48
1.1 Hakikat Bahasa Dapat dikatakan bahwa kita berbahasa setiap hari. Bahasa dibentuk oleh kaidah, aturan, dan pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada saat berkomunikasi. Kaidah, aturan, dan pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya. Banyak pakar bahasa yang mencoba memberikan definisi atau ciri-ciri bahasa. Cr F. Hockert mendaftar 16 ciri khusus yang membedakan bahasa dan sistem komunikasi makhluk sosial, yakni: 1. Jalur vocal-auditif. Jalur vocal-auditif (vocal-auditory chanel ). Meskipun hewan mempunyai sistem komunikasi yang auditif tetapi tidak merupakan bunyi vocal. 2. Penyiaran ke semua jurusan/arah, maksudnya semua bahasa yang diucapkan itu dapat didengar di semua arah. 3. Cepat hilang. Berarti semua isyarat bahasa yang membentuk suara itu cepat hilang, maka untuk melestarikan isyarat atau pesan sekarang digunakan tulisan.

analisis wacana kelompok 1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: analisis wacana kelompok 1

1.1 Hakikat Bahasa

Dapat dikatakan bahwa kita berbahasa setiap hari. Bahasa dibentuk oleh kaidah, aturan,

dan pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada saat berkomunikasi.

Kaidah, aturan, dan pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat. Agar

komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus

harus menguasai bahasanya.

Banyak pakar bahasa yang mencoba memberikan definisi atau ciri-ciri bahasa. Cr F.

Hockert mendaftar 16 ciri khusus yang membedakan bahasa dan sistem komunikasi makhluk

sosial, yakni:

1. Jalur vocal-auditif. Jalur vocal-auditif (vocal-auditory chanel). Meskipun hewan

mempunyai sistem komunikasi yang auditif tetapi tidak merupakan bunyi vocal.

2. Penyiaran ke semua jurusan/arah, maksudnya semua bahasa yang diucapkan itu dapat

didengar di semua arah.

3. Cepat hilang. Berarti semua isyarat bahasa yang membentuk suara itu cepat hilang, maka

untuk melestarikan isyarat atau pesan sekarang digunakan tulisan.

4. Dapat saling berganti, di sini dapat kita lihat pada orang yang sudah dewasa bahwa

manusia dapat bertindak sebagai pendengar atau penerima.

5. Umpan balik yang lengkap, penyiar isyarat bahasa itu sendiri juga menerima isyaratnya.

6. Spesialisasi. Ini berarti bahwa besarnya daya biologis dari isyarat itu amat kecil, tetapi

hasil atau akibatnya dapat amat besar. Misalnya seseorang mengucapkan kalimat “tolong

angkatkan koper ini”, tenaga yang digunakan penutur amat kecil, tetapi tenaga yang

dikeluarkan oleh lawan bicara sangat besar.

Page 2: analisis wacana kelompok 1

7. Kebermaknaan isyarat-isyarat bahasa dapat berfungsi mengatur dan mengikat kehidupan

dari suatu masyarakat, oleh karena itu ada ikatan hubungan teratur antara unsure-unsur

bahasa dan hal-hal lain dalam dunia luar. Misalnya ada kalimat “ibu tidur”, maka pikiran

kita akan mengarah bahwa siapa saja yang berada di ruang atau di rumah tempat ibu tidur

tadi dilarang rebut, agar ibu tidak terganggu tidurnya.

8. Kewenangan. Hubungan maka isyarat bahasa dengan yang dirujuk ditentukan oleh

prsetujuan antara penutur bahasa bukan karena bentuk atau hubungan materi antara unsur

bahasa dan rujukan itu. Dalam bahasa ada beberapa kata yang dapat disebut bayangan

jauh dari bentu maknanya.

9. Keterpisahan, ini berarti bahwa setiap kata/bahasa secara jelas berbeda dengan yang lain.

Umpamanya kata “kali” dan “gali” atau kata “cantik” dan “jelek” yang secara jelas

terpisah makna bahasanya, walaupun secara nyata dalam bentuk fisik dan bentuk wajah

“yang satu mengalir ke yang lain”.

10. Keterlepasan. Maksudnya bahwa pesan suatu isyarat bahasa dapat merujuk kepada

sesuatu hal yang jauh. Misalnya kita berbicara tentang sesuatu yang jauh dari kita baik

rempat maupun waktunya, bahkan mungkin dapat berupa khayalan kita tentang masa

lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Berbeda dengan binatang yang menurut

Gibbon hanya merujuk pada yang ditempat dan pada waktu itu.

11. Keterbukaan, isyarat-isyarat baru dapat dibuat sesuai dengan keperluan manusia.

12. Pembelajaran. Ini berarti bahwa aturan-aturan dan kebiasaan bahasa manusia itu

diperoleh melalui kegiatan belajar, walaupun gen-gen itu memberikan kesanggupan dan

keinginan berbahasa. Gen saja memang tidak cukup untuk menentukan bahwa seseirang

Page 3: analisis wacana kelompok 1

akan sanggup berbahasa, mengingat bahasa itu hasil belajar. Jadi, hasil pembelajaran juga

turut mempengaruhi kesanggupan seseorang berbahasa.

13. Dualitas struktur berarti bahsa itu mempunyai subsistem yang terdiri dari unsure yang

tidak bermakna tetapi yang membedakan makna yang pertama ialah subsistem fonologi

dan yang kedua ialah subsistem fonologi dan leknikal, serta morfemik.

14. Benar atau tidak. Suatu pesan linguistic itu dapat tidak benar dan dapat juga tidak

bermakna secara logika (nonsense). Mengatakan sesuatu atau mengisyaratkan sesuatu

yang tidak benar adalah cirri khas bahasa manusia. Perlu dicatat bahwa cirri

“prevarication” inilah yang memungkinkan kita membuat hipotesis untuk diuji

kebenarannya.

15. Refleksivitas, maksudnya bahwa bahasa dapat kita pakai untuk membicarakan bahasa itu

sendiri. Dari semua sistem komunikasi yang kita ketahui hanya bahasalah yang dapat

digunakan berkomunikasi tentang diri sendiri, yaitu bahasa.

16. Dapat dipelajarai, ini berarti bahwa seorang penutur suatu bahasa mempelajari bahasa

orang lain. Contohnya adalah anak/bayi yang baru lahir, walaupun dibekali gen-gen agar

sanggup berbahasa, tetapi jika tidak diajarkan bahasa kepadanya, tentu tidak dapat

berbahasa dengan baik dan belajar itupun harus ditunjang oleh lingkungan yang

diinginkan.

Untuk membandingkan bahasa manusia dengan sistem komunikasi binatang, langkah

pertama ialah mengetahui definisi dari bahasa. Bloch dan Trager (1942), misalnya, memberikan

definisi bahasa, yakni sistem lambing bunyi ujuar yang bersifat manasuka yang merupakan

sarana kelompok sosial bekerjasama. Jika memperhatikan definisi tersebut, terdapat beberapa

cirri dalam bahasa, yakni:

Page 4: analisis wacana kelompok 1

1. Memiliki sistem

2. Merupakan lambing bunyi

3. Dihasilkan oleh alat ucap manusia

4. Arbitrer (manasuka)

5. Merupakan sarana komunikasi antarmanusia.

Dari berbagai teori mengenai ciri bahasa, dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki

hakikiat yang memang merupakan hal yang esensi dari bahasa itu sendiri. Hakikat bahasa antara

lain

1.1.1 Manusiawi

Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa bahasa itu adalah kekayaan yang hanya dimiliki

umat manusia. Manusialah yang berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak. Para ahli

biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi, sistem komunikasi binatang

berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang sama sekali tidak

mengenal ciri ganda bahasa manusia yaitu sistem bunyi dan makna (duality feature). Perbedaan

itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai homo loquens (man the speaking

animal), hewan yang mempunyai kemampuan berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan

dalam bahasa manusia itu berpola maka manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan

yang bertata bahasa.

Contoh yang menyatakan bahwa bahasa itu manusiawi sudah sangat terlihat dari

kehidupan sehari-hari. Percakapan, kemampuan untuk mengerti simbol dan kegiatan-kegiatan

lain yang merupakan bahasa hanya dimiliki oleh manusia.

Page 5: analisis wacana kelompok 1

1.1.2 Komunikatif

Fungsi terpenting dari bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi.

Bahasa berfungsi sebagai alat mempererat antar manusia dalam komunitasnya, dari komunitas

kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin

terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial

antar manusia tanpa bahasa.

Komunikasi mencakup makna mengungkapkan dan menerima pesan, caranya bisa

dengan berbicara, mendengar, menulis, atau membaca. Komunikasi harus bermakna atau berarti

baik bagi penyapa atau pesapa. Komunikasi dapat bermakna jika sistem yang digunakan sebagai

alat komunikasi dapat informatif.

Contoh:

a. Soekarno yang sangat terkenal dengan pidatonya bisa dengan seketika memotivasi

hingga mengobarkan api kemerdekaatn masyarakat Indonesia pada saat

memperjuangkan kemerdekaan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam berbahasa

Soekarno dapat komunilkatif sehingga hal-hal yang diinginkannya dapat dimengerti

dan diterima oleh pendengarnya.

b. Pemuka agama seperti pendeta, ustadz, pastor dan figur-figur lain yang mempunyai

pengaruh bagi umat beragama harus berpotensi dalam pelaksanaan berbahasa yang

komunikatif. Apabila kotbah ataupun petuah-petuah yang disampaikan tidak

komunikatif maka otomatis tidak dapat dimengerti.

Fungsi ujaran sebagai alat komunikasi ini oleh para ahli umumnya diurai menjadi

beberapa fungsi. Dibawah ini dicantumkan fungsi-fungsi yang disusun oleh Jakobson (1960)

yang disimpulkan oleh Finocchiaro (1974).

Page 6: analisis wacana kelompok 1

Menurut Jacobson:

1. Emotive speech

Ujaran yang berfungsi psikologis yaitu dalam menyatakan perasaan sikap, emosi si

penutur.

2. Phatic speech

Ujaran berfungsi melihat hubungan sosial dan berlaku pada suasana tertentu seperti:

Bagaimana kabarmu? Hai!

3. Cognitive speech

Ujaaran yang mengacu kepada dunia yang sesungguhnya yang sering diberi istilah

denotatif atau informatif.

4. Rhetorical speech

Ujaran berfungi mempengaruhi dan mengkondisikan pikiran dan tingkah laku para

penanggap tutur.

5. Metalingual speech

Ujaran berfungsi untuk membicarakan bahasa, ini adalah jenis ujaran yang paling

abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi.

6. Poetic speech

Ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengistimewakan nilai-nilai

estetikanya.

Pembagian menurut Finocchiaro.

Page 7: analisis wacana kelompok 1

1. Personal

Ujaran yang menyatakan emosi, kebutuhan, pikiran, hasrat, sikap; perasaan, sama

dengan emotive dari Jacobson.

2. Interpersonal

Ujaran untuk mempererat hubungan sosial seperti ekspresi pujian, simpati, bertanya

kesehatan dan sebagainya.

3. Directive

Ujaran untuk mengendalikan orang lain dengan saran, nasihat, perhatian,

permohonan, persuasi, diskusi dan sebagainya.

4. Referential

Ujaran untuk membicarakan objek/ peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau

didalam kebudayaan pada umumnya.

5. Metalinguistic

Sama dengan metalingual dari Jacobson.

6. Imaginative

Sama dengan poetic dari Jacobson.

Dari fungsi-fungsi tersebut diatas jelas bahwa dengan bahasalah manusia berkata benar,

berkata dusta, munafik, memfitnah, setia, beridealisme, mengembangkan ilmu pengetahuan dan

beramal saleh. Begitu bahasa sebagai maha identitas manusia!

1.1.3 Sistematik

Page 8: analisis wacana kelompok 1

Sistematik artinya beraturan atau berpola sehingga memiliki kekuatan atau alasan ilmiah

untuk dipelajari dan diverifikasi. Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki dua jenis sistem yaitu

sistem bunyi dan sistem arti/ makna.

a. Sistem Bunyi

Sistem bunyi mencakup bentuk bahasa dari tataran terendah sampai tertinggi (fonem,

morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat, frase, paragraf, dan wacana). Dalam hal

bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai sebagai suatu simbol dari suatu rujukan (referent)

dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.

Contoh:

Kata Sdfghi tidak bisa diterima karena tidak sesuai dengan sistem bunyi bahasa

Indonesia. Sedangkan kata indikasi merupakan penggabungan dari beberapa bunyi dan sesuai

dengan sistem bunyi bahasa Indonesia.

b. Sistem Makna

Sistem makna suatu bahasa merupakan isi atau terdapat dalam sistem bunyi. Sistem

bunyi dan sistem makna memang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan.

Contoh:

Kalimat Ernika mengerjakan tugas di kampus merupakan kalimat yang bisa dimengerti

karena polanya sistematis dan kalimat ini adalah gabungan sistem bunyi-bunyi yang membawa

makna. Sedangkan kalimat tugas di Ernika kampus mengerjakan tidak mempunyai makna dan

tidak dapat dimengerti karena melanggar sistem.

Sistematika bahasa terlihat juga dalam tahap morfologis. Prefiks me- bisa berkombinasi

dengan dengan sufiks –kan dan –i seperti pada kata mengimplementasikan dan mewarisi. Akan

tetapi tidak bisa berkombinasi dengan ter-.

Page 9: analisis wacana kelompok 1

Contoh:

Tidak bisa dibentuk kata termemancar karena prefiks ter- dan me- tidak bisa

digabungkan dengan kata pancar, sedangkan yang dapat terbentuk adalah terpancar atau

memancar karena bahasa itu beraturan dan berpola.

Demikian pula dalam tahap sintaksis: Sebuah buku terjatuh dari lemari tidak bisa diubah

menjadi lemari sebuah dari terjatuh buku. Kata sebuah (a, an), sang/ si (the) dan sebangsanya

adalah kata petunjuk adanya kata benda.

Contoh:

Sang harimau sedang memburu seekor rusa. (The tiger is hunting a deer.)

Si tikus sedang mencuri keju. (The mouse is stealing cheese.)

Sebuah kertas terbang ke halamanku. (a paper is flying to my yard.)

Dalam semantik pun dapat diamati. Lamb, tokoh Stratificational Grammar, melihat

sistematika hubungan kata dengan makna sebagai berikut:

a. Satu kata dapat mempunyai makna lebih dari satu. Kata bisa dalam bahasa Indonesia

dapat berarti mampu, dapat juga racun.

b. Beberapa kata dapat memiliki makna yang sama seperti senang dan bahagia.

c. Beberapa pasangan kata mempunyai makna yang berlawanan seperti besar dan kecil.

d. Makna beberapa kata tercakup oleh makna dari beberapa kata lainnya. Umpamanya

tumbuhan tercakup dalam pohon dan makna pohon tercakup dalam pinus.

Seandainya bahasa itu tidak sistematik maka bahasa itu tidak akan pernah ada, tidak

punya arti, hanyalah sesuatu yang kacau tak karuan. Dan justru karena bersistemlah maka

bahasa itu bisa dipelajari. Kita tidak bisa mempelajari objek yang tidak sistematik walau

otak kita mencoba menyistematikkannya.

Page 10: analisis wacana kelompok 1

1.1. 4 Arbitrer/ Mana Suka

Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan, mana suka, secara kebetulan, asal bunyi,

tidak ada hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan.

Contoh:

a. Dalam bahasa Indonesia saudara perempuan yang lebih tua biasa disebut dengan

kakak, sister dalam bahasa inggris dan Onni dalam bahasa korea.

b. Binatang yang biasa dijadikan penjaga rumah dan konon katanya setia biasa disebut

anjing dalam bahasa Indonesia resmi, sedangkan biang dalam bahasa batak, asok

dalam bahasa sambas dan asu dalam bahasa dayak.

Contoh-contoh diatas membuktikan bahwa bahasa itu bersifat arbitrer, masing-masing

Negara mempunyai kesepakatan tersendiri dalam menamai sesuatu hal. Begitu pula dengan

setiap wilayah atau suku di Indonesia yang terdiri dari kemajemukan. Semua itu bermula dari

kebiasaan (conventional) dan kemudian menjadi peraturan yang tetap, menjadi suatu sistem. Hal

lain yang juga perlu untuk diketahui, benda kental berwarna hitam yang rasanya manis biasa

disebut dengan kecap tidak bensin.

Demikian halnya dalam sintaksis, perhatikan kalimat berikut:

Saya bertemu dengan dosen.

1 2 3 4

Mengapa justru urutan 1-2-3-4 yang disetujui dan yang sesuai dengan langue setiap

penutur Indonesia? Tidak ada hal pasti untuk menjelaskannya, hanya saja jawabannya adalah:

sudah begitulah susunannya, begitulah maunya.

Page 11: analisis wacana kelompok 1

Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan secara logis dengan benda yang

dirujuknya seperti kata berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi

halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagian

kecil dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.

Bahasa itu mana suka dan tidak ada alasan mengapa sesuatu tersebut memunyai

penamaan seperti ini. Penutur akan berbicara sesuai dengan sistem ini, sebab pelanggaran pada

sistem ini berarti pelanggaran terhadap norma bangsa, berarti menolak sosialisasi terharap orang

lain. Dia terputus dari lingkungannya. Dari contoh diatas maka dapatlah dikatakan bahwa:

bahasa itu mana suka yaitu bahasa itu konvensional dan bahasa itu arbitrer tapi juga ada

beberapa yang non-arbitrer.

1.1. 5 Ujaran

Bahasa mewujud dalam bentuk bunyi, atau dapat dikatakan bahwa media bahasa yang

terpenting adalah dengan bunyi-bunyi. Kemajuan teknologi dan perkembangan kecerdasan

manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis tidak bisa

menggantikan ciri bunyi dalam bahasa. Sistem penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan

arti diatas kertas, atau media keras lain. Singkatnya sistem tulisan berfungsi sebagai pelestari

ujaran bukan bukannya mengatur ujaran. Karena fungsi pelestarian ujaran inilah maka bahasa

disebut sebagai alat pelestari kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia

terdahulu lainnya bisa kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari.

Sesuatu itu antara lain berbentuk tulisan.

Page 12: analisis wacana kelompok 1

Realitas bahwa bahasa itu ujaran, maka para linguis menyelidiki organ-organ ujaran dan

menganalisis bunyi-bunyi yang dihasilkan hingga terbentuklah cabang linguistik, yang

mempelajari bidang ini yaitu fonetik dan fonologi.

Contoh:

Kita mendapat jawaban: TIDAK. Hanya bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia (Human Organs of Speech) yang disebut sebagai bahasa.

1.1.6 Simbol

Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide,

perasaan, pikiran, benda, dan tindakan secara arbitrer, konversional, dan representatif-

interpretatif. Simbol dapat berupa ucapan, tulisan ataupun gambar. Pertama-tama harus

dibedakan antara simbol dengan tanda. Simbol mengacu kepada sesuatu objek dan hubungan

antara simbol dengan objek itu bersifat mana suka, sedangkan hubungan tanda dengan acuannya

tidak mana suka. Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta berupa gambar

diatas kertas. Gambar adalah bentuk lain dari simbol.

Sistem bahasa apapun memungkinkan kita membicarakan sesuatu walau tidak ada di

lingkungan kita. Kita bisa membicarakan sesuatu peristiwa yang sudah terjadi atau yang akan

terjadi. Ini dimungkinkan karena bahasa memiliki daya simbolik, untuk membicarakan konsep

apapun juga. Ini pulalah yang memungkinkan manusia memiliki daya penalaran (reasoning).

Manusia senantiasa bergelut dengan simbol. Melalui simbol, manusia memandang,

memahami, dan menghayati alam dan kehidupannya. Simbol itu sendiri sebenarnya merupakan

Page 13: analisis wacana kelompok 1

kenyataan hidup, baik kenyataan lahiriah maupun batiniah yang disimbolkan, karena di dalam

simbol terkandung ide, pikiran, dan perasaan, serta tindakan manusia.

Contoh simbol:

- Anggukan kepala mengartikan bahwa orang tersebut setuju atau menyatakan ya dan

hal itu merupakan simbol karena bersifat mana suka.

- Piramid di Mesir terbuat dari batu sebagai lambang keagungan, padahal bisa saja

terbuat dari kain atau pasir jika hal tersebut disepakati oleh penduduk Mesir dan hal

seperti inilah yang disebut dengan simbol.

- Dalam masyarakat batak dikenal wacana berupa ragam bahasa ratapan (wailing

language). Bahasa ratapan adalah syair yang diucapkan oleh seseorang ketika dia

menangisi orang yang meninggal. Bahasa ratapan melambangkan dan mewakili

perasaan si peratap. Bahasa ratapan itu sebagai simbol secara totalitas, tetapi wacana

bahasa ratapan itu juga terdiri dari simbol- simbol yang lebih kecil seperti kata,

frase, dan kalimat.

Contoh tanda –bukan simbol-:

- Menangis tanda sedih.

- Merah muka tanda malu.

- Pucat tanda ketakutan.

(tanda-tanda ini disebabkan suasana emosional jadi bukan mana suka, bukan simbol).

Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu

menjadikannya alat yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan

bagaimana jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa sulit mengingat dan

mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain.

Page 14: analisis wacana kelompok 1

1.2 Fungsi Bahasa

Penganalisisan wacana berarti penganalisisan bahasa dalam pemakaiannya. Kita ketahui bahwa

berbicara tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang menyebabkan kita memilih kata-kata,

frasa-frasa, dan kalimat-kalimat tertentu. Kata-kata, frasa-frasa ataupun kalimat-kalimat yang

kita gunakan dalam berkomunikasi itu tentu kita dasarkan atas fungsi bahasa tersebut. Akan

berbedalah kata-kata, frasa-frasa ataupun kalimat-kalimat yang kita pakai bila berbeda fungsi

bahasa tersebut.

Fungsi-fungsi bahasa yang kita gunakan didasarkan atas tujuan kita berkomunikasi. Berbeda

tujuan akan berbeda pulalah alat komunikasi itu, baik bentuknya maupun sifatnya. Banyak

pendapat yang berbeda tentang fungsi bahasa. Pakar-pakar bahasa ada yang membagi fungsi

bahasa itu atas empat bagian, ada pula yang atas lima bagian dan ada pula yang membaginya atas

enam dan tujuh bagian.

Finocchinario membagi fungsi bahasa itu atas lima bagian, yaitu:

1. Fungsi personal. Kemampuan pembicaraannya, misalnya: cinta, kesenangan, kesusahan,

kemarahan, kemasgulan, dan sebagainya.

2. Fungsi interpersonal. Kemampuan manusia untuk membina dan menjalin hubungan kerja

dan hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membuat hidup dengan orang lain

baik dan menyenangkan. Termasuk dalam kategori ini, misalnya: rasa simpati, rasa

senang atas keberhasilan orang lain, kekhawatiran dan sebagainya yang dinyatakan dalam

bahasa.

3. Fungsi direktif. Fungsi ini memungkinkan manusia untuk mengajukan permintaan, saran,

membujuk, meyakinkan, dan sebagainya.

Page 15: analisis wacana kelompok 1

4. Fungsi referensial. Berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara

tentang lingkungan kita yang terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri (fungsi

metalinguistik).

5. Fungsi imajinatif. Kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis

maupun lisan. Fungsi ini sukar diajarkan, kecuali kalau siswanya memang berbakat untuk

hal-hal semacam itu (Sadnoto, 1987:137)

Fungsi-fungsi bahasa tersebut baik dia fungsi personal, interpersonal dan lain-lain tidak dapat

dilepaskan dari situasi tempat fungsi itu dijalankan. Walaupun kita sudah mempunyai tujuan

berkomun ikasi dan tujuan ini menentukan fungsi bahasa tersebut, tidak dapat disangkal bahwa

kondisi dan situasi turut menentukan cara kita melaksanakan berbahasa itu.

Jika kita perhatikan lagi dengan saksama fungsi-fungsi bahasa yang lima tersebut, kita akan

sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya fungsi bahasa itu hanya dua yaitu personal dan

interpersonal yang berhubungan dengan personal lain. Dengan kata lain fungsi direktif,

referensial, dan imajinatif digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga dengan

demikian fungsi-fungsi itu adalah bagian fungsi interpersonal.

1.3 Penguasaan Bahasa

Bahasa adalah gejala sosial dan pemakaiannya perlu memperhatikan aspek kebahasaan maupun

aspek non kebahasaan. Walaupun terkadang masyarakat lebih memprioritaskan penggunaan

kaidah, struktur, dan aturan dalam berbahasa. Pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin

sebenarnya juga turut menentukan pemakaian bahasa itu. Juga faktor situasi, pembicara,

pendengar, dan lain-lain.

Page 16: analisis wacana kelompok 1

Para pakar berkata bahwa manusia berbicara dengan alat bicara yang biasa disebut dengan

altikulator, tetapi sesungguhnya manusia juga berkomunikasi dengan seluruh bagian tubuh yang

ditentukan oleh situasi dan kondisi. Terkadang tidak secara otomatis manusia dapat menanggapi

hal yang didengar. Bahkan terkadang manusia memerlukan tanda-tanda yang lebih banyak untuk

memahami pembicaraan orang lain. Juga terkadang kita mendengar tanda-tanda yang banyak

tetapi tidak dapat kita tanggapi seluruhnya.

Kadang pada setiap kata-kata, frasa-frasa maupun kalimat-kalimat yang dipakai si pembicara

tidak asing, tetapi pembicaraan itu tidak dapat ditanggapi karena tidak mengetahui topik

pembicaraan itu. Contoh:

- Masuk kau hari ini man?

- Nanti jam terakhir.

- Saya mungkin dapat D dari pak Ilo. Kau bagaimana?

- Kan sudah keluar. Saya hanya C.

- Kan lumayan.

Semua kata-kata yang terdapat dalam dialog tersebut maupun frasa-frasa serta kalimat-

kalimatnya tidak ada yang asing. Tetapi jelas isi pembicaraan itu tidak kita pahami karena faktor-

faktor non kebahasaan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbahasa. Siapa

pembicara-pendengarnya? Semua hal tersebut belum diketahui karena konsep pembicaraan juga

masih tidak jelas, sehingga sulit untuk mengetahui maksud dari D, C, hal yang terakhir, dan

lain-lain.

Tiap-tiap tuturan dapat ditafsirkan dengan berbagai cara dan si pendengarlah yang menentukan

penafsiran itu yang sidasarkan atas pengetahuannya tentang yang terjadi ketika intraksi itu

Page 17: analisis wacana kelompok 1

terjadi. Penafsirannya mungkin saja tidak benar, disebabkan pengetahuannya tentang hal yang

dibicarakan itu tidak cukup. Selalu pula dikatakan bahwa si pembicara bebsa memilih kata-kata

yang dikehendakinya, begitu juga bebas memilh cara-cara penyampaian informasinya. Tetapi

sebenarnya tidaklah demikian. Kondisi, situasi, topik, dan lain-lain merupakan faktor-faktor yang

mengharuskan si pembicara memakai kata-kata, frasa-frasa, maupun kalimat-kalimat tertentu,

supaya informasi yang disampaikan dapat dengan mudah dicerna oleh si pendengar, atau supaya

dialog dapat berjalan dengan lancar.

Dalam menghadapi orang yang lebih tua atau seorang atasan, tidak mungkin si penutur memakai

kata ganti ‘anda’ untuk penyapaan karena dengan demikian si penutur dianggap sebagai orang

yang tidak tahu sopan santun. Begitu juga orang tidak akan memakai kalimat perintah bila ia

menghendaki supaya teman sejawatnya datang lebih cepat dari yang biasa untuk suatu keperluan.

Si penutur akan menggunakan kalimat ‘permohonan’ dengan memakai kata-kata atau frasa ‘saya

harap’. Dengan demikian akan dianggap sebagai orang yang mengetahui sopan santun.

Dengan adanya hal-hal di atas akan timbullah berbagai varian berbahasa yang terlihat baik

sebagai individual dan kelompok. Pemakaian bahasa secara individual yang disebut sebagai

idiolek akan terlihat pada pemakaian kata-kata tertentu, kalimat-kalimat maupun intonasi yang

khusus. Pemakaian varian berbahasa secara kelompok yang dinamakan dengan dialek

mempunyai kekhususan tertentu pula yang dipakai pada masyarakat tertentu dan tidak terdapat

pada masyarakat yang lain.

Kembali kepada persoalan penguasaan bahasa. Apakah yang dimaksud dengan penguasaan itu?

Apakah kalau kita telah mengetahui arti kata-kata 62000 yang terdapat dalam kamus bahasa

Indonesia telah dapat dikatakan dapat berbahasa Indonesia? Apakah begitu juga dengan

Page 18: analisis wacana kelompok 1

penguasaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, dan negara lain? Membeli

kamus bahasa Inggris, kemudian menghapal kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang terdapat di

dalamnya beserta artinya, tidak berarti kita sudah menguasi bahasa Inggris. Ribuan kata yang

telah kita kuasai belum berarti kita telah dapat membuat sebuah kalimat yang benar.

Menguasai sebuah bahasa berarti sanggup merangkai kata-kata itu menjadi frasa dan merangkai

frasa-frasa itu menjadi kalimat. Lagi pula tidak ada kamus yang menuliskan kalimat secara

lengkap. Menguasi bahasa berarti sanggup menghasilkan kalimat-kalimat yang belum pernah

diucapkan sebelumnya dam memahami kalimat-kalimat yang belum pernah didengar

sebelumnya. Noam Chomsky mengatakan bahwa hal itu adalah aspek kreatif penggunaan

bahasa, hal ini merupakan cakupan dari aliran transformasional yang secara jelas diungkapkan

dalam lima rincian, yakni:

1. Bahasa merupakan satu produk kebudayaan yang kreatif manusiawi

2. Bahasa bukan merupakan rekaman tingkah laku luar yang berupa bunyi yang dapat

didengar, melainkan bahasa merupakan satu proses mentalistik yang kelak kemudian

dilahirkan dalam bentuk luar bunyi bahasa yang didengar atau kelak dimanifestasikan

dalam bentuk tulis

3. Bahasa merupakan satu proses produktif, sehingga metode analisis bahasa harus bersifat

deduktif

4. Formalisasi matematis dapat juga dikenakan pada formalisasi sistem produktif bahasa

5. Analisis bahasa tidak dapat dilepaskan dari hakikat bahasa yang utuh yakni bunyi dan

makna.

Page 19: analisis wacana kelompok 1

Penggunaan aspek kreatif dalam penggunaan bahasa sangat menunjang pengoptimalan dalam

menguasai suatu bahasa, penutur juga tentunya dapat membedakan pemakaian bahasa yang tepat

dan yang belum tepat. Juga dengan menguasai bahasa secara kreatif, penutur bahasa dapat

membuat kalimat yang tidak terkira panjangnya, dengan memberi keterangan-keterangan kepada

unsur-unsur kalimat yang mula-mula, kemudian memberikan lagi keterangan pada unsur-unsur

kalimat yang ditambahkan itu dan seterusnya.

Sebenarnya setiap orang telah memahami atau mempelajari sistem bahasa itu – bunyinya,

strukturnya, artinya, katanya, dan aturan menyusunnya tanpa guru yang mengajarkannya dan

tanpa disadari penutur telah mempelajari seluruhnya.

Penutur menggunakan kalimat-kalimat sesuai dengan aturan bahasa itu (gramatikal). Oleh sebab

itulah maka penutur katakan bahwa mereka tahu tatabahasa yang digunakan. Pakar bahasa hanya

menggambarkan aturan bahasa itu dan aturan itu tidak mengajarkan kita cara berbicara. Tata

bahasa itu hanya menggambarkan pengetahuan penutur tentang bahasa itu dan hanya

menerangkan cara penutur berbicara, memahami dan menerangkan tentang pengetahuan penutur

mengenai bunyi-bunyi, kata-kata, frasa-frasa, dan kalimat, semua hal itu tidak mengajarkan cara

berbicara. Jadi, seorang penutur mampu berbicara memang atas dasar aspek non kebahasaan

yaitu dapat berupa kepentingan lain yang mengaruskan dia memahami secara sadar maupun

tidak.

1.4 Tindak Bahasa

Tindak bahasa atau tidak berbahasa dilakukan sejak bangun pagi hingga kembali tidur setelah

beraktivitas dalam satu hari. Sadar maupun tidak, semua penutur bahasa telah mengucapkan

ribuan kalimat selama ± 17 jam setiap hari.

Page 20: analisis wacana kelompok 1

Penutur bahasa mungkin saja tidak pernah berpikir cara terjadinya kalimat-kalimat yang

diucapkan, alasan yang membuat penutur menggunakan kalimat tertentu dalam suatu konteks

pembicaraan, cara kalimat itu dapat diterima oleh pendengar, cara si pendengar mampu

memahami setiap kalimat yang telah dikemukakan oleh pembicara dan kemudian dapat

memberikan respon, sehingga terjadi dialog panjang hingga berjam-jam lamanya.

Orang menyadari bahwa sukar sekali memisahkan antara makna bahasa dari penggunaannya

dalam aliran yang disebut ‘logical positivism’ oleh Wittgenstein. Pandangan ini mengungkapkan

bahwa ungkapan-ungkapan dapat dipahami hanyalah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan

yang menjadi konteks ungkapan itu.

Kegiatan-kegiatan seperti ungkapan-ungkapan dikombinasikan dengan kegiatan (aksi) yang lain

untuk membentuk sebuah kumpulan kegiatan. Kegiatan-kegiatan ini pun seperti ungkapan-

ungkapan juga yang mempunyai kegiatan inti, kegiatan sampingan, dan kegiatan tambahan. Jadi

seperti ungkapan-ungkapan dalam berbahasa, demikian juga kegiatan-kegiatan ada yang jadi

pokok, ada yang jadi pelengkap, dan ada pula yang menjadi sampingan saja.

Saat seseorang merencanakan akan berangkat ke Jakarta. Jdai berangkat ke Jakarta adalah pokok

kegiatan yang harus ditopang oleh kegiatan-kegiatan lain supaya kegiatan utama dapat berjalan

dengan lancar. Kegiatan-kegiatan yang lain itu ditentukan oleh faktor-faktor yang banyak.

Terkadang kegiatan itu direncanakan dan mungkin saja ada kegiatan yang harus kita lakukan

secara mendadak.

Jika dirumuskan dalam rincian kegiatan-kegiatan yang kegiatan pokoknya adalah ‘berangkat ke

Jakarta’ akan terlihat sebagai berikut:

1. Menyiapkan berkas-berkas dan pakaian yang akan dibawa.

Page 21: analisis wacana kelompok 1

2. Pergi membeli tiket kapal terbang jika menggunakan kapal terbang dan membeli tiket bus

jika mengunakan bus.

3. Membeli oleh-oleh sebagai bawaan ke Jakarta atau novel yang akan dibaca pada saat di

perjalanan hingga sampai ke tujuan.

4. Pada tanggal keberangkatan, pergi ke bandara (jika menggunakan kapal terbang), pergi

ke terminal (jika menggunakan bus), kemudian melakukan serangkaian prosedur

keberangkatan.

5. Berangkat ke Jakarta.

Secara garis besar, itulah kegiatan yang dilakukan sampai tahap keberangkatan ke Jakarta.

Kegiatan-kegiatan sampingan adalah kegiatan nomor 1-4.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan-kegiatan itu tersusun seagai suatu struktur

yang lengkap, memiliki hal inti dan ada pula hal yang melengkapi. Pakar-pakar bahasa

mengatakan bahwa rencana yang digambarkan itu adalah struktur makronya yaitu mulai dari

persiapan pertama sampai kembalinya dari perjalanan itu. Sama dengan kegiatan-kegiatan itu

maka berkomunikasipun sebagai tindak bahasa ada yang bersifat makro dan ada yang bersifat

mikro. Struktur interaksi komunikasi perorangan bersifat mikro dan struktur interaksi

komunikasi secara keseluruhan disebut dengan makro.

Teun A. Van Dijk mengatakan sebagai berikut:

Thus, in the same way as we made a distination between the micro-semantics and the macro-

semantics of discourse, it seems necessary to distinguish the structure of individual speech acts

and the lineer structure of speech act sequences on the one hand and the global overall structure

of communicative interaction on the other hand. (1986:232).

Page 22: analisis wacana kelompok 1

Teori tindak bahasa seperti yang telah tertulis di atas berkembang dan ini dimajukan oleh J.L.

Austin yang mengatakan bahwa secara analitis dapat dipisahkan tiga macam tindak bahasa yang

terjadi secara serentak:

1. Tindak ‘lokusi’ (Lecutionary act) yang mengaitkan suatu topic dengan satu keterangan

dalam suatu ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’

dan penjelasan dalam sintaksis: dalam bahasa Inggris subject-predicate dan topic

comment ini disebut juga proporsional act (Searle).

2. Tindak ‘ilokusi’ (Ilecutionary act), yaitu pengucapan suatu pernyataan, tawaran, jadi

pertanyaan, dan sebagainya. Ini erat buhungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang

mewujudkan suatu ungkapan.

3. Tindak ‘perlokusi’ (Perlecutionary act), yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh

ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu.

(Nababan: 1989, 18)

Dalam ilmu bahasa dapat disamakn tindak lokusi dengan ‘predikasi’, tindak ilokusi dengan

‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan akibat suatu ungkapan atau dengan kata lain dapat

dikatakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat itu, ilokusi sebagai daya yang

ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain, dan

perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya.

Kalimat: nilai rapormu bagus sekali.

Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai rapor itu bagus (makna dasar). Dari

segi ilokusi, bisa berarti pujian atau ejekan. Pujian kalau memang nilai itu bagus dan ejekan

kalau memang tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat si pendengar itu menjadi sedih

Page 23: analisis wacana kelompok 1

(muram) dan sebaliknya dapat mengucapkan terima kasih. Ucapan yang tidak langsung itu tidak

menyatakan pujian atau ejekan, tapi mengharuskan si pendengar mengolahnya, sehingga makna

yang sebenarnya dapat ditentukan. Hal ini dapat diketahui dari kaidah perbincangan.

Jadi, kalimat:

Nilai rapormu bagus sekali bermakna dasar, sebuah rapot bernilai bagus. Prinsip koperatifnya di

sini dijalankan karena si pembicara menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi

evaluatifnya dapat dikatakan sebagai berikut: Si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang

dan jelas dan ini biasanya mempunyai makna di baliknya.

Kita ketahui bahwa kebanyakan bangsa Indonesia kurang suka memakai ungkapan langsung dan

oleh sebab itulah begitu banyaknya pepatah-petitih di dalam bahasa Indonesia untuk

mengelakkan ungkapan langsung tersebut. Umpamanya pada pada saat seseorang mengatakan

bahwa “bayi itu sehat sekali”, tetapi pada kenyataannya, hal yang ingin disampaikan adalah

“buruk benar badan bayi itu”. Pada contoh tersebut terlihat bahwa seseorang lebih sering

memberi penilaian kebalikan dari yang sebenarnya seperti perkataan ‘buruk’ dan andai kata bayi

itu memang tidak sehat, penutur akan memilih kata-kata yang tidak menyatakan langsung

tentang keadaan bayi itu. Mungkin kita akan mengatakan “bayimu kelihatan sehat”.

Contoh lain tentang ungkapan tak langsung adalah seperti berikut:

Jika seseorang – ibu rumah tangga umpamanya melihat ruang sebauh kamar kotor dan ia ingin

menyuruh anaknya membersihkannya, mungkin ia akan mengatakan:

1. Sudah tiga minggu kamar ini tidak dibersihkan.

2. Bagus kalau kamar ini dibersihkan.

Page 24: analisis wacana kelompok 1

3. Bagaimana menurutmu kalau kamar ini dibersihkan?

4. Siapalah yang dapat membersihkan kamar ini.

5. Kalau kamar ini bersih, bagus kelihatan.

6. Kamar ini kotor sekali ya?

7. Aduh, bersihnya kamar ini.

Ketujuh ungkapan ini sebenarnya mempunyai daya ilokusi menyeluruh untuk membersihkannya

dan akan memberikan daya perlokusi, si anak akan mengambil sapu dan membersihkannya.

Lebih jelas ungkapan tidak langsung itu adalah dalam jawaban seseorang terhadap undangan

teman. Sebenarnya kita tidak mungkin datang tetapi untuk mengatakannya terus terang kita

merasa kurang sopan. Sebab itu kita pilihlah salah satu kalimat di bawah ini:

- Saya harap kau datang besok.

- Insya Allah.

- Kalau tak ada halangan.

- Jika tak lupa.

- Baik, kalau tak repot.

- Kalau ada waktu.

- Kalau ada kesempatan.

Kalau tidak mengatakan: Maaf, saya tak bisa datang, karena takut teman merasa tidak enak

terhadap kita atau merasa tersinggung. Kaidah perbincangan untuk menentukan makna ungkapan

itu adalah sebagai berikut:

1. Penentuan makna dasar dari ucapan itu

2. Penentuan implikaturnya yang terdiri dari penentuan:

Page 25: analisis wacana kelompok 1

a. Penganutan prinsip ke-operatifnya

b. Nilai evaluatifnya

c. Kemungkinan kesimpulannya

(Searle 1975 dan Frazer 1975)

1.5 Penganalisisan Wacana

Jika kita menerima pembedaan antara dua pendekatan yang berbeda pada pencarian tatanan dan

regularitas dalam bahasa, tidaklah tepat menganggap pendekatan kedua, analisis wacana sebagai

sesuatu yang sepenuhnya baru, tanpa asal usul apapun dalam kajian bahasa di masa lalu. Para

mahasiswa bahasa di tradisi barat, para sarjana Yunani dan Romawi juga sadar atas pendekatan

yang berbeda itu dan memisahkan tata bahasa (grammar) dengan retorika, tata bahasa

(grammar) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah bahasa sebagai objek tersendiri, dan retorika

berurutan dengan bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata, mencapai efek dan

berkomunikasi secara gemilang dengan orang-orang dalam konteks tertentu. Ironisnya, beberapa

aliran analisis wacana yang seringkali dianggap sebagai salah satu disiplin ilmu terbaru dalam

kajian bahasa, menggunakan istilah-istilah dari retorika klasik, salah satu kajian yang tertua.

            Di sepanjang sejarah selalu ada kajian-kajian bahasa dalam konteks dalam berbagai

selubung. Dalam linguistik abad ke dua puluh, dalam linguistik kalimat juga ada pendekatan

yang sangat berpengaruh yang mengkaji bahasa dalam konteksnya yang penuh, sebagai bagian

masyarakat dan dunia. Di Amerika Utara, dalam dekade awal abad ini, kerja yang menarik di

bidang bahasa dilakukan oleh orang-orang yang merupakan ahli antropologi dan ahli bahasa. Di

Inggris, tradisi serupa berkembang dalam karya Firt yang memandang bahasa bukan sebagai

sistem yang otomatis, namun sebagai bagian budaya yang sangat tanggap terhadap lingkungan.

Tradisi-tradisi tersebut memiliki banyak wawasan yang ditawarkan pada analisis wacana. Selain

Page 26: analisis wacana kelompok 1

itu, terdapat banyak disiplin ilmu yang lain -- filsafat, psikologi, psikiatri, sosiologi, dan

antropologi. Kecerdasan tiruan, kajian media, kajian sastra -- yang sering kali meneliti objek

kajiannya: jiwa, masyarakat, budaya-budaya lain, komputer, media, karya sastra melalui bahasa

dan dengan demikian mereka sedang melaksanakan analisis wacananya sendiri, sering kali

merupakan yang terbaik.

            Keterlibatan disiplin-disiplin ilmu yang berbeda ini bisa sangat membingungkan dan

tampaknya menyatakan bahwa analisis wacana sama sekali bukanlah aktivitas yang terpisah,

namun merupakan pencarian bahaya timbulnya penguapan pada ilmu-ilmu yang lain. Mungkin

pembedaan yang paling berguna adalah menganggap disiplin-disiplin ilmu yang lain itu sebagai

upaya mengkaji sesuatu yang lain melalui wacana: sebaiknya analisis wacana memiliki wacana

sebagai objek utama kajian, dan meski bisa membawa ke arah kajian di banyak bidang yang

berbeda, dia selalu kembali pada perhatian utamanya.

            Ironisnya, linguis kalimatlah yang menentukan istilah “analisis wacana” dan

memprakarsai pencarian kaidah-kaidah bahasa yang menjelaskan bagaimana kaitan kalimat-

kalimat dalam suatu teks dengan tata bahasa (grammar) yang diperluas. Linguis tersebut adalah

Zellig Harris. Pada tahun 1952, dalam artikelnya berjudul “Analisis Wacana” dia menganalisis

iklan untuk topik rambut -- di situ dia menghilangkan nama merk – dan mulai mencari kaidah-

kaidah gramatikal untuk menjelaskan mengapa satu kalimat mengikuti kalimat yang lain

( untungnya bagi dia, setiap kalimat dalam iklan itu gramatikalnya bagus). Rincian analisisnya

bukan menjadi pokok perhatian kita: namun kesimpulan-kesimpulannya sangat menarik. Di awal

artikel ini, dia mengamati bahwa ada kemungkinan arah bagi analisis wacana. Satu arahnya

adalah “ Meneruskan linguistik deskriptif di luar batas-batas kalimat tunggal di setiap waktu”.

Inilah apa yang dia ingin dia capai. Arah yang kedua adalah: “Mengkorelasikan budaya dan

Page 27: analisis wacana kelompok 1

bahasa (yakni perilaku linguistik dannon linguistik). Sebagai linguis kaliat, itulah yang tidak

dianggap sebagai minatnya. Namun dengan mempertimbangkan dua pilihan itu, di akhir artikel

itu, dia menyimpulkan: “……dalam setiap bahasa, ternyata bahwa hampir semua hasilnya

terdapat dalam regangan yang relatif pendek yang bisa kita sebut kalimat. ….. hanya saja kita

jarang bisa menyatakan kleterbatasan-keterbatasan dalam kalimat-kalimat.

            Jika kita harus menemukan jawaban atas masalah apa yang memberi jenis-jenis bahasa

keutuhan dan makna, kita bisa memandang di luar kaidah-kaidah formal yang bekerja dalam

kalimat-kalimat dan mempertimbangkan orang-orang yang menggunakan bahasa dan orang-

orang yang menggunakan bahasa dan juga terjadinya bahasa itu. Namun sebelum kita

melakukannya, juga perlu disimnak seberapa jauh kaidah-kaidah linguistik yang formal dan

murni itu digunakan dalam menjelaskan cara keberhasilan satu kalimat dalam mendampingi

kalimat lain. Inilah bidang inquiri katya berikutnya.

Analisis Wacana sebagai Disiplin Ilmu

            Analisis Wacana (discourse analysis) dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sudah

lama maupun perkembangannya masih dianggap baru. Asal usul analisis wacana dapat ditelusuri

hingga 2000 tahun yang lalu dalam kajian kesusastraan dan pidato-pidato. Salah satu disiplin

ilmu yang menonjol pada saat itu ialah retorika klasik (clasical rhetoric), yaitu seni berbicara

yang baik, termasuk merencanakan, menyusun, dan menyajikan pidato umum dalam bidang

politik maupun hukum (Dijk, 1988).

            Asal usul analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Pada waktu

itu di Perancis diterbitkan analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis

foto-foto media cetak. Meskipun latar belakang, tujuan, dan metode analisis itu masih beragam,

Page 28: analisis wacana kelompok 1

banyaknya minat dalam kajian bidang kebahasaan secara luas itu akhirnya membentuk benang

merah yang menjadikan wujud analisis wacana menjadi lebih utuh. Bersama dengan itu di

Amerika Serikat Dell Haymes menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu

language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu

didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistik dan strukturalis

(structural linguistics) dan antropologi yang menekankan analisis pemakaian bahasa, bentuk

wacana, dan bentuk komunikasi. Karya-karya lain yang mengawali munculnya analisis wacana

juga terbit pada dasawarsa 1960-an.

            Pengamatan gejala perkembangan analisis wacana itu membuahkan beberapa

kesimpulan. Pertama, pada mulanya analisis wacana merupakan kajian kebahasaan struktural

dan deskriptif dalam batas-batas linguistik dan antropologi. Kedua, kajian pada tahun awal-awal

itu lebih mengarah ke analisis ragam wacana populer, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng, dan

bentuk-bentuk interaksi ritual. Ketiga, analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu

dipisakan dari paradigma gramatika transformasi generatif yang juga berpengaruh sebagai

metode analisis bahasa pada waktu itu (Dijk, 1988).

            Kalau dasawarsa 1960-an merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan

peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an memantapkan perkembangan analisis wacana yang

sistematis sebagai bidang kajian tersendiri dengan dasar beberapa disiplin ilmu. Perkembangan

itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disertai dengan perkembangan aspek-aspek lain.

            Perkembangan pertama ialah perkembangan teoretis dan metodologis. Teori dan

metodologi dalam analisis wacana juga dipengarui oleh perubahan paradigma dalam kajian

bahasa. Misalnya, sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-

karya Joshua Fishman. Pada tahun 1972, Labov menerbitkan hasil penelitiannya tentang

Page 29: analisis wacana kelompok 1

pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit kulit hitam yang menurut analisis bentuk

percakapan antarremaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang.

Perkembangan kedua yang cukup penting pada dasawarsa 1970-an ialah penemuan linguistik

karya filsuf Austin, Grice, dan Searle mengenai tindak bahasa (speech acts). Berbeda dengan

sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks sosial, pendekatan itu

memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan

sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu juga dapat mengemban fungsi,

yaitu fungsi ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan atau evaluasi penutur,

atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang dapat dianalisis bukan

saja hakikat konteks tetapi juga hubungan antara ujaran sebagai objek linguistik abstrak dan

ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Dimensi baru itu menambah orientasi

pragmatik pada komponen teoretis bahasa.

            Perkembangan ketiga, dalam kerangka teori gramatika itu sendiri seringkali diutarakan

bahwa gramatika hendaknya jangan hanya memberikan penjelasan kalimat-kalimat lepas. Kajian

pronomina dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan komentar, dan struktur

semantik secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji

dalam linguistik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan

kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks

dan wacana.

            Kehadiran pendekatan baru itu melengkapi perhatian yang besar saat itu pada jenis-jenis

wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Pemakainan bahasa secara spontan dan

alamiah itu berwujud percakapan dan bentuk-bentk dialog dalam situasi sosial. Orang menjadi

tidak saja mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara tak langsung, tetapi juga kaidah-kaidah

Page 30: analisis wacana kelompok 1

alih giliran (turn-taking) dalam percakapan. Pendekatan itu menjadi pendekatan pertama yang

mengkaji struktur kalimat dan gramatika interaksi verbal. Oleh karena itu, pendekata itu tidak

saja menambah dimensi baru dalam pengkajian struktur wacana monolog yang sudah banyak

diminati pada waktu itu, tetapi juga memungkinkan pengkajian pemakaian bahasa sebagai

bentuk interaksi sosial, sebagaimana yang telah dilakukan pragmatik dan teori tindak bahasa

dalam istilah yang lebih formal dan filosofis. Analisis itu akhirnya berkembang pula ke analisis

percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Dengan berkembangnya penelitian etnografi

tentang peristiwa komunikasi yang disebut dengan etnografi komunikasi (ethnography of

communication), ruang lingkup analisis wacana menjadi lebih berkembang. Analisis wacana

tidak saja berhenti pada analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi ritual, tetapi juga menangani

berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita spontan,

pertemuan formal, perdebatan, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain.

Analisis Wacana Struktural

            Analisis wacana secara struktural berusaha mencari konstituen-konsituen (satuan

linguistik yang lebih kecil) yang memiliki keterkaitan khusus satu sama lain dan yang muncul

pada sejumlah pengaturan terbatas (seringkali berupa kaidah yang diatur). Pada kebanyakan

pendekatan struktural, wacana dipandang sebagai suatu tingkat struktur yang lebih tinggi dari

kalimat, atau satuan teks yang lain. Harris (1951), ahli bahasa pertama yang memakai istilah

analisis wacana, secara terang-terangan mengklaim bahwa wacana adalah tingkat lanjutan dalam

hierarki morfem, klausa, dan kalimat.

Kelemahan Pandangan Wacana di Atas Kalimat

Page 31: analisis wacana kelompok 1

            Ada beberapa akar permasalahan yang disebabkan oleh ketergantungan definisi dan

analisis pada satuan kalimat yang lebih kecil. Sebuah permaalahan yang langsung timbul adalah

bahwa satuan-satuan yang diucapkan oleh penutur tidak tampak sebagai kalimat. Penelitian yang

dilakukan oleh Chafe (1980, 1987, 1992) misalnya, mengemukakan bahwa bahasa ucap

dihasilkan dalam satuan-satuan akhiran intonasional dan semantik, bukannya kahiransintaksis

(Schiffrin, 1994:25).

Wacana sebagai Text-Sentence

            Salah satu cara untuk mengatasi sejumlah masalah yang baru saja dikemukakan adalah

dengan mengadopsi pembedaan Lyon (1977) antara system-sentence dengan text-sentence.

System-sentence adalah berbagai jalinan yang bagus yang dihasilkan oleh tata bahasa, misalnya

berupa konstruk-kontruk teoretis abstrak yang menghubungkan apa yang dihasilkan dari model

sistem bahasa para ahli bahasa. Sebaliknya, text-sentence merupakan petanda-petanda ujaran

(atau bagian-bagian dari petanda-petanda ujaran) yang bergantung pada konteks yang mungkin

terjadi pada teks-teks tertentu. Pembedaan Lyon memungkinkan wacana diuraikan atas beberapa

text-sentence dari system-sentence