87
TUGAS AKHIR – TM 091585 ANALISIS STRUKTUR MIKRO UNTUK MENENTUKAN REMAINING LIFE SUDU TURBIN STAGE KETIGA PADA TURBIN GAS TIPE MW701D AMRI HAKIM NRP 2112 100 136 Dosen Pembimbing Suwarno, ST., MSc., PhD. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2016

ANALISIS STRUKTUR MIKRO UNTUK MENENTUKAN …repository.its.ac.id/1860/1/2112100136-Undergraduate_Theses.pdf · tugas akhir – tm 091585 analisis struktur mikro untuk menentukan remaining

  • Upload
    tranque

  • View
    231

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS AKHIR – TM 091585

ANALISIS STRUKTUR MIKRO UNTUK MENENTUKAN REMAINING LIFE SUDU TURBIN STAGE KETIGA PADA TURBIN GAS TIPE MW701D AMRI HAKIM NRP 2112 100 136 Dosen Pembimbing Suwarno, ST., MSc., PhD. Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2016

FINAL PROJECT – TM 091585

METALLOGRAPHY ANALYSIS TO DETERMINE THE REMAINING LIFE OF THIRD STAGE BLADE OF GAS TURBINE TYPE MW701D AMRI HAKIM NRP 2112 100 136 Supervisor Suwarno, ST., MSc., Ph.D. Mechanical Engineering Department Faculty of Industrial Engineering Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2016

v

ANALISIS STRUKTUR MIKRO UNTUK MENENTUKAN

REMAINING LIFE SUDU TURBIN STAGE KETIGA PADA

TURBIN GAS TIPE MW701D

Nama Mahasiswa : Amri Hakim

NRP : 2112 100 136

Jurusan : Teknik Mesin

Dosen Pembimbing : Suwarno, S.T., MSc., Ph.D.

Abstrak

Sudu turbin adalah bagian turbin yang berfungsi untuk

mengkonversi energi kinetik menjadi energi mekanik. Sudu turbin

tersebut bekerja pada suhu 750°C dengan putaran hingga 3000

rpm. Oleh karena itu, kegagalan seperti korosi, creep, fatigue dan

melepasnya bagian coating sangat mungkin terjadi. Remaining

Lifetime Assessment merupakan salah satu cara yang digunakan

untuk memperhitungkan sejauh mana mesin-mesin dapat

beroperasi secara layak dan memenuhi standar sesuai dengan

jangka waktu yang sudah direncanakan. Turbin stage ketiga pada

penelitian ini telah dioperasikan selama 99.628 Equivalent

Operation Hours (EOH), melebihi dari standar EOH-nya yang

hanya 72.000 EOH. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian

tentang struktur mikro dari sudu turbin stage ketiga dan

pengaruhnya terhadap Remaingin Life.

Sampel pada penelitian ini adalah sudu turbin stage

ketiga dari turbin gas tipe MW701D, yang terbuat dari material

nickel based superalloy. Investigasi awal pada sudu turbin

dilakukan secara visual. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan

struktur mikro (Metallography Test) untuk mengetahui

kemungkinan terjadinya kegagalan dan menganalisa sisa

umurnya. Pengujian kekerasan (Rockwell Hardness Test) untuk

mengetahui kemungkinan terjadinya degradasi nilai kekerasan

dari sudu turbin. Dilanjutkan dengan Creep Test Simulation yang

hasilnya akan digunakan untuk memperkirakan umur dari sudu

turbin tersebut dengan metode Larson-Miller Parameter (LMP).

vi

vi

Setelah dilakukan perhitungan terhadap nilai kekerasan

maksimal didapatkan nilai remaining life sudu turbin sebesar

44814 hours. Berdasarkan metalografi, diperoleh remaining life

sebesar 44534 hours. Hasil simulasi creep dengan menggunakan

perangkat lunak SolidWork 2016 didapatkan remaining life

sebesar 42013 hours. Sebagai faktor keamanan maka besar

remaining life yang disarankan adalah dengan besar terkecil

yaitu hasil simulasi creep sebesar 42013 hours.

Kata Kunci : Sudu Turbin, Remaining Life Assessment,

Struktur Mikro, Nickel Based Superalloy, Larson-Miller

Parameter

vii

METALLOGRAPHY ANALYSIS TO DETERMINE THE

REMAINING LIFE OF THIRD STAGE BLADE OF GAS

TURBINE TYPE MW701D

Student Name : Amri Hakim

NRP : 2112 100 136

Department : Teknik Mesin

Supervisor : Suwarno, S.T., MSc., Ph.D.

Abstrak

Turbine blade is a part of a gas turbine that serves to

convert the kinetic energy into the mechanic energy. The turbine

blade operates at temperature of 750°C with rotation up to 3000

rpm. Therefore, a failure such as corrosion, creep, fatique and

removed part of the coating is likely occur. Remaining Life

Assessment is a method used to calculate the extented time which

the machines can operate properly and meet the standards in

accordance with the planned period. The third stage turbine

blade in this research has been operated for 99.628 Equivalent

Operation Hours (EOH), exceed of its standard that only 72.000

EOH. Therefore, there should be research on the microstructure

of the third stage turbine blade and its influence on the remaining

life.

Sample in this research is the third stage turbine blade of

the gas turbine MW701D, made of nickel based superalloy

material. Initial investigation on this turbine blade is done by

visual inspection. Further examination of the micro structure

(Metallography Test) is done to determine the failure and analyze

the rest of its life. Hardness testing (Rockwell Hardness Test) to

determine the degradation of the hardness number of the turbine

blade. Followed by Creep Test Simulation that the results will be

used to estimate the remaining life of the turbine blade with

Larson-Miller Parameter (LMP) method.

After calculation of the maximum hardness values

obtained that turbine blade’s remaining life is 44.814 hours.

vi

viii

Based on metallography test, obtained that the remaining life is

44.534 hours. Creep Simulation results from SolidWork 2016

obtained that the remaining life is 42.013 hours. As a safety

factor, the remaining life suggested is the smallest which from

creep simulation results for 42.013 hours.

Key Words : Turbine blade, remaining life assessment, micro

structure, nickel based superalloy, Larson-Miller Parameter.

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT karena hanya

dengan rahmat dan petunjuknya akhirnya penulis mampu

menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul: Analisis Struktur

Mikro untuk Menentukan Remaining Life Sudu Turbin Stage

Ketiga pada Turbin Gas Tipe MW701D. Penulis ingin

berterima kasih kepada orang-orang di sekitar penulis yang ikut

terlibat dalam penulisan tugas akhir ini. Secara khusus penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayah, Ibu dan Adik penulis yang selalu memberikan doa dan

kasih sayangnya. Terima kasih atas dukungan baik secara

moril maupun materil yang tiada henti selama ini.

2. Suwarno, ST., MSc., PhD selaku dosen pembimbing tugas

akhir ini. Terima kasih untuk waktu, kritik dan saran serta

motivasinya hingga terselesaikan tugas akhir ini.

3. Indra Sidharta, ST., MSc, Wahyu Wijanarko, ST., MSc, dan

Dr. Eng. Sutikno, ST., MT. selaku dosen pembahas yang telah

memberikan sarannya demi kesempurnaan tugas akhir.

4. Sahabat-sahabat tersayang: Edwin, Renaldi, Rino, Wiryanti

dan Ismandra yang selalu memberi semangat dan doanya bagi

kelancaran pengerjaan tugas akhir.

5. Persaudaraan JN : Vrista, Eden, Maulana, Chairil, Gregorius,

Haekal, Luthfan, Ananta, Aqil, Rizqu dan Krisna yang selalu

memberikan cerita selama sisa waktu kuliah penulis.

6. Selvi, Ica, dan Sony, sobat seperjuangan tugas akhir terima

kasih sudah selalu setia mendukung dan membantu selama

pengerjaan.

7. Republik Metalurgi Raya: Tasa, Ifa, Amri. Sonny, Gani, Oxi,

Ridho, Evelyn, Safaat, Lia, Alvin, Scania, Khisni, Hafidh,

Wira, Esya dan yang lainnya terima kasih atas bantuan dan

dukungan yang telah diberikan.

8. BPH Himpunan Mahasiswa Mesin 14/15 suwun banget rek

setahun penuh perjuangannya.

9. Sahabat Jabodetabek M55

x

x

10. Teman-teman M55 terima kasih telah menemani perjuangan

selama perkuliahan. Tetep jadi angkatan yang sangar ya rek!

11. Semua teman-teman SMRM!

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari

kesempuranaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk perbaikan tugas akhir kedepannya. Akhir kata

penulis berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi

semua.

Surabaya, 1 Desember 2016

Penulis

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................. iii

ABSTRAK ........................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................... ix

DAFTAR ISI ....................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR .......................................................... xiii

DAFTAR TABEL ................................................................ xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah......................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian .......................................................... 3

1.4 Batasan Masalah .......................................................... 3

1.5 Manfaat Penelitian ....................................................... 4

BAB II DASAR TEORI

2.1 Turbin Gas .................................................................... 5

2.2 Sudu Turbin ................................................................... 8

2.3 Superalloy ..................................................................... 9

2.4 Remaining Life Assessment .......................................... 13

2.4.1 Larson-Miller Parameter .................................... 16

2.4.2 Pengamatan Struktur Mikro (Metallography) .... 17

2.4.3 Kekerasan ........................................................... 19

2.4.4 Creep ................................................................... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sampel Material Sudu Turbin Stage Ketiga ................. 25

3.2 Peralatan ....................................................................... 25

3.3 Diagram Alir Penelitian ................................................ 26

3.4 Diagram Alir Simulasi................................................... 29

3.5 Langkah-langkah Penelitian ......................................... 30

3.6 Langkah-langkah Simulasi ............................................ 33

xii

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Sudu Turbin .................................................... 39

4.1.1 Nama, Spesifikasi, dan Nomor Kodifikasi ..... 39

4.1.2 Komposisi Unsur Penyusun Material

dari Sudu Turbin Stage Ketiga ...................... 40

4.1.3 Mechanical Properties .................................... 41

4.2 Pengamatan Makroskopis ........................................ 42

4.3 Pengamatan Mikroskopis ........................................ 44

4.3.1 Pengamatan Menggunakan Mikroskop Optis 44

4.3.2 Pengamatan Menggunakan Scanning Electron

Microscope (SEM) ......................................... 47

4.4 Pengukuran Kekerasan ............................................ 49

4.4.1 Vickers Hardness Test ................................... 49

4.4.2 Micro Hardness Test ...................................... 51

4.5 Simulasi Creep ......................................................... 52

4.6 Analisis Remaining Life .......................................... 56

4.6.1 Analisis Berdasarkan Uji Kekerasan ............. 56

4.6.2 Analisis Berdasarkan Pengamatan Struktur

Mikro ............................................................. 59

4.6.3 Analisis Berdasarkan Simulasi Creep............. 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan .............................................................. 63

5.2 Saran ........................................................................ 64

DAFTAR PUSTAKA ..................................................... 65

LAMPIRAN ................................................................... 67

BIOGRAFI ..................................................................... 69

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 a) Turbin Gas MW701D, b) Turbin blade

stage ketiga .................................................... 2

Gambar 2.1 Intake Air Filter pada PLTG ......................... 6

Gambar 2.2 Compressor pada Turbin Gas MW701D ....... 6

Gambar 2.3 Combustion Chamber pada Turbin Gas

MW701D ....................................................... 7

Gambar 2.4 Turbin Gas MW701D .................................... 7

Gambar 2.5 Berbagai macam bentuk sudu turbin ............. 9

Gambar 2.6 Tampilan makro dari 3 macam HPT

Blade; Polycristalyne, Colummnar

Grain, Directionally Solidified (CGDS),

Single Crystal Directionally Solidified ......... 11

Gambar 2.7 Mikrostruktur dari paduan Nickel-Based

Superalloy ..................................................... 13

Gambar 2.8 Contoh metodologi RLA dengan estimasi

Creep ............................................................ 14

Gambar 2.9 Stress versus LMP untuk 1% predicted

creep dari standar waspaloy

dibandingkan dengan rupture data ................ 17

Gambar 2.10 Struktur mikro pada paduan Nickel-

Based Superalloy pada sudu turbin ............... 18

Gambar 2.11 Plot data hardness versus LMP yang

Dimodifikasi untuk Cr-Mo-V pada rotor

steel ................................................................ 21

Gambar 2.12 Tiga stage pada mekanisme kegagalan

creep .............................................................. 22

Gambar 2.13 Replika remaining life assessment ................ 23

Gambar 3.1 Sudu turbin stage ketiga pada turbin gas

MW701D a)Tampak belakang,

b)Tampak depan ............................................ 25

Gambar 3.2 Diagram alir penelitian .................................. 26

Gambar 3.3 Diagram alir simulasi .................................... 29

Gambar 3.4 Kamera digital ............................................... 30

xiv

Gambar 3.5 Spectrometer Arc-met 8000 ........................... 31

Gambar 3.6 Bagian sudu turbin untuk pengamatan

metalografi ..................................................... 32

Gambar 3.7 Bagian sudu turbin untuk pengujian

kekerasan ....................................................... 33

Gambar 3.8 Spesimen standar pengujian creep ASTM

E 139-79 ........................................................ 34

Gambar 3.9 Input Material Properties pada

SolidWork 2016 ............................................. 35

Gambar 3.10 Input konstanta creep ..................................... 36

Gambar 3.11 Skema pengondisian pada spesimen .............. 37

Gambar 3.12 Pemilihan meshing untuk simulasi creep....... 38

Gambar 4.1 Skema Komponen Sudu Turbin

Bertekanan Tinggi ......................................... 39

Gambar 4.2 Gaya-gaya yang bekerja pada sudu turbin ..... 40

Gambar 4.3 (A) Sketsa turbin gas tipe MW701D; (B)

Sudu turbin stage ketiga dalam keadaan

terpasang pada rotor turbin; (C) Sampel

sudu turbin stage ketiga ................................. 42

Gambar 4.4 Sampel sudu turbin stage ketiga (A)

Tampak Depan; (B) Tampak belakang;

(C) Tampak Atas; (D) Tampak bawah;

(E) Tampak samping kiri; (F) Tampak

samping kanan .............................................. 43

Gambar 4.5 Bagian-bagian sudu turbin stage ketiga

untuk pengamatan mikroskopik ..................... 44

Gambar 4.6 Struktur mikro perbesaran 50x, (a) tip;

(b) root. Perbesaran 2500x, (c) tip; (d)

root ............................................................... 45

Gambar 4.7 Distribusi grain size pada (a) tip blade

dan (b) root blade .......................................... 46

Gambar 4.8 Countinuous carbides pada bagian tip

blade ............................................................ 47

Gambar 4.9 Oriented microcavities dan TCP phase

pada bagian root blade .................................. 47

xv

Gambar 4.10 Bagian-bagian sudu turbin untuk

pengujian kekerasan ...................................... 49

Gambar 4.11 Lokasi titik Indentasi vickers pada (a) tip

blade dan (b) root blade .............................. 50

Gambar 4.12 Lokasi titik Indentasi micro pada (a) tip

blade dan (b) root blade .............................. 51

Gambar 4.13 Grafik strain vs time rupture untuk stress

432 MPA dan suhu 600̊C ............................. 55

Gambar 4.14 Stress distribution pada simulasi creep

untuk stress 432 MPA dan suhu 600̊C .......... 55

Gambar 4.15 Strain distribution pada simulasi creep

untuk stress 432 MPA dan suhu 600̊C .......... 55

Gambar 4.16 Displacement distribution pada simulasi

creep untuk stress 432 MPA dan suhu

600̊C .............................................................. 56

Gambar 4.17 Grafik hubungan Hv/Hv0 versus LMP .......... 57

Gambar 4.18 Grafik hubungan Hv/Hv0 versus

remaining life ................................................ 58

Gambar 4.19 Grafik LMP vs Tr dari hasil simulasi

creep pada SolidWork 2016 .......................... 61

Gambar 4.20 Grafik LMP vs Tr untuk Inconel 738 LC ...... 61

xvi

Halaman ini sengaja dikosongkan

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Kerusakan pada Komponen

Turbin .............................................................. 8

Tabel 2.2 Perbandingan Tensile Strength Beberapa

Jenis Superalloy ................................................ 11

Tabel 2.3 Klasifikasi Evolusi Struktur Mikro

Berdasarkan Teori Neubauer dan Wadel .......... 18

Tabel 2.4 Creep Damage dan Expended Life Fraction .... 19

Tabel 3.1 Mechanical Properties dari Inconel 738LC ...... 34

Tabel 3.2 Perlakuan pada Simulasi Creep ........................ 37

Tabel 4.1 Perbandingan Hasil Uji Komposisi Kimia

dengan Komposisi Kimia Standar Material

Inconel 738LC .................................................. 41

Tabel 4.2 Sifat Mekanik dari Inconel 738LC ................... 41

Tabel 4.3 Nilai Kekerasan dari Pengujian Kekerasan

Vickers pada Bagian Tip Blade ......................... 50

Tabel 4.4 Nilai Kekerasan dari Pengujian Kekerasan

Vickers pada Bagian Root Blade ....................... 50

Tabel 4.5 Nilai Kekerasan dari Pengujian

MicroHardness pada Bagian Tip Blade ............ 51

Tabel 4.6 Nilai Kekerasan dari Vickers Hardness Test

pada Bagian Root Blade ................................... 52

Tabel 4.7 Data stress untuk Rupture Time dan Suhu

Tertentu pada 1% Creep Rate untuk

Inconel 738LC .................................................. 53

Tabel 4.8 Nilai Remaining Life Berdasarkan Nilai

Kekerasan Bagian Tip Blade ............................ 58

Tabel 4.9 Nilai Remaining Life Berdasarkan Nilai

Kekerasan Bagian Root Blade .......................... 59

Tabel 4.10 Hasil Simulasi Creep pada SolidWork 2016 .... 60

xviii

Halaman ini sengaja dikosongkan

1

BAB 1

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam dunia industri, salah satunya industri pembangkit

listrik, kerusakan komponen merupakan sebuah hal yang sangat

penting untuk diantisipasi. Secara umum, suatu desain komponen

permesinan dirancang untuk beroperasi dalam jangka waktu

tertentu dengan berbagai macam batasan prosedur penggunaan

dan perawatannya. Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya

untuk menjaga komponen supaya tetap berfungsi dengan baik

sebelum umur komponen tersebut habis.

Tentu banyak komponen dari pembangkit yang rentan

mengalami kerusakan. Salah satu komponen pada turbin yang

sering mengalami kerusakan adalah sudu turbin, dimana

komponen tersebut berada pada turbin bertekanan tinggi dengan

suhu kerja mencapai 1100°C. Kerusakan yang terjadi bisa berupa

korosi, creep, fatigue dan mengelupasnya bagian coating. Hal ini

bisa mengakibatkan terganggunya rotasi mesin turbin dan hal lain

yang bisa mengurangi efisiensi atau kerja dari turbin itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa kerugian yang dialami untuk mengganti

satu set turbine blade stage tertentu mencapai 1,5 Miliar Rupiah.

Pada prinsipnya, kebanyakan komponen pada pembangkit

memiliki titik limit. Suatu alat yang telah mencapai kondisi limit-

nya, akan mengalami kegagalan (failure) jika tidak ditangani

dengan tepat. Penyebab dari kegagalan juga bervariai dalam

setiap alat. Untuk dapat menentukan penyebab suatu kegagalan

sangat perlu dilakukan analisis terhadap kerusakan (failure

analisys) agar dapat mengetahui dan membedakan penyebab dan

mekannisme terjadinya kegagalan. Bagi industri yang belum

mengalami dampak dari kegagalan mesin atau alat industri, sudah

sangat perlu untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan

terjadinya kegagalan yang dapat merugikan pihak industri karena

terhambatnya produksi yang seharusnya berjalan dengan lancar.

Hal tersebut perlu diatasi untuk memenuhi rencana kerja

jangka panjang, Remaining Lifetime Assessment merupakan cara

2

yang tepat dalam memperhitungkan sejauh mana mesin-mesin

dapat beroperasi secara layak dan memenuhi standar sesuai

dengan jangka waktu yang sudah direncanakan. Remaining

Lifetime Assessment sebaiknya diterapkan pada semua fasilitas

yang ada dan akan digunakan kembali pada rencana kerja baru.

Untuk itu semua data yang dicatat harus selalu dibuat dengan

sistem penyimpanan yang baik agar Remaining Lifetime

Assessment untuk rencana kerja selanjutnya dapat dilakukan

dengan akurat, karena kelengkapan dan akurasi data sangat

menentukan hasil prediksi [1].

Gambar 1.1 (a) Gas Turbin MW701D, (b) Turbin Blade Stage

ketiga [2] [3].

Komponen yang akan dibahas pada penelitian ini adalah

Sudu Turbin Stage ketiga Turbine Gas MW701D. Sudu turbin ini

digunakan sesuai dengan standar prosedur penggunaan, yang

dijadikan sebagai acuan penggunaan, perawatan atau bahkan

batas waktu penggunaan. Perawatan pada sudu turbin biasa

(a)

(b)

3

dilakukan pada saat over haul turbin. Selain dengan memperbaiki

(repair maintenance), hal yang biasa dilakukan sebagai bentuk

perawatan adalah penggantian komponen sudu turbin sesuai

dengan Equivalent Operation Hours (EOH). Sudu turbin stage

ketiga memiliki lifetime selama 72.000 EOH. Namun, pada

kondisi nyata pengoperasiannya telah mencapai 99.628 EOH

tanpa mengalami kerusakan. Kondisi lifetime yang melebihi

standar EOH yang ditentukan, dapat dilakukan akibat adanya

ekstensi penggunaan, dengan maintenance ataupun treatment

tertentu pada sudu turbin yang digunakan.

Dari permasalahan tersebut, maka dilakukanlah penelitian

tentang pengamatan struktur mikro dan perubahan beberapa sifat

mekanik pada sudu turbin stage ketiga yang berkaitan dengan

remaining lifetime-nya.

1.2. Rumusan Masalah

Pada Remaining Life Analysis ini yang menjadi permasalahan

pokok adalah bagaimana kondisi struktur mikro dan perubahan

sifat mekanik pada sudu turbin stage ketiga pada turbin gas

MW701D setelah dilakukan ektensi penggunaan dari standar

EOH yang sudah ditentukan dan berapa sisa useful lifetime dari

sudu turbin stage ketiga pada turbin gas MW701D.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari analisa sisa umur ini yaitu:

1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi

umur dari sudu turbin stage ketiga pada turbin gas

MW701D.

2. Untuk mengetahui sisa umur dari sudu trubin stage ketiga

pada turbin gas MW701D.

1.4. Batasan Masalah

Agar masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan baik

dan pembahasan ini tidak meluas serta mencapai tujuan yang

4

telah ditentukan, maka diperlukan batasan-batasan dan asumsi

penelitian, yaitu:

1. Proses perakitan dan perawatan komponen berjalan

sesuai dengan standar operasional yang telah ditentukan.

2. Komponen sudu turbin stage ketiga pada turbin gas

MW701D terbuat dari material yang homogen

komposisi kimianya dan sifat mekaniknya.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih bagi dunia ilmu pengetahuan, yaitu:

1. Bagi dunia industri perawatan mesin pembangkit dengan

adanya analisa sisa umur dan analisa kegagalan ini,

diharapkan dapat dijadikan acuan atau pertimbangan

dalam pencegahan dan perawatan untuk menghindari

kerusakan yang serupa.

2. Bagi kalangan akademis khususnya mahasiswa, dengan

adanya studi analisa sisa umur dan analisa kegagalan ini

diharapkan mampu mengaplikasikan dan memahami ilmu

yang telah didapat unutk memecahkan masalah kegagalan

pada komponen tersebut.

5

BAB 2

TINJUAN PUSTAKA 2.1. Turbin Gas

Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) termasuk

dalam siklus Brayton. Siklus ini merupakan open cycle yang

melibatkan kompresi dan ekspansi pada entropy konstan, juga

penambahan dan pembuangan panas pada tekanan konstan.

Komponen utama pada sistem PLTG yaitu compressor,

combustion chamber, turbin, dan generator.

Udara yang berada dilingkungan sekitar dihisap dan

dikompresi oleh compressor untuk menghasilkan udara

bertekanan. Udara bertekanan ini dimasukkan ke dalam

combuster chamber. Didalam combuster chamber ini bahan bakar

akan dikabutkan bersama udara bertekanan yang kemudian terjadi

pembakaran. Kemudian gas pembakaran tersebut digunakan

untuk memutar turbin gas yang dikopel dengan generator

sehingga dapat menghasilkan daya listrik. Selanjutnya gas buang

dari turbin dibuang ke lingkungan melalui exhaust stack atau

dialirkan kedalam HRSG untuk sistem Pembangkit Listrik Tenaga

Uap (PLTU).

PLTG mempunyai beberapa sistem untuk menjalankan dan

mendukung proses yang ada di PLTG. Berikut sistem tersebut:

Sistem Udara dan Pembakaran

Sistem Pelumasan dan Kontrol Hidrolik

Sistem Pendinginan

Sistem Listrik

Sistem pemasukan udara dan pembakaran yaitu sistem yang

utamanya menyediakan udara untuk pembakaran. Dalam sistem

ini juga terjadi penyaringan, pengkompresian, dan pembakaran.

Pertama udara yang masuk akan melewati Air Filter yang

berfungsi sebagai penyaring udara agar kotoran yang terbawa

oleh udara tidak masuk ke compressor dan turbin. Terdapat 1056

buah Air Filter yang dilengkapi dengan pembersih, tetapi

pembersih ini masih kurang optimal. Sehingga masih dilakukan

pembersihan manual yang pengerjaannya 10 menit tiap satu Air

6

Filter. Setelah udara tersaring, udara ditampung dan disalurkan ke

Variable Inlet Gate Vane melalui Inlet Duck. Variable IGV ini

berfungsi sebagai pengatur udara yang akan masuk ke

compressor [4,5].

Gambar 2.1 Intake Air Filter pada PLTG [7].

Compressor ini bertipe axial flow dengan 19 stages. Udara

mengalir di dalam compressor secara aksial pada celah-celah

fixed blades dan moving blades yang semakin ke belakang

celahnya semakin kecil, shingga terjadi peningkatan temperatur,

kecepatan, dan tekanan udara. Tekanan setelah compressor

mencapa 13.2 Kg/cm2. Udara yang berkecepatan tinggi ini akan

masuk ke combustion chamber dan kecepatannya berkurang

drastic sehingga menimbulkan tekanan statis.

Gambar 2.2 Compressor pada Turbin Gas MW701D [7].

Combustion chamber ini bertipe cannular dengan 18

combustion basket. Udara bertekanan masuk ke dalam

combustion basket dan bercampur dengan bahan bakar yang

melewati nozzle untuk mendapatkan campuran yang tepat, setelah

itu ignitor memercikkan api untuk menghasilkan pembakaran

yang terletak pada basket ke 11 dan 12. Pembakaran menyebar ke

7

tiap basket melalui cross flame tube kemudian flame detectior

mendeteksi pembakaran pada basket ke 2 dan 3. Setelah

terdeteksi berarti pembakaran sudah merata. Gas hasil

pembakaran akan dialirkan ke turbin gas melalui transition piece.

Gambar 2.3 Combustion chamber pada Turbin Gas

MW701D [7].

Turbin ini bertipe axial flow, tipe reaction mempunyai 4

stages. Energi pada gas pembakaran ditangkap oleh sudu-sudu

turbin dengan cara menekspansi gas pembakaran sehingga

menghasilkan energy kinetik. Energy tersebut digunakan untuk

memutar generator sehingga menghasilkan listrik. Putaran turbin

dijaga tetap pada 3000 rpm, jika putaran mencapai 3300 rpm

maka overspeed trip akan mematikan unit.

Gambar 2.4 Turbin Gas MW701D [7].

Setelah melalui turbin, gas hasil pembakaran dan udara

pendingin memasuki exhaust cylicder dan dialirkan di antara

inner dan outer cone. Inner cone melindungi bearing housing dan

overspeed tripyang berada di dalamnya. Setelah itu gas buang

dialirkan melalui exhaust manifold, kemudian melalui expansion

8

joint dan diterukan ke exhaust stack dimana terdapat silencer

untuk meredam suara yang dihasilkan oleh gas buang atau

dialirkan ke Heat Recovery Steam Generator (HRSG) untuk

proses combined cycle [6].

2.2. Sudu Turbin Sudu turbin yang modern memiliki teknologi yang paling

maju dalam segala aspek, tidak terkecuali dari sisi konstruksi

bahan karena pengondisian yang ekstrim. Titik paling kritis

adalah sudu yang berada pada inlet turbin, karena termperatur

kerja yang tinggi, tekanan tinggi, kecepatan rotasi tinggi, getaran,

daerah sirkulasi kecil dan sebagainya. Hal tersebut dijadikan

sebagai acuan untuk karakteristik keruasakan yang terjadi pada

sudu turbin.

Tabel 2.1 Perbandingan Kerusakan pada Komponen Turbin [9].

Components

Design criteria and life expenditure effects

Yield

strength

/

stiffness

Time dependent life expenditure Cyclic life expenditure

Oxidation

Corrosion

Erosion

Wet

Corrosion

Erosion

Creep LCF HCF Crack

propagation

Turbine blade ● ■ ● ■ ■ ■ ●

Compressor

blade ■ ● ■ ● ■ ■ ●

Inner casing ● ■ ● ■ ■ □ ●

Rotor parts ■ ● ● ● ■ ● ■

Pressure casing ■ ● ● ● ■ ● ●

■ Significant contribution; □ Affect only local; ● Irrelevant

█typical for Continuous Operation; █typical for Cyclic

Operation

Sudu turbin adalah bagian turbin yang berbentuk bilah yang

berotasi pada turbin dan terletak di sekeliling rotor yang

merupakan bagian dari sistem pendinginan serta berfungsi untuk

mengkonversi energi kinetik menjadi energi mekanik yang

digunakan untuk menggerakan bagian – bagian yang berada di

dalam mesin seperti fan dan kompresor maupun untuk

pembuangan. Prinsip kerja dari sudu turbin dalam

mengkonversikan energi adalah dengan mengakselerasikan gas

panas yang berasal dari ruang pembakar (combustion chamber)

9

melalui rotasi dari sudu turbin itu sendiri. Sudu turbin mengalami

gaya sentrifugal, akibat dari adanya rotasi. Gaya sentrifugal

adalah gaya yang ditimbulkan oleh benda yang berotasi yang

arahnya menjauhi pusat rotasi. Gaya sentrifugal ini muncul untuk

mengimbangi gaya sentripetal yang arahnya berlawanan arah

dengan gaya sentrifugal atau menuju pusat rotasi sehingga

mempertahankan benda tersebut tetap bergerak pada lintasannya.

Gambar 2.5 Berbagai macam berntuk sudu turbin [8].

2.3. Superalloy Pada temperatur dan kondisi beban normal, kekuatan dari

suatu logam seperti baja atau pun paduan titanium, bergantung

pada sifat mekaniknya seperti yield strength atau pun pada

Ultimate Tensile Strength-nya (UTS). Namun apabila material

tersebut sudah diaplikasikan pada temperatur yang cukup tinggi

(816°C – 1371°C) disertai dengan adanya beban, maka akan

terjadi degradasi pada sifat mekaniknya yang akan

mengakibatkan deformasi permanen pada material yang

sebanding terhadap waktu akibat adanya tegangan konstan pada

temperatur yang cukup tinggi atau disebut juga dengan fenomena

creep. Apabila fenomena ini terus terjadi maka logam akan

mengalami mekanisme fracture (patah). Kekuatan dari suatu

logam untuk tahan terhadap fenomena creep sampai patah disebut

juga creep – rupture strength atau stress – rupture strength.

Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan material yang

cocok untuk aplikasi beban dan temperatur tinggi, kemampuan

material tersebut ada pada superalloy. Superalloy adalah paduan

logam nikel (nickel based), besi – nikel, ataupun kobalt - nikel

10

yang memiliki performa yang sangat tinggi dibandingkan paduan

logam biasa dan diaplikasikan pada temperatur di atas 1000°F

(540°C). Superalloy memiliki keunggulan dalam hal kekuatan

mekanik, ketahanan korosi, ketahanan creep, dan kualitas

permukaan. Keunggulan-keunggulan tersebut juga berlaku pada

lingkungan kerja dengan temperatur tinggi (> 1000°C) sehingga

cocok untuk diaplikasikan pada komponen turbin terutama pada

bagian High Pressure Turbine.

Ni-Based Superalloy adalah paduan dengan komponen

dominan berupa unsur Ni (> 40 %, pada umumnya). Mengenai

nikel, unsur ini memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

berstruktur kristal Face Centered Cubic (FCC), nomor atom : 28,

Ar : 58,71, Tm : 1455°C, densitas : 8,89 g/cm3. Logam nikel

merupakan material ferromagnetik yang memiliki keunggulan

yaitu ketangguhan dan keuletan tinggi, ketahanan yang tinggi

terhadap korosi dan oksidasi, ketahanan yang tinggi terhadap

temperatur tinggi maupun rendah, sehingga sifat inilah yang

mendominasi dari paduan Nickel Based Superalloy. Namun

logam nikel memiliki limitasi yaitu biaya produksinya tinggi dan

tidak mudah bercampur dengan sembarang paduan sehingga

diperlukan pemilihan yang cermat dalam menentukan komposisi

paduan logam nikel.

Khusus untuk bagian turbin yang secara langsung berada

pada bagian hot section area, teknik produksinya dilakukan

dengan cara casting/pengecoran terutama pada bagian airfoil

seperti sudu atupun vane. Hampir sebagian besar dari produk ini,

berjenis Polycristaline, tetapi ada juga yang berjenis

Directionally Solidified (DS). PC casting banyak mengandung

butir dengan ukuran bermacam – macam sedangkan untuk produk

DS, banyak mengandung banyak butiran dimana antar butiran

tersebut tersambung satu sama lain secara parallel sehingga pola

butirnya bisa juga disebut Columnar Grain Directionally

Solidified (CGDS) [11].

11

Gambar 2.6 Tampilan makro dari 3 macam HPT Blade;

polycristalyne (kiri), Columnar Grain Directinally Solidified

(CGDS) (tengah), Single Crystal Directionally Solidified (kanan)

[12].

Selain paduan Nickel Based Superalloy, terdapat superalloy

lainnya yaitu Cobalt Based Superalloy dan Iron Based Superalloy.

Paduan Nickel Based Superalloy merupakan kategori superalloy

yang memiliki keunggulan terbaik dibandingkan superalloy

lainnya, diantarannya cocok diaplikasikan untuk benda yang

membutuhkan ketangguhan yang cukup baik pada temperatur di

atas 540°C bahkan untuk temperatur yang lebih tinggi (1204°C –

1371°C). Salah satu contoh perbandingannya dalam hal sifat

mekanik pada lingkungan kerja bertemperatur tinggi yang bisa

dilihat dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Tensile Strength Beberapa Jenis

Superalloy [13,14].

12

Paduan Nickel Based Superalloy tersusun dari beberapa fasa

pembangun yang masing-masing memiliki karakteristik dan

pengaruh terhadap sifat-sifat yang dihasilkan oleh paduan Nickel

Based Superalloy. Adapun fasa-fasa tersebut adalah matriks

Gamma (γ), Gamma Prime (γ’), karbida, borida, dan fasa TCP

(Topological Close-Packed). Struktur pembangun dari elemen-

elemen paduan Nickel Based Superalloy berasal dari unsur-unsur

yang menjadi komponen penyusun paduan Nickel Based

Superalloy (Gambar 2.9). Berikut adalah pembagian elemen serta

fasa pembangun dari paduan Nickel Based Superalloy beserta

unsur-unsur penyusunnya [12]:

Matriks Gamma (γ), merupakan matriks dari paduan

Nickel Based Superalloy yang pada umumnya memiliki

kandungan nikel (Ni), kobalt (Co), krom (Cr),

molibdenum (Mo), dan tungsten (W) dengan kadar yang

tinggi dari keseluruhan paduan.

Gamma Prime (γ’), merupakan presipitat dari matriks

Gamma (γ), yaitu berupa Ni3X dengan X adalah unsur

aluminium (Al) maupun titanium (Ti) sebagai komponen

yang berikatan dengan Ni.

Karbida, merupakan senyawa karbida yang pada

umumnya terbentuk dari unsur karbon yang berikatan

dengan unsur-unsur yang reaktif dan bersifat refraktori

seperti titanium (Ti), tantalum (Ta), dan hafnium (Hf).

Adapun jenis karbidanya berupa MC, M23C6, dan M6C.

Borida, merupakan senyawa borida (M2B3) dengan M

adalah unsur Mo, Ti, Ni, atau Cr.

Karbida, borida, dan zirconium (Zr) yang terdapat pada

batas butir.

Fasa TCP (Topological Close-Packed). Fasa ini terbentuk

karena dalam paduan tertentu dimana komposisinya tidak

dikontrol dengan baik dan benar, maka akan ada

kemungkinan terbentuknya fasa atau presipitat yang tidak

diinginkan baik itu saat heat treatment maupun kondisi

lingkungan kerja dalam waktu yang relatif lama.

13

Gambar 2.7 Mikrostruktur dari paduan Nickel-Based Superalloy

[12].

2.4. Remaining Life Assessment Remaining Life Assessment (RLA) adalah usaha untuk

mengukur dan memprediksi umur sisa suatu mesin. Dengan

mengetahui umur sisa suatu peralatan atau bagiannya, maka

teknisi dapat merencanakan penggantian atau perbaikan.

Pada umumnya vendor sudah menghitung usia mesin

peralatan yang mereka buat. Namun untuk mencapai umur desain

diperlukan pola operasi dan metode pemeliharaan yang baik

karena pola operasi dan metode pemeliharaan menentukan umur

desain dapat tercapai atau tidak. Ada ketidakpastian bila

menentukan usia pakai dan rusak tidaknya suatu komponen

equipment bila hanya berdasarkan waktu operasi.

Diperlukan metode yang berdasarkan kondisi (condition

base) komponen equipmenet dapat menentukan usia sisa dan

rusak tidaknya komponen tersebut. Untuk rotating equipment,

salah satunya bernama predictive maintenance yang memakai

pendekatan analisa vibrasi, oil analysis, metallography dan

thermography untuk mengetahui kondisi aktual equipment (bukan

umur sisa). Selain itu sebagai dasar penting untuk mendapatkan

hasil yang baik adalah analisis data-data operasional aktual

(temperatur, tekanan, tegangan, arus, output), pengalaman

operasional dan operational tenders. Suatu pendekatan integral

yang memungkinkan assessment kemampuan dan safety

operasional saat ini hanya mungkin dilakukan dengan cara

menarik suatu hubungan antara operational load dan status aktual

14

pabrik dan komponennya yang diperoleh dari test dan inspeksi.

Berdasarkan hasil terssebut, tindakan-tindakan tepat untuk

prosedur-prosedur masa depan dapat diinisiasi secara rasional [1].

Gambar 2.8 Contoh metodologi Remaining Life Assessment

dengan estimasi creep life [15].

Memperhitungkan perkiraan umur sisa (Remaining Life

Assessment) membutuhkan mekanisme model kerusakan material.

Model kerusakan dan informasi kondisi operasi akan

menghasilkan perhitungan akurat dari pengukuran dari

pengukuran umur sisa. Dalam perhitungan kondisi komponen,

kondisi terbaru komponen tersebut harus diperhitungkan terlebih

dahulu sebelum pengukuran umur sisa dapat dilakukan. Kondisi

saat ini juga dapat diperhitungkan menggunakan akumulasi jenis

kerusakan selama mesin beroperasi dan kondisi operasi yang

diterapkan. Tetapi prosedur tersebut kurang akurat dibanding

metode non-destructive examination (NDE) yang dapat memberi

informasi tingkat material saat ini, karena pada umumnya data

kondisi masa lalu sulit diperoleh. Setelah kondisi material saat ini

dianalisa, pengukuran umur sisa dapat dihitung dengan

menggunakan akumulasi perhitungan seluruh tipikal kerusakan

dan perkiraan kondisi operasi yag telah disarankan. Ketika jenis

kerusakan dan pengoperasian sudah diketahui, remaining life

assessment dapat dihitung dengan tingkat keakuratan yang

dianggap sesuai. Perkiraan hasil pengukuran umur sisa digunakan

15

untuk membuat keputusan dalam perbaikan dan mengatur

kembali inspeksi terhadap mesin. Dalam beberapa kasus,

pengukuran umur sisa tidak dapat diperhitungkan karena tidak

ada jumlah kuantitatif mekanisme kerusakan material atau kondisi

masa depan yang tidak dapat diramalkan, akibat kurangnya

pemantauan dan pencatatan data yang akan selalu dibutuhkan

dalam memprediksi kelayakan mesin. Maka peningkatan monitor

selama operasi dalam rencana kerja masa depan mesin harus

sangat diperhatikan [1].

Umur sisa dapat diketahui dari beberapa aspek pendekatan

terpadu, di mana NDE digunakan untuk menggambarkan kondisi

material dan model kerusakan saat ini dengan kondisi operasi

masa depan untuk menghitung akumulasi kerusakan saat ini

dengan kondisi operasi massa depan untuk menghitung akumulasi

kerusakan yang bisa dijadikan hasil umur sisa, NDE dan prediksi

umur sisa yang digabungkan dapat dioptimalkan dan diselesaikan

dengan biaya yang efektif. Pendekatan macam ini menghindari

terlalu sedikit atau banyak, atau salah dalam menentukan data

inspeksi, dan mencoba menghindari penggunaan data yang tidak

sesuai dengan NDE. Pendekatan terpadu juga memastikan bahwa

mekanisme kerusakan yang ditunjukan sudah tepat [1].

Pengimplementasian Remaining Life Assessment (RLA) pada

industri akan menunjukkan kemampuan mesin sejauh mana dapat

beroperasi di masa depan. Ketika indikasi failure (degradation)

terdeteksi yang bisa didapat dari hasil reliability, pada momen ini

remaining life assessment penting digunakan untuk membuat

sistem maintenance yang tepat untuk meminimalisir failure.

Reliability pada unit tertentu selama penggunaan di lapangan

penting diperhatikan pada beberapa critical application seperti

turbine engine, life-maintaining system, dan data operasi agar

dapat mengetahui sejarah kondisi mesin [1].

Pada beberapa tahun terakhir, kebutuhan akan metode RLA

telah mengalami peningkatan Teknologi yang telah meningkat

seperti munculnya sensor-sensor canggih yang dapat digunakan

16

mendeteksi penurunan kualitas material dapat menjadi basis

pengukuran umur sisa [1].

2.4.1. Larson-Miller Parameter Larson-Miller Parameter merupakan suatu persamaan yang

menghubungkan anatara suhu operasi (T) dengan umur (time to

rupture, t) dan secara empiris dikemukakan oleh Larson-Miller.

Parameter ini dapat digunakan untuk menghitung sisa umur

material yang dioperasikan pada suhu tinggi dengan cara meng-

estrapolasikan data hasil pengujian accelerated creep dan

memotongkan data hasil perhitungan tegangan nominal dalam

master curve PLM [16].

Proses ekstrapolasi pada kurva tersebut harus dilakukan untuk

menghitung kemungkinan sisa umur suatu komponen yang

dioperasikan pada suhu tinggi, misalkan umur disain sudu turbin

100.000 jam pada tegangan atau tekanan disain yang telah

ditentukan, dan pada saat pengujian dilakukan accelerated creep

test, yaitu dengan pembebanan atau pemberian tegangan disain

dan lagi pula diusahakan waktu pengujiannya sependek mungkin,

tapi tetap representative.

Hasil ekstrapolasi ini kemudian dipotongkan dengan nilai

tegangan nominal yang dihitung berdasarkan rumus tercantum

pada API standard 530/ISO 1374 : 2001 (E). Rumus dari Larson-

Miller Parameter sendiri adalah:

𝐿𝑀𝑃 = 𝑇log(𝑡𝑟)+𝐶

1000 (2.1)

Dimana T merupakan suhu dalam Kelvin, tr adalah time to creep

rupture dalam jam, C adalah konstanta Larson-Miller. Menurut

Larson-Miller, konstanta C sama dengan logaritma A, dan hasil

penelitian menunjukkan bahwa nilai C berkisar antara 10 sampai

dengan 40, tergantung pada jenis bahan yang digunakan [16,17].

17

Gambar 2.9 Stress versus Larson-Miller Parameter untuk 1%

predicted creep dari standar waspaloy dibandingkan dengan

rupture data [18].

2.4.2. Pengamatan Struktur Mikro (Metallography) Struktur mikro sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan

mekanik suatu logam. Struktur mikro yang berbeda maka sigat

logam akan berbeda pula. Struktur mikro juga dipengaruhi oleh

komposisi kimia dari logam atau paduan logam tersebut serta

proses yang dialaminya. Metalografi merupakan disiplin ilmu

yang mempelajari pemeriksaan logam untuk mengetahui

karakteristik struktur mikro dan struktur makro logam tersebut.

Pengamatan metalografi dibagi dua, yaitu metalografi makro dan

metalografi mikro. Metalografi makro yaitu pengamatan struktur

logam dengan pembesaran 10 – 100 kali, sedangkan metalografi

mikro pengamatan struktur logam dengan pembesaran di atas

1000 kali. Berhasil tidaknya analisa ini ditentukan oleh preparasi

benda uji, semakin sempurna preparasi benda uji, semakin jelas

gambar struktur yang diperoleh [1].

18

Gambar 2.10 Struktur mikro dari paduan Nickel-Based

Superalloy pada sudu turbin [18].

Pada hasil akhirnya aka nada fase-fase tertentu yang menjadi

focus, dalam hal ini karena material dari sudu turbin sendiri

merupakan nickel-based superalloy, contoh fase yang munkin

dijadikan focus adalah bentuk fase gamma (gamma prime),

karbida yang homogen dengan bentuk dendritic yang merupakan

ciri khasnya. Setelah mengetahui fase tertentu yang menjadi

fokusan, hal lain yang diamati adalah perubahan yang terjadi.

Seperti perubahan ukuran butir, precipitate growth dan

coalescence pada γ’, degenerasi dan pertumbuhan jaringan MC

karbida, crack pada batas butir, serta kavitasi akibat creep.

Tabel 2.3 Klasifikasi Evolusi Struktur Mikro Berdasarkan

Teori Neubauer dan Wadel [19].

Grade Microstructure Picture

0 New material

1 Normal (no cavities)

2 Presence of isolated microcavities

3 Presence of directional oriented microcavities

19

4 Presence of microcracks

5 Presence of macrocracks

Berdasarkan data pengamatan mikrostruktur tersebut

Neubauer dan Wadel mendapatkan tabel berikut yang

menjelaskan hibungan antara creep damage dan expended life

fraction.

Tabel 2.4 Creep Damage dan Expended Life Fraction [19].

Damage Level Expended Life Fraction

1 0.181

2 0.442

3 0.691

4 0.889

5 1.000

Nilai tersebut digunakan untuk menentukan umur sisa dari

sebuah komponen permesinan dengan rumus:

𝑡𝑟𝑒𝑚 = 𝑡 (𝑡𝑟

𝑡− 1) (2.2)

Dimana t merupakan service life expended dan tr merupakan

rupture life [18].

2.4.3. Kekerasan Pengujian kekerasan digunakan untuk mengevaluasi properti

mekanik dari turbine blade yang diuji. Pada tahun 1972 Goldhoff

dan Woodford menemukan korelasi antara spesimen creep yang

diuji kekerasannya pada suhu kamar dengan rupture life. Hal ini

lah yang dikembangkan untuk memperkirakan sisa umur dari

spesimen tersebut [18].

20

Pada dasarnya pengujian kekerasan sendiri bisa menggunakan

dua opsi yaitu macro-hardness dan micro-hardness. Untuk

mendapatkan hasil yang lebih baik pada assessment tertentu

disarankan menggunakan micro-hardness, namun pada umumnya

lebih mudah mencari jasa macro-hardness test dibandingkan

micro-hardness test. Pada akhirnya yang akan dilihat adalah

tingkat kekerasaan di beberapa titik pada spesimen, yang

menunjukkan tingkat keseragamannya dan pada test tertentu

tingkat kandungan karbon juga menjadi hal yang diperhitungkan.

Tegangan dan temperatur yang bekerja pada material pada

waktu yang lama menyebaban material menjadi cenderung lebih

lunak dan berakhir dengan kerusakan. Dari uji hardness yang

dilakukan dapat diperoleh perbandingan kekerasan antara nilai

kekerasan awal part dan nilai kekerasan part setelah digunakan

dalam jangka waktu tertentu. Dengan diketahui rasio perubahan

kekerasan maka yang dikombinasikan dengan Larson-Miller

Parameter dapat dihitung tegangan nominal yang bekerja pada

komponen tersebut. Selanjutnya umurnya dapat diperkirakan.

Untuk persamaan yang digunakan untuk menjelaskan

hubungan hardness changes dan life assessment dapat

didefinisikan sebagai, 𝐻𝑣

𝐻𝑣0= 𝑎. 𝑃𝐿𝑀 + 𝑏. 𝑃𝐿𝑀2 + 𝑐 (2.3)

dimana 𝐻𝑣 merupakan nilai kekerasaan saat benda ingin diuji,

𝐻𝑣0 merupakan nilai kekerasan awal dari spesimen, dan PLM

merupakan nilai dari Larson Miller Parameter. Untuk nilai dari

Larson Miller Parameter sendiri didapat dengan persamaan 2.1

atau dengan persamaan lain,

𝑃𝐿𝑀 = 𝑇. (𝐴 + log 𝑡) (2.4)

dimana nilai a, b, c, dan A merupakan parameter yang nilainya

tergantung pada database yang diasumsikan, dengan nilai

berkisar

“a” dari 1.23x10−3 sampai 1.6x10−3

“b” dari 3.91x10−8 sampai 4.97x10−8

“c” dari -8.94 sampai -11.99

21

“A” dari 7.8 sampai 15.82 untuk nilai yang lebih akurat dan 20

untuk nilai umum [19].

Gambar 2.11 Plot data dari hardness ratio versus Larson Miller

Parameter yang dimodifikasi untuk Cr-Mo-V pada rotor steel

[18].

2.4.3. Creep

Kerusakan pada peralatan yang dioperasikan pada temperatur

dan tekanan yang cukup tinggi dalam kurun waktu yang lama

biasanya terjadi akibat pengaruh creep (mulur). Proses kerusakan

akibat creep terjadi pada temperatur mendekati melting point

yaitu 0,4 – 0,5 TM (melting point dalam derajat kelvin) sehingga

menyebabkan adanya peregangan butiran struktur akibat beban

konstan [16].

Proses peregangan bahan terjadi dalam tiga (3) tahap, yaitu :

1. Ketika beban mulai diberikan segera diikuti terjadinya

regangan sesaat sebesar ɛ0. Kemudian laju regangan mulur

semakin berkurang seiring dengan bertambahnya waktu.

Tahap ini disebut primary creep atau transient creep.

2. Adalah disebut juga sebagai steady state creep, laju regangan

creep menjadi konstan, hal ini disebabkan karena terjadi

kesetimbangan antara kecepatan proses pengerasan regang

dengan proses pemulihan (recovery). Tahap ini adalah

22

tahapyang paling penting dalam proses mulur, karena pada

saat ini bahan mengalami laju mulur yang terendah dan

konstan dalam waktu yang lebih lama.

3. Adalah mulur tersier, dimana terjadi penyempitan lokal atau

pembentukan rongga internal hingga pada akhirnya laju creep

bertambah besar hingga terjadi kerusakan.

Gambar 2.12 Tiga stage pada mekanisme kegagalan creep

[15].

Untuk kerusakan akibat creep sampel yang digunakan adalah

bagian yang terkena temperatur dan tegangan yang lebih tinggi.

Kerusakan akibat creep yang bisa dilihat pada mikrostruktur

dibagi ke dalam empat stages, yaitu:

a. Isolated cavities (A),

b. Oriented cavities (B),

c. Macrocracks (linking of cavities) (C),

d. Formation of macrocracks (D).

23

Gambar 2.13 Replika remaining life assessment (Neubauer and

Wadel, 1983) [19].

24

Halaman ini sengaja dikosongkan

25

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel Material Sudu Turbin Stage Ketiga

Material yang digunakan pada penelitian ini adlaah satu buah

sudu turbin stage ketiga pada Turbine GT – MW701D. Dengan

umur 99.628 Equivalent Operationg Hours (EOH) dari

standarnya 72.000 EOH dengan suhu kerja sekitar 750°C, tekanan

12.7 bar dan putaran 3000 rpm.

Gambar 3.1 Sudu turbin stage ketiga pada turbin gas MW701D.

(A) tampak belakang, (B) tampak depan.

3.2. Peralatan Peralatan yang digunakan untuk melakukan penelitian

remaining life analysis, antara lain:

1. Penggaris dan jangka sorong, 2. Kamera digital, 3. Alat potong : gerinda, cutting wheel, dan wirecut, 4. Mikroskop optis, 5. Stereo mikroskop, 6. Perangkat grinding, polishing, dan etching, 7. Alat uji komposisi komia spectrometer, 8. Alat uji kekerasan, 9. Mesin Scanning Electron Microscope (SEM),

39

0

35

0

35

0

39

0

A B

26

3.3. Diagram Alir Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan

penelitian ini digambarkan secara singkat melalui diagram alir

pada gambar berikut:

Mulai

Pengamatan lapangan, Komponen

dan data turbin blade stage 3

Perumusan masalah dan tujuan

Pengambilan Data

A

27

A

Informasi mengenai :

Ada tidaknya

kegagalan

Lamanya waktu

ekstensi

Sistem maintenance

pada sudu turbin

Informasi mengenai :

Nama & kodifikasi

komponen

Sususan Engine &

lokasi komponen

Fungsi & cara kerja

komponen

Umur komponen

Desain komponen

Histori perawatan

Kondisi lingkungan saat

bekerja

Persiapan spesimen

Pengamatan makroskopis secara visual

Pengujian metalografi

Pengujian kekerasan

Pengujian SEM

B

28

Gambar 3.2 Diagram alir penelitian.

B

Pengujian komposisi

Simulasi pada software finite element

untuk Creep Analysis

Hasil pengamatan struktur

mikro, nilai kekerasan dari

spesimen, dan perkiraan sisa

umur sudu turbin stage 3

Selesai

Analisa data dan pembahasan data dari

hasil pengamatan dan pengujian

29

3.4. Diagram Alir Simulasi

Gambar 3.3 Diagram alir simulasi.

Post processing

Mulai

Desain material sesuai geometri standar spesimen uji creep

Geometri spesimen, properties

material, loading dan constraint

Input properties dan konstanta creep pada sub-menu edit material

Input fixed geometry pada menu fixtures

Meshing pada menu mesh

Input loading dan constraint pada menu external

loads

Kesimpulan

Selesai

Pemilihan solution information pada menu result option

Running simulasi

30

3.5. Langkah-langkah Penelitian Pada penelitian ini dilakukan beebrapa langkah penelitian

analisa sisa umur sebagai berikut:

1. Perumusan Masalah dan Tujuan Perumusan masalah ini disertai dengan penetapan batasan

masalah untuk memperjelas lingkup penelitian. Kemudian

ditetapkan tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan.

2. Studi Literatur Studi literatur merupakan proses ulasan terhadap buku

dan jurnal yang mendukung dalam memberikan informasi

tentang faktor-faktor yang terkait dengan kerusakan yang

sejenis. Hal ini termasuk pengumpulan materi kuliah yang

terkait untuk digunakan sebagai referensi atau pustaka.

3. Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan untuk mendapatkan data-

data awal dari kondisi aktual yang terjadi. Akan didapatkan

dua jenis informasi yang akan dipakai dalam proses analisa

selanjutnya, yaitu informasi mengenai komponen yang

mengalami kegagalan dan sejarah perawatan pada komponen

tersebut serta informasi mengenai terjadinya kegagalan.

4. Pengamatan Makroskopik

Pengamatan makroskopik dilaksanakan dengan dua jenis

metode yaitu pengamatan makroskopik menggunakan

bantuan kamera digital dan stereo microscope.

Gambar 3.4 Kamera digital.

5. Identifikasi Komposisi Kimia

Pemeriksaan komposisi kimia diperlukan untuk

menentukan unsur penyusun material. Identifikasi komposisi

kimia dilaksanakan menggunakan alat X-Ray Fluorescene

atau Spectrometer Arc-met 8000.

31

Gambar 3.5 Spectrometer Arc-met 8000.

6. Metallography

Proses persiapan pengujian metalografi meliputi

pemotongan spesimen, grinding, polishing, dan etching.

Pengujian metalografi dilakukan untuk mengetahui kondisi

coating dan struktur mikro yang terdapat pada material.

a. Persiapan Spesimen Material yang akan dilakukan proses metallography

adalah sudu turbin (Gambar 3.6). Metallography dilakukan

dalam dua arah, yaitu transversal dan radial. Sehingga

terlebih dahulu spesimen dipotong menggunakan wirecut

sesuai dengan kebutuhan pengamatan metalografi. Untuk

kemudian spesimen di mounting guna mempermudah proses

selanjutnya (grinding).

b. Persiapan Metallography Tahap persiapan metallography untuk spesimen dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Grinding: Spesimen digosok pada mesin grinding, dari

yang paling kasar bisa mulai dengan grit 80 sambil

dialiri air. Setelah terjadi garis-garis goresan yang

sejajar dan merata spesimen dicuci dengan air, dan

kertas gosok diganti dengan grit yang lebih tinggi

secara gradual yaitu 80, 100, 120, 200, 320, 400, 500

dan seterusnya sampai pada grit 2000.

Polishing: Spesimen dipoles dengan ditekan pada

permukaan piringan yang berputar. Piringan ini dilapisi

kain penggosok yang telah ditambahkan water based

diamond sehingga didapatkan permukaan spesimen

32

yang mengkilap seperti cermin. Untuk membersihkan

sisa-sisa polishing powder spesimen dicuci dengan air

dan alkohol kemudian dikeringkan dengan dryer atau

digosok dengan kain.

Etching: Permukaan spesimen dicelupkan ke dalam

larutan kimia (etching reagent). Etching reagent yang

digunakan untuk spesimen ini adalah 2 gram HNO3 dan

60 mL HCl.

Gambar 3.6 Bagian sudu turbin untuk pengamatan metalografi.

c. Pengamatan Struktur Mikro Pengamatan struktur mikro dilaksanakan dalam beberapa

kali perbesaran dengan menggunakan mikroskop optis dan

Scanning Electron Microscope (SEM). Pengamatan

dilaksanakan dua tahap yaitu:

Pengamatan struktur mikro sebelum spesimen dietsa

dengan menggunakan mikroskop optis.

Pengamatan struktur mikro setelah spesimen dietsa

dengan menggunakan mikroskop optirs dan SEM.

Dari kedua pengamatan tersebut akan didapatkan gambar

mikro dengan perbesaran 50x hingga ribuan kali.

7. Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya degradasi sifat mekanik (kekerasan) pada material.

Garis potong

Bagian yang akan dilakukan

pengamatan metalografi

33

Degredasi nilai kekerasan (rasio pelunakan) ini akan

digunakan untuk menentukan umur dari spesimen. Pengujian

ini dilakukan dengan metode Rockwell dan metode vickers.

Tahap persiapan uji kekerasan untuk spesimen dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Grinding: Spesimen digosok pada mesin grinding, dari

yang paling kasar bisa mulai dengan grit 80 sambil

dialiri air. Setelah terjadi garis-garis goresan yang

sejajar dan merata spesimen dicuci dengan air, dan

kertas gosok diganti dengan grit yang lebih tinggi

secara gradual yaitu 80, 100, 120, 200, 320, 400, 500

dan seterusnya sampai pada grit 2000.

Polishing: Spesimen dipoles dengan ditekan pada

permukaan piringan yang berputar. Piringan ini dilapisi

kain penggosok yang telah ditambahkan water based

diamond sehingga didapatkan permukaan spesimen

yang mengkilap seperti cermin. Untuk membersihkan

sisa-sisa polishing powder spesimen dicuci dengan air

dan alkohol kemudian dikeringkan dengan dryer atau

digosok dengan kain.

Gambar 3.7 Bagian sudu turbin untuk pengujian kekerasan.

3.6. Langkah-langkah Simulasi Creep Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan

langkah-langkah:

Garis potong

Bagian yang akan dilakukan

pengujian kekerasan

34

1. Model Spesimen

Disain material pada simulasi ini mengacu pada material

standar untuk pengujian creep sesuai dengan ASTM E 139-

70. Spesimen dapat dilihat pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Spesimen standar pengujian creep ASTM E 139-79.

2. Material Properties

Material untuk spesimen disesuaikan dengan jenis

material asli bahan baku untuk sudu turbin stage ketiga yaitu

Inconel 738LC. Untuk contoh properties ditunjukkan pada

Tabel 3.2 dan Gambar 3.9.

Tabel 3.1 Mechanical Properties dari Inconel 738LC.

Alloy

Ultimate Tensile Strength

At 21 ̊C At 760 ̊C At 871 ̊C

Mpa ksi Mpa ksi Mpa ksi

Inconel

738 LC 1095 159 965 140 770 112

Alloy

Yield Strength

At 21 ̊C At 760 ̊C At 871 ̊C

Mpa ksi Mpa ksi Mpa ksi

Inconel

738 LC 950 138 795 115 550 80

35

Gambar 3.9 Input Material Properties pada SolidWork 2016.

3. Penentuan Persamaan Creep

Untuk simulasi creep pada SolidWork 2016, digunakan

persamaan Bailey-Norton Lay,

𝜀𝑐 = 𝐶0𝜎(𝐶1)𝑡(𝐶2)𝑒(

−𝐶𝑇𝑇

)

Dimana :

εc = creep strain

C0, C1, dan C2 = konstanta materal (C1>1 dan 0≤C2≤1)

CT = konstanta creep temperature

T = temperatur dalam Kelvin

t = waktu dalam jam

Batasan dalam simulasi creep pada SolidWork 2016 adalah:

a. Untuk simulasi creep terbatas hanya pada primary stage

creep dan secondary stage creep.

b. Creep strain dianggap incompressible.

c. Material dianggap isotropic.

36

d. Persamaan di atas dianggap valid jika creep strain dan

creep stress digantukan dengan strain dan stress yang

efektif.

Gambar 3.10 Input konstanta creep.

4. Pemberian Pendosian dan Fix Support

a. Fixtures

Untuk pengondisian beban pada simulasi creep ini, salah

satu sisi spesimen diberikan fix support.

b. Pemberian beban pressure

c. Pengondisian suhu

Seluruh permukaan spesimen diberikan pengondisian

suhu dalam satuan derajat celcius.

Pengujian accelerated creep biasa dilakukan secara

langsung atau eksperimen maupun simulasi. Pengujian

tersebut dilakukan pada beberapa sampel pengujian dengan

kondisi tegangan dan suhu yang berbeda. Hasil pengujian

creep nantinya merupakan kombinasi tiga parameter, yaitu

waktu (time to rupture), logaritma tegangan dan suhu operasi.

Ketiga parameter tersebut kemudian akan diplot dalam kurva

Master Larson-Miller Parameter (PLM Master Curve).

Larson-Miller Parameter inilah yang akan digunakan untuk

menghitung sisa umur material.

Proses ekstrapolasi pada kurva tersebut harus dilakukan

untuk menghitung kemungkinan sisa umur suatu komponen

yang dioperasikan pada suhu tinggi, mengingat bahwa umur

disain sudu turbin blade stage ketiga 72.000 EOH pada

C0

C1

C2

CT

37

tegangan atau tekanan disain yang telah ditentukan, dan pada

saat pengujian dilakukan percepatan kerusakan creep

(accelerted creep test), yaitu dengan pembebanan atau

pemberian tegangan yang jauh lebih besar dari tegangan

disain dan waktu pengujian yang sependek mungkin, tetapi

tetap representatif. Pada simulasi ini akan diberikan lima

perlakuan berbeda, yang ditunjukkan pada Tabel 3.3. Untuk

skema pengondisian pada spesimen ditunjukkan pada Gambar

3.11.

Tabel 3.2 Perlakuan pada Simulasi Creep. No Force (MPA) Temperature (Celcius)

1 432 600

2 600 600

3 700 750

4 750 750

5 700 1000

Gambar 3.11 Skema pengondisian pada spesimen.

5. Meshing

Gambar 3.12 menunjukkan proses meshing yang

dilakukan terhadap geometri spesimen.

Jumlah elemen : 49689

Jumlah nodes : 73869

Pengondisia

Pressure

Fix

38

Gambar 3.12 Pemilihan meshing untuk simulasi creep.

6. Running dan Analisa Data

Setelah melakukan tahapan-tahapan tersebut di atas,

simulasi ini kemudian akan melewati tahap running untuk

mendapatkan solusi dari simulasi. Hasil dari simulasi iini

berupa distribusi stress, displacement dan strain pada

spesimen.

Selain itu akan didapat data plot stress versus time dan

creep strain versus time rupture untuk kemudian diolah

menjadi data plot strain versus LMP. Hasil inilah yang akan

dijadikan pembanding dengan nilai LMP yang didapat dari uji

kekerasan dan pengamatan mikrostruktur.

39

BAB 4

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Sudu Turbin

Adapun data-data mengenai komponen yang akan diteliti

dalam studi remaining life assessment ini adalah sebagai berikut:

4.1.1. Komponen, Spesifikasi, dan Nomor Kodifikasi Komponen sudu turbin yang digunakan dalam penelitian ini

adalah jenis sudu turbin stage ketiga yang diambil secara acak

dari Turbin Gas MW701D. Sudu turbin ini diambil secara acak

dengan nomer serial 910 T3 777. Sudu turbin stage ketiga

tersebut telah digunakan selama 99.628 Equivalent Operating

Hours (EOH), melebihi batas EOH standarnya yang hanya 72.000

EOH. Sudu turbin stage ketiga ini merupakan sudu turbin

bertekanan tinggi (12,7 bar) dengan suhu kerja mencapai 750°C

dan putaran mencapai 3000 rpm.

Bagian-bagian sudu turbin ditunjukkan pada gambar 4.1.

Terdapat tiga daerah utama yaitu:

A. Tip/shroud region: berfungsi untuk mengurangi

kebisingan dan losses

B. Mid/body region: berfungsi untuk menentukan besarnya

gaya sentrifugal sudu turbin

C. Root region: berfungsi sebagai penahan sudu turbin agar

tidak lepas dari rotor disk.

Gambar 4.1 Skema komponen sudu turbin bertekanan tinggi [9].

40

Sudu turbin ini terbuat dari bahan Nickel-Based Superalloy

dan cara pembuatannya yaitu dengan cara investment casting.

Sudu turbin stage ketiga ini tidak memiliki lubang pendingin

seperti sudu turbin stage kedua dan stage pertama. Sudu turbin ini

juga tidak dilapisi oleh thermal barrier coating pada permukaan

sudu turbin. Gaya-gaya yang bekerja pada sudu turbin

ditunjukkan oleh gambar 4.2.

Gambar 4.2 Gaya-gaya yang bekerja pada sudu turbin

[7].

Dari pengaruh suhu maupun gaya yang bekerja pada sudu

turbin, ditambah penggunaan yang melebihi standar EOH-nya,

kemungkinan terjadinya kegagalan pada sudu turbin cenderung

tinggi.

4.1.2. Komposisi Unsur Penyusun Material dari Sudu

Turbin Stage Ketiga Untuk mengetahui komposisi kimia dari material sudu turbin,

dilakukan pengujian komposisi kimia menggunakan Spectrometer

Thermo ADL. Sampel yang digunakan sebagai bahan uji

komposisi kimia adalah sampel dari bagian Tip dari sudu turbin.

Pengujian komposisi kimia ini bertujuan untuk mengetahui secara

pasti jenis spesimen dari sudu turbin, sehingga data yang

digunakan sebagai acuan pengujian lain menjadi lebih valid. Hasil

dari pengujian dibandingkan dengan komposisi kimia standar

(ASM Handbook) untuk mengetahui jenis dari Nickel Based

Superalloy yang menjadi material dasar sudu turbin.

41

Tabel 4.1 Perbandingan hasil uji komposisi kimia dengan

komposisi kimia standar material Inconel 738 LC.

Komposisi %

Hasil uji Spektrometer ASM handbook

Ni 70.532 61

Cr 15.189 16

Co 1.86 8.5

Mo 1.497 1.7

Al 3.07 3.4

Ti 2.86 3.4

Ta 1.34 1.7

W 1.53 2.6

Zr 0.1 0.1

C 0.077 0.09

B 0.016 0.01

Nb 0.892 0.9

Si 0.073 Other

Mn 0.012

S 0.004

Cu 0.178

Fe 0.656

Pb 0.041

Sn 0.025

Setelah dilakukan perbandingan komposisi kimia standar,

sudu turbin stage ketiga ini memiliki komposisi material Inconel

738LC. Hasil ini didapat karena nilai komposisinya paling

mendekati dan sebagian besar masih termasuk ke dalam range

standar yang sesuai.

4.1.3. Mechanical Properties Berikut merupakan sifat mekanik dari material Inconel

738LC berdasarkan standar NiDI 393 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2 Sifat Mekanik dari Inconel 738 LC [20].

Alloy

Kekuatan Tarik saat Ultimate

At 21 C̊ At 760 C̊ At 871 C̊

Mpa ksi Mpa ksi Mpa ksi

Inconel 738 LC 1095 159 965 140 770 112

Alloy

Kekuatan Tarik saat Yield

At 21 C̊ At 760 C̊ At 871 C̊

Mpa ksi Mpa ksi Mpa ksi

Inconel 738 LC 950 138 795 115 550 80

Alloy

Tensile Elongation

At 21 C̊ At 760 C̊ At 871 C̊

% % %

42

Inconel 738 LC - 6,5 11

Alloy

100 Hour Rupture Strength

At 21 C̊ At 760 C̊ At 871 C̊

Mpa ksi Mpa ksi Mpa ksi

Inconel 738 LC - - 595 86 315 46

4.2. Pengamatan Makroskopis

Pengamatan visual dilakukan untuk melihat kondisi

keseluruhan pada sudu turbin stage ketiga. Gambar 4.3 dan

gambar 4.4 menunjukkan kondisi dari sudu turbin tersebut.

Gambar 4.3 (A) Sketsa turbin gas tipe MW701D; (B) Sudu

turbin stage ketiga dalam keadaan terpasang pada rotor turbin;

(C) Sampel sudu turbin stage ketiga.

C

390 mm

350 mm

A

B

43

Gambar 4.4 Sampel sudu turbin stage ketiga. (A) tampak depan;

(B) tampak belakang; (C) tampak atas; (D) tampak bawah; (E)

tampak samping kiri; (F) tampak samping kanan.

Dari pengamatan makro yang dilakukan pada sudu turbin gas

stage ketiga tidak ditemukan cacat atau kerusakan yang terjadi

akibat pengoperasian kerja selama 99.628 EOH. Sudu turbin tidak

menunjukkan adanya indikasi kegagalan secara makro.

A

D

E F

B

C

350 m

m

390 m

m

390 m

m

350 m

m

102 mm

163 mm

110 mm

106 mm

44

4.3. Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan pada sudu turbin dilakukan pada dua bagian

yang berbeda yaitu pada bagian tip blade dan root blade seperti

gambar 4.5. Pengamatan ini dilakukan untuk menganalisa ada

tidaknya kemungkinn terjadinya kegagalan pada struktur mikro

dari sudu turbin. Standar langkah-langkah metalografi sesuai

dengan standar ASTM E3, meliputi pemotongan, mounting,

grinding, dan polishing. Setelah proses polishing, dilanjutkan

dengan proses etching. Pada proses etching permukaan spesimen

dicelupkan dalam larutan kimia (etching reagent). Etching regent

yang digunakan pada uji pengamatan mikroskopik ini adalah 2

gram HNO3 dan 60 ml HCL.

Gambar 4.5 Bagian-bagian sudu turbin stage ketiga untuk

pengamatan mikroskopik.

4.3.1. Pengamatan Menggunakan Mikroskop Optis Pengamatan struktur mikro pada kedua bagian sudu turbin

tersebut dilakukan pada beberapa pembesaran mulai dari 50x

hingga 2500x.

Garis potong

Bagian yang akan dilakukan

pengamatan metalografi

45

Gambar 4.6 Struktur mikro perbesaran 50x, (a) tip; (b) root.

Perbesaran 2500x, (c) tip; (d) root.

Penampakan struktur mikro yang didapatkan menunjukkan

adanya beberapa fasa yang terbentuk. Fasa gamma (γ) pada

paduan ini mengandung nikel, kobalt, krom molybdenum, dan

tungsten. Fasa gamma prime (γ’) sebagai presipitat berupa Ni3X

dimana X adalah unsur aluminium dan titanium ditemukan

dengan bentuk spherical. Sekain itu terdapat karbida berupa

M23C6 dan fasa TCP yang membuat material menjadi getas.

Selain hal tersebut yang dapat diamati dari struktur mikro ini

adalah distribusi dari grain size. Karbida M23C6 pada umunya

merupakan karbida chromium based yang terbentuk pada batas

butir.

a

c d

b

46

Gambar 4.7 Distribusi grain size pada (a) tip blade dan (b) root

blade.

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa ukuran butir baik itu

pada tip blade maupun root blade bervariasi mulai dari 50 µm

hingga 200 µm. Untuk mengetahui distribusi grain size

digunakan metode Linear Intercept Method sesuai ASTM 112-88.

Terlihat dari grafik distribusi grain size bahwa ukuran butir pada

tip blade cenderung didominasi oleh butir dengan ukuran kecil.

Berbeda dengan bagian root blade yang didominasi oleh butir

dengan ukuran yang lebih besar. Untuk grain size pada bagian tip

terlihat lebih bervariasi dibandingkan pada bagian root.

Selain hal tersebut, Untuk penampakan struktur mikro dengan

perbesaran 50x yaitu 4.6 a) dan b) menunjukkan adanya

perbedaan pada jumlah karbidanya. Pada bagian tip menunjukkan

adanya karbida pada batas butir dengan jumlah yang lebih banyak

jika dibandingkan dengan pada bagian root.

Perbedaan penampakan terjadi akibat perbedaan temperatur

kerja yang mengenainya. Bagian tip dikenai temperatur yang

41 56

115

163

102 76

0

50

100

150

200

5 10 20 50 100200

38 28 37 67

174 162

0

50

100

150

200

5 10 20 50 100 200

A B

47

lebih tinggi dibandingkan dengan bagian root. Tip adalah bagian

dari sudu turbin yang terkena aliran udara panas dari combuster

chamber secara langsung. Sedangkan root berada pada bagian

rotor disk turbin, sehingga bagian ini tidak terkena aliran udara

panas secara langsung. Temperatur pada hal ini berdampak pada

pembentukan karbida dan void pada batas butirnya. Kondisi

dengan temperatur yang semakin tinggi akan menyebabkan

semakin tingginya pula laju difusi. Kekosongan pada susunan

atom tersebut akan mengalami difusi ke arah batas butir. Difusi

tidak hanya terjadi pada vacancy atomnya saja, tetapi juga terjadi

pada atom-atom unsur penyusunnya.

4.3.2. Pengamatan Menggunakan Scanning Electron

Microscope (SEM)

Gambar 4.8 Continuous carbides pada bagian tip blade.

Gambar 4.9 Oriented microcavities dan TCP phase pada bagian

root blade.

Continuous

Carbides

48

Struktur mikro pada bagian tip blade menunjukkan adanya

karbida yang bersifat kontinyu. Pada umumnya karbida ini

muncul pada batas butir. Munculnya karbida yang bersifat

kontinyu akan dikarenakan adanya pengaruh suhu tinggi pada

spesimen sudu turbin. Pengaruh dari adanya karbida yang

kontinyu pada material adalah menyebabkan material tersebut

menjadi lebih getas apabila diberikan tegangan, dan

kecenderungan untuk mengalami kerusakan akan lebih tinggi.

Sedangkan penampakan struktur mikro pada bagian root

blade menunjukkan adanya karbida yang tidak bersambung.

Karbida yang tidak bersambung pada batas butir akan

menyebabkan material memiliki kekuatan yang lebih tinggi

karena akan menghambat terjadinya grain boundary sliding

ketika diberikan tegangan. Pada root blade juga ditemukan fasa

Topologically Close-Packed (TCP). Fasa ini berasal dari adanya

paduan tertentu yang komposisinya tidak dikontrol dan terpapar

pada kondisi kerja dengan temperatur tinggi dalam jangka waktu

yang panjang. Pada umumnya TCP yang terbentuk merupakan

hasil paduan seperti Cr ataupun Co pada sudu turbin. Pengaruh

adanya fasa ini adalah mengurangi ketahanan mulur pada material

karena sifatnya yang getas [15].

Selain itu juga terlihat adanya oriented microcavities pada

bagian root blade. Hal ini menunjukkan adanya evolusi

mikrostruktur yang mengindikasikan adanya kemungkinan awal

terjadi microcracks. Terbentuknya oriented microcavities akibat

adanya pengaruh creep pada sudu turbin. Akibat adanya oriented

cavities ini adalah menurunnya nilai kekerasan pada material,

serta cenderung menimbulkan sifat getas. Menurut klasifikasi

Neubauer dan Wadel adanya oriented microcavities ini

merupakan evolusi grade ketiga pada perubahan mikrostruktur

[19].

49

4.4. Pengujian Kekerasan

Pada tugas akhir ini pengujian kekerasan dilakukan dengan

dua metode, yaitu metode Vickers dan micro hardness. Pengujian

hardness dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya degradasi

sifat mekanik (kekerasan) pada material. Degradasi nilai

kekerasan (rasio pelunakan) ini akan digunakan untuk

menentukan umur dari spesimen. Untuk pengujian hardness ini

digunakan dua sampel material dari bagian tip blade dan root

blade.

Gambar 4.10 Bagian-bagian sudu turbin untuk penujian

kekerasan.

4.4.1. Pengujian Kekerasan Vickers Pengujian Vickers yang dilakukan menggunakan standar

ASTM E 92. Metode Vickers dipilih karena cenderung sesuai

untuk menguji material dengan nilai kekerasan yang cenderung

tinggi. Pengujian ini dilakukan dengan memberikan sepuluh titik

indentasi pada setiap sampel, dengan piramida intan sebagai

indentornya. Gambar 4.9 menunjukkan lokasi indentasi pada

setiap sampelnya. Sedangkan tabel 4.3 dan tabel 4.4 menunjukkan

nilai kekerasannya.

Garis potong

Bagian yang akan dilakukan

pengujian kekerasan

50

Gambar 4.11 Lokasi titik indentasi vickers pada (a) tip blade dan

(b) root blade.

Tabel 4.3 Nilai Kekerasan dari Pengujian Kekerasan Vickers

pada Bagian Tip Blade.

Tabel 4.4 Nilai Kekerasan dari Pengujian Kekerasan Vickers

pada Bagian Root Blade.

Dari hasil pengujian kekerasan dengan Vickers Hardness test

menunjukkan tidak adanya trenline khusus dari nilai kekerasan

pada kedua bagian sampel. Untuk sampel bagian tip menunjukkan

nilai kekerasan terendah yaitu 383 HVN sedangkan nilai

kekerasan tertinggi yaitu 401 HVN. Untuk bagian sampel root

menunjukkan nilai kekerasan terendah yaitu 360 HVN sedangkan

nilai kekerasan tertinggi yaitu 376 HVN. Namun terlihat bahwa

nilai kekerasan pada tip cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai

kekerasan pada root. Perbedaan nilai kekerasan yang cukup jauh

ini diakibatkan persebaran karbida yang lebih banyak pada bagian

Titik

Indentasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kekerasan

(HVN 10) 401 401 401 394 383 394 383 383 401 401

Titik Indentasi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kekerasan

(HVN 10) 366 366 360 360 366 376 376 376 376 366

A B

51

tip blade dibandingkan dengan bagian root blade, khususnya pada

bagian batas butir.

4.4.2. Pengujian Micro Hardness Pengujian kekerasan dengan metode micro hardness

dilakukan untuk mengetahui kekerasan material secara mikro.

Indentasi dilakukan pada bagian batas butir dan tengah grain pada

tiga lokasi yang berbeda. Nomer indentasi ganjil menunjukkan

lokasi indentasi pada batas butir, sedangkan nomer genap

menunjukkan identasi pada tengah grain (Gambar 4.10).

Sedangkan tabel 4.5 dan tabel 4.6 menunjukkan nilai

kekerasannya.

Gambar 4.12 Lokasi titik indentasai micro pada (a) tip blade dan

(b) root blade.

Tabel 4.5 Nilai ekerasan dari Pengujian MicroHardness pada

Bagian Tip Blade.

Titik Indentasi

1 2 3 4 5

Kekerasan (HVN 1)

381.0 371.7 380.1 368.8 379.5

A

B

52

Tabel 4.6 Nilai Kekerasan dari Pengujian MicroHardness pada

Bagian Root Blade.

Dari hasil pengujian micro hardness menunjukkan bahwa

indentasi pada bagian batas butir memiliki nilai kekerasan yang

lebih tinggi dibandingkan pada bagian tengah butir. Hal tersebut

berlaku baik pada bagian tip blade maupun root blade. Tingginya

nilai kekerasan menunjukkan bahwa terdapat karbida yang

menumpuk pada daerah batas butirnya.

4.5. Simulasi Creep

Kerusakan pada peralatan yang dioperasikan pada temperatur

dan tekanan yang cukup tinggi dalam kurun waktu yang lama

biasanya terjadi akibat pengaruh creep (mulur). Dalam mengalisa

remaining life dari suatu komponen, analisa mulur sering

digunakan sebagai acuan. Pengujian mulur dilakukan untuk bisa

mendapatkan grafik perbandingan antara regangan versus waktu.

Untuk kemudian grafik tersebut diubah menjadi grafik waktu

versus Larson Miller Parameter (LMP). Dari nilai LMP ini

nantinya akan didapatkan nilai remaining life suatu komponen

[21].

Untuk simulasi creep pada SolidWork 2016, digunakan

persamaan Bailey-Norton Law,

𝜀𝑐 = 𝐶0𝜎(𝐶1)𝑡(𝐶2)𝑒(−𝐶𝑇

𝑇) (4.1)

Dimana :

εc = creep strain

C0, C1, dan C2 = konstanta materal (C1>1 dan 0≤C2≤1)

CT = konstanta creep temperature

T = temperatur dalam Kelvin

t = waktu dalam jam

Titik Indentasi

1 2 3 4 5

Kekerasan (HVN 1)

380.5 378.6 382.0 369.3 381.3

53

Sebelum dilaksanakannya simulasi, terlebih dahulu dicari

nilai masing-masing konstanta pada persamaan 4.1.

Tabel 4.7 Data Stress untuk Rupture Time dan Suhu Tertentu

pada 1% Creep Rate untuk Inconel 738 LC [21]. Time Temp (oC) 450 460 470 480 490 500

10.000 h Stress (MPA) 240 219 200 180 163 147

100.000 h Stress (MPA) 166 155 145 130 116 103

0.01 = 𝐶0(166 𝐸 + 6)(𝐶1)(100000 ∗ 3600)(𝐶2)𝑒(−𝐶𝑇

450+273)

0.01 = 𝐶0(155 𝐸 + 6)(𝐶1)(100000 ∗ 3600)(𝐶2)𝑒(−𝐶𝑇

460+273)

0.01 = 𝐶0(145 𝐸 + 6)(𝐶1)(100000 ∗ 3600)(𝐶2)𝑒(

−𝐶𝑇470+273

)

0.01 = 𝐶0(130 𝐸 + 6)(𝐶1)(100000 ∗ 3600)(𝐶2)𝑒(

−𝐶𝑇480+273

)

Sehingga dari interpolasi data di atas didapat:

𝐶0 = 5.1559 E - 10

𝐶1 = 1.266

𝐶2 = 1.8865 E - 1

𝐶𝑇 = 6.7918 E + 3

Untuk selanjutnya dilanjutkan dengan langkah-langkah

yang sudah disebutkan pada sub bab 3.6. Hasil yang didapat

berupa distribusi stress, displacement, dan strain pada

spesimen uji simulasi creep. Selain itu juga didapat plot data

untuk strain versus time yang akan digunakan sebagai acuan

untuk mencari nilai LMP dari hasil simulasi. Contoh hasil

plot ditampilkan pada gambar 4.13.

54

Gambar 4.13 Grafik strain vs time rupture untuk stress 432 MPa

dan suhu 600°C.

Pada grafik tersebut terlihat bahwa nilai maksimal time

to secondary creep pada stress 432 MPA dan suhu 600°C

adalah 9,87E+07 hours. Pada nantinya grafik tersebut akan

diubah dalam grafik time rupture versus LMP. Nilai LMP

tersebut akan digunakan untuk mengetahui nilai Log Ts

sesungguhnya. Sehingga akhirnya didapat nilai Ts untuk

tiap kondisi simulasi. Grafik tersebut menunjukkan hasil

simulasi pada primary stage dan secondary stage.

7,60E+04

7,65E+04

7,70E+04

7,75E+04

7,80E+04

7,85E+04

7,90E+04

7,95E+04

8,00E+04

8,05E+04

8,10E+04

0,00E+00 5,00E+01 1,00E+02 1,50E+02

Stra

in (

mm

/mm

)

Log (Time to Secondary Creep) (s)

Time vsStrain

Log.(Time vsStrain)

55

Gambar 4.14 Stress distribution pada simulasi creep untuk stress

432 MPa dan suhu 600°C.

Gambar 4.15 Strain distribution pada simulasi creep untuk stress

432 MPa dan suhu 600°C.

Gambar 4.14 dan gambar 4.15 menunjukkan hasil

simulasi pada kondisi stress 432 MPa dan suhu 600°C.

Gambar 4.14 menunjukkan konsentrasi stress pada

spesimen uji simulasi. Sedangkan untuk Gambar 4.15

menunjukkan konsentrasi strain pada spesimen. Dengan

nilai strain paling tinggi berada pada bagian gauge length

dari spesimen, ditunjukkan dengan bagian berwarna merah

tua. Untuk nilai strain tertinggi adalah 8,09E-001. Strain

56

yang dimaksud di sini merupakan creep strain atau pada

simulasi disebut dengan equivalent strain.

Gambar 4.16 Displacement distribution pada simulasi creep

untuk stress 432 MPa dan suhu 600°C.

Gambar 4.16 menunjukkan distribusi displacement pada

spesimen uji simulasi. Displacement pada simulasi ini

menunjukkan perpindahan elemen pada spesimen dari

kondisi sebelum simulasi ke kondisi sesudah

dilaksanakannya simulasi. Bagian merah pada ujung

spesimen merupakan bagian yang paling banyak

mengalamai displacement. Hal ini dikarenakan sisi tersebut

merupakan sisi dimana tegangan diberikan.

4.6. Analisis Remaining Life

Untuk mengetahui remaining life dari sudu turbin stage

ketiga, digunakan tiga metode dari nilai kekerasannya,

pengamatan struktur mikro, dan hasil simulasi creep.

4.6.1. Analisis Berdasarkan Uji Kekerasan Analisa remaining life melalui uji kekerasan beracuan pada

rasio pelunakan. Dimana nilai kekerasan standar dari bahan baku

sudu turbin dibandingkan dengan nilai kekerasannya setelah

digunakan. Untuk mendapatkan nilai remaining life dari rasio

pelunakan, digunakan rumus pada persamaan 2.2 [18].

57

𝐻𝑣

𝐻𝑣0= 𝑎. 𝑃𝐿𝑀 + 𝑏. 𝑃𝐿𝑀2 + 𝑐

Gambar 4.17 Grafik hubungan HV/HV0 versus LMP.

Dimana nilai 𝐻𝑣0 adalah 400 HVN untuk material dan

aplikasi yang sama. Sedangkan nilai a = 1.35 x 10-3

, b = 4,76 x

10-8

, dan c = -9,6. Perhitungan dilakukan dengan mengambil nilai

kekerasan dari Vickers Hardness Test pada bagian tip blade dan

root blade. Setelah di dapatkan nilai LMP dari masing-masing

nilai kekerasan dilanjutkan dengan memasukkan nilai LMP

tersebut pada persamaan 2.3. 𝐿𝑀 = 𝑇. (𝐴 + log 𝑡)

Sehingga didapat nilai t atau Tr yang merupakan nilai

remaining life.

0,88

0,9

0,92

0,94

0,96

0,98

1

1,02

25200 25220 25240 25260 25280

Hv/

Hv0

LMP

Kekerasan Vs LMP

LMP

58

Gambar 4.18 Grafik hubungan HV/HV0 versus remaining life.

Berdasarkan perhitungan tersebut maka diketahui bahwa nilai

kekerasan memiliki pengaruh pada ketahanan mulurnya yaitu

semakin tinggi nilai kekerasan maka akan semakin rendah

ketahanan mulurnya. Hasil perhitungan dapat diihat pada tabel

4.8 untuk bagian tip dan tabel 4.9 untuk bagian root.

Tabel 4.8 Nilai Remaining Life Berdasarkan Nilai Kekerasan

pada Bagian Tip Blade.

HVN HV/HV0 LMP log Tr Tr

401 1,0025 25218 4,651 44814

401 1,0025 25218 4,651 44814

401 1,0025 25218 4,651 44814

401 1,0025 25218 4,651 44814

401 1,0025 25218 4,651 44814

394 0,985 25226 4,659 45575

394 0,985 25226 4,659 45575

383 0,958 25237 4,670 46741

383 0,958 25237 4,670 46741

383 0,9575 25237 4,670 46741

0,880,9

0,920,940,960,98

11,02

44000 45000 46000 47000 48000 49000 50000

Hv/

Hv0

Remaining Life

Kekerasan Vs Remaining Life

59

Tabel 4.9 Nilai Remaining Life Berdasarkan Nilai Kekerasan

pada Bagian Root Blade.

HVN HV/HV0 LMP Log Tr Tr

376 0,94 25245 4,677 47534

376 0,94 25245 4,677 47534

376 0,94 25245 4,677 47534

376 0,94 25245 4,677 47534

366 0,915 25255 4,687 48668

366 0,915 25255 4,687 48668

366 0,915 25255 4,687 48668

366 0,915 25255 4,687 48668

360 0,900 25260 4,692 49244

360 0,900 25260 4,692 49244

Tabel di atas merupakan tabel perhitungan dari nilai

kekerasan hingga didapatkan nilai remaining life untuk kedua

sampel uji kekerasan. Remaining life pada tabel dipresentasikan

dengan besarnya nilai Tr. Nilai Tr tertinggi didapatkan sebesar

49244 hours pada sampel bagian root dan 46741 hours pada

bagian tip. Nilai remaining life tertinggi didapat dari nilai

kekerasan terendah. Sedangkan nilai remaining life terendah

didapatkan dari nilai kekerasan tertinggi yaitu sebesar 44814

hours pada bagian tip dan 47534 hours pada bagian root. Untuk

keamanan nilai remaining life yang dijadikan acuan adalah nilai

yang terendah yaitu 44814 hours yang didapat dari sampel bagian

tip.

4.6.2. Analisis Berdasarkan Pengamatan Struktur Mikro

Berdasarkan hasil pengamatan struktur mikro serta

mengacu pada klasifikasi kerusakan menurut Neubauer,

maka kondisi dari struktur mikro sudu turbin stage ketiga

dapat digolongkan pada tingkat evolusi ketiga. Hal ini ditandai

dengan adanya oriented microcavities pada spesimen dan hal ini

sesuai dengan hasil analisa yang telah dilakukan. Pada dasarnya

kegagalan creep yang terjadi diakibatkan oleh grain boundary

sliding. Semakin besar area batas butir maka semakin banyak

60

kemungkinan terjadi grain boundary sliding. Hal ini akan

semakin mempermudah terjadinya kerusakan akibat creep. Di sini

terlihat pengaruh dari perubahan mikrostruktur terhadap

ketahanan terhadap creep. Sehingga dari pengamatan distribusi

grain size pada bagian tip dan root, dapat disimpulkan bahwa

bagian root memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap creep

dibandingkan bagian tip. Hal ini terlihat dari distribusi grain size

pada root yang cenderung memiliki ukuran grain size yang lebih

besar dibandingkan pada bagian tip blade.

Setelah diketahuinya tingkat evolusi dari mikrostruktur maka

bisa dilakukan prediksi nilai remaining life sesuai persamaan 2.4.

Nilai 𝑡𝑟

𝑡 didapatkan dari tabel 2.4 tentang Damage level and

expended life fraction yaitu sebesar 1

0.691 atau sebesar 1.447 maka

nilai remaining life [19]:

𝑡𝑟𝑒𝑚 = 𝑡 (𝑡𝑟

𝑡− 1)

𝑡𝑟𝑒𝑚 = 99628 (1.447 − 1)

𝑡𝑟𝑒𝑚 = 44534 ℎ𝑜𝑢𝑟𝑠

4.6.3. Analisis Berdasarkan Simulasi Creep Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan didapatkan data

pada tabel 4.10.

Tabel 4.10 Hasil Simulasi Creep pada SolidWork 2016.

No. Temperat

ure (Celcius)

VON (N/mm^2

(MPa))

Time to Secondary

Creep (Hours)

LMP Log Tr

Tr Real (hours)

1 600 432 27417 25312 4,74 55329

2 600 600 21333 25217 4,65 44665

3 750 700 23389 25270 4,70 50341

4 750 900 14803 25190 4,62 42013

5 1000 700 6361 25077 4,51 32583

61

Gambar 4.19 Grafik LMP vs Tr dari hasil simulasi creep pada

SolidWork 2016.

Gambar 4.20 Grafik LMP vs Tr untuk Inconel 738 LC [22].

Gambar 4.19 menunjukkan grafik hasil perpotangan antara

nilai LMP dan nilai dari time rupture dari kelima pengondisian

pada simulasi. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan

gambar 4.20 dari jurnal milik Shamsabadi dkk sebagai acuan.

Terlihat kedua grafik tersebut memiliki trend dan perbandingan

nilai yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa hasil

simulasi dari SolidWorks 2016 masih dalam range yang dapat

digunakan. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh

besar beban yang diberikan sangat besar terhadap ketahanan

creep sebuah komponen. Hal ini terlihat dari pengondisian

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

25000 25100 25200 25300 25400

Tim

e R

up

ture

(h

)

LMP

LMP Vs Time Rupture

Series1

62

dengan suhu yang sama namun beban yang berbeda

menghasilkan nilai Ts yang berbeda jauh. Nilai tertinggi didapat

pada kondisi pertama dengan nilai remaining life 55329 hours

dan nilai terendah ada pada kondisi keempat dengan niai

remaining life sebesar 42013 hours.

63

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil

kesimpulan yaitu:

1. Dari pengamatan secara makro tidak ditemukan kerusakan

pada sudu turbin stage ketiga.

2. Hasil dari pengamatan mikrostruktur pada sampel sudu

turbin stage ketiga, ditemukan adanya oriented

microcavities pada bagian sampel root blade. Selain itu

juga terdapat void baik itu pada sampel bagian tip maupun

root dari sudu turbin stage ketiga. Maka kondisi struktur

mikro pada sudu turbin stage ketiga ini dapat

diklasifikasikan pada evolusi kerusakan mikrostruktur

akibat creep tingkat ketiga menurut Neubauer.

3. Dari pengukuran nilai kekerasan baik itu menggunakan

Vickers Hardness Test maupun Microhardness Test,

menunjukkan adanya penurunan nilai kekerasan baik itu

pada sampel bagian tip maupun sampel pada bagian root.

4. Remaining life dari sudu turbin dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya ukuran butir, ukuran dari presipitat γ’,

dan kekerasannya. Remaining life berbanding lurus dengan

ukuran butir dan ukuran presipitat γ’-nya sedangkan

berbanding terbalik dengan nilai kekerasannya.

5. Hasil simulasi creep pada SolidWorks 2016 menunjukkan

bahwa nilai LMP berbanding lurus dengan nilai dari time to

rupture. Hal ini sesuai dengan salah satu jurnal milik

Shamsabadi dkk sebagai acuan. Terlihat antara grafik dari

hasil simulasi dan grafik dari jurnal tersebut memiliki trend

dan perbandingan nilai yang hampir sama.

6. Berdasarkan perhitungan terhadap nilai kekerasan,

metalografi dan hasil simulasi creep yang dilakukan,

didapatkan prediksi remaining life sudu turbin. Remaining

life dari sudu turbin diperoleh sebesar 44814 hours

berdasarkan nilai kekerasan maksimalnya. Berdasarkan

metalografi diperoleh remaining life sebesar 44534 hours.

Sedangkan berdasarkan hasil simulasi creep pada

64

SolidWorks 2016 diperoleh remaining life sebesar 42013

hours.

5.2. Saran Dari penelitian yang telah dilakukan, adapun saran-saran

yang bisa diberikan antara lain:

1. Sebaiknya dilakukan pencatatan data secara berkala

sehingga terdapat histori data dari operasi sudu turbin

secara lengkap.

2. Maintenance pada sudu turbin harus dilakukan sesuai

standar untuk memaksimalkan life pada sudu turbin.

3. Untuk mengetahui remaining life sebaiknya dilengkapi

dengan pengujian mulur atau pengujian fatigue agar data

yang dimiliki semakin valid.

4. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan analisa

lebih lengkap terkait struktur mikro dan pengaruh creep

pada sudu turbin.

65

DAFTAR PUSTAKA

[1] Primaperkasa, Aditya. 2012. Studi Pengukuran Umur Sisa

(Remaining Life Assessment). Depok: Universitas

Indonesia.

[2] http://www.ethosenergygroup.com/_catalogs/masterpage/eth

os/img/slides/W191-Slide1.jpg (Diakses pada 27 April 2016,

Pukul 21.09).

[3] http://www.gti-power.com/imgpro/RT62-1-

1E_2ndStagePowerTurbineBlade.JPG (Diakses pada 27

April 2016, Pukul 21.12).

[4] Moran, Michael J. dan Shapiro, Howard N. 2004.

Termodinamika Teknik. Jakarta: Erlangga.

[5] Pudjanarsa, Astu dan Suhud,Djati Nur. 2008. Mesin

Konversi Energi. Yogyakarta: Andi Offset.

[6] Priyono, Agus. 2005. Inspeksi Fuel Nozzle Turbin Gas

MW7010D. Gresik: Unit bisnis pemeliharaan PT.

Pembangkitan Jawa Bali Gresik.

[7] Fathoni, Rijal, Tegar Aji Kuncoro. 2015. Laporan

Pelaksanaan Kerja Praktek di PT. Pembangkitan Jawa

Bali (PJB) Unit Pemeliharaan Wilayah Timur (UPHT).

Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

[8] http://www.turbocare.com/gas_turbine_blades_buckets.html

[9] Lipiak, Guido dan Bussman, Susanne. 2006. Lifetime

Extension for SIEMENS Gas Turbines. Jerman : Power-

Gen Europe.

[10] J. Carter, Jim. 2004. Common Failures in Gas Turbine

Blades. South Africa : Elsevier.

[11] Mazur Z, Luna-Ramirez A, Juarez-Islas JA, Campos-

Amezcua A. 2005. Failure Analysis of A Gas Turbine

Blade Made of Inconel 738LC Alloy. Eng Fail

Anal;12:474–86.

[12] J. Donachie, Matthew; J. Donachie, Stephen. 2002. A

Technical Guide of Superalloys. Ohio, USA: ASM

International.

66

[13] www.azom.com

[14] ASM Handbook Committee. 2002. ASM Metals Handbook

Vol. 1 : Properties and Selection Irons Steels and High

Performance Alloys. Ohio, Amerika : ASM International.

[15] Eshati, Samir. 2012. An Evaluation of Operation and

Creep Life of Stationary Gas Turbine Engine. Inggris :

Cranfield University.

[16] Rustino, Djoni dan Supriadi. 2008. Kajian Umur Sisa

(Remaining Life Assessment RLA) Komponen Turbin

Gas Hot Gas After Burner dan Mixing Chamber Dari

Power Plant. Serpong : MI.MKK.

[17] Reyhani, Majid Rezazadeh; Mohammad Alizadeh, Alireza

Fathi, Hiwa Khaledi. 2013. Turbine Blade Temeprature

Calculation and Life Estimation – a Sensitivity Analysis.

Iran : Propulsion and Power Research.

[18] Dowson, Phillip; Wenchao Wang dan Agustin Alija. 2005.

Remaining Life Assessment of Steam Turbine and Hot

Gas Expander Components. Ohio, USA : ATM TL.

[19] Concari, S. 2005. Residual Life Assessment and

Microstructure. Italy : ECCC.

[20] Nickel Development Institute. 1995. High-Temperature

High. USA.

[21] Kouhi, Dr. Esfandyar. 2015. SolidWorks Simulation Creep

Analysis. Australia.

[22] Shamsabadi. 2016. Journal of Alloys and Compounds.

Irak.

67

LAMPIRAN

Tip blade Root blade 100x

200x

500x

68

Lanjutan

Root Blade Tip blade

1000x

69

BIODATA PENULIS

Amri Hakim lahir di Sukoharjo, 23 Maret

1994, merupakan anak pertama dari dua

bersaudara dari pasangan Sutiman dan Sri

Kusrini. Penulis menyelesaikan

pendidikan dasar di SDN Bonipoi 1

Kupang pada tahun 2006. Lalu pendidikan

menengah di SMP Sultan Agung

Pematang Siantar pada tahun 2009. Kemudian melanjutkan

pendidikan di SMAN 3 Bekasi pada tahun 2009 sampai 2012.

Ketertarikan penulis pada dunia keteknikan mendorong

penulis untuk melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi

Sepuluh Nopember dengan mengambil jurusan favorit yaitu

Teknik Mesin angkatan 2012 “M55” dengan NRP

2112100136.

Selama masa perkuliahan penulis banyak mendapat

kesempatan dalam mengembangkan dan menggali potensi,

baik dibidang akademik maupun non-akademik. Penulis aktif

mengikuti kegiatan laboratorium Metalurgi yaitu sebagai

asisten praktikum. Selain itu penulis juga aktif di Himpunan

Mahasiswa Mesin (HMM) dengan menjabat sebagai Staf

Departemen PSDM 2013-2014 dan Kepala Departemen

PSDM 2014-2016. Bersamaan dengan menjabat sebagai staf

HMM, penulis juga bergabung menjadi Pemandu FTI-ITS

hingga akhir tahun 2015. Untuk informasi dan saran serta

kepentingan penelitian, penulis dapat dihubungi melalui email

[email protected]

70

Halaman ini sengaja dikosongkan