3
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
4
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Islam, Multikulturalisme
dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Prof. Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.Ag., M.A.
Nation-building dalam konteks Asia pasca-penjajahan,
termasuk Indonesia, terutama terkait dengan menentukan dan
mengimajinasikan batas-batas negara. Proses ini merupakan
proses yang menarik dan penuh dinamika. Isu „pribumi“ dan
„non-pribumi“ adalah bagian dari proses nation-building yang
kompleks ini.
Nation-building adalah proses dinamis terkait imajinasi
dan keterikatan terhadap sebuah bangsa. Hal ini tidak hanya
diperlukan pada pembentukan negara tetapi juga dalam
mempertahankan keberlangsungan negara. Sebuah bangsa
harus senantiasa dibangun untuk mencegah potensi ancaman
yang bisa menghancurkannya. Di banyak negara, nation-
building terutama sekali dilandaskan pada “budaya
masyarakat” (societal culture) yang dominan.
Menarik kiranya untuk melihat lebih jauh peran Islam
dalam proses nation-building dan multikulturalisme di
Indonesia. Hal ini mengingat bahwa Islam adalah agama
5
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
mayoritas masyarakat, dan karenanya merupakan “budaya
masyarakat” yang dominan. Makalah ini akan memfokuskan
pada organisasi masyarakat sipil Islam, terutama sekali
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Makalah ini
menekankan bahwa peran kuat Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama akan berlangsung di era digital, jika kedua organisasi
tersebut mampu mengembangkan strategi-strategi baru, dengan
menggunakan internet, dengan demikian bisa berpotensi
menjangkau generasi milenial.
Strategi Nation-building di Negara Multi-nasional
Nation-building dalam konteks Asia, pada umumnya,
dan di Indonesia, khususnya, berbeda dengan yang ada di
Eropa. Di Eropa, nation-building didasarkan pada budaya
dominan tunggal, yaitu kesamaan bahasa, agama dan sejarah.
Di Eropa, nation-building lebih banyak berkaitan dengan
identifikasi diri atau pembangunan diri daripada konstruksi
yang dipaksakan secara eksternal (Gungwu, 2004: 3-4).
Gungwu (2004:4) lebih jauh menjelaskan bahwa:
In Asia, we know that some of our nation-states are
more artificial. This is true not only of Asia, but also in
Africa and other places as well, places that have come
out of recent imperial and colonial experiences during
6
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
which borders were drawn by outside interests. These
external factors have created conditions that have made
the borders meaningless for some people and
meaningful for others. Once there was the concept of
borders, then you have, as scholars like Benedict
Anderson have suggested, imagined national
communities, or people seeking to re-imagine
themselves as a nation within borders already drawn.
(Di Asia, kita tahu bahwa beberapa negara-bangsa kita
lebih bersifat artifisial. Hal ini berlaku tidak hanya di
Asia, tapi juga di Afrika, dan tempat-tempat lain juga
yang merasakan pengalaman penjajahan, di mana
„batas“ (negara-bangsa) diletakkan terutama sekali oleh
kepentingan luar. Faktor eksternal ini telah menciptakan
kondisi yang telah membuat „batas“ menjadi kurang
bermakna bagi sementara orang dan menjadi bermakna
bagi orang lain. Begitu ada konsep „batas“, maka Anda
punya, sebagaimana yang dikemukakan para ilmuwan
seperti Benedict Anderson, „komunitas bangsa yang
terbayangkan“, atau orang-orang yang ingin
membayangkan kembali diri mereka sebagai sebuah
bangsa yang berada di dalam batas yang telah
ditentukan).
7
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Dalam hal ini terlihat bahwa nation-building di Asia,
terutama terkait dengan menentukan dan mengimajinasikan
batas-batas negara. Proses ini merupakan proses yang menarik.
Isu „pribumi“ dan „non-pribumi“ adalah bagian dari proses
nation-building yang kompleks ini.
Ada beberapa strategi nation-building yang bisa diambil
oleh negara-negara yang warganya terdiri dari berbagai suku
(multi-national states), dan memiliki kelompok mayoritas yang
dominan. Pertama, nation-building didasarkan pada „budaya
masyarakat“ yang dominan (Kymlicka 2001). Kedua, nation-
building didasarkan pada platform baru yang disepakati oleh
para pendiri bangsa. Dalam konteks Indonesia, Pancasila bisa
dianggap sebagai platform baru yang mendasari nation-building
di Indonesia.
Negara multi-nasional yang tidak memiliki kelompok
mayoritas yang dominan, bisa mengambil paling tidak tiga
strategi dalam nation-building. Pertama, nation-building
terutama didasarkan pada kelompok minoritas yang dominan.
Kedua, membuat identitas bersama (common identity) sebagai
dasar nation-building. Ketiga, mencari sebuah basis solidaritas,
yang memungkinkan semua warga bisa bekerja sama, dan
8
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
dengan demikian bisa membangun kepercayaan antar sesama
(trust-building).
Weinstock (1999) dan Norman (2006) menegaskan
pentingnya trust-building:
We look elsewhere for a basis for solidarity within
multinational, divided societies rather than looking to
promote a common identity, we should look for policies
and institutional arrangements that will inspire trust
between the communities. In other words, trust-building
might be an alternative to nation-building, at least for
majority nationalists trying to hold together their
multination state.
(Kita sebaiknya mencari basis solidaritas dalam
masyarakat multinasional dan terpecah belah, daripada
berupaya mempromosikan identitas bersama. Kita
seharusnya mencari kebijakan dan pengaturan
kelembagaan yang akan menumbuhkan
kesalingpercayaan di antara masyarakat. Dengan kata
lain, membangun kepercayaan (trust-building) bisa
menjadi alternatif dari nation-building, setidaknya bagi
kaum nasionalis mayoritas yang berusaha
mempertahankan negara multinasional mereka).
9
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Islam, Ideologi Negara dan Nation-building
Meski Muslim merupakan mayoritas, Indonesia tidak
menjadikan Islam sebagai fondasi negara. Presiden pertama
Indonesia Soekarno (memerintah 1945-1967) mengukuhkan
Pancasila sebagai dasar Republik yang baru lahir ini. Hal ini
disebabkan oleh aspirasi nasionalistik yang kuat di antara para
pendiri bangsa, yang menganggap bahwa memasang satu
ideologi eksklusif sebagai fondasi negara berpotensi
membahayakan persatuan bangsa, mengingat Indonesia adalah
beragam dalam hal etnis dan agama. Nation-building dalam hal
ini adalah upaya pemimpin nasional, terutama para pendiri
bangsa, yang mencerminkan dalam beberapa hal dasar
ideologis masing-masing (Hamayotsu, 2002: 2-3).
Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa dalam kasus
dasar negara, para pendiri bangsa mencari sebuah platform baru
yang dapat berfungsi sebagai landasan filosofis negara yang
baru lahir. Platform ini dianggap oleh para pendiri bangsa
sebagai kristalisasi falsafah bangsa Indonesia, dan karenanya
dapat berfungsi sebagai kekuatan pengintegrasian semua
elemen dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ideologi
negara ini mencerminkan Indonesia sebagai „negara pluralis“.
Pancasila terdiri dari lima sila yang meliputi: (a) ketuhanan
10
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
yang Maha Esa; (b) kemanusiaan yang adil dan beradab, (c)
persatuan Indonesia; (d) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan (e)
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara Pancasila bukanlah „negara sekuler“. Hal ini
mengingat bahwa sila pertama dari ideologi negara ini berbunyi
„Ketuhanan Yang Maha Esa“. Adalah menarik untuk melihat
kompetisi penafsiran tentang Pancasila pada masa Orde Baru.
Wahyudi (2015: 3-4) menegaskan bahwa penafsiran Pancasila
yang bersaing selama era ini menunjukkan antagonisme politik,
yang tidak mendapatkan solusi rasional apapun. Hal ini
disebabkan oleh ketegangan antara dua kekuatan utama dalam
masyarakat Indonesia: „nasionalis sekuler“ dan „fundamentalis
Islam“.
Wahyudi memahami „nasionalis sekuler“ sebagai
organisasi dan individu tertentu yang terlibat dalam kegiatan
lembaga pemerintah dan masyarakat sipil yang peduli dengan
politik Islam radikal atau fundamentalisme Islam.
Selanjutnya, Wahyudi (2015: 6-7) menyoroti tiga jenis
„nasionalis sekuler“. Pertama, adalah „kaum nasionalis sekuler
yang marjinal dan radikal“. Kategori ini mengacu pada sikap
nasionalis sekuler yang terutama sekali berseberangan dengan
11
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Islam radikal Islam dan semua gagasan tentang Islamisme.
Kategori kedua adalah „nasionalis sekuler yang mainstream
dan kompromis“. Kelompok ini umumnya tidak menyadari
orientasi ideologisnya dan tidak peduli dengan pertanyaan
tentang prinsip ideologis yang berkaitan dengan Islam radikal
dan kelompok-kelompok Islamisme. Kelompok atau kategori
terakhir adalah „kaum nasionalis sekuler yang reformis dan
tercerahkan“. Kelompok nasionalis sekuler ini menyadari dan
dapat memikirkan orientasi dan preferensi ideologis mereka,
yang sebagian besar berorientasi liberal.
Indonesia di bawah rezim Suharto terus menegakkan
pendirian ideologis sekuler-nasionalis. Rezim ini mengawasi
dan mencoba untuk menjinakkan kekuatan Islam di negara
Indonesia. Suharto mengambil pendekatan eksklusif terhadap
Islam, meskipun dia mengubah kebijakannya di akhir tahun
1980an dengan menunjukkan pendekatan terhadap kekuatan
Islam (Hamayotsu, 2002: 3-8).
Bangsa Indonesia menetapkan „bahasa Indonesia“
sebagai bahasa nasional mereka. Bahasa ini merupakan
romanisasi bahasa Melayu. Menarik untuk dicatat bahwa
bangsa Indonesia tidak memilih bahasa Jawa sebagai bahasa
nasional, walaupun suku Jawa merupakan suku yang paling
12
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
dominan di Indonesia, dan karenanya masyarakat Jawa
memiliki potensi tinggi untuk menetapkan bahasa mereka
sebagai bahasa nasional. Namun yang terjadi tidaklah demikian
adanya. Bahasa Melayu yang mengalami romanisasi, yang
kemudian disebut „bahasa Indonesia“, dipilih sebagai bahasa
nasional, dengan alasan bahwa bahasa ini sederhana dan telah
digunakan sebagai lingua franca di nusantara. Bahasa
Indonesia, karenanya, berkontribusi pada nation-building dan
identitas bersama dari bangsa Indonesia.. Kasus bahasa
Indonesia ini menunjukkan tidak mesti bahwa „budaya
masyarakat” yang dominan yang mempengaruhi nation-
building.
Dalam proses nation-building, keragaman bangsa
seringkali tidak dapat diakomodasi secara penuh, dan
karenanya ini seringkali harus dijinakkan. Schefold (1998: 261)
menunjukkan bahwa keterikatan etnis primordial semacam itu
terus dipertahankan melalui semua proses modernisasi adalah
selaras dengan kebutuhan emosional alami untuk „penegasan
sosial“. Di negara-negara Dunia Ketiga yang baru dan nyaris
tidak terkonsolidasi, bagaimanapun, keterikatan ini mempunyai
potensi bahaya, karena mengancam untuk melemahkan
solidaritas nasional. Salah satu reaksi realistis terhadap hal itu
adalah dengan „menjinakkan“ mereka. Sejalan dengan ini,
13
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Hoon (2006: 153) menunjukkan bahwa selama era Suharto,
keragaman dikorbankan atas nama persatuan dengan menekan
SARA (Suku, Agama Ras dan Golongan).
Nasionalisme Indonesia, menurut Menchik (2014: 594),
merupakan „nasionalisme ketuhanan” (godly nationalism).
Jenis nasionalisme ini digambarkan sebagai komunitas imajiner
yang terikat oleh teisme umum dan ortodoks dan dimobilisasi
melalui negara bekerjasama dengan organisasi keagamaan
dalam masyarakat. Menchik kemudian menjelaskan selama
warga negara percaya pada salah satu agama yang diakui
pemerintah, mereka menjadi anggota penuh masyarakat sipil
dan mendapatkan perlindungan negara dan manfaat
kewarganegaraan lainnya (Menchik, 2014: 600). Oleh karena
itu, Ketuhanan yang Maha Esa, atau monoteisme, merupakan
landasan penting dari nation-building di Indonesia.
Gagasan tentang „nasionalisme ketuhanan“ didasarkan
pada konsepsi bahwa praktek dan wacana keagamaan bisa
menjadi bagian konstitutif dari identitas nasional daripada
hanya sekedar epifenomenal atau tabir asap untuk kepentingan
politik yang menyeramkan. Menchik lebih lanjut menjelaskan
bahwa nasionalisme Indonesia terus berakar pada solidaritas
agama walaupun Indonesia bukanlah negara Islam (Menchik,
14
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
2014: 596-598). Dalam hal ini, kita mungkin bisa memahami
bahwa Nahdlatul Ulama sejak awal menunjukkan bahwa Islam
tidak bertentangan dengan nasionalisme, dan karenanya mereka
mengusung „hub al-watan min al-iman“ (cinta tanah air adalah
bagian dari iman).
Nation-building dan Pluralitas: Selalu Sejalan?
Nation-building dan pluralitas tidaklah selalu sejalan.
Hal ini mengingat bahwa nation-building mengandaikan
adanya persatuan dan identitas bersama yang memungkinkan
sekelompok masyarakat membentuk sebuah bangsa. Sedangkan
pluralitas menunjuk pada keragaman yang ada di dalam
masyarakat, yang seringkali menjadi hambatan untuk
mengikatkan diri menjadi sebuah bangsa, jika kelompok-
kelompok yang ada lebih mengedepankan identitas dan
kepentingan kelompoknya masing-masing, tanpa mau
membangun atau mengikat pada basis solidaritas atau identitas
bersama bangsa.
Menarik kiranya untuk melihat persoalan nation-
building dan keragaman dalam perspektif pemikir Muslim abad
pertengahan semacam Ibn Khaldun (1332-1406), yang
dianggap bapak sosiologi. Ibnu Khaldun dianggap sebagai
salah satu teoretisi kohesi sosial, bersama dengan sosiolog
15
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
modern seperti Emile Durkheim (1858-1917). Ibn Khaldun
memberi perhatian khusus dua masalah utama: (a) apa yang
membuat manusia terikat satu sama lain sehingga membentuk
masyarakat? dan (b) apa yang mendorong mereka untuk
mengidentifikasi diri sebagai kelompok sosial, untuk menerima
dan mematuhi norma-normanya, untuk menundukkan
kepentingan pribadi mereka, untuk menerima otoritas para
pemimpinnya dan menginternalisasi tujuannya? (Gellner 1975:
203)
'Asabiyya menempati posisi sentral dalam bangunan
teori yang dikembangkan Ibn Khaldun. 'Asabiyya dipahami
oleh Ibn Khaldun sebagai „perasaan solidaritas di antara
anggota kelompok yang berasal dari pengetahuan bahwa
mereka memiliki kesamaan asal“ (Alatas 2006: 784).
Menurut Ibn Khaldun, 'asabiyya mencakup tiga
dimensi: (a) ikatan kekerabatan, (b) agama yang bisa menjadi
dasar kohesi sosial, seperti Islam yang memberikan idiom
bersama yang melegitimasi aspirasi kepala suku untuk otoritas
kerajaan, dan (c) kekuatan kepala suku melalui perdagangan,
jarahan, penjarahan dan penaklukan (Alatas 1993: 31). Konsern
Ibnu Khaldun adalah terhadap pembentukan negara dan
keberlanjutan negara pada zaman pra-modern. Kendatipun
16
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
demikian, kita dapat melihat kesejajaran antara gagasan Ibn
Khaldun tentang 'asabiyya dan konsepsi modern tentang
nation-building.
Ibn Khaldun (t.t.: 164-166) menyatakan bahwa „sebuah
dinasti jarang berdiri dengan kokoh di daerah yang dihuni
banyak suku dan kelompok yang berbeda“. Lebih lanjut, Ibn
Khaldun menjelaskan:
Alasannya adalah perbedaan pendapat dan keinginan.
Di balik setiap pendapat dan keinginan, ada 'asabiyya
yang mempertahankannya. Setiap saat, oleh karena itu,
ada banyak oposisi terhadap sebuah dinasti dan
pemberontakan melawannya. Bahkan jika dinasti itu
memiliki 'asabiyya, karena masing-masing 'asabiyya
yang berada di bawah kendali dinasti yang berkuasa
berpikir bahwa mereka memiliki kuasa yang cukup
kuat.
Dalam hal ini, tingkat keragaman yang tinggi tanpa
kohesi sosial dianggap sebagai ancaman dan bukan peluang,
terutama terhadap stabilitas negara atau dinasti. Perlu kiranya
dicatat bahwa Ibn Khaldun tidak melihat keragaman etnis
semata sebagai ancaman terhadap stabilitas negara.
Pernyataannya harus dipahami dalam konteks gagasan
17
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
utamanya tentang „kohesi sosial“. Keragaman etnis bisa
mengancam stabilitas negara jika tidak ada kohesi sosial di
antara suku-suku tersebut, baik itu dilandaskan oleh „suku
dominan“ (konsep modern: societal culture yang dominan) atau
oleh nilai-nilai agama.
Keragaman suku bisa menjadi modal jika keragaman ini
dipersatukan oleh agama, misalnya, dan karenanya merupakan
organisasi sosial. Hal ini dapat diamati dari pernyataan Ibn
Khaldun (t.t. .: 163-164):
Perwakilan dari 'asabiyya adalah milisi yang menetap di
provinsi-provinsi dan wilayah-wilayah dinasti dan
tersebar di dalamnya. Semakin banyak suku dan
kelompok dari dinasti besar, semakin kuat provinsi dan
wilayahnya. Oleh karena itu, wilayah kerajaan mereka
lebih luas. Contohnya adalah dinasti Muslim saat Allah
mempersatukan kekuatan orang Arab dalam Islam.
Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada 'asabiyya,
terutama dari suku dominan, yang memainkan peran penting
dalam membangun dan mempertahankan dinasti tersebut. Ibn
Khaldun (t.t.: 166-167) menegaskan peran 'asabiyya dominan
dalam menyatukan bangsa: „'asabiyya salah satu suku harus
lebih superior dari semua suku lain, agar bisa menyatukan
mereka, dan untuk merekatkankannya menjadi satu 'asabiyya
18
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
(besar) yang bisa menaungi semua kelompok“. Dalam hal
menarik untuk dicatat bahwa konsep modern tentang nation-
building juga didasarkan pada budaya masyarakat mayoritas
atau dominan. Dengan demikian, nation-building tidak bisa
terlepas dari power, yakni dari kelompok dominan dengan
budaya masyarakatnya.
Minoritas, Keterikatan dan Nation-building
Minoritas dipahami sebagai: “a group numerically
inferior to the rest of the population of a state, in a non-
dominant position, whose members --being nationals of the
state-- possess ethnic, religious or linguistic characteristics
differing from those of the rest of the population and show, if
only implicitly, a sense of solidarity, directed towards
preserving their culture, traditions, religion or language”
(kelompok yang secara numerik lebih rendah dari populasi lain
dalam negara, dalam posisi yang tidak dominan, yang
anggotanya - yang merupakan warga negara - memiliki
karakteristik etnis, agama atau bahasa yang berbeda dari
populasi lain, dan menunjukkan, sekalipun hanya secara
19
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
implisit, rasa solidaritas yang diarahkan untuk melestarikan
budaya, tradisi, agama atau bahasa mereka).1
Kymlicka (2001) menunjukkan bahwa nation-building
pada umumnya didasarkan pada budaya masyarakat dominan
atau mayoritas. Kymlicka lebih lanjut menjelaskan bahwa
setidaknya ada tiga strategi yang mungkin dilakukan minoritas
dalam menyikapi nation-building yang dipromotori oleh
mayoritas: (a) mengakui integrasi ke dalam budaya masyarakat
mayoritas; (b) berjuang untuk membangun budaya masyarakat
mereka sendiri dan bersaing dengan nation-building yang
dijalankan negara; dan (c) menerima marjinalisasi.
Setidaknya ada tiga wacana yang berkaitan dengan cara
akomodasi minoritas etnis (terutama sekali Tionghoa)
diakomodasi di Indonesia. Wacana ini meliputi asimilasi,
multikulturalisme dan hibriditas. Di bawah rezim Suharto
(1967-1998), asimilasi adalah wacana yang berlaku, yang
memaksa orang Tionghoa untuk mengintegrasikan diri mereka
ke dalam kerangka identitas nasional (Hoon, 2006: 149).
Schefold (1998: 270) menunjukkan bahwa semua penduduk
1 “Minorities Under International Law”, United Nations Human Rights
(2010),
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Minorities/Pages/internationallaw.aspx,
accessed September 21, 2017.
20
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
keturunan Tionghoa mendapat tekanan berat untuk melepaskan
tradisi etnis mereka dan untuk berasimilasi. Pada bulan Mei
1998, Indonesia menyaksikan kerusuhan anti-Cina yang secara
jelas menunjukkan kekecewaan atas kebijakan asimilasi (Hoon,
2006: 149).
Politik asimiliasi ini banyak dikritik baik oleh oleh
ilmuwan Indonesia maupun dari luar. Dalam ilmu politik secara
luas, Connor dianggap sebagai salah satu ilmuwan yang
menganggap bahwa nation-building dengan politik asimilasi
pada hakekatnya adalah “pembinasaan bangsa” (nation-
destroying). Connor (1994) berargumen bahwa nation-building
dengan pendekatan menciptakan satu identitas nasional melalui
proses rekayasa sosial yang cenderung bersifat asimilatif akan
memberikan hasil sebaliknya yaitu “pembinasaan bangsa”.
Pemimpin Indonesia pasca-Suharto menyadari akan
kegagalan kebijakan asimilasi, dan karenanya menyetujui
kebijakan multikulturalisme untuk membangun kembali
bangsa. Kebijakan ini diyakini sesuai dengan moto nasional
“Bhinneka Tunggal Ika”. Multikulturalisme mencoba memberi
anti-tesis terhadap homogenisasi budaya dengan mengakui
koeksistensi dan representasi yang sama dari berbagai budaya
dan masyarakat dalam negara-bangsa. Multikulturalisme
21
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
mencoba memberikan ruang bagi minoritas yang tertindas dan
memberikan mereka identitas, subjektivitas dan kepribadian
dengan mendorong individu-individu di dalam minoritas
tersebut untuk “menceritakan” pengalaman mereka sendiri
tentang penindasan (Hoon, 2006: 149-154).
Namun ada perdebatan tentang multikulturalisme di
Indonesia. Beberapa ilmuwan mengkritik bahwa dalam politik
multikulturalisme, batas-batas perbedaan dan konsep
keragaman masih ditentukan oleh kelompok hegemonik dan
dominan tertentu. Mereka juga mengkritik kebijakan ini karena
kebijakan mengasumsikan bahwa setiap individu hanya
memiliki satu identitas budaya tersendiri. Multikulturalisme
karenanya tidak memberi pengakuan pada individu yang
memiliki lebih dari satu identitas. Lebih lanjut, para ilmuwan
ini berpendapat bahwa dengan menetapkan batasan dan
penggambaran yang jelas antara budaya, multikulturalisme
telah mengalahkan tujuannya sendiri, yakni mengindari
menjadi bangsa monokultural melalui kebijakan asimilasi.
Orang-orang yang tidak bisa masuk ke dalam kategori-kategori
budaya yang ada, akan ditinggalkan tanpa pilihan selain
„mengasimilasi“ ke dalam budaya-budaya resmi yang yang
tersedia (Hoon, 2006: 154, 159).
22
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Hal ini sejalan dengan kritik Amartya Sen (sebagaimana
dikutip Ghoshal (2018)) terhadap multikulturalisme. Sen
berpendapat bahwa yang disebut sementara orang sebagai
multikulturalisme pada kenyataannya adalah “plural mono-
culturalism”, di mana setiap komunitas etnis hidup dalam
isolasi dari komunitas lain.
Gagasan terakhir, yakni hibriditas, masih dalam proses
pematangan. Hibriditas dianggap bisa mendukung dan
memperdalam kebijakan multikulturalisme. Hoon (2006: 163)
menyatakan bahwa “kondisi multikultural hanya dapat dijalani,
diregenerasikan dan ditransformasikan dengan mengakui
hibriditas”. Hibriditas dalam hal ini terkait dengan gagasan
sinkretisme budaya, yang memberi perhatian pada keterikatan
budaya yang rumit daripada sekedar perbedaan budaya, dengan
multikulturalisme. Dijelaskan bahwa politik hibriditas telah
menjadi intrinsik terhadap proses migrasi dan dislokasi, dan
telah dipraktikkan oleh penduduk setempat dan para migran
dalam negosiasi harian mereka dan pembangunan identitas
mereka, baik secara sadar atau tidak sadar (Hoon, 2006: 159-
160).
Kebijakan hibriditas akan mengapresiasi orang-orang
yang mempunyai identitas ganda, dan pada gilirannya akan
23
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
membantu mengurangi garis kaku antara “pribumi” dan “non-
pribumi” (Hoon, 2006: 161). Sejalan dengan ini, Homi Bhabha,
sebagaimana dikutip oleh Hoon (2006: 160) berpendapat bahwa
keberlangsungan keragaman budaya tidak didasarkan pada
eksotisme multikulturalisme atau keragaman budaya, namun
pada artikulasi hibriditas budaya. Dalam hal ini, kita bisa
melihat bahwa multikulturalisme idealnya tidak hanya
mengakui keragaman etnis dan agama di tingkat makro-
masyarakat, tetapi juga pluralitas di dalam setiap kelompok
etnis atau agama (Hoon 2006: 160). Dengan mengakui
keragaman ini di tingkat mikro, multikulturalisme dapat
ditransformasikan menjadi „multikulturalisme sejati“.
Pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 menunjukkan
proses substansiasi demokrasi dan multikulturalisme di era
modern Indonesia. Basuki Tjajaha Purnama (l. 1966) dan Anies
Baswedan (l. 1969) terpilih untuk ikut dalam putaran kedua
pemilihan. Purnama adalah orang Kristen-Cina, sementara
Baswedan adalah Muslim-Arab. Wacana „pribumi versus non-
pribumi“ dan „Muslim versus non-Muslim“ mengemuka
selama pemilihan, dan terutama sekali ditujukan untuk
memaksimalkan penggaetan suara. Meski hasil akhir pemilihan
menunjukkan bahwa Purnama hanya mendapat 42%, angka ini
merupakan angka yang signifikan jika kita melihat fakta bahwa
24
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Purnama menyandang „minoritas ganda“ (Cina dan Kristen).
Purnama berhasil menarik suara dan simpati dari pemilih
rasional, terutama dari kelompok-kelompok budaya yang
dominan. Dengan demikian, multikulturalisme masih memiliki
prospek yang ceraah di Indonesia. Selama era Suharto (1967-
1998) kita tidak dapat membayangkan bahwa orang Kristen-
Tionghoa dapat dipilih sebagai calon gubernur, dan dapat
memperoleh suara yang cukup besar. Orang Cina-Indonesia
selama rezim Suharto dominan dalam hal ekonomi tapi mereka
mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik.
Agama, Masyarakat Sipil dan Multikulturalisme
Sarjana Jerman Ernst-Wolfgang Böckenförde (l. 1930)
menyatakan bahwa „negara bebas sekuler sangat bergantung
pada premis-premis yang dia sendiri tidak bisa menjaminnya”.
Premis-premis ini meliputi moralitas, komitmen terhadap
ketertiban umum dan sejenisnya. Dalam kerangka pemikiran
ini, kita dapat mengatakan bahwa konstitusi sangat
membutuhkan „masyarakat sipil“ (civil society) untuk menjaga
keberlangsungan negara.
Masyarakat sipil bisa menjadi „modal sosial“ bagi
masyarakat atau negara yang bersangkutan. Modal sosial,
dalam pengertian ini, mengacu pada norma dan jaringan yang
25
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
memungkinkan orang bertindak secara kolektif, memberikan
kerangka acuan umum untuk melakukan percakapan mengenai
isu-isu penting ini melampaui batas disiplin, metodologi,
ideologi dan budaya. Percakapan yang penting ini sangat
diperlukan untuk menyelesaikan banyak masalah itu sendiri
(Woolcock 2011: 197-198).
Dalam konteks masyarakat Indonesia masa kini, kita
dapat melihat ada beberapa tantangan terhadap
multikulturalisme. Tantangan-tantangan ini meliputi antara lain
„mayoritas yang merasa sebagai minoritas“ (majority with a
minority complex). Dalam hal ini, kaum Muslim Indonesia
seringkali terjangkit perasaan ini. Beberapa politisi selama
pemilihan sering mengeksploitasi perasaan ini, dengan
membingkai berita di media mainstream dan media sosial.
Overteologisasi fenomena sosial-politik juga bisa tantangan
bagi multikulturalisme, karena sudut pandang ini akan
menyederhanakan fenomena sosial-politik, dan akibatnya
menghalangi kita untuk memahami kompleksitas fenomena
sosial-politik. Menyederhanakan kompleksitas ini menjadi
sekedar teologis akan mempersempit ruang pemahaman kita
dan seringkali membawa kita untuk memusuhi semua yang
berbeda dari kita.
26
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Prasangka dan kesalahpahaman juga merupakan
tantangan bagi multikulturalisme. Intoleransi dan ketegangan
sering dipicu oleh prasangka dan kesalahpahaman. Hal ini
sejalan dengan pepatah Arab: al-insan ‘aduww ma yajhal
(mausia seringkali memusuhi hal-hal yang tidak diketahuinya).
Tantangan lain terhadap multikulturalisme adalah politisasi
agama. Politisasi dalam hal ini dipahami sebagai pemanfaatan
sebuah isu oleh politisi demi mendapatkan keuntungan penuh
dari suara rakyat.
Essensialisasi bisa menghalangi masyarakat untuk
mengalami „multikulturalisme sejati“ (genuine
multiculturalism). Sudut pandang semacam ini mengakui ciri
khas identitas etnis yang bersifat tunggal dan tetap, dan tidak
mengenali identitas yang bervariasi (atau bahkan seringkali
saling tumpang tindih) di dalam individu. Dalam hal ini, kita
bisa melihat bahwa multikulturalisme seharusnya tidak hanya
mengakui keragaman etnis dan agama di tingkat makro-
masyarakat, tetapi juga pluralitas di dalam setiap kelompok
etnis atau agama (Hoon 2006: 160). Dengan mengakui
keragaman ini di tingkat mikro, multikulturalisme dapat
bertransformasi menjadi „multikulturalisme sejati“. Seseorang,
misalnya, bisa menjadi orang Jawa, Indonesia dan Muslim pada
saat bersamaan. Orang lain, misalnya, bisa menjadi orang Cina,
27
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Indonesia dan Muslim pada saat bersamaan. Orang-orang yang
mempunyai identitas ganda (atau bahkan identitas majemuk)
dalam diri mereka dan menyadari bahwa identitas-identitas ini
adalah cair, akan dengan mudah mengembangkan
keterampilan multikultural, misalnya dengan menghargai dan
mengakui keragaman dengan masyarakat.
Organisasi Masyarakat Sipil Islam, Nation-building dan
Multikulturalisme
Masyarakat Sipil Islam di Indonesia saat ini terutama
sekali diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912. Gerakan khusus ini
mewakili kecenderungan ortodoks-puritan dan modernis dalam
Islam di Nusantara. Organisasi ini mempunyai sumbangan
besar terhadap Indonesia, terutama sekali dalam mengelola
sekolah modern, perguruan tinggi panti asuhan dan rumah
sakit, serta dalam mengawal dan mempengaruhi kebijakan
publik.
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1926, sebuah
organisasi lain bernama Nahdlatul Ulama didirikan. Organisasi
ini dianggap sebagai benteng pemikiran tradisional ortodoks di
28
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
kalangan mayoritas ulama di Nusantara (van Niewenhuijze,
1985: 1229). Organisasi ini memperkuat otoritas „ulama“
dalam masyarakat Muslim (Burhanuddin 2007: 4).
Tahun 1983-1984 adalah sangat penting dalam
perkembangan Nahdlatul Ulama, karena pergeseran besar
orientasi sosial dan politik Nahdlatul Ulama terjadi selama
periode ini. Nahdlatul Ulama pernah berpartisipasi sebagai
partai politik dalam pemilihan umum pertama di Indonesia
pada tahun 1955. Van Bruinessen dan Wajdi (2006: 205-206)
menyatakan bahwa Muktamar 1984 memutuskan bahwa
Nahdlatul Ulama harus kembali ke garis aslinya (khittah)
sebagai organisasi keagamaan dan sosial non-politik.
Organisasi masyarakat sipil Islam Indonesia berbeda
dengan organisasi masyarakat sipil di negara Muslim lainnya
(terutama Jamaat-i Islami di Pakistan dan Ikhwanul Muslimin
di Mesir), dalam artian bahwa organisasi masyarakat sipil Islam
Indonesia lebih menunjukkan komitmen mereka terhadap
nasionalisme Indonesia dan tata pemerintahan konstitusional
(Hefner 2013: 58).
Hefner (2001: 491) menggarisbawahi persaingan antara
para pendukung „masyarakat sipil dan demokrasi“ dan
promotor „anti-pluralisme dan anti-demokrasi“ sebagai ciri
29
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
utama politik Muslim di Indonesia kontemporer. Jika kita
melihat dalam konteks Indonesia, para pendukung „civil Islam“
berasal, dan mengasosiasikan diri mereka dengan berbagai tren
dan organisasi Islam. Tren-tren utama (dari mana pendukung
„civil Islam“ berasal) meliputi: tradisionalisme, modernisme,
neo-modernisme, dan liberalisme.
Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme tidak mesti
harus disandingkan dengan „modernisme“ dan „liberalisme“.
Menurut hemat saya (dan berdasar penelitian yang saya
lakukan),2 multikulturalisme dapat disandingkan secara cantik
dengan „tradisionalisme“, sehingga hal ini dapat memperoleh
kredibilitas yang besar dalam masyarakat akar rumput. Dalam
kerangka ini, tokoh Muslim tradisionalis dan organisasi Muslim
tradisionalis sangat mungkin memainkan peran penting dalam
mempromosikan multikulturalisme dalam masyarakat secara
umum, dan dalam kalangan kelompok anti-multikulturalis
secara khusus. Prospek multikulturalisme di Indonesia dengan
demikian dalam beberapa hal bergantung kepada agensi dan
peran yang dimainkan oleh tokoh Muslim tradisionalis dan
organisasi Muslim tradisionalis.
2 Lebih lanjut silakan lihat: Widiyanto (2016).
30
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Menurut hemat saya, bersandingnya multikulturalisme
dengan „tradisionalisme Islam“ adalah merupakan salah satu
karakteristik “Islam Indonesia”. Karakteristik ini bisa dianggap
melengkapi atau memperkaya, dari „karakteristik Islam
Indonesia“ yang dirumuskan Azyumardi Azra.
Azra (2013: 63-74) merumuskan beberapa karakteristik
„Islam Indonesia“. Karakteristik ini meliputi: (a) penyebaran
Islam tanpa kekerasan (penetration pacifique) (b) mengalami
pengayaan budaya tanpa kehilangan akar budayanya sendiri; (c)
kaya warisan budaya; (d) negara Pancasila; (e) keterlibatan
perempuan di ruang publik; (f) organisasi mainstream yang
memegang erat pandangan dan sikap moderat mereka sudut; (g)
kelompok radikal yang jumlahnya kecil tapi vokal; (h)
pemberdayaan kaum moderat, sebagai penyeimbang dari
wacana dan praxis kaum radikal.
Prospek Nation-building dan Multikulturalisme di „Era
Matinya Kepakaran“
Era digital atau era cyber ditengarai dengan munculnya
internet sebagai alat komunikasi baru, yang menandingi alat-
alat komunikasi sebelumnya. Internet sebagai alat komunikasi
pada gilirannya membentuk budaya baru dan pola relasi sosial
yang baru. Era digital sering ditengarai orang sebagai „era
31
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
matinya kepakaran“ (age of the death of expertise), mengingat
pola komunikasi dalam era internet (terutama dengan „media
sosial“-nya) adalah bersifat egaliter, dan karenanya
meniscayakan pola relasi sosial yang egaliter. Dalam pola relasi
sosial yang baru ini, semua orang berhak menulis dan
menyuarakan pemikirannya masing-masing di ruang publik
yang bersifat maya (virtual cyber space), yang pada gilirannya
mempunyai dampak terhadap „matinya kepakaran“, karena
semua orang di dunia maya dianggap sebagai setara.
Keadaan semacam ini juga merambah ke ranah agama.
Di era cyber, semua orang bisa menyuarakan pendapat
keagamaannya masing, bahkan mengeluarkan fatwa-nya
masing-masing. Sekalipun, misalnya, orang tersebut baru
belajar agama beberapa bulan yang lalu, namun sudah merasa
mumpuni dan menguasai ajaran agama tersebut dan merasa
pantas mengeluarkan fatwa terkait ajaran agamanya.
Era digital juga sering dianggap sebagai „era pasca-
kebenaran“ (post-truth era). Era ini menunjukkan keadaan di
mana „fakta obyektif“ menjadi kurang berpengaruh dalam
membentuk opini publik, dibanding daya tarik
„emosi/sentimen“ dan „kepercayaan personal“.
32
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Hal ini tentunya sedikit banyak mempengaruhi
fragmentasi dalam masyarakat. Berkat sosial media, semacam
Facebook, Twitter dan Whatsapp, orang mudah membuat dan
menyebarkan informasi-informasi provokatif atau hoax, yang
sekiranya bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat, bukan
karena informasi itu benar adanya, namun karena informasi itu
berpotensi menarik sentimen dan kepercayaan personal
sebagian masyarakat. Bagi sebagian masyarakat tersebut,
tidaklah penting informasi itu sesuai dengan fakta atau tidak,
yang penting informasi tersebut sejalan dengan kepercayaan
pribadinya. Post-truth seringkali digunakan dalam kerangka
politik, di mana debat dan wacana publik lebih dibentuk oleh
daya tarik emosi, yang seringkali terlepas dari detail kebijakan
pemerintah yang ada.
Dalam konteks ini, muncul kemudian pertanyaan,
apakah otoritas masih diperlukan di era cyber? Bagaimana
prospek nation-building dan multikulturalisme di era digital?
Sebelum kita melihat lebih lanjut tentang problem ini, ada
baiknya, kita menengok dulu pengertian otoritas. Otoritas,
menurut Zambrano (2001), merujuk pada hubungan yang ada
antar individu di mana satu individu, didorong oleh
keadaannya, melakukan sesuatu yang diindikasikan oleh
33
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
individu lain, atau sesuatu yang tidak akan dia lakukan tanpa
adanya indikasi semacam itu.
Era digital dalam beberapa hal berpengaruh pada relasi
sosial, termasuk kaitannya dengan otoritas. Di era ini muncul
bentuk baru otoritas, misalnya jumlah pengikut (follower) di
media media, dan sejauh mana sebuah gagasan (dari seorang
pengguna sosial media) disebarluaskan dan mendapat pengaruh
dari pengguna lain, di dunia maya.
Untuk melihat lebih gambar tentang otoritas di media
sosial, saya akan mengulas lebih jauh tentang A. Mustofa Bisri
dan Twitter. Twitter bisa dianggap sebagai bentuk komunikasi
dan organisasi sosial. Ketika kita melihat kesarjanaan Islam
tradisional, kita menyadari bahwa istilah „pengikut“ (followers)
di Twitter sebanding dengan istilah „mustami‘un“ (pendengar,
audience). Ketika kita beralih secara khusus kepada para
pengikut akun Twitter Bisri, kita juga dapat memastikan bahwa
sebagian dari „mustami‘un“ ini bisa masuk dalam kategori
„muqallidun“ (pengikut, penganut ide utama Bisri).
„Mustami‘un“ adalah istilah generik yang ditujukan
kepada mereka yang mengikuti gagasan Bisri. „Muqallidun“
adalah lebih spesifik dan merujuk pada orang-orang ini tidak
hanya membaca gagasan Bisri, tapi juga menganggapnya
34
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
sebagai otoritas, dan karenanya berkonsultasi dengannya
mengenai beberapa masalah keagamaan, serta me-retweet
postingannya. Beberapa dari „muqallidun“ ini diperlakukan
oleh Bisri sebagai „pengikut elit“ (khawwas) yang dia ikuti dan
yang tweet-nya kadang-kadang di-retweet. Jika kita mengambil
analogi dengan kesarjanaan Islam tradisional, „retweet“
sebanding dengan „iqrar“ (mengkonfirmasikan, menyetujui)
(Widiyanto, 2016).
Dengan melihat penjelasan di atas, saya berargumen
bahwa otoritas masih diperlukan di era digital, hanya saja
otoritas ini mengalami transformasi dan adaptasi, misalnya
dalam kasus Twitter, yang sudah kita bahas tadi. Organisasi
masyarakat sipil Islam Indonesia (terutama sekali
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) tentunya masih
mempunyai peluang untuk mempunyai peranan yang kuat
dalam proses nation-building dan multikulturalisme. Hanya
saja, kedua organisasi tersebut harus menyadari bahwa ada
transformasi otoritas di era digital, dan tentunya ada
fragmentasi otoritas yang semakin massif berkat media sosial.
Peran kuat kedua organisasi tersebut dalam proses
nation-building dan multikulturalisme akan berlangsung di era
digital, jika kedua organisasi tersebut dapat mengembangkan
35
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
strategi-strategi baru, dengan menggunakan internet, dan
karenanya bisa menjangkau generasi milenial, yang sangat
gandrung akan internet.
Prospek nation-building dan multikulturalisme di
Indonesia, dengan demikian, salah satunya, terletak pada
kemampuan Muhaammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam
beradaptasi dan menyiasati pola relasi sosial dan pola otoritas
yang berubah. Kedua organisasi tersebut sangat membutuhkan
tokoh-tokoh yang mempunyai penanda dan kredensial otoritas
yang solid (yang sangat diperlukan untuk mendapatkan
kredibilitas dari masyarakat), di satu sisi, dan mempunyai
kemampuan untuk mengadaptasi dan aktif di media sosial,
sehingga bisa mentransformasikan dirinya sebagai sebuah
otoritas di dunia maya, di sisi lain. Jangkauan pengaruh tokoh-
tokoh semacam itu dengan demikian semakin meluas, bukan
hanya pengaruh di dunia nyata (offline), namun juga di dunia
maya (online). Jamaah dan audience-nya dengan demikian juga
meluas, menjangkau dunia nyata dan dunia maya.
36
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Daftar Pustaka
Alatas, Syed Farid. (1993). “A Khaldunian Perspective on the
Dynamics of Asiatic Societies”. Comparative
Civilizations Review, 29 (4): 29-51.
Alatas, Syed Farid. (2006). „Ibn Khaldun and Contemporary
Sociology”, International Sociology, 21 (6): 782-795.
Azra, Azyumardi. (2013). “Distinguishing Indonesian Islam:
Some Lessons to Learn”. In Islam in Indonesia:
Contrasting Images and Interpretations. ed. Jajat
Burhanuddin and Kees van Dijk. Amsterdam:
Amsterdam University Press.
Burhanuddin, Jajat. (2007). Islamic Knowledge, Authority and
Political Power: The ‘Ulama’ in Colonial Indonesia.
Unpublished Doctoral Thesis. Leiden: Universiteit
Leiden.
Connor, Walker. (1974). “Nation-building or Nation-
destroying?” World Politics. 24 (3): 319-355.
Edwards, Michael. (2011). “Civil Society and the Geometry of
Human Relations”. In The Oxford Handbook of Civil
Society. ed. Michael Edwards. Oxford: Oxford
University Press.
Gellner, Ernest. (1975). “Cohesion and Identity: the Maghreb
from Ibn Khaldun to Emile Durkheim”. Government
and Opposition. 10 (2): 203-218.
Ghoshal, Baladas. (2018). “Preserving Social Harmony in a
Multi-religious Society and the Threat from Primordial
Loyalties and Identity Politics: Case of Indonesia and
India. Conference paper, International Conference on
India and Indonesia: Exploring Cultural, Religious and
Linguistic Pluralities and Inclusive Identities, New
Delhi, February 19-20, 2018.
37
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Gungwu, Wang. (2004). “Chinese Ethnicity in New Southeast
Asian Nations”. In Ethnic Relations and Nation-
building in Asia: The Case of Ethnic Chinese. ed. Leo
Suryadinata. Singapore: ISEAS.
Hamayotsu, Kikue. (2002). “Islam and Nation Building in
Southeast Asia: Malaysia and Indonesia in Comparative
Perspective”. Pacific Affairs, 75 (3).
Hefner, Robert. (2001). “Public Islam and the Problem of
Democratization”. Sociology of Religion. 62 (4): 491-
514.
Hefner, Robert. (2013). “Indonesia in the global scheme of
things: Sustaining the virtuous circle of education,
associations and democracy”. In Islam in Indonesia:
Contrasting Images and Interpretations. ed. Jajat
Burhanudin and Kees van Dijk. Amsterdam:
Amsterdam University Press.
Hoon, Chang Yau. (2006). “Assimilation, Multiculturalism,
Hybridity: The Dilemmas of Ethnic Chinese in Post-
Suharto Indonesia”. Asian Ethnicity, 7(2): 149-166.
Khaldun, Ibn ‘Abd al-Rahman. n.d. Al-Muqaddima. Beirut: Dar
al-Fikr.
Kymlicka, Will. (2001). Politics in the Vernacular:
Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship, Oxford:
Oxford University Press.
Menchik, Jeremy. (2014). “Positive Intolerance: Godly
Nationalism in Indonesia”. Comparative Studies in
Society and History, 56 (3): 591-621.
Miller, Donald E. (2011). “Civil Society and Religion”. In The
Oxford Handbook of Civil Society. ed. Michael
Edwards. Oxford: Oxford University Press.
Norman, Wayne. (2006) Negotiating Nationalism: Nation-
building, Federalism and Secession in the Multinational
State. Oxford: Oxford University Press.
38
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
“Minorities Under International Law”, United Nations Human
Rights (2010),
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Minorities/Pages/intern
ationallaw.aspx, accessed September 21, 2017.
Schefold, R. (1998). “The Domestication of Culture: Nation-
building and Ethnic Diversity in Indonesia”. Bijdragen
tot de taal-, land- en volkenkunde. 154 (2): 259-280.
van Bruinessen, Martin and Farid Wajdi. (2006). “Syu’un
ijtima’iyah and the kiai rakyat: Traditionalist Islam,
Civil Society and Social Concerns”. In Indonesian
Transitions. eds. Henk Schulte Nordholt and Ireen
Hoogenboom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
van Niewenhuijze, C.AO. (1985). Aspects of Islam in Post
Colonial Indonesia. The Hague: W. van Hoeve, 1985.
Wahyudi, Agus. (2015). “Dealing with Difference/Antagonism:
Pancasila in the Post-Suharto Indonesia”. Conference
Paper, ISA Global South Caucus Singapore.
Weinstock, D. (1999). “Building Trust in Divided Societies”.
The Journal of Political Philosophy. 7 (3): 287-307.
Widiyanto, Asfa. (2016). Religious Authority and the Prospects
for Religious Pluralism in Indonesia: The Role of
Traditionalist Muslim Scholars. Berlin and London: LIT
Verlag.
Woolcock, Michael. (2011). “Civil Society and Social Capital”.
In The Oxford Handbook of Civil Society. ed. Michael
Edwards. Oxford: Oxford University Press.
Zambrano, Eduardo. (2001). “Authority, social theories of”. In:
Neil J. Smelser and Paul B. Baltes (eds.). International
Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences.
Amsterdam: Elsevier.
39
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Curriculum Vitae
Name
Place/Date of Birth
Mobile Phone
Current position
Teaching subjects
Scopus ID
Date of CV
Prof. Dr. Phil. Asfa Widiyanto, M.Ag, M.A.
Batang, 22 November 1975
085641921753
Professor of Islamic studies at the State
Institute for Islamic Studies (IAIN) Salatiga,
Indonesia
Religion and social theory, religious pluralism
in Indonesia, philosophy of science, Islamic
theology, methods of Islamic studies, Islamic
mysticism, comparative religion, Islam in
Southeast Asia, Islam in Indonesia, history and
Islamic and Western civilisation, Introduction
to hermeneutics, Orientalism and
occidentalism
56780059300
https://www.scopus.com/authid/detail.uri?auth
orId=56780059300
March 12, 2018.
40
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Academic Experiences:
1. Alexander von
Humboldt-
postdoctoral fellow
Philipps-Universität Marburg (Department of
Political
Science) and Otto-Friedrich-Universität
Bamberg
(Department of Languages and Cultures of the
Near
East, Islamic Studies and Jewish Studies)
Supervisors: Prof. Dr. Claudia Derichs and
Prof. Dr. Patrick Franke
Research Project: Religious Authority and the
Prospects for Religious Pluralism in Indonesia
Period: March 2011-May 2013
2.
3.
4.
Visiting lecturer
Visiting fellow
(Sabbatical leave)
Visiting fellow
(Alexander von
Humboldt- renewed
research stay)
Otto-Friedrich-Universität Bamberg
Master in Interreligious Studies
Seminar/teaching subject in German: Religiöser
Pluralismus in Indonesien (Religious Pluralism
in Indonesia)
Period: Winter Semester 2012/2013
Institute of Oriental Studies, The University of
Vienna,
Supervisor: Prof. Dr. Rüdiger Lohlker
Research Project: Sunni-Shia Convergence in
Indonesia and Austria
Period: October – December 2015
Otto-Friedrich-Universität Bamberg
Supervisor: Prof. Dr. Patrick Franke
Period: August – October 2016
Research Project: Between ‘political legitimacy’
and ‘social fabric of society’: Imamite-Shiite
Qur’anic commentary of al-Nahl (16): 90
Postgraduate School of State Islamic University
41
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
5.
6.
Visiting lecturer
Editor
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
Seminar/ teaching subject: Religion and Social
Theory; History of Western Civilisation
Summer Semester 2015/2016
Indonesian Journal of Islam and Muslim
Societies
Period: 2011 – present
Educational Background:
1. Doctoral Degree : Rheinische Friedrich-Wilhelms-
Universität Bonn, Germany (Admission
date October 1, 2006, oral examination
date December 21, 2009, graduation date
June 30, 2012)
Qualification: Dr. phil.
Supervisors: Prof. Dr. Stephan Conermann
and Prof. Dr. Eva Orthmann
Doctoral thesis in English: magna cum
laude Ph.D. defense in German, on
December 21, 2009: magna cum laude,
These zur Disputation: (a) die Latihan
Kejiwaan der Subud-Bruderschaft und der
Begriff des Rituals; (b) die weibliche
Führung in der Tariqa und der Subud-
Bruderschaft; (c) Mahmoud Mohamed
Tahas Konzept von Naskh; (d) Seyyed
Hossein Nasr und die Gedankentradition
Suhrawardis.
42
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
2 Master’s Degree : a. Universiteit Leiden, The Netherlands
(October 2003-March 2005)
Subjects: Methods and Principles of Islamic
Studies, Empirical Study of Islam in
Contemporary Western Europe,
Philology, Methods and Principles of the
Sciences of Religion
Qualification: M.A.
Grade: 8.5 (with the greatest pleasures of both
faculties)
3
.
4
.
Bachelor’s Degree
Senior High School
b. State Islamic University Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Indonesia
(October 1999-July 2002)
Subjects: Islamic Education, Islamic History,
Sociology of Education, Philosophy of
Education
Qualification: M.Ag. (M.A. in Religious
sciences)
State Institute for Islamic Studies (STAIN)
Surakarta, Indonesia
(October 1994-March 1999)
Subjects: Islamic Theology, Qur’anic Studies,
Hadith Sciences, Islamic Mysticism, Javanese
Mysticism, Islamic Philosophy, Islamic
History, Islamic Jurisprudence Qualification:
S.Ag. (B.A. in Religious sciences)
Grade : 3.8 (cum laude)
Programmed Islamic Senior High School
(MAPK-MAN 1 Surakarta, Indonesia)
(1991-1994).
43
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Academic Grants:
1.
2.
3.
4.
August – October 2016
October – December 2015
December 2013 – December
2014
March 2011-May 2013
grant for a renewed research stay from the
Alexander von Humboldt-Foundation
sabbatical leave grant from the Ministry of
Religious Affairs Indonesia
return fellowship from the Alexander von
Humboldt-Foundation
postdoctoral fellowship from the Alexander
von
Humboldt- Foundation
5.
6.
January 2010
April-June 2008
“Deutscher Academischer Austauschdienst”
(DAAD),
and “Annemarie-Schimmel-Stiftung”,
financial aid for the publication of doctoral
thesis and scholarship from the “Annemarie-
Schimmel-Stiftung”,
fieldwork in Indonesia
7. October 2006-January 2010 Ph.D. scholarship from the “Deutscher
Academischer
Austauschdienst” (DAAD)
8. June-September 2006 scholarship from the “Deutscher
Academischer
Austauschdienst” (DAAD),
German intensive course
9. October 2003-March 2005 master’s scholarship from the Indonesian-
Netherlands
Cooperation in Islamic studies (INIS)
10 August-September 2003 scholarship from the Indonesian-Netherlands
Cooperation in Islamic studies (INIS),
English intensive course
11. 1999-2001 master’s scholarship from the Ministry of
Religious Affairs, Indonesia
12.
Winter Semester 1996 scholarship from the “Supersemar”
Foundation, Indonesia
44
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
13. 1991-1994 scholarship from the Ministry of
Religious Affairs, Indonesia.
Language Proficiency:
1. German (active)
2. English (active)
3. Arabic (active)
4. Dutch (passive)
5. Indonesian (native)
6. Javanese (native)
Recent Publications:
1. “Traditional Science and Scientia Sacra: Origin and Dimensions
of Seyyed Hossein Nasr’s Concept of Science“, Intellectual
Discourse, Vol. 25, No. 1, (2017), p. 247-272.
http://journals.iium.edu.my/intdiscourse/index.php/islam/article/
view/1000
2. “The Plurality of Indonesian Society: Peril or Promise?”, in: H.-C.
Günther (ed.), Ethnic and Religious Cohabitation and Conflict,
(Nordhausen: Verlag Traugott Bautz, 2017), p. 217-243.
3. “Rekontekstualisasi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang
Bangunan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam“
(Recontextualization of Seyyed Hossein Nasr’s Ideas on the
Structure of Science and Islamic Education), Islamica: Jurnal
Studi Keislaman, vol. 11, no. 2, (2017), p. 277-305.
45
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
http://islamica.uinsby.ac.id/index.php/islamica/article/view/247
4. “Violence in Contemporary Indonesian Islamist Scholarship:
Habib Rizieq Syihab and the 'enjoining good and forbidding
evil'”, in: Heydar Shadi (ed.), Islamic Peace Ethics, (Baden-
Baden: ithf und Nomos, 2017).
5. Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in
Indonesia: the Role of Traditionalist Muslim Scholars
(Berlin and London: LIT Verlag, 2016, 160 pages).
6. “The Reception of Seyyed Hossein Nasr’s ideas within the
Indonesian intellectual landscape”, Studia Islamika, Vol. 23, No.
2 (2016), p. 193-236.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-
islamika/article/view/3002
7. “Constitution, Civil Society and the Fight against Radicalism:
The Experience of Indonesia and Austria”, Analisa: Journal of
Social Science and Religion, vol. 1, no. 2, 2016, p. 139 – 159.
http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/arti
cle/view/362
8. “Revelation is Unlimited: Divinely Inspired Speeches, ‘Testing’
and the Spiritual Training in the Subud Movement”, Komunitas:
International Journal of Indonesian Society and Culture, Vol. 8,
no. 2 (2016), p. 185-198.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/6
144
9. “Embodying Popular Piety: Code of Conduct and Death
Anniversary in the Tariqah Qadiriyyah wa Naqshbandiyyah”,
46
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
Ulumuna: Journal of Islamic Studies, Vol. 20, No. 2 (2016), p.
263-292.
http://ejurnal.iainmataram.ac.id/index.php/ulumuna/article/view/
979
10. “The Rituals in Javanese Mystical Movement: the Subud
Brotherhood”, in: Gautam Kumar Jha and Son Kuswadi, India
Indonesia Legacy of Intimate Encounters, New Delhi: D.K.
Printworld, 2016.
11. “Female Religious Authority, Religious Minority and the
Ahmadiyya: The Activism of Sinta Nuriyah Wahid”, Journal of
Indonesian Islam, Vol. 9, No. 1 (2015), p. 1-24.
http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/163
12. “Manaqib Writing in the Circle of the Tariqa Qadiriyya wa
Naqshbandiyya: A Study on Muhammad Siddiq al-Salihi’s Nayl
al-Amani”, Heritage of Nusantara: International Journal of
Religious Literature and Heritage, Vol. 4, No. 2 (2015), p. 213-
242.
http://jurnallektur.kemenag.go.id/index.php/heritage/article/view
/85
13. Konstruk Ilmu Pengetahuan dan Signifikansinya dalam Upaya
Restorasi Pendidikan Islam (The Structure of Science and Its
Significance for the Restoration of Islamic Education) (Salatiga.
LP2M IAIN Salatiga, 2015. ISBN: 978-602-73757-6-5)
14. “Salahuddin Wahid and the Defence of Minority Rights in
Contemporary Indonesia”, Al-Jami’ah: Journal of Islamic
Studies, Vol. 52, No. 2 (2014), p. 271-307.
http://www.aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/172
47
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
15. “Religious pluralism and contested religious authority in
contemporary Indonesian Islam”, in: Kees van Dijk and Jajat
Burhanuddin (eds.), Islam in Indonesia: Contrasting Images and
Interpretations, (Amsterdam: Amsterdam University Press,
2013), p. 161-172.
16. “Reframing the gendered dimension of Islamic spirituality:
Silsilah and the ‘problem’ of female leadership in the tarekat”,
in: Bianca Smith and Mark Woodward (eds.), Gender and
Power Indonesian Islam: Leaders, Feminists, Sufis and
Pesantren Selves, (London and New York: Routledge, 2013), p.
103-116.
17. Ritual and Leadership in the Subud Brotherhood and the Tariqa
Qadiriyya wa Naqshbandiyya (Berlin and Hamburg: EB-
Verlag, 2012, 383 pages).
Presented Papers:
1. “Islam and Nation-building in Digital Age: The Role of the
Nahdlatul Ulama”, New Delhi, 19-20 February 2018
2. “The Rituals of the Tariqa Qadiriyya wa Naqshbandiyya:
Contexts and Features”, Annual International Conference on
Islamic Studies, Jakarta, 20-23 November 2017
3. “Nation-building, Belonging and Multiculturalism:
Contextualising Ibn Khaldun’s Theories and Beyond”, The
Fourth International Ibn Khaldun Symposium: Open
Civilization: Encounters, Differences and Uncertainties,
Istanbul, Turkey, 19-21 May 2017
4. “Constitution, Civil Society and the Fight against Radicalism:
The Experience of Indonesia and Austria”, Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS), Bandar Lampung, 1-4
November 2016
48
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
5. “Female Religious Authority and the Activism in Protecting
Religious Minority”, Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS), Manado, 3-6 September 2015
6. “Manaqib writing in the circle of the Tariqa Qadiriyya wa
Naqshbandiyya”, International Symposium on Religious
Literature an Heritage, Centre for Research and Development of
Religious Literature and Heritage, Jakarta, Indonesia, 15-18
September 2015
7. “Violence in Contemporary Indonesian Islamist Scholarship”,
International Workshop on Islamic Peace Ethics, Hamburg,
Germany, 16-17 October 2015
8. “Intoleranz, Gewalt und Pluralismus im zeitgenössischen
Indonesien (Intolerance, Violence and Pluralism in
Contemporary Indonesia), Guest Lecture, Institute of Oriental
Studies, the University of Vienna, Austria, 10 December 2015
9. “Das Verhältnis zwischen Sunniten und Schiiten im
Indonesien“ (Relationship between Sunnites and Shiites in
Indonesia), training for teachers, Privater Hochschullehrgang für
Islamische Religionspädagogische Weiterbildung (IHL) Vienna,
7 December 2015.
10. “The Plurality of Indonesian Society: Promise or Peril”,
Conference on China Facing the Challenges of 21st Century in
the Mirror of its Changing Legal System, Central South
University, Changsha, China, 16-19 April 2015
11. “Salahuddin Wahid and the Defence of Minority Rights in
Indonesia”, International Conference on Religious Authority,
Piety and Activism: Ulama in Contemporary Muslim Societies,
State Islamic University (UIN) Yogyakarta, Indonesia, 28-30
November 2014
12. “The Rituals in Javanese Mystical Movement: the Subud
Brotherhood”, International Conference on India-Indonesia
Bilateral Ties, Jawaharlal Nehru Convention Centre, New Delhi,
India, 18-20 November 2013
49
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
13. “Religious Pluralism and the Contested Religious Authority in
Contemporary Indonesian Islam: A. Mustofa Bisri and Emha
Ainun Nadjib”, International Conference on Islam in Indonesia
in an International Comparative Perspective, Bogor, Indonesia,
24-26 January 2011
14. “Religiöser Pluralismus und religiöse Autorität im
zeitgenössischen indonesischen Islam: Mustofa Bisri (geb.
1944) und Emha Ainun Nadjib (geb. 1953)“, Deutscher
Orientalistentag (German Congress of Oriental Studies),
Marburg, Germany, 20-24 September 2010
15. “Dhikr and its meanings among members of Naqshbandi Sufi
order in the Netherlands”, 2004 Europaeum Summer School,
The Hague, The Netherlands, 28 August-2 September 2004.
Certificates of Intellectual Property Rights (HKI):
1. Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in
Indonesia: the Role of Traditionalist Muslim Scholars, (Zürich
and London: LIT Verlag, 2016), 160 pages, ISBN: 3643906501/
978-3643906502. Obtained the certificate of Intellectual Property
Rights from the Indonesian Ministry of Law and Human Rights,
certificate number: 078664, year: 2016
2. Sunni-Shia Convergence in Indonesia and Austria: Problems and
Prospects (138 pages).
Obtained the certificate of Intellectual Property Rights from the
Indonesian Ministry of Law and Human Rights, certificate
number: 078662, year: 2016
3. “Traditional Science and Scientia Sacra: Origin and Dimensions of
Seyyed Hossein Nasr’s Concept of Science”. Obtained the
certificate of Intellectual Property Rights from the Indonesian
Ministry of Law and Human Rights, year: 2017
50
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”
4. “Constitution, Civil Society and the Fight against Radicalism: The
Experience of Indonesia and Austria”. Obtained the certificate of
Intellectual Property Rights from the Indonesian Ministry of Law
and Human Rights, year: 2017.
51
Asfa Widiyanto Islam, Multikulturalisme dan Nation-building di Era “Pasca-Kebenaran”