BPJS REFERAT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MAGISTER HUKUM KESEHATAN ANI SURYANI

Citation preview

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

MEDIKOLEGAL BPJS DI INDONESIA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG DOKTER SEBAGAI PELAKSANA TENAGA MEDIS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh :

RifqaWildaini 030.07.218

Oryza Sativa 030.08.189

Ali Aufar Hutasuhut 030.09.008

Henza Ayu Primalita 030.09.110

Melia Indasari 030.09.149

Nurul Vitria 030.09.175

Ila Mahira 030.10.131

Dosen Pembimbing : dr. Santoso, Sp.FResiden Pembimbing : dr. Devi Novianti S

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

RSUP DR.KARIADI SEMARANG

Periode 22 September 2014 18 Oktober 2014BAB I

PENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANGSetiap orang memiliki resiko jatuh sakit dan membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat ke rumah sakit, khususnya untuk penyakit kronis atau tergolong berat. untuk meringankan biaya, pemerintah memberian keringanan biaya dengan mengeluarkan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), program pelayanan kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif, diatur dalam undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial. Kedua aturan itu, dimaksudkan untuk menjamin pemerataan dan keadilan serta kemandirian masyarakat dengan dilakukan transformasi dari PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan. Sebagai satu-satunya Badan Publik yang mengelola dana masyarakat dan Pemerintah untuk memberikan jaminan sosial di bidang kesehatan dituntut pengelolaan organisasi yang profesional dan akuntabel. BPJS Kesehatan menyadari arti pentingnya implementasi Good Governance dalam meningkatkan profesionalisme pengelolaan dana jaminan dan layanan kesehatan sekaligus menjaga pertumbuhan serta menjamin kesinambungan penyediaan jaminan kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu BPJS Kesehatan berkomitmen untuk menerapkan Tata Kelola yang Baik (Good Governance) secara konsisten, dalam hal ini berupa peninjauan ulang kendala-kendala yang ada pada operasional program BPJS dan menindak lanjuti solusinya.1 Sejak per 1 Januari 2014 pelaksanaan JKN yang dioperatori BPJS kesehatan, sudah berjalan relatif baik namun upaya reformasi program jaminan sosial untuk memberikan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai permasalahn di lapangan, diakui terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya, yang mengakibatkan kerugian baik pada tenaga kesehatan, rumah sakit dan khususnya masyarakat pengguna BPJS. Permasalahan ini harus dipahami sebagai koreksi positif bagi BPJS agar bisa beroperasi dengan optimal dalam rangka memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.21.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan BPJS serta kegunaannya bagi masyarakat?2. Apa saja landasan hukum terkait dibentuknya BPJS?3. Bagaimana pelaksanaan dokter sebagai dokter layanan primer di era SKN?1.3 TUJUAN PENULISAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk memperoleh informasi mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditinjau dari aspek medikolegal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui sejarah awal didirikannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

2. Untuk mengetahui landasan hukum didirikannya pelayanan ksehatan bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).3. Untuk mengetahui peran dokter serta badan hukum yang melindungi dokter dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).BAB II

PEMBAHASAN2.1 DEFINISI

Sebelum membahas pengertian asuransi kesehatan sosial (jaminan kesehatan nasional), beberapa pengertian yang patut diketahui terkait dengan asuransi tersebut adalah: 3 Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004).1 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.1 Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Dengan demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui sistem Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuan program ini adalah supaya semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak.1,2,3

Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2014. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS dibentuk untuk melaksanakan jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Berbagai hal yang terkait dengan BPJS, mulai dari ketentuan umum, pembentukan dan ruang lingkup, status dan kedudukan, fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban, pendaftaran peserta dan pembayaran iuran, hingga struktur organisasi BPJS diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2,32.2 SEJARAH BPJS

Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911, yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman, pada tahun 1883. Setelah itu, banyak negara lain yang menyelenggarkan JKN, seperti Kanada (1961), Taiwan (1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000).1

Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke berbagai negara untuk belajar tentang sistem JKN, maka pada tanggal 28 September 2004, Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui Rapat Pleno DPR untuk diundangkan. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengundangkan UU SJSN dengan upacara khusus yang dihadiri menteri-menteri terkait dan anggota inti Tim SJSN. Penempatan UU SJSN dalam Lembaran Negara dengan upacara spesial tersebut bukan tanpa alasan. Tidak banyak pejabat publik yang mengetahui bahwa UU SJSN tersebut merupakan inti dari suatu tujuan dibentuknya Indonesia dan merupakan penjabaran pasal 34 UUD45 hasil amandemen keempat tahun 2002.1

Baru saja tiga bulan UU SJSN diundangkan, UU ini diuji materi ke Mahkamah Konstitusi karena badan penyelenggara yang ditetapkan dalam UU yang kemudian diberi nomor 40 tahun 2004 dianggap monopolistik Pemerintah. Sesungguhnya, penyelenggaraan jaminan sosial memang umumnya Monopolistik Pemerintah (Pusat atau Federal). Di Amerika Serikat yang sangat kapitalis dan anti-monopoli, penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang diberi nama OASDHI (old age, survivor, disability, and health insurance), yang dimulai tahun 1935, tetap masih diselenggarakan oleh Pemerintah Federal. Sayangnya di Indonesia, tidak banyak akademisi, pejabat publik, tokoh masyarakat, dunia usaha, politisi, maupun pengamat publik yang memahami konsep jaminan sosial dan penyelenggaraannya. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 31 Agustus 2005 tentang uji materi UU SJSN memperkuat UU SJSN karena keputusan MK menyatakan bahwa keempat BPJS sah sebagai badan penyelenggara tingkat nasional dan UU SJSN telah memenuhi amanat UUD45. Sayangnya lagi, banyak pejabat publik yang tidak sepaham dan tidak segera menjalankan perintah UU SJSN tersebut. Kontroversi penyelenggaraan, khusunya badan penyelenggara, masih saja terus terjadi sampai akhir tahun 2008, tanpa ada perubahan penyelenggaraan jaminan sosial, seperti yang diamanatkan UU SJSN dan keputusan MK. Perebutan badan penyelenggara, yang dinilai potensial memegang uang dalam jumlah besar, tampaknya menjadi topik yang paling panas. Padahal, dalam sebuah sistem jaminan sosial yang paling penting adalah bagaimana manfaat (benefit) jaminan sosial, dalam hal ini jaminan kesehatan, dapat diterima seluruh rakyat dengan kualitas dan kuantitas yang memadai.12.3 PRINSIP-PRINSIP JAMINAN KESEHATAN NASIONALJaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) berikut:

1. Prinsip kegotongroyonganGotong royong sudah merupakan salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat dan Indonesia juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit.32. Prinsip nirlaba

Pengelolaan dana oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Namun tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.33. Prinsip portabilitas

Prinsip portabilitas jaminan sosial bertujuan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.34. Prinsip kepesertaan bersifat wajib

Prinsip kepesertaan wajib ditujukan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat tercakup dalam jaminan kesehatan nasional. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiri, sehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat mencakup seluruh rakyat.35. Prinsip dana amanat

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara agar dapat dikelola degan sebaik-baiknya dalam rangka memaksimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.36. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial

Dana yang sudah terkumpul dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk kepentingan peserta.3

2.4 LANDASAN HUKUM BPJS31) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);4. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 230 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5473).4) Peraturan pemerintah Nomor 85 tahun 2013 tetntang Tata cara hubungan antar lembaga badan penyelenggara jaminan sosial (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2013 nomor 230 tambahan lembaran negara nomor 5473)5) Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 2013 tentang pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 nomor 239 tambahan lembaran negara nomor 5482)6) Peraturan Pemerintah Nomor 88 tahun 2013 tentang Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi anggota dewan pengawas dan anggota direksi badan penyelenggara jaminan sosial (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2013 nomor 240 tambahan lembaran negara nomor 5483)7) Peraturan dewan pengawas BPJS Kesehatan nomor per-01/Dewas.BPJS-Kesehatan/2014 tentang tata cara pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang dewan pengawas BPJS kesehatan.8) Peraturan dewan pengawas BPJS Kesehatan nomor per-02/Dewas.BPJS-Kesehatan/2014 tentang organ pendukung dewan pengawas bpjs kesehatan.9) Peraturan dewan pengawas BPJS Kesehatan nomor per-03/Dewas.BPJS-Kesehatan/2014 tentang piagam komite audit BPJS Kesehatan.10) Peraturan dewan pengawas BPJS Kesehatan nomor per-04/Dewas.BPJS-Kesehatan/2014 tentang piagam komite audit BPJS kesehatan.11) Peraturan Direksi BPJS Kesehatan nomor 15 tahun 2014 tentang struktur organisasi BPJS Kesehatan tahun 2014.12) Peraturan direksi BPJS Kesehatan nomor 0121 tahun 2014 tentang pedoman internal dan rencana pengembangan manajemen aktuaria BPJS Kesehatan13) Keputusan direksi BPJS Kesehatan Nomor 63 tahun 2014 tentang pembagian tugas dan wewenang anggota direksi.2.5 PERAN DOKTER DALAM PELAYANAN PRIMER

Selama ini, dua istilah dokter umum dan dokter layanan primer sulit dibedakan. Penggunaan istilah-istilah tersebut sering tumpah tindih dan overlapping. Pada UU No 20 Tahun 2013, istilah Dokter Layanan Primer tak dideskripsikan secara rinci dan hanya disebutkan untuk diatur kembali melalui peraturan pemerintah. Penggunaan istilah ini penting, mengingat selama ini istilah dokter layanan primer seringkali diidentifikasi sebagai dokter-dokter lulusan fakultas kedokteran/program studi pendidikan dokter. Sementara di pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013, dokter layanan primer adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan program interrnship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis. Menurut dr. Sugito Wonodirekso, M.S., DPU, PKK, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), perbedaan dua istilah sebenarnya dapat dilakukan melalui identifikasi terhadap tingkat pendidikan masing masing.4 Lulusan fakultas kedokteran/program studi pendidikan dokter dapat dianggap sebagai dokter layanan primer dasar (basic primary care doctor) karena kewenangannya hanya sebatas pelayanan primer. Mereka sebenarnya dapat juga dianggap sebagai dokter praktik umum atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai General Practitioner. Istilah ini digunakan karena cakupan batasan pelayanan yang diberikan tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, sistem organ, dan jenis penyakit pasien. Istilah dokter praktik umum, dan bukan dokter umum, disepakati untuk digunakan sebagai terjemahan dari istilah General Practitioner, dalam Muktamar IDI tahun 2000 di Malang.4

Terkait UU No 20 tahun 2013, perlu ditekankan bahwa sebenarnya dokter-dokter freshgraduated adalah dokter layanan primer dasar (basic primary care doctor), yang memerlukan suatu proses pendidikan lanjutan untuk menjadi dokter layanan primer paripurna (advanced primary care doctor). Di Inggris dan negara-negara persemakmuran Britania, proses pendidikan lanjutan ini adalah berupa proses magang selama 3 tahun untuk dokter-dokter lulusan fakultas kedokteran di tempat praktek dokter-dokter senior bersertifikat selama 3 tahun.5

Di berbagai kesempatan yang dihadirkan, pengurus besar PDKI menyampaikan suatu gambaran proses pendidikan dokter layanan primer paripurna yang berlangsung selama 2 tahun dan 1 tahun masa internship.5 Gambaran yang disampaikan PDKI bersesuaian dengan pasal 8 ayat 3 UU No 20 Tahun 2013 bahwa program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.. Gambaran yang disampaikan PDKI ini disebut sebagai pendidikan generalis, bukan-namun-setara spesialis, bagi dokter-dokter yang berminat untuk melanjukan studi di pendidikan dokter layanan primer. Gelar yang rencananya akan diberikan bagi dokter yang telah lulus program pendidikan dokter layanan primer adalah Sp.FM (Spesialis Famili Medisin).5

Telah dijelaskan bahwa Dokter Layanan Primer merupakan layanan tingkat primer pada pelayanan di era SKN yang dimulai 1 Januari 2014, yang disetarakan dengan dokter spesialis dan sub-spesialis. Berikut poin-poin pentingnya yang dapat tercatat. 61. Dokter Layanan Primer diharapkan dapat menjadi dokter yang berperan holistik, bukan hanya dokter yang berorientasi curative, namun juga berorientasi pada kedokteran keluarga, kedokteran okupasi, kedokteran komunitas, kemampuan manajerial, kepemimpinan. Selain itu, Dokter Layanan Primer diharapkan dapat menjadi ahli dalam prediktor based on research time, epidemiologi, memiliki keahlian khusus sesuai dengan penyakit yang mewabah/dominan di daerah kerjanya. 2. Dokter umum yang telah lulus ujian kompetensi (sejak Agustus 2013 disebut exit exam), bahkan yang telah mengikuti Internship dianggap belum memenuhi kompetensi yang diharapkan pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

3. Dokter Layanan Primer diharapkan bisa berperan sebagai gate keeper yang akan menangani 80% kasusnya sendiri hingga tuntas, sedangkan 20% kasus akan diserahkan ke pelayanan kesehatan jenjang berikutnya. Hal ini harus dilakukan mengingat akan terjadi pemborosan biaya apabila setiap kasus yang ditangani harus dirujuk.

4. Dokter Praktek Umum, fresh graduated Fakultas Kedokteran, dianggap sebagai stem cell yang bisa menjadi apa saja, Peneliti, Klinisi, Dokter Layanan Primer bahkan berkarir di bidang politik.

5. Dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Kedokteran, Dokter Layanan Primer dimasukan dalam tingkat 8 dimana tingkat 9 merupakan standar tertinggi. Kualifikasi Sumber Daya Tingkat 8 yang dimaksud mendeskripsikan bahwa Dokter Layanan Primer dihasilkan melalui Program Pendidikan Dokter Spesialis. Pada Diskusi Publik UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran di FKUI, Program Pendidikan Dokter Layanan Primer disebut sebagai Generalis, bukan spesialis. Pendidikan Generalis, setara dengan pendidikan spesialis. Penyebutan generalis karena ranah kompetensi Dokter Layanan Primer tidak tercakup pada sistem organ atau keahlian tertentu saja. 6. Saat bekerja, dibutuhkan pengetahuan bahwa DLP bekerja dalam sistem yang memiliki clinical pathway. Strata pendidikan baru, salah satunya, diperlukan untuk mendidik dokter layanan primer yang mengetahui cara kerja sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Proses pendidikan Generalis, Dokter Layanan Primer, akan dibiayai oleh negara. Selain itu, berdasar pasal 31 Ayat 1 Huruf B UU No 20 Tahun 2013 bahwa setiap mahasiswa program pendidikan dokter layanan primer, spesialis, dan subspesialis berhak menerima insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan. 7. Penyelenggaraan Pendidikan Dokter Layanan Primer hanya dapat dilakukan di fakultas kedokteran yang berakreditasi A yang bisa menyelenggarakan. Hal ini sesuai dengan pasal 8 ayat 1 UU No 20 tahun 2013 bahwa Program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis,dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi.

Berkaitan dengan penyampaian poin-poin tersebut, forum mengajukan berbagai pertanyaan dan sanggahan terkait Dokter Layanan Primer yang dapat dikerucutkan menjadi tiga poin utama, yakni Urgensi Strata Baru Pendidikan Dokter Layanan Primer, Keterbatasan Kuota, Kapitasi, dan Perkembangan sistem Jaminan Kesehatan Nasional.7I. Urgensi Strata Baru Pendidikan Dokter Layanan Primer

Sesuai dengan pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013, dijelaskan bahwa pendidikan dokter layanan primer merupakan jenjang pendidikan lanjutan setara spesialis yang dapat diikuti oleh dokter lulusan program studi pendidikan dokter. Program pendidikan dokter layanan primer tidak diwajibkan, namun diharuskan untuk dokter-dokter baru lulusan program studi pendidikan dokter yang menginginkan untuk dibiayai sistem sebagai dokter layanan primer pada Jaminan Kesehatan Nasional. Diisukan bahwa seluruh biaya pendidikan dokter layanan primer akan dibiayai oleh negara. Sesuai dengan pasal 31 ayat 1 poin b bahwa peserta program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter subspesialis akan mendapatkan insentif dari rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan.

Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini adalah bahwa meningkatnya jumlah dokter spesialis secara signifikan. Hal ini menyebabkan posisi frontliner dokter-dokter praktik umum sebagai penyedia pelayanan kesehatan primer secara tidak langsung termarginalkan dan degradasi minat mahasiswa kedokteran. Oleh sebab itu, sesuai dengan amanat UU No 20 Tahun 2013, bahwa program pendidikan dokter layanan primer akan menjadi jenjang pendidikan baru setara spesialis.

Pada Rapat Komisi I Muktamar AIPKI VII, urgensi strata baru pendidikan dokter layanan primer dibahas dengan sangat hangat, bahkan cenderung kisruh. Pertanyaan mengemuka dari beberapa unsur pimpinan dekanat beberapa institusi pendidikan dokter, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Swadaya Gunung Jati, Universitas Kristen Krida Wacana, dan Universitas Sriwijaya. Fokus pertanyaan adalah terkait hal-hal berikut.8 1. Sosialisasi Program Pendidikan Dokter Layan Primer ke rumah sakit pendidikan. Sampai saat ini, roadmap tentang pendidikan dokter layanan primer belum jelas dan tertuliskan dalam peraturan pemerintah manapun (per Oktober 2013). Apabila pendidikan dokter layanan primer dilaksanakan di rumah sakit pendidikan, tentu akan terjadi permasalahan baru terkait daya tampung rumah sakit pendidikan.

2. Sosialisasi program pendidikan dokter layanan primer ke orang tua/perwalian mahasiswa. Adanya jenjang strata baru tentu akan berimplikasi pada rencana masa depan mahasiswa dan dianggap hanya mempersulit.

3. Berkaca dari hasil Uji Kompetensi, ada kesan bahwa dokter-dokter tamatan program pendidikan dokter saat ini dianggap tidak kompeten untuk bisa bergabung dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional sehingga strata baru pendidikan dokter layanan primer dianggap perlu.

II. Keterbatasan Kuota8

Berdasarkan pasal 8 ayat 1 UU No 20 tahun 2013, pendidikan dokter layanan primer hanya diselenggarakan oleh Program Pendidikan Dokter yang terakreditasi A. Program Pendidikan Dokter terakreditasi A dapat bekerja sama dengan program pendidikan dokter terakreditasi B sesuai dengan pasal 8 ayat 2. Peraturan teknis terkait bentuk kerja sama yang dimaksud belum dijelaskan dalam peraturan perundangan apapun (per Oktober 2013).

Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (per 19 Oktober 2013), hanya ada 16 Program Studi Pendidikan Dokter terakreditasi A di Indonesia. 6 Sebaran fakultas kedokteran menurut peta geografis Indonesia adalah 3 Program Studi Pendidikan Dokter di Sumatera, 11 Program Studi Pendidikan Dokter di Jawa, 1 Program Studi Pendidikan Dokter di Nusa Tenggara, dan 1 Program Studi Pendidikan Dokter di Sulawesi. Dua dari 16 program studi pendidikan dokter yang dimaksud sedang dalam proses reakreditasi.

Saat ini, ada 73 program studi pendidikan dokter yang beroperasi di Indonesia. Hal ini tentu akan menyebabkan ketidaksinkronan antara jumlah dokter lulusan baru di Indonesia dan kuota pendidikan dokter layanan primer, mengingat penyelenggaraan pendidikan dokter layanan primer akan memperhatikan daya dukung sarana prasarana pendidikan, tenaga pendidik, dan rumah sakit serta wahana pendidikan. Ada pembatasan kuota ini menimbulkan spekulasi bahwa pendidikan dokter layanan primer merupakan suatu kontrol pemerintah terhadap jumlah dokter di sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini dipertegas pada pasal 10 UU No 20 tahun 2013.

III. Kapitasi8

Sistem pembiayaan kesehatan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan pelayanan kesehatan berjenjang. Sistem pembayaran kapitasi nantinya akan diberlakukan bagi para dokter layanan primer selaku penyedia pelayanan kesehatan (PPK) tingkat pertama. Sementara itu, untuk sistem pembiayaan di rumah sakit bagi dokter akan dipakai sistem INA-CBGs dimana klaim biaya pengobatan disesuaikan dengan diagnosis.

Dirut PT. Askes, dr. Fahmi Idris menyatakan bahwa besarnya biaya kapitasi yang dibayarkan kepada dokter layanan primer jika nanti JKN sudah berjalan adalah sebesar 30% dari jumlah iuran yang akan dibayar oleh peserta. Dalam hal ini, besarnya iuran yang akan dibayarkan oleh peserta masih harus diperjuangkan karena secara langsung akan mempengaruhi besarnya kapitasi per kepala.

Untuk kepesertaan diisukan bahwa 1 dokter layanan primer akan melayani kurang lebih 2500 orang, maksimal 3000 orang. Sampai sekarang keputusan terakhir dari pemerintah untuk iuran adalah sebesar Rp19.500. Namun, besarnya iuran ini masih sangat mungkin untuk berubah. Pada rapat Komisi I tentang Dokter Layanan Primer Muktamar AIPKI VII Manado, pertanyaan tentang kapitasi mengemuka dari Dekanat FK Universitas Islam Malang. Pertanyaan ini dijawab oleh dr. Pandu dan dinyatakan bahwa kapitasi hanya sebesar Rp2.600,00 dan telah menjadi keputusan menteri keuangan.

Besar iuran telah disesuaikan dengan besarnya anggaran dana kesehatan yang ideal yaitu sebesar 5% dari APBN. Jumlah APBN sekitar 1800 Triliyun, berarti idealnya anggaran kesehatan sebesar Rp 90 T. Tetapi pada kenyataannya, anggaran kesehatan kita saat ini belum mencapai 5% APBN, yaitu hanya sekitar Rp 25 T. Dibutuhkan pertimbangan yang matang untuk memutuskan berapa besar iuran yang akan dikenakan karena besarnya ketersediaan dana akan mempengaruhi kualitas dari pelayanan kesehatan terhadap masyarakat kelak.

Sistem pembayaran kapitasi merupakan Prospective Payment System. Sistem pembayaran kapitasi ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari sistem pembayaran kapitasi seperti layaknya pada sistem, Jaminan Kesehatan Nasional adalah dokter akan lebih terpacu untuk membuat rencana-rencana strategis dalam menanggulangi penyakit di daerahnya. Artinya, akan ada peningkatan dalam pelayanan promotif dan preventif jika sistem pembayaran kapitasi diberlakukan. Karena semakin sedikit biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif tingkat pertama) maka semakin besar selisih antara biaya pengobatan dan kapitasi yang dibayarkan. Selisih ini merupakan hak bagi PPK yang nantinya dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan PPK itu sendiri maupun untuk mengembangkan lagi program promosi kesehatan di daerah tersebut sehingga angka kesakitan dapat terus ditekan.

Dengan adanya sistem pembayaran kapitasi, maka anggaran untuk pelayanan kesehatan sudah pasti akan tersedia. Tidak hanya pada sistem pembayaran kapitasi saja tapi secara keseluruhan, sistem JKN ini memang dibuat untuk mengatasi kekhawatiran dokter dalam masalah biaya pengobatan. Selain itu, sistem pembayaran kapitasi ini juga diharapkan dapat meningkatan efisiensi serta efektifitas pelayanan kesehatan karena setiap dokter dituntut untuk dapat menangani pasien secara tepat karena jika tidak, maka PPK lah yang akan dituntut pertanggungjawabannya. Pelayanan kesehatan yang diberikan juga sesuai standar, tidak lebih dan tidak kurang. Jika sistem pembayaran kapitasi ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka akan tercipta hubungan mutualisme antara PPK dan masyarakat.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diawasi dalam pelaksanaan sistem pembayaran kapitasi. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana jika besar insentif yang diterima tidak sepadan dengan kebutuhan biaya pelayanan kesehatan. Dikhawatirkan, hal seperti ini dapat memicu terjadinya underutilisasi dan juga dapat berpengaruh pada PPK untuk lebih cenderung merujuk karena PPK takut rugi. Dibutuhkan PPK yang betul-betul memahami sistem JKN secara keseluruhan dibutuhkan agar sistem ini dapat berjalan dengan optimal. Pengawasan yang ketat terhadap berjalannya pelayanan sesuai dengan standar juga diperlukan, seperti mengenakan sanki bagi dokter pelayanan primer yang merujuk kasus yang seharusnya dapat ditangani sampai tuntas.

Perubahan lain dalam sistem pembiayaan kesehatan yang baru nanti yaitu, jika sekarang biaya yang dikenakan dihitung per prosedur (INA-CBGs), maka nanti biaya yang akan dikenakan sesuai dengan kasus. Jadi dokter nantinya harus menangani pasien dengan budget yang telah diatur sesuai dengan kasusnya. Sehingga jika pasien masih belum sembuh sementara budget sudah habis, maka dokter tersebut harus mengeluarkan uang tambahan di luar budget tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dokter dalam menangani pasien.

Diambil dari: Slide Kuliah dr. Fahmi Idris mengenai Sistem Kesehatan Nasional Persiapan SJSN sampai saat ini9

Pada Januari 2014 BPJS Kesehatan mulai beroperasi. Jika pada tahun 2007 health insurance coverage di Indonesia sekitar 15%, pada tahun 2011 sekitar 60%, saat ini sudah sekitar 80% yang telah tercakup jaminan kesehatan. Pada pelaksanaannya nanti, semua fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh pemerintah wajib untuk berpartisipasi sebagai PPK.

Tugas besar untuk BPJS adalah mengubah paradigma masyarakat tentang asuransi kesehatan dan dengan mindset para tenaga kesehatan yang selama ini dominan pada pelayanan kuratif saja. Perlu ditekankan bahwa dengan sistem kesehatan nasional yang baru nanti, tujuan yang diinginkan adalah untuk mencegah peserta yang sehat menjadi sakit dan memberikan pengobatan yang optimal untuk peserta yang sakit.

Masalah lain yang masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia yaitu, disparitas. Kesenjangan pelayanan kesehatan di Indonesia baik dari segi kuantitas SDM yang tidak tersebar merata, fasilitas, tingkat sosial ekonomi masyarakat serta tingginya angka morbiditas dan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat harus dibenahi secara bertahap guna mendukung berjalannya JKN ini agar mampu mencapai tujuannya untuk menyehatkan Indonesia.

Pertanyaan tentang perkembangan sistem Jaminan Kesehatan Nasional juga dibahas di Rapat Komisi I Muktamar AIPKI VII. Pada pembahasan terungkap bahwa penyediaan dokter layanan primer menjelang diluluskannya dokter-dokter layanan primer sesuai amanat UU No 20 tahun 2013 akan dilaksanakan melalui pelatihan terhadap dokter-dokter praktik umum.

2.6 CONTOH KASUS9Sistem Jaminan Kesehatan Nasional 2014 dinilai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) berpotensi menyebabkan dokter tekor. Hal ini dikarenakan jumlah pengeluaran seorang dokter bisa lebih besar dan tidak seimbang dengan pemasukan yang pertama.

Risiko kerugian ini besar kemungkinan dialami oleh dokter yang mengabdi di sentra layanan primer, misalnya puskesmas.

Kalau kerja dokter hanya duduk seperti biasa mungkin tak masalah. Namun, kalau kita juga harus melakukan promotif dan preventif, maka penghasilan tersebut harus dibagi untuk keperluan lain. Hal inilah yang berisiko menyebabkan dokter 'rugi', kata Ketua Umum PB-IDI Zainal Abidin kepadaKompas Health,Senin (6/1/2014).

Upaya preventif dan promotif, terang Zainal, membutuhkaneffortlebih dari seorang dokter. Para dokter harus mendatangi masyarakat dan menjelaskan segenap usaha promotif dan pencegahan demi kesehatan yang lebih baik. Karena itulah, upaya promotif dan preventif menjadi lebih mahal.

Upaya promotif dan preventif juga hanya memungkinkan bila puskesmas ditempati lebih dari satu dokter. Bila salah satu dokter sedang turun ke masyarakat, maka dokter lain bertugas memberi pelayanan di rumah sakit.

Dalam JKN 2014, usaha preventif dan promotif menjadi landasan utama. Dengan pencegahan sejak dini, diharapkan tidak banyak masyarakat yang menderita sakit. Dengan demikian, sisa biaya kapitasi yang diperoleh bisa lebih besar. Sisa biaya kapitasi bisa digunakan untuk kemajuan layanan kesehatan.

Sebetulnya kita bisa saja duduk menunggu seperti biasa, namun hal tersebut bertentangan dengan paradigma promotif dan preventif. Duduk dan menunggu mengarah pada paradigma sakit, artinya orang yang ke puskesmas sudah bisa dipastikan mengalami gangguan tertentu. Hal ini tentu tidak baik untuk pengiritan biaya kapitasi, kata Zainal.

Ia menambahkan, dokter di layanan sekunder dan tersier juga tidak terhindar risiko tekor. Zainal mengatakan, sistem pembayaran denganINA-CBGsyang berlaku di layanan sekunder seperti rumah sakit tidak memuat beberapa tindakan yang dilakukan dunia medis. Misalnya, diagnosis yang hanya bisa dilakukan spesialisasi patologi anatomi. Padahal, patologi anatomi diperlukan untuk penegakan diagnosis penyakit tertentu, dan memastikan suatu bentuk terapi.

INA-CBGs juga dinilai IDI memberi harga beberapa tindakan terlalu rendah. Zainal mencontohkan, prosedur gangguan persarafan mata berat yang diberi harga Rp 7 juta Rp 9 juta, tergantung kelasnya.7BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang sudah dilaksanakan sejak 1 Januari 2014. BPJS dibentuk untuk melaksanakan jaminan kesehatan dan semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta BPJS, termasuk warga asing yang telah bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan dan telah membayar iuran. Setiap peserta berhak untuk memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat komprehensif berdasarkan kebutuhan medik sesuai dengan standar pelayanan medik. Manfaat jaminan kesehatan tersebut bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan.1,2,3

Adanya strata baru pendidikan dokter layanan primer akan berimplikasi langsung terhadap pola pikir mahasiswa kedokteran, utamanya, dalam menentukan dan memilah-milah rancangan masa depan. Disahkannya UU No 20 tahun 2013 sejak 6 Agustus 2013 telah membawa dampak yang sistematis pada sistem pendidikan kedokteran di Indonesia 3

Peraturan perundangan dan peraturan teknis turunan UU No 20 tahn 2013 yang secara fungsional penting untuk mengatur detail terkait penyelenggaraan dokter layanan primer sangat ditunggu karena memang secara substansial Undang-undang tak mengatur hal-hal teknis. Peraturan Peralihan UU No 20 tahun 2013 pada pasal 63 menyebutkan bahwa pemerintah harus membuat peraturan pelaksanaan harus diundangkan paling lambat dua tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yang berarti 6 Agustus 2015. Sementara itu, sesuai dengan Pasal 60, rumah sakit pendidikan harus menyesuaikan setiap ketentuan undang-undang paling lama hingga 3 tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yaitu 6 Agustus 2016. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 59 ayat 1, fakultas kedokteran harus menyesuaikan setiap ketentuan undang-undang paling lama hingga 5 tahun sejak diundangkannya UU No 20 tahun 2013, yakni 6 Agustus 2018.3,4,53.2. Saran

Penulis mengharapkan dengan adanya referat ini pembaca dapat memahami lebih lanjut mengenai BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Keterbatasan pengetahuan penulis tentang BPJS dan dasar hukumnya dalam menafsirkan dari berbagai literatur merupakan kekurangan dalam penulisan referat ini. Untuk selanjutnya diharapkan lebih banyak lagi penelitian dan literatur yang membahas mengenai BPJS di Indonesia.DAFTAR PUSTAKA1. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku FAQ (frequently asked questions). Jakarta: Kementrian kesehatan RI; 2013.

2. Thabrany H. Badan penyelenggaran jaminan kesehatan nasional: sebuah policy paper dalam analisis kesesuaian tujuan dan struktur BPJS. Jakarta; 2009.3. Kementrian kesehatan RI. Buku pegangan sosialisasi jaminan kesehatan nasional (JKN) dan sistem jaminan sosial nasional. Jakarta; 2011.4. Wonodirekso S, Pattiradjawane D. Peran Depkes dalam Pemberdayaan, Pendayagunaan, dan Pengembangan Karir Dokter Layanan Primer dalam Rangka Mencapai Target MDGs. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol 60: Nomor 3, Maret 2010. Available at: indonesia.digilabsjournal.org. Accessed on October 1st, 2014.5. Kuliah Pakar Indonesian Medical Olympiad, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.6. Hendratini, J. (2008). Determinan Knerja Dokter Keluarga yang Dibayar Kapitasi.Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 11(02), 77-84.7. Available at: http://ban-pt.kemdiknas.go.id/hasil-pencarian.php. Accessed on October 2nd, 2014.

8. Available at: http://health.kompas.com/read/2014/01/07/0956205/Dokter.Takut.Tekor.Ini.Jawaban.BPJS

9. Available at: http://nasional.kompas.com/red/2012/06/19/13134115/Tarif.Tukang.Cukur.Lebih.Mahal.Dibandingkan.Dokter PAGE 1