Upload
anggarani-nia
View
90
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Anatomi
Citation preview
A. Anatomi dan Fisiologi Testis
Testis merupakan sepasang struktur organ yang berbentuk oval dengan ukuran 4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20g.
Terletak didalam scrotum dengan axis panjang pada sumbu vertikal dan biasanya testis kiri terletak lebih rendah
dibanding kanan. Testis diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3 anterior kecuali pada sisi dorsal dimana terdapat
epididymis dan pedikel vaskuler. Sedangkan epididymis merupakan organ yang berbentuk kurva yang terletak
disekeliling bagian dorsal dari testis. Suplai darah arteri pada testis dan epididymis berasal dari arteri renalis (Kusbiantoro,
2007).
Testis bagian dalam terbagi atas lobules yang terdiri dari tubulus seminiferus, sel-sel Sertoli, dan sel-sel Leydig. Produksi
sperma, atau spermatogenesis, terjadi pada tubulus seminiferus. Sel-sel Leydig mensekresi testosterone. Epididimis,
bagian kepalanya berhubungan dengan duktus seminiferus, dan bagian ekornya terus melanjut ke vas deferens. Vas
deferens adalah duktus ekskretorius testis yang membentang hingga ke duktus vesikula seminalis, kemudian bergabung
membentuk duktus ejakulatorius. Duktus ejakulatorius kemudian bergabung dengan uretra (Wilson & Hillegas, 2006).
Pada perkembangannya, testis mengalami desensus dari posisi asalnya di dekat ginjal menuju scrotum. Terdapat beberapa
mekanisme yang menjelaskan mengenai proses ini antara lain adanya tarikan gubernakulum dan tekanan intraabdominal.
Faktor endokrine dan axis hypothalamus-pituitary-testis juga berperan dalam proses desensus testis. Antara minggu ke12
dan 17 kehamilan, testis mengalami migrasi transabdominal menuju lokasi didekat cincin inguinal interna (Kusbiantoro,
2007).
Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis dapat digerakkan mendekati rongga abdomen untuk
mempertahankan temperature testis agar tetap stabil dan ideal, yaitu 2°C dibawah suhu bagian dalam tubuh. Peningkatan
suhu pada testis dapat mencegah spermatogenesis dengan menyebabkan degenerasi sebagian besar sel-sel tubulus
seminiferus selain spermatogonia. Pada cuaca yang dingin, reflex skrotum menarik testis mendekati tubuh untuk
mempertahankan perbedaan 2°C tersebut (Purnomo, 2000; Guyton & Hall, 2007).
B. Etiologi dan Patogenesis
Adanya kelainan system penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan.
Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak
(seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma
yang mengenai skrotum (Purnomo, 2000). Dikatakan pula bahwa spasme dan kontraksi dari otot kremaster dan tunica
dartos bias pula menjadi factor pencetus (Kusbiantoro, 2007). Faktor predisposis lain terjadinya torsio meliputi
peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak horisontal, riwayat
kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006).
Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio timbul ketika seseorang sedang tidur karena
spasme otot kremaster. Kontraksi otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis kanan
berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan
iskemia testis (Wilson & Hillegas, 2006). Pada akhirnya, testis akan mengalami nekrosis (Purnomo, 2000).
C. Patofisiologi
Terdapat 2 jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu intravagina dan ekstravagina torsio. Torsio intravagina
terjadi di dalam tunika vaginalis dan disebabkan oleh karena abnormalitas dari tunika pada spermatic cord di dalam
scrotum. Secara normal, fiksasi posterior dari epididymis dan investment yang tidak komplet dari epididymis dan testis
posterior oleh tunika vaginalis memfiksasi testis pada sisi posterior dari scrotum. Kegagalan fiksasi yang tepat dari tunika
ini menimbulkan gambaran bentuk ‘bell-clapper’ deformitas, dan keadaan ini menyebabkan testis mengalami rotasi pada
cord sehingga potensial terjadi torsio. Torsio ini lebih sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda (Kusbiantoro,
2007).
Ekstravagina torsio terjadi bila seluruh testis dan tunika terpuntir pada axis vertical sebagai akibat dari fiksasi yang tidak
komplet atau non fiksasi dari gubernakulum terhadap dinding scrotum, sehingga menyebabkan rotasi yang bebas di dalam
scrotum. Kelainan ini sering terjadi pada neonatus dan pada kondisi undesensus testis (Kusbiantoro, 2007).
D. Manifestasi Klinis
Nyeri akut pada daerah testis disebabkan oleh torsio testis, epididimitis/orchitis akut atau trauma pada testis. Nyeri ini
seringkali dirasakan hingga ke daerah abdomen sehingga dikacaukan dengan nyeri karena kelainan organ intraabdominal.
Sedangkan nyeri tumpul disekitar testis dapat disebabkan karena varikokel (Purnomo, 2000).
Pada torsio testis, pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan diikuti pembengkakan
pada testis. Keadaan itu disebut akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah sehingga
jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut (Purnomo, 2000). Gejala lain yang juga dapat muncul
adalah mual dan muntah, kadang-kadang disertai demam ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah
rasa panas dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-epididymitis (Wilson & Hillegas,
2006; Leape, 1990).
E. Pemeriksaan Fisik
Pada torsio testis didapatkan testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi
kontralateral. Kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi dapat diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus
spermatikus. Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan demam (Purnomo, 2000). Pada saat permulaan epididimis masih
teraba tapi tidak dalam posisi normal (Alif, 1994).
Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan tampak hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotum sisi
kontralateral. Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri
serta tampak lebih besar bila dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh karena adanya kongesti vena. Testis juga
tampak lebih tinggi di dalam scotum disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan
pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis
(Prehn sign) (Kusbiantoro, 2007).
Pemeriksaan fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya refleks cremaster. Dalam satu literatur disebutkan
bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 99% pada torsio testis (Ringdahl & Teague, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis torsio testis masih meragukan atau bila pasien
tidak menunjukkan bukti klinis yang nyata (Minevich, 2007; Ringdahl & Teague, 2006).
Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine dan pemeriksaan darah yang tidak
menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami keradangan steril
(Purnomo, 2000). Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat membedakan proses inflamasi
sebagai penyebab akut scrotum (Rupp, 2006).
Madsen menganjurkan memeriksa cairan prostat untuk membedakan epididimitis dari torsio testis. Dari 50 kasus
epididimitis yang belum memperoleh antibiotika, dia mendapatkan cairan prostatnya penuh dengan lekosit, sedangkan
dari 6 kasus torsio testis dia hanya mendapatkan <>
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis dengan keadaan akut skrotum yang lain adalah
dengan memakai stetoskop Doppler, USG Doppler dan sintigrafi testis yang kesemuanya bertujuan menilai adanya aliran
darah ke testis. Pada torsio testis tidak didapatkan adanya aliran darah ke testis sedangkan pada keradangan akut testis,
terjadi peningkatan aliran darah ke testis (Purnomo, 2000).
G. Diagnosis Banding
Akut skrotum adalah keadaan-keadaan dimana didapatkan adanya nyeri mendadak yang hebat di dalam skrotum dan
seringkali disertai pembengkakan dari isi skrotum. Keadaan ini memerlukan penanganan yang cepat dan tepat karena
beberapa penyebab dari akut skrotum ini adalah problem vaskular sehingga prognosanya sangat dipengaruhi oleh lamanya
gangguan vaskular tersebut berlangsung. Dari pengamatan selama tahun 1993 di IGD RSUD Dr. Soetomo, dari 85 kasus
akut skrotum diagnosa yang didapatkan terdiri dari 34 torsio testis dan 51 epididimitis. Dari 34 torsio testis tersebut 1
diantaranya diagnosa preoperasinya hernia inguinalis lateralis inkarserata. Jadi diferensial diagnosa yang harus
dipertimbangkan dalam menangani akut skrotum adalah: 1) Torsio testis; 2) Epididimitis; 3) Hernia inkarserata; 4) Torsio
apendik testis; 5) Torsio apendik epididimis; dan 6) Tumor testis (Alif, 1994).
Tidak adanya keluhan traktus urinarius dan urinalisis yang normal pada torsio testis banyak ditekankan oleh para
ahli (Alif, 1994).
Epididimitis akut
Secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri skrotum akut, biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh,
keluarnya nanah dari uretra, ada riwayat coitus suspectus (dugaan melakukan coitus dengan bukan istrinya), atau pernah
menjalani kateterisasi uretra sebelumnya (Purnomo, 2000).
Jika dilakukan elevasi testis, pada epididimitis akut terkadang nyeri akan berkurang tetapi pada torsio testis nyeri tetap ada
(tanda dari Prehn). Pasien epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan sedimen urin
didapatkan adanya lekosituria atau bakteriuria (Purnomo, 2000).
Torsio testis Epididimitis
Umur <30> Semua umur
Onset Mendadak Pelan-pelan
Nyeri + +
Bengkak + +
Letak Lebih tinggi Normal
Posisi testis Horizontal Vertical
Letak epididimis Tak tentu Posterolateral
Febris +/- +/-
Lekositosis +/- +/-
Lekosituria (-) (+)
(Alif, 1994).
Hernia scrotalis inkarserata
Didahului dengan anamnesis, biasanya didapatkan benjolan yang dapat keluar masuk kedalam skrotum (Purnomo, 2000).
Hidrokel terinfeksi
Dengan anamnesis sebelumnya, sudah ada benjolan di dalam skrotum (Purnomo, 2000).
Tumor testis
Benjolan tidak dirasakan nyeri kecuali terjadi perdarahan di dalam testis (Purnomo, 2000).
Edema skrotum
Dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya pembuntuan saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau
kelainan-kelainan yang tidak diketahui sebabnya (idiopatik) (Purnomo, 2000).
H. Penatalaksanaan
Detorsi manual
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, dengan jalan memutar testis kearah berlawanan dengan
arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke medial maka dianjurkan untuk memutar testis kearah lateral dahulu, kemudian
jika tidak terjadi perubahan, dicoba detorsi kearah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi
telah berhasil. Jika detorsi berhasil, operasi harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2000).
Operasi
Dilakukan untuk reposisi dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang mengalami torsio masih viable (hidup)
atau sudah mengalami nekrosis. Jika testis masih hidup, dilakukan orchidopeksi (fiksasi testis) pada tunika
dartos kemudian disusul orchidopeksi pada testis kontralateral (Purnomo, 2000).
Cara orchidopeksi adalah dengan memasang 3 jahitan antara tunika albuginea dan tunika Dartos dengan mempergunakan
bahan yang tidak diserap misalnya sutera. Tamil melaporkan terjadinya torsio testis kontra lateral 5 tahun setelah
orchidopeksi mempergunakan "chromic catgut". Sedangkan Kuntze melaporkan 2 kasus torsio pada testis yang telah di
fiksasi dengan "chromic catgut" (Alif, 1994). Orchidopeksi dilakukan untuk mencegah agar testis tidak terpuntir kembali
(Purnomo, 2000).
Sedangkan pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orchidektomi) dan kemudian
disusul orchidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam
skrotum akan merangsang terbentuknya antibody antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas di kemudian hari
(Purnomo, 2000).
I. Prognosis dan Komplikasi
Torsio testis seringkali mengalami reposisi spontan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya penderita yang
mempunyai riwayat serangan yang sama pada masa sebelumnya dan sembuh dengan sendirinya (Alif, 1994). Terdapat
waktu 4 hingga 8 jam periode jendela dari onset gejela klinis torsio hingga intervensi bedah diperlukan untuk
menyelamatkan testis yang mengalami torsio (Mansbach et.al, 2005).
Testis yang pernah mengalami torsio, trauma, serta didapatkannya varikokel atau kriptorkismus dapat mempengaruhi
spermatogenesis. Disamping itu torsio atau trauma pada testis dapat menyebabkan reaksi imunitas testis akibat
rusaknyablood testis barrier (Purnomo, 2000).
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien yang berusia 16 tahun, merupakan prevalensi tertinggi dari kasus torsio testis. Hal ini mungkin dapat dikarenakan
kegiatan remaja yang sangat aktif, misalnya dengan bermain sepakbola. Nyeri yang dirasakan meluas hingga
perut danterasa mulas, selain itu disertai muntah. Hal ini dikarenakan inervasi dari testis, yaitu plexus testicularis,
merupakan percabangan dari N. Thoracalis X-XII yang merupakan cabang dari ganglion coeliacum, yang juga merupakan
pangkal inervasi dari gaster. Plexus testicularis juga merupakan percabangan dari N. Lumbal I-II yang merupakan cabang
dari nervus genitofemoralis yang mempercabangkan ganglion mesenterica superior, yang juga menginervasi jejunum dan
ileum.
Tidak ada gangguan BAK dan masih bisa kentut memperkuat dugaan torsio testis, karena gangguan miksi yang terasa
panas dan terbakar lebih sering terjadi pada orchio-epididimitis. Selain itu, tidak adanya gangguan flatus menandakan
keluhan yang timbul tidak berasal dari traktus gastrointestinal.
Hasil dari pemeriksaan fisik semakin memperkuat penegakan diagnosis torsio testis. Scrotum kiri lebih sering mengalami
torsio, karena letak yang lebih rendah dengan funiculus spermaticus yang lebih panjang, sehingga scrotum kiri terlihat
lebih tinggi, posisi melintang, dan tampak lebih besar dibanding dengan scrotum kanan. Funiculus spermaticus
memuntir, dan bertambah pendek, sehingga scrotum kiri kemudian menjadi bertambah tinggi, dan berubah posisi menjadi
melintang. Warna scrotum kanan dengan kiri yang sama menunjukkan bahwa gangguan vascularisasi yang terjadi
mungkin belum menunjukkan tanda bahaya akibat iskemia jaringan, misalnya tampak berwarna biru. Begitu pula dengan
adanya nyeri yang menetap saat scrotum diangkat (tanda dari Prehn). Tidak ada pembengkakan pada daerah
inguinal menandakan tidak terdapatnya infeksi atau metastasis carcinoma di inguinal.
Tindakan operasi yang dimaksud harus cepat dilaksanakan, karena apabila lewat dari 6 jam sejak keluhan nyeri muncul,
maka akan terjadi nekrosis dari jaringan testis itu sendiri, sehingga dapat menyebabkan kemandulan di kemudian hari
jika operasi tidak segera dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alif, Sabilal. 1994. Akut Skrotum. Diakses April 23, 2010, 16:06 dihttp://www.urologi.or.id/pdf/JURI%20VOLL
%204%20NO.2%20TAHUN%201994_3.pdf
Andik, Kusbiantoro. 2007. Torsio Testis. Diakses April 24, 2010, 15:36,
dihttp://bedahunair.hostzi.com/web_documents/torsio_testis.doc
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Leape.L.L . 1990. Testicular Torsion. In : Ashcraft.K.W (ed), Pediatric Urology,; Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Mansbach, J.M. Forbes, Peter. Peters, Craig. 2005. Testicular Torsion and Risk Factors for Orchiectomy. Akses April 24,
2010, 08:39 di http://archpedi.ama-assn.org/cgi/content/full/159/12/1167
Minevich.E. 2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric urology, akses
dihttp://www.emedicine.com/ med/topic2780htm
Ringdahl.E. Teague.L. 2006. Testicular Torsion, American Family Physician Journal.
Rupp.T.J. 2006. Testicular Torsion, Department of Emergency Medicine, Thomas Jefferson University, akses
dihttp://www.emedicine.com/med/topic2560.htm
Siroky.M.B. 2004. Torsion of the testis dalam Siroky.M.B, Oates.R.D, Babayan.R.K (eds), Handbook of urology:
diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelphia: Lippincot William&Wilkins.
Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-Laki dalam Price, Sylvia A. Wilson,
Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.