5
 1 Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia Oleh: Putu Laxman Pendit Nama dan teori sosiolog Giddens sebenarnya sudah lama diulas di kepustakawanan Indonesia, setidaknya di Depok. Pemikiran Giddens juga dipakai untuk bahan menyusun naskah akademik RUU Sistem Nasional Perpustakaan yang diprakarsai Perpustakaan Nasional. Berikut ini, sepotong ulasan saya t entang Giddens yang dibawakan pada Pertemuan Ilmiah Program Studi Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan (PSIIPK), Depok, 7 Agustus 1998. Anthony Giddens adalah seorang sosiolog yang menentang dan mencoba merombak pandangan-pandangan tentang sistem sosial dari aliran-aliran sebelumnya, terutama dari aliran fungsionalisme. Salah satu pandangan terpenting dan relevan untuk berbagai bidang, termasuk bidang perpustakaan, adalah pandangannya tentang “sistem” dan “struktur”. Perlu kiranya diketahui bahwa selama ini kita selalu memakai kedua istilah tersebut untuk menggambarkan bahwa sekumpulan manusia bisa bersatu karena “diikat” oleh sesuatu yang menyerupai kerangka dalam sebuah bangunan. Kerangka inilah yang sering disebut “struktur” dan yang sering pula disamakan dengan pengertian “sistem”. Kerangka ini pulalah yang oleh pandangan positivis sering dianggap sebagai sesuatu yang bisa disetarakan dengan benda, seperti halnya kerangka bangunan selalu adalah tulang-tulang beton terbuat dari besi dan baja. Pandangan-pandangan itu kemudian dikoreksi lewat teori strukturisasi (Giddens, 1982). Salah satu koreksi utamanya adalah pemisahan antara “sistem” dan “struktur”. Giddens menganggap bahwa “sistem” adalah pola yang diperlihatkan oleh hubungan antarmanusia (interaksi), sedangkan “struktur” adalah sebuah tatanan ( order ) yang terdiri dari peraturan dan sumberdaya (rules and resources). Setiap kelompok manusia yang memperlihatkan sebuah pola tertentu, akan dilihat sebagai sebuah sistem. Kemampuan keterulangan dan bertahannya pola tersebut di dalam ruang dan waktu diistilahkan sebagai reproduksi sistem. Pikiran penting lainnya dalam teori strukturasi adalah bahwa peraturan dan sumberdaya yang digunakan dalam mewujudkan tindakan sosial pada saat yang sama adalah alat untuk reproduksi sistem. Struktur adalah medium sekaligus hasil dari sistem. Menurut Giddens peraturan kehidupan sosial merupakan prosedur teknis atau prosedur umum yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum, aturan birokrasi, aturan permainan, dan sebagainya, menurut Giddens adalah interpretasi manusia atas aturan hidup bersama. Hukum dan sebagainya itu adalah struktur, yang dipakai oleh manusia untuk mengatur hidupnya, tetapi sekaligus hukum itu juga adalah hasil dari kegiatan manusia dalam mengatur hidupnya. Jadi, kalau memakai teori strukturisasi, sebuah sistem informasi adalah sebuah pola interaksi antar manusia yang mengandung kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan pencarian atau penyebaran informasi. Pola interaksi ini memanfaatkan peraturan (misalnya prosedur mencari informasi) dan sumberdaya (misalnya komputer). Tetapi ingat, sekaligus peraturan dan sumberdaya ini juga adalah “hasil” atau “akibat” dari interaksi antar manusia. Prosedur mencari informasi adalah “akibat” dari interaksi antara pencari dan sumber informasi. Komputer adalah “hasil” dari interaksi antara penyedia komputer dengan pemakai komputer. Patut diingat pula, Giddens memberikan berbagai koreksi tentang pandangan-pandangan sistem terdahulu. Ia menegaskan bahwa masyarakat manusia tidak seperti sistem mekanis atau biologis, karena sistem masyarakat dibentuk di dalam diri masing-masing anggotanya. Struktur dalam sistem sosial bukanlah sesuatu yang di luar manusia, melainkan berupa jejak-  jejak kenangan ( memory traces) di dalam pikiran manusia, sehingga lebih bersifat internal.

Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dalam tulisan ini, Putu Laxman Pendit menjelaskan konsep-konsep pokok dalam Teori Strukturasi, kemudian menawarkan sekaligus memberikan contoh penggunaan pendekatan teori ini untuk menganalisis beragam hal dalam Kepustakawanan Indonesia, seperti tentang "Sistem Informasi", "Minat Baca", dan bagaimana menyelidiki relasi kuasa dalam institusi perpustakaan serta peluang untuk mengubahnya.

Citation preview

Page 1: Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

5/12/2018 Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/anthony-giddens-dan-kepustakawanan-indonesia 1/5

1

Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

Oleh: Putu Laxman Pendit

Nama dan teori sosiolog Giddens sebenarnya sudah lama diulas di kepustakawanan

Indonesia, setidaknya di Depok. Pemikiran Giddens juga dipakai untuk bahan menyusun

naskah akademik RUU Sistem Nasional Perpustakaan yang diprakarsai PerpustakaanNasional. Berikut ini, sepotong ulasan saya tentang Giddens yang dibawakan pada Pertemuan

Ilmiah Program Studi Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan (PSIIPK), Depok, 7

Agustus 1998.

Anthony Giddens adalah seorang sosiolog yang menentang dan mencoba merombak 

pandangan-pandangan tentang sistem sosial dari aliran-aliran sebelumnya, terutama dari

aliran fungsionalisme. Salah satu pandangan terpenting dan relevan untuk berbagai bidang,

termasuk bidang perpustakaan, adalah pandangannya tentang “sistem” dan “struktur”. Perlu

kiranya diketahui bahwa selama ini kita selalu memakai kedua istilah tersebut untuk 

menggambarkan bahwa sekumpulan manusia bisa bersatu karena “diikat” oleh sesuatu yang

menyerupai kerangka dalam sebuah bangunan. Kerangka inilah yang sering disebut

“struktur” dan yang sering pula disamakan dengan pengertian “sistem”. Kerangka ini pulalahyang oleh pandangan positivis sering dianggap sebagai sesuatu yang bisa disetarakan dengan

benda, seperti halnya kerangka bangunan selalu adalah tulang-tulang beton terbuat dari besi

dan baja.

Pandangan-pandangan itu kemudian dikoreksi lewat teori strukturisasi (Giddens, 1982).

Salah satu koreksi utamanya adalah pemisahan antara “sistem” dan “struktur”. Giddens

menganggap bahwa “sistem” adalah pola yang diperlihatkan oleh hubungan antarmanusia

(interaksi), sedangkan “struktur” adalah sebuah tatanan (order ) yang terdiri dari peraturan

dan sumberdaya (rules and resources). Setiap kelompok manusia yang memperlihatkan

sebuah pola tertentu, akan dilihat sebagai sebuah sistem. Kemampuan keterulangan dan

bertahannya pola tersebut di dalam ruang dan waktu diistilahkan sebagai reproduksi sistem.

Pikiran penting lainnya dalam teori strukturasi adalah bahwa peraturan dan sumberdayayang digunakan dalam mewujudkan tindakan sosial pada saat yang sama adalah alat untuk 

reproduksi sistem. Struktur adalah medium sekaligus hasil dari sistem. Menurut Giddens

peraturan kehidupan sosial merupakan prosedur teknis atau prosedur umum yang diterapkan

dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum, aturan birokrasi, aturan permainan, dan sebagainya,

menurut Giddens adalah interpretasi manusia atas aturan hidup bersama. Hukum dan

sebagainya itu adalah struktur, yang dipakai oleh manusia untuk mengatur hidupnya, tetapi

sekaligus hukum itu juga adalah hasil dari kegiatan manusia dalam mengatur hidupnya.

Jadi, kalau memakai teori strukturisasi, sebuah sistem informasi adalah sebuah pola

interaksi antar manusia yang mengandung kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan pencarian

atau penyebaran informasi. Pola interaksi ini memanfaatkan peraturan (misalnya prosedur

mencari informasi) dan sumberdaya (misalnya komputer). Tetapi ingat, sekaligus peraturan

dan sumberdaya ini juga adalah “hasil” atau “akibat” dari interaksi antar manusia. Prosedur

mencari informasi adalah “akibat” dari interaksi antara pencari dan sumber informasi.

Komputer adalah “hasil” dari interaksi antara penyedia komputer dengan pemakai komputer.

Patut diingat pula, Giddens memberikan berbagai koreksi tentang pandangan-pandangan

sistem terdahulu. Ia menegaskan bahwa masyarakat manusia tidak seperti sistem mekanis

atau biologis, karena sistem masyarakat dibentuk di dalam diri masing-masing anggotanya.

Struktur dalam sistem sosial bukanlah sesuatu yang di luar manusia, melainkan berupa jejak-

 jejak kenangan (memory traces) di dalam pikiran manusia, sehingga lebih bersifat internal.

Page 2: Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

5/12/2018 Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/anthony-giddens-dan-kepustakawanan-indonesia 2/5

2

Membahas struktur di dalam sistem sosial tidak seperti membahas struktur bangunan

atau struktur biologis. Dalam struktur bangunan, keutuhan (integritas) bangunan itu

ditentukan dan dibatasi oleh strukturnya. Demikian pula, pertumbuhan tubuh biologis antara

lain ditetapkan oleh “cetak biru” tubuh itu. Jadi, struktur di sini bersifat constraining.

Sedangkan dalam sistem sosial, struktur juga memberikan kemampuan kepada anggota

sistem untuk menentukan interaksinya, sehingga struktur itu justru bersifat enabling (1982, h.

25).

Giddens juga menggarisbawahi kenyataan bahwa manusia memiliki pengetahuan yang

cukup tentang apa yang dilakukannya, bukan cuma sekedar bergerak seperti robot atau sel.

Jika seseorang atau sekumpulan manusia mengulang-ulang perilaku dan tabiatnya

(mereproduksi pola interaksinya, dus mereproduksi sistem), maka mereka juga mereproduksi

kondisi yang memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan tersebut. Manusia selalu

mengetahui apa yang mereka lakukan pada tingkatan kesadarannya (discursive

consciousness), walaupun mereka mungkin tidak terlalu tahu tentang konsekuensi lanjutan

dari aktivitas yang mereka lakukan (1982, h. 26).

Manusia memiliki kemampuan refleksi (melihat kembali apa yang sudah dikerjakannya),

sehingga tidak cuma bereaksi secara otomatis terhadap lingkungannya. Dalam sistem biologi,

reaksi terhadap lingkungan seringkali bersifat tunggal dan statis (homeostatic) sehingga adaketerulangan yang otomatis (loops). Sedangkan di dalam kehidupan sosial, ada proses

penyaringan yang selektif lewat mana individu-individu secara refleksif berusaha mengatur

keseluruhan kondisi reproduksi sistem, baik dalam rangka mempertahankan maupun

mengubah (1982, h. 27 - 28).

Sebagai ilustrasi, pandangan-pandangan Giddens di atas bisa kita adopsi untuk 

menganalisis sebuah sistem informasi, katakanlah sebuah perpustakaan. Jika kita melihat ada

keterulangan pola, misalnya berupa keengganan menggunakan alat temukembali sebelum

mengambil dokumen, kita tidak bisa mengatakan bahwa prosedur penggunaan alat

temukembali seharusnya menyebabkan seseorang memakai alat itu, dan bahwa jika itu tidak 

terjadi maka ada kesalahan di pihak pemakai. Sebaliknya, kita musti memeriksa anggapan

pemakai tentang alat itu (sebagai struktur internal), dengan dugaan bahwa ia mengulang-ulang tabiatnya karena anggapan bahwa itulah yang benar dan berhasil baginya.

Alat temukembali dan tata aturan pemakaiannya bisa kita bayangkan sebagai sebuah

struktur yang spesifik untuk sistem informasi. Jika kita mengganggap bahwa alat dan tata

pemakaian tersebut seharusnya menyebabkan seseorang memakai alat tersebut, berarti kita

tidak menggunakan teori strukturisasi. Sebab, kita menganggap alat dan tata pemakaiannyaitu sebagai sesuatu yang menentukan (constraining) dari luar diri seorang pengunjung

perpustakaan. Padahal kalau kita menyetujui teori strukturisasi, maka sangatlah mungkin di

dalam diri pengunjung telah ada sebuah tatanan tertentu tentang cara menemukan sebuah

dokumen. Tatanan inilah yang sangat mungkin berbeda dengan tatanan yang mendasari

pembuatan alat temukembali, yang telah dengan susah payah disusun oleh pustakawan.

Semoga dari ilustrasi tersebut dapat terlihat bahwa dengan teori strukturisasi kita tidak mengatakan bahwa ada kesalahan dalam alat temukembali atau kesalahan pada diri

pengunjung perpustakaan. Sebaliknya, kita menemukan lokasi yang sesungguhnya dari

ketidakterpakaian alat tersebut, yakni pada kesenjangan antara pustakawan pembuat alat itu

dengan pengunjung perpustakaan. Dengan menemukan secara tepat lokasi ini, maka upaya

penyempurnaan (yaitu menghilangkan kesenjangan) bisa lebih kena sasaran.

Dalam konteks yang lebih luas lagi, kita juga bisa memandang persoalan “minat baca”

dengan lebih arif. Pada umumnya, pendekatan positivis atau fungsional menganggap bahwa

Page 3: Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

5/12/2018 Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/anthony-giddens-dan-kepustakawanan-indonesia 3/5

3

keengganan membaca adalah sebuah “kerusakan”. Bahkan secara tersirat seringkali

pustakawan menganggap ketidak-sukaan membaca sebagai semacam “ketidak-taatan”

terhadap nilai-nilai budaya membaca. Pada umumnya, membaca dianggap sebagai wujud dari

sesuatu yang luhur; sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh semua orang. Lebih lanjut

seringkali dikatakan bahwa perpustakaan adalah bagian dari budaya yang luhur itu, sebagai

perpanjangan dari nilai-nilai yang baik dan indah tentang buku. Sehingga kalau tidak ada

yang mau membaca di perpustakaan, seringkali kita mengatakan “tidak ada minat baca” dimasyarakat. Dus, ada sesuatu yang salah di orang-orang yang tidak membaca itu.

Dengan teori strukturisasi, kita bisa mengalihkan tudingan itu ke lokasi yang lebih tepat,

yakni pada kesenjangan anggapan tentang membaca di diri pustakawan dan di diri anggota

masyarakat. Kesenjangan itu bisa pada citra dan nilai “buku dan membaca” di masyarakat;

bisa pula pada citra dan nilai “perpustakaan” di masyarakat. Kalau kurangnya kunjungan

masyarakat ke perpustakaan kita terima sebagai kesengajaan dan kegiatan yang dilakukan

dengan sadar, maka perlu kita cermati: kesadaran macam apa yang mendasari “penolakan”

itu?

Apalagi Giddens juga mengingatkan bahwa kesatuan (integrasi) sebuah sistem sosial

selalu dipertahankan di dua tingkatan, yaitu integrasi sosial dan integrasi sistem (1982, h. 28).

Jika sebuah perpustakaan tidak dipertahankan oleh masyarakatnya (yakni dengan tidak 

mengunjunginya), maka kita perlu sadar bahwa integrasi sosial terjadi pada tingkatan

wawanmuka, antara pustakawan dengan pengunjung. Keengganan mengunjungi

perpustakaan menandakan bahwa pada tingkatan ini terjadi masalah, maka keberadaan

perpustakaan tidak lagi “sistemik”, tidak menjadi bagian dari integrasi sosial. Walaupun pada

saat yang sama sudah ada aturan-aturan, undang-undang, dan tata cara tentang pendirian dan

penggunaan perpustakaan di masyarakat. Semua aturan dan tata cara ini bukan bagian dari

integrasi sosial, melainkan hanya integrasi sistem yang berada di tempat dan waktu yang

berbeda.

Sangat mungkin aturan dan tatacara ini dibuat dalam suatu budaya yang berbeda

(misalnya di Barat) pada suatu masa yang lampau.

Dus, jika tidak ada minat orang untuk datang dan membaca di perpustakaan, maka telah

terjadi kesenjangan antara integrasi sosial dan integrasi sistem. Upaya untuk memaksaan

keberadaan perpustakaan dengan tidak melihat kemungkinan-kemungkinan di atas hanya

akan menyebabkan kebingungan lebih lanjut. Misalnya, kita sering terus menerus bertanya,

mengapa upaya promosi minat baca akhirnya hanya membuang-buang uang; mengapa

kunjungan ke perpustakaan tidak bisa meningkat secepat kunjungan ke mall; mengapa

mahasiswa tidak berkunjung ke perpustakaan untuk menyelesaikan pekerjaan akademiknya

padahal sudah ada keharusan dan kewajiban kepada mereka. Dan sebagainya.

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/the_ics/message/10293 

Page 4: Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

5/12/2018 Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/anthony-giddens-dan-kepustakawanan-indonesia 4/5

4

Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - 2

Rekan-rekan,

Manusia sebagai mahluk sosial ( Human agency), menurut Giddens, merupakan mahluk 

yang memiliki “kapasitas untuk melakukan perubahan” (capacity to make a difference). Jadi,

setiap manusia (siapa pun) sangat terkait dengan kekuasaan/kemampuan ( power ) mengubahsesuatu. Kekuasaan/kemampuan ini menyangkut pemanfaatan sumberdaya (resources).

Setiap masyarakat memiliki simbol dan aturan legitimasi untuk mengatur sumberdaya ini.

Lewat simbol (signification) dan legitimasi inilah terbentuk “struktur”. Anggota masyarakat,

siapa pun, dapat menggunakan aturan sumberdaya ini. Setiap kali seseorang menggunakan

sebuah aturan dalam masyarakat, maka ia melakukan “reproduksi”.

Misalnya, Anda adalah pustakawan di sebuah perpustakaan Perguruan Tinggi. Anda

memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan. Persoalannya, seberapa mampu Anda

melakukan perubahan berkaitan langsung dengan “power” dan bagaimana Anda

menggunakan aturan-aturan di dalam masyarakat (dalam hal ini, masyarakat perguruan

tinggi). Giddens juga mengingatkan, Anda sendiri juga bisa membuat aturan, dan bahwa

aturan itu bukan sesuatu yang “tetap” ( fixed ). Aturan itu menjadi aturan karena Andamenerapkannya, atau mereproduksinya. Kalau penerapan aturan itu berlangsung terus secara

terpola ketika Anda berinteraksi dengan orang lain (misalnya, dengan dosen di sebuah PT),

maka terjadilah “sistem” (dalam hal ini, sistem perpustakaan perguruan tinggi tempat Anda

bekerja). Tetapi Anda boleh saja tidak menerapkan sebuah aturan, atau tidak mereproduksi

sebuah struktur. Anda boleh saja menggunakan aturan berbeda ketika berinteraksi dengan

orang lain. Kalau aturan itu disepakati oleh orang lain, dan Anda bersamanya terus menerus

mereproduksi aturan buatan Anda itu, maka terjadilah “sistem” baru. Aturan yang Anda buat

itu bisa menjadi bagian dari “struktur” baru.

Sumberdaya, menurut Giddens, ada dua jenis: (1) sumberdaya otoritatif (authoritative

resources) yang bersumber dari koordinasi kegiatan antar manusia. Seperti contoh di atas,

Anda dan orang lain menggunakan sumberdaya otoritatif untuk saling berinteraksi. Kalau

Anda (pustakawan) lebih dominan dalam hal ini dibandingkan orang lain (misalnya dosen),

maka Anda punya kapasitas lebih besar dalam memanfaatkan sumberdaya otoritatif; (2)

sumberdaya alokatif (allocative resources), yang adalah kekuasaan/kemampuan

mengendalikan produk-produk material atau alam. Misalnya, jika Anda (pustakawan) dan

orang lain (pemakai perpustakaan yang adalah seorang dosen) bersepakat tentang aturan

dalam mengendalikan buku-buku di perpustakaan Anda (misalnya, buku apa yang harus

dikoleksi, bagaimana tatacara peminjaman, siapa yang menentukan pembelian buku, dan

sebagainya), maka Anda dan orang lain itu memanfaatkan sumberdaya alokatif. Siapa yang

lebih dominan dalam hal ini? (silakan jawab sendiri).

“Struktur”, sekali lagi, adalah “aturan dan sumberdaya yang dimanfaatkan dalam

reproduksi”. Jika aturan dan sumberdaya ini dimanfaatkan secara stabil sepanjang ruang dan

waktu yang luas, maka terjadilah “institusionalisasi”. Kalau aturan dan sumberdaya yangdimanfaatkan di perpustakaan perguruan tinggi sudah dimanfaatkan sejak 1920an sampai

sekarang di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, maka aturan dan sumberdaya itu

telah menjadi “institusi perpustakaan perguruan tinggi Indonesia”. “Struktur” ini, menurut

Giddens, tidak kongkrit (bukan struktur beton, struktur atom, struktur rumah!), melainkanadalah semacam “jejak-jejak kenangan” (memory traces). Aturan dan sumberdaya

perpustakaan perguruan tinggi Indonesia BUKAN gedung perpustakaan, bukan buku-buku,

rak-rak buku, dan sebagainya, melainkan adalah segala sesuatu yang ada di kepala Anda

(pustakawan) dan orang lain (dosen, mahasiswa) yang Anda dan orang lain itu gunakan

Page 5: Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia

5/12/2018 Anthony Giddens dan Kepustakawanan Indonesia - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/anthony-giddens-dan-kepustakawanan-indonesia 5/5

5

dalam rangka menggunakan aturan dan sumberdaya perpustakaan perguruan tinggi Indonesia.

Jadi, Anda dan orang lain itu tidak “dikukung oleh struktur” seperti kalau Anda dan orang

lain duduk di sebuah gedung. Anda dan orang lain itu melakukan reproduksi aturan dan

sumberdaya untuk menciptakan (secara bersama) sebuah sistem perpustakaan yang bisa saja

berubah-ubah, tergantung kepada Anda dan orang lain itu. Giddens tidak percaya bahwa

struktur sosial bisa berbentuk tetap dan kokoh seperti struktur beton.

Tetapi struktur memang bisa stabil dan bisa menimbulkan “integrasi sistem” (sebagai

lawan dari disintegrasi sistem) karena terus menerus diproduksi dan direproduksi oleh para

anggota masyarakat. Dengan kata lain, sudah jadi rutinitas, sudah jadi “budaya” (walau ini

bukan ucapan Giddens, karena “budaya” di sini lebih berarti kebiasaan). Jadi, bisa saja ada

“integrasi sistem perpustakaan perguruan tinggi Indonesia” karena sudah diproduksi dan

direproduksi sejak 1920an, mungkin sebagai warisan dari sistem perguruan tinggi kolonial

Belanda! Seyogyanya, integrasi sistem ini juga adalah integrasi sosial. Artinya, aturan dan

sumberdaya yang sudah direproduksi secara sistemik itu dimanfaatkan dan diterapkan dalam

kegiatan sosial (kegiatan interaksi antar manusia, misalnya antara Anda dengan dosen).

Tetapi Giddens mengatakan bahwa integrasi sosial inilah yang bisa jadi sumber perubahan.

Artinya, kalau di tingkatan hubungan antar manusia (hubungan Anda dengan dosen atau

mahasiswa pengguna perpustakaan) terjadi disintegrasi, atau terjadi ketidaksepakatan tentangaturan dan sumberdaya, maka boleh jadi juga ada disintegrasi sistem perpustakaan perguruan

tinggi. Repotnya, kita sering percaya bahwa struktur itu “kekal dan pasti”, sehingga kita

berhayal bahwa telah ada “sistem perpustakaan perguruan tinggi Indonesia”, padahal di

tingkat sosial, di tingkat yang sesungguhnya (yakni dalam hubungan antara pustakawan

dengan pengguna) terjadi ketidak-sepakatan, disintegrasi sosial, ketidakjelasan penggunaan

sumberdaya, keengganan mentaati aturan (misalnya dosen tidak menggembalikan buku, dan

Anda tidak bisa berbuat apa-apa), dan sebagainya. Jadi, hayalan kita tentang sitem

perpustakaan perguruan tinggi Indonesia itu hanyalah hayalan belaka. Bukan “memory

traces” yang dimanfaatkan oleh Anda dan pengguna perpustakaan Anda.

Dengan pemikiran di ataslah kita bisa memeriksa kembali, apakah telah ada “struktur”

dan “sistem” perpustakaan di Indonesia. Apakah ada “institusi perpustakaan Indonesia”?

Apakah ada aturan dan sumberdaya dan kekuasaan/kemampuan pemanfaatan aturan dan

sumberdaya perpustakaan Indonesia?

Repotnya, kita sering percaya bahwa itu semua (struktur dan sistem perpustakaan

Indonesia) sudah ada dengan menunjuk kepada gedung, buku-buku tebal yang berisi

peraturan tentang perpustakaan, surat keputusan, kepala perpustakaan yang memakai seragam

dan peneng Korpri, salinan pidato Presiden yang memuji-muji kegunaan perpustakaan,

rekaman dan foto upacaya peresmian perpustakaan oleh menteri, dan sebagainya.

Giddens mengajak kita bertanya: benarkah itu semua “struktur” dan “sistem”

perpustakaan Indonesia?

Apakah “Perpustakaan Nasional RI” itu ada??? Apakah sistem nasional perpustakaan itu

ada? Apakah sistem dokumentasi ilmiah Indonesia itu ada? Apakah Indonesia itu ada???

THINK HARD, PLAY SOFT!

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/the_ics/message/10324