Askep Lengkap&SAP ( Stroke )

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Askep

Citation preview

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Stroke merupakan ketidaknormalan fungsi sistem syaraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak. Stroke merupakan serangan mendadak yang disebabkan oleh gangguan vaskuler yang menuju ke otak dan bisa terjadi pada siapa saja. Penyumbatan pembuluh darah oleh trombosis atau emboli dan pecahnya pembuluh darah otak mengakibatkan gangguan fungsi dan struktur otak (Muttaqin, 2008). Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama (Stroke Association, 2011), yaitu iskhemik (85%) terjadinya penyumbatan pembuluh darah, terjadi penurunan perfusi yang nyata dan perdarahan (15%) terjadinya ekstravasasi perdarahan kedalam otak atau ruangan subarakhnoid (Smeltzer & Bare, 2004).Stroke di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bahkan saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia, karena berbagai sebab selain penyakit degeneratif, dan terbanyak karena stres. Stroke merupakan kegawatan yang harus ditangani. Apabila tidak ada upaya penanggulangan yang cepat bisa terjadi kerusakan otak permanen, kejang kejang pada individu, gagal nafas, bahkan kematian. Penting diperhatikan penderita stroke dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau hilangnya kemampuan untuk bicara, berjalan, membaca, berkomunikasi dan sebagainya. Sebagian pasien menjadi tergantung pada orang lain atau keluarganya dalam kegiatan hidup sehari-hari. Sehingga akan menjadi faktor penghambat produktifitas keluarga dalam berpenghasikan.Stroke merupakan suatu penyakit yang menyebabkan kehilangan fungsi pada otak, otak sebagai organ pusat pengatur kontrol fungsi fisiologi tubuh manusia (Hughes, S., 2011). Salah satu kehilangan fungsi kontrol pada pasien stroke adalah disfagia atau gangguan menelan dan hemiparese. Pasien dengan disfagia mengalami penurunan kekuatan kontrol otot menelan dan otot-otot lidah untuk artikulasi sehingga cenderung berisiko mengalami aspirasi yang selanjutnya berkembang menjadi pneumonia aspirasi sehingga memiiki risiko mortalitas yang besar (Robbins, J., et al, 2011). Evidence Based yang ditemukan oleh Eisenstadt, MSN, 2008, bahwa penyebab di urutan pertama kejadian aspirasi pneumonia disebabkan oleh disfagia atau gangguan menelan. Pasien dengan hemiparese mengalami mengalami penurunan kontrol motorik dan penurunan kekuatan otot dan sendi. Pasien dengan hemiparese memiliki keterbatasan mobilisasi hingga jika tidak dilatih akan menuju pada kondisi disfungsi otot hingga kontraktur.Tenaga kesehatan sangat berperan terhadap proses pemulihan stroke. Perawatan rehabilitasi stroke dimulai sejak pasien masuk unit perawatan pada fase akut hingga pasien dipulangkan yang bertujuan untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas pengembalian fungsi fisiologis pasien stroke (Hughes,S., 2011). Pada dasarnya perawatan stroke pada fase akut ditujukan untuk mencegah kematian dan memperbaiki kualitas hidup pasien dengan mencegah atau mengatasi faktor faktor yang berpotensi menimbulkan kelemahan atau kecacatan.Stroke juga merupakan penyebab kecacatan jangka panjang di Amerika sekitar 73% diantara penderita stroke (American Heart Association/AHA, 2000). Menurut data statistik dari AHA, kira- kira 4,4 juta penderita stroke yang hidup saat ini, 15% sampai dengan 30% mengalami kecacatan permanen.Salah satu tindakan rehabilitasi pasien stroke pada fase akut untuk memperbaiki fungsi menelan dan wicara (disartria) adalah lingual exercise atau latihan kekuatan otot lidah atau oral-motor exercise (Clark, OBrien, Calleja, & Corrie, 2009). Latihan ini melibatkan otot-otot pada bibir, lidah, dan otot maseter rahang (Speech Language Pathologist License, 2010). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Robbin, J. et al pada 2005, menyatakan bahwa Lingual exercise dapat memperbaiki ketidakmampuan menelan akibat disfagia dan kelemahan lingual pada pasien dewasa, selain itu latihan ini juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif disfagia dan berpotensi menurunkan risiko kejadian pneumonia, malnutrisi, dan dehidrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Clark, et al, 2008, menunjukkan hasil bahwa lingual exercise dapat meningkatkan kekuatan otot lingual pada pasien dewasa.

1.2 Tujuan PenulisanAdapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah:1. Tujuan UmumMampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan: Cerebro Vascular Disease (CVD) Stroke Hemoragik2. Tujuan Khususa. Memahami konsep model Teori Adaptasi Royb. Mampu menerapkan model Teori Adaptasi Roy dengan proses keperawatan khususnya pada kasus CVD Stroke Hemoragikc. Mampu menganalisis pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Stroke Hemoragik melalui pendekatan aplikasi Teori Adaptasi Roy.

1.3 Metode PenulisanPenyusunan laporan kasus CVD Stroke Hemoragik menggunakan metode penulisan dengan studi literature dan tinjauan studi kasus.

1.4 Sistematika PenulisanLaporan kasus ini terdiri dari V (lima) bab yang disusun secara sistematik, adapun sistematika penulisan sebagai berikut:BAB 1:Pendahuluan BAB 2:Tinjuan Teori Model Keperawatan, teori stroke hemoragik, teori hemiparese, dan disfagia.BAB 3:Tinjauan Kasus dan Proses KeperawatanBAB 4:Pembahasan/ Analisis KasusBAB 5:Satuan Acara Pembelajaran (SAP) Health Education BAB 6: PenutupLampiran

BAB 2TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori Adaptasi Sister Callista Roy Roy mengkombinasikan teori adaptasi Helson dengan definisi dan pandangan terhadap manusia sebagai sistem yang adaptif. Selain konsep-konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi nilai humanisme dalam model konseptualnya berasal dari konsep A.H. Maslow untuk menggali keyakinan dan nilai dari manusia. Menurut Roy humanisme dalam keperawatan adalah keyakinan, terhadap kemampuan koping manusia dapat meningkatkan derajat kesehatan.Model konseptual Roy berfokus pada konsep adaptasi manusia. Asumsi dan konsep tentang keperawatan, individu, sehat dan lingkungan berhubungan dengan konsep inti ini. Manusia selalu mengalami stimulus dari lingkungan dimana respon terhadap stimulus tersebut akan memunculkan kemampuan beradaptasi, baik efektif atau tidak efektif (Alligood & Tomey,2006). Keperawatan mempunyai peran dan tujuan yang unik yaitu mendampingi seseorang untuk beradaptasi dengan mengatur/memanajemen lingkungan sehingga tercapai kesejahteraan yang optimal. Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya, jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang.Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik:

Gambar 2.1. Skema Sistem Adaptasi Menurut Sister Callista Roy.Sister Callista Roy (1984, Introduction to Nursing: An Adaptation Model (2nd ed) dalam Saleeem, 2008)

Respon-respon adaptif adalah suatu fungsi dari stimulus yang datang dan tingkat adaptif yang dimiliki seseorang. Stimulus adalah beberapa faktor yang dapat menimbulkan respon. Stimulus dapat timbul dari luar maupun dalam lingkungan. Tingkat adaptasi dibentuk dari efek yang disatukan dari tiga kelas stimulus sebagai berikut :a. Focal stimulusb. Contextual stimulusc. Residual stimulus

Berdasarkan tiga stimulus inti tersebut, tiap individu memiliki 2 subsistem berdasar model adaptasi Roy, pertama yaitu fungsional atau subsistem proses control yang terdiri dari sub-sistem regulator (neural, kimia, dan endokrin) dan sub-sistem kognator (pembelajaran, perilaku, emosi). Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1) kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependensi.

1) InputRoy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.a. Stimulus fokalStimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi.b. Stimulus kontekstualSemua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti isolasi sosial.c. Stimulus residualFaktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut koping.

2) Kontrol (proses)Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang merupakan bagian dari subsistem koping.

a. Sub sistem regulatorSub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis, dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem.b. Sub sistem kognatorKognator berhubungan dengan mode adaptive konsep diri; interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4 canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi, belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak.Stimulus untuk sub sistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari regulator dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator sub sistem. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berhubungan dengan proses imitasi, penguatan dan pengertian yang mendalam. Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian dan analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keinginan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.

3) OutputOutput atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur, diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keungulan. Sedangkan respon yang mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini.Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem diperkirakan sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat terbuka untukmelakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari:a. Kebutuhan FisiologicalKebutuhan fisiological meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin. b. Konsep DiriKonsep diri adalah suatu kepercayaan dimana individu berpegang pada waktu yang ditentukan. Hal ini dibentuk dari persepsi, khususnya reaksi terhadap orang lain serta perilaku seseorang terhadap orang lain serta perilaku secara langsung. Komponen-komponennya yaitu: fisik meliputi sensasi dan body image, pribadi diri sendiri yang memunculkan konsistensi diri, ideal diri, peran, moral, etika.Konsep diri ditekankan pada persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri sulit dijelaskan berkaitan dengan perasaan dan keyakinan yang menjelaskan bahwa individu mengetahui siapa dirinya dan perasaan dirinya yang adekuat dalam memenuhi keinginannya (Rambo, 1984).Konsep diri dibagi dua antara lain:1) The physical self, yaitu bagaimana seseorang merasakan dirinya terkait dengan perasaan, sensai, penampilan dan pandangan diri. Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti setelah operasi amputasi atau disfungsi seksual.2) The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi standar personal dan perilaku, isu-isu ideal dan etika. Persaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam area ini.c. Fungsi PeranFungsi peran adalah penampilan tugas-tugas didasarkan pada posisi yang diberikan dalam masyarakat. Jika seseorang menampilkan suatu peran adalah tergantung pada interaksi orang tersebut dengan orang lain dalam situasi yang diberikan. Peran utama yang diperagakan seseorang dapat dianalisa dengan membayangkan suatu formasi pohon. Batang dari pohon adalah peran pertama misalnya kemampuan seseorang membuat keturunan bagi wanita dewasa.Peran kedua merupakan dahan/ranting dari peran pertama misalnya: isteri, ibu, dan guru. Peran ketiga adalah dahan dari peran kedua. Untuk periode waktu yang ditentukan, setiap peran ini terlihat seperti kegiatan dalam hubungan dua arah atau peran timbal-balik.d. Saling Ketergantungan (interdependency)Model saling ketergantungan melibatkan hubungan seseorang dengan orang lain yang nyata dan system pendukungnya. Fungsi saling ketergantungan seeorang mengatur dan memelihara integritas fisik dengan kebutuhan yang dicapai untuk pemeliharaan dan saling mempengaruhi (Poush & Landingham, 1977).Manusia secara terus menerus mengamati lingkungan untuk menerima stimulus sehingga dapat merespons terhadap stimulus dan pada akhirnya dapat beradaptasi. Sebagai system yang terbuka individu menerima input atau stimulus baik dari lingkungan maupun diri sendiri. Tingkat adaptasi ditentukan oleh pengaruh stimulus fokal, konseptual, residual. Adaptasi terjadi ketika individu merespons secara positif terhadap perubahan lingkungan. Respons adaptasi ini meningkatkan integritas manusia untuk menjadi sehat. Respons yang tidak efektif terhadap stimulus, menimbulkan gangguan integritas yang disebut sakit.Manusia adalah satu kesatuan yang terdiri dari 6 subsistem, yaitu regulator, kognator dan 4 mode yang saling berhubungan dalam satu system yang kompleks untuk mencapai suatu kondisi adaptasi. Hubungan antara 4 mode bisa terjadi apabila 1) stimulus internal dan eksternal mempengaruhi lebih dari 1 mode, 2) terjadi gangguan perilaku pada lebih dari 1 mode, 3) salah satu mode menjadi stimulus fokal, kontekstual dan residual bagi mode yang lain. Uraian di atas dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini:

StimuliSelf concept-group identityPhysiological physical

Behaviour

Coping processes

Behaviour

Interdependency

Role function

Adaptasi

Gambar 2.2 Diagrammatic representation of human adaptive systems by Sister Callista Roy

Dari asumsi tentang metaparadigma (manusia, keperawatan, sehat dan lingkungan) jika dihubungkan dengan model adaptasi Roy, maka dapat diuraikan sebagai berikut:1) ManusiaMenurut Roy manusia adalah mahluk bio-psiko-sosio-spiritual yang secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan yang selalu berubah. Manusia dapat beradaptasi melalui proses internal yaitu regulator dan kognotor. Menurut Roy manusia mempunyai 4 (empat) model adaptasi yang meliputi kebutuhan fisiological, konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan.2) KeperawatanKeperawatan bertujuan untuk membantu individu dalam usaha adaptasi dengan menata lingkungan, sehingga dapat tercapai tingkat kesehatan yang maksimal. Sebagai system yang terbuka, individu menerima input atau stimulus baik dari lingkungan maupun diri sendiri. Tujuan keperawatan adalah membantu manusia (individu) untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan fisik, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Serta hubungan saling ketergantungan selama sehat dan sakit. Intervensi keperawatan adalah pendekatan yang digunakan untuk menanggulangi stimulus fokal, kontekstual dan residual. 3) LingkunganLingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan perilaku orang atau kelompok. Lingkungan adalah input kedalam diri seseorang sebagai system adaptif baik faktor internal maupun eksternal. Dengan demikian perubahan lingkungan menuntut peyingkiran penggunaan energi ntuk dapat beradaptasi. Faktor-faktor dalaml ingkungan yang mempengaruhi seseorang dikategorkan sebagai stimulus fokal, konseptual dan residual.

4) KesehatanKesehatan dari penyakit tidak dapat dihindari dari pengalaman total seseorang. Kesehatan terjadi ketika manusia secara terus-menerus beradaptasi terhadap stimulus, sehingga mereka bebeas merespons stimulus lainnya. Pembebasan energi dari usaha-usaha penanggulangan yang tidak efektif dapat meningkatkan kesembuhan kesehatan.

2.2 Teori Cerebrovascular Disease (CVD) Haemoragic2.2.1 Definisi Stroke/ Cerebrovascular DiseaseStroke atau cedera cerebrovaskuler adalah gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak (Price, 2006)Stroke atau Cerebrovascular Disease adalah ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak (Smeltzer & Barre, 2004).

2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Persarafan1. Sistem Saraf Pusat a. Otak Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinue, tanpa ada masa istirahat. Bila aliran darah berhenti selama 10 detik saja, maka kesadaran mungkin sudah akan hilang, dan penghentian dalam beberapa menit saja dapat menimbulkan kerusakan yang tidak irreversible. (Sanders, 2006, hlm. 157)b. CerebrumMenurut Arif Muttaqin, (2008) cerebrum adalah bagian otak yang paling besar, kira-kira 80% dari berat otak. Cerebrum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh Korpus Kallosum yaitu hemisfer substansia alba, yang menghubungkan bagian bagian otak dengan bagian yang lain dan substansia grisea yang terdapat diluar terbentuk dari badan badan sel saraf. Keempat lobus serebrum yaitu lobus frontal, parietal, temporal dan oksipital.

Gambar 2.3. Empat lobus serebrum(Sumber: http://www.mayfieldclinic.com)

1) Lobus Frontal Berfungsi sebagai aktivitas motorik, fungsi intelektual, emosi dan fungsi fisik. Pada bagian prontal kiri terdapat Area Broca yang berfungsi sebagai pusat motorik bahasa dan mengontrol ekspirasi bicara.2) Lobus parietal Terdapat sensasi primer dari korteks berfungsi sebagai proses input sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan, perubahan suhu ringan dan pendengaran.3) Lobus temporal Mengandung area auditorius, tempat tujuan area asosiasi primer untuk informasi auditorik dan mencakup Area Wernicke tempat interpretasi bau dan penyimpanan bahasa.4) Lobus occipitalMengandung area visual otak, berfungsi sebagai penerima informasi dan menafsirkan warna refleks visual. Lobus ini menerima informasi yang berasal dari retina mata.c. Batang Otak Menurut Arif Muttaqin, (2008. Hlm 12-14) Batang otak terdiri dari otak tengah atau Mesencephalon, pons dan medula oblongata, berfungsi pengaturan reflek untuk fungsi vital tubuh. Gambar 2.4 : Otak dan Batang otak

1) Otak tengah berfungsi sebagai kontrol refleks pergerakan mata akibat adanya stimulus pada nervus kranial III dan IV,2) PonsMenghubungkan otak tengah dengan medula oblongata, berfungsi sebagai pusat-pusat refleks pernafasan. 3) Medula oblongata Mengandung pusat reflek yang penting untuk jantung, vasokontriktor, pernafasan, bersin, menelan, batuk, muntah, sekresi saliva. saraf kranial IX, X, XI dan XII keluar dari medula oblongata. d. Cerebellum Besarnya kira-kira seperempat dari cerebrum, antara cerebellum dan cerebrum dibatasai oleh tentorium serebri. Fungsi utama cerebeluum adalah koordinasi aktivitas muskuler yaitu kontrol tonus otot, mempertahankan postur dan keseimbangan dan melakukan program akan gerakan gerakan pada keadaan sadar dan tidak sadar. (Muttaqin, 2008)e. HipotalamusBerfungsi memproduksi Anti Diuretik Hormon, mengatur suhu tubuh, mengatur asupan makanan, mengatur aktivitas organ, seperti jantung, pembuluh darah dan usus, merangsang respons organ viseral selama dalam kondisi emosional, mengatur ritme tubuh seperti siklus tidur, perubahan mood dan kesiagaan mental. (Sanders, 2006)

f. ThalamusTerletak diatas hipotalamus dibawah serebrum, fungsi thalamus serkait dengan sensasi pengindraan sehingga serebrum akan memahami secara keseluruhan. (Sanders, 2006)g. Sirkulasi serebralSuzzane C. Smelzzer, dkk, (2008) menjelaskan bahwa sirkulasi serebral menerima kira kira 20% dari curah jantung atau 750 ml permenit.Darah arteri yang disulai ke otak berasal dari dua arteri karotis internal dan dua arteri vertebral dan meluas ke sistem percabangan. Karotis internal dibentuk dari percabangan dua karotis dan memberikan sirkulasi darah otak bagian anterior. Arteri arteri vertebral adalah cabang dari arteri subklavia, mengalir ke belakang dan naik pada satu sisi tulang (Lihat pada gambar 2. 4) belakang bagian vertikal dan masuk tengkorak melalui foramen magnum. Kemudian saling berhubungan menjadi arteri basilaris pada batang otak. Arteri vertebrobasialis paling banyak menyuplai darah ke otak bagian posterior. Arteri basilaris membagi menjadi dua cabang pada arteri serebralis bagian posterior.

Gambar 2.5 : Perjalanan arteri Otak(Sumber : Price & Wilson, 2006)

Pada dasar otak di sekitar kelenjar hipofisis, sebuah lingkaran arteri terbentuk diantara rangkaian arteri karotis internal dan vertebral. Lingkaran ini disebut sirkullus willisi (Lihat gambar 2.6) yang dibentuk dari cabang cabang arteri karotis internal, anterior dan arteri serebral bagian tengah dan arteri penghubung anterior dan posterior. Aliran darah dari sirkulus willisi secara langsung mempengaruhi sirkulasi anterior dan posterior serebral, arteri arteri pada sirkulus willisi memberi rute alternatif pada aliran darah jika salah satu peran arteri mayor tersumbat. Gambar 2. 6: Sirkulus Willisi dan beberapa variasi anatomik yang sering dijumpai. Anormali diberi tanda panah. A. Sirkulus willisi yang normal. B. Reduplikasi arteri komunikans anterior. C. Arteri serebri anterior yang menyempit seperti tali. D. Arteria komunikans posterior yang menyempit seperti tali. E. Arteria serebri posterior yang secara embrionik berasal dari arteri interna. ACA. Arteria serebri anterior. AcomA, arteria komunikans anterior. MCA, arteria serebri media. ICA, arteria korotis interna. PcomA, arteria komunikans posterior. PCA, arteria serebri posterior. SCA, arteri serebri superior. BA, arteria basilaris. AICA, arteri serebralis inferior anterior. PICA,arteri serebralis inferior posterior. VA, arteria vertebralis (Sumber: Price, 2006)Jika salah satu atau lebih arteri tersumbat pecah karena peninggian tekanan, terjadi perdarahan intraserebral/intrakranial sehingga akan terjadi hambatan regulasi yang mempertahankan fungsi serebral atau yang mempertahankan stabilitas tekanan intrakranial. Pengaruh sumbatan pembuluh darah tergantung pada pembuluh darah dan pada daerah otak yang terserang.h. Medula Spinalis Medula Spinalis atau sum-sum tulang belakang bermula pada medula oblongata. Fungsi medula spinalis sebagai gerakan otot tubuh dan pusat refleks.

2. Sistem Saraf Perifer Sistem Saraf Perifer terbagi atas Saraf Spinal dan Saraf Kraniala. Saraf Spinal Terdiri atas 31 pasang Saraf Spinal yang terbagi atas : 1) 8 pasang Saraf Servikal 2) 12 pasang Saraf Torakal 3) 5 pasang Saraf lumbal 4) 5 pasang Saraf Sacral 5) 1 pasang Saraf Coccigeal b. Saraf Kranial Menurut Price,S. & Wilson, (2006, hlm. 1034), bahwa ada 12 saraf kranial yang masing-masing terbagi berdasarkan fungsinya masing-masing, diantaranya adalah:

Tabel 2.1 Saraf-saraf kranialSarafAsalJensiFungsi

1) Olfaktory 2) Optik

3) Okulomotor

4) Troklear 5) Trigemenal

6) Abdusen 7) Fasial

8) Akustik (Vestibulo Cochlear) 9) Glassofaringeal

10) Vagus

11) Spinal Accessory 12) Hipoglosus Bulb factory Badan geneculate lateral Otak Tengah

Otak TengahPons

Pons Pons

Pons

Medulla

Medulla

Medulla

Medulla Sensorik Sensorik

Motorik Prasimpatik

Motorik Motorik Sensori Motorik Sensorik

Motorik Parasimpatis Motorik

Sensorik

Sensorik

Motorik Moorik

Motorik

Motorik Pembau Penglihatan

Motorik kontriksi pupil, pergerakan bola mata perubahan kontriksi pupil Pergerakan mata ke bawah Mengunyah, sensasi dari kulit wajah, kulit kepala dan gigi Pergerakan mata (lateral) Pengecapan (2/3) lidah anterior, salivasi, pendengaran, sensasi wajah

Ekspresi wajah lakrimal, sub mandibular, dan sublingual kelenjar saliva Lakrimal Pendengaran, keseimbangan

Sensasi tenggorokan dan tonsil, pengecapan (1/3 lidah posterior) Salivasi, menelan Kontraksi faring, gerakan simetris pita suara dan gerakan simetris palatum mole Pergerakan bahu, rotasi kepala

Pergerakan otot - otot lidah.

(Sumber: Price,Sylvia & Wilson, 2006 )

2.2.3 Etiologi Stroke HemoragikFaktor-faktor predisposisi pencetus terjadinya stroke adalah:a. Merokokb. Hipertensic. Diabetes Mellitusd. Penyakit Jantung Koronere. Kelainan pembuluh darah (malformasi, aneurisma)f. Polisitemia Verrag. Hiperkolesterolemiah. Obesitasi. Usia LanjutEtiologi langsung yang menyebabkan terjadinya stroke hemoragik adalah adanya:a. Aneurisma vaskulerJenis-jenis aneurisma yang diketahui: Aneurisma Berry, akibat defek congenital Aneurisma Mycotik dari vaskulitis nekrose dan emboli Aneurisma Fusiformis yang berasal dari atherosklerosisb. Hipertensi.Hipertensi menyebabkan penebalan dan degenerasi pembuluh darah.c. Malformasi arteriovena, yaitu terjadi hubungan antara vena dan arteri sehingga darah arteri masuk ke vena.

2.2.4 Patofisiologi CVD Stroke HemoragikAdanya krisis hipertensi, malformasi arteriovena, dan penipisan vaskuler disatu sisi dan penebalan abnormal di sisi lain pada kasus aneurisma, menyebabkan rupturnya pembuluh arteri otak. Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan perdarahan intraserebral/ intrakranial dan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan (Darah, jaringan otak, dan cairan serebrospinal). Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak. Manifestasi klinis gejala yang muncul adalah tergantung letak arteri serebri yang terlibat. Sebagian besar blok arteri yang sering terkena adalah middle cerebral artery. Berbeda dari CVD stroke hemoragik, pada CVD stroke iskemia gangguan peredaran darah ke otak, disebabkan oleh karena penyumbatan (thrombus, emboli, plak aterosklerosis) yang dapat mengakibatkan terputusnya aliran darah ke otak sehingga menghentikan suplai utama oksigen, glukosa dan nutrisi lainya kedalam sel otak yang mengalami serangan. Pada gejala gejala yang dapat pulih, seperti kehilangan kesadaran, jika kekurangan oksigen berlanjut lebih dari beberapa menit dapat meyebabkan nekrosis mikroskopis neuron neuron, area nekrotik disebut infark hingga terjadi komplikasi yang sama seperti pada stroke hemoragik yaitu edema serebri dan peningkatan TIK dengan tanda & gejala klinis yang hampir sama seperti stroke hemoragik pada akhirnya, walaupun secara prognosis stroke iskemia dengan trancient ischemia attack (TIA) lebih baik daripada prognosa stroke hemoragik (Ignatavicius, 2010 & Muttaqin, 2008).

PathwaysSkema 2.1: Patofisiologi dan masalah keperawatan stroke

Herniasi falk serebri dan ke foramen magnumKompresi batang otakKematianKegagalan kardiovaskuler dan pernafasanKerusakan fungsi kognitif dan efek psikologisPerubahan persepsi sensoriGangguan harga diriKurang penetahuan b.d ketrbatasan kognitfPenurunan perfusi jarinagan serebralHemiplegic dan hemipariseResiko peningkatan TIKKerusakan terjadi pada lobus frontal Disfungsi bahasa dan komunikasiKehilangan control volunterInfark serebralDisatria,disfagia/afasia,afraksiaKerusakan komunikasi verbalAterosklerosis, hiperkoagulasi, artesisAneurisma, malformasi arteriveneusThrombosis serebralPembuluh darah oklusi Iskemik jaringan otakEdema dan kongesti jaringan sekitarPerembesan darah ke otakPenekanan jaringan otakInfark otak, edema dan herniasi otakPendarahan intraserebralFaktor-faktor resiko strokeKatup jantung rusak, miokart, fibrilasi, endokarditisPyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara DARAH LEMAK DAN UDARAEmboli serebralstroke{{{{{{{{Deficit neurologistKerusakan mobilitas fisikDefresi saraf kardiovaskuler dan sarafKomaKelemahan fisik umumKurang perawatan diri:ADL

2.2.5 Tanda dan Gejala KlinisTanda dan gejala klinis yang muncul tergantung pada daerah dan luasnya daerah / arteri otak yang terserang (Ignatavicius & Workman, 2010):a. Daerah arteri serebri media/tengah, Menimbulkan: Hemiparese kontralateral (tangan > kaki), deficit sensoris kontralateral, hemianopsia homonym, defisit tingkat atensi, gangguan sensasi vertikal, defisit spasial, persepsi, dan visual. Tingkat kesadaran terjadi penurunan (somnolen s/d koma)b. Daerah arteri carotid internalMenimbulkan: Hemiparese kontralateral, defisit sensoris, afasia, nyeri kepala, bruit carotis.c. Daerah arteri serebri anterior Mnimbulkan gejala: Hemiparese kontralateral (kaki > tangan), inkontinensia urine, perubahan perilaku, amnesia, afasia, reflek menghisap dan menggenggam (+), defisit sensoris khusunya pada ekstrimitas bawah, apraksia. d. Daerah arteri serebri posteriorMenimbulkan gejala: Perseverasi (pengulangan kata-kata atau aksi tindakan), amnesia, afasia, aleksia, agrafia, visual agnosia, penurunan sensai sentuh. Tingkat kesadaran jatuh pada stupor hingga koma.

e. Daerah vertebra basiler Menimbulkan: Dapat fatal dengan status kesadaran koma, flaksid paralisis, disfungsi nervus cranial, kehilangan memori, penurunan persepsi sensoris, vertigo, nyeri kepala.Apabila dilihat bagian hemisfer yang terlibat antara hemisfer kanan dan kiri, maka gejala dapat berupa:

Tabel 2.2KarakterHemisfer KiriHemisfer Kanan

BahasaAfasia, agrafia, aleksiaKerusakan sense humor

MemoriDefisitDisorientasi waktu, tempat, orang, dan sulit mengingat/ mengenali wajah.

PenglihatanPenurunan lapang pandang, kesulitan membaca hurufDefisit visual spasial, lapang pandang kiri terabaikan, kehilangan persepsi.

PerilakuLambat,hati-hati, cemas tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas baru, depresi, merasa bersalah, mudah marah dan frustasi.Impulsif, konfabulasi,euphoria, tersenyum (konstan), melakukan aktivitas berlebihan.

PendengaranBaikPenurunan

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik1. CT scan CTScanbergunauntukmenentukan:jenispatologilokasi&ukuranlesimenyingkirkanlesinonvaskuler Mengetahui adanya trombus, emboli, dan bila terjadi peningkatan TIK2. Angiografi serebralAngiografi cerebral digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan pada system predaran darah dari otak, setiap perdarahan yang terjadi akan terdeteksi melalui pencitraan ini.

Gambar 2.7a. Anterior cerebral artery hemorrhagic b. Posterior inferior cerebral artery hemorraghic(Sumber: www.emidicine.medscape.com, 2011)

3. MRI. Menunjukkan daerah infark, perdarahan, maupun malformasi arteriovena.4. USG Doppler5. Elektroensefalogram (EEG).Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.6. Lumbal PungsiLumbal pungsi dapat digunakan untuk memeriksa tekanan cairan serebrospinal, penyebab peradangan yang terjadi pada otak, medulla spinalis dan daerah batang otak.7. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan darah rutin (darah perifer lengkap), gula darah, urine, Analisa gas darah (AGD), dan elektrolit.

2.2.7 Penatalaksanaan MedisManajemen penatalaksanaan pasien stroke tidak dapat disamakan pada semua kondisi. CVD stroke hemoragik memiliki terapi berbeda dengan CVD stroke iskemia.Berikut adalah manajemen terapi pada masing-masing karakteristik CVD (Liebeskind, D, 2011):

Tabel 2.3Stroke HemoragikStroke Iskemia

Fase akut1. Stabilisasi Vital signs (oksigenasi, intubasi, penurunan suhu ruangan, kontrol febris).2. Manajemen kejang (diazepam, fenitoin)3. Kontrol tekanan darah4. Kontrol tekanan darah Mengurangi tekanan darah tidak > 10% pada 24 jam pertama.a. Agen beta blocker ;propanololb. ACE inhibitor: captoprilc. Agen tiazid diureticd. Nicardipin (perdipin)5. Kontrol peningkatan TIKa. Cairan osmotic diuretic: manitol, Nacl hipertonisb. Anastesi barbiturat6. Terapi hemostatisc. Faktor VII ad. Agen koagulan untuk perdarahan intraserebrie. Terapi platelet

7. Ventriculostomy & VP shunt untuk drainase CSS8. Manajemen level glukosa9. Craniotomi & clott evacuation10. Manajemen aneurisma: endovascular coiling embolisasi

Fase Akut1. Stabilisasi Vital signs (oksigenasi, intubasi, penurunan suhu ruangan, kontrol febris).2. Terapi trombolitik , seperti alteplase, plasminogen activator (tPA). Fase hiperakut s/d 3-4,5 jam pasca fase akut3. Agen antiplatelet, seperti aspirin4. Agen neuroproteksi:a. Tipe pencegah injury iskemik N-metyl-D-aspartate (magnesium, dextrorphane) Nalfemene Lubeluzole, memblokchannel natrium dan mengurangi nitrit oksid. Clomethiazine, mengurangi eksitatori neurotransmitter) Calcium channelblockerb. Tipe pencegah injuri reperfusi Antibody monoclonal, seperti enlimomab. Memblok molekul adesi interseluler pada endothelium sehingga mencegah adesi reperfusi sel darah putih ke dinding pembuluh darah. Antiplatelet antibody Citicholine. Bentuk eksogen dari cytidine-5-diphosphocoline untuk biosintesis membrane dan menurunkan formasi radikal bebas.

Fase Rehabilitasi1. Kontrol Tekanan darah2. Kontrol berat badan3. Kontrol gula darah4. Latihan fisik/olahraga5. Pola hidup sehat (makanan rendah koleserol, tidak merokok,)6. Rehabilitasi Medik: terapi wicara, terapi lanjutan menelan,terapi mobilisasi

2.3 Konsep DisfagiaDisfagia adalah suatu kondisi saat pasien mengalami kesulitan menelan atau gangguan menelan. Disfagia merupakan salah satu tanda adanya masalah pada otot-otot di esophagus dan orofaring saat bertugas menggerakan makanan dan cairan dari mulut ke lambung (Goyal & Katz dalam webmd, 2009). Salah telan atau gangguan menelan dapat terjadi pada kelumpuhan nervus cranial ke-IX dan X. Lesi di medulla oblongata dapat mengakibatkan kelumpuhan saraf IX, X, XI, dan n.XII dan disebut juga kelumpuhan saraf bulbus (Lumbantobing, 2004).

2.3.1 Kondisi Penyebab / Pencetus Disfagia1. Stroke2. Cedera medulla spinalis3. Penyakit autoimun pada persarafan seperti multipel sclerosis (demielinisasi sel saraf), distropi muscular, polimiositis4. Penyakit degeneratif Parkinsons5. Spasme esophageal6. Esofagitis7. Gastroesofageal reflux disease (GERD)8. Tumor esophagus

2.3.2 Mekanisme Disfagia pada Klien StrokeSecara normal setiap individu mengalami 3 fase dalam menelan, yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esophageal.Salah telan atau gangguan menelan dapat terjadi pada kelumpuhan nervus cranial ke-IX dan X. Inkoordinasi antara N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII merupakan penyebab disfagia yang sering terjadi pada pasien stroke (Lumbantobing, 2004). Mekanisme disfagia pada pasien stroke paling sering akibat disfagia orofaringeal. Pasien dengan gangguan gerakan orofaringeal cenderung sulit memulai proses menelan sehingga akan didapatkan ketidakmampuan menahan cairan dalam mulut, tidak mampu berkumur, bunyi gurglingsaat besuara, dan dapat terjadi batuk/tersedak saat memulai menelan sedikit cairan (Eisenstadt, 2008)2.3.3 Tanda dan Gejala DisfagiaTanda dan gejala klinis disfagia adalah: (Hughes. 2011):a. Tersedak atau batuk saat menelanb. Tertundanya refluk menelanc. Kesulitan memulai menelan, kesulitan menahan makanan atau cairan dalam mulutd. Merasa ada yang menghambat di tenggorokane. Disartria/bicara pelof. Suara serakg. Hipersalivasih. Lidah asimetris (Massey & Jedlicka,2002).

2.3.4 Komplikasi DisfagiaKomplikasi utama disfagia adalah aspirasi dan pneumonia aspirasi (Eisenstadt, 2008). Sehingga membahayakan fungsi respirasi klien.

2.3.5 PenatalaksanaanPenatalaksanaan disfagia adalah:a. Skrining awal disfagia, dapat menggunakan metode The Massey Bedside Swallowing Screen (Massey & Jedlicka, 2002)b. Pemeriksaan Modified Barium Swallow Study or Videofluoroscopic Swallow Study (Fluoroscopy). c. Pemasangan NGT dan nutrisi enterald. Chin tuck dengan Posisi tegak 60 derajat (Ayuse, et al, 2006)Posisi recline dan chin-tuck 60 derajat efektif mengurangi pergerakan orofaringeal, (sehingga mencegah kejadian aspirasi saat menelan), dan secara signifikan mempengaruhi koordinasi pernafasan dan menelan (Ayuse, et al, 2006).Chin tuck adalah posisi tegak dimana pasien memegang dagu ke bawah, meningkatkan sudut epiglottic, dan mendorong dinding laring anterior mundur, sehingga mengurangi diameter jalan napas.e. Terapi rehabilitasi sejak fase akut, yaitu latihan kekuatan otot motorik oral lidah (Lingual exercise/ oral motor& pharyngeal swallow)f. Terapi menelan (swallowing therapy)g. Oral feeding dengan modifikasi konsistensi Cairan kental dapat meningkatkan kontrol oropharyngeal sedangkan diet makanan atau bubur cincang menurunkan kesulitan pengunyahan.1) Dysphagia diet 1 cairan konsistensi sedang (jus, kopi, teh)2) Dysphagia diet 2 cairan konsistensi lebih padat (jus tomat, krim)3) Dysphagia diet 3 cairan dengan konsistensi kental, seperti madu4) Dysphagia diet 4 Puding, sereal5) Dysphagia diet 6 roti,muffin6) Dysphagia diet 8 - Mixed textures

2.4 Konsep Hemiparese dan Hambatan Mobilitas Fisik2.4.1 DefinisiHemiparese adalah kelemahan separuh pada ekstrimitas satu sisi akibat gangguan persarafan, biasanya hemiparese terjadi sebagai gangguan kontralateral akibat rusaknya kontrol pusat di upper motor neuron oleh patologis tertentu seperti stroke.2.4.2 Manajemen Penatalaksanaan Manajemen penatalaksanaan hambatan mobilitas fisik klien akibat hemiparese meliputi observasi, motivasi, latihan aktivitas motorik, dan pencegahan komplikasi akibat hambatan mobilisasi. Peran keperawatan adalah menekankan pada kebutuhan terhadap pengkajian dan perawatan mandiri.1. Aktivitas Motorika. Latihan mobilisasi dini dan terstruktur, seperti miring kanan kiri, latihan duduk, latihan berjalanb. Latihan rentang gerak sendi atau Range of Motion (ROM) untuk menguatkan otot-otot dan sendi2. Pencegahan Komplikasi akibat immobilisasia. Pencegahan kontraktur dan atropi ototb. Pencegahan infeksi pernafasan,seperti penumoniac. Pencegahan luka dekubitusd. Pencegahan infeksi saluran kemihe. Pencegahan konstipasif. Pencegahan keadaan depresi akibat ketidakberdayaan dan koping yang tidak efektif.

BAB 3TINJAUAN KASUS & PROSES KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian dengan Pendekatan Teori Adaptasi RoyNama Klien: Tn.B (54 tahun)Alamat : Kemayoran Tanggal masuk: 16 Mei 2011Tanggal pengkajian : 23 Mei 2011, pukul 14.30 (Shift sore)Nmr MR: 349-51-98Deskripsi kasus:Tuan B, ditemukan jatuh pingsan/tergeletak di jalan 1 jam sebelum dibawa ke RS. Klien ditemukan oleh warga dan dibawa oleh polisi ke RSCM. Saat kejadian, klien tidak bersama seorang keluarga ataupun kerabat sehingga tidak teridentifikasi penyebab terjadinya penurunan kesadaran. Menurut keterangan, saat ditemukan pingsan klien tidak mengalami kejang. Saat dibawa ke UGD RSCM ditemukan adanya krisis hipertensi dengan TD 185/135 mmHg. Klien tidak diketahui riwayat hipertensi sebelumnya.Setelah mendapatkan pertolongan emergency di UGD, klien lalu dipindahkan ke ICU RSCM selama 1 hari. Setelah stabil dan mengalami perbaikan kesadaran, klien dipindahkan ke ruang perawatan neurologi lantai 5 gedung A RSCM.

Keluhan utama saat ini (saat pengkajian): Klien menunjuk ke arah tangan kanannya yang sulit digerakkan. Begitu pula pada kaki kanannya. Riwayat penyakit dahulu: klien mengatakan tidak pernah memeriksakan tekanan darah hingga akhirnya terkena sakit sekarang ini Riwayat penyakit dalam keluarga : tidak diketahui

Model Pengkajian Adaptasi FisiologisTanda vital: Tekanan Darah 170/ 120 mmHg, Nadi 104 x/mnt, suhu 37 C, RR 24 x/mnt.Kesadaran: Compos Mentis

1. Oksigenasi dan SirkulasiInspeksi: Terpasang O2 nasal 2 LPM, Terpasang central venous catheter di subclavia kanan. Retraksi otot bantu nafas (-), sianosis (-), RR regular 24 x/mnt.Perkusi: Resonans kanan dan kiriPalpasi: Hantaran asimetris dengan intensitas yang menurun di bagian kanan.Auskultasi: Vesikuler menurun pada lapang paru, ronki kasar pada kedua lobus bagian superior dan medial kanan, lebih keras terdengar pada lobus superior sinistra.Lain-lain: Klien sulit batuk dan sulit mengeluarkan dahak.Pada sistem kardiovaskuler tidak terdapat keluhan nyeri dada, sianosis tidak ada, ictus kordis teraba pada ICS 4, suara S1 S2 tunggal.Masalah Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

2. NutrisiTinggi badan: 165 cm, Berat badan : 75 kgIntake makanan: dengan media NGTJenis nutrisi: susu cair diberikan 6 x 250 cc, kebutuhan kalori 3000kkalKeluhan mual (-), muntah (-)Pemeriksaan fisik sistem pencernaan:Mulut: agak kotorTenggorokan: kesulitan menelanAbdomen: Inspeksi abdomen supel, tidak tegang, tidak asitesAuskultasi: bising usus hipoaktif, 5-6 x/mntPalpasi: tidak ada nyeri, supel pada kuadran atas, agak keras pada kuadran bawah.Perkusi: Timpani pada kuadran atas, dullness pada kuadran bawah

3. Cairan dan ElektrolitIntake cairan: Nutrisi enteral susu cair 6x 250 cc/ hari. Cairan infuse 1000 cc/ 24 jamHaluaran urine: 1750 cc/24 jamMukosa : lembabEdema ekstrimitas tidak adaNilai elektrolit: Natrium 144 mEq/ml, Kalium 2,8 mEq/ml, Cl 106 mEq/ml (dalam batas normal)

4. EliminasiBAK: dengan bantuan foley catheter, haluaran urine 1750 cc/24 jam. Warna urine jernih kecoklatan, hematuria tidak ada, nyeri pada sisi keteter tidak ada, demam tidak ada.BAB: Klien mengatakan sudah 4 hari tidak BAB. Motilitas usus 5-6 x/mnt, nyeri abdomen (-).Masalah Keperawatan: Perubahan eliminasi fekal/alvi: konstipasi

5. Aktivitas dan IstirahatIstirahat tidur: cukup, klien tampak tidur siang.Klien mengatakan tidak ada kesulitan tidur malam.Aktivitas di tempat tidur, tingkat/ skor aktivitas 2 (memerlukan bantuan orang lain untuk pertolongan, pengawasam dan pengajaran.Keterbatasan ROM ada, kekuatan otot 3 3 3 3 5 5 5 53 3 3 3 5 5 5 5

6. Fungsi Neurologi(1) Status mental Keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, GCS (E=4, M=6, V= 5, gelisah (-). Klien mengeluh nyeri kepala, terasa agak berat hingga ke leher belakang, namun tidak terlalu mengganggu. Memori jangka pendek baik, memori jangka panjang baik, kemampuan komunikasi 2 arah baik/ kemampuan memahami baik walaupun klien mengalami disartria /pelo. Orientasi orang, tempat, waktu baik. Kemampuan membaca baik, mengenali objek baik, kalkuli baik.

(2) Tanda rangsang meningealKaku kuduk (-), brudzinski 1 dan 2 (-), babinski (-), Lasegue (-) kaki klien dapat diangkat oleh pemeriksa hingga 60 derajat tanpa nyeri. Tanda kernig (-), kaki klien dapat ditekuk 90 derajat dan bagian tungkai bawah dapat diangkat oleh pemeriksa hingga 135 derajat tanpa keluhan nyeri.

(3) Koordinasi gerakKlien aktivitas ditempat tidur, tidak gelisah, tidak terdapat gerakan abnormal. Sikap berdiri tidak dapat dikaji.Tonus otot eutoni (normal), spastic pada ekstrimitas bawah (-), mioklonik (-). Ataksia sulit dikaji. Refleks fisiologis: reflex bisep +/+, reflek trisep -/+, reflek patella +/+, achiles +/+Reflek patologis: babinski (-)Kekuatan otot dan otot 3 3 3 3 5 5 5 5 , 2 2 2 2 5 5 5 5Klien mengalami hemiparese pada ekstrimitas kanan tangan dan kaki, tangan dan kaki sedikit dapat digerakkan namun pada kaki kanan tidak dapat melawan gaya berat sedangkan tangan kanan masih dapat melawan gaya berat.(4) Status persepsi sensorisRespons nyeri (+), respons terhadap rangsang dermatom pada seluruh permukaan kulit (+).(5) Pemeriksaan nervus cranial Nervus I Olfaktorius: klien dapat menunjukan respons bila di tes menghidu, klien masih dapat merespons aroma/bau. Nervus II Optikus (tes ketajaman penglihatan): Klien agak sulit melihat objek pada jarak > 1 meter, namun hal ini kurang dapat ditetapkan sebagai kerusakan N.II karena klien mengatakan bahwa sehari-hari ia menggunakan kacamata. Nervus III Okulomotorius (pergerakan bola mata dan reflek cahaya): dengan menggunakan pen light dan inspeksi, didapatkan: Ptosis (-), edema palpebra tidak ada, reflek pupil kanan (+) dan kiri (+), pupil isokor, diameter 3mm/ 3mm. Pergerakan bola mata rotasi (+), lateral kanan kiri (+) Nervus IV Troklearis: gerakan bola mata ke arah bawah (+) Nervus VI Abdusen: gerakan bola mata ke arah lateral (+), Nervus V TrigeminusBagian sensorik diperiksa dengan menggunakan kapas pada 3 area yaitu oftalmik, maksilaris, dan mandibularis. Pada area oftalmik saat diberikan rangsang sensoris klien spontan mengangkat alis dan mengedipkan mata. Pada area maksilaris klien spontan menggerakan pipi saat dirangsang. Pada area mandibularis klien lambat berespons menggerakan bibir bawah.Bagian motorik yaitu pemeriksaan kekuatan otot masseter dan temporalis dengan cara memerintahkan klien merapatkan giginya, klien tidak dapat merapatkan giginya, bibir asimetris. Nervus VII FasialisTidak terdapat kelumpuhan otot wajah, klien dapat menyeringai saat diberi rangsang nyeri, dapat mengangkat alis, dapat tersenyum namun asimetris, tidak dapat mencembungkan pipi, dapat menggerakkan pipi dan ujung bibir saat diberi rangsang sensibilitas, fungsi pengecapan baik. Nervus VIII VestibulokoklearisTes koklearis (pendengaran): klien masih dapat berespons saat dibangunkan dengan rangsang nyeri dan suara. Saat klien bangun sesekali, klien dapat merespons ke arah suara perawat.Tes vestibulum (keseimbangan), uji Romberg tidak dapat dilakukan.

Nervus IX Glossofaringeus Nervus X Vagus Nervus IX dan X diperiksa secara bersamaan karena kedua saraf ini berhubungan erat. Fungsi pengucapan/artikulasi dan fungsi menelan menurun. Klien mengalami disartria/ bicara pelo namun masih dapat dimengerti oleh klien, begitu pula sebaliknya. Saat dicoba minum sedikit dari oral cairan merembes keluar dari mulutKlien mengalami disfagia. Nervus XI AksesoriusPemeriksaan kekuatan otot sternokleidomastoideus dan otot trapezius dengan cara memberI tahanan dan pasien disuruh melawannya. Klien dapat melaksanakan pemeriksaan ini. Nervus XII HipoglosusPemeriksaan pergerakan lidah. Secara pasif, perawat memeriksa keadaan lidah pasien, terdapat ketidaksimetrisan lidah kanan dan kiri. Secara aktif klien dapat melaksanakan perintah untuk menggerakan lidah namun klien tidak dapat member tahanan pada pergerakan lidah, tidak dapat menjulurkan lidah secara maksimal. Hipersalivasi (+).Masalah keperawatan: Risiko aspirasi Kerusakan komunikasi verbal

7. Proteksi/ perlindungan Proteksi kulit cukup, luka dekubitus tidak ada Kebersihan rambut : kurang Kebersihan telinga: cukup Kebersihan mulut: agak kotor Kebersihan kuku: kotor8. Pengaturan Sistem EndokrinRiwayat diabetes mellitus tidak ada menurut klien, luka yang sulit sembuh tidak ada, gangguan metabolisme tidak ada. Gula darah sewaktu 141 mg/dl. Model Adaptasi Konsep DiriKlien mengekspresikan kesedihan klien karena ketidakmampuan aktivitas seperti biasanya oleh hemiparese dan bicara pelo yang dialami. Klien kadang menangis saat perawat mendampingi. Model Adaptasi Fungsi Peran dan model adaptasi interdependensi.Klien mengatakan sudah tidak punya istri lagi dan anak, karena sudah sejak lama bercerai dan anak klien ikut mantan istri. Klien mengatakan tidak terlalu berkeinginan didampingi anak atau mantan istrinya, walaupun anaknya tampak satu kali menjenguk klien. Pengkajian Stimulus1. Stimulus FokalAdanya krisis hipertensi dengan tekanan darah > 180/ 120 (185/135 mmHg) saat pertama kali dibawa ke UGD yang menyebabkan rupture arteri serebri berakibat perdarahan intraserebri sehingga terjadi penurunan kesadaran tiba-tiba.2. Stimulus KontekstualKerusakan sentral di upper motor neuron menyebabkan terjadinya hemiparese dekstra yang menurunkan kemampuan adaptasi aktivitas klien serta adanya kerusakan nervus cranial yang mengontrol otot-otot menelan dan wicara mengakibatkan disfagia dan disartria.3. Stimulus ResidualKetidakberdayaan klien tidak mendapatkan bantuan dari orang-orang terdekat karena tidak ada keluarga yang selalu mendampingi, hal ini lah yang semakin membuat klien merasa depresi.Masalah keperawatan: koping individu tidak efektif.

Diagnosa dan Program 1) Diagnosa medik : CVD: Stroke hemoragi e.c krisis hipertensi2) Hasil pemeriksaan penunjangCT Scan: Tampak lesi hiperdens dengan perifokal edema di periventrikuler kiri lobus parietal, basalganglia kiri dan kapsula interna kiri dengan volume 9,31 cm3 . Sulci dan gyrus serebri baik. Tidak tampak pergerseran garis tengah, tampak terlihat cavum septum pellucidum (varian normal). Sistem ventrikel dan sisterna tidak melebar. Sella dan parasela masih baik. Posn, cerebellum dan cerebellopontien tidak tampak kelainan.Kesimpulan: Hasil CT Scan menunjukkan perdarahan intraserebri dengan perifokal edema di periventrikuler kiri lobus parietal, basal ganglia kiri, dan kapsula eksterna interna kiri.

LaboratoriumDarah rutin 16 Mei 201124 Mei 2011Normal

Hb13 gr/dl13,712 -14

Ht38 %40,237-43

Erytrosit3,16 x 10 ^64,5 5,5

LED25 mm190 20

Leukosit10.90088705000 10.000

Trombosit279 rb369 rb150 rb 400 rb

MCV9682 92

MCH3327 31

MCHC35 g/dl32 36

Hitung Jenis :Test16 MeiNilai Normal

Basofil1 %0.0 1.0

Eosinofil01.0 3.0

Limfosit9 % 20.0 40.0

Monosit1 %2.0 8.0

Kimia Darah :Test17 Mei 201124 Mei 2011Normal

GDS14113070-200

Natrium144145135 147

Kalium2,83,473,5 5,5

Chlorida106100,8100-106

Kalsium 8,4 10,3

Phosfat2,7-4,5

Ureum3155 mg/dl< 50-70

Kreatinin1,11,0 mg/dl0,8-1,3

PT10 13,3

Pasien12,79,8 12,6

Kontrol11,2

APTT

Pasien3536,131,0 -47

Kontrol38,633,2

Fibrinogen136 384

D. dimer kuantitatif0 300

SGOT10 35

SGPT10 36

HbSAgNon reaktif< 1,0 non: reaktif

Anti HCVNon reaktif< 0,90 : non reaktif

Trigliserida< 150

Kolesterol total190120-200

Kolesterol HDL 3840

Kolesterol LDL64< 100

Albumin

2,3 3,5- 5

Analisa Gas Darah :17 Mei 2011Normal

pH7,3427,35 7,45

pCO239,235 45

pO2150,975 100

HCO321,521 25

Total CO222,721 27

BE-4,5-2,5 + 2,5

O2 saturasi99,1 %95 98

Pemeriksaan Urine Lengkap (27 Mei 2011)Warna kuning jernih (normal)Leukosit 6-8 lpb (normal)BJ urine 1,025pH 6,5Bakteri negative

Program MedikasiPer oral:Intra vena:Captopril 3 x 50 mgCithicolin 4 x 250 mgParacetmol 3x500 mg k.pAmilodipin 1 x 5mgVitamin B1 B6 B12 2x1Perdipin 5 cc/jamSimvastatin 1x 10mgRanitidin 2 x 50 mgFluimiciyl 3x CIInfus Nacl 0,9 % 1000 cc/24 jamInpepsa 4 x CILaxadin 3 x CIInhalasi: Ventolin 4 mg + Bisolvon+ NaCl (1:1:1)

3.2 Analisis DataTGl/NODATAPROBLEMETIOLOGI

23 Mei 2011Dx.1S: Klien mengeluh nyeri kepala, terasa agak berat hingga ke leher belakang, namun tidak terlalu mengganggu

O: Kesadaran compos mentis, E4M5V6 Tanda vital: Tekanan Darah 170/ 120 mmHg, Nadi 104 x/mnt, suhu 37 C, RR 24 x/mnt. Pupil isokor, reflek cahaya +/+ Hasil CT Scan menunjukkan perdarahan intraserebri dengan perifokal edema di periventrikuler kiri lobus parietal, basal ganglia kiri, dan kapsula eksterna interna kiri.

Perubahan perfusi jaringan serebral Perdarahan intraserebral dan edema serebral

23 Mei Dx.2S: klien mengatakan agak sesakO:Inspeksi: Terpasang O2 nasal 2 LPM, Retraksi otot bantu nafas (-), sianosis (-), RR regular 24 x/mnt.Perkusi: Resonans kanan dan kiriPalpasi: Hantaran asimetris dengan intensitas yang menurun di bagian kanan.Auskultasi: Vesikuler menurun pada lapang paru, ronki kasar pada kedua lobus bagian superior, dan medial kanan, lebih keras terdengar pada lobus superior sinistra.Klien sulit batuk dan sulit mengeluarkan dahak.Tidak efektif bersihan jalan nafasAkumulasi sputum dan ketidakmampuan batukefektif

23 MeiDx.3S: Klien menunjuk dan mengatakan tangan dan kaki kanan lemah dan sulit digerakkan

O: Aktivitas di tempat tidur Refleks fisiologis: reflex bisep +/+, reflek trisep -/+, reflek patella +/+, achiles +/+ Reflek patologis: babinski (-)Kekuatan otot dan otot 3 3 3 3 5 5 5 5 , 2 2 2 2 5 5 5 5Klien mengalami hemiparese pada ekstrimitas kanan tangan dan kaki, tangan dan kaki sedikit dapat digerakkan namun pada kaki kanan tidak dapat melawan gaya berat sedangkan tangan kanan masih dapat melawan gaya berat.

Hambatan mobilitas fisik Kehilangan koordinasi neuromuskuler anggota gerak

23 Mei 2011

Dx.4S: Klien mengatakan sudah 4 hari tidak BAB

O:Abdomen: Inspeksi abdomen supel, tidak tegang, tidak asites Auskultasi: bising usus hipoaktif, 5-6 x/mnt Palpasi: tidak ada nyeri, supel pada kuadran atas, agak keras pada kuadran bawah. Perkusi: Timpani pada kuadran atas, dullness pada kuadran bawah

Perubahan eliminasi alvi: konstipasiPenurunan aktivitas dan mobilisasi; penurunan asupan serat

23 Mei

Dx.5S: klien mengatakan sulit menelan dan sulit batuk untuk mengeluarkan dahakO:Pemeriksaan nervus kranial Nervus IX Glossofaringeus dan Nervus X Vagus:Fungsi fungsi menelan menurun-disfagia. Nervus XII Hipoglosus Pemeriksaan pergerakan lidah. Secara pasif, perawat memeriksa keadaan lidah pasien, terdapat ketidaksimetrisan lidah kanan dan kiri. Secara aktif klien dapat melaksanakan perintah untuk menggerakan lidah namun klien tidak dapat member tahanan pada pergerakan lidah, tidak dapat menjulurkan lidah secara maksimal. Hipersalivasi (+). Saat dicoba minum sedikit dari oral cairan merembes keluar dari mulut

Risiko aspirasiGangguan fungsi menelan

No. Dx.6S:Klien mengatakan memahami komunikasi dengan perawat

O:Pemeriksaan nervus kranial Nervus IX Glossofaringeus dan Nervus X Vagus:Fungsi pengucapan/artikulasi dan fungsi menelan menurun. Klien mengalami disartria/ bicara pelo namun masih dapat dimengerti oleh klien, begitu pula sebaliknya. N.XII lidah asimetrisKerusakan komunikasi verbalGangguan kontrol neuromuskuler; ketidakmampuan fungsi otot-otot wicara

23 Mei 2011

Dx.7S: Model Adaptasi Fungsi Peran dan model adaptasi interdependensi:Klien mengatakan sudah tidak punya istri lagi dan anak, karena sudah sejak lama bercerai dan anak klien ikut mantan istri. Klien mengatakan tidak terlalu berkeinginan didampingi anak atau mantan istrinya, walaupun anaknya tampak satu kali menjenguk klien.

O: Model Adaptasi Konsep Diri:Klien mengekspresikan kesedihan klien karena ketidakmampuan aktivitas seperti biasanya oleh hemiparese dan bicara pelo yang dialami. Klien kadang menangis saat perawat mendampingi. Stimulus Residual:Ketidakberdayaan klien tidak mendapatkan bantuan dari orang-orang terdekat karena tidak ada keluarga yang selalu mendampingi, hal ini lah yang semakin membuat klien merasa depresi.

Koping individu tidak efektifPenurunan kemampuan fisiologis dan ketidakberdayaan; tidak adekuatnya dukungan sosial

1

3.3 Nursing Care Plan Berdasarkan Kriteria NOC & NIC dengan Pendekatan Teori Adaptasi RoyNODIAGNOSA KEPERAWATANTUJUANRENCANA TINDAKAN

1Perubahan Perfusi jaringan cerebral b.d Perdarahan intraserebral dan edema serebral Tujuan: meningkatkan aliran perfusi yang adekuat pada vaskuler otak untuk mempertahankan fungsi otak, yang ditandai dengan kriteria hasil (NOC):a. Perfusi jaringan serebral Fungsi neurologis (nilai GCS) meningkat Status kesadaran meningkat Tekanan darah dalam batas normal Nadi dalam batas normal Tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial berkurang sampai hilang (nyeri kepala, mual muntah, demam, pupil mata isokor, kejang tidak terjadi) Reflek/ reaksi pupil positif kanan kiri Pupil isokor Tanda vital menuju dan berada dalam rentang normal (Tekanan darah tidak boleh turun > 10-20 % secara drastis pada 24 jam pertama hingga selanjutnya)

Neurologic MonitoringDefenisi : Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologikKegiatan/aktifitas:1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan dan reaksi pupil2. Monitor tingkat kesadaran3. Monitor tingkat orientasi4. Monitor dengan menggunakan GCS5. Monitor recent memori, perhatian, past memori, mood, perasaan dan perilaku6. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah, nadi dan pernapasan7. Monitor status respirasi : analisa gas darah, pulse oksimetri, kedalaman, pola, rate dan usaha pernapasan8. Hindari aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan intracranial9. Protokol gawat darurat, jika dibutuhkan

Cerebral Perfusion Promotion (Peningkatan Perfusi Serebral)Defenisi : meningkatkan perfusi yang adekuat dan mengurangi komplikasi pada pasien yang mengalami atau berisiko mengalami perfusi serebral yang tidak adekuat.Aktifitas:Manajemen perfusi serebral dan edema serebria. Monitor dan evaluasi status neurologis, perubahan kesadaran, reaksi pupil.b. Monitor perubahan tanda-tanda vitalc. Evaluasi kemampuan kognitif kliend. Tinggikan posisi kepala klien 30 derajat atau lebih untuk membantu drainase dan mengurangi kongesti serebrovaskuler.e. Perhatikan proses wicara dan orientasi klienf. Awasi terhadap tanda-tanda peningkatan TIKg. Hindari valsava maneuver dan tindakan-tindakan yang meningkatkan stimulus terhadap peningkatan tekanan intrakranial (seperti menghindari batuk, konstipasi, fleksi leher dan lutut)h. Atasi konstipasi: dengan peningkatan diet serat dan huknah jika perlui. Hindari frekuensi prosedur suction lebih dari 15 detik jika klien mengalami akumulasi sekret.j. Berikan lingkungan yang tenangk. Kolaborasi: agen regulator perfusi serebri/ neuroproteksi (cithicolin)l. Kolaborasi : atasi penyebab misalnya obat antihipertensim. Kolaborasi: kontrol febris dengan antipiretikn. Kolaborasi: agen platelet/koagulan jika terjadi perdarahan intraserebral yang massif dengan penurunan kesadarano. Kolaborasi: anti konvulsan jika perlup. Kolaborasi: pemberian agen diuretic osmotic/ loop active untuk menurunkan edema serebri (Mannitol i.v)q. Evaluasi nilai elektrolit (Na dan K), osmolalitas urinr. Evaluasi nilai thromboplastin time (PTT) untuk mempertahankan 1-2 kali normal, jika diperlukans. Monitor mean arterial pressure (MAP)

2.Tidak efektif bersihan jalan nafas b.d Akumulasi sputum dan ketidakmampuan batukefektif

Tujuan: Meningkatkan kepatenan bersihan jalan nafas, dengan kriteria:NOC: Patensi jalan nafas RR dalam batas normal (16-20 x/mnt) Klien dapat batuk efektif Ronki minimal hingga hilang Tidak sesak

Airway Managementa. Berikan posisi fowler atau semifowlerb. Cegah fleksi leherc. Lakukan fisioterapi nafas: clapping bila tidak ada kontraindikasi, vibrating, latihan nafas dalam, dan tidak memaksakan batuk jika klien tidak mampud. Pada klien dengan disfagia tidak dianjurkan untuk meningkatkan hidrasi cairan per orale. Lakukan oral hygiene sebagai salah satu pencegahan infeksi paru.f. Kolaborasi: inhalasi/ nebul dengan agen bronkodilatir dan mukolitikg. Kolaborasi: medikasi oral untuk mukolitikh. Kolaborasi: foto thoraki. Kolaborasi: kultur sputum

3.Hambatan mobilitas fsik b.d Kehilangan koordinasi neuromuskuler anggota gerakKriteria hasil:NOC: Mobilisasi aktif: Tidak terjadi kontraktur, spasme ekstrimitas berkurang hingga hilang, kekuatan otot meningkat pada ekstrimitas kanan, tidak ada penurunan kekuatan pada ekstrimitas kiri, Tidak terjadi komplikasi akibat hambatan mobilisasi seperti dekubitus,infeksi kemih, konstipasi hilang

1. Ubah posisi minimal setiap 2 jam sekali 2. Lakukan latihan ROM aktif maupun pasif pada anggota gerak3. Ajarkan dan dorong pasien untuk melatih anggota geraknya dengan Latihan aktivitas sehari hari seperti memutar lengan dan mengangkat beban yang kecil kecil. 4. Motivasi klien untuk mempraktikan ROM aktif secara mandiri sesuai kemampuan

5. Baringkan pasien dengan tepat menggunakan ganjalan bantal di TT, 6. Kolaborasi dengan tim rehabilitasi 7. Cegah dan awasi komplikasi dekubitus, infeksi,

Managemen Energi8. Monitor intake nutrisi sumber energi9. Konsultasi dg ahli gizi untuk meningkatkan intake makanan tinggi kalori10. Monitor respon kardiorespiratory terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, dispneu, diaporesis, tekanan hemodinamik, RR, pucat)

5.Risiko aspirasi b.d gangguan fungsi menelanTujuan : meningkatkan kemampuan menelan yang adekuat secara bertahapKriteria hasil:NOC: Status menelan (baik) dan Pencegahan aspirasi Kemampuan menelan meningkat Pasien dapat makan minum tanpa tersedak secara bertahap Kekuatan N.IX, X, XII meningkat

a. Lakukan skrining disfagia untuk mengidentifikasi risiko maupun actual gangguan menelanb. Lakukan prosedur pemasangan NGT selama fase akutc. Nutrisi enterald. Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan reflek menelan yang efektif dan upaya pencegahan aspirasi melalui: kontrol kepala posisi duduk tegak dengan chin-tuck position 60 derajat

e. Latih Lingual exercise. Jelaskan tujuan, manfaat, dan prosedurf. Demonstrasikan lingual exerciseg. Latih dan evaluasi kemampuan menelan dengan terapi menelan, yaitu berikan cairan per oral sedikit-sedikit dimulai 5 ml, jika tidak tersedak ditingkatkan jumlahnya, jika tersedak hentikan.h. Pertahankan NGT selama fase akut dan selama latihani. Evaluasi fungsi nervus VII, IX, X, dan XII

6.Kerusakan komunikasi verbal b.d Gangguan kontrol neuromuskuler; ketidakmampuan fungsi otot-otot wicaraTujuan: meningkatkan komunikasi yang efektif dan nyaman antara klien dan perawat serta orang lainKriteria hasil: Terbentuk metode alternative komunikasi seperti dengan tulisan, simbol, bicara perlahan Komunikasi dua arah yang baik

a. Identifikasi jenis gangguan komunikasi, apakah disartria atau afasiab. Latih kekuatan otot lingual /oral motor untuk meningkatkan kekuatan otot lidah dan artikulasic. Pada afasia: kolaborasi dengan rehab medik/ terapisd. fasilitasi media tertentu seperti kertas dan pulpen

7.Koping individu tidak efektif b.d penurunan kemampuan fisiologis dan ketidakberdayaan; tidak adekuatnya dukungan sosialTujuan : rasa cemas berkurang/hilang.Kriteria Hasil : Koping efektif1. Pasien dapat mengenali koping efektif.2. Emosi stabil., pasien tenang.3. Istirahat cukup.

a. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanyab. Gunakan komunikasi terapeutik.c. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan klien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.d. Berikan keyakinan pada klien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.e. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien,yakinkan klien bahwa dukungan dan pendampingan keluarga sangat penting bagi proses kesembuhan klienf. Jika pendampingan keluarga minimal, perawat mendampingi klien, berikan banyak informasi dan prosedur latihang. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.h. Motivasi klien dengan gambaran positif terhadap hal-hal yang telah dicapai dan akan dicapai

3.4 Catatan Implementasi dan Catatan Perkembangan

No. Diagnosa & WaktuIMPLEMENTASIEVALUASI

Senin, 23 Mei 2011Dx. 11. Memonitor ukuran, bentuk, kesimetrisan dan reaksi pupil2. Memonitor tingkat kesadaran dan orientasi3. Memonitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah, nadi dan pernapasan4. Monitor status respirasi : 5. Menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan intracranial: tidak memaksakan klien latihan batuk efektif6. Monitor dan evaluasi status neurologis, perubahan kesadaran, reaksi pupil.7. Meninggikan posisi kepala klien 30-45 derajat setiap 2 jam atau lebih untuk membantu drainase venous return dan mengurangi kongesti serebrovaskuler.8. Awasi terhadap tanda-tanda peningkatan TIK9. Menghindari valsava maneuver dan tindakan-tindakan yang meningkatkan stimulus terhadap peningkatan tekanan intrakranial (seperti menghindari batuk, konstipasi, fleksi leher dan lutut)10. Mengatasi konstipasi: dengan peningkatan diet serat dan kolaborasi : Laxadine 3x CI11. Memberikan lingkungan yang tenang12. Kolaborasi: agen regulator perfusi serebri/ neuroproteksi (cithicolin 4x250 mg i.v)13. Kolaborasi: kontrol febris dengan antipiretik paracetamol 3x500 mg p.o14. Kolaborasi: agen penurun tekanan darah, perdipin 5 cc/jam i.v (syringe pump)15. Memonitor kembali ttv S: Klien mengatakan masih nyeri pada kepala dan leher belakangO: Kesadaran compos mentis,GCS 4 6 5, Tanda vital: TD 160/ 110 mmHg, nadi 100 x/mnt, Suhu 37 C Pupil isokor, tidak ada muntah, tidak ada kejang. Klien masih konstipasiA: Masalah belum teratasiP: Observasi status neurologis, TTV, atasi konstipasi anjurkan klien tidak mengejan, pantau tanda-tanda PTIK

Senin, 23 Mei 2011Dx.2Airway Management1. Memposisikan klien posisi fowler bila perlu, bergantian dengan posisi elevasi kepala untuk drainase dari serebri.2. Mempertahankan oksigenasi, (nasal O2LPM)3. Melakukan fisioterapi nafas: clapping bila tidak ada kontraindikasi, vibrating, latihan nafas dalam, dan tidak memaksakan batuk jika klien tidak mampu4. Kolaborasi: inhalasi/ nebul dengan agen bronkodilatir dan mukolitik (Ventolin: bisolvon: Nacl 1:1;1)5. Kolaborasi: medikasi oral untuk mukolitik flumycil 3 x 1sendok makan via NGTS: Klien mengatakan masih agak sesakO : RR 24 x/mnt, irama regular, batuk tidak adekuat namun sputum keluar sedikit berwarna putih kental, ronki +/+ di lobus superior dekstra dan sinistra. O2 nasal 2 LPM.A : masalah belum teratasiP : Pertahankan oksigenasi, fisioterapi nafas, kolaborasi pemeriksaan sputum

Senin, 23 Mei 2011Dx.31. Mengbah posisi minimal setiap 2 jam sekali 2. Meatih ROM aktif maupun pasif pada anggota gerak, proses penyuluhan dengan demonstrasi3. Memotivasi klien untuk melatih anggota geraknya dengan Latihan aktivitas sehari hari seperti memutar lengan dan mengangkat beban yang kecil kecil. 4. Memotivasi klien untuk mempraktikan ROM aktif secara mandiri sesuai kemampuan5. Cegah dan awasi komplikasi dekubitus, infeksi, 6. Mempertahankan pemberian nutrisi tepat waktu

S: Klien mengatakan merasa kelemahan di tangan dan kaki kananO : Tonus otot normal kanan kiri, kekuatan otot 3 3 3 3 5 5 5 5 2 2 2 2 5 5 5 5Latihan ROM telah dilakukan, mobilisasi kanan kiri (+), tidak ada tanda dekubitus.A : Masalah belum teratasiP : Pertahankan latihan mobilisasi dan ROM

Senin, 23 Mei 2011Dx.51. Pemasangan NGT telah dilakukan2. Memberikan Nutrisi enteral (susu) melalui NGT 250 cc tiap 3-4 jam 3. Memotivasi dan menjelaskan upaya-upaya untuk memperbaiki fungsi menelan4. Melatih Lingual exercise melalui penyuluhan dan demonstrasi. Jelaskan tujuan, manfaat, dan prosedur5. mendemonstrasikan lingual exercise6. Meningkatkan upaya untuk dapat melakukan reflek menelan yang efektif dan upaya pencegahan aspirasi saat latihan dan saat pemberian nutrisi: kontrol kepala posisi duduk tegak dengan chin-tuck position 60 derajat (dagu dirapatkan di dada), hanya dilakukan saat pemberian nutrisi bukan saat latihan lingual

7. Mempertahankan NGT selama fase akut dan selama latihan8. Mengevaluasi fungsi nervus VII, IX, X, dan XII secara teratur

S: -O: kemampuan menelan masih kurang baik, lidah asismetris, hipersalivasi (+), pemberian nutrisi enteral via NGT, tidak terdapat refluk, retensi 80 cc.A : Masalah belum teratasiP : pertahankan NGT, latih terus lingual exercise

Senin, 23 Mei 2011Dx.61. Melatih kekuatan otot lingual /oral motor untuk meningkatkan kekuatan otot lidah dan artikulasi bersamaan dengan lingual exercise (bermanfaat untuk fungsi menelan dan wicara)2. Memfasilitasi media tertentu seperti kertas dan pulpenS : -O : bicara pelo, kurang jelas namun sesekali masih dapat dipahami perawat, pemahaman klien terhadap komunikasi baik, klien dapat menggunakan media alat tulis.A : Masalah belum teratasiP : latih kemampuan artikulasi melalui lingual exercise, fasilitasi komunikasi klien

Senin, 23 Mei 2011Dx.71. Sering mendampingi klien dalam tiap prosedur tindakan keperawatan dan latihan2. Mengkomunikasikan informasi tentang hal positif klien3. Memberikan motivasi pada klien

S : Klien mengatakan tidak ingin didampingi keluarga jika ada anggota keluarganya yang datangO : Klien dapat mengungkapkan perasaan dan emosinya, penyebab perasaan negative diungkapkan dengan alasan yang rasional, klien mau didampingi oleh perawat.A : Masalah belum teratasiP : Komunikasi terapeutik, dan penguatan positif

DIAGNOSA KEPERAWATANSelasa, 24 Mei 2011Rabu, 25 Mei 2011Kamis, 26 Mei 2011

1. Perubahan Perfusi jaringan cerebral b.d Perdarahan intraserebral dan edema serebralS: Klien mengatakan nyeri pada kepala dan leher belakang berkurang.O: Kesadaran compos mentis,GCS 4 6 5, Tanda vital: TD 140/ 90 mmHg, nadi 110 x/mnt, Suhu 37,5 C Pupil isokor, tidak ada muntah, tidak ada kejang. Dilakukan huknah, klien dapat BAB, jumlah banyak, lunak.A: Masalah teratasi sebagianP: Observasi status neurologis, TTV, pantau tanda-tanda PTIK

S: Klien mengatakan tidak nyeri pada kepala dan leher belakangO: Kesadaran compos mentis,GCS 4 6 5, Tanda vital: TD 130/ 100 mmHg, nadi 100 x/mnt, Suhu 37 C, Perdipin 2,5 cc/jam. Pupil isokor, tidak ada muntah, tidak ada kejang. A: Masalah teratasi sebagianP: Observasi status neurologis, TTV, pantau tanda-tanda PTIK, pantau ada tidaknya hipotensi ortostatik

S: Klien mengatakan tidak nyeri pada kepala dan leher belakangO: Kesadaran compos mentis,GCS 4 6 5, Tanda vital: TD 130/ 90 mmHg, nadi 100 x/mnt, Suhu 37 C, Perdipin 2,5 cc/jam. Pupil isokor, tidak ada muntah, tidak ada kejang. A: Masalah teratasi sebagianP: Observasi status neurologis, TTV, pantau tanda-tanda PTIK, pantau ada tidaknya hipotensi ortostatik

2. Tidak efektif bersihan jalan nafas b.d Akumulasi sputum dan ketidakmampuan batukefektif

S: Klien mengatakan tidak sesakO : RR 21 x/mnt, irama regular, batuk tidak adekuat namun sputum keluar sedikit berwarna putih kental, ronki +/+ di lobus superior dekstra dan sinistra. Oral hygine dibantu.A : masalah teratasi sebagianP : Pantu respirasi, fisioterapi nafas, kolaborasi pemeriksaan sputum

S: Klien mengatakan tidak sesakO : RR 21 x/mnt, irama regular, batuk tidak adekuat namun sputum keluar sedikit berwarna putih kental, ronki +/+ di lobus superior dekstra dan sinistra. Oral hygiene dilakukan, dengan chlorhexidine (minosep)A : masalah teratasi sebagianP : Pantu respirasi, fisioterapi nafas, kolaborasi foto thorak

S: Klien mengatakan tidak sesakO : RR 22 x/mnt, irama regular, batuk tidak adekuat namun sputum keluar sedikit berwarna putih kental, ronki mulai terdengar lebih berkurang di lobus superior dekstra dan sinistra. Direncakan foto thorakA : masalah teratasi sebagianP : Pantu respirasi, fisioterapi nafas

3. Hambatan mobilitas fsik b.d Kehilangan koordinasi neuromuskuler anggota gerakS: Klien mengatakan merasa kelemahan di tangan dan kaki kananO : Tonus otot normal kanan kiri, kekuatan otot 3 3 3 3 5 5 5 5 3 3 3 3 5 5 5 5Latihan ROM telah dilakukan,klien mulai mampu latihan sendiri secara minimal mobilisasi kanan kiri (+), tidak ada tanda dekubitus.A : Masalah belum teratasiP : Pertahankan latihan mobilisasi dan ROM

S: Klien mengatakan merasa kelemahan di tangan dan kaki kananO : Tonus otot normal kanan kiri, kekuatan otot 3 3 3 3 5 5 5 5 3 3 3 3 5 5 5 5Latihan ROM telah dilakukan, klien mulai mampu latihan sendiri maupun dengan bantuan, mobilisasi kanan kiri (+), tidak ada kontraktur, tidak ada tanda dekubitus, A : Masalah belum teratasiP : Pertahankan latihan mobilisasi dan ROM

S: Klien mengatakan merasa lebih kuat pada tangan dan kaki kananO : Tonus otot normal kanan kiri, kekuatan otot 4 4 3 3 5 5 5 5 4 4 3 3 5 5 5 5Latihan ROM telah dilakukan, klien mulai mampu latihan sendiri maupun dengan bantuan, mobilisasi kanan kiri (+), tidak ada kontraktur, tidak ada tanda dekubitus, pemeriksaan urine tidak terdapat tanda infeksi saluran kemih.A : Masalah belum teratasiP : Pertahankan latihan mobilisasi dan ROM

Risiko aspirasi b.d gangguan fungsi menelanS: -O: kemampuan menelan masih kurang baik, lidah asismetris, hipersalivasi (+), suara masih serak, Lingual exercise dilakukan, terdapat beberapa ketidakmampuan gerakan lidah, N.IX, N.X, N.XII belum adekuat, NGT tercabut dan dilakukan prosedur ulang pemasangan NGT baru, pemberian nutrisi enteral via NGT, tidak terdapat refluk, retensi 100 cc.A : Masalah belum teratasiP : pertahankan NGT, latih terus lingual exercise

S: -O: kemampuan menelan masih kurang baik, lidah asismetris, hipersalivasi (+), suara masih serak, Lingual exercise dilakukan, terdapat beberapa ketidakmampuan gerakan lidah, N.IX, N.X, N.XII belum adekuat, pemberian nutrisi enteral via NGT, tidak terdapat refluk, retensi 100 cc.A : Masalah belum teratasiP : pertahankan NGT, latih terus lingual exercise

S: -O: kemampuan menelan masih kurang baik, lidah asismetris, hipersalivasi (+), suara masih serak, Lingual exercise dilakukan, terdapat beberapa peningkatan gerakan lidah, N.IX, N.X, N.XII mulai meningkat, latihan menelan dengan cairan 10 cc dilakukan namun masih terjadi rembesan-sulit menahan cairan dalam mulut, tidak tersedak, NGT dipertahankan, pemberian nutrisi enteral via NGT, tidak terdapat refluk, retensi 50 cc.A : Masalah belum teratasiP : pertahankan NGT, latih terus lingual exercise

Koping individu tidak efektif b.d penurunan kemampuan fisiologis dan ketidakberdayaan; tidak adekuatnya dukungan sosialS : Klien mengatakan kesal karena sudah latihan namun masih sulit sulit menggerakan tangan kakiO : Klien dapat mengungkapkan perasaan dan emosinya (menangis), penyebab perasaan negative diungkapkan dengan alasan yang rasional, klien mau didampingi oleh perawat dan ADL dibantu perawat.A : Masalah belum teratasiP : Komunikasi terapeutik, dan penguatan positif

S : Klien merasa lebih nyaman dan lebih baik.O : Klien dapat mengungkapkan perasaan dan emosinya (tersenyum), penyebab perasaan negative diungkapkan dengan alasan yang rasional, klien mau didampingi oleh perawat dan ADL dibantu perawat.A : Masalah belum teratasiP : Komunikasi terapeutik, dan penguatan positif

S : Klien merasa lebih nyaman dan lebih baik.O : Klien dapat mengungkapkan perasaan dan emosinya (tersenyum), penyebab perasaan negative diungkapkan dengan alasan yang rasional, klien mau didampingi oleh perawat dan ADL dibantu perawat, koopeartif.A : Masalah belum teratasiP : Komunikasi terapeutik, dan penguatan positif

BAB 4PEMBAHASAN

4.1 Analisis Pengkajian dan Masalah KeperawatanSelama melaksanakan pengakjian kepada klien perawat tidak menemukan hambatan yang terlalu menyulitkan, hal ini didukung oleh kondisi kesadaran klien yang baik, fungsi komunikasi dua arah yang masih baik walaupun klien mengalami disartria, dan sikap klien yang kooperatif.Model teori adaptasi Roy membantu perawat berfikir lebih sistematis dalam mengidentifikasi stimulus penyebab suatu respons maladaptive dan empat aspek yang dipengaruhi stimulus tersebut yaitu aspek fisiologis, aspek konsep diri, aspek fungsi peran, dan aspek interdependensi sehingga hasil pengkajian lebih komprehensif.Masalah KeperawatanAnalisis

Perubahan perfusi jaringan srebralAdanya stimulus fokal berupa krisis hipertensi dengan tekanan darah > 180/ 120 menyebabkan perubahan tekanan yang mendadak pada arteri serebri hingga terjadi rupture dan pecahnya serebri. Hasil CT scan Tn,B menunjukan perdarahan pada lobus parietal kiri mengindikasikan telah terjadi perubahan kestabilan regulasi otak yaitu antara jaringan otak, aliran darah, dan cairan serebrospinal khususnya di bagian tersebut. Walaupun saat ini klien sudah dalam kondisi compos mentis karena pengontrolan perdarahan dan penanggulangan krisis hipertensi, namun pengawasan terhadap status neurologis tetap penting diperhatikan. Saat pengkajian tekanan darah klien masih sangat tinggi yaitu 170/120 mmHg disertai nyeri kepala.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafasMenurut Hughes (2011) dalam 24-48 jam pertama fase akut stroke,klien berisiko untuk mengalami bronkopneumonia. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal seperti rusaknya reflek batuk oleh kerusakan nervus cranial IX dan X, immobilisasi, penurunan kesadaran dan penurunan kemampuan batuk tanpa kerusakan nervus. Klien mengalami penumpukan sputum dikarenakan menurunnya kemampuan batuk akibat disfungsi nervus cranial IX, X serta kemungkinan keterlambatan mobilisasi dini.

Hambatan mobilitas fisikKetidakmampun mobilisasi klien dapat disebabkan oleh kerusakan kontrol motorik dari bagian inti motorik dan upper motor neuron. Hemiparese terjadi akibat efek hemisfer kontralateral. Hasil CT scan menunjukkan adanya perdarahan intraserebri pada lobus parietal kiri sehingga mengakibatkan efek kontralateral dengan klinis hemiparese ekstrimitas kanan.

Perubahan eliminasi fekal/alvi: konstipasiKonstipasi dapat disebabkan oleh mobilisasi yang kurang baik. Jika konstipasi tidak diatasi akan meningkatkan distensi abdomen dan tekananannya, klien cenderung mengejan dan beirisiko meningkatkan tekanan intra cranial. Perawat mengangkat masalah konstipasi namun tidak membuat intervensi yang khusus dan terpisah pada masalah keperawatan tersebut, melainkan perawat menyertakan intervensi diet cairan dan huknah pada intrervensi untuk masalah perubahan perfusi serebral dengan tujuan yang sama mengatasi konstipasi dan mencegah risiko peningkatan TIK.

Risiko aspirasi, gangguan menelan, dan kerusakan komunikasi verbalKlien dengan stroke akan mengalami beberapa disfungsi nervus cranial akibat kerusakan neuron yang bersifat sentral. Salah satu penurunan maupun kerusakan nervus kranial adalah pada N.VII fasialis, N.IX glossofaringeus, N.X vagus, dan N.XII hipoglossus yang saling mendukung melaksanakan fungsi fonasi, artikulasi, dan fungsi koordinasi menelan. Klien Tn.B mengalami disfungsi pada bagian tersebut sehingga ditemukan adanya disartria (pelo) dan disfagia (gangguan menelan).

Koping individu tidak efektifBanyak hal yang mempengaruhi kejadian depresi pada klien dengan gangguan sistem persarafan (Linendoll, 2008). Penurunan fungsi fisiologis, ketidakberdayaan,ketidaktahuan, dan kurangnya dukungan keluarga akan mempengaruhi respons adaptif klien. Tn B dengan stroke hemoragik mengalami penurunan kemampuan fungsional sehari-hari serta tidak adanya anggota keluarga yang selalu mendampingi mengakibatkan klien merasa tidak berdaya, rendah diri dan sedih. Pendampingan oleh perawat /tim adalah salah satu hal yang dapat memperbaiki koping klien.

4.2 Analisis Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan melalui nursing care plan yang berpedoman pada kriteria NOC dan NIC mencakup tindakan mandiri, observasi, dan kolaborasi. Berdasarkan model teori adaptasi Roy, sistem kontrol bagi adaptasi klien adalah melalui subsistem regulator dan kognator. Regulator mencakup kontrol untuk fungsi fisiologis seperti neural, kimiawi, dan endokrin.sedangkan kognator mencakup kontrol untuk fungsi pembelajaran, emosi, dan penilaian (Alligood & Tomey, 2006).Intervensi untuk sub-sistem regulator merupakan bagian intervensi yang mendukung kemampuan adaptasi fisiologis klien hingga diharapkan klien juga akan meningkat pola koping melalui perasaan positif.Intervensi untuk sub-sistem kognatora. Nilai proses persepsi dalam menerima informasi dan hal-hal yang didemonstrasikan oleh perawat.b. Evaluasi proses praktik yang diajarkan pada klien, misalnya evaluasi kemampuan klien menirukan gerakan ROMc. Evaluasi proses praktik yang diajarkan pada klien, misalnya evaluasi kemampuan klien menirukan gerakan Lingual exercise

1. Kontrol hipertensi untuk perbaikan perfusi serebriTn B saat pertama kali diperiksa di UGD memiliki tekanan darah 185/135 mmHg yang dikatakan sebagai krisis hipertensi dan menjadi penyebab utama stroke hemoragik. Krisi hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang mendadak (sistole 180 mmHg dan/atau diastole 120 mmHg), pd penderita hipertensi, yg membutuhkan penanggulangan segera. Klien diberikan medikasi kontro utama hipertensi berupa perdipin i.v. Perdipin adalah nicardipin yang befungsi mengurangi tekanan darah dan menurunkan afterload. Nicardipin (Perdipin) IV (12 mg dan 10 mg/ampul), diberikan 10-30 mcg/kgBB bolus. Bila TD tetap stabil diteruskan dengan 0,5-6 mcg/kgBB/menit sampai target TD tercapai. Selain itu klien juga mendapat terapi ACE inhibitor captropil 3x 50 mg + amilodipin 5 mg. Selama terapi perawat perlu memantau secara teratur nilai tekanan darah,penurunan tekanan darah tidak boleh terlampau jauh > 10-20% pada awal fase akut. Praktikan/perawat mulai melakukan pengkajian dan intervensi pada 23 mei 2011 yaitu satu minggu pasca serangan fase akut sehingga penurunan tekanan darah mulai signifikan dan kesadaran klien membaik. Tekanan darah akhir saat evaluasi adalah 130/90 mmHg.Perbaikan pefusi juga dilakukan dengan terapi agen neuroproteksi dan neuroregulator cithicolin 4x 250mg. Tindakan mandiri berupa elevasi kepala untuk meningkatkan venous return dan penurunan beban di ruang intraserebri. Pemantauan terhadap tanda PTIK terus dilakukan.

2. Fisoterapi nafasFisioterapi nafas sebagai upaya penurunan risiko pneumonia dan ditambah pula dengan tindakan oral hygiene. Fisoterapi nafas berupa clapping,vibrating, latihan nafas dalam tanpa memaksa klien batuk untuk menghindarkan risiko peningkatan TIK, dan inhalasi nebul dengan ventolin sebgaai bronkodilator dan bisolvon sebagai mukolitik. Oral hygiene dengan chlorhexidine membantu menurunkan risiko pneumonia pada pasien-pasien stroke (Eisenstadt,2008).3. Meningkatkan mobilisasia) Program latihan Range of Motion (ROM)Bagian tubuh yang tidak mengalami kelemahan dilatih secara aktif untuk mengoptimalkan kekuatan, untuk meningkatkan perawatan diri secara maksimal. Sedangkan bagian tubuh klien yang mengalami hemiparese yaitu ekstrimitas kanan atas dan bawah dilatih secara pasif pada perawatan hari pertama dan berhasil dilakukan secara aktif oleh klien sejak hari ke-2 praktikan/perawat melaksanakan intervensi, walaupun untuk otot-otot lengan atas dan kaki masih memerlukan bantuan. Otot-otot lengan, tangan, bahu, dada, tulang belakang, perut dan leher pasien dengan hemiparese harus kuat, karena pasien harus menanggung seluruh berat badan pada otot-otot ini untuk melakukan ambulasi. Otot trisep, bisep, otot-otot quadriceps dilutut, dan meniscus adalah otot-otot penting yang digunakan dalam mendukung saat mobilisasi (Archiero,R, 2010). Saat klien melakukan ambulasi mandiri di tempat tidur seperti miring kanan kiri, bangun untuk duduk, hingga memperbaiki posisi tubuh dengan tumpuan kaki maka otot-otot tersebut diatas yang bekerja menumpu beban. Otot-otot abdomen dan bagian punggung juga diperlukan untuk keseimbangan dan mempertahankan keseimbangan posisi duduk. Dengan bantuan rehabilitasi, kelak pasien diarahkan untuk latihan gaya berjalan dan aktivitas gerak.b) MobilisasiPada fase akut, latihan mobilisasi dini dapat dilakukan di tempat tidur tanpa mengurangi tujuan dan manfaat yang hendak dicapai bagi klien. Tujuan utama dari pengelolaan keperawatan adalah membantu pasien keluar dari perasaan gagal. Pasien diajarkan dan dibantu bila diperlukan, tetapi upayan aktivitas yang dibuat diserahkan pada pasien agar dilakukan oleh mereka sendiri dengan usaha minimal, misalnya latihan miring kanan kiri dapat dilakukan secara mandiri oleh klien, namun sesekali perawat membantu dalam fiksasi posisi nyaman dan pemberian alas bantal. Klien perlu dimotivasi dan diberikan penguatan positif sehingga klien selalu bersedia saat perawat menyarankan intervensi mobilisasi.

4. Meningkatkan kemampuan menelan/ mengurangi disfagiaLingual exercie lingual exercise atau latihan kekuatan otot lidah atau oral-motor exercise (Clark, OBrien, Calleja, & Corrie, 2009). Latihan ini melibatkan otot-otot pada bibir, lidah, dan otot maseter rahang (Speech Language Pathologist License, 2010). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Robbin, J. et al pada 2005, menyatakan bahwa Lingual exercise dapat memperbaiki ketidakmampuan menelan akibat disfagia dan kelemahan lingual pada pasien dewasa, selain itu latihan ini juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif disfagia dan berpotensi menurunkan risiko kejadian pneumonia, malnutrisi, dan dehidrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Clark, et al, 2008, menunjukkan hasil bahwa lingual exercise dapat meningkatkan kekuatan otot lingual pada pasien dewasa. Otot lingual itu sendiri merupakan otot-otot yang dipersarafi oleh nervus kranial VII,XI, X, dan XII yang berkoordinasi dalam fungsi menelan dan wicara.Selama perawatan klien melaksanakan latihan lingual setiap hari dan klien sangat kooperatif. Pada hari ke-4 dan 5 latihan, klien menunjukkan peningkatan fungsi kekuatan otot lidah melalui pergerakan yang lebih baik, namun klien belum sepenuhnya dapat menelan cairan nutrisi sehingga NGT tetap dipertahankan.5. Pencegahan Komplikasia) Meningkatkan adaptasi fungsi pernafasan & mencegah infeksiLatihan mobilisasi memiliki banyak manfaat dan tujuan, manfaat lainnya adalah untuk mengoptimalkan kapasitas fungsi respirasi dan mengurangi risiko infeksi pernafasan akibat tirah baring lama dan penurunan kemampuan batuk efektif akibat disfagia. Fisioterapi nafas sebagai intervensi utama pada masalah bersihan jalan nafas adalah poin yang sangat mendukung dan saling bersinergi dengan latihan mobilisasi seperti miring kanan kiri dan duduk terhadap kebersihan jalan nafas dan optimalisasi fungsi respirasi. b) Meningkatkan integritas kulit/ Pencegahan DekubitusMobilisasi dini dan terstruktur dapat mengurangi risiko kejadian luka dekubitus secara signifikan (Suriadi, 2007). Kontrol febris dan nutrisi adekuat juga pendukung dalam pencegahan dekubitus. Klien dengan penurunan kemampuan aktivitas mandiir akibat hemiparese sangat berisiko terhadap kejadian luka dekubitus, sehingga peran perawat adalah sebagai fasilitator dalam mencegah komplikasi tersebut melalui latihan mobilisasi terstruktur tiap 2 jam sekali. Penghilangan tekanan dan menghindari posisi yang menetap selama 2 jam, selain memperhatikan kulit dengan teliti dan kebersihannya. Identifikasi daerah yang mudah diserang. Pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas ini dibantu dengan menggunakan informasi kepada anggota keluarga bahwa kebutuhan ini diperiksa untuk mencegah masalah yaitu dekubitus. Pasien dianjurkan untuk mengurangi tekanan pada saat diatas kursi roda dengan melakukan sit up, miring dari satu sisi ke sisi yang lain untuk mengurangi tekanan iskhial dan miring kearah depan dengan kemiringan stabil. Pasien memerlukan bantal kursi roda yang dapat diubah pada saat perubahan postur, berat dan toleransi kulit. Diit juga harus tinggi protein, vitamin dan kalori untuk menjamin kebutuhan otot minimal, fungsi ginjal yang baik dan mempertahankan kesehatan kulit.c) Memperbaiki penatalaksanaan berkemih: Latihan kontrol berkemihPasien dengan hemiparese, kuadriplegi atau paraplegi biasanya mengalami gangguan pada fungsi berkemih, yaitu fungsi kontrol blader dan fungsi kontinensia yang meningkatkan resiko infeksi saluran kemih. Perawat menekankan pentingnya mempertahankan aliran urin yang adekuat melalui pemberian asupan cairan sebesar 2-2,5 liter setiap hari, sering mengosongkan kandung kemih sehingga meminimalkan residu urine. Pera