Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KERTAS KEBIJAKAN INTEGRASI GIZI REMAJA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL
“MERAWAT MASA KINI DAN NANTI”
1asa remaja didefinisikan sebagai periode usia 10-19 tahun .
MIndonesia memiliki 44,93 juta remaja pada tahun 2017 atau 2sekitar satu dari lima orang Indonesia adalah remaja . Gizi
adalah tonggak penting bagi kesehatan remaja. Remaja adalah masa
dimana pertumbuhan fisik pesat terjadi dan tahap kehidupan untuk
mengembangkan dan mempelajari keterampilan hidup dan praktik pola
makan yang sehat. Hal ini semakin relevan dalam konteks Indonesia, di
mana Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan berkontribusi 71%
dari total kematian dan banyak PTM dapat dicegah dengan mengurangi 3-4faktor risiko selama masa remaja .
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa mengatasi masalah gizi
dan mengadopsi pola makan sehat selama masa remaja sangatlah
penting, mengingat masa remaja adalah kesempatan kedua untuk
mengejar pertumbuhan dan perkembangan yang berkualitas.
Intervensi Gizi dan pola makan terbukti meningkatkan kemampuan
kognitif dan mengurangi risiko PTM di masa depan serta meningkatkan
kesehatan generasi mendatang ketika remaja beranjak dewasa dan
menjadi orang tua. Kegagalan investasi kesehatan pada masa ini
mengurangi nilai investasi pada tahap sebelumnya yang dilakukan
pada kelompok ibu dan anak dan menghambat upaya untuk 5-7meningkatkan kualitas hidup generasi berikutnya di masa depan .
Terlebih lagi telah banyak konsensus global yang menyoroti peran
penting remaja yang sehat dan kompeten untuk mencapai target 8-pembangunan, termasuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan - SDGs
9, di mana gizi remaja merupakan komponen yang tidak terpisahkan
untuk mencapai beberapa tujuan antara lain tanpa kemiskinan, tanpa
kelaparan, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan berkualitas dan
mengurangi ketidaksetaraan (sasaran 1,2,3,4 dan 10). Namun, terlepas
dari agenda global, hak atas peluang untuk pertumbuhan dan
kesehatan yang optimal adalah hak dasar warga negara yang
dinyatakan dalam pasal 28 UUD 1945. Investasi yang tidak adekuat
Mengapa gizi remaja dan apa yang kita butuhkan?
dalam kesehatan remaja termasuk gizinya akan memperburuk siklus
kemiskinan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
digadang gadang merupakan bonus demografi bagi pembangunan kita
beberapa tahun kedepan.
Masalah gizi remaja harus dilihat dalam konteks adanya kekurangan
maupun kelebihan gizi dan juga defisiensi mikronutrien, seperti halnya
anemia yang turut menghambat remaja. Riset Kesehatan Dasar 2013
melaporkan bahwa lebih dari sepertiga remaja bertubuh pendek, lebih dari
10% kurus dan sekitar 9% mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.
Sementara anemia pada remaja diperkirakan sebesar 23% menurut data
nasional, dan di beberapa daerah anemia pada remaja putri mencapai
40%-50%, dengan konsekuensi penurunan potensi akademik, kapasitas
kerja dan produktivitas saat ini dan di masa depan, serta resiko kesehatan 10-12bagi remaja putri dan bayinya ketika mereka hamil . SDKI 2017
menunjukkan bahwa 7% anak perempuan berusia 15-19 tahun telah 13menjadi ibu dan masalah gizi seperti stunting dan anemia yang dialami
selama masa remaja mempengaruhi kesehatan sang ibu maupun 14-15generasi mendatang .
Masalah gizi tidak lepas dari masalah kebiasaan makan dan aktivitas fisik
yang rendah pada kelompok remaja. Data GSHS menunjukkan bahwa
hanya sepertiga siswa usia 13 -8 tahun selalu sarapan dan hanya 3,81%
yang selalu membawa makanan ke sekolah dan sekitar tiga perempat
memiliki kebiasaan membeli makanan ringan dari warung pinggir jalan, 16tidak cukup makan buah adan sayur serta kurang beraktifitas fisik . Jadi
sebenarnya berbagai masalah gizi dan kebiasaan makan remaja di
Indonesia telah jelas, maka mendesak untuk dipikiran paket intervesi apa
yang mampu mengatasi pelbagai masalah gizi dan pola makan ini secara
efektif. Hal ini penting agar kita tetap dapat menjaga kualitas sumber daya
manusia dan produktifitas remaja kita kini sekaligus berinvestasi bagi
kesehatan generasi berikutnya yang lahir dari cohort remaja ini ketika
mereka dewasa nanti.
Masalah Gizi Remaja di Indonesia
Daerah Rawan Pangan Daerah Aman Pangan
45
84
71
82
28
67
72
49
12
32
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Tidak pernah/Jarang Sarapan
Buah < 3porsi/hari
Sayur < 3 porsi/ hari
Konsumsi Jajanan �dak sehat
Konsumsi soda �ap hari
Konsumsi minuman kemasan manis �ap hari
Ak�fitas Fisik < 3kali/minggu
Puskemas PKPR
TTD rematri
Puskesmas dg nakes gizi
Capaian Program berkaitan dengan gizi remaja dan kebiasaan makan serta aktifitas fisik (%)
33
34
36
10
9
23
85
Stun�ng
Was�ng pada rematri hamil
Was�ng pada rematri
Was�ng
Overweight dan obesitas
Anemia
Anemia pada pemudi hamil
Masalah Gizi Remaja (%)
15 16 17 18 19 Riskesdas 2013 Riskesdas 2018 , GSHS Pusadatin Kemenkes , PLAN youth
APA YANG BISA DILAKUKAN?
1
2
3
Remaja Indonesia mengalami beban gizi ganda yang terdiri atas
kelebihan dan kekurangan gizi, termasuk defisiensi mikronutrien. Tetapi
data yang tersedia di Indonesia jarang menampilkan masalah gizi yang
memotret kisaran usia tepat 10-19 tahun akan tetapi di potret dalam usia
13—18 tahun. Data juga tidak menampilkan masalah kekurangan
mikronutrien lain selain anemia. Ketidaksetaraan antar provinsi
menambah kompleksitas masalah gizi remaja Indonesia, di mana
kelebihan berat badan dan obesitas lebih banyak terjadi di daerah-
daerah yang aman pangan sementara kekurusan dan pendek lebih
banyak terjadi di daerah rawan pangan. Selain itu data belum dipilah
berdasarkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, bersekolah atau
putus sekolah, status pekerja anak, tinggal bersama keluarga atau di luar
rumah serta tidak ada pemetaan geospasial yang dapat membantu
dalam perumusan kebijakan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan
meningkatkan efektivitas program.
GAMBARAN UMUM MASALAH DAN KESENJANGAN INFORMASI
Stunting
Anemia
23%
10%
Overweight & obesity
9%
34%
Wasting
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi mikronutrien di kalangan remaja (terutama remaja putri) dapat secara signifikan mengurangi
prevalensi anemia, yang dapat berkontribusi pada peningkatan potensi akademik, produktivitas, dan perbaikan kualitas kesehatan ibu dan
akan lebih berarti jika didampingi upaya pencegahan pernikahan dini. Intervensi untuk meningkatkan status gizi "remaja hamil" terbukti
17meningkatkan berat badan lahir, menurunkan berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur . Sementara, kombinasi intervensi yang
efektif untuk mengubah perilaku terkait pola makan dan tingkat aktivitas fisik, dan perubahan perilaku untuk mengurangi dan mencegah
18kelebihan berat badan dan obesitas masih perlu terus digali .
Selain konsekuensinya untuk masa depan, intervensi gizi selama masa remaja juga harus dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup selama periode remaja seperti meningkatkan prestasi belajar di sekolah dan produktivitas hidup untuk mendukung partisipasi
di rumah atau di masyarakat. Dengan demikian upaya harus difokuskan pada peningkatan asupan makanan bergizi dan beragam, melalui
intervensi berbasis bukti yang tepat untuk kesehatan dan kesejahteraan remaja, dengan mempertimbangkan azas keadilan dan partisipasi.
Namun, implementasi upaya-upaya tersebut harus didukung oleh kebijakan yang jelas dan kuat serta partisipasi masyarakat yang tinggi.
Seperti yang disoroti dalam the global accelerated action for the health of adolescent (AA-HA!), Sinergi antara upaya struktural oleh
pemerintah dengan organisasi dan masyarakat serta antarpribadi dan individu sangat penting untuk mencapai nutrisi remaja yang lebih baik.
REMAJA INDONESIA DI DALAM DAN LUAR SEKOLAH, SEBUAH KONTEKS
1
2
Sekolah memainkan peran sentral dalam upaya meningkatkan status
29gizi remaja . Data BPS pada 2016 menunjukkan bahwa lebih dari 70%
remaja berusia 10-19 tahun berada di sekolah dan pendidikan
merupakan salah satu faktor penting dalam menunda pernikahan
termasuk kehamilan pertama. SDKI 2017 menunjukkan usia rata-rata
pernikahan meningkat seiring masa pendidikan. Terlepas dari
kenyataan bahwa prevalensi perkawinan anak menurun dari waktu ke
waktu, angkanya masih tinggi. Analisis survei sosial ekonomi nasional
pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 25% dari semua perempuan
berusia 20 –24 tahun yang sudah menikah, pertama kali menikah pada
30usia di bawah 18 tahun . Dengan demikian sekolah adalah pintu masuk
penting untuk pencegahan serta pengelolaan remaja kekurangan gizi.
Sebagai contoh, berbagai upaya untuk mengatasi anemia melalui
31-35pemberian TTD di berbagai negara juga berbasis sekolah dan
36-38komitmen komunitas sekolah meningkatkan keberhasilan program .
Salah satu praktek baik paket intervensi gizi remaja berbasis sekolah
dengan bertumpu pada peran aktif pemangku kepentingan lokal di
tingkat kabupaten dan pelibatan sekolah adalah kampanya “Aksi
Bergizi” yang dilakukan UNICEF di beberapa kabupaten rintisan di Jawa
Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Di sisi lain, upaya berbasis masyarakat harus tersedia untuk remaja
putus sekolah sebagai kelompok yang terpinggirkan dan rentan.
Posbindu Penyakit Tidak Menular (Posbindu-PTM) yang merangkul
remaja serta Posyandu Remaja adalah kunci. Namun, implementasi
kedua program tersebut masih terbatas. Dukungan kuat dari pusat
kesehatan masyarakat terutama Puskesmas PKPR sangat penting
sehingga bantuan untuk peningkatan kualitas pusat kesehatan
masyarakat dalam menyediakan layanan gizi promotif, dan preventif
menjadi prioritas untuk meningkatkan gizi remaja di luar sekolah.
Indonesia memiliki remaja yang tinggal di kantong-kantong rawan pangan
dimana seringkali harus putus sekolah, menikah dini atau bekerja yang
tentunya memerlukan pendekatan berbeda dari daerah yang memiliki
ketersediaan dan akses pangan yang cukup secara berkelanjutan. Tingkat
sosial-ekonomi dan keragaman budaya lokal juga memengaruhi pola
pengasuhan dan pola makan. Sumber daya kesehatan, kebersihan dan
sanitasi dan morbiditas remaja juga heterogen dan dapat mempengaruhi
status gizi remaja.
Remaja Indonesia saat ini lebih terhubung dengan dunia global melalui
kepemilikan dan penggunaan telepon pintar yang tinggi. Maka, pendidikan
gizi melalui media sosial, terutama Instagram dan pesan gambar dan
audio-visual pendek melalui jaringan WhatsApp potensial, efektif dan 39-41dianggap menarik serta mudah diakses oleh remaja . Kampanye yang
berfokus pada gizi untuk remaja putri “The Pretty and Picky" yang
dilakukan Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) telah
menggunakan platform ini, sementara proyek Springster juga telah
berhasil mengintegrasikan pesan dan konten gizi ke dalam platform
media sosial. Penggunaan sosial media memungkinkan remaja dapat
menjadi agen aktif dalam meningkatkan gizi mereka sendiri dan rekan
sebaya mereka baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
APA YANG TELAH DILAKUKAN?Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 menekankan gizi sebagai arus utama untuk pengembangan sumber daya manusia, sosial budaya,
22 23dan ekonomi Demikian juga, Peraturan Presiden No 83 tahun 2017 tentang kebijakan strategis pangan dan gizi telah menyatakan gizi
24remaja sebagai pendekatan kunci. Strategi untuk kolaborasi lintas kementerian juga telah tersedia . Dalam gerakan "GERMAS", program
25gizi berbasis sekolah dan masyarakat adalah bagian integral dari kampanye lintas sektoral . Khusus untuk anemia, program nasional
untuk Tablet Tambah Darah untuk remaja putri (TTD rematri) di sekolah telah diluncurkan pada tahun 2016, dengan target 30% remaja
26putri di sekolah menerima TTD mingguan . Namun, cakupan dan kepatuhan terhadap TTD ini masih rendah, akan tetapi program rintisan
menunjukkan potensi sukses ketika pelaksanaan program didukung kolaborasi multisektoral yang baik, sebagaimana yang dilakukan
27.Nutrition International (NI) di Jawa Barat
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) juga telah berjalan dan didukung oleh keputusan bersama dari 4 kementerian, tetapi indikator kinerja
28UKS tidak secara eksplisit mengukur pencapaian program gizi . Serupa dengan indikator kantin sekolah sehat yang tidak mencakup
indikator penyediaan makanan bergizi dan beragam. Penapisan kesehatan rutin siswa dari kelas VII dan kelas X juga sudah ada, namun
pemantauan dan evaluasi belum memadai serta penggunaan informasi yang diperoleh dari proses ini untuk perencanaan program gizi
masih belum optimal. Demikian juga dengan pusat kesehatan masyarakat ramah remaja (Puskesmas PKPR) yang masih terbatas
jumlahnya, di samping itu kualitas layanan kesehatan yang diberikan serta aksesibilitasnya masih belum dimonitor dan dievaluasi dengan
baik. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya luar biasa untuk mewujudkan peningkatan kualitas gizi remaja.
Advokasi, perencanaan program, dan pemantauan serta evaluasi gizi remaja di masa mendatang harus dibangun dari data yang lebih spesifik
dan menjawab keragaman konteks remaja Indonesia. Demikian juga upaya untuk mencari dan menerapkan praktek baik serta memetik
pelajaran dari praktek – praktek tersebut sangatlah penting.
Berbagai pedoman teknis yang tersedia untuk program gizi dan kesehatan remaja yang mencakup masalah gizi hendaknya dimanfaatkan
secara lebih optimal.
Dukungan dan komitmen yang lebih kuat dan lebih terukur bagi kebijakan gizi remaja yang sedang berlangsung dan di masa depan dari
pemangku kepentingan kesehatan dan pemangku kepentingan lintas-sektor sangat diperlukan.
Analis Kebutuhan Paket Intervensi Gizi Remaja
LANGKAH KE DEPAN
Peningkatan kualitas pembangunan sumber daya manusia nasional dengan peningkatan kualitas dan produktifitas remaja kini dan bagi Ÿgenerasi berikutnya saat cohort remaja ini menjadi orang tua nanti
Penurunan masalah sosial dan ekonomi melalui peningkatan akses dan kualitas kesehatan dan pendidikan pada remajaŸPenurunan prevalensi masalah gizi remaja antara lain anemia, stunting dan wasting serta menahan laju peningkatan masalah gizi remaja Ÿberupa berat badan lebih serta obesitas
Peningkatan praktek kebiasaan makan yang sehat, aktifitas fisik dan kebersihan diri remajaŸPeningkatan akses dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan gizi dan kesehatan remajaŸPeningkatan dukungan bagi pelayanan gizi dan kesehatan pada remaja putri dan remaja hamilŸPeningkatan prestasi belajar siswa dan menurunnya absensi karena masalah kesehatanŸPeningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur sekolah untuk mendukung pelaksanaan paket intervensi gizi remaja berbasis sekolah a.l Ÿkantin sehat, UKS, ketersediaan air bersih di sekolah dan toilet
Memasukkan komponen kesuksesan penerapan paket intervensi gizi di sekolah sebagai indikator akreditasi sekolah ŸPenurunan hambatan berbasis gender terhadap partisipasi sekolah (sanitasi menstruasi, toilet, pernikahan anak dan penundaan Ÿkehamilan pertama)
Penurunan hambatan gender terhadap akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan partisipasi dalam angkatan kerja bagi remaja Ÿperempuan
Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, guru dan sebaya remaja untuk melakukan promosi gizi ŸPeningkatan dukungan terhadap layanan konseling gizi dan kesehatan pra-pernikahan untuk peningkatan kualitas pernikahan dan Ÿkehamilan pertama
Peningkatan partisipasi remaja dalam promosi kesehatan dengan gizi sebagai salah satu topik utamaŸPeningkatan dukungan untuk pemberdayaan dan perlindungan remaja,ŸPeningkatan koordinasi antar kementerian untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia nasional dengan minat khusus kelompok Ÿusia remaja
PETA JALAN GIZI REMAJA
Kebijakan Manfaat
Langsung Strategi
Platform Pelaksanaan
Remaja bersekolah
Guru
Tenaga Kesehatan
Remaja di luar sekolah
Pendidikan gizi
TTD pada rematri
Upaya “Germas” di sekolah
Luaran
Instansi Penanggungjawab: Kementerian Kesehatan
Kesenjangan data dan riset
Manfaat tidak
langsung
Masyarakat
Orang Tua / Keluarga
Indikator gizi remaja di dalam RPJMN
Indikator gizi remaja dalam kebijakan presiden & Bappenas untuk memastikan pendanaan dan kolaborasi lintas sektor
Optimalisasi kebijakan yang ada untuk gizi remaja
Memastikan mekanisme monev yang efektif dan sederhana untuk intervensi gizi serta melakukan sosialisasi dan pelatihan untuk pelaksanaannya
Data terpilah untuk kelompok usia remaja, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status ketenaga kerjaan dan konteks geospasial
Riset tentang intervensi spesifik dan sensitif gizi yang efektif dan efisien untuk remaja dengan memerhatikan keberagaman konteks sosiekonomi, politik dan geografis
Data mikro defisiensi lain selain anemia
Pemangku Kepentingan: Kepala Daerah, Bappenas, Kemenko PMK, Kemendikbud, Kemenag, Kemeneg PP&PA Kemendagri, Kemenpora, Kemen PU
Promosi pola makan sehat
Penggunaan data penapisan kesehatan kelas VII dan X
Pemberian mikronutrien terarah
Pencegahan dan manajemen obesitas
Program gizi pra pernikahan dan bagi remaja hamil
Peningkatan Akses dan praktek WASH
Konselor sebaya untuk gizi dan pola makan sehat
Manejemen kecacingan dan wasting yang tersasar
Komunikasi Perubahan Perilaku
Meningkatkan dukungan sekolah dan komunitas
Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan di bidang gizi
Peningkatan kapasitas puskesmas menyediakan layanan gizi
Peningkatan kebiasaan sarapan
Peningkatan konsumsi sayur dan buah
Penurunan konsumsi minuman manis kemasan
Peningkatan aktifitas fisik serta kebersihan pribadi
Peningkatan cakupan dan kepatuhan TTD rematri
Penurunan anemia pada rematri
Penurunan wasting dananemia pada remaja hamil
Penurunan stunting dan wasting dananemia pada remaja
Mencegah peningkatan kelebihan berat badan dan obesitas pada remaja
Peningkatan kuantitas dan kualitas konselor gizi sebaya
Peningkatan kapasitas guru untuk edukasi gizi
Peningkatan kuantitas dan kualitas nakes gizi
Peningkatan kualitas monev program
Peningkatan kuantitas dan kualitas PKPR
Layanan dan promosi gizi di UKS
Kantin sehat, beragam dan bergizi
Kampanye sarapan sehat bersama dengan ”isi piringku” di sekolah
Memasukkan indikator layanan sekolah di atas dalam indikator sekolah
Sosial media dan teknologi informasi untuk promosi gizi dan pola makan sehat
Puskesmas PKPR dan Posyandu remaja atau Posbindu PTM
Konseling pra pernikahan untuk promosi gizi dan pemberian TTD
Gerakan sosial tentang gizi atau pola makan berbasis remaja
Pendidikan dan keterampilanpromosi gizi untuk guru, tokoh masyarakat dan organisasi berbasis masyarakat
Pelatihan berkelanjutan untuk implementasi program dan monev
Update bahan komunikasi perubahan perilaku gizi di puskesmas
1. UNDESA. Definition of youth. United Nations Department of Economic and Social Affairs. 2014. p. 1–3.
2. Badan Pusat Statistik (2017), Piramida Penduduk Indonesia tahun 2017, BPS – Jakarta
3. Moghaddam HT, Shahinfar S, Bahreini A, Ajilian M. Adolescence Health : the Needs , Problems and Attention. Int J Pediatr. 2016;4(26):1423–38.
4. Lim SS, Vos T, Flaxman AD, Shibuya K, et al. A comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable to 67 risk factors and risk factor clusters in 21
regions, 1990–2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet. 2012;380(9859):2224–60.
5. Dick B, Ferguson BJ. Health for the world's adolescents: A second chance in the second decade. J Adolesc Heal [Internet]. 2015;56(1):3–6
6. Patton GC, Sawyer SM, Santelli JS, Ross DA, Afifi R, Nicholas B, et al. Our future: a Lancet commission on adolescent health and wellbeing. Lancet.
2018;387(10036):2423–78.
7. International Food Policy Research Institute (IFPRI). Global Nutrition Report 2018, Shining a light to spur action on nutrition [Internet]. 2018. 1-161 p.
8. World Health Organization [WHO] -SEARO. Strategic Guidance on Accelerating Actions for Adolescent Health (2018 -2022). New Delhi; 2018.
9. World Health Organization [WHO] Global Accelerated Action for the Health of Adolescents (AA-HA!): guidance to support country implementation. Geneva: World
Health Organization; 2017. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384. Jakarta, 2013
11. Universitas Indonesia, Micronutrient Initiative. Formative reasearch for an improved iron folic acid suplementation program for school going adolescent in selected of
West Java province in Indonesia. Jakarta, 2016
12. Briawan D, Khomsan A, Ekayanti I, Dewi M. Baseline survey for an improved IFA supplementation program for 15 to 19 years of age school going adolescent girls (Mitra
Youth) in East Java and East Nusa Tenggara province in Indonesia. Jakarta; 2018.
13. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan, USAID. Survei Demografi Dan Kesehatan [Internet]. Jakarta;
2017. Available from: .http://www.dhsprogram.com
14. Oddo VM, Rah JH, Semba RD, Sun K, Akhter N, Sari M, et al. Predictors of maternal and child double burden of malnutrition in rural Indonesia and Bangladesh. Am J
Clin Nutr. 2012;95:951–8.
15. Xiong X, Buekens P, Alexander S, Demianczuk N, Wollast E. Anemia during pregnancy and birth outcome: a meta-analysis. Am J Perinatol. 2000; 17(3):137–46.
16. Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat. Perilaku Berisiko Kesehatan Pelajar SMP dan SMA di Indonesia - GSHS [Internet]. Jakarta; 2015.
17. Salam, R. A., Hooda, M., Das, J. K., Arshad, A., Lassi, Z. S., Middleton, P., & Bhutta, Z. A. (2016). Interventions to Improve Adolescent Nutrition: A Systematic Review
and Meta-Analysis. The Journal of adolescent health official publication of the Society for Adolescent Medicine, 59(4S), S29-S39.
18. Al-Khudairy L, Loveman E, Colquitt JL, Mead E, Johnson RE, Fraser H,Olajide J, Murphy M, Velho RM, O'Malley C, Azevedo LB, Ells LJ, Metzedorf MI, Rees K. (2017),
Diet, physical activity and behavioural interventions for the treatment of overweight or obese adolescents aged 12 to 17 years, Cochrane Database of Systematic
Reviews 2017, Issue 6 Art.No CD012691 DOI 10.1002/14651858.CD012691
19. Kementerian Kesehatan RI, Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Presentasi Hari Kesehatan Nasional, Jakarta, 2018
www.depkes.go.id/resources/download/.../hasil-riskesdas-2018.pdf accessed 15 Dec 2018
20. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta; 2018.
21. Center for Public Health Innovation (CPHI). BASELINE STUDY Young Health Program (YHP) Plan International Indonesia in Jagakarsa, Cibinong, and Mataram.
Jakarta; 2018
22. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan nasional percepatan perbaikan gizi. 2013.
23. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 83 tahun 2017 tentang Kebijakan strategis pangan dan gizi. Jakarta; 2017.
24. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 1 tahun 2018 tentang Rencana aksi nasional kesehatan
anak usia sekolah dan remaja tahun 2017-2019
25. Presiden Republik Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), 2017.
26. Kemenkes RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015 – 2019, 2014.
27. Roche M et al, Adolescent girls' nutrition and prevention of anaemia: a school based multi-sectoral collaboration in Indonesia BMJ 2018;363:k4541
28. Peraturan bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Dalam Negeri RI nomor 6/x/pb/2014 nomor
73 tahun 2014 nomor 41 tahun 2014 nomor 81 tahun 2014 tentang Pembinaan dan pengembangan usaha kesehatan sekolah/madrasah
29. Paper D. Schools as a System to Improve Nutrition. 2017
30. Badan Pusat Statistik [BPS] Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, Berdasarkan Hasil Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk
2010, Jakarta 2016; Katalog BPS : 4103014
31. Fernández-Gaxiola AC, De-Regil LM. Intermittent iron supplementation for reducing anaemia and its associated impairments in menstruating women. Cochrane
Database Syst Rev. 2011;2011(12).
32. Susanti Y, Briawan D, Martianto D. Suplementasi Besi Mingguan Meningkatkan Hemoglobin. J Gizi Pangan. 2016;11(1):27–34.
33. Ruebeck H. Implementation and Effects of India's National School-Based Iron Supplementation Program. Wellesley Coll Digit Scholarsh Arch. 2016;
34. Joshi M, Gumashta R. Weekly Iron Folate Supplementation in Adolescent Girls – An Effective Nutritional Measure for the Management of Iron Deficiency Anaemia. Glob
J Health Sci. 2013;5(3):188–94.
35. Kheirouri S, Alizadeh M. Process evaluation of a national school-based iron supplementation program for adolescent girls in. BMC Public Health. 2014;1
36. Cvjetan B, Utter J, Robinson E, Denny S. The Social Environment of Schools and Adolescent Nutrition : Associations Between the School Nutrition Climate and
Adolescents ' Eating Behaviors and Body Mass Index”. 2014;84(10):677–82.
37. TC Lewallen, H Hunt WP. The Whole School , Whole Community , Whole Child Model : A New Approach for Improving Educational Attainment and Healthy Development
for Students. J Sch Health. 2015;85(11):729–39.
38. Frerichs L, Brittin J, Robbins R, Steenson S, Stewart C, Fisher C, et al. SaludABLEOmaha : Improving Readiness to Address Obesity Through Healthy Lifestyle in a
Midwestern Latino. Prev CHRONIC Dis PUBLIC Heal Res Pract POLICY. 2015;12, E20(February 2015):1–9.
39. Carmen Perez-Rodrigo JA. School-based nutrition education : lessons learned and new perspectives. 2001;4.
40. Januraga PP, Crosita Y, Indrayathi PA, Kurniasari E. Formative Evaluation of Pretty and Picky : A Social Media Campaign 1. to Improve Healthy Food Habits amongst
Female Urban Adolescents in Indonesia. GAIN - Manuscript. 2018;1–21
41. Center for Public Health Innovation (CPHI). Formative Study to Inform Behavioral Change Communication Strategy to Improve WIFAS adherence, Nutrion International.
Jakarta; 2018
DAFTAR PUSTAKA