20
Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh PT X dari Persewaan Floating Crane Ananda Randini dan Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstrak. Skripsi ini merupakan sebuah studi pada PT X mengenai pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane. Skripsi ini mengangkat tiga permasalahan yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane, compliance cost dari pemotongan PPh tersebut, dan kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan tersebut. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua model penyewaan floating crane pada PT X yang salah satunya mengakibatkan ketidakpastian dalam pemotongan PPh sehingga compliance cost yang timbul akan menjadi berbeda pula. Kebijakan pajak penghasilan yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan usaha pelayaran pada masa kini. Kata Kunci: Pemotongan; Pajak Penghasilan; Compliance cost; Floating crane; PT X Abstract. This thesis discusses the withholding of income tax on income from floating crane rent. This thesis is raising three issues, which are the withholding income tax process in PT X, the compliance cost that PT X has to bear, and the difficulties arise from the process of withhold. The method used in this study is qualitative descriptive. The collections of data are through field studies and literature studies. The results showed that there are two models of floating crane rent in PT. X which caused the different tax treatment. The different tax treatment leads to different compliance cost. The prevailing income tax policy/regulations are not relevant with the term of shipping bussiness. Therefore, the income tax policy/regulations should be revised accordingly. Key Words: Withholding Tax; Income Tax; Compliance cost; Floating crane; PT. X Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima

atau Diperoleh PT X dari Persewaan Floating Crane

Ananda Randini dan Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si

Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Abstrak. Skripsi ini merupakan sebuah studi pada PT X mengenai pemotongan pajak

penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating

crane. Skripsi ini mengangkat tiga permasalahan yaitu pemotongan PPh atas penghasilan

yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane, compliance cost dari

pemotongan PPh tersebut, dan kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan tersebut.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan teknik pengumpulan

data melalui studi lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa

terdapat dua model penyewaan floating crane pada PT X yang salah satunya mengakibatkan

ketidakpastian dalam pemotongan PPh sehingga compliance cost yang timbul akan menjadi

berbeda pula. Kebijakan pajak penghasilan yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan

usaha pelayaran pada masa kini.

Kata Kunci:

Pemotongan; Pajak Penghasilan; Compliance cost; Floating crane; PT X

Abstract. This thesis discusses the withholding of income tax on income from floating crane

rent. This thesis is raising three issues, which are the withholding income tax process in PT X,

the compliance cost that PT X has to bear, and the difficulties arise from the process of

withhold. The method used in this study is qualitative descriptive. The collections of data are

through field studies and literature studies. The results showed that there are two models of

floating crane rent in PT. X which caused the different tax treatment. The different tax

treatment leads to different compliance cost. The prevailing income tax policy/regulations are

not relevant with the term of shipping bussiness. Therefore, the income tax policy/regulations

should be revised accordingly.

Key Words: Withholding Tax; Income Tax; Compliance cost; Floating crane; PT. X

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 2: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

PENDAHULUAN

Ketersediaan pasokan minyak dunia yang semakin terbatas membuat harga minyak

bumi dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Dengan demikian, dunia

membutuhkan sumber energi alternatif yang masih memiliki potensi besar. Batu bara

merupakan salah satu sumber energi alternatif yang mendapat perhatian besar. Hal itu

menjadikan industri batu bara saat ini termasuk industri yang sangat prospektif. Hal ini pula

yang membuat penggunaan energi alternatif seperti batu bara semakin tinggi, membuat

perusahaan batu bara menikmati pertumbuhan laba yang yang tinggi dalam beberapa tahun

terakhir terutama untuk yang berorientasi pada ekspor.

Dengan tersebarnya daerah penghasil batu bara tersebut, para pengusaha batu bara

membutuhkan suatu alat transportasi dalam jumlah besar untuk memindahkan batu bara dari

tempat penggalian batu bara ke tempat produksi batu bara yang pada umumnya berada di lain

wilayah. Alat transportasi yang digunakan biasanya kapal tongkang. Untuk memindahkan

muatan batu bara dari barge (tongkang) ke mother vessel (kapal besar) normal disebut loading

atau sebaliknya memindahkan dari kapal besar ke tongkang yang disebut unloading

dibutuhkan semacam kapal atau alat mengapung yang memiliki daya besar. Kapal tersebut

biasanya dikenal dengan floating crane.

Floating crane merupakan salah satu bentuk kapal yang dipergunakan di atas laut.

Sesuai dengan namanya kapal ini adalah crane yang mengapung yang untuk perpindahannya

dari satu tempat ke tempat lainnya di bagi atas dua jenis yaitu:

1) Bergerak sendiri dalam artian menggunakan mesin sendiri untuk bergerak yang biasa

di kenal dengan floating crane self propeller (FCSP); dan

2) Bergerak dengan bantuan tug boat atau ditarik oleh kapal lain (towing).

Permasalahan dalam pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima dari

persewaan floating crane bermula dari perbedaan pendapat yang timbul antara Direktorat

Jenderal Pajak dengan perusahaan pelayaran dalam negeri yang bergerak dalam usaha

persewaan floating crane mengenai arti floating crane itu sendiri (Wawancara dengan Indra

Yuli, pada tanggal 12 Desember 2012). Direktorat Jenderal Pajak beranggapan bahwa floating

crane bukan merupakan jenis kapal, hanya sebatas alat yang digunakan untuk

memindahkan/mengangkut muatan dari kapal induk (mother vessel) ke kapal tongkang dan

sebaliknya. Alasan tersebut diperkuat dengan alasan bahwa kebanyakan dari floating crane

tidak memiliki mesin sendiri untuk mengoperasikan dirinya sendiri sehingga tidak dapat

disebut sebagai kapal. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak menganggap atas

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 3: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri atas persewaan floating crane

tersebut seharusnya dipotong pajak penghasilan pasal 23, bukan pajak penghasilan pasal 15.

Lain halnya dengan pendapat perusahaan pelayaran dalam negeri yang tergabung dalam suatu

asosiasi bernama Indonesian National Shipowners’ Association (INSA). Perusahaan

pelayaran dalam negeri menganggap bahwa floating crane merupakan salah satu jenis kapal

yang sudah sering digunakan di dalam dunia pelayaran dalam negeri maupun luar negeri.

Hal tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpastian dalam pemotongan pajak atas

penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating

crane. Ketidakpastian pelakuan perpajakan bagi floating crane juga dialami oleh PT X, salah

satu perusahaan pelayaran yang tergabung dalam INSA. PT X merupakan perusahaan

pelayaran dalam negeri yang telah beroperasi sejak tahun 1975. PT X juga merupakan salah

satu perusahan pelayaran dalam negeri yang memiliki kredibilitas diantara para pesaingnya

yang dibuktikan dengan penawaran sahamnya ke publik (Initial Public Offering). PT X dipilih

menjadi subjek penelitian ini karena berdasarkan data yang diperoleh dari INSA, PT X

merupakan salah satu perusahaan pelayaran yang memiliki jumlah floating crane terbanyak di

provinsi DKI Jakarta dan dapat diajak bekerja sama dalam penelitian ini.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneliti mengenai pemotongan pajak

penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating

crane, serta menganalisis compliance cost yang timbul dalam pemotongan pajak penghasilan

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane. Selain itu

peneliti ingin menganalisis kendala dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan

yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane.

TINJAUAN TEORITIS

Penelitian ini dilakukan dengan mendasarkan kepada dua teori secara garis besarnya. Teori

pertama adalah compliance cost. Dalam pemungutan pajak, juga harus diperhatikan asas

efisiensi. Asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi fiskus dan sisi wajib pajak. Dari

sisi fiskus pemungutan pajak dapat dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang

dilakukan oleh kantor pajak lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan.

Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus

dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya bisa seminimal mungkin.

Dengan kata lain pemungutan pajak dikatakan efisien jika cost of compliance-nya rendah.

(Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, 2005, hal. 136-140). Compliance cost tidak selalu biaya

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 4: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

yang bersifat tangible - dapat dinilai dengan uang, tetapi juga dengan biaya yang bersifat

intangible. Dari sisi wajib pajak, biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi

kewajiban perpajakannya dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1) Direct Money Cost, yaitu biaya yang atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang

yang arus dikeluarkan/ditanggung oleh wajib pajak berkaitan dengan proses

pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan.

2) Time Cost yaitu biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-

kewajibandan hak-hak perpajakan.

3) Psychic Cost yaitu biaya psikologis/psikis yang terjadi dalam proses pelaksanaan

kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya stres yang terjadi saat

pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan dan banding.

Teori kedua yang penulis gunakan adalah teori global dan schedular taxation. Ada dua

model struktur pajak penghasilan orang pribadi, yaitu schedular dan global. Schedular

taxation adalah suatu model pemajakan dimana pajak yang terpisah diterapkan pada kategori

penghasilan yang berbeda, sedangkan global taxation adalah suatu model pemajakan di mana

pajak dikenakan terhadap seluruh penghasilan, apapun sifatnya (Lee dan Krever: 1998, hal.

495-496). Pada sistem schedular, penghasilan kotor dan biaya yang dapat dikurangkan

ditentukan secara terpisah untuk tiap jenis penghasilan; dalam beberapa kasus, biaya yang

dapat dikurangkan terbatas atau bahkan tidak boleh sama sekali. Tarif pajak berbeda untuk

tiap kategori penghasilan. Prosedur yang berbeda dapat diterapkan pada masing-masing

kategori penghasilan, baik dalam hal pelaporan, penilaian, dan pembayaran. Beberapa jenis

penghasilan hanya dapat dipajaki melalui pemotongan, sedangkan yang lain melalui pengisian

laporan pajak.

Mansury (2002, hal. 232) menggunakan istilah perlakuan khusus untuk mendefinisikan

pengenaan pajak dengan tarif khusus yang berbeda dengan tarif umum dan penerapan tarif

khusus itu bersifat final, yaitu jenis penghasilan khusus itu tidak digabungkan dengan jenis-

jenis penghasilan lain yang dikenakan tarif umum yang progresif. Dalam sistem perpajakan

Indonesia, perlakuan khusus ini berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak

Penghasilan. Global taxation merupakan sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan

cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis di mana pun didapat, di

Indonesia dan di luar negeri. Hyman dalam Mansury menyatakan bahwa global taxation

adalah sistem pajak atas penghasilan yang paling adil yakni dengan memakai konsep-konsep

sebagai sarana untuk mencapai keadilan, baik berupa keadilan horizontal maupun keadilan

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 5: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

vertikal (Mansury, 1996, hal.68).

Pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain

untuk kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan

pajaknya (Rosdiana dan Tarigan: 2005, hal 269). Mansury (2002, hal 234-242)

mengidentifikasi tiga puluh jenis penghasilan yang dikenakan pajak dengan tarif khusus ini,

sedangkan pada sistem global, tidak ada penyesuaian (matching) antara jenis penghasilan

tertentu dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Seluruh

penghasilan dan biaya diperhitungkan menjadi satu untuk menghitung penghasilan kena

pajak. Jadi, dalam sistem global, tidak ada pengkategorian penghasilan (Burns dan Krever:

1998, hal 496-497). Mansury (2002, hal 128) mendefinisikan global taxation sebagai sistem

pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan

kemampuan ekonomis di manapun didapat, lalu atas seluruh jumlah penghasilan tersebut

diterapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua Wajib Pajak.

Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum dan tarif khusus

terdapat perbedaan dasar pemajakan (Mansury: 2002, 233). Tax base untuk struktur tarif

umum adalah bertingkat, yaitu untuk lapisan kena pajak dan prosentase tarif pajak yang

berbeda, sedangkan tax base untuk tarif khusus pada umumnya tidak bertingkat-tingkat, jadi

berapapun Penghasilan Kena Pajak, maka tarif yang berlaku adalah sama. Pada umumnya tax

base untuk tarif khusus adalah penerimaan bruto atau harga penjualan bruto.

Pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final disebut dengan schedular taxation.

Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya perlakuan tersendiri adalah

kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan

pajaknya, memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, serta tidak menambah beban

administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak

(Rosdiana&Irianto,2012,195).

Tabel Perbedaan 1.1 Global Taxation dengan Schedular Taxation

Global Taxation Schedular Taxation

Equals treatment for the equals.

Semua penghasilan digabungkan

dengan tidak membeda-bedakan asal

dan sumber/jenis penghasilan.

Perlakuan pajak (tax treatment)

dibeda-bedakan berdasarkan

sumber/jenis penghasilan. Artinya

suatu jenis penghasilan mempunyai

perlakuan pajak yang berbeda dengan

penghasilan yang lain.

Hanya ada satu struktur tarif yang Tarif berbeda-beda, tergantung

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 6: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

diperlakukan terhadap total

penghasilan tersebut (di Indonesia:

tarif Pajak Penghasilan Pasal 17).

sumber/jenis penghasilannya.

Dalam menghitung Penghasilan Kena

Pajak, dasar pengenaannya adalah

Net Income, karena itu global gross

income dikurangkan terlebih dahulu

dengan tax reliefs.

Dalam menghitung Penghasilan Kena

Pajak, dasar pengenaannya adalah

Gross Income atau Deemed

Profit/Deemed taxable Income,

karena itu tidak ada taxreliefs.

Umumnya digunakan sistem self

assessment atau kombinasi antara self

assessment dengan withholding tax.

Pajak yang sudah dipotong oleh

pihak ketiga (withholding) dapat

dijadikan sebagai kredit pajak dalam

menghitung pajak yang terutang pada

akhir tahun pajak.

Umumnya digunakan sistem

withholding tax. Pajak yang sudah

dipotong oleh pihak ketiga tidak

dapat dijadikan sebagai kredit pajak

dalam menghitung pajak yang

terutang pada akhir tahun pajak.

Sumber: Rosdiana & Irianto,2010,195

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Menurut Creswell, di dalam

penelitian kualitatif, permasalahan penelitian perlu dieksplorasi karena ketersediaan informasi

yang terbatas tentang topik yang diangkat di dalam suatu penelitian. Menurutnya, sebagian

besar variabelnya tidak diketahui dan peneliti ingin memusatkan pada konteks yang dapat

membentuk pemahaman dari fenomena yang diteliti (Creswell, 1994: 1-2). Sementara itu,

jenis penelitian dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian,

dimensi waktu, dan teknik pengumpulan data. Berdasarkan tujuan, penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif. Berdasarkan manfaat, penelitian ini merupakan penelitian murni.

Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini termasuk penelitian cross-sectional. Pada

penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library

research) dan studi lapangan (field research). Teknik analisis data yang digunakan adalah

teknik analisis data kualitatif.

Narasumber atau informan merupakan sumber informasi di mana peneliti akan

memperoleh data penelitian berdasarkan informasi yang diberikan informan dalam

wawancara mendalam. Pada penelitian ini, terdapat lima narasumber yang diwawancarai oleh

peneliti:

1) Dewi, Pelaksana Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh

Orang Pribadi, Direktorat Peraturan Perpajakan II,

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 7: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

2) Indra Yuli, Ketua Bidang Pajak dan Pabean Indonesia National Shipowners’ Association

(INSA),

3) Hendri, Manajer Pajak Perusahaan Pelayaran PT X,

4) Prof. Dr. Gunadi Ak, M. Sc, Akademisi Perpajakan, dan

5) Dody Triwahyudi, M. Str, Kasubdit Pelayaran Dalam Negeri Kementerian Perhubungan

Repulik Indonesia.

HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini, terdapat tiga permasalahan yang telah dirumuskan peneliti.

Permasalahan pertama adalah pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima

atau diperoleh PT X dari persewaan floating crane. Melalui proses analisis, peneliti

menyimpulkan bahwa terdapat dua jenis pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang

diterima oleh PT X dari persewaan floating crane, yaitu pemotongan pajak penghasilan atas

penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane model I (penyewaan

floating crane sendiri) yang menimbulkan ketidakpastian dalam pemotongan Pajak

Penghasilan-nya, karena masih ada yang dipotong dengan Pajak Penghasilan Final Pasal 15

sebesar 1,2 % dan masih ada juga yang memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 yang bersifat

tidak final sebesar 2 % dan pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima

oleh PT X dari persewaan floating crane model II (penyewaan floating crane yang tidak dapat

dipisahkan dengan kapal tunda) tidak menimbulkan ketidakpastian dalam peotongannya

karena pasti akan dipotong Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 %.

Kemudian, permasalahan kedua adalah compliance cost yang timbul dalam

pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari

persewaan floating crane. Compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak penghasilan

atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (schedular tax) lebih

besar daripada compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak penghasilan atas

penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (global tax).

Terakhir, permasalahan ketiga adalah kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan

pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane.

Kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang

diterima oleh PT X dari persewaan floating crane adalah kebijakan pajak penghasilan yang

berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan usaha pelayaran pada masa kini.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 8: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

PEMBAHASAN

Model penyewaan I merupakan model penyewaan yang diberikan oleh PT X dimana

floating crane disewakan sendiri, tidak menjadi suatu kesatuan dengan kapal tunda. Model ini

biasa digunakan oleh perusahaan tambang yang memiliki mother vessel, namun tidak

memiliki floating crane. Mother vessel yang tidak memiliki crane biasanya mother vessel

dengan kapasitas lebih dari 50.000 MT (meter ton). Hal ini sejalan dengan pendapat Kasubdit

Pelayaran Dalam Negeri Kementrian Perhubungan Republik Indonesia.

“biasanya sih kapal-kapal yang muatannya kecil sudah punya crane sendiri ya mbak.

Nah, kalo yang muatannya besar itu baru yang harus sewa crane lagi.”(Wawancara

dengan Dody Triwahyudi M.STr, 14 Juni 2013).

Floating crane yang disewakan oleh PT X ini adalah tipe floating crane FCSP, yaitu

floating crane yang dapat bergerak sendiri dalam artian menggunakan mesin sendiri untuk

bergerak, tanpa harus ditarik dengan kapal tunda. Namun, meskipun FSCP ini dapat bergerak

sendiri, tetap dibutuhkan awak untuk mengoperasikannya. Oleh karena itu, sewa FSCP ini

tetap digolongkan sebagai sewa mannedbasis, dimana sesuai dengan peraturan perpajakan

sewa mannedbasis dikenakan Pajak Penghasilan Final Pasal 15 tentang jasa pelayaran.

PT X tetap mencatat penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating

crane sebagai penghasilan dari persewaan kapal pada umumnya. Namun dengan alasan

confidentiality, PT X tidak dapat memperlihatkan contoh nyata yang telah tercatat dalam

pembukuannya karena pada saat dilakukan pencatatan, nama customer juga diikutsertakan

dalam pencatatan tersebut.

“Kalo catet sih kita cenderung sama ya, sama-sama penghasilan sewa kapal. Nantinya

akan dibedain per jenis kapalnya, kalo sewa kapal kargo ya sewa kapal kargo tulisnya,

kalo sewa kapal crane ya sewa kapal crane. Mohon maaf nih sebelumnya kita ngga

bisa kasih liat contoh cara catetnya, soalnya confidential, ada nama customer kita di

situ. Ya jadi tolong dimaklumin aja ya.” (Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12

Juni 2013)

Mengenai pemotongan penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari persewaan

floating crane, terdapat ketidakpastian dalam pemotongannya. Menurut PT X sendiri

penghasilan tersebut seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Final.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 9: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

“Kalo menurut kita perusahaan pelayaran sih ya harusnya dipotong Pajak Penghasilan

final semua Mbak, kita juga udah kasih tau ke customernya kalo nanti potongnya final

aja, tapi ya gara-gara ada dispute ini lah jadi beda-beda motongnya. “(Wawancara

dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni 2013)

Prof. Gunadi yang merupakan salah satu akademisi di bidang perpajakan dan juga

seorang dosen pajak di Universitas Indonesia mengemukakan bahwa penghasilan yang

diterima perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane memang

seharusnya dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23. Hal tersebut dikarenakan fungsi floating

crane hanya sebatas alat untuk memindahkan muatan dari satu kapal ke kapal lainnya. Dalam

hal yang menyewa adalah perusahaan tambang batu bara, fungsi floating crane adalah alat

untuk memindahkan batu bara yang terdapat di dalam kapal tongkang ke kapal induk (mother

vessel).

”Sebetulnya kan itu bukan kapal, alat benda angkutan dari satu kapal ke kapal lain.

Nah dia kan ga bisa berdiri sendiri, kan kalo kapal bisa. Tanpa kapal dia ga bisa

berfungsi apa-apa gitu. fungsinya kan juga beda, kalo kapal itu untuk ngangkut nah itu

bukan untuk ngangkut, untuk memindahkan aja, kayak semacam kuli gitu. Kuli sama

truk kan beda tuh kan.”(Wawancara dengan Prof. Gunadi, 14 Mei 2013)

Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara peneliti dengan Staf Pelaksana

Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak

Penghasilan Orang Pribadi.

“Iya Mbak, jadi yang diliat sih sebenernya lebih ke fungsi dari alat itu sendiri. Kan

kalo floating crane fungsinya cuma memindahkan kan, ngga ngangkut-ngangkut

orang atau barang.” (Wawancara dengan Dewi, pada tanggal 17 April 2013)

Selain itu, Dewi juga menegaskan bahwa floating crane tidak memenuhi syarat

kumulatif yang terdapat di dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak

Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, yaitu tidak melakukan pengangkutan dari satu

pelabuhan ke pelabuhan lain.

“Kan dari peraturannya sudah jelas, di KMK 416 itu persewaan kapal dikenakan Pajak

Penghasilan 15 itu yang memenuhi syarat-syarat yang ada disitu, seperti dilakukan

oleh perusahaan dalam negeri, lalu melakukan pelayaran dari satu pelabuhan ke

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 10: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

pelabuhan lainnya. Kalo salah satu dari syarat itu ngga terpenuhi ya kita anggap itu

persewaan harta mbak.” (Wawancara dengan Dewi, pada tanggal 17 April 2013)

Namun, meskipun sudah banyak pihak yang mengakui bahwa penghasilan yang

diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan crane tersebut merupakan

objek Pajak Penghasilan 23 atau Pajak Penghasilan non Final, perusahaan pelayaran dalam

negeri masih merasa keberatan dengan perlakuan pajak tersebut. Hal ini diungkapkan oleh

Manajer Pajak PT X.

“ini peraturan tahun 1996. Tahun 1996 dengan sekarang, secara bisnis itu sudah

berubah banyak sekali. Tahun 1996 industri migas belum berkembang sepesat

sekarang. Kapal juga banyak jenisnya. Dulu tidak ada yang namanya floating crane,

floating storage.” (Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni 2013).

Tidak hanya Manajer Pajak PT.X saja yang merasa keberatan, perusahaan pelayaran

lainnya yang juga memiliki usaha persewaan floating crane sebagai salah satu jenis usahanya

juga merasa keberatan dengan perlakuan pajak atas penghasilan yang diterima oleh

perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane tersebut. Hal ini

diungkapkan oleh Indra Yuli, Kepala Bagian Pajak dan Kepabeanan Indonesia National

Shipowner’s Association (INSA) pada saat diwawancarai oleh peneliti.

“Nah kalo dari anggota-anggota kita masih banyak yang keberatan atas hal itu. Kalo

anggota kami kan pengennya masih tetep kena Pajak Penghasilan Final Mbak.

Soalnya kan hampir semua anggota kami perusahaan pelayaran ya Mbak, jadi ya

mereka pengennya disamaain aja semua pajaknya.” (Wawancara dengan Indra Yuli,

pada tanggal 3 Juni 2013)

INSA merupakan organisasi perusahaan pelayaran dalam negeri di Indonesia yang

diakui keberadaannya oleh pemerintah. INSA didirikan pada tanggal 6 September 1967 dan

sejak saat itu organisasi ini berdiri dan tumbuh menjadi wadah pemersatu bagi para pelaku

usaha di sektor pelayaran baik penumpang, barang, minyak, gas, hingga offshore (lepas

pantai). PT X yang juga merupakan salah satu anggota INSA, sama seperti anggota-anggota

INSA lainnya, telah mempercayakan berbagai urusan seperti pajak kepada INSA. Hal ini

lebih baik mengingat posisi organisasi yang merupakan suatu bentuk asosiasi lebih kuat di

mata orang banyak.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 11: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

INSA telah melakukan berbagai cara untuk dapat membantu para anggotanya yang

masih keberatan dengan masalah ketidakpastian pemotongan pajak penghasilan terkait

floating crane. Salah satu cara yang sudah ditempuh INSA adalah mengajukan permohonan

penegasan kepada Direktorat Peraturan Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian

Keuangan mengenai perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima perusahaan

pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane. Alasan yang diajukan INSA adalah

sebagai berikut :

1) Floating crane memiliki bendera kapal dan harus dioperasikan oleh perusahaan pelayaran;

2) Floating crane merupakan bagian dari sistem pengangkutan, misalnya dalam

pengangkutan batu bara pada saat dilakukannya proses loading dari kapal tongkang ke

kapal induk (mother vessel);

3) Kegiatan pada poin dua merupakan kegiatan pengangkutan dari pelabuhan ke suatu

tempat;

4) Perhitungan Pajak Penghasilan lebih mudah karena tidak harus menyelenggarakan

pembukuan (lower cost compliance) karena Pajak Penghasilan atas jasa pelayaran bersifat

final. (Bersumber dari surat permohonan penegasan INSA yang ditujukan kepada

Direktorat Jenderal Pajak).

Cara lain yang sedang ditempuh INSA adalah dengan mengajukan permohonan

peninjauan kembali kepada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Permohonan

tersebut merupakan tindakan yang diambil atas jawaban tidak memuaskan yang diperoleh dari

Direktorat Jenderal Pajak mengenai perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang

diterima atau diperoleh perusahaan dalam negeri dari persewaan floating crane. Untuk itu,

INSA perlu mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Perhubungan yang menyatakan

bahwa floating crane merupakan salah satu jenis kapal. Berikut proses-proses yang telah

dilakukan INSA dalam usahanya membuat perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan

yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating

crane sama dengan persewaan kapal lainnya.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 12: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Gambar Alur Proses yang Dilakukan INSA terkait Kebijakan Pajak

Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Perusahaan

Pelayaran Dalam Negeri dari Persewaan Floating crane

Sumber : telah diolah lebih lanjut oleh Peneliti

Selanjutnya, model penyewaan yang dilakukan oleh PT X selain model penyewaan I

adalan model penyewaan II, yaitu merupakan model penyewaan yang diberikan oleh PT X

dimana floating crane yang disewakan merupakan jenis floating crane yang tidak bisa

bergerak sendiri, melainkan harus ditarik dengan kapal tunda. Model penyewaan II dianggap

model yang paling ideal untuk meminimalisir pemotongan pajak penghasilan dari persewaan

floating crane. Hal ini dianggap model yang paling ideal karena persewaan floating crane

merupakan suatu kesatuan dengan penyewaan kapal tunda sehingga tidak terdapat

permasalahan dalam pemotongannya pajaknya.

“kalo sewa jenis ini sih tidak ada masalah ya Mbak, karena kan ini juga ada sewa tug

boat-nya, jadi penghasilan yang kita terima dipotongnya Pajak Penghasilan final sama

customernya” (Wawancara dengan Hendri, Manajer PT X, pada tanggal 12 Juni 2013)

Alasan yang sama juga dikemukakan oleh Kepala Bagian Pajak dan Kepabeanan dan

Prof. Gunadi.

“Ya kalo dia punya sendiri, misalnya sudah all ini disitu pada saat menyewakan

dengan alat angkut yang lain, nah itu baru kena Pajak Penghasilan 15. Kalo hanya

menyewakan itu saja, ya itu hanya menyewakan alat definisi itu harus jelas fungsinya.

Kalo dia sendiri ya dia lebih kepada fungsinya itu, tapi kalo dia bergabung untuk

kapalnya itu, ya dia bergabung dalam kapalnya itu termasuk kapalnya dia itu kan. Kan

•Mengajukan surat permohonan penegasan atas pemotongan pajak penghasilan atas persewaan floating crane

•DITOLAK

Direktorat Jenderal Pajak

•Meminta rekomendasi yang menyatakan bahwa floating crane merupakan salah satu jenis kapal

Kementrian Perhubungan •Mengajukan permohonan

peninjauan kembali atas kebijakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri dari persewaan floating crane

Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 13: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

masa dipreteli satu-satu, kan ngga.“(Wawancara dengan Prof. Gunadi, pada tanggal 14

Mei 2013)

“Mereka kan biasanya kalo nyewain floating crane ngga pernah sendirian ya, pasti

customernya ada sewa kapal lain juga. Nah, kontrak untuk sewa floating crane sama

buat sewa kapal lainnya ya digabung aja. Kalo gitu kan udah pasti langsung dipotong

final Mbak” (Wawancara dengan Indra Yuli, pada tanggal 3 Juni 2013)

Berikut contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 15 yang terutang atas persewaan

floating crane dengan model penyewaan ini berdasarkan asumsi Manajer Pajak PT X.

Tabel Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 15 atas Penghasilan yang diterima PT X dari

Persewaan Floating crane

Keterangan Jumlah

Pendapatan sewa floating crane

pada tahun 2011

Rp 34.568.890.200

Pajak Penghasilan Pasal 15 (1,2

% dari peredaran bruto)

Rp 414.826.682

Sumber: diolah oleh Penulis

Manajer PT X mengestimasi bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X

dari persewaan floating crane pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 34.568.890.200. Sesuai

dengan KMK Nomor 416/KMK.04/1996, Pajak Penghasilan final yang terutang dari transaksi

sewa floating crane tersebut sebesar 1,2 % dari penghasilan bruto yang dibayarkan oleh

customer, yaitu sebesar Rp 414.826.682.

Wajib Pajak yang harus memotong Pajak Penghasilan tersebut adalah pihak yang

menyewa floating crane yaitu perusahaan tambang batu bara. Perusahaan tambang batu bara

harus memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan

Pelayaran Dalam Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan

(dalam hal ini PT X, dengan menggunakan bentuk sebagaimana dimaksud pada Lampiran I

KMK Nomor 416/KMK.04/1996. Perusahaan tambang batu bara juga harus menyetorkan

Pajak Penghasilan yang terutang (yang telah dipotong) ke bank persepsi atau Kantor Pos dan

Giro selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau

terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Selanjutnya

perusahaan tambang batu bara juga harus melaporkan pemotongan dan penyetoran yang telah

dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah

bulan pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 14: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Lampiran II KMK Nomor 416/KMK.04/1996, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan

Lembar ke-2 Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran

Dalam Negeri (Final).

Ketidakpastian pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh PT X dari persewaan floating crane tidak hanya menimbulkan beban pajak

(tangible) yang lebih besar bagi PT, namun juga dapat menimbulkan beban lainnya seperti

beban psikologis (intangimble). Beban pajak merupakan beban tangible yang disebut Direct

Money Cost. Beban ini memiliki dampak langsung terhadap keuangan perusahaan.

Beban pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

PT X dari persewaan floating crane jika dipotong menggunakan ketentuan Pasal 23 ayat (1)

huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut.

Tabel Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 23 atas

Penghasilan yang diterima PT X dari Persewaan Floating crane

Keterangan Jumlah

Pendapatan sewa floating crane

pada tahun 2011

Rp 34.568.890.200

Pajak Penghasilan Pasal 23 (2 %

dari penghasilan bruto)

Rp 691.377.804

Sumber: diolah oleh Penulis

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010,

PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama

tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Atas pemotongan PPh

Pasal 23 yang dilakukan atas persewaan floating cranee, maka customer PT X harus

menerbitkan Bukti Potong kepada PT X. Perbedaan nilai pemotongan Pajak Penghasilan atas

persewaan floating crane dapat dilihat dalam perhitungan berikut.

Tabel Perbandingan Perhitungan PPh 23 dan

PPh Pasal 15 atas Penghasilan yang diterima atau diperoleh PT X dari

Persewaan Floating crane (dalam Rp)

Keterangan Pendapatan

sewa floating

crane pada

tahun 2011

Pajak

Penghasilan

Pasal 23 (2

% dari

penghasilan

bruto)

Pajak

Penghasilan

Pasal 15 (1,2

% dari

penghasilan

bruto)

Selisih

Jumlah 34.568.890.200 691.377.804 414.826.682 276.551.122

Sumber: diolah oleh Penulis

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 15: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Dari tabel di atas maka diketahui selisih pemotongan PPh antara PPh Pasal 23 dan PPh

Pasal 15 atas persewaan floating crane yang dilakukan oleh PT X pada tahun 2011 adalah

sebesar Rp 276.551.122,-. Jumlah ini adalah dasar perhitungan yang kemungkinan menjadi

risiko kurang potong bagi customer PT X apabila pada saat dilakukan pemeriksaan pajak oleh

Kantor Pajak ditemukan ketidaksamaan perlakuan dari pemeriksa pajak. Di dalam Undang-

Undang Nomor Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

s.t.t.d Undang-Undang Nomor Nomor 28 Tahun 2007, sanksi yang dikenakan terhadap

kurang setor pajak yang dipotong oleh pihak ketiga (dalam hal ini customer PT X) adalah

sanksi bunga sebesar 2% per bulan (maksimal 24 bulan) dari jumlah yang kurang dipotong,

dihitung sejak tanggal terutangnya pajak hingga saat penerbitan surat ketetapan pajak (dalam

hal ini suat ketetapan pajak kurang bayar).

Dengan adanya risiko ini, customer PT X memiliki pendapat yang cenderung

konvensional dalam memotong penghasilan yang akan dibayarkan kepada PT X atas

persewaan floating crane yakni memotong PPh Pasal 23 sebesar 2 % daripada memotong PPh

Pasal 15 sebesar 1.2 %. Namun, pada kenyataannya terdapat perbedaan yang cukup signifikan

bagi PT X bila penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane

dipotong dengan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 15. Oleh karena perbedaan yang cukup

signifikan tersebut, PT X melalui INSA tetap mengajukan keberatan terhadap perlakuan pajak

penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane.

Selain tangible cost, masih ada intangible cost yang dialami oleh PT X akibat

ketidakpastian kebijakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari

persewaan floating crane, yaitu Time Cost dan psychologycal cost. Time Cost yang timbul

karena dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi PT X dalam memisahkan penghasilan yang

diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane dan yang diterima bukan dari

persewaan floating crane. Selain itu jika dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak pasti

juga membutuhkan waktu lebih lama dalam melakukan pemeriksaan atas penghasilan yang

diterima atau diperoleh dari persewaan floating crane dan yang diterima bukan dari

persewaan floating crane. Berikut tabel yang menggambarkan kelebihan dan kekurangan

perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran

dalam negeri dari persewaan floating crane.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 16: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Tabel Compliance cost atas Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang

Diterima PT X dari Persewaan Floating crane

Cost of

Compliance

Global Taxation (PPh Pasal 23) Schedular Taxation (PPh

Pasal 15)

Direct Money

Cost Beban pajak yang

ditanggung PT X lebih besar

Rp 276.551.122

dibandingkan dengan beban

pajak PPh Pasal 15.

Beban-beban yang

berhubungan langsung

dengan penghasilan objek

PPh Pasal 23 dapat menjadi

pengurang penghasilan bruto

di akhir tahun pajak.

Beban PPh Pasal 23 dapat

menjadi kredit pajak yang

mengurangi beban pajak

penghasilan badan pada

akhir tahun pajak.

Beban pajak yang

ditanggung PT X lebih

besar Rp 276.551.122

dibandingkan dengan

beban pajak PPh Pasal 15

Beban-beban yang

berhubungan langsung

dengan penghasilan objek

PPh Pasal 15 tidak dapat

menjadi pengurang

penghasilan bruto di akhir

tahun pajak.

Beban PPh Pasal 15 tidak

dapat menjadi kredit

pajak yang mengurangi

beban pajak penghasilan

badan pada akhir tahun

pajak.

Time Cost Bagi PT X : memerlukan

sistem pencatatan yang rinci

untuk memisahkan

penghasilan yang merupakan

objek PPh Pasal 15 dengan

penghasilan yang menjadi

objek PPh Pasal 23.

Bagi Fiskus : Jika diadakan

pemeriksaan oleh Kantor

Pajak tempat Wajib Pajak

terdaftar, fiskus

membutuhkan waktu yang

lebih lama untuk memeriksa

dokumen-dokumen yang

terkait dengan peredaran

usaha Wajib Pajak karena

penghasilan Wajib Pajak

perusahaan pelayaran terdiri

dari objek PPh Pasal 15 dan

PPh Pasal 23.

Bagi PT X : tidak

memerlukan sistem

pencatatan yang rinci

untuk memisahkan

penghasilan yang

merupakan objek PPh

Pasal 15 dengan

penghasilan yang menjadi

objek PPh Pasal 23. Hal

ini dimungkinkan karena

pengenaan PPH Pasal 15

bersifat final, tidak

melihat beban-beban yang

berhubungan langsung

maupun tidak langsung

dengan kegiatan usaha.

Bagi Fiskus : Jika

diadakan pemeriksaan

oleh Kantor Pajak tempat

Wajib Pajak terdaftar,

fiskus membutuhkan

waktu yang lebih sedikit

untuk memeriksa

dokumen-dokumen yang

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 17: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

terkait dengan peredaran

usaha Wajib Pajak karena

seluruh penghasilan yang

diperoleh perusahan

pelayaran merupakan

objek PPh Pasal 15.

Psychological

Cost Akibat lamanya waktu yang

digunakan dalam

pemeriksaan, beban mental

(tingkat kestressan) Wajib

Pajak maupun Fiskus akan

meningkat.

Waktu yang digunakan

dalam pemeriksaan lebih

sedikit daripada waktu

yang digunakan dalam

pemeriksaan seluruh jenis

pajak, sehingga beban

mental (tingkat

kestressan) Wajib Pajak

maupun Fiskus cenderung

sedikit.

Kendala yang dirasakan oleh PT X terkait masalah ini adalah peraturan yang mengatur

mengenai pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran

dalam negeri sudah tidak relevan lagi dengan kondisi pelayaran di Indonesia sekarang.

“ini peraturan tahun 1996. Tahun 1996 dengan sekarang, secara bisnis itu sudah

berubah banyak sekali. tahun 1996 belum ada batu bara. Otomatis yaa angkut barang,

pasti dari pelabuhan ke pelabuhan. Tidak ada yang namanya transhipment. Tidak ada

yang namanya floating crane. Nah, apakah dipotong berapa? Kalo ada jenis jasa

pelayaran yang lain mau gimana pelakuannya. Apa dipotong Pasal 15 atau 23?

Perusahaan pelayaran yang dikenain pajak final, nah dia dipotong non final.

Bagaimana pajaknya sebenarnya?” (Wawancara dengan Hendri, pada tanggal 12 Juni

2013).

Perlu diketahui bahwa kebijakan yang mengatur mengenai pemajakan atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran dalam negeri terakhir kali

diubah pada tahun 1996, yaitu 17 tahun yang lalu. Kondisi jasa pelayaran sudah berkembang

pesat selama masa tersebut, seperti jasa transhipment contohnya. Transhipment merupakan

kegiatan meneruskan muatan ke tempat tujuan karena kapalnya tidak menyinggahi pelabuhan

tujuan muatan. Transhipment dapat dilakukan dengan berbagai macam kapal, salah satunya

adalah floating crane. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi Wajib Pajak pelayaran, karena

transaksi yang mereka lakukan tidak tercakup dalam peraturan pelaksana.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 18: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

Kalangan akademisi juga menilai bahwa kebijakan mengenai pajak penghasilan bagi

perusahaan pelayaran harus diubah seiring berubahnya tarif pajak penghasilan badan yang

merupakan dasar perhitungan tarif pajak penghasilan final bagi perusahaan pelayaran. Selain

itu, perlakuan pajak bagi karyawan yang bekerja di perusahaan pelayaran atau perusahaan

yang dikenakan tarif pajak final lainnya juga harus diubah. Selama ini natura yang diberikan

kepada karyawan oleh perusahaan yang dikenakan tarif pajak final dimasukan ke dalam

perhitungan Pajak Penghasilan 21 karyawan tersebut.Hal tersebut tedapat di dalam Peraturan

Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilansehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan

Kegiatan Orang Pribadi. PMK tersebut menyebutkan bahwa penghasilan yang dipotong Pajak

Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam

bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang

diberikan oleh Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

“Harus disesuaikan dengan kondisi. Pajak Penghasilan pasal 15 itu kan ngga jelas,

maksudnya apa itu, persewaan kapal apa kapal yang dioperasikan secara bisnis gitu

loh. Harus jelas. Dulu kan tarifnya maksimal 30 %, sekarang kan sudah 25 %. Ya

dirubahlah. Harusnya ikut turun juga. Cuma rem-remnya itu apa. Kalo kapal itu kan

yang tarif-tarif final itu kan nantinya belum termasuk apa ee labour fringe benefit apa

natura dan kenikmatan. Itu kan jadinya sekarang dikenakan pada karyawannya. Itu

repot juga, kenapa ndak dikenakan pada dia (perusahaan) biar lebih mudah

pengawasannya. Pajaknya minimal. Kan lebih gampang mengenakan pajak ke satu

orang daripada ke banyak orang.” (Wawancara dengan Prof. Gunadi, pada tanggal 14

Mei 2013)

Direktorat Jenderal Pajak juga mengakui bahwa kebijakan mengenai pemajakan atas

usaha pelayaran juga sudah harus diubah. Hal ini diungkapkan oleh Pelaksana Subdirektorat

Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan Orang

Pribadi seperti kutipan di bawah ini.

“kan itu peraturan udah lama ya, jadi kita mau perbarui. Mungkin dengan

memasukkan definisi-definisi seperti definisi kapal itu sendiri biar pada ngga

bingung.” (Wawancara dengan Dewi, pada tanggal 17 April 2013)

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 19: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

KESIMPULAN

Berkaitan dengan tiga hal yang menjadi permasalahan pada penelitian ini, terdapat tiga

poin yang dijadikan kesimpulan. Poin pertama adalah terdapat dua jenis pemotongan pajak

penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane. Jenis

yang pertama yaitu pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X

dari persewaan floating crane model I (penyewaan floating crane sendiri) menimbulkan

ketidakpastian dalam pemotongan Pajak Penghasilan-nya, karena masih ada yang dipotong

dengan Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 % dan masih ada juga yang memotong

Pajak Penghasilan Pasal 23 yang bersifat tidak final sebesar 2 %. Jenis yang kedua yaitu

pemotongan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan

floating crane model II (penyewaan floating crane yang tidak dapat dipisahkan dengan kapal

tunda) tidak menimbulkan ketidakpastian dalam peotongannya karena pasti akan dipotong

Pajak Penghasilan Final Pasal 15 sebesar 1,2 %.

Kesimpulan yang kedua adalah compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak

penghasilan atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final

(schedular tax) lebih besar daripada compliance cost yang timbul akibat pemotongan pajak

penghasilan atas penghasilan dari persewaan floating crane yang bersifat tidak final (global

tax).

Kesimpulan terakhir adalah kendala yang dihadapi PT X dalam pemotongan pajak

penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh PT X dari persewaan floating crane adalah

kebijakan pajak penghasilan yang berlaku sudah tidak relevan dengan keadaan usaha

pelayaran pada masa kini.

SARAN

Berdasarkan pada penelitian ini, peneliti memiliki tiga saran yang bermanfaat bagi pihak-

pihak yang terkait. Untuk PT X, PT X sebaiknya menggunakan model penyewaan II

(penyewaan floating crane yang tidak dapat dipisahkan dengan kapal tunda) dengan

pemotongan pajak penghasilan pasal 15 yang bersifat final dari customer. Selain itu untuk

meminimalisir compliance cost yang ditanggung oleh Wajib Pajak Pelayaran Dalam Negeri,

Pemerintah sebaiknya menyamakan perlakuan pajak bagi usaha pelayaran dan merevisi

kebijakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan

pelayaran dalam negeri sesuai dengan perkembangan usahanya.

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013

Page 20: Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

KEPUSTAKAAN

Buku:

Burns, Lee and Richard Krever. (1998). Tax Law Design and Drafting Volume 2. Washington

DC : IMF.

Creswell, John W. (1994). Research Design “Qualitative and Quantitative Approaches”.

California: SAGE Publications Inc.

Mansury, R (2000). Kebijakan Perpajakan. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran

Pengetahuan Perpajakan (YP4).

Mardiasmo. (2006). Perpajakan Ed.6. Yogyakarta : Andi Offset.

Moleong, Lexy J.(2005) Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT

Remoga Rosdakarya.

Neuman, William Lawrence. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative

Approaches, USA: Ally & Bacon

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit.

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

R. Mansury.(1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. Jakarta:

PT Bina Rena Pariwara.

R. Santoso Brotodihardjo.(2003). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.

Rosdiana, Haula & Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Perkasa.

Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia,Undang–Undang Pajak Penghasilan, Nomor 36 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan

Republik Indonesia,Undang–Undang Pelayaran,Nomor 17 Tahun2008

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan

Khusus Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Surat Edaran Direktur Jenderal PajakNomor SE - 29/PJ.4/1996tentang Pajak Penghasilan

terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri

Analisis pemotongan..., Ananda Randini, FISIP UI, 2013