14
IDENTIFIKASI DAN PENYELESAIAN MASALAH OLEH RUMAH SAKIT SWASTA DALAM MENGHADAPI BPJS KESEHATAN M Arga Sena Setiawan 1 , Mariatul Fadilah 2 , dan Rizma Adlia Syakurah 2 1. Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya 2. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya Jl. dr. Muh. Ali Komplek RSMH Palembang, Madang, Sekip, Palembang, 30126, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Latar Belakang: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menargetkan tercapainya Universal coverage pada tahun 2019. Universal coverage harus dibarengi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan yang mampu melayani semua pesertanya secara optimal. Keterlibatan Rumah Sakit Swasta sebagai provider BPJS Kesehatan diharapkan mampu membantu pemerataan pelayanan kesehatan untuk peserta. Masing- masing rumah sakit swasta memiliki hak untuk bergabung atau tidak bergabung sebagai provider BPJS Kesehatan dan tentu mereka memiliki alasan masing-masing untuk itu. Setelah bergabung sebagai provider BPJS tak jarang muncul permasalahan terkait BPJS di RS Swasta, mulai dari isu pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta, permasalahan klaim, ketidaksesuaian biaya operasional yang dibutuhkan RS dengan tarif INA-CBGs. ataupun keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan yang semuanya dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang diterima peserta BPJS. Untuk mengetahui permasalahan –permasalahan apa saja yang terjadi di RS Swasta di Palembang terkait BPJS serta upaya-upaya untuk penyelesaiannya, maka perlu dilakukan wawancara mendalam di Rumah Sakit tersebut. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan selama penelitian ini adalah wawancara mendalam. Hasil Penelitian: Permasalahan dalam penyelenggaraan BPJS di Rumah Sakit Swasta terdapat pada proses verifikasi, dan tarif INA-CBG’s yang masih dinilai rendah. Kesimpulan: Saran hasil penelitian ini, bagian SDM hendaknya mempertimbangkan untuk menambah petugas verifikasi mengingat beban kerja yang berat. BPJS Kesehatan tingkat kota juga diharapkan memperbaiki sistem sosialisasi perubahan sistem verifikasi sebelum perubahan diberlakukan. Upaya-upaya pemberian insentif fiskal yang meringankan beban rumah sakit swasta juga sangat diharapkan untuk

Artikel BPJS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Artikel penelitian kualitatif BPJS

Citation preview

IDENTIFIKASI DAN PENYELESAIAN MASALAH OLEH RUMAH SAKIT SWASTA DALAM MENGHADAPI BPJS KESEHATANM Arga Sena Setiawan1, Mariatul Fadilah2, dan Rizma Adlia Syakurah21. Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya 2. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya Jl. dr. Muh. Ali Komplek RSMH Palembang, Madang, Sekip, Palembang, 30126, IndonesiaEmail: [email protected] Belakang: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menargetkan tercapainya Universal coverage pada tahun 2019. Universal coverage harus dibarengi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan yang mampu melayani semua pesertanya secara optimal. Keterlibatan Rumah Sakit Swasta sebagai provider BPJS Kesehatan diharapkan mampu membantu pemerataan pelayanan kesehatan untuk peserta. Masing-masing rumah sakit swasta memiliki hak untuk bergabung atau tidak bergabung sebagai provider BPJS Kesehatan dan tentu mereka memiliki alasan masing-masing untuk itu. Setelah bergabung sebagai provider BPJS tak jarang muncul permasalahan terkait BPJS di RS Swasta, mulai dari isu pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta, permasalahan klaim, ketidaksesuaian biaya operasional yang dibutuhkan RS dengan tarif INA-CBGs. ataupun keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan yang semuanya dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang diterima peserta BPJS. Untuk mengetahui permasalahan permasalahan apa saja yang terjadi di RS Swasta di Palembang terkait BPJS serta upaya-upaya untuk penyelesaiannya, maka perlu dilakukan wawancara mendalam di Rumah Sakit tersebut. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan selama penelitian ini adalah wawancara mendalam.

Hasil Penelitian: Permasalahan dalam penyelenggaraan BPJS di Rumah Sakit Swasta terdapat pada proses verifikasi, dan tarif INA-CBGs yang masih dinilai rendah.

Kesimpulan: Saran hasil penelitian ini, bagian SDM hendaknya mempertimbangkan untuk menambah petugas verifikasi mengingat beban kerja yang berat. BPJS Kesehatan tingkat kota juga diharapkan memperbaiki sistem sosialisasi perubahan sistem verifikasi sebelum perubahan diberlakukan. Upaya-upaya pemberian insentif fiskal yang meringankan beban rumah sakit swasta juga sangat diharapkan untuk dapat terealisasi agar semakin banyak rumah sakit swasta yang dapat bergabung sebagai provider BPJS kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS. Perlu dilakukan penelitian mengenai pelayanan BPJS di Rumah Sakit milik pemerintah agar didapatkan informasi yang dapat membantu rumah sakit swasta dalam hal strategi mengahadapi BPJS Kesehatan.

Kata kunci: BPJS Kesehatan, rumah sakit swasta, proses verifikasi, tarif INA-CBGsPendahuluanBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menargetkan tercapainya Universal coverage pada tahun 2019. Universal coverage harus dibarengi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan yang mampu melayani semua pesertanya secara optimal. Keterlibatan Rumah Sakit Swasta sebagai provider BPJS Kesehatan diharapkan mampu membantu pemerataan pelayanan kesehatan untuk peserta. Masing-masing rumah sakit swasta memiliki hak untuk bergabung atau tidak bergabung sebagai provider BPJS Kesehatan. Setelah bergabung sebagai provider BPJS tak jarang muncul permasalahan terkait BPJS di RS Swasta, mulai dari isu pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta, permasalahan klaim, ketidaksesuaian biaya operasional yang dibutuhkan RS dengan tarif INA-CBGs. ataupun keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS kesehatan yang semuanya dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang diterima peserta BPJS. 1,2Untuk mengetahui permasalahan permasalahan apa saja yang terjadi di RS Swasta di Palembang terkait BPJS serta upaya-upaya untuk penyelesaiannya, maka perlu dilakukan wawancara mendalam di Rumah Sakit tersebut.Metode PenelitianJenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan selama penelitian ini adalah wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pelabuhan Palembang pada bulan Maret 2015.Ada 2 teknik pengambilan sampel yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu purposive sampling dan snowball sampling3. Key Informant dipilih sebagai sampel karena mereka yang mengetahui dengan jelas permasalahan-permasalahan terkait BPJS yang terdapat di Rumah Sakit tersebut, secara langsung menerima pengaduan dan melaksanakan penyelesaian masalah terkait BPJS kesehatan sehingga mereka dapat memberikan secara langsung informasi tentang permasalahan terkait BPJS Kesehatan yang muncul di Rumah Sakit masing-masing.

Jika selama pengumpulan data, tidak lagi ditemukan informasi baru, maka pengumpulan data sudah dianggap selesai. Tetapi, jika data dari pemberi informasi masih kurang maka Key Informant akan ditambah. Teknik penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan wawancara mendalam.Hasil

1. Karakteristik Key Informant

Key Informant dalam penelitian ini terdiri dari empat orang dari empat pihak yang berbeda di Rumah Sakit Pelabuhan, yaitu pegawai bagian humas, pegawai bagian keuangan, bagian verifikator BPJS, dan pasien pengguna jasa pelayanan BPJS. Metode pengumpulan informasi dari Key Informant tersebut menggunakan metode wawancara mendalam. Lama wawancara mendalam bervariasi antara 835 menit dengan frekuensi wawancara sebanyak satu kali.

Karakteristik Key Informant meliputi peran dan jenis kelamin. Dua orang berjenis kelamin laki-laki (L) dan dua orang berjenis kelamin perempuan (P). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut:Tabel 1. Karakteristik InformanKey InformantPeranJenis Kelamin

1Bagian keuangan RS PelabuhanP

2Verifikator Internal BPJS RS PelabuhanP

3Bagian Humas RS PelabuhanL

4Pasien BPJS di RS PelabuhanL

2. Pelayanan Kesehatan2.1. Kuota Bed PasienKey Informant 2:

Tidak ada perbedaan kuota antara pasienBPJS dan umum. Asal ada bed kosong bisa digunakan oleh baik pasien BPJS atau pasien umum.

Key Informant 3:

Total bed 70 bed dan itu bisa dipakai oleh siapa saja. Selama ada bed kosong, pasien BPJS ataupun umum bisa menggunakannya. Yang beda hanya untuk kelas VIP. Kelas VIP lebih ditujukan untuk pasien umum, kecuali pasien bed sedang penuh dan pasien BPJS bersedia membayar selisih harga.

2.2. Proses BerobatKey Informant 4:

Pertama berobat ke puskesmas dulu di Boom baru. Disana diperiksa, diberitahu sakitnya apa, diberi resep untuk ditebus. Kalau perlu dirujuk, diberi rujukan ke rumah sakit pelabuhan. Surat rujukannya difotokopi. Datang ke rumah sakit bawa surat rujukan dan fotokopi kartu BPJS 2 lembar.Key Informant 2:

Pasien datang ke pendaftaran membawa rujukan 1 lembar, fotokopi kartu BPJS 2 lembar, ambil status di rekam medik, pelayanan ke poli, jika diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang, kemudian pasien ke apotik untuk mengambil obat atau ke bangsal jika dirawat inap dan ruangan tersedia2.3. Selisih BayarKey Informant 1:

Yang menghitung selisih pembayaran adalah bagian kasir. Setelah mendapatkn tarif berdasarkan diagnosis dan koding INACBGs, pihak pelayanan BPJS menyerahkannya ke kasir dan kasir yang menghitung selisihnya dengan tarif rumah sakit lalu menentukan biaya yang harus dibayarkan.Key Informant 2:

Semua perhitungan biaya yang ditanggung BPJS atau INA CBGs tergantung pada diagnosis akhir pasien yang diberikan dokter. Perhitungan biaya tersebut disesuaikan dengan jatah kelas pasien; kelas I, II, atau II. Sementara untuk pasien VIP, biaya pelayanan total selama di rumah sakit dikurangi dengan jatah INA CBGs sesuai kelas pasien tersebut, sehingga didapatkan nilai selisih yang harus dibayarkan pasien. Pasien VIP dianggap pasien umum.

2.4 Kesulitan Penggunaan Layanan BPJSKey Informant 4:

Selama ini tidak ada kesulitan. Iuran tidak ada, bayar juga tidak2.5 Perbedaan Pelayanan yang Lama dengan BPJS

Key Informant 4:

Lebih mudah menggunakan BPJS. Pelayanan jamkesmas dulu bisa harus bolak-balik sampai berkali-kali rasanya baru bisa berobat. Tetapi BPJS biasanya lama prosesnya. Daftar pagi, baru bisa berobat jam 5 sore nanti.

Key Informant 3:

Bedanya ada di INA CBGs. Dulu, pelayanan bergantung kepada keputusan dokter, jadi terserah pemeriksaan apa yang mau dokter lakukan, pengobatan apa yang mau diberikan. Sekarang, karena adanya INA CBGs, dimana biaya sudah ada jatahnya, dokter jadi harus pintar-pintar memilih pemeriksaan dan pengobatan yang akan diberikan. Jika tidak, rumah sakit pasti rugi.

2.6 Kepuasan Menggunakan BPJS

Key Informan 4:

BPJS ini memudahkan pasien. Mengurus obat juga jadi tidak sulit. Proses merujuknya jelas. Dibandingkan dengan jamkesmas dulu pelayanannya tidak jauh berbeda, hanya saja BPJS lebih mudah.

2.7 Keluhan tentang Pelayanan di Rumah Sakit

Key Informant 4:

Tidak ada. Pelayanan sudah bagus. Kalau masalah lama menunggu antrian berobat atau menunggu dokternya datang, bisa dimaklumi, karena jumlah pasien memang banyak.

3. Proses Verifikasi Klaim3.1. Verifikator BPJSKey Informant 2:

Verifikator adalah orang dari BPJS yang ditempatkan di rumah sakit. Jumlahnya satu orang di satu rumah sakit. Dari rumah sakit ini ada tim independen tersendiri untuk proses verifikasi, di rumah sakit ini ada 4 orang.

3.2. Kesanggupan Verifikator

Key Informant 2:

Seharusnya untuk setiap 1.000 surat eligibilitas dipegang oleh satu orang petugas, tapi sekarang ini sudah hampir mencapai 4.000 SE setiap bulannya. Tetapi disini Cuma ada satu orang, karena memang dari BPJS pun kewalahan dengan banyaknya pasien. Tapi kalau sudah terbiasa, jumlah berkas yang banyak tidak akan menjadi masalah lagi3.3. Kelengkapan Berkas Verifikasi

Key Informant 2:

Untuk rawat jalan itu SEP, fotokopi kartu BPJS 2 lembar, fotokopi resume pelayanan dan rujukan untuk pasien poli. Untuk rawat Inap SEP, fotokopi kartu BPJS 2 lembar, data-data penunjang misalnya data laboratorium, rontgen, scanning dan surat permintaan rawat inap. Untuk pasien yang dioperasi harus ada laporan operasinya, bukti tindakan operasinya.

3.4. Proses Verifikasi

Key Informant 2:

Sebenarnya kami tingal meneruskan tulisan dokter ke bahasa coding, dimasukan ke aplikasi INA-CBGs. Di awal dulu memang kami kesulitan, karena seluruh berkas masuk kesini, kami yang merapikan berkas, tapi sekarang sudah tersistem. Pasien datang ke pendaftaran membawa rujukan 1 lembar, fotokopi kartu BPJS 2 lembar, ambil status di rekam medik, lalu diberi pelayanan ke poli, dari poli ke apotik lalu ke kasir. Setelah dari kasir, berkas sudah lengkap dan baru kami koreksi. Setelah berkas dinilai kelengkapannya, dilakukan coding diagnosis pasien sesuai dengan resume medis di aplikasi INA-CBGs. Setelah dari kita, verifikasi terakhir oleh verifikator BPJS Klaim nanti diajukan secara kolektif ke BPJS setiap bulan.

Key Informan 1:

Di kita cuma menagih ke BPJS, perhitungan biaya dilakukan oleh verifikator.

3.5. Kendala Proses Coding

Key Informant 2:

Kendala yang sering ditemui, penyelarasan bahasa diagnosis dokter ke ICD 10, istilah diagnosis kadang berbeda antara tulisan dokter di resume dengan ICD 10, terkadang kode dari ICD 10 pas dicemplungin ke aplikasi INA-CBGs beda lagi. Jadi kita cari penyelarasannya, BPJS kan mengacu ke diagnosa tulisan dokter, jadi kita cari kode di ICD yang mirip dengan tulisan dokter, kayak CAD kita cari penyelerasannya sama dengan HHD. Karena kalo kita masukin CAD ke klaim, tidak akan dibayar karena tidak ada di INA-CBGs.

3.6. Tingkat Kesulitan Proses Verifikasi

Key Informant 2:

Kalau sudah terbiasa, terasa mudah. tapi terkadang ada perubahan peraturan dari BPJS, jadi harus menyesuaikan lagi. Makin kesini makin banyak perubahan di BPJSnya, tapi pas udah nyaman peraturannya berubah lagi. Selama 3 bulan ini sudah ada 3 kali perubahan. Peraturan dari mereka yang sering bikin ribet.

3.7. Pelatihan Verifikator

Key Informant 2:

Ada, bulan Desember 2013 untuk rumah sakit swasta yang belum pernah kerja sama dengan ASKES, tapi bentuk pelatihannya cuma penjelasan mengenai koding dasar, bukan pelaksanaan. Jadi waktu mulai beroperasi kita belajar sambil jalan secara otodidak

4. Klaim ke BPJS4.1. Batasan Menyerahkan Klaim ke BPJS

Key Informant 2:

Maksimal tanggal 15, tetapi terkadang situasi kondisi tidak memungkinkan, mundur sampai tanggal 20an, kita sudah buat kesepakatan karena mereka juga keteteran.

Key Informant 1:

Tergantung kapan perhitungan biaya berdasarkan coding itu diberikan ke kami, bulan ini agak terlambat karena ada sedikit masalah akibat perubahan sistem

4.2. Pembayaran Klaim

Key Informant 2:

Pembayaran klaim tergantung kita, kalau closing kita cepat, dan segera nyerahin ke BPJS, 3 hari sudah dibayar. Terkadang ada klaim yang tidak dibayar, Karena misal pada hari ini kita sudah beri pelayanan, kasih obat dsb, kemudian pasiennya dirawat inap biaya rawat jalannya tidak dibayar. Solusinya biaya rawat jalan sebelumnya ditambahkan ke biaya rawat inap. Kalau ada pasien yang rencana akan dirawat inap, misal mau operasi biasanya kan di rawat jalan dilakukan konsul, ekg, rontgen, nanti pemeriksaan itu dimasukkan ke rawat inap.Key Informant 1:

Kurang lebih 1 minggu. Jumlah yang dibayarkan sesuai dengan yang ditagihkan.

5. Rasionalitas Bergabung dengan BPJS5.1. Perbedaan Tarif RS dan INA-CBGs

Key Informant 2:

Setiap tarif untuk setiap penyakit berbeda. Perbedaan tarif rumah sakit dengan tarif INA-CBGs bisa menguntungkan rumah sakit, bisa juga merugikan -- tergantung diagnosis dan tarif dasarnya. Ada diagnosis yang tarif rumah sakitnya lebih tinggi, ada yang tarif BPJS-nya yang lebih tinggi.

5.2. Keuntungan Bergabung dengan BPJS

Key Informant 2:

Semuanya tergantung dari jumlah pasien masuk dan diagnosis akhir yang diberikan dokter. Kalau pasien yang masuk dengan diagnosis yang tarif BPJS-nya lebih tinggi dibanding tarif rumah sakit, maka rumah sakit untung. Kalau pasien yang masuk dengan diagnosis yang tarif rumah sakitnya lebih tinggi, maka rumah sakit rugi. Jadi dalam satu bulan tidak tentu, bisa rugi, bisa untung. Tapi sejauh apapun kerugian yang ditanggung, tidak sampai bisa membuat rumah sakit kolaps. Selain itu karena RS kita cukup berprestasi dalam hal BPJS, kita diberi investasi dengan pembangunan ruang rawat inap oleh perusahaan, jumlah bed bertambah menjadi 200.

Key Informant 1:

Tidak tentu, rumah sakit bisa diuntungkan bisa juga dirugikan. Tergantung diagnosis pasien dan tarif INACBGs-nya

5.3. Kerugian Bergabung dengan BPJS

Key Informant 2:

Bisa dibilang tidak ada. Awalnya kita mengira RS bakal kolaps, tapi alhamdulillah manajemen sudah memikirkan dan mempelajari sebelum bergabung, RS sudah menyiasati sendiri tarif sebelum bergabung jadi saat pelaksanaan sudah terbiasa. Untuk operasi SC yang benar-benar rugi, cuma dibayar 3,6 juta padahal biayanya lebih dari 7 juta.

Key Informant 3:

Pada dasarnya, untung rugi itu dilihat dari diagnosis pasien yang lebih banyak. Ada diagnosis yang tarif INA CBGsnya lebih tinggi dari tarif rumah sakit, disitu rumah sakit diuntungkan. Tapi ada juga diagnosis yang tarif INA CBGsnya lebih rendah dari tarif rumah sakit, disitu rumah sakit dirugikan. Sehingga untung ruginya tidak menentu, tergantung pada diagnosis pasienPembahasan1. Pelayanan KesehatanProses pelayanan peserta BPJS di rumah sakit (Fasilitas Kesehatan Tingkat Kedua) dimulai dengan proses rujukan dari Faskes Tingkat Pertama atau dapat secara langsung ke rumah sakit tanpa melalui Faskes Tingkat Pertama pada kondisi gawat darurat. Untuk proses rujukan, peserta mula-mula datang ke Faskes tingkat pertama (Puskesmas, klinik dokter mandiri), dilakukan pemeriksaan dan penegakan diagnosis, selanjutnya apabila berdasarkan pertimbangan dokter di faskes primer pasien memerlukan pengobatan lebih lanjut (dirujuk) maka pasien akan dirujuk ke rumah sakit (Faskes tingkat kedua) provider BPJS terdekat dengan menyertakan surat rujukan..

Proses pelayanan pasien di rumah sakit sebagai berikut:

a. pasien diberi nomor antrian

b. menunggu hingga giliran mendaftar

c. mengurus pendaftaran dengan menyerahkan surat rujukan dan 2 lembar fotokopi kartu BPJS

d. diberi lembar status baru (untuk pasie baru); diberi lembar status lama dari bagian rekam medik

e. pelayanan di poliklinik (pemeriksaan oleh dokter, penegakan diagnosis)f. pemeriksaan penunjang di laboratorium/radiologi (jika dibutuhkan) pengambilan obat di apotek (pasien rawat jalan); perawatan di instalasi rawat inap (pasien rawat inap)Di rumah sakit tempat penelitian, tidak ada pembagian kuota tempat perawatan untuk pasien BPJS dan non-BPJS. Semua tempat perawatan kelas I, II, dan III dapat digunakan oleh baik pasien BPJS ataupun non-BPJS. Pembagian tempat perawatan didasarkan pada kelas BPJS yang diambil peserta, peserta BPJS kelas I mendapatkan ruang perawatan kelas I, peserta kelas II mendapatkan ruang perawatan kelas II, dan peserta BPJS kelas III mendapatkan ruang perawatan kelas III. Dalam kondisi ruang perawatan sesuai kelas penuh, peserta BPJS dapat menggunakan ruang perawatan pada kelas dibawah kelasnya tanpa terkena selisih pembayaran, atau menggunakan ruang perawatan pada kelas lebih tinggi dengan membayar selisih pembayaran di kasir di akhir perawatan. Penghitungan selisih pembayaran dilakukan oleh kasir setelah mendapatkan tarif berdasarkan diagnosis dan koding INA-CBGs yang didapatkan dari pihak verifikasi BPJS. Penghitungan selisih pembayaran berdasarkan perhitungan sebagai berikut:

a. Pasien yang mengambil ruang perawatan dibawah kelasnya tidak terkena selisih bayar dan tidak mendapatkan biaya pengganti.

b. Pasien yang mengambil ruang perawatan diatas kelasnya (kelas I dan II untuk pasien kelas III; kelas I untuk pasien kelas II) membayar selisih tarif INA-CBG's untuk diagnosis yang sama pada kelas yang didapat dengan kelas kepesertaan pasien.

c. Pasien yang mengambil ruang perawatan VIP/S-VIP membayar selisih tarif perawatan berdasarkan perhitungan tarif rumah sakit untuk pasien umum dikurang tarif yang dibayar oleh BPJS berdasarkan INA-CBGs sesuai kelas kepesertaan pasien.2. Proses VerifikasiVerifikasi adalah kegiatan penilaian administrasi klaim yang diajukan oleh PPK dan dilakukan oleh pelaksana verifikasi (verikator) dengan mengacu kepada standar penilaian klaim.Verifikator adalah petugas perwakilan BPJS yang ditempatkan di masing-masing rumah sakit yang melaksanakan penilaian administrasi klaim yang diajukan PPK dengan mengacu kepada standar penilaian klaim, dan memproses klaim sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya.3,6 Kapasitas kerja untuk satu verifikator BPJS adalah 1000 SEP per bulan, tetapi pada kenyataannya di salah satu rumah sakit tipe D, berkas klaim (termasuk didalamnya SEP) dapat mencapai 4.000 berkas. Disini terlihat kelemahan di segi jumlah SDM dalam bidang verifikasi. Di setiap rumah sakit juga terdapat tim verifikasi internal yang memastikan kelengkapan dan keabsahan berkas klaim sebelum diverifikasi oleh verifikator. Di Rumah Sakit Pelabuhan tim ini hanya terdiri dari 4 orang: 1 orang mengurus berkas pasien rawat inap, 1 orang mengurus berkas pasien rawat jalan, 1 orang mengurus bagian IT, dan 1 orang dokter untuk mengecek kesesuaian diagnosis dengan hasil koding.Proses verifikasi klaim terdiri dari dua proses, yaitu Verifikasi Administrasi Kepesertaan dan Verifikasi Pelayanan Kesehatan. Verifikasi Administrasi Kepesertaan adalah suatu cara untuk mengetahui kelengkapan dan kesesuaian berkas klaim, yaitu antara Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dengan data kepesertaan yang diinput dalam aplikasi INA-CBGs. penunjang atau hard copy yang diajukan oleh fasilitas kesehatan. Verifikasi Pelayanan Kesehatan dilakukan untuk memastikan kode diagnosa dan prosedur yang dientry oleh rumah sakit sesuai dengan resume medis dan berkas pendukung yang dilampirkan.3,4,5Tahapan selanjutnya adalah verifikasi administrasi pelayanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam verifikasi administrasi pelayanan adalah:

a. Mencocokkan kesesuaian berkas klaim dengan berkas yang dipersyaratkan sebagaimana tersebut pada poin 1a diatas (diuraikan termasuk menjelaskan tentang kelengkapan dan keabsahan berkas)

b. Apabila terjadi ketidak sesuaian antara kelengkapan dan keabsahan berkas maka berkas dikembalikan ke RS untuk dilengkapi.

c. Kesesuaian antara tindakan operasi dengan spesialisasi operator ditentukan oleh kewenangan medis yang diberikan Direktur Rumah Sakit secara tertulis.3Proses verifikasi di rumah sakit pelabuhan dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, pertama proses verifikasi dilakukan oleh tim verifikator internal kemudian berkas yang telah diverifikasi diserahkan kepada verifikator BPJS di RS tersebut untuk dilakukan verifikasi akhir. Hal-hal yang menjadi kewajiban verifikator BPJS adalah memastikan kesesuaian diagnosis dan prosedur pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9 CM (dengan melihat buku ICD 10 dan ICD 9 CM atau softcopy-nya). Ketentuan coding mengikuti panduan coding yang terdapat dalam Juknis INA-CBG. Selain itu verifikator juga harus memastikan semua proses konsultasi antara pasien dan dokter serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi medis dan obat yang diberikan pada hari pelayanan yang sama. Verifikator juga harus memastikan bahwa tidak ada diagnosis yang dikode terpisah padahal seharusnya dapat dikode menjadi satu.Masalah yang sering dihadapi oleh tim verifikasi internal adalah penumpukan berkas apabila salah satu anggota tim izin atau cuti dan kehilangan salah satu berkas kelengkapan. Solusi untuk penumpukan berkas adalah dengan anggota tim lain mem-backup pekerjaan, penumpukan berkas klaim dikerjakan bersama-sama. Untuk berkas yang hilang, akan dilakukan penelusuran mulai dari bagian pendaftaran, poliklinik, bagian pemeriksaan penunjang, apotek, hingga kasir dengan panduan buku ekspedisi.

Permasalahan juga muncul pada tahap koding. Kendala yang sering ditemui berupa penyelarasan bahasa diagnosis dokter ke ICD 10, istilah diagnosis pada resume medis kadang tidak berdasarkan ICD 10 sehingga tim verifikasi harus mencari penyelarasan kode diagnosis di ICD 10. Tidak jarang tim verifikasi harus mengkonfirmasi ulang ke DPJP untuk mencari padanan istilah pada ICD 10. Perbedaan semacam ini juga muncul saat proses input di aplikasi INA-CBGs. Beberapa diagnosis tidak tercantum di paket INA-CBGs yang berarti klaim tidak dapat diverifikasi dan rumah sakit tidak akan dibayar untuk proses pelayanan pasien. Menanggapi hal ini, tim verifikasi akan mengubah diagnosis dengan diagnosis yang mirip agar klaim dapat diajukan. Sebagai contoh, diagnosis Coronary Artery Disease tidak tercantum dalam paket INA-CBG, tim verifikasi mengganti dengan diagnosis HHD agar klaim dapat diterima. Hal semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan, karena akan terjadi perbedaan antara resume medis dengan klaim yang diajukan. Kelemahan terdapat di paket INA-CBG yang belum mencakup seluruh jenis diagnosis, akan tetapi ICD 10 dan INA-CBGs selalu mengalami pembaharuan (update) sehingga diharapkan masalah seperti ini dapat diminimalisir.6Setelah seluruh berkas klaim dalam satu bulan selesai terverifikasi, maka dilakukan penghitungan jumlah tagihan. Jumlah tagihan akhir ini diserahkan ke bagian keuangan untuk kemudian diurus untuk diajukan penagihan ke BPJS tingkat kota. Penyerahan berkas klaim paling lambat tanggal 10 setiap bulannya.2,3 Akan tetapi pada pelaksanaan, keterlambatan penyerahan berkas klaim dapat diterima karena ada kesepakatan antara rumah sakit provider dengan BPJS mengingat jumlah berkas klaim tiap bulan, keterbatasan jumlah verifikator, dan proses penyesuaian terhadap prosedur baru. Secara keseluruhan, kelancaran proses verifikasi ditentukan oleh pengalaman tim verifikasi. Jika sudah terbiasa, jumlah berkas yang banyak pun tidak menjadi masalah. Tetapi terkadang ada perubahan peraturan dari BPJS, sehingga tim harus menyesuaikan, dan hal ini tentu membutuhkan waktu. Dalam tiga bulan pertama di tahun 2015, ada tiga kali perubahan peraturan oleh BPJS. Sosialisasi perubahan peraturan tidak selalu berjalan baik. Proses sosialisasi terkadang dilakukan secara langsung dengan mengumpulkan perwakilan tim verifikasi dan memberikan penjelasan langsung, tetapi terkadang hanya sebatas melalui surat yang tak jarang terhenti di direktur RS sehingga tim verifikasi tidak mengetahui perubahan. Dampaknya adalah keterlambatan penyerahan berkas klaim ke BPJS dikarenakan tim harus melakukan koreksi ulang pada bagian yang mengalami perubahan. Perbaikan proses sosialisasi sangat diharapkan untuk mengatasi permasalahan ini.3. Pengajuan Klaim ke BPJSFasilitas kesehatan tingkat lanjutan mengajukan klaim setiap bulan secara reguler paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen klaim diterima lengkap di Kantor Cabang BPJS Kesehatan. Terdapat kendala seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyebabkan Faskes kadangkala tidak dapat menyelesaikan verifikasi berkas klaim tepat waktu sehingga penyerahan dokumen klaim ke BPJS melebihi tenggat waktu. Permasalahan seperti ini sepertinya tidak hanya terjadi pada rumah sakit yang diteliti, tetapi juga di rumah sakit provider BPJS Kesehatan lainnya. Sangat disayangkan penelitian ini hanya dapat dilakukan di satu rumah sakit sehingga tidak mampu mendapatkan informasi yang berbeda. Pembayaran klaim oleh BPJS diakui oleh rumah sakit tidak pernah melebihi 15 hari setelah penyerahan berkas klaim. BPJS Kesehatan membayar klaim pada hari ke 3-7 setelah penyerahan klaim. 4. Rasionalitas Bergabung dengan BPJS

Pemerintah menargetkan tercapainya Universal Health Coverage melalui kepesertaan BPJS pada tahun 2019. Yang berarti pada tahun 2019 semua warga negara Indonesia tergabung sebagai peserta BPJS. Pada tahun 2014, Pemerintah menargetkan sebanyak 121,6 juta penduduk akan diberikan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Jumlah dimaksud diasumsikan berasal dari program Jamkesmas, PT Askes, Jamsostek dan jaminan kesehatan masyarakat umum dari pemerintah daerah. Jumlah ini terus bertambah seiring dengan proses promosi BPJS yang dinilai cukup berhasil. Meskipun fasilitas kesehatan milik pemerintah diwajibkan menjadi provider BPJS Kesehatan, jumlah dan persebarannya tidak akan cukup untuk mengakomodir pelayanan kesehatan untuk peserta BPJS Kesehatan yang semakin hari semakin bertambah. Pemerintah mengambil solusi untuk ketimpangan jumlah provider dengan jumlah peserta dengan memberikan kesempatan untuk fasilitas kesehatan swasta untuk bergabung sebagai provider, tentu saja dengan syarat dan aturan yang telah ditentukan. Penerapan Universal coverage akan memberi pengaruh besar pada pangsa pasar rumah sakit swasta. Pertambahan jumlah peserta BPJS berbanding terbalik dengan jumlah pasien umum yang menjadi sasaran rumah sakit swasta. Hal ini dijadikan pertimbangan oleh rumah sakit untuk ikut serta dalam program BPJS dengan menjadi rumah sakit rujukan tingkat lanjutan bagi peserta BPJS yang berada di daerah ruang lingkup RS.Tarif pelayanan pasien di Rumah sakit rujukan tingkat lanjutan berdasarkan tarif Indonesia Case-Base Groups (INA-CBGs). INA-CBGs adalah sistem pengelompokan penyakit pasien berdasarkan ciri klinis yang sama dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan. Pengelompokan ini ditujukan untuk pembiayaan kesehatan pada penyelenggaraan jaminan kesehatan sebagai pola pembayaran yang bersifat prospektif. Manfaatnya untuk menetapkan standar tarif dan lebih memberikan kepastian pada setiap penyakit yang diderita pasien. Pengelola rumah sakit swasta khawatir dengan kerugian yang akan diderita karena tarif INA-CBGs yang lebih rendah daripada tarif rumah sakit akan menurunkan kualitas pengobatan, atau akan membuat rumah sakit merugi. Begitu juga yang diperkirakan oleh salah seorang narasumber, narasumber berpendapat rumah sakit akan kolaps setelah bergabung dengan BPJS karena rendahnya tarif INA-CBGs. Tetapi pihak rumah sakit telah melakukan pertimbangan dengan mempelajari dahulu dan mencoba menerapkan paket INA-CBGs, mencari kelemahan dan solusi dari kelemahan tersebut. 5Alasan lain dari rumah sakit swasta merasa keberatan dengan tarif INA-CBGs adalah mereka memiliki beban yang berat untuk membayar pajak tinggi. Berbeda dengan rumah sakit pemerintah yang mendapat subsidi dan pajak ringan. Menanggapi kondisi ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mewakili Rumah sakit swasta mengajukan pemberian intensif fiskal kepada rumah sakit swasta yang mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Insentif fiskal ini akan berupa keringan pajak yang akan direalisasikan pada pertengahan tahun 2015. Selain itu BPJS juga akan memberikan subsidi pada perusahaan farmasi sehingga tarif obat menjadi lebih murah. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dan BPJS agar semakin banyak RS swasta yang mau bergabung dengan BPJS. Setiap tarif untuk setiap penyakit berbeda. Perbedaan tarif rumah sakit dengan tarif BPJS bisa menguntungkan rumah sakit, bisa juga merugikan, tergantung diagnosis dan tarif dasarnya. Pada dasarnya, untung rugi itu dilihat dari diagnosis pasien yang lebih banyak. Ada diagnosis yang tarif INA CBGsnya lebih tinggi dari tarif rumah sakit, disitu rumah sakit diuntungkan. Tapi ada juga diagnosis yang tarif INA CBGsnya lebih rendah dari tarif rumah sakit, disitu rumah sakit dirugikan. Sehingga untung ruginya tidak menentu, tergantung pada diagnosis pasien. Sayangnya peneliti tidak berhasil mendapatkan informasi lebih rinci untuk hal ini. Namun berdasarkan pengakuan dari pihak pemasaran dan tim verifikasi sejauh ini rumah sakit tempat penelitian dapat dikatakan tetap mendapat keuntungan dari pelayanan BPJS Kesehatan. KESIMPULAN DAN SARANPermasalahan yang dihadapi oleh rumah sakit tempat penelitian dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan peserta BPJS terdapat pada proses verifikasi dan tarif INA-CBGs yang masih dianggap terlalu rendah untuk beberapa diagnosis penyakit. Kendala dalam proses verifikasi adalah jumlah petugas verifikasi yang terbatas, kurangnya pelatihan proses verifikasi, penyelarasan kode diagnosis ke dalam INA-CBGs, proses sosialisasi perubahan aturan verifikasi yang terkadang terlambat sampai ke petugas verifikasi. Dampak dari kendala proses verifikasi ini adalah terlambatnya penyerahan dokumen klaim dari RS ke BPJS. Keterlambatan penyerahan klaim sepertinya tidak hanya dialami oleh rumah sakit tempat penelitian, sehingga telah ada kesepakatan dengan kantor BPJS kesehatan tingkat kota untuk kelonggaran penyerahan berkas klaim. Sayangnya penelitian hanya dapat dilaksanakan di satu rumah sakit. Masalah keterlambatan pembayaran klaim tidak dialami oleh rumah sakit tempat penelitian. Tarif INA-CBGs untuk beberapa diagnosis dinilai rendah dibanding tarif rumah sakit sehingga ditakutkan rumah sakit akan merugi. Tetapi sejauh ini rumah sakit tempat penelitian mengaku tetap mendapat keuntungan dari pelayanan pasien BPJS. Mengenai besaran tarif INA-CBGs telah dilakukan revisi untuk 39 diagnosis penyakit yang telah disahkan pada 1 September 2014. Kedepannya diharapkan terus dilakukan kajian mengenai besaran tarif INA-CBGs. Dalam pemberitaan seringkali ada dugaan beberapa rumah sakit melakukan kecurangan dengan meng-up coding diagnosis pasien karena tarif yang rendah. Pada penelitian ini tidak didapatkan informasi mengenai hal semacam ini.

Saran antara lain1. Untuk bagian SDM hendaknya melakukan penilaian terhadap beban kerja petugas verifikasi dan mempertimbangkan penambahan petugas yang telah diberikan pelatihan proses verifikasi agar proses verifikasi dapat selesai sesuai waktunya dan tidak terjadi keterlambatan penyerahan dokumen klaim ke kantor cabang BPJS Kesehatan. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pelaksanaan pelayanan BPJS Kesehatan di rumah sakit milik pemerintah untuk mengetahui strategi penyelesaian masalah terkait pelaksanaan yang dapat dijadikan informasi yang membantu bagi rumah sakit lain yang sudah atau yang ingin bergabung sebagai provider BPJS.

3. Untuk BPJS Kesehatan hendaknya memperbaiki sistem sosialisasi perubahan sistem verifikasi ke rumah sakit dengan memberikan sosialisasi dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk pelatihan kepada tenaga verifikasi sebelum perubahan sistem diberlakukan agar proses verifikasi tidak terhambat karena harus mengoreksi ulang akibat ketidaktahuan proses verifikasi yang telah berubah.

4. Untuk Pemerintah diharapkan dapat merealisasikan usulan pemberian insentif terutama insentif fiskal berupa keringanan pajak kepada fasilitas kesehatan swasta yang bergabung dengan BPJS Kesehatan agar beban pajak yang tinggi tidak lagi menjadi alasan Rumah Sakit untuk tidak bergabung sebagai provider BPJS Kesehatan.DAFTAR ACUAN1. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta.2. Putri, A.E. 2014. Paham BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Cetakan I. Friedrich-Ebert-Stiftung. Jakarta.3. BPJS Kesehatan. 2014. Panduan Praktis Administrasi Klaim Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 4. BPJS Kesehatan. 2014. Peraturan BPJS Kesehatan No 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 5. Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Tingkat Pertama dan Tingkat Lanjutan. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.

6. BPJS Kesehatan. 2014. Petunjuk Teknis Verifikasi Klaim. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.