62
Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum Dosen : Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H Nama : Fakhri Azzumar MAGISTER ILMU HUKUM BISNIS UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Analisis secara historikal mengenai bagaimana pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan konsep yang tersaji.

Citation preview

Page 1: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah

Hukum

Dosen : Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H

Nama : Fakhri Azzumar

MAGISTER ILMU HUKUM BISNIS

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2015

Page 2: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Kata Pengantar

Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum sesuai dengan

apa yang dicita-citakan, seyogyanya sejarah menyajikan dalam bentuk

sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abad ke

abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai hari ini.

Akan tetapi tidak terhingganya ruang lingkup misi yang akan dijelajah ini

mengakibatkan bahwa untuk alasan-alasan praktis, maka biasanya

penugasan tersebut dibelah menjadi daerah bagian tempat tolak punggung

sebagai berikut1 :

1. Menurut tolak ukur, kronologis, misalnya sejarah purbakala, abad

pertengahan, dan sebagainya.

2. Menurut tolak ukur ilmu bumi, seperti sejarah Belgia, Amerika

Serikat, dan lain-lain.

3. Atas dasar tematik, yakni sejarah ekonomi, literature, kesenian,

hukum, dan lain-lain.

Memaknai sejarah hukum sebagai bagian dari sejarah yang dicita-citakan

untuk memberitahu masyarakat yang akan menggunakan aturan-aturan

hukum atau peraturan perundang-undangan, bahwa perlu mengetahui

mengenai bagaimana proses, dasar, landasan dan pertimbangan apa yang

menjadikan suatu aturan tersebut dibentuk dan disahkan menjadi

peraturan yang berlaku guna kepentingan masyarakat di suatu negara.

1 Prof. Emeritus John Gilissen dan Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 4

Page 3: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Dalam hal ini, akan di kaji lebih lanjut secara koheren dan sistematis

mengenai sejarah hukum dari keberadaan Undang-Undang Nomor. 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan ini akan di analisis

dengan melihat dari sudut pandang sejarah hukum. Guna melihat

bagaimana hubungan keberadaan suatu aturan dengan kronologis, tolak

ukur apa yang digunakan serta mengamati aspek-aspek apa yang

melandasi dibentuknya Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Analisis ini akan mendapatkan hasil berupa alasan mengapa

Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menjadi suatu aturan yang berlaku saat ini (ius constitutum). Hal ini

dilakukan agar ketentuan yang berlaku, dengan mudah dapat diketahui dan

digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum.2 Dengan

metode analisis dari perspektif sejarah hukum, maka diharapkan pembaca

akan mendapatkan pemahan lebih mendalam tentang keberadaan

Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

dari perpektif sejarah hukum.

BAB 12 R. Abdoel Djamali, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 5

Page 4: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sejarah hukum menurut Munir Fuadi adalah suatu metode dan ilmu

yang merupakan cabang dari ilmu sejarah (karenanaya bukan cabang dari

ilmu hukum, yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi,

menginterpretasi, menyusun dalil dan kecenderungan, dan menarik

kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep, kaidah, dan aturan yang

berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik secara kronologis dan

sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan bidang lain

dari hukum).3 Sedangkan arti dari sejarah menurut R. Abdoel Djamali

bahwa dilihat dari etimologi atau asal kata, sejarah dalam bahasa Latin

adalah “Historis”. Dalam bahasa Jerman disebut “Geschichte” yang berasal

dari kata geschenhen, berarti “sesuatu yang terjadi”.4 Ini menandakan

bahwa begitu pentingnya suatu penyebab terjadinya sesuatu yaitu sejarah.

Sejarah menjadikan sesuatu itu menjadikan suatu pengungkapan

terjadinya sesuatu dan sejarah hukum adalah upaya menjelaskan

bagaimana suatu aturan hukum itu dapat terbentuk dengan berbagai

konsep dan kaidahnya. Dalam hal ini, Von Savigny berkata bahwa, semua

sistem hukum berasal atau bersumber dari kebiasaan dan dalam

perkembangannya kemudian hukum dihasilkan lewat aktivitas dan kreasi

3 Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013, hlm. 14 Supranote 2, hlm. 8

Page 5: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

pembuat hukum.5 Kemudian menurut Savigny, hukum dan masyarakat

berkembang dalam 3 (tiga) tahap, yaitu6 :

1) Perkembangan melalui pembentukan elemen-elemen politik

(political elements) yaitu prinsip-prinsip hukum yang tidak

ditemukan dalam undang-undang, melainkan merupakan

bagian dari keyakinan dan spirit masyarkat tersebut

(volksglauben).

2) Mentransformasikan elemen-elemen politik menjadi elemen

teknis hukum (technical elements of juristic skill). Pada periode

ini masyarkat berada pada puncak sebuah budaya hukum dan

merupakan saat yang tepat untuk melakukan kodifikasi hukum.

3) Ditandai dengan menurutnya eksistensi suatu masyarakat atau

bangsa. Pada tahap ini hukum tidak lagi menjadi nafas dan

denyut nadi kehidupan suatu masyarakat, melainkan hanya

menjadi aset dan hegemoni para ahli hukum. Apabila situasi ini

hadir, maka hakikatya masyarakat tersebut telah kehilangan

identitasnya dan dengan sendirinya hukum pun tidak lagi

memiliki peran yang berarti.

Selanjutnya Savigny menegaskan bahwa hukum bukan merupakan sebuah

fenomena dari sekumpulan formula verbal yang beridiri sendiri dari

5 Luis Kurtner, Savigny: “German Lawgiver”, Marquatte Law Review, Vol. 55, Issue 2 Spring , 1972, hlm. 280-2836 Leopard Pospisil, Anthropology of Law: A Comparative Theory, USA, Willey, 1971, hlm. 142.

Page 6: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

sejumlah nilai-nilai ideal universal atau sebuah proposisi natural.7 Dalam

hal ini, Savigny mengatakan bahwa mahzab sejarah menekankan kepada

penggalian dan kajian yang mendalam mengenai asal mula hukum dan

transformasinya. Savigny meyakini bahwa hukum memiliki sejarah dan

tahap-tahap pertumbuhannya sendiri.8 Atas dasar ini, mahzab sejarah

mengklaim bahwa hukum adalah sesuatu yang senantiasa berubah dan

berevolusi. Apa yang benar menurut hukum juga benar menurut sejarah

hukum.9 Pada tahap perkembangannya hukum terekpresikan secara

spontan sebagai ide bebas mengenai hak yang didsarkan kepada kebiasaan

dan tradisi dimana setiap orang menaatinya. Oleh karena itu bagi mazhab

sejarah, sumber hukum hakiki adalam kebiasaan (custom).10 Hukum hanya

akan berevolusi yang berawal dari spirit dan jiwa bangsa, pergerakannya

akan terlihat lambat dan hamper tidak terlihat pertumbuhannya, hukum

adalah produk dari kesunyian, hukum adalah kekuatan yang anonym, dan

bukan hasil dari sebuah keputusan arbiter dan dipaksakan.11 Selanjutnya

Savigny mengatakan sebagai berikut :

“The motley world of legal norms…. Does not evolve in virtue of

deliberate natural reflection or reasoned considerations of utility, it springs

rather from the cmmon conviction of the people, from the like feeling of

7 Stone, Social Dimension of Law and Justice, Stevens, USA, 1966, hlm. 948 Jeremy Hall, Reading in Jurisprudence, UK: The Bobbs Merrils Company, 1938, hlm. 879 Stone, The Provinceand Function of Law, Associated General Publication Pty. Ltd, Sydney, 1946, hlm. 421-422.10 Alf Ross, On Law and Justice, USA: The Lawbook Exchange. Ltd, 1959, hlm. 3811 Supranote. 9, hlm. 299

Page 7: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

inner necessity which excludes all thought offirtuitous and arbitrary

origin.”12

Perlindungan konsumen di Indonesia telah berkembang sejak

diundangkannya Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen yang berlaku pada tanggal 20 April 2000.

Perjalanan mengenai perlindungan konsumen kian hari semakin banyak

digunakan baik dalam kepentingan individu maupun kelompok di

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 27 ayat (1)13 dalam

ketentuan tersebut menyatakan, bahwa segala warga negara Indonesia

bersamaan kedudukannya dalam hukum dan Pemerintahan, dan wajib

menjunjung hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dalam pasal tersebut pada dasarnya memberi landasan konstitusional bagi

perlindungan konsumen di Indonesia karena dalam ketentuan itu secara

jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum semua warga negara adalah

sama (sederajat) (equality before the law).14 Sebagai warga negara,

kedudukan hukum konsumen tidak boleh lebih rendah daripada pelaku

usaha atau pihak distributor dari pelaku usaha. Mereka memiliki hak-hak

yang seimbang satu sama lainnya.

Kondisi keberadaan Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen ini masuk menjadi suatu aturan hukum positif di

12 Hienrich Rommen, The Natural Law: A Study in Legal Social History and Philosophy, (transt; Thomast Hanley Indianapolis: Liberty Fund, 1936, hlm. 11613 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat (1)14 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 74

Page 8: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Indonesia. Perkembangan konsep perlindungan konsumen ini menjadi

aturan yang terbentuk melalui sistem hukum civil law (Civil Law System).

Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental.

Tetapi sering disebut sebagai Civil Law (Civil Law System).15 Prinsip utama

yang menjadi dasar sitem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum

memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-

preaturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik

di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”. Prinsip dasar ini dianut

mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah

“kepastian hukum”.16 Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam menegakkan

hukum ada 3 (tiga) unsur harus dipenuhi yaitu :

1) Kepastian hukum (Rechtssicherheit),

2) Kemanfaatan (Zwechmaasigheit),

3) Keadilan (Gerechetigheit).

SIstem hukum ini berkembang di Negara-negara Eropa daratan yang

sering disebut “Civil Law”. Sebenarnya semula berasal dari kodifikasi

hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar

Justinianus abad VI sebelum masehi. Peraturan-peraturan hukumnya

merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa

Justinianus yang kemudian disebut “Corpus Juris Civilis”. Dalam

perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris

Civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-

15 Supranote 2, hlm. 6816 Supranote 2, hlm. 69

Page 9: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Prancis dan Italia, juga

Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan

pemerintah Belanda.17

Karena prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa

kontinental itu ilah “hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena

diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang

dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi

tertentu,18 maka kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud

dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum

yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal

juga dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini

runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian

hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan

adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan bila tindakan-tindakan

hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan

hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem

hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang

17 Supranote 2, hlm. 68-6918 Id

Page 10: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi

“menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas

wewenangnya”. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya

mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrins Res Ajudicata).19

Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

ini mengatur mengenai keberadaan pelaku usaha dan konsumen di

Indonesia. Pengaturan ini mendasari bahwa setiap konsumen patut untuk

dilindungi dalam hal perbuatan hukum yang tujuannya untuk mendapatkan

barang dan/atau jasa yang disediakan dan didapat dari pelaku usaha pada

sektor bisnis.

Peraturan mengenai perlindungan konsumen ini sejalan dengan

pertumbuhan Negara-negara nasional pada saat dahulu di Eropa. Di Eropa

pada saat itu bertitik tolak kepada unsur kedaulatan (sovereignty) nasional

termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi

sumber hukum di dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah “undang-

undang”.20 Ini yang menjadi titik dasar mengapa Indonesia saat ini

menerapkan sistem civil law (Civil law System) di Indonesia. Bangsa

Belanda dengan code civil yang dibawa dari Perancis, dikembangkan dan

diterapkan di Indonesia sejak masa penjajahan hingga saat ini.

Undang-undang itu dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislative.

Selain itu, diakui “peratuan-peraturan” yang dibuat pemegang kekuasaan

eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-

19 Id20 Id

Page 11: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

undang (peraturan-peraturan hukum administrasi Negara) dan “kebiasaan-

kebiasaan” yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat

selama tidak bertentangan dengan undang-undang.21

Dengan hal tersebut maka peraturan berupa Undang-Undang Nomor. 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan di analisis menggunakan

metode analisis sejarah hukum. Dengan metode tersebut, maka akan

didapat manfaat akhir berupa fungsi dan kegunaan sejarah hukum.

Menurut Munir Fuady, fungsi dan kegunaan sejarah hukum adalah22 :

1) Untuk mempertajam pemahaman dan penghayatan tentang

hukum yang berlaku sekarang. Kita dapat mengetahui dan

menghayati bahwa hukum yang berlaku sekarang sudah cukup

baik jika dibandingkan dengan konsepsi tentang hukum di

bidang yang bersangkutan di masa lalu.

2) Untuk mempermudah para perancang dan pembuat hukum

sekarang dengan menghindari kesalahan di masa lalu serta

mengambil manfaat dari perkembangan positif dari hukum di

masa lalu. Ini penting bagi par pembuat dan perancang hukum

untuk tidak membuat hukum seperti yang terjadi di masa lalu.

Mungkin saja hukum di masa lalu penuh dengan berbagai

kelemahan yang dapat menimbulakan malapetakan dan tragedy

bagi umat manusia. Jadi, jangan ada keledai yang tersangund

kakinya dua kali di batu yang sama.

21 Id22 Supranote 3, hlm. 7

Page 12: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

3) Untuk mengetahui makna hukum positif bagi para akademisi

maupun praktisi hukum dengan melakukan penelusuran dan

penafsiran yang bersifat sejarah. Karena umumnya hukum

berkembang secara evolutif dalam sejarah, maka konsep dan

pengertian hukum yang berlaku saat ini akan dipahami dengan

baik dan utuh jika kita juga memahami akar sejarah dan alur

perkembangan konsep dan pengertian hukum di masa lalu.

4) Sejarah hukum dapat mengungkapkan atau setidaknya

memberikan suatu indikasi tentang dari mana hukum tertentu

berasal; bagaimana posisinya sekarang ; dan hendak ke mana

arah perkembangannya.

5) Menurut Soerjono Soekanto, sejarah hukum juga berguna

karena dapat mengungkapkan fungsi dan efektivitas dari

lembaga-lembaga hukum tertentu. Artinya, dalam keadaan yang

abgaimana suatu lembaga hukum dapat efektif menyelesaikan

persoalan hukum dan dalam keadaan yang bagaimana pula

lembaga tersebut gagal. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan

yang ada dalam sejarah hukum tersebut.23

Selanjutnya John Gilissen dan Fritz Gorle menambahkan beberapa fungsi

dari sejarah hukum, yaitu sebagai berikut24 :

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 4124 Supranote 1, hlm. 1

Page 13: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

1) Hukum tidak hanya berubah menurut dimensi ruang dan letak,

tetapi juga berubah menurut dimensi waktu dari masa ke masa.

2) Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti

melalui sejarah hukum.

3) Pengetahuan tentang sejarah hukum penting bagi ahli hukum

pemula untuk mengetahui budaya dan pranata hukum

4) Mempelajari sejarah hukum erat kaitannya dengan prinsip

perlindungan hak asasi manusia. Pelanggaran-pelanggaran hak

asasi, seperti dalam sejarah hukum di masa lampau, bukan

zamannya lagi untuk diberlakukan di masa kini.

Soedjono, D, menjelaskan bahwa : “Sejarah hukum adalah salah satu

bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal-usul sistem

hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara

hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.”25 Senada

dengan perkataan Soerjono Soekanto yaitu “Perbincangan sejarah hukum

mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh

karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan

tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-

bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum

kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa

yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk

memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa

25 Drs. Sudarsono, SH.M.Si, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 261

Page 14: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

ini dalam masyarakat bangsa kita”.26 Dengan hal tersebut, maka sejarah

hukum dapat menciptakan suatu hukum yang berlaku dimasyarakat (Ius

Constitutum) dan dapat menjadikan tolak ukur untuk dapat membentuk

suatu hukum dimasa yang akan datang (Ius Constituendum).27

26 Supranote 15, hlm. 927 Utrecht E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1956, hlm. 123-124

Page 15: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

BAB II

SISTEM HUKUM

1. Sistem Hukum

Berbicara tentang sistem hukum, maka disini tentunya akan berbicara

tentang sistem hukum positif di Indonesia, yaitu suatu sistem hukum yang

berlaku di Indonesia.

Sistem adalah gambaran abstrak dari sebuah gejala atau objek dan

gejala atau objek itu digambarkan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri

atas sejumlah bagian atau komponen yang saling berkaitan, yang secara

organisatoris tersusun dalam suatu struktur.28

Menurut R. Abdoel DJamali, S.H, setiap sistem mengandung beberapa

asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Dapat dikatakan

bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya.

Dengan demikian, sifat sistem itu menyeluruh dan berstruktur yang

keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan

fungsional. Jadi, hukum adalah suatu sistem. Artinya, suatu susunan atau

tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari

bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Misalnya saja dalam “hukum

perdata” sebagai sistem hukum positif. Sebagai keseluruhan, di dalamnya

terdiri dari bagian-bagian yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir

sampai meninggal dunia. Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan

28 Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum UNPAR, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, 1995, hlm.112

Page 16: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki

hak dan kewajiban, dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan

keturunan dilasanakan membentuk keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari,

manusia juga memiliki kekayaan yang dipelihara dan dipertahankan

dengan baik. Pada saat meninggal dunia semuanya akan di tinggalkan

untuk diwariskan kepada yang berhak. Dari bagian-bagian sistem hukum

perdata itu, ada aturan-aturan hukumnya yang berkaitan secara teratur.

Keseluruhannya merupakan peraturan hidup manusia dalam keperdataan

(hubungan manusia satu dengan lainnya demi hidup).

Apabila kita berbicara tentang hukum, maka pikiran kita akan lansung

menuju kepada perundang-undangan atau peraturan tertulis lainnya.

Padahal sebenarnya, hukum mempunyai begitu banyak aspek dan terdiri

dari anyak kompoen atau unsur, seperti misalnya filsafat hukum, kaidah

hukum, asas hukum, lemabga hukum, pranata hukum dan lain sebagainya.

Semua itu yang membangun sistem hukum yaitu : “suatu kesatuan yang

teridiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan

bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.29 Melihat hal ini,

maka tentu sejarah hukum yang terjalin sekian lama dan termanifestasi

dalam suatu sistem hukum yang digunakan oleh Indonesia, ini menjadi

dasar mengapa sistem hukum hingga tata pelaksanaan hukum di Indonesia

memiliki struktur dan tata cara kerja sendiri. Yang menjadikan seluruh

29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 244

Page 17: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

halnya dapat diaplikasikan dengan pendekatan konsep analisis sejarah

hukum.

Sedangkan menurut Rusadi Kantaprawira dalam bukunya menyebutkan

bawa sebuah sistem memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut30 :

1) Keintegrasian

2) Keutuhan

3) Keteraturan

4) Keterorganisasian

5) Keterlekatan komponen satu sama lain

6) Keterhubungan komponen satu sama lain dan,

7) Ketergantungan komponen satu sama lain.

Dari ciri-ciri tersebut, maka tiap sistem mempunyai batas-batas

(boundaries) yang membedakan atau memisahkan unsur-unsur yang

merupakan komponen dari sistem yang bersangkutan dari unsur-unsur

yang bukan komponen sistem tersebut, melainkan komponen dari sistem

lain.31 Dengan demikian bahwa dapat dikatakan sistem hukum bukanlah

sekedar kumpulan peraturan hukum, melainkan komponen atau unsur

yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta tidak boleh terjadi

tumpang tindih (overlapping) atau kontradiksi di dalamnya.

30 Rusadi Kantaprawira, Aplikasi Pendekatan SIstem Dalam Ilmu-Ilmu Sosial, Bunda Karya, Bandung, 1987, hlm. 1231 Tim Dosen Pengajar Matakuliah PHI, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, Bandung, 2005, hlm. 12

Page 18: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal

system) Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut32 :

1) Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini

terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat,

sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum

nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum

masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut

dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam

lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki

sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.

2) Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih

mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana

dan penegak hukum senantiasa mengarahakan pikiran hukum pada

peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau

hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum

ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum

tersebut.33 Penggunaan Yurisprudensi (putusan pengadilan) dalam

mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk

32 Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999, hlm. 238 – 245. 33 Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993, hlm. 2

Page 19: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan

utama.

3) Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk

pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan

saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan,

tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung

kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan

fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.

4) Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan

kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak

saja berasal dari administrasi negara, bahkan pula dari badan

justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang selalu

melekat pada administrasi negara. Yang menjadi masalah,

adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan

tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan

menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena

terlalu menekankan aspek “doelmatigheid” dari pada

“rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat

dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum

yang dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat

menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum.

5) Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental

centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering

Page 20: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Peraturan

perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata

urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan

industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan

Perdagangan.

6) Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-

asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan.

7) Keadaan hukum kita – khususnya peraturan perundang-undangan

yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir –

sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date) . Secara

obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang

politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga

hukum mudah sekali tertinggal di belakang. Secara subyektif,

berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi

keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke

depan. Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para

penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau

memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan

menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih

sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan

perundang-undangan.

Ini yang menandakan bahwa bentuk hukum tertulis saat ini yang

dilaksanakan oleh Indonesia, diakibatkan oleh politik hukum dimasa

Page 21: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

penjajahan. Politik tersebut adalah bentuk sejarah hukum yang

membentuk dan menjadi landasan mengapa seluruh tatanan hukum di

Indonesia menjadi seperti sekarang. Politik hukum tersebut secara negatif

membuat Indonesia secara langsung membatasi perkembangan hukum

pada masa lampau untuk mendapatkan sistem hukum yang lain. Dengan

kata lain, bahwa Indonesia harus melanjutkan dan tetap menggunakan

sistem hukum yang diberikan oleh Negara penjajah pada masa lampau.

Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam sistem hukum,

yaitu :34

1) Sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus

berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam

kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak

secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang

berkesinambungan – aspek sistem yang berada di sini kemarin (

atau bahkan pada abad yang terakhir) akan berada di situ

dalam jangka panjang. Inilah struktur sistem hukum – kerangka

atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang

memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.

Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah

dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang

diperiksa, dan bagaimana serta mengapa), dan cara naik

34 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hal 7 –9.

Page 22: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya

struktur adalah semacam sayatan sistem hukum – semacam

foto diam yang menghentikan gerak.

2) Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan,

norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam

sistem itu. Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh

orang yang berada dalam sistem hukum itu – keputusan yang

mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.

Penekannya di sini terletak pada hukum hukum yang hidup

(Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law

books).

3) Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum.

Yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum –

kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata

lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,

dihindari atau disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem

hukum itu sendiri tidak akan berdaya – seperti ikan yang mati

terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang

di lautnya.

Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti “struktur” hukum

seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh

mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan

Page 23: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan

bagaimana mesin itu digunakan.

2. Sistem Hukum di Indonesia35

Sistem hukum di Indonesia berdasarkan pada asas konkordansi

memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa (Eropa

Kontinental). Sementara itu selain sistem hukum yang berasal dari Eropa, di

Indonesia berlaku hukum adat sebagai hukum yang asli. Di Samping itu juga

berlaku hukum Islam bagi pemeluknya. Karena agama Islam adalah

mayoritas dari agama lainnya di Indonesia, maka penetrasi ajaran Islam

dalam kehidupan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dari

ajaran Islam. Sehingga hukum adat Indonesia turut pula dipengaruhi oleh

nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan di Sumatera Barat landasan kehidupan bagi

masyarakat Minangkabau yang menyatakan “adat basandi syara’, syara’

basandi kitabullah”, artinya adat itu bersendikan pada syara’ (syariat

Islam), dan syara’ bersendikan kitab Allah SWT, (Al Qur’an dan Hadits). Al

Qur’an dan Hadits itu adalah sumber syariat atau ajaran yang dipedomani

bagi orang yang beragama Islam.

Hukum adat Indonesia tumbuh dan berkembanga dari kebiasaan-

kebiasaan sehari-hari dari masyarakat adat, lalu oleh anggota masyarakat

yang bersangkutan bila dilanggar maka akan menadpat kecaman dari

anggota masyarakat lainnya. Keadaan ini berlangsung terus menerus iikuti

lagi oleh lainnya dan digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi pengetua 35 Budiman Ginting (Dosen FH USU), Perbandingan Sistem Hukum Sebagai Alternatif Metode Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jurnal Equalitu Vol. 10 No 1, 2005, hlm. 33-34

Page 24: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

adat atau pemimpin masyarakat adat, ataupun dijadikan sebagai acuan

bagi pengetua adat untuk mengkonstituir suatu persoalan lalu

dikonstalasikan dalam putusannya oleh pengetua adat atau lewat

peradilan adat.

Inilah yang dimaksudkan oleh Ter Haar sebagai teori keputusan atau

yang disebut dengan “Beslissingenleer Theorie”,36 lalu kemudian diikuti

oleh masyarakat lainnya karena memang dianggap patut, pantas dijadikan

sebagai pedoman hidup antar sesamanya, sehingga lama kelamaan

menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini jika tidak dituruti oleh perseorangan

atau individual akan dikucilkan dari kehidupan bersama. Kemudiaan

kebiasaan-kebiasaan ini jika dilanggar oleh anggota masyarakat jika di

bawa ke forum musyawarah masyarakat (rembuh rakyat atau rembuh

desa) yang dipimpin oleh pengetua adat, putusannya ini lalu dijadikan

sebagai hukum adat yang hidup dan dijadikan sebagai peraturan kebiasaan

dan diperintahkan didalam pergaulan hidup baik di kota maupun di desa-

desa (costumary law). Terhadap pelanggaran aturan adat istiadat ini oleh

masyarakat adat itu sendiri akan memberi suatu sanksi yang tegas, berupa

penguilan dari lingkungannya, dibuang ke daearh lain dan tidak bisa lagi

berkomunikasi dengan sanak keluarganya, dan yang terberat dapat

dihukum dengan hukuman fisik berupa kerja berat dan denda berupa

penggantian dengan sejumlah harta miliknya berupa ternak-ternak

peliharaannya maupun sejumlah uang pengganti malu. Dari kelima sistem 36 Budiman Ginting, Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam Pembangunan Hukum Nasionalnya (makalah), Universitas Sumatera Utara, PPS, Medan, 2000.

Page 25: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

hukum seperti disebut di atas bahwa sistem hukum yang mana yang dianut

oleh masing-masing Negara di dunia ini dapat dilihat atau temukan pada

masing-masing dasar falsafah atau pandangan hidup bangsa yang

bersangkutan dan bagaimana aturan-aturan hidup mereka dalam

menylesaika suatu masalah hukum. Setiap Negara berbeda-beda dasar

falsafah hidupnya ataupun pandangan dan sikap hidupnya serta kultur atau

budaya bangsanya, oleh sebab itu hukumannya pun berbeda, sebab hukum

itu adalah sebagian besar tumbuh dari kebudayaan suatu bangsa.37

Di Indonesia sistem hukumnya banyak dipengaruihi oleh sistem hukum

Belanda. SIstem hukum Belanda sendiri adalah sistem hukum Eropa atau

sering disebut sistem hukum Romawi Jerman (Romawi Jermania) yang

pada awalnya bersumber dari sistem hukum Romawi Kuno yang

dikembangkan oleh Negara-negara Perancis, Spanyol, Portugis dan lain-

lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha

dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code

Napoleon yang bersumber dari Hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama

kali berkembang dalam hukum perdatanya (private law) atau civil law38,

yaitu hukum yang mengatur hubungan sesame anggota masyarakat. Oleh

karena itu sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan sebutan

sistem hukum Civil Law39. Rene Devid dan John E.C. Brierly, mengatakan

37 Soetanyo Wignjopsoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, 2002, Jakarta.38 Rene Devid and John E.C. Brierley, Mayor Legal Systems in the World Today, Second Edition. Steven & Sons, London, 197839 Id

Page 26: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

selain sistem hukum civil law juga dikenal sistem common law. Dan

menurutnya di dunia ini terdapat 3 (tiga) sistem hukum yang dominan yaitu

:

1) Sistem hukum Romawi Jerman atau civil law,

2) Common law system,

3) Socialist law system

Lain pendapat dikemukakan oleh John Henry Merryman40, menyatakan

bahwa dalam dunia kontemporer ada tiga tradisi hukum, yaitu :

1) Tradisi hukum continental (civil law)

2) Tradisi hukum adat (common law)

3) Tradisi hukum sosial (social law)

Dalam perkembangannya sistem socialist law ini banyak dipengaruhi

sistem civil law karena banyak dari Negara-negara sosial sebelumnya

menganut sistem civil law.41 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sistem

hukum yang dominan hanya ada 2 (dua) yaitu sistem hukum civil law dan

common law.

BAB III

CIVIL LAW42 DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

40 John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, California, 1969.41 Supranote. 3842 Supranote. 31, hlm. 15-21

Page 27: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

1. Civil Law System

Dalam rumpuh hukum ini, ada dua istilah untuk menunjukan rumpun

hukum ini, yaitu rumpun hukum Romano-Germanik dan rumpun hukum

Eropa Kontinental. Istilah Eropa Kontinental mengacu pada kenyatan

bahwa rumpun ini berkembang terutama di kawasan tersebut, smentara

istilah Civil Law mengacu pada sejarah perkembangan rumpun hukum ini

yang pada dasarnya terikat erat dengan tata hubungan warga masyarkat

Eropa. Akhirnya istilah Romano-Germanik muncul mengingat bahwa

rumpun ini dipengaruhi sejumlah aliran hukum, terutama pengaruh dari

hukum Romawi dan hukum Jerman. Selain itu, munculnya Negara

kebangsaan (nation states) di Eropa juga memberi andil yang besar dalam

pembentukan rumpun Civil Law ini.

Tata hukum menurut rumpun hukum ini merupakan seperangkat

kaidah perilaku (rule of conduct) yang sangat erat terkait dengan konsep

keadilan dan moralitas. Substansi utama rumpun hukum ini adalah

pandangan-pandangan para ahli hukum, sementara jurisprudensi dan

praktek hukum hanyalah sekedar “periferi” semata.

Atas dasar faktor-faktor yang bersifat historis, rumpun hukum ini lebih

banyak diisi oleh hukum privat. Rumpun hukum ini dikembangakan oleh

universitas-universitas Eropa, terutama di kawasan Latin dan Jerman sejak

abad 12-13. Basis utama perkembangan rumpun Civil Law adalah kompilasi

hukum peninggalan Kaisar Yustinianus, kemudan dilengkapi dengan

pelbagai adaptasi atas dasar pengaruh dunia modern.

Page 28: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Pada awalnya rumpun civil law ini menyebar ke seluruh dunia melalui

kolnialisme bangsa-bangsa Eropa, kemudian juga tersebar melalui resepsi

oleh Negara yang tidak terjamah oleh proses kolonialisme atas dasar

kebutuhan Negara-negara itu dalam menjawab modernisasi.

Akar utama rumpun hukum ini terletak pada kekaisaran Romawi yang

berhasil menciptakan suatu peradabat yang luar biasa. Orang Romawi juga

telah berhasil emmbangun sistem hukumnya sendiri. Pada prinsipnya,

sistem hukum Romawi ini terdiri atas sejumlah adat kebiasaan setempat

yang tercampur dengan sejumlah pandangan Kristen.

Sebuah kompilasi hukum Romawi yang monumental yang disusun

sejak tahun 529 sampai 534 yang dikenal sebagai Corpus Iuris Civilis atas

Kodeks Yustinianus.

Corpus Iuris Civilis ini terdiri dari 4 bagian yaitu :

1) Institutiones merupakan semacam pengantar ringkas bagi

mahasiswa yang hendak mempelajari hukum.

2) Digesta atau Pandectae berisi materi-materi yang harus

dipelajari oleh para mahasiswa.

3) Codex merupakan suatu koleksi peraturan perundang-

undangan Romawi yang tersusun secara sistematis.

4) Novelli merupakan peraturan perundang-undangankekaisaran

yang ditambahkan setelah Codex dan Digesta selesai disusun.

Page 29: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Selanjutnya, pada prinsipnya ada dua golongan yang mengarahkan hukum

romawi kepada Usus Modernus Pandectarum, yaitu :

1) Golongan yang disebut kaum Glossator – mereka mencoba

merekonstruksi dan memahami teks hukum Romawi (Iuris

Corpus Civilis) seasli mungkin.

2) Golongan yang disebut kaum komentator atau disebut pula

kaum Pasca Glossator mereka mengembangkan hukum Romawi

dengan menyesuaikan dengan perkembangan baru yang ada

saat itu.

Pada gilirannya, melalui para mahasiswa yang belajar hukum di Eropa Barat

inilah Usus Modernus Pandectarum tersebut menyebar ke seluruh Eropa.

Rumpun hukum ini telah mempersatukan bangsa-bangsa Eropa dengan

keaneka ragamannya.

Dengan demikian dapat dikatakan telah ada Ois Commune atau Droit

Commun atau Gemeines Recht di benua Eropa, meskipun mengandung

nuansa-nuansa setempat.

Ius Commune ini kemudian menjadi hukum pokok di hamper seluruh benua

Eropa, sementara nuansa setempat tampak dalam bentuk seberapa jauh

resepsi hukum Romawi ke dalam kehidupan hukum setempat.

Page 30: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Pada prinsipnya aliran Hukum Alam ini mencoba untuk merumuskan

pemikiran hukum yang bersifat universal dan lestari, berlaku dimana saja

dan kapan saja.

1) Pembaharuan konsep hukum yang memasukan faktor hak-hak

pribadi ke dalam tradisi hukum Romawi,

2) Mendeduksi prinsip-prinsip rasio ke dalam konstitusi, praktek

administrasi dan hukum pidana,

3) Memperkenalkan cabang hukum publik sehingga hukum

mempunyai peran yang baru.

Disamping fungsi-fungsi tradisional, hukum yang berperan

sebagai pengatur hubungan antara yang memerintah

(penguasa) dengan yang diperintah (rakyat), antara pihak

administrasi dengan pribadi-pribadi privat.

Pada awalnya muncul hukum pidana yang diperlukan untuk

melindungi warga dari tindak kekerasan atau kejahatan.

Sementara itu, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi

diperlukan untuk menata tatanan organisasi pemerintahan.

4) Pembentukan kodifikasi yang merupakan ujung logis dari suatu

progress pemikiran universitas selama berabad-abad.

Kodifikasi di samping membaurkan aspek teori dan praktek

hukum juga berperan besar dalam mengeliminasikan

fragmentasi hukum.

Page 31: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

Dengan demikian, dengan munculnya aliran Hukum Alam ini

orang mulai berpikir tentang hukum positif.

Selanjutnya, dengan munculnya kodifikasi, maka berakhirlah peran Ius

Commune. Positivisme hukum menjadi marak, hukum menyempit menjadi

hukum nasional semata.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diberikan ringkasan bahwa berbicara

hukum dalam Vivil Law System, segera muncul peranan yang sangat besar

dari hukum yang tertulis (perundang-undangan). Civil Law System berjalan

dan tumbuh atas dasar peraturan yang dibuat manusia, peraturan

perundang-undangan. Hukum positif hanya menjadi kerangka umum saja

yang memberikan tuntutan dalam pengambilan keputusan, bukan berisi

kaidah yang komplit.

Namun terhadap perundang=undangan ini harus dilakukan pembatasan-

pembatasan yang berupa keadilan. Pemabtasan ini dilakukan dengan

penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan untuk kasus-kasus

konkrit. Oleh karena itu sistem hukum ini tidak membutuhkan dan tidak

mengenal konsep “equity” dan “courts of equity” seperti sistem di Inggris,

yang fungsinya melakukan koreksi terhadap ketegaran dari kaidah hukum

yang sangat konkrit itu.43

Dalam Civil Law System, kepastian hukum dapat dicapai jika segala

tindakan hukum manusia diatur dengan peraturan hukum yang tertulis,

43 Supranote. 29, hlm. 249

Page 32: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

sehingga berdasarkan tujuan hukum itu hakim tidak dapat leluasa untuk

menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat

umum. Hakim berfungsi hanya menetapkan dan menafsirkan peraturan

sebatas kewenangannya saja, sehingga putusannya dalam suatu perkara

hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (Doktrin Res Ajudicata)

2. Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 adalah

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen.” Rumusan pengertian perlindungan

konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK telah memberikan

cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi

untuk kepentingan perlindungan konsumen.44

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi

perlindungan terhadap konsumen barang dan/atau jasa, yang berawal dari

tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan/atau jasa hingga ke

dampak dari pemakaian barang dan/atau jasa itu. Cakupan perlindungan

konsumen dalam 2 (dua) aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut45 :

44 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 145 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, C.V Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm. 3

Page 33: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen

barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah

disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan

ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahak

baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan

sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan

keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan

tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika

timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang

tidak sesuai.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-

syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan

persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan

purnajual dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku

produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

Tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen tertuang dalam Pasal 3, yaitu :

a) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa;

Page 34: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses

untuk mendapatkan informasi;

e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Tujuan adanya perlindungan konsumen ini dimaksudkan agar

konsumen mampu serta sadar untuk melindungi pribadi konsumen dari

barang dan/atau jasa yang dapat merugikan konsumen. Aturan ini

mengharapkan konsumen untuk dapat menjaga harkat martabat

konsumen dari ekses negatif barang dan/atau jasa yang disediakan oleh

pihak pelaku usaha. Dalam hal ini, konsumen diberikan hak untuk memilih

jenis-jenis barang dan/atau jasa yang akan di gunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Kepastian hukum, informasi yang jelas serta keterbukaan akses

menjadikan konsumen dapat memilih dan menggunakan barang dan/atau

jasa yang ada untuk menghindari kerugian yang akan dideritanya kelak.

Pelaku usaha pun dituntut untuk menumbuhkan sikap yang jujur dan

bertanggung jawab demi terciptanya perlindungan bagi konsumen dan

Page 35: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

pelaku usaha dapat meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang

diproduksi demi keselamatan, kenyamanan dan keamanan dari konsumen.

Page 36: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

BAB IV

ANALISIS SEJARAH HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR. 8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Perlindungan konsumen dengan konsep dan tujuan dasar untuk

melindungi serta menjaga tatanan perekenomian di Indonesia yang

akan menitik beratkan terhadap perlindungan terhadap konsumen

maupun pelaku usaha, memperlihatkan adanya kausalitas antara

tujuan hukum dari suatu undang-undang perlindungan konsumen dan

kaitannya dengan sejarah hukum. Dapat di lihat dalam pasal 1 dalam

Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yaitu adanya sifat atau dasar yang menaytakan bentuk

kepastian hukum. Dalam kaitannya dengan sejarah hukum, kepastian

hukum di jadikan dasar dalam upaya pembentukan Code Napoleon

untuk membentuk suatu aturan hukum yang dapat memberikan

jaminan dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat. Jaman romawi

menjadi titik tolak sebagai sejarah terbentuknya sistem Civil Law yang

menginginkan adanya keterpaduan dan keteraturan dalam

penggunaan dan pengelompokan hukum secara sistematis.

2. Selanjutnya menurut Von Savigny, bahwa sistem hukum berasal dari

kebiasaan dan perkembangannya dihasilkan lewat aktivitas dan kreasi

pembuat hukum.46 Seperti diketahui, bahwa peraturan mengenai

perlindungan konsumen yang berbentuk undangundang ini diawali

46 Supranote 5, hlm 280-283

Page 37: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

dengan sejarah dan perkembangan mengenai perlindungan terhadap

konsumen di Amerika. Selanjutnya, konsep ini menyebar dan diterima

oleh banyak masayrakat di Benua Amerika dan Eropa, bahkan Benua

Asia khususnya Indonesia mendapatkan manfaat dari implementasi

terhadap konsep atas peraturan perlindungan konsumen yang telah

hadir terlebih dahulu di 2 (dua) benua tersebut. Menganai hal

tersebut, maka lembaga legislative di Indonesia dengan inisiatif dan

konsepsi ketatanegaran yang bertujuan ingin menciptakan

kemanfaatan dan kepastian serta perlindungan terhadap rakyat

Indonesia, membentuk suatu peraturan adalah kewajiban dari sebuah

lemabga legislative. Dengan merujuk terhadap konsep Von Savigny,

maka atas dasar kebiasaan dan perkembangan hukum mengenai

perlindungan konsumen di dunia, maka dibentuklah Undang-Undang

Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Von Savigny pun mengatakan bahwa hukum dan masyarakat itu

berkembang melalui elemen-elemen politik, maksudnya

perkembangan hukum dan masyarakat dilandaskan dari keyakinan dan

spirit masyarakat tersebut.47 Maksudnya, bahwa pembentukan

peraturan mengenai perlindungan konsumen di Amerika saja

didasarkan dengan keyakinan dan semangat dari masyarakat yang

diakomodasi oleh pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari

tindakan pelaku usaha dalam kedudukan masyarakat sebagai

47 Supranote. 6, hlm. 142

Page 38: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

konsumen (pengguna jasa dan/atau barang). Dari hal tersebut,

perkembangan dan konsep tersebut diterima dengan sangat baik

sehingga munculnya kesadaran dari berabgai Negara untuk

menjadikan suatu aturan mengenai perlindungan onsumen adalah hal

yang perlu untuk ditindak lanjuti pengaturannya. Di Indonesia, tidak

dapat suatu keyakinan hanya tetap keyakinan. Perlu pembentukan

hukum yang tertulis dan sistematis dengan dasar asas kepastian

hukum dan perlindungan hukum terahdap masyarakat yaitu konsumen

untuk dapat digunakan dan ditegakan keberadaan aturan tersebut

untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan dari pelaku usaha

yang menawarkan barang dan/atau jasanya.

4. Sudikno Mertokusumo pun mengatakan bahwa dalam hal menegakan

hukum haruslah ada 3 (tiga) unsur yang dipenuhi yaitu :

a) Kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen ini

menjadikan fondasi atau landasan bagi masyarakat Indonesia

untuk mempergunakan dan memanfaatkan peraturan

perundang-undangan sebagai pelindung untuk menuju

masyarakat hukum yang aman dan penuh unsur kepastian

hukum. Legislatif menjadikan suatu peraturan mengenai

perlindungan konsumen dengan harapan bahwa masyarakat

akan tercipta rasa aman, nyaman dan terlindungi dari tindakan

negative pelaku usaha.

Page 39: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

b) Kemanfaatan

Peraturan mengenai perlindungan konsumen menjelaskan

mengenai manfaat yang diciptakan dalam butir-butir pasal yang

tertuang didalam Undang-Undang Nomor. 8 Tentang

Perlindungan Konsumen yang menjadikan peraturan ini

bermanfaat dan tidak menimbulkan reaksi negative dari

masyarakat.

c) Keadilan

Tentu dengan adanya aturan tertulis, maka keadilan menjadi

sumber atau dasar yang akan ditujukan terhadap para

konsumen dan pelaku usaha. Dibentuknya konsep keadilan

akan melihat sebagaimana pentingnya kedudukan diantara

kedua belah pihak dalam tindakan bisnis yang melibatkan

konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada kerugian yang

ditimbulkan oleh sebagian pihak.

Page 40: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

BAB V

KESIMPULAN

Dengan konsepsi ketatanegaraan yang berada di Indonesia saat ini.

Seluruh peraturan perundang-undangan dibentuk oleh legislative sebagai

lembaga yang berwenang untuk membentuk suatu peraturan dibawah

undang-undang, maka Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjadi salah satu dari sekian banyak peraturan

yang dibentuk oleh legislative. Dengan kerangka teori dari Von Savigny dan

ahli-ahli lain dalam ilmu sejarah hukum dan doktrin dari pakar ilmu hukum

di Indonesia, maka konsep sejarah hukum itu adalah dasar atas pencapaian

yang diciptakan oleh masyarakat saat ini. Perkembangan dan

penegakanhukum yang ada saat ini mengembangkan konsep hukum yang

dahulu dikembangkan sejalan dengan konsep dari sistem hukum yang ada

di Indonesia, yaitu Civil Law.

Metode sejarah hukum menekankan pemahaman dan penghayatan

tentang hukum yang berlaku sekarang. Dengan hal tersebut, kita dapat

mengetahui dan menghayati bahwa hukum yang berlaku saat ini sudah

cukup baik jika dibandingkan dengan konsepsi tentang hukum di bidang

yang bersangkutan pada masa lalu.

Sejarah hukum juga dapat mempermudah para perancang dan

pembentuk hukum saat ini dengan menghindari kesalahan di amsa lalu

serta mengambil manfaat dari perkembangan positif dari hukum di masa

Page 41: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

lalu. Ini penting bagi para pembentuk dan perancang hukum untuk tidak

membentuk hukum seperti yang terjadi di masa lalu.

Konsep analisis hukum dari sejarah hukum dengan Undang-Undang

Nomor. 8 tentang Perlindungan Konsumen berguna untuk mengetahui

makna hukum positif bagi para akademisi maupun praktisi hukum dengan

melakukan penelusuran dan penafsiran yang bersifat sejarah. Karena

umumnya hukum berkembang secara evolutif dalam sejarah, maka konsep

dan pengertian huukum yang berlaku saat ini akan dipahami dengan baik

dan utuh jika kita juga memahami akar sejarah dan alur perkembangan

konsep dan pengertian hukum di masa lalu.

Hal ini pun dapat mengungkapkan atau memberikan indikasi

tentang dari mana hukum berasal, bagaimana kedudukannya saat ini dan

akan di bawa kemana arah perkembangannya.

Page 42: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Emeritus John Gilissen dan Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.

2. R. Abdoel Djamali, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

3. Munir Fuady, Sejarah Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013.4. Luis Kurtner, Savigny: “German Lawgiver”, Marquatte Law Review,

Vol. 55, Issue 2 Spring, 1972.5. Leopard Pospisil, Anthropology of Law: A Comparative Theory, USA,

Willey, 1971.6. Stone, Social Dimension of Law and Justice, Stevens, USA, 1966.7. Jeremy Hall, Reading in Jurisprudence, UK: The Bobbs Merrils

Company, 1938.8. Stone, The Provinceand Function of Law, Associated General

Publication Pty. Ltd, Sydney, 1946.9. Alf Ross, On Law and Justice, USA: The Lawbook Exchange. Ltd,

1959.10. Hienrich Rommen, The Natural Law: A Study in Legal Social History

and Philosophy, (transt; Thomast Hanley Indianapolis: Liberty Fund, 1936.

11. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.12. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,

Jakarta, 2000.13. Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung,

1983.14. Drs. Sudarsono, SH.M.Si, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta,

Jakarta, 2001.15. Utrecht E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan

Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1956.16. Tim Pengajar PIH Fakultas Hukum UNPAR, Diktat Pengantar Ilmu

Hukum, Bandung, 1995.17. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

1991.18. Rusadi Kantaprawira, Aplikasi Pendekatan SIstem Dalam Ilmu-Ilmu

Sosial, Bunda Karya, Bandung, 1987.19. Tim Dosen Pengajar Matakuliah PHI, Diktat Pengantar Hukum

Indonesia, Bandung, 2005.20. Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar

Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999.

Page 43: Analisis Pembentukan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Sejarah Hukum

21. Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993.

22. Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001.

23. Budiman Ginting (Dosen FH USU), Perbandingan Sistem Hukum Sebagai Alternatif Metode Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jurnal Equalitu Vol. 10 No 1, 2005.

24. Budiman Ginting, Perspektif Politik Hukum Indonesia dalam Pembangunan Hukum Nasionalnya (makalah), Universitas Sumatera Utara, PPS, Medan, 2000.

25. Soetanyo Wignjopsoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, 2002, Jakarta.

26. Rene Devid and John E.C. Brierley, Mayor Legal Systems in the World Today, Second Edition. Steven & Sons, London, 1978

27. John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, California, 1969.

28. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

29. A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, C.V Diadit Media, Jakarta, 2002.

30. Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.