17
PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan pakan sumber protein di Indonesia sangat banyak macamnya dan beragam kualitasnya. Untuk menyusun satu macam ransum biasanya digunakan beberapa macam bahan. Bila dilihat dari segi proteinnya, maka ransum yang disusun hanya berdasarkan kadar protein saja menjadi kurang akurat. Hal ini dapat dilihat di lapang untuk ransum yang berbeda namun mengandung kadar energi dan protein yang sama, sering kali menghasilkan tingkat produktivitas yang berbeda-beda. Ransum dengan kadar protein yang sama bisa jadi memiliki tingkat fermentabilitas, ketahanan protein terhadap degradasi dalam rumen, kecernaan protein oleh enzim pencernaan pascarumen dan sintesis protein mikroba yang berbeda-beda. Oleh karena itu kadar protein ransum yang tinggi tidak dapat menjamin bahwa ransum tersebut berkualitas. Pemberian protein ransum hendaknya didasarkan pada banyaknya protein yang dapat diabsorbsi (NRC, 1989). Pada ruminansia jumlah protein yang dapat diabsorbsi bergantung pada pasokan protein mikroba dan protein ransum. Oleh karena itu perlu dikembangkan tolok ukur mutu protein yang ada keterkaitannya dengan pasokan protein tersebut. Mutu protein ransum ditentukan oleh banyak faktor antara lain: (i) Produksi amonia, karena amonia rumen diperlukan untuk mendukung sintesis mikroba rumen. Pada ruminansia, protein yang dikonsumsi sebagian akan didegradasi dalam rumen menjadi asam amino dan selanjutnya mengalami deaminasi menjadi amonia (NH 3 ) dan sebagian lainnya akan lolos dari perombakan rumen. Amonia sebagai sumber nitrogen (N) diperlukan untuk sintesis de novo asam amino oleh mikroba rumen. Kadar amonia cairan rumen yang mendukung sintesis mikroba rumen berkisar antara 4-14 mM (Satter dan Slyter 1974; Preston dan Leng 1987; Sutardi 1994). (ii) Tingkat degradasi protein dalam rumen, yang merupakan indikator besarnya protein yang memasok protein asal ransum (Orskov et al. 1980). Daya degradasi protein ransum di dalam rumen sangat bervariasi bergantung pada komposisi, struktur fisik dan kimia, pengolahan bahan baik secara kimia, fisik maupun biologis (Madsen dan Hvelplund 1985), (iii) Kecernaan protein oleh

Bab i 2005wpu

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab i 2005wpu

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bahan pakan sumber protein di Indonesia sangat banyak macamnya dan

beragam kualitasnya. Untuk menyusun satu macam ransum biasanya

digunakan beberapa macam bahan. Bila dilihat dari segi proteinnya, maka

ransum yang disusun hanya berdasarkan kadar protein saja menjadi kurang

akurat. Hal ini dapat dilihat di lapang untuk ransum yang berbeda namun

mengandung kadar energi dan protein yang sama, sering kali menghasilkan

tingkat produktivitas yang berbeda-beda. Ransum dengan kadar protein yang

sama bisa jadi memiliki tingkat fermentabilitas, ketahanan protein terhadap

degradasi dalam rumen, kecernaan protein oleh enzim pencernaan pascarumen

dan sintesis protein mikroba yang berbeda-beda. Oleh karena itu kadar protein

ransum yang tinggi tidak dapat menjamin bahwa ransum tersebut berkualitas.

Pemberian protein ransum hendaknya didasarkan pada banyaknya protein

yang dapat diabsorbsi (NRC, 1989). Pada ruminansia jumlah protein yang dapat

diabsorbsi bergantung pada pasokan protein mikroba dan protein ransum. Oleh

karena itu perlu dikembangkan tolok ukur mutu protein yang ada keterkaitannya

dengan pasokan protein tersebut. Mutu protein ransum ditentukan oleh banyak

faktor antara lain: (i) Produksi amonia, karena amonia rumen diperlukan untuk

mendukung sintesis mikroba rumen. Pada ruminansia, protein yang

dikonsumsi sebagian akan didegradasi dalam rumen menjadi asam amino dan

selanjutnya mengalami deaminasi menjadi amonia (NH3) dan sebagian lainnya

akan lolos dari perombakan rumen. Amonia sebagai sumber nitrogen (N)

diperlukan untuk sintesis de novo asam amino oleh mikroba rumen. Kadar

amonia cairan rumen yang mendukung sintesis mikroba rumen berkisar antara

4-14 mM (Satter dan Slyter 1974; Preston dan Leng 1987; Sutardi 1994). (ii)

Tingkat degradasi protein dalam rumen, yang merupakan indikator besarnya

protein yang memasok protein asal ransum (Orskov et al. 1980). Daya

degradasi protein ransum di dalam rumen sangat bervariasi bergantung pada

komposisi, struktur fisik dan kimia, pengolahan bahan baik secara kimia, fisik

maupun biologis (Madsen dan Hvelplund 1985), (iii) Kecernaan protein oleh

Page 2: Bab i 2005wpu

pepsin HCl (AOAC 1980; Calsamiglia dan Stern 1995; Habib et al. 2001),

sebagai pemasok asam amino pascarumen. Protein ransum yang tak

terdegradasi dalam rumen dengan kecernaan oleh enzim pencernaan

pascarumen yang tinggi diperlukan untuk menyediakan protein ransum bagi

induk semang. Hal ini sehubungan dengan pasokan asam amino untuk ternak

dengan tingkat produksi tinggi tidak cukup jika hanya mengandalkan pasokan

yang berasal dari protein mikroba. Sebaliknya protein ransum yang tak

terdegradasi dalam rumen, tetapi tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan

pascarumen akan dikeluarkan melalui feses. Oleh karena itu tingkat ketahanan

protein ransum terhadap degradasi dalam rumen sekaligus kecernaan protein

oleh enzim pencernaan pascarumen menjadi penting untuk diperhitungkan

dalam menentukan kualitas protein ransum ruminansia. (iv) Produksi basa

purin cairan rumen (Zinn dan Owens 1986; Chen dan Gomez 1992; Obispo dan

Dehority 1999) untuk melihat besarnya sintesis mikroba rumen, yang merupakan

komponen pemasok protein asal mikroba rumen. Semakin tinggi basa purin

yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi nilai hayati dari protein ransum.

Mikroba rumen merupakan sumber pemasok N yang utama bagi ruminansia

karena mampu mencukupi kebutuhan N sebesar 40 – 80% (Sniffen dan

Robinson 1987).

Pengukuran mutu protein ransum perlu mempertimbangkan cara yang

mudah, cepat dan murah serta mempunyai relevansi tinggi dengan retensi

nitrogen dan pertumbuhan, sehingga tolok ukur mutu protein tersebut bisa

digunakan untuk menduga produktivitas. Pengukuran dengan menggunakan

hewan percobaan (in vivo) dapat diketahui secara langsung besarnya retensi

nitrogen maupun pertumbuhannya, akan tetapi dibutuhkan biaya yang mahal

dan membutuhkan waktu lama. Pengukuran secara in vitro dan in sacco dapat

dilakukan dalam waktu yang cepat, sampel yang dibutuhkan sedikit, kondisi

relatif homogen dan dapat dikontrol serta biaya lebih murah.

Untuk menjawab hal tersebut dilakukan serangkaian percobaan yang

menyangkut pengkajian beberapa faktor yang mempengaruhi masing-masing

tolok ukur, baik secara in vitro, in sacco dan in vivo. Parameter mutu protein

ransum in vitro meliputi produksi amonia, kecernaan pepsin dan produksi purin,

sedangkan secara in sacco dapat diukur tingkat degradasi protein dalam rumen.

Page 3: Bab i 2005wpu

Selanjutnya dilakukan analisis relevansi masing-masing tolok ukur terhadap

retensi dan pertumbuhan domba dengan analisis regresi.

Tujuan

1 Mengkaji pengaruh sumber protein ransum terhadap utilisasi protein

berdasarkan tinjauan beberapa parameter mutu protein.

2 Menentukan parameter mutu protein ransum yang erat kaitannya dengan

retensi nitrogen dan pertumbuhan domba.

Manfaat

1 Dengan adanya relevansi antara produksi amonia, degradasi protein dalam

rumen, kecernaan protein tak terdegradasi dalam rumen oleh pepsin HCl

dan produksi purin dengan retensi nitrogen serta pertumbuhan domba,

maka parameter tersebut dapat digunakan sebagai tolok ukur mutu protein

ransum.

2 Tolok ukur mutu protein tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk

memilih bahan yang sesuai dalam menyusun ransum guna mencapai

pertumbuhan domba seperti yang diharapkan.

Hipotesis

Produksi amonia, degradasi protein dalam rumen, kecernaan protein tak

terdegradasi dalam rumen oleh pepsin HCl dan produksi purin dapat digunakan

sebagai tolok ukur mutu protein ransum, karena berpengaruh pada retensi

nitrogen dan pertumbuhan domba.

TINJAUAN PUSTAKA

Page 4: Bab i 2005wpu

Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat serta Lemak pada Ruminansia

Proses pencernaan adalah suatu proses perubahan yang dialami bahan

makanan baik secara fisik maupun kimiawi di dalam saluran pencernaan

menjadi zat-zat yang lebih sederhana yang dipersiapkan untuk diabsorbsi dan

digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhannya. Proses pencernaan pada

ruminansia lebih kompleks dibandingkan dengan non ruminansia, yaitu meliputi

interaksi antara pakan dengan populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Proses

pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (di mulut), fermentatif (oleh

enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen) dan hidrolisis (oleh enzim-

enzim hewan induk semang). Oleh karena itu ruminansia mempunyai

kemampuan yang lebih baik dalam mencerna zat-zat makanan terutama yang

berasal dari makanan berserat.

Pakan ruminansia mengandung sejumlah nutrien seperti karbohidrat,

protein, lemak, vitamin dan mineral. Karbohidrat merupakan komponen yang

mendominasi suatu bahan pakan dan umumnya berupa selulosa, hemiselulosa,

pati dan pektin. Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen terutama berupa

asam lemak mudah terbang (volatile fatty acid = VFA). Proses pencernaan dan

fermentasi karbohidrat dalam rumen menjadi VFA secara skematis disajikan

pada Gambar 1. Partikel karbohidrat pakan seperti selulosa, hemiselulosa

mengalami hidrolisis oleh enzim â-1-4-glukosidase dari mikroba menjadi

sakarida sederhana seperti heksosa, pentosa, dan selobiosa. Karbohidrat yang

lain seperti pati, fruktan dan gula-gula mudah larut akan dicerna menjadi

maltosa, fruktosa dan glukosa. Hasil pencernaan tersebut segera memasuki

proses glikolisis Embden-Meyerhoff untuk menghasilkan piruvat.

Piruvat akan segera dirubah oleh mikroorganisme secara intraseluler

menjadi VFA. Komponen VFA yang merupakan produk akhir pencernaan

karbohidrat dalam retikulorumen terdiri atas asam asetat, propionat, butirat dan

sejumlah kecil valerat serta asam lemak berantai cabang yaitu isobutirat,

isovalerat dan 2-metilbutirat (Church dan Pond 1988). Perubahan piruvat

menjadi produk akhir VFA dapat melalui beberapa lintasan. Asetat dihasilkan

Selulosa Pati Pektin Hemiselulosa

Page 5: Bab i 2005wpu

Pentosa

Heksosa

Lintasan

Embden Mayerhoff Lintasan Pentosa

Piruvat

Format

Asetil Ko-A

CO2 + H2 Lintasan Lintasan Suksinat Akrilat

Metan Asetat Butirat Propionat

Gambar 1 Skema fermentasi karbohidrat menjadi VFA dalam rumen (France dan Siddons 1993)

melalui dua jalur yaitu yang pertama melalui pembentukan asetil Ko-A terlebih

dahulu, kemudian dirubah menjadi asetil-fosfat kemudian asetat. Jalan yang

kedua yaitu dari piruvat dirubah menjadi asetil-fosfat dan format. Format yang

dibentuk oleh Methanobacterium diuraikan menjadi CO2 dan H2 yang

selanjutnya menghasilkan metan. Pembentukan propionat juga dapat melalui

dua jalur, yaitu jalur laktat atau akrilat dan jalur suksinat. Jadi selain VFA, dalam

fermentasi karbohidrat juga dihasilkan gas CO2, H2 dan metan yang dikeluarkan

dari rumen melalui proses eruktasi.

Kisaran konsentrasi VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak

adalah 80–160 mM, sedangkan konsentrasi VFA parsial selalu berubah

bergantung jenis pakan yang dikonsumsi. Pada pemberian hijauan tinggi,

proporsi asetat meningkat, sebaliknya pada pemberian konsentrat tinggi proporsi

propionat akan meningkat. Pada pemberian protein ransum tinggi, akan

dihasilkan isovalerat dan isobutirat yang tinggi pula (Sutardi 1977). Selanjutnya

VFA yang dihasilkan langsung diserap oleh epitelium rumen dan dibawa ke hati

melalui sistem porta untuk dimetabolisme lebih lanjut.

Page 6: Bab i 2005wpu

Lemak merupakan senyawa organik berminyak yang tidak larut dalam air.

Komponen lemak yang paling banyak adalah triasilgliserol yang merupakan

bahan bakar utama bagi semua organisme hidup dan juga merupakan

komponen utama membran sel yakni tempat terjadinya reaksi-reaksi metabolik

(Lehninger 1993). Berbeda dengan ternak non ruminansia, pencernaan lemak

pada ruminansia dewasa pertama kali dimulai di dalam retikulorumen,

selanjutnya akan mengalami dua proses penting, yaitu lipolisis dan

biohidrogenasi. Pertama-tama lemak akan mengalami lipolisis oleh enzim lipase

mikroba menghasilkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid = FFA), gliserol dan

galaktosa. Gliserol dan galaktosa difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan

VFA terutama propionat, sedangkan FFA dengan cepat akan dihidrogenasi oleh

mikroba menghasilkan produk akhir berupa asam lemak jenuh (Preston dan

Leng 1987). Asam lemak rantai pendek (C2-14) dan VFA langsung diserap oleh

dinding rumen, sedangkan penyerapan asam lemak jenuh berantai panjang

(>C14) hanya terjadi di usus halus.

Pencernaan dan Metabolisme Protein pada Ruminansia

Proses pencernaan protein pada ruminansia termasuk unik, karena

melibatkan mikroorganisme di dalam lambung majemuk yang menghasilkan

enzim proteolotik dan sangat berperan dalam pencernaan protein. Semua

protein dan non protein nitrogen (NPN) yang masuk ke dalam rumen mengalami

hidrolisis oleh enzim proteolitik menjadi oligopeptida dan asam amino.

Oligopeptida dan asam amino tersebut merupakan produk antara dan

selanjutnya akan dikatabolisme dan dideaminasi menghasilkan VFA, CO2, CH4

dan NH3 (Sutardi 1979; Baldwin dan Allison 1983; McDonald et al. 1988).

Proses proteolitik dan deaminasi asam amino menjadi amonia diduga tidak

memiliki kontrol metabolik. Hal ini berarti degradasi dan deaminasi terhadap

asam amino terus berlangsung meskipun telah terjadi akumulasi amonia yang

cukup tinggi.

protein pakan protein endogen

Page 7: Bab i 2005wpu

FERMENTASI RUMEN

asam amino NH3 diabsorbsi tak terdegradasi protein mikroba protein protein protein pakan mikroba endogen KECERNAAN USUS

asam amino diabsorbsi protein tidak tercerna protein endogen NH3 diabsorbsi

FERMENTASI

SEKUM Mikroba

Feces

Gambar 2 Perombakan protein pada hewan ruminansia (Kempton et al. 1978)

Secara skematis perombakan protein pakan pada ruminansia dijelaskan

oleh Kempton et al. (1978) seperti pada Gambar 2. Pada gambar tersebut

terlihat bahwa tidak seluruh protein pakan yang masuk ke dalam rumen akan

didegradasi oleh mikroba rumen. Ada sebagian protein pakan yang tak

terdegradasi dalam rumen dan dapat dicerna oleh enzim pencernaan

pascarumen kemudian diserap oleh usus halus.

Page 8: Bab i 2005wpu

Amonia sebagai hasil degradasi oleh mikroba rumen akan digunakan

untuk sintesis de novo protein mikroba yang selanjutnya menyediakan protein

mikroba bagi induk semang. Menurut Cheeke (1998), protein mikroba yang

sampai ke abomasum menjadi tersedia untuk induk semang. Protein ransum

yang tak terdegradasi dalam rumen bersama protein mikroba akan mengalir ke

abomasum terus ke usus halus dan dihidrolisis oleh enzim proteolitik yang

dihasilkan oleh ternak dan untuk selanjutnya diserap (Kempton et al.1978 dan

Nolan 1993). Protein yang tidak terhidrolisis akan meninggalkan usus dan

mengalami fermentasi dalam sekum dan kolon atau diekskresikan melalui feses.

Secara umum produk fermentasi dalam sekum dan kolon tidak bermanfaat bagi

induk semang (Kempton et al. 1978).

Proses degradasi protein tidak dapat dipandang sebagai suatu proses

yang menguntungkan ataupun merugikan. Pada kondisi tertentu proses

degradasi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan amonia dan peptida untuk

pertumbuhan mikroba rumen. Protein mikroba tersebut merupakan sumber

pasokan asam amino bagi induk semang (Chen et al. 1992; Verbic et al. 1990;

Puchala dan Kulasek 1992). Menurut Sniffen dan Robinson (1987) mikroba

rumen dapat mensuplai protein sebanyak 40–80% dari kebutuhan ternak

ruminansia. Sebaliknya pada kondisi protein pakan bermutu tinggi, diharapkan

laju degradasi protein tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu terhadap protein pakan

berkualitas tinggi yang fermentabel perlu dilakukan proteksi agar tahan terhadap

degradasi dalam rumen.

Pemberian protein ransum yang tak terdegradasi dalam rumen dapat

meningkatkan pasokan asam amino ke dalam usus halus dan memperbaiki profil

asam amino (Volden 1999). Protein merupakan bahan pakan ternak ruminansia

yang cukup mahal harganya, maka perhatian untuk meminimalkan degradasi

protein pakan dalam rumen perlu dipertimbangkan (Russel et al. 1992). Lebih

lanjut Saricicek (2000) dan Mustafa et al. (2000) menyatakan bahwa untuk

mengoptimalkan kemampuan ternak agar dapat berproduksi sesuai potensi

genetiknya perlu perhatian pada protein pakan yang tak terdegradasi dalam

rumen. Terhadap protein pakan yang tak terdegradasi dalam rumen perlu

dievaluasi lebih lanjut, terutama terhadap kecernaan oleh enzim proteolitik di

dalam organ pencernaan pascarumen dan keseimbangan asam aminonya. Jadi

usaha memacu produksi ternak melalui perbaikan nutrisi protein dapat dilakukan

Page 9: Bab i 2005wpu

dengan cara meningkatkan pemberian protein ransum yang tak terdegradasi

dalam rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba. Melalui cara

tersebut diharapkan pasokan asam amino untuk diserap oleh usus halus

menjadi lebih banyak.

N-NH3 dan Sintesis Protein Mikroba Rumen

Proses perombakan protein oleh mikroba rumen menghasilkan amonia,

peptida dan asam amino (Nolan 1993). Amonia, peptida dan asam-asam amino

adalah sumber N untuk mikroba rumen. Lebih kurang 82% jenis mikroba rumen

dapat menggunakan amonia sebagai sumber N (Sniffen dan Robinson 1987).

Sebagian besar bakteri menggunakan amonia untuk sintesis protein tubuhnya,

walaupun ada sebagian kecil yang membutuhkan peptida dan asam amino

(Leng dan Nolan 1982; Wallace dan Cotta 1998). Hal ini disebabkan karena

sebagian mikroba mempunyai sistem transpor untuk mengangkut asam amino

ke dalam tubuhnya (Nolan 1993).

Amonia di dalam rumen tidak seluruhnya digunakan oleh mikroba,

sebagian akan diserap melalui dinding rumen. Jumlah amonia yang diserap

melalui dinding rumen bergantung pH rumen, semakin tinggi pH (basa) makin

besar jumlah amonia yang diserap (Haresign dan Cole 1984). Amonia yang

diserap akan dibawa oleh darah menuju ke hati untuk dikonversi menjadi urea.

Sebagian urea kembali ke rumen melalui saliva dan sebagian lagi dikeluarkan

dari tubuh melalui urin. Pool amonia dalam rumen tidak hanya disuplai oleh

proses degradasi protein ransum, tetapi juga oleh sumber N lainnya seperti

urea. Urea sudah umum ditambahkan pada pakan yang bermutu rendah.

Cheeke (1998) menyatakan bahwa urea merupakan sumber NPN terbesar yang

sering ditambahkan dalam pakan dan di dalam rumen akan mengalami

degradasi dengan cepat menghasilkan amonia, dengan konsentrasi maksimal

dalam 1 jam setelah makan (Broderick dan Wallace 1988). Sementara menurut

Kozloski et al. (2000) konsentrasi N amonia rumen meningkat dengan semakin

meningkatnya penambahan urea. Peningkatan terjadi hingga 3 jam pertama

sesudah pemberian pakan. Berkenaan dengan amonia adalah sumber N utama

untuk sintesis protein mikroba maka, konsentrasi amonia dalam rumen perlu

diperhatikan.

Page 10: Bab i 2005wpu

Sintesis protein mikroba akan mencapai laju optimum pada konsentrasi

amonia rumen sebesar 3.57 mM Satter dan Slyter (1974). Preston dan Leng

(1987) melaporkan bahwa kadar amonia cairan rumen sangat bervariasi dan

bergantung pada kandungan N ransum, dengan kisaran 10.7–14.3 mM. Leng

(1991) mendapatkan nilai sebesar 14.29 mM untuk mengoptimumkan aktivitas

mikroba rumen pada ternak sapi yang diberi pakan berserat dengan tingkat

kecernaan serat dan protein yang rendah. Sementara Mehrez et al. (1977)

melalui penelitian in vivo pada ternak domba mendapatkan bahwa konsentrasi

amonia yang lebih tinggi, yaitu sebesar 16.78 mM agar aktivitas mikroba dapat

optimal. Sutardi (1979) menyatakan bahwa kadar amonia rumen yang

mendukung pertumbuhan mikroba adalah 4-12 mM. Pada konsentrasi amonia

kurang dari 4 mM proses sintesis protein mikroba sudah terganggu. Pada

konsentrasi amonia yang lebih besar membutuhkan ketersediaan karbohidrat

yang siap pakai untuk memaksimalkan sintesis protein mikroba. Studi lain

menyatakan bahwa kadar amonia yang cukup untuk mencapai efisiensi

penggunaan energi dan protein ransum adalah 7-8 mM (Erwanto et al. 1993).

Produksi amonia merupakan petunjuk dari proses degradasi oleh mikroba

rumen. Produksi amonia rumen mencapai titik optimal pada saat tiga jam setelah

makan (Sutardi 1994; Mirsha et al. 2004). Jika ransum defisien akan protein atau

proteinnya tahan degradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan

rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan

turunnya kecernaan terutama kecernaan serat (McDonald et al. 1988). Produksi

amonia dalam rumen menjadi penting untuk diperhatikan dan terdapat korelasi

dengan degradabilitas ransum dalam rumen untuk mendukung sintesis mikroba

rumen yang optimum.

Mikroba rumen memberi sumbangan protein yang cukup besar terhadap

kebutuhan ternak ruminansia (Sniffen dan Robinson 1987). Untuk

mengoptimalkan pertumbuhan mikroba rumen, maka disamping menuntut

ketersediaan N yang cukup, pasokan nutrien lainnya sangat dibutuhkan seperti

energi, asam amino, mineral dan vitamin. Energi yang dibutuhkan untuk sintesis

protein mikroba adalah energi dalam bentuk ATP, sedangkan VFA yang

bermanfaat bagi mikroba rumen hanyalah yang bercabang dan dibutuhkan

sebagai sumber kerangka karbon. Asam amino berantai cabang sangat

mendukung sintesis protein mikroba karena akan mengalami deaminasi dan

Page 11: Bab i 2005wpu

dekarboksilasi menghasilkan asam lemak berantai cabang. Erwanto (1995) dan

Zain (1999) melaporkan bahwa penambahan asam amino berantai cabang

dalam ransum ruminansia mampu memacu pertumbuhan bakteri rumen. Hasil

penelitian Kanjanapruthipong et al. (2002) melaporkan bahwa meningkatnya

pasokan protein yang tahan degradasi rumen menyebabkan terjadi penurunan

sintesis protein mikroba dalam rumen yang diindikasikan oleh menurunnya

derivat purin dalam urin.

Meningkatnya pertumbuhan bakteri rumen dapat dilihat dari produksi total

purin dalam cairan rumen atau ekskresi alantoin (salah satu derivat purin) di

dalam urin. Lebih lanjut dinyatakan bahwa absorbsi purin dari asam nukleat

yang didegradasi akan dikeluarkan melalui urin sebagai derivat purin, yaitu

hypoxanthin, xanthin, asam urat dan alantoin. Dengan demikian produksi N

mikroba rumen dapat diestimasi dari derivat purin yang diekskresi melalui urin

(Chen et al. 1990). Secara skematis degradasi purin dan pembentukan derivat

purin seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Ekskresi derivat purin dapat dijadikan indikator dan metode untuk

memprediksi biomasa mikroba yang meninggalkan rumen dan dicerna dalam

usus halus. Hal ini karena alantoin bersama dengan xanthin dan hipoxanthin

merupakan metabolit intermediet dari proses pencernaan bakteri rumen di dalam

usus halus yang dikeluarkan melalui urin. Kanjanapruthipong dan Leng (1998)

melaporkan bahwa hipoxanthin, xanthin, asam urat dan alantoin yang

diekskresikan dalam urin merupakan derivat metabolit dari purin endogen dan

eksogen yang didegradasi dalam tubuh. Jumlah asam urat dan alantoin yang

diekskresikan dalam urin diketahui mempunyai hubungan dengan pool asam

nukleat mikroba dalam rumen (Topp dan Elliot 1965) dan dalam usus halus yang

nilainya sebanding dengan derivat purin dalam darah (McAllan 1980). Nilai purin

dan derivatnya dapat menggambarkan besarnya protein mikroba yang memasok

kebutuhan ternak ruminansia. Alantoin urin sebagai komponen derivat purin

mengkontribusi >70% dari totalnya (Orden et al. 2000).

Page 12: Bab i 2005wpu

Purin Nukleotida Defosforilasi

Purin nukeosida

Basa purin

Adenin Guanin Adenase Guanase

Adenosin

Inosin HYPOXANTHIN

Xanthin oxidase

XANTHIN

Xanthin oxidase

ASAM URAT

Uricase

ALANTOIN

Gambar 3 Degradasi purin nukleotida dan pembentukan derivat purin (Chen dan Gomez 1992)

Berdasarkan hasil penelitian Obispo dan Dehority (1999) diketahui kadar

purin dari mikroba rumen sebesar 1.88 10-9 ì g setiap koloni. Ogimoto dan Imai

(1981) melaporkan bahwa populasi bakteri dalam rumen berkisar 1010-1012

koloni ml-1. Jadi besarnya kadar purin lebih kurang 0.2 mg ml-1 cairan rumen.

Perez et al. (1997) melaporkan bahwa basa purin dipengaruhi oleh kadar protein

dan karakteristik sumber protein ransum. Besarnya aliran basa purin melalui

duodenum ternyata lebih tinggi pada ransum dengan konsentrat tinggi (17.7

mmol hari-1) dibanding ransum dengan konsentrat rendah (12.9 mmol hari-1).

Pada kedua level konsentrat suplementasi tepung ikan menghasilkan basa

purin terendah (12.3 mmol hari-1) dibandingkan dengan bungkil kedelai (17.25

mmol/h) maupun biji matahari (16.32 mmol hari-1). Komponen alantoin sebagai

komponen terbesar dari derivat purin dalam urin menunjukkan pola yang sama.

Zain (1999) melaporkan bahwa alantoin urin sejumlah 73 mg hari-1 mampu

mendukung pertumbuhan domba sebesar 104 g hari-1.

Page 13: Bab i 2005wpu

Pemberian protein pakan yang tidak mudah terdegradasi, akan

menurunkan laju fermentasi protein oleh mikroba, sehingga menurunkan

pasokan energi dan asam amino mikroba untuk induk semang (Volden 1999).

Pada saat sumber protein tak terdegradasi dalam rumen tinggi diberikan,

suplemen NPN dibutuhkan untuk menjaga kecukupan level amonia rumen guna

mendukung sintesis mikroba rumen. Namun demikian dilaporkan bahwa,

dibanding amonia, asam amino dan peptida lebih meningkatkan laju dan jumlah

protein bakteri yang disintesis (NRC 1996). Dalam banyak kasus pakan alami

mengandung protein terdegradasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan

mikroba rumen akan asam amino, peptida dan asam amino bercabang.

Protein Tak Terdegradasi dalam Rumen dan Kecernaan Pascarumen

Untuk memaksimalkan produktivitas ternak ruminansia ditinjau dari segi

nutrien proteinnya, maka diperlukan pasokan protein yang tak terdegradasi

dalam rumen dengan kecernaan oleh enzim pascarumen yang tinggi. Protein

mikroba tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan asam amino ruminansia.

Mengutip pernyataan Henson et al. (1997), sapi yang berproduksi tinggi

membutuhkan sejumlah protein yang bermutu tinggi yang mampu menyediakan

asam amino esensial ke saluran pencernaan bagian bawah untuk keperluan

laktasi dan fungsi metabolik. Mikroba rumen adalah sumber protein berkualitas

tetapi tidak selalu dapat mensuplai jumlah protein metabolisme yang cukup

untuk mendukung produksi dan hidup pokok. Protein tidak tercerna dalam

rumen dapat meningkatkan aliran asam amino ke saluran gastrointestinal untuk

diabsorbsi. Lebih lanjut dinyatakan oleh Sutardi (1979) bahwa sumber protein

bagi ruminansia adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (i) mampu

menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal, (ii) sebagian besar

tahan terhadap degradasi mikroba rumen dan (iii) bernilai hayati atau bernilai

Utilisasi Protein Netto (NPU) tinggi.

Pemenuhan kebutuhan protein ruminansia perlu memperhitungkan

jumlah protein pakan yang dapat didegradasi dalam rumen (untuk pertumbuhan

mikroba yang optimal) dan jumlah protein ransum yang tak terdegradasi dalam

rumen (yang diperlukan untuk melengkapi asam amino asal mikroba rumen).

Chen dan Jayasuria (1998) menyatakan bahwa jumlah N yang didegradasi

dalam rumen dan dikonversi menjadi protein mikroba menentukan efisiensi

Page 14: Bab i 2005wpu

penggunaan ransum oleh ruminansia. Lebih lanjut dinyatakan jika ransum

mempunyai efisiensi konversi N yang tinggi, maka protein mikroba lebih banyak

diproduksi dan sedikit N yang diekskresikan lewat urin. Adapun terhadap protein

pakan yang tak terdegradasi dalam rumen masih diperlukan evaluasi lebih

lanjut, terutama terhadap kecernaannya oleh enzim proteolitik di dalam organ

pencernaan pascarumen.

Jumlah protein pakan yang mengalami degradasi dalam rumen cukup

banyak dan laju degradasi tersebut dipengaruhi oleh kelarutan protein dan laju

aliran digesta (Buttery 1976). Derajat ketahanan protein terhadap degradasi

oleh mikroba rumen sangat beragam. Madsen dan Hvelplund (1985) telah

meneliti degradasi protein dari 38 jenis bahan konsentrat dan 44 jenis hijauan

secara in vitro dan in sacco (nylon bag) dan mendapatkan hasil bahwa

degradasi protein bahan yang diteliti bervariasi antara 12-90%. Adanya

keragaman tersebut memberi peluang kepada kita untuk memilih bahan pakan

dengan menyeimbangkan antara bahan pakan yang mudah didegradasi dalam

rumen dengan yang tahan degradasi rumen.

Chalupa (1975), Satter dan Roffler (1975) mengklasifikasikan sumber

protein atas dasar ketahanan protein terhadap degradasi dalam rumen kedalam

tiga kelompok. Bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan terhadap

degradasi dalam rumen rendah (<40%) adalah kasein, bungkil kedelai, bungkil

biji matahari dan bungkil kacang. Sedangkan bahan pakan sumber protein

dengan tingkat ketahanan sedang (40-60%) adalah biji kapas, alfalfa yang

didehidrasi, biji jagung dan biji-bijian kering bahan pembuat bir, sementara

bahan pakan sumber protein dengan tingkat ketahanan tinggi (>60%) adalah

tepung daging, corn gluten meal (CGM), tepung darah, tepung bulu, tepung ikan

dan beberapa protein yang diproteksi dengan formaldehid.

Peningkatan protein pakan tak terdegradasi dalam rumen tidak selalu

meningkatkan produksi. Hal ini dimungkinkan karena protein tersebut memiliki

tingkat kecernaan pascarumen yang rendah. Konsekuensinya ketersediaan

asam amino untuk dapat diabsorbsi dari usus halus menjadi berkurang (Owen

dan Bergen 1983). Hasil penelitian Preston dan Willis (1970) menunjukkan

bahwa konsumsi dan pertumbuhan dapat distimulasi dengan pasokan protein

pakan tak terdegradasi dalam rumen dari tepung ikan yang ditambahkan pada

pakan rendah protein. Hasil serupa juga ditunjukkan dengan pemberian barley

Page 15: Bab i 2005wpu

pelet pada domba betina (Orskov et al. 1973). Pada penelitian lain dilaporkan

bahwa meningkatnya level protein pakan yang tahan degradasi rumen

meningkatkan pertumbuhan bulu pada domba dan terjadi peningkatan

pertambahan bobot badan (Litherland et al. 2000).

Hasil Penelitian Pemberian Protein pada Ruminansia

Penelitian terhadap empat macam sumber protein dalam ransum yang

disusun isonitrogen telah dilakukan oleh Habib et al. (2001). Hasil yang

diperoleh adalah pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dari kontrolnya,

tetapi tidak menunjukkan perbedaan diantara keempat macam sumber protein.

Faktor yang mendukung pertambahan bobot badan tidak seluruhnya dari

pasokan protein, tetapi juga melibatkan sumber energi baik karbohidrat maupun

lemak. Jadi walaupun pasokan asam amino ke dalam usus berbeda,

pertambahan bobot badan yang dihasilkan bisa juga tidak berbeda.

Schlolsser et al. (1993) melaporkan bahwa pemberian bungkil kedelai dan

tepung darah pada kambing betina tidak menunjukkan perbedaan total protein

yang masuk usus maupun pertambahan bobot badan. Hal yang sama pada sapi

dilaporkan oleh Klusmeyer (1990) tidak terdapat perbedaan pengaruh substitusi

bungkil kedelai dengan corn gluten meal (CGM) terhadap total protein yang

masuk usus. Aliran protein ke pascarumen terdiri atas protein mikroba dan

protein yang tidak terdegradasi dalam rumen dan dicerna di dalam usus.

Bungkil kedelai sebagai sumber protein yang mempunyai tingkat degradasi lebih

tinggi daripada CGM mempunyai dukungan terhadap sintesis protein mikroba

yang lebih tinggi, sedangkan CGM dengan tingkat degradasi rendah dalam

rumen lebih mampu menyediakan protein ke dalam usus halus.

Kalbande dan Thomas (2001) memberikan substitusi tiga macam ransum

dengan tingkat protein degradable tinggi, sedang, dan rendah terhadap protein

tahan degradasi. Ransum disusun isonitrogen dan isoenergi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pH dan amonia rumen lebih rendah pada pakan dengan

protein tahan degradasi, tetapi VFA total dan parsialnya tertinggi. Perubahan

dari profil dan karakteristik fermentasi rumen dipengaruhi oleh jumlah kelarutan

dari protein ransum. Konsentrasi N amonia cairan rumen meningkat dengan

semakin meningkatnya level protein yang terdegradasi. Ditambahkan oleh Lee

et al. (2001) bahwa meningkatnya protein tak terdegradasi rumen menurunkan

Page 16: Bab i 2005wpu

konsentrasi amonia, yang berarti rendahnya kecernaan protein sehingga

ketersediaan amonia untuk pertumbuhan mikroba rendah juga.

Kanjanapruthipong et al. (2002) menyatakan total bakteri yang hidup dan

sintesis protein mikroba yang ditunjukkan dalam bentuk derivat purin dalam urin

menurun dengan semakin meningkatnya protein tahan degradasi dalam rumen.

Menurunnya bakteri rumen yang diindikasikan oleh jumlah total bakteri hidup

dengan semakin meningkatnya kadar protein tahan degradasi dari bungkil

kedelai yang diberi formalin dalam pakan diduga akibat lebih rendahnya peptida

yang larut dan asam amino yang tersedia untuk asimilasi. Kelebihan dari

peptida dan asam amino dari protein degradabel yang berlebihan untuk sintesis

protein mikroba dapat digunakan sebagai penghasil ATP.

Evaluasi Mutu Protein Ransum sebagai Penduga Utilisasi

Protein Ransum

Evaluasi ransum dapat dilakukan secara fisik, kimiawi dan biologis.

Evaluasi fisik ransum dilakukan terhadap ukuran, bentuk, keambaan, daya serap

air dan kelarutannya. Evaluasi kimia ransum yang menggambarkan komposisi

nutrien, seperti lemak dan protein hanyalah kadarnya saja. Penentuan besarnya

kebutuhan nutrien dan pemberian ransum ternak domba di Indonesia masih

digunakan standar yang direkomendasikan oleh NRC (1985) dan Kearl (1982).

Kebutuhan nutrien yang dimaksud adalah kadar nutrien yang ditentukan

berdasarkan analisa laboratorium. Berdasarkan kadar nutrien saja tidak dapat

diketahui kualitas dan manfaat ransum bagi ternak yang mengkonsumsi.

Kualitas dan manfaat baru dapat diketahui setelah dicobakan pada ternak. Pada

ternak ruminansia yang mempunyai lambung majemuk proses pencernaannya

berbeda dengan hewan monogastrik. Oleh karena itu pengujian manfaat

ransum yang diberikan terhadap ternak yang mengkonsumsi perlu dilakukan.

Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium (in

vitro dan in sacco) maupun menggunakan hewan percobaan (in vivo). Teknik in

vitro mempunyai beberapa keuntungan dibanding teknik in vivo, antara lain

dapat dilakukan secara cepat, biaya murah, jumlah sampel yang digunakan

sedikit, kondisi relatif homogen dan dapat dikontrol serta dapat mengevaluasi

beberapa macam ransum dalam waktu singkat (Church 1979). Pada teknik ini

dipergunakan rumen buatan sebagai media (kultur), cairan rumen sebagai

Page 17: Bab i 2005wpu

sumber inokulum, larutan buffer untuk mempertahankan pH rumen dengan

kondisi dijaga anaerob seolah-olah menyerupai kondisi rumen pada ternak

sesungguhnya. Oleh karena itu hasil percobaan in vitro dapat dipergunakan

untuk memprediksi percobaan in vivo. Teknik in sacco telah biasa dilakukan

untuk mengukur degradasi pakan di dalam rumen, dengan menggunakan hewan

berkanula rumen. Tingkat degradasi pakan diukur dari bahan yang hilang pada

kantong nilon terhadap bahan awal yang diinkubasikan dalam rumen.

Pengukuran didasarkan pada lama inkubasi yang berbeda dan berurutan.

Berdasarkan hal tersebut, maka evaluasi ransum dapat dilakukan dengan

teknik in vitro dan in sacco, guna memprediksi mutu ransum yang sesungguhnya

bermanfaat bagi ternak yang mengkonsumsinya. Madsen (1985) telah

memperbaiki sistem evaluasi protein dengan memperhitungkan tingkat

degradasi dan daya cerna nutrien di dalam rumen serta sintesa protein mikroba.

Suatu metode pendekatan dilakukan untuk menduga kualitas ransum yang

diberikan dan besarnya sumbangan nutrien ransum terhadap penampilan

ternak. Salah satu pendekatan untuk mengevaluasi mutu ransum menggunakan

tolok ukur mutu protein ransum yang diberikan, yaitu kemampuan menghasilkan

amonia (Setter dan Slyter 1974), laju degradasi dalam rumen (Orskov 1982) dan

kecernaan protein tak terdegradasi dalam rumen oleh enzim pascarumen

(Calsamiglia dan Stern 1995, Muktiani 1994, Habib et al. 2001) dan produksi

purinnya (Chen dan Gomez 1992). Terdapatnya korelasi tolok ukur mutu protein

ransum tersebut dengan retensi nitrogen, pertambahan bobot hidup dan

deposisi protein tubuh, secara tidak langsung dapat digunakan untuk

memprediksi produktivitas ternak.