114

Antologi Puisi 7 Penyair, Tarian Kaki Langit With Cover (1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

antologi puisi dari tujuh penyair.

Citation preview

  • KATA PENGANTAR

    Menarik untuk kita coba renungkan, betapa bahwa menyair (mencipta puisi) agaknya makin bias dengan

    leluasa dilakukan oleh siapa pun. Tidak lagi ada hambatan psikologis untuk menulis puisi. Malah,

    setidaknya mulai akhir dasawarsa 1980, menulis puisi telah menjadi semacam kebutuhan bagi sebagian

    besar orang. Fenomena ini makin menguat ketika puisi termungkinkan menemukan media publikasi

    dalam berbagai wujut. Tidak hanya Koran atau pun buku. Puisi mulai mudah dan menjadi hal yang

    lumrah untuk kita suai di blog dan makin memasar pada era penggunaan facebook. Jejaring social yang

    efektif untuk dihadirkan sebagai media berekspresi. Dari titik era inilah muncul luar biasa banyak penyair,

    dalam arti orang yang menulis puisi secara intens. Kemudian membukukannya. Secara bersama-sama

    dengan beberapa penyair lain atau pun sendiri. Buku ini, menurut saya, termasuk kumpulan puisi cukup

    serius yang lahir dari kalangan facebooker yang menulis puisi dan berupaya menerbitkan serta

    menyebarkannya.

    Sebagaimana umumnya kumpulan puisi yang lahir dari kalangan yang mulamula berinteraksi melalui

    dunia maya, puisipuisi agaknya telah pula termuat melalui akun masing-masing penyairnya. Telah pula

    memperoleh respon memadai dari teman-teman masing-masing penyairnya. Puisi-puisi yang termuat, bias

    ditebak, memang kebanyakan personal, namun bukan berarti bahwa tema-tema mempribadi itu

    mengurangkan bobot puisi. Sebagian lain, dalam jumlah nyaris berimbang, mencoba mengangkat tema-

    tema sosial. Hasilnya, barangkali masih sangat permukaan, namun tetap patut diapresiasi.

    Puisi memang belum mati. Masih dituliskan. Oleh banyak orang. Masih pula dibaca. Juga oleh banyak

    orang. Jadi, sebagai sesuatu yang menyerupai semacam pesta, mari kita nikmati saja.

    ~Timur Sinar Suprabana. Penyair. Tinggal di Semarang.

  • Filiya Putri Alfath akrab disapa Fivi

    lahir di kota udang Sidoarjo tanggal

    29 mei 1992 lulusan SMK Negeri 3

    Buduran perkapalan, aktifitas sehari

    hari menjadi kuli bangunan, sibuk

    belajar menulis indah sekaligus

    menjalani semester 4 di Universitas

    Muhammadiyah Sidoarjo. Anak

    pertama dari pasangan Drs. Akhmad

    Nor Kholiq dan Yunani Yusri saat ini

    bergabung dengan komunitas delta

    sastra dengan antologi cerpen

    HUJAN MELUKIS LAUTAN.

    Tinggal di www.filiya.blogspot.com

    dan [email protected]

  • MASIH Aku masih berjalan

    Dari titik goyang ke sudut limbung

    Entah

    Jika angin malam mampu mendinginkan lara hati

    Aku kan mendekap senja hingga fajar

    Tujuh ramadhan sekalipun

    Sepi meraung-raung menyeretku kesudut ambigu

    Terbayang senyummu menendang ulu hatiku

    Masih kucoba melupakan parasmu

    Kulihat detik melaju menertawakanku

    Masih terasa hangat di pipiku

    Bekas kau genggam malam itu

    Cinta itu telah meraja dalam hati

    Harus ku akui

    Harus ku akui

    Aku menggigil ketakutan mendengar kau akan pergi

    Dan kini kau benar-benar pergi

    Bulan pucat bersaksi pada alam

    Kerinduan membuatku mati perlahan

    Menyuruhku menghapus rasa ini?

    Bak mentawarkan garam di laut

    Selepas kepergianmu

    Cintaku masih tetap tumbuh

    Seperti ilalang di padang tak bertuan

    By: Filiya Sang Putri Alfath

    Rabu, 10 Agustus 2011

  • PESAN IBU UNTUK PUTRI

    Sebait embun mengambang di pelupuk mata.

    Dengan kornea sejuta kata.

    bersama lidah tak mampu berkata.

    Lambai tangan untuk salam berpisah.

    Cinta putri selaksa hasta

    Untuk ibu dan senyumnya

    Yang tak mampu dibayar nyawa

    Walaupun bulan dan bintang mampu kugenggam

    Tanpa senyum ibu, tiada indah yang lebih mendalam

    (tangannya kusut mengelus kepala putri sambil berkata)

    Senyum ibu senantiasa milikmu nak.! Lemparkan batu impianmu sejauh yang kau mau

    Hanya satu pesan ibu, ingatlah tuhan sebagaimana yang kuajarkan padamu.

    Pergilah.! Pergilah! Raih mimpi dan anganmu

    Tugas Ibu hanya merawat dan membesarkanmu. Dan menyayangimu.

    Jika kau cinta padaku sayangilah aku.

    Dan janganlah menyangiku karena kau kasihan padaku.

    Sungguh aku selalu menyayangimu sejak kau di perutku.

    Lantaran aku cinta padamu bukan kasihan padamu.

    April 8, 2011

    By: Filiya sang Putri Alfath

  • SERDADU DAN GADISNYA

    Selamat tinggal sayang

    Aku akan berlalu

    Jangan hilang sayang

    Rindu milikku

    Jika nanti aku kembali

    Senyummu yang kunanti

    Jika nanti aku tak kembali

    Jangan menangis saat aku mati

    Andai seragam ini boleh kuganti

    Akan kuganti dengan pelukmu

    Agar kau bisa memelukku

    Saat pelor menghentikan nafasku

    Selamat tinggal sayang

    Aku akan kembali

    Selamat tinggal sayang

    Jangan menangis lagi

    By: Filiya Sang Putri Alfath

  • TEROR

    Bungkam mulut komentator

    Mencekeram nurani dengan tangan-tangan kotor

    Bangsa ini bukan pelor

    Berusaha lari dengan jam karet molor

    Guru kami para koruptor

    Setiap nasehat mengharap honor

    Kami ingin lari

    Kami ingin pergi

    Pelukan ibu pertiwi

    Tak lagi hangat di hati

    Lalu disudut mati

    Serak itu memaksa telinga berdiri

    Lindungi kami! Kami anak negeri

    Lalu intuisi

    Berteriak ilusi

    Bungkam mulut komentator

    Berdasi dandanan menor

    Berkata ba bi bu lalu ngeloyor

    Tidakkah kau lihat?

    Saat pak menteri saling menghujat

    Bagai maling sandal

    Kucing-kucingan rebutan modal

    Mencengkeram nurani dengan tangan-tangan kotor

    Koruptor mewabah terus meneror

    29 November 2010

    By: Filiya Sang Putri Alfath

  • MIMPI YANG AMBIGU

    Kali ini malam berpihak padaku

    Tentang gundah yang kuceritakan semalam

    Membuatmu menitikkan air mata

    Selimuti aku dengan dinginmu

    Hingga kabut menyadarkanku

    Sungguh hidup ini fatamorgana

    Embun yang dingin

    Menyejukkan jiwa yang selalu ingin

    Merindukan insan bagai angin

    Meluruskan benang kusut yang ku pilin

    Dan senyum itu meracuni segala ilusi

    Wahai malam yang selalu diam

    Ingin kulihat cahaya meredup dengan tentram

    Andai saja mimpi tak selalu tinggi

    Membunuh rasa yang tak pernah mati

    Betapa kubenci khayalan kelabu

    Menerkamku dalam ambigu

    By: Filiya Sang Putri Alfath

    02 Desember 2010

  • SUTRA DAN POHON SALAK

    04-10-2011

    Saat mata sebening embun

    Ada hati selembut sutra

    Diantara cambuk cinta yang mengayun

    Dewa-dewi mabuk olehnya

    True love is builshit

    Take it or leave it

    Seperti jaring-jaring pahit

    Di batas cakrawala yang kian sempit

    Cerita cinta yang orang-orang bilang, sudah basi di telan realita

    Yang kutahu, dimana ada harta disana ada cinta

    Seperti wakil rakyat yang mengikat suara

    Uang dapat bicara dan berkuasa

    Aku seperti sutra dan pelepah pohon salak

    Jangan kau dekati, atau duriku akan menyalak

    Welcome to our game

    Do it! Or die

    Aku berdiri disini dan takkan mendekat

    Ku tahu durimu kan menjerat

    Tapi aku terlambat

    Dosa yang kau buat terlalu nikmat

    Lalu nyanyian asa membuatku terbuai dengan paksa

    Once again

    Welcome to our game

    Do it.! Or die

    Wahai para pecinta

    Jurang berkabut memang terlihat seperti surga

    Sekarang, mari kutunjukkan padamu

    Perih cinta itu seperti sutra yang terlilit di sekujur pelepah salak

    Sakit pada awalnya, lalu kau kan terbiasa

    Setelah kau terbiasa

    Tangan tangan itu akan merengkuh sutra dengan paksa

    Hingga koyak tanpa sisa

    Jangan pernah membayangkan sakitnya

    Seperti sakaratul maut kiranya.

  • Apalagi yang bisa kau andalkan tentang cinta

    Layla Majnun? Mereka berdua mati tanpa pernah bersatu

    Romeo Juliet? Romeo meminum racun lalu Juliet bunuh diri

    Rama dan Shinta? Shinta diculik dan Rama dibantai

    Mungkin Barbie cintanya selalu bahagia

    Sayangnya Barbie bukan manusia.

    By : Filiya

  • TEMA MALAM INI

    Tak ada yang mampu kutulis

    tak ada ang mampu kubaca

    tak ada yang mampu kurasa

    tak ada yang mampu kukecap

    diantara sajak rindumu menguak embun-embun basah

    ditengah gemerisik daun kering

    Jika satu mataharai dan satu rembulan menjelma bebtuan

    lalu padaku adalah bulir-bulir pasir sebanyak tanganmu mampu menggenggam

    pernah kau tanya?

    pada kuas basah yang melukis rindu-rindu yang tak kunjung usai

    lalu kupampang wajahmu menatap bulan diatas kanvas

    dan akupun membisu,

    galau

    adakah yang lebih baik diantara keduanya?

    aku tak bisa menjawab

    kau bertanya bukan soal matematika, fisika, atau kimia

    kali ini bertema tentang rasa

    sssssss

  • DOA YANG TERGILAS

    Semburat remah-remah jalanan

    Diantara pasir-pasir lunglai menatap waktu

    Berpulang anai-anai kepada inangnya

    Seperti buncitan yang ingin menyusul haluan

    Dimana rinduku kucari diantara alang-alang busuk dan gemintang hilang ditelan kota-kota

    Aku tak peduli

    Bukankah hidup ini hanya milikku dan hanya aku yang tau,

    Aku tak ingin orang lain mengerti ataupun mendengar

    Akupun lelah menuntut untuk dapat didengar

    Teriakku tak pernah menembus kaca mobil mereka

    Tangisku mongering dibalik ray ben

    Air mata darah menghitam kering serupa aspal dan mobil-mobil angkuh

    ; jalan ini milik kita, mengeras oleh tangis darah luka dan air mata

    Aku menghilang di perempatan satu arah

    Dan tak pernah bias kembali

    Seperti noktah hitam ditengah aspal

    Sama-sama diinjak,

    Kami tak bias teriak

    Deru mesin-mesin itu lebih keras dari pada pita suara kami

    Kepada tuhan aku mengadu tentang kuburanku yang terinjak mobil mewah

    Sidoarjo, maret 2012

  • KAWANKU DI WARUNG KOPI

    kilau kejora di pelupuk mata.

    dan senyuman pagi mnegering diwajah

    adapun daki telah mejelma kerak

    sampaikan pada angin-angin yang mulai berontak

    pada udara yang kuhirup sedalam senja

    lalu malam-malam telah bosan menusuk belulang

    adakah senyummnya terbaca olehku?

    melati malam merekah di ujung gang

    pada hilir mudik kumbang-kumbang setan

    hati kecil bertanya miris

    adakah yang disana rasa terluka

    adakah mereka rasa terhina?

    yang ku tahu mereka tertawa menantang waktu

    Lihatlah kelakuanku....!

    jerit mereka lantang pada tuhan

    kami bosan digilas jaman

    dan do'a kami tak lagi memberi jawaban

    kami hanya membuat sex menjadi kegiatan

    kehamilan hanya implementasi kejantanan

    by: filiya putri alfath di kantor baru pondok jati DD1

    puisi untuk rekanku diwarung kopi

  • DALAM ANGANMU

    Mungkin jarak mengaburkan rindu antara kita

    Semoga ambisi itu senantiasa membara

    Dalam mimpi kulihat wajahmu sembunyi

    Dalam untai harapan tak bertepi

    Terus melaju

    Dalam panas jalanan berbatu

    Apa yang ku tuju

    Bukanlah mimpiku

    Aku terus tergilas dan tak pernah bisa kembali

    Dan pergilah

    Gapai cita-citamu

    Temui aku dalam anganmu

    Jika ada

    Jika aku masih ada

    Masih ada

    Dalam anganmu

    By: Filiya Sang Putri Alfath

  • KEMBARA LANGIT SENJA, adalah

    nama pena dari Zulkifli , lahir di

    Pekanbaru Oktober 1963. Aktifitas

    sehari-hari adalah Guru Seni Budaya di

    SMA Negeri 8 Jambi. Aktif berkesenian

    sejak tahun 1988, lewat karya sastra

    maupun seni pertunjukan, beberapa

    karya yang pernah dipertunjukan:

    Teater Gong 1998, Maafkan Aku Mak!

    2000, Kaleng 2001, Fragmentasi Puisi

    Kita Adalah Sama (EM. Yogiswara),

    menulis kumpulan cerpen yang berjudul

    Prajnapramita, tahun 2001 mendapat

    penghargaan penyudradaraan terbaik lewat karya teater naskah yang digarap sendiri berjudul

    Improvisasi Gong, menggarap Musikalisasi Puisi baik ciptaan sendiri maupun karya sastrawan

    lain. Menggarap naskah Tiga Sandiwara dari Sumatera Timur 2010, Penghargaan terakhir yang

    diperoleh juara II Tingkat Nasional lewat karya Pertunjukan Teater dalam naskah Terpenjara

    Bisu pada Pertunjukan Seni di Jakarta. Sekarang aktif dalam komunitas Teater Lumut yang

    dipimpinnya.

  • Batu-batu-Ku

    Zulkifli

    langit menjadi batu

    siang menjadi batu

    hati menjadi batu

    jiwa membatu

    otak membatu

    jiwa-jiwa berlarian seperti batu berterbangan

    keranda batu sarkofagus

    sampai menjadi pyramid telah berubah membatu

    pikiran mem-batu-ku entah kapan menjadi batu

    sakit batu nisan tempat ku meregang jazad

    seperti batu-batu-batuku

    telah menjadi pasir

    kini kupagut batu dingin

    seperti jiwa yang membatu

    tak punya hati nan nurani

    batu-batu-ku

    kebelah!

  • menjadi batu makam

    Jambi 13-04-2012

  • Penjaga Hati

    Zulkifli

    pelan-pelan lelaki itu

    mengguncang sedu sedan

    menukarnya dengan terompet malam

    ditiup perempuan penjaga senja

    kasih sayang tak bermakna

    dikulum dengan ragu

    disandang gerimis menerkam bumi

    peluh-peluh tak lagi asin rasanya

    sapa tubuh pada lorong kabut

    gairah itu telah terhidang di meja makan

    berpita merah disabung marah

    hentikanlah sedu sedan itu!

    ratap meratap hulu di sabung senja

  • lalu?

    semua berubah hening

    resah kusandarkan di dermaga bulan

    lalu?

    bintang hanya memaki

    terkapar di punggungku

    puas!

    Jambi, 03-03-2012

  • Disini Telah Terbaring

    Zulkifli

    Disini telah terbaring dengan tenang,

    jiwa-jiwa yang mengais resah,

    mengumpat diri

    berceloteh tentang malam

    berbincang tentang siang

    merubah

    membahana kan langit

    membalikkan bumi

    menancapkan tiang-tiang nisan di batu cadas kehidupan, sambil membunuh sepi, berseteru

    dengan bintang gemintang, meredam gema nurani suci.

    Disini telah berbaring dengan tenang

    Kuncup mekar harapan

    Busana jiwa,

    busana lusuh keinginan

    beragitasi tentang asmara keriuhan

    dalam bingkai aksara

    meremas....

    memperkosa kata lewat sejumput nafsu, lalu melemparkannya dalam serangkaian kalimat untuk

    memperdaya fantasi, ilusi, membakar dengan seloka, menyisakan puing-puing rindu yang

    membekas, sebab sembilu aksara meremas nurani.

  • Disini telah terbaring dengan tenang

    Malam...

    Siang...

    Lewat pergumulan waktu

    Aku berpasrah

    Telah merubah siang menjadi malamMu

    Menghentikan angin dinginMu

    Menyapa nadi-nadi berdarahMu

    Berdetak di jantung asmaMu

    Ya Allah....

    Aku berpulang padaMu terhadap pikiran sesatku, merajut aksara lewat kalamMu, sujudku pada

    kekotoran hatiku yang telah bercanda dengan hujan, halilintar, di tetes rinai tak mampu

    kumaknai sebagai kebeningan

    Maafkanlah!

    Disini telah terbaring dengan tenang

    Keluhku dan gundahmu

    Mengubur Bayangan

    biarlah kenangan jadi bayangan

    jarak terpagut melambung sukma

    pada rembulan titipkan gundah

    agar terbakar rasa gelisah

    Jambi, 05-05-2012

  • Menembang Janji Tak Berdawai

    Zulkifli

    dari langit terpental gerimis siang

    terlantar mengaum dalam lantunan

    ibu-ibu mengepit kebaya

    menembang kegetiran

    tangis si buah hati kian terkesan parau

    Rebuslah batu, hidangkan angin

    biar lega perih perut membusung badan

    ibu-ibu mengepit kebaya

    berjualan di kaki lima

    menembang tangisan kehidupan

    kian parau suaranya

    sampai sudah janjimu wakil kehidupan

    tembang kelaparan resah menahan risau

    pada kuntum melati yang layu

    tertikam nisan sajadah di batu makam

    hening tak berdawai

    harmoni jiwa kian parau

  • masuk di pintu kematian

    sambil berucap

    sampai sudah janjimu wakil kehidupan

    menembang janji tak berdawai

    Jambi, 04-04-2012

  • Rembulan Tak Pernah Meratap

    Zulkifli

    Aku tak tahu darimana mulai mengisahkannya, dari cahaya yang temaram memupus gelap, dari

    ketinggian yang tak mungkin terjamah, dari seberan kabut tipis yang menutupi tubuhnya, atau

    dari kehampaan yang dirasakan atas kesendiriannya yang terbentang seperti titik putih kapas di

    hamparan langit.

    Bulan tak pernah meratapi kesendiriannya, walau geriapnya sanggup berbagi untuk semua

    makhluk, kehadirannya dalam kesendirian memupus cerita duka bahwa tak ada kebahagiaan bila

    ingin merengkuh di kesepian, hanyalah keraguan yang muncul ketika percik pesonanya hadir

    dalam persabungan mayapada, bertabur cahaya langit, menghempas selaksa sepi yang dipatulkan

    keindahan yang dimiliknya.

    Rembulan tak pernah maratap, walau tubuhnya terpanggang cahaya, berkorban untuk bumi dan

    langit, saat malam menjelang ia hadir membawa suasana bahagia bagi kelelawar, burung hantu

    atau kita yang masguk dengan kesepian, menikmati sepi dalam hening dapat dimaknai

    kebahagiaan bila batin berada pada ketenangan sekedar untuk mensyukuri ternyata keindahan

    tidaklah mesti dalam keramaian.

    Rembulan tak pernah meratap, ketika rotasi membelenggu dirinya. Bergerak terus untuk maju,

    tak pernah mundur, hidup adalah perjalanan waktu, jangan menoleh ke belakang bila diyakini

    hanya akan merusak masa depan, jangan mundur selangkah pun sebab hidup adalah perjalanan

    yang tak mesti berhenti, walau prahara dan problema hadir, harus terkibas dengan keinginan

    meraih kebahagian, rembulan sendiri merengkuhnya, kenapa kita harus menangisi kesendirian

    yang ditimbulkan dari serpihan masalah dilematikal hidup?.

    Rembulan tak pernah meratap, kuharap drimu juga demikian jangan menangisi keadaan, tetapi

    rubah keadaan yang tak disenangi menjadi disenangi, kita adalah pemilik diri, maka kitalah yang

    menentukan kebahagian itu sendiri.

    Rembulan tak pernah meratap, kuharap dirimu juga!

    Jambi, 24-03-2012

  • Doa Kelam, di Subuh Itu

    Zulkifli

    dari luka hati nganga itu

    tak terdengar lagi sekepal tulus

    tapi dari musim ke musim, awalnya

    langit terluka berubah menjadi korban

    dan segera dikerandakan

    Tuhan

    keakuan ini hanya bilah canda

    di atas luka duka merapal mantra

    bergederam onak di kepala

    merintih airmata, hati dikremasikan

    sementara

    perkenankan isakan itu menjadi selaksa puisi

    lalu kemudian

    menjadi kunang-kunang yang tak berbinar

    Jambi, 09-03-2012

  • Sunyi di Persimpangan Cinta

    Zulkifli

    memar hati disapih bayang

    terkapar di nisan obituari

    jiwa dirahup patirasa

    pawana terhenti dikeheningan

    terkoyak pataka di payung langit

    Sudahkah kau nyanyikan balada rerumputan?

    Ibu mematut langkah ku dalam kesesatan

    Pulanglah!

    Tambatkan di kursi, dimana kugantung kenakalanmu

    Ibu tersenyum menimang buaian rotan dan mengikatku pada kursi yang ia duduki

    Kau memang nakal, dari kecil ibu sering kau buat menangis

    Untuk apa lagi, Nak!?

    petaka menggelinding seperti menjamah kehidupan

    menidurkan mautku di pesimpangan

    Tak kuharapkan!

    Apakah masih berguna air mata ini Ibu!

  • petaka matikan rasaku untuk kebenaran

    Aku sudah tak seperti anakmu dulu lagi ibu! Yang merentang sajadah kebenaran untuk pilar kehidupannya!.

    Tetapi! Petaka itu telah merubah.

    Aku tak mampu mengeluarkan airmata untuk kesakitan itu, Ibu!

    petaka itu telah menghitamkan pikirku

    Ibu.....

    Jambi, 17-01-2012

  • Penenun Aksara Malam

    Zulkifli

    aku akan belajar pada penenun

    merajut benang alam menjadi untaian makna

    masuk dalam pesona warna

    meramu benang-benang waktu menjadi aksara hidup

    aku akan belajar pada penenun

    merapikan hiasan waktu di lidah malam

    memasukkan dalam kuali bumi

    mengaduknya menjadi lembaran nyata

    aku akan menjadi penenun

    mengibaskan aksara pada beranda malam

    merobeknya menjadi perca

    kemudian

    menyusunnya kembali menjadi tenunan

    mengemasi aksara yang terbuang

    memberinya ruang pulang pada aksara yang tak berwujud

  • dan selanjudnya

    merobek menjadi perca

    Jambi, 14-03-2012

  • Melabuh Hati

    jatuh gerimis, melabuh rinai

    wahai cantik!

    pada riak sungai Batanghari

    ada aroma jingga tubuhmu

    kutatap hening

    lenguh riak membasah tubuh pendayung asa

    hanya seorang kembara

    meniti hari menuju hakekat sepi

    di dalam bilik hati

    ada diding meronta di rumah panjang

    hasrat memburu di tangga-tangga kayu

    daun gugur

    mengabur pada rona warna

    rindu nan kelabu

    gerimis tak kujung henti

    sayangku!

    aku tergugu syahduku

    melabuh di tepian rindu

    nan kupeluk

  • Lelahku Berdarah

    Zulkifli

    Tekukkan lalu rebahkan kesumat itu!

    Biar luka menganga kian tersayat

    Sudah menghitam jelaga ketakutan

    Permadani jiwa lusuh berkerut

    Rentang atma agar bersiteru dengan hati

    Baringkan lalu bakar dalam dendam

    Entah sudah berapa teruntai kebenaran

    Bibir semakin berdarah mengucapkan

    Malam biarkan gelap semakin pekat

    Siang biarkan panasmu kian membakar

    Hati biarkan dirimu terkapar tanpa nurani

    Lipat kelu menjadi bergetah

    Lipat petaka menjadi limbubu

    Lipat....!

    Biar berdegeram mengoyak masa

    Biar menggeram mengoyak takdir

  • Kuremas Sunyi

    Zulkifli

    kuremas sunyi, beberapa pasang netra mengintip

    di sela-sela nyiur daun kelapa

    menguning

    kupu-kupu bercanda di tiang gairahku

    bersandar pada sunyi

    bersama-sama sembilu-sembilu penghianatan

    puaskah?

    dedaunan teratai melenggang

    telaga kuning riak mengeriak, sepasang

    angsa putih memamerkan perselingkuhan

    menjilat hati

    mengulum hasrat

    mencipta kenangan hitam

    tak cukupkah?

    lidah air di telaga meriak indah

    berkali-kali meremas hati

    seolah bongkahan tanah terkuak

    oh.. wajah lelaki itu pembawa noda

  • menerbangkan setiaku

    menciptakan bathin gelisah

    dari waktu ke waktu

    Jambi, 14-03-2012

  • Bola Takdir

    Zulkifli

    Putaran hidup berdengung lrih

    Ditampuk batu lumer d makan ambisi

    Bentangkan soal di altar penyembelihan

    Biar darah menyembur dari setiap jawaban

    Putaran hidup di roda makna

    Remas, tercapik disapih

    Menggelinding bak bola takdir

    Melenting masuk meremas raga

    Putaran hidup menuju ttik nisan

    Lemah, mata biru, terkapar kuyu

    Tubuh terbalut kain putih

    Makam tersusun menanti raga

    Atma hilang terbang

    Bergantung di jagad Amal

    Menunggu waktu

    Datanglah!

    Ia mengundangmu...

  • Aku dan Kecapi Siang

    Zulkifli

    Kecapi itu kembali berdengung

    Memainkan tembang krinok

    Menyesakkan gerimis hati pilu sejati

    Siang memompa panas di sekujur tubuh bumi

    Terpanggang pada kesuburan ranting patah

    Dedaunan menguning dalam risau

    Kelopak gugur menyisakan kecamuk

    Lipat langit!

    Agar syahdu duka tertutupi jenggala jiwa

    Biar bercermin pada bangkai tak beraroma

    Di sudut ruang hampa cahaya merintih lah sepi

    Bungkus dengan duka ratapi kematian nurani

    Kecapi itu kembali berdengung

    Maksa siang rebah dalam rengkuh

    Getar itu hilang

    Jambi, 30-01-2012

  • Senja yang Gelisah

    Zulkifli

    Senja sudah melambai malam

    membisikkan keheningan

    sebab ia akan datang bersama

    derap kesejukkan yang akan melibatkan aku dalam sebuah pembicaraan

    Dari suara ayam yang bergegas menuju kandang

    Itik berlari menuju perigi

    Kemarau seperti tersapu

    pada bumi yang gelisah

    Anehnya langit sedang menyemprotkan wangi kasturi

    Ditaburinya aroma canda mega

    Dan diangkatnya siang menuju ke pembaringan

    Kulihat!

    letih matahari mengitari cahaya

    Kulihat!

  • Senyum senja penuh pesona

    kulihat!

    Semua gelisah mengangkat kehidupannya di senja itu

    Jambi, 20-01-2012

  • Tembang Malam Batanghari

    Zulkifli

    Serunai melingking menyayat rembulan

    Bintang jatuh berserakan

    Di beranda kelam muncul kegetiran

    Sekar selasih berbunga merah

    Berpagut hitam di ketiak waktu

    kidung bayu merembes di tepian Aur Duri

    mengombak kelam dengan selendang

    Sultan Thaha memandang gerah

    Sepucuk Jambi kian menghitam

    Mengutuk tapak tak henti arah

    Batanghari menjadi wabah

    air bah mengepung

    selaksa marah

    bergayut gemuruh di tengah malam

    rasa hormatku bersilang rindu

    menenggelamkan prasasti kehidupan

    dari bias kabut senja Tanggorajo

  • Wangi malam mulai menerobos

    Masuk ke bingkai-bingkai Angso Duo

    Serangga malam melantunkan irama

    pagut kegelapan katanya

    Jambi, 12 12- 2011

  • Mac Gayoon, Lahir di Kediri 1975,

    seorang seniman Otodidak yang

    merupakan salah satu anggota

    kelompok Dynasthi sanggar theater

    dan Sastra Kediri yang sekarang

    sudah punah, sekarang aktif dalam

    Komunitas Kosmubaya (Komunitas

    Seniman Surabaya) dan

    KOPERJATI (Komunitas Perupa

    Jawa Timur), aktif dalam pembacaan

    sastra kontemporer : Kidung Nagari,

    Solidaritas Untuk Sahabat, sastra

    dalam Pondok, dan berbagai event

    sastra pembuka dalam pameran seni

    Rupa di berbagai kota

  • ASMARAGAMA

    Kutorehkan tinta penaku dalam dalam

    Selaksa tarian hampa yang mempesona

    Ijinkan menghampiri jiwamu dalam kelu

    Pengobat kegelisahanku semalam pandang

    Aromamu menyeruak menghunjam rasa sukmaku

    Membelitkan memori yang tak mudah kuurai

    Saat jemarimu menjentikkan lamunan maya

    Meluluh lantakkan segala kesadaranku

    Melunglai sudah aliran rasa

    Yang pernah kupuja takkan tenggelam dalam goda

    Tetapi asmaramu asmaraku terus memburu

    Memecahkan semua kerak jiwaku

    Mungkin simpuhku tak begitu berarti bagimu

    Saat alunan air mata tak mudah percaya

    Tapi kembalinya aku padamu

    Mampu mendiamkan tangis jabang bayimu

    Mac Gayoon 08032010

  • KIDUNG SANGKREM

    Kesinilah ngger dekat bapak

    Bawalah senyum merdumu letakkan dalam renda hatiku

    Rentangkan tangan mungilmu yang penuh daun kasih

    Dan tebarkan didadaku tuk obat resah seharian

    Benamkan kepalamu dalam rengkuhanku

    Dengarkanlah nada JANTAN-ku

    Irama pelindung jiwamu dan juga ibumu

    Dari rasa gelisah dan takut akan gelap malam

    Jadilah peletak dian terang dalam temaram

    Biarlah aliran darahku melantunkan kidung untukmu

    Menyebarkan kehangatan ke segenap jiwa

    Lenyapkan gamang dalam mimpi siang

    Sampai kau tenang, nyaman dan terlelap

    Bila nanti bapak pergi

    Kuingin dengar suara keras tangismu

    Bukan pemberat langkah pengiring pergi

    Cuma penanda agar bapak kembali

    Membawa cinta sekarung penuh

    Untuk kau anggerku.. dan ibumu..

  • Rindu Hadirmu

    lama aku tak menuliskan kata untukmu

    biasanya ku toreh dada tintamu yang slalu membiru

    saat angin hadir sehembus sehembus

    dan belaianmu yang nian tulus

    mungkin kau sudah lupa

    atau terlalu sibuk tuk mengingat semua

    serenda kasih yang kutitipkan padamu

    amanah yang sering kau janjikan padaku

    bila kini aku kembali

    ku tak hendak menagih janji

    cuma segantang asa yang menyesakkan dada

    ingin ku curahkan semua

    lama tak ku menulis kata padamu

    mungkin kau sudah lupa

    atau pura pura tak ingat semua

    tapi disini..

    aku tak hendak menagih janji...

    cuman segantang kenang

    yang ingin padamu kucurahkan

    medaeng, 14102011

  • Lawatan Terakhir

    Ijinkan aku menjamahmu

    dalam lingkaran tak bertuan

    yang kemarin sempat menyesakkan dada

    membilang hati terpapar sepi

    sedapat mungkin aku ingin mengunjungimu

    walau jauh di negeri awan

    karena rinduku sedendam meredam

    menjumpaimu akan menjadi penawar gamang

    lawatan rutin yang ku rituali

    seakan terhapus digundukan makna

    hambar yang kini menyeruak dalam hati

    ku ingin jawabannya kini

    berdendang seperiangan

    aku akan datang

    saat sore telah bermain bulan

    dan paruh pipit telah merobek peraduan

    kuingin pasti

    lawatan terakhirku berarti nanti

    Mac Gayoon, 13082011

  • LELAKI GANG DOLI

    Ku kulum bibirmu dalam ikatan janji

    Yang takkan pernah ku tepati

    Nikmati saja yang terasa

    Atau tinggalkan begitu saja

    Keningmu telah menyiratkan

    Kegelisahan yang mendalam

    Sedalam riak resah batinmu

    Saat kurengkuh bahumu

    Malam ini aku ingin menyenggama bulan

    Meski pucat dihempas angin malam

    Kehadir - beradaanku disisimu

    Sebenarnya ketiadaan bagimu

    Lalu kenapa murung menyergapmu

    Besok aku pulang

    Ke rumah yang tak pernah kuanggap peraduan

    Mungkin kerinduan akan menyergapmu segera

    Tapi lupakan saja

    Aku takkan pernah benar benar mengangapmu ada

  • Mantram Kepada Hujan

    Kutautkan rinduku pada hujan

    Saat jatuh hanya riuh tanpa berkeluh

    Tak perlu berpihak pada sisi mana hujan bermakna

    Hargai jatuhnya apa adanya

    Mungkin terlalu hambar bila ku biarkan hujan berkabar

    Karna toh ritual itu sudah ada berabad abad

    Hanya titian rindu yang semakin kuat tak bertahan

    Ingin memenuhi rasa dahaga bercawan cawan

    Kapan terpulang

    Tetesan mulai merembes, meresap, menyatu

    Membasuh ruang jiwa menorehkan makna

    Menyeret sukma menuju titik nadir tiada tara

    Hingga tak perlu kau cari makna

    Semua tlah ada disini

    Ommm.. kosong kembali berbilang Yang berbilang hanyalah kosong tak bertuan

    Penyatuan yang terharap mendorong bersukma sukma

    Mencari bilangan tunggal yang tak bermetafora

    Aku kembali tengadah

    Sapaan hujan menyapaku dengan pekatnya

    Menyadarkanku dalam kenyataan

    Yang penuh bunga bunga menggiurkan

    Menghadapkanku dalam simfoni

    Sibuk dalam hiruk pikuk dunia lagi

    Mac Gayoon, 18112011

  • SELAMAT DATANG DI NEGERI BADUT

    Selamat datang di negeri badut

    Tempat dimana tuan bisa tertawa terkentut kentut

    Negeri yang selalu riang

    Tak peduli suka maupun duka kami berdendang

    Selamat datang di negeri Badut

    Dimana kekayaan bukan ukuran

    Kami mengukur kemakmuran dengan perut gendut

    Dan ketawa yang keras dan paling lantang

    Dinegeri ini kerja kami menjarah Bukan karena kelaparan

    Hanya sekedar memenuhi sensasi akan mimpi yang tak kunjung datang

    Tuan bisa tertawa karena polah kami yang tak masuk diangan

    Tapi kami bisa menyikapi semua tragedy dengan senyuman

    Rumah kami sepetak petak

    Dengan segala masalah yang bisa berkotak kotak

    Bila kami ingin mencari solusi

    Cukup menghisap cerutu yang bau kencing kuda tadi pagi

    Selamat datang tuan dinegeri badut

    Kami keluarga badut

    Tetangga kami badut

    Kami juga dipimpin badut badut

    Jadi akan dianggap dosa bila tingkah kami tidak seperti badut

    Di negeri kami ada beribu gedung pertunjukan

    Ditingkat RT sampai gedung dewan

    Semua gratis untuk tuan saksikan

    Baik lewat TV maupun mata telanjang

    Inilah tuan negeri badut

    Dimana kami semua berperut gendut

    Kami anggap puasa bila kelaparan

    Dan Sakit itu sangat dilarang

    Atau bila terpaksa.. tunggu saja dilorong bangsal Karena segala jamu disini mahal

    Selamat datang di negeri badut

    Tempat dimana tuan bisa tertawa terkentut kentut

    Negeri yang selalu riang

    Tak peduli suka maupun duka kami berdendang

  • TRAGEDI KAMPUNG BATU

    Kuberitahukan padamu

    Kisah tentang tragedi Kampung Batu

    Yang terkabar lewat bisik bisik

    Dari batu kebatu

    Kami hidup dari saling membelah

    Memancung gunung gunung dengan serakah

    Memakan kayu kayu hutan

    Pun tak pernah sedikitpun kenyang

    Kukabarkan padamu

    Kisah tentang tragedi Kampung Batu

    Hati kami yang kian hari mengeras

    Tak peduli mamak, budak terlibas

    Toh kami terlahir dari batu?

    Dengarkanlah wahai pendengarku

    Yang menguping dari balik dinding batu

    Jangan pikir budaya kami cadas

    Pemimpin kami lah yang membentuk culas

  • Kuberitahukan kepadamu

    Kisah tentang tragedi Kampung Batu

    Yang terkabar lewat bisik bisik

    Dari batu kebatu

    Kami warga Kampung Batu

    Bertahta batu, bermahligai batu

    Kami terlahir dari rahim batu batu

    Serta merta kami berkepala batu

    (Untuk dewanku Sang Raja Batu)

    Mac Gayoon, 10062012

  • Minke W.H kelahiran tahun 85.

    Tumbuh berkembang dalam menulis di

    "ladang pembantaian Puisi" Froum

    Diskusi (fordis) sub ruang

    Cybersastra.net (Alm). Sekarang

    sedang aktif menulis sembari

    menikmati peran sebagai gelandangan

    cyber.

  • AJARI AKU MENULIS (LAGI) bahkan air mataku ini sudah tak ma(mp)u berubah jadi tinta apa lagi yang harus aku korbankan? darah? darah ku sudah berubah jadi nanah karena katakata tak bisa keluar sempurna apa lagi? apa lagi? aku sudah tidak bisa membedakan, putaran kepala atau putaran dunia yang coba ku olah agar aku bisa menulis (lagi) lalu apa lagi? merubah malam pun tak bisa membuat aku menulis (lagi) kepada siang? taku tak berharap banyak, keringatku membasahi kertasnya. Kau... Kau yang harus mengajarkan aku menulis (lagi) bawa aku dimana kau bisa mengajarkan aku menulis (lagi) aku tak minta banyak AKU HANYA INGIN MENULIS (LAGI)

  • KAULAH SAJAK selayak sajak kau tak akan menua kekal di dada. (haiku)

  • AKU IRI sekali ini aku iri pada riak yang menggoyangkan kekokohan perahu itu karenanya kau tersenyum begitu manis sekali ini aku iri pada angin sore yang membelai halus rambutmu karenanya kau terlihat begitu anggun sekali ini aku iri pada takdir matahari senja karena bisa melihatmu sampai membenam padam kau memang mengagumkan dan tak ada peranku disana pangandaran 02/10/11

  • TANGANKU DAN KECANTIKANMU Kecantikanmu malam ini memaksa bulan meinggi pergi membawa iri malu tak bisa menandingi bibirmu membuka membuat senyum yang menusuk dada dan meremas hati pengagum Ahh... tangan ini terlalu pendek tak bisa meraba hanya berkata di atas kertas sampai pegal dan terkulai

  • BULAN TUA malam yang remang meminang bulan tua berbagi terang #haiku

  • AKU INGIN MENCINTAIMU SEBAGAI MALAPETAKA (parodi sapardi) Aku ingin mencintaimu sebagai malapetaka Seperti kata yang tak sempat disurat bencana Ke rumah-rumah yang dijadikannya puing-puing Aku ingin mencintaimu sebagai malapetaka Seperti izroil yang tak bisa menyapa nyawa Lalu menjadikannya tiada

  • MENJAUH Kau sekarang layaknya pendeta pertapa dengan lentera kuning di tangan berayunayun berjalan kau menuju bintang meninggalkan otak dan hatimu tak mau kau ku ajak duduk diatas derak derik gerobak yang lari terseret sapi aku tawarkan kota dimana kita bisa menyata ku perlihatkan mereka yang memacu kita lebih mendunia langkahmu semakin cepat menuju bintang meninggalkan otak dan hatimu dan kau ah kau sungguh kau sudah tak ku kenali lagi kau sekarang.

  • CUKUP dikala kita bersua, nona aku ingin waktu mati disitu pantang kebelakang segan kedepan.

  • PERAWAN PECINTA BULAN purnama melarut ke dalam kopi menggambar rupa perawan pecinta bulan yang menggengam sabar untuk menangkap angin

  • CINTAMU Aku melihat wajahnya dalam kaca pada air matamu jatuh ke hati menyatu dengan cinta dalam dada terjaga untuk selamanya.

  • SISA CINTA Hati meninggi Cinta pun jatuh pecah terberai di lantai menyisa luka serupa wajah dara

  • PENGANGGURAN PENGANGGURAN adalah tuan yang tak pernah bosan duduk termanggu dari minggu sampai sabtu apa yang tuan pikirkan? Hingga pantat tak kunjung diangkat Bangkit tuan, Rambut tuan tiada beruban Jangan tunggu sampai berkafan Minke W.H 28 Juli 2005

  • MENUJUMU rinduku kini sudah menuju, berlari lurus ke arahmu tak pernah ragu. Ada luka, terpaksa kubawa serta, ada cinta, membungkus semua c(er)ita. Rinduku hanya tertuju padamu.

  • KAU DAN AKU SAJA Kita akan selalu berbagi nasib selayak sayap seekor burung, bukan merak, cukup pipit saja. Mendunia, Kita akan terbang, aku mengepak, dan kau pun tiada beda. berdua, kita akan menjaga kepala kita ketika tidur, hangat terlelap, sampai tak bisa bangun lagi.

  • POETIH DEKIL, adalah nama pena dari Tomy Rymalo

    El Asad, lahir di Jakarta Agustus 1984. Pernah ikut aktif

    di Forum Diskusi (fordis) sub ruang Cybersastra.net

    (situs sudah tak aktif). Aktif di blog si-

    jalang.blogspot.com. Menyibukkan diri di Teater Jalanan

    Kecamatan Cileungsi-Bogor bersama Anak-anak seniman

    jalanan Cileungsi-Bogor yang berdiri sejak tahun 2004.

    Juga termasuk dewan pendiri dan pengurus Yayasan

    Peduli Umat Arribatul Ukhuwah yang bergerak di bidang

    pendidikan dan kehidupan sosial umat, serta mengajar

    Bahasa dan Sastra Indonesia pada tingkat SMP di

    yayasan tersebut.

  • Rindu (Haiku)

    Mengusik Rindu

    Gelisah menggugatku

    Mencintaimu

    Selayak darah

    Mengalir dalam resah

    Wajah membasah

    Kutikam cinta

    Lalu kucekik dia

    Kubunuh rasa

    Demi cintaku

    Ku nikmati adamu

    Wajah nan sendu

    ~HAIKU~

  • Malam Muram

    Malam

    Gelisahmu, harapmu yang merengkuh

    Kudengar syair indah begitu berirama, mesra

    Malam, kenapa engkau menampakkan kesuraman wajahmu?

    Asap rokok mengepul ke udara, memuai entah kemana

    Tercium olehku wangi parfum murah, menyengat

    Kupandangi wanita-wanita molek pengundang selera

    Menawarkan luka dan gelisah di dada

    Di ujung sebelah sana

    Para pengais sampah tergolek dalam ketiada-berdayaannya yang membisu

    Sepanjang trotoar jalan itu

    Mereka terlelap, bermimpi, indah...

    Di sana, kau lihat di sana

    iya, itu di halte sana

    Bocah-bocah kecil lusuh

    Berpakaian rombeng nan lugu

  • Tatap wajah mereka, kau kan temui keindahan yang takkan membuatmu jemu

    Kebahagiaan yang tak pernah ragu

    O, malam kelam

    Sekali lagi, kau tampakkan wajahmu yang muram

    Inikah syairmu yang mencekam?

    Tengoklah gemintang melekat indah pada tubuhmu yang hitam

    Malam.... berilah kami harapan

    Membenahi diri

    Mengusap peluh yang membasahi dahi

  • Kunanti

    Dengarlah suara simfoni mengalun mesra dan juga manja

    Mengajakku untuk menggandeng tanganmu, tuk berdansa

    Lihatlah kerlip lilin nan penuh romansa

    Biarlah kupeluk tubuhmu, biar kunikmati kehangatannya

    Kecupan manis darimu kunanti

    Mengungkap tabir rindu yang sudah lama berkalang kabut

    Tetapi biarlah untuk sementara terus begini

    Setidaknya, bisa terus kupandangi mata indahmu nan sayu

    Kecupan manis darimu kunanti

    Mengisyaratkan rasa cinta yang saling kekal dan setia

    Tetapi biarlah untuk sementara terus begini

    Setidaknya senyum dibibirmu terus merekah

    Lagu sudah lama mengalun mesra

    Hangat tubuhmu tak bosan aku memeluknya

    Matamu nan indah dan senyuman bibirmu nan merekah

    Oh kasih, kecupan manis darimu kunanti, cinta

  • Peri Kecilku, Aku Ada di Sini

    Duhai peri kecilku nan jelita, ingin kutatap wajahmu nan lugu

    Lembut matamu menatapku lesu dalam kegalauanku

    Wahai peri kecilku nan jelita, aku cinta kamu

    Demi setiap tetes darahku yang mengalir ditubuhmu

    Kemarilah engkau, mampir dalam pelukanku

    Kan kubasuh kerinduan abadi yang lama menanti keindahanmu

    Setiap kecupku menandakan kau adalah aku, meski kita terpisah ruang dan waktu

    Wahai peri kecilku nan jelita, pandangilah dinding langit yang berwarna hitam

    Jangan kau pandangi bintang atau rembulan

    Dibalik hitam ada wajahku bersembunyi dalam tirai, sembari tersenyum menatapmu

    Wahai peri kecilku nan jelita, sungguh kau tak sendiri

    Dalam bisikku, didalam ruang hampa ini ku akan selalu berkata, aku ada disini

  • Saat Aku Mencium Bau Tengik Sampah (Sajak Anjing-anjing Buduk)

    Saat aku mencium bau tengik sampah, ku menelisik

    Terlihat olehku anjing-anjing buduk berebut mengais sampah

    Menjilat-jilat dan mengendus-endus

    Demi anak-anak kecil bertelanjang dada yang menangisi indahnya ratap derita

    Demi kaum papa yang menertawakan laparnya perut yang membuat sengsara

    Demi ibu-ibu yang berpisah dengan anaknya untuk bekerja sebagai wanita malam

    Bagaimana jika anjing buduk tinggal di istana, menguasai sawah dan ladang

    Serta pasar dan kantor-kantor manusia yang seharusnya menjadi petinggi

    Anjing-anjing buduk yang menggigit apa saja

    Mengendus derita siapa saja, bahkan deritamu

    Sambil menatapmu garang mereka menjilati ketiada berdayaan yang mereka ciptakan

    Sudahkah engkau menyaksikan anjing-anjing buduk menyalak..??

    Bak serigala buas mereka mencengkram apa saja yang ada di hadapan mereka

    Tapi mereka hanyalah anjing-anjing biduan yang tak henti-henti menyalak

    Untuk menutupi rasa jerih dari koreng yang menutupi tubuh mereka sendiri

    Aku meronta Aku hanya bisa meratapi kisah sambil tertawa riang

    Decak kagum yang membuat seisi perut harus kembali keluar membasahi tanah yang sudah

    basah

  • Bak nanah yang membasahi luka, mereka ada di sekeliling kita

    Di rumah-rumah mewah dan megah

    Di dalam istana yang seharusnya diperuntukkan untuk raja

    Di dalam kandang kumpulan anjinganjing buduk yang terpelihara sejak lama

    Inikah yang kau inginkan kawan??

    Tidakkah engkau mau bertanya sedikit saja

    Kenapa engkau masih mengasihani mereka..??

    Memberi mereka makan dengan jemarimu yang sudah dilumuri tinta berwarna kelam

    Toh makananmu sendiri sudah tak lagi bisa tertelan

    Karena rasanya sangat getir untuk kau kecapi dengan lidahmu yang sudah dibuat kelu membisu

    Inikah yang kau inginkan kawan??

    Tidakkah engkau mau bertanya sedikit saja

    Sampai kapan kebahagiaan ini engkau rasakan..??

    Sampai engkau mati berkalang tanah, dengan tubuh kering dan menggontai tak berdaya apa-apa

    Sampai engkau menyadari bahwa jasadmu tak lagi berarti apa-apa

    Menyadari bahwa hidup tak lagi soal hanya dirimu dan dirimu saja

  • Kita harus menapaki jalan

    Menyuapi anak-anak kecil yang terlunta-terlunta dan tak lagi tahu siapa bapak atau emaknya

    Membawa serta orang-orang yang menderita karena tak lagi bisa makan nasi walau sekepal saja

    Menutupi ketelanjangan wanita yang sudah tak lagi punya daya atas perihnya cambuk yang

    menyiksa

    Lalu mendongakkan wajah

    Dan siap menggebuk kapan saja, anjing-anjing buduk yang berkeliaran dimana-mana, dari

    ladang hingga istana.

  • Kisah Bocah Pengais Sampah di Siang Hari yang Cerah

    Langit cerah, awan putih, angin berhembus sepoi-sepoi

    Menerpa rambutku yang kusam dan wajahku yang polos menatap langit bersahaja

    Ku cium kesegaran udara, bau tengik sampah-sampah busuk yang baru turun dari truk menusuk

    hidungku

    Ah kali ini perutku akan terisi, batinku bergemuruh riang

    Aku bersama teman-temanku Tono, Ali dan Budi serta si cantik Ria

    Berhamburan menaiki bukit sampah basah berbau busuk menyengat, oh betapa segarnya

    Tono memilah-milah sampah plastik

    Ali mengikat setumpukan kardus

    Budi mencari-cari sekiranya ada barang berharga yang ikut terbuang

    Sedang Ria, dia tengah bergembira ria karena mendapatkan boneka wanita yang putus sebelah

    tangan dan kakinya

    Aku.., kau tanya aku sedang apa

    Aku sedang memakan kue-kue basi dan sebungkus nasi dan ikan gurami yang sudah berbau

    tengik dengan nikmatnya

    Aku jarang makan kue-kue seperti ini

    rasanya manis sekali, semanis cita-citaku yang membumbung tinggi

    Namun ada rasa asam dan getir yang kujilat, oh mungkin cita-citaku pun seperti itu

    Aku ingin menjadi peminta-minta dipinggir jalan raya ibu kota, oh betapa nikmatnya pekerjaan

    itu kurasa

  • Akupun jarang sekali melahap ikan gurami

    Oh nikmat sekali, meski hanya tersisa secuil daging yang melekat di duri dan kepala

    Sedikit rasa anyir menggugah selera

    Setidaknya kurasakan nikmat Tuhan siang ini begitu besar kepadaku

    Perutku sudah membuncit kekenyangan, aku menatap langit biru cerah dan awan berarak putih

    Terdengar olehku canda tawa teman-temanku di depan sana

    Tono senang sampah plastiknya mencapai 2 karung beras penuh

    Ali duduk diatas tiga tumpuk kardus setinggi harapannya

    Budi meloncat-loncat gembira, satu kalung besi berkarat digenggamnya, ada nama Tuhan yang

    tergandul pada kalung itu

    Sedang Ria, oh si cantik itu sedang menyusui anaknya yang tak punya sebelah tangan dan juga

    kaki

    Hati kami senang, hati kami riang, setidaknya kami rasakan Tuhan hadir dalam kasih sayang

    Seperti awan putih yang berarak , melantunkan puja-puji pada Sang Kuasa

    Tiba-tiba, truk sampah bergerak maju, timbunan sampah di sekitarnya bergemuruh turun

    Meronta-ronta kami terkubur dalam tumpukan sampah plastik, kardus dan makanan berbau

    busuk

    Kudengar suara rintihan Budi, kudengar suara erangan Ali, kudengar tangisan Tono

    Sedang Ria saat kupeluk ia, sedang mendelik matanya menatapku manja

    Oh Tuhan terima kasihku padamu setidaknya nikmat sekali saat ini kurasa

    GELAP

  • Nyanyian Bocah Pengemis Kecil

    Ketika ku berdiri mematung di pinggir warung makan kecil

    Menatap lauk-pauk dan minuman dingin yang begitu menyegarkan

    Perutku membuat nada-nada indah, suara gendang bertabuh kencang

    Kerongkonganku yang kering tak sadar mengeluh, menelan ludahku sendiri

    Tak tersadar kubernyanyi dengan suara yang begitu merdu

    Syairnya tak panjang, hanya, kasihanilah pak sudah dua hari saya belum makan

    Begitu terus kuulang-ulang, semakin merdu terdengar ditelingaku

    Seorang bapak pemilik warung menatapku dengan perasaan penuh sayang dan manja

    Menghardikku dengan suaranya yang keras

    Mengusirku, agar beranjak dari halaman depan warungnya

    Pemilik warung kurasa menyukai nyanyianku

    Tak hanti-henti kukencangkan nada suaraku

    Lagi ku bernyanyi, kasihanilah pak, saya belum makan

    Salah satu diantara yang menyantap makanan dengan penuh lahapnya, memandangku jijik

    Ah, kurasa dia merasa iba

    Meninggalkan setengah piring nasi untukku, karena melihatku

    Segelas teh manis dingin segar ia minum

    Kemudian menuangkannya ke dalam piring nasinya yang masih penuh dengan makanan yang

    enak-enak

    Sembari memandangku, ia menyunggingkan senyum manisnya

    Orang itu kurasa menyukai nyanyianku

  • Kembali kunyanyikan laguku dengan suara lantang meski kerongkonganku terasa mencekit,

    perih

    Tolong kasihani saya pak, perut saya sangat lapar

    Seorang ibu berjalan ke arahku dan mengelus rambut kucelku dengan halus

    Ia lalu memberi uang, selembar seribu

    Aku tersenyum, Aku bahagia

    Rupanya suaraku telah menggugah hatinya

    Tak lama, setelah kepergian sang ibu

    Pemilik warung menghampiriku dengan gagang sapunya yang panjang

    Memukul bahu dan juga pipiku

    Ah, mungkin ini karena aku menghentikan nyanyianku

    Pemilik warung itu mendorongku dengan keras

    Aku terjerembab jatuh dikubangan sampah

    Tak sengaja tanganku menyentuh sekepal nasi bungkus

    Kucium nasi bungkus yang isinya adalah telur dan juga sayur tahu

    Meski busuk dan basi, oh ini makanan terlezat di dunia

    Biasanya aku hanya bisa mendepatkan sekepal remahan roti dalam tong sampah

    Ku bawa nasi bungkus berlari

    Begitu riang hingga aku melonjak-lonjak di pinggir trotoar

    Tak tersadar sebelah kaki tak berpijak apa-apa

    Ohhh, Tuhan ku terjerembab

  • Sekilas ku melihat sebuah truk mencium tepat dikeningku

    Kurasakan ciuman hangat ibuku yang sudah lama telah tiada

    Dengan susah payah kugapai sekepal nasi bungkusku, meski tanah disekitarku telah basah oleh

    merahnya darahku

    Belum sampai jari tengahku menggapai nasi bungkusku

    GELAP

  • Aku (Poetih Dekil)

    Diriku begitu merah

    Tampak gagah di atas jutaan warna

    Mempertegas rasa hatiku

    Yang sudah membeku, menghitam

    Menghancurkanku berkeping-keping

    Bagai puing-puing darah

    Yang dulu merah

    Bak bata..

    Namun kini hitam mengering

  • Lebih Baik Kau Sayat Jemariku

    Lebih baik kau sayat jemariku

    Yang kini kaku tak bergerak tanpa daya

    Terdiam tak berkutik menelan kebisuan

    Mengapa harus pergi semua kata-kata

    Lebih baik kau sayat jemariku

    Penuh tanya yang tak bisa terjawab

    Penuh ragu yang selalu membelenggu

    Penuh alasan yang selalu berawal tanpa sebab

    Lebih baik kau sayat jemariku

    Hingga hilang dari diriku

    Tak membebaniku dengan sejuta bayang-bayang

    Mengenang segala yang telah terbuang

    Lebih baik kau sayat jemariku

    Membuangnya dalam keindahan kata

    Yang dulu pernah terbuat dalam untaian cerita

    Indah nan mesra

  • Lebih baik kau sayat jemariku

    Sebelum kembali ku membuat indahnya kata

    Demi suka maupun duka

    Demi cinta maupun dusta

  • Senandung

    Dang dung dang dung

    Kudengar suara tabuhan gendang

    Hilanglah sudah pikiranku yang murung

    Melihat topeng Monyet hatiku riang

    Dang dung dang dung

    Mari kawan kita riuhkan

    Suara rebana bersenandung

    Monyet kecil meloncat-loncat

    Dang dung dang dung

    Monyet kecil pergi ke pasar

    Naik motor memakai payung

    Teriakku, "Hati-hati kesasar..."

    Dang dung dang dung

    Hatiku bersenandung

    Decak kagum pikiranku lugu

    Menyenandungkan sebuah lagu

  • Pacarku Tiga

    Yang satu karyawati

    Yang satu kondektur

    Yang satu pelacur

    Hidupku sengsara dibuat mereka

    Pacarku tiga

    Si karyawati membuat hidupku diburu dengan waktu

    Langkahku bagai roda berputar

    Kadang shift satu

    Kadang shift dua

    Kadang shift tiga

    Kadang pula aku lembur

    Pacarku tiga

    Si kondektur membuat hidupku sesaat

    Itupun hanya didalam bis kota

    Hanya sesaat sekali

    Tidak ada kata liburan

    Untuk membagi waktu dengan kisah asmara

  • Pacarku tiga

    Si pelacur pembagi cinta

    Menjual harga diri

    Membelenggu nurani

    Menyisakan senyum kelelahan untukku

    Yang terlalu hina..

    Dalam pandangan manusia

    Pacarku tiga

    Entah akan ku pilih yang mana

    Sebagai teman bicara

    Sebagai penoreh cerita menjelang ku tidur

    Penghilang haus akan belenggu cinta

  • AKU

    Aku hanyalah pecinta

    Terlahir dari kegilaan cinta

    Hidup bagiku sekeras batu

    Di padang rumput di tengah lapangan salju

    Beku, sebeku otakku

    Dingin, sedingin sikapku

    Namun panasnya sepanas api neraka

    Aku jatuh di kubangan noda

    Terhanyutku dalam ruangan gelap, penuh sekat

    Hidup sebuas binatang liar

    Di rimba jalanan pada keheningan malam

    Siap menghadang mangsa

    Aku diam, namunku bicara

    Ku terbisu, bukan berarti langkahku terhenti

    Aku malu jatuh

    Walau sering ku terpelungkup, jatuh

    Namun ku kembali bangkit

    Menyongsong sang surya

    Mengepalkan lengan ke arahnya

    Dan berbicara

    Aku siap melawanmu

    Itulah Aku

  • Dansa Gembira

    Sebatang rokok dan segelas kopi

    Kala ku memandang pagi di matamu

    Terdengar senandung suara rindu mengajak kita tuk berdansa

    Ayo kasih, rapatkan badanmu di dadaku.....

    Tap Tap Tap , entah tarian ini Tango atau Salsa

    Yang jelas indah, begitu kala kulihat kerling senyummu

    Menggodaku untuk merabai kegundahanmu

    Wahai gadisku, hilangkan saja segala penatmu

    Mari terus menari bersamaku

    Bersama kita lupakan segala beban dan derita

    Lupakan saja rasa sakit akibat dera cambuk majikan

    Lupakan saja anakmu yang menangis di sana karena tak bisa bayar uang sekolah

    Atau lelakimu yang mungkin barangkali sudah punya selingkuhan lagi

    Tap Tap Tap , ini dansa atau goyang jaipong sayang

    Kecupanmu menandai kau sangat ahli dalam hal itu

    Oh tentu saja, kau adalah korban ketiada berdayaan perempuan

    Dijual ke negeri orang hanya untuk menjadi mesin pemuas nafsu birahi belaka

    Hilanglah sudah keceriaanmu, wahai nona

    Tergantikan oleh tawa yang membahana

  • Pelacurku, Engkau Dimana?

    Riak matamu damai ketika kau basuh aku dengan kegalauan cinta

    Di bawah temaram lampu yang hampir padam

    Desir peluh dan desah nafasmu, mengusik gairah

    Ku rasakan pelukan dalam nan mesra, lagi hangat

    Kau secantik bidadari, meski tubuhmu bersimbah lumpur nista

    Oh..., seandainya bukan sesaat itu saja kita menikmati syurga

    Kan kubawa engkau terus terbenam ke dalam kubang neraka

    Biarlah kita terbakar bersama dalam gairah nan menggelora

    Meski panas, aku akan terus menggeliat-geliat di dalamnya

    Oh.., harum tubuhmu tiada pernah ku lupa

    Seroja yang tumbuh di samping kuil cinta

    Meski tak seindah mawar atau pun melati

    Namun tetap saja engkaulah yang ku puja

    Oh.., kemanakah engkau kiranya?

    Kuingin sekali lagi menikmati semalam bersama

    Kan ku jilati manisnya cintamu

    Kan ku penuhi hasratmu yang membara

    Lewat cinta ku berbicara...

    Pelacurku, engkau dimana?

  • Hatiku Hilang

    Hatiku hilang kau bawa pergi

    Jauh hingga ke seberang sana

    Entah ku hanya bisa tersenyum

    Ta pernah ku mengenali mu

    Tapi hatiku kau bawa pergi

    Ku meratapi langit

    Akankah kau bisa mendekatiku

    Menyimpan wajah cantikmu ke dalam dadaku

    Menggantikan arti hatiku

    Yang telah kau bawa pergi

    Biar bersarang merayap ke seluruh tubuhku

    Menjaring aliran darah

    Membuat panasnya cinta menghangat

    Dalam kebekuan cintaku

    Walau hatiku kau bawa pergi

  • Putree Fumi, Lahir di kota kecil kec. Cepu

    Kab Blora, Jawa Tengah pada tanggal 19

    September 1984 dengan nama lengkap Putri

    Ayu Wulandari dengan. Mulai aktif menulis

    sejak tergabung di komunitas seni independen

    Cermin semasa kuliah yang terdiri dari

    kumpulan dari beberapa kawan-kawan

    sekampus di Universitas Mercu Buana. Saat ini

    masih aktif di grup sastra FB Belajar Menulis

    Kreatif, milis Neo Fordis Cybersatra dan

    Kumpulan Fiksi. Sebelum mulai menulis puisi,

    pernah dua kali pameran lukisan di Universitas

    Mercu Buana bersama Komunitas Cermin

    Yogyakarta. Belum lama ini (2012) beberapa

    karya puisi juga pernah masuk dalam Antologi

    Puisi Ken Dedes berbentuk E-Book oleh Grup Sastra Belajar Menulis Kreatif Publisher.

    Beberapa kegiatan kesenian yang pernah

    dilakukan :

    2007 Teatrikal Puisi 1001 Malam bersama Komunitas Cermin di acara pementasan teater oleh Teater Senthir Universitas Mercu Buana Yogyakarta

    2007 Teatrikal Puisi Lilin bersama Komunitas Cermin di Elo Progo Art, Mungkid Magelang.

    2007 Pameran lukisan bersama Komunitas Cermin bertajuk Kebangkitan Manusia di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

    2007 Performance Art bersama Komunitas Cermin memperingati 1 tahun gempa Jogja di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

    2007 Teatrikal Puisi Di tengah Peperangan di acara bertajuk Geliat Sastra, Anniversary ke 1 Komunitas Cermin Yogyakarta.

    2008 Pembacaan Puisi di acara Panggung seni Belajar Bersama Rakyat SEBUMI (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia) di Nol Kilometer Yogyakarta.

    2008 Pameran lukisan pada Anniversary ke 2 Komunitas Cermin bertajuk Kulminasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

    2008 Teatrikal Puisi berjudul Bom Waktu pada Anniversary ke 2 Komunitas Cermin bertajuk Kulminasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

  • MATI IDE

    terbang kemana kau

    hendak kukejar

    kau memilih lenyap dalam asap tembakau yang kian habis terbakar.

    hendak kutangkap

    kau malah sembunyi disetiap tegukan kopi yang semakin tiris.

    kata berlarian

    berserakan

    porakporanda

    tak berjelma

    (Jogjakarta, 4/5/2012)

  • PENYAIR AMNESIA

    kata berlari menuju entah

    hendak ku kejar

    kau pilih hilang dalam resah

    sedang sepi betah memamah

    hingga pena membujur sudah

    (Jogjakarta, 23/1/2012)

  • SENJA BERSAMAMU

    I

    Senja bersamamu kala matahari karam waktu itu

    masih terlihat jelas pada kaca air mataku

    seruan ombak berkejaran menuju entah

    seakan enggan dibuai waktu

    II

    lantas apa lagi yang kau ragu

    jika seluruh panji-panji sudah tertancap

    tengoklah, bibir pantai senja itu berkilau

    berprasasti bahwa aku menyata

    III

    telah meredupkah bara yang dulu menyerbu

    membakar habis hingga tuntas

    segala yang tiada hingga ada

    telah meredupkah..?

    IV

    kemarilah, duduk bersamaku di hamparan pasir

    dengan segelas kopi panas dan hembusan angin

    memandang senja keemasan di batas cakrawala

    kita kan bercerita tentang nanti, berdua saja.

    V

    bayangkanlah manis, indah bukan?

    kita buang segala beban dan hiruk-pikuk dunia

    melebur rindu dalam kidung yang tercipta

    memadat dalam bayang kita yang menyatu

    (Jogjakarta, 12/1/2012)

  • TAK KUNJUNG KUNJUNG

    tak kunjung-kunjung memburam wajah itu

    padahal hati tak tertahankan

    ternyata hidup itu berat juga rasanya

    tak kunjung-kunjung meredup api itu

    padahal tubuh sudah melepuh

    ternyata terbakar cemburu itu perih juga rasanya

    tak kunjung-kunjung mengering luka itu

    padahal susah payah menyembuhkannya

    hingga mata, hingga mata

    menangis juga, menangis juga

    (Gubahan karya Mathori A Elwa)

    Jogjakarta, 20/11/2011

  • KIAMAT

    lihat di ujung jalan itu

    iblis unjuk gigi

    sedang beberapa malaikat

    bermain dakon

    (Jogjakarta, 20/11/2011)

  • KITA MARAH

    kita marah dalam sebotol beer

    melebur bersama busa putih dingin

    diantara tawa kawan lama

    dan parodi satir

    kita marah dalam kepulan asap tembakau

    melesat ke langit langit mimpi

    diantara bayang hitam putih

    masalalu dan masa kini

    Jogjakarta, 19/11/2011

    (Gubahan dari karya Mathori A Elwa)

  • HUJAN & KOPI

    hujan membasah lagi

    menghapus jejak pejalan kaki

    yang dingin membeku dilebur bayu

    karenanya menjadi sendu

    andaikan kopi tersaji sedari tadi

    lengkap dengan gorengan berkali-kali

    hilang sudah dingin diusir kopi

    yang pasti kan tertuang lagi dan lagi

    (Yogyakarta, 8/11/2011)

  • AKU JUGA IRI

    sekali ini aku iri

    pada kokohnya bayangan masa lalumu itu

    karenanya kau mematung seperti batu

    sekali ini aku iri

    pada kecanduanmu akan sosok fantasi,

    layaknya Chairil memuja Ida

    karenanya sajak muntah dimana-mana

    dia memang mengagumkan

    dan tak ada peranku disana

    (Adaptasi dari puisi Aku Iri karya Minke WH)

    Jogjakarta 6/10/2011

  • JOGJA MALAM INI

    tak seperti malam-malam biasanya

    yang selalu di guyur hujan

    menyisakan sepi yang mendalam

    meninggalkan lenggang jalan

    jogja malam ini panas

    hingga membakar jantungku pula

    mengencangkan detak jantungku tak beraturan

    seakan ingin tercabut lepas dari tubuh gendut ini

    jogja malam ini sesak

    sesak yang disebabkan panas

    panas yang memenuhi otakku akan persepsi

    persepsi tolol berisikan badut-badut tak berguna

    aku tak suka jogja malam ini

    (Jogjakarta, 7/2/ 2009)

  • Di Tengah Peperangan

    Mulut terkunci, diam.

    Pikiran bertumpuk

    Hati bergejolak

    Berontak seakan meledak !

    Nafas memburu

    Meratapi kepahitan

    Keperihan

    Dingin menusuk

    Bagai belati menikam tajam

    Kepedihan berperang dengan asa

    Keyakinan tak lagi kokoh

    Tergantikan keraguan

    (Jogjakarta, 10/9/2007)

    Pernah dipentaskan dalam ulang tahun Komunitas Cermin ke 1 Geliat Sastra pada tanggal 12

    Desember 2007 di depan Rektorat Univ. Mercu Buana Jogjakarta dengan konsep teatrikal puisi

    diiringi lagu Cahaya Bulan oleh kawan Fentri

  • Harapan, Sekarat dan Ajal

    Tuan,

    Di sini aku sekarat

    Tergeletak tanpa daya

    Di tengah jalan yang tak ku kenal

    Rupanya hanya aku di sini

    Di antara hamparan hutan pinus yang menjulang tinggi

    Dan kenapa mataku enggan melihat arah lain selain ujung jalan di sana?

    Apa yang ku tunggu?

    Kau kah itu Tuan?

    Ajalku sudah dekat

    Di atas sana berkeliaran puluhan bahkan ratusan burung Condor

    Berputar, mengelilingi tubuhku yang akan menjadi bangkai

    Teriakan mereka menyeramkan

    Seakan tak sabar menunggu ajalku tiba

    Aku tak berani berharap Tuan

    Memikirkannya saja tak memiliki nyali

    Sisa tenagaku hanya mampu untuk menangisi semua

    Memanggil nama mu pun terbata

    Maafkan aku Tuan

    Aku layak berada di sini

    Dan aku sendiri yang membawaku tergeletak di sini

    (Jogjakarta, 15/5/2010)

  • BERSENGGAMA DENGAN WAKTU

    duduk di antara manusia-manusia asing,

    yang asyik-masyuk dengan dunia kotak-kotak.

    Setiap penjuru mata mmandang beragam bentuk.

    Lampu lampion, memancarkan cahaya temaram,

    ditemani alunan musik meksico yg sangat kontras.

    Mencoba menembus setiap dunia mereka, dunia kotak-kotak.

    Dunia yg sama dengan duniaku.

    Hening sejenak, meneguk kopi lampung yg tersaji sedari tadi.

    Mencoba sesuatu yg baru.

    Tak lagi menembus dunia kotak-kotak.

    Aneh, tak ada satupun yg terbaca.

    (Jogjakarta. Kedai Kopi Elpueblo, 26/02/2010)

  • Yogi s. Memeth nama pena dari

    Muh. Yudi Sofyan, S.Pd lahir di

    Pancor Lombok Timur Desember

    1981, sejumlah puisi terbit di Bali

    Post, Buletin Jejak, Jurnal Seni

    Online Kuflet.com, Metro Riau,

    Sumut Post. puisi islami terbaik lotim

    (2003), Peserta TSN (Temu

    Sastrawan Nusantara) 1 di Padang

    2012, tergabung dalam penulis puisi

    aku dan pelacur (antologi 100 penyair indonesia) 2012, beberapa

    puisi tergabung dalam antologi

    bersama komunitas rabu langit

    kepompong api (2012) (dalam proses penerbitan), sahabat

    satumatapena.blogspot.com.

    Menyelesaikan pendidikan S1 di

    STKIP, semasa kuliah aktif dalam kegiatan Teater Bening, di tahun 2005 menjadi harapan 2

    festival monolog provinsi, wakili Lombok Timur Temu Teater Kawasan Timur Indonesia

    (KATIMURI) (2002) wakili Lombok Timur Pentas keliling 8 kota di Indonesia (2008). Penulis

    aktif dan Pimpinan redaksi di Majalah Sastra Kapass, menyibukkan diri membangun Halte

    Sastra bersama Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.

    Hp : 081 918 356 444

    : 085 237 540 002

    Email : [email protected]

    YM : yogis_memeth

    Twitter : @bangsal_face

    Facebook : yogis memeth Blog : http://teatertunggal.blogspot.com/

    http://teatertunggal.wordpress.com/

  • PESISIR PASIR

    : Hafizah

    maaf, ini belum selesai.

    dengan pasir, kita menulis mimpi

    sisa kemarin sore

    beberapa buih rindu jatuh dari langit

    menahan gelombang dari ombaknya.

    Lampu kabut

    potongan merah tadi sore

    di pucuk balai pesisir menyimpan lusuh.

    pada getaran angin yang tumpah di gulungan ombak

    dua titik kita yang belum tentu

    beberapa titik jadi hambar

    seperti air laut yang anyir di telinga

    resahku nyamuk

    penghisap rindu

    dalam potongan roti tanpa cangkir kopi

    resahku mengalir dalam asap rokok

    yang bermain dalam angin pantai.

  • PEREMPUAN BUNTING

    matahari belah kabut pagi ini

    sampan sampan berburu mimpi

    menerka gelombang gelombang pelastik

    sisa ombak dini hari

    sesekali kau lempar senyum lelah

    dan kita saling menatap

    bersepakat telanjang dengan pena

    pun jari kita sibuk menangkap terkaan peristiwa tadi malam.

    peristiwa yang kita hapus pada mimpi perempuan bunting

    dan lelah ini

    aku tampung dalam gelas dingin

  • BOCAH PASIR

    Seorang bocah meninggalkan mimpi

    pada kubur kubur pasir

    jari jarinya menusuk gelombang.

    wajahnya mengingatku pada dermaga

    yang terdesak gelombang sampah pelastik

    bulan yang tembaga

    dan matahari jingga

    di pesisir samping dermaga

    tak samarkan wajah redup surwangi

    wajah bocah bocah pasir

    menunjuk nunjuk mati

  • PARAGRAF CINTA

    : hafizah

    Paragraf pertama

    ujung jalan rumahku. beberapa kata terserak. alenia-alinia yang tercecer di pasar Gapuk aku jahit

    dalam binder. dan paragraf itu, tentang aku yang resmi mencintaimu

    Paragraf kedua

    di depan pintu kamarmu. aku belah jantungku kemudian aku lekatkan pada ruang bersama rindu

    yang bergeser dari pintu yang telah lama mati, seperti gerimis ketika malam, posil-posil rindu

    kembali becek. dan aku benar-benar resmi mencintaimu

    Paragraf ke tiga

    sepenggal matahari yang tersisa malam ini terlihat sayu, ia menatap dengan cemburu yang pelan

    kemudian berbisik padaku kau aku kutuk mabuk, kemudian bintang-bintang mencercaku kami

    kutuk kau, dalam. dan dalam paragraf ini, aku temukan diriku mabuk dalam kutukan cinta.

  • RAPUH

    Sesajen Air Keruh

    : Fatih K. Jaelani

    Lima teguk sudah kopi ini

    membasuh bibirku

    dan sepuluhnya, lagi mengantri

    secangkir minyak aroma

    meluber di punggungmu

    ketika jariku berdansa bersama angin

    satu persatu jarak tulangmu

    mengajariku, bahwa nyerimu

    tak sampai pada kata

    dan ketika angin mendesah

    pada resah yang tertangkap jendela

    aku menemukanmu

    menyusut di kasur biru

    Lombok Timur 2011

  • PURNAMA SEPARUH (2)

    purnama separuh menitip

    rindu wajah sayu

    orang-orang terpaku

    sebab cahaya merah dadu

    adalah tangis ngilu

    belum rampung ia makna

    malaikat malaikat menebaskan pisaunya

    suatu malam

    pada mabuk terencana

    sebagai hadiah

    alfa babi buta

    Lombok Timur 2012

  • HANTU DAN SURAU

    Dari sebuah kamar

    firman Tuhan membumi

    pada siang hari jumat

    para perkutut melayang-layang

    udara yang panas menggulingkan keringat.

    Delapan jumat,

    mulut sang kiai berbusa dikupingku

    dari pintu kamar, aku menatap selokan

    lima bocah telanjang dengan wajah pelangi

    diantara bebatuan.

    sementara diujung, Ruminah membersihkan tinja

    diatas jembatan empat gadis berkerudung

    menumpahkan sepuluh karung sampah

    jumat

    disuatu sore yang berbeda

    udara resah begitu dingin

    menyelinap sangat dalam

    sesekali hujan menyertainya

    dan di selokan, sepuluh rumah

    menjadi kepingan-kepingan

    lima bocah menghilang

    tinja dan sampah, menumpuk sudah

  • jumat

    dihari yang lain

    tiga jamaah berkunjung

    setelah sesak berminggu-minggu.

    dan para kiai menjadi lampu taman

  • PERTEMUAN

    di ruang, cahaya mengganggu

    antara jejeran terap

    Timur beberapa kali muntah

    sepenggal kalimat di surau

    mandek

    orang-orang tak bergeming

    dalam diskusi

    para malaikat mereka gunting

  • GERABAH TUA

    Perempuan tua

    dengan jemari lentiknya

    mengukir tanah kotor

    harapan yang tergadaikan

    tersungkur pada

    keringat darah

    diantara tumpukan gerabah

    perempuan tua meninggalkan rumah

    anak menangis meminta boneka

    ketika lapar mendera

    di mata mereka

    aku melihat

    ada yang terpahat dengan rapat

  • IBU, ITU BULAN

    Bulan masih tersenyum

    ketika matahari meninggi

    tiga kabut membelah wajahnya

    diujung langit, bintang berpijar

    seseorang menangkapnya dengan layang-layang

    perempuan itu merangkulku

    ia tusuk rembulan dengan jari

    dan berkata

    kau harus memanah pohon atau hewan

    dan dijalur angin

    aku menulis sajak

    senyum buramnya menerpa

    air mendidih diwajah.

    beberapa saat, sajakku menggumpal

    kemudian aku cairkan ia.

    menembus cakrawala, bergelantungan di langit

    daun jendela

  • SAJAK BATU

    Ular berdesis

    di bawah purnama

    rindu sudah senja

    dan

    debu menggumpal jadi debu