Upload
builien
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Disabilitas memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang.
Menurut World Health Organization (1980), disabilitas adalah suatu
ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu
sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan kondisi impairmen,
yakni kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis, maupun
kelainan struktur, atau fungsi anatomi.1 Meski demikian, definisi disabilitas
tidak hanya dilihat dari kacamata kesehatan. Disabilitas juga mengandung
muatan moral dan konstruksi sosial (Hevey,1993: 426). Sebagaimana
pendapat Finkelstein (2002), terdapat interpretasi-interpretasi yang berbeda
satu sama lain dalam model sosial mengenai disabilitas. Dalam The Disability
Studies Reader (Davis. Ed.,2006: 181), disabilitas dapat dipahami sebagai
penanda identitas. Terlepas dari kondisi fisik, disabilitas merupakan identitas
yang dapat dipahami secara positif sebagai salah satu bentuk keberagaman
yang terdapat dalam masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun
International Classification of Functioning for Disability and Health (IFC)
pada 2009, terdapat sekitar dua puluh tiga juta jiwa penyandang disabilitas di
Indonesia.
Rupanya, keberadaan penyandang disabilitas di negeri ini mendapat
sorotan dari Majalah Diffa. Majalah Diffa adalah satu-satunya majalah
komersial di Indonesia serta majalah komersial pertama di Asia yang
mengangkat tema disabilitas (Damanik, 2013). Motto “Setara dalam
Keberagaman” merepresentasikan visi Majalah Diffa untuk memberikan
edukasi dan inspirasi kepada penyandang disabilitas, sehingga mereka mampu
memberdayakan dirinya secara optimal. Lebih lanjut, Majalah Diffa
1Presentasi berjudul ―Penyandang Cacat Berdasarkan Klasifikasi International Classification of
Functioning for Disability and Health (IFC)‖ oleh Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian
Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia Dr. Marjuki, Msc.
2
menyajikan perspektif positif mengenai dunia disabilitas guna memberikan
persepsi yang benar bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan target hadirin
Majalah Diffa yang turut membidik pihak-pihak bukan penyandang
disabilitas, seperti individu atau anggota keluarga penyandang disabilitas,
organisasi dan industri terkait dunia disabilitas, serta institusi pendidikan yang
berkutat pada isu disabilitas (Damanik, 2013).
Kemunculan Majalah Diffa pun tidak lepas dari minimnya perhatian
media arus utama terhadap isu disabilitas. Sebelum Majalah Diffa hadir, tidak
ada media berskala nasional yang menghadirkan informasi tentang disabilitas,
dari perspektif disabilitas itu sendiri, secara menyeluruh. Padahal, pemenuhan
informasi yang tepat menyoal disabilitas merupakan hal penting dan
dibutuhkan oleh masyarakat guna meluruskan stigma negatif mengenai
penyandang disabilitas yang seringkali dianggap beban (Gunawan, 2010).
Jikapun ada pemberitaan mengenai disabilitas oleh media, hal tersebut hanya
berupa artikel ringan, seperti artikel berjudul ―UGM Rancang Mouse Khusus
Penyandang Disabilitas‖ yang termuat dalam Tempo online tanggal 29 Maret
2013 misalnya. Selain itu, pemberitaan-pemberitaan mengenai isu disabilitas
oleh media sebatas melihat disabilitas dari kerangka pikir masyarakat pada
umumnya. Sebagaimana Cooke dkk. (2000: 6) berpendapat, penyandang
disabilitas terkadang menjadi subjek berita, akan tetapi berita tersebut
cenderung memposisikan disabilitas dari perspektif non-disabilitas. Berbeda
dengan Indonesia, isu disabilitas telah menjadi sorotan tersendiri di luar
negeri. Terbukti dengan sejumlah media bertema disabilitas, seperti suratkabar
AbleNews di Amerika Serikat dan majalah Able Magazine, Posibility
Magazine, juga Ability Magazine di Inggris.
Keunikan Majalah Diffa sebagai pemantik ide baru dalam lingkup media
di Indonesia dibarengi dengan keunikan pada produknya. Majalah Diffa
memproduksi konten untuk „multi-platform‘ sebagai upaya memberikan
platform yang memfasilitasi kondisi khusus khalayak penyandang disabilitas.
Menurut Andriani (2013), aksesibilitas dalam bermedia merupakan isu yang
mencuat di kalangan internal disabilitas. Penyandang disabilitas kerap
3
mengalami kendala dalam mengakses produk media yang tidak responsif
terhadap kekhususan kondisi fisik mereka. Hal ini diperkuat oleh International
Labour Organization (ILO) Indonesia dalam reader kit-nya yang berjudul
Mempromosikan Pekerjaan Layak bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan
Pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilitas (2001: 10), bahwa United
Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD)
menyatakan aksesibilitas merupakan hal penting dalam memberikan
kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk dapat hidup secara mandiri dan
berpartisipasi penuh dalam kehidupan. Diantaranya aksesibilitas informasi dan
komunikasi, seperti akses terhadap internet, dokumentasi, atau informasi aural
(bahasa isyarat).
Pengertian multi-platform merujuk pada penyebaran konten melalui
beragam outlet seperti cetak, online, maupun audio-visual (Bennet dan
Strange dalam Doyle,2010: 3). Selain menerbitkan produk berupa majalah
cetak, tiap edisi Majalah Diffa turut disertai informasi berformat CD audio
sebagai media penyampaian pesan bagi penyandang disabilitas yang tidak
mampu mengakses informasi dalam bentuk visual. Majalah Diffa juga
menghadirkan versi online untuk memperlebar ruang komunikasi yang
diberikan pada khalayak. Penyebaran konten melalui multi-platform, kerap
melibatkan penciptaan teks ganda untuk meningkatkan kesesuaian konten
dengan cara pengirimannya, yang kerap diklaim menguntungkan khalayak
terkait dengan layanan inovatif, fleksibilitas tinggi, kendali yang dimiliki
khalayak atas bagaimana dan kapan ia mengakses media, serta kesempatan
yang lebih besar untuk berpartisipasi bagi khalayak.
Produksi konten untuk multi-platform memiliki pola yang berbeda dengan
produksi konten pada platform tunggal. Ia melibatkan kerjasama antardivisi
yang bertanggung jawab untuk masing-masing platform guna berbagi dan
mereproduksi konten inti menjadi konten yang disesuaikan dengan kekhasan
tiap platform. Para pekerja dalam media yang mengusung konsep multi-
platform dituntut untuk melakukan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan,
4
seperti mengubah transkrip wawancara menjadi naskah awal yang kemudian
diolah menjadi konten berformat audio atau video (Erdal, 2011: 2017).
Ciri khas itulah yang membangkitkan ketertarikan penulis untuk meneliti
keseluruhan proses produksi konten oleh Majalah Diffa, yang meliputi tahap
pengembangan, pra-produksi, produksi, serta pasca-produksi (Bignell, 2004:
136) dengan mempertimbangkan keistimewaan sifat multi-platform. Di
samping itu, klaim Majalah Diffa sebagai media disabilitas juga membuat
peneliti tertarik untuk mengetahui lebih detil tentang bagaimana kebutuhan
khalayak pembacanya (konsumen) diidentifikasikan dan kemudian
diaktualisasikan dalam konten berformat cetak, versi online, serta versi CD
audio.
Sejauh penelusuran peneliti terhadap penelitian terdahulu terkait isu
disabilitas, belum terdapat penelitian yang mengorelasikan isu disabilitas
dengan majalah. Penelitian-penelitian sebelumnya sebatas membahas
disabilitas dari segi kesehatan, ilmu psikologi, maupun pembahasan mengenai
sarana-prasarana material untuk mendukung penyandang disabilitas dalam
ilmu teknik. Adapun penelitian tentang disabilitas dan media yang peneliti
jumpai, telah dilakukan oleh R. Williams-Findlay dari University of Leeds2..
Dalam skripsi berjudul ‗Pemanfaatan Koleksi Digital Talking Book di
Perpustakaan Yayasan Mitra Netra, Jakarta‘, Ade Kristiani mengkaji tentang
perkembangan serta pemanfaatan digital talking book atau buku „berbicara‟
dalam wujud CD audio oleh pengunjung perpustakaan. Berbeda dengan
penelitian ini, yang membahas mengenai bagaimana internal media bertema
disabilitas memproduksi konten multi-platform sebagai respons terhadap
kebutuhan khalayaknya, yaitu penyandang disabilitas serta pihak-pihak terkait
isu disabilitas. Diharapkan, penelitian ini dapat menarik minat para penggerak
media di Indonesia untuk memberitakan disabilitas dari perspektif yang tepat
tanpa disertai stigmatisasi sebagaimana yang dilakukan Majalah Diffa sebagai
media yang mengusung tema disabilitas.
2 Penelitian tersebut berobjekkan isi pesan, yakni artikel-artikel dalam suratkabar The Time dan
The Guardian, yang dikomparasikan guna melihat bagaimana representasi disabilitas dalam
pemberitaan keduanya.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian akan mengeksplorasi
persoalan utama:
Bagaimana manajemen produksi konten multi-platform dilakukan
oleh Majalah Diffa sebagai media disabilitas?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan dari penelitian ialah mengetahui keseluruhan proses
produksi konten oleh Majalah Diffa sebagai majalah yang mengusung tema
disabilitas. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini dapat dispesifikasi sebagai
berikut:
1. Mengetahui pengidentifikasian kebutuhan khalayak, yakni penyandang
disabilitas maupun pihak-pihak terkait isu disabilitas, yang dilakukan oleh
Majalah Diffa.
2. Mengetahui tentang manajemen produksi konten multi-platform berupa
majalah cetak, versi online, serta versi CD audio sebagai respon atas hasil
pengidentifikasian kebutuhan khalayak oleh Majalah Diffa.
3. Mengetahui faktor pendukung serta faktor penghambat dalam manajemen
produksi konten multi-platform yang dialami Majalah Diffa sebagai media
bertema disabilitas.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis
Secara akademis, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai
referensi dalam mempelajari manajemen produksi konten majalah disabilitas
dan juga manajemen produksi konten untuk multi-platform. Berpijak pada
pengertian bahwa setiap internal media memiliki kekhasan tersendiri, maka
penelitian ini mampu menggambarkan keunikan produksi konten multi-
platform yang dilakukan oleh Majalah Diffa sebagai media bertema
disabilitas. Adapun manfaat-manfaatnya secara lebih terperinci, yaitu:
6
1. Memberikan penjabaran mengenai pengidentifikasian kebutuhan khalayak,
yang dalam kasus ini adalah penyandang disabilitas maupun pihak-pihak
terkait isu disabilitas.
2. Memberikan gambaran mengenai manajemen produksi konten multi-
platform oleh media guna merespons kebutuhan khalayaknya.
3. Mengetahui faktor yang menjadi penghambat dalam proses produksi pesan
secara multi-platform oleh media bertema disabilitas.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh Majalah
Diffa, dalam mengevaluasi praktik manajemen produksi konten multi-
platform yang telah dijalankan.
E. Kerangka Penelitian
1. Pengertian dan lingkup manajemen produksi konten media
Manajemen memiliki banyak artian. Menurut Oe Liang Lee dalam
Swastha dan Sukotjo (1993: 82), manajemen adalah ilmu dan seni
merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, mengoordinasi, serta
mengawasi tenaga manusia dengan bantuan alat-alat untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Stoner (1982: 9) menyatakan manajemen
merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan
pengendalian upaya anggota organisasi dan menggunakan semua sumber-
daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara
Handoko (1984: 10) berpendapat manajemen dapat didefinisikan sebagai
bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan, dan
mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan
personalia atau kepegawaian (staffing), pengarahan dan kepemimpinan
(leading), dan pengawasan (controlling).
Jika Stoner menganggap manajemen sebagai keseluruhan proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian, maka
7
Lee justru menitikberatkan manajemen sebagai bidang keilmuan sekaligus
seni yang mempelajari cara menerapkan proses-proses tersebut secara
ideal sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Berbeda dengan kedua
definisi sebelumnya, Handoko melihat manajemen sebagai perbuatan,
yakni menerapkan proses-proses terpapar, yang dilakukan oleh segenap
manusia untuk mencapai tujuan organisasinya. Meski demikian, terdapat
persinggungan antara ketiga pendapat ini. Ketiganya menyadari adanya
tahapan proses yang harus dijalani apabila hendak mewujudkan tujuan
organisasi.
Proses-proses bertahap yang memiliki beragam versi dari tiap pakar
tersebut diringkas oleh Fayol dalam Djuroto (2002: 96) menjadi empat,
yang disebut fungsi manajemen, yaitu planning, organizing, acting, dan
controlling yang kemudian disingkat menjadi POAC. Planning diartikan
sebagai penetapan tujuan, penetapan aturan, penyusunan rencana, dan
sebagainya. Organizing meliputi pembentukan bagian-bagian, pembagian
tugas, pengelompokan pegawai, dan lain-lain. Acting terbagi atas
melaksanakan tugas, memproduksi, mengemas produk, menjual produk,
dan selanjutnya. Controlling meliputi melihat pelaksanaan tugas,
menyeleksi produk, mengevaluasi penjualan, dan sebagainya. Beberapa
pakar seperti George (2006: 8) dan Stoner (1982: 9), memasukkan leading
atau directing dalam himpunan fungsi tersebut, yang berarti seorang
manajer harus mengarahkan dan mempengaruhi bawahannya,
menggunakan orang lain untuk melaksanakan suatu tugas tertentu.
Konsep manajemen diterapkan dalam banyak hal, diantaranya pada
kajian media, yang kemudian disebut dengan manajemen media. Menurut
Rahayu dalam Rahmitasari (2010:35), manajemen media mengkaji
sejumlah persoalan menyangkut fungsi manajemen, leadership, produksi
content, marketing, manajemen sumber daya manusia, manajemen
teknologi, budaya organisasi, dan sebagainya. Siregar dalam Rahmitasari
(2010:5) memandang manajemen media sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari bagaimana pengelolaan media dengan prinsip-prinsip dan
8
seluruh proses manajemennya dilakukan, baik terhadap media sebagai
industri yang bersifat komersial maupun sosial, media sebagai institusi
komersial, maupun sebagai institusi sosial.
Penelitian ini menggunakan dua pengertian di atas untuk memberikan
batasan konsep. Lebih spesifiknya, penelitian akan berfokus pada
manajemen produksi konten, berikut pengaplikasian fungsi-fungsi
manajemennya, di mana objek penelitian merupakan suatu organisasi
media, yakni Majalah Diffa, yang memiliki kekhususan sifat. Majalah
Diffa merupakan media komersial yang memiliki sifat sosial tinggi. Hal
tersebut dapat dilihat dari genrenya yang mengkhususkan diri pada isu
disabilitas.
Adapun poin-poin fungsi manajemen yang berbeda dari tiap pakar,
telah dikombinasikan oleh Albarran (2002: 21-23) untuk dijadikan
pedoman dalam menerapkan konsep manajemen oleh organisasi media.
Fungsi-fungsi inilah yang dijadikan pijakan dalam penelitian ini, yakni:
a. Planning (perencanaan)
Perencanaan meliputi penetapan tujuan organisasi dan pembagian
tugas kepada anggota, berikut pembagian perlengkapan penunjang
pekerjaan. Pada tahap perencanaan, tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang ditetapkan. Baik manajer maupun pekerja memiliki
kesempatan yang sama untuk berbagi ide dalam proses menetapkan
tujuan. Ada tiga kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan
tujuan, yaitu: (1) pencatatan secara tertulis atas ide-ide tentang tujuan
yang telah digagas, (2) penelaahan tujuan dengan menggunakan
beberapa perspektif, dan (3) pemberian tenggat waktu, kapan tujuan
tersebut harus tercapai. Ketiga kriteria tersebut akan membuat tujuan
yang ditetapkan bersifat konkret serta memiliki masa pengerjaan yang
spesifik.
Peralihan dari media tradisional ke media digital mengharuskan
perusahaan media mencanangkan perencanaan secara strategis.
Keberadaan majalah versi cetak masih memiliki nilai dan kemampuan
9
yang tinggi dalam menarik minat khalayak maupun pengiklan, akan
tetapi keberadaan media baru dalam bentuk platform-platform digital
memaksa perusahaan media untuk berinovasi guna menjangkau
khalayak yang telah bermigrasi ke media digital.
b. Organizing (pengorganisasian)
Fungsi pengorganisasian adalah menentukan tanggung jawab
masing-masing anggota untuk mencapai tujuan organisasi. Tiap
departemen bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing, di mana
perlu dilakukan perencanaan, penetapan anggaran, serta pembagian
kerja tiap anggota dalam departemen tersebut. Meskipun tiap
departemen mengorganisasi tanggung jawabnya sendiri, para manajer
antardepartemen tetap harus berkoordinasi satu sama lain supaya
tercipta lingkungan kerja yang bagus.
c. Motivating (memberikan motivasi)
Memotivasi pekerja untuk mencapai performa kerja yang tinggi
akan membantu suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Di sisi
lain, jika motivasi pekerja rendah, produktivitas akan menurun.
d. Controlling (pengontrolan)
Pengontrolan sebagai salah satu fungsi manajemen meliputi
beberapa hal, antara lain memberikan respons atas pekerjaan yang
telah dilakukan oleh para pekerja maupun para manajer pada
departemen yang berbeda. Respons bersifat positif sekaligus menjadi
motivasi bagi pekerja untuk melakukan pekerjaan secara lebih baik
pada masa mendatang. Memantau sejauh mana upaya pencapaian
tujuan organisasi serta membuat perubahan dalam lingkungan kerja
atas desakan situasi juga tercakup dalam fungsi controlling.
e. Facilitating (memfasilitasi)
Dalam fungsi ini, manajer harus berfungsi sebagai fasilitator yang
memberdayakan para pekerjanya dengan sumber daya yang
dibutuhkan sehingga mereka dapat menyelesaikan tugasnya. Sumber
10
daya yang dimaksud mencakup personil tambahan, uang, atau
peralatan.
f. Communicating (berkomunikasi)
Sebuah fungsi yang mencakupi seluruh area dalam manajemen
adalah komunikasi. Seorang manajer memiliki beberapa cara untuk
berkomunikasi dengan para pekerjanya, baik secara formal dengan
menggunakan media internal organisasi misalnya, ataupun secara
informal.
g. Negotiating (bernegosiasi)
Seorang manajer dalam organisasi media memainkan peran
sebagai negosiator dalam berbagai situasi, terutama saat proses
produksi akan berlangsung. Misal, melakukan negosiasi dengan
vendor peralatan teknis produksi guna mencapai kesepakatan harga
sewa.
Selanjutnya, membahas manajemen produksi konten media secara
mendalam. Menurut Priest dalam Albarran (2006: 40), manajemen
produksi adalah semua aktivitas atau proses untuk mewujudkan semua
produk sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen produksi
meliputi:
a. Merancang produk, di mana ditetapkan bentuk produk yang akan
dibuat atau dihasilkan, sehingga apa yang akan diproduksi atau
dihasilkan sesuai degan rencana yang telah ditetapkan.
b. Merancang proses pembuatan atau produksi (routing), semua aktivitas
yang diperlukan untuk menghasilkan produk, telah ditetapkan terlebih
dahulu sehingga semua aktivitas yang akan dilakukan dapat dihitung,
baik waktu yang diperlukan serta biayanya.
c. Merencanakan material, menentukan atau menetapkan bahan baku
yang diperlukan untuk dapat menghasilkan produk yang telah
ditetapkan.
d. Menjadwalkan proses produksi, menetapkan dan mengatur waktu yang
diperlukan bagi proses produksi.
11
e. Membagi pekerjaan dalam melaksanakan pembuatan atau produksi.
Semua pekerjaan dibagikan sesuai dengan kemampuan masing-masing
pekerja.
f. Menyerahkan pekerjaan atau dispatching, pekerjaan yang telah
ditetapkan diserahkan kepada yang memiliki kemampuan atau
bidangnya.
g. Melacak kemajuan, setiap waktu mesti diketahui kemajuan jalannya
gerak produksi, apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
h. Merevisi rencana, apabila ada kekeliruan atau rencana tidak dapat
diwujudkan maka segera diadakan perbaikan terhadap rencana yang
telah ditetapkan itu.
Peran manajemen dalam keseluruhan proses produksi konten
melingkupi beberapa tingkatan. Dalam konteks produksi konten pada
media elektronik, Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 180) memaparkan
tingkat-tingkat tersebut melalui tabel berikut:
12
Tabel 1. 1 Peran manajemen dalam tahap produksi
Management Roles in Each Production Stage
Production Stage Manager Activities
Development Planning, budgeting, green-lighting, shaping
through initial input and notes on scripts as
they are written and rewritten
Preproduction Budgeting, approving spending, and signing
contracts
Production Budgeting, shaping through notes on dailies
and approval process
Postproduction Budgeting, shaping through audience/ user
research and approval process
Predistribution Budgeting, planning, coordinating with
marketing efforts
Sumber: Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 180)
Meski tabel tersebut khusus menjelaskan tentang manajemen produksi
konten media elektronik, namun tahap-tahap yang dipaparkan mampu
menerangkan peran manajemen dalam proses produksi konten media
secara general. Tahap pengembangan (development) meliputi riset serta
pencarian ide oleh para pekerja kreatif. Semua ide ataupun gagasan yang
telah terkumpul, kemudian dibahas dalam rapat produksi atau rapat redaksi
untuk diputuskan ide terpilih yang akan dijadikan konten media.
Selanjutnya, dibuat rencana anggaran untuk pelaksanaan proses produksi.
Penetapan aturan yang akan diaplikasikan selama berlangsungnya proses
produksi serta penetapan tujuan yang ingin dicapai dari pengadaan proses
produksi juga terjadi dalam tahap pengembangan (development). Tahap
pra-produksi (prepoduction) merupakan perpanjangan dari tahap
pengembangan (development), yakni mengevaluasi rencana pengeluaran
supaya tidak melebihi batas anggaran yang diperkirakan kemudian
13
menyetujuinya, mempersiapkan hal-hal teknis yang dibutuhkan dalam
proses produksi seperti pembuatan naskah wawancara ataupun
menghubungi narasumber.
Tahap produksi (production) adalah tahap mewujudkan perencanaan,
yang telah diputuskan dalam tahap sebelumnya, melalui kegiatan teknis,
seperti pencarian informasi ke lapangan lalu dituangkan dalam bentuk
visual (naskah tertulis ataupun gambar) serta audio (rekaman). Dalam
tahap ini, para pekerja kreatif di bidang produksi melaksanakan tugasnya
masing-masing dan bersinergi satu sama lain untuk menghasilkan konten
dengan kualitas optimal. Rencana anggaran juga diaplikasikan dalam
pembiayaan kegiatan produksi. Tahap produksi juga mencakup proses
penyuntingan konten yang telah dibuat dalam tahap produksi, seperti
penyuntingan naskah tulisan dalam produksi konten media cetak ataupun
penyuntingan video dan/ atau audio dalam produksi konten media
elektronik. Pembuatan tataletak atau desain grafis sebagai penentu bentuk
fisik konten media turut dilaksanakan dalam tahap ini
Tahap pasca-produksi (postproduction) merupakan tahap evaluasi,
yakni pengoreksian kinerja serta mendata kendala-kendala yang dialami
selama proses produksi sehingga proses produksi pada periode selanjutnya
dapat lebih baik lagi. Tahap pra-distribusi kerap digabung dengan tahap
pasca-produksi. Tahap pra-distribusi penting bagi produksi konten media
elektronik seperti film, televisi, media online, ataupun radio yang
membutuhkan sarana teknologi yang kompleks untuk pendistribusian
kontennya, sedangkan untuk produksi konten media cetak, tahap ini
meliputi pembagian lokasi distribusi yang telah direncanakan sebelumnya
serta menyelaraskan kerja tim produksi dengan tim marketing yang
bertugas memasarkan produk fisik media.
14
2. Kriteria kualitas konten media
Terdapat dua komponen dalam suatu produk media, yakni komponen
non-material berupa konten serta komponen material berupa wujud fisik
untuk menjangkau khalayak. Menurut Harley yang dikutip oleh Rahayu
dalam Rahmitasari (2010: 43), media content bukan sebagai barang
(“good”) dan konsumsi bukanlah “what media audience do”. Hartley
melihat media content sebagai cultural atau symbolic goods, karena
produk media tidak hanya berupa produk fisik (kotak televisi, keping CD,
layar bioskop dan sebagainya) namun justru yang lebih pokok adalah
content, yang berada atau menyertai bentuk fisik tersebut, seperti musik,
screen narrative, printed story, dan sebagainya. Pendapat Hartley
menggambarkan bahwa produk utama dari organisasi media adalah konten
yang termuat pada bentuk fisik media.
Keistimewaan dari produk media seperti yang terpapar di atas,
menjadikan kualitas produknya sulit untuk dinilai. Masih mengutip
Rahayu dalam Rahmitasari (2010), produk media menuntut kreativitas dan
keahlian spesifik, harus memenuhi selera konsumen yang bervariasi, dan
juga mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. Penjabaran tersebut
dapat digunakan dalam melihat sejauh mana organisasi media
mengerahkan kemampuan dan kreativitasnya untuk memproduksi konten
yang memenuhi selera konsumen serta mematuhi regulasi. Pun, sejauh
mana selera konsumen terpenuhi dan sejauh mana peraturan dipatuhi.
Reca dalam Albarran (2006: 189) mengemukakan beberapa elemen
untuk menilai kualitas konten media, yaitu (1) fitur kualitas objektif
(berdasarkan definisi pakar), (2) fitur kualitas subjektif (berdasarkan
tingkat kepuasan khalayak atas terpenuhinya kebutuhan), dan (3) kualitas
sosial (kemampuan produk media dalam memenuhi perannya di bidang
budaya, politik, serta sosial sebagai wujud demokrasi).
McQuail (1992: 11-12) mengemukakan bahwa sebuah organisasi
media harus memenuhi nilai-nilai tertentu, seperti konsistensi, objektivitas,
maupun reliabilitas, meskipun pada kenyataannya banyak organisasi
15
media memproduksi konten yang bersifat subjektif dan condong pada
preferensi tertentu. Berikut pernyataannya:
―It has to adhere to the canons of social scientific enquiry,
especially consistency, objectivity, and reliability. This
commitment to objectivity has to be maintained, despite the fact
that most of the standards of performance which are applied to
the mass media in policy debates, within the framework sketched,
are normative, prescriptive, and, in the end, subjective- a matter
of preference, perspective, and value judgement.‖
Pemaparan McQuail di atas membahas mengenai performa suatu
organisasi media, di mana tercermin melalui konten yang diproduksinya.
Kualitas konten dinilai dari sejauh mana konten mampu konsisten,
objektif, serta reliabel. Lebih lanjut, nilai-nilai yang disebutkan McQuail
mengerucut pada standar nilai berita. Siregar (1992: 96) dalam Rahayu
(1998: 12) menjelaskan standar nilai berita mencakup timeliness (aktual),
proximity (dekat), prominence (terkenal), impact (berpengaruh),
magnitude (besar), conflict (konflik), oddity (aneh), dan pseodeovent.
Hiebert, Ungurait dan Bohn (1991: 411) dalam Rahayu (1998: 12), turut
menambahkan bahwa berita pun memiliki kualitas yang ditentukan oleh
objectivity, accuracy, balance dan fairness.
Kaidah-kaidah yang dipaparkan para pakar tersebut diaplikasikan
dalam menilai kualitas artikel berformat berita. Berita adalah hasil
rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan
(Abrar,2005: 2). Santana K (2005: 18-20), menjelaskan dalam menulis
berita, ada sepuluh elemen nilai berita yang harus diperhatikan, yakni:
i. Immediacy (timeliness), kesegaran peristiwa yang dilaporkan.
ii. Proximity, kedekatan peristiwa dengan pembaca dalam kehidupan
mereka.
iii. Consequence, mengubah kehidupan pembaca atau memiliki
konsekuensi.
iv. Conflict, mengandung konflik.
v. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi.
16
vi. Sex, mengandung unsur seks.
vii. Emotion (human interest), mengandung komedi atau tragedi.
viii. Prominence, mengandung nama-nama (orang) terkenal.
ix. Suspense, sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
x. Progress, perkembangan peristiwa yang ditunggu masyarakat.
Aktualitas (timeliness) adalah salah satu nilai utama dalam berita,
sedangkan konten majalah memiliki kekhususan sifat yang
membedakannya dari suratkabar, yakni tahan lama (timeless). Hal ini
dikarenakan produk fisik majalah yang tidak sekadar sebagai bacaan tetapi
juga benda koleksi. Kekhususan sifat majalah yang tidak mengejar
aktualitas dikukuhkan oleh Schement (2002: 568):
―At most basic level, a magazine provides information that may
be more in depth but less timely than that of, for example, a
neswpaper.‖
Meskipun demikian, tetap terdapat majalah yang bergenre berita atau
biasa disebut dengan news magazine. Lebih spesifik, menilik Majalah
Diffa yang khusus memproduksi konten mengenai isu disabilitas, maka
konten Majalah Diffa lebih cocok dikategorikan sebagai „informasi‟.
Menurut Davis (1974: 32), informasi ialah data yang telah diolah menjadi
sebuah bentuk yang berguna bagi penerimanya dan nyata, berupa nilai
yang dapat dipahami di dalam keputusan sekarang maupun masa depan.
Davis menerangkan bahwa informasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
i. Benar atau salah. Dalam hal ini, informasi berhubungan dengan
kebenaran terhadap kenyataan. Jika penerima informasi yang salah
mempercayainya, efeknya seperti kalau informasi itu benar.
ii. Baru. Informasi benar-benar baru bagi si penerima.
iii. Tambahan. Informasi dapat memperbarui atau memberikan perubahan
terhadap informasi yang telah ada.
17
iv. Korektif. Informasi dapat digunakan untuk melakukan koreksi
terhadap informasi sebelumnya yang salah atau kurang benar.
v. Penegas. Informasi dapat mempertegas informasi yang telah ada
sehingga keyakinan terhadap informasi semakin meningkat.
Membahas lebih lanjut tentang fitur kualitas objektif, peran pakar
untuk mendefinisikan kualitas konten media juga dapat dilakukan sesaat
setelah mereka mengonsumsi media, bagaimana penilaian dilakukan
dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang mereka yakini, sehingga hal
tersebut dapat mempengaruhi ekspektasi maupun pengalaman khalayak
(Eliashberg dan Sugan dalam Albarran,2006: 190).Tidak ada standar
umum mengenai nilai-nilai, yang dianut oleh seluruh pakar dalam menilai
kualitas konten media. Tiap pakar memiliki pemahaman masing-masing,
meski demikian, unsur-unsur normatif terkait kinerja media dari perspektif
teoritis dapat digunakan oleh pakar untuk menilai bagaimana upaya
organisasi media dalam mencapai tujuannya, misal dilihat dari seberapa
idealnya penerapankonsep manajemen dalam proses produksi sehingga
menghasilkan konten berkualitas baik.
Tingkat pemenuhan informasi yang dibutuhkan khalayak oleh media
menjadikannya sebagai salah satu kriteria penentu kualitas konten secara
subjektif. Kualitas konten ditetapkan melalui standar dalam internal
organisasi media, yang biasa dikenal dengan code of conduct, sehingga
organisasi medialah yang memperkirakan informasi-informasi yang
dibutuhkan oleh khalayak, sesuai dengan segmentasi yang telah
ditetapkan. Selanjutnya, sejauh mana tercukupinya kebutuhan khalayak
atas informasi dapat diketahui melalui penelitian terhadap kepuasan
khalayak.
Adapun penilaian terhadap kualitas konten media dalam lingkup sosial
dapat dilihat dari seberapa jauh media mampu menjalankan fungsi-fungsi
dasar melalui kontennya. Fungsi-fungsi dasar tersebut merupakan
idealisme yang melekat pada media. Effendy (2005: 149) menjelaskan
18
keempat fungsi dasar media, yang dapat diterapkan pula dalam menilai
majalah sebagai salah satu jenis media, yakni:
a. Fungsi menyiarkan informasi
Majalah berfungsi melayani kebutuhan khalayak akan informasi,
terlebih pada era global sekarang ini, di mana informasi sudah menjadi
kebutuhan sehari-hari. Konten-konten yang tersaji di dalamnya harus
bersifat informatif.
b. Fungsi mendidik
Selain berfungsi menyiarkan informasi, majalah sebagai salah satu
subjenis media juga memiliki fungsi mendidik. Dalam memainkan
fungsinya ini, ada majalah yang khusus menyajikan ruang ilmu
pengetahuan untuk menambah pengetahuan para pembacanya, namun
banyak pula majalah yang hanya memasukkannya secara implisit pada
berita-berita, artikel, atau tajuk rencana.
c. Fungsi menghibur
Secara umum, majalah memang mempunyai fungsi menghibur.
Terlebih bagi khalayak yang tingkat apresiasinya terhadap informasi
masih relatif rendah, majalah hanya semata-mata disikapi sebagai
media hiburan.
d. Fungsi mempengaruhi
Majalah mempunyai fungsi mempengaruhi. Melalui konten-konten
yang ada di dalamnya, majalah dapat mempersuasi khalayak untuk
berpikir sesuai dengan apa yang diinginkan.
Melengkapi kriteria-kriteria penilaian kualitas yang diajukan Reca,
Napoli dalam Albarran (2006: 275) menegaskan:
―Media firms are, of course, more than econoic identities (Cook,
1998; Napoli, 1997; Sparrow, 1999). Media firms also have the
ability – and, in some contexts, the obligation – to have a
profound impact on the political and cultural studies, opinions,
and behaviors of the audiences who consume their product
(Croteau & Hoynes, 2001).‖
19
Organisasi media merupakan suatu entitas ekonomi sekaligus institusi
yang memiliki kemampuan, juga kewajiban dalam beberapa konteks,
dalam memberikan pengaruh terhadap situasi politik, budaya, serta opini
maupun perilaku khalayak. Secara ekonomis, kualitas atas konten dapat
dinilai dari kemampuannya dalam mendatangkan keuntungan bagi
organisasi media yang memproduksinya. Sedangkan berdasarkan fungsi
normatif media, kualitas konten ditentukan dari kemampuannya dalam
memenuhi kepentingan khalayak atas informasi, yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi perilaku khalayak secara positif.
Napoli dalam Albarran (2006: 285) menambahkan:
―Marketplace pressures also may compel media managers to
neglect certain segments of the media audience – particularly
those segments that advertisers consider less valuable (Napoli,
2002). For instance, research has suggested that advertisers‘
higher valuations of wealthier readers led newspapers to skew
editorial content in ways that attract high-income readers and
intentionally repel lower-income readers‖ (Baker, 1994).
Napoli menggambarkan kecenderungan yang dilakukan media
komersial dalam menghadapi tekanan pasar, di mana pengelola media
mengabaikan segmen tertentu yang dianggap kurang bernilai bagi
pengiklan. Selanjutnya, Gandy, Rodriguez, Wildman, dan Karamanis
dalam Albarran (2010: 285) menyatakan bahwa tekanan untuk memenuhi
permintaan pengiklan atas segmen tertentu memaksa organisasi media
untuk mengabaikan kebutuhan dan kepentingan segmen khalayak
minoritas. Berikut kutipannya:
―A growing body of analysis of managerial decision making
suggests that the pressure to satisfy advertiser demand for
particular audience segments compels media firms to neglect the
needs and interests of minority audience segments.‖
20
3. Produksi konten multi-platform
Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak organisasi media yang
merespons pesatnya pertumbuhan internet serta kemunculan fenomena
konvergensi media dengan cara melakukan produksi dan pendistribusian
konten untuk multi-platform. Menurut Bennet dan Strange dalam Doyle
(2010: 3) multi-platform merupakan penyebaran konten melalui beragam
outlet, yang kadang kala, melibatkan penciptaan beberapa teks untuk
meningkatkan kesesuaian konten dalam berbagai modus pengiriman,
meskipun pada prakteknya tidak selalu demikian. Definisi tersebut
menyatakan bahwa produksi konten multi-platform melibatkan sejumlah
platform media, baik medium tradisional, seperti cetak, maupun platform
digital berupa online ataupun CD audio, di mana penciptaan masing-
masing kontennya diselaraskan dengan jenis platform pendistribusian.
Rupanya, pemaparan Bennet dan Strange senada dengan argumen
sejumlah ahli lainnya, antara lain Anderson, Caldwell, Johnson, dan
Roscoe dalam Champion dkk. (2012: 1):
“While adoption of a multi-platform approach is widespread
amongst media firms, what this actually means in terms of the
sort of content being supplied, the combination of delivery
platforms being used, the sorts of opportunities being pursued
and the level of investment and experimentation involved varies
widely.‖
Dalam petikan di atas, pengadopsian pendekatan multi-platform yang
dilakukan oleh organisasi media berupa penyediaan konten melalui
kombinasi platform-platform pendistribusian yang digunakan, disertai
tingkat investasi dan bervariasinya tingkat eksperimen terhadap
pengaplikasian pendekatan tersebut antara satu organisasi media dengan
organisasi media yang lain.
Sementara dalam penelitiannya berjudul Documentary in Multi-
platform Context, Sørensen (2012: 35) menjabarkan definisi multi-
platform dengan lebih terperinci, yakni:
“The terms ‗crossplatform‘ and ‗multiplatform‘ programmes and
programming are used interchangeably by academics and
21
industry professionals and refer to the migration of different
media content across media platforms, digital (TV radio,
Internet, iPad, computer, mobile phone) as well as non-digital
(e.g. printed newspapers, books, analogue TV, radio, computer).
In the interviews conducted for this thesis and the material I have
relied on for this thesis, it has very much been the case that
‗multiplatform‘, ‗crossplatform‘,‗360‘ and ‗transmedia‘ have
been used almost as synonyms.‖
Sørensen menjelaskan kedudukan istilah cross-platform dan multi-
platform, yang sering digunakan dalam membahas pembuatan konten di
beragam medium pada waktu bersamaan. Kedua istilah tersebut kerap
menimbulkan miskonsepsi bagi pembelajar di ranah Ilmu Komunikasi.
Ternyata, keduanya merupakan sinonim, di mana pengertiannya merujuk
pada perpindahan konten media yang berbeda di berbagai platform media,
baik media digital seperti TV, radio, internet, dan lain sebagainya maupun
media non-digital semisal suratkabar cetak ataupun buku. Pernyataan
Sørensen bahwa cross-platform memiliki artian yang serupa dengan multi-
platform.―I will use cross media production to refer to production of
content for more than one media platform within the same producer or
organization,‖ sebagaimana dikukuhkan oleh Erdal (2007: 52).
Penelitian ini sepakat dengan definisi-definisi yang dikemukakan oleh
para pakar tersebut. Namun untuk memperjelas konsep yang akan menjadi
pedoman riset, penelitian menggunakan term „multi-platform‘ dalam
melakukan studi kasus terhadap manajemen produksi konten yang
dilakukan oleh Majalah Diffa, di mana konten dibuat untuk tiga platform
sekaligus, yakni cetak, online, dan CD audio. Kata „multi‘ dalam „multi-
platform‟ menekankan adanya penggunaan lebih dari satu platform,
sehingga dinilai tepat untuk menggambarkan apa yang hendak diteliti.
Setelah menjabarkan pengertian multi-platform, penting pula untuk
memberikan penjelasan singkat atasistilah „platform media‟. Berikut
Petersen dalam Erdal (2008: 22) mendeskripsikan platform media,
―...media platforms in terms of the spatial and temporal dimensions of a
medium and its use defined by the interface.‖
22
Dalam pemahaman ini, suatu medium terdiri dari sebuah platform
yang penggunaannya terkait dengan dimensi ruang dan waktu serta
ditentukan oleh antarmuka. Kedudukan antarmuka menjadi sesuatu yang
penting sebab ketika media mengomunikasikan kontennya, ia akan
melakukannya melalui platform-platform media yang dimilikinya.
Berbeda dengan Petersen yang menjelaskan platform media dengan
memasukkan unsur informasi teknologi, Lüders (2007: 94) menerangkan
bahwa penggunaan idiom platform media berangkat dari „media forms‟,
istilah yang ia sarankan untuk menggantikan sebutan „media product‘.
Penggantian ini digunakan untuk menyesuaikan sifat dari media digital
yang dinamis. Sebutan media product identik dengan produk media
tradisional semata, seperti cetak. Sedangkan media forms memiliki artian
lebih luas yang mencakup produk-produk media dalam wujud digital.
Bahasan tentang produksi multi-platform erat kaitannya dengan
konvergensi. Beberapa ahli telah menjabarkan tentang konvergensi, salah
satunya Jenkins (2006):
―By convergence, I mean the flow of content across multiple
media platforms, the cooperation between multiple media
industries, and the migratory behavior of media audiences who
would go almost anywhere in search of the kinds of
entertainment experiences they wanted... In the world of media
convergence, every important story gets told, every brand gets
sold, every consumer gets courted across multiple media
platforms. Right now, convergence culture is getting defined top-
down by decisions being made in corporate boardrooms and
bottom-up by decisions made in teenagers‘ bedrooms. It is
shaped by the desires of media conglomerates to expand their
empires across multiple platforms and by the desires of
consumers to have the media they want where they want it, when
they want it, and in the format they want.‖
Jenkins menggambarkan konvergensi sebagai aliran konten di berbagai
platform media, kerja sama antara beberapa industri media, dan perilaku
khalayak yang dapat mengakses jenis informasi sesuai keinginan mereka
secara bebas berdasarkan format yang mereka kehendaki tanpa terikat
ruang dan waktu. Konvergensi turut menyentuh ranah ekonomi, di mana
23
organisasi media memperluas platform penyebaran kontennya guna
mendapatkan keuntungan berlipat. Pengertian senada juga diungkapkan
Quandt dan Singer dalam Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch (2009: 130-131),
meskipun mereka tidak mengaitkan konvergensi dengan ekonomi media,
melainkan sebatas pengadaan konten pada lebih dari satu platform dengan
memanfaatkan teknologi:
―The buzzword ‗convergence‘ has become a synonym for rapid
developments in media technology, markets, production, content,
and reception. The term broadly refers to the blending or
merging of formerly distinct media technology, mainly based on
digitization processes, though the issues extend beyond those
raised by the technology itself... Convergence approach has been
to produce parallel content for two media platform, of which one
is digital. ‖
Sekilas deskripsi tentang konvergensi media dinilai perlu dituangkan
dalam pembahasan pada penelitian ini, guna memberikan batasan konsep.
Penelitian hanya berpusat pada produksi konten di tiga jenis platform,
yakni cetak, online, serta CD audio, sehingga penggunaan istilah multi-
platform telah mampu menggambarkan fokus penelitian. Sementara term
konvergensi media memiliki artian lebih luas. Produksi konten secara
multi-platform menjadi salah satu ciri dari konvergensi media, namun
tidak selalu organisasi media yang melakukan produksi konten secara
multi-platform menerapkan keseluruhan nilai-nilai konvergensi.
Kekhasan dalam produksi konten untuk multi-platform, salah satunya,
terletak pada pemanfaatan teknologi digital. Digitalisasi dalam produksi
konten multi-platform memiliki nilai tambah, sebagaimana diterangkan
Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 44):
“When content is in digital form, it is easy to transport, copy, and
revise. Transferring the material over computer networks
facilitates the transfer of work between team members,
departments, vendors, and partner.‖
Menurut pernyataan tersebut, konten yang dibuat dalam format digital
mudah untuk dipindahkan, disalin, serta direvisi. Proses produksi pun
24
makin mudah dan ringkas karena konten dapat dikirimkan melalui
jaringan komputer oleh satu pekerja dengan pekerja lain dalam satu tim
ataupun pengiriman konten antardepartemen, pengiriman konten kepada
pihak vendor, maupun partner kerja lainnya. Kemudahan yang didapat
dalam penggunaan teknologi digital ini juga disinggung oleh Doyle (2010:
4),―the shared use of digital technologies in production, content
management, and distribution has made reversioning and reuse of content
easier than before.‖
Keistimewaan lain dari produksi konten multi-platform terletak pada
saat berlangsungnya pembuatan konten oleh para pekerja kreatif,
sebagaimana yang diterangkan Quandt dan Singer dalam Wahl-Jorgensen
dan Hanitzsch (2009: 131-132):
―With this cross-platform content production, journalists are
moving away from creating stories for a single medium; instead,
they are gathering information in a content pool and
disseminating it in a variety of formats, includingnot only the
Intern et but, increasingly, portable devices such as cellular
phones and PDAs.‖
Menurut pendapat Quandt dan Singer, yang secara khusus membahas
produksi konten berita untuk multi-platform, para jurnalis bekerja untuk
mencari informasi, mengubah informasi menjadi konten lalu
mengumpulkannya dalam suatu wadah penyimpanan. Kemudian konten-
konten yang telah dihimpun tersebut dibagi dalam berbagai format.
Pemaparan ini diperjelas dengan bagan berikut:
25
Bagan 1. 1 Alur Produksi Konten Multi-platform
Sumber: Quandt dan Singer dalam Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch (2009: 132)
Erdal selaku pengampu di bidang media dan jurnalisme University of
Oslo yang menitikkan kajiannya pada riset produksi konten cross-
platform, menjabarkan empat jenis alur pembuatan konten untuk multi-
platform dalam perspektif organisasi media dan praktik jurnalistik, yakni:
1. Single-reporter multi-platform journalism
Kategori ini melibatkan seorang reporter yang memproduksi
konten yang sama untuk lebih dari satu platform sekaligus. Konten
antar-platform hampir identik, yakni meliputi unsur verbal serta
penggunaan kata pada konten tiap platform.
2. Hard-drive multi-platform journalism
Kategori ini menggambarkan reporter tunggal menciptakan versi
baru dari konten yang sudah ada dari platform yang berbeda.
26
3. Intra-platform coordination
Praktik jurnalisme di mana reporter atau editor antar-platform
berbagi informasi dan mengoordinasikan upaya-upaya mereka dalam
meliput berita tertentu. Misal, reporter versi cetak mempublikasikan
suatu berita pada pagi hari, reporter versi radio akan berkoordinasi
dengan reporter versi cetak guna mendapatkan naskah berita versi
cetak yang kemudian diubah dalam format naskah audio untuk
disiarkan pada berita radio pada siang harinya.
4. Intra-platform production
Jenis ini merupakan yang paling kompleks diantara ketiga jenis
sebelumnya, di mana para reporter dari tiap platform bekerja sama
secara ekstensif dalam meliput berita tertentu, lalu berbagi bahan baku
konten (Erdal, 2011: 219-220).
Terdapatnya alur pembagian kerja dalam pembuatan konten multi-
platform diperkuat oleh pernyataan Quinn, Filak, Dupagne, dan Garrison
dalam Verweij (2009: 76):
―Quinn refers to a shared desk where the multi-media editors
assess each news event on its merits and assign the most
appropriate staff (Quinn and Filak, 2005: 32). Sometimes called
a ‗super desk‘, it consist of a circular multi-media assignment
desk where editors of the various platforms work side by side
(Dupagne and Garrison, 2006: 242). The next key factor is the
technology. Quinn mentions a central database, from which all
relevant materials can be extracted to tell the story in the most
appropriate way (Quinn and Filak, 2005:32). This implies there
must be an editorial or workflow system that feeds the database
and which must be able to handle print, audio, video and
photographs. Working in such a new journalistic production
environment demands a spesific attitude or mindset of the
journalists. To cultivate cooperation and resource sharing in
news-gathering operations is, according to Dupagne and
Garrison (2006: 242), a central element.‖
Menurut para pakar tersebut, para editor masing-masing platform
merumuskan berita apa yang penting diangkat dan menetapkan pembagian
tugas untuk para reporternya. Diperlukan database pusat, sebagaimana
istilah „content pool‘ yang dipakai oleh Quandt dan Singer, yang berfungsi
27
sebagai wadah pengumpul bahan baku konten yang relevan untuk
diekstraksi dalam platform-platform yang berbeda. Dibutuhkan adanya
kerja sama yang baik oleh anggota internal media sebagai sebuah
kesatuan, terlepas dari perbedaan jenis platform yang mereka tangani.
Dengan melakukan produksi konten secara multi-platform, organisasi
media dapat mengoptimalkan kreativitas sumber daya manusianya,
organisasi media dapat memanipulasi suatu konten dari sumber yang sama
dengan tampilan yang berbeda, misal dari perbedaan tataletak antara versi
cetak dengan online, tanpa perlu mengeluarkan biaya produksi tambahan
yang cukup besar. Organisasi media juga tidak perlu melakukan produksi
masing-masing platform dari awal proses, melainkan hanya pengemasan
ulang atas konten yang disesuaikan dengan jenis platform-nya, sehingga
keuntungan yang didapat pun akan berlipat. Argumen ini didukung oleh
pernyataan Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 177):
―Managers can use existing content that has already been
produced to increase revenues, without adding greatly to their
production budgets. Today‘s commercial market encourages
them to consider this strategy, because content intended for one
media platform is routinely formatted, packaged, and marketed
for one or more additional media platforms. The very nature of
digital content lends itself to shape- shifting- reuse, repackaging,
recreation- because it is easily copied, transcoded into other
digital formats, and redesigned into completely different content
types. This ease of re-fashioning content allows producers to
package existing content into other profitable products without
starting from scratch.‖
Kung dkk. (2008: 133) turut berpendapat demikian, bahwa produksi
konten untuk multi-platform menggarisbawahi karakteristik konten media
sebagai barang publik, di mana dengan biaya marjinal relatif rendah dapat
memungkinkan terjadinya eksploitasi secara komersil terhadap aset
intelektualitas yang dimiliki media melalui saluran-saluran pendistribusian
tambahan. Doyle (2013: 31) memiliki pemaparan yang mendukung dua
pendapat di atas, yakni:
28
―In theory, the impetus to adopt a multi-platform approach
towards supplying content seems to make a great deal of
economic sense, because it capitalizes on the public good
characteristics of media content. It allows fuller and more
thorough exploitation of intellectual property assets across
additional outlets at what may be a relatively low marginal
cost.‖
Selain kelebihan dari produksi konten untuk multi-platform terkait
nilai ekonomis yang menguntungkan organisasi media, penerapan
produksi konten untuk multi-platform memunculkan suatu isu negatif
terhadap lingkup internal media maupun konten yang diproduksi. Menurut
Anderson dan Bula dalam Huang dkk. (2006: 87), pengaplikasian konsep
multi-platform dalam produksi konten yang dilakukan organisasi media
menjadikan para jurnalis memiliki beban berlebih karena harus
memproses informasi-informasi yang lebih banyak tanpa adanya
kompensasi secara finansial. Dari segi konten, meskipun jumlah yang
disajikan pada khalayak bertambah begitu pula dengan kesempatan untuk
mengaksesnya, namun ada kecenderungan bahwa kualitas satu platform
akan lebih unggul daripada lainnya, dikarenakan penekanan biaya
produksi sehingga hanya platform paling diminati khalayak sajalah yang
mendapatkan perhatian lebih dari organisasi media. Sebagaimana
diterangkan oleh Johnson dalam Murray (2005: 431):
―However, whereas volumes of output have grown and
opporunities to access it have multiplied, wether this has brought
about an improved experience for audiences is open to question.
Because the construction of attractive multi-platform content
propositions can be expensive and because some forms of media
content are inherently much better suited towards diversified
distribution than others, the widespread adoption of a multi-
platform approach is inevitably contributing to the ascendance
of some forms of content at the expense of others.‖
Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi organisasi media
memilih produksi konten untuk multi-platform. Keadaan di mana khalayak
tengah dihadapkan pada beragam pilihan dalam mengakses informasi,
membuat organisasi media diharuskan untuk menciptakan lebih banyak
konten baru dengan format pengiriman yang lebih banyak pula (Bell,
29
2009: 4). Sejumlah organisasi media melakukan transisi menuju multi-
platform sebagai strategi defensifnya dalam mempertahankan posisi
pasarnya (Ofcom3, 2008: 118, 160). Kedua pendapat ini menyatakan
bahwa migrasi yang dilakukan oleh organisasi media menuju produksi
konten untuk multi-platform merupakan tindakan yang wajib dilakukan
sebagai wujud mempertahankan eksistensinya di tengah pesatnya
perkembangan teknologi dan internet yang menghadirkan semakin banyak
cara bagi khalayak untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.
Sedangkan Doyle (2010: 7) meyakini, daya tarik utama penerapan multi-
platform ialah kesempatan untuk terlibat dengan khalayak secara lebih
komprehensif dan efektif. Dalam hal ini, organisasi media memiliki
kemauan untuk berinteraksi dengan khalayak, baik untuk mempertahankan
relasinya dengan para pelanggan maupun untuk mendapatkan umpan balik
dari khalayak atas apa yang telah dikerjakan organisasi media tersebut.
Saluran digital dalam multi-platform yang memungkinkan adanya
interaksi dua arah dengan khalayak membuat kebutuhan penonton dapat
lebih dipahami lalu dipenuhi. Tantangan dalam produksi konten multi-
platform, salah satunya, adalah membangun relevansi antara media dengan
khalayak maupun pengiklan melalui sumber daya yang tepat. Oleh karena
itu, guna meminimalisasi hambatan yang muncul akibat tidak dapat
menjawab tantangan yang ada, dibutuhkan manajemen dalam proses
produksi konten untuk multi-platform.
Konsep manajemen yang diterapkan dalam proses produksi konten
untuk multi-platform meliputi tiga bagian pengertian, yakni manajemen
sebagai suatu proses pelaksanaan tujuan tertentu, manajemen sebagai
kreativitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen, serta
tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan penilaian
(Djuroto, 2004: 96).
3 Ofcom adalah sebuah regulator independen sekaligus ‗competition authority‘ yang bergerak pada
industri komunikasi di Inggris. Untuk mengakses informasi dari Ofcom, berikut alamat webnya:
www.ofcom.org.uk.
30
4. Kebutuhan khalayak pengguna media
Pada intensitas tertentu, kebutuhan memunculkan motivasi pada diri
manusia untuk memenuhinya. Saat manusia telah memenuhi kebutuhan
dasarnya, manusia akan mencari pemenuhan untuk kebutuhan lain yang
lebih tinggi tingkatannya. Salah satunya adalah kebutuhan atas informasi
yang merupakan perpanjangan dari kebutuhan aktualisasi diri. Manusia
akan terdorong untuk mencari informasi sebagai bekal pengetahuan
dirinya, karena itulah organisasi media memproduksi konten. McCombs
dan Becker dalam Djuroto (2002: 97) memaparkan ada tujuh sebab
mengapa manusia membutuhkan media, yakni:
a. Untuk mengetahui apa yang penting dan perlu baginya.
b. Untuk membantunya mengambil keputusan (media jadi bahan rujukan
sebelum mengambil keputusan).
c. Untuk memperoleh informasi sebagai bahan pembahasan.
d. Memberikan perasaan ikut serta dalam kejadian.
e. Memberikan penguatan atas pendapatnya.
f. Mencari konfirmasi atas keputusan yang diambilnya.
g. Memperoleh relaksasi dan hiburan.
Adapun menurut McQuail, Blumer, dan Brown, berdasarkan penelitian
mereka di Inggris dalam Severrin dan Tankard (2007: 356), memaparkan
kategori-kategori berikut sebagai motif manusia dalam menggunakan
media untuk memenuhi kebutuhan:
a. Pengalihan – pelarian dari rutinitas dan masalah, pelepasan emosi.
b. Hubungan personal – manfaat sosial informasi dalam percakapan.
c. Identitas pribadi atau psikolog individu – penguatan nilai atau
penambah keyakinan, pemahaman diri, eksplorasi realitas, dan
sebagainya.
d. Pengawasan – informasi mengenai hal-hal yang mungkin
mempengaruhi seseorang atau akan membantu seseorang dalam
menuntaskan masalah tertentu.
31
Terdapat kesamaan inti dari sebab-sebab yang dikemukakan para pakar
di atas. Mereka memandang kebutuhan manusia akan media didasari oleh
nilai-nilai yang terkandung dalam media, diantaranya informatif,
memberikan petunjuk dalam pengambilan keputusan maupun keyakinan,
memperluas wacana, serta menghibur. Akan tetapi, poin-poin yang
diutarakan McQuail, Blumer, dan Brown lebih rinci karena
memperhitungkan faktor psikologis individu, di mana informasi yang
disajikan media mampu membuat seseorang lebih percaya diri.
Penjabaran paling detail datang dari Katz, Gurevitch, dan Haas (1973).
Mereka membuat 35 daftar kebutuhan yang diambil dari literatur tentang
fungsi-fungsi sosial dan psikologis media, kemudian menggolongkannya
dalam empat kategori sebagai berikut:
a. Kebutuhan kognitif – memperoleh informasi, pengetahuan, dan
pemahaman.
b. Kebutuhan afektif – emosional, pengalaman menyenangkan, dan
estetis.
c. Kebutuhan integratif personal – memperkuat kredibilitas, rasa percaya
diri, dan status.
d. Kebutuhan integratif sosial – mempererat hubungan dengan keluarga,
teman, dan sebagainya (Severrin dan Tankard, 2007: 357).
Keempat kategori di atas tidak hanya memetakan kebutuhan-
kebutuhan manusia akan media secara mendetail, tetapi juga
mengelompokkannya ke dalam aspek-aspek khusus. Penelitian ini tidak
akan mengulik secara lebih jauh dari perspektif khalayak Majalah Diffa,
tetapi bagaimana Majalah Diffa menganalisis kebutuhan khalayaknya.
Meski demikian, sebab-sebab yang dipaparkan Katz, Gurevitch, dan Haas
dipilih sebagai indikator pembantu proses pencocokan pola studi kasus.
Membahas mengenai khalayak, dalam kajian media, kumpulan
manusia yang mengonsumsi produk media disebut khalayak, sedangkan
ilmu pemasaran melihatnya sebagai konsumen sekaligus target iklan, atau
sebagai konsumen potensial bagi produk dan jasa lainnya (Puustinen,
32
2006: 1). Pasar bagi industri media terdiri dari khalayak yang memiliki
berbagai jenis kebutuhan, keinginan, dan selera. Segmentasi diperlukan
sebagai pengetahuan dasar dalam memetakan kebutuhan dan keinginan
khalayak, lantas merumuskan produk yang akan dikeluarkan, bagaimana
kualitas produk tersebut, serta jenis khalayak yang hendak dituju.
Penggunaan dasar segmentasi yang tepat dapat menjamin keberhasilan
produk media itu sendiri. Kotler (2009: 253) mengklasifikasikan jenis-
jenis segmentasi sebagai berikut:
a. Segmentasi geografis
Segmentasi geografis membagi pasar menjadi unit-unit geografi
yang berbeda, seperti negara, propinsi, kabupaten, kota, wilayah,
daerah atau kawasan. Perusahaan dapat memasarkan produknya dalam
suatu, beberapa area, atau semua area sekaligus dengan
mempertimbangkan lokalitas.
b. Segmentasi demografis
Segmentasi demografis membagi pasar menjadi unit-unit yang
berbasis pada status khalayak seperti umur, jenis kelamin, status
pernikahan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, maupun kelas sosial.
Segmentasi jenis ini merupakan inti dari hampir keseluruhan jenis-
jenis segmentasi yang ada dikarenakan, (1) penentuan secara
demografis merupakan cara termudah dan relatif terlogis untuk
mengklasifikasikan khalayak dengan lebih presisif; (2) demografis
menawarkan cara pembiayaan paling efektif untuk menemukan dan
meraih segmen yang spesifik karena hampir keseluruhan data sekunder
mengenai populasi berdasarkan demografis, seperti sensus penduduk
atau profil khalayak dari media lainnya; (3) demografis
memungkinkan pemasar untuk mengidentifikasikan peluang-peluang
bisnis berdasarkan angka populasi, pendapatan, atau lokasi geografis;
dan (4) banyak perilaku konsumsi, tingkah laku, serta pola
pengeksposan media terkorelasi dengan demografis secara langsung
(Schiffman dan Kanuk, 2010: 76).
33
c. Segmentasi psikografis
Segmentasi psikografis membagi pasar menjadi unit-unit yang
mencakupi ciri-ciri kepribadian, antara lain gaya hidup, nilai-nilai
sosiokultural, dan keyakinan.
Dewasa ini, khalayak tidak lagi dipandang sebagai objek pasif yang
mendapat gempuran informasi satu arah dari media. Sebaliknya, khalayak
justru semakin aktif menentukan informasi apa yang dibutuhkan dan
melalui jenis media apa informasi tersebut didapat. Maka dari itu, tidak
mengherankan jika organisasi-organisasi media berlomba untuk
memuaskan khalayak. Bahkan menurut Straubhaar dan LaRose (2006: 72),
sebagian besar pemasukan yang didapat oleh majalah komersial berasal
dari khalayak yang membeli eksemplarnya. Pada 2003, pelanggan
menyumbang hampir delapan puluh enam persen dari total pendapatan
majalah.
Teori Uses and Gratifications dapat dipakai untuk melihat keaktifan
khalayak dalam bermedia. Menurut Littlejohn dan Foss (2008: 426), teori
ini khalayak dianggap sebagai khalayak yang aktif dan diarahkan oleh
tujuan. Khalayak sangat bertanggung jawab dalam memilih media untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Khalayak mampu bersikap kritis
dan apatis terhadap pesan yang disampaikan media, sehingga tidak mudah
terpengaruh olehnya. Menurut Papacharissi dan Rubin dalam Straubhaar
dan LaRose (2006: 401), untuk memenuhi kebutuhan khalayak yang
bermacam-macam, jenis-jenis media memuaskan kebutuha khalayak yang
beraneka pula. Misalnya, komunikasi interpersonal adalah hal yang
diharapkan khalayak ketika menggunakan internet.
Sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya akan informasi yang
beragam, khalayak mempunyai keleluasaan untuk mengakses media.
Pertama, khalayak mampu memilih jenis media yang berbeda untuk
kebutuhan yang berbeda, seperti menggunakan radio ketika ingin
mendengarkan lagu-lagu terbaru lantas berganti jadi menonton televisi saat
ingin melihat tayangan langsung pertandingan sepakbola. Kedua, khalayak
34
dapat memilih jenis media yang sama dari organisasi media yang berbeda
berdasarkan pemilihan konten yang dinilai terbaik menurut preferensi.
Dengan pengadopsian produksi konten untuk multi-platform oleh
organisasi media pada masa kini, khalayak dapat lebih leluasa menikmati
informasi melalui platform yang dirasa paling nyaman untuk diakses.
Penggambaran ini diperkuat oleh pernyataan Rahayu dalam Rahmitasari
(2010: 46), yakni:
“Karakteristik yang paling menonjol dari perilaku audiens
(konsumen media) dalam mengakses media adalag
kecenderungannya untuk mengintegrasikan beragam jenis
produk media, baik secara horizontal maupun vertikal. Mereka
berlangganan suratkabar, membeli majalah, tabloid, menonton
televisi, menonton film di bioskop, membeli CD/ VC/ DVD,
mengakses internet, dan seterusnya. Walaupun tidak pada
seluruh media, namun penggunaan beragam media, secara umum
dilakukan oleh konsumen.”
Memasuki bahasan yang lebih khusus dalam penelitian ini, yakni
tema disabilitas, penyandang disabilitas merupakan salah satu diantara
khalayak yang turut membutuhkan informasi secara berimbang dan non-
diskriminatif. Penyandang disabilitas atau sering disebut penyandang cacat
dalam istilah negatifnya, adalah golongan yang memiliki kemampuan
berbeda meski bukan berarti „tidak normal‟. Disabel berasal dari kata
disabilitas, yang kerap diartikan secara terminologi medis sebagai suatu
kecacatan yang membuat penyandangnya tidak aktif dan lemah, karena
artian tersebut, terbentuklah persepsi bahwa penyandang disabilitas sama
dengan korban yang membutuhkan bantuan, perlakuan khusus, dan
rehabilitasi. Perspektif seperti ini tidak merekognisi sisi individualitas,
agensi, serta kemampuan dari penyandang disabilitas (Stadler, 2006: 374).
The UK Disability Discrimination Act dalam Sourbati (2012: 576)
mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang dengan gangguan
fisik atau mental yang berpengaruh signifikan pada kemampuannya untuk
melaksanakan kegiatan sehari-hari secara jangka panjang. Sementara
Higgins, Scheer, dan Groce dalam Jaeger (2012: 17) memandang
35
disabilitas sebagai bagian dari spektrum masyarakat yang bervariasi, ada
dalam tiap kultur maupun wilayah geografis dalam kehidupan manusia.
Di tengah kalangan internal disabilitas, penggunaan istilah
„disabilitas‟ kerap diganti dengan „difabilitas‟. Difabilitas berasal dari kata
‗different ability‘ yang bermakna kekhususan kondisi fisik penyandang
disabilitas hanyalah perbedaan diantara keragaman identitas manusia, di
mana mereka tetap memiliki kemampuan yang dapat diunggulkan di
tengah masyarakat inklusif. Kata „difabel‘ dipakai oleh beberapa pihak
sebagai kata ganti subjek untuk membuang kata „penyandang‟. Meski
demikian, dalam Convention on the Rights of People with Disability
(CRPD) yang dikeluarkan PBB, „disabilitas‟ dan „penyandang disabilitas‟
masih merupakan istilah resmi yang dipakai untuk penulisan literasi ilmiah
(Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, 2014).
Berdasarkan observasi peneliti, sebagian besar organisasi yang
bergerak di dunia disabilitas masih menggunakan istilah „disabilitas‟,
diantaranya Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan
Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Penelitian ini
konsisten untuk memakai terminologi „disabilitas‟ dan „penyandang
disabilitas‟ sesuai konsensus CRPD, dengan definisi Higgins dkk. (2012)
sebagai perspektif dasar dalam memaknai disabilitas. Dikuatkan oleh cara
pandang Civil Rights Model dalam Kajian Disabilitas, yang mana
dijabarkan oleh Masduqi (2010: 24-28):
“Civil Rights Model (Model Hak Asasi Manusia) meyakini bahwa
penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki hak asasi setara
dengan warga lainnya. Model ini berorientasi untuk memperjuangkan hak
disabilitas agar mampu hidup mandiri dan bebas untuk memilih cara
hidupnya tanpa terbatasi kemampuan fisiknya.”
Disabilitas dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
sebagaimana Jaeger (2012: 22) membaginya menjadi disabilitas secara
sensorik dan kognitif. Disabilitas sensorik terkait dengan kemauan
melihat, kemampuan berbicara, kemampuan mendengar, maupun
36
kemampuan memobilisasi anggota tubuhnya. Disabilitas kognitif
merupakan gangguan pada pengolahan informasi otak manusia.
Idealnya, penyandang disabilitas membutuhkan konten media yang
mampu membuat mereka menjalani hidupnya dengan bermanfaat dan
menganggap kecacatan sebagai suatu identitas positif (Swain dan French,
2000: 578). Morlandsto juga Brune dalam von Krogh (2010: 81)
menyatakan, media perlu mengganti nilai-nilai yang selama ini dianutnya
dengan nilai-nilai yang ada di luar sistem media. Menggambarkan
disabilitas pada tiap pemberitaan bukan dari perspektif yang sama dengan
pandangan mayoritas. Di sisi lain, merekrut penyandang disabilitas
sebagai awak media juga dianggap salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mewakili keberadaan penyandang disabilitas secara positif dalam
media.
Penelitian Ofcom tentang tingkat pengaksesan media oleh
penyandang disabilitas di Inggris menunjukkan bawa lima puluh persen
penyandang disabilitas berusia enam puluh lima tahun memiliki akses
internet di rumah. Prosentase ini lebih kecil dibanding dengan jumlah
masyarakat Inggris di bawah enam puluh lima tahun yang memiliki akses
internet di rumah, yakni enam puluh dua persen. Adapun Consumer Expert
Group ( CEG ) melaporkan pada 2008, baru empat puluh dua persen dari
total tuna netra, tiga puluh dua persen dari keseluruhan tuna rungu, serta
tiga puluh enam persen dari jumlah penyandang gangguan mobilitas, yang
memiliki akses internet di rumah (CEG, 2009: 14).
Menurut data ONS untuk kuartal pertama tahun 2011 , terdapat empat
koma dua juta jiwa penyandang disabilitas dewasa yang belum pernah
menggunakan internet. Jumlah ini mewakili hampir setengah dari seluruh
non-pengguna internet. Secara keseluruhan, penyandang disabilitas
mengalami ketidaksetaraan dalam mengakses media baru, jika
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya (Sourbati, 2012: 577).
Di Indonesia sendiri, data mengenai jumlah penyandang disabilitas dapat
dilihat melalui hasil sensus pada 2010 silam yang dihimpun oleh Badan
37
Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI). Berikut tabel yang
memaparkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan usia
dan jenis serta tingkat kesulitan:
Tabel 1. 2 Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis
dan Tingkat Kesulitan (dalam Ribuan)
Sumber: Hasil sensus penduduk oleh BPS RI
(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=277&wid=0)
Idiom „media disabilitas‟ berasal dari „disability media‘, merupakan
istilah khusus bagi media, sebagian besar berupa majalah, yang
menjadikan disabilitas sebagai tema besar(Shakespeare, 1998: 152).
Berdasarkan penelusuran penulis pada dua majalah disabilitas asal Inggris,
yakni Able Magazine Edisi Mei/ Juni 2013 dan Pos‘ability Magazine Edisi
Juni/ Juli 2013, informasi-informasi tetap yang diangkat dalam konten
majalah merupakan informasi-informasi tentang teknologi pendukung
kehidupan penyandang disabilitas, olahraga bagi penyandang disabilitas,
maupun wawancara dengan seorang disabel yang dianggap sebagai tokoh
sukses sehingga dapat memberikan motivasi serta menjadi panutan bagi
khalayak sesama penyandang disabilitas. Kehadiran kedua majalah yang
mengusung genre disabilitas tersebut, sebagaimana Majalah Diffa di
38
Indonesia, merupakan suatu kebaruan dalam industri media khususnya
majalah. Dalam industri majalah, sebuah majalah yang muncul dengan
menarget segmentasi yang belum dilayani oleh majalah-majalah lain,
memiliki peluang untuk menjadi unggul. Seperti pernyataan Straubhaar
dan LaRose (2006: 73), ―...the magazine industry also one of the media
areas where a new entrant or competitor can best break in by appealing to
a new segment of the market that is not yet served by other magazines.‖
Menurut Andriani (2013), hal utama yang dibutuhkan penyandang
disabilitas dalam bermedia adalah kemudahan pengaksesannya, dan untuk
itu, diperlukan adanya modifikasi-modifikasi tertentu dalam pengemasan
konten oleh organisasi media. Bagi tuna netra ataupun penyandang
disleksia4 misalnya, pengubahan format konten cetak menjadi audio
menjadi sesuatu yang penting dan dibutuhkan. Keterjangkauan penyebaran
konten secara multi-platform oleh organisasi media, khususnya media
bertema disabilitas, dinilai cukup mampu mencakup beragam jenis
disabilitas. Pada awalnya, konten dalam platform CD audio diperuntukkan
bagi penyandang disleksia, namun kini dapat digunakan pula oleh tuna
netra. Meski demikian, konten dalam platform CD audio hanya dapat
diakses melalui komputer ataupun CD player, sehingga untuk
mengaksesnya kapan dan di mana saja, konten tersebut harus disalin
dalam format .mp3 sehingga dapat dimasukkan dalam telepon seluler
khalayak.
Pernyataan Andriani tentang perlunya platform yang menjawab
kebutuhan khusus penyandang disabilitas memiliki kausalitas dengan
realitas, masih terbatasnya akses bagi penyandang disabilitas dalam
bermedia selama ini. Tuna netra menghadapi kendala ketika membaca teks
berita online pada layar komputer atau tuna rungu yang merasa bahwa
konten audio dalam suatu situs internet masih sedikit sehingga asupan
4 Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh
kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
39
informasi mereka terbatas. Sebagaimana diteguhkan oleh pernyataan
Jaeger (2012: 2):
―Persons with visual impairments can face challenges in the lack
of compatibility of content with screen readers, the failure to put
text tags on graphics, the use of color schemes that negatively
impact users with color blindness, and numerous other
programming decisions that can shut out users with limited
vision and no vision. For persons with mobility impairments, the
barriers are created by incompatibility with alternate input
devices, cluttered layout, buttons and links that are too small,
and other important navigability considerations that can render
entire sites and functions unusable. For persons with hearing
impairments, the lack of textual equivalents of audio content can
cut off large portions of the content of a site, and interactive
webchats and other conferencing features may be impossible.‖
Lebih lanjut, Ellis dan Kent (2011: 2) mengungkapkan bahwa
pengembangan teknologi yang dilakukan oleh organisasi media dapat
membantu penyandang disabilitas untuk mengakses informasi berbasis
teks secara leluasa. Sebagai contoh, penggunaan tablet Braille dan audio
book yang memungkinkan tuna rungu dapat mendapatkan asupan
informasi sejajar dengan khalayak secara general. Berikut kutipannya:
“Technology has the potential to assist this group to access text-
based information — and indeed has in many instances. For
example, social networking and online blogs have allowed this
group to become more connected in public debate and interact
socially with others in the community. Braille tablets and audio
books likewise allow people with print impairments the
possibility of participating in the workforce. New technology is a
prominent component of social, cultural, and political change
with the potential to allow a fuller inclusion for people with
disability.‖
F. Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, terdapat batasan-batasan konsep permasalahan agar
tidak terjadi penyimpangan dalam mencari jawaban permasalahan sekaligus
mencegah terjadinya salah pengertian. Adapun batasan-batasan konsep
tersebut digambarkan melalui bagan sebagai berikut:
40
a. 4 kategori mengonsumsi media oleh
Kartz, Guurevitch, dan Haas (1973):
kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif,
kebutuhan integratif personal, dan
kebutuhan integratif sosial.
b. Jenis segmentasi menurut Kotler (2009-
253): geografis, demografis, dan
psikografis.
c. Teori Uses and Gratifications
Analisis
Kebutuhan
Khalayak
Produksi multi-platform Quand dan Singer
Kualitas
Konten
Fitur kualitas sosial – fungsi normatif – 4 fungsi dasar media (Effendy, 2005: 149) sebagai indikator: fungsi menyiarkan informasi, fungsi mendidik, fungsi menghibur, dan fungsi mempengaruhi.
MANAJEMEN PRODUKSI KONTEN MULTI-PLATFORM
OLEH MAJALAH DIFFA
41
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan desain
penelitian studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang
lebih cocok bila pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why,
bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-
peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada
fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin,
2008: 1). Objek dari studi kasus merupakan keadaan kelompok-kelompok
dalam masyarakat, lembaga-lembaga masyarakat, maupun individu dalam
masyarakat (Wiyarti & Mulya, 2007: 43).Pemilihan studi kasus sebagai desain
penelitian didasarkan pada penggunaan „bagaimana‟ dalam mempertanyakan
proses produksi konten untuk multi-platform dengan objek Majalah Diffa
sebagai sebuah institusi media. Adapun tipe studi kasus yang digunakan
adalah studi kasus deskriptif dengan kasus tunggal.
Tipe deskriptif digunakan karena peneliti tidak bertujuan menguji kasus
yang diteliti, melainkan memberikan gambaran kasus tersebut secara
mendetail sehingga dapat diketahui kelebihan serta kekurangan di dalamnya.
Keunikan dalam produksi konten Majalah Diffa berupa pembuatan produk
multi-platform berupa majalah cetak, versi online, maupun CD audio untuk
memudahkan penyandang disabilitas yang tidak mampu mengakses informasi
dalam bentuk visual, memenuhi syarat pengadaan studi kasus tunggal. Hal ini
tersebut dalam buku Studi Kasus: Desain dan Metode (Yin, 2008: 48), bahwa
rasional untuk kasus tunggal ialah kasus yang menyajikan suatu kasus ekstrem
dan unik. Kedua, studi kasus tunggal dapat dipilih untuk penyingkapan
kasus.Situasi ini muncul manakala peneliti mempunyai kesempatan untuk
mengamati dan menganalisis suatu fenomena yang tak mengizinkan penelitian
ilmiah (Yin, 2008: 49).Dalam hal ini, penelitian mengenai manajemen
produksi konten multi-platform oleh Majalah Diffa sebagai majalah disabilitas
belum pernah dilakukan sebelumnya. Lebih lanjut, berdasarkan wawancara
tertulis terhadap Jonna Damanik, Dewan Komisaris Majalah Diffa, pihak
42
Majalah Diffa memberikan respon positif serta kesempatan bagi peneliti untuk
melakukan penelitian terhadap Majalah Diffa.
1. Objek Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang terpapar, maka penelitian ini akan
mengamati suatu objek, yakni keseluruhan internal Majalah Diffa.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Peneliti akan melakukan observasi langsung terhadap proses
produksi konten yang dilakukan Majalah Diffa yang beralamat di
Maison Avenue MA.93, Cibubur. Observasi langsung dipilih karena
peneliti sebagai pengamat dari eksternal Majalah Diffa tidak akan
campur tangan ke dalam kasus yang akan diteliti. Observasi dilakukan
dengan mendokumentasikan hasil observasi, dalam bentuk tulisan
maupun foto, secara terstruktur sesuai dengan rentang waktu
pengamatan yang telah ditetapkan.
b. Wawancara
Salah satu sumber informasi studi kasus yang sangat penting ialah
wawancara (Yin, 2008: 108).Wawancara dilakukan pada multi-
responden, antara lain Jonna Damanik selaku general manager,
FX.Rudy Gunawan selaku pemimpin redaksi, Nestor Rico Tambunan
selaku kepala editor, Luthfi Anandika selaku reporter dan admin Web,
Sigid selaku fotografer, serta Mila Kamil selaku editor audio.
Wawancara dilakukan menggunakan wawancara terfokus, di mana
responden diwawancarai dalam waktu yang pendek (Yin, 2008: 109).
c. Dokumentasi
Dokumentasi yang dimaksud berupa dokumen administratif
(proposal, laporan kegiatan, laporan tahunan,serta laporan lain yang
dimiliki divisi redaksional Majalah Diffa); berbagai buku dan laporan
penelitian yang berhubungan dengan tema penelitian ini sehingga
dapat digunakan sebagai data pendukung; artikel di media serta artikel
43
di internet; dan bahan-bahan lain yang dapat dipertanggungjawabkan
dari segi sumber maupun validitasnya.
3. Analisis Data
Adapun keseluruhan prosedur pengumpulan hingga penganalisisan
data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah:
a. Menggunakan multisumber bukti
Menggunakan multisumber bukti yang didapat melalui teknik
pengumpulan data, yakni observasi, wawancara, maupun
dokumentasi.Bukti-bukti tersebut kemudian diidentifikasi guna
menyesuaikan tipe bukti yang relevan dengan aspek dari kasus yang
diteliti.
b. Melakukan pengembangan data dasar
i. Mencatat data-data dasar yang didapat dari wawancara, observasi,
maupun analisis dokumen. Catatan-catatan tersebut dibagi ke
dalam judul-judul pokok untuk mempermudahkan
pengidentifikasian catatan.
ii. Mengumpulkan dokumen-dokumen sebagai bukti sekunder.
iii. Mengumpulkan maupun mengorganisasikan bahan-bahan tabulasi,
baik yang terkumpul dari situasi yang akan diteliti ataupun yang
diciptakan oleh peneliti sendiri.
iv. Membuat narasi unruk mengintegrasikan bukti-bukti yang telah
didapat dengan fakta-fakta masalah serta interpretasi sementara
peneliti.
c. Memelihara dan menetapkan rangkaian bukti
d. Mengikuti asal-muasal bukti sejak dari pertanyaan awal penelitian
hingga konklusi akhir studi kasus.
e. Melacak ulang proses penelitian. Melihat apakah laporan penelitian
sudah memuat sifat yang efisien tentang porsi-porsi yang relevan dari
data dasar studi kasus. Kedua, data dasar tersebut hendaknya
menyatakan bukti aktual dan menunjukkan keadaan di mana bukti itu
dikumpulkan. Ketiga, keadaan ini hendaknya konsisten dengan
44
prosedur yang spesifik dan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam
protokol studi kasus.
f. Menganalisis data
Menurut Yin (2006: 133), analisis bukti (data) terdiri atas
pengujian, pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengombinasian
kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian.
Dalam penelitian ini, strategi analisis yang digunakan adalah
penjodohan pola, yakni teknik membandingkan pola yang didasarkan
atas empiri dengan pola yang diprediksikan.