Upload
filiyaa-poetry-alvath
View
46
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
antologi puisi dari tujuh penyair.
Citation preview
KATA PENGANTAR
Menarik untuk kita coba renungkan, betapa bahwa menyair (mencipta puisi) agaknya makin bias dengan
leluasa dilakukan oleh siapa pun. Tidak lagi ada hambatan psikologis untuk menulis puisi. Malah,
setidaknya mulai akhir dasawarsa 1980, menulis puisi telah menjadi semacam kebutuhan bagi sebagian
besar orang. Fenomena ini makin menguat ketika puisi termungkinkan menemukan media publikasi
dalam berbagai wujut. Tidak hanya Koran atau pun buku. Puisi mulai mudah dan menjadi hal yang
lumrah untuk kita suai di blog dan makin memasar pada era penggunaan facebook. Jejaring social yang
efektif untuk dihadirkan sebagai media berekspresi. Dari titik era inilah muncul luar biasa banyak penyair,
dalam arti orang yang menulis puisi secara intens. Kemudian membukukannya. Secara bersama-sama
dengan beberapa penyair lain atau pun sendiri. Buku ini, menurut saya, termasuk kumpulan puisi cukup
serius yang lahir dari kalangan facebooker yang menulis puisi dan berupaya menerbitkan serta
menyebarkannya.
Sebagaimana umumnya kumpulan puisi yang lahir dari kalangan yang mulamula berinteraksi melalui
dunia maya, puisipuisi agaknya telah pula termuat melalui akun masing-masing penyairnya. Telah pula
memperoleh respon memadai dari teman-teman masing-masing penyairnya. Puisi-puisi yang termuat, bias
ditebak, memang kebanyakan personal, namun bukan berarti bahwa tema-tema mempribadi itu
mengurangkan bobot puisi. Sebagian lain, dalam jumlah nyaris berimbang, mencoba mengangkat tema-
tema sosial. Hasilnya, barangkali masih sangat permukaan, namun tetap patut diapresiasi.
Puisi memang belum mati. Masih dituliskan. Oleh banyak orang. Masih pula dibaca. Juga oleh banyak
orang. Jadi, sebagai sesuatu yang menyerupai semacam pesta, mari kita nikmati saja.
~Timur Sinar Suprabana. Penyair. Tinggal di Semarang.
Filiya Putri Alfath akrab disapa Fivi
lahir di kota udang Sidoarjo tanggal
29 mei 1992 lulusan SMK Negeri 3
Buduran perkapalan, aktifitas sehari
hari menjadi kuli bangunan, sibuk
belajar menulis indah sekaligus
menjalani semester 4 di Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo. Anak
pertama dari pasangan Drs. Akhmad
Nor Kholiq dan Yunani Yusri saat ini
bergabung dengan komunitas delta
sastra dengan antologi cerpen
HUJAN MELUKIS LAUTAN.
Tinggal di www.filiya.blogspot.com
MASIH Aku masih berjalan
Dari titik goyang ke sudut limbung
Entah
Jika angin malam mampu mendinginkan lara hati
Aku kan mendekap senja hingga fajar
Tujuh ramadhan sekalipun
Sepi meraung-raung menyeretku kesudut ambigu
Terbayang senyummu menendang ulu hatiku
Masih kucoba melupakan parasmu
Kulihat detik melaju menertawakanku
Masih terasa hangat di pipiku
Bekas kau genggam malam itu
Cinta itu telah meraja dalam hati
Harus ku akui
Harus ku akui
Aku menggigil ketakutan mendengar kau akan pergi
Dan kini kau benar-benar pergi
Bulan pucat bersaksi pada alam
Kerinduan membuatku mati perlahan
Menyuruhku menghapus rasa ini?
Bak mentawarkan garam di laut
Selepas kepergianmu
Cintaku masih tetap tumbuh
Seperti ilalang di padang tak bertuan
By: Filiya Sang Putri Alfath
Rabu, 10 Agustus 2011
PESAN IBU UNTUK PUTRI
Sebait embun mengambang di pelupuk mata.
Dengan kornea sejuta kata.
bersama lidah tak mampu berkata.
Lambai tangan untuk salam berpisah.
Cinta putri selaksa hasta
Untuk ibu dan senyumnya
Yang tak mampu dibayar nyawa
Walaupun bulan dan bintang mampu kugenggam
Tanpa senyum ibu, tiada indah yang lebih mendalam
(tangannya kusut mengelus kepala putri sambil berkata)
Senyum ibu senantiasa milikmu nak.! Lemparkan batu impianmu sejauh yang kau mau
Hanya satu pesan ibu, ingatlah tuhan sebagaimana yang kuajarkan padamu.
Pergilah.! Pergilah! Raih mimpi dan anganmu
Tugas Ibu hanya merawat dan membesarkanmu. Dan menyayangimu.
Jika kau cinta padaku sayangilah aku.
Dan janganlah menyangiku karena kau kasihan padaku.
Sungguh aku selalu menyayangimu sejak kau di perutku.
Lantaran aku cinta padamu bukan kasihan padamu.
April 8, 2011
By: Filiya sang Putri Alfath
SERDADU DAN GADISNYA
Selamat tinggal sayang
Aku akan berlalu
Jangan hilang sayang
Rindu milikku
Jika nanti aku kembali
Senyummu yang kunanti
Jika nanti aku tak kembali
Jangan menangis saat aku mati
Andai seragam ini boleh kuganti
Akan kuganti dengan pelukmu
Agar kau bisa memelukku
Saat pelor menghentikan nafasku
Selamat tinggal sayang
Aku akan kembali
Selamat tinggal sayang
Jangan menangis lagi
By: Filiya Sang Putri Alfath
TEROR
Bungkam mulut komentator
Mencekeram nurani dengan tangan-tangan kotor
Bangsa ini bukan pelor
Berusaha lari dengan jam karet molor
Guru kami para koruptor
Setiap nasehat mengharap honor
Kami ingin lari
Kami ingin pergi
Pelukan ibu pertiwi
Tak lagi hangat di hati
Lalu disudut mati
Serak itu memaksa telinga berdiri
Lindungi kami! Kami anak negeri
Lalu intuisi
Berteriak ilusi
Bungkam mulut komentator
Berdasi dandanan menor
Berkata ba bi bu lalu ngeloyor
Tidakkah kau lihat?
Saat pak menteri saling menghujat
Bagai maling sandal
Kucing-kucingan rebutan modal
Mencengkeram nurani dengan tangan-tangan kotor
Koruptor mewabah terus meneror
29 November 2010
By: Filiya Sang Putri Alfath
MIMPI YANG AMBIGU
Kali ini malam berpihak padaku
Tentang gundah yang kuceritakan semalam
Membuatmu menitikkan air mata
Selimuti aku dengan dinginmu
Hingga kabut menyadarkanku
Sungguh hidup ini fatamorgana
Embun yang dingin
Menyejukkan jiwa yang selalu ingin
Merindukan insan bagai angin
Meluruskan benang kusut yang ku pilin
Dan senyum itu meracuni segala ilusi
Wahai malam yang selalu diam
Ingin kulihat cahaya meredup dengan tentram
Andai saja mimpi tak selalu tinggi
Membunuh rasa yang tak pernah mati
Betapa kubenci khayalan kelabu
Menerkamku dalam ambigu
By: Filiya Sang Putri Alfath
02 Desember 2010
SUTRA DAN POHON SALAK
04-10-2011
Saat mata sebening embun
Ada hati selembut sutra
Diantara cambuk cinta yang mengayun
Dewa-dewi mabuk olehnya
True love is builshit
Take it or leave it
Seperti jaring-jaring pahit
Di batas cakrawala yang kian sempit
Cerita cinta yang orang-orang bilang, sudah basi di telan realita
Yang kutahu, dimana ada harta disana ada cinta
Seperti wakil rakyat yang mengikat suara
Uang dapat bicara dan berkuasa
Aku seperti sutra dan pelepah pohon salak
Jangan kau dekati, atau duriku akan menyalak
Welcome to our game
Do it! Or die
Aku berdiri disini dan takkan mendekat
Ku tahu durimu kan menjerat
Tapi aku terlambat
Dosa yang kau buat terlalu nikmat
Lalu nyanyian asa membuatku terbuai dengan paksa
Once again
Welcome to our game
Do it.! Or die
Wahai para pecinta
Jurang berkabut memang terlihat seperti surga
Sekarang, mari kutunjukkan padamu
Perih cinta itu seperti sutra yang terlilit di sekujur pelepah salak
Sakit pada awalnya, lalu kau kan terbiasa
Setelah kau terbiasa
Tangan tangan itu akan merengkuh sutra dengan paksa
Hingga koyak tanpa sisa
Jangan pernah membayangkan sakitnya
Seperti sakaratul maut kiranya.
Apalagi yang bisa kau andalkan tentang cinta
Layla Majnun? Mereka berdua mati tanpa pernah bersatu
Romeo Juliet? Romeo meminum racun lalu Juliet bunuh diri
Rama dan Shinta? Shinta diculik dan Rama dibantai
Mungkin Barbie cintanya selalu bahagia
Sayangnya Barbie bukan manusia.
By : Filiya
TEMA MALAM INI
Tak ada yang mampu kutulis
tak ada ang mampu kubaca
tak ada yang mampu kurasa
tak ada yang mampu kukecap
diantara sajak rindumu menguak embun-embun basah
ditengah gemerisik daun kering
Jika satu mataharai dan satu rembulan menjelma bebtuan
lalu padaku adalah bulir-bulir pasir sebanyak tanganmu mampu menggenggam
pernah kau tanya?
pada kuas basah yang melukis rindu-rindu yang tak kunjung usai
lalu kupampang wajahmu menatap bulan diatas kanvas
dan akupun membisu,
galau
adakah yang lebih baik diantara keduanya?
aku tak bisa menjawab
kau bertanya bukan soal matematika, fisika, atau kimia
kali ini bertema tentang rasa
sssssss
DOA YANG TERGILAS
Semburat remah-remah jalanan
Diantara pasir-pasir lunglai menatap waktu
Berpulang anai-anai kepada inangnya
Seperti buncitan yang ingin menyusul haluan
Dimana rinduku kucari diantara alang-alang busuk dan gemintang hilang ditelan kota-kota
Aku tak peduli
Bukankah hidup ini hanya milikku dan hanya aku yang tau,
Aku tak ingin orang lain mengerti ataupun mendengar
Akupun lelah menuntut untuk dapat didengar
Teriakku tak pernah menembus kaca mobil mereka
Tangisku mongering dibalik ray ben
Air mata darah menghitam kering serupa aspal dan mobil-mobil angkuh
; jalan ini milik kita, mengeras oleh tangis darah luka dan air mata
Aku menghilang di perempatan satu arah
Dan tak pernah bias kembali
Seperti noktah hitam ditengah aspal
Sama-sama diinjak,
Kami tak bias teriak
Deru mesin-mesin itu lebih keras dari pada pita suara kami
Kepada tuhan aku mengadu tentang kuburanku yang terinjak mobil mewah
Sidoarjo, maret 2012
KAWANKU DI WARUNG KOPI
kilau kejora di pelupuk mata.
dan senyuman pagi mnegering diwajah
adapun daki telah mejelma kerak
sampaikan pada angin-angin yang mulai berontak
pada udara yang kuhirup sedalam senja
lalu malam-malam telah bosan menusuk belulang
adakah senyummnya terbaca olehku?
melati malam merekah di ujung gang
pada hilir mudik kumbang-kumbang setan
hati kecil bertanya miris
adakah yang disana rasa terluka
adakah mereka rasa terhina?
yang ku tahu mereka tertawa menantang waktu
Lihatlah kelakuanku....!
jerit mereka lantang pada tuhan
kami bosan digilas jaman
dan do'a kami tak lagi memberi jawaban
kami hanya membuat sex menjadi kegiatan
kehamilan hanya implementasi kejantanan
by: filiya putri alfath di kantor baru pondok jati DD1
puisi untuk rekanku diwarung kopi
DALAM ANGANMU
Mungkin jarak mengaburkan rindu antara kita
Semoga ambisi itu senantiasa membara
Dalam mimpi kulihat wajahmu sembunyi
Dalam untai harapan tak bertepi
Terus melaju
Dalam panas jalanan berbatu
Apa yang ku tuju
Bukanlah mimpiku
Aku terus tergilas dan tak pernah bisa kembali
Dan pergilah
Gapai cita-citamu
Temui aku dalam anganmu
Jika ada
Jika aku masih ada
Masih ada
Dalam anganmu
By: Filiya Sang Putri Alfath
KEMBARA LANGIT SENJA, adalah
nama pena dari Zulkifli , lahir di
Pekanbaru Oktober 1963. Aktifitas
sehari-hari adalah Guru Seni Budaya di
SMA Negeri 8 Jambi. Aktif berkesenian
sejak tahun 1988, lewat karya sastra
maupun seni pertunjukan, beberapa
karya yang pernah dipertunjukan:
Teater Gong 1998, Maafkan Aku Mak!
2000, Kaleng 2001, Fragmentasi Puisi
Kita Adalah Sama (EM. Yogiswara),
menulis kumpulan cerpen yang berjudul
Prajnapramita, tahun 2001 mendapat
penghargaan penyudradaraan terbaik lewat karya teater naskah yang digarap sendiri berjudul
Improvisasi Gong, menggarap Musikalisasi Puisi baik ciptaan sendiri maupun karya sastrawan
lain. Menggarap naskah Tiga Sandiwara dari Sumatera Timur 2010, Penghargaan terakhir yang
diperoleh juara II Tingkat Nasional lewat karya Pertunjukan Teater dalam naskah Terpenjara
Bisu pada Pertunjukan Seni di Jakarta. Sekarang aktif dalam komunitas Teater Lumut yang
dipimpinnya.
Batu-batu-Ku
Zulkifli
langit menjadi batu
siang menjadi batu
hati menjadi batu
jiwa membatu
otak membatu
jiwa-jiwa berlarian seperti batu berterbangan
keranda batu sarkofagus
sampai menjadi pyramid telah berubah membatu
pikiran mem-batu-ku entah kapan menjadi batu
sakit batu nisan tempat ku meregang jazad
seperti batu-batu-batuku
telah menjadi pasir
kini kupagut batu dingin
seperti jiwa yang membatu
tak punya hati nan nurani
batu-batu-ku
kebelah!
menjadi batu makam
Jambi 13-04-2012
Penjaga Hati
Zulkifli
pelan-pelan lelaki itu
mengguncang sedu sedan
menukarnya dengan terompet malam
ditiup perempuan penjaga senja
kasih sayang tak bermakna
dikulum dengan ragu
disandang gerimis menerkam bumi
peluh-peluh tak lagi asin rasanya
sapa tubuh pada lorong kabut
gairah itu telah terhidang di meja makan
berpita merah disabung marah
hentikanlah sedu sedan itu!
ratap meratap hulu di sabung senja
lalu?
semua berubah hening
resah kusandarkan di dermaga bulan
lalu?
bintang hanya memaki
terkapar di punggungku
puas!
Jambi, 03-03-2012
Disini Telah Terbaring
Zulkifli
Disini telah terbaring dengan tenang,
jiwa-jiwa yang mengais resah,
mengumpat diri
berceloteh tentang malam
berbincang tentang siang
merubah
membahana kan langit
membalikkan bumi
menancapkan tiang-tiang nisan di batu cadas kehidupan, sambil membunuh sepi, berseteru
dengan bintang gemintang, meredam gema nurani suci.
Disini telah berbaring dengan tenang
Kuncup mekar harapan
Busana jiwa,
busana lusuh keinginan
beragitasi tentang asmara keriuhan
dalam bingkai aksara
meremas....
memperkosa kata lewat sejumput nafsu, lalu melemparkannya dalam serangkaian kalimat untuk
memperdaya fantasi, ilusi, membakar dengan seloka, menyisakan puing-puing rindu yang
membekas, sebab sembilu aksara meremas nurani.
Disini telah terbaring dengan tenang
Malam...
Siang...
Lewat pergumulan waktu
Aku berpasrah
Telah merubah siang menjadi malamMu
Menghentikan angin dinginMu
Menyapa nadi-nadi berdarahMu
Berdetak di jantung asmaMu
Ya Allah....
Aku berpulang padaMu terhadap pikiran sesatku, merajut aksara lewat kalamMu, sujudku pada
kekotoran hatiku yang telah bercanda dengan hujan, halilintar, di tetes rinai tak mampu
kumaknai sebagai kebeningan
Maafkanlah!
Disini telah terbaring dengan tenang
Keluhku dan gundahmu
Mengubur Bayangan
biarlah kenangan jadi bayangan
jarak terpagut melambung sukma
pada rembulan titipkan gundah
agar terbakar rasa gelisah
Jambi, 05-05-2012
Menembang Janji Tak Berdawai
Zulkifli
dari langit terpental gerimis siang
terlantar mengaum dalam lantunan
ibu-ibu mengepit kebaya
menembang kegetiran
tangis si buah hati kian terkesan parau
Rebuslah batu, hidangkan angin
biar lega perih perut membusung badan
ibu-ibu mengepit kebaya
berjualan di kaki lima
menembang tangisan kehidupan
kian parau suaranya
sampai sudah janjimu wakil kehidupan
tembang kelaparan resah menahan risau
pada kuntum melati yang layu
tertikam nisan sajadah di batu makam
hening tak berdawai
harmoni jiwa kian parau
masuk di pintu kematian
sambil berucap
sampai sudah janjimu wakil kehidupan
menembang janji tak berdawai
Jambi, 04-04-2012
Rembulan Tak Pernah Meratap
Zulkifli
Aku tak tahu darimana mulai mengisahkannya, dari cahaya yang temaram memupus gelap, dari
ketinggian yang tak mungkin terjamah, dari seberan kabut tipis yang menutupi tubuhnya, atau
dari kehampaan yang dirasakan atas kesendiriannya yang terbentang seperti titik putih kapas di
hamparan langit.
Bulan tak pernah meratapi kesendiriannya, walau geriapnya sanggup berbagi untuk semua
makhluk, kehadirannya dalam kesendirian memupus cerita duka bahwa tak ada kebahagiaan bila
ingin merengkuh di kesepian, hanyalah keraguan yang muncul ketika percik pesonanya hadir
dalam persabungan mayapada, bertabur cahaya langit, menghempas selaksa sepi yang dipatulkan
keindahan yang dimiliknya.
Rembulan tak pernah maratap, walau tubuhnya terpanggang cahaya, berkorban untuk bumi dan
langit, saat malam menjelang ia hadir membawa suasana bahagia bagi kelelawar, burung hantu
atau kita yang masguk dengan kesepian, menikmati sepi dalam hening dapat dimaknai
kebahagiaan bila batin berada pada ketenangan sekedar untuk mensyukuri ternyata keindahan
tidaklah mesti dalam keramaian.
Rembulan tak pernah meratap, ketika rotasi membelenggu dirinya. Bergerak terus untuk maju,
tak pernah mundur, hidup adalah perjalanan waktu, jangan menoleh ke belakang bila diyakini
hanya akan merusak masa depan, jangan mundur selangkah pun sebab hidup adalah perjalanan
yang tak mesti berhenti, walau prahara dan problema hadir, harus terkibas dengan keinginan
meraih kebahagian, rembulan sendiri merengkuhnya, kenapa kita harus menangisi kesendirian
yang ditimbulkan dari serpihan masalah dilematikal hidup?.
Rembulan tak pernah meratap, kuharap drimu juga demikian jangan menangisi keadaan, tetapi
rubah keadaan yang tak disenangi menjadi disenangi, kita adalah pemilik diri, maka kitalah yang
menentukan kebahagian itu sendiri.
Rembulan tak pernah meratap, kuharap dirimu juga!
Jambi, 24-03-2012
Doa Kelam, di Subuh Itu
Zulkifli
dari luka hati nganga itu
tak terdengar lagi sekepal tulus
tapi dari musim ke musim, awalnya
langit terluka berubah menjadi korban
dan segera dikerandakan
Tuhan
keakuan ini hanya bilah canda
di atas luka duka merapal mantra
bergederam onak di kepala
merintih airmata, hati dikremasikan
sementara
perkenankan isakan itu menjadi selaksa puisi
lalu kemudian
menjadi kunang-kunang yang tak berbinar
Jambi, 09-03-2012
Sunyi di Persimpangan Cinta
Zulkifli
memar hati disapih bayang
terkapar di nisan obituari
jiwa dirahup patirasa
pawana terhenti dikeheningan
terkoyak pataka di payung langit
Sudahkah kau nyanyikan balada rerumputan?
Ibu mematut langkah ku dalam kesesatan
Pulanglah!
Tambatkan di kursi, dimana kugantung kenakalanmu
Ibu tersenyum menimang buaian rotan dan mengikatku pada kursi yang ia duduki
Kau memang nakal, dari kecil ibu sering kau buat menangis
Untuk apa lagi, Nak!?
petaka menggelinding seperti menjamah kehidupan
menidurkan mautku di pesimpangan
Tak kuharapkan!
Apakah masih berguna air mata ini Ibu!
petaka matikan rasaku untuk kebenaran
Aku sudah tak seperti anakmu dulu lagi ibu! Yang merentang sajadah kebenaran untuk pilar kehidupannya!.
Tetapi! Petaka itu telah merubah.
Aku tak mampu mengeluarkan airmata untuk kesakitan itu, Ibu!
petaka itu telah menghitamkan pikirku
Ibu.....
Jambi, 17-01-2012
Penenun Aksara Malam
Zulkifli
aku akan belajar pada penenun
merajut benang alam menjadi untaian makna
masuk dalam pesona warna
meramu benang-benang waktu menjadi aksara hidup
aku akan belajar pada penenun
merapikan hiasan waktu di lidah malam
memasukkan dalam kuali bumi
mengaduknya menjadi lembaran nyata
aku akan menjadi penenun
mengibaskan aksara pada beranda malam
merobeknya menjadi perca
kemudian
menyusunnya kembali menjadi tenunan
mengemasi aksara yang terbuang
memberinya ruang pulang pada aksara yang tak berwujud
dan selanjudnya
merobek menjadi perca
Jambi, 14-03-2012
Melabuh Hati
jatuh gerimis, melabuh rinai
wahai cantik!
pada riak sungai Batanghari
ada aroma jingga tubuhmu
kutatap hening
lenguh riak membasah tubuh pendayung asa
hanya seorang kembara
meniti hari menuju hakekat sepi
di dalam bilik hati
ada diding meronta di rumah panjang
hasrat memburu di tangga-tangga kayu
daun gugur
mengabur pada rona warna
rindu nan kelabu
gerimis tak kujung henti
sayangku!
aku tergugu syahduku
melabuh di tepian rindu
nan kupeluk
Lelahku Berdarah
Zulkifli
Tekukkan lalu rebahkan kesumat itu!
Biar luka menganga kian tersayat
Sudah menghitam jelaga ketakutan
Permadani jiwa lusuh berkerut
Rentang atma agar bersiteru dengan hati
Baringkan lalu bakar dalam dendam
Entah sudah berapa teruntai kebenaran
Bibir semakin berdarah mengucapkan
Malam biarkan gelap semakin pekat
Siang biarkan panasmu kian membakar
Hati biarkan dirimu terkapar tanpa nurani
Lipat kelu menjadi bergetah
Lipat petaka menjadi limbubu
Lipat....!
Biar berdegeram mengoyak masa
Biar menggeram mengoyak takdir
Kuremas Sunyi
Zulkifli
kuremas sunyi, beberapa pasang netra mengintip
di sela-sela nyiur daun kelapa
menguning
kupu-kupu bercanda di tiang gairahku
bersandar pada sunyi
bersama-sama sembilu-sembilu penghianatan
puaskah?
dedaunan teratai melenggang
telaga kuning riak mengeriak, sepasang
angsa putih memamerkan perselingkuhan
menjilat hati
mengulum hasrat
mencipta kenangan hitam
tak cukupkah?
lidah air di telaga meriak indah
berkali-kali meremas hati
seolah bongkahan tanah terkuak
oh.. wajah lelaki itu pembawa noda
menerbangkan setiaku
menciptakan bathin gelisah
dari waktu ke waktu
Jambi, 14-03-2012
Bola Takdir
Zulkifli
Putaran hidup berdengung lrih
Ditampuk batu lumer d makan ambisi
Bentangkan soal di altar penyembelihan
Biar darah menyembur dari setiap jawaban
Putaran hidup di roda makna
Remas, tercapik disapih
Menggelinding bak bola takdir
Melenting masuk meremas raga
Putaran hidup menuju ttik nisan
Lemah, mata biru, terkapar kuyu
Tubuh terbalut kain putih
Makam tersusun menanti raga
Atma hilang terbang
Bergantung di jagad Amal
Menunggu waktu
Datanglah!
Ia mengundangmu...
Aku dan Kecapi Siang
Zulkifli
Kecapi itu kembali berdengung
Memainkan tembang krinok
Menyesakkan gerimis hati pilu sejati
Siang memompa panas di sekujur tubuh bumi
Terpanggang pada kesuburan ranting patah
Dedaunan menguning dalam risau
Kelopak gugur menyisakan kecamuk
Lipat langit!
Agar syahdu duka tertutupi jenggala jiwa
Biar bercermin pada bangkai tak beraroma
Di sudut ruang hampa cahaya merintih lah sepi
Bungkus dengan duka ratapi kematian nurani
Kecapi itu kembali berdengung
Maksa siang rebah dalam rengkuh
Getar itu hilang
Jambi, 30-01-2012
Senja yang Gelisah
Zulkifli
Senja sudah melambai malam
membisikkan keheningan
sebab ia akan datang bersama
derap kesejukkan yang akan melibatkan aku dalam sebuah pembicaraan
Dari suara ayam yang bergegas menuju kandang
Itik berlari menuju perigi
Kemarau seperti tersapu
pada bumi yang gelisah
Anehnya langit sedang menyemprotkan wangi kasturi
Ditaburinya aroma canda mega
Dan diangkatnya siang menuju ke pembaringan
Kulihat!
letih matahari mengitari cahaya
Kulihat!
Senyum senja penuh pesona
kulihat!
Semua gelisah mengangkat kehidupannya di senja itu
Jambi, 20-01-2012
Tembang Malam Batanghari
Zulkifli
Serunai melingking menyayat rembulan
Bintang jatuh berserakan
Di beranda kelam muncul kegetiran
Sekar selasih berbunga merah
Berpagut hitam di ketiak waktu
kidung bayu merembes di tepian Aur Duri
mengombak kelam dengan selendang
Sultan Thaha memandang gerah
Sepucuk Jambi kian menghitam
Mengutuk tapak tak henti arah
Batanghari menjadi wabah
air bah mengepung
selaksa marah
bergayut gemuruh di tengah malam
rasa hormatku bersilang rindu
menenggelamkan prasasti kehidupan
dari bias kabut senja Tanggorajo
Wangi malam mulai menerobos
Masuk ke bingkai-bingkai Angso Duo
Serangga malam melantunkan irama
pagut kegelapan katanya
Jambi, 12 12- 2011
Mac Gayoon, Lahir di Kediri 1975,
seorang seniman Otodidak yang
merupakan salah satu anggota
kelompok Dynasthi sanggar theater
dan Sastra Kediri yang sekarang
sudah punah, sekarang aktif dalam
Komunitas Kosmubaya (Komunitas
Seniman Surabaya) dan
KOPERJATI (Komunitas Perupa
Jawa Timur), aktif dalam pembacaan
sastra kontemporer : Kidung Nagari,
Solidaritas Untuk Sahabat, sastra
dalam Pondok, dan berbagai event
sastra pembuka dalam pameran seni
Rupa di berbagai kota
ASMARAGAMA
Kutorehkan tinta penaku dalam dalam
Selaksa tarian hampa yang mempesona
Ijinkan menghampiri jiwamu dalam kelu
Pengobat kegelisahanku semalam pandang
Aromamu menyeruak menghunjam rasa sukmaku
Membelitkan memori yang tak mudah kuurai
Saat jemarimu menjentikkan lamunan maya
Meluluh lantakkan segala kesadaranku
Melunglai sudah aliran rasa
Yang pernah kupuja takkan tenggelam dalam goda
Tetapi asmaramu asmaraku terus memburu
Memecahkan semua kerak jiwaku
Mungkin simpuhku tak begitu berarti bagimu
Saat alunan air mata tak mudah percaya
Tapi kembalinya aku padamu
Mampu mendiamkan tangis jabang bayimu
Mac Gayoon 08032010
KIDUNG SANGKREM
Kesinilah ngger dekat bapak
Bawalah senyum merdumu letakkan dalam renda hatiku
Rentangkan tangan mungilmu yang penuh daun kasih
Dan tebarkan didadaku tuk obat resah seharian
Benamkan kepalamu dalam rengkuhanku
Dengarkanlah nada JANTAN-ku
Irama pelindung jiwamu dan juga ibumu
Dari rasa gelisah dan takut akan gelap malam
Jadilah peletak dian terang dalam temaram
Biarlah aliran darahku melantunkan kidung untukmu
Menyebarkan kehangatan ke segenap jiwa
Lenyapkan gamang dalam mimpi siang
Sampai kau tenang, nyaman dan terlelap
Bila nanti bapak pergi
Kuingin dengar suara keras tangismu
Bukan pemberat langkah pengiring pergi
Cuma penanda agar bapak kembali
Membawa cinta sekarung penuh
Untuk kau anggerku.. dan ibumu..
Rindu Hadirmu
lama aku tak menuliskan kata untukmu
biasanya ku toreh dada tintamu yang slalu membiru
saat angin hadir sehembus sehembus
dan belaianmu yang nian tulus
mungkin kau sudah lupa
atau terlalu sibuk tuk mengingat semua
serenda kasih yang kutitipkan padamu
amanah yang sering kau janjikan padaku
bila kini aku kembali
ku tak hendak menagih janji
cuma segantang asa yang menyesakkan dada
ingin ku curahkan semua
lama tak ku menulis kata padamu
mungkin kau sudah lupa
atau pura pura tak ingat semua
tapi disini..
aku tak hendak menagih janji...
cuman segantang kenang
yang ingin padamu kucurahkan
medaeng, 14102011
Lawatan Terakhir
Ijinkan aku menjamahmu
dalam lingkaran tak bertuan
yang kemarin sempat menyesakkan dada
membilang hati terpapar sepi
sedapat mungkin aku ingin mengunjungimu
walau jauh di negeri awan
karena rinduku sedendam meredam
menjumpaimu akan menjadi penawar gamang
lawatan rutin yang ku rituali
seakan terhapus digundukan makna
hambar yang kini menyeruak dalam hati
ku ingin jawabannya kini
berdendang seperiangan
aku akan datang
saat sore telah bermain bulan
dan paruh pipit telah merobek peraduan
kuingin pasti
lawatan terakhirku berarti nanti
Mac Gayoon, 13082011
LELAKI GANG DOLI
Ku kulum bibirmu dalam ikatan janji
Yang takkan pernah ku tepati
Nikmati saja yang terasa
Atau tinggalkan begitu saja
Keningmu telah menyiratkan
Kegelisahan yang mendalam
Sedalam riak resah batinmu
Saat kurengkuh bahumu
Malam ini aku ingin menyenggama bulan
Meski pucat dihempas angin malam
Kehadir - beradaanku disisimu
Sebenarnya ketiadaan bagimu
Lalu kenapa murung menyergapmu
Besok aku pulang
Ke rumah yang tak pernah kuanggap peraduan
Mungkin kerinduan akan menyergapmu segera
Tapi lupakan saja
Aku takkan pernah benar benar mengangapmu ada
Mantram Kepada Hujan
Kutautkan rinduku pada hujan
Saat jatuh hanya riuh tanpa berkeluh
Tak perlu berpihak pada sisi mana hujan bermakna
Hargai jatuhnya apa adanya
Mungkin terlalu hambar bila ku biarkan hujan berkabar
Karna toh ritual itu sudah ada berabad abad
Hanya titian rindu yang semakin kuat tak bertahan
Ingin memenuhi rasa dahaga bercawan cawan
Kapan terpulang
Tetesan mulai merembes, meresap, menyatu
Membasuh ruang jiwa menorehkan makna
Menyeret sukma menuju titik nadir tiada tara
Hingga tak perlu kau cari makna
Semua tlah ada disini
Ommm.. kosong kembali berbilang Yang berbilang hanyalah kosong tak bertuan
Penyatuan yang terharap mendorong bersukma sukma
Mencari bilangan tunggal yang tak bermetafora
Aku kembali tengadah
Sapaan hujan menyapaku dengan pekatnya
Menyadarkanku dalam kenyataan
Yang penuh bunga bunga menggiurkan
Menghadapkanku dalam simfoni
Sibuk dalam hiruk pikuk dunia lagi
Mac Gayoon, 18112011
SELAMAT DATANG DI NEGERI BADUT
Selamat datang di negeri badut
Tempat dimana tuan bisa tertawa terkentut kentut
Negeri yang selalu riang
Tak peduli suka maupun duka kami berdendang
Selamat datang di negeri Badut
Dimana kekayaan bukan ukuran
Kami mengukur kemakmuran dengan perut gendut
Dan ketawa yang keras dan paling lantang
Dinegeri ini kerja kami menjarah Bukan karena kelaparan
Hanya sekedar memenuhi sensasi akan mimpi yang tak kunjung datang
Tuan bisa tertawa karena polah kami yang tak masuk diangan
Tapi kami bisa menyikapi semua tragedy dengan senyuman
Rumah kami sepetak petak
Dengan segala masalah yang bisa berkotak kotak
Bila kami ingin mencari solusi
Cukup menghisap cerutu yang bau kencing kuda tadi pagi
Selamat datang tuan dinegeri badut
Kami keluarga badut
Tetangga kami badut
Kami juga dipimpin badut badut
Jadi akan dianggap dosa bila tingkah kami tidak seperti badut
Di negeri kami ada beribu gedung pertunjukan
Ditingkat RT sampai gedung dewan
Semua gratis untuk tuan saksikan
Baik lewat TV maupun mata telanjang
Inilah tuan negeri badut
Dimana kami semua berperut gendut
Kami anggap puasa bila kelaparan
Dan Sakit itu sangat dilarang
Atau bila terpaksa.. tunggu saja dilorong bangsal Karena segala jamu disini mahal
Selamat datang di negeri badut
Tempat dimana tuan bisa tertawa terkentut kentut
Negeri yang selalu riang
Tak peduli suka maupun duka kami berdendang
TRAGEDI KAMPUNG BATU
Kuberitahukan padamu
Kisah tentang tragedi Kampung Batu
Yang terkabar lewat bisik bisik
Dari batu kebatu
Kami hidup dari saling membelah
Memancung gunung gunung dengan serakah
Memakan kayu kayu hutan
Pun tak pernah sedikitpun kenyang
Kukabarkan padamu
Kisah tentang tragedi Kampung Batu
Hati kami yang kian hari mengeras
Tak peduli mamak, budak terlibas
Toh kami terlahir dari batu?
Dengarkanlah wahai pendengarku
Yang menguping dari balik dinding batu
Jangan pikir budaya kami cadas
Pemimpin kami lah yang membentuk culas
Kuberitahukan kepadamu
Kisah tentang tragedi Kampung Batu
Yang terkabar lewat bisik bisik
Dari batu kebatu
Kami warga Kampung Batu
Bertahta batu, bermahligai batu
Kami terlahir dari rahim batu batu
Serta merta kami berkepala batu
(Untuk dewanku Sang Raja Batu)
Mac Gayoon, 10062012
Minke W.H kelahiran tahun 85.
Tumbuh berkembang dalam menulis di
"ladang pembantaian Puisi" Froum
Diskusi (fordis) sub ruang
Cybersastra.net (Alm). Sekarang
sedang aktif menulis sembari
menikmati peran sebagai gelandangan
cyber.
AJARI AKU MENULIS (LAGI) bahkan air mataku ini sudah tak ma(mp)u berubah jadi tinta apa lagi yang harus aku korbankan? darah? darah ku sudah berubah jadi nanah karena katakata tak bisa keluar sempurna apa lagi? apa lagi? aku sudah tidak bisa membedakan, putaran kepala atau putaran dunia yang coba ku olah agar aku bisa menulis (lagi) lalu apa lagi? merubah malam pun tak bisa membuat aku menulis (lagi) kepada siang? taku tak berharap banyak, keringatku membasahi kertasnya. Kau... Kau yang harus mengajarkan aku menulis (lagi) bawa aku dimana kau bisa mengajarkan aku menulis (lagi) aku tak minta banyak AKU HANYA INGIN MENULIS (LAGI)
KAULAH SAJAK selayak sajak kau tak akan menua kekal di dada. (haiku)
AKU IRI sekali ini aku iri pada riak yang menggoyangkan kekokohan perahu itu karenanya kau tersenyum begitu manis sekali ini aku iri pada angin sore yang membelai halus rambutmu karenanya kau terlihat begitu anggun sekali ini aku iri pada takdir matahari senja karena bisa melihatmu sampai membenam padam kau memang mengagumkan dan tak ada peranku disana pangandaran 02/10/11
TANGANKU DAN KECANTIKANMU Kecantikanmu malam ini memaksa bulan meinggi pergi membawa iri malu tak bisa menandingi bibirmu membuka membuat senyum yang menusuk dada dan meremas hati pengagum Ahh... tangan ini terlalu pendek tak bisa meraba hanya berkata di atas kertas sampai pegal dan terkulai
BULAN TUA malam yang remang meminang bulan tua berbagi terang #haiku
AKU INGIN MENCINTAIMU SEBAGAI MALAPETAKA (parodi sapardi) Aku ingin mencintaimu sebagai malapetaka Seperti kata yang tak sempat disurat bencana Ke rumah-rumah yang dijadikannya puing-puing Aku ingin mencintaimu sebagai malapetaka Seperti izroil yang tak bisa menyapa nyawa Lalu menjadikannya tiada
MENJAUH Kau sekarang layaknya pendeta pertapa dengan lentera kuning di tangan berayunayun berjalan kau menuju bintang meninggalkan otak dan hatimu tak mau kau ku ajak duduk diatas derak derik gerobak yang lari terseret sapi aku tawarkan kota dimana kita bisa menyata ku perlihatkan mereka yang memacu kita lebih mendunia langkahmu semakin cepat menuju bintang meninggalkan otak dan hatimu dan kau ah kau sungguh kau sudah tak ku kenali lagi kau sekarang.
CUKUP dikala kita bersua, nona aku ingin waktu mati disitu pantang kebelakang segan kedepan.
PERAWAN PECINTA BULAN purnama melarut ke dalam kopi menggambar rupa perawan pecinta bulan yang menggengam sabar untuk menangkap angin
CINTAMU Aku melihat wajahnya dalam kaca pada air matamu jatuh ke hati menyatu dengan cinta dalam dada terjaga untuk selamanya.
SISA CINTA Hati meninggi Cinta pun jatuh pecah terberai di lantai menyisa luka serupa wajah dara
PENGANGGURAN PENGANGGURAN adalah tuan yang tak pernah bosan duduk termanggu dari minggu sampai sabtu apa yang tuan pikirkan? Hingga pantat tak kunjung diangkat Bangkit tuan, Rambut tuan tiada beruban Jangan tunggu sampai berkafan Minke W.H 28 Juli 2005
MENUJUMU rinduku kini sudah menuju, berlari lurus ke arahmu tak pernah ragu. Ada luka, terpaksa kubawa serta, ada cinta, membungkus semua c(er)ita. Rinduku hanya tertuju padamu.
KAU DAN AKU SAJA Kita akan selalu berbagi nasib selayak sayap seekor burung, bukan merak, cukup pipit saja. Mendunia, Kita akan terbang, aku mengepak, dan kau pun tiada beda. berdua, kita akan menjaga kepala kita ketika tidur, hangat terlelap, sampai tak bisa bangun lagi.
POETIH DEKIL, adalah nama pena dari Tomy Rymalo
El Asad, lahir di Jakarta Agustus 1984. Pernah ikut aktif
di Forum Diskusi (fordis) sub ruang Cybersastra.net
(situs sudah tak aktif). Aktif di blog si-
jalang.blogspot.com. Menyibukkan diri di Teater Jalanan
Kecamatan Cileungsi-Bogor bersama Anak-anak seniman
jalanan Cileungsi-Bogor yang berdiri sejak tahun 2004.
Juga termasuk dewan pendiri dan pengurus Yayasan
Peduli Umat Arribatul Ukhuwah yang bergerak di bidang
pendidikan dan kehidupan sosial umat, serta mengajar
Bahasa dan Sastra Indonesia pada tingkat SMP di
yayasan tersebut.
Rindu (Haiku)
Mengusik Rindu
Gelisah menggugatku
Mencintaimu
Selayak darah
Mengalir dalam resah
Wajah membasah
Kutikam cinta
Lalu kucekik dia
Kubunuh rasa
Demi cintaku
Ku nikmati adamu
Wajah nan sendu
~HAIKU~
Malam Muram
Malam
Gelisahmu, harapmu yang merengkuh
Kudengar syair indah begitu berirama, mesra
Malam, kenapa engkau menampakkan kesuraman wajahmu?
Asap rokok mengepul ke udara, memuai entah kemana
Tercium olehku wangi parfum murah, menyengat
Kupandangi wanita-wanita molek pengundang selera
Menawarkan luka dan gelisah di dada
Di ujung sebelah sana
Para pengais sampah tergolek dalam ketiada-berdayaannya yang membisu
Sepanjang trotoar jalan itu
Mereka terlelap, bermimpi, indah...
Di sana, kau lihat di sana
iya, itu di halte sana
Bocah-bocah kecil lusuh
Berpakaian rombeng nan lugu
Tatap wajah mereka, kau kan temui keindahan yang takkan membuatmu jemu
Kebahagiaan yang tak pernah ragu
O, malam kelam
Sekali lagi, kau tampakkan wajahmu yang muram
Inikah syairmu yang mencekam?
Tengoklah gemintang melekat indah pada tubuhmu yang hitam
Malam.... berilah kami harapan
Membenahi diri
Mengusap peluh yang membasahi dahi
Kunanti
Dengarlah suara simfoni mengalun mesra dan juga manja
Mengajakku untuk menggandeng tanganmu, tuk berdansa
Lihatlah kerlip lilin nan penuh romansa
Biarlah kupeluk tubuhmu, biar kunikmati kehangatannya
Kecupan manis darimu kunanti
Mengungkap tabir rindu yang sudah lama berkalang kabut
Tetapi biarlah untuk sementara terus begini
Setidaknya, bisa terus kupandangi mata indahmu nan sayu
Kecupan manis darimu kunanti
Mengisyaratkan rasa cinta yang saling kekal dan setia
Tetapi biarlah untuk sementara terus begini
Setidaknya senyum dibibirmu terus merekah
Lagu sudah lama mengalun mesra
Hangat tubuhmu tak bosan aku memeluknya
Matamu nan indah dan senyuman bibirmu nan merekah
Oh kasih, kecupan manis darimu kunanti, cinta
Peri Kecilku, Aku Ada di Sini
Duhai peri kecilku nan jelita, ingin kutatap wajahmu nan lugu
Lembut matamu menatapku lesu dalam kegalauanku
Wahai peri kecilku nan jelita, aku cinta kamu
Demi setiap tetes darahku yang mengalir ditubuhmu
Kemarilah engkau, mampir dalam pelukanku
Kan kubasuh kerinduan abadi yang lama menanti keindahanmu
Setiap kecupku menandakan kau adalah aku, meski kita terpisah ruang dan waktu
Wahai peri kecilku nan jelita, pandangilah dinding langit yang berwarna hitam
Jangan kau pandangi bintang atau rembulan
Dibalik hitam ada wajahku bersembunyi dalam tirai, sembari tersenyum menatapmu
Wahai peri kecilku nan jelita, sungguh kau tak sendiri
Dalam bisikku, didalam ruang hampa ini ku akan selalu berkata, aku ada disini
Saat Aku Mencium Bau Tengik Sampah (Sajak Anjing-anjing Buduk)
Saat aku mencium bau tengik sampah, ku menelisik
Terlihat olehku anjing-anjing buduk berebut mengais sampah
Menjilat-jilat dan mengendus-endus
Demi anak-anak kecil bertelanjang dada yang menangisi indahnya ratap derita
Demi kaum papa yang menertawakan laparnya perut yang membuat sengsara
Demi ibu-ibu yang berpisah dengan anaknya untuk bekerja sebagai wanita malam
Bagaimana jika anjing buduk tinggal di istana, menguasai sawah dan ladang
Serta pasar dan kantor-kantor manusia yang seharusnya menjadi petinggi
Anjing-anjing buduk yang menggigit apa saja
Mengendus derita siapa saja, bahkan deritamu
Sambil menatapmu garang mereka menjilati ketiada berdayaan yang mereka ciptakan
Sudahkah engkau menyaksikan anjing-anjing buduk menyalak..??
Bak serigala buas mereka mencengkram apa saja yang ada di hadapan mereka
Tapi mereka hanyalah anjing-anjing biduan yang tak henti-henti menyalak
Untuk menutupi rasa jerih dari koreng yang menutupi tubuh mereka sendiri
Aku meronta Aku hanya bisa meratapi kisah sambil tertawa riang
Decak kagum yang membuat seisi perut harus kembali keluar membasahi tanah yang sudah
basah
Bak nanah yang membasahi luka, mereka ada di sekeliling kita
Di rumah-rumah mewah dan megah
Di dalam istana yang seharusnya diperuntukkan untuk raja
Di dalam kandang kumpulan anjinganjing buduk yang terpelihara sejak lama
Inikah yang kau inginkan kawan??
Tidakkah engkau mau bertanya sedikit saja
Kenapa engkau masih mengasihani mereka..??
Memberi mereka makan dengan jemarimu yang sudah dilumuri tinta berwarna kelam
Toh makananmu sendiri sudah tak lagi bisa tertelan
Karena rasanya sangat getir untuk kau kecapi dengan lidahmu yang sudah dibuat kelu membisu
Inikah yang kau inginkan kawan??
Tidakkah engkau mau bertanya sedikit saja
Sampai kapan kebahagiaan ini engkau rasakan..??
Sampai engkau mati berkalang tanah, dengan tubuh kering dan menggontai tak berdaya apa-apa
Sampai engkau menyadari bahwa jasadmu tak lagi berarti apa-apa
Menyadari bahwa hidup tak lagi soal hanya dirimu dan dirimu saja
Kita harus menapaki jalan
Menyuapi anak-anak kecil yang terlunta-terlunta dan tak lagi tahu siapa bapak atau emaknya
Membawa serta orang-orang yang menderita karena tak lagi bisa makan nasi walau sekepal saja
Menutupi ketelanjangan wanita yang sudah tak lagi punya daya atas perihnya cambuk yang
menyiksa
Lalu mendongakkan wajah
Dan siap menggebuk kapan saja, anjing-anjing buduk yang berkeliaran dimana-mana, dari
ladang hingga istana.
Kisah Bocah Pengais Sampah di Siang Hari yang Cerah
Langit cerah, awan putih, angin berhembus sepoi-sepoi
Menerpa rambutku yang kusam dan wajahku yang polos menatap langit bersahaja
Ku cium kesegaran udara, bau tengik sampah-sampah busuk yang baru turun dari truk menusuk
hidungku
Ah kali ini perutku akan terisi, batinku bergemuruh riang
Aku bersama teman-temanku Tono, Ali dan Budi serta si cantik Ria
Berhamburan menaiki bukit sampah basah berbau busuk menyengat, oh betapa segarnya
Tono memilah-milah sampah plastik
Ali mengikat setumpukan kardus
Budi mencari-cari sekiranya ada barang berharga yang ikut terbuang
Sedang Ria, dia tengah bergembira ria karena mendapatkan boneka wanita yang putus sebelah
tangan dan kakinya
Aku.., kau tanya aku sedang apa
Aku sedang memakan kue-kue basi dan sebungkus nasi dan ikan gurami yang sudah berbau
tengik dengan nikmatnya
Aku jarang makan kue-kue seperti ini
rasanya manis sekali, semanis cita-citaku yang membumbung tinggi
Namun ada rasa asam dan getir yang kujilat, oh mungkin cita-citaku pun seperti itu
Aku ingin menjadi peminta-minta dipinggir jalan raya ibu kota, oh betapa nikmatnya pekerjaan
itu kurasa
Akupun jarang sekali melahap ikan gurami
Oh nikmat sekali, meski hanya tersisa secuil daging yang melekat di duri dan kepala
Sedikit rasa anyir menggugah selera
Setidaknya kurasakan nikmat Tuhan siang ini begitu besar kepadaku
Perutku sudah membuncit kekenyangan, aku menatap langit biru cerah dan awan berarak putih
Terdengar olehku canda tawa teman-temanku di depan sana
Tono senang sampah plastiknya mencapai 2 karung beras penuh
Ali duduk diatas tiga tumpuk kardus setinggi harapannya
Budi meloncat-loncat gembira, satu kalung besi berkarat digenggamnya, ada nama Tuhan yang
tergandul pada kalung itu
Sedang Ria, oh si cantik itu sedang menyusui anaknya yang tak punya sebelah tangan dan juga
kaki
Hati kami senang, hati kami riang, setidaknya kami rasakan Tuhan hadir dalam kasih sayang
Seperti awan putih yang berarak , melantunkan puja-puji pada Sang Kuasa
Tiba-tiba, truk sampah bergerak maju, timbunan sampah di sekitarnya bergemuruh turun
Meronta-ronta kami terkubur dalam tumpukan sampah plastik, kardus dan makanan berbau
busuk
Kudengar suara rintihan Budi, kudengar suara erangan Ali, kudengar tangisan Tono
Sedang Ria saat kupeluk ia, sedang mendelik matanya menatapku manja
Oh Tuhan terima kasihku padamu setidaknya nikmat sekali saat ini kurasa
GELAP
Nyanyian Bocah Pengemis Kecil
Ketika ku berdiri mematung di pinggir warung makan kecil
Menatap lauk-pauk dan minuman dingin yang begitu menyegarkan
Perutku membuat nada-nada indah, suara gendang bertabuh kencang
Kerongkonganku yang kering tak sadar mengeluh, menelan ludahku sendiri
Tak tersadar kubernyanyi dengan suara yang begitu merdu
Syairnya tak panjang, hanya, kasihanilah pak sudah dua hari saya belum makan
Begitu terus kuulang-ulang, semakin merdu terdengar ditelingaku
Seorang bapak pemilik warung menatapku dengan perasaan penuh sayang dan manja
Menghardikku dengan suaranya yang keras
Mengusirku, agar beranjak dari halaman depan warungnya
Pemilik warung kurasa menyukai nyanyianku
Tak hanti-henti kukencangkan nada suaraku
Lagi ku bernyanyi, kasihanilah pak, saya belum makan
Salah satu diantara yang menyantap makanan dengan penuh lahapnya, memandangku jijik
Ah, kurasa dia merasa iba
Meninggalkan setengah piring nasi untukku, karena melihatku
Segelas teh manis dingin segar ia minum
Kemudian menuangkannya ke dalam piring nasinya yang masih penuh dengan makanan yang
enak-enak
Sembari memandangku, ia menyunggingkan senyum manisnya
Orang itu kurasa menyukai nyanyianku
Kembali kunyanyikan laguku dengan suara lantang meski kerongkonganku terasa mencekit,
perih
Tolong kasihani saya pak, perut saya sangat lapar
Seorang ibu berjalan ke arahku dan mengelus rambut kucelku dengan halus
Ia lalu memberi uang, selembar seribu
Aku tersenyum, Aku bahagia
Rupanya suaraku telah menggugah hatinya
Tak lama, setelah kepergian sang ibu
Pemilik warung menghampiriku dengan gagang sapunya yang panjang
Memukul bahu dan juga pipiku
Ah, mungkin ini karena aku menghentikan nyanyianku
Pemilik warung itu mendorongku dengan keras
Aku terjerembab jatuh dikubangan sampah
Tak sengaja tanganku menyentuh sekepal nasi bungkus
Kucium nasi bungkus yang isinya adalah telur dan juga sayur tahu
Meski busuk dan basi, oh ini makanan terlezat di dunia
Biasanya aku hanya bisa mendepatkan sekepal remahan roti dalam tong sampah
Ku bawa nasi bungkus berlari
Begitu riang hingga aku melonjak-lonjak di pinggir trotoar
Tak tersadar sebelah kaki tak berpijak apa-apa
Ohhh, Tuhan ku terjerembab
Sekilas ku melihat sebuah truk mencium tepat dikeningku
Kurasakan ciuman hangat ibuku yang sudah lama telah tiada
Dengan susah payah kugapai sekepal nasi bungkusku, meski tanah disekitarku telah basah oleh
merahnya darahku
Belum sampai jari tengahku menggapai nasi bungkusku
GELAP
Aku (Poetih Dekil)
Diriku begitu merah
Tampak gagah di atas jutaan warna
Mempertegas rasa hatiku
Yang sudah membeku, menghitam
Menghancurkanku berkeping-keping
Bagai puing-puing darah
Yang dulu merah
Bak bata..
Namun kini hitam mengering
Lebih Baik Kau Sayat Jemariku
Lebih baik kau sayat jemariku
Yang kini kaku tak bergerak tanpa daya
Terdiam tak berkutik menelan kebisuan
Mengapa harus pergi semua kata-kata
Lebih baik kau sayat jemariku
Penuh tanya yang tak bisa terjawab
Penuh ragu yang selalu membelenggu
Penuh alasan yang selalu berawal tanpa sebab
Lebih baik kau sayat jemariku
Hingga hilang dari diriku
Tak membebaniku dengan sejuta bayang-bayang
Mengenang segala yang telah terbuang
Lebih baik kau sayat jemariku
Membuangnya dalam keindahan kata
Yang dulu pernah terbuat dalam untaian cerita
Indah nan mesra
Lebih baik kau sayat jemariku
Sebelum kembali ku membuat indahnya kata
Demi suka maupun duka
Demi cinta maupun dusta
Senandung
Dang dung dang dung
Kudengar suara tabuhan gendang
Hilanglah sudah pikiranku yang murung
Melihat topeng Monyet hatiku riang
Dang dung dang dung
Mari kawan kita riuhkan
Suara rebana bersenandung
Monyet kecil meloncat-loncat
Dang dung dang dung
Monyet kecil pergi ke pasar
Naik motor memakai payung
Teriakku, "Hati-hati kesasar..."
Dang dung dang dung
Hatiku bersenandung
Decak kagum pikiranku lugu
Menyenandungkan sebuah lagu
Pacarku Tiga
Yang satu karyawati
Yang satu kondektur
Yang satu pelacur
Hidupku sengsara dibuat mereka
Pacarku tiga
Si karyawati membuat hidupku diburu dengan waktu
Langkahku bagai roda berputar
Kadang shift satu
Kadang shift dua
Kadang shift tiga
Kadang pula aku lembur
Pacarku tiga
Si kondektur membuat hidupku sesaat
Itupun hanya didalam bis kota
Hanya sesaat sekali
Tidak ada kata liburan
Untuk membagi waktu dengan kisah asmara
Pacarku tiga
Si pelacur pembagi cinta
Menjual harga diri
Membelenggu nurani
Menyisakan senyum kelelahan untukku
Yang terlalu hina..
Dalam pandangan manusia
Pacarku tiga
Entah akan ku pilih yang mana
Sebagai teman bicara
Sebagai penoreh cerita menjelang ku tidur
Penghilang haus akan belenggu cinta
AKU
Aku hanyalah pecinta
Terlahir dari kegilaan cinta
Hidup bagiku sekeras batu
Di padang rumput di tengah lapangan salju
Beku, sebeku otakku
Dingin, sedingin sikapku
Namun panasnya sepanas api neraka
Aku jatuh di kubangan noda
Terhanyutku dalam ruangan gelap, penuh sekat
Hidup sebuas binatang liar
Di rimba jalanan pada keheningan malam
Siap menghadang mangsa
Aku diam, namunku bicara
Ku terbisu, bukan berarti langkahku terhenti
Aku malu jatuh
Walau sering ku terpelungkup, jatuh
Namun ku kembali bangkit
Menyongsong sang surya
Mengepalkan lengan ke arahnya
Dan berbicara
Aku siap melawanmu
Itulah Aku
Dansa Gembira
Sebatang rokok dan segelas kopi
Kala ku memandang pagi di matamu
Terdengar senandung suara rindu mengajak kita tuk berdansa
Ayo kasih, rapatkan badanmu di dadaku.....
Tap Tap Tap , entah tarian ini Tango atau Salsa
Yang jelas indah, begitu kala kulihat kerling senyummu
Menggodaku untuk merabai kegundahanmu
Wahai gadisku, hilangkan saja segala penatmu
Mari terus menari bersamaku
Bersama kita lupakan segala beban dan derita
Lupakan saja rasa sakit akibat dera cambuk majikan
Lupakan saja anakmu yang menangis di sana karena tak bisa bayar uang sekolah
Atau lelakimu yang mungkin barangkali sudah punya selingkuhan lagi
Tap Tap Tap , ini dansa atau goyang jaipong sayang
Kecupanmu menandai kau sangat ahli dalam hal itu
Oh tentu saja, kau adalah korban ketiada berdayaan perempuan
Dijual ke negeri orang hanya untuk menjadi mesin pemuas nafsu birahi belaka
Hilanglah sudah keceriaanmu, wahai nona
Tergantikan oleh tawa yang membahana
Pelacurku, Engkau Dimana?
Riak matamu damai ketika kau basuh aku dengan kegalauan cinta
Di bawah temaram lampu yang hampir padam
Desir peluh dan desah nafasmu, mengusik gairah
Ku rasakan pelukan dalam nan mesra, lagi hangat
Kau secantik bidadari, meski tubuhmu bersimbah lumpur nista
Oh..., seandainya bukan sesaat itu saja kita menikmati syurga
Kan kubawa engkau terus terbenam ke dalam kubang neraka
Biarlah kita terbakar bersama dalam gairah nan menggelora
Meski panas, aku akan terus menggeliat-geliat di dalamnya
Oh.., harum tubuhmu tiada pernah ku lupa
Seroja yang tumbuh di samping kuil cinta
Meski tak seindah mawar atau pun melati
Namun tetap saja engkaulah yang ku puja
Oh.., kemanakah engkau kiranya?
Kuingin sekali lagi menikmati semalam bersama
Kan ku jilati manisnya cintamu
Kan ku penuhi hasratmu yang membara
Lewat cinta ku berbicara...
Pelacurku, engkau dimana?
Hatiku Hilang
Hatiku hilang kau bawa pergi
Jauh hingga ke seberang sana
Entah ku hanya bisa tersenyum
Ta pernah ku mengenali mu
Tapi hatiku kau bawa pergi
Ku meratapi langit
Akankah kau bisa mendekatiku
Menyimpan wajah cantikmu ke dalam dadaku
Menggantikan arti hatiku
Yang telah kau bawa pergi
Biar bersarang merayap ke seluruh tubuhku
Menjaring aliran darah
Membuat panasnya cinta menghangat
Dalam kebekuan cintaku
Walau hatiku kau bawa pergi
Putree Fumi, Lahir di kota kecil kec. Cepu
Kab Blora, Jawa Tengah pada tanggal 19
September 1984 dengan nama lengkap Putri
Ayu Wulandari dengan. Mulai aktif menulis
sejak tergabung di komunitas seni independen
Cermin semasa kuliah yang terdiri dari
kumpulan dari beberapa kawan-kawan
sekampus di Universitas Mercu Buana. Saat ini
masih aktif di grup sastra FB Belajar Menulis
Kreatif, milis Neo Fordis Cybersatra dan
Kumpulan Fiksi. Sebelum mulai menulis puisi,
pernah dua kali pameran lukisan di Universitas
Mercu Buana bersama Komunitas Cermin
Yogyakarta. Belum lama ini (2012) beberapa
karya puisi juga pernah masuk dalam Antologi
Puisi Ken Dedes berbentuk E-Book oleh Grup Sastra Belajar Menulis Kreatif Publisher.
Beberapa kegiatan kesenian yang pernah
dilakukan :
2007 Teatrikal Puisi 1001 Malam bersama Komunitas Cermin di acara pementasan teater oleh Teater Senthir Universitas Mercu Buana Yogyakarta
2007 Teatrikal Puisi Lilin bersama Komunitas Cermin di Elo Progo Art, Mungkid Magelang.
2007 Pameran lukisan bersama Komunitas Cermin bertajuk Kebangkitan Manusia di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
2007 Performance Art bersama Komunitas Cermin memperingati 1 tahun gempa Jogja di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
2007 Teatrikal Puisi Di tengah Peperangan di acara bertajuk Geliat Sastra, Anniversary ke 1 Komunitas Cermin Yogyakarta.
2008 Pembacaan Puisi di acara Panggung seni Belajar Bersama Rakyat SEBUMI (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia) di Nol Kilometer Yogyakarta.
2008 Pameran lukisan pada Anniversary ke 2 Komunitas Cermin bertajuk Kulminasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
2008 Teatrikal Puisi berjudul Bom Waktu pada Anniversary ke 2 Komunitas Cermin bertajuk Kulminasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
MATI IDE
terbang kemana kau
hendak kukejar
kau memilih lenyap dalam asap tembakau yang kian habis terbakar.
hendak kutangkap
kau malah sembunyi disetiap tegukan kopi yang semakin tiris.
kata berlarian
berserakan
porakporanda
tak berjelma
(Jogjakarta, 4/5/2012)
PENYAIR AMNESIA
kata berlari menuju entah
hendak ku kejar
kau pilih hilang dalam resah
sedang sepi betah memamah
hingga pena membujur sudah
(Jogjakarta, 23/1/2012)
SENJA BERSAMAMU
I
Senja bersamamu kala matahari karam waktu itu
masih terlihat jelas pada kaca air mataku
seruan ombak berkejaran menuju entah
seakan enggan dibuai waktu
II
lantas apa lagi yang kau ragu
jika seluruh panji-panji sudah tertancap
tengoklah, bibir pantai senja itu berkilau
berprasasti bahwa aku menyata
III
telah meredupkah bara yang dulu menyerbu
membakar habis hingga tuntas
segala yang tiada hingga ada
telah meredupkah..?
IV
kemarilah, duduk bersamaku di hamparan pasir
dengan segelas kopi panas dan hembusan angin
memandang senja keemasan di batas cakrawala
kita kan bercerita tentang nanti, berdua saja.
V
bayangkanlah manis, indah bukan?
kita buang segala beban dan hiruk-pikuk dunia
melebur rindu dalam kidung yang tercipta
memadat dalam bayang kita yang menyatu
(Jogjakarta, 12/1/2012)
TAK KUNJUNG KUNJUNG
tak kunjung-kunjung memburam wajah itu
padahal hati tak tertahankan
ternyata hidup itu berat juga rasanya
tak kunjung-kunjung meredup api itu
padahal tubuh sudah melepuh
ternyata terbakar cemburu itu perih juga rasanya
tak kunjung-kunjung mengering luka itu
padahal susah payah menyembuhkannya
hingga mata, hingga mata
menangis juga, menangis juga
(Gubahan karya Mathori A Elwa)
Jogjakarta, 20/11/2011
KIAMAT
lihat di ujung jalan itu
iblis unjuk gigi
sedang beberapa malaikat
bermain dakon
(Jogjakarta, 20/11/2011)
KITA MARAH
kita marah dalam sebotol beer
melebur bersama busa putih dingin
diantara tawa kawan lama
dan parodi satir
kita marah dalam kepulan asap tembakau
melesat ke langit langit mimpi
diantara bayang hitam putih
masalalu dan masa kini
Jogjakarta, 19/11/2011
(Gubahan dari karya Mathori A Elwa)
HUJAN & KOPI
hujan membasah lagi
menghapus jejak pejalan kaki
yang dingin membeku dilebur bayu
karenanya menjadi sendu
andaikan kopi tersaji sedari tadi
lengkap dengan gorengan berkali-kali
hilang sudah dingin diusir kopi
yang pasti kan tertuang lagi dan lagi
(Yogyakarta, 8/11/2011)
AKU JUGA IRI
sekali ini aku iri
pada kokohnya bayangan masa lalumu itu
karenanya kau mematung seperti batu
sekali ini aku iri
pada kecanduanmu akan sosok fantasi,
layaknya Chairil memuja Ida
karenanya sajak muntah dimana-mana
dia memang mengagumkan
dan tak ada peranku disana
(Adaptasi dari puisi Aku Iri karya Minke WH)
Jogjakarta 6/10/2011
JOGJA MALAM INI
tak seperti malam-malam biasanya
yang selalu di guyur hujan
menyisakan sepi yang mendalam
meninggalkan lenggang jalan
jogja malam ini panas
hingga membakar jantungku pula
mengencangkan detak jantungku tak beraturan
seakan ingin tercabut lepas dari tubuh gendut ini
jogja malam ini sesak
sesak yang disebabkan panas
panas yang memenuhi otakku akan persepsi
persepsi tolol berisikan badut-badut tak berguna
aku tak suka jogja malam ini
(Jogjakarta, 7/2/ 2009)
Di Tengah Peperangan
Mulut terkunci, diam.
Pikiran bertumpuk
Hati bergejolak
Berontak seakan meledak !
Nafas memburu
Meratapi kepahitan
Keperihan
Dingin menusuk
Bagai belati menikam tajam
Kepedihan berperang dengan asa
Keyakinan tak lagi kokoh
Tergantikan keraguan
(Jogjakarta, 10/9/2007)
Pernah dipentaskan dalam ulang tahun Komunitas Cermin ke 1 Geliat Sastra pada tanggal 12
Desember 2007 di depan Rektorat Univ. Mercu Buana Jogjakarta dengan konsep teatrikal puisi
diiringi lagu Cahaya Bulan oleh kawan Fentri
Harapan, Sekarat dan Ajal
Tuan,
Di sini aku sekarat
Tergeletak tanpa daya
Di tengah jalan yang tak ku kenal
Rupanya hanya aku di sini
Di antara hamparan hutan pinus yang menjulang tinggi
Dan kenapa mataku enggan melihat arah lain selain ujung jalan di sana?
Apa yang ku tunggu?
Kau kah itu Tuan?
Ajalku sudah dekat
Di atas sana berkeliaran puluhan bahkan ratusan burung Condor
Berputar, mengelilingi tubuhku yang akan menjadi bangkai
Teriakan mereka menyeramkan
Seakan tak sabar menunggu ajalku tiba
Aku tak berani berharap Tuan
Memikirkannya saja tak memiliki nyali
Sisa tenagaku hanya mampu untuk menangisi semua
Memanggil nama mu pun terbata
Maafkan aku Tuan
Aku layak berada di sini
Dan aku sendiri yang membawaku tergeletak di sini
(Jogjakarta, 15/5/2010)
BERSENGGAMA DENGAN WAKTU
duduk di antara manusia-manusia asing,
yang asyik-masyuk dengan dunia kotak-kotak.
Setiap penjuru mata mmandang beragam bentuk.
Lampu lampion, memancarkan cahaya temaram,
ditemani alunan musik meksico yg sangat kontras.
Mencoba menembus setiap dunia mereka, dunia kotak-kotak.
Dunia yg sama dengan duniaku.
Hening sejenak, meneguk kopi lampung yg tersaji sedari tadi.
Mencoba sesuatu yg baru.
Tak lagi menembus dunia kotak-kotak.
Aneh, tak ada satupun yg terbaca.
(Jogjakarta. Kedai Kopi Elpueblo, 26/02/2010)
Yogi s. Memeth nama pena dari
Muh. Yudi Sofyan, S.Pd lahir di
Pancor Lombok Timur Desember
1981, sejumlah puisi terbit di Bali
Post, Buletin Jejak, Jurnal Seni
Online Kuflet.com, Metro Riau,
Sumut Post. puisi islami terbaik lotim
(2003), Peserta TSN (Temu
Sastrawan Nusantara) 1 di Padang
2012, tergabung dalam penulis puisi
aku dan pelacur (antologi 100 penyair indonesia) 2012, beberapa
puisi tergabung dalam antologi
bersama komunitas rabu langit
kepompong api (2012) (dalam proses penerbitan), sahabat
satumatapena.blogspot.com.
Menyelesaikan pendidikan S1 di
STKIP, semasa kuliah aktif dalam kegiatan Teater Bening, di tahun 2005 menjadi harapan 2
festival monolog provinsi, wakili Lombok Timur Temu Teater Kawasan Timur Indonesia
(KATIMURI) (2002) wakili Lombok Timur Pentas keliling 8 kota di Indonesia (2008). Penulis
aktif dan Pimpinan redaksi di Majalah Sastra Kapass, menyibukkan diri membangun Halte
Sastra bersama Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.
Hp : 081 918 356 444
: 085 237 540 002
Email : [email protected]
YM : yogis_memeth
Twitter : @bangsal_face
Facebook : yogis memeth Blog : http://teatertunggal.blogspot.com/
http://teatertunggal.wordpress.com/
PESISIR PASIR
: Hafizah
maaf, ini belum selesai.
dengan pasir, kita menulis mimpi
sisa kemarin sore
beberapa buih rindu jatuh dari langit
menahan gelombang dari ombaknya.
Lampu kabut
potongan merah tadi sore
di pucuk balai pesisir menyimpan lusuh.
pada getaran angin yang tumpah di gulungan ombak
dua titik kita yang belum tentu
beberapa titik jadi hambar
seperti air laut yang anyir di telinga
resahku nyamuk
penghisap rindu
dalam potongan roti tanpa cangkir kopi
resahku mengalir dalam asap rokok
yang bermain dalam angin pantai.
PEREMPUAN BUNTING
matahari belah kabut pagi ini
sampan sampan berburu mimpi
menerka gelombang gelombang pelastik
sisa ombak dini hari
sesekali kau lempar senyum lelah
dan kita saling menatap
bersepakat telanjang dengan pena
pun jari kita sibuk menangkap terkaan peristiwa tadi malam.
peristiwa yang kita hapus pada mimpi perempuan bunting
dan lelah ini
aku tampung dalam gelas dingin
BOCAH PASIR
Seorang bocah meninggalkan mimpi
pada kubur kubur pasir
jari jarinya menusuk gelombang.
wajahnya mengingatku pada dermaga
yang terdesak gelombang sampah pelastik
bulan yang tembaga
dan matahari jingga
di pesisir samping dermaga
tak samarkan wajah redup surwangi
wajah bocah bocah pasir
menunjuk nunjuk mati
PARAGRAF CINTA
: hafizah
Paragraf pertama
ujung jalan rumahku. beberapa kata terserak. alenia-alinia yang tercecer di pasar Gapuk aku jahit
dalam binder. dan paragraf itu, tentang aku yang resmi mencintaimu
Paragraf kedua
di depan pintu kamarmu. aku belah jantungku kemudian aku lekatkan pada ruang bersama rindu
yang bergeser dari pintu yang telah lama mati, seperti gerimis ketika malam, posil-posil rindu
kembali becek. dan aku benar-benar resmi mencintaimu
Paragraf ke tiga
sepenggal matahari yang tersisa malam ini terlihat sayu, ia menatap dengan cemburu yang pelan
kemudian berbisik padaku kau aku kutuk mabuk, kemudian bintang-bintang mencercaku kami
kutuk kau, dalam. dan dalam paragraf ini, aku temukan diriku mabuk dalam kutukan cinta.
RAPUH
Sesajen Air Keruh
: Fatih K. Jaelani
Lima teguk sudah kopi ini
membasuh bibirku
dan sepuluhnya, lagi mengantri
secangkir minyak aroma
meluber di punggungmu
ketika jariku berdansa bersama angin
satu persatu jarak tulangmu
mengajariku, bahwa nyerimu
tak sampai pada kata
dan ketika angin mendesah
pada resah yang tertangkap jendela
aku menemukanmu
menyusut di kasur biru
Lombok Timur 2011
PURNAMA SEPARUH (2)
purnama separuh menitip
rindu wajah sayu
orang-orang terpaku
sebab cahaya merah dadu
adalah tangis ngilu
belum rampung ia makna
malaikat malaikat menebaskan pisaunya
suatu malam
pada mabuk terencana
sebagai hadiah
alfa babi buta
Lombok Timur 2012
HANTU DAN SURAU
Dari sebuah kamar
firman Tuhan membumi
pada siang hari jumat
para perkutut melayang-layang
udara yang panas menggulingkan keringat.
Delapan jumat,
mulut sang kiai berbusa dikupingku
dari pintu kamar, aku menatap selokan
lima bocah telanjang dengan wajah pelangi
diantara bebatuan.
sementara diujung, Ruminah membersihkan tinja
diatas jembatan empat gadis berkerudung
menumpahkan sepuluh karung sampah
jumat
disuatu sore yang berbeda
udara resah begitu dingin
menyelinap sangat dalam
sesekali hujan menyertainya
dan di selokan, sepuluh rumah
menjadi kepingan-kepingan
lima bocah menghilang
tinja dan sampah, menumpuk sudah
jumat
dihari yang lain
tiga jamaah berkunjung
setelah sesak berminggu-minggu.
dan para kiai menjadi lampu taman
PERTEMUAN
di ruang, cahaya mengganggu
antara jejeran terap
Timur beberapa kali muntah
sepenggal kalimat di surau
mandek
orang-orang tak bergeming
dalam diskusi
para malaikat mereka gunting
GERABAH TUA
Perempuan tua
dengan jemari lentiknya
mengukir tanah kotor
harapan yang tergadaikan
tersungkur pada
keringat darah
diantara tumpukan gerabah
perempuan tua meninggalkan rumah
anak menangis meminta boneka
ketika lapar mendera
di mata mereka
aku melihat
ada yang terpahat dengan rapat
IBU, ITU BULAN
Bulan masih tersenyum
ketika matahari meninggi
tiga kabut membelah wajahnya
diujung langit, bintang berpijar
seseorang menangkapnya dengan layang-layang
perempuan itu merangkulku
ia tusuk rembulan dengan jari
dan berkata
kau harus memanah pohon atau hewan
dan dijalur angin
aku menulis sajak
senyum buramnya menerpa
air mendidih diwajah.
beberapa saat, sajakku menggumpal
kemudian aku cairkan ia.
menembus cakrawala, bergelantungan di langit
daun jendela
SAJAK BATU
Ular berdesis
di bawah purnama
rindu sudah senja
dan
debu menggumpal jadi debu