22
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak masalah yang sering dikeluhkan oleh konsumen jasa perbankan. Pertama, pengaduan soal produk perbankan, seperti ATM (Automatic Teller Machine), Kartu Kredit, dan aneka ragam jenis tabungan, termasuk keluhan produk perbankan terkait dengan janji hadiah dan iklan produk perbankan. Kedua, pengaduan soal cara kerja petugas yang tidak simpatik dan kurang profesional khususnya petugas service point, sepertiteller, customer service, dan satpam. 1 Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang 1 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 19-20. 1

hukum perlindungan konsumen

  • Upload
    rizka

  • View
    44

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

perlindungan nasabah

Citation preview

Page 1: hukum perlindungan konsumen

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak masalah yang sering dikeluhkan oleh konsumen jasa

perbankan. Pertama, pengaduan soal produk perbankan, seperti ATM (Automatic

Teller Machine), Kartu Kredit, dan aneka ragam jenis tabungan, termasuk keluhan

produk perbankan terkait dengan janji hadiah dan iklan produk perbankan. Kedua,

pengaduan soal cara kerja petugas yang tidak simpatik dan kurang profesional

khususnya petugas service point, sepertiteller, customer service, dan satpam.1

Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum

bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara

pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan

syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak

oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.2

Sedangkan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan

ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku

konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu sebagai badan hukum

yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan,

melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya. Konsumen jasa

perbankan dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-undang

1 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 19-20.2 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

1

Page 2: hukum perlindungan konsumen

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan

dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan

dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan

nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang

memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan

dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya

pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam

Peraturan Bank Indonesia ( PBI )

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada permasalahan di atas beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen ditinjau

dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Apa resiko yang timbul dalam hubungan antara bank dan nasabah sebagai

penyimpan dana ?

2

Page 3: hukum perlindungan konsumen

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Selaku Konsumen Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu : pertama, nasabah

deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk

giro, tabungan dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau

pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan

sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank

(walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di

luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C).3

UUPK bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di

Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK pada dasarnya telah ada beberapa peraturan

perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal

202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949),

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella

act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan

perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap

konsumen.4

3 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 32-33.4 Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju, hal vl.

3

Page 4: hukum perlindungan konsumen

Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan

menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak seringkali tidak

seimbang. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang

seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah

menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining

position) dalam hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali

menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it).

Formulir pembukaan rekening yang dibuat standard dan secara sepihak tersebut biasanya

didikenal dengan sebutan perjanjian standar atau klausul baku. Secara sederhana, perjanjian

standar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :5

1. Dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha yang dalam banyak hal posisinya relative

lebih kuat dari konsumen.

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan bersifat massal.

4. Konsumen terpaksa menerima karena disorong oleh kebutuhan.

Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank

sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah

debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-

masing.6

Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan

prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit/pembiayaan. Dalam memberikan perlindungan

terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisir sehingga

dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di sisi lain pengadilan yang merupakan 5 Sudaryatmo, dkk, 2003, Konsumen Menggugat, Jakarta: Penerbit Piramedia, hal 85.6 Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama, hal 47.

4

Page 5: hukum perlindungan konsumen

pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai

apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang

disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.7

Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain adalah karena: (1) Isi

dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak, (2) Tidak mengetahui isi dan

syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat

hukumnya, (3) Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, (4) Ada unsur “terpaksa” dalam

menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi

efisiensi.8

Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi substansi UUPK untuk memberikan pengaturan

mengenai ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu sebagai berikut:9

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen

dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli

konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung,

maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

7 Ibid, hal 478 H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi, hal 38.9 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

5

Page 6: hukum perlindungan konsumen

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang

dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta

kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,

lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa

konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan

hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen

secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2

dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-

undang ini.

Dari ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat dan sering terjadi

dalam perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank adalah ketentuan pada ayat (1)

huruf g, yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

6

Page 7: hukum perlindungan konsumen

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh

pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, akan tetapi

pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan

kepentingan nasabah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk

menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah karena

memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut:10

1) Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya

klausula-klausula penting dalam perjanjian.

2) Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian

kredit/pembiayaan.

3) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.

4) Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.

Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam

hal adanya perjanjian standar mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening

di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah,

sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.

B. Risiko Yang Dapat Timbul Dalam Kegiatan Usaha Bank Terkait Dengan

Penyimpanan Dana Nasabah Sebagai Konsumen

Terminologi ”konsumen” terlanjur dikenal masyarakat sebagai antonim dari

”produsen”. Istilah konsumen juga dipakai luas sebagai sebutan untuk semua subjek

10 Ibid, hal 42.

7

Page 8: hukum perlindungan konsumen

yang berhadapan dengan pelaku usaha, termasuk pelaku usaha dalam sektor

perbankan. Sejak era Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Indonesia telah memiliki

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kelahiran

undang-undang ini cukup fenomenal karena dibidani oleh DPR melalui hak

inisiatifnya; sesuatu yang sangat langka pada era Orde Baru. Undang-undang hasil

hak inisiatif DPR ini baru diberlakukan satu tahun sejak diundangkan, yakni pada

tanggal 20 April 2000.

Ada yang menarik dari rumusan tentang kata ”konsumen” dari Undang-

Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Dalam undang-undang ini dikatakan

bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan11.

Terkait dengan relevanasinya dalam tulisan ini, timbul pertanyaan: apakah

setiap orang yang menjadi nasabah penyimpan dalam sektor perbankan dapat

dimasukkan dalam kriteria konsu Jika memperhatikan penjelasan pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dapat diketahui bahwa yang

mendasari pembuat Undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari

kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha.

Walaupun demikian. pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Perlindungan

Konsumen juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan

perbankan secara lebih professional dalam manajemen usaha (memenuhi fungsi

hukum sebagai a tool of social engineering) sehingga lebih mampu bersaing terutama

menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi yang dengan sendirinya juga

untuk kepentiugan pemerintah dalam pembangunan secara berencana. Dalam era

globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bankbank nasional, termasuk 11 Ahmadi Miru, 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Raja Grafindo Persada hal.18

8

Page 9: hukum perlindungan konsumen

dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia.

Bank-bank asing yang berada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa atau

pelayanan yang sebaik-baiknya termasuk men.

Jika definisi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diperhatikan

baik-baik, maka sesungguhnya konsumen yang termasuk dalam lingkup yang

dilindungi undang-undang itu hanyalah konsumen akhir (end consumer atau ultimate

consumer). Konsumen adalah pemakai, baik barang maupun jasa, yang tidak

diperdagangkan kembali. Dalam jasa perbankan, tidak semua nasabah penyimpan

memenuhi kriteria sebagai pemakai (konsumen) akhir ini.

Selain itu, perlu pula diingat bahwa Undang-Undang Perlindungan

Konsumen memiliki fungsi unik sebagai undang-undang payung (umbrella act)

sekaligus sebagai undang-undang sektoral. Dalam fungsinya sebagai undang-undang

payung, ia dapat digunakan untuk melingkupi undangundang lain, termasuk Undang-

Undang Perbankan dan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan

perkataan lain, sebagai undang-undang payung, Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dapat memposisikan diri sebagai undang-undang umum (lex generalis)

terhadap undang-undang lain yang lebih khusus (lex specialis). Penafsiran tentang

lex generalis dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen atas undang-undang

sektor perbankan antara lain dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

Dalam ilmu hukum dikenal satu asas penting bahwa undang-undang khusus

dapat mengenyampingkan undang-undang umum (lex specialis derogat legi

generali). Jadi, sebenarnya Undang-Undang Perbankan atau Undang-Undang

Lembaga Penjamin Simpanan dapat saja mencantumkan secara eksplisit aturan yang

mengecualikan keberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk jenis-

9

Page 10: hukum perlindungan konsumen

jenis simpanan yang tidak terkait dengan kepentingan konsumen akhir. Namun,

tampaknya upaya demikian sangat menguras energi mengingat perubahan atas suatu

undang-undang bukan pekerjaan mudah di negeri ini.

Solusi dan antisipasi yang lebih baik adalah dengan menerbitkan suatu

klausula dalam perjanjian-perjanjian standar di lingkungan perbankan, yang di

dalamnya dinyatakan bahwa nasabah penyimpan adalah konsumen sepanjang yang

bersangkutan merupakan konsumen pemakai akhir jasa perbankan menurut

ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pernyataan dalam klausula ini

tidak dimaksudkan agar bank atau LPS mengelak dari tanggung jawabnya

melindungi nasabah penyimpan, tetapi lebih untuk meluruskan kriteria konsumen

yang terlanjur dipahami secara salah kaprah dalam masyarakat, termasuk di

lingkungan aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti, penyedia jasa sektor

perbankan dan LPS harus tetap menghormati hak-hak konsumennya, dan Undang-

Undang Perlindungan Konsumen pun tetap dapat menyentuh sektor perbankan, tetapi

tidak semua nasabah penyimpan layak menyebut dirinya sebagai konsumen akhir

yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan menyeluruh, kesepakatan

sebagian atau tidak tercapainya kesepakatan atas kasus yang disengketakan. Untuk

lebih mengefektifkan program-program perlindungan nasabah di atas diperlukan

suatu upaya yang sifatnya berkelanjutan melalui pelaksanaan edukasi masyarakat

mengenai hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank selain hal penting

lainnya seperti pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi masyarakat

yang akan dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk

memberdayakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan keuangan (financial

10

Page 11: hukum perlindungan konsumen

literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu

merencanakan keuangannya secara bijaksana.

Dalam hal ini edukasi masyarakat diharapkan tidak hanya memberikan

peningkatan pemahaman mengenai produk keuangan dan perbankan namun juga

diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan taraf hidup masyarakat

melalui perencanaan keuangan yang tepat. Mengingat faktor keragaman yang ada di

masyarakat, maka pelaksanaan edukasi tidak dapat dilakukan hanya dengan

mendasarkan pada asumsi-asumsi semata tetapi diperlukan perencanaan yang matang

berdasarkan data dan fakta agar programprogram edukasi dapat memenuhi

kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam tersebut. Oleh karena itu,

perolehan informasi dan analisis yang komprehensif mengenai kebutuhan dan

strategi saat ini Bank Indonesia sedang melakukan survey untuk melakukan

pemetaan kebutuhan edukasi berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,

faktor geografis, dan faktor domisili (desa & kota).

Hasil pemetaan ini nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk penetapan

strategi dan implementasi edukasi jangka pendek, menengah dan panjang serta

dimanfaatkan pula untuk sebagai dasar pembentukan kerangka kerja Forum Edukasi

Masyarakat yang diharapkan dapat dibentuk dalam beberapa waktu kedepan. Forum

Edukasi Masyarakat yang keanggotaannya direncanakan dapat merangkul berbagai

lembaga dan instansi pemerintah diharapkan dapat menjadi forum koordinasi

pelaksanaan edukasi sekaligus penggerak implementasi strategi edukasi di masing-

masing bidang yang menjadi kewenangannya.

Perlindungan nasabah merupakan tantangan perbankan yang berpengaruh

secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu menjadi

tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank Indonesia untuk menciptakan

11

Page 12: hukum perlindungan konsumen

standar yang jelas dalam memberikan perlindungan kepada nasabah terhadap akibat

yang timbul dari kegiatan usaha bank. Nasabah merupakan konsumen dari

pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu

tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor

5/8/PBI/2003 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Bank

wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif baik untuk Bank secara

individual maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak, yang

paling kurang mencakup 4 (empat) pilar yaitu:

a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi

b. Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;

c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko

serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan

d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terletak pada adanya

kewajiban bagi pihak bank untuk mengindahkan tata cara pembuatan klausula baku

12 Husein Umar, 2001, Manajemen Risiko Bisni, Pendekatan Finansial dan Nonfinancial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hal 97

12

Page 13: hukum perlindungan konsumen

baik bentuk maupun substansinya dalam hal pembuatan perjanjian

kredit/pembiayaan, serta pembukaan rekening bank oleh nasabah.

Pertanggungjawaban bank apabila nasabah mengalami kerugian adalah dengan

menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah, untuk

menghindari berlarut-larutnya masalah yang terjadi. Pengaduan nasabah dilakukan

dengan standar waktu yang ditentukan dan berlaku secara umum. Risiko yang

terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi yaitu risiko yang

ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung oleh nasabah

debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk

Strategic Risk, Regulatory Risk Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources

Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara

lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang

baku (standar) sehingga debitur tidak dapat ikut meneutukan isi perjanjian tersebut.

Kedudukan yang berbeda antara bank dan nasabah debitur yakni dimana bank

memiliki posisi tawar yang lebih kuat jika dibandingkan dengan nasabah debitur

menyebabkan ketidakseimbangan dalam pembuatan perjanjian kredit bank. Hal ini

disebabkan perjanjian kredit bank tersebut dibuat dalam bentuk yang baku (standar)

oleh pihak bank sehingga isi dari perjanjian kredit baku tersebut lebih

menguntungkan pihak bank sedangkan nasabah hanya dapat menerimanya. Bank

dapat memasukkan klausul-kalusul yang menguntungkannya namun merugikan

pihak nasabah debitur seperti klausul eksonerasi yang membebaskan bank sebagai

kreditur dart kewajibannya.Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan

sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu

langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam

Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

13

Page 14: hukum perlindungan konsumen

Keberadaan lembaga tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain

karena Indonesia perlu menjamin dan memberdayakan nasabah perbankan dengan

memberikan perlindungan kepada nasabah. Kehadiran mediasi perbankan sangat

penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat

mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa

bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus

tetap terjaga. Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan memberikan

manfaat baik bagi nasabah maupun bank.

B. Saran

1. Pihak perbankan dalam hal ini hendaknya dapat bekerjasama dengan lembaga

konsumen atau badan lain yang dianggap bisa mewakili kepentingan nasabah

sehingga secara bersama-sama dapat merumuskan klausula yang memenuhi

kebutuhan para pihak dan tidak melanggar unsur kepatutan demi kepastian

hukum dan sekaligus juga harus diusahakan kesepakatan penafsiran atas

klausa-klausa yang bersangkutan

2. Bank Indonesia sebagai bank yang memiliki otoritas penuh dalam pembuatan

kebijaksanaan hendaknya dapat mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada

masyarakat mengenai adanya hak nasabah untuk mengajukan segala hal yang

merugikannya.

14