Upload
hoangkhanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
ARDANI NIRWESTHI
NIM. E 0008287
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Oleh
ARDANI NIRWESTHI
NIM. E 0008287
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juni 2012
Dosen Pembimbing
Pius Triwahyudi, S.H., M.Si.
NIP. 195602121985031004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Oleh
ARDANI NIRWESTHI
NIM. E 0008287
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 19 Juli 2012
DEWAN PENGUJI
1. Lego Karjoko, S.H.,M.H. : ………………………………………
Ketua
2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H. : ………………………………………
Sekretaris
3. Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si. : ………………………………………
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
NIP. 19570203 1985032001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Ardani Nirwesthi
NIM : E 0008287
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan
Ardani Nirwesthi
NIM. E 0008287
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. ASPEK HUKUM
MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON
SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum
magersari dalam sistem hukum nasional dan mengetahui implikasi sistem hukum
nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang
berkedudukan sebagai magersari.
Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat
preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang
digunakan adalah jenis bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan
bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis bahan hukum
menggunakan interpretasi dengan menemukan hukum yang memberikan
penjelasan yang gambling mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup
kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa hukum sehingga
memperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasulkan kesimpulan.
Kesatu Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional, zaman
penjajahan tanah Keraton Surakarta diatur didalam Rijkblad Surakarta Nomor 14
Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah Keraton mengenai tanah magersari
dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945 khusus pembentukan hukum nasional tentang tanah diatur dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat yang
berlaku kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional.
UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang
dualisme dan pluralisme. Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton yang
termasuk tanah magersari menjadi milik negara. Kedua, bahwa implikasi sistem
hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang
berkedudukan sebagai magersari didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih
belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta
sehingga kepastian hukum menjadi tidak jelas. Permasalahan ketidak harmonisnya
mengenai pemegang hak pengelolaan tanah magersari antara pemerintah Kota
Surakarta atau Keraton Surakarta, sehingga adanya pajak berganda, yaitu pajak
PBB dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga
Baluwarti. Pajak PBB untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau
duduk lumpur untuk Keraton Surakarta. Pengaturan tanah magersari belum jelas
menjadikan orang yang magersari menjadi kesewenang-wenangan melakukan
kecurangan menempati tanah magersari bukan abdi dalem Keraton Surakarta, dan
diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten maka tidak
membayar yang ditarik oleh Negara. Oleh karena itu diharapkan adanya peraturan
yang jelas dari pemerintah mengenai pengelolaan tanah magersari di Keraton
Surakarta.
Kata kunci : aspek hukum magersari, Keraton Surakarta dan orang yang magersari
ABSTRACT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. LEGAL ASPECT OF
MAGERSARI AND THE IMPLICATION TO SURAKARTA PALACE AND
THOSE UNDERTAKING MAGERSARI. Faculty of Law of Sebelas Maret
University.
This research aims to find out the legal position of magersari in the
national legal system and to find out the implication of national legal system to
the Surakarta Palace as the landowner and those in position as magersari.
This writing was a normative law research that was prescriptive in nature.
The approach used was statute, case, and conceptual approaches. The types of law
material used were primary and secondary law materials. Technique of collecting
law material used was interpretation by looking for law giving the most vivid
explanation about legislation text so that the norm scope can be defined relating to
the law event to obtain the answer to the problem raised.
Based on the result of research and discussion, the following conclusion
could be drawn. Firstly, the legal position of magersari about the Surakarta
Palace’s land in the national legal system had been governed in colonial age in
Rijkblad Surakarta Number 14 of 1938 stating that the full authority of managing
the Palace’s land on magersari land is held by the Surakarta Palace itself. After
Indonesia’s independency on August 17, 1945 particularly the establishment of
national legislation about land was governed in the article 33 clause (3) of RI’s
1945 Constitution. The customary law enacted could integrate inadequately the
society as a national unity. The Act Number 5 of 1960 (UUPA) gave law certainty
about the land with dualism and pluralism. Such the provision made the Palace’s
land including into magersari land belonged to the state. Secondly, the
implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and
those in position of magersari in Act No.5 of 1960 (UUPA) still inadequately
governed the existence of magersari land in Surakarta City so that the law
certainty became vague. The problem of disharmony of magersari land
management right holder between the Surakarta City Government and the
Surakarta Palace, resulted in double tax, namely Land and Building Tax (PBB)
and lease cost or duduk Lumpur the Baluwarti people should assume. Land and
Building Tax for Surakarta city and lease tenant or duduk Lumpur for Surakarta
Palace. The magersari land regulation had not been clear yet making those who
performed magersari misused the land arbitrarily by occupying the magersari
land not belonging to the Surakarta Palace’s abdi dalem (servant), and some
people were found having no Palilah Griya Pasiten so that they did not pay the
billing from the state. For that reason, it is expected a clear regulation from the
government concerning the management of magersari land in Surakarta Palace.
Keywords: legal aspect of magersari, Surakarta Palace and those undertaking
magersari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya”
(QS. Al Baqarah: 286)
“Ketahuilah, bahwa kehidupan di dunia itu merupakan roda perputaran masa
yang berubah berganti, apabila engkau memiliki watak tawakal dan ikhlas
dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu, engkau akan menjadi
orang yang paling kaya di antara para manusia”
(Sasangka Jati)
“Mereka yang berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa lalu, mereka yang
tak pernah berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa depan”
(Mario Teguh)
“Meninggal dunia itu pasti dan Hidup di dunia itu tidak pasti karena hidup di
dunia hanya sementara maka janganlah lekat dengan keduniawian”
(Ardani Nirwesthi)
“Ulat Sumeh Gawe Renaning Wong Akeh”
(Ardani Nirwesthi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)
dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan
hukum ini, penulis beri judul “Aspek Hukum Magersari dan Implikasinya
Terhadap Keraton Surakarta dan Orang yang Magersari ”.
Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud
menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi
bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu imateriil selama
penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada :
1. ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam setiap
langkah dan mencari ridho-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk penulis
dalam menjalani kehidupan.
3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Wida Astuti, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis.
5. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penulisan
Hukum (Skripsi).
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Ayahanda Mayor (Tek) Djoko Widodo dan Ibunda Enie Jatmikaningtyastuti,
S.Pd., M.Pd, yang menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri
penulis. Terima kasih untuk kasih sayang, doa serta segenap pengertian,
dukungan dan kepercayaan yang telah engkau berikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
8. Kedua kakakku Serka Dona Ifi Kharisma, S.E., M.M beserta istrinya, dan
Lettu Denni Aristia Adi, S.Pd beserta istrinya yang telah memberikan
nasehat, semangat dan doa untuk penulis.
9. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum UNS, spesial untuk Atika,
Alphi, Iffa, Dwi, NA, Maya, Corry, Siska, Ryan, Fathony, Trisna, Helena.
10. Teman-teman yang selalu mendengarkan curhatan penulis Puspa, Jezi,
Inggrid, Adhe, Niken, Mas Adi, Mba Nira, Mas Wica, Mba Dita, Mas
Satriyo.
11. Teman-teman seperjuangan waktu magang di Boyolali, yaitu Tiara, Dewi,
Oki, Luvy, Vitri, Yoni, Yoga, dan teman-teman lain angkatan 2008 yang
tidak bisa penulis sebut satu persatu.
12. Keluarga Besar KSP Principium FH UNS, terima kasih atas pengalaman dan
suasana kekeluargaannya ada Mas Aji, Mas Haris, Mas Yovi, Mas Tejo, Mas
Gatot, Mb Citra, Mb Ariyani, Miqdad, Prita, Citra Widi, Mia, Naning, Indri,
Maulida, Faradina, Kiki, Danang, Dias, Indra, Rifzki, Isti, Mira, Fika, Nares,
dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan
satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima
dengan senang hati.
Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan pengetahuan dan
pengembangan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulisan ini mendapat pahala dari
Allah SWT. Amin.
Surakarta, 1 Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..….. viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
DAFTAR BAGAN ………..…………………………………………..……..... xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 5
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................. 11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ......................................................................................... 13
1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional ............... 13
2. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanh ...................................................... 20
3. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat ..... 29
4. Tinjauan Tentang Hak Tanah Atas Keraton Surakarta ...................... 33
5. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta .................. 35
B. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 37
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Magersari Dalam Sistem Hukum Nasional .............. 40
1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria................. 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria................. 44
3. Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta.......... 52
B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta
Selaku Pemilik Tanah dan Orang yang Berkedudukan sebagai
Magersari................................................................................................... 55
1. Status Magersari Dengan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.. 55
2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari...... 69
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................. 84
B. Saran ......................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR BAGAN
Halaman
BAGAN
Gambar 1 Kerangka Pemikiran ………………………………………… 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan
bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik
permasalahan pertanahan yang berbeda di antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman
dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia
memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan
sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting (Arie Sukanti Hutagalung,
2009:1).
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan
magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu
dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan
hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat
(Mohammad Hatta, 2005:40).
Manfaat tanah tidak hanya pada nilai ekonomisnya, tetapai juga
mengandung nilai politik, sosial, dan budaya. Sehingga permasalahan yang
berkaitan dengan tanah seringkali terjadi, bahkan bisa dikatakan sebagai masalah
yang sulit dan rumit. Masalah pertanahan dari hari ke hari semakin mencuat dalam
kehidupan masyarakat. Beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan
masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya semakin maraknya
konflik dan sengketa tanah, semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan
tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum
atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah serta masih banyaknya tanah-
tanah di Indonesia ini yang belum jelas status hukumnya.
Di lingkungan Magersaren (magersari) istilah magersari dikenakan bagi
orang kebanyakan (bukan keluarga bangsawan) yang hidup dan tinggal dalam
waktu yang lama di atas tanah milik Keraton Surakarta. Sebenarnya beberapa aset
keraton telah berganti kepemilikan. Di mulai oleh siapa dan bagaimana caranya
wujudnya bisa tanah, rumah atau benda-benda pusaka. Isu bahwa tanah magersari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
akan dijual tentu saja sangat meresahkan bagi orang-orang yang menumpang
hidup selama berpuluh tahun di atas tanah magersari. Apalagi adanya gesekan
peraturan perundangan antara yang milik Republik Indonesia dan yang milik
keraton (http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011
jam 20.13 wib).
Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah berklasifikasi
Sunan Grond yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini,
seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak kepemilikannya begitu saja.
Namun faktanya, Sunan Grond termasuk, pesanggrahan-pesanggarahan dan
tanah-tanah makam milik Kraton Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah
menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri
menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta
tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah
penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul
semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan
banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin
menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli
Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean
Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5).
Di tengah perubahan jaman yang sedang kencang-kencangnya pandangan
masyarakat terhadap kehidupan kaum priyayi pun berubah drastis. Jika dahulu
masyarakat yang menumpang hidup di tanah keraton begitu taksim dan hormat
karena diijinkan tinggal di sana dengan gratis atau hanya bayar uang kebersihan,
sekarang mereka mudah memandang sinis karena praktek jual beli dan pindah
tangan harta pusaka, rumah dan tanah keraton oleh kerabat istana yang sering
mengakibatkan mereka menjadi korban pelengkap penderita. Jika mau
menyalahkan tidak bisa karena sebenarnya mereka tinggal di sana berpuluh tahun
hanya menumpang tinggal di tanah yang bukan milik mereka. Dan sering dituntut
harus berterimakasih oleh diri mereka sendiri. Tidak menyalahkan juga tidak bisa
karena mereka gatal dan tersinggung harga dirinya serta merasa dijadikan korban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011 jam 20.13
wib).
Sampai sekarang Keraton Surakarta masih berpolemik dengan warga-
warga yang mendiami tanah dan bangunan milik Keraton, sebenarnya konsep
awal Keraton Surakarta memberikan hadiah kepada para abdi dalem atau putra
dalem, yakni rumah sebagai pemberian yang dikarenakan jasa-jasa mereka kepada
Karaton, dengan menggunakan hak “anggadhuh” atau Keraton Surakarta hanya
meminjaminya saja dan bisa menariknya kapanpun kalau Keraton Surakarta mau.
Namun di kemudian hari, bangunan yang dulu ditempati oleh abdi dalem dan
putra dalem sekarang telah berubah ditempati oleh ahli waris mereka. Seharusnya
ketika abdi dalem atau putra dalem meninggal, hak “anggadhuh” itu selesai.
Tanah dan bangunan itu kosong dan dapat ditempati oleh abdi atau putra dalem
yang lain dan masih hidup di lingkungan Keraton Surakarta (GRA. Koes
Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah
dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status
dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu
Tesis. 2008. hal. 17.)
Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah
menghadirkan peraturan-peraturan mengenai tanah yang selama ini mempunyai
sifat dualisme antara tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan hukum adat
serta menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat (Adrian Sutedi, 2010:1),
khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan pejabat lain yang
berwenang dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan tanah.
Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik Sultan Ground
atau tanah magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan
perundang-undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Sultan
Ground atau tanah magersari dianggap tidak ada.
Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau
bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang
No.5 Tahun 1960 (UUPA) ini hapus dan beralih kepada Negara. Hal ini berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
tanah Keraton beralih kepada Negara atau menjadi tanah Negara. Meski demikian,
Sultan Ground memang secara nyata ada dan diakui pemerintah.
Atas dasar itulah, sebagai bentuk pengakhiran kebimbangan tentang
bagaimana status Karaton Surakarta Hadiningrat sehingga Presiden Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan
Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.
Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang
Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya memberikan
peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai dan memiliki aset-
aset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan wewenang untuk memiliki
kepada Karaton Surakarta. Tetapi dalam Keppres itu membatasi luas wilayah
karaton yang hanya dibatasi Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan serta Masjid
Agung, jadi tanah dan bangunan yang berada di luar wilayah itu kemungkinan jadi
bukan milik Keraton Surakarta walaupun berstatus Sunan Grond. (GRA. Koes
Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah
dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status
dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu
Tesis. 2008. hal. 19.)
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari dan
mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan penelitian
hukum dengan judul : “ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG
YANG MAGERSARI” .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis
merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah
apa yang akan diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
mengumpulkan, menyusun, menganalisis, dan mengkaji bahan secara lebih
rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional?
2. Bagaimana implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta
selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam
suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum
nasional.
b. Mengetahui implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton
Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai
magersari
2. Mengetahui Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis
bidang hukum administrasi Negara khususnya aspek hukum magersari
dan implikasinya antara Keraton Surakarta dan orang yang magersari.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan memberikan suatu manfaat. Penulis berharap
kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam penulisan hukum ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak lain. Adapun manfaat penulisan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
ini dikelompokkan menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai
berikut :
1. Manfaat Teroritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya dan Hukum Agraria pada khususnya; dan
b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria
tentang aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Karaton
Surakarta dan orang yang magersari.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi
para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk
mengkaji permasalahan yang sejenis.
E. Metode Penelitian
Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi
bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang
tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum
yang timbul dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:41). Untuk mendapatkan bahan hukum dan prosedur penelitian
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika hukum mengenai aspek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
hukum magersari dan implikasinya antara karaton Surakarta dan orang yang
magersari, maka digunakan metode penelitian yang sesuai. Adapun metode
penelitian yang digunkan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagi berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian
hukum normatif atau doctrinal research. Terry Hunchinson
memperjelaskan pengertian hukum doktinal sebagai berikut, “research
which provides a systematic exposition of the rule governing a particular
legal category, analyses the relationship between rules, explains areas of
difficulty and, perhaps, predict future development.” (Terry Hunchinson
dalam Johnny Ibrahim, 2007:44).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang
bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta
disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang diharapkan dalam
penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong
(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang
mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan
norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tujuan dari
penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai
apa yang seyogyanya mengenai aspek hukum magersari dan implikasinya
terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian
hukum”, disebutkan bahwa dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian
hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).
Adapun pendekatan yang digunakan Penulis dalam penelitian ini
yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan aspek hukum magersari
dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari .
Pendekatan kasus dengan menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton
Surakarta dan orang yang magersari. Pendekatan konseptual beranjak
dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton
Surakarta dan orang yang magersari
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Di dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis dan
sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan aspek
hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang
yang magersari yang akan menunjang diperolehnya jawaban atas
permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, dan catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan atau risalah di dalam pembuatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum
primer dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
3) Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1946 tentang Pemerintah di
daerah Istimewa Surakarta dan Yogjakarta.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah;
6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status dan
Pengelolaan Kraton Kasunanan Surakarta di Kelurahan Baluwarti
Kota Surakarta; dan
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:141).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan dengan jalan membaca
peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-
literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan
bahan hukum sekunder. Dari bahan tersebut kemudian dianalisis dan
dirumuskan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian ini.
6. Teknis Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian
rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
bahan hukum dilakukan secara interpretasi atau penafsiran, merupakan salah
satu penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang
mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Interpretasi dibedakan
menjadi interpretasi berdasarkan kata undang-undang, interpretasi
berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis,
interpretasi histories, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris,dan
interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107).
Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang
Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam
undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata
yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak bertele-
tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak
mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu
sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan
ataupun larangan;dan
b. Interpretasi sistematis
Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah
interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu
undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat
bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat
asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis
adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun
ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:111-112).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran umum secara menyeluruh menegnai
sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan
hukum, maka penelitian menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum.
Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-
tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.
Bab pertama mengenai pendahuluan. Pada bab ini penulis
mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum. Di dalam latar belakang masalah dipaparkan adanya fakta hukum
yang menjadi latar belakang masalah, yaitu aspek hukum magersari dan
implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari. Rumusan
masalah dimaksudkan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian dan untuk
menghindari kemungkinan penyimpangan dari permasalahan pokok yang
diteliti. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan obyektif dan
tujuan subyektif. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Metode penelitian mencangkup jenis penelitian, pendekatan
penelitian, sifat penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, teknik
pengumpulan bahan hukum, teknis analisis bahan hukum. Pada sistematika
penulisan hukum akan diuraikan secara garis besar atau gambaran menyeluruh
tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum.
Bab kedua mengenai tinjauan pustaka. Pada bab ini penulis
memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum
berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :
1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai :
a. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah
b. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
c. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
d. Tinjauan Tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta
e. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta
2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis
berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.
Bab ketiga mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari
proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua
pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu kedudukan hukum
magersari dalam sistem hukum nasional dan implikasi sistem hukum
nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan
orang yang berkedudukan sebagai magersari.
Bab keempat diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh
dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran yang
relevan yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait
dengan bahasan penulisan hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional
a. Asas Nasionalitas
Pasal 1 UUPA
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia
menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak
dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan
pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah
atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti
bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia
masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih
ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut.
b. Asas Hak Menguasai Negara
Pasal 2 UUPA
(1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasikekuasaan seluruh rakyat.
Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian
yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi.
(2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagian dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Atas dasar hak menguassai dari Negara tersebut, Negara dapat
memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu
hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak
Guna Usaha dan lainnya.Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari
Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
c. Asas Pengakuan Hak Ulayat
Pasal 3 UUPA
“Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.”
Pasal 5 UUPA
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.”
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya.[2]Hak ulayat atas tanah masyarakat
hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah
masyarakat hukum adat.
1). Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam
Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam
menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan
kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan
anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul
bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika
pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum
adatlah yang menjadi ahli warisnya.
2). Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan
Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak
perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh
seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah
tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui
sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi
tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3). Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar
Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah
dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat
hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara mendapatkan izin
ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai.
Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem
Hukum Agraria Nasional akan tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan
asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika
masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya
hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-
proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian yang baru,
transmigrasi dan lainnya.
d. Asas Tanah mempunyai Fungsi Sosial
Pasal 6 UUPA : “Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat
dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
e. Asas Perlindungan
Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA:
“Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan pasal 1 dan 2.” Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan
hukum dapat mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun
usahanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Pasal11 (2) UUPA :
“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”
1). Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing.
2). Pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
3).Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang
luasnya terbatas.
4).Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2).
5).Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak
milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu
mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya.
6).Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi
keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-
bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
7).Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud
menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas
tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
8).Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mem-
punyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma-
syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan,
sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-
clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai
hak milik.
9).Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada
keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum
diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan
hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
10).Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan
keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya
diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu.
Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu
mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
f. Asas Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan
Pasal 9 (2) UUPA:
“Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.”
Pasal 11 (20) UUPA :
“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”
Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasita, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi
golongan-golongan yang lemah.
Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan
mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang
lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria.
Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan
atas kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah
adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan
agrarian yang bersifat monopoli swasta.Dan tidak hanya monopoli
swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus
dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
g. Asas Tanah untuk Pertanian
Pasal 10 (1) UUPA :
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanh
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan tau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Pasal 12 UUPA :
(1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas
kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam
bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan
usaha bersama dalam lapangan agraria.
Pasal 13 UUPA :
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan
kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3)
serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup
yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria
dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat
monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di
lapangan agraria.
Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia
yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah pertanian harus
dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri.
h. Asas Tata Guna Tanah
Pasal 7 UUPA :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara
dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai
peruntukan, penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa
untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara.
2.Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau
dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah (Boedi Harsono, 2005: 283).
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan”
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk
kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan
pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak
atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan (Urip Santosa, 2010: 49).
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas dasar
menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik sendirian
maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum di mana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu
pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal
16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3 bidang,
yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut
hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini belum
ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan
Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan
UUPA menyadari bahwa dalam perkembangannya nanti akan
sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru
sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat,
hanya saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam
waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung
sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan
bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini
adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,
dan Sewa Tanah Pertanian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu (Urip Santosa, 2010: 52-53) :
a) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas
tanah negara.
b) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk
bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap
mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial
(Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak yang
paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada
pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas
bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa
hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak
guna usaha), yang hampir sama kewenangan negara (sebagai
penguasa) untuk memberi hak atas tanah kepada warganya
(Kartini Muljadi,dkk.,2004:30).
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak
dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih
memenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka hak milik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya
tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka
hak milik tersebut menjadi hapus.
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan
terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya
berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya
meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:
(a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan
dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka
waktunya tertentu.
(b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak
milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang
mempunyai diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
(a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang
empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak
lain.
(b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya.
Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah
kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada
hak milik: menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan,
menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna
bangunan atau hak pakai.
(c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
(d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak
guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna
usaha terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik
dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk
bangunan. (Effendi Perangin, 1989:236-237)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan
hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) UUPA
yang menyatakan bahwa oleh pemerintah ditetapkan badan-
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-
syarat. Pemberian landasan hukum yang terkuat kepada badan-
badan hukum untuk medapatkan hak milik atas tanah,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah (Supriadi, 2007: 66).
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963
menyatakan bahwa Badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan
pembatasan yang disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :
(a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut
bank negara);
(b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;
(c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan
(d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang
menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
(a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(i) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
(ii) Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(iii)Karena ditelantarkan; dan
(iv) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
(b) Tanahnya musna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
1) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA). HGU
merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki
spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan
terpenuh, dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya
berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak
lain (Supriadi, 2007:110). Penjelasan UUPA telah diakui
dengan sendirinya bahwa HGU ini sebagai hak-hak baru guna
memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan
terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi,
tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu
hak milik dengan orang lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk
jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keadaan perusahannya.
HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan
yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. HGU dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli,
tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan
(Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun 1996).
Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun
1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:
(a) Warga Negara Indonesia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
(b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka
bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih
menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut
berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi
berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT)
telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status HGU-
nya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat
Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan
hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing
control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT
bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan
(Supriadi, 2007:111):
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang
Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah
berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan
HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal
3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan
ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari
pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan
menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari
Pasal 3).
HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 34 UUPA dinyatakan bahwa, HGU
hapus karena:
(a) Jangka waktunya berakhir;
(b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuai syarat tidak dipenuhi;
(c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
(d) Dicabut untuk kepentingan umum;
(e) Ditelantarkan;
(f) Tanahnya musnah;
(g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ketentuan Pasal 34 UUPA ini diatur kembali dalam Pasal 17
PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus karena:
(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
(b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum
jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
(c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961;
(d) Ditelantarkan;
(e) Tanahnya musnah; dan
(f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka
waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.
1) Hak Guna Usaha (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA), dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya
dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan
bangunannya. HGB atas tanah hak milik tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan
dengan pemilik tanah dapat diperbaharui haknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah:
warga negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP
No. 40 Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain, peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar
menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34
ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).
HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996
dinyatakan bahwa, HGB hapus karena:
(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya;
(b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya
berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau
(2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-
kewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara
pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian penggunaan
tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekeuatan hukum yang tetap;
(c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
janghka waktu berakhir;
(d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961;
(e) Ditelantarkan;
(f) Tanahnya musnah;
(g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak
lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak
melepaskan atau mengalihkan haknya).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
(1) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
undang-undang. Hak pakai diatur dalam Pasal 39-58 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.
Hak pakai berjangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perpanjangan jangka
waktu dan pembaharuan hak pakai atas tanah hak pengelolaan
harus ada persetujuan tertulis terlebih dahulu pemegang hak
pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan
dengan pemilik tanah dapat diperbabaharui haknya.
(2) Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. Jangka
waktu Hak Sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik tanah. Hapusnya hak ini sesuai dalam
ketentuan perjanjian sewa-menyewa dalam Kitap Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
3. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat
a. Hak milik atas tanah menurut hukum adat, hak atas tanah itu dapat
dibagi sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
1). Hak Persekutuan Hukum, yaitu hak ulayat, termasuk didalamnya ;
a). Hak pembukaan tanah.
b). Hak untuk mengumpulkan hasil hutan (verzamel atau kaprecht)
2). Hak-hak perseorangan, termasuk di dalamnya:
a). Hak milik,
b). Hak memungut hasil tanah (genotrecht),
c). Hak wenang pi1ih atau hak pi1ih lebih dahulu (voorkeurrecht)
d). Hakwenang beli(naastmgsrecht),
e). Hak penjabat adat (amtehj-profijtrecht)
b. Perbuatan-perbuatan hukum yang berwujud :
1). Pemindahan hak termasuk di dalamnya :
a). menjual (lepas, gadai, tahunan),
b). menukarkan,
c). memberikan.
2). Perjanjian, termasuk di dalamnya :
a). tanam bagi, bagi hasil (deelbouw),
b). sewa,
c). tanggungan, dsb.
Mengingat permasalahan yang menyangkut hak atas tanah sangat
luas, disini hanya dibahas, hak perorangan khususnya hak milik adat saja.
Sebagai akibat adanya hak ulayat, lahirlah hak untuk anggota (warga)
persekutuan hukum itu untuk memungut hasil hutan, berburu, menangkap
ikan dan kemudian disusul dengan hak untuk membuka tanah hutan
belukar.
Dalam pembukaan tanah oleh anggota persekutuan itu, hal ini
harus di beritahukan kepada kepala persekutuan hukum, juga harus
memberi tanda (larangan) bahwa tanah itu akan digarap. Anggota itu
mempunyai hak pilih lebih dahulu, hak wenang pilih atas tanah itu, artinya
sepanjang ada tanda itu, orang lain tidak boleh membuka tanah itu (di
Minahasa: kawak, apar atau palau). Sesudah beberapa hari tidak ada
reaksi dari kawan anggota terhadap tanda itu, baru tanah itu dikerjakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Setiap anggota bebas untuk mengerjakan tanah tanpa ijin. Tapi oleh karena
mudah timbul perselisihan, maka perlu ada campur tangan persekutuan
hukum (hak pengawasan).
Bentuk usaha tanah di dalam masyarakat yang primitif mempunyai
sifat yang sementara saja : Setelah satu tahun atau dua panen kemudian
tanah itu ditinggalkan dan penggarap membuka tanah ditempat lain yang
belum pernah dibuka. Hal ini memang dari sudut kepentingan penggarap
perseorangan dapat dikatakan ekonoinis dan cara usaha yang baik pula,
sepanjang faktor-faktor mengijinkan, yang luas, subur tanahnya, penduduk
jarang, sedikit tenaga, mudah bagi menanam padi atau jagung karena tidak
membutuhkan air, dan sebagainya. Tanah yang digarap dengan cara
bercocok tanam yang bersifat sementara ini disebut dengan
ladang, huma, tipar, atau gaga, dll. Penggarap mempunyai hubungan
dengan tanah hanya untuk satu musim saja hingga panen (hak memungut
hasil).
Hubungan antara orang dan tanah yang digarapnya menjadi lebih
erat, kekal, penggarap seseorang itu mempunyai hak yang kekal dan kuat
atau bidang tanah yang diusahakannya ialah hak milik, lebih-lebih bila
menurut kenyataannya pemakaian tanah itu sudah kukuh-teguh,
merupakan kebun, sawah, pekarangan, empang.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan disini bahwa
pengertian hak milik atas tanah menurut hukum adat. sebelum UUPA
adalah hak perorangan yang paling kuat dimana pemegangnya menpunyai
wewenang yang luas terhadap tanahnya, dan hak yang berarti si empunya
dapat berlaku sekehendak hatinya dengan tanah itu (sesuai yang
diperlukan) asal memperhatikan beberapa pembatasan antara lain :
a . Harus menghormati hak ulayat, sepanjang masih ada;
b. Menghormati hak-hak pemilik tanah di sekitarnya;
c. Menghormati aturan-aturan adat, misalnya kewajiban untuk
membiarkan tanahnya dipakai menggembala selain tidak
dikerjakan, ditanam atau tidak dipagar;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
d. Menghormati peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara.
Istilah milik berasal dan bahasa Arab; dalam bahasa Indonesia atau
bahasa daerah biasanya dipakai kata ganti empunya”, misalnya sawahku,
ladangnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur: duwe atau gadah, di Jawa
Barat: boga atau gaduh, tetapi sekarang istilah “hak milik” itu sudah tidak
asing lagi, Hak milik adat ini, pada umumnya dipegang oleh orang-
seorang (individu) tetapi persekutuan-hukum dapat pula mempunyainya,
misalnya bila membeli tanah guna keperluan persekutuan-hukum itu
(untuk pasar, sekolah, dan sebagainya).
Di Jawa terdapat tanah (sawah) milik desa, hasilnya untuk
memperkuat kas desa, yang disebut dengan titisara, titisarama, tititama,
suksara , bondodesa , sanggan, sawah krocokan, sawah kas-desa, sawah-
celengan. Sedangkan tanah ini milik persekutuan-hukum di Bali
ialah druwe-desa. Tanah pekarangan di Manado kepunyaan distrik
disebut kintal- ke1akeran. Famili atau bagian dari dapat pula mempunyai
tanah milik, misalnya di Minangkabau yang disebut dengan harta pusaka.
Untuk tanah milik yang berasal dan pembukaan tanah dinamai dalam
bahasa Jawa seperti: yasan, yasa, kitri, bakalan, congkrah, trukah,
patokan, sedangkan dalam bahasa sunda di sebut dengan Yasa-sorangan,
pribadi, usaha. Tanah yang diperoleh karena hibah atau warisan dalam
bahasa Jawa disebut dengan tilaran, pusaka, cukil, asli, sedangkan
menurut bahasa Madura disebut dengan sangkolan, posak atau lar-olar di
Sunda disebut dengan turunan.
Berdasarkan adat ini, hak milik bisa diperoleh dengan jalan
pembukaan tanah, karena timbul baru oleh pembawaan lumpur dan di
Jawa Tengah dan Jawa Timur karena pemberian dari kepala desa
berdasarkan hak dadal. “Turun-temurun tidak perlu kiranya untuk
diuraikan karena hal itu tak lain dan tak bukan maksudnya adalah bahwa
Hak Milik iti dapat terus menerus diturunkan kepada ahli waris setiap
pemegangnya”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
4. Tinjauan tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta Hadiningrat
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia menjadikan keadaan
berubah dan tunduk pada keputusan bangsa Indonesia yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 menetapkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“The enactment of the Basic Agrarian Law was intended to bridge
the gap between „Western‟ law and customary law by providing for
registration of individual land rights while also continuing to recognise
customary land law concepts and institutions. The preamble to the BAL
states: „agrarian law is dualistic in nature, given that customary law is also
effective in addition to the former legal system, which is based on western
law‟. (Glen Wright, 2011 : 125)” terjemahan : Berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara
hukum nasional dan hukum adat dengan menyediakan pendaftaran hak atas
tanah secara individu sehingga mengetahui mengenai konsep-konsep
hukum adat tanah dan lembaga. Pembukaan Undang-Undang Pokok
Agraria menyatakan : hukum agrarian bersifat dualistis, mengingat bahwa
hukum adat juga masih diakui masyarakat dan berlaku secara efektif
sebagai sistem hukum disamping berlakunya juga hukum nasional.
Untuk selanjutnya pengaturan tanah yang merupakan daerah
swapraja dalam era kemerdekaan bangsa indonesia adalah sebagai berikut
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang dalam diktum keempat
menetapkan:
a) Hak-hak dan wewenang-wewenang atas tanah dan air dari
swapraja atau bekas-bekas swapraja yang masih ada pada waktu
berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara.
b) Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A di atas di
atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak
Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Undang-
undang ini menetapkan bahwa pencabutan hak atas tanah dilakukan
dengan pembayaran ganti kerugian. Undang-undang ini sebenarnya
merupakan pengaturan lebih lanjut dalam UUPA. Prinsip ini
menetapkan bahwa untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah
dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan
pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian yang menetapkan
bahwa tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja, yang telah beralih
kepada negara sebagai yang dimaksudkan dalam diktum keempat
huruf A UUPA, termasuk tanah-tanah yang akan dibagikan menurut
peraturan pemerintah tersebut. Di samping itu menetapkan
pembagian peruntukkan tanah swapraja dan bekas swapraja, adalah
sebagai berikut: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian
untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Berdasarkan
ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa hak-hak dan wewenang atas tanah Karaton
Surakarta Hadiningrat selaku bekas daerah swapraja telah dihapus
UUPA. Penghapusan demikian berarti pencabutan hak dan
wewenang itu tidak tergantung adanya peraturan pemerintah yang
mengatur lebih lanjut penghapusan hak dan wewenang tersebut.
Berkaitan dengan penghapusan hak dan wewenang atas tanah
itu, berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, Karaton
Surakarta Hadinin grat masih mempunyai dua macam hak, yakni hak
pembayaran ganti kerugian atas penghapusan hak tersebut dan hak atas
peruntukkan sebagian tanah yang dibagikan dalam rangka pelaksanaan
land reform.
Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin
maka Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
telah memunculkan aspirasi kerabat keraton Surakarta sehingga
menimbulkan konflik. Adanya peraturan perundang-undangan
mengenai tanah Baluwarti dalam keadaan lemah. Menurut Dean G
Pruitt dan Jeffrey Z Rubin tidak jelas dan tidak rincinya Undang-
Undang Pokok Agraria, PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Keppres
Nomor 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah
Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara
Undang-Undang Pokok Agraria dan PP no 38 Tahun 1963 di satu sisi
dengan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 di sisi lain telah mendorong
pemerintah Kota Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat
idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti, yang tidak cocok
dengan cara pandang kerabat Keraton Surakarta. (Lego Karjoko, 2009
:39,40)
5. Tinjauan tentang Tanah Magersari di Kraton Surakarta Hadiningrat
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, magersari adalah orang
yang berumah menumpang di pekarangan orang lain; orang yg tinggal di
tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu; atau pembantu
orang yang bertransmigrasi (W.J.S. Poerwadarminta, 1984 : 619).
Status tanah Keraton Surakarta pada waktu sebelum merdeka
dibagi dalam kelompok :
1) Domein Reck Keraton Surakarta (DRS) yaitu tahan keraton yang
statusnya di bawah kekuasaan Keraton Surakarta yang tersebar dalam
wilayah kekuasaan Keraton Surakarta;
2) Domein Keraton Surakarta (DKS) yaitu tanah yang menjadi milik
Keraton Surakarta misalnya alun-alun utara, alun-alun selatan dan
baluwarti;
3) Sunan Ground (SG) yaitu tanah yang menjadi milik Sunan;
4) Tanah leluhur yaitu tanah warisan dari Sunuhun Pakubuwono
sebelumnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
5) Tanah Rech Van Eigendom (RVE), yaitu tanah milik Keraton
Surakarta yang disewakan kepada Belanda dan penguasa
perkebunan.(GRA. Koes Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta
Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah
Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan
pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti.
Suatu Tesis. 2008. hal. 114.)
Pengertian hak magersari memberi wewenang kepada abdi dalem
untuk mendirikan dan mempunyai rumah di atas tanah pamijen keraton,
dengan jangka waktu 3 tahun. Terciptanya hak magersari : karena
pemberian pengageng parentah keraton Surakarta dengan sepengetahuan
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan. Subyek : abdi
dalem. Kewajiban pemegang hak :
a) Mengindahkan dengan itukad baik segala peraturan atau perintah dari
parentah keraton Surakarta baik yang telah ada maupun yang akan
diperintahkan.
b) Berjanji :
i) Menggunakan tanah untuk rumah tangga
ii) Tidak akan menyewakan atau menjual
iii) Bila akan memperbaiki/mendirikan bangunan harus mendapat ijin
dari parentah Keraton Surakarta.
Bila jangka waktu habis, dan diminta parentah keraton Surakarta
sebelum habis jangka waktu pemegang hak harus bersedia:
a). Mengembalikan dalam keadaan kosong dan kondisi baik
b). Semua yang menempati harus pindah dari tempat tersebut.
c). Tidak minta uang pesangon
Selama menempati magersari harus mentaati semua aturan yang
berlaku di kampung/dusun tersebut. Jangka waktu sistem magersari selama
3 tahun dan dapat diperbaharui.Hapusnya :
a) Jangka waktunya berakhir
b) Tanahnya diperlukan parentah keraton Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
c) Orang yang magersari meninggal dunia
d) Orang yang magersari melanggar salah satu kewajiban tersebut di
atas. Pembuktian : palilah griya/pasiten yang dikeluarkan
pengageng parentah keraton Surakarta dengan sepengetahuan
Sampeyangdalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS).
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan
jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum ini, yaitu “Aspek
hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang
yang magersari”.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas menjelaskan bahwa
magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang
magersari bermula dari konsep dalam pasal 18 B ayat (2) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-
undang.” Dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatakan bahwa “semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial".
Namun terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960 membuat Kraton Surakarta hampir tak mempunyai wilayah lagi hanya
wilayah tempat bangunan “Kedaton/Istana Karaton Surakarta Hadiningrat”
di wilayah Baluwarti sekarang. Amanat undang-undang yang
mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan
kepentingan-kepentingan inventasi dan komersial yang menguntungkan
segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang harus
seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.
Adanya Keppres No. 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Kraton
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Surakarta mengembalikan hak milik atas tanah yang dimiliki Kraton
Surakarta yang pernah dihapus dan dikuasai Negara.
Khusus yang mengabdi kepada kraton dan menjadi abdi dalem yang
oleh Kraton Surakarta Hadiningrat diperbolehkan menempati tanah kraton
tersebut dengan aturan-aturan tertentu, sedang yang mengabdi kepada
pejabat kraton maupun keluarga karaton diperbolehkan tinggal dengan
sistem magersari. Bahwa dalam pelaksanaannya adanya magersari
seharusnya ditempati para keluarga keraton atau abdi dalam. Tetapi dalam
pelaksanaannya orang-orang umum bisa menempati takut tidak ada rasa
keadilan dan mungkin terjadi kesewenang-wenangan. Dalam hal ini perlu
adanya aspek hukum agar adanya kedudukan hukum magersari dalam sistem
hukum nasional dan implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap
Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan
sebagai magersari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat membuat suatu
kerangka pemikiran yang diwujudkan dalam skema sebagai berikut :
interpretasi
Fakta Hukum:
Tanah Keraton Surakarta
1. Kedudukan hukum tanah
nasional
2. Kedudukan hukum
pemilik tanah dengan
pemegang magersari
Kepastian aturan hukum
magersari dan implikasinya
terhadap Keraton Surakarta dan
orang yang magersari
Peristiwa yang terjadi :
1. Ketidakpastian aturan
mengenai status hukum
magersari
2. Kesewenang-wenangan
Status Hukum
1. UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2. UU No 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
3. PP No. 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai
4. Keputusan Priseden No 23
Tahun 1988 tentang Status
dan Pengelolaan Keraton
Surakarta di Kelurahan
Baluwarti Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Magersari Dalam Sistem Hukum Nasional
1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
Tanah sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah adalah lapisan
lepas permukaan bumi yang paling atas. Tanah yang dimanfaatkan untuk
menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan,
tanah pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk
mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan.
Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai
arti penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset
dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat
kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan
kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal
dalam pembangunan dan tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang
sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi
(Achmad Rubaeie, 2007:1).
Dalam perspektif sejarah pertanahan di Indonesia, pada masa
swapraja, Kerajaan tradisional Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan
salah satu kerajaan jawa yang memiliki pengaturan hak atas tanah dengan
pola pengklasifikasian yang unik dalam konsep kerajaan jawa pada jaman
swapraja. Keunikan pola pengklasifikasian dalam pengaturan hak atas
tanah tersebut dapat dilihat dari adanya bermacam-macam jenis hak atas
tanah. Di Keraton Surakarta, perkembangan hak atas tanah dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) periode (Sugianto Patmo, dalam J. Sembiring,
2006:21-22):
a. Masa “Apanage Stelsel” sampai masa “Reorganisasi Kompleks”
tahun 1917;
b. Masa setelah “Reorganisasi Kompleks” sampai masa Rijksbladen
tahun 1938;
c. Masa setelah Rijksbladen tahun 1938 sampai masa lahirnya UUPA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Pada masa pertama penguasaan tetinggi atas tanah ada ditangan Sunan.
Secara umum tanah pada waktu itu dapat dibagi 2 (dua), yaitu:
a. Tanah yang langsung dikuasai oleh Raja yang disebut dengan
tanah ampilan dalem;
b. Tanah yang tidak langsung dikuasai oleh Raja, yang disebut dengan
tanah kejawen.
Perubahan mendasar pada masa kedua adalah bahwa kekuasaan
tertinggi atas tanah bukan lagi raja pribadi, tetapi negara atau lebih tegas
lagi, kekuasaan tertinggi atas tanah ada ditangan Pemerintah Keraton.
Selain itu dibentuk pula kelurahan secara bertahap, dan atas tanah-tanah
yang ada dalam wewengkon-nya desa mempunyai hak pakai untuk
selama-lamanya kaparingake gumaduh ing salawas-lawase. Pada masa
ketiga, berdasarkan Rijksbladen No.10 Tahun 1938 kepada desa
diberikan hak anggaduh atas seluruh tanah yang ada di dalam
wewengkonnya yang tercatat di dalam Daftar Desa.
Didaerah Keraton Surakarta, tanda bukti hak yang dipunyai disebut
Pikukuh. Hak-hak atas tanah yang pernah diberikan oleh pihak Keraton
Surakarta seperti yang tercantum dalam Rijksblad SurakartaNo. 9 Tahun
1938 sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Hardiyanto (1997:11)
adalah:
a. Wewenang Anggaduh,yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada
rakyat swapraja.
b. Wewenang Anggaduh Run Temurun,yaitu hak atas tanah yang
diberikan kepada rakyat swapraja secara turun temurun, tetapi
sewaktu-waktu dapat diambil oleh pihak keraton.
c. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji
kepada Abdi Dalem, Lurah Desa beserta bawahannya. Tanah ini
dikenakan landrente.
d. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah
beserta bawahannya yang sudah pensiun. Yang apabila Lurah atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
bawahannya tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut kembali
ke kas desa. Tanah ini tidak dikenakan pajak.
e. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta
tanah pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan
untuk diberikan secara run temurun. Tanah kas desa diberikan untuk
keperluan penghasilan desa. Tanah ini dikenakan pajak bumi
(landrente).
Keraton Surakarta menguasai dan memiliki tanah-tanah yang
berada di dalam tembok keraton maupun yang berada di luar tembok
keraton. Tanah-tanah yang berada di luar tembok keraton, selain
diberikan kepada masyarakat untuk dipergunakan, ada juga yang
langsung dimanfaatkan atau dipergunakan oleh raja beserta
keluarganya.
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda yang disebut Rijkblad Surakarta Nomor 13 Tahun 1938 yang
menyebutkan bahwa tanah-tanah milik Keraton Surakarta diukur, dipeta
tanda (tenger) dan dicatat dalam buku Kadaster Jawa. Bentuk tanda
(tenger) yang diatur dalam konsep pengaturan tersebut dapat berupa tugu
beton (terbuat dari beton), tugu batu (terbuat dari batu) dan dapat pula
berupa berumbungan besi.
Status tanah Karaton Surakarta Hadiningrat sebelum kemerdekaan
Indonesia, di bagi dalam lima kelompok:
a. Domein Recht Karaton Surakarta (DRS)
Merupakan tanah keraton yang statusnya di bawah kekuasaan Keraton
Surakarta yang tersebar di wilayah kekuasaan Keraton Surakarta.
b. Domein Keraton Surakarta (DKS)
Merupakan tanah yang menjadi milik Keraton Surakarta, misalnya
Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan, dan Baluwarti.
c. Sunan Grond (SG), yaitu tanah yang menjadi milik Sunan.
d. Tanah Leluhur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Merupakan tanah yang merupakan warisan dari Sinuhun Pakubuwono
yang pernah memerintah sebelumnya. Misal tanah pesanggrahan,
petilasan-petilasan, dan makam-makam.
e. Tanah Recht Van Eigendom (RVE)
Merupakan tanah milik Keraton Surakarta yang disewakan, misalnya
kepada Belanda dan pengusaha perkebunan. (GRA. Koes
Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam
Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor
23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan
Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 114.)
Apabila status tanah diatas dan dihubungkan dengan kondisi
Baluwarti sekarang maka:
a. Untuk tanah paringan dalem berubah menjadi tanah anggadhuh.
b. Tanah palilah anggadhuh turun temurun berubah menjadi tanah
anggadhuh dengan batas waktu tiga tahun.
c. Tanah palilah anggadhuh berubah menjadi tanah anggadhuh dengan
batas waktu tiga tahun.
d. Tanah palilah magersari berubah menjadi tanah magersari dengan
batas waktu tiga tahun.
Menurut Umar S Kusumaharyono, sejak Indonesia merdeka 17
Agustus 1945 pemerintah Kasunanan berakhir, namun dalam lingkungan
Keraton Surakarta masih terselenggara suatu pemerintahan intern keraton
yang disebut “Parentah Keraton Surakarta”, kemudian timbul perbedaan
pendapat antara pemerintah Republik Indonesia dengan Parentah Keraton
Surakarta mengenai hak atas tanah milik Parentah Keraton Surakarta yang
dapat beralih dan tidak dapat beralih kepada pemerintah Republik
Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut dapat terlihat dari kutipan surat
Kementerian Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah
di Semarang, No.Des X/48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah
Keraton Surakarta (di Baluwarti). Di dalam surat tersebut Menteri Dalam
Negeri tidak dapat menyetujui anggapan Parentah Keraton Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
tentang adanya tiga macam milik pada masa swapraja. Parentah Keraton
Surakarta menganggap ada tiga macam milik, yaitu :
a. Milik Kasunanan
b. Milik Keraton
c. Milik Sunan Prive
Parentah Keraton Surakarta berpendapat bahwa setelah Negara
Indonesia merdeka, hanya milik Keraton Kasunanan Surakarta (Rijk
Surakarta) saja yang beralih kepada kekuasaan Negara Republik
Indonesia. Tanah magersari yang termasuk tanah “milik” Keraton,
sehingga pengurusannya tidak termasuk kekuasaan pemerintah Kota
Surakarta. Sementara Menteri Dalam Negeri pada saat itu berpendapat
bahwa berdasarkan kontrak politik Kasunanan (L.N. 1939 Nomor 614)
Pasal 10 serta penjelasannya, dalam Pasal 10 ayat (1) mencantumkan
perincian yang termasuk Bezitting Van Soenansat (Hak Milik Kasunanan)
yang merupakan milik pribadi Soesoehoenan. Sehingga hanya terdapat 2
macam milik yaitu Milik Kasunanan dan milik Sunan prive. Gedung-
gedung serta tanah-tanah disekelilingnya (tanah-tanah yang pada
hakikatnya disebut dengan “magersari” termasuk barang-barang milik
Keraton Surakarta. Dengan demikian maka dapat disimpulkan menurut
Menteri Dalam Negeri, gedung-gedung istana dan tanah-tanah
disekelilingnya termasuk kekuasaan Negara RI, sehingga tanah magersari
yang berada di kelurahan Baluwarti adalah tanah negara.
2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya
pembentukan hukum nasional tentang tanah, didasarkan atas Hukum adat
TAP MPR No.2 Tahun 1960 pasal 4 ayat (3). Negara Republik Indonesia
merupakan Negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di
bidang agraria menduduki tempat yang penting dan urgent. Urgent ini
disebabkan karena pada jaman penjajahan, hukum agraria Indonesia
bersifat pluralistis, dan kurang memberikan jaminan akan “kepastian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
hukum” yang dapat menghambat atau merintangi kesatuan bangsa
Indonesia.
Secara konstitusional UUD Negara Republik Indonesia 1945
memberikan landasan yang tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan menimbang bahwa
di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya,
perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan
ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti
sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.
Dengan demikian Negara yang menguasai bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, akan menjadi tumpuan
harapan bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Peraturan
yang tertulis ini dimaksudkan agar setiap orang dengan lebih mudah
mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang apa serta kewajiban apa
yang harus dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang bersangkutan
dengan tanah miliknya. Sedangkan penyelenggaraan pendaftaran tanah
yang efisien dan effektif bertujuan supaya para pemilik tanah dengan
mudah membuktikan hak atas tanah yang dimilikinya.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) lahir pada tahun 1960,
tepatnya pada tanggal 24 September 1960. Ide pembentukan UUPA lahir
karena aspek persatuan dan keseragaman bagi setiap warga Negara.
Hukum adat yang berlaku sebelumya dirasakan kurang bisa
mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. Dengan
berlakunya UUPA maka telah terjadi apa yang dinamakan dengan revolusi
hukum agrarian. Karena dengan undang-undang telah terjadi perombakan
cepat yang fundamental dan menyeluruh dalam hukum agrarian Indonesia.
Kedudukan UUPA adalah sebagai hukum agrarian nasional yang tidak
bersifat dualistis, namun berdasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli
Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Selanjutnya salah satu tujuan pokok pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria tersebut adalah untuk menjamin kepastian akan tanah-tanah
rakyat, yaitu :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria Nasional
yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan
keadaan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka
mewujutkan masyarakat adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Negara mewajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan
penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah Bangsa
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong. Hal ini diperkuat dengan
dasar hukum yaitu UU No.5 Tahun 1960 UUPA Bab 1 mengenai Dasar-
dasar dan ketentuan-ketentuan pokok pasal 2 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi :
1. Atas dasar, ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal
1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari Negara yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA melembagakan hak-hak atas
tanah sebagai berikut :
a. Hak bangsa yaitu seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(Pasal 1 ayat (2));
b. Hak menguasai dari negara yaitu bahwa atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.(Pasal 2 ayat (1));
c. Hak ulayat yaitu bahwa hak menguasai dari negara tersebut diatas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan pemerintah. (Pasal 2 ayat (4));
d. Hak-hak perorangan (Pasal 16), terdiri dari :
1). Hak milik,
2). Hak guna usaha,
3). Hak guna bangunan,
4). Hak pakai,
5). Hak sewa,
6). Hak membuka tanah,
7). Hak memungut hasil hutan,
8). Hak-hak lain yang tidak termasuk hak tersebut di atas yang
ditetapkan dengan UU dan hak-hak yang bersifat sementara sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Pasal 53. (Sesuai dengan Pasal 10, maka pengertian perorangan
adalah orang dan badan hukum).
e. Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996);
Adanya UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA memberikan kepastian
hukum tanah yang dualisme dan pluralisme hukum agraria di Negara
Indonesia dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang
didasarkan atas satu sistem hukum saja, yaitu sistem hukum seperti yang
tercantum dalam UUPA yang pada hakekatnya UUPA tersebut bersumber
atas hukum asli Indonesia, yaitu hukum Adat. Pengertian hukum adat
dalam hal ini hukum adat yang bersifat dinamis. Segala sesuatu yang
mengalami perubahan kearah penyempurnaan yang mengacu pada
kepentingan yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka keberadaan hak ulayat masyarakat hukum Adat dari waktu ke waktu
semakin mengalami penyempitan, bahkan tertutup kemungkinan menjurus
kearah hapusnya hak tersebut dari khasanah hukum adat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin cepatnya proses
pemudaran hak-hak masyarakat hukum Adat di Jawa Tengah, antara lain :
a. Pengaruh lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan
Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) serta peraturan
pelaksanaan ke dua undang-undang tersebut.
b. Paradigma perubahan sosial dan era globalisasi, dan
c. Adanya pembatasan-pembatasan yang diserahkan oleh Negara yaitu
kawasan-kawasan hutan tertentu kepada perorangan atau badan hukum
untuk dikelola atau dieksploitasi.
Mengenai eksistensi hukum adat di daerah Surakarta, Jawa Tengah
dalam kaitannya dengan politik hukum nasional dan pembinaan hukum itu
sendiri. Menurut H. Abdurachman : hukum adat di daerah Surakarta
termasuk hukum yang hidup (the living law), sehingga pada dasarnya
kedudukannya ditentukan sepenuhnya oleh masyarakat di mana hukum itu
berlaku. Bila mana masyarakat menyatakan hukum yang bersangkutan
masih relevan, mereka akan mempertahankannya apabila mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
menganggap sudah tidak relevan lagi maka hukum tersebut dengan
sendirinya akan terkesampingkan.
Perkembangan zaman sekarang harus menyadari bahwa
masyarakat juga hidup dalam suatu ikatan kenegaraan di mana negara juga
mempunyai politik hukum yang sifatnya nasional yang dalam beberapa
kasus tertentu mungkin berbeda dengan ketentuan hukum Adat yang
berlaku secara lokal politik hukum negara yang dituangkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, berperan mengarahkan perkembangan
ketentuan hukum yang berlaku termasuk ketentuan hukum adat yang
berlaku secara lokal harus menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan
tersebut.
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk
memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang
menuju kepada unifikasi hukum dan terutama dilakukan melalui
pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan, dengan tidak
mengabaikan timbul atau tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan
dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam menyusun
hukum nasional pada dasarnya berarti penggunaan konsepsi-konsepsi dan
asas-asas hukum dari hukum Adat untuk dirumuskan dalam norma-norma
hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan masa
mendatang dalam rangka pembangunan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penggunaan lembaga-lembaga hukum Adat yang dimodernisir dan
disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan cirri dan sifat
kepribadian Indonesia. Dalam memasukkan konsep-konsep dan asas-asas
hukum Adat ke dalam lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum
asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan
hukum nasional agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan mengenai
pertanahan jika dikaitan dalam hukum adat memang penting seperti apa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
yang dikemuakan Robert Garran dalam tulisannya “Making Land Work”
menyatakan :
Statutory recognition of customary law is critical because customary
governance systems are currently fulfilling a gap in state
administration; in many countries, the customary leaders are the only
"local authorities" that the poor have genuine access to. As such,
many are already fulfilling the roles of community administrator,
judge, land allocator and property registrar. While in some contexts
these leaders are despotic, unjust or corrupt, in other contexts they do
a fairly good job of resolving conflicts and maintaining peace and
equanimity in their communities. For those leaders that govern in bad
faith, better integration into the state administrative system can help
to limit the injustices they perpetuate, and for those leaders that
govern well, their efforts can help to streamline the two legal systems
into a more coherent whole. Rather than marginalize customary
governance structures on the grounds that they are outdated or
oppressive, governments should identify and leverage the best parts of
custom and integrate customary systems as partners in effective,
decentralized local governance.( Robert Garran, 2008 : 75).
Terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur
hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di
dalam hukum nasional. Mengenai pengertian hukum nasional menurut
Sunaryati Hartono menjelaskan : “ Pengertian hukum nasional dipakai
dalam arti yang berbeda dengan pengertian hukum positif, tetapi lebih
mengandung arti ius constituendum Indonesia atau sistem hukum yang
dicita-citakan oleh bangsa Indonesia yang memplokamirkan kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945. Karena suatu sistem selalu terdiri dari sejumlah
unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi
lagi pula terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu, maka sistem hukum
terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang sebagian saat ini sudah
berfungsi tetapi sebagian besar masih harus diciptakan.
Memahami sistem hukum nasional dalam prespektif politik hukum
nasional maka berlakulah hukum adat disamping hukum nasional yang
merupakan persoalan tersendiri yang tidak sederhana sebab dalam konsep
negara kesatuan maka diperlukan hanya satu sistem hukum yang berlaku
secara nasional. Dalam politik hukum diupayakan secara berangsur-angsur
hukum adat diserap ke dalam sistem hukum nasional atau lebih tegas lagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
ke dalam hukum positif yang tertulis dalam hal ini peraturan perundang-
undangan.
Adanya UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA memberikan kepastian
hukum tanah yang dualisme dan pluralisme hukum agraria di Negara
Indonesia dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang
didasarkan atas satu sistem hukum saja, yaitu sistem hukum seperti yang
tercantum dalam UUPA.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
keadaan menunjukkan masih terdapat kendala, khususnya yang berkaitan
dengan tanah-tanah swapraja atau bekas swapraja. Dalam hal ini, Parentah
Keraton Surakarta secara de facto masih berdiri, sementara peraturan
pemerintah yang berkaitan dengan tanah swapraja dan tanah-tanah bekas
swapraja sebagaimana dimaksud dalam dictum keempat UUPA hingga
saat ini belum ada sehingga perbedaan pendapat antara Parentah Keraton
Surakarta dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai tanah milik
Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepadaa
pemerintah masih terjadi.
Menurut Umar S Kusumaharyono, sejak Indonesia merdeka 17
Agustus 1945 pemerintah Kasunanan berakhir, namun dalam lingkungan
Keraton Surakarta masih terselenggara suatu pemerintahan intern keraton
yang disebut “Parentah Keraton Surakarta”, kemudian timbul perbedaan
pendapat antara pemerintah Republik Indonesia dengan Parentah Keraton
Surakarta mengenai hak atas tanah milik Parentah Keraton Surakarta yang
dapat beralih dan tidak dapat beralih kepada pemerintah Republik
Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut dapat terlihat dari kutipan surat
Kementerian Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah
di Semarang, No.Des X/48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah
Keraton Surakarta (di Baluwarti). Di dalam surat tersebut Menteri Dalam
Negeri tidak dapat menyetujui anggapan Parentah Keraton Surakarta
tentang adanya tiga macam milik pada masa swapraja. Parentah Keraton
Surakarta menganggap ada tiga macam milik, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
a. Milik Kasunanan
b. Milik Keraton
c. Milik Sunan Prive
Parentah Keraton Surakarta berpendapat bahwa setelah Negara
Indonesia merdeka, hanya milik Keraton Kasunanan Surakarta (Rijk
Surakarta) saja yang beralih kepada kekuasaan Negara Republik
Indonesia. Tanah magersari yang keberadaannya berada di kelurahan
Baluwarti termasuk tanah “milik” Keraton, sehingga pengurusannya tidak
termasuk kekuasaan pemerintah Kota Surakarta. Sementara Menteri
Dalam Negeri pada saat itu berpendapat bahwa berdasarkan kontrak
politik Kasunanan (L.N. 1939 Nomor 614) Pasal 10 serta penjelasannya,
dalam Pasal 10 ayat (1) mencantumkan perincian yang termasuk Bezitting
Van Soenansat (Hak Milik Kasunanan) yang merupakan milik pribadi
Soesoehoenan. Sehingga hanya terdapat 2 macam milik yaitu Milik
Kasunanan dan milik Sunan prive. Gedung-gedung serta tanah-tanah
disekelilingnya (tanah-tanah yang pada hakikatnya disebut dengan
“magersari” termasuk barang-barang milik Keraton Surakarta. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan menurut Menteri Dalam Negeri,
gedung-gedung istana dan tanah-tanah disekelilingnya termasuk
kekuasaan Negara RI, sehingga tanah magersari yang berada di kelurahan
Baluwarti adalah tanah negara.
3 Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta
Hak pengelolaan tanah dan bangunan Keraton Surakarta
Hadiningrat timbul, karena keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23
Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.
Keppres ini membalikkan pemilikan tanah dan bangunan yang dulunya
dikuasai oleh Pemerintah Daerah Surakarta. Pasca keluarnya Keppres,
tanah dan bangunan itu kembali dimiliki oleh Keraton Surakarta
Hadiningrat. Terhadap tanah dan bangunan agar tetap lestari dan tidak
punah, tentunya dibutuhkan suatu pengelolaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Hak pengelolaan yang dimiliki oleh Keraton Surakarta Hadiningrat
terkait dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status
dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta adalah:
a. Hak atas tanah dan bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat berikut
segala kelengkapannya yang terdapat didalamnya adalah milik Keraton
Surakarta Hadiningrat yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan
budaya bangsa, termasuk Masjid Agung dan Alun-Alun, yaitu Alun-
Alun Utara dan Alun-Alun Selatan.
b. Hak untuk menggunakan bangunan untuk keperluan adat Keraton
Surakarta Hadiningrat.
c. Hak untuk melakukan pengelolaan dalam rangka pariwisata.
d. Hak untuk menetapkan besarnya pungutan, tata cara pemungutan,
pengelolaan, dan penggunaan dana hasil pungutan.
Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988
tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya
memberikan peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai
dan memiliki aset-aset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan
wewenang untuk memiliki kepada Karaton Surakarta. Dalam pasal 1 ayat
(1) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 menyebutkan bahwa
“Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta berikut segala kelengkapannya
yang terdapat didalamnya adalah milik Keraton Kasunanan Surakarta yang
erlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya bangsa”.
Namun, menimbulkan polemik tersendiri bagi masyarakat yang
menempati kawasan Baluwarti, yakni apakah tanah dan bangunan Keraton
yang dimaksud pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988
tersebut hanya tanah dan bangunan yang terdapat didalam lingkungan
keraton atau meliputi seluruh bangunan yang terdapat dalam kawasan
Baluwarti. Benturan kepentingan mengakibatkan pihak keluarga Keraton
Surakarta yang ingin melestarikan warisan budaya leluhur dan
kepentingan masyarakat penduduk Baluwarti yang mayoritas merupakan
keturunan para abdi dalem Keraton Surakarta yang telah secara turun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
temurun menempati kawasan Baluwarti tersebut sehingga menginginkan
adanya jaminan kepastian hukum dengan mendapatkan kejalasan status
hak atas tanah yang dikuasainya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang
Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta itu sebenarnya
membuat Karaton Surakarta senang, tapi kebingungan terletak pada
masyarakat Baluwarti yang menganggap ini merupakan tanah Negara dan
tanah nenek moyang mereka. Sehingga banyak tanah dan bangunan yang
sebenarnya milik Karaton Surakarta tanah magersari dan karena adanya
pengelolaan sebelumnya yang meletakkan tanah dan bangunan yang
sebenarnya milik keraton dijadikan aset negara yang memungkinkan
adanya pengurusan pendaftaran hak milik secara pribadi terhadap tanah
dan bangunan yang ditempati oleh warga, telah berubah dimiliki oleh
pribadi atau badan hukum. Pengelolaan oleh Karaton Surakarta sendiri
sebenarnya sudah sejak lama sekali terjadi atau sebelum Indonesia
merdeka. Pengelolaan asset berupa tanah dan bangunan yang dimilikinya
dengan cara masih sederhana. Sederhana dalam arti karena Keraton
Surakarta Hadiningrat masih mempunyai kekuasaan politik yang kuat dan
warga yang patuh pada Raja/Sunan, maka pencatatan pun hanya sekedar
dicatat atau diberikan kepada orang yang mengabdi dan mempunyai jasa
kepada Karaton Surakarta Hadiningrat. Pengumuman pemberian tanah
magersari dan bangunan kepada seseorang yang berjasa kepada keraton itu
diumumkan pada semacam lembaran negara/lembaran keraton, jadi
bentuknya seperti pengundangan undang-undang di era sekarang.
Pengelolaan tanah dan bangunan sejak dimulai adanya Keppres itu
berada di tangan Pengageng Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat.
Namun sejak pemerintahan Paku Buwono XIII pengelolaan tanah dan
bangunan berada di Pengageng Pasiten. Dalam memenuhi tertib
administrasi pengelolaan tanah dan bangunan, Keraton Surakarta
Hadiningrat mengeluarkan palilah yang diberi nama Palilah Griya
Pasiten. Sampai sekarang ini Keraton Surakarta Hadiningrat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
mengeluarkan Palilah Griya Pasiten dengan bermacam-macam titel, yaitu
Palilah Griya Pasiten dengan titel hak anggadhuh, Palilah Griya Pasiten
dengan titel hak magersari, dan Palilah Griya Pasiten dengan titel hak
tenggan, serta perjanjian kontrak.
B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta Selaku
Pemilik Tanah dan Orang Yang Berkedudukan Sebagai Magersari
1. Status Magersari Dengan Berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.
Berlakukannya UUPA meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam mengatur hukum tanah dan sedapat
mungkin menghilangkan sifat dualisme sehingga kesatuan hukum dapat
terwujud. Bukti dari masih diperlakukannya Hukum Adat sebagai norma
hukum dalam Hukum Tanah Nasional terdapat dalam Pasal 5 UUPA
yang menyatakan bahwa hukum Agraria yang berlaku saat ini adalah
Hukum Adat. Pembatasan-pembatasan dilakukan dalam rangka
penyempurnaan UUPA sedapat mungkin tidak menghilangkan hukum
adat.
Berdasarkan ketentuan Diktum Keempat UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA), maka hak
keraton Surakarta atas tanah Kasunanan, yang terdiri dari Domein Rijks
Surakarta (DRS), Domein Keraton Surakarta (DKS), Sunan grond (SG),
tanah leluhur, dan tanah serta bangunan aset Keraton Surakarta yang
disewa Belanda. Hanya tanah Domein Rijks Surakarta (DRS) yang sejak
berlakunya UUPA menjadi hak milik negara, sedangkan yang lain tetap
milik Keraton Surakarta, karena menurut diktum keempat UUPA, setelah
berlakunya UUPA tanah swapraja menjadi tanah negara dan hanya tanah
Domein Rijks Surakarta (DRS) yang dikuasai oleh rijk kasunanan
(swapraja Surakarta). Dalam hal ini tanah magersari merupakan kawasan
di daerah Baluwarti sehingga termasuk tanah DKS. Selama ini pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
keliru meneterjemahkan status tanah Keraton Surakarta, semua tanah yang
berkaitan dengan Keraton langsung menjadi milik negara.
Tanah Baluwarti merupakan tanah milik Sri Susuhunan, dimana
pengelolaannya didelegasikan kepada parentah Keraton Surakarta.
Wewenang parentah Keraton Surakarta terhadap tanah Baluwarti adalah :
a. Mengatur dan mengawasi penggunaan tanah.
b. Menggunakan tanah untuk keperluan parentah Keraton Surakarta dalam
melaksanakan tugasnya.
c. Memberikan sebagian tanah kepada pihak ketiga dengan hak
magersari, hak anggaduh, hak sewa atas bangunan, dan nenggo.
d. Memberikan uang wajib tahunan dan uang sewa.
Hak yang terdapat dalam parentah Keraton Surakarta terhadap tanah
Baluwarti, antara lain :
a. Hak Magersari adalah hak yang member wewenang kepada abdi dalem
untuk mendirikan dan mempunyai rumah di atas tanah pamijem
Keraton, dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun.
b. Hak Anggaduh adalah hak yang member wewenang kepada sentono
dan abdi dalem tingkat tinggi untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan di atas tanah pamijem Keraton untuk jangka waktu yang tidak
terbatas, selama tanahnya dipergunakan untuk tempat tinggal.
c. Hak sewa Atas Bangunan (kontrak) adalah hak abdi dalem untuk
menempati ruang atau bangunan yang digunakan untuk rumah tangga,
dengan membayar sejumlah uang kepada parentah Keraton Surakarta
sebagai sewa untuk jangka waktu tertentu.
d. Nenggo adalah hak yang member wewenang kepada sentono untuk
menempati bangunan di atas tanah pamijem Keraton dengan jangka
waktu 3 (tiga) tahun. (Lego Karjoko, 2009 :45,46)
Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah
berklasifikasi tanah magersari yang tersebar di berbagai tempat. Tanah
milik raja pribadi ini, seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak
kepemilikannya begitu saja. Namun faktanya, tanah magersari termasuk,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
pesanggrahan-pesanggarahan dan tanah-tanah makam milik Kraton
Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah menjadi pemukiman padat
penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri menyadari persoalan
tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta tidak mungkin
diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah penduduk
serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul
semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini
menunjukkan banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa,
diserobot tanpa izin menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief
Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Magersari Milik Kraton
Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna
Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5).
Peraturan UUPA masih belum cukup untuk mengatur keberadaan
tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukumnya menjadi
tidak jelas. Permasalahan lain yang berkaitan dengan keberadaan tanah
magersari adalah adanya perbedaan persepsi mengenai keberadaan tanah
magersari itu sendiri. Tanah magersari yang bebas dalam arti tidak sedang
digunakan, tidak serta merta dapat diakui sebagai tanah negara. Hal ini
membawa konsekuensi bagi pengaturan tanah magersari tidak bisa
menggunakan peraturan pertanahan sesuai hukum positif.
Secara yuridis, landasan hukum yang memayungi tanah Keraton
Surakarta sebelumnya, yakni Reijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938.
Namun tidak berlaku lagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Pada
kenyataannya, tanah yang diklaim sebagai tanah keraton adalah sangat
luas dan meliputi tanah-tanah di wilayah Kota Surakarta. Tanah-tanah
tersebut ada yang sudah bersertifikat hak milik walaupun masih banyak
juga yang tidak bersertifikat. Untuk itu,berdasarkan data dan fakta
sebelumnya, terdapat tanah-tanah yang masih dikuasai keraton dan tanah-
tanah yang sudah bersertifikat secara yuridis dan dipegang
oleh perseorangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik tanah
magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan perundang-
undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), mengenai
pengaturan tanah magersari dianggap tidak ada. Namun uniknya hanya
tanah magersari saja yang dapat diberikan atau dibebani hak dan dapat
dikuasai oleh pihak lain serta dapat diwariskan.
Ada yang belum selesai sampai sekarang diperdebatkan di wilayah
Baluwarti yakni mengenai status tanah Baluwarti sebagai tanah negara
atau tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Karena status tanah yang
jelas akan mempermudah pelaksanaan Palilah Griya Pasiten di lapangan.
Menurut Bapak Slamet Rahardjo (salah satu penduduk Baluwarti): “di
Baluwarti ini tidak semua penduduk mengakui kedudukan Keraton
Surakarta Hadiningrat sebagai pemilik tanah yang sah. Pendapat yang
menganggap bahwa ini tanah pemerintah adalah pendapat yang keliru, dan
pada akhirnya malah akan dapat menghancurkan cagar budaya di wilayah
Baluwarti Surakarta. Sebab apabila ada pendapat ini merupakan tanah
negara maka akan terjadi penyerobotan atau pensertifikatan tanah oleh
masyarakat.”
Pendapat yang masih mendua juga membuat Keraton Surakarta
Hadiningrat sedikit ragu, sebab apabila akan mulai pendataan akan muncul
berita macam-macam di media massa. Mengutip pendapat KP. Edi
Wirabhumi, selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum Keraton Surakarta
Hadiningrat, menyatakan dengan tegas bahwa: “Sebenarnya hak
pengelolaan keraton didasarkan kepada hak adat keraton atas tanah yang
dipunyai karaton secara syah sejak berdirinya keraton, bahwa sejarah
politik nasional sempat mempengaruhi politik agraria adalah hal yang
wajar, tetapi sejarah politik juga berpengaruh pada posisi atau status tanah
keraton. Dari sisi pengelolaan juga pasti sangat berpengaruh oleh
perubahan tersebut. Keppres Nomor 23 tahun 1988 sebenarnya mengatur
tentang pengelolaan keraton dimana untuk pengelolaan keraton dibentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
badan pengelola keraton. Sejujurnya keppres dan badan pengelola keraton
satu paket yang saling melengkapi, namun pada kenyataan badan
pengelola tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jadi pengelolaan tanah
keraton seharusnya tidak terpengaruh oleh ketentuan di luar hukum adat.”
Dengan melihat pendapat diatas, berarti tidak ada hambatan, apapun
bentuknya. Tetapi di lapangan kondisinya berubah, banyak pendapat yang
mengatakan tidak sebagaimana mestinya, misalnya tanah di Baluwarti,
merupakan tanah negara. Kondisi ini juga berpengaruh pada kesadaran
masyarakat untuk mendaftarkan pemilikan Palilah Griya Pasiten.
Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah
keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Pengageng
Pasinten merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan Keraton
Surakarta yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti
izin tersebut berupa pejanjian dikeluarkannya yang di dalamnya memuat
klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan
permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia
mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan
syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam
hal ini Pemerintah Kota Surakarta walaupun untuk magersari tidak
dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut.
Apabila di lihat dari hukum pertanahan, Palilah Griya Pasiten
mengenai magersari menganut asas pemisahan horizontal, berarti benda-
benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan
merupakan bagian tanah yang bersangkutan. Sehingga setiap perbuatan
hukum mengenai hak atas tanah, tidak sendirinya meliputi benda-benda
tersebut. Dalam penerapannya asas hukum ini tidak mutlak, melainkan
selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan
dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan
sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut,
bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
meliputi benda-benda sepanjang masih merupakan satu kesatuan dengan
dengan tanah yang bersangkutan
Dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia,
sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup
tanah-tanah di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga,
hutan, dusun) yang meliputi tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat
yaitu tanah-tanah yang belum dikuasai dan dipergunakan oleh warga
setempat. Sejak berlakunya UUPA, sepanjang mengenai tanah-tanah hak
secara yuridis dikonversi menjadi salah satu hak baru menurut UUPA,
sedangkan terhadap tanah-tanah ulayat termasuk negara yang tercukup
dalam lingkup hak bangsa Indonesia atas tanah.
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam
lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan. Masyarakat
hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai
hak ulayat, bukan orang-perorangan. Hak ulayat ini disertai wewenang dan
kewajiban yang bersifat perdata, yaitu berhubungan dengan hak bersama
kepunyaan atas tanah tersebut dan bersifat publik, yaitu berupa tugas
kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan,
pengusaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Dalam perpustakaan hukum
adat, hak ulayat disebut dengan nama “beschikkingsrecht”.
Berdasarkan pasal 3 UUPA terhadap hak ulayat yang masih ada
diakui eksistensinya oleh UUPA sepanjang hak ulayat itu masih hidup.
Sementara itu pelaksanaannya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
UUPA serta kepentingan pembangunan yang diselenggarakan dewasa ini.
Sehingga untuk melindungi hak ulayat atau hak masyarakat hukum adat
termasuk hak ulayat / tanah adat. Akan tetapi, apabila ditelaah kembali,
terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan-pengaturan mengenai hak ulayat
(tanah adat) tersebut yang menimbulkan berbagai penafsiran yang tidak
memadai dengan tujuan perlindungan tanah-tanah hak tersebut. Bahkan
dalam impimentasinya ada kelemahan atas ketidak jelasan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengabaikan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
Berdasarkan peraturan UUPA pengaturan mengenai tanah
magersari milik Keraton memang tidak ada pengaturannya secara jelas.
Sehingga apabila dikaitkan dalam hak-hak atas tanah magersari termasuk
hak pakai karena penggunaan hak magersari dalam Keraton Surakarta
hampir seperti pengaturan pada hak pakai dalam UUPA pengaturannya
dapat ditemui dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 16, pasal 41, pasal 42, dan
pasal 43 UU No 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.
Hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu dengan cuma-cuma,
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun dan pemberian
hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasaan. Pengertian hak pakai tersebut menjelaskan ada beberapa
kemiripan pengaturan hak magersari dalam Keraton Surakarta.
Hak menggunakan dalam pengertian mempergunakan tanah
(negara atau orang lain) adalah mendirikan bangunan diatasnya atau untuk
kepentingan orang lain. Sedangkan memungut hasil adalah dalam
pengertian untuk mendaftarkan suatu hasil. Berdasarkan ketentuan diatas,
kewenangan privat yang terdapat pada tanah hak pakai adalah
menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau berdasarkan perjanjian pemilik Hak Milik dengan seorang.
Sebenarnya hak pakai merupakan suatu “kumpulan pengertian”
daripada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai
nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada
yang mempunyai sebagai yang dimaksud dalam pasal ini. Dalam rangka
usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam penjelasan
umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut
dengan satu nama saja.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa dalam Palilah Griya Pasiten
mengenai magersari merupakan tanah milik Keraton Surakarta
Hadiningrat, sedangkan bangunan rumah milik yang menggadhuh atau
magersari. Karena ada larangan dari pihak Keraton Surakarta Hadiningrat
untuk memperjualbelikan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa ijin
dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Maka di dalam praktek rumah itu
banyak yang dijual kepada pihak lain, kemudian oleh pihak Keraton
Surakarta Hadiningrat dibuatkan surat palilah baru atas nama pembeli
rumah atau bangunan.
Dalam Palilah Griya Pasiten hak magersari, Keraton Surakarta
Hadiningrat melakukan penyerahan nyata, yakni yang menyewakan
Keraton Surakarta Hadiningrat harus melakukan tindakan pengosongan
serta menentukan tanah mana yang akan di sewa. Hal ini juga terjadi
dalam perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan wajib
melakukan penyerahan nyata, dari padanya tidak bisa dituntut penyerahan
yuridis. Hal ini telah sesuai dengan kedudukan penyewa sebagai pemilik,
dan tidak perlu sebagai bezitter. Karena itu tidak diperlukan penyerahan
yuridis. Cukup dengan jalan menyerahkan barang di bawah penguasaan si
penyewa. Selain itu pihak yang menyewakan harus juga memberikan
tanah yang disewakan dalam keadaan baik dan diwajibkan pula memberi
ketentraman kepada si penyewa menikmati barang, selama perjanjian
berlangsung.
Pihak pemakai tanah magersari harus menjaga kondisi tanah itu
tetap baik dan terawat sampai berakhirnya perjanjian sewa menyewa
antara Karaton Surakarta Hadiningrat dan pihak yang menggunakan tanah
magersari. Adanya perjanjian sewa menyewa menjadikan tanah magersari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
apakah termasuk hak atas tanah golongan hak sewa untuk bangunan atau
hak pakai seperti yang diatur dalam UUPA. Dalam hak sewa merupakan
hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus, maka disebut tersendiri
untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1)
UUPA. Hak sewa pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16
jocto 53) UUPA. Negara tidak dapat menyewakan tanah karena negara
bukan pemilik tanah.
Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi mengacu pada UUPA yang
berideologi budaya hukum kekeluargaan dalam memaknai tanah magersari
yang termasuk kawasan Baluwarti sebagai tanah negara. Sehingga
Pemerintah Kota Surakarta mempunyai keinginan yang kuat atas
penguasaan tanah magersari yang termasuk kawasan Baluwarti.
Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, tingginya
aspirasi Pemerintah Kota Surakarta atas hak atas tanah di kawasan
Baluwarti yang termasuk tanah magersari disebabkan oleh pertama
prestasi masa lalu Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29
Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta yang menyatakan
bangunan dan tanah yang berada di Baluwarti dalam pengusaan
Pemerintah Republik Indonesia.
Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956
mendorong lahirnya Surat Walikota KDH Kotamadya Surakarta tanggal 3
Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 tentang penggunaan atau
pengurusan tanah negeri DKS daerah kelurahan Baluwarti. Berdasarkan
SK Walikota tersebut, pengurusan tanah Baluwarti diserahkan kepada
Dinas Penghasilan Daerah dan terhadap warga Baluwarti yang
menggunakan tanah tersebut termasuk tanah magersari dianggap sebagai
penyewa tanah kepada pemerintah daerah. Bagi penghuni tanah Baluwarti
diwajibkan membuat “perjanjian sementara sewa menyewa tanah yang
dikuasai pemerintah daerah kotamadya Surakarta (Lego Karjoko, 2009 :
39) dalam hal ini berlaku juga bagi orang-orang yang menggunakan tanah
magersari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin maka
Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 telah
memunculkan aspirasi Pemerintah Kota Surakarta atas hak atas tanah
Baluwarti yang tidak realistis, artinya yang tidak konsisten dengan aspirasi
kerabat keraton Surakarta sehingga menimbulkan konflik.
Peraturan perundang-undangan mengenai tanah magersari yang
berada di Baluwarti Kota Surakarta dalam keadaan lemah. Menurut Dean
G. Pruitt dan Jeffrey Z Rubin tidak jelas dan tidak rinci UUPA, PP No 224
Tahun 1961 dan Keppres No 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan
bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi
antara UUPA dan PP No 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres No
23 Tahun 1988 disisi lain telah mendorong kerabat Keraton Surakarta
membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas
tanah Baluwarti khususnya tanah magersari, dimana tidak ada kecocokan
dengan cara pandang pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat kawasan
Baluwarti (Lego Karjoko, 2009 :46).
Berdasarkan pendapat penulis apabila terjadi ketidak harmonisnya
mengenai pengaturan tanah magersari di Keraton Surakarta selain kepada
pemerintah Kota Surakarta dan Keraton Surakarta, pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga dilakukan
kepada apa yang disebut badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan
negara, dan perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan
tanah-tanah tertentu (magersari) dengan apa yang dikenal dengan hak
pengelolaan.
Hak pengelolaan merupakan hak mengusai oleh negara yang
kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang
haknya. Pengertian ini dapat diartikan bahwa hak pengelolaan bukan
merupakan pelimpahan hak mengusai dari negara. Hak mengusai dari
negara tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
seluruh rakyat.
Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah
tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak
pengelolaan (Keraton Surakarta) memang mempunyai kewenangan untuk
menggunakan tanah yang diberikan hak bagi keperluan usahanya (sistem
pemungutan pajak atau sewa tanah magersari), tetapi itu bukan tujuan
pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan utamanya adalah bahwa tanah
yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang
memerlukan.
Dalam penyediaan dan pemberian tanah, pemegang hak (Keraton
Surakarta) diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan
sebagian kewenagan negara, misalnya karena Keraton Surakarta termasuk
sebagai salah satu cagar budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan
oleh Negara. Sehubungan dengan itu hak pengelolaan pada hakikatnya
bukan hak atas tanah, melainkan merupakan “gempilan” hak menguasai
oleh Negara.
Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang dapat diberikan kepada
Keraton Surakarta dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan.
Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
berwenang atas usul pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan
(Keraton Surakarta). Sebagaimana halnya dengan tanah negara, selama
dibebani hak-hak atas tanah tersebut, hak pengelolaan yang bersangkutan
tetap berlangsung. Setelah jangka waktu hak pakai atau hak sewa untuk
bangunan yang dibebankan itu berakhir, tanah magersari kembali dalam
pengusaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan (Keraton
Surakarta). Hak pengelolaan didaftarkan dan diterbitkan sertifikat sebagai
tanda bukti haknya. Namun, sebagai “gempilan” hak menguasai dari
Negara, tidak dapat dipindahtangankan. Maka, tidak memenuhi syarat
untuk dapat dijadikan tanah hak milik perseorangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang
Penguasaan Tanah-Tanah Negara menyebutkan bahwa kecuali jika
penguasaan tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lainnya
pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini, telah diserahkan kepada
suatu kementerian jawatan atau daerah swatantra, penguasaan atas tanah
negara ada pada Mendagri.
Menurut Pasal 3, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun
1974, hak pengelolaan memberi wewenang untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;
c. Menyerahkan bagian-bagian tanah kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut,
yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan
keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah
kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat-
pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak
Atas Tanah sesuai dengan peraturan perundangan agrarian yang
berlaku.
Adanya hak pengelolaan dalam hukum tanah nasional kita tidak
disebut dalam UUPA, tetapi tersirat dalam Penjelasan Umum UUPA yang
menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebut diatas,
negara dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak
lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut
peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan hak pakai atau hak sewa
untuk bangunan memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan
penguasa (Keraton Surakarta atau Pemerintah Kota Surakarta) untuk
dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4)).
Berkaitan dengan hal ini, kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
diperkuat dengan adanya hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada.
Hak pengelolaan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun; Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri Negara Agraria
/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pemabatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
disebutkan tentang objek pendaftaran tanah yang meliputi :
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pengelolaan
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak milik atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah negara
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak pengelolaan dibuktikan
dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang
berwenang. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah
yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah tersebut dan
sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
Berdasarkan Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29
Oktober 1956 mendorong lahirnya Surat Walikota KDH Kotamadya
Surakarta tanggal 3 Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 tentang
penggunaan atau pengurusan tanah negeri DKS daerah kelurahan
Baluwarti. Berdasarkan SK Walikota tersebut, pengurusan tanah Baluwarti
diserahkan kepada Dinas Penghasilan Daerah dan terhadap warga
Baluwarti yang menggunakan tanah tersebut termasuk tanah magersari
dianggap sebagai penyewa tanah kepada pemerintah daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Dalam rangka menyerahkan kewenangan pertanahan pada
pemerintah kabupaten / kota, perlu kiranya dipahami makna politik
pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar, politik pertanahan lokal
berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata
guna tanah bagi perikehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi
interaksi antar individu di daerah.
Dikeluarkan Berdasarkan Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30
tertanggal 29 Oktober 1956 bermaksud agar Pemerintah Kota Surakarta
menjaga dan melestarikan cagar budaya bangunan dan tanah Keraton
Surakarta. Agar tidak diklaim oleh pihak perorangan yang sewenang-
wenang. Namun hak pengelolaannya juga berada ditangan Keraton
Surakarta karena Keraton Surakarta termasuk hak ulayat. Di dalam UUPA
mengenai hak ulayat pun masih diakui eksistensinya agar dilindungi oleh
Negara. Diharapkan adanya Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tidak
terjadi adanya politik pertanahan dikalangan pemerintah daerah setempat.
Dan pemerintah pusat yakni atas nama negara mempercayai pemerintah
setempat mengelola tanah dengan baik.
Kenyataan yang menyebabkan bahwa politik pertanahan tidak
terlepas dari kerangka penyelenggara pemerintah secara nasional sebagai
perwujudan dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan secara
teknis mengingat perbedaan karakteristik pada masing-masing daerah
memang dimungkinkan, namun tetap mempertahankan semangat hukum
tanah nasional. Di samping itu, tetap dibutuhkan suatu badan yang
melakukan supervise terhadap administrasi pertanahan yang dijalankan
oleh pemerintah daerah agar sesuai dengan kerangka kebijakan nasional.
Hal ini diperlukan agar terciptanya tertib hukum pertanahan, tertib
administrasi, tertib pembangunan, tertib pemeliharaan, dan pertimbangan
wawasan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan semestinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari
Pengelolaan tanah dan bangunan sejak dimulai adanya Keppres
Nomor 23 tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan
Surakarta itu berada di tangan Pengageng Parentah Keraton Surakarta
Hadiningrat. Namun sejak pemerintahan Paku Buwono XIII pengelolaan
tanah dan bangunan berada di Pengageng Pasiten. Dalam memenuhi tertib
administrasi pengelolaan tanah dan bangunan, Keraton Surakarta
Hadiningrat mengeluarkan palilah yang diberi nama Palilah Griya
Pasiten. Sampai sekarang ini Keraton Surakarta Hadiningrat
mengeluarkan Palilah Griya Pasiten dengan bermacam-macam titel, yaitu
Palilah Griya Pasiten dengan titel hak anggadhuh, Palilah Griya Pasiten
dengan titel hak magersari, dan Palilah Griya Pasiten dengan titel hak
tenggan, serta perjanjian kontrak. Palilah Griya Pasiten adalah semacam
perizinan yang dikeluarkan oleh raja untuk penggunaan tanah dan
bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Jadi tanah dan bangunan
yang dimiliki oleh keraton itu diizinkan untuk digunakan oleh seseorang
dengan berbagai ketentuan seperti sentana dalem dan abdi dalem keraton.
Di era sekarang semakin banyak orang yang bertempat tinggal di wilayah
Baluwarti, karena dulunya diajak teman atau saudara untuk bekerja di
keraton sebagai abdi dalem keraton dan ini sudah berlangsung sangat lama
dan banyak abdi dalem yang merasa mempunyai hubungan istimewa
dengan keraton. Sebagai balas jasa/hadiah untuk abdi dalem, maka keraton
mengizinkan para abdi dalem dan sanak saudaranya tinggal di lingkungan
keraton sampai sekarang.
Bagian Pasiten (siti artinya tanah) di Keraton Surakarta
Hadiningrat adalah bagian (lembaga) yang berwenang mengurusi
pertanahan milik Karaton Surakarta Hadiningrat. Adapun tugas Bagian
Pasiten adalah:
a. Mengurusi masalah pertanahan dan bangunan milik Keraton Surakarta
Hadiningrat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
b. Mengurusi permohonan ijin-ijin yang berkaitan dengan pemanfaatan
tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat.
c. Menerima pembayaran uang sewa tanah dan bangunan milik Keraton
Surakarta Hadiningrat.
Pengageng Pasiten mempunyai wewenang langsung terhadap
urusan pertanahan yang menjadi milik Keraton Surakarta Hadiningrat.
Wewenang Pengageng Pasiten meliputi:
a. Tanah milik Karaton Surakarta Hadiningrat.
b. Rumah (dalem) milik Karaton Surakarta Hadiningrat.
c. Pesanggrahan milik Karaton Surakarta Hadiningrat, antara lain:
Langenarjo, Paras (Pracimoharjo di Boyolali), dan Ngendromarto
(Boyolali, Selo).
d. Makam-makam, antara lain: Imogiri, Kotagede, Laweyan, Ngenden,
Bekas Keraton Kartasura, Makam Haji, Ki Ageng Selo (Grobogan,
Purwodadi), Ki Ageng Tarub (Purwodadi), dan Tegal Arum (Tegal).
Pendataan tanah terbagi dalam tiga langkah kegiatan, yaitu:
a. Tahap Persiapan
Sosialisasi kebijakan dalam pelaksana teknis, antara lain:
1) Pemberitahuan kepada RT/RW bahwa akan ada pendataan.
2) Pertemuan langsung dengan warga Baluwarti.
Karena terbatasnya dana dan personel, maka ditempuh cara
pemberitahuan kepada abdi dalem yang juga magersari dengan sistem
getok tular. Getok tular adalah sistem pemberitahuan di mana orang
yang diberitahu pertama kemudian menyebarluaskan informasi ke
warga yang lain.
b. Tahap Sosialisasi
Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat yang berupa Palilah Griya
Pasiten adalah merupakan peraturan yang dibuat oleh Keraton
Surakarta Hadiningrat terhadap tanah dan bangunan milik Keraton
Surakarta Hadiningrat di Baluwarti. Kepada warga Baluwarti yang
selama ini memiliki surat tanah hak sewa Pemerintah Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
di minta oleh pihak Keraton Surakarta Hadiningrat untuk diganti
dengan Palilah Griya Pasiten yang dikeluarkan oleh Keraton
Surakarta Hadiningrat. Palilah Griya Pasiten adalah ijin untuk
menempati tanah dan bangunan di Baluwarti dengan sistem menyewa
kepada Karaton Surakarta Hadiningrat. Untuk itu kepada warga harus
membayar uang duduk Lumpur/sewa tanah. Kepada warga Baluwarti
yang belum memiliki buku Palilah Griya Pasiten tersebut akan
diminta keterangan tentang sejarah tanah dan bangunan yang
ditempatinya sehingga mereka bisa tinggal di wilayah Baluwarti.
Kemudian warga tersebut diberitahu tentang peraturan baru tersebut,
dan kepada mereka diharuskan memperoleh ijin dari Keraton Surakarta
Hadiningrat. Buku Palilah Griya Pasiten itu berlaku selama tiga tahun,
baik untuk anggadhuh turun temurun, anggadhuh, dan magersari.
c. Tahap Pelaksanaan
Pembagian tugas penarikan uang palilah, karena sumber daya yang
terbatas dari abdi dalem, maka Keraton Surakarta Hadiningrat
menggunakan abdi dalem garap (pegawai Pasiten) dibantu oleh abdi
dalem anon-anon (bukan pegawai Pasiten) yang diberi surat tugas oleh
Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam melaksanakan tugasnya, abdi
dalem garap menerima pembayaran uang palilah di Kantor Pasiten.
Sebelumnya abdi dalem garap membuat surat timbalan (panggilan)
kepada penduduk melalui abdi dalem anon-anon. Pelaksanaan
penarikan uang palilah di Baluwarti oleh Bagian Pasiten lebih
digunakan sistem pendekatan pribadi, artinya kesadaran masyarakat
untuk membayar perlu ditumbuhkan. Kesadaran yang dimiliki ada dua
macam:
1) Kesadaran tinggi, biasanya kesadaran ini dimiliki oleh abdi dalem
keraton yang bertempat tinggal di Baluwarti, sehingga tanpa diberi
sosialisasi tentang Palilah Griya Pasiten pun mereka aktif sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
2) Kesadaran rendah, yaitu kesadaran yang dimiliki warga yang
bukan abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat sehingga
memerlukan suatu sosialisasi.
Pembayaran uang palilah menggunakan mekanisme pembayaran uang
palilah adalah sebagai berikut:
1) Pembayaran secara langsung
Penduduk yang mempunyai buku Palilah Griya Pasiten langsung
membayar ke Bagian Pasiten.
2) Pembayaran tidak langsung
Karena sungkan ke Karaton Surakarta Hadiningrat atau alasan
kesibukan lain, maka mereka menitipkan uang pembayaran kepada
abdi dalem bagian garap Pasiten atau orang lain.
d. Tahap Pelaporan
Dari pembayaran uang palilah tersebut Bagian Pasiten
melaporkan ke Pengageng Parentah Karaton Surakarta Hadiningrat,
berupa laporan per tiga bulan.
Bermacam-macam hak yang diizinkan oleh Keraton Surakarta
Hadiningrat membuat kewajiban pengguna tanah dan bangunan juga
beragam.
a. Palilah Griya Pasiten untuk hak anggadhuh
Kewajiban/janji para pihak yang memiliki Palilah Griya Pasiten
dengan titel hak anggadhuh adalah:
1) Mengindahkan dengan tulus ikhlas, dengan iktikad baik, segala
peraturan/perintah-perintah dari Parentah Karaton Surakarta, baik
yang telah ada maupun yang akan diperintahkan, bagi yang
menggadhuh tanah.
2) Sungguh-sungguh hanya untuk berumah tangga.
3) Bila akan mendirikan, memperbaiki, dan merubah serta menjual
bangunan harus mendapat izin dari Parentah Karaton Surakarta.
4) Kalau pindah (tidak menempati), tanah gadhuhan-nya harus
diserahkan kembali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
5) Tiap tahun yang menggadhuh diwajibkan membayar uang duduk
lumpur kepada Parentah Karaton Surakarta.
6) Diwajibkan membayar uang kepada Pemerintah Republik
Indonesia, apabila ada pungutan atas tanah tersebut (PBB).
b. Palilah Griya Pasiten untuk hak tenggan
Kewajiban/janji pihak yang memiliki Palilah Griya Pasiten untuk hak
tenggan adalah:
1) Mengindahkan dengan tulus ikhlas, dengan iktikad baik, segala
peraturan/perintah-perintah dari Parentah Karaton Surakarta, baik
yang telah ada maupun yang akan diperintahkan, bagi yang
memiliki palilah dengan hak tenggan.
2) Sungguh-sungguh hanya untuk berumah tangga.
3) Tidak boleh menyewakan/apalagi menjual kepada orang lain, baik
sebagian maupun seluruhnya.
4) Tidak boleh mengajak orang lain, kecuali anak dan istri.
5) Bersedia memperbaiki/tambal sulam kalau ada kerusakan dengan
biaya sendiri serta tidak minta ganti kerugian, apabila di kemudian
hari akan meminta ganti rugi segala biaya kerusakan, maka semua
yang ada akan menjadi milik Keraton Surakarta Hadiningrat.
6) Tidak boleh menerima magersari.
7) Tidak boleh merubah bangunan, apabila tidak mendapat ijin dari
Parentah Keraton Surakarta.
8) Apabila Parentah Keraton Surakarta akan mengambil kembali,
maka pengguna harus mengembalikan rumah dalam kondisi
kosong dalam keadaan baik seperti sedia kala, semua yang
bertempat tinggal harus pergi dari tempat itu, dan tidak meminta
pesangon atau hal-hal lain yang sejenisnya.
9) Apabila Parentah Karaton Surakarta akan mengambil kembali,
maka pengguna harus mengembalikan rumah dalam kondisi
kosong dalam keadaan baik seperti sedia kala, dan diberi pesangon
sepantasnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
10) Apabila ada pekarangannya, maka masih diperbolehkan untuk
menanam pepohonan yang kecil-kecil. Apabila ingin menanam
pepohonan yang besar harus meminta izin dari Parentah Karaton
Surakarta.
c. Palilah Griya Pasiten untuk hak magersari
Dalam Palilah Griya Pasiten magersari, yang menjadi milik Keraton
Surakarta Hadiningrat adalah tanah, sedangkan bangunan rumah milik
pemegang palilah. Kewajiban/janji pihak yang memiliki Palilah Griya
Pasiten dengan title hak magersari adalah:
1) Mengindahkan dengan tulus ikhlas, dengan iktikad baik, segala
peraturan/perintah-perintah dari Parentah Keraton Surakarta, baik yang
telah ada maupun yang akan diperintahkan, bagi yang memiliki palilah
dengan hak magersari.
2) Sungguh-sungguh hanya untuk berumah tangga.
3) Tidak boleh menyewakan/lebih-lebih menjual kepada orang lain, baik
sebagian maupun seluruhnya.
4) Apabila akan membangun/memperbaiki sebagian bangunan harus minta
izin kepada Parentah Keraton Surakarta.
5) Apabila Parentah Keraton Surakarta akan mengambil kembali, maka
pengguna harus mengembalikan tanah dalam kondisi kosong dalam
keadaan baik seperti sedia kala, semua yang bertempat tinggal harus
pergi dari tempat itu, dan tidak meminta pesangon atau hal-hal lain
yang sejenisnya.
6) Apabila yang menggunakan meninggal dan digunakan bukan untuk
seperti yang dijanjikan, maka yang menggunakan/ahli warisnya harus
mengembalikan kepada Parentah Karaton Surakarta.
7) Apabila tidak menepati janji, walaupun hanya satu janji saja, maka
palilah ini batal dan Parentah Karaton Surakarta dapat mengambil tanah
yang digunakan.
8) Yang mempunyai hak magersari, diwajibkan untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban lain yang harus dilakukan dalam kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
bermasyarakat di kampung tersebut, seperti iuran kebersihan, iuran
keamanan/ronda, dan PBB.
9) Palilah ini berlaku selama tiga tahun, apabila akan memperpanjang
maka ada kewajiban untuk memperbaharui palilah ini.
d. Perjanjian kontrak
Kewajiban atau janji pihak yang memegang Palilah Griya Pasiten dengan
titel hak kontrak:
1) Tanah dan bangunan hanya melulu akan digunakan untuk berumah
tangga.
2) Tidak boleh merubah keadaan ruang/bangunan yang dikontrak tanpa
izin Parentah Keraton Surakarta. Apabila ada perubahan dan sudah
disetujui oleh Parentah Keraton Surakarta, maka segala biaya dan resiko
yang timbul merupakan tanggung jawab pihak pengontrak dan
pengontrak wajib memelihara dan merawat rumah seperti miliknya
sendiri.
3) Pihak pengontrak diwajibkan membayar PBB untuk bangunan/ruang
yang dikontrak. Untuk perbaikan seperti mengganti genting yang bocor,
talang yang bocor, dan mengapur dinding serta tambalsulam-
tambalsulam lainnya biaya ditanggung oleh pihak pengontrak.
4) Pengontrak tidak boleh mengikutsertakan seseorang atau orang lain
selain, isteri/suami, anak-anak, dan orang tuanya.
5) Pengontrak tidak diperbolehkan mengontrakkan lagi atau meminjamkan
ruang bangunan itu, baik sebagian atau keseluruhan, tanpa persetujuan
dari Parentah Keraton Surakarta dan menggunakan untuk keperluan
sungguh-sungguh berumah tangga.
6) Pengontrak diwajibkan untuk membayar uang kontrak sesuai dengan
kesepakatan antara pengontrak dan Parentah Karaton Surakarta.
7) Apabila waktu perjanjian kontrak telah berakhir dan tidak ada
kesepakatan antara pengontrak dan Parentah Keraton Surakarta, maka
palilah ini batal dan tidak diperpanjang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
8) Apabila pengontrak telah meninggal dunia dan bangunan/ruang yang
dikontrak tidak lagi ditempati suami/isteri, bangunan/ruang yang
dikontraknya maka paling lambat dalam waktu satu bulan, pengontrak
wajib mengembalikan kepada Parentah Keraton Surakarta.
9) Apabila pengontrak melanggar ketentuan perjanjian, maka palilah ini
batal dengan sendirinya.
10) Apabila palilah ini sudah habis waktunya, tidak lagi diperpanjang atau
batal, maka pengontrak dengan tulus ikhlas hati berjanji menyerahkan
bangunan/ruang tersebut dalam keadaan kosong seperti semula sebelum
ada palilah ini, beserta kunci-kuncinya kepada Parentah Keraton
Surakarta paling lambat satu bulan sesudah habis waktunya kontrak,
dan kemudian segera meninggalkan ruang/bangunan itu, tanpa
mendapat pesangon dan lain-lain yang sejenis.
Apabila dikaji dari segi hukum perjanjian, Palilah Griya Pasiten
berupa akta di bawah tangan yang pembuktiannya apabila tanda tangan dalam
akta itu dibenarkan/diakui oleh para pihak atau para pihak mengakui kebenaran
dalam tanda tangan itu. Dalam hukum perjanjian ada syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
a. Sepakat untuk mengikatkan dirinya.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
c. Mengenai suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama disebut syarat subyektif, karena mengenai orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian. Dengan kata sepakat berarti ada
perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian
harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjianyang
diadakan. Mengenai apa yang dikehendaki pihak yang satu, juga dikehendaki
oleh pihak yang lain. Dalam hal ini pihak Keraton Surakarta Hadiningrat
sepakat dengan para pengguna tanah/bangunan di lingkungan Baluwarti untuk
mengadakan sebuah perjanjian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Para pihak dalam perjanjian yang berbentuk palilah ini tentunya secara
umur sudah dewasa, jadi bukan termasuk orang yang tidak cakap membuat
perjanjian, seperti orang yang belum dewasa, mereka yang di taruh dalam
pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan. Sedangkan
syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat obyektif, karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Pada perjanjian yang berbentuk palilah ini memperjanjikan antara Keraton
Surakarta Hadiningrat dan pengguna tanah/bangunan mengenai syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam Palilah Griya Pasiten (anggadhuh, magersari,
dan tenggan). Sedangkan sebab dalam perjanjian ini merupakan sebab yang hal
halal, yaitu tanah dan bangunan milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Jadi
dengan terpenuhinya syarat-syarat perjanjian sebagaimana disyaratkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, maka Palilah Griya Pasiten (anggadhuh, magersari,
dan tenggan) dapat disebut juga sebagai perjanjian.
Menurut pendapat penulis, Palilah Griya Pasiten dengan titel hak
anggadhuh dan magersari merupakan sebuah bentuk perjanjian sewa
menyewa. Karena pemegang Palilah Griya Pasiten, dengan titel hak
anggadhuh dan magersari hanya menikmati tanah yang mereka tempati.
Mereka tidak boleh menjual/menyewakan tanah itu, baik sebagian atau
seluruhnya. Ini tampaknya sesuai dengan pengertian sewa menyewa dalam
hukum perjanjian, yaitu adanya persetujuan antara pihak yang menyewakan
dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan
barang yang hendak di sewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati
sepenuhnya.
Dalam Palilah Griya Pasiten hak magersari, Keraton Surakarta
Hadiningrat melakukan penyerahan nyata, yakni yang menyewakan Keraton
Surakarta Hadiningrat harus melakukan tindakan pengosongan serta
menentukan tanah mana yang akan di sewa. Hal ini juga terjadi dalam
perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan wajib melakukan
penyerahan nyata, dari padanya tidak bisa dituntut penyerahan yuridis. Hal ini
telah sesuai dengan kedudukan penyewa sebagai pemilik, dan tidak perlu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
sebagai bezitter. Karena itu tidak diperlukan penyerahan yuridis. Cukup dengan
jalan menyerahkan barang di bawah penguasaan si penyewa. Selain itu pihak
yang menyewakan harus juga memberikan tanah yang disewakan dalam
keadaan baik dan diwajibkan pula memberi ketentraman kepada si penyewa
menikmati barang, selama perjanjian berlangsung.
Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah
keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Pengageng
Pasinten merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan Keraton
Surakarta yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut
berupa pejanjian dikeluarkannya yang di dalamnya memuat klausul
bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah
magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila
sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap
tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kota
Surakarta walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan
sertifikat atas tanah tersebut.
Terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh
perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak
dapat diganggu gugat oleh pihak Keraton Surakarta karena telah ada alas hak
yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin
penggunaan lahan seperti megarsari kepada Pengageng Pasinten. Namun
jika ingin mendirikan bangunan harus memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus
ada persetujuan dari Pengageng Sasana Wilapa untuk kawasan Keraton Surakarta
maupun tanah milik Keraton Surakarta.
Pihak penyewa harus menjaga kondisi tanah itu tetap baik dan terawat
sampai berakhirnya perjanjian sewa menyewa antara Karaton Surakarta
Hadiningrat dan pihak penyewa. Pada zaman dahulu, sistem magersari ini
yang membangun rumah di atas tanah, maka rumah itu biasanya berbahan
dasar kayu saja. Jadi, apabila Keraton Surakarta Hadiningrat membutuhkan
tanah untuk keperluan apapun, bangunan itu tinggal diangkat. Tetapi sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
sekarang, pembongkaran paksa belum pernah terjadi. Di era sekarang, hampir
seluruh bangunan dibuat dari beton apabila akan membongkar juga
membutuhkan biaya dan belum tentu pembongkaran itu dilakukan tanpa ganti
rugi, maka biasanya Keraton Surakarta Hadiningrat mengambil jalan:
memberitahukan kepada pemegang Palilah Griya Pasiten magersari, terhadap
rumahnya diimbau untuk diserahkan kepada keraton.
Mengenai magersari Palilah Griya Pasiten sistem, terdapat kewajiban
bagi pihak penyewa untuk membayar uang sewa/uang penikmatan dan
mengembalikan tanah yang disewa dalam kondisi terawat dengan baik.
Pembayaran uang sewa itu tergantung jumlah luas tanah yang ditempati oleh
penyewa sebesar Rp. 10.000, 00 (sepuluh ribu rupiah) per 100 m2 serta
kelipatannya. Kewajiban penyewa untuk mengembalikan tanah berlaku asas,
barang harus dikembalikan dalam keadaan seperti waktu diterima. Kalau
barang yang di sewa berupa barang tidak bergerak, maka pada saat
pengembalian kepada Keraton Surakarta Hadiningrat, semuanya harus sudah
dikosongkan.
Pelaksanaan Palilah Griya Pasiten banyak ditemukan kejanggalan atau
mengingkari janji-janji dalam Palilah Griya Pasiten antara lain :
a. Dalam Palilah Griya Pasiten tertulis tidak boleh melaksanakan jual beli
atau sewa menyewa baik sebagian atau seluruhnya atas bangunan.
Prakteknya, ada yang melakukan jual beli atau disewakan baik sebagian
atau seluruhnya. Bahkan ada juga, prakteknya jual beli dilaksanakan di
depan notaris yang dilakukan oleh para pihak antara penjual dan pembeli.
b. Pada prakteknya, dilakukan juga sewa menyewa dengan menyewakan
sebagian bangunan dan memungut bayaran sesuai dengan harga pasar dan
tidak melaporkan hal ini kepada Bagian Pasiten.
c. Pemegang magersari seringkali mengkontrakkan sebagian bangunan yang
ditempatinya. Seperti dalam sewa menyewa pihak yang mengontrakkan
menarik bayaran sesuai dengan harga pasar dan tidak melaporkan kepada
Bagian Pasiten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
d. Karena ada yang tidak memegang Palilah Griya Pasiten maka mereka
tidak membayar uang duduk lumpur kepada Keraton Surakarta Hadiningrat
dan bisa jadi juga mereka tidak membayar PBB yang ditarik dan ditetapkan
oleh pemerintah.
Kondisi ini juga berpengaruh pada kesadaran masyarakat untuk
mendaftarkan pemilikan Palilah Griya Pasiten. Palilah Griya Pasiten ini
penting sebab tercermin dari ungkapan Bapak Slameto Rahardjo yang
bercerita: “waktu diadakan revitalisasi Alun-Alun Utara, kemudian seluruh
penduduk yang mendiami wilayah itu didata oleh Dinas Tata Kota Surakarta
apakah mempunyai ijin menempati dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Yang
memiliki ijin mendapat ganti rugi seharga rumah ukuran tipe 21, sedangkan
yang tidak mempunyai ijin dari Karaton Surakarta Hadiningrat hanya mendapat
ganti rugi sebesar satu juta rupiah”. Permohonan Palilah Griya Pasiten ini
tidak sulit, sebenarnya mudah. Pendaftaran Palilah Griya Pasiten hanya cukup
melampirkan:
a. Kartu Tanda Penduduk
b. Kartu keluarga
c. Surat permohonan dari yang bersangkutan kepada Pengageng Pasiten
Keraton Surakarta.
Untuk bisa tetap bisa bertempat tinggal di atas tanah milik Keraton Surakarta
Hadiningrat tersebut atau bisa melanjutkan kontrak atas bangunan Keraton
Surakarta Hadiningrat, maka harus membuat surat permohonan yang diketahui
oleh RT dan RW. Surat permohonan berisi sejarah (uraian) dari pemohon
tentang statusnya sehingga bisa menempati tanah/bangunan tersebut serta
kesanggupan dari pemohon akan mentaati semua peraturan yang dikeluarkan
oleh Karaton Surakarta Hadiningrat.
Tanah Baluwarti masih mengandung banyak arti bagi penduduk yang
menempatinya: bisa merupakan tanah Negara, tanah nenek moyang mereka,
dan tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Kesimpangsiuran ini terjadi
ketika kantor Badan Pertanahan Nasional Surakarta mengumumkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
tanah di Baluwarti merupakan tanah Negara. Kondisi ini memicu konflik antara
Karaton Surakarta Hadiningrat, Kantor BPN Surakarta, dan warga Baluwarti.
Adanya pengumuman tanah Baluwarti adalah tanah Negara, ada
kegembiraan bagi warga Baluwarti, karena tanah dan bangunan yang telah
mereka tempati berpuluh-puluh tahun dapat mereka sertifikatkan atau diperoleh
SHM. Tapi bagi Keraton Surakarta Hadiningrat, ini merupakan kesedihan,
sebab menurut sejarahnya di Baluwarti yang menguasai adalah keraton. Jadi
menurut Keraton Surakarta Hadiningrat, yang bisa mensertifikatkan hanya
pihak Keraton Surakarta Hadiningrat sendiri. Apabila hal itu disertifikatkan
oleh Keraton Surakarta Hadiningrat atas nama Sinuhun, apa masyarakat
Baluwarti mau menerima, karena ada yang menganggap ini tanah Negara dan
tanah nenek moyang mereka. Terus, karena Keraton Surakarta Hadiningrat
bukan badan hukum, apabila akan dilakukan pensertifikatan dan penarikan
uang sewa atau duduk lumpur agar dianggap sah oleh masyarakat dan tidak
menimbulkan pertentangan dengan masyarakat, dapat di bentuk yayasan atau
semacamnya. Tapi pendirian yayasan harus jelas, ada AD/ART-nya, ada modal
yayasan, ada anggota yayasan. Tentunya akan kesulitan mengumpulkan
anggota yayasan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berkaitan dengan Palilah Griya Pasiten. Banyak aturan dalam Palilah
Griya Pasiten yang dinilai memberatkan warga Baluwarti, seperti kalau
membangun harus ada ijin dari keraton. Jadi tidak ada IMB di wilayah
Baluwarti, yang mengeluarkan IMB adalah Keraton Surakarta Hadiningrat,
bukan pemkot Surakarta. Selain itu, juga tidak boleh untuk usaha, karena ini
berkaitan dengan wilayah Baluwarti sebagai cagar budaya. Serta, yang paling
memberatkan adalah apabila Keraton Surakarta Hadiningrat meminta tanah
tersebut, warga Baluwarti harus tulus ikhlas menyerahkan dengan keadaan
kosong dan tanpa imbalan apapun.
Warga Baluwarti mengaitkan Palilah Griya Pasiten dengan PBB,
adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB itu sendiri dan uang sewa atau duduk
lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Tapi di lain tempat di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
wilayah Baluwarti banyak diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya
Pasiten dan tidak membayar yang ditarik oleh Negara.
Di Pengageng Pasiten Keraton Surakarta Hadiningrat, hanya ada
sedikit personel yang berpengalaman mengurusi masalah pertanahan di wilayah
Baluwarti. Pada saat pertama akan dimulai, ada abdi dalem anon-anon yang
juga mendapat tugas untuk melakukan pendataan dan penarikan uang sewa atau
duduk lumpur. Namun, dalam pelaksanaan banyak penyimpangan, karena di
lapangan beredar buku Palilah Griya Pasiten tanpa ada tanda tangan dan
pengesahan dari Karaton Surakarta Hadiningrat, RT/RW, serta saksi-saksi dan
banyak tidak menyetorkan uang sewa kepada Pengageng Pasiten.
Selain itu keadaan penduduk di Baluwarti, juga berpengaruh sebab
selain abdi dalem. Banyak juga penduduk yang bukan abdi dalem menempati
wilayah Baluwarti dengan cara membeli bangunan rumah di Baluwarti.
Pendatang di wilayah Baluwarti kebanyakan berasal dari suku bangsa Arab
atau Santri. Padahal zaman PB X ada ketentuan, wilayah Baluwarti tidak boleh
ditempat tinggali oleh penduduk selain penduduk Indonesia dan beragama
Islam.
Masalah tanah merupakan masalah yang sangat menyentuh keadilan
karena sifat tanah yang langka dan terbatas, dan kebutuhan dasar setiap
manusia. Tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan
yang dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan
kelonggaran yang lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat
dibenarkan apabila diimbangi dengan kebijakan serupa yang ditujukan kepada
kelompok lain yang lebih besar. Sehingga perlu ada kebijakan yang berfungsi
untuk mengoreksi atau memulihkan keseimbangan tersebut.
Tolak ukur yang memberikan keadilan berdasarkan kebutuhan dan
bukan berdasarkan kemampuan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah di
Indonesia perhatian harus lebih banyak diberikan kepada mereka yang lebih
membutuhkan yang diwakili oleh sebagian terbesar lapisan masyarakat.
Dihadapkan kepada kebutuhan untuk melengkapi peraturan pelaksanaan
UUPA, kebijakan pertanahan baik dimulai dengan kebijakan untuk memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
kebutuhan yang paling mendasar, tanpa mengabaikan perlunya diciptakan
kebijakan yang menunjang perkembangan kebutuhan ekonomi yang dinamis.
Oleh karena itu, diharapkan adanya peraturan daerah yang mengatur
mengenai tanah magersari di Keraton Surakarta supaya tidak ada
kesimpangsiuran dan kesewenang-wenangan pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab., hal yang menjadi pusat perhatian dari adanya kebijakan
pertanahan adalah kemampuan untuk memenuhi keadilan bagi seluruh
masyarakat di dalam upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai
kebutuhan yang esensial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
BAB IV. PENUTUP
A.Simpulan
Sesuai dengan rumusan masalah dan berdasarkan hasil penelitian serta
pembahasan sebagaimana dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional zaman
penjajahan Belanda hukum magersari tanah Keraton Surakarta diatur didalam
Rijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah
Keraton termasuk tanah magersari dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta.
Setelah proklamasi Indonesia khusus pembentukan hukum nasional tentang
tanah didasarkan atas hukum adat, sesuai dengan TAP MPR No.2 Tahun
1960 pasal 4 ayat (3) Negara Indonesia merupakan negara agraris,
pembangunan bidang agraria menduduki tempat yang penting sehingga diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat
yang berlaku dirasakan kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai
satu kesatuan nasional.
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme.
Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton mengenai tanah magersari
menjadi milik negara. Namun, peraturan perundang-undangan mengenai tanah
magersari yang berada di Baluwarti Kota Surakarta tidak jelas dan tidak rinci
dalam UUPA, PP No 224 Tahun 1961 dan Keppres No 23 Tahun 1988 dalam
mengatur peralihan bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak
adanya harmonisasi antara UUPA dan PP No 38 Tahun 1963 di satu sisi
dengan Keppres No 23 Tahun 1988 disisi lain telah mendorong kerabat
Keraton Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic
mengenai hak atas tanah Baluwarti khususnya tanah magersari, dimana tidak
ada kecocokan dengan cara pandang pemerintah Kota Surakarta dan
masyarakat kawasan Baluwarti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
2. Implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik
tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari dalam peraturan UU
No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih belum cukup untuk mengatur keberadaan
tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukumnya menjadi
tidak jelas. Permasalahan lain yang berkaitan dengan keberadaan tanah
magersari adalah adanya perbedaan persepsi mengenai keberadaan tanah
magersari itu sendiri. Tanah magersari yang bebas dalam arti tidak sedang
digunakan, tidak serta merta dapat diakui sebagai tanah negara. Hal ini
membawa konsekuensi bagi pengaturan tanah magersari tidak bisa
menggunakan peraturan pertanahan sesuai hukum positif.
Berdasarkan pendapat penulis apabila terjadi ketidak harmonisnya
mengenai pengaturan tanah magersari di Keraton Surakarta selain kepada
pemerintah Kota Surakarta dan Keraton Surakarta, pelimpahan pelaksanaan
sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga dilakukan kepada apa
yang disebut badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan negara, dan
perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah
tertentu (magersari) dengan apa yang dikenal dengan hak pengelolaan.
Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang dapat diberikan kepada
Keraton Surakarta dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan.
Sebagaimana halnya dengan tanah negara, selama dibebani hak-hak atas
tanah tersebut, hak pengelolaan yang bersangkutan tetap berlangsung.
Adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB itu sendiri dan uang sewa atau
duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Pajak PBB
untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau duduk lumpur untuk
Keraton Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
B.Saran
Dengan adanya uraian di atas maka penulis mengemukakan saran
sebagai berikut :
1. Diharapkan adanya peraturan yang jelas mengatur mengenai tanah
magersari di Keraton Surakarta supaya tidak ada kesimpangsiuran dan
kesewenang-wenangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, hal
yang menjadi pusat perhatian dari adanya kebijakan pertanahan adalah
kemampuan untuk memenuhi keadilan bagi seluruh masyarakat di dalam
upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai kebutuhan yang esensial.
2. Mengingat selama ini antara kerabat Keraton Surakarta dan Pemerintah
Kota Surakarta kurang harmonis dalam mengatur tanah magersari dan
orang yang magersari, diharapkan adanya harmonisasi yang bijak, jujur
dan adil supaya tidak ada pihak yang dirugikan agar masyarakat sekitar
Baluwarti juga bisa hidup sejahtera, aman dan tentram.
3. Warga Baluwarti mengaitkan Palilah Griya Pasiten dengan PBB, adanya
pajak berganda, yaitu pajak PBB itu sendiri dan uang sewa atau duduk
lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Tapi di lain tempat
di wilayah Baluwarti banyak diketemukan warga yang tidak punya Palilah
Griya Pasiten dan tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Diharapkan
orang yang magersari yang menempati tanah magersari Keraton Surakarta
perlu adanya kerjasama, kesadaran dan kejujuran demi kepentingan
bersama.