View
30
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
MAKALAHQ
Citation preview
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN MALANG
ANGINA PECTORIS &
HEART FAILURE
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Oleh:
Nur Mazidah, S.Ked.
209.121.0001
Pembimbing:
dr. Bondan, M.Kes, Sp.PD.
KEPANITERAAN KLINIK MADYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2014
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada penyusun sehingga Laporan Studi Kasus Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
yang berjudul “Angina Pectoris & Heart Failure” ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang
diharapkan.
Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai ujian kasus guna memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Madya serta melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam
menangani kasus secara holistik dan komprehensif.
Penyusun menyadari bahwa laporan makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan
kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas saran
dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih.
Semoga Laporan Studi Kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran.
Penyusun
Nur Mazidah, S.Ked.
1
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar .................................................................................................1
Daftar Isi ..........................................................................................................2
BAB I : Pendahuluan .....................................................................................3
BAB II : Laporan Kasus
Identitas Penderita......................................................................................4
Anamnesis..................................................................................................4
Pemeriksaan Fisik......................................................................................6
Pemeriksaan Penunjang.............................................................................8
Diagnosis..................................................................................................11
Penatalaksanaan.......................................................................................11
Follow Up................................................................................................16
BAB III : Tinjauan Pustaka
Anatomi Jantung......................................................................................18
Fisiologi Jantung......................................................................................18
Angina Pectoris
Definisi, Etiologi ................................................................................22Patomekanisme....................................................................................24Tanda dan gejala..................................................................................25Diagnosis.............................................................................................26Penatalaksanaan..................................................................................27
Heart Failure
Definisi dan Epidemiologi..................................................................31Etiologi................................................................................................32Patomekanisme....................................................................................32Diagnosis.............................................................................................35Penatalaksanaan..................................................................................38
BAB IV : Penutup ..........................................................................................44
Daftar Pustaka.................................................................................................45
2
LAPORAN STUDI KASUS LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
BAB I
PENDAHULUAN
Angina pectoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi sebagai
respon terhadap suplai oksigen yang tidak adequate ke sel-sel miokardium. Nyeri
angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, kerahang, atau ke daerah
abdomen. Nyeri tersebut sering digambarkan sebagai rasa tertekan, rasa terjerat, rasa
kemeng, rasa terbakar. Nyeri tersebut biasanya berkisar 1-30 menit didaerah
retrosternal, tapi dapat juga menjalar ke rahang, leher, bahhu, punggung dan lengan
kiri. Kadang-kadang keluhannya dapat berupa cepat capai, sesak nafas pada saat
aktivitas.
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3–3,7
perseribu penderita pertahun.
Oleh karena itu, kedua kasus penting tersebut termasuk dalam kasus dengan area
kompetensi 3B, dimana dokter harus mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan
nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Dokter juga harus
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya,
serta mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini sebagai pembelajaran dalam
menangani pasien secara profesional dan komprehensif.
3
LAPORAN STUDI KASUS LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny.M
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Wajak
Status Perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal MRS : 08-01-2014
No register : 339777
B. ANAMNESIS √ : sendiri √ : orang lain
1. Keluhan Utama : sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan pukul 15.50 WIB dengan
keluhan sesak nafas dan dada terasa berdebar. Pasien juga mengeluh nyeri
dada kiri seperti ditekan dan menjalar ke leher dan punggung yang dirasakan
±4 hari yang lalu dan memberat sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan kumat-
kumatan sekitar > 15 menit terutama jika beraktivitas sehari-hari dan tidak
berkurang dengan istirahat. Selain itu, pasien mengeluhkan mual dan muntah
2 hari yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat diabetes (-)
- Riwayat alergi obat/makanan (-)
- Riwayat penyakit jantung (-) disangkal
4
- Riwayat penyakit paru (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi (+) ibu pasien
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- Diabetes (-)
- Alergi obat/makanan (-)
5. Riwayat Kebiasaan :
- Riwayat merokok (-)
- Minum kopi (-)
- Minum alkohol (-)
- Jamu (-)
- Olah raga (-)
6. Anamnesis Sistem
- Kulit : kulit gatal (-)
- Kepala : pusing (-), rombut rontok (-), luka (-), benjolan (-)
- Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-),
ketajaman penglihatan berkurang (-), penglihatan ganda(-)
- Hidung: cairan(-), mimisan (-)
- Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), cairan (-), nyeri(-)
- Mulut : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-)
- Tenggorokan: nyeri menelan (-), suara serak (-)
- Pernafasan : sesak nafas (+), batuk(-), mengi(-), dada terasa berat
- Kardiovaskuler: nyeri dada menjalar (+), berdebar-debar (+), sesak
nafas saat (+), kaki bengkak (-)
- Gastrointestinal: mual (+), muntah(-), diare (-), nafsu makan
menurun (+), nyeri perut (-)
- Genitourinaria : BAK ± 3x sehari, warna kuning jernih jumlah dalam
batas normal.
- Neurologik : lumpuh (-), kaki kesemutan(-), kejang (-)
5
- Psikiatrik : mudah marah (-), gelisah (-)
- Muskolokeletal: kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan
dan kaki (-), nyeri otot (-)
- Ekstremitas atas : bengkak (-), nyeri (-), luka (-)
- Ekstremitas bawah : bengkak (-), nyeri (-), luka (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan kurang.
2. Tanda Vital
Tensi : 162/122 mmHg
Nadi : 128 x/menit
Pernafasan : 26 x/menit
Suhu : 36,5 oC
3.Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-),
hiperhidrosis (-)
4.Kepala
Bentuk normocephal, luka (-), rambut beruban dan tidak mudah dicabut,
keriput (-), atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan
mimik wajah / bells palsy (-)
5. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), eksoftalmus (-/-)
6.Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
7.Mulut
Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-).
8.Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).
9.Tenggorokan
6
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).
10. Leher
JVP meningkat (-), trakea ditengah, pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-)
11. Thoraks
Normochest, simetris, retraksi (+), spider nevi (-), sela iga melebar (-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri atas: SIC II 1 cm Linea Para Sternalis Sinistra *
batas kanan bawah: SIC V Linea Para Sternalis Dextra *
batas kiri bawah: SIC VI 1 cm medial linea midclavicula sinistra *
pinggang jantung : SIC III 1 cm Linea Para Sternalis Sinistra *
(batas jantung terkesan membesar)
Auskultasi:
Heart Rate 128x/mnt, gallop (-), bising jantung (+)
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Dinamis (depan dan belakang)
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : perut tampak mendatar, tidak ada pembesar hepar dan lien
7
Palpasi : Supel (+), Hepar tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : timpani, meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
13. Ektremitas : palmar eritema (-/-)
akral dingin Oedem (pitting)
- -
- -
- -
- -
14. Sistem genetalia: dalam batas normal.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG
Lead 1
Lead 2
Lead 3
aVR
8
aVL
aVF
V1
V2
V3
V4
9
V5
V6
High Voltage : V5,V6
ST depresi : V5,V6
T inversi : V4, V5, V6
Kesimpulan : LVH, Angina Pectoris
2. Laboratorium Hematologi (09 Januari 2014)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal
Darah lengkapHb HCTEritrositLeukositHitung leukositLEDTrombosit
14,743,44,8810.9000/0/65/31/425188.000
g/dl%Juta/cmmsel/cmmEus/baso/neu/lim/monomm/1 jamsel/cmm
L= 13,5-18L= 40-54L= 4,5-6,54.000-11.0001-5/0-1/50-70/20-35/3-8L<=15150.000-450.000
3. Laboratorium Kimia Darah (09 Januari 2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
SGOT
SGPT
Ureum/urea
Creatinin
24 U/L
24 U/L
32 mg/dl
0,88 mg/dl
L= 10-42
L= 10-42
20-40
L= 0,6-1,1
10
4. Foto Thorak (08 Januari 2014)
Kardiomegali (+)
G. DIAGNOSIS
UnStable Angina Pectoris + Heart Failure
Differential Diagnosis:
o Myocardial Infarctiono Stable Angina Pectoris
H. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakoterapi
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
b. Tirah baring
c. Posisi setengah duduk
d. Kurangi intake cairan, garam, dan kolesterol
e. Kontrol rutin dan segera periksa jika keluhan muncul kembali
2. Farmakoterapi
O2 2 liter/menit
IVFD RL 20 tpm
o Indikasi : untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit
o Kandungan : Natrium Laktat. C3H5NaO3 3,10 g, Natrium Klorida
NaCl 6,00 g, Kalium Klorida.KCl 0,30 g, Kalsium
11
Klorida.CaCl2.2H2O 0,20 g, Air untuk Injeksi ad. 1.000 ml,
Osmolaritas : 270 mOsm/l
o Kontraindikasi : hipernatremia, gagal ginjal, kerusakan sel hepar,
asidosis laktat
o Farmokologi : merupakan larutan isotonic yang komposisinya mirip
dengan cairan extraseluler untuk mengganti cairan extraseluler dan
merupakan larutan non koloid yang mengandung ion-ion yang
terdisbrusi kedalam cairan intravaskuler dan extravaskuler
Inj.iv Furosemid 1x1 amp
o Indikasi : penanganan edema yang berhubungan dengan gagal jantung
koroner dan penyakit hati diberikan tunggal atau dalam kombinasi
dengan antihipertensi
o Kontraindikasi : hipersensitif terhadap furosemid
o Efek samping : hipotensi akut, tromboflebitis, vertigo, pusing, demam
pandangan kabur, tidak bias beristirahat, hiperurisemia
o Farmokologi : inhibisi reabsobsi natrium dan klorida pada ansa henle
dan tubulus distal, mempengaruhi system kotranspor ikatan klorida,
meningkatkan exkresi air, natrium, klorida magnesium dan kalsium.
o Sediaan : tablet 40 mg, injeksi i.v/i.m. 10 mg/ml, ampul 2 ml
Inj.iv Metocloperamide 3x1 amp
o Indikasi : dyspepsia, gastritis, rasa panas pada ulu hati, GERD, mual,
muntah.
o Kontraindikasi : perdarahan saluran cerna
o Efek samping : konstipasi, mengantuk, gelisah,
o Farmokologi : Metoklopramida dapat meningkatkan tonus dan
amplitudo pada kontraksi lambung (terutama pada bagian antrum),
merelaksasi sfingter pilorus dan bulbus duodenum, serta meningkatkan
paristaltik dari duodenum dan jejunum sehingga dapat mempercepat
pengosongan lambung dan usus. Mekanisme yang pasti dari sifat
12
antiemetik metoklopramida tidak jelas, tapi mempengaruhi secara
langsung CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) medulla yaitu dengan
menghambat reseptor dopamin pada CTZ. Metoklopramida
meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas
saraf visceral yang membawa impuls saraf aferen dari gastrointestinal
ke pusat muntah pada formatio reticularis lateralis
Inj.iv Ranitidin 2x1amp
o Indikasi : GERD, gastritis
o Kontraindikasi : hipersensitiv terhadap ranitidin
o Efek samping : sakit kepala, malaise, mengantuk, bradikardia,
konstipasi
o Farmokologi : Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2
yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2
dan mengurangi sekresi asam lambung.
PO Aspilet 1x1 tab
o Indikasi : pencegahan thrombosis ( agregasi platelet)
o Kontraindikasi : pasien asma, ulkus peptikum, perdarahan subkutan
o Efek samping : mual, muntah, perdarahan lambung, ulcus peptikum
o Farmokologi : terkait dengan penghambatan aktivitas COX-1, yang
berperan untuk metabolisme enzim utama dari asam arakidonat yang
merupakan prekursor prostaglandin yang memainkan peran utama
dalam patogenesis peradangan, nyeri dan demam. Mengurangi
agregasi trombosit, adhesi platelet dan pembentukan trombus melalui
penekanan sintesis tromboksan A2 dalam trombosit. Mengurangi
risiko infark miokard pada stenocardia yang tidak stabil.
PO Captopril 3x12,5 mg
o Indikasi : untuk hipertensi
o Kontraindikasi : penderita hipersensitivitas captopril atau penghambat
golongan ACE lainnya.
13
o Efek samping : proteinuria
o Farmokologi : caranya mensupresi sistem renin angiotensin
aldosteron. Renin adalah enzim yang dihasilkan ginjal dan bekerja
pada globulin plasma untuk memproduksi angiotensin I yang besifat
inaktif. "Angiotensin Converting Enzyme" (ACE), akan merubah
angiotensin I menjadi angiotensin Il yang besifat aktif dan merupakan
vasokonstriktor endogen serta dapat menstimulasi sintesa dan sekresi
aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan sekresi aldosteron
akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta
meretensi kalium. Dalam kerjanya, captopril akan menghambat kerja
ACE, akibatnya pembentukan angiotensin ll terhambat, timbul
vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal
mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Keadaan ini
akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban
jantung, baik 'afterload' maupun 'pre-load', sehingga terjadi
peningkatan kerja jantung.
PO ISDN 3x5 mg
o Indikasi : untuk pasien DC, vasodilator untuk angina
o Kontraindikasi : hipersensitivitas nitrat, hipotensi, hipovolemia,
anemia
o Efek samping : muka merah, kepala berdenyut, hipotensi, takikardia,
gelisah, nyeri perut
o Farmokologi : nitrat meredakan angina pectoris dengan menginduksi
relaksasi otot polos vaskular perifer, sehingga ada pelebaran arteri dan
vena.Hal ini mengurangi aliran balik vena darah (mengurangi preload)
ke jantung, yang pada gilirannya menyebabkan tuntutan penurunan
oksigen pada jantung. Nitrat juga meningkatkan pasokan oksigen
miokard dengan dilatasi arteri koroner besar dan mendistribusikan
aliran darah, meningkatkan suplai oksigen ke daerah iskemik.
14
o Dosis : sublingual 5-10 mg, oral : 30-120 mg, IV : 2-10 mg
PO Bisoprolol 0-0-1/2 tab
o Indikasi : untuk hipertensi
o Kontraindikasi : pasien hipersensitivitas bisoprolol, cardiogenic shock,
bradikardi
o Efek samping : sakit kepala, vertigo, ansietas, bradikardia, hipotensi,
gastritis
o Farmokologi : Bekerja dengan menghambat reseptor β1 di otak, ginjal
dan neuron adrenergik perifer, di mana β1 merupakan reseptor yang
bertanggung jawab untuk menstimulasi produksi katekolamin yang
akan menstimulasi produksi renin. Dengan berkurangnya produksi
renin, maka cardiac output akan berkurang yang disertai dengan
turunnya tekanan darah
o Sediaan : 2,5 mg & 5 mg
PO Diazepam 0-0-1 tab
o Indikasi : gelisah, gemetaran, kejang
o Kontraindikasi : depresi, Glaukoma, kehamilan, laktasi,
hipersensitivitas
o Efek samping : pusing, mengantuk, depresi
o Farmokologi : Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat
fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam
seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi
terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan
dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja
sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi
berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan.
Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap
reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan
15
meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan
terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk
ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan
hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan
sel untuk dirangsang berkurang.
I. FOLLOW UP
Nama/Usia : Ny. M / 45 tahun
Diagnosis : - Heart Failure
- UnStable Angina Pectoris
Tabel: flowsheet penderita
No. Tanggal S O A P1. Rabu,
08/01/201415.50 WIBLokasi: IGD
sesak nafas (+), dada berdebar (+), nyeri dada kiri seperti ditekan dan menjalar ke leher dan punggung ±4 hr memberat sejak 3 hari. Nyeri kumat-kumatan sekitar > 15 menit terutama jika beraktivitas sehari-hari dan tidak berkurang dengan istirahat, mual (+) muntah 2 hari yang lalu.
KU: lemah & gelisah, GCS: 456TD: 162/122 mmHgN :128 x/mnt, RR : 26 x/mnt, Suhu: 36,5oC
Thoraks: simetris +/+, batas jantung melebar, bising jantung +.EKG (08012014) : High Voltage : V5,V6 ST depresi : V5,V6 T inversi : V4, V5, V6 Kesimpulan : LVH, Angina PectorisRontgen Thoraks : Kardiomegali
Heart Failure+ Unstable Angina Pectoris
- O2 2 liter/menit- IVFD RL 20 tpm- Inj.iv Furosemid 1x1
amp- Inj.iv
Metocloperamide3x1 amp
- PO Captopril 3x12,5 mg
- PO ISDN 2x5 mg- Pasang kateter
2. Kamis, 09/01/2013Lokasi: R. Airlangga
Sesak nafas (+) membaik, dada berdebar (+), nyeri dada(+) berkurang, mual (+), batuk tdk berdahak (+)
KU: lemah, GCS: 456T : 140/100 mmHgN : 104 x/mnt, RR : 22 x/mnt, Suhu: 36,0 oC
Thoraks: simetris +/+, batas jantung melebar, bising jantung +
Heart Failure+ Unstable Angina Pectoris
- O2 2 liter/menit- IVFD RL 20 tpm- Inj.iv Ranitidin
2x1amp- PO Aspilet 1x1 tab- PO Captopril 3x12,5
mg- PO ISDN 2x5 mg- Pasang kateter
3. Jum’at, 10/01/2014Lokasi: R. Airlangga
Sesak (+) membaik, batuk (-), nyeri dada (+) berkurang, mual (-), pusing (+)
KU: lemah & gelisah, GCS: 456T : 140/80 mmHgN : 76 x/mnt, RR : 22 x/mnt, Suhu: 36,1oC
EKG (10012014) :Sinus Takikardi
Thoraks: simetris +/+, batas jantung melebar, bising jantung +
Heart Failure+ Unstable Angina Pectoris
- O2 2 liter/menit- IVFD RL 12 tpm- Inj.iv Ranitidin
2x1amp- PO Aspilet 1x1 tab- PO Captopril 3x12,5
mg- PO ISDN 3x5 mg- PO Bisoprolol 0-0-1/2
tab
16
- PO Diazepam 0-0-1 tab
- Pasang kateter4. Sabtu ,
11/01/2014Lokasi: R. Airlangga
Sesak (+) membaik, batuk (-), nyeri dada (+) berkurang, mual (-), pusing (+)
KU: lemah, GCS: 456T : 140/100 mmHgN : 120 x/mntRR : 25 x/mnt, Suhu: 36,0oC
Thoraks: simetris +/+, batas jantung melebar, bising jantung +
Heart Failure+ Unstable Angina Pectoris
- O2 2 liter/menit- IVFD RL 12 tpm- Inj.iv Ranitidin
2x1amp- PO Aspilet 1x1 tab- PO Captopril 3x12,5
mg- PO ISDN 3x5 mg- PO Bisoprolol 0-0-1/2
tab- PO Diazepam 0-0-1
tabPasang kateterBedrest total
5. Minggu, 12/01/2014Lokasi: R. Airlangga
Sesak (+) membaik, batuk (-), nyeri dada (+) berkurang, mual (-), pusing (-)
KU: lemah, GCS: 456T : 140/100 mmHgN : 110 x/mntRR : 24 x/mnt, Suhu: 36,0oC
Thoraks: simetris +/+, batas jantung melebar, bising jantung +
Heart Failure+ Unstable Angina Pectoris
- O2 2 liter/menit- IVFD RL 12 tpm- Inj.iv Ranitidin
2x1amp- PO Aspilet 1x1 tab- PO Captopril 3x12,5
mg- PO ISDN 3x5 mg- PO Bisoprolol 0-0-1/2
tab- PO Diazepam 0-0-1
tabPasang kateterBedrest total
6. Senin, 13/01/2014Lokasi: R. Airlangga
Sesak (-) membaik, batuk (-), nyeri dada (+) membaik, nyeri menjalar (-), mual (-), pusing (-)
KU: lemah, GCS: 456T : 140/90 mmHgN : 72 x/mntRR : 22 x/mnt, Suhu: 36,0oC
Thoraks: simetris +/+, batas jantung melebar, bising jantung -
Heart Failure+ Unstable Angina Pectoris
- O2 2 liter/menit- IVFD RL 12 tpm- PO Aspilet 1x1 tab- PO Captopril 3x12,5
mg- PO ISDN 3x5 mg- PO Bisoprolol 0-0-1/2
tab- PO Diazepam 0-0-1
tabLepas kateter
Pasien boleh pulang
17
LAPORAN STUDI KASUS LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI JANTUNG
Gambar 1: Anatomi Sirkulasi Jantung. Gambar 2: Anatomi Elektrikal Jantung.
B. FISIOLOGI JANTUNG
Gambar 3: Sirkulasi Jantung. Gambar 4: Kontraktilitas Jantung.
Pada gambar 3 menunjukkan sistem sirkulasi jantung. Tekanan darah manusia
dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung (cardiac output)
adalah volume darah yang dipompa oleh ventrikel setiap menit. Setiap periode
18
tertentu volume darah yang mengalir melalui sirkulasi pulmonalis di periode tertentu
ekuivalen dengan volume darah yang mengalir ke sirkulasi sistemik. Faktor yang
mempengaruhi curah jantung yaitu frekuensi denyut jantung dan volume sekuncup
(Stroke volume). Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa keluar oleh
ventrikel dalam sekali berdenyut. Volume sekuncup dipengaruhi oleh kontraktilitas
otot jantung, volume darah yang kembali ke jantung atau aliran balik vena menuju
atrium (preload) serta volume darah yang diejeksikan dari ventrikel (afterload).
Pada gambar 4 menunjukkan sistem elektrikal dan kontraktilitas jantung. Siklus
jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol
(relaksasi dan pengisian jantung) secara bergantian. Sistem elektrik pada jantung
merupakan sumber kekuatan yang menggerakkan pompa dan irama jantung. Impuls
elektrik terus berjalan sepanjang jalur kecil pada jantung dan membuat atrium serta
ventrikel bekerjasama secara reguler untuk memompa darah menuju bagian tubuh
yang lain. Irama jantung yang normal (irama sinus) diawali dari impuls tunggal yang
datang dari SA node, yaitu sebuah berkas kecil jaringan yang berada pada atrium
kanan. Impuls tersebut mengeluarkan dan menyalurkan pulsasi elektrik yang
menyebabkan kedua atrium berkontraksi secara kuat dan bersama-sama untuk
memompa darah menuju ventrikel. Arus elektrik selanjutnya menuju ke berkas AV
node (jembatan elektrik antara atrium dan ventrikel), yang menyebabkan ventrikel
berkontraksi secara kuat dan reguler. Saat jantung berkontraksi dan berelaksasi, darah
dapat masuk ke dalam atrium dan ventrikel kemudian dipompakan kembali ke paru-
paru dan seluruh tubuh.
Gambar 5 menunjukkan gambaran EKG irama
sinus. Umumnya, rekaman EKG dicatat pada
keceoatan 25 mm/detik pada kertas EKG yang
mempunyai ukuran ke atas 1 mm = 1 mV, dan
mendatar 1 mm = 0,04 detik.
Gelombang P adalah gelombang atau defleksi
pertama yang disebabkan oleh impuls normal dari
nodus SA yang disebarkan ke seluruh atrium,
19
Gambar 5: EKG irama sinus normal.
menunjukkan depolarisasi atria. Biasanya proyeksi gelombang P positif (upright) lead
I, II, sadapan prekordial kiri. Amplitudo gelombang P normal < 0,2 mV dan durasi
waktu (lebar) < 0,08 detik.
PR interval adalah waktu konduksi yang dibutuhkan impuls dari nodus SA ke
seluruh atrium, nodus AV, serta bundle His dan cabangnya. PR interval normalnya
adalah 0,12-0,20 detik diukur dari permulaan gelombang P sampai permulaan QRS
kompleks. Sedangkan PR segment adalah perambatan impuls melalui nodus AV,
bundle His dan cabangnya serta awal terjadinya depolarisasi ventrikel. PR segment
adalah bagian dari PR interval dan berada dalam fase isoelectric dimulai dari akhir
gelombang P sampai permulaan QRS.
QRS kompleks terbentuk dari aktivasi kedua ventrikel dan terdiri atas gelombang
Q yaitu proyeksi perambatan impuls melalui septum dan gelombang R dan S,
menunjukkan aktivitas depolarisasi ventrikel, menimbulkan gelombang R pertama
yang positif “upright”, dan gelombang S yang negatif “downward”, setelah itu
dapat timbul gelombang R kedua yaitu R’. Normal gelombang Q sangat kecil di
semua lead (<0,03 detik) kecuali di lead III, aVR. Bila terdapat di V1, V2, V3
dianggap abnormal. Gelombang Q dianggap patologis bila melebar > 0,04 detik.
Gelombang R dan S merupakan proyeksi perambatan impuls elektrik yang progresif
melalui dinding otot ventrikel kanan yang kurang tebal ke seluruh otot dinding
ventrikel kiri yang lebih tebal. Kompleks QRS ditulis dengan huruf kapital untuk
menunjukkan tinggi amplitudo >5 mm, jika amplitudo <5 mm maka kompleks qrs
ditulis dengan huruf kecil (contoh qRS, RSr’, QS). QRS interval adalah waktu dari
permulaan gelombang Q sampai berakhirnya gelombang S pada garis isoelectric.
QRS interval normal adalah 0,07-0,11 detik (rata-rata 0,08 detik).
ST segment adalah suatu periode dimana ventrikel berada dalam stadium
“recovery” atau relaksasi dan diukur dari akhir gelombang S (junction part) sampai
awal dari gelombang T. ST segment normal berada pada garis isoelectric (base line)
dan menunjukkan permulaan repolarisasi ventrikel. Gelombang T adalah repolarisasi
kedua ventrikel, dimana terjadi defleksi positif hampir di semua lead kecuali aVR (T
negatif) dan V1 (T bifasik). Sedangkan repolarisasi atria tidak tampak pada EKG.
20
QT interval (normal 0,36 detik pada HR [heart rate] 70X/menit) adalah suatu
periode dimulai dari awal QRS kompleks sampai akhir dari gelombang T. QT
interval bervariasi tergantung HR, sex, dan usia serta berlangsung sesuai dengan
lamanya aksi potensial ventrikel. Bila ada gelombang U, sangat sukar menentukan
durasi QT interval. QT interval biasanya <1/2 RR interval pada irama sinus normal
dan menunjukkan depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Karena tergantung dari HR,
maka yang diukur adalah QTc interval. QTc interval adalah QT interval yang
disesuaikan dengan denyut jantung (HR) 60x/menit. Nilainya dapat ditentukan
dengan formula Bazett, yaitu QTc = QT interval (det)/ √RR interval (det). QTc
normal pada pria adalah <0,44 detik, wanita <0,46 detik. QTc memanjang pada efek
kuinidin, hipokalsemia, dan long QT syndrome. QTc memendek pada efek digitalis
dan hiperkalsemia. QTd atau QT interval dispersi berhubungan erat dengan
peningkatan heterogenitas repolarisasi ventrikuler yang mencetuskan terjadinya
takhikardia ventrikuler. QTd dapad diukur dari perbedaan antara maksimal dan
minimal QTc interval.
Gelombang U biasanya tidak tampak pada EKG. Dapat dijumpai setelah
gelombang T pada lead V1 sampai V4 dengan defleksi positif yang lebih kecil dari
pada gelombang T. Gelombang U kemungkinan berasal dari aktivasi “sel M” yang
terletak di daerah miokard bagian tengah dari ventrikel kiri.
21
C. ANGINA PECTORIS
a. Definisi, Etiologi
Angina adalah nyeri, “ketidaknyamanan”, atau tekanan lokal di dada
yang disebabkan oleh kekurangan pasokan darah (iskemia) pada otot jantung.
Hal ini juga kadang-kadang ditandai oleh perasaan tersedak, sesak napas dan
terasa berat. Kondisi ini juga disebut Angina Pectoris.
Biasanya angina merupakan akibat dari penyakit arteri koroner,
penyebab lainnya adalah:
Stenosis katup aorta ( penyempitan katup aorta)
Regurgitasi katup aorta (kebocoran katup aorta)
Stenosis subaortik hipertrofik
Spasme arterial (kontraksi sementara pada arteri yang terjadi secara tiba-tiba)
Anemia berat
Biasanya mempunyai karakteristik tertentu :
Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya, dengan
penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari
bagian ulnar, punggung/ pundak kiri.
Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa
tertindih/berat di dada, rasa desakan yang kuat dari dalam atau dari bawah
diafragma, seperti diremas-remas atau dada mau pecah dan biasanya pada
keadaan yang berat disertai keringat dingin dan sesak napas serta perasaan
takut mati. Biasanya bukanlah nyeri yang tajam, seperti rasa ditusuk- tusuk/
diiris sembilu, dan bukan pula mules. Tidak jarang pasien mengatakan bahwa
ia merasa tidak enak didadanya. Nyari berhubungan dengan aktivitas, hilang
dengan istirahat; tapi tidak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau
gerakan dada ke kiri dan ke kanan. Nyeri juga dapat dipresipitasi oleh stres
fisik ataupun emosional.
Kuantitas: nyeri yang pertama kali timbul biasanya agak nyata, dan beberapa
menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka
harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil. (unstable angina pectoris =
22
UAP) sehingga dimasukkan ke dalam sindrom koronera akut = acute coronary
syndrom = ACS, yang memerlukan perawatan khusus. Nyeri dapat
dihilangkan dengan nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai
beberapa menit. Nyeri tidak terus menerus, tapi hilang timbul dengan
intensitas yang makin bertambah atau makin berkurang sampai tekontrol.
Nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari bahkan sampai berhari-
hari biasanya bukanlah nyeri angina pektoris.
Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya
ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan
keadaan klinik
Beratnya angina :
Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada.
Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam
1bulan, tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya
secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
Keadaan klinis :
Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi
lain atau febris.
Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada factor extrakardiak
Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
Menurut pedoman American Collage of Cardiology (ACC) dan
America Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark
tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI= non ST elevation myocardial infarction)
ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium
dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan
iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan
ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen
23
ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negative.
Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal
serangan, angina tak stabil seringkali tak bias dibedakan dari NSTEMI.
b. Patomekanisme
Ruptur Plak
Ruptur plak atreosklerosis dianggap penyebab terpenting
angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal
atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau
kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai
penyempitan kurang dari 70 %. Plak aterosklerotik terdiri dari inti
yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik
(fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak
mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya
ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang
keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya
enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan meyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi
segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan
hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.
Thrombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah
satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah
plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak,
sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan
24
terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil.
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi
dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi
pletelet dan pletelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu
agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus.
Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan
terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai
trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.
Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada
angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan
dalam tonus pembuluh darah dan meenyebabkan spasme. Spasme
yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat
menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada
plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan
trombus.
Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena
terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi
terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.
c. Tanda dan Gejala
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau
keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina
25
biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat,
atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan
sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin.
Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas
d. Diagnosis
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST
yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang
T negative juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan
gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST
kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negative kurang dari 2 mm,
tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain.
Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada
NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
UI Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukan
tanda resiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat
treadmill. Bila hasilnya negative maka prognosis baik. Sedangkan bila
hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang
dalam, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner,
untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan
revaskularisasi (PCI atau CABG) karena resiko terjadinya komplikasi
kardiovaskuler dalam waktu mendatang cukup besar.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis
angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan
faal ventrikel kiri, adanya insufiensi mitral dan abnormalitas gerakan
dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
26
Ekokardiografi stress juga dapat membantu menegakkan adanya
iskemia miokardium.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut
European Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada
mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin
tetap positif samapai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin.
CKMB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di
otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan
meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka
panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum
secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.
e. Penatalaksanaan
Pasien perlu perawatan di RS, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen, pemberian morfin
atau penitidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun
sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa
1. Obat Anti Iskemia
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efektivitas mengurangi preload adan afterload
sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat
juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi pembuluh
koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut
nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau
melalui infus intravena; yang ada di Indonesia terutama isosorbid
27
dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1-4 mg
per jam. Karena adanya toleransi terhadap nitrat, dosis dapat
dinaikkan dari waktu ke waktu. Bila keluhan sudah terkendali infus
dapat diganti isosorbid dinitrat per oral
Penyekat Beta
Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Data-data menunjukkan penyekat beta dapat
memperbaiki morbiditas dan mortalitas pasien dengan infark
miokard, meta analisis dari 4700 pasien dengan angina tak stabil
menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan risiko infark sebesar
13 % (p<0,04).
Semua pasien dengan angina tak stabil harus diberi penyekat beta
kecuali ada kontraindikasi. Berbagai macam beta blocker seperti
propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien dengan
angina tak stabil, yang menunjukkan efektivitas yang serupa.
Kontraindikasi pemberian penyekat beta antara lain pasien dengan
asma bronkial, pasien dengan bradiaritmia.
Antagonis Kalsium
Antagosis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan
dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan non dihirdropiridin
seperti diltiazem dan verapamil. Kedua golongan dapat
menyebabkan vasodilatasi koroner dan menunjukkan tekanan darah.
Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek
inotropik negatif juga lebih kecil.
Meta analisis studi pada pasien dengan angina tak stabil yang
mendapati antagonis kalsium, menunjukkan tak ada pengurangan
angka kematian dan infark. Pada pasien yang sebelumnya tidak
mendapat antagonis pemberian nifedipin menaikkan infark dan
28
angina yang rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasii nifedipin
dan metoprolol dapat mengurangi kematian dan infark sebesar 20%.
Tapi kedua studi secara statistik tak bermakna. Kenaikan mortalitas
mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan takikardi dan
kenaikan kebutuhan oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan
fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan
afterload memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin.
Pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis
kalsium biasanya pada pasien yang ada kontraindikasi dengan
antagonis atau telah diberi penyekat beta tapi keluhan angina masih
refrakter
2. Obat Anti Agregasi Platelet
Aspirin
Banyak studi telah membuktiksn bshws sdpirin dapat mengurangi
kematian jantung dan infark fatal maupun non fatal dari 51% -72%
pada pasien dengan angina tak stabil. Oleh klarena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg
perhari dan dosis selanjutnya 80 sampai 3325 mg perhari.
Tiklodipin
Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua
dalam pengobatan angina tak stabil bila pasien tidak tahann aspirin.
Studi dengan tiklopidin dibandingkan plasebo pada angina tak stabil
ternyata menunjukkan bahwa kematian dan infark non fatal
berkurang 46,3%. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan
efek samping granulositopenia, dimana insidens 2,4%. Dengan
adanya klopidogrel yang lebih aman pemakaian tiklopidin mulai
ditinggalkan.
29
Inhibitor Glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP Iib/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.
3. Obat Anti Trombin
Unfractionated Heparin
Heparin adalah glikosaminoglikan yangterdiri dari pelbagai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan
yang berebda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin,
akan bekerja menghambat trombin dan faktor Xa. Heparin juga
mengikat protein plasma yang lain, sel darah dan sel endotel, yang
akan mempengaruhi bioavailabilitas. Kelemahan lain heparin adalah
efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat
dirusak oleh platelet faktor IV
Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Low molecular weight heparin (LMWH) dibuat dengan melakukan
depolimerasi rantai polisakarida heparin. Kebanyakan mengandung
sakarida kurang dari 18 dan hanya bekerja pada factor Xa,
sedangkan heparin menghambat factor Xa dan trombin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempunyai
ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavailabilitas lebih besar
dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor IV, lebih besar pelepasan
tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan kejadian trombositopenia
lebih sedikit
4. Direct Thrombin Inhibitors
Direct trombin inhibitor secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa
dihambat oleh plasma protein maupun platelet faktor IV. Activated
partial thromboplastin time dapat dipakai untuk memonitor aktivitas
30
antikoagulasi, tetapi biasanya tidak perlu. Hirudin dapat menurunkan
angka kematian infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan
bertambah. Bivalirudin juga menunjukkan efektivitas yang sama
dengan efek samping perdarahan kurang dari heparin. Bilivarudin telah
disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tyak stabil
yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT)
D. HEART FAILURE
a. Definisi dan Epidemiologi
Gagal jantung (heart failure) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh
suatu kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh dan dapat dikenali dari respons hemodinamik, renal, neural dan
hormonal yang karakteristik. Sindrom klinis ini bisa disebabkan oleh karena
perubahan struktur dan atau fungsi dari jantung oleh karena penyakit jantung bawaan
maupun didapat. Gagal jantung dapat bermanifestasi sebagai sesak nafas dan
kelemahan serta dapat menimbulkan tanda klinis berupa bengkak dan ronkhi paru.
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3–3,7
perseribu penderita pertahun.
31
b. Etiologi
Tabel 1: Faktor etiologi gagal jantung.
c. Patomekanisme
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi
dengan darah atau untuk mengeluarkan darah. Manifesti gagal jantung yang utama
adalah (1) sesak napas dan rasa lelah, yang membatasi kemampuan melakukan
kegiatan fisik; dan (2) retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru dan edema
perifer. Kedua abnormalitas tersebut menggangu kapasitas fungsional dan kualitas
hidup pasien, tetapi tidak selalu ditemukan bersama pada seorang pasien. Ada pasien
dengan aktivitas fisik terbatas tanpa retensi cairan, tetapi juga ada pasien dengan
edema tanpa sesak napas atau rasa lelah. Tidak semua pasien disertai edema pada
awal diagnosis ataupun selanjutnya, karena itu istilah “gagal jantung” lebih tepat dari
pada “gagal jantung kongesif”.
32
Pada kebanyakan pasien dengan gagal jantung, disfungsi diastolik ditemukan
bersama. Pada disfungsi sistolik, kekuatan kontraksi ventrikel kiri terganggu sehingga
ejeksi darah berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang. Pada disfungsi
diastolik, relaksasi dinding ventrikel terganggu sehingga pengisian darah berkurang,
menyebabkan curah jantung berkurang. Berkurangnya curah jantung inilah yang
menimbulkan gejala-gejala gagal jantung, sebagai akibat langsung dan/atau
kompensasinya. Disfungsi sistolik biasanya terjadi akibat infrak miokard yang
menyebabkan kematian sebagian sel otot jantung, sedangkan disfungsi diastolik
biasanya terjadi akibat hipertensi yang menyebabkan kompensasi miokard berupa
hipertrofi dan kekakuan dinding ventrikel. Sel miokard yang mati pada infrak
miokard diganti dengan jaringan ikat, dan pada sel miokard yang tinggal (jumlahnya
telah berkurang) terjadi hipertrofi sebagai mekanisme kompensasi.
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan mortalitas berkisar antara 15-50% per
tahun, bergantung pada keparahan penyakitnya. Mortalitas meningkat sebanding
dengan usia, dan resiko pada laki-laki lebih besar dari pada perempuan.
Kompensasi pada gagal jantung sistolik terjadi melalui 2 mekanisme utama, yaitu
sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Aktivitas sistem
simpatis terjadi sebagai reaksi terhadap penurunan curah jantung yang dipersepsi oleh
baroreseptor. Peningkatan aktivitas simapatis menyebabkan peningkatan kontraksi
otot jantung dan frekuensi denyut jantung melalui stimulasi reseptor adrenergik ß1 di
jantung. Akibatnya terjadi peningkatan curah jantung sebagai kompensasi terhadap
33
penurunan curah jantung pada gagal jantung sistolik. Aktivitas sistem RAA di mulai
dengan sekresi renin oleh sel jukstaglomerular di ginjal melalui stimulus reseptor
adrenergik ß1 dan sebagai reaksi terhadap berkurangya perfusi ke ginjal. Sekresi renin
akan menghasilkan angiotensin 2 yang memiliki dua efek utama yaitu sebagai
vasokonstriktor kuat dan sebagai perangsang produksi aldosteron di korteks adrenal.
Efek vasokonstriksi dan aktivitas simpatis dan Ang II akan meningkatkan beban hulu
(preload) dan beban hilir (afterload) jantung, dan aldostreon menyebabkan retensi air
dan natrium yang akan menambah penigkatan preload jantung. Tekanan pengisian
ventrikel (preload) yang meningkat akan meningkatkan curah jantung (menurut
hubungan Frank-Starling) sebagai mekanisme kompensasi.
Akan tetapi mekanisme kompensasi ini tidak berjalan lama, karena dengan
berjalannya waktu, mekanisme kompensasi tersebut justru memperburuk disfungsi
miokard. Dengan tujuan untuk tetap meningkatkan curah jantung yang kurang,
terjadilah perubahan maladaptasi berupa hipertrofi dinding ventrikel untuk
meningkatkan kontraktilitas miokard dan ekspansi volume ventrikel untuk
meningkatkan tekanan dinding ventrikel sehingga meningkatkan kontraktilitas
miokard. Akan tetapi perubahan maladaptasi tersebut, terutama peningkatan dinding
ventrikel yang berlebih akan menyebabkan apoptosis sel jantung dan proliferasi
jaringan ikat sehingga kontraktilitas miokard akan menurun. Proses yang
menghasilkan perubahan maladaptaasi dalam struktur dan fungsi jantung ini disebut
proses remodeling jantung. Selain itu melalui peningkatan stres hemodinamik pada
ventrikel, aktivasi sitem neurohormonal endogen sendiri maupun bersama-sama
memiliki, juga memiliki efek toksik langsung pada sel jantung untuk terjadinya
remodeling jantung dengan menstimulasi terjadinya apoptosis dan fibrosis miokard.
Proses remodeling jantung merupakan proses yang progresif, sehingga akan
berjalan terus tanpa perlu adanya kerusakan berulang pada jantung. Proses
remodeling jantung yang progresif ini menyebabkan kontraktilitas miokard akan
makin menurun, sehingga curah jantung akan makin menurun. Disamping itu
peningakatan after load juga akan menurunkan curah jantung akibatnya terjadi
dekompensasi kordis.
34
d. Diagnosis
Gejala dan Tanda Klinik
Kriteria Framingham untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif:
Mayor Minor
Paroxismal Nocturnal Dispneu edema ekstremitas
distensi vena leher batuk malam hari
ronkhi paru dispneu de effort
Kardiomegali Hepatomegali
edema paru akut efusi pleura
gallop S3 Takikardi
peninggian tekanan vena jugularis penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
refluks hepatojugular
Diagnosa gagal jantung ditegakkan minimal 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Tabel 2: Kriteria Framingham.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum
dipakai untuk menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik:
Kelas Gejala
Klas I tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari.
Klas II gejala timbul pada aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari.
Klas III gejala timbul pada aktivitas ringan sehari-hari
Klas IV gejala timbul pada saat istirahat.
Tabel 3: Kriteria NYHA.
Klasifikasi gagal jantung berdasarkan American Heart Association (AHA):
Klasifikasi Gagal Jantung
A Pasien mempunyai resiko tinggi mengalami gagal jantung karena menderita penyakit yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung. Pasien seperti ini tidak mempunyai abnormalitas struktur jantung maupun fungsi perikardia, miokard, atau katup jantung dan tidak pernah memperlihatkan gejala gagal jantung.
B Pasien penyakit jantung dengan abnormalitas struktur yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung namun tidak pernah menunjukkan gejala gagal jantung.
C Pasien yang pernah atau sedang mengalami gejala gagal jantung akibat adanya abnormalitas struktur jantung.
D Pasien dengan abnormalitas struktur jantung yang parah dan menunjukkan gejala gagal jantung pada saat beristirahat meskipun diberikan terapi medik secara maksimal sehingga memerlukan penanganan yang khusus
Tabel 4: Kriteria AHA.
Pemeriksaan Penunjang
35
• Rontgen Thorax
Pada pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan kardiomegali (cardio thoraxic ratio
> 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap
awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran
cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Dapat
pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkena adalah bagian kanan.
Gambar 6: Gambaran foto rontgen thorak pada Heart Failure.
• EKG
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
36
Kardiomegali Kongesti Vena Pulmonalis
Odem Pulmo Efusi Pleura
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu
pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
• Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah:
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan
dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita
dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak
terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, diastolik, gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
• Darah lengkap
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat
terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium
sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal
jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal
karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid
dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda
37
biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-
proBNP adalah 300 pg/ml.
e. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan gagal jantung:
1. Terapi simtomatis
2. Menghilangkan faktor pencetus
3. Mengontrol penyakit yang mendasari
4. Mencegah remodeling jantung
T erapi non farmakologi
• Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan
• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari
• Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol
• Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara tiba-tiba
• Mengurangi berat badan pada obesitas
• Hentikan kebiasaan merokok
• Konseling mengenai obat.
Terapi Farmakologi
Tabel 5 : Algoritma penatalaksanaan gagal jantung.
38
Tabel 6: Daftar obat-obatan yang digunakan dalam terapi gagal jantung.
Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum kontraksi,
sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang)
Vasodilator Parental: diberikan kepada pasien dengan gagalan jantung berat atau
tidak dapat diminum obat-obatan oral misalnya pada pasien setelah operasi.
- Nitrogliserin: vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena dan pengaruh yang
kuat pada jaringan pembuluh darah arteri. Penumpukan vena paru dan sistemik
dipulihkan melalui efek tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner
yang efektif sehingga merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi
kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina tak stabil.
- Natrium nitropusida: vasodilator kuat dengan sifat-sifat venodilator kurang
kuat. Efeknya yang menonjol adalah mengurangi beban jantung setelah
39
kontraksi dan ini terutama efektif untuk pasien kegagalan jantung yang
menderita hipertensi atau reguitasi katub berat.
Vasodilator Oral
- Penghambat ACE
Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan menghambat
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, memproduksi vasodilator
dengan membatasi angiotensin II, menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan
retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron. Obat tersebut
menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan afterload, menurunkan
resistensi air dan garam (dengan menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan
jalan menurunkan preload.
- Angiotensin reseptor bloker (ARB)
Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA adalah yang
akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek sistem. Namun demikian
agen ini tidak menunjukkan efek penghambat ACE pada jalur potensial lain
yang memproduksi peningkatan bradikinin, prostaglandin dan nitrit oksida
dalam jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang tidak dapat
menerima pendapat ACE. Contoh obat pada golongan ARB yang digunakan
dalam terapi gagal adalah losartan, valsartan, dan kondensartan. Ketiga obat
tersebut tidak memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain.
- Beta-Bloker
Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial karena memiliki efek
yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang mengalami kegagalan
termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung. Beta bloker digunakan pada
pasien gagal jantung stabil ringan, sedang atau berat. Obat ini digunakan untuk
terapi gagal jantung adalah karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate.
- Antagonis kanal kalsium
Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan
penghambat pemasukan kalsium ke dalam sel otot jantung. Kegunaan pokok
40
obat ini adalah berasal dari pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit
jantung koroner yang mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat
inotropik negatif sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan
difungsi ventrikal kiri. Obat-obat golongan tersebut sebaiknya dihindari kecuali
untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan angina dan untuk indikasi tersebut
hanya amlodipin yang boleh digunakan pada pasien gagal jantung.
- Nitrat
Berkhasiat sebagai venodilator sehingga bermanfaat untuk menyembuhkan
gejala penumpukan vena dan paru-paru. Obat-obat golongan ini mengurangi
iskemia otot dengan menetralkan tekanan pengisian ventrikel dan dengan
melebarkan arteri koroner secara langsung. Contoh obat golongan ini adalah
Isosorbit mono nitrat (ISMN) dan dinitrat (ISND).
- Hidralazin
Obat yang murni mengurangi beban jantung setelah konstraksi yang bekerja
langsung pada otot polos arteri untuk menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin
terutama berguna dalam pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi
aorta. Hidralazin oral merupakan dilator arterioral poten dan meningkatkan
output kardiak pada pasien gagal jantung kongestif.
- Diuretik
Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi cairan yaitu
meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun keduanya. Diuretik
menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan menghambat reabsorbsi
natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus ginjal. Bumetamid, furosemid,
dan torsemid bekerja pada tubulusdistal ginjal. Pasien dengan gagal jantung
yang lebih berat sebaiknya diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat
ini memiliki onset cepat dan durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari
terapi diuretik yaitu dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa
hari bahkan jam.
41
- Obat-obat Inotropik
Bekerja meningkatkan kontraksi otot jantung dan meningkatkan curah
jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui mekanisme yang berbeda,
dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat penigkatan konsentrasi kalsium
sitoplasma yang memicu kontraksi otot jantung.
Digitalis
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi berikut
(a)Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini menimbulkan
peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang menyebabkan kadar kalsium
intra sel meningkat menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
(b)Peningkatan kontraktilitas otot jantung
Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi otot
jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi meningkatkan
efisiensi kontraksi. Efek ini menyebabkan reduksi kecepatan jantung dan
kebutuhan oksigen otot jantung berhenti (berkurang).
Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan vasodilator. Digoksin
tidak diindikasikan pad pasien dengan gagal jantung sebelah kanan atau
diastolik. Obat yang termasuk dengan golongan ini adalah digoksin dan
digitoksin. Glikosida jantung mempengaruhi semua jaringan yang dapat
dirangsang, termasuk otot polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek
ini belum diselidiki secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan
Na+ K+ -ATPase di dalam jaringan ini.
Agonis β- adrenergic
Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek inotropik
spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya ion kalsium ke
dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat meningkatkan kontraksi. Contoh
obat ini adalah dopamine dan dobutamin.
Inhibitor fosfodiesterase
42
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik–AMP. Ini
menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Obat
yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah amrinon dan
mirinon
Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan natrium
diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat kurang efektif
bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain untuk penatalaksanaan
pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila digunakan kombinasi dengan Tiazid
atau diuretika Ansa Henle, obat-obat golongan ini efektif dalam mempertahankan
kadar kalium yang normal dalam serum. Spironolakton merupakan inhibitor
spesifik aldosteron yang sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan
mempunyai efek penting pada retensi potassium. Triamteren dan Amilorid bereaksi
pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi potassium
43
LAPORAN STUDI KASUS LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
BAB IV
PENUTUP
Pasien, Ny.M (45 tahun),datang ke IGD RSUD Kanjuruhan pukul 15.50 WIB
dengan keluhan sesak nafas dan dada terasa berdebar. Pasien juga mengeluh nyeri
dada kiri seperti ditekan dan menjalar ke leher dan punggung yang dirasakan ±4 hari
yang lalu dan memberat sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan kumat-kumatan
sekitar > 15 menit terutama jika beraktivitas sehari-hari dan tidak berkurang dengan
istirahat. Selain itu, pasien mengeluhkan mual dan muntah 2 hari yang lalu dan pasien
terlihat gelisah. Pasien memiliki riwayat hipertensi, penyakit jantung disangkal.
Keluarga pasien juga memiliki riwayat hipertensi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah tinggi, nadi cepat, tanda-tanda pembesaran jantung, dan bising jantung.
Pada pemeriksaan penunjang EKG didapatkan gambaran Angina Pectoris pada
sadapan V4, V5 dan V6 terdapat T inverted dan pada V5 dan V6 terdapat ST depresi.
Sedangkan pada foto rontgen thoraks didapatkan gambaran kardiomegali.
Berdasarkan data tersebut, Ny.M didiagnosis dengan Unstable Angina Pectoris dan
Heart Failure.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien Angina Pectoris adalah mencegah kematian
dan terjadinya serangan jantung (infark), mencegah beberapa komplikasi Angina
Pectoris, serta mengendalikan faktor resiko yang mendukung terjadinya Angina
Pectoris. Sedangkan prinsip penatalaksanaan pada Heart Failure adalah mengobati
gejala dan tanda (terapi simtomatis), menghilangkan faktor pencetus, mengontrol
penyakit yang mendasari, serta mencegah remodeling jantung.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Longo, Fauci, Kasper, Hausen, Jameson, et al. Harrison’s manual of medicine. International edition. 18th edition. The McGraw-Hills Companies. USA: 2013.
2. Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.ed IV,jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. p1606-13.
4. Kumar. Abbas. Fusto. Robbins and Cotran’s PathologicBasis of Disease. 7th Ed
5. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: investigation. BMJ;320:297-300
6. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: History and epidemiology. BMJ;320:39-42.
7. Jhunz. 2009. Mengapa Diabetes Melitus Meningkatkan Resiko Terjadinya Penyakit Kardiovaskular. http://chibijhunz.blogspot.com/2009/01/mengapa-diabetes-melitus-meningkatkan.html. Diakses tanggal 25 januari 2011.
8. Maggioni AP. 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements;7 (Supplement J):J15-J20.
9. Nieminen MS. 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure. Full text the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J.
10. Prabowo, pramonohadi & Priyatini, dyah. 2010. Gagal Jantung. Pedoman Diagnosis dan Terapi Departemen/ SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah ed 10. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo Surabaya. Surabaya.
11. Prasetyanto H, dkk. 2010. Gagal Jantung Kiri Dengan Gejala Awal Hipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
12. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.
13. Setiawati A dan Nafrialdi. 2007. Obat gagal Jantung. Farmakologi Dan Terapi Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp: 299-300.
14. Susilo F. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
15. Wijaya G, Syukrudin E. Elektro kardio gram. Edisi ke-2. Penerbit ITB: 2003.
45