Upload
trinhkhanh
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai teori-teori yang akan digunakan, maka
dalam bab ini akan diuraikan tentang experiential marketing, brand Image, brand trust, dan
brand loyalty.
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Experiential Marketing
Experiential marketing menurut Kartajaya (2004, p163) adalah suatu konsep
pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal dengan
menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan
servis.
Experiental Marketing menunjukkan bagaimana menciptakan suatu produk tidak
hanya menawarkan manfaat fungsional, tetapi juga manfaat emosional yang justru bukan
diciptakan oleh si pembuat , melainkan pengalaman yang dinikmati sesama rekan
pengunjung (Sumardy, 2009). (http://www.republika.co.id)
Experiential is defined as “a fusion of non-traditional modern marketing practices
integrated to enchance a consumer’s personal and emotional association with a brand”, inti
kutipan itu experiential marketing merupakan perpaduan praktek non-traditional marketing
yang diintegrasikan untuk meningkatkan pengalaman pribadi dan emotional customer yang
berkaitan dengan merek.
(http://agelessmarketing.typepad.com/ageless_marketing/2005/exactly_what_is.html)
Definisi experience menurut Schmitt (1999, p60) “Experiences are private events
that occur in response tosome stimulation (e.g. as provided b ymarketing efforts before and
after purchase)” yang berarti pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi
8
dikarenakan adanya stimulus tertentu (misalnya usaha yang diberikan oleh pihak pemasar
sebelum dan sesudah pembelian barang atau jasa).
Menurut Kartajaya (2003, p165-170) Experiential Marketing “ Pada dasarnya adalah
upaya untuk menciptakan berbagai pengalaman yang menyenangkan dengan konsumen
sehingga mereka cenderung berpihak kepada brand kita seperti layaknya seorang wanita
akan setia kepada seseorang yang mempunyai cerita dan kenangan dengan dirinya”.
Importantly, the idea of experiential marketing reflects a right brain bias because it is
about fulfilling consumers’ aspirations to experience certain feelings – comfort and pleasure
on one hand, and avoidance of discomfort and displeasure on the other. Inti dari kutipan ini
menyatakan bahwa experiential marketing sangat penting dalam merefleksikan adanya bias
pada otak kanan karena menyangkut aspirasi konsumen yang disertai dengan perasaan,
kenyamanan, dan di satu sisi dan menghindari ketidaknyamanan dan ketidaksenangan disisi
lainnya.
(http://agelessmarketing.typepad.com/ageless_marketing/2005/01/exactly_what_is.html)
Menurut Wong (2005, p11), Pengalaman merupakan sebuah alat yang membedakan
produk atau jasa. Tidak dapat disangkal bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi
produk dan jasa maka penciptaan Product Differentiation sangatlah sulit, bahkan kadang kala
tidak mungkin dilakukan. Dengan kematangan sebuah produk maka kompetisi menjadi
sangat ketat Karena para kompetitor menawarkan core product dengan fungsi dan fitur yang
sama. Oleh karena itu hanya ada sedikit perbedaan yang bisa diciptakan.
Menurut Malcolm Tatum ( 2008 ) Experiential Marketing ialah suatu konsep yang
menggabungkan elemen emosi, logika dan keseluruhan proses berpikir lalu kemudian
menguhubungkannya kepada konsumen. Tujuan dari Experiential Marketing ialah untuk
membangun hubungan dimana konsumen merespon produk yang ditawarkan berdasarkan
emosi dan tingkat pemikiran mereka.
9
Dengan mempertimbangkan berbagai macam variasi dari panca indera yang dimiliki
oleh seseorang, Experiential Marketing mencari tempat yang khusus dalam benak konsumen
untuk menarik perhatian mereka dimana dilakukan dengan mempengaruhi alam pikir mereka
mengenai kenyamanan dan kesukaan apa yang mereka idamkan. Dengan kata lain, para
marketer harus berusaha merenggut dan mempengaruhi pola pikir konsumen yang menjadi
target pasar mereka.
2.1.1.1 Karakteristik Experiential Marketing
Pendekatan pemasaran experiential marketing merupakan pendekatan yang
mencoba menggeser pendekatan pemasaran tradisional, pendekatan non tradisional ini
menurut Schmitt (dalam Rahmawati, 2003, p111) memiliki 4 (empat) karakteristik yaitu:
1. Fokus pada pengalaman konsumen
Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang
memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan relasional yang
menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman tersebut dapat
menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang
mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya.
2. Menguji situasi konsumen
Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk
dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari
pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut.
3. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi
Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan
juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat
keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang
serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif.
10
4. Metode dan perangkat bersifat elektik
Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik.
Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap
situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Pada Experiential
Marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal perusahaan saja, melainkan lebih sebagai
pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada
konsumen terhadap perusahaan dan merek tersebut.
Pendekatan Experiential Marketing juga terdapat karakteristik yang dominan yaitu:
1. Mengutamakan pengalaman konsumen, baik pengalaman panca indera, pengalaman
perasaan, dan pengalaman pikiran.
2. Memperhatikan situasi pada saat mengkonsumsi seperti keunikan lay out, pelayanan yang
diberikan, fasilitas-fasilitas yang disediakan.
3. Menyadari bahwa konsumen adalah mahkluk rasional dan sekaligus emosional,
maksudnya bahwa konsumen tidak hanya menggunakan rasio tetapi juga mengikut
sertakan emosi dalam melakukan keputusan pembelian.
Adapun pergeseran dari pendekatan pemasaran tradisional ke pendekatan
pemasaran experiential terjadi menurut Schmitt (dalam Rahmawati, 2003, p112) karena
adanya perkembangan tiga faktor di dunia bisnis, yaitu:
1. Teknologi informasi yang dapat diperoleh di mana-mana sehingga kecanggihan-
kecanggihan teknologi akibat revolusi teknologi informasi dapat menciptakan suatu
pengalaman dalam diri seseorang dan membaginya dengan orang lain dimanapun berada.
2. Keunggulan dari merek, melalui kecanggihan teknologi informasi maka informasi
mengenai brand dapat tersebar luas melalui berbagai media dengan cepat dan global.
Ketika brand atau merek memegang kendali, suatu produk atau jasa tidak lagi
sekelompok fungsional tetapi lebih berarti sebagai alat pencipta experience bagi
konsumen.
11
3. Komunikasi dan banyaknya hiburan yang ada dimana-mana yang mengakibatkan semua
produk dan jasa saat ini cenderung bermerek dan jumlahnya banyak.
2.1.1.2 Modul Stratregi Experiential (Strategic Experiential Modules)
Merupakan modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis
pengalaman bagi konsumen. Menurut pendapat Schmitt (dalam Kartajaya, 2006, p228)
bahwa Experiential marketing dapat dihadirkan melalui 5 (lima) unsur yaitu yaitu panca
indera (sense), perasaan (feel), cara berpikir (think), kebiasaan (act) dan pertalian atau
relasi (relate). Hal ini digunakan untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi
konsumen.
• Panca Indera (Sense)
Sense menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23). merupakan tipe
experience yang muncul untuk menciptakan pengalaman panca indera melalui mata, telinga,
kulit, lidah dan hidung. Sense marketing menurut Kartajaya (dalam Amir Hamzah, 2007, p24)
merupakan salah satu cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui pengalaman yang
dapat diperoleh konsumen lewat panca indera (mata, telinga, lidah, kulit dan hidung) yang
mereka miliki melalui produk dan servis. Lebih lanjut Kartajaya (2006, p228) menyebutkan
bahwa sense artinya panca indera yang merupakan pintu masuk ke seorang manusia harus
dirangsang secara benar dengan menggunakan teknik multy-sensory, yang penting harus
dijaga konsistensi pesan yang ingin disampaikan.
Pada dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh pelaku usaha dapat
berpengaruh positif maupun negatif terhadap loyalitas. Mungkin saja suatu produk dan jasa
yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera konsumen atau mungkin juga
konsumen menjadi sangat loyal, dan akhirnya harga yang ditawarkan oleh produsen tidak
menjadi masalah bagi konsumen. Kelima indera yang dirangsang ini diharapkan bisa
12
membawa masuk suatu pesan yang solid dan terintegrasi. Pada saat konsumen datang ke
salon, mata melihat desain lay out yang menarik, hidung mencium aroma terapi, telinga
mendengar alunan musik yang menghibur dan kulit merasakan kesejukan AC.
Dilihat dari pengertian di atas, dalam penelitian ini sense marketing yaitu emosi/
pengalaman yang didapat oleh konsumen setelah mengkonsumsi produk atau servis yang
dilihat dari aspek atau hal-hal yang dapat ditangkap dan dirasakan kemudian merangsang
panca indera untuk menerima pesan yang disampaikan oleh produsen.
• Perasaan (Feel) Marketing
Feel Marketing menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23) ditujukan
terhadap perasaan dan emosi konsumen dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang
dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan
dan kebanggaan. Feel menurut Kartajaya (2004, p164) adalah suatu perhatian-perhatian
kecil yang ditunjukkan kepada konsumen dengan tujuan untuk menyentuh emosi pelanggan
secara luar biasa. Kartajaya (2006, p228) menambahkan bahwa dalam mengelola perasaan
ini, ada dua hal yang mesti diperhatikan, yaitu mood dan emotion. Seorang pemasar yang
berhasil apabila dapat membuat mood dan emotion si pelanggan sama dengan apa yang
diinginkannya.
Feel marketing merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi experientaial
marketing. Feel dapat dilakukan dengan servis dan layanan yang bagus, serta keramahan
pelayan atau karyawan. Agar konsumen mendapatkan feel yang kuat terhadap suatu produk
atau jasa, maka produsen harus mampu memperhitungkan kondisi konsumen dalam arti
memperhitungkan mood yang dirasakan konsumen. Kebanyakan konsumen akan menjadi
pelanggan apabila mereka merasa cocok terhadap produk atau jasa yang ditawarkan, umtuk
itu diperlukan waktu yang tepat yaitu pada waktu yang tepat yaitu pada waktu konsumen
dalam keadaan good mood sehingga produk dan jasa tersebut benar-benar mampu
13
memberikan memorable experience sehingga berdampak positif terhadap loyalitas
pelanggan. Feeling yang bagus akan membuat pelanggan mampu berpikir positif.
Pelayanan yang memuaskan sangat diperlukan termasuk didalamnya keramahan dan
sopan santun karyawan, pelayanan yang tepat waktu, dan sikap simpatik yang membuat
pelanggan merasa puas sehingga mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian ulang
produk atau jasa yang ditawarkan di masa yang akan datang.
Berdasarkan dari pengertian-pengertian di atas, dalam penelitian ini feel marketing
merupakan upaya dari pihak pemasar atau perusahaan untuk mengikat emosi dari konsumen
melalui perhatian-perhatian kecil untuk membentuk suasana hati dan emosi yang
menyenangkan bagi konsumen agar sama atau sesuai dengan yang diharapkan pemasar.
• Think Marketing
Think menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23) merupakan tipe experience
yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen
untuk berfikir kreatif. Think marketing menurut Kartajaya (2004, p164) adalah salah satu
cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman
(experience) dengan melakukan cuztomization secara terus-menerus.
Think menurut Kartajaya (2006, p229) dibagi menjadi dua, yang pertama divergent
thinking atau pola pikir menyebar, dan yang kedua adalah convergent thinking atau pola
pikir menyatu. Ketika pelanggan sedang mencari beberapa alternatif, inilah yang disebut
divergent thinking. Kemudian ketika pelanggan sudah mulai mengevaluasi untuk kemudian
menyempitkan alternatif dan menyatukan pilihan, itulah yang dimaksud convergent thinking.
Kedua pilihan itu boleh diberikan sama-sama sekaligus kepada pelanggan. Ketika pelanggan
masuk toko, pelanggan dihadapkan pada pilihan produk atau servis yang diberikan,
kemudian pelanggan diharapkan mengkombinasikan pilihannya sendiri untuk menentukan
dan menikmati kombinasi pikiran pelanggan tersebut.
14
Berdasarkan dari definisi-definisi di atas, kesimpulan menurut penulis think marketing
berupa ajakan kepada konsumen untuk berperan aktif bersama produsen dalam
memecahkan masalah yang bertujuan untuk mempengaruhi pelanggan agar terlibat dalam
pemikiran yang kreatif. Hal ini dilakukan melalui penyediaan produk atau servis yang
diberikan kepada pelanggan kemudian pelanggan diminta untuk berpikir kreatif dalam
menentukan produk atau servis yang akan dibelinya.
• Act Marketing
Act menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23) merupakan tipe experience
yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen.
Act Marketing menurut Kartajaya (2004, p164) adalah salah satu cara untuk membentuk
persepsi pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan. Act menurut Kartajaya
(2006, p229) adalah tindakan dari konsumen karena pengaruh luar dan opini dalam dari
pelanggan.
Act marketing ini memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan ketika act
marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup pelanggan maka akan berdampak
positif terhadap loyalitas pelanggan karena pelanggan merasa bahwa produk atau jasa
tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya. Akan tetapi sebaliknya juga dapat
berpengaruh negatif apabila pelanggan merasa produk atau jasa tidak sesuai dengan gaya
hidupnya.
Seorang pemasar dalam hal membentuk act dari pelanggannya agar pelanggannya
tersebut memperoleh pengalaman tak terlupakan (memorable experience) adalah dengan
melakukan pengaruh eksternal untuk digabungkan dengan kondisi feel dan think yang ada di
dalam diri pelanggan untuk menjadi suatu aksi.
Dilihat dari pengertian di atas penulis menyimpulkan act marketing dapat berupa
bentuk atau desain yang dibuat dengan menggabungkan pengaruh eksternal dengan kondisi
15
feel dan think sedemikian rupa yang bertujuan untuk menciptakan tindakan yang memberi
pengalaman bagi konsumen dalam hubungannya pengaruh yang diberikan dari bentuk fisik
produk atau servis yang dirasakan kemudian hal itu mempengaruhi kebiasaan, gaya hidup
dan interaksi pelanggan dengan orang lain.
• Relate Marketing
Relate menurut Schmitt (dalam Amir Hamzah, 2007, p23) merupakan tipe experience
yang digunakan untuk mempengaruhi pelanggan dan menggabungkan seluruh aspek, sense,
feel, think dan act serta menitik beratkan pada penciptaan persepsi positif dimata pelanggan.
Relate marketing menurut Kertajaya (2004, p175) adalah salah satu cara membentuk atau
menciptakan komunitas pelanggan dengan komunikasi.
Relate marketing dapat memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan
ketika relate marketing mampu membuat pelanggan masuk dalam komunitas serta merasa
bangga dan diterima. Sebaliknya relate marketing dapat memberikan pengaruh negatif
terhadap loyalitas pelanggan ketika relate marketing tidak berhasil mengkaitkan individu
dengan apa yang ada di luar dirinya maka konsumen tersebut tidak akan mungkin loyal.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dalam penelitian ini relate marketing adalah
penggabungan aspek sense, feel, think dan act dengan maksud untuk mengkaitkan individu
dengan apa yang diluar dirinya dan mengimplementasikan hubungan antara orang lain dan
kelompok sosial lain sehingga mereka bisa merasa bangga dan diterima di komunitasnya. Hal
ini bisa terwujud dimana produsen menciptakan relate antara pelanggannya dengan kontak
langsung baik telepon maupun kontak fisik, diterima menjadi salah satu bagian dalam
kelompok tersebut atau menjadi member sehingga membuat konsumen menjadi senang dan
tidak segan untuk datang kembali. Sebaliknya bila hal tersebut tidak terjadi dalam arti
konsumen merasa terabaikan, maka konsumen akan berfikir ulang untuk datang kembali.
16
2.1.1.3 Key Experiential Provider (ExPross)
Kotler & Keller (2006, p.229) mengutip pernyataan Schmitt bahwa pengalaman
pelanggan dapat dilakukan melalui experience providers (sarana/alat yang
memberikan/menyediakan pengalaman bagi pelanggan). Strategi ini mencakup :
1. Communications: iklan, public relations, laporan tahunan, brosur, newsletters dan
magalogs.
2. Visual/ verbal identity : nama merek, logo, signage, kendaraan sebagai transportasi.
3. Product presense : desain produk, packaging, point-of-sale displays.
4. Co-branding : event marketing, sponsorships, alliances & partnership (kemitraan),
licencing (hak paten), iklan di TV atau bioskop.
5. Environments : retail and public spaces, trade booths, corporate buildings, interior kantor
dan pabrik.
6. Web sites and electronic media : situs perusahaan, situs produk dan jasa, CD-ROMs,
automated emails, online advertising, intranets.
7. People : salespeople, customer service representtatives, technical support/repair providers
(layanan perbaikan), company spokepersons, CEOs dan eksekutif terkait.
2.1.1.4 Manfaat Experiential Marketing
Fokus utama dari suatu Experiential Marketing adalah pada tanggapan panca indra,
pengaruh, tindakan serta hubungan. Oleh karena itu suatu badan usaha harus dapat
menciptakan experiential brands yang dihubungkan dengan kehidupan nyata dari konsumen.
Dan Experiential Marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada
beberapa situasi tertentu. Ada beberapa manfaat yang dapat diterima dan dirasakan suatu
badan usaha menurut pandangan Schmitt (1999, p.34) apabila menerapkan Experiential
Marketing antara lain:
(a) to turn around a declining brand
17
(b) to be differentiate a product from competition
(c) to create an image and identity for a corporation
(d) to promote innovation
(e) to induce trial, purchase and the most important, loyal consumption
yang kurang lebih memiliki arti (a) untuk membangkitkan kembali merek yang
sedang merosot, (b) untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing, (c) untuk
menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan, (d) untuk mempromosikan inovasi, (e)
untuk membujuk percobaan, pembelian dan loyalitas konsumen.
(http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/08/experiential-marketing-pengertian.html)
2.1.2 Brand Image
Brand image adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk di benak konsumen.
Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga membentuk citra
tentang merek atau brand image di dalam benak konsumen. Konsumen yang terbiasa
menggunakan merek tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap brand image atau
hal ini disebut juga dengan kepribadian merek atau brand personality (Rangkuti, 2002,
p43).
Brand image adalah persepsi tentang merek yang merupakan refleksi memori
konsumen akan asosiasinya pada merek tersebut (Ferrinadewi, 2008, p165).
Citra merek menurut Keller (2008, p51) dalam Roslina (2010, p334) adalah persepsi
konsumen tentang suatu merek sebagai refleksi dari asosiasi merek yang ada pada pikiran
konsumen.
Dalam jurnal Ajeng Peni Hapsari (2008, p5) Dolak (2004)“Brand image is defined as
consumer’s perception as reflected by the association they hold in their minds when they
think of your brand”. Wells, Burnett, dan Moriarty (2000, p163), yaitu ” A brand image is a
mental image that reflects the way consumers perceive the brand, including all the
18
identification elements, the product personality, and the emotions and associations evoked in
the mind consumers”. Aaker ( 1996 , p69), yaitu“Brand image is how customers and others
perceive the brand”.
Dimensi kedua dari pengetahuan tentang merek yang berdasarkan konsumen
(consumer-based brand knowledge) adalah citra dari sebuah merek. Citra merek dapat
dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat
suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk
pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan dengan suatu merek, sama halnya ketika kita
berpikir tentang orang lain. Asosiasi ini dapat dikonseptualisasi berdasarkan jenis,
dukungan, kekuatan, dan keunikan. Jenis asosiasi merek meliputi atribut, manfaat dan
sikap. Atribut terdiri dari atribut yang berhubungan dengan produk misalnya desain, warna,
ukuran dan atribut yang tidak berhubungan dengan produk, misalnya harga, pemakai dan
citra penggunaan. Sedangkan manfaat mencakup manfaat secara fungsional, manfaat
secara simbolis dan manfaat berdasarkan pengalaman. (Shimp, 2003, p12).
(http://thewinnerlife.multiply.com/journal/item/52/Hubungan_Citra_Merek_Bran_Image_da
n_Keputusan_Pembelian_Studi_Kasus_Bank_Muamalat_Indonesia_Palembang)
Lebih dalam, Kotler (Simamora, 2004, p63) mendefinisikan citra merek sebagai
seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu merek.
Karena itu sikap dan tindakan konsumen terhadap suatu merek sangat ditentukan oleh citra
merek tersebut. Kotler juga menambahkan bahwa citra merek merupakan syarat dari merek
yang kuat. Simamora (2002) mengatakan bahwa citra adalah persepsi yang relatif konsisten
dalam jangka panjang (enduring perception). Jadi tidak mudah untuk membentuk citra,
sehingga bila terbentuk akan sulit untuk mengubahnya. Citra yang dibentuk harus jelas dan
memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pesaingnya. Saat perbedaan dan keunggulan
merek dihadapkan dengan merek lain, muncullah posisi merek. Pada dasarnya sama dengan
proses persepsi, karena citra terbentuk dari persepsi yang telah terbentuk lama. Setelah
19
melalui tahap yang terjadi dalam proses persepsi, kemudian dilanjutkan pada tahap
keterlibatan konsumen. Level keterlibatan ini selain mempengaruhi persepsi juga
mempengaruhi fungsi memori.
Pengertian brand image (Keller,2003):
1. Anggapan tentang merek yang direfleksikan konsumen yang berpegang pada ingatan
konsumen.
2. Cara orang berpikir tentang sebuah merek secara abstrak dalam pemikiran mereka,
sekalipun pada saat mereka memikirkannya, mereka tidak berhadapan langsung dengan
produk Membangun brand image yang positif dapat dicapai dengan program marketing
yang kuat terhadap produk tersebut, yang unik dan memiliki kelebihan yang ditonjolkan,
yang membedakannya dengan produk lain. Kombinasi yang baik dari elemen–elemen yang
mendukung (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) dapat menciptakan brand image
yang kuat bagi konsumen.
(http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/membangun-brand-image-produk.html)
Bagaimana citra merek terbentuk pada konsumen? Menurut Simamora (2002, p92)
citra merek merupakan merupakan interpretasi akumulasi berbagai informasi yang diterima
konsumen. Jadi yang menginterpretasi adalah konsumen, dan yang diinterpretasi adalah
informasi. Hasil interpretasi bergantung pada dua hal. Pertama, bagaimana konsumen
melakukan interpretasi, dan kedua, informasi apa yang diinterpretasi. Perusahaan tidak
sepenuhnya dapat mengontrol kedua faktor ini. Karena faktor ” Bagaimana konsumen
melakukan interpretasi” dipengaruhi oleh aspek konsumen sendiri dan lingkungan .
Citra merek penting untuk diketahui karena citra merek dibentuk melalui kepuasan
konsumen. Penjualan dengan sendirinya diperoleh melalui kepuasan konsumen, sebab
konsumen yang puas selain akan membeli lagi, juga akan mengajak calon pembeli lainnya.
20
Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri,
manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek lebih dari sekedar jaminan kualitas
karena didalamnya tercakup enam pengertian berikut ini dalam Durianto, dkk (2004, p2) :
1. Atribut Produk, sepeti halnya kualitas, gengsi, nilai jual kembali, desain dan lain-lain.
Mercedes menyatakan sesuatu yang mahal, produk yang dibuat dengan baik
terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya.
2. Manfaat. Meskipun suatu merek membawa sejumlah atribut, konsumen sebenarnya
membeli manfaat dari produk tersebut. Dalam hal ini atribut merek diperlukan untuk
diterjemahkan menjadi manfaat fungsional atau manfaat emosional. Sebagai
gambaran, atribut ” mahal ” cenderung diterjemahkan sebagai manfaat emosional,
sehingga orang yang mengendarai Mercedes akan merasa dirinya dianggap penting
dan dihargai.
3. Nilai. Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Mercedes menyatakan
produk yang berkinerja tinggi, aman, bergengsi, dan sebagainya. Dengan demikian
produsen Mercedes juga mendapat nilai tinggi di masyarakat.
4. Budaya. Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes mencerminkan
budaya Jerman yang terorganisir, konsisten, tingkat keseriusannya tinggi, efisien,
dan berkualitas tinggi.
5. Kepribadian. Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Seringkali produk
tertentu menggunakan kepribadian orang yang terkenal untuk mendongkrak atau
menopang merek produknya.
6. Pemakai. Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan
produk tersebut. Pemakai mercedes pada umumnya diasosiasikan dengan orang
kaya, kalangan manajer puncak, dan sebagainya.
Dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan Brand Image adalah persepsi,
ingatan, kesan konsumen terhadap produk sehingga sikap dan tindakan konsumen
21
terhadap suatu merek sangat ditentukan oleh citra merek tersebut. Citra merek yang
dipersepsikan konsumen tersebut relatif konsisten dalam jangka panjang.
2.1.2.1 Proses Pengembangan Citra Merek
Dalam proses pengembangan citra merek, harus diketahui bahwa merek yang kuat
memiliki identitas yang jelas. Konsumen umumnya menginginkan sesuatu yang unik dan
khas yang berhubungan dengan merek. Ketidakcocokan citra merek dengan harapan
konsumen akan memberikan kesempatan kepada pesaing.
Kapferer (1992, p37) dalam Roslina (2010, p338) menyatakan bahwa konsumen
membentuk citra melalui sintesis dari semua sinyal atau asosiasi yang dihasilkan merek,
seperti nama merek, simbol visual, produk, periklanan, sponsorship, artikel yang kemudian
dikembangkan dan diinterpretasikan oleh konsumen. Sinyal tersebut dapat bersumber dari
dari identitas merek. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut :
Sending Media Receiving
Competition and Noise
Sumber : Roslina , 2010
Gambar 2.1 Identitas Merek dan Citra Merek
Identitas merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang menjadi tujuan atau cita-
cita dari strategi merek itu sendiri untuk menciptakan atau mempertahankan kelangsungan
Brand identity
Other sources of
inspiration :
- Mimicry
- Opportunism
Signal transmitted Brand image
22
sebuah merek di pasar (Surachman, 2008, p47). Identitas merek harus berbeda dari pesaing
dan dikembangkan secara komprehensif untuk konsumen.
Park (1986) dalam Janonis, Dovaliene, dan Virvilaite (2007, P74) menyatakan bahwa
kesuksesan suatu merek di pasar tergantung kepada pemilihan identitas merek, penggunaan
identitas dalam mengembangkan citra, dan jaminan bahwa citra dapat mentransfer identitas
merek yang dipilih oleh perusahaan, membedakannya dari pesaing dan
merespon keinginan konsumen. Sedangkan Kapferer (2003) dalam artikel yang sama
menyatakan citra merek merupakan cara berkomunikasi dengan konsumen yang paling
efisien dan secara signifikan berkaitan dengan identitas merek.
Doyle (1988) dalam Janonis dan Virvilaite (2007, p79) menyatakan bahwa citra
merek berasal dari berbagai elemen identitas merek dimana periklanan adalah salah satu
elemen yang sangat penting yang memberitahukan kepada konsumen tentang manfaat
suatu produk dan menempatkan suatu produk dalam pikiran konsumen. Pada tingkat yang
lebih emosional atau simbolik, fungsi utama dari periklanan adalah menghasilkan kepribadian
atau persepsi merek di pasar.
Pada berbagai tingkat yang menyangkut pemasaran citra, periklanan dikenal sebagai
salah satu komponen utama yang menciptakan citra. Fungsi dari periklanan adalah untuk
menciptakan simbol dan citra tentang suatu produk yang akan mengakibatkan adanya
hubungan antara merek dengan konsumen.
Peran periklanan sangat penting dan tidak dapat dikesampingkan karena periklanan
membantu mengembangkan pengenalan merek, kesadaran dan citra yang pada akhirnya
memperkuat kepemimpinan merek. Alba dan Marmorstein (1987) dalam Koubaa (2008,
p140) menyatakan bahwa frekuensi informasi atau informasi yang berulang akan
mempengaruhi kebiasaan, kemudian akan mempengaruhi reputasi dan pada akhirnya
mempengaruhi citra dalam pikiran konsumen.
23
Dalam proses pengembangan citra merek, pemosisian merek (brand positioning)
adalah salah satu tahap yang sangat penting dalam proses pengembangan citra merek.
Pemosisian merek mengacu pada tindakan untuk menempatkan merek suatu produk dalam
pikiran pelanggan terhadap produk-produk lain dalam bentuk atribut dan keuntungan yang
ditawarkan (Roslina, 2010, p340).
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa hubungan antara identitas merek
dengan citra merek didasarkan pada proses komunikasi, yaitu perusahaan sebagai pengirim
serta konsumen sebagai penerima, dan citra merek terbentuk dalam pikiran konsumen
sebagai akibat dari proses komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan (Roslina, 2010,
p340).
2.1.2.2 Manfaat Brand Image
Brand image yang telah dibentuk oleh perusahaan dan telah ada dalam benak
konsumen, akan membawa manfaat baik bagi perusahaan maupun bagi konsumen. Manfaat
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Manfaat bagi konsumen : konsumen dengan citra yang positif terhadap
suatu merek, lebih mungkin untuk melakukan pembelian.
2. Manfaat bagi perusahaan : perusahaan dapat mengembangkan lini produk
dengan memanfaatkan citra positif yang telah terbentuk terhadap merek
produk lama.
2.1.2.3 Membangun Brand Image
Menurut Utami (2006, p214) penguatan secara konsisten terhadap citra merek
dapat dilakukan melalui program komunikasi ritel dan bauran pemasaran. Hampir
sependapat dengan Maulana (http://swa.co.id/sekunder/konsultasi), juga menyatakan
bahwa komunikasi pemasaran (marketing communication), iklan dan promosi mempunyai
24
peran penting dalam pembangunan brand image. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini
mempunyai target audience luas sehingga dalam waktu relatif singkat pesan yang ingin
disampaikan tentang brand lebih cepat sampai. Ada banyak kegiatan lain yang juga
berdampak besar. Contohnya adalah :
1. Desain kemasan, termasuk isi tulisan/pesan yang disampaikan.
2. Event, promosi di toko, promosi di tempat umum, dan kegiatan below the
line lainnya.
3. Iklan tidak langsung yaitu yang bersifat public relations
4. Corporate Social Responsibility (CSR) yaitu kegiatan-kegiatan sosial untuk
komunitas yang dilakukan oleh perusahaan
5. Customer Service, bagaimana perusahaan menangani keluhan, masukan dari
konsumen setelah terjadi transaksi
6. Bagaimana karyawan yang kerja di lini depan/front liners ( apakah itu bagian
penjualan. Kasir, resepsionis, dll) bersikap dalam menghadapi pelanggn, dll.
Jenis tipe komunikasi dalam daftar diatas adalah kegiatan-kegiatan yang baik
buruknya tergantung dari keinginan perusahaan, semuanya dapat dikontrol/dikendalikan.
Komplikasi justru akan muncul dari kegiatan-kegiatan komunikasi seputar brand oleh pihak
lain yang tidak bisa dikontrol oleh perusahaan, misalnya komunikasi oleh konsumen
langsung. Mereka bisa menyebarkan pada networknya berita kurang menyenangkan yang
mereka alami pada saat berinteraksi dengan brand ( yang diwakili oleh banyak hal,
termasuk front liners di perusahaan). Word of mouth communication adalah salah satu jenis
komunikasi yang sangat efektif dan berbahaya apabila itu menyangkut publisitas buruk.
Dalam komunikasi pemasaran (marketing communication), iklan dan promosi mempunyai
peranan penting dalam pembangunan brand image. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini
mempunyai target audience luas, sehingga dalam waktu relatif singkat pesan yang ingin
disampaikan tentang brand lebih cepat sampai. Jadi, pada dasarnya perusahaan perlu
25
memperhatikan semua elemen komunikasi dalam bentuk apapun yang menghubungkan
konsumen dengan brand perusahaan. Minimalkan kemungkinan terjadinya ketidakpuasan
konsumen, sehingga berita seputar brand bisa selalu merupakan berita baik.
Penyampaian komunikasi yang berbeda mempunyai kekuatan dan juga pandangan
akan suatu tujuan yang berbeda. Pengembangan citra merek penting agar komunikasi yang
disampaikan kepada calon pembeli dapat sejajar dengan maksud dan tujuan dari produsen.
Pengembangan citra merek dapat membentuk kesan tersendiri. Beberapa kesan
yang terbentuk dari sudut pandang konsumen akan memperngaruhi mereka tentang
bagaimana cara mereka memandang merek tersebut, kemudian masuk kedalam ciri dan
kepribadian yang khas sehingga terbentuklah citra terhadap suatu merek.
Dalam pengembangan citra atau kesan terhadap suatu merek, terdapat ciri dan
kepribadian yang khas yang harus diutamakan. Dibutuhkan beberapa perubahan seperti
program pemasaran dengan meningkatkan kekuatan dan keunikan dari suatu merek yang
akan meningkatkan citra merek tersebut. Selain itu juga memperrtahankan citra positif dari
merek tersebut dan juga menetreaisir citra negatif yang terbentuk dari suatu merek.
Dibutuhkan juga strategi-strategi lain dalam hal pengembangan citra positif suatu merek.
Pengembangan citra tersebut dapat berupa promosi ulang produk-produk yang ditawarkan
untuk dapat menimbulkan familiaritas merek atau dengan menciptakan suatu promosi
seperti promosi dari mulut ke mulut, salah satunya melalui pelanggan yang telah
mendapatkan pengalaman positif dari merek tersebut atau melalui pelanggan yang telah
loyal terhadap merek tersebut. Lebih jauh lagi dibutuhkan usaha untuk membangun
pengalaman positif yang lebih sering dan lebih banyak. Usaha-usaha yang dilakukan dari
membentuk citra tersebut tidak lepas dari seperangkat asset dan liabilitas merek yang
berkaitan dengan suatu merek ( Brand Equity ).
2.1.2.4 Komponen Brand image
26
Dalam Erna Ferrinadewi (2008, p165) komponen brand image terdiri dari :
• Asosiasi merek (brand association).
Konsumen dapat membuat asosiasi merek berdasarkan :
- Atribut : konsumen dapat membuat asosiasi berdasarkan atribut yang tidak
berkaitan dengan produk misalkan harga, pemakai, personaliti, pengalaman atau
atribut yang berhubungan dengan produk misalkan warna, ukuran, desain dan
fitur-fitur lain.
- Asosiasi juga dapat diciptakan berdasarkan manfaat produk misalkan manfaat
fungsional, manfaat simbolik, dan manfaat experiential.
• Favorability, strength & uniqueness of brand association atau sikap positif.
Sikap positif (favorability) dan keunikan asosiasi merek terdiri dari 3 hal dalam
benak konsumen yaitu adanya keinginan, kemudian adanya keyakinan bahwa
merek tertentu dapat memenuhi keinginannya dan yang terpenting adalah
keyakinan konsumen bahwa merek tersebut memiliki perbedaan yang signifikan
dibandingkan merek lainnya.
2.1.2.5 Faktor - Faktor Pembentuk Brand Image
(http://thewinnerlife.multiply.com/journal/item/52/Hubungan_Citra_Merek_Bran_Ima
ge_dan_Keputusan_Pembelian_Studi_Kasus_Bank_Muamalat_Indonesia_Palembang)
Schiffman dan Kanuk (1997) menyebutkan faktor-faktor pembentuk citra merek
adalah sebagai berikut: Kualitas atau mutu, berkaitan dengan kualitas produk barang yang
ditawarkan oleh produsen dengan merek tertentu,
1. Kegunaan atau manfaat, yang terkait dengan fungsi dari suatu produk
barang yang bisa dimanfaatkan oleh konsumen,
27
2. Pelayanan, yang berkaitan dengan tugas produsen dalam melayani
konsumennya,
3. Harga, yang dalam hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya atau banyak
sedikitnya jumlah uang yang dikeluarkan konsumen untuk mempengaruhi
suatu produk, juga dapat mempengaruhi citra jangka panjang, dan
4. Citra yang dimiliki oleh merek itu sendiri, yaitu berupa pandangan,
kesepakatan dan informasi yang berkaitan dengan suatu merek dari produk
tertentu.
2.1.3 Brand trust
Menurut Delgado (2001), Brand Trust ( kepercayaan merek ) adalah perasaan aman
yang dimiliki konsumen akibat dari interaksinya dengan sebuah merek, yang berdasarkan
persepsi bahwa merek tersebut dapat diandalkan dan bertanggung jawab atas kepentingan
dan keselamatan dari konsumen. Selain itu Delgado juga menjelaskan bahwa brand trust
adalah harapan akan kehandalan dan intensi baik merek.
Dalam Kautonen (2008, p24), (Kim Choy Chung: p2) ....The term ”brand trust” is
variously defined as the wilingness of consumer (implies a propensity) to rely on the ability of
the brand to perform its stated function (Chaudhuri dan Holbrook 2001); as the confident
expectations of the brand reliability and intentions in situations entailing risk to the consumer
(Delgado-Ballester dan Munera-Alemen 2001; Delgado-Ballester 2004) or simply described in
term of reliability and dependability (Dawar dan Pillutla 2000). These definition of brand trust
suggest that an individual’s prospensity (a conscious inclination) to trust on a brand’s
qualities or atributes is critical in consumer-brand relationship. Inti dari kutipan diatas adalah
persyaratan “brand trust” secara beragam didefinisikan sebagai kerelaan konsumer
(menunjukkan kecenderungan) untuk mengandalkan kemampuan dari merek untuk
menjalankan fungsi yang dijanjikan. (Chaudhuri dan Holbrook 2001); sebagai harapan
28
kepercayaan kehandalan dan tujuan merek pada situasi yang melibatkan resiko bagi
konsumer. (Delgado-Ballester dan Munera-Alemen 2001; Delgado-Ballester 2004). atau
secara sederhana dideskripsikan Keandalan dan ketergantungan. (Dawar dan Pillutla 2000).
Definisi brand trust menyarankan bahwa kecenderungan individu (Kecenderungan sadar)
untuk percaya pada kualitas merek atau atribut sangat penting dalam hubungan konsumer-
merek.
(Anton A Setyawan, p3) Menurut Deutch (dalam Lau dan Lee 2000), Kepercayaan
adalah harapan dari pihak-pihak dalam sebuah transaksi dan resiko yang terkait dengan
resiko dan perkiraan dan perilaku terhadap harapan tersebut. Assael (1998) mengemukakan
bahwa dalam mengukur kepercayaan terhadap merek diperlukan penentuan atribut dan
keuntungan dari sebuah merek. Pembahasan tentang kepercayaan terhadap merek akan
lebih lengkap dengan menjelaskan tentang tiga komponen sikap:
1. Kepercayaan sebagai komponen kognitif. Kepercayaan konsumen terhadap
merek adalah karakteristik yang diberikan konsumen pada sebuah merek.
Seorang pemasar harus mengembangkan atribut dan keuntungan dari
produk untuk membentuk kepercayaan terhadap merek ini.
2. Komponen afektif, evaluasi terhadap merek. Sikap konsumen yang kedua
adalah evaluasi terhadap merek. Komponen ini mempresentasikan evaluasi
konsumen secara keseluruhan terhadap sebuah merek. Kepercayaan
seorang konsumer terhadap suatu merek bersifat multidimensional karena
hal itu terkait dengan atribut produk yang diterima dibenak
konsumen.kepercayaan terhadap merek menjadi relevan pada saat hal itu
berpengaruh pada evaluasi terhadap merek.
3. Komponen konatif. Komponen ketiga dari sikap adalah komponen konatif
yaitu kecenderungan konsumen untuk berperilaku terhadap sebuah obyek,
dan hal ini diukur dengan niat untuk melakuan pembelian.
29
Dari definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Brand trust adalah
gabungan sikap kognitif, afektif dan konatif konsumen yang direfeksikan dari harapan
konsumen terhadap kehandalan dan tujuan merek yang dijanjikan oleh perusahaan kepada
konsumen.
2.1.3.1. Pengukuran Brand Trust
Menurut Delgado (2004) kepercayaan merek adalah harapan akan kehandalan dan
intensi baik merek, karena itu intensi merek mereflesikan dua hal yakni brand Reliability dan
brand Intentions . Berdasarakan definisi ini kepercayaan merek mereflesikan 2 komponen
penting yaitu:
• Brand Reliability atau kehandalan merek yang bersumber pada keyakinan
konsumen bahwa produk tersebut mampu memenuhi nilai yang dijanjikan
atau dengan kata lain persepsi bahwa suatu merek tersebut mampu
memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan. Brand reliability
merupakan hal yang esensial bagi terciptanya kepercayaan terhadap merek
karena kemampuan merek memenuhi nilai yang dijanjikannya akan
membuat konsumen menaruh rasa yakin akan kepuasan yang sama di masa
depan.
• Brand intention didasarkan pada keyakinan konsumen bahwa merek tersebut
mampu mengutamakan kepentingan konsumen ketika masalah dalam
konsumsi produk muncul secara tidak terduga. Kedua komponen
kepercayaan merek bersandar pada penilaian konsumen yang subyektif atau
didasarkan pada persepsi masing-masing konsumen terhadap manfaat yang
dapat diberikan produk/merek.
2.1.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Brand Trust
30
Menurut Lau dan Lee (2000, p44) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang
tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut
adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek, dan konsumen. Selanjutnya Lau dan
Lee memproporsisikan bahwa kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas
merek. Hubungan ketiga faktor tersebut dengan kepercayaan merek dapat dijelaskan
sebagai berikut :
• Brand characteristic mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan
menentukan pengambilan keputusan konsumen untuk memopercayai suatu
merek. Hal ini disebabkan oleh konsumen melakukan penilaian sebelum
membeli. Karakteristik merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek
meliputi dapat diramalkan, mempunyai reputasi, dan kompeten.
• Company characteristic yang ada dibalik suatu merek juga dapat mempengaruhi
tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Penegetahuan
konsumen tentang perusahaan yang ada dibalik merek suatu produk.
Karakteristik ini meliputi reputasi suatu perusahaan, motivasi perusahaan yang
diinginkan, dan inetgritas suatu perusahaan.
• Consumer – Brand Characteristic merupakan dua kelompok yang saling
mempengaruhi . oleh sebab itu karakteristik konsumen – merek dapat
mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan
antara konsep emosional konsumen dengan kepribadian merfek, kesukaan
terhadap merek, dan pengalaman terhadapa merek.
2.1.4 Brand Loyalty
(Gede Riana 2008, p187). Loyalitas merek (Brand Loyalty) merupakan suatu konsep
yang sangat penting dalam strategi pemasaran. Keberadaan konsumen yang loyal pada
31
merek sangat diperlukan agar perusahaan dapat bertahan hidup. Loyalitas merek dapat
diartikan sebagai suatu komitmen yang mendalam untuk melakukan pembelian ulang produk
atau jasa yang menjadi preferensinya secara konsisten pada masa yang akan datang dengan
cara membeli ulang merek yang sama meskipun ada pengaruh situasional dan usaha
pemasaran yang yang dapat menimbulkan perilaku peralihan.
Loyalitas merek tidak terbentuk dalam waktu singkat tetapi melalui proses belajar
dan berdasarkan hasil pengalaman dari konsumen itu sendiri dari pembelian yang konsisten
sepanjang waktu. Bila apa yang didapat sudah sesuai dengan harapan maka proses
pembelian ini terus berulang. Hal ini dapat dikatakan bahwa telah timbul adanya kesetiaan
konsumen. Bila dari pengalamannya konsumen tidak mendapatkan merek yang memuaskan
maka tidak akan berhasil untuk mencoba merek – merek lain sampai mendapatkan produk
yang memenuhi kriteria mereka. Loyalitas merek merupakan inti dari brand equity yang
menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan satu ukuran
keterkaitan seorang konsumen pada sebuah merek. Apabila loyalitas merek meningkat, maka
kerentanan kelompok konsumen dari serangan kompetitor dapat dikurangi. Hal ini
merupakan indikator dari brand equity yang berkaitan dengan perolehan laba di masa yang
akan datang karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan di
masa depan (Freddy Rangkuti, 2002, pp60–61).
Definisi loyalitas merek menurut Aaker adalah bahwa loyalitas merek (brand loyalty)
sebagai suatu faktor penting dalam menetapkan nilai dari suatu merek, nilai penting dari
merek tersebut dapat meliputi kualitas, bentuk serta kegunaan dari barang dan jasa yang
ditawarkan dapat menjadi lebih baik dari para pesaing (Maylina 2003, p99).
Menurut Durianto, dkk (2004, p126) mendefinisikan Brand loyalty (loyalitas merek)
merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan pada sebuah merek. Ukuran ini mampu
memberikan gambar tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk
32
lain, terutama jika pada merek didapati ada perubahan, baik menyangkut harga maupun
atribut lain.
Merek yang mampu menciptakan komitmen konsumen akan menghasilkan
kepercayaan konsumen dalam pengambilan keputusan sehingga akhirnya akan menentukan
loyalitas merek. Dari pernyataan tersebut Oliver mendefinisikan loyalitas merek sebagai suatu
komitmen mendalam untuk mengkonsumsi produk atau jasa dimasa akan datang (Rizal Edi
Halim 2002, p3).
Mowen dan Monor, Dharmesta (dalam Johnson Dongorant 2001, p208)
mengemukakan definisi loyalitas merek dalam arti “kondisi dimana konsumen mempunyai
sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut dan
bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Brand Loyalty merupakan suatu
sikap yang konsisten, terbentuk karena kepercayaan terhadap suatu merek dan diwujudkan
dalam pembelian ulang dari waktu ke waktu maupun untuk masa yang akan datang.
2.1.4.1 Fungsi Brand Loyalty
Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merek dapat menjadi
aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh
loyalitas merek kepada perusahaan:
1. Reduce marketing costs (mengurangi biaya pemasaran)
Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih murah mempertahankan
pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan pelanggan baru.
Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika loyalitas merek meningkat. Ciri yang
paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah membeli suatu produk karena
harga yang murah.
2. Trade Leverage (meningkatkan perdagangan)
33
Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan
perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat
disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas
kebiasaan selama ini.
3. Attracting new customers (menarik minat pelanggan baru)
Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka
terhadap merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon
pelanggan untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang
dilakukan mengandung risiko tinggi. Disamping itu, pelanggan yang puas
umumnya akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang yang dekat
dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru.
4. Provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk
merespon ancaman persaingan)
Loyalitas merek akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk
merespon gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk
yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan
tersebut untuk memperbaharui produknyadengan cara menyesuaikan atau
menetralisasikannya (Durianto dkk, 2001, p127).
Loyalitas merek pelanggan yang ada mewakili suatu asset strategis dan jika
dikelola dengan baik dan dieksploitasi dengan benar akan mempunyai potensi
untuk memberikan fungsi/nilai dalam beberapa bentuk seperti yang
diperlihatkan dalam gambar 2.2
34
Sumber : Freddy Rangkuti, 2002, p63
Gambar 2.2 Fungsi loyalitas merek
2.1.4.2 Tingkatan Loyalitas Merek
Dalam kaitannya dengan loyalitas merek suatu produk, didapati adanya beberapa
tingkatan loyalitas merek. Masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran
yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Adapun tingkatan loyalitas
merek tersebut adalah sebagai berikut :
1. Switcher (berpindah-pindah)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan yang
berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pelanggan untuk
memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek yang lain
mengindikasikan sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik
pada merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun dianggap memadai serta
memegang peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembeliaan. Ciri yang paling
nampak dari jenis pelanggan ini adalah merek membeli suatu produk karena
harganya murah.
2. Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Pembeli yang berada pada tingkatan loyalitas ini dapat dikategorikan sebagai
pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya tidak
Loyalitas merek
Pengurangan biaya pemasaran
Peningkatan perdagangan
Mengikat customer baru : menciptakan kesadaran merek dan menyakinkan kembali
Waktu merespon
35
mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi meerk produk tersebut. Pada
tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan
keinginan untuk membeli merek produk yang lain atau berpindah merek terutama
jika peralihan tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan
lain. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan
atas kebiasaan mereka selama ini.
3. Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mengkonsumsi
merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja pembeli memindahkan
pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan)
yang terkai dengan waktu, uang atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan
beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat
loyalitas ini para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung
oleh pembeli yang masuk ddalam kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat
yang cukup besar sebagai kompensasinya (switching cost loyal).
4. Likes the brand (menyukai merek)
Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli yang sungguh-
sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional
yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang
terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik
yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived
quality yang tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu
perasaan yang sulit diidentifikasi atau ditelusuri dengan cermat untuk dikategorikan
ke dalam sesuatu yang spesifik.
5. Commited buyer (pembeli yang komit)
36
Pada tahapan ini pembeli merupakan pelangggan yang setia. Merek memliki suatu
kebanggan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan merek tersebut menjadi
sangat penting bagi pembeli dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu
ekspresi diri. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan
oleh tindakan merekomendasi dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak
lain. (Durianto, dkk, 2001, pp128-129)
2.1.4.3 Ciri-Ciri Konsumen yang Loyal
Menurut Giddens et al (2002) Konsumen yang loyal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki komitmen pada merek tersebut.
2. Berani membayar lebih pada merek tersebut bila dibandingkan dengan
merek lain.
3. Akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang lain.
4. dalam melakukan pembelian kembali produk tidak melakukan pertimbangan.
5. selalu mengikuti informasi yang berkaitan dengan merek tersebut.
6. Mereka dapat menjadi semacam juru bicara merek tersebut dan mereka
selalu mengembangkan hubungan dengan merek tersebut.
2.1.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Brand Loyalty
Menurut Aaker (dalam Maylina 2003, p103) faktor-faktor yang mempengaruhi
loyalitas merek adalah :
1. Kepuasaan
Kepuasaan konsumen meliputi penentuan keseluruhan mengenai produk dan
jasa yang mampu menciptakan keinginan dan kebutuhan konsumen. Untuk itu
sangatlah penting bagi suatu perusahaan untuk menciptakan kepuasan
konsumen. Karena konsumen yang puas akan menceritakan kepada orang lain
37
dan melakukan pembelian ulang. Kepuuasaan merupakan suatu keseluruhan
variabel gabungan yang terdiri dari sebuah kompilasi yang diperhitungkan atau
sebuah perkiraan dari berbagai faktor yang berbeda yang terlibat dalam
hubungan antara perusahaan dengan konsumen. Secara spesifik dikatakan
bahwa beberapa elemen dari penawaran konsumen bisa diterima secara positif
sementara beberapa yang lainnya diterima secara negatif karena tidak bisa
menerima harapan-harapan konsumen.
2. Kebiasaan
Kebiasaan pada sebuah merek dapat terbentuk karena tidak adanya perbedaan
yang signifikan antar merek untuk produk yang sejenis, sehingga konsumen
tidak melakukan evaluasi alternatif pada merek tersebut. Dengan demikian
pengambilan keputusan yang dilakukan pada saat melakukan pembelian ttidak
melalui proses yang panjang. Loyalitas konsumen terhadap sebuah merek juga
dapat terbentuk karena kebiasaan konsumen secara umum, artinya kebiasaan
yang dipengaruhi faktor psikologis. Pada kondisi ini, dapat dikatakan bahwa
loyalitas konsumen telah terbentuk merek tersebut, yaitu bahwa konsumen tetap
membeli merek yang sama untuk suatu jenis produk dan cenderung tidak akan
berganti-ganti merek. Situasi ini bisa terjadi karena tiga faktor. Pertama,
konsumen menjadi familiar dengan merek yang telah digunakan berulangkali,
kemudian merasa nyaman dan cocok dengan merek tersebut serta ingin
menghindari situasi yang tidak familiar dengan alternatif produk atau merek lain.
Kedua, konsumen sering kali membentuk selera atau preferensinya karena
conditioning, artinya setelah beberapa kali mencoba kemudian belajar
menyukainya. Intergenerational influence berpengaruh signifikan terhadap
adopsi sejumlah merek. Artinya, merek yang digunakan oleh anggota keluarga
38
tertentu bisa menjadi semacam testimoni tentang keunggulan merek
bersangkutan bagi anggota keluarga lainnya.
Kebiasaan sangat erat kaitannya dengan perilaku konsumen. Ada konsumen
yang memiliki perilaku yang sama dengan orang tuanya dalam mengkonsumsi
suatu produk yang merupakan kebiasaan yang dibawa sejak kecil, namun ada
juga faktor kebiasaan yang terbentuk bahwa konsumen tidak suka berpindah
merek karena konsumen merasa merek tersebut dapat memnuhi semua
kebutuhan dan harapannya, bukan karena pengaruh dari orang lain.
3. Kesukaan konsumen
Kesukaan konsumen merupakan bagian dari sikap konsumen yang merupakan
hasil dari pengalaman sebelumnya. Sikap biasanya memainkan peranan utama
dalam membentuk perilaku, dalam memutuskan merek apa yang akan dibeli
atau toko mana yang akan dijadikan langganan. Konsumen secara khas memilih
merek atau toko yang dievaluasi secara paling menguntungkan. Sebagai
akibatnya, peningkatan sikap dapat menjadi sasaran pemasaran yang berguna.
2.1.4.5 Pengukuran Brand Loyalty
Menurut (Aaker, 1991) dalam Wijarnako (2004, p128) loyalitas merek dapat diukur
melalui beberapa keuntungan, yaitu dengan adanya pembelian berulang (repeated purchase)
dan rekomendasi (recomendation) merek kepada teman dan lainnya.
• Repeated Purchase ( pembelian berulang ) : perilaku mengutamakan sebuah
merek dengan melakukan pembelian berulang.
• Recommendation ( rekomendasi ) : perilaku niat untuk membeli sebuah
produk dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.
2.1.4.6 Strategi Untuk Memelihara dan Meningkatkan Loyalitas Merek
39
Secara umum, langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan loyalitas merek
adalah dengan melakukan pemasaran hubungan (relationship marketing), pemasaran
frekuensi (frequency marketing). Berikut adalah beberapa contoh strategi yang dapat
dilakukan untuk dapat memelihara dan meningkatkan loyalitas merek :
1. Menjaga hubungan yang saling menguntungkan dengan pelanggan. Untuk itu
diperlukan suatru “relationship marketing” yang terpadu dari perusahaan agar
konsumen dapat terpuaskan terus menerus, sehingga loyalitas konsumen akan
terjaga sepanjang masa. Kepuasan konsumen menjadi salah satu faktor kunci dan
sangat menentukan langgengnya loyalitas merek.
2. Menjaga kedekatan dengan pelanggan secara berkesinambungan. Seorang
pemasar aatu sales person seringkali lupa dalam menjaga kedekatan dengan
pelanggan. Serngkali jalinan kedekatan hanya dilakukan pada saat transaksi
belum atau sedang terjadi dan begitu transaksi sedang berlangsung, cenderung
melupakan pelanggan. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain dengan
membentuk keanggotaan perusahaan dengan menggelar berbagai acar agar
kedekatan dapat terus terjaga. Aktivitas lain yang dapat dijalankan adalah
pengiriman kartu ucapan selamat kepada pelanggan pada momen-momen
tertentu.
3. Menciptakan biaya peralihan yang tinggi dan mampu menyulitkan konsumen
untuk berpindah merek. Langkah ini diadakan untuk mengikat konsumen agar
tidak beralih ke merek pesaing. Disamping itu, banyak pula perusahaan yang
melakukan program promosi yang bersifat fixed cost kepada konsumennya agar
konsumen terus memakai merek produk yang dipasarkan.
4. Memberi imbalan atas loyalitas pelanggan. Dalam hal ini perusahaan dapat
memberi imbalan berupa hadiah/reward lainnya.
5. Memberi pelayanan ekstra kepada pelanggan (Durianto, dkk, 2001, pp144-145).
40
2.1.5 Hubungan antar Variabel
Kartajaya (2002, p227) mengungkapkan salah satu bentuk konsep pemasaran yang
bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang loyal melalui experiential marketing
pemasar melihat emosi dari pelanggannya untuk mendapatkan loyalitas. Experiential
menurut Schmitt dapat dihadirkan melalui lima unsur panca indra (sense), perasaan (feel),
cara berpikir (think), kebiasan (act), dan pertalian atau relasi (relate). Jadi dengan
experiential marketing yang dibantu dengan citra merek dan reputasi perusahaan yang
memegang merek tersebut, sesuai dengan kepribadian konsumen maka konsumen merasa
percaya akan merek tersebut dan pada akhirnya konsumen akan loyal terhadap merek
perusahaan tersebut.
Dalam jurnal Ajeng peni hapsari (2008, p6) Brand image sangat berpatokan pada
pemahaman, kepercayaan, dan pandangan atau persepsi konsumen terhadap suatu merek.
Dalam jurnal Gede riana (2008, pp187-188) menurut Lau and Lee terdapat tiga
faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini berhubungan
dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antar merek dan konsumen. Adapun
ketiga faktor adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek, dan konsumen.
Selanjutnya Lau dan Lee memposisikan bahwa kepercayaan terhadap merek akan
menimbulkan loyalitas merek. Hubungan ketiga faktor tersebut terhadap kepercayaan merek
dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Brand characteristic (image dari brand) mempunyai peran yang sangat penting
dalam menentukan pengambilan keputusan konsumen untuk mempercayai suatu
merek. Hal ini disebabkan oleh konsumen melakukan penilaian sebelum membeli.
Karakteristik merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek meliputi dapat
diramalkan, mempunyai reputasi, dan kompeten.
• Company characteristic (corporate image) yang ada dibalik suatu merek juga dapat
mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.
41
Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada dibalik merek suatu produk
merupakan dasar awal pemahaman konsumen terhadap merek suatu produk.
Karakteristik ini meliputi reputasi suatu perusahaan, motivasi perusahaan yang
diinginkan, dan integritas suatu perusahaan.
• Consumer-brand characteristic merupakan dua kelompok yang saling mempengaruhi.
Oleh sebab itu karakteristik konsumen-merek dapat mempengaruhi kepercayaan
terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antar konsep emosional
konsumen dengan kepribadian merek, kesukaan terhadap merek, dan pengalaman
terhadap merek.
Freddy Rangkuti (2002, pp43-44) apabila para konsumen beranggapan bahwa merek
tertentu secara fisik berbeda dari merek pesaing, citra merek tersebut akan melekat secara
terus menerus sehingga dapat membentuk kesetiaan terhadap merek tertentu, yang disebut
dengan loyalitas merek (brand loyalty).
Merek yang mampu menciptakan komitmen konsumen akan menghasilkan
kepercayaan konsumen dalam pengambilan keputusan sehingga akhirnya akan menentukan
loyalitas merek (Rizal Edi Halim 2002, p3).
42
2.2 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis
Menurut Umar husein (2002, p67) hipotesis merupakan pernyataan sementara yang
perlu dibuktikan benar atau tidak. Menurut pola umum metode ilmiah, setiap riset terhadap
suatu objek hendaknya dibawah tuntunan suatu hipotesis yang berfungsi sebagai pegangan
Experiential
marketing
(X1)
• Sense
• Feel
• Think
• Act
• Relate
Brand image
(X2)
• Kualitas
• Pelayanan
• Harga
• Manfaat
• Citra
Brand trust
(Y)
• Brand Reliability
• Brand Intention
Brand loyalty
(Z)
• Repeated
Purchase
• Recommendat
ion
43
sementara atau jawaban sementara yang masih harus dibuktikan kebenarannya dalam
kenyataan (empirical verification), percobaan (experimentation), atau praktek
(implementation). Dalam penelitian ini hipotesis yang diambil adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh atau kontribusi experiential marketing dan brand image
terhadap brand trust ?
1. Hipotesis pengujian secara simultan antara X1, X2, dan Y.
Ho : Variabel Experiential Marketing dan Brand Image tidak berpengaruh atau
berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Brand Trust.
Ha : Variabel Experiential Marketing dan Brand Image berpengaruh atau
berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Brand Trust.
2. Hipotesis pengujian secara individual antara X1 dan Y.
Ho : Variabel Experiential Marketing tidak berpengaruh atau berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel Brand Trust.
Ha : Variabel Experiential Marketing berpengaruh atau berkontribusi secara
signfikan terhadap variabel Brand Trust.
3. Hipotesis pengujian secara individual antara X2 dan Y
Ho : Variabel Brand Image tidak berpengaruh atau berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel Brand Trust.
Ha : Variabel Brand Image berpengaruh atau berkontribusi secara signfikan
terhadap variabel Brand Trust.
2. Bagaimana pengaruh atau kontribusi experiential marketing dan brand image
terhadap brand trust dan dampaknya terhadap brand loyalty secara simultan dan
parsial?
1. Hipotesis pengujian secara simultan antara X1, X2, Y dan Z.
44
Ho : Variabel Experiential Marketing, Brand Image, dan Brand Trust tidak
berpengaruh atau berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap
variabel Brand Loyalty.
Ha : Variabel Experiential Marketing, Brand Image, dan Brand Trust berpengaruh
atau berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Brand
Loyalty.
2. Hipotesis pengujian secara individual antara X1 dan Z.
Ho : Variabel Experiential Marketing tidak berpengaruh atau berkontribusi secara
signifikan terhadap variabel Brand Loyalty.
Ha : Variabel Experiential Marketing berpengaruh atau berkontribusi secara
signfikan terhadap variabel Brand Loyalty.
3. Hipotesis pengujian secara individual antara X2 dan Z.
Ho : Variabel Brand Image tidak berpengaruh atau berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel Brand Loyalty.
Ha : Variabel Brand Image berpengaruh atau berkontribusi secara signfikan
terhadap variabel Brand Loyalty.
4. Hipotesis pengujian secara individual antara Y dan Z.
Ho : Variabel Brand Trust tidak berpengaruh atau berkontribusi secara signifikan
terhadap variabel Brand Loyalty.
Ha : Variabel Brand Trust berpengaruh atau berkontribusi secara signfikan
terhadap variabel Brand Loyalty.