49
3 Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

3

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Page 2: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

4

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Islam, Multikulturalisme

dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Prof. Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.Ag., M.A.

Nation-building dalam konteks Asia pasca-penjajahan,

termasuk Indonesia, terutama terkait dengan menentukan dan

mengimajinasikan batas-batas negara. Proses ini merupakan

proses yang menarik dan penuh dinamika. Isu „pribumi“ dan

„non-pribumi“ adalah bagian dari proses nation-building yang

kompleks ini.

Nation-building adalah proses dinamis terkait imajinasi

dan keterikatan terhadap sebuah bangsa. Hal ini tidak hanya

diperlukan pada pembentukan negara tetapi juga dalam

mempertahankan keberlangsungan negara. Sebuah bangsa

harus senantiasa dibangun untuk mencegah potensi ancaman

yang bisa menghancurkannya. Di banyak negara, nation-

building terutama sekali dilandaskan pada “budaya

masyarakat” (societal culture) yang dominan.

Menarik kiranya untuk melihat lebih jauh peran Islam

dalam proses nation-building dan multikulturalisme di

Indonesia. Hal ini mengingat bahwa Islam adalah agama

Page 3: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

5

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

mayoritas masyarakat, dan karenanya merupakan “budaya

masyarakat” yang dominan. Makalah ini akan memfokuskan

pada organisasi masyarakat sipil Islam, terutama sekali

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Makalah ini

menekankan bahwa peran kuat Muhammadiyah dan Nahdlatul

Ulama akan berlangsung di era digital, jika kedua organisasi

tersebut mampu mengembangkan strategi-strategi baru, dengan

menggunakan internet, dengan demikian bisa berpotensi

menjangkau generasi milenial.

Strategi Nation-building di Negara Multi-nasional

Nation-building dalam konteks Asia, pada umumnya,

dan di Indonesia, khususnya, berbeda dengan yang ada di

Eropa. Di Eropa, nation-building didasarkan pada budaya

dominan tunggal, yaitu kesamaan bahasa, agama dan sejarah.

Di Eropa, nation-building lebih banyak berkaitan dengan

identifikasi diri atau pembangunan diri daripada konstruksi

yang dipaksakan secara eksternal (Gungwu, 2004: 3-4).

Gungwu (2004:4) lebih jauh menjelaskan bahwa:

In Asia, we know that some of our nation-states are

more artificial. This is true not only of Asia, but also in

Africa and other places as well, places that have come

out of recent imperial and colonial experiences during

Page 4: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

6

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

which borders were drawn by outside interests. These

external factors have created conditions that have made

the borders meaningless for some people and

meaningful for others. Once there was the concept of

borders, then you have, as scholars like Benedict

Anderson have suggested, imagined national

communities, or people seeking to re-imagine

themselves as a nation within borders already drawn.

(Di Asia, kita tahu bahwa beberapa negara-bangsa kita

lebih bersifat artifisial. Hal ini berlaku tidak hanya di

Asia, tapi juga di Afrika, dan tempat-tempat lain juga

yang merasakan pengalaman penjajahan, di mana

„batas“ (negara-bangsa) diletakkan terutama sekali oleh

kepentingan luar. Faktor eksternal ini telah menciptakan

kondisi yang telah membuat „batas“ menjadi kurang

bermakna bagi sementara orang dan menjadi bermakna

bagi orang lain. Begitu ada konsep „batas“, maka Anda

punya, sebagaimana yang dikemukakan para ilmuwan

seperti Benedict Anderson, „komunitas bangsa yang

terbayangkan“, atau orang-orang yang ingin

membayangkan kembali diri mereka sebagai sebuah

bangsa yang berada di dalam batas yang telah

ditentukan).

Page 5: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

7

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Dalam hal ini terlihat bahwa nation-building di Asia,

terutama terkait dengan menentukan dan mengimajinasikan

batas-batas negara. Proses ini merupakan proses yang menarik.

Isu „pribumi“ dan „non-pribumi“ adalah bagian dari proses

nation-building yang kompleks ini.

Ada beberapa strategi nation-building yang bisa diambil

oleh negara-negara yang warganya terdiri dari berbagai suku

(multi-national states), dan memiliki kelompok mayoritas yang

dominan. Pertama, nation-building didasarkan pada „budaya

masyarakat“ yang dominan (Kymlicka 2001). Kedua, nation-

building didasarkan pada platform baru yang disepakati oleh

para pendiri bangsa. Dalam konteks Indonesia, Pancasila bisa

dianggap sebagai platform baru yang mendasari nation-building

di Indonesia.

Negara multi-nasional yang tidak memiliki kelompok

mayoritas yang dominan, bisa mengambil paling tidak tiga

strategi dalam nation-building. Pertama, nation-building

terutama didasarkan pada kelompok minoritas yang dominan.

Kedua, membuat identitas bersama (common identity) sebagai

dasar nation-building. Ketiga, mencari sebuah basis solidaritas,

yang memungkinkan semua warga bisa bekerja sama, dan

Page 6: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

8

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

dengan demikian bisa membangun kepercayaan antar sesama

(trust-building).

Weinstock (1999) dan Norman (2006) menegaskan

pentingnya trust-building:

We look elsewhere for a basis for solidarity within

multinational, divided societies rather than looking to

promote a common identity, we should look for policies

and institutional arrangements that will inspire trust

between the communities. In other words, trust-building

might be an alternative to nation-building, at least for

majority nationalists trying to hold together their

multination state.

(Kita sebaiknya mencari basis solidaritas dalam

masyarakat multinasional dan terpecah belah, daripada

berupaya mempromosikan identitas bersama. Kita

seharusnya mencari kebijakan dan pengaturan

kelembagaan yang akan menumbuhkan

kesalingpercayaan di antara masyarakat. Dengan kata

lain, membangun kepercayaan (trust-building) bisa

menjadi alternatif dari nation-building, setidaknya bagi

kaum nasionalis mayoritas yang berusaha

mempertahankan negara multinasional mereka).

Page 7: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

9

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Islam, Ideologi Negara dan Nation-building

Meski Muslim merupakan mayoritas, Indonesia tidak

menjadikan Islam sebagai fondasi negara. Presiden pertama

Indonesia Soekarno (memerintah 1945-1967) mengukuhkan

Pancasila sebagai dasar Republik yang baru lahir ini. Hal ini

disebabkan oleh aspirasi nasionalistik yang kuat di antara para

pendiri bangsa, yang menganggap bahwa memasang satu

ideologi eksklusif sebagai fondasi negara berpotensi

membahayakan persatuan bangsa, mengingat Indonesia adalah

beragam dalam hal etnis dan agama. Nation-building dalam hal

ini adalah upaya pemimpin nasional, terutama para pendiri

bangsa, yang mencerminkan dalam beberapa hal dasar

ideologis masing-masing (Hamayotsu, 2002: 2-3).

Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa dalam kasus

dasar negara, para pendiri bangsa mencari sebuah platform baru

yang dapat berfungsi sebagai landasan filosofis negara yang

baru lahir. Platform ini dianggap oleh para pendiri bangsa

sebagai kristalisasi falsafah bangsa Indonesia, dan karenanya

dapat berfungsi sebagai kekuatan pengintegrasian semua

elemen dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ideologi

negara ini mencerminkan Indonesia sebagai „negara pluralis“.

Pancasila terdiri dari lima sila yang meliputi: (a) ketuhanan

Page 8: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

10

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

yang Maha Esa; (b) kemanusiaan yang adil dan beradab, (c)

persatuan Indonesia; (d) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan (e)

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Negara Pancasila bukanlah „negara sekuler“. Hal ini

mengingat bahwa sila pertama dari ideologi negara ini berbunyi

„Ketuhanan Yang Maha Esa“. Adalah menarik untuk melihat

kompetisi penafsiran tentang Pancasila pada masa Orde Baru.

Wahyudi (2015: 3-4) menegaskan bahwa penafsiran Pancasila

yang bersaing selama era ini menunjukkan antagonisme politik,

yang tidak mendapatkan solusi rasional apapun. Hal ini

disebabkan oleh ketegangan antara dua kekuatan utama dalam

masyarakat Indonesia: „nasionalis sekuler“ dan „fundamentalis

Islam“.

Wahyudi memahami „nasionalis sekuler“ sebagai

organisasi dan individu tertentu yang terlibat dalam kegiatan

lembaga pemerintah dan masyarakat sipil yang peduli dengan

politik Islam radikal atau fundamentalisme Islam.

Selanjutnya, Wahyudi (2015: 6-7) menyoroti tiga jenis

„nasionalis sekuler“. Pertama, adalah „kaum nasionalis sekuler

yang marjinal dan radikal“. Kategori ini mengacu pada sikap

nasionalis sekuler yang terutama sekali berseberangan dengan

Page 9: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

11

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Islam radikal Islam dan semua gagasan tentang Islamisme.

Kategori kedua adalah „nasionalis sekuler yang mainstream

dan kompromis“. Kelompok ini umumnya tidak menyadari

orientasi ideologisnya dan tidak peduli dengan pertanyaan

tentang prinsip ideologis yang berkaitan dengan Islam radikal

dan kelompok-kelompok Islamisme. Kelompok atau kategori

terakhir adalah „kaum nasionalis sekuler yang reformis dan

tercerahkan“. Kelompok nasionalis sekuler ini menyadari dan

dapat memikirkan orientasi dan preferensi ideologis mereka,

yang sebagian besar berorientasi liberal.

Indonesia di bawah rezim Suharto terus menegakkan

pendirian ideologis sekuler-nasionalis. Rezim ini mengawasi

dan mencoba untuk menjinakkan kekuatan Islam di negara

Indonesia. Suharto mengambil pendekatan eksklusif terhadap

Islam, meskipun dia mengubah kebijakannya di akhir tahun

1980an dengan menunjukkan pendekatan terhadap kekuatan

Islam (Hamayotsu, 2002: 3-8).

Bangsa Indonesia menetapkan „bahasa Indonesia“

sebagai bahasa nasional mereka. Bahasa ini merupakan

romanisasi bahasa Melayu. Menarik untuk dicatat bahwa

bangsa Indonesia tidak memilih bahasa Jawa sebagai bahasa

nasional, walaupun suku Jawa merupakan suku yang paling

Page 10: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

12

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

dominan di Indonesia, dan karenanya masyarakat Jawa

memiliki potensi tinggi untuk menetapkan bahasa mereka

sebagai bahasa nasional. Namun yang terjadi tidaklah demikian

adanya. Bahasa Melayu yang mengalami romanisasi, yang

kemudian disebut „bahasa Indonesia“, dipilih sebagai bahasa

nasional, dengan alasan bahwa bahasa ini sederhana dan telah

digunakan sebagai lingua franca di nusantara. Bahasa

Indonesia, karenanya, berkontribusi pada nation-building dan

identitas bersama dari bangsa Indonesia.. Kasus bahasa

Indonesia ini menunjukkan tidak mesti bahwa „budaya

masyarakat” yang dominan yang mempengaruhi nation-

building.

Dalam proses nation-building, keragaman bangsa

seringkali tidak dapat diakomodasi secara penuh, dan

karenanya ini seringkali harus dijinakkan. Schefold (1998: 261)

menunjukkan bahwa keterikatan etnis primordial semacam itu

terus dipertahankan melalui semua proses modernisasi adalah

selaras dengan kebutuhan emosional alami untuk „penegasan

sosial“. Di negara-negara Dunia Ketiga yang baru dan nyaris

tidak terkonsolidasi, bagaimanapun, keterikatan ini mempunyai

potensi bahaya, karena mengancam untuk melemahkan

solidaritas nasional. Salah satu reaksi realistis terhadap hal itu

adalah dengan „menjinakkan“ mereka. Sejalan dengan ini,

Page 11: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

13

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Hoon (2006: 153) menunjukkan bahwa selama era Suharto,

keragaman dikorbankan atas nama persatuan dengan menekan

SARA (Suku, Agama Ras dan Golongan).

Nasionalisme Indonesia, menurut Menchik (2014: 594),

merupakan „nasionalisme ketuhanan” (godly nationalism).

Jenis nasionalisme ini digambarkan sebagai komunitas imajiner

yang terikat oleh teisme umum dan ortodoks dan dimobilisasi

melalui negara bekerjasama dengan organisasi keagamaan

dalam masyarakat. Menchik kemudian menjelaskan selama

warga negara percaya pada salah satu agama yang diakui

pemerintah, mereka menjadi anggota penuh masyarakat sipil

dan mendapatkan perlindungan negara dan manfaat

kewarganegaraan lainnya (Menchik, 2014: 600). Oleh karena

itu, Ketuhanan yang Maha Esa, atau monoteisme, merupakan

landasan penting dari nation-building di Indonesia.

Gagasan tentang „nasionalisme ketuhanan“ didasarkan

pada konsepsi bahwa praktek dan wacana keagamaan bisa

menjadi bagian konstitutif dari identitas nasional daripada

hanya sekedar epifenomenal atau tabir asap untuk kepentingan

politik yang menyeramkan. Menchik lebih lanjut menjelaskan

bahwa nasionalisme Indonesia terus berakar pada solidaritas

agama walaupun Indonesia bukanlah negara Islam (Menchik,

Page 12: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

14

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

2014: 596-598). Dalam hal ini, kita mungkin bisa memahami

bahwa Nahdlatul Ulama sejak awal menunjukkan bahwa Islam

tidak bertentangan dengan nasionalisme, dan karenanya mereka

mengusung „hub al-watan min al-iman“ (cinta tanah air adalah

bagian dari iman).

Nation-building dan Pluralitas: Selalu Sejalan?

Nation-building dan pluralitas tidaklah selalu sejalan.

Hal ini mengingat bahwa nation-building mengandaikan

adanya persatuan dan identitas bersama yang memungkinkan

sekelompok masyarakat membentuk sebuah bangsa. Sedangkan

pluralitas menunjuk pada keragaman yang ada di dalam

masyarakat, yang seringkali menjadi hambatan untuk

mengikatkan diri menjadi sebuah bangsa, jika kelompok-

kelompok yang ada lebih mengedepankan identitas dan

kepentingan kelompoknya masing-masing, tanpa mau

membangun atau mengikat pada basis solidaritas atau identitas

bersama bangsa.

Menarik kiranya untuk melihat persoalan nation-

building dan keragaman dalam perspektif pemikir Muslim abad

pertengahan semacam Ibn Khaldun (1332-1406), yang

dianggap bapak sosiologi. Ibnu Khaldun dianggap sebagai

salah satu teoretisi kohesi sosial, bersama dengan sosiolog

Page 13: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

15

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

modern seperti Emile Durkheim (1858-1917). Ibn Khaldun

memberi perhatian khusus dua masalah utama: (a) apa yang

membuat manusia terikat satu sama lain sehingga membentuk

masyarakat? dan (b) apa yang mendorong mereka untuk

mengidentifikasi diri sebagai kelompok sosial, untuk menerima

dan mematuhi norma-normanya, untuk menundukkan

kepentingan pribadi mereka, untuk menerima otoritas para

pemimpinnya dan menginternalisasi tujuannya? (Gellner 1975:

203)

'Asabiyya menempati posisi sentral dalam bangunan

teori yang dikembangkan Ibn Khaldun. 'Asabiyya dipahami

oleh Ibn Khaldun sebagai „perasaan solidaritas di antara

anggota kelompok yang berasal dari pengetahuan bahwa

mereka memiliki kesamaan asal“ (Alatas 2006: 784).

Menurut Ibn Khaldun, 'asabiyya mencakup tiga

dimensi: (a) ikatan kekerabatan, (b) agama yang bisa menjadi

dasar kohesi sosial, seperti Islam yang memberikan idiom

bersama yang melegitimasi aspirasi kepala suku untuk otoritas

kerajaan, dan (c) kekuatan kepala suku melalui perdagangan,

jarahan, penjarahan dan penaklukan (Alatas 1993: 31). Konsern

Ibnu Khaldun adalah terhadap pembentukan negara dan

keberlanjutan negara pada zaman pra-modern. Kendatipun

Page 14: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

16

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

demikian, kita dapat melihat kesejajaran antara gagasan Ibn

Khaldun tentang 'asabiyya dan konsepsi modern tentang

nation-building.

Ibn Khaldun (t.t.: 164-166) menyatakan bahwa „sebuah

dinasti jarang berdiri dengan kokoh di daerah yang dihuni

banyak suku dan kelompok yang berbeda“. Lebih lanjut, Ibn

Khaldun menjelaskan:

Alasannya adalah perbedaan pendapat dan keinginan.

Di balik setiap pendapat dan keinginan, ada 'asabiyya

yang mempertahankannya. Setiap saat, oleh karena itu,

ada banyak oposisi terhadap sebuah dinasti dan

pemberontakan melawannya. Bahkan jika dinasti itu

memiliki 'asabiyya, karena masing-masing 'asabiyya

yang berada di bawah kendali dinasti yang berkuasa

berpikir bahwa mereka memiliki kuasa yang cukup

kuat.

Dalam hal ini, tingkat keragaman yang tinggi tanpa

kohesi sosial dianggap sebagai ancaman dan bukan peluang,

terutama terhadap stabilitas negara atau dinasti. Perlu kiranya

dicatat bahwa Ibn Khaldun tidak melihat keragaman etnis

semata sebagai ancaman terhadap stabilitas negara.

Pernyataannya harus dipahami dalam konteks gagasan

Page 15: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

17

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

utamanya tentang „kohesi sosial“. Keragaman etnis bisa

mengancam stabilitas negara jika tidak ada kohesi sosial di

antara suku-suku tersebut, baik itu dilandaskan oleh „suku

dominan“ (konsep modern: societal culture yang dominan) atau

oleh nilai-nilai agama.

Keragaman suku bisa menjadi modal jika keragaman ini

dipersatukan oleh agama, misalnya, dan karenanya merupakan

organisasi sosial. Hal ini dapat diamati dari pernyataan Ibn

Khaldun (t.t. .: 163-164):

Perwakilan dari 'asabiyya adalah milisi yang menetap di

provinsi-provinsi dan wilayah-wilayah dinasti dan

tersebar di dalamnya. Semakin banyak suku dan

kelompok dari dinasti besar, semakin kuat provinsi dan

wilayahnya. Oleh karena itu, wilayah kerajaan mereka

lebih luas. Contohnya adalah dinasti Muslim saat Allah

mempersatukan kekuatan orang Arab dalam Islam.

Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada 'asabiyya,

terutama dari suku dominan, yang memainkan peran penting

dalam membangun dan mempertahankan dinasti tersebut. Ibn

Khaldun (t.t.: 166-167) menegaskan peran 'asabiyya dominan

dalam menyatukan bangsa: „'asabiyya salah satu suku harus

lebih superior dari semua suku lain, agar bisa menyatukan

mereka, dan untuk merekatkankannya menjadi satu 'asabiyya

Page 16: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

18

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

(besar) yang bisa menaungi semua kelompok“. Dalam hal

menarik untuk dicatat bahwa konsep modern tentang nation-

building juga didasarkan pada budaya masyarakat mayoritas

atau dominan. Dengan demikian, nation-building tidak bisa

terlepas dari power, yakni dari kelompok dominan dengan

budaya masyarakatnya.

Minoritas, Keterikatan dan Nation-building

Minoritas dipahami sebagai: “a group numerically

inferior to the rest of the population of a state, in a non-

dominant position, whose members --being nationals of the

state-- possess ethnic, religious or linguistic characteristics

differing from those of the rest of the population and show, if

only implicitly, a sense of solidarity, directed towards

preserving their culture, traditions, religion or language”

(kelompok yang secara numerik lebih rendah dari populasi lain

dalam negara, dalam posisi yang tidak dominan, yang

anggotanya - yang merupakan warga negara - memiliki

karakteristik etnis, agama atau bahasa yang berbeda dari

populasi lain, dan menunjukkan, sekalipun hanya secara

Page 17: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

19

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

implisit, rasa solidaritas yang diarahkan untuk melestarikan

budaya, tradisi, agama atau bahasa mereka).1

Kymlicka (2001) menunjukkan bahwa nation-building

pada umumnya didasarkan pada budaya masyarakat dominan

atau mayoritas. Kymlicka lebih lanjut menjelaskan bahwa

setidaknya ada tiga strategi yang mungkin dilakukan minoritas

dalam menyikapi nation-building yang dipromotori oleh

mayoritas: (a) mengakui integrasi ke dalam budaya masyarakat

mayoritas; (b) berjuang untuk membangun budaya masyarakat

mereka sendiri dan bersaing dengan nation-building yang

dijalankan negara; dan (c) menerima marjinalisasi.

Setidaknya ada tiga wacana yang berkaitan dengan cara

akomodasi minoritas etnis (terutama sekali Tionghoa)

diakomodasi di Indonesia. Wacana ini meliputi asimilasi,

multikulturalisme dan hibriditas. Di bawah rezim Suharto

(1967-1998), asimilasi adalah wacana yang berlaku, yang

memaksa orang Tionghoa untuk mengintegrasikan diri mereka

ke dalam kerangka identitas nasional (Hoon, 2006: 149).

Schefold (1998: 270) menunjukkan bahwa semua penduduk

1 “Minorities Under International Law”, United Nations Human Rights

(2010),

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Minorities/Pages/internationallaw.aspx,

accessed September 21, 2017.

Page 18: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

20

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

keturunan Tionghoa mendapat tekanan berat untuk melepaskan

tradisi etnis mereka dan untuk berasimilasi. Pada bulan Mei

1998, Indonesia menyaksikan kerusuhan anti-Cina yang secara

jelas menunjukkan kekecewaan atas kebijakan asimilasi (Hoon,

2006: 149).

Politik asimiliasi ini banyak dikritik baik oleh oleh

ilmuwan Indonesia maupun dari luar. Dalam ilmu politik secara

luas, Connor dianggap sebagai salah satu ilmuwan yang

menganggap bahwa nation-building dengan politik asimilasi

pada hakekatnya adalah “pembinasaan bangsa” (nation-

destroying). Connor (1994) berargumen bahwa nation-building

dengan pendekatan menciptakan satu identitas nasional melalui

proses rekayasa sosial yang cenderung bersifat asimilatif akan

memberikan hasil sebaliknya yaitu “pembinasaan bangsa”.

Pemimpin Indonesia pasca-Suharto menyadari akan

kegagalan kebijakan asimilasi, dan karenanya menyetujui

kebijakan multikulturalisme untuk membangun kembali

bangsa. Kebijakan ini diyakini sesuai dengan moto nasional

“Bhinneka Tunggal Ika”. Multikulturalisme mencoba memberi

anti-tesis terhadap homogenisasi budaya dengan mengakui

koeksistensi dan representasi yang sama dari berbagai budaya

dan masyarakat dalam negara-bangsa. Multikulturalisme

Page 19: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

21

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

mencoba memberikan ruang bagi minoritas yang tertindas dan

memberikan mereka identitas, subjektivitas dan kepribadian

dengan mendorong individu-individu di dalam minoritas

tersebut untuk “menceritakan” pengalaman mereka sendiri

tentang penindasan (Hoon, 2006: 149-154).

Namun ada perdebatan tentang multikulturalisme di

Indonesia. Beberapa ilmuwan mengkritik bahwa dalam politik

multikulturalisme, batas-batas perbedaan dan konsep

keragaman masih ditentukan oleh kelompok hegemonik dan

dominan tertentu. Mereka juga mengkritik kebijakan ini karena

kebijakan mengasumsikan bahwa setiap individu hanya

memiliki satu identitas budaya tersendiri. Multikulturalisme

karenanya tidak memberi pengakuan pada individu yang

memiliki lebih dari satu identitas. Lebih lanjut, para ilmuwan

ini berpendapat bahwa dengan menetapkan batasan dan

penggambaran yang jelas antara budaya, multikulturalisme

telah mengalahkan tujuannya sendiri, yakni mengindari

menjadi bangsa monokultural melalui kebijakan asimilasi.

Orang-orang yang tidak bisa masuk ke dalam kategori-kategori

budaya yang ada, akan ditinggalkan tanpa pilihan selain

„mengasimilasi“ ke dalam budaya-budaya resmi yang yang

tersedia (Hoon, 2006: 154, 159).

Page 20: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

22

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Hal ini sejalan dengan kritik Amartya Sen (sebagaimana

dikutip Ghoshal (2018)) terhadap multikulturalisme. Sen

berpendapat bahwa yang disebut sementara orang sebagai

multikulturalisme pada kenyataannya adalah “plural mono-

culturalism”, di mana setiap komunitas etnis hidup dalam

isolasi dari komunitas lain.

Gagasan terakhir, yakni hibriditas, masih dalam proses

pematangan. Hibriditas dianggap bisa mendukung dan

memperdalam kebijakan multikulturalisme. Hoon (2006: 163)

menyatakan bahwa “kondisi multikultural hanya dapat dijalani,

diregenerasikan dan ditransformasikan dengan mengakui

hibriditas”. Hibriditas dalam hal ini terkait dengan gagasan

sinkretisme budaya, yang memberi perhatian pada keterikatan

budaya yang rumit daripada sekedar perbedaan budaya, dengan

multikulturalisme. Dijelaskan bahwa politik hibriditas telah

menjadi intrinsik terhadap proses migrasi dan dislokasi, dan

telah dipraktikkan oleh penduduk setempat dan para migran

dalam negosiasi harian mereka dan pembangunan identitas

mereka, baik secara sadar atau tidak sadar (Hoon, 2006: 159-

160).

Kebijakan hibriditas akan mengapresiasi orang-orang

yang mempunyai identitas ganda, dan pada gilirannya akan

Page 21: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

23

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

membantu mengurangi garis kaku antara “pribumi” dan “non-

pribumi” (Hoon, 2006: 161). Sejalan dengan ini, Homi Bhabha,

sebagaimana dikutip oleh Hoon (2006: 160) berpendapat bahwa

keberlangsungan keragaman budaya tidak didasarkan pada

eksotisme multikulturalisme atau keragaman budaya, namun

pada artikulasi hibriditas budaya. Dalam hal ini, kita bisa

melihat bahwa multikulturalisme idealnya tidak hanya

mengakui keragaman etnis dan agama di tingkat makro-

masyarakat, tetapi juga pluralitas di dalam setiap kelompok

etnis atau agama (Hoon 2006: 160). Dengan mengakui

keragaman ini di tingkat mikro, multikulturalisme dapat

ditransformasikan menjadi „multikulturalisme sejati“.

Pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 menunjukkan

proses substansiasi demokrasi dan multikulturalisme di era

modern Indonesia. Basuki Tjajaha Purnama (l. 1966) dan Anies

Baswedan (l. 1969) terpilih untuk ikut dalam putaran kedua

pemilihan. Purnama adalah orang Kristen-Cina, sementara

Baswedan adalah Muslim-Arab. Wacana „pribumi versus non-

pribumi“ dan „Muslim versus non-Muslim“ mengemuka

selama pemilihan, dan terutama sekali ditujukan untuk

memaksimalkan penggaetan suara. Meski hasil akhir pemilihan

menunjukkan bahwa Purnama hanya mendapat 42%, angka ini

merupakan angka yang signifikan jika kita melihat fakta bahwa

Page 22: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

24

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Purnama menyandang „minoritas ganda“ (Cina dan Kristen).

Purnama berhasil menarik suara dan simpati dari pemilih

rasional, terutama dari kelompok-kelompok budaya yang

dominan. Dengan demikian, multikulturalisme masih memiliki

prospek yang ceraah di Indonesia. Selama era Suharto (1967-

1998) kita tidak dapat membayangkan bahwa orang Kristen-

Tionghoa dapat dipilih sebagai calon gubernur, dan dapat

memperoleh suara yang cukup besar. Orang Cina-Indonesia

selama rezim Suharto dominan dalam hal ekonomi tapi mereka

mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik.

Agama, Masyarakat Sipil dan Multikulturalisme

Sarjana Jerman Ernst-Wolfgang Böckenförde (l. 1930)

menyatakan bahwa „negara bebas sekuler sangat bergantung

pada premis-premis yang dia sendiri tidak bisa menjaminnya”.

Premis-premis ini meliputi moralitas, komitmen terhadap

ketertiban umum dan sejenisnya. Dalam kerangka pemikiran

ini, kita dapat mengatakan bahwa konstitusi sangat

membutuhkan „masyarakat sipil“ (civil society) untuk menjaga

keberlangsungan negara.

Masyarakat sipil bisa menjadi „modal sosial“ bagi

masyarakat atau negara yang bersangkutan. Modal sosial,

dalam pengertian ini, mengacu pada norma dan jaringan yang

Page 23: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

25

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

memungkinkan orang bertindak secara kolektif, memberikan

kerangka acuan umum untuk melakukan percakapan mengenai

isu-isu penting ini melampaui batas disiplin, metodologi,

ideologi dan budaya. Percakapan yang penting ini sangat

diperlukan untuk menyelesaikan banyak masalah itu sendiri

(Woolcock 2011: 197-198).

Dalam konteks masyarakat Indonesia masa kini, kita

dapat melihat ada beberapa tantangan terhadap

multikulturalisme. Tantangan-tantangan ini meliputi antara lain

„mayoritas yang merasa sebagai minoritas“ (majority with a

minority complex). Dalam hal ini, kaum Muslim Indonesia

seringkali terjangkit perasaan ini. Beberapa politisi selama

pemilihan sering mengeksploitasi perasaan ini, dengan

membingkai berita di media mainstream dan media sosial.

Overteologisasi fenomena sosial-politik juga bisa tantangan

bagi multikulturalisme, karena sudut pandang ini akan

menyederhanakan fenomena sosial-politik, dan akibatnya

menghalangi kita untuk memahami kompleksitas fenomena

sosial-politik. Menyederhanakan kompleksitas ini menjadi

sekedar teologis akan mempersempit ruang pemahaman kita

dan seringkali membawa kita untuk memusuhi semua yang

berbeda dari kita.

Page 24: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

26

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Prasangka dan kesalahpahaman juga merupakan

tantangan bagi multikulturalisme. Intoleransi dan ketegangan

sering dipicu oleh prasangka dan kesalahpahaman. Hal ini

sejalan dengan pepatah Arab: al-insan ‘aduww ma yajhal

(mausia seringkali memusuhi hal-hal yang tidak diketahuinya).

Tantangan lain terhadap multikulturalisme adalah politisasi

agama. Politisasi dalam hal ini dipahami sebagai pemanfaatan

sebuah isu oleh politisi demi mendapatkan keuntungan penuh

dari suara rakyat.

Essensialisasi bisa menghalangi masyarakat untuk

mengalami „multikulturalisme sejati“ (genuine

multiculturalism). Sudut pandang semacam ini mengakui ciri

khas identitas etnis yang bersifat tunggal dan tetap, dan tidak

mengenali identitas yang bervariasi (atau bahkan seringkali

saling tumpang tindih) di dalam individu. Dalam hal ini, kita

bisa melihat bahwa multikulturalisme seharusnya tidak hanya

mengakui keragaman etnis dan agama di tingkat makro-

masyarakat, tetapi juga pluralitas di dalam setiap kelompok

etnis atau agama (Hoon 2006: 160). Dengan mengakui

keragaman ini di tingkat mikro, multikulturalisme dapat

bertransformasi menjadi „multikulturalisme sejati“. Seseorang,

misalnya, bisa menjadi orang Jawa, Indonesia dan Muslim pada

saat bersamaan. Orang lain, misalnya, bisa menjadi orang Cina,

Page 25: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

27

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Indonesia dan Muslim pada saat bersamaan. Orang-orang yang

mempunyai identitas ganda (atau bahkan identitas majemuk)

dalam diri mereka dan menyadari bahwa identitas-identitas ini

adalah cair, akan dengan mudah mengembangkan

keterampilan multikultural, misalnya dengan menghargai dan

mengakui keragaman dengan masyarakat.

Organisasi Masyarakat Sipil Islam, Nation-building dan

Multikulturalisme

Masyarakat Sipil Islam di Indonesia saat ini terutama

sekali diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912. Gerakan khusus ini

mewakili kecenderungan ortodoks-puritan dan modernis dalam

Islam di Nusantara. Organisasi ini mempunyai sumbangan

besar terhadap Indonesia, terutama sekali dalam mengelola

sekolah modern, perguruan tinggi panti asuhan dan rumah

sakit, serta dalam mengawal dan mempengaruhi kebijakan

publik.

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1926, sebuah

organisasi lain bernama Nahdlatul Ulama didirikan. Organisasi

ini dianggap sebagai benteng pemikiran tradisional ortodoks di

Page 26: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

28

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

kalangan mayoritas ulama di Nusantara (van Niewenhuijze,

1985: 1229). Organisasi ini memperkuat otoritas „ulama“

dalam masyarakat Muslim (Burhanuddin 2007: 4).

Tahun 1983-1984 adalah sangat penting dalam

perkembangan Nahdlatul Ulama, karena pergeseran besar

orientasi sosial dan politik Nahdlatul Ulama terjadi selama

periode ini. Nahdlatul Ulama pernah berpartisipasi sebagai

partai politik dalam pemilihan umum pertama di Indonesia

pada tahun 1955. Van Bruinessen dan Wajdi (2006: 205-206)

menyatakan bahwa Muktamar 1984 memutuskan bahwa

Nahdlatul Ulama harus kembali ke garis aslinya (khittah)

sebagai organisasi keagamaan dan sosial non-politik.

Organisasi masyarakat sipil Islam Indonesia berbeda

dengan organisasi masyarakat sipil di negara Muslim lainnya

(terutama Jamaat-i Islami di Pakistan dan Ikhwanul Muslimin

di Mesir), dalam artian bahwa organisasi masyarakat sipil Islam

Indonesia lebih menunjukkan komitmen mereka terhadap

nasionalisme Indonesia dan tata pemerintahan konstitusional

(Hefner 2013: 58).

Hefner (2001: 491) menggarisbawahi persaingan antara

para pendukung „masyarakat sipil dan demokrasi“ dan

promotor „anti-pluralisme dan anti-demokrasi“ sebagai ciri

Page 27: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

29

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

utama politik Muslim di Indonesia kontemporer. Jika kita

melihat dalam konteks Indonesia, para pendukung „civil Islam“

berasal, dan mengasosiasikan diri mereka dengan berbagai tren

dan organisasi Islam. Tren-tren utama (dari mana pendukung

„civil Islam“ berasal) meliputi: tradisionalisme, modernisme,

neo-modernisme, dan liberalisme.

Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme tidak mesti

harus disandingkan dengan „modernisme“ dan „liberalisme“.

Menurut hemat saya (dan berdasar penelitian yang saya

lakukan),2 multikulturalisme dapat disandingkan secara cantik

dengan „tradisionalisme“, sehingga hal ini dapat memperoleh

kredibilitas yang besar dalam masyarakat akar rumput. Dalam

kerangka ini, tokoh Muslim tradisionalis dan organisasi Muslim

tradisionalis sangat mungkin memainkan peran penting dalam

mempromosikan multikulturalisme dalam masyarakat secara

umum, dan dalam kalangan kelompok anti-multikulturalis

secara khusus. Prospek multikulturalisme di Indonesia dengan

demikian dalam beberapa hal bergantung kepada agensi dan

peran yang dimainkan oleh tokoh Muslim tradisionalis dan

organisasi Muslim tradisionalis.

2 Lebih lanjut silakan lihat: Widiyanto (2016).

Page 28: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

30

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Menurut hemat saya, bersandingnya multikulturalisme

dengan „tradisionalisme Islam“ adalah merupakan salah satu

karakteristik “Islam Indonesia”. Karakteristik ini bisa dianggap

melengkapi atau memperkaya, dari „karakteristik Islam

Indonesia“ yang dirumuskan Azyumardi Azra.

Azra (2013: 63-74) merumuskan beberapa karakteristik

„Islam Indonesia“. Karakteristik ini meliputi: (a) penyebaran

Islam tanpa kekerasan (penetration pacifique) (b) mengalami

pengayaan budaya tanpa kehilangan akar budayanya sendiri; (c)

kaya warisan budaya; (d) negara Pancasila; (e) keterlibatan

perempuan di ruang publik; (f) organisasi mainstream yang

memegang erat pandangan dan sikap moderat mereka sudut; (g)

kelompok radikal yang jumlahnya kecil tapi vokal; (h)

pemberdayaan kaum moderat, sebagai penyeimbang dari

wacana dan praxis kaum radikal.

Prospek Nation-building dan Multikulturalisme di „Era

Matinya Kepakaran“

Era digital atau era cyber ditengarai dengan munculnya

internet sebagai alat komunikasi baru, yang menandingi alat-

alat komunikasi sebelumnya. Internet sebagai alat komunikasi

pada gilirannya membentuk budaya baru dan pola relasi sosial

yang baru. Era digital sering ditengarai orang sebagai „era

Page 29: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

31

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

matinya kepakaran“ (age of the death of expertise), mengingat

pola komunikasi dalam era internet (terutama dengan „media

sosial“-nya) adalah bersifat egaliter, dan karenanya

meniscayakan pola relasi sosial yang egaliter. Dalam pola relasi

sosial yang baru ini, semua orang berhak menulis dan

menyuarakan pemikirannya masing-masing di ruang publik

yang bersifat maya (virtual cyber space), yang pada gilirannya

mempunyai dampak terhadap „matinya kepakaran“, karena

semua orang di dunia maya dianggap sebagai setara.

Keadaan semacam ini juga merambah ke ranah agama.

Di era cyber, semua orang bisa menyuarakan pendapat

keagamaannya masing, bahkan mengeluarkan fatwa-nya

masing-masing. Sekalipun, misalnya, orang tersebut baru

belajar agama beberapa bulan yang lalu, namun sudah merasa

mumpuni dan menguasai ajaran agama tersebut dan merasa

pantas mengeluarkan fatwa terkait ajaran agamanya.

Era digital juga sering dianggap sebagai „era pasca-

kebenaran“ (post-truth era). Era ini menunjukkan keadaan di

mana „fakta obyektif“ menjadi kurang berpengaruh dalam

membentuk opini publik, dibanding daya tarik

„emosi/sentimen“ dan „kepercayaan personal“.

Page 30: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

32

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Hal ini tentunya sedikit banyak mempengaruhi

fragmentasi dalam masyarakat. Berkat sosial media, semacam

Facebook, Twitter dan Whatsapp, orang mudah membuat dan

menyebarkan informasi-informasi provokatif atau hoax, yang

sekiranya bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat, bukan

karena informasi itu benar adanya, namun karena informasi itu

berpotensi menarik sentimen dan kepercayaan personal

sebagian masyarakat. Bagi sebagian masyarakat tersebut,

tidaklah penting informasi itu sesuai dengan fakta atau tidak,

yang penting informasi tersebut sejalan dengan kepercayaan

pribadinya. Post-truth seringkali digunakan dalam kerangka

politik, di mana debat dan wacana publik lebih dibentuk oleh

daya tarik emosi, yang seringkali terlepas dari detail kebijakan

pemerintah yang ada.

Dalam konteks ini, muncul kemudian pertanyaan,

apakah otoritas masih diperlukan di era cyber? Bagaimana

prospek nation-building dan multikulturalisme di era digital?

Sebelum kita melihat lebih lanjut tentang problem ini, ada

baiknya, kita menengok dulu pengertian otoritas. Otoritas,

menurut Zambrano (2001), merujuk pada hubungan yang ada

antar individu di mana satu individu, didorong oleh

keadaannya, melakukan sesuatu yang diindikasikan oleh

Page 31: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

33

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

individu lain, atau sesuatu yang tidak akan dia lakukan tanpa

adanya indikasi semacam itu.

Era digital dalam beberapa hal berpengaruh pada relasi

sosial, termasuk kaitannya dengan otoritas. Di era ini muncul

bentuk baru otoritas, misalnya jumlah pengikut (follower) di

media media, dan sejauh mana sebuah gagasan (dari seorang

pengguna sosial media) disebarluaskan dan mendapat pengaruh

dari pengguna lain, di dunia maya.

Untuk melihat lebih gambar tentang otoritas di media

sosial, saya akan mengulas lebih jauh tentang A. Mustofa Bisri

dan Twitter. Twitter bisa dianggap sebagai bentuk komunikasi

dan organisasi sosial. Ketika kita melihat kesarjanaan Islam

tradisional, kita menyadari bahwa istilah „pengikut“ (followers)

di Twitter sebanding dengan istilah „mustami‘un“ (pendengar,

audience). Ketika kita beralih secara khusus kepada para

pengikut akun Twitter Bisri, kita juga dapat memastikan bahwa

sebagian dari „mustami‘un“ ini bisa masuk dalam kategori

„muqallidun“ (pengikut, penganut ide utama Bisri).

„Mustami‘un“ adalah istilah generik yang ditujukan

kepada mereka yang mengikuti gagasan Bisri. „Muqallidun“

adalah lebih spesifik dan merujuk pada orang-orang ini tidak

hanya membaca gagasan Bisri, tapi juga menganggapnya

Page 32: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

34

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

sebagai otoritas, dan karenanya berkonsultasi dengannya

mengenai beberapa masalah keagamaan, serta me-retweet

postingannya. Beberapa dari „muqallidun“ ini diperlakukan

oleh Bisri sebagai „pengikut elit“ (khawwas) yang dia ikuti dan

yang tweet-nya kadang-kadang di-retweet. Jika kita mengambil

analogi dengan kesarjanaan Islam tradisional, „retweet“

sebanding dengan „iqrar“ (mengkonfirmasikan, menyetujui)

(Widiyanto, 2016).

Dengan melihat penjelasan di atas, saya berargumen

bahwa otoritas masih diperlukan di era digital, hanya saja

otoritas ini mengalami transformasi dan adaptasi, misalnya

dalam kasus Twitter, yang sudah kita bahas tadi. Organisasi

masyarakat sipil Islam Indonesia (terutama sekali

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) tentunya masih

mempunyai peluang untuk mempunyai peranan yang kuat

dalam proses nation-building dan multikulturalisme. Hanya

saja, kedua organisasi tersebut harus menyadari bahwa ada

transformasi otoritas di era digital, dan tentunya ada

fragmentasi otoritas yang semakin massif berkat media sosial.

Peran kuat kedua organisasi tersebut dalam proses

nation-building dan multikulturalisme akan berlangsung di era

digital, jika kedua organisasi tersebut dapat mengembangkan

Page 33: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

35

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

strategi-strategi baru, dengan menggunakan internet, dan

karenanya bisa menjangkau generasi milenial, yang sangat

gandrung akan internet.

Prospek nation-building dan multikulturalisme di

Indonesia, dengan demikian, salah satunya, terletak pada

kemampuan Muhaammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam

beradaptasi dan menyiasati pola relasi sosial dan pola otoritas

yang berubah. Kedua organisasi tersebut sangat membutuhkan

tokoh-tokoh yang mempunyai penanda dan kredensial otoritas

yang solid (yang sangat diperlukan untuk mendapatkan

kredibilitas dari masyarakat), di satu sisi, dan mempunyai

kemampuan untuk mengadaptasi dan aktif di media sosial,

sehingga bisa mentransformasikan dirinya sebagai sebuah

otoritas di dunia maya, di sisi lain. Jangkauan pengaruh tokoh-

tokoh semacam itu dengan demikian semakin meluas, bukan

hanya pengaruh di dunia nyata (offline), namun juga di dunia

maya (online). Jamaah dan audience-nya dengan demikian juga

meluas, menjangkau dunia nyata dan dunia maya.

Page 34: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

36

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Daftar Pustaka

Alatas, Syed Farid. (1993). “A Khaldunian Perspective on the

Dynamics of Asiatic Societies”. Comparative

Civilizations Review, 29 (4): 29-51.

Alatas, Syed Farid. (2006). „Ibn Khaldun and Contemporary

Sociology”, International Sociology, 21 (6): 782-795.

Azra, Azyumardi. (2013). “Distinguishing Indonesian Islam:

Some Lessons to Learn”. In Islam in Indonesia:

Contrasting Images and Interpretations. ed. Jajat

Burhanuddin and Kees van Dijk. Amsterdam:

Amsterdam University Press.

Burhanuddin, Jajat. (2007). Islamic Knowledge, Authority and

Political Power: The ‘Ulama’ in Colonial Indonesia.

Unpublished Doctoral Thesis. Leiden: Universiteit

Leiden.

Connor, Walker. (1974). “Nation-building or Nation-

destroying?” World Politics. 24 (3): 319-355.

Edwards, Michael. (2011). “Civil Society and the Geometry of

Human Relations”. In The Oxford Handbook of Civil

Society. ed. Michael Edwards. Oxford: Oxford

University Press.

Gellner, Ernest. (1975). “Cohesion and Identity: the Maghreb

from Ibn Khaldun to Emile Durkheim”. Government

and Opposition. 10 (2): 203-218.

Ghoshal, Baladas. (2018). “Preserving Social Harmony in a

Multi-religious Society and the Threat from Primordial

Loyalties and Identity Politics: Case of Indonesia and

India. Conference paper, International Conference on

India and Indonesia: Exploring Cultural, Religious and

Linguistic Pluralities and Inclusive Identities, New

Delhi, February 19-20, 2018.

Page 35: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

37

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Gungwu, Wang. (2004). “Chinese Ethnicity in New Southeast

Asian Nations”. In Ethnic Relations and Nation-

building in Asia: The Case of Ethnic Chinese. ed. Leo

Suryadinata. Singapore: ISEAS.

Hamayotsu, Kikue. (2002). “Islam and Nation Building in

Southeast Asia: Malaysia and Indonesia in Comparative

Perspective”. Pacific Affairs, 75 (3).

Hefner, Robert. (2001). “Public Islam and the Problem of

Democratization”. Sociology of Religion. 62 (4): 491-

514.

Hefner, Robert. (2013). “Indonesia in the global scheme of

things: Sustaining the virtuous circle of education,

associations and democracy”. In Islam in Indonesia:

Contrasting Images and Interpretations. ed. Jajat

Burhanudin and Kees van Dijk. Amsterdam:

Amsterdam University Press.

Hoon, Chang Yau. (2006). “Assimilation, Multiculturalism,

Hybridity: The Dilemmas of Ethnic Chinese in Post-

Suharto Indonesia”. Asian Ethnicity, 7(2): 149-166.

Khaldun, Ibn ‘Abd al-Rahman. n.d. Al-Muqaddima. Beirut: Dar

al-Fikr.

Kymlicka, Will. (2001). Politics in the Vernacular:

Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship, Oxford:

Oxford University Press.

Menchik, Jeremy. (2014). “Positive Intolerance: Godly

Nationalism in Indonesia”. Comparative Studies in

Society and History, 56 (3): 591-621.

Miller, Donald E. (2011). “Civil Society and Religion”. In The

Oxford Handbook of Civil Society. ed. Michael

Edwards. Oxford: Oxford University Press.

Norman, Wayne. (2006) Negotiating Nationalism: Nation-

building, Federalism and Secession in the Multinational

State. Oxford: Oxford University Press.

Page 36: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

38

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

“Minorities Under International Law”, United Nations Human

Rights (2010),

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Minorities/Pages/intern

ationallaw.aspx, accessed September 21, 2017.

Schefold, R. (1998). “The Domestication of Culture: Nation-

building and Ethnic Diversity in Indonesia”. Bijdragen

tot de taal-, land- en volkenkunde. 154 (2): 259-280.

van Bruinessen, Martin and Farid Wajdi. (2006). “Syu’un

ijtima’iyah and the kiai rakyat: Traditionalist Islam,

Civil Society and Social Concerns”. In Indonesian

Transitions. eds. Henk Schulte Nordholt and Ireen

Hoogenboom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

van Niewenhuijze, C.AO. (1985). Aspects of Islam in Post

Colonial Indonesia. The Hague: W. van Hoeve, 1985.

Wahyudi, Agus. (2015). “Dealing with Difference/Antagonism:

Pancasila in the Post-Suharto Indonesia”. Conference

Paper, ISA Global South Caucus Singapore.

Weinstock, D. (1999). “Building Trust in Divided Societies”.

The Journal of Political Philosophy. 7 (3): 287-307.

Widiyanto, Asfa. (2016). Religious Authority and the Prospects

for Religious Pluralism in Indonesia: The Role of

Traditionalist Muslim Scholars. Berlin and London: LIT

Verlag.

Woolcock, Michael. (2011). “Civil Society and Social Capital”.

In The Oxford Handbook of Civil Society. ed. Michael

Edwards. Oxford: Oxford University Press.

Zambrano, Eduardo. (2001). “Authority, social theories of”. In:

Neil J. Smelser and Paul B. Baltes (eds.). International

Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences.

Amsterdam: Elsevier.

Page 37: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

39

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Curriculum Vitae

Name

Place/Date of Birth

Mobile Phone

Email

Current position

Teaching subjects

Scopus ID

Date of CV

Prof. Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.Ag, M.A.

Batang, 22 November 1975

085641921753

[email protected] /

[email protected]

Professor of Islamic studies at the State

Institute for Islamic Studies (IAIN) Salatiga,

Indonesia

Religion and social theory, religious pluralism

in Indonesia, philosophy of science, Islamic

theology, methods of Islamic studies, Islamic

mysticism, comparative religion, Islam in

Southeast Asia, Islam in Indonesia, history and

Islamic and Western civilisation, Introduction

to hermeneutics, Orientalism and

occidentalism

56780059300

https://www.scopus.com/authid/detail.uri?auth

orId=56780059300

March 12, 2018.

Page 38: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

40

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Academic Experiences:

1. Alexander von

Humboldt-

postdoctoral fellow

Philipps-Universität Marburg (Department of

Political

Science) and Otto-Friedrich-Universität

Bamberg

(Department of Languages and Cultures of the

Near

East, Islamic Studies and Jewish Studies)

Supervisors: Prof. Dr. Claudia Derichs and

Prof. Dr. Patrick Franke

Research Project: Religious Authority and the

Prospects for Religious Pluralism in Indonesia

Period: March 2011-May 2013

2.

3.

4.

Visiting lecturer

Visiting fellow

(Sabbatical leave)

Visiting fellow

(Alexander von

Humboldt- renewed

research stay)

Otto-Friedrich-Universität Bamberg

Master in Interreligious Studies

Seminar/teaching subject in German: Religiöser

Pluralismus in Indonesien (Religious Pluralism

in Indonesia)

Period: Winter Semester 2012/2013

Institute of Oriental Studies, The University of

Vienna,

Supervisor: Prof. Dr. Rüdiger Lohlker

Research Project: Sunni-Shia Convergence in

Indonesia and Austria

Period: October – December 2015

Otto-Friedrich-Universität Bamberg

Supervisor: Prof. Dr. Patrick Franke

Period: August – October 2016

Research Project: Between ‘political legitimacy’

and ‘social fabric of society’: Imamite-Shiite

Qur’anic commentary of al-Nahl (16): 90

Postgraduate School of State Islamic University

Page 39: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

41

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

5.

6.

Visiting lecturer

Editor

(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia

Seminar/ teaching subject: Religion and Social

Theory; History of Western Civilisation

Summer Semester 2015/2016

Indonesian Journal of Islam and Muslim

Societies

Period: 2011 – present

Educational Background:

1. Doctoral Degree : Rheinische Friedrich-Wilhelms-

Universität Bonn, Germany (Admission

date October 1, 2006, oral examination

date December 21, 2009, graduation date

June 30, 2012)

Qualification: Dr. phil.

Supervisors: Prof. Dr. Stephan Conermann

and Prof. Dr. Eva Orthmann

Doctoral thesis in English: magna cum

laude Ph.D. defense in German, on

December 21, 2009: magna cum laude,

These zur Disputation: (a) die Latihan

Kejiwaan der Subud-Bruderschaft und der

Begriff des Rituals; (b) die weibliche

Führung in der Tariqa und der Subud-

Bruderschaft; (c) Mahmoud Mohamed

Tahas Konzept von Naskh; (d) Seyyed

Hossein Nasr und die Gedankentradition

Suhrawardis.

Page 40: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

42

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

2 Master’s Degree : a. Universiteit Leiden, The Netherlands

(October 2003-March 2005)

Subjects: Methods and Principles of Islamic

Studies, Empirical Study of Islam in

Contemporary Western Europe,

Philology, Methods and Principles of the

Sciences of Religion

Qualification: M.A.

Grade: 8.5 (with the greatest pleasures of both

faculties)

3

.

4

.

Bachelor’s Degree

Senior High School

b. State Islamic University Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Indonesia

(October 1999-July 2002)

Subjects: Islamic Education, Islamic History,

Sociology of Education, Philosophy of

Education

Qualification: M.Ag. (M.A. in Religious

sciences)

State Institute for Islamic Studies (STAIN)

Surakarta, Indonesia

(October 1994-March 1999)

Subjects: Islamic Theology, Qur’anic Studies,

Hadith Sciences, Islamic Mysticism, Javanese

Mysticism, Islamic Philosophy, Islamic

History, Islamic Jurisprudence Qualification:

S.Ag. (B.A. in Religious sciences)

Grade : 3.8 (cum laude)

Programmed Islamic Senior High School

(MAPK-MAN 1 Surakarta, Indonesia)

(1991-1994).

Page 41: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

43

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Academic Grants:

1.

2.

3.

4.

August – October 2016

October – December 2015

December 2013 – December

2014

March 2011-May 2013

grant for a renewed research stay from the

Alexander von Humboldt-Foundation

sabbatical leave grant from the Ministry of

Religious Affairs Indonesia

return fellowship from the Alexander von

Humboldt-Foundation

postdoctoral fellowship from the Alexander

von

Humboldt- Foundation

5.

6.

January 2010

April-June 2008

“Deutscher Academischer Austauschdienst”

(DAAD),

and “Annemarie-Schimmel-Stiftung”,

financial aid for the publication of doctoral

thesis and scholarship from the “Annemarie-

Schimmel-Stiftung”,

fieldwork in Indonesia

7. October 2006-January 2010 Ph.D. scholarship from the “Deutscher

Academischer

Austauschdienst” (DAAD)

8. June-September 2006 scholarship from the “Deutscher

Academischer

Austauschdienst” (DAAD),

German intensive course

9. October 2003-March 2005 master’s scholarship from the Indonesian-

Netherlands

Cooperation in Islamic studies (INIS)

10 August-September 2003 scholarship from the Indonesian-Netherlands

Cooperation in Islamic studies (INIS),

English intensive course

11. 1999-2001 master’s scholarship from the Ministry of

Religious Affairs, Indonesia

12.

Winter Semester 1996 scholarship from the “Supersemar”

Foundation, Indonesia

Page 42: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

44

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

13. 1991-1994 scholarship from the Ministry of

Religious Affairs, Indonesia.

Language Proficiency:

1. German (active)

2. English (active)

3. Arabic (active)

4. Dutch (passive)

5. Indonesian (native)

6. Javanese (native)

Recent Publications:

1. “Traditional Science and Scientia Sacra: Origin and Dimensions

of Seyyed Hossein Nasr’s Concept of Science“, Intellectual

Discourse, Vol. 25, No. 1, (2017), p. 247-272.

http://journals.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/

view/1000

2. “The Plurality of Indonesian Society: Peril or Promise?”, in: H.-C.

Günther (ed.), Ethnic and Religious Cohabitation and Conflict,

(Nordhausen: Verlag Traugott Bautz, 2017), p. 217-243.

3. “Rekontekstualisasi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang

Bangunan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam“

(Recontextualization of Seyyed Hossein Nasr’s Ideas on the

Structure of Science and Islamic Education), Islamica: Jurnal

Studi Keislaman, vol. 11, no. 2, (2017), p. 277-305.

Page 43: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

45

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/view/247

4. “Violence in Contemporary Indonesian Islamist Scholarship:

Habib Rizieq Syihab and the 'enjoining good and forbidding

evil'”, in: Heydar Shadi (ed.), Islamic Peace Ethics, (Baden-

Baden: ithf und Nomos, 2017).

5. Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in

Indonesia: the Role of Traditionalist Muslim Scholars

(Berlin and London: LIT Verlag, 2016, 160 pages).

6. “The Reception of Seyyed Hossein Nasr’s ideas within the

Indonesian intellectual landscape”, Studia Islamika, Vol. 23, No.

2 (2016), p. 193-236.

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-

islamika/article/view/3002

7. “Constitution, Civil Society and the Fight against Radicalism:

The Experience of Indonesia and Austria”, Analisa: Journal of

Social Science and Religion, vol. 1, no. 2, 2016, p. 139 – 159.

http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/arti

cle/view/362

8. “Revelation is Unlimited: Divinely Inspired Speeches, ‘Testing’

and the Spiritual Training in the Subud Movement”, Komunitas:

International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 8,

no. 2 (2016), p. 185-198.

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/6

144

9. “Embodying Popular Piety: Code of Conduct and Death

Anniversary in the Tariqah Qadiriyyah wa Naqshbandiyyah”,

Page 44: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

46

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

Ulumuna: Journal of Islamic Studies, Vol. 20, No. 2 (2016), p.

263-292.

http://ejurnal.iainmataram.ac.id/index.php/ulumuna/article/view/

979

10. “The Rituals in Javanese Mystical Movement: the Subud

Brotherhood”, in: Gautam Kumar Jha and Son Kuswadi, India

Indonesia Legacy of Intimate Encounters, New Delhi: D.K.

Printworld, 2016.

11. “Female Religious Authority, Religious Minority and the

Ahmadiyya: The Activism of Sinta Nuriyah Wahid”, Journal of

Indonesian Islam, Vol. 9, No. 1 (2015), p. 1-24.

http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/163

12. “Manaqib Writing in the Circle of the Tariqa Qadiriyya wa

Naqshbandiyya: A Study on Muhammad Siddiq al-Salihi’s Nayl

al-Amani”, Heritage of Nusantara: International Journal of

Religious Literature and Heritage, Vol. 4, No. 2 (2015), p. 213-

242.

http://jurnallektur.kemenag.go.id/index.php/heritage/article/view

/85

13. Konstruk Ilmu Pengetahuan dan Signifikansinya dalam Upaya

Restorasi Pendidikan Islam (The Structure of Science and Its

Significance for the Restoration of Islamic Education) (Salatiga.

LP2M IAIN Salatiga, 2015. ISBN: 978-602-73757-6-5)

14. “Salahuddin Wahid and the Defence of Minority Rights in

Contemporary Indonesia”, Al-Jami’ah: Journal of Islamic

Studies, Vol. 52, No. 2 (2014), p. 271-307.

http://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/172

Page 45: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

47

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

15. “Religious pluralism and contested religious authority in

contemporary Indonesian Islam”, in: Kees van Dijk and Jajat

Burhanuddin (eds.), Islam in Indonesia: Contrasting Images and

Interpretations, (Amsterdam: Amsterdam University Press,

2013), p. 161-172.

16. “Reframing the gendered dimension of Islamic spirituality:

Silsilah and the ‘problem’ of female leadership in the tarekat”,

in: Bianca Smith and Mark Woodward (eds.), Gender and

Power Indonesian Islam: Leaders, Feminists, Sufis and

Pesantren Selves, (London and New York: Routledge, 2013), p.

103-116.

17. Ritual and Leadership in the Subud Brotherhood and the Tariqa

Qadiriyya wa Naqshbandiyya (Berlin and Hamburg: EB-

Verlag, 2012, 383 pages).

Presented Papers:

1. “Islam and Nation-building in Digital Age: The Role of the

Nahdlatul Ulama”, New Delhi, 19-20 February 2018

2. “The Rituals of the Tariqa Qadiriyya wa Naqshbandiyya:

Contexts and Features”, Annual International Conference on

Islamic Studies, Jakarta, 20-23 November 2017

3. “Nation-building, Belonging and Multiculturalism:

Contextualising Ibn Khaldun’s Theories and Beyond”, The

Fourth International Ibn Khaldun Symposium: Open

Civilization: Encounters, Differences and Uncertainties,

Istanbul, Turkey, 19-21 May 2017

4. “Constitution, Civil Society and the Fight against Radicalism:

The Experience of Indonesia and Austria”, Annual International

Conference on Islamic Studies (AICIS), Bandar Lampung, 1-4

November 2016

Page 46: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

48

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

5. “Female Religious Authority and the Activism in Protecting

Religious Minority”, Annual International Conference on

Islamic Studies (AICIS), Manado, 3-6 September 2015

6. “Manaqib writing in the circle of the Tariqa Qadiriyya wa

Naqshbandiyya”, International Symposium on Religious

Literature an Heritage, Centre for Research and Development of

Religious Literature and Heritage, Jakarta, Indonesia, 15-18

September 2015

7. “Violence in Contemporary Indonesian Islamist Scholarship”,

International Workshop on Islamic Peace Ethics, Hamburg,

Germany, 16-17 October 2015

8. “Intoleranz, Gewalt und Pluralismus im zeitgenössischen

Indonesien (Intolerance, Violence and Pluralism in

Contemporary Indonesia), Guest Lecture, Institute of Oriental

Studies, the University of Vienna, Austria, 10 December 2015

9. “Das Verhältnis zwischen Sunniten und Schiiten im

Indonesien“ (Relationship between Sunnites and Shiites in

Indonesia), training for teachers, Privater Hochschullehrgang für

Islamische Religionspädagogische Weiterbildung (IHL) Vienna,

7 December 2015.

10. “The Plurality of Indonesian Society: Promise or Peril”,

Conference on China Facing the Challenges of 21st Century in

the Mirror of its Changing Legal System, Central South

University, Changsha, China, 16-19 April 2015

11. “Salahuddin Wahid and the Defence of Minority Rights in

Indonesia”, International Conference on Religious Authority,

Piety and Activism: Ulama in Contemporary Muslim Societies,

State Islamic University (UIN) Yogyakarta, Indonesia, 28-30

November 2014

12. “The Rituals in Javanese Mystical Movement: the Subud

Brotherhood”, International Conference on India-Indonesia

Bilateral Ties, Jawaharlal Nehru Convention Centre, New Delhi,

India, 18-20 November 2013

Page 47: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

49

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

13. “Religious Pluralism and the Contested Religious Authority in

Contemporary Indonesian Islam: A. Mustofa Bisri and Emha

Ainun Nadjib”, International Conference on Islam in Indonesia

in an International Comparative Perspective, Bogor, Indonesia,

24-26 January 2011

14. “Religiöser Pluralismus und religiöse Autorität im

zeitgenössischen indonesischen Islam: Mustofa Bisri (geb.

1944) und Emha Ainun Nadjib (geb. 1953)“, Deutscher

Orientalistentag (German Congress of Oriental Studies),

Marburg, Germany, 20-24 September 2010

15. “Dhikr and its meanings among members of Naqshbandi Sufi

order in the Netherlands”, 2004 Europaeum Summer School,

The Hague, The Netherlands, 28 August-2 September 2004.

Certificates of Intellectual Property Rights (HKI):

1. Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in

Indonesia: the Role of Traditionalist Muslim Scholars, (Zürich

and London: LIT Verlag, 2016), 160 pages, ISBN: 3643906501/

978-3643906502. Obtained the certificate of Intellectual Property

Rights from the Indonesian Ministry of Law and Human Rights,

certificate number: 078664, year: 2016

2. Sunni-Shia Convergence in Indonesia and Austria: Problems and

Prospects (138 pages).

Obtained the certificate of Intellectual Property Rights from the

Indonesian Ministry of Law and Human Rights, certificate

number: 078662, year: 2016

3. “Traditional Science and Scientia Sacra: Origin and Dimensions of

Seyyed Hossein Nasr’s Concept of Science”. Obtained the

certificate of Intellectual Property Rights from the Indonesian

Ministry of Law and Human Rights, year: 2017

Page 48: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

50

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

4. “Constitution, Civil Society and the Fight against Radicalism: The

Experience of Indonesia and Austria”. Obtained the certificate of

Intellectual Property Rights from the Indonesian Ministry of Law

and Human Rights, year: 2017.

Page 49: Asfa Widiyanto - IAIN Salatigae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5670/1/Islam edit... · 2019. 6. 25. · Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”

51

Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”