8
1. A. Anemia Penyakit Kronik Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan kronik, anemia sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis retikuloendotelial. Pengenalan akan adanya anemia penyakit kronik dimulai pada awal abad ke 19, dimana pada waktu itu pada pasien– pasien tuberkulosis sering ditemukan muka pucat. Lalu Cartwright dan Wintrobe pada tahun 1842 memperlihatkan adanya benda – benda kecil di sampel darah pasien demam tifoid dan cacar air. Juga pada penyakit infeksi lainnya seperti siphilis dan pneumonia. Nama yang dipergunakan waktu itu adalah Anemia penyakit infeksi. Pada tahun 1962 setelah dilakukannya suatu studi tentang infeksi dan ditemukannya gambaran yang sama pada penyakit–penyakit kronik bukan infeksi seperti artritis reumatoid, nama anemia penyakit kronik diperkenalkan. Anemia penyakit kronik merupakan anemia terumum ke-dua yang sering dijumpai di dunia, tetapi mungkin merupakan yang paling umum dijumpai pada pasien–pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Anemia penyakit kronik bukanlah diagnosis primer tetapi merupakan respons sekunder normal terhadap berbagai penyakit di bagian tubuh manapun. Defenisi anemia penyakit kronik Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan. Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab anemia penyakit kronik. Etiologi anemia penyakit kronik Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik:

Anemia Penyakit Kronik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1

Citation preview

Page 1: Anemia Penyakit Kronik

1. A.    Anemia Penyakit Kronik

Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan kronik,

anemia sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis

retikuloendotelial. Pengenalan akan adanya anemia penyakit kronik dimulai

pada awal abad ke 19, dimana pada waktu itu pada pasien–pasien

tuberkulosis sering ditemukan muka pucat. Lalu Cartwright dan Wintrobe

pada tahun 1842 memperlihatkan adanya benda – benda kecil di sampel

darah pasien demam tifoid dan cacar air. Juga pada penyakit infeksi lainnya

seperti siphilis dan pneumonia. Nama yang dipergunakan waktu itu adalah

Anemia penyakit infeksi. Pada tahun 1962 setelah dilakukannya suatu studi

tentang infeksi dan ditemukannya gambaran yang sama pada penyakit–

penyakit kronik bukan infeksi seperti artritis reumatoid, nama anemia

penyakit kronik diperkenalkan.

Anemia penyakit kronik merupakan anemia terumum ke-dua yang sering

dijumpai di dunia, tetapi mungkin merupakan yang paling umum dijumpai

pada pasien–pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Anemia penyakit

kronik bukanlah diagnosis primer tetapi merupakan respons sekunder normal

terhadap berbagai penyakit di bagian tubuh manapun.

Defenisi anemia penyakit kronik

Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses

infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita

mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan. Tumor dulunya memang

merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namun dari hasil

studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab anemia

penyakit kronik.

Etiologi anemia penyakit kronik

Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi

seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi

kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya

penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik:

Tabel 5 Etiologi anemia penyakit kronik

No Infeksi kronik Inflamasi Lain–lain Idiopatik

Page 2: Anemia Penyakit Kronik

kronik

1

Infeksi paru:

abses,emfisema,

tuberkulosis,

bronkiektasis

Artritis

reumatoid

Penyakit hati

alkaholik

2

Endokarditis

bakterial

Demam

reumatik

Gagal jantung

kongestif

3

Infeksi saluran kemih

kronik

Lupus

eritematosus

sistemik (LES) Tromboplebitis

4 Infeksi jamur kronik Trauma berat

Penyakit

jantung iskemik

5

Human

immunodeficiency

virus (HIV) Abses steril

6 Meningitis Vaskulitis

7 Osteomielitis Luka bakar

8

Infeksi sistem

reproduksi wanita

Osteoartritis

(OA)

9

Penyakit inflamasi

pelvik (PID: pelvic

inflamatory disease)

Penyakit

vaskular

kolagen

(Collagen

vascular

disease)

10 Polimialgia

Page 3: Anemia Penyakit Kronik

11 Trauma Panas

12

Ulcus

dekubitus

13

Penyakit

Crohn

Patogenesis anemia penyakit kronik

Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai

dengan sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah

dilakukan banyak penelitian.Adapendapat yang mengatakan bahwa sitokin–

sitokin proses inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF a), interleukin

1 dan interferon gama (.) yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita

anemia penyakit kronik akan menghambat terjadinya proses eritropoesis.

Pada pasien artritis reumatoid interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini

bukan menghambat proses eritropoesis melainkan meningkatkan volume

plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik

eritropoetin memang lebih rendah dari pasien anemia defisiensi besi, tetapi

tetap lebih tinggi dari orang – orang bukan penderita anemia.26 Dari sejumlah

penelitian disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan

peranan penting terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain :

1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 20–30% atau

menjadi sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada

percobaan binatang yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit

segera setelah timbul panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai

hal yang sama.

2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada

penyakit kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia

pada penyakit kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan

yang menderita infeksi kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat

ditingkatkan dengan merangsang binatang tersebut dengan

Page 4: Anemia Penyakit Kronik

pemberian eritropoetin.

3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai

deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini

menunjukkan terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel

retikuloendotelial yang mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk

eritroblast.

4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari

adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang

berasal dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari

leukosit dan makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum

tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga

menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.

5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang

dilakukan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag

sumsum tulang.

6. Kegagalan produksi transferin.

Gambaran klinis anemia penyakit kronik

Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan

munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak

bertambah progresif atau stabil dan mengenai berat ringannya anemia pada

seorang penderita tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit

tersebut. Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis

dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Tetapi pada pasien–pasien

dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah

akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam

jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala. Pada

pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif

kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio

intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi

dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral. Tanda fisik yang

Page 5: Anemia Penyakit Kronik

mungkin dapat dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan

takikardi.

Diagnosa anemia penyakit kronik

Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa

pemeriksaan, antara lain dari:

1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya

muka pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lain–lain.

2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:

1. a.      Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya

sekitar  7–11 gr/dL.

2. b.      Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau

mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga

pasien anemia penyakit kronik.

3. c.       Volume korpuskuler rata–rata (MCV: Mean Corpuscular Volume):

normal atau menurun sedikit (= 80 fl).

4. d.      Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL).

5. e.       Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun (<

250 mug / dL).

6. f.       Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%).

7. g.      Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang

dan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte

Protophorphyrin), namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi

hasil pemeriksaan sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk

dan struktur sel–sel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya.

Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung

meninggi pada pasien anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan

lambat dan tidak setinggi pada pasien anemia defisiensi besi. Peninggiannya

juga sejalan dengan bertambah beratnya anemia. Oleh karena itu

pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan

pada pasien – pasien anemia defisiensi besi.

Penatalaksanaan anemia penyakit kronik

Page 6: Anemia Penyakit Kronik

Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit

kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya

apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan

baik, maka anemianya juga

akan membaik. Pemberian obat–obat hematinik seperti besi, asam

folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada

manfaatnya.

Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang

mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:

1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien–pasien anemia

penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno

Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel

disease. Dosisnya dapat dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu,

pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 2–3

minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum menurun,

maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila dengan

dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat ditingkatkan

sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada

respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan

penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi. Namun ada

pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga

10.000–20.000 Unit, 3x seminggu.32

2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila

anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan

oleh karena anemianya jarang sampai berat.

3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan

pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis

Page 7: Anemia Penyakit Kronik

temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal

demikian juga dengan gejala–gejala polimialgia akan segera hilang

dengan cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka

pemberian kortikosteroid tersebut segera dihentikan.

4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit

kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi

oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit

Paru FK Unair. Surabaya.

2. Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan. Jakarta.

3. Sat Sharma. 2006. Obstructive Lung Disease. Division of Pulmonary Medicine,

Department of Internal Medicine, University of Manitoba. www.emedicine.com

4. Garisson Susan J. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik.

Departement of Physical Medicine and Rehabilitation. Texas