,
Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memfasilitasi penulis dalam
proses penyusunan disertasi sehingga mempermudah penulis dalam
menyelesaikan disertasi ini.
3. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Adi
Sulistiyono,SH.,MH.Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum UNS Surakarta dan Prof Dr. Supanto, SH.,M.Hum, Sekretaris
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Surakarta.
4. Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Prof Setiono,
SH.M.S selaku Promotor yang dengan keilmuan, ketelitian dan
kesabarannya telah membimbing dan selalu mensuport penulis untuk
menyelesaikan disertasi ini.
5. Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Co promotor
Dr. I.G. Ayu Ketut Rachmi H.,SH.,MM. yang dengan keilmuan,
ketelitian dan kesabarannya telah membimbing dan selalu mensuport
penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
6. Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Co promotor
Dr. Drajat Trikartono, M.Si. yang dengan keilmuan, ketelitian dan
kesabarannya telah membimbing dan selalu mensuport penulis untuk
menyelesaikan disertasi ini
7. Penulis mengucapkan terimakasih yang teramat kepada Prof. Dr.
Arief Hidayat, SH.,MS, Prof. Dr. Andrik Purwasito DEA, Dr. Hj.
Ni‟matul Huda,SH.,M.Hum selaku penguji disertasi yang telah
bersedia menyediakan waktu untuk memberikan masukan-masukan
terkait penulisan disertasi penulis.
8. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ibu Dosen
UMS Dr Aidulfitriciada ashari SH.M.Hum, Prof Harun SH,M.um,
Iswanto SH.,MH, dan Inayah SH.,MH yang ikut serta memberikan
sumbangsih keilmuan dalam penyusunan disertasi ini.
9. Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para staf
program Doktor ilmu hukum yang sudah turut serta membantu
memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.
Surakarta, April 2014
Penulis
Nuria Siswi Enggarani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRAK
Nuria Siswi Enggarani, 2014, Analisis Otonomi Daerah Dalam Menguatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Juncto Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah). Promotor: Prof. Dr. H. Setiono,SH.,M.S, Co Promotor Dr. I.G. Ayu
Ketut Rachmi H.,SH.,MM dan Dr. Drajat Trikartono, M.Si. Disertasi. Surakarta:
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan mengkaji otonomi daerah di Indonesia dalam menguatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UU No 32/2004. Mengkaji
ketentuan UU No 32/2004 menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menemukan model otonomi daerah yang dapat menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang memfokuskan pada data
kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan sekunder dengan
menggunakan penalaran deduktif.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asas-asas hukum, sistematika
peraturan perundang-undangan, penelitian terhadap taraf sinkronisasi dari
peraturan perundang-undangan, penelitian terhadap sejarah hukum sereta
menggunakan penafsiran hukum
Urusan dan pengawasan merupakan elemen yang paling penting dalam rangka
menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan dasar bagi
diterapkannya otonomi luas. Indikator yang digunakan untuk mengetahui bahwa
UU No 32/2004 dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
tidak adalah dilihat dari elemen urusan dan pengawasan. Jika penulis melihat
urusan dan pengawasan dalam ketentuan UU No 32/2004 menimbulkan asumsi
penafsiran yang mengarah pada kecenderungan menguatkan kearah federalisme
dan menguatkan kearah resentralisasi yaitu (1) pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan rumah tangga dengan asas
otonomi bukan asas desentralisasi; (2) penggunaan otonomi seluas-luasnya; (3)
penggunaan prinsip kewenangan sisa; (4) perincian urusan wajib dan pilihan yang
sama baik bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; (5) penggunaan
urusan yang bersifat concurrent untuk urusan wajib dan pilihan dan (6)
pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib. Penyebab Otonomi Daerah
Menurut UU No 32/2004 Tidak menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah (1) Konsep pemberian kewenangan menurut UU No 32/2004 yang
dirumuskan dalam bentuk kewenangan sisa (residu power)mengarah pada
federalisme; (2) penggunaan asas otonomi dan otonomi seluas-luasnya pada
awalnya lahir berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, dapat membahayakan keutuhan
NKRI karena otonomi seluas-luasnya diartikan secara salah berkaitan dengan
jumlah urusan rumah tangga suatu daerah; (3) pola pembagian kewenangan
diperinci dan dibagi bersama / concurent, serta pengawasan terhadap pelaksanaan
urusan wajib menyebabkan pengekangan terhadap kebebebasan dalam berotonomi
dan (4) UU No 32/2004 mengadopsi kebebasan untuk menentukan jenis otonomi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
Model otonomi yang menguatkan Negara kesatuan terletak pada sistem
pembagian urusan dan pengawasan. (1) Model otonomi yang menguatkan negara
kesatuan terletak pada pembagian kewenangan dengan mengubah sistem otonomi
seluas-luasnya menjadi otonomi kesejahteraan nasional, fokus dan bertanggung
jawab; (2) Sistem pembagian urusan diberi frase “tambahan kewenangan lain”
bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dan diperinci tetapi fokus sesuai dengan
acuan dalam penyusunan system pembagian urusan pusat dan daerah. Pembagian
urusan yang bersifat Concurrent hanya terletak pada urusan pemerintah dalam
rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak concurrent pada
semua bidang urusan baik pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota; (3)
Penggunaan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara
seimbang; (4) Pengawasan represif dan pengawasan prefentif tetap diperlukan dan
pengawasan prefentif tidak hanya ditujukan terhadap rancangan peraturan daerah
yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR saja namun
ditujukan terhadap semua jenis rancangan peraturan daerah dalam rangka
menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetapi pengawasan
terhadap pelaksanaan urusan wajib, dihapus karena pengawasan telah dilakukan
oleh gubernur sebagai wakil pemerintah. Kedudukan provinsi sebagai daerah
otonom dihapus provinsi hanya berkedudukan sebagai wilayah administratif saja;
dan Bentuk otonomi yang dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah otonomi daerah dalam bentuk otonomi luas dan otonomi khusus atau
desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris tersebut dilakukan untuk
memperkuat integrasi nasional sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan menempatkan hukum dan demokrasi sebagai pilar utamanya, untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dengan tetap menjaga nilai-nilai
keberanekaragaman daerah, baik dalam bentuk keistimewaan ataupun
kekhususan.
Kata kunci: Otonomi Daerah, Penguatan, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, UU No 32/2004.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
ABSTRACT
Ms. Nuria Siswi Enggarani, 2014, Analysis of Regional Autonomy in
Strengthening Unitary state Republic of Indonesia (a Study about the Law
Number 32 Year 2004 Juncto Law No. 12 Year 2008 on Regional Government).
Promoter: Prof. Dr.. H. Setiono, SH., M.S, Co Promoter Dr. I.G. Ayu Ketut
Rachmi H., SH., MM And Dr. Drajat Trikartono, M.Si. Dissertation. Surakarta:
Doctoral Program of Legal Studies Faculty of Law, Sebelas Maret University.
This study aims to assess the regional autonomy in Indonesia in strengthening the
Republic of Indonesia under Law No. 32/2004. Reviewing the provisions of Law
No. 32/2004 that strengthens Unitary Sate Republic of Indonesia and find a model
that can strengthen it.
This research is a normative legal literature that focuses on the literature data in
the form of primary and secondary legal materials using deductive thought.
The approach used is using principles of law approach, systematic legislation,
research on the synchronization level of legislation, research on legal history as
well as using legal interpretation.
Affairs and supervision is the most important element in strengthening the
framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia and is the basis for
the implementation of special autonomy. Indicators used to determine that the Act
No. 32/2004 can strengthen the Republic of Indonesia or not is seen from the
elements affairs and supervision. If the writers sees the affairs of the provisions of
Law No. 32/2004 lead to the interpreted assumption that lead to a federalism and
toward recentralization namely (1) the provincial government and district or city
govern and manage the affairs of the internal with the principle of autonomy and
not the principles of decentralization, (2) the use of broadest autonomy, (3) the use
of the principle of residual authority, (4) details of obligatory and optional choice
for the provincial government and district or city, (5) the use of concurrent matters
for compulsory and optional affair and (6) monitoring the implementation of
obligatory functions. Causes of Regional Autonomy According to Law No.
32/2004 do not strengthen the Republic of Indonesia is (1) The concept of
granting authority under Law No. 32/2004 which was formulated in the form of
residual authority (residual power) leads to federalism, (2) the use of the principle
of autonomy and widest autonomy at first birth based on MPRS No.
XXI/MPRS/1966 about granting autonomy to the regions, can jeopardize the
integrity of the Unitary Republic of Indonesia because it is defined wrongly that
correlate to the number of household affairs of a region, (3) the pattern of power
distribution is itemized and shared or concurrent, and supervising the obligatory
affairs led crackdown on freedoms in the autonomy and (4) Law No. 32/2004
adopted the freedom to determine the type of autonomy. Model of autonomy that
strengthens the unity of the State lies in the distribution of affair and monitoring
systems. (1) Model State autonomy strengthens the unity namely in changing the
system of broad autonomy to national prosperous autonomy, focus and
responsibility, (2) System of affairs division is given phrase “another additional
authority” for the local government district or city and they are detailed but
focused in accordance with arranging the distribution system of national and local
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
affairs, Concurrent assignment of functions are only in the affairs of government
in order to strengthen the Republic of Indonesia, not concurrent in all areas of
business including government, provincial and district or city, (3) the use of the
principle decentralization, de-concentration and co-administration are done justly;
(4) repressive surveillance and preventive supervision are still required and it is
not only purposed toward planning of district rules that order district tax,
retribution, budget and general design of city only but it is purposed toward all
kinds of district rules in order to strengthen the Republic of Indonesia but the
supervise compulsory affairs are removed, because it has been done by the
governor as a government representative. Position of the province as a
autonomous region is removed and it only serves as an administrative area, and
form of autonomy that can strengthen unitary state of Indonesia is regional
autonomy in the form of wide autonomy and specific autonomy or asymmetric
decentralization. The asymmetric decentralization in order to strengthen national
integration as the Republic of Indonesia to put law and democracy as its main
pillar, to realize a just and prosperous society, while maintaining the values of the
diversity of the district, either in the form of privileges or specificity.
Keywords: Regional Autonomy, strengthening, the Unitary State Republic of
Indonesia, Law No. 32/2004.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
Ringkasan Desertasi
Konsep negara kesatuan dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1
(1),berbunyi: “Negara Indonesia Ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”. Bentuk negara kesatuan telah disepakati oleh para founding fathers,
dalam sidang BPUPKI, salah satu founding fathers Muhammad Yamin
memaparkan supaya merumuskan:” Negara kesatuan, cita-cita pelaksanaan
unitarisme, perasaan unitarisme hanyalah dapat diwujudkan dengan Negara
Kesatuan atau eenheidsstaat”. Dasar unitarisme, yaitu kesatuan Indonesia, tidak
pecah-pecah, baik mengenai pemerintahannya maupun mengenai bangsanya
maupun daerahnya.
Pasal 18 lama diamandemen menjadi Pasal 18, 18 A dan 18B UUDNRI
1945. Pasca reformasi pasal 18, 18A dan 18B UUDNRI 1945 memberikan
landasan konstitusional bagi pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 18(2)
menyatakan bahwa:”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”. Pasal 18(5) menyatakan bahwa: “Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya,kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Pasal 18
amandemen juga menekankan pada pengakuan kekhususan dan keistimewaan
satuan-satuan pemerintahan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18B UUD 1945
bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
System otonomi yang dianut UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai pengaturan lebih lanjut dari Pasal 18 amandemen adalah menganut asas
otonomi seluas-luasnya baik didaerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang
diatur secara tersurat dalam Pasal 2 (2) (3) dan Pasal 3, sedangkan asas
dekonsentrasi diatur dalam posisi Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah
(Pasal 37 (1) (2)).UU No.32 /2004 juga menganut paham pembagian urusan,
dimana pembagian urusan dirinci menjadi urusan wajib dan urusan pilihan dan
urusan tersebut sama untuk pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota (Pasal
13 dan Pasal 14). Sehingga titik tekan pada UU No 32/2004 ada pada urusan.
Sedangkan otonomi khusus juga diakomodasi dalam pada Pasal 225 dan 226 yang
pada intinya Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi
khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan
khusus yang diatur dalam undang-undang lain yang berlaku bagi Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua,
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus
dalam Undang-Undang tersendiri. Dalam penjelasan UU No 32/2004 huruf (b)
juga tersurat bahwa setiap daerah diberikan kebebasan untuk menentukan isi dan
jenis otonomi, dalam artian tidak selalu sama antara daerah satu dengan daerah
lainnya.
Jika penulis melihat dalam UU No 32/2004 terdapat beberapa Pasal yang
menimbulkan asumsi penafsiran yang mengarah pada kecenderungan tidak
menguatkan Negara kesatuan, indicator menguatkan Negara kesatuan adalah pada
kewenangan dan pengawasan, yaitu terdapat pada Pasal 2(3) ( menguatkan ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
arah federalisme), Pasal 10(2) (menguatkan ke arah federalisme), Pasal 11(1)
(menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 11(3) (menguatkan ke arah
resentralisasi), Pasal 13(1) (menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 14(1)
(menguatkan ke arah resentralisasi), Pasal 218 (1) (menguatkan ke arah
resentralisasi).
Dalam Pasal 2 (3) dan Pasal 10(2) terkait dengan kewenangan, pada intinya
menyebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah
kabupaten dan kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan. Pada Pasal 11 (1) dan Pasal 11 (3) Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi
adalah urusan wajib dan urusan pilihan. Dalam penjelasan UU No 32/2004 yang
terletak pada dasar pemikiran tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan
yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi
adalah urusan yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama
antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 13 (1) dan Pasal 14 (1) pada
intinya urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota adalah sama dan dirinci menjadi 16 urusan. 16
urusan wajib tersebut yang membedakan hanyalah skala. Sedangkan Pasal 218 (1)
pada intinya pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
dilaksanakan oleh Pemerintah selain pengawasan terhadap peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah pengawasan juga dilakukan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah. Pengawasan terhadap pelaksanaan urusan mengarah
kepada kecenderungan resentralisasi.
Dari beberapa pasal diatas terutama pasal 2 (3) dan pasal 10 (2) UU No
32/2004 sebenarnya pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sudah
diberikan kewenangan yang seluas-luasnya dengan asas otonominya, karena
istilah otonomi berarti dapat melaksanakan pemerintahan sendiri, namun dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah masih menimbulkan munculnya
UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang sebelumnya provinsi Aceh
juga sudah mendapat otonomi khusus (UU No 18/2001). UU No 11/2006 hasil
dari MoU Helsinki memuat kewenangan Pemerintah Aceh yang sangat luas,
Hakekat dari pada suatu negara kesatuan, baikpersatuan (union) maupun kesatuan
(unity) L.J. Van Apeldoorn, mengatakan “...suatu Negara disebut Negara kesatuan
apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-
provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat. Provinsi-provinsi itu tidak
mempunyai hak mandiri”.
Penulis dalam penelitian ini hanya membahas UU No 32 Tahun 2004, tidak
membahas UU No 12 Tahun 2008 dikarenakan tidak terkait dengan pokok-pokok
yang penulis bahas dalam UU No 32 Tahun 2004 yaitu tentang kewenangan dan
pengawasan. Alasan perlunya UU No 32/2004 dibahas adalah karena beberapa
pasal terkait dengan kewenangan dan pengawasan dalam UU No 32/2004 menurut
pendapat penulis mengandung penafsiran yang mengarah pada kecenderungan
tidak menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi malah menguatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
kearah federalisme dan menguatkan ke arah resentralisasi. Berdasarkan latar
belakang diatas maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah: Pertama,
Apakah ketentuan UU No 32/2004 menguatkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; Kedua, Bagaimanakah Model dan Bentuk otonomi daerah yang dapat
menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Penelitian ini bertujuan mengkaji otonomi daerah di Indonesia dalam
menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UU No 32/2004.
Mengkaji ketentuan UU No 32/2004 menguatkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan menemukan model otonomi daerah yang dapat menguatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif yang memfokuskan pada data kepustakaan yang berupa bahan hukum
primer dan sekunder dengan menggunakan penalaran deduktif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan asas-asas hukum, sistematika peraturan perundang-
undangan, penelitian terhadap taraf sinkronisasi dari peraturan perundang-
undangan, penelitian terhadap sejarah hukum serta menggunakan penafsiran
hukum.
Pendekatan Teori yang digunakan adalah Pertama; teori negara kesatuan
menggunakan teori C.F. Strong. Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah
bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan
legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada
pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan
sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan
dengan sistim desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap
di tangan pemerintah pusat. Kedua; teori pembagian kekuasaan menggunakan
teori pembagian kekuasaan CF Strong. Menurut CF Strong pembagian kekuasaan
dalam Negara Federal dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung di mana
letaknya “Reserve of Powers” atau “dana kekuasaan”:Pertama, Undang-Undang
Dasar memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal (misalkan
kekuasaan untuk mengurus soal hubungan luar negeri, mencetak uang dan
sebagainya) sedangkan sisa kekuasaan yang tidak terinci diserahkan kepada
Negara-negara bagian. Sisa kekuasaan ini dinamakan reserve of powers atau dana
kekuasaan.; Kedua, Undang-Undang Dasar merinci satu persatu kekuasaan
pemerintah negara-negara bagian, sedangkan dana kekuasaan diserahkan kepada
pemerintah federal. Ketiga;model otonomi dalam menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menggunakan Teori Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen,
Pemberlakuan otonomi daerah yang berbeda antara satu daerah dengan daerah
lain, bahwa desentralisasi merupakan salah satu bentuk organisasi negara atau
tatanan hukum negara. Tatanan Hukum desentralisasi menunjukkan adanya
berbagai kaidah hukum yang berlaku sah pada wilayah yang berbeda. Ada kaidah
yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara (central norm) dan ada kaidah
berlaku sah dalam wilayah yang berbeda disebut kaidah desentral atau kaidah
lokal (decentral or local norm). Teori Hans Kelsen menjelaskan bahwa
pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai otonomi daerah
sebagai tatanan hukum desentralistik yang dikaitkan dengan wilayah (territorial)
sebagai tempat berlakunya kaidah hukum secara sah sebagai konsepsi statis dari
desentralisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Urusan dan pengawasan merupakan elemen yang paling penting dalam
rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan dasar
bagi diterapkannya otonomi luas. Indikator yang digunakan untuk mengetahui
bahwa UU No 32/2004 dapat menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau tidak adalah dilihat dari elemen urusan dan pengawasan. Jika penulis melihat
urusan dan pengawasan dalam ketentuan UU No 32/2004 menimbulkan asumsi
penafsiran yang mengarah pada kecenderungan menguatkan kearah federalisme
dan menguatkan kearah resentralisasi yaitu (1) pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan rumah tangga dengan asas
otonomi bukan asas desentralisasi; (2) penggunaan otonomi seluas-luasnya; (3)
penggunaan prinsip kewenangan sisa; (4) perincian urusan wajib dan pilihan yang
sama baik bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota; (5) penggunaan
urusan yang bersifat concurrent untuk urusan wajib dan pilihan dan (6)
pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib. Penyebab Otonomi Daerah
Menurut UU No 32/2004 Tidak menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah (1) Konsep pemberian kewenangan menurut UU No 32/2004 yang
dirumuskan dalam bentuk kewenangan sisa (residu power)mengarah pada
federalisme; (2) penggunaan asas otonomi dan otonomi seluas-luasnya pada
awalnya lahir berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, dapat membahayakan keutuhan
NKRI karena otonomi seluas-luasnya diartikan secara salah berkaitan dengan
jumlah urusan rumah tangga suatu daerah; (3) pola pembagian kewenangan
diperinci dan dibagi bersama / concurent, serta pengawasan terhadap pelaksanaan
urusan wajib menyebabkan pengekangan terhadap kebebebasan dalam berotonomi
dan (4) UU No 32/2004 mengadopsi kebebasan untuk menentukan jenis otonomi.
Hasil temuan dan analisis diatas adalah sebagai berikut: Model otonomi
yang menguatkan negara kesatuan terletak pada sistem pembagian urusan dan
pengawasan. (1) Model otonomi yang menguatkan negara kesatuan terletak pada
pembagian kewenangan dengan mengubah sistem otonomi seluas-luasnya
menjadi otonomi kesejahteraan nasional, fokus dan bertanggung jawab; (2) Sistem
pembagian urusan diberi frase “tambahan kewenangan lain” bagi pemerintah
daerah kabupaten/kota dan diperinci tetapi fokus sesuai dengan acuan dalam
penyusunan system pembagian urusan pusat dan daerah, dengan pengertian
bahwa “apa saja” Urusan Pemerintah Pusat senantiasa dilaksanakan untuk urusan-
urusan pemerintahan yang berdampak nasional (lintas Provinsi) dan internasional
serta Membuat aturan main dalam bentuk norma, standar dan prosedur untuk
melaksanakan suatu urusan pemerintahan; Urusan Pemerintah Wilayah Provinsi
difokuskan untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdampak
regional/lintas kabupaten/kota dan urusan pemerintah lainnya sesuai dengan
kebijakan pemerintah dan Koordinasi, pembinaan, pengawasan dan monitoring
terhadap urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Urusan kabupaten/kota, mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar dan prosedur yang ditetapkan
pemerintah dan urusan-urusan tertentu yang focus menyangkut pelayanan dasar
dan pelayanan masyarakat. Pembagian urusan yang bersifat Concurrent hanya
terletak pada urusan pemerintah dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
Republik Indonesia, tidak concurrent pada semua bidang urusan baik pemerintah,
provinsi dan kabupaten/kota; (3) Penggunaan asas desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan secara seimbang; (4) Pengawasan represif dan pengawasan
prefentif tetap diperlukan dan pengawasan prefentif tidak hanya ditujukan
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi
daerah, APBD, dan RUTR saja namun ditujukan terhadap semua jenis rancangan
peraturan daerah dalam rangka menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
akan tetapi pengawasan terhadap pelaksanaan urusan wajib, dihapus karena
pengawasan telah dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah. Kedudukan
provinsi sebagai daerah otonom dihapus provinsi hanya berkedudukan sebagai
wilayah administratif saja; dan (4) Bentuk otonomi yang dapat menguatkan
Negara kesatuan republik indonesia adalah otonomi daerah dalam bentuk otonomi
luas dan otonomi khusus atau desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris
tersebut dilakukan untuk memperkuat integrasi nasional sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan menempatkan hukum dan demokrasi sebagai pilar
utamanya, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, dengan tetap
menjaga nilai-nilai keberanekaragaman daerah, baik dalam bentuk keistimewaan
ataupun kekhususan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Dissertation Summary
Unitary state concept can be seen in the enactment 1945 Section 1 (1), reads: "Indonesia
is the Unitary State in the form of the Republic". A unitary state has been agreed by the
founding fathers, in BPUPKI session, one of the founding fathers Muhammad Yamin
explained that: "The Unitary state, implementation goal of unity, unity feelings can only
be realized with the Unitary state or eenheidsstaat". Unitary basis, is the unity of
Indonesia, not cracked, either the government or the nation or the region.
The old Article 18 to the amended Article 18, 18 A and 18B UUDNRI 1945. After the
reform era, article 18, 18A and 18B of the 1945 UUDNRI provide the constitutional
basis for the implementation of decentralization. In Article 18 (2) states that: "The
provincial, district and municipal government organize and manage their own affairs
according to the principle of autonomy and assistance". Article 18 (5) states that: "The
local government runs autonomy, except in matters of government that are prescribed
by law as the affairs of the central government". Article 18 amendment also emphasizes
the specificity of recognition and privileges of government units, as defined in section
18B of the 1945 Constitution that: "The State recognizes and respects units of
government that are special and that are regulated by the law".
System autonomy followed by Law No. 32/2004 on Regional Government as further
regulation of Article 18 of the amendments are adopted the principle of autonomy both
provincial and local or city who are expressly stipulated in Article 2 (2) (3) and Article
3, whereas deconcentration role of Governors is set in a position as a government
representative (Article 37 (1) (2).) Act No. 32/2004 also adopts affairs division, where
the distribution of specified matters be detailed as a compulsory business and option
affairs and those affairs are similar for the provincial government and district or city
(Article 13 and Article 14). So the pressure point on the Law No. 32/2004 is in the
business. While autonomy is also accommodated in the Articles 225 and 226 are
essentially districs with special status and given special autonomy than regulated by this
Act also enacted special provisions set out in the law that apply to Special Capital
Region of Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Papua province, and the province of
Yogyakarta as long as not specifically stipulated in the separated Act. In explanation of
the Law No. 32/2004 (b) also implied that each district is given the freedom to
determine the content and type of autonomy, in the sense that not always the same
between the regions with other regions.
If the writer saw in Law No. 32/2004 article, there are several assumptions which raise
the interpretation that leads to a tendency not strengthen the unitary State, the indicator
of strengthening the unitary State is in the authority and supervision, which is contained
in Article 2 (3) (towards strengthening federalism), Article 10 (2) (towards
strengthening federalism), Article 11 (1) (strengthening towards recentralization),
Article 11 (3) (strengthening towards recentralization), Article 13 (1) (strengthening
towards recentralization), Article 14 (1) (reinforcing towards recentralization), Article
218 (1) (strengthening towards recentralization).
In Article 2 (3) and Article 10 (2) relating to authority, in essence, states that the
provincial government, the local government district and city in running the affairs of
the authority of local government autonomy to run based on the principles of autonomy
and assistance. In Article 11 (1) and Article 11 (3) Government affairs that become
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
local government authority, which was held by the criteria of externality, accountability
and efficiency is obligatory functions and affairs of choice. In explanation of the Law
No. 32/2004 which lies in the thought of the division of governmental affairs, affairs
organized by the criteria of externality, accountability and efficiency are matters that are
concurrent means that the handling of government affairs in part or particular areas can
be implemented jointly by the Government and local government . Article 13 (1) and
Article 14 (1) is essentially obligatory functions under the authority of the provincial
government and the local government district or city is broken down into 16 equal and
affairs. 16 obligatory functions are identified by the scale. While Article 218 (1) in
essence supervision over local governments conducted by the Government in addition
to the supervision of the head and of the local rules, supervision is also made toward
government business in the district. Supervision toward the implementation of the
affairs that leads to a tendency of recentralization.
From some of the above article, especially article 2 (3) and Article 10 (2) of Law No.
32/2004 is actually the provincial government and district or city has been given the
broadest possible authority to the principle of autonomy, because the term autonomy
means it can carry out self-government, but in the course of the regional administration
is still causing the emergence of Act No. 11/2006 on Aceh Government, which was
previously the province of Aceh has also received special autonomy (Law No. 18/2001).
Law No. 11/2006 contains the results of the Helsinki MoU Aceh Government
authorities that are very broad, the essence of a unitary state, either union and unity
(unity) LJ Van Apeldoorn, saying "... a State called unitary state where power is held by
the central government, while the provinces receive power from the central government.
Provinces do not have independent rights ".
The author in this study only discusses Act No. 32 of 2004, does not address the Act
No. 12 of 2008 because not related to the main points that the author discussed in Law
No. 32 of 2004 which is about the authority and supervision. The reason behind the Act
No. 32/2004 is due to a number of articles discussed related to the authority and
supervision of the Law No. 32/2004 in the opinion of the author containing the
interpretation that leads to a tendency not strenthen the Republic of Indonesia but
instead towards strengthening federalism and strengthen toward recentralization. Based
on the above background, the issues to be raised are: First, whether the provisions of
Law No. 32/2004 strengthens the Republic of Indonesia; Second, How is Model and
Shape that strengthen the autonomy of the Unitary Republic of Indonesia?
This study aims to assess the regional autonomy in Indonesia in strengthening the
Republic of Indonesia under Law No. 32/2004. Reviewing the provisions of Law No.
32/2004 that strengthens the Republic of Indonesia and finds a model that can
strengthen local autonomy of the Unitary Republic of Indonesia. This research is a
normative legal literature that focuses on the data in the form of primary and secondary
legal materials using deductive thought. The approach used is general principles of law
approach, systematic legislation, research on the synchronization level of legislation,
research on the history of the interpretation of the law and law interpretation.
Theoritical approach used is First; unitary state theory using theory C.F. Strong.
According C.F. Strong , the unitary state is form of the state in which the supreme
legislative authority concentrated in the national legislature or center. Power lies in the
central government and not in the local government. The central government has the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
authority to give up some of its power to the regions based on the right to autonomy
(unitary state with decentralized systems), but at the last stage of the ultimate power
remains in the hands of the central government. Second, the theory of the division of
power using a power-sharing CF Strong theory . According to CF Strong power
distribution in the Federal State can be done in two ways , depending on where it is
located " Reserve of Powers " or " fund of power " : First , the Constitution specifies
one after the federal government's power ( eg power to take care about foreign relations
, printing money and so on ) while the remaining power is no detail left to the states .
The rest of the power is called the reserve fund of powers or authority . ; Second , the
Constitution specifies one by one power of the states governments , while fund of power
handed to the federal government . Third, the model in strengthening the autonomy of
the Republic of Indonesia using the Theory of Hans Kelsen . According to Hans Kelsen
, The implementation of regional autonomy which vary from one region to the other ,
that decentralization is one form of state organization or state legal order. Law Order of
decentralization indicates a variety of valid legal norms applicable in different areas .
There are accepted rules valid for the entire territory of the country ( central norm) and
there are valid rules apply in different areas called decentralized or local rules(decentral
or local norm). Hans Kelsen's theory explains that the implementation of some
legislation on local autonomy as a decentralized legal order that is associated with the
region ( territory ) as a legitimate entry into force of the rule of law as a static
conception of decentralization
Affairs and supervision is the most important element in strengthening the framework of
the Unitary State of the Republic of Indonesia and is the basis for the implementation of
special autonomy. Indicators used to determine that the Act No. 32/2004 strengthen the
Republic of Indonesia or not is seen from the elements affairs and supervision. If the
writers see the affair and control of the provisions of Law No. 32/2004 lead to the
assumption that leads to a tendency not strengthening federalism and not toward
recentralization namely (1) the provincial government and district or city govern and
manage the affairs of the household with the principle of autonomy and is not the
principle of decentralization , (2) the use of broad autonomy, (3) the use of the principle
of residual authority, (4) details of obligatory and choice equally for the provincial
government and district or city; (5) using matters that are concurrent for the mandatory
business and choice and (6) monitoring the implementation of obligatory functions.
Causes of Regional Autonomy According to Law No. 32/2004 are not strengthening the
Republic of Indonesia is (1) The concept of granting authority under Law No. 32/2004
which was formulated in the form of residual authority (residual power) leads to
federalism, (2) the use of the principle of widest autonomy at first birth based MPRS
No. XXI/MPRS/1966 about granting autonomy to the regions, can jeopardize the
integrity of the Unitary Republic of Indonesia that is interpreted mistakenly related to
the number of household affairs of a region, (3) the pattern of distribution and shared
authority or concurent, and supervision of the affairs led to crackdown on freedoms in
the autonomous and (4) of Law No. 32/2004 adopted the freedom to determine the type
of autonomy.
The findings and analysis above are as follows: Model autonomy strengthens the unity
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xx
of the country lies in the assignment of functions and monitoring systems. (1) Model
State autonomy strengthens the unity namely in changing the system of broad autonomy
to national prosperous autonomy, focus and responsibility, (2) System of affairs division
is given phrase “another additional authority” for the local government district or city
and they are detailed but focused in accordance with arranging the distribution system
of national and local affairs, with the understanding that "everything" is always held the
Central Government Affairs for governmental affairs for the national impact (across the
province) and internationally as well and build rules in the form of norms, standards and
procedures to implement a government affairs; Provincial Government Affairs is
focused to carry out the affairs that impact regional or cross county or city and other
government affairs in accordance with government policy and coordination, guidance,
supervision and monitoring of government affairs conducted by the district or city.
Affairs of the district or city, organize and administer the affairs of government in the
scale of districts or municipalities in accordance norms, standards and procedures set by
the government and certain affairs that focus regarding basic services and community
services. Concurrent assignment of functions are only in the affairs of government in
order to strengthen the Republic of Indonesia, not concurrent in all areas of business
including government, provincial and district or city, (3) use of the principle of
decentralization, de-concentration and co are balanced assistance; (4) repressive
surveillance and preventive supervision are still required and it is not only purposed
toward planning of district rules that order district tax, retribution, budget and general
design of city only but it is purposed toward all kinds of district rules in order to
strengthen the Republic of Indonesia but the supervise compulsory affairs are removed,
because it has been done by the governor as a government representative. Position of
the province as a autonomous region is removed and it only serves as an administrative
area, and (4) form of autonomy that can strengthen a unitary state of Indonesia is
autonomy in the form of regional autonomy and the special autonomy or asymmetric
decentralization. The asymmetric decentralization strengthen national integration as the
Republic of Indonesia to put law and democracy as its main pillar, to realize a just and
prosperous society, while maintaining the values of the diversity, either in the form of
privileges or specificity.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN PROMOTOR……………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………….. iii
PERNYATAAN……………………………………………………………. iv
MOTTO…………………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR……………………………………………………… vi
ABSTRAK…………………………………………………………………. viii
ABSTRACT……………………………………………………………….. x
RINGKASAN DESERTASI………………………………………………. xii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 15
C. Orisinalitas…………………………………………………. 15
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 17
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 17
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................. 19
A. Konsep Dasar Kesatuan ....................................................... 21
1. Pengertian Negara Kesatuan .......................................... 21
2. Paham Negara Kesatuan ................................................. 24
3. Hakekat Negara Kesatuan .............................................. 28
4. Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan .......................... 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxii
5. Negara Kesatuan dan Demokrasi………………………. 36
B. Teori Pembagian Kekuasaan Negara ................................... 44
1. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi ........... 58
2. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi .......... 58
3. Teori Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat ............ 59
C. Teori Otonomi Daerah dan Desentralisasi ........................... 66
D. Penelitian Yang Relevan ...................................................... 85
E. Kerangka Pemikiran ............................................................. 93
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................. 96
A. Jenis Penelitian ..................................................................... 96
B. Lokasi Penelitian .................................................................. 105
C. Sumber Data ......................................................................... 105
D. Analisis Data ........................................................................ 107
BAB IV KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO
32/2004 DALAM MENGUATKAN NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA .......................................................... 110
A. Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32/2004 ....... 110
B. Ketentuan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32/2004
dalam penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ...... 147
1. Pembagian Urusan Pemerintahan………………………. 147
2. Pengawasan…………………………………………….. 158
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxiii
BAB V OTONOMI DAERAH MENURUT UU NO 32/2004 TIDAK
MENGUATKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA ............................................................................... 171
A. Analisis Otonomi Daerah Menurut UU No 32/2004 yang
Tidak Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia .... 171
B. Penyebab Otonomi Daerah Menurut UU No. 32/2004
Tidak Menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 223
BAB VI MODEL OTONOMI DAERAH YANG DAPAT
MENGUATKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA .............................................................................. 234
A. Model Otonomi Yang Menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia................................................................ 234
1. Pembagian Urusan Yang Menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia…………………………………….. 238
2. Pengawasan Yang Menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia…………………………………….. 254
B. Bentuk Otonomi Yang Menguatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia................................................................ 261
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 292
A. Kesimpulan ........................................................................... 292
B. Saran dan Rekomendasi ....................................................... 297
C. Implikasi……………………………………………………. 298
DAFTAR PUSTAKA