Ap01_karakterisitik Pemerintah Daerah, Korupsi Dan Kinerja Keuangan Daerah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Akuntansi sektor publik, KIA 1, IAI KAPd

Citation preview

  • KARAKTERISITIK PEMERINTAH DAERAH, KORUPSI DAN KINERJA

    KEUANGAN DAERAH

    Handoko A Hasthoro

    Universitas Janabadra, Yogyakarta

    Djoko Suhardjanto

    Universitas Sebelas Maret, Surakarta

    BIDANG KAJIAN

    Akuntansi Pemerintahan (AP)

    KONFERENSI ILMIAH AKUNTANSI I

    IKATAN AKUNTAN INDONESIA KOMPARTEMEN AKUNTAN PENDIDIK

    (IAIKAPd WILAYAH JAKARTA BANTEN)

    UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 26-27 FEBRUARI 2014

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    KARAKTERISITIK PEMERINTAH DAERAH, KORUPSI DAN KINERJA

    KEUANGAN DAERAH

    Handoko A Hasthoro

    Universitas Janabadra, Yogyakarta

    Djoko Suhardjanto

    Universitas Sebelas Maret, Surakarta

    ABSTRACT

    This research examines and analyzes factors that influence Indonesian Local Governments

    financial performance. The research used local government characteristics and corruption

    perceiption indeks as independent variables. The samples of research are local government

    that surveyed by Transparency International Indonesia based on 2010.

    The results of study shows that size of local government, population, and corruption

    perceiption indeks have positive and significant influence on local government financial

    performance, and number of units under districtal (SKPD) have negative dan significant

    influence on local government performance. The capital expenditure and e-government do

    not significantly influence the financial performance of local government.

    Key words: Local government, corruption, fiscal decentralization, financial performance,

    public sector accounting

    1. PENDAHULUAN

    Reformasi sektor publik yang terjadi di seluruh dunia merupakan upaya untuk

    meningkatkan kinerja dengan memperbaiki efisiensi, efektivitas, daya tanggap pemerintah,

    dan akuntabilitas pelayanan publik (Pilcher 2005). Era new public management telah

    membawa konsekuensi perubahan akuntansi dan manajemen keuangan pada pemerintah

    daerah sebagai bagian dari reformasi manajemen pemerintah daerah (Hood 1995; Goddard

    2005). Kinerja sektor publik bersifat multidimensional, sehingga tidak ada indikator tunggal

    yang dapat digunakan untuk menunjukkan kinerja secara komprehensif. Menurut Sadjiarto

    (2000), ada dua elemen faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi pemerintah yaitu

    elemen yang diluar kontrol pemerintah (demografi, lingkungan, dan lainnya) dan elemen

    yang dapat dikontrol pemerintah (alokasi dana, penentuan jumlah personalia, dan lainnya).

    Kinerja keuangan pemerintah menjadi fokus perhatian baik oleh pejabat pemerintah

    maupun stakeholder lainnya. Hal tersebut dikarenakan isu-isu seputar pengelolaan keuangan

    pemerintah selalu menarik untuk disorot untuk berbagai kepentingan, terutama isu seputar

    korupsi. Korupsi dapat mengurangi pendapatan yang dihasilkan pemerintah melalui pajak,

    dan berkontribusi terhadap tidak berjalanya fungsi pemerintahan dengan baik (Tanzi dan

    Davoodi 1997) dan secara umum menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang rendah (Mauro

    1996). Gupta, Davoodi dan Terme (1998) membuktikan korupsi berdampak pada belanja

    masyarakat dan ketimpangan pendapatan. Semakin besar tingkat korupsi mengakibatkan

    semakin rendah belanja masyarakat. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    pemerintah karena sebagian besar pendapatan pemerintah bersumber dari belanja masyarakat

    selaku pengguna jasa melalui pembayaran pajak dan retribusi.

    Korupsi harus dicegah dan diberantas, karena bisa menghambat pembangunan,

    merugikan keuangan negara, menyebabkan ketimpangan pendapatan, dan merusak sendi-

    sendi moral masyarakat (Mistry 2012). Suksesnya reformasi akuntansi sektor publik guna

    menghasilkan pelaporan keuangan pemerintah yang akuntabel akan memberi banyak manfaat

    terutama kaitannya untuk mewujudkan pelayanan publik maupun untuk pemberantasan

    korupsi (Yuhertiana 2007).

    Indonesia menghadapi masalah yang serius dalam korupsi. Menteri Dalam Negeri,

    Gamawan Fauzi, menyatakan sebanyak 281 kepala daerah di Indonesia terjerat masalah

    hukum dengan status berupa tersangka, terdakwa, saksi, dan terpidana, dengan 70% terjerat

    pidana korupsi (www.kompas.com 8 Nopember 2012), dan jumlah pegawai negeri sipil yang

    terlibat tindak pidana korupsi mendekati 1.000 (www.merdeka.com 20 Nopember 2012).

    Kasus korupsi juga menjerat pejabat di pemerintah pusat seperti menteri dan anggota DPR.

    Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004

    tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

    Keuangan untuk mengatasi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat dengan

    mekanisme otonomi daerah. Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan

    efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah di Indonesia.

    Mardiasmo (2002) mengatakan bahwa sebelum era otonomi harapan yang besar dari

    pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak

    daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan.

    Kondisi seperti ini membuat peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah

    sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah,

    sehingga pemerintah daerah dituntut untuk menyiapkan infrastruktur yang memadai dengan

    melakukan investasi atau belanja modal, mengoptimalkan badan usaha milik daerah (BUMD)

    melalui penyertaan modal, dan pemanfaatan tehnologi informasi. Investasi atau belanja

    modal dilakukan dengan cara membangun infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, pasar,

    kawasan wisata, pengembangan tehnologi informasi dan lainnya (Mustikarini dan Fitriasari

    2012).

    Penelitian tentang kinerja keuangan daerah di Indonesia ada beberapa variasi, seperti

    pengaruh fiscal stress terhadap kinerja keuangan (Hariyadi 2002), perbedaan kinerja

    keuangan sebelum dan sesudah otonomi daerah (Azhar 2008), dan pengaruh karakteristik

    pemerintah daerah dan temuan audit BPK terhadap kinerja keuangan (Mustikarini dan

    Fitriasari 2012). Variasi di luar Indonesia diantaranya adalah pengaruh manajemen kinerja

    terhadap kinerja (Verbeeten 2008; Yang dan Modell 2013), dan pengaruh perubahan

    manajemen politik terhadap kinerja pemerintah daerah di Inggris (Fenwick dan Miller 2012).

    Berdasar penelusuran oleh peneliti, hubungan antara korupsi dan kinerja keuangan

    daerah di Indonesia, bahkan di dunia, belum pernah diuji dan dibuktikan secara empiris.

    Penelitian sebelumnya, seperti diuraikan diatas, menggunakan variabel selain korupsi sebagai

    determinan kinerja pemerintah daerah. Variabel korupsi digunakan dalam beberapa penelitian

    sebagai variabel dependen/ terikat oleh (Picur dan Belkaoui 2006), Sulistiyowati (2007),

    Malagueno, Albrecht, Ainge, dan Stephens (2010), dan Mistry (2012). Sebagai variabel

    independen/bebas, variabel korupsi digunakan oleh Mauro (1996), Tanzi dan Davoodi

    (1997), dan Gupta dkk (1998). Semua penelitian diatas menggunakan level pemerintah pusat

    (Negara), kecuali Sulistyowati (2007) yang menggunakan pemerintah daerah. Penelitian ini

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    penting dilakukan untuk mengetahui pengaruh korupsi terhadap kinerja keuangan pemerintah

    daerah, terutama di Indonesia.

    Banyak pembahasan tentang pengukuran kinerja sektor publik yang telah dipublikasi

    pada jurnal akademik dengan kajian organisasi sektor publik di Eropa, Amerika Utara,

    Australia, dan Selandia Baru. Akibatnya, relatif sedikit yang bisa diketahui tentang

    pengukuran kinerja sektor publik dalam konteks negara sedang berkembang (Mimba, Helden

    dan Tillema 2007). Sistem pengukuran kinerja sektor publik di negara berkembang seperti

    Indonesia masih harus terus dikaji dan dilakukan inovasi sesuai dengan perkembangan yang

    terjadi. Hasil penelitian oleh Akbar, Pilcher dan Perrin (2012) menunjukkan bahwa

    pemerintah daerah di Indonesia mengembangkan indikator kinerja hanya untuk memenuhi

    peraturan daripada untuk membuat organisasi semakin efektif dan efisien.

    Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan

    korupsi terhadap kinerja keuangan daerah di Indonesia. Karakteristik pemerintah daerah dan

    korupsi sebagai variabel independen. Karakteristik pemerintah daerah yang digunakan adalah

    ukuran organisasi (size) yang diproksi dengan total aktiva, realisasi belanja modal, kualitas

    implementasi tehnologi informasi di pemerintahan (E-Government), jumlah satuan kerja

    perangkat daerah (SKPD), dan jumlah penduduk. Variabel dependen adalah kinerja

    keuangan daerah yang diproksi dengan derajat desentralisasi fiskal. Variabel korupsi, diukur

    dengan indeks persepsi korupsi, digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja

    keuangan daerah mengingat tindak pidana korupsi di Indonesia sudah pada taraf masif dan

    mengkhawatirkan. Tahun 2013 Indonesia mendapat rangking 118 dari 137 negara yang

    disurvei oleh Transparency International.

    Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat terhadap pemahaman tentang

    kinerja keuangan di organisasi sektor publik dan faktor yang mempengaruhinya.

    Hubungan antara korupsi dan kinerja keuangan pada pemerintah daerah di Indonesia

    belum pernah diuji secara empiris, sehingga dapat menambah literatur dalam agenda

    penelitian masa mendatang. Kontribusi praktis diharapkan pemerintah jeli dalam

    membuat program dan menentukan indikator kinerja bagi pencapaian program

    tersebut agar ekonomis, efisien, efektif, dan akuntabel. Pengaruh korupsi terhadap

    kinerja keuangan diharapkan memberi pembelajaran penting bagi pemerintah daerah

    untuk secara serius mengurangi dan memberantas praktek korupsi.

    2. TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

    2.1. Teori Organisasi

    Setiap organisasi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Gibson,

    Ivancevich, dan Donelly (2001) menyatakan bahwa organisasi merupakan sekumpulan orang

    yang saling bekerjasama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam mencapai

    tujuannya, organisasi mempunyai fungsi-fungsi pengelolaan yang dijabarkan dalan struktur

    sesuai dengan kebutuhan. Fungsi-fungsi tersebut meliputi fungsi perencanaan, koordinasi,

    komunikasi, pengorganisasian, pengendalian, dan pengawasan. Untuk mencapai tujuan yang

    optimal maka fungsi-fungsi dalam organisasi harus berjalan dengan baik.

    Salah satu tujuan organisasi adalah mencapai kinerja tertentu. Kinerja dapat bersifat

    keuangan dan non keuangan. Pada organisasi bisnis kinerja keuangan dapat berupa laba,

    pertumbuhan penjualan, peningkatan harga saham dan lainnya. Pada organisasi non bisnis,

    misal pemerintahan, kinerja keuangan dapat berupa pertumbuhan pendapatan asli daerah,

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    derajat desentralisasi fiskal, efisiensi belanja, dan lainnya (Halim dan Kusufi 2012). Kinerja

    yang bersifat non keuangan pada organisasi bisnis adalah kepuasan pelanggan, peningkatan

    kemampuan sumberdaya manusia, inovasi, dan lainnya. Pada organisasi pemerintahan kinerja

    non keuangan dapat berupa efektifitas program, stabilitas politik, dan lainnya.

    Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer

    dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas bukan sekedar

    kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan tetapi meliputi kemampuan

    menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan

    efektif (Bastian 2010). Untuk itu dibutuhkan sistem pengukuran kinerja sektor publik yang

    bertujuan membatu pemimpin atau manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui

    alat ukur keuangan maupun non keuangan.

    Perubahan sistem politik dan sosial kemasyarakatan akibat arus deras reformasi telah

    menuntut pengelolaan pemerintahan untuk lebih baik. Pengelolaan dan administrasi

    pemerintahan memfokuskan bagaimana kebijakan publik diimplementasikan dan pelayanan

    publik dilakukan (Osborne 2010), yang menyangkut perilaku dan kontribusi pada kinerja

    pemerintahan (Hill dan Lynn Jr 2004), dan peran penting warga masyarakat dalam partisipasi

    atas kerja-kerja pemerintah (Bingham, Nabatchi dan OLeary 2005).Reformasi dalam pelayanan publik telah menciptakan keragaman dalam rancangan tata kelola untuk

    pembuatan dan penyampaian kebijakan publik (Skelcher 2008).

    Beberapa aspek dalam pemerintahan berperan dalam upaya peningkatan pelayanan

    publik dan kinerja, terutama kinerja keuangan. Patrick (2007) mengemukakan ada 3

    komponen penting organisasi pemerintah daerah terkait dengan proses organisasi yaitu

    budaya organisasi, struktur organisasi, dan lingkungan eksternal organisasi. Pemerintahan

    yang satu dengan lainnya mempunyai ciri yang berbeda mengenai budaya, struktur, dan

    ketergantungan organisasi.

    Penelitian empiris bidang manajemen publik cenderung mengikuti satu dari tiga dasar

    strategi penelitian. Pertama, strategi untuk mengadopsi secara historis, deskriptif, dan

    orientasi institusional. Kedua, strategi untuk mengidentifikasi praktik terbaik melalui studi kasus terhadap masalah-masalah aktual dari pengelolaan organisasi. Ketiga, mempelajari

    manajemen publik menggunakan teori formal, model, metoda, dan data sosial dan ilmu

    keperilakuan untuk mengkaji proses kepemerintahan dan untuk mengembangkan

    pengetahuan empiris (Hill dan Lynn Jr 2005).

    Dalam konteks Indonesia, reformasi manajemen publik oleh pemerintah diwujudkan

    dalam desentralisasi pemerintahan. Hal ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No

    32 dan 33 tahun 2004 (tentang pemerintah daerah dan perimbangan keuangan) yang memberi

    kewenangan dan tanggung jawab bagi pemerintah daerah untuk mengelola daerah dan

    pelayanan publik tersendiri yang disebut dengan otonomi daerah. Dikeluarkannya undang-

    undang tersebut bertujuan agar daerah bisa mandiri dan dapat mengelola kekayaan daerah

    secara efektif, ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.

    Otonomi daerah sebagai upaya pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan

    dalam pengelolaan keuangan dan pelayanan publik kepada pemerintah daerah masih perlu

    dievaluasi lagi efektivitasnya. Hasil penelitian oleh Hariyadi (2002) dan Azhar (2008)

    membuktikan bahwa desentralisasi fiskal yang merepresentasi kemandirian daerah semakin

    menurun setelah otonomi daerah. Desentralisasi fiskal merupakan indikator penting kinerja

    keuangan daerah, tidak hanya masalah indikasi ketergantungan pada pemerintah pusat, tetapi

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    juga seberapa optimal pemerintah daerah berupaya untuk menggali potensi daerah untuk

    meningkatkan pendapatan asli daerah.

    2.2. Kinerja Keuangan Daerah

    Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau

    kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam

    perencanaan stratejik suatu organisasi (Mardiasmo 2002). Istilah kinerja digunakan untuk

    menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok. Kinerja bisa

    diketahui karena individu atau kelompok tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang

    telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu

    yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target kinerja individu atau organisasi tidak

    dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya.

    Kinerja organisasi bisa diketahui dengan jika ada ukuran-ukuran tertentu yang jelas,

    sehingga dibutuhkan suatu pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja adalah suatu proses

    penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya,

    termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan

    jasa, kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan pada pelanggan dan

    sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud

    yang diinginkan dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan (Verbeeten 2008). Sistem

    pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran

    kinerja diperkuat dan dipertegas dengan menetapkan sistem konpensasi dan sanksi (reward

    and punishment system).

    Manajemen dan pengukuran kinerja telah menjadi fokus dan kunci bagi pemerintah

    dalam menghadapi isu-isu mengenai reformasi sektor publik, transparansi dan akuntabilitas

    (Greiling 2005; Goh 2012). Pemerintah perlu mengunakan sistem pengukuran kinerja untuk

    meningkatkan efisiensi dan menciptakan nilai agar bisa menghindarkan diri dari korupsi dan

    penyalahgunaan sumberdaya milik masyarakat. Jarrar dan Schiuma (2007) menyatakan

    bahwa sekarang transparansi dan akuntabilitas menitikberatkan pada penilaian kinerja

    menggunakan key performance indicator (KPI). Indikator kinerja kunci merupakan

    sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang bersifat

    keuangan maupun non keuangan untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit

    bisnis/organisasi. Indikator kinerja digunakan sebagai indikator pelaksanaan strategi yang

    telah ditetapkan.

    Kinerja keuangan merupakan penilaian prestasi atau hasil kerja yang dicapai organisasi

    yang dilihat dari sisi keuangannya (Halim dan Kusufi 2012). Kinerja keuangan daerah

    menjadi salah satu aspek penting dalam menilai kemajuan suatu daerah. Analisis kinerja

    keuangan daerah dilakukan dengan cara mengevaluasi kinerja pada masa lalu untuk

    mendapatkan gambaran nyata pemerintah daerah dan potensi-potensi daerah yang akan

    berlanjut.

    Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola daerah

    sepenuhnya termasuk masalah keuangan. Salah satu parameter kinerja keuangan pemerintah

    daerah adalah derajat desentralisasi fiskal. Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan

    tanggungjawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

    kemandirian menggali dan mengelola pendapatan serta melaksanakan pembangunan. Azhar

    (2008) membuktikan bahwa terdapat perbedaan kinerja keuangan dalam desentralisasi fiskal

    sebelum dan sesudah otonomi diberlakukan. Sesudah otonomi, kinerja keuangan pemerintah

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    daerah dalam desentralisasi fiskal menjadi turun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

    ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat masih tinggi.

    Derajat desentralisasi fiskal diukur dengan menggunakan rasio pendapatan asli daerah

    (PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD). Adapun kriteria untuk menetapkan derajat

    desentralisasi fiskal dikategorikan seperti dalam tabel berikut:

    Tabel 2.1. Penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal

    Prosentase PAD terhadap TPD Derajat Desentralisasi Fiskal

    0,00 10,00 Sangat Kurang

    10,01 20,00 Kurang

    20,01 30,00 Sedang

    30,01 40,00 Cukup

    40,01 50,00 Baik

    >50,00 Sangat Baik

    Sumber: Tim Litbang Depdagri FISIPOL UGM 1991 (Bisma dan Susanto 2010)

    2.3. Karakteristik Pemerintah Daerah

    Karakterisitik adalah sesuatu yang menunjukan sifat-sifat khusus yang berbeda dari

    lainnya (Badudu dan Zain 2001). Karakteristik pemerintah daerah merupakan ciri-ciri khusus

    yang melekat pada pemerintah daerah, menandai sebuah daerah, dan membedakannya dengan

    daerah lain (Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011). Karakteristik pemerintah daerah

    merupakan faktor yang bisa mempengaruhi kinerja keuangan daerah. Penelitian oleh

    Mustikarini dan Fitriasari (2012) membuktikan bahwa karakteristik pemerintah daerah

    memiliki pengaruh terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007

    sehingga mampu menjelaskan besarnya kinerja yang dicapai.

    Banyak yang bisa diidentifikasikan sebagai karakteristik pemerintah daerah, seperti:

    size/ukuran organisasi (Patrick 2007; Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi dan

    Martani 2012; Mustikarini dan Fitriasari 2012), populasi atau jumlah penduduk (Martani dan

    Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012), kualitas e-government (Patrick 2007), status daerah

    (Martani dan Lestari 2010; Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011), jumlah SKPD (Patrick

    2007; Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi dan Martani 2012), belanja daerah

    (Mustikarini dan Fitriasari 2012), kekayaan daerah (Martani dan Lestari 2010; Hilmi dan

    Martani 2012; Mustikarini dan Fitriasari 2012), dan ketergantungan pemerintah daerah

    (Patrick 2007; Martani dan Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012; Mustikarini dan Fitriasari

    2012). Penelitian ini menggunakan ukuran PEMDA/size, belanja modal, e-government,

    jumlah penduduk dan jumlah SKPD sebagai proksi dari karakteristik pemerintah daerah.

    2.3.1. Ukuran PEMDA (Size)

    Ukuran organisasi adalah seberapa besar organisasi tersebut (Patrick 2007). Semakin

    besar ukuran organisasi, maka tuntutan untuk pertanggungjawaban dan kinerja juga semakin

    besar. Tantangan dalam optimalisasi ukuran pemerintah daerah adalah: 1) kapasitas, ukuran

    pemerintah berperan dalam kecukupan keuangan atau kapasitas manajerial, dan 2)

    fragmentasi dapat melemahkan efisiensi sehingga menghalangi perlunya koordinasi untuk

    persaingan dalam ekonomi regional (Warner 2012). Ukuran organisasi yang besar

    menunjukkan kemampuan organisasi untuk melakukan banyak hal dalam upaya peningkatan

    pendapatan atau peningkatan kinerja. Han (2000) menyatakan ukuran organisasi yang lebih

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    besar membuat organisasi menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan dan

    selanjutnya berdampak pada pencapaian kinerja yang lebih baik.

    2.3.2. Belanja Modal

    Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal

    yang sifatnya menambah aktiva tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode

    akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya

    mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aktiva

    (PP No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan). Belanja modal merupakan

    salah satu upaya pemerintah melayani masyarakat dan menciptakan pendapatan dengan cara

    membangun atau memperbaiki infrastruktur yang dibutuhkan sehingga kegiatan ekonomi

    masyarakat dapat berjalan dengan baik dan lancar.

    Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 pasal 53 ayat 2

    menyebutkan bahwa nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar

    harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan

    pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kemudian pada ayat 4

    disebutkan bahwa kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar

    pembebanan belanja modal selain memenuhi batas minimal juga pengeluaran anggaran untuk

    belanja barang tersebut harus memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja

    modal merupakan investasi bagi pemerintah daerah.

    2.3.3. Kualitas E-Government

    Perkembangan tehnologi informasi juga merambah ke sektor pemerintahan.

    Pemerintahan yang dilakukan dengan media tehnologi informasi ini sering disebut sebagai e-

    government. E-government merupakan inisiatif pemerintah untuk meningkatkan kerja sama

    dengan masyarakat agar masyarakat dapat memantau aktivitas pemerintah (Bertot, Jaeger dan

    Grimes 2012). Penerapan e-government bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi,

    penyampaian pelayanan masyarakat, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Tujuan

    dari e-government adalah untuk memberi pelayanan ke masyarakat tanpa adanya intervensi

    dari pegawai pemerintahan dan mengurangi sistem antrian yang panjang, selain itu

    penggunaan tehnologi informasi dapat mempermudah askes informasi oleh masyarakat

    sehingga dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas

    (Sarikas dan Weerakkody 2007; Petrakaki, Hayes dan Introna 2009).

    2.3.4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

    Satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota adalah bagian dari pemerintah daerah

    yang melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik. Jumlah SKPD

    menggambarkan jumlah urusan yang menjadi prioritas pemerintah daerah dalam membangun

    daerah (Hilmi dan Martani 2012). Banyaknya masalah yang diurusi dan diselesaikan

    menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam memberi pelayanan publik. Peningkatan

    pelayanan akan memberi dampak pada pemerolehan pendapatan daerah melalui retribusi dan

    pajak.

    2.3.5. Jumlah Penduduk

    Jumlah penduduk adalah keseluruhan orang yang mendiami suatu wilayah tertentu.

    Jumlah penduduk memberi kontribusi terhadap besarnya pendapatan yang diperoleh suatu

    pemerintah daerah. Semakin banyak penduduk maka semakin besar potensi yang bisa digali

    oleh pemerintah daerah untuk memperoleh pendapatan dari retribusi dan pajak. Studi empiris

    di Indonesia menunjukkan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap tingkat

    pengungkapan pada laporan keuangan (Martani dan Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012).

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    2.4. Korupsi

    Adanya tuntutan akan kesejahteraan masyarakat yang meningkat, membuat seluruh

    pemangku kepentingan bersama-sama mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih

    dan berwibawa. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa sering diidentikan dengan

    pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi terjadi karena adanya

    kewenangan dan kekuasaan yang disalahgunakan oleh pegawai atau pejabat demi

    kepentingan pribadi atau kelompok. Jadi, korupsi merupakan gejala salah urus dan salah

    pakai sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan kewenangan dan kekuasaan

    yang dimilikinya (Budima 2006; Mistry 2012). Di Afrika Selatan, korupsi telah menjadi

    penyakit sosial yang menjangkiti pelayanan publik (Pillay 2004). Lain hal dengan China,

    motif dan kesempatan yang berjalan di sistem korupsi telah mengakibatkan China kehilangan

    2% hingga 3% dari gross domestic bruto-nya (Yuliantoro 2007).

    2.5. Karakteristik Pemerintah Daerah dan Kinerja Keuangan Daerah

    Setiap organisasi mempunyai tujuan-tujuan tertentu pada saat dibentuk dan dijalankan,

    termasuk pemerintah daerah. Salah satu tujuan organisasi adalah tercapainya kinerja yang

    bagus. Dalam pencapaian kinerja sebuah pemerintah daerah dapat mengoptimalkan

    sumberdaya yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya harus didahului dengan perencanaan

    dan penyusunan program agar tujuan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan baik oleh

    pemerintah daerah maupun oleh pemangku kepentingan lainnya (Mardiasmo 2002).

    Kinerja keuangan daerah bisa dipengaruhi oleh karakteristik pemerintah daerah. Setiap

    potensi yang dimiliki oleh pemerintah daerah dapat dipergunakan dalam mencapai kinerja

    yang telah ditentukan. Potensi itu dapat berupa aset, sumberdaya manusia, perangkat

    tehnologi, dan konsumen yang dilayani. Aset yang banyak memudahkan pemerintah daerah

    dalam membuat program pelayanan kepada masyarakat dan menyediakan infrastruktur yang

    memadai bagi usaha-usaha ekonomi oleh masyarakat (Patrick 2007). Jika masyarakat

    berdaya secara ekonomik, maka akan memudahkan bagi pemerintah dalam menarik pajak

    dan retribusi sebagai sumber pendapatan.

    2.6. Korupsi dan Kinerja Keuangan Daerah

    Korupsi merupakan isu yang sering dibicarakan dalam berita-berita seputar

    pemerintahan di media massa. Sejak dibentuk lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan

    Korupsi (KPK) dan disahkanya Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2011, isu

    korupsi menjadi topik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setiap orang yang ingin

    menjadi pejabat publik, diwajibkan menyerahkan daftar kekayaan untuk mengetahui adanya

    indikasi tindak korupsi yang dilakukan.

    Meski para pelaku tindak korupsi telah banyak dijatuhi vonis dan masuk penjara, tetapi

    ini tidak menjadi hal yang menakutkan bagi para calon pelaku berikutnya. Modus korupsi

    yang dilakukan mulai dari mark up proyek, item anggaran fiktif, penggunaan fasilitas secara

    berlebihan, hingga penyalahgunaan wewenang. Akibatnya anggaran daerah menjadi sangat

    terbebani karena biaya-biaya yang tidak seharusnya terjadi, sehingga otonomi daerah

    (ditandai dengan desentralisasi fiskal) yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan

    mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat menjadi tidak tercapai.

    Pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme diyakini dapat mencapai

    kinerja yang memuaskan seluruh pemangku kepentingan. Survei mengenai persepsi terhadap

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    korupsi telah dilakukan oleh Transparency International Indonesia. Dengan skala 0 - 10,

    pemerintah daerah disebut semakin bersih jika yang mempunyai angka indeks mendekati 10,

    dan sebaliknya disebut semakin korup.

    2.7. Pengembangan Hipotesis

    2.7.1. Ukuran PEMDA (Size)

    Ukuran organisasi yang besar memungkinkan organisasi melakukan upaya yang lebih

    dalam menciptakan pendapatan dan mencapai kinerja. Sumber daya yang mencukupi

    memudahkan organisasi untuk memilih alternatif-alternatif program kerja dengan lebih

    leluasa dan lebih fleksibel (Han 2000). Penelitian oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012)

    menunjukkan bahwa ukuran organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah

    daerah kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007. Dalam konteks pengungkapan wajib dalam

    laporan keuangan, ukuran organisasi tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib

    dalam laporan keuangan (Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi dan Martani 2012),

    tetapi ukuran organisasi menjadi prediktor yang signifikan pada inovasi akuntansi (Patrick

    2007).

    Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

    H1: Ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

    daerah.

    2.7.2 Belanja Modal

    Pemerintah yang mengalokasi belanja modal lebih banyak maka akan semakin besar

    potensi pemerintah untuk menciptakan pendapatan. Studi empiris di Indonesia membuktikan

    bahwa belanja modal berpengaruh secara positif terhadap pendapatan asli daerah (Halim dan

    Abdullah 2003; Harianto dan Adi 2007). Temuan di Fiji juga menunjukkan pengaruh positif

    belanja pemerintah terhadap pendapatan pemerintah (Gounder, Narayan dan Prasad 2007).

    Studi lain oleh Mallik dan Chowdhury (2002) dengan obyek negara Australia, Kanada,

    Finlandia, Selandia Baru, Spanyol dan Swedia membuktikan bahwa belanja pemerintah

    berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Mustikarini dan Fitriasari (2012)

    menemukan belanja daerah (terdiri dari belanja rutin dan belanja modal) berpengaruh negatif

    terhadap kinerja pemerintah daerah. Mereka merekomendasi agar penelitian selanjutnya

    menggunakan belanja modal saja sebagai prediktor kinerja.

    Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

    H2: Belanja modal berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.

    2.7.3. E-Government

    Situs (website) menjadikan pemerintah daerah mudah berkomunikasi dengan

    masyarakat dan lingkungan eksternal. Sebuah situs merupakan alat komunikasi yang unggul

    yang menggambarkan budaya dan daya tanggap pemerintah daerah kepada masyarakat

    (Patrick 2007; Deakins, Dillon, Namani, dan Zhang 2010). Penelitian oleh Patrick (2007)

    membuktikan bahwa kualitas situs berpengaruh terhadap inovasi organisasi.

    Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

    H3: E-government berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.

    2.7.4. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    SKPD menunjukan diferensiasi fungsional suatu pemerintah daerah (Patrick 2007).

    Kebutuhan untuk melayani masyarakat akan membentuk seberapa banyak SKPD yang harus

    ada di pemerintah. Masyarakat bisa terlayani dengan baik dan lancar jika setiap urusan

    ditangani oleh unit khusus yang ada di pemerintahan, sehingga hal ini membuat masyarakat

    percaya dan menaruh respek kepada pemerintah. Kepercayaan masyarakat yang tinggi akan

    meningkatkan kepatuhan untuk mambayar pajak sehingga pendapatan pemerintah juga

    meningkat. Hasil penelitian oleh Patrick (2007) menunjukkan bahwa jumlah SKPD

    berpengaruh positif terhadap inovasi akuntansi, dan dalam konteks pengungkapan pada

    laporan keuangan secara empiris terbukti bahwa jumlah SKPD tidak berpengaruh pada

    pengungkapan wajib dalam laporan keuangan (Suhardjanto dan Yulianingtyas 2011; Hilmi

    dan Martani 2012).

    Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

    H4: Jumlah SKPD berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.

    2.7.5. Jumlah Penduduk

    Semakin banyak penduduk maka semakin besar potensi yang bisa digali oleh

    pemerintah daerah untuk memperoleh pendapatan dari retribusi dan pajak. Jumlah penduduk

    juga menunjukkan seberapa banyak pengawasan yang dilakukan terhadap pemerintah saat

    menjalankan programnya. Sistem politik di Indonesia dalam menentukan jumlah anggota

    dewan perwakilan rakyat daerah menggunakan jumlah penduduk sebagai dasar. Fungsi

    pengawasan yang baik oleh anggota dewan diharapkan dapat memacu pemerintah untuk

    dapat meningkatkan kinerja. Studi empiris di Indonesia menunjukkan jumlah penduduk

    berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan pada laporan keuangan (Martani dan

    Lestari 2010; Hilmi dan Martani 2012).

    Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

    H5: Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.

    2.7.6. Korupsi

    Dibutuhkan reformasi di sektor publik, khususnya pemerintahan, agar korupsi tidak

    merajalela dan mempengaruhi pencapaian kinerja. Meskipun reformasi seperti New Public

    Management (NPM) masih belum jelas apakah pendekatan NPM ini efektif dalam mencapai

    tujuan tersebut (Fitzsimons 2009). Alternatif pendekatan lain adalah dengan meningkatkan

    kepatuhan pajak (Picur dan Belkaoui 2006), mengimplementasikan e-governance (Mistry

    2012), atau meningkatkan kualitas akuntansi dan audit dengan mengembangkan standar

    akuntansi dan audit (Malagueno, Albrecht, Ainge, dan Stephens 2010). Hasil penelitian

    Malagueno dkk. (2010) menunjukkan bahwa negara-negara dapat mengurangi tingkat

    persepsi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi pelaporan keuangan melalui

    pengembangan standar akuntansi dan audit. Penelitian Picur dan Belkaoui (2006)

    membuktikan bahwa negara-negara berkembang perlu mengurangi tingkat korupsi untuk

    menciptakan kepatuhan pajak. Kepatuhan pajak akan meningkatkan pendapatan pemerintah

    dari sektor pajak.

    Berdasar uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah:

    H6: Indeks persepsi korupsi berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah.

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    2.8. KERANGKA BERPIKIR

    Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan

    korupsi terhadap kinerja keuangan daerah. Karakteristik pemerintah daerah terdiri dari

    ukuran organisasi PEMDA (size), belanja modal, E-Government, satuan kerja perangkat

    daerah (SKPD), dan jumlah penduduk. Berikut ini merupakan kerangka pemikiran yang

    digunakan dalam penelitian ini:

    Variabel Bebas Variabel Terikat

    Gambar 2.1 : Kerangka pemikiran

    3. METODA PENELITIAN

    3.1. Populasi dan Sampel

    Populasi adalah keseluruhan individu, kejadian, atau sesuatu yang akan dijadikan

    obyek penelitian dan mempunyai sifat yang sama (Sekaran 2003). Populasi dalam penelitian

    ini adalah seluruh pemerintah daerah di Indonesia pada tahun 2010 yang disurvei oleh

    Transparency International Indonesia dalam penyusunan indeks persepsi korupsi yang

    berjumlah 50. Tahun 2010 dipilih karena pada tahun tersebut data tersedia sesuai yang

    dibutuhkan dalam model penelitian.

    Sampel adalah bagian dari anggota populasi yang sudah dipilih (Sekaran 2003).

    Menurut Sekaran (2003) penentuan kriteria sampel diperlukan untuk menghindari timbulnya

    miss-specification dalam penentuan sampel penelitian yang selanjutnya akan berpengaruh

    terhadap hasil analisis. Tipe dari purposive sampling yang dipilih adalah judgement sampling.

    Pilihan ini didasari oleh tujuan untuk mendapatkan informasi yang relevan dan ketersediaan

    data dari lembaga tertentu. Dalam penelitian ini seluruh anggota populasi dipilih untuk

    menjadi sampel.

    3.2. Jenis dan Sumber Data

    Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan realisasi

    anggaran pemerintah daerah pada situs Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

    H5 +

    H6 +

    H4 +

    H3 +

    H2 +

    H1 +

    Korupsi

    Kinerja Keuangan

    PEMDA

    Jumlah Penduduk

    Jumlah SKPD

    E-Government

    Belanja Daerah

    Ukuran PEMDA

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dari laporan posisi keuangan (neraca) pada situs

    Kementerian Dalam Negeri, dari indeks pemeringkatan kualitas e-government oleh

    Universitas Gunadarma, dari data jumlah penduduk pada situs Badan Pusat Statistik Republik

    Indonesia, dari data SKPD pada situs masing-masing pemerintah daerah yang menjadi

    sampel, dan dari indeks persepsi korupsi dari situs Transparency International Indonesia

    tahun 2010.

    3.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

    3.3.1. Variabel Terikat

    Kinerja Keuangan Daerah Kinerja keuangan daerah adalah ukuran pencapaian tujuan pemerintah daerah dengan

    indikator keuangan (Mardiasmo 2002). Penelitian ini menggunakan derajat desentralisasi

    fiskal sebagai proksi untuk kinerja keuangan daerah. Desentralisasi fiskal merupakan

    pelimpahan kewenangan bagi daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah agar

    mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Variabel ini diukur dengan derajat

    desentralisasi fiskal seperti formulasi yang digunakan oleh Azhar (2008) yaitu:

    Pendapatan asli daerah

    Derajat desentralisasi fiskal = Penerimaan daerah

    3.3.2. Variabel Bebas

    a. Ukuran PEMDA (size)

    Ukuran organisasi (size) adalah seberapa besar organisasi tersebut (Patrick 2007).

    Untuk mengukur size bisa digunakan total aktiva, jumlah karyawan, dan tingkat produksi

    (Damanpour 1991) atau nilai penjualan dan kapitalisasi pasar (Okada 2006). Penelitian ini

    menggunakan total aktiva sebagai proksi untuk ukuran organisasi pemerintah daerah. Total

    aktiva merupakan keseluruhan sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah yang digunakan

    dalam kegiatan operasional pelaksanaan progam dan pelayanan masyarakat. Variabel ini

    diukur dengan angka total aktiva yang ada di neraca pemerintah daerah tahun 2010. Untuk

    kepentingan analisis, akan digunakan log angka total aktiva.

    b. Belanja Modal

    Menurut PP No 71 Tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk

    perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode

    akuntansi. Belanja modal dilakukan oleh pemerintah daerah untuk investasi penambahan dan

    pemeliharaan aktiva tetap sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.

    Variabel ini diukur dengan angka total belanja modal di laporan realisasi anggaran tahun

    2010. Untuk kepentingan analisis, akan digunakan log angka belanja modal.

    c. E-Government E-Government adalah penggunaan tehnologi komunikasi dan informasi dalam

    administrasi publik (Sarikas dan Weerakkody 2007). E-Government merupakan upaya

    pemerintah untuk berinteraksi dengan masyarakat, sehingga pemerintah bisa melayani

    masyarakat dengan lebih efisien dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas,

    disamping itu masyarakat bisa memantau aktivitas pemerintah. Variabel ini diukur dengan

    indeks pemeringkatan kualitas e-government yang dilakukan oleh Universitas Gunadarma

    tahun 2010. Angka dalam indeks ini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Kualitas e-

    government semakin bagus jika angka indeks mendekati 1.

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    d. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) merupakan bagian dari pemerintah daerah yang

    melaksanakan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik. Menurut UU No 32 tahun 2004

    Pasal 120, perangkat daerah terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah,

    lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Variabel ini diukur dengan jumlah SKPD

    yang dimiliki oleh masing-masing pemerintah daerah.

    e. Jumlah Penduduk

    Jumlah penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati suatu wilayah atau ruang

    tertentu (http://id.wikipedia.org). Pendapatan pemerintah daerah sebagian besar dari

    masyarakat pengguna jasa pemerintahan melalui pembayaran pajak dan retribusi. Variabel ini

    diukur dengan banyaknya jumlah penduduk masing-masing daerah berdasar sensus penduduk

    oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.

    f. Korupsi Korupsi adalah tindakan untuk melakukan sesuatu yang tidak benar dengan cara

    pemberian suap atau cara lain yang melanggar hukum atau cara yang tidak dibenarkan

    (Indriantoro 1995), dan digunakan untuk kepentingan pribadi (Jain 2001). Isu korupsi di

    sektor publik sering dikaitkan dengan clean government. Clean government merupakan

    pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Variabel ini diukur

    dengan indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparency International Indonesia

    tahun 2010. Angka dalam indeks ini berkisar antara 0 sampai dengan 10. Pemerintahan

    semakin bersih jika angka indeks mendekati 10, dan disebut semakin korup jika angka indeks

    mendekati 0.

    3.4. Uji Kualitas Data

    Dalam analisis regresi linier berganda perlu menghindari masalah regresi yaitu

    permasalahan asumsi klasik yang biasanya terdapat pada penelitian yang menggunakan dua

    data atau lebih variabel penjelas/independen (Gujarati dan Porter 2010). Untuk mengetahui

    apakah hasil estimasi regresi yang dilakukan benar-benar terbebas dari adanya asumsi klasik

    maka dalam penelitian ini dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas,

    multikolinieritas, dan heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini sifat amatan adalah

    cross section, sehingga tidak diperlukan uji autokorelasi. Menurut Gujarati dan Porter (2010),

    uji autokorelasi diperlukan untuk pengamatan antar waktu yang berbeda atau amatan yang

    bersifat deret waktu (time series).

    3.5. Uji Hipotesis

    Analisis data dilakukan secara statistik yang dimulai dengan statistik deskriptif atas

    data dari masing-masing variabel. Kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan

    regresi linier berganda.

    3.5.1. Statistik Deskriptif

    Statistik deskriptif digunakan untuk memberi gambaran mengenai variabel dan data

    yang dilihat dari mean (rerata), standar deviasi, maksimum, minimum, varian dan sebagainya

    (Sekaran 2003).

    3.5.2. Analisis Regresi Linier Berganda

    Untuk menguji hipotesis yang diajukan, metode yang digunakan adalah analisis regresi

    linier berganda (Gujarati dan Porter 2010). Adapun persamaan regresinya adalah sebagai

    berikut:

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    KKDA = 0 + 1SIZE + 2BMOD + 3EGOV + 4SKPD + 5PODA + 6IPKO + Dimana:

    KKDA = Total PAD / Total Penerimaan

    SIZE = Log Total Aktiva (ukuran PEMDA)

    BMOD = Log Belanja Modal

    EGOV = Indeks Peringkat E-Government

    SKPD = Jumlah SKPD

    PODA = Jumlah Penduduk

    IPKO = Indeks Persepsi Korupsi

    0 = Konstanta 1,2n = Koefisien Regresi = error term

    3.5.3. Tahap Uji Hipotesis

    a. Uji koefisien secara serentak (F-Test) dan Parsial (T-test)

    Pengujian ini dimaksudkan untuk menganalisis kepastian model dari enam variabel

    independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama dan secara parsial. Dengan kata

    lain pengujian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar semua variabel independen

    secara bersama-sama dapat mempengaruhi variabel dependen, dan secara parsial bagaimana

    pengaruh masing-masing variabel independen.

    Hipotesis yang digunakan dalam F- test yaitu dengan taraf signifikansi sebesar 5 %

    adalah sebagai berikut:

    - Ho : 1 = 2 = 0, apabila Ho = 0, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen.

    - Ha : 1 2 0, Apabila Ha 0, artinya terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama variabel independen terhadap variabel dependen.

    Kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan pada pengujian regresi linier

    berganda ini adalah:

    - Jika nilai signifikan < 5% (p-value < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima. - Jika nilai signifikan > 5% (p-value > 0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak.

    b. Pengujian Koefisien Determinasi (R2)

    Pengujian koefisien determinasi (R2) dilakukan untuk mengetahui tingginya derajat

    hubungan antara semua variabel independen (X) secara bersama-sama terhadap variabel

    dependen (Y). Kecocokan model akan baik apabila R2 semakin besar atau mendekati nilai

    satu, maka pengaruh dari variabel independen akan semakin besar. Adapun rumus yang

    digunakan adalah sebagai berikut (Gujarati dan Porter 2010):

    )(.

    )()....(22

    233221102

    Yyn

    YYXYXYXYnR

    Batas nilai R2 adalah 0 < R

    2 < 1

    4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    4..1 Deskripsi Penelitian

    4.1.1. Deskripsi Obyek Penelitian

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Obyek penelitian ini adalah pemerintah daerah yang disurvei oleh Transparency

    International Indonesia yang terdiri dari pemerintah kota sebanyak 45, pemerintah kabupaten

    sebanyak 4, dan pemerintah provinsi ada 1. Jadi total obyek penelitian yang digunakan adalah

    50 pemerintah daerah (lampiran 1).

    4.1.2. Statistik Deskriptif

    Tahap ini menyajikan statistik deskriptif untuk variabel dependen (terikat) dan variabel

    independen (bebas). Statistik deskriptif menggambarkan data numerik dan menyajikan

    informasi mengenai keseluruhan data yang digunakan (Patrick 2007). Statistik deskriptif

    meliputi statistik dasar seperti mean, minimum, maximum, dan standar deviasi. Pembahasan

    dimulai dari variabel dependen terlebih dahulu, yaitu kinerja keuangan daerah. Variabel

    independen dibahas secara berturut-turut mulai dari ukuran organisasi, belanja modal, e-

    government, SKPD, populasi, dan korupsi. Tabel statistik deskriptif disajikan berikut ini:

    Tabel 4.1. Statistik Deskriptif

    Var N Minimum Maksimum Mean Standar Deviasi

    KKDA 50 0,034 0,533 0,133 0,090

    SIZE 50 11,640 14,610 12,396 0,486

    BMOD 50 10,357 12,831 11,122 0,474

    EGOV 50 0,000 0,800 0,236 0,208

    SKPD 50 1,613 2,554 2,005 0,234

    POPU 50 4,979 6,992 5,734 0,394

    IPKO 50 3,610 6,710 4,930 0,665

    Sumber: data diolah

    4.1.2.a. Variabel Dependen

    Otonomi daerah dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat mengurangi

    ketergantungan dan meningkatkan kemandirian terhadap pemerintah pusat. Penelitian ini

    menggunakan derajat desentralisasi fiskal sebagai proksi untuk kinerja keuangan daerah.

    Ukuran yang digunakan adalah persentase, dimana semakin tinggi nilai persentasenya maka

    pemerintah daerah dikatakan semakin mandiri. Statistik deskriptif menunjukkan, dengan

    sampel sebanyak 50, rerata (mean) kinerja keuangan pemerintah daerah adalah 13,36% yang

    berarti tingkat kemandiriannya masih rendah dan tingkat ketergantungan dengan pemerintah

    pusat masih tinggi. Nilai rerata derajat desentralisasi fiskal sebesar 13,36% berada di kategori

    kurang (lihat tabel 2.1). Nilai persentase terendah adalah 3,4% (Kabupaten Manokwari) dan

    tertinggi 53,3% (Provinsi DKI Jakarta).

    Dengan tingkat rerata yang rendah, maka pelaksanaan otonomi daerah bisa

    dikatakan belum mencapai tujuannya. Hasil penelitian Azhar (2008) bahkan menunjukkan

    kinerja keuangan daerah di kabupaten/kota se Aceh dan Sumatera Utara dalam bentuk

    desentralisasi fiskal cenderung menurun setelah pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah

    pusat perlu membuat formulasi yang tepat agar tingkat kemandirian daerah menjadi tinggi

    sesuai yang diharapkan dan melakukan evaluasi terus menerus. Pemerintah daerah juga

    diharapkan bisa lebih inovatif dan kreatif dalam menggali potensi-potensi pendapatan daerah.

    4.1.2.b. Variabel Independen

    Ukuran PEMDA Ukuran PEMDA dalam penelitian ini diproksi dengan total aktiva pemerintah

    daerah. Untuk kepentingan olah dan analisis data digunakan log total aktiva. Rerata total

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    aktiva 50 pemerintah daerah adalah 12,39 (Rp 11.665.302.197.048,20). Total aktiva terkecil

    adalah 11,64 (Rp 436.631.945.274,65) dimiliki oleh Pemerintah Kota Serang, dan terbesar

    14,61 (Rp 407.096.408.253.177,00) dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

    Pertumbuhan ekonomi dipicu oleh seberapa besar pembangunan yang dilakukan

    oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pemerataan pembangunan yang belum optimal

    menyebabkan ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi, pemerolehan pendapatan dan

    kepemilikan aset pemerintah daerah.

    Belanja Modal Belanja modal merupakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka

    menyediakan infrastruktur untuk pelayanan masyarakat. Untuk kepentingan olah dan analisis

    data digunakan log belanja modal. Rerata belanja modal 50 pemerintah daerah adalah 11,12

    (Rp 351.103.220,00). Belanja modal terkecil adalah 10,35 (Rp 22.739.000,00) oleh

    Pemerintah Kota Padangsidempuan, dan terbesar adalah 12,83 (Rp 6.774.979.000,00) oleh

    Provinsi DKI Jakarta. Nilai belanja modal secara umum menunjukan realitas yang hanya

    diatas kertas saja. Kejadian-kejadian yang terungkap mengindikasikan bahwa belanja modal

    telah dinaikan (mark up) dari nilai yang sebenarnya pada anggaran daerah sebagai akibat

    perilaku oportunistik anggota dewan dan pejabat pemerintah daerah (Abdullah dan Asmara

    2007).

    E-Government E-Government adalah upaya pemerintah melakukan komunikasi dengan

    masyarakat melalui tehnologi dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.

    Variabel ini diukur dengan indeks perangkingan e-government yang dilakukan oleh

    Universitas Gunadarma Jakarta. Indeks berkisar antara 0 hingga 1, sehingga angka indeks

    yang mendekati 1 menunjukkan implementasi e-government sudah baik.

    Rerata Indeks e-government 50 pemerintah daerah adalah 0,23. Angka tersebut

    masih jauh dari memadai dan menunjukkan implementasi e-government belum baik.

    Pemerintah daerah perlu mengalokasikan dana yang lebih besar lagi untuk implementasi e-

    government dan mempunyai kemauan politik yang lebih tinggi lagi dalam upaya

    meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Indeks terendah adalah 0,00

    (Kota Pematangsiantar, Kota Lhoksumawe, Kota Tanjung Pinang, Kota Pangkal Pinang,

    Kota Sorong, Kota Jayapura, dan Kota Kupang), dan tertinggi adalah 0,80 (Kota Banda

    Aceh).

    Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) SKPD menunjukan urusan yang ditangani dan juga merupakan diferensiasi

    fungsional oleh pemerintah daerah. Variabel ini diukur dengan banyaknya jumlah SKPD

    yang dimiliki oleh suatu pemerintah daerah. Untuk kepentingan olah dan analisis data

    digunakan log jumlah SKPD. Rerata jumlah SKPD 50 pemerintah daerah adalah 2,00 (117,06

    SKPD). Jumlah SKPD terkecil adalah 1,61 (41 SKPD) dimiliki oleh Kota Tanjungpinang,

    dan terbesar adalah 2,55 (358 SKPD) dimiliki oleh Kabupaten Banyumas. Jumlah SKPD

    dipengaruhi oleh banyak hal seperti: letak geografis, jumlah penduduk, dan lainnya.

    Jumlah Penduduk Populasi atau jumlah penduduk merupakan kumpulan manusia yang mendiami

    wilayah dan ruang tertentu. Variabel ini diukur dengan total jumlah penduduk berdasar

    sensus penduduk oleh BPS. Untuk kepentingan olah dan analisis data digunakan log jumlah

    penduduk. Rerata jumlah penduduk 50 pemerintah daerah adalah 5,73 (901.347,82 jiwa).

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Jumlah penduduk terkecil adalah 4,97 (95.185 jiwa) berada di bawah naungan pemerintah

    daerah Kota Sibolga, dan terbesar adalah 6,99 (9.809.857 jiwa) berada di Kota Jakarta.

    Distribusi jumlah penduduk tidak merata di setiap wilayah di Indonesia. Kebijakan

    pemerintah pusat dalam membangun infrastruktur dan sentra ekonomi kurang memikirkan

    pola migrasi dan pemerataan jumlah penduduk.

    Korupsi Korupsi menyebabkan pemerintahan tidak efisien dan efektif. Semakin tinggi

    tingkat korupsi maka dapat menurunkan kinerja suatu pemerintahan. Variabel ini diukur

    dengan indeks persepsi korupsi yang dibuat oleh Transparency International Indonesia atas

    survey yang telah dilakukannya. Indeks berkisar antara 0 sampai dengan 10. Jika angka

    indeks mendekati 10 maka pemerintahan dikatakan semakin bersih, dan sebaliknya jika

    mendekati 0 maka dikatakan semakin korup. Rerata indeks persepsi korupsi 50 pemerintah

    daerah adalah 4,93. Indeks terkecil adalah 3,61 (Kota Pekanbaru dan Kota Cirebon), dan

    indeks terbesar adalah 6,71 (Kota Denpasar).

    Rerata indeks menunjukan bahwa tingkat korupsi di pemerintahan daerah cukup

    tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena semangat otonomi dan good governance

    yang diharapkan akan membawa pemerintahan ke arah yang lebih baik menjadi terkendala.

    Strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan agar pemerintahan

    berjalan dengan baik dan masyarakat lebih sejahtera. Pencegahan bisa dilakukan dengan

    meningkatkan standar akuntansi dan auditing (Malagueno dkk 2010), atau dengan cara

    melakukan reformasi birokrasi (Mistry 2012).

    4.2. Uji Asumsi Klasik

    Sebelum dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan regresi linier berganda, maka

    perlu dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi Normalitas, Multikolineritas dan

    Heterodekasiditas. Uji ini dimaksudkan agar model regresi terbebas dari masalah-masalah

    asumsi klasik.

    Normalitas bisa dideteksi dengan melihat sebaran data (titik) pada garis diagonal di

    grafik. Pada grafik normal P-P Plot (lampiran 3) bisa disimpulkan bahwa model regresi

    memenuhi asumsi normalitas karena titik-titik menyebar di sekitar dan mengikuti arah garis

    diagonal.Menarik kesimpulan dengan metode grafik saja akan menimbulkan bias karena

    gafik mungkin dipersepsikan lain oleh pengamat atau pembaca. Uji Nonmetrik Kolmogorov-

    Smirnov dilakukan untuk mengatasi persepsi yang mungkin bisa lain antar pengamat, selain

    itu juga untuk memperkuat hasil dari metode grafik. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov

    (lampiran 3) menunjukkan bahwa seluruh variabel mempunyai nilai Asymptotic Significant >

    0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal.

    Uji multikolinieritas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi

    ditemukan korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik tidak terdapat

    korelasi antar variabel independen. Hasil Uji Multikolinieritas (lampiran 3) menunjukkan

    nilai tolerance semua variabel independen diatas 0,1 dan variance inflation factor (VIF)

    dibawah 10. Berdasar kriteria pengambilan keputusan maka disimpulkan bahwa antar

    variabel independen tidak terjadi multikolinieritas.

    Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi

    terdapat ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya.

    Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas bukan heteroskedastisitas, maka

    disyaratkan variance dan residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya bersifat tetap dan

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    tidak berbeda. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan scatter plot (lampiran 3)

    terlihat titik-titik menyebar diantara angka nol pada sumbu Y dan membentuk pola yang tidak

    beraturan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dan model regresi

    adalah baik. Penelitian ini menggunakan analisis statistik Spearmans rho untuk memperkuat hasil dari metode grafik scatterplot dalam mendeteksi heteroskedastisitas. Hasil analisis

    menggunakan Spearmans rho (lampiran 3) menunjukkan nilai signifikansi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen (unstandardized residual) semua di atas 0,05

    yang berarti tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.

    4.3. Pengujian Hipotesis

    4.3. 1. Pengujian serentak dan parsial

    Pengujian hipotesis menggunakan metode regresi linier berganda dengan sifat data

    cross section. Tujuan pengujian hipotesis untuk membuktikan secara empiris pengaruh

    variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil pengujian menggunakan regresi linier

    berganda dapat dilihat dari tabel berikut :

    Tabel 4.2 Uji Regresi Linier Berganda dan Koefisien Determinasi

    Variabel Koefisien t Sig

    (Constant) -1.728 -7.548 0.000

    Ukuran PEMDA (size) 0.108 3.153 0.003*

    Belanda modal 0.004 0.140 0.889

    e-government 0.044 1.073 0.289

    Jumlah SKPD -0.118 -2.297 0.027*

    Jumlah Penduduk 0.110 2.808 0.007*

    Indeks Persepsi Korupsi 0.026 2.146 0.038*

    R Square 0.691

    Adjusted R-Square 0.648

    F 16.005

    Sig 0.000a

    a. Predictors: (Constant), IPKO, SKPD, EGOV, BMOD, POPU, SIZE

    b. Dependent Variable: KKDA

    * signifikan pada tingkat alpha 5%

    Hasil pengujian secara statistik menunjukan nilai signifikansi F adalah 0.000 lebih

    kecil daripada 0,05 yang berarti bahwa secara serentak (bersama) seluruh variabel

    independen: ukuran organisasi, belanja modal, e-government, SKPD, populasi, dan korupsi

    berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan daerah (variabel dependen).

    Pengujian berikutnya adalah pengujian secara parsial (uji t). Tujuan dari pengujian

    ini untuk membuktikan secara empiris apakah variabel independen mempunyai pengaruh

    terhadap variabel dependen secara individual. Hasil perhitungan statistik pada pengujian

    secara parsial/individual menunjukan bahwa variabel yang nilai signifikansinya lebih kecil

    dari alpha 0,05 adalah ukuran PEMDA /size (0,003), SKPD (0,027), populasi (0,007) dan

    indeks persepsi korupsi (0,038), yang berarti variabel-variabel tersebut secara individual

    berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan daerah. Pengaruh variabel belanja modal

    (0,889) dan e-government (0,289) tidak nyata terhadap kinerja keuangan daerah, karena nilai

    signifikansinya lebih besar dari alpha 0,05.

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    4.3.2. Pembahasan Berdasar penghitungan statistik pada tabel 4.2 maka model persamaan regresi,

    dengan nilai konstanta dan koefisien regresi, dapat dituliskan sebagai berikut:

    KKDA = -1,782 + 0,108SIZE + 0,004BMOD + 0,044EGOV 0,118SKPD + 0,110POPU + 0,026IPKO

    Variabel Independen

    Ukuran PEMDA / size Nilai koefisien regresi variabel ukuran PEMDA/size adalah 0,108 yang artinya jika

    variabel ini naik sebesar satu satuan maka kinerja keuangan daerah akan naik sebesar 0,108,

    ceteris paribus. Hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel ukuran organisasi

    PEMDA adalah nyata dan menunjukan arah positif terhadap kinerja keuangan daerah dengan

    nilai signifikansi 0,003 (0,05)

    sehingga hipotesis kedua (H2) ditolak. Hasil ini berbeda dengan temuan Mustikarini dan

    Fitriasari (2012) bahwa belanja daerah, terdiri dari belanja modal dan belanja rutin,

    berpengaruh secara nyata tetapi arah koefisiennya negatif terhadap kinerja pemerintah

    daerah. Hasil penelitian ini juga tidak mendukung temuan Harianto dan Adi (2007) maupun

    Abdullah dan Halim (2003) bahwa belanja modal berpengaruh nyata dan positif terhadap

    kinerja (pendapatan asli daerah).

    Belanja modal adalah pengeluaran pemerintah daerah yang digunakan untuk

    penyediaan dan perawatan infrastruktur dan sarana prasarana. Menurut Harianto dan Adi

    (2007), infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai di daerah akan berdampak pada

    pertumbuhan ekonomi daerah yang ditandai dengan produktivitas masyarakat yang

    meningkat dan bertambahnya investor. Peningkatan belanja modal oleh pemerintah daerah

    diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan selanjutnya meningkatkan

    partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang tercermin dari peningkatan pendapatan

    asli daerah (Mardiasmo 2002). Hasil penelitian ini yang menunjukkan belanja modal tidak

    berpengaruh nyata terhadap kinerja keuangan mungkin disebabkan kurangnya pemerintah

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    daerah secara optimal dalam membangun infrastruktur dan sarana prasarana. Pengerjaan yang

    dilakukan banyak praktek tidak sehat seperti mark-up proyek, manipulasi spesifikasi

    bangunan, analisis kebutuhan yang tidak sesuai, dan sejenisnya.

    E-Government

    Variabel e-government memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,044 yang artinya

    jika variabel ini naik sebesar satu satuan maka kinerja keuangan daerah akan naik sebesar

    0,044 satuan. Tetapi, hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel e-government

    tidak nyata terhadap kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi 0,289 (>0,05)

    sehingga hipotesis ketiga (H3) ditolak. Hasil penelitian ini tidak mendukung temuan oleh

    Deakins et al. (2010) bahwa e-government berpengaruh pada peningkatan kinerja pemerintah

    daerah di China, New Zealand, Oman dan Inggris. Dalam konteks yang berbeda, temuan

    Patrick (2007) menunjukan bahwa e-government berpengaruh nyata terhadap inovasi

    organisasi berupa adopsi governmental accounting standard board (GASB) statement No 34.

    Penelitian ini memberi bukti bahwa e-government tidak berpengaruh nyata terhadap

    kinerja keuangan daerah. Beberapa penyebab bisa dikemukakan, antara lain: belum semua

    informasi disajikan dalam website, administratornya belum terlatih, konstruksi dan running

    website tidak dinamis, sarana akses yang kurang memadai, dan sebagainya. Hal tersebut yang

    mungkin membuat masyarakat tidak berminat mengakses website pemerintah daerah untuk

    keperluan-keperluan terkait, sehingga interaksi yang diharapkan menjadi tidak optimal.

    Satuan Kerja Perangkat Daerah

    Nilai koefisien regresi variabel SKPD adalah -0,118 yang artinya jika variabel ini

    naik sebesar satu satuan maka kinerja keuangan daerah akan turun sebesar 0,118, ceteris

    paribus. Hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel SKPD adalah nyata terhadap

    kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi 0,027 (

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    0,026, ceteris paribus. Hasil pengujian individual diketahui pengaruh variabel indeks persepsi

    korupsi adalah nyata dan menunjukan arah positif terhadap kinerja keuangan daerah dengan

    nilai signifikansi 0,038 (

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Penelitian ini mencoba menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh

    karakteristik pemerintah daerah dan persepsi korupsi, terhadap kinerja keuangan daerah tahun

    2010 di Indonesia. Karakteristik pemerintah daerah terdiri dari ukuran organisasi (size),

    belanja modal, e-government, jumlah SKPD, jumlah penduduk. Berdasarkan uraian,

    penjelasan, dan analisis yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat

    ditarik simpulan sebagai berikut :

    1. Hasil uji t (individual) menunjukan variabel ukuran PEMDA (x1), jumlah SKPD (x4),

    jumlah penduduk (x5), dan indeks persepsi korupsi (x6) berpengaruh secara nyata

    terhadap kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi, berturut-turut, sebesar

    (0,003), (0,027), (0,007) dan (0,038). Variabel belanja modal (x2) dan e-government

    (x3) tidak berpengaruh secara nyata terhadap kinerja keuangan daerah dengan nilai

    signifikansi, berturut-turut, sebesar 0,889 dan 0,289.

    2. Hasil uji F (serentak) menunjukan seluruh variabel independen yaitu ukuran PEMDA

    (x1), belanja modal (x2), e-government (x3), jumlah SKPD (x4), jumlah penduduk (x5),

    dan indeks persepsi korupsi (x6) secara serentak berpengaruh secara nyata terhadap

    kinerja keuangan daerah dengan nilai signifikansi 0,000.

    3. Variabel ukuran PEMDA (x1), belanja modal (x2), e-government (x3), jumlah penduduk

    (x5), dan indeks persepsi korupsi (x6) koefisien regresinya bertanda positif (+)

    menandakan hubungan yang searah, dengan kata lain peningkatan pada ukuran

    organisasi (x1), belanja modal (x2), e-government (x3), jumlah penduduk (x5), dan

    indeks persepsi korupsi (x6) akan meningkatkan kinerja keuangan daerah. Variabel

    jumlah SKPD (x4) saja yang mempunyai koefisien regresi bertanda negatif (-) yang

    menandakan hubungan tidak searah, dengan kata lain adanya peningkatan jumlah

    SKPD akan menurunkan kinerja keuangan daerah.

    4. Koefisien determinasi atau angka R square adalah sebesar 0,691. Gujarati dan Porter

    (2010), menyatakan untuk regresi linear berganda sebaiknya menggunakan R square

    yang sudah disesuaikan atau Adjusted R square, karena disesuaikan dengan jumlah

    variabel independen yang digunakan, dimana jika variabel independen 1 (satu) maka

    menggunakan R square dan jika telah melebihi 1 (satu) menggunakan adjusted R

    square. Adjusted R square adalah sebesar 0.648 hal ini berarti 64,8% dari variasi

    variabel dependen (kinerja keuangan daerah) yang dapat dijelaskan oleh variabel

    independen (karakteristik pemerintah daerah dan persepsi korupsi), sedangkan sisanya

    sebesar 0,352 atau 35,2% (1 - 0,648 atau 100% - 64,8%) dijelaskan oleh variabel-

    variabel lain diluar variabel yang ada (model).

    5. Analisis tambahan dilakukan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan daerah

    dari faktor ukuran organisasi dan korupsi pada pemerintah daerah. Hasil analisis

    menggunakan uji beda paired sample T-Test untuk faktor ukuran organisasi

    menunjukan nilai signifikan 0.000 (0.05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan kinerja keuangan

    antara pemerintah daerah yang bersih dengan pemerintah daerah yang korup.

    Penelitian ini menyajikan bukti empiris mengenai karakteristik pemerintah daerah

    dan persepsi korupsi sebagai penentu kinerja keuangan daerah di Indonesia. Peneliti

    menemukan bukti bahwa ukuran PEMDA, jumlah penduduk, dan persepsi korupsi

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    merupakan prediktor penting untuk peningkatan kinerja keuangan daerah. Bukti empiris juga

    menunjukan bahwa banyaknya jumlah SKPD dapat mengakibatkan inefisiensi organisasi

    yang dapat menurunkan kinerja keuangan daerah. Hasil penelitian secara umum

    menunjukkan bahwa karakteristik PEMDA dan korupsi berpengaruh terhadap kinerja

    keuangan daerah.

    5.2. Keterbatasan dan Saran

    Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yang bisa dipertimbangkan dalam

    melakukan interpretasi atas hasil analisis, yaitu:

    1. Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder yang tersedia pada sumber-sumber yang relevan. Ada hal lain yang bisa dijadikan variabel penentu/independen dengan

    data primer yang bisa didapat melalui survei atau wawancara, misalnya reformasi

    birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya dari pemerintah pusat

    untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Model penilaian terhadap reformasi

    birokrasi yang dilakukan saat ini adalah penilaian mandiri. Penelitian berikutnya

    bisa menggunakan reformasi birokrasi sebagai prediktor kinerja keuangan daerah.

    2. Pemerintah daerah yang menjadi obyek dalam penelitian ini hanya 50, sehingga hasil penelitian tidak bisa digeneralisir karena jumlah PEMDA di Indonesia saat ini

    berjumlah 33 PEMDA tingkat I dan 496 PEMDA tingkat II. Sampel yang diperoleh

    mengacu pada kebutuhan akan data dalam model penelitian yang disusun. Penelitian

    berikutnya bisa menggunakan sumber data yang lain sehingga bisa meningkatkan

    jumlah sampel yang digunakan, semakin banyak sampel akan semakin baik dalam

    menginterpretasi hasil penelitian.

    3. Periode amatan hanya satu tahun, yaitu tahun 2010. Akibatnya, tren atau dinamika masing-masing variabel yang digunakan dalam model penelitian tidak bisa terlihat.

    5.3. Implikasi

    Penelitian ini memberi implikasi pada praktik akuntansi dan pengelolaan organisasi

    pemerintahan, terutama dalam masalah kinerja keuangan pemerintah daerah. Implikasi-

    implikasi yang dimaksud adalah:

    1. Penggunaan aset daerah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan terus ditingkatkan karena akan memberi kepuasan dan

    menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

    2. Pengalokasian belanja modal harus lebih memperhatikan aspek-aspek kelayakan seperti aspek tehnis, aspek ekonomi dan finansial, aspek distribusi, dan aspek sosial

    budaya. Hal yang penting adalah penganggaran tidak berdasar oportuniti sehingga

    nilai belanja modal menjadi tinggi tetapi kualitasnya rendah.

    3. Penggunaan e-government dalam pelaksanaan pemerintahaan diyakini akan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas karena kemudahan interaksi antara

    masyarakat dengan pemerintah dan pemantauan oleh masyarakat terhadap

    pemerintah. Pemerintah di Indonesia belum memanfaatkan dengan baik e-

    government sebagai sarana dalam menjalankan program-program dan kebijakan

    publik dalam melayani masyarakat.

    4. Pemerintahan yang efisien akan memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam mencapai tujuan. Efisiensi bisa dilakukan dengan perampingan struktur organisasi

    berdasar kebutuhan. Struktur organisasi di pemerintahan daerah yang dimaksud

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    adalah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), yang disusun berdasar kebutuhan

    masing-masing daerah sesuai karakteristik yang dimiliki.

    5. Jumlah penduduk perlu dikelola dan dikendalikan dengan baik. Peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan melalui peningkatan anggaran pendidikan dan

    kesehatan. Masyarakat yang cerdas akan mudah untuk mematuhi kewajiban-

    kewajibannya termasuk dalam membayar pajak untuk kepentingan pembangunan

    daerah.

    6. Pemberantasan korupsi mutlak harus dilakukan secara terus menerus. Dukungan dari semua elemen masyarakat akan mempercepat upaya-upaya menciptakan

    pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pendapatan pemerintah daerah bisa

    lebih difokuskan ke arah permasalahan dasar masyarakat seperti pendidikan,

    kesehatan, dan kemiskinan.

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdullah, S., dan A. Halim. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan

    Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota

    di Jawa dan Bali. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VI Surabaya Komisi F:

    1140-1159.

    Abdullah, S., dan J.A. Asmara. 2007. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran

    daerah: Bukti empiris atas aplikasi agency theory di sektor publik. Jurnal Riset

    Akuntansi Indonesia 10 (1): 20-41.

    Akbar, R., R. Pilcher, dan B. Perrin. 2012. Performance measurement in Indonesia: The case

    of local government. Pacific Accounting Review 24 (3): 262-291.

    Azhar, M.K.S. 2008. Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebelum

    dan setelah otonomi daerah. Tesis tidak dipublikasi Program Magister Akuntansi

    Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

    Badudu, J.S., dan S.M. Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar

    Harapan.

    Bastian. I. 2010. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit

    Erlangga.

    Bingham, L.B., T. Nabatchi, dan R. OLeary. 2005. The new governance: Practice and processes for stakeholder and citizen participation in the work of government. Public

    Administration Review 65 (5): 547-558.

    Bisma, I.D.G., dan H.Susanto. 2010. Evaluasi kinerja keuangan daerah provinsi Nusa

    Tenggara Barat tahun anggaran 2003 2007. Ganes Swara 4 (3): 75-86.

    Budima, G. 2006. Can corruption and economic crime be controlled in developing

    economies, and if so, is the cost worth it? Journal of Financial Crime 13 (4): 408-419.

    Damanpour, F. 1991. Organizational Innovation: A meta-analysis of effects of determinants

    and moderators. Academy of Management Journal 34 (3): 555-590.

    Deakins, E., S. Dillon, H.A. Namani, dan C. Zhang. 2010. Local e-government impact in

    China, New Zealand, Oman and the United Kingdom. International Journal of Public

    Sector Management 23 (6): 520-534.

    Fenwick, J., dan K.J. Miller. 2012. Political management and local performance: A testing

    relationship? International Journal of Public Sector Management 25 (3): 221-230.

    Fitzsimons, V.G. 2009. A troubled relationship: Corruption and reform of the public sector in

    development. Journal of Management Development 28 (6): 513-521.

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Gibson, J.L., J.M. Ivancevich., dan J.H. Donnelly. 2001. Organisasi: Perilaku, Struktur dan

    Proses. Edisi ke - 1. Jakarta: Binarupa Aksara.

    Goddard, A. 2005. Reform as regulation accounting, governance, and accountability in UK local government. Journal of Accounting & Organizational Change 1 (1): 27-44.

    Goh, S.C. 2012. Making performance measurement systems more effective in public sector

    organizations. Measuring Business Excellence 16 (1): 31-42.

    Gounder, N., P.K. Narayan, dan A. Prasad. 2007. An empirical investigation on the

    relationship between government revenue and expenditure: The case of Fiji Islands.

    International Journal of Social Economics 34 (3): 147-158.

    Governmental Accounting Standard Board. 2008. GASB proposal to amend concept

    statement 2 reflect recent developments in SEA performance reporting. Diunduh dari

    www.gasb.org pada 3 Januari 2013.

    Gujarati, D.N., dan D.C. Porter. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi ke-5. Jakarta:

    Salemba Empat.

    Gupta, S., H. Davoodi, dan R.A. Terme. 1998. Does corruption affect income inequality and

    proverty? Working Paper of the International Monetary Fund No 76.

    Greiling, D. 2005. Performance measurement in the public sector: the German experience.

    International Journal of Productivity and Performance Management 54 (7): 551-567.

    Halim, A., dan M. Kusufi. 2012. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah.

    Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

    Han, C.C. 2000. Organizational size, flexibility, and performance: A system dynamics

    approach. Working Paper Departement of Public Administration, Tamkang University,

    Taiwan.

    Harianto, D., dan P.H. Adi. 2007. Hubungan antara dana alokasi umum, belanja modal,

    pendapatan asli daerah, dan pendapatan per kapita. Proceeding Simposium Nasional

    Akuntansi X Makassar ASPP 15: 1-26.

    Haryadi, B. 2002. Analisis pengaruh fiscal stress terhadap kinerja keuangan pemerintah

    kabupaten / kota dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah (Suatu kajian empiris

    di Propinsi Jawa Timur). Proceeding Simposium Nasional Akuntansi V Semarang:

    234-242.

    http://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 2 Januari 2013 Jam 09.10 WIB

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Hill, C.J., dan L.E. Lynn Jr. 2004. Governance and public management, an introduction.

    Journal of Policy Analysis and Management 23 (1): 3-11.

    Hill, C.J., dan L.E. Lynn Jr. 2005. Is hierarchical governance in decline? Evidence from

    empirical research. Journal of Public Administration Research and Theory 15 (2): 173-

    195.

    Hilmi, A.Z., dan D. Martani. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

    pengungkapan laporan keuangan pemerintah propinsi. Proceeding Simposium Nasional

    Akuntansi XV Banjarmasin.

    Hood, C. 1995. New public management in the 1980s: Variations on a theme. Accounting,

    Organization and Society 20: 93-109.

    Indrawati, Y. 2007. Reformasi akuntansi sektor publik: Mewujudkan pelayanan publik yang

    lebih baik melalui pelaporan keuangan pemerintah yang akuntabel. Working Paper

    LPPM UPN Veteran Surabaya.

    Indriantoro, N. 1995. Bertanggungjawabkah akuntan untuk mencegah dan mendeteksi kolusi

    dan korupsi? Kajian Bisnis 6: 1-8.

    Jain, A.K. 2001. Corruption: A Review. Journal of Economic Surveys 15 (1): 71-121.

    Jarrar, Y., dan G. Schiuma. 2007. Measuring performance in the public sector: Challenges

    and trends. Measuring Business Excellence 11 (4): 4-8.

    Kusumawardani, M. 2012. Pengaruh size, kemakmuran, ukuran legislatif, dan leverage

    terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Indonesia. Accounting Analysis

    Journal 1(1):27-35.

    Malagueno, R., C. Albrecht, C. Ainge, dan N. Stephens. 2010. Accounting and corruption: A

    cross-country analysis. Journal of Money Laundering Control 13 (4): 372-393.

    Mallik, G., dan A. Chowdhury. 2002. Inflation, government expenditure and real income in

    the long-run. Journal of Economic Studies 29 (3): 240-250.

    Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

    Martani, D. dan A. Lestari. 2010. Local government financial statement disclosure in

    Indonesia. Conference Proceedings of Annual Meeting and Conference Asian

    Academic Accounting Association (AAAA) at Bangkok Thailand, Hosted by

    Thammasat Business School.

    Mauro, P. 1996. The effects of corruption on growth, investment, and government

    expenditure. Working Paper of the International Monetary Fund No 96.

  • Sinergi Peran Akuntan Dan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Meningkatkan Transparansi Dan Akuntabilitas Pelaporan Keuangan

    Konferensi Ilmiah Akuntansi 1 2014, IAIKAPd Jakarta Banten Di Universitas Mercu Buana Jakarta 26-27 Februari 2014

    Mimba, N.P.S.H., G.J. Helden, dan S. Tillema. 2007. Public sector performance

    measurement in developing countries: A literature review and research agenda. Journal

    of Accounting & Organizational Change 3 (3): 192-208.

    Mistry, J.J. 2012. The role of e-governance in mitigating corruption. Accounting and the

    Public Interest 12: 137-159.

    Mustikarini, W.A., dan D. Fitriasari. 2012. Pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan

    temuan audit BPK terhadap kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia

    tahun anggaran 2007. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi XV Banjarmasin.

    Okada, K. 2006. Size effect and firm size: New relationship with the value effect. Security

    Analysts Journal 44 (7): 1-24.

    Patrick, P.A. 2007. The determinants of organizational innovativeness: The adoption of

    GASB 34 in Pennsylvania Local Government. Unpublished Dissertation The Graduate

    School of Public Affairs The Pennsylvania State University.

    Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan

    Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

    Daerah.

    Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

    Petrakaki, D., N. Hayes dan L. Introna. 2009. Narrowing down accountability through

    performance monitoring technology: E-government in Greece. Qualitative Research in

    Accounting & Management 6 (3): 160-179.

    Picur, R.D., dan A.R. Belkaoui. 2006. The impact of bureaucracy, corruption and tax

    compliance. Review of Accounting and Finance 5 (2): 174-180.

    Pilcher, R. 2005. Local government financial key performance indicators not so relevant, reliable and accountable. International Journal of Productivity and Performance

    Management 54 (5): 451-467.

    Pillay, S. 2004. Corruption the challenge to good governance: a South African perspective. International Journal of Public Sector Management 17 (7): 586-605.

    Sadjiarto, A. 2000. Akuntabilitas dan pengukuran kinerja pemerintahan. Jurnal Akuntansi &

    Keuangan 2 (2): 138-150.