Upload
shanty-kaurifan
View
39
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di
atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi usia lanjut,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik
90 mmHg (Bruner, 2002). Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang terjadi di negara maju maupun berkembang. Hipertensi
merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%),
setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%). Berdasarkan data RISKESDAS
2007, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Depkes, 2008).
Penderita yang penyebab hipertensinya tidak diketahui disebut penderita
hipertensi esensial. Umumnya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh
peningkatan tahanan (resistensi) pengaliran darah melalui arteriol-arteriol secara
menyeluruh, sedangkan curah jantung, biasanya normal. Penelitian yang seksama
terhadap fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan ginjal belum mampu mengidentifikasi suatu kelainan
primer penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi
esensial (Katzung, 2001)
Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010
mengalami kenaikan sebesar 400 %, sehingga jumlahnya lebih banyak dari Bawah
Lima Tahun (Balita). Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya
1
morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular, diantaranya
hipertensi (Bakri S, 2001).
Sebagian besar usia lanjut yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya
menjalani terapi dengan menggunakan obat antihipertensi. Pengobatan hipertensi
pada usia lanjut secara farmakologi sedikit berbeda dengan usia muda karena
adanya perubahan-perubahan fisiologis akibat proses menua. Perubahan fisiologis
yang terjadi pada usia lanjut menyebabkan konsentrasi obat menjadi lebih besar,
waktu eliminasi obat menjadi lebih panjang, terjadi penurunan fungsi dan respon
dari organ, adanya berbagai penyakit lain, adanya obat-obat untuk penyakit
penyerta yang sementara dikonsumsi harus diperhitungkan dalam pemberian obat
antihipertensi (Ikawati, 2008)
Penelitian ini dikhususkan pada pasien geriatri didasari oleh kenyataan
bahwa proses penuaan akan mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan
fisiologi, anatomi, psikologi dan sosiologi dan meningkatnya potensi terkena
beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Penyakit-penyakit tersebut biasanya ditangani dengan penggunaan terapi obat
yang sifatnya polifarmasi yang akan memunculkan risiko efek samping obat
sembilan kali dibanding jika mengkonsumsi satu obat. Polifarmasi juga akan
memunculkan masalah interaksi obat, meskipun tidak semua interaksi obat
bermakna secara klinis (Ekowati.R, 2006)
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin melakukan evaluasi
penggunaan obat pada pasien geriatri penderita hipertensi esensial. Evaluasi
penggunaan obat dilihat dari tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat obat
2
dibandingkan dengan Standar Terapi Penyakit Hipertensi RSUP Dr. M. Djamil
Padang, interaksi obat-obat yang terjadi selama penggunaan obat, perubahan
tekanan darah setelah diberikan obat antihipertensi.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini
adalah :
1). Apakah golongan dan jenis obat antihipertensi yang diberikan pada geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang sesuai dengan Standar Terapi Penyakit Hipertensi RSUP Dr. M.Djamil
Padang ?
2). Apakah target terapi hipertensi menurut JNC 7 yaitu tekanan darah <140/90
mmHg tercapai dengan penggunaan obat antihipertensi yang terpilih ?
3). Adakah interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya yang diberikan dan
berapa persentase kejadiannya ?
1.3. Tujuan Penelitian
1). Mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil
Padang.
3
2). Mengetahui obat-obat yang sering berinteraksi pada pasien geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil
Padang dan berapa persentase kejadiaannya.
3). Mengetahui keberhasilan terapi obat antihipertensi pada pasien geriatri
penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr. M.Djamil
Padang.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui hasil evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada
geriatri penderita hipertensi primer di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP
Dr.M.Djamil Padang diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan
dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan pada pasien geriatri.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arterial
abnormal yang berlangsung terus-menerus (Brashers, 2003). Hipertensi
merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg (Bakri, 2001). Menurut
The Sevent Report of Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi seperti tabel dibawah ini (Chobanian, 2003).
Tabel 2.1.1 Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi Tekanan Darah
Tekanan Sistolik (mmHg)
Tekanan Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 ≥ 100
5
The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure dari Amerika Serikat dan WHO dengan
Internationa Society of Hypertention membuat definisi hipertensi yaitu apabila
tekanan darah sistolik seseorang 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya
90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat antihipertensi (Bakri, 2001).
2.1.3 Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
Hipertensi esensial/primer/idiopatik dan hipertensi sekunder.
1) Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan
darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan
darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer
bertambah, atau keduanya. Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung
biasanya normal atau sedikit meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap
hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer
meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan
arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu
hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi (Insulin, katekolamin, angiotensin, hormon
pertumbuhan) sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadi kenaikan
tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi pelbagai
kelainan (multifaktorial). Bukti-bukti epidemiologik menunjukkan adanya faktor
6
keturunan (genetik, ketegangan jiwa, dan faktor lingkungan dan makanan (banyak
asupan garam dan kurang asupan kalium atau kalsium) mungkin sebagai
kontributor berkembangnya hipertensi. Tekanan darah tidak meningkat pada
orang-orang berumur dengan menu harian berkadar garam rendah (Katzung,
2001)
Faktor keturunan pada hipertensi esensial diperkirakan berperan sebanyak
30%. Mutasi pada beberapa gen telah dihubungkan dengan penyebab-penyebab
hipertensi yang jarang ditemukan. Sejumlah variasi pada fungsi gen-gen untuk
enzim pengubah angiotensin (ACE), adrenoreseptor β2, dan α adducin (suatu
protein sitoskeletal) nampaknya berkontribusi pada beberapa kasus hipertensi
esensial (Katzung, 2001).
2). Hipertensi Sekunder
Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, antara lain
penyakit parenkim ginjal (3%), penyakit renovaskular (1%), endokrin (1%),
sindrom cushing, hiperplasia adrenal kongenital, feokromositoma, Koarktasio
aorta, kaitan dengan kehamilan, dan akibat obat (Gray, 2003).
2.1.4 Patofisiologi
Hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara faktor
genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh agen mediator neuro-hormonal.
Secara umum disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer dan atau peningkatan
volume darah. Gen yang berpengaruh pada hipertensi primer (faktor herediter
diperkirakan meliputi 30% sampai 40% hipertensi primer) meliputi reseptor
7
angiotensin II, gen angiotensin dan renin, gen sintetase oksida nitrat endotelial;
gen protein reseptor kinase G; gen reseptor adrenergis; gen kalsium transpor dan
natrium hidrogen antiporter (mempengaruhi sensitivitas garam); dan gen yang
berhubungan dengan resistensi insulin, obesitas, hiperlipidemia, dan hipertensi
sebagai kelompok bawaan.
Teori terkini mengenai hipertensi esensial meliputi :
- Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS)
1) Respon maladaptif terhadap stimulasi saraf simpatis.
2) Perubahan gen pada reseptor ditambah kadar katekolamin serum yang
menetap.
- Peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)
1) Secara langsung menyebabkan vasokonstriksi tetapi juga meningkatkan
aktivitas SNS dan menurunkan kadar prostaglandin vasodilator dan
oksida nitrat.
2) Memediasi remodeling arteri (perubahan struktural pada dinding
pembuluh darah).
3) Memediasi kerusakan organ akhir jantung (hipertrofi), pembuluh darah
dan ginjal.
Defek pada transpor garam dan air.
8
1) Gangguan aktivitas peptida natriuretik otak (brain natriuretic peptide,
BNF), peptida natriuretik atrial (atrial natriuretic peptide, ANF),
adrenomedulin, urodilatin, dan endotelin.
2) Berhubungan dengan asupan diet kalsium, magnesium, dan kalium
yang rendah.
- Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel.
1) Hipertensi sering terjadi pada penderita diabetes, dan resistensi insulin
ditemukan pada banyak pasien hipertensi yang tidak memiliki diabetes
klinis.
2) Resistensi insulin berhubungan dengan penurunan pelepasan endotelia
oksida nitrat dan vasodilator lain serta mempengaruhi fungsi ginjal.
3) Resistensi insulin dan kadar insulin yang tinggi meningkatkan aktivitas
SNS dan RAA (Brashers, 2007)
2.1.5 Gejala Klinis
Biasanya tak bergejala pada stadium awal; bila tekanan darah meningkat
secara akut, pasien dapat mengalami epistaksis, sakit kepala, penglihatan kabur,
tinitus, pusing, defisit neurologis transien, atau angina; bila perkembangan gejala
lebih lambat, pasien dapat datang dengan gejala yang berhubungan dengan
kerusakan organ akhir, seperti gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, atau
retinopati.
2.1.6 Terapi Hipertensi
9
1) Tujuan Terapi
Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari
140/90 mmHg untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 mmhg
untuk penderita diabetes melitus serta ginjal kronik. Tekanan darah sistolik
merupakan indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular daripada tekanan darah
diastole dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol
hipertensi.
2) Terapi Non-farmakologi
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat
badan, melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan
2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik, mengurangi
konsumsi alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok.
Penderita yang didiagnosis hipertensi stage 1 atau 2 sebaiknya
ditempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.
3) Terapi Farmakologi
A. Antihipertensi Tahap Pertama
a. Diuretik
10
Semua diuretik akan menurunkan tekanan darah secara akut dengan
pengeluaran garam dan air, tetapi setelah 4-6 minggu keseimbangan kembali dan
tekanan darah kembali ke nilai asal (Kusnandar, 2009). Ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi respon diuretik ini. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal.
Diuretik yang bekerja pada daerah mereabsorpsi sedikit sodium akan memberi
efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah
yang mereabsorpsi banyak sodium. Kedua, status fisiologi organ akan
memberikan respons yang berbeda terhadap diuretik. Misalnya dekompensasi
jantung, sirosis hati, dan gagal ginjal. Ketiga, interaksi antara obat dengan
reseptor. Berdasarkan cara bekerja, ada beberapa jenis diuretik yang diketahui
pada saat ini.
- Thiazide
Mekanisme kerjanya menghambat reabsorpsi sodium dan penurunan volume
plasma yang disebabkan refleks peningkatan sekresi renin dan aldosteron. Contoh
diuretik thiazide antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, klorotiazid,
bendroflumetiazid. Setelah pemberian secara oral, diuretik thiazide mengalami
absorpsi di usus halus dengan bioavailabilitas yang bervariasi, berikatan dengan
protein plasma dan dieksresi melalui urine. Waktu paruh bervariasi bergantung
jenis diuretiknya tetapi pada umumnya efek tidak lebih dari 24 jam setelah
pemberian dosis satu kali sehari, kecuali klortalidon.
Dosis harian yang digunakan untuk klorotiazid 500 mg, HCT 25 mg,
klortalidon 25 mg dan bendroflumetiazid 2,5 mg. Diuretik thiazide dapat
menurunkan tekanan darah 20/10 mmHg, bergantung pada kondisi pasien.
11
Diuretik thiazid merupakan turunan dari senyawa sulfonamida yang dapat
menimbulkan reaksi berupa ruam kulit, vaskulitis, nefritis interstiasialis,
pankreatitis dan trombositopenia.
- Loop Diuretik
Loop diuretik lebih kuat dibandingkan dengan golongan thiazide tetapi
memiliki risiko terjadinya hipokalemia yang lebih besar. Penggunaan dosis tinggi
furosemid dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (Syamsudin, 2011)
- Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika
digunakan tunggal. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia
terutama pada penyakit ginjal kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan
inhibitor ACE, ARB, AINS atau suplemen kalium secara bersamaan. Contoh
diuretik hemat kalium antara lain amilorid, spironolakton.
b. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE).
Inhibitor ACE memiliki efek dalam penurunan tekanan darah melalui
penurunan resistansi perifer tanpa disertai dengan perubahan curah jantung,
denyut jantung, maupun laju filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan darah
melalui penghambatan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Syamsudin, 2011)
Inhibitor ACE seperti captopril, enalopril, dan lisinopril memblokade
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Hal ini mengurangi resistensi
perifer total karena angitensin II menstimulasi sistem simpatis secara sentral,
12
memacu pelepasan norepinefrin dari saraf simpatis, dan menyebabkan
vasokonstriksi secara langsung. Penurunan angiotensin II plasma, dan akibatnya
penurunan aldosteron, juga memacu diuresis/natriuresis, karena kedua hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal. Inhibitor ACE juga
memetabolisme vasodilator bradikinin, dan sebagian aksi menguntungkan dari
inhibitor ACE mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar bradikinin
(Kusnandar, 2009)
Captopril
Derivat prolin ini adalah inhibitor ACE pertama yang digunakan (1979).
Efek peniadaan pembentukan angiotensin II adalah vasodilatasi dan berkurangnya
retensi garam dan air. Maka berbeda dengan vasodilator lainnya, zat ini tidak
menimbulkan udema atau refleks takikardia. Captopril digunakan pada hipertensi
ringan sampai berat dan pada dekompensasi jantung. Diuretika memperkuat
efeknya, sedangkan kombinasi dengan beta blocker hanya menghasilkan adisi.
Resorpsi dari usus cepat untuk ca 75%, efeknya sudah maksimal setelah
1,5 jam dan bertahan 12-24 jam tergantung pada dosis. PP-nya 25-30%, plasma
t½-nya 2-3 jam. Ekskresinya lewat kemih, separuhnya sebagai metabolit inaktif
dan separuh utuh.
Efek sampingnya yang tersering terjadi adalah hilangnya rasa (kadang-
kadang juga penciuman), batuk kering, dan exanthema. Efeknya dapat ditiadakan
oleh indometasin dan NSAID lainnya.
13
Dosis untuk hipertensi: oral 1-2 dd 25 mg, bila perlu setelah 2-3 minggu 1-
2 dd 50 mg; dekompensasi: 3 dd 6,25-12,5 mg, berangsur-angsur dinaikkan
sampai 3 dd 25-50 mg. Setelah infark jantung: semula 6,25 mg, berangsur-angsur
dinaikkan sampai 2-3 dd 50 mg.
- Enalapril
Enalapril adalah derivat prolin (1984), tetapi tanpa gugusan -CS. Khasiat
dan penggunaannya sama dengan captopril. Resorpsi prodrug ini dari usus cepat
sampai ca 65%; didalam hati dihidrolisa menjadi enalaprilat aktif dengan PP ca
55% dan t½ ca 11 jam. Efeknya maksimal setelah 4-6 jam dan bertahan lebih
kurang 24 jam. Ekskresinya melalui kemih dan sebagian dalam bentuk utuh.
Efek sampingnya berupa umum dan tidak menimbulkan hilangnya rasa
(tanpa -CS); efeknya tidak dipengaruhi oleh NSAID.
Dosis untuk hipertensi: oral sebagai maleat; 1-2 dd 5-10 mg ac/pc,
pemeliharaan 20-40 mg sehari. Untuk injeksi i.v. Digunakan larutan enaprilat
1mg/ml.
- Lisinopril
Lisinopril adalah derivat long-acting (1988) dengan khasiat dan
penggunaan sama dengan enapril (t½ 12 jam).
Dosis untuk hipertensi: oral 1 dd 10 mg, maksimum 80 mg;
dekompensasi : 1 dd 2,5 mg, maksimum 20 mg sehari.
- Fosinopril
14
Fosinopril adalah derivat prolin (1992) dengan atom fosfor dalam
rumusnya, yang khusus digunakan pada hipertensi. Di dalam tubuh, zat ini
dihidrolisa menjadi metabolit aktifnya fosinoprilat.
Dosis untuk hipertensi: oral 1 dd 10 mg, sesudah 4 minggu bila perlu
dinaikkan sampai 20-40 mg.
- Perindopril
Derivat indolkarboksilat (1989) ini adalah prodrug yang di dalam hati
dihidrolisa menjadi zat aktif perindoprilat. Digunakan pada hipertensi dan gagal
jantung, bersifat long-acting berhubung pengikatan kuat pada ACE, walaupun t½-
nya hanya ca 4 jam.
Dosis untuk hipertensi: oral 1 dd 4 mg, maksimum 8 mg; dekompensasi: 1
dd 2 mg, maksimum 4 mg (Tjay.T.H,2002)
c. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
ARB menduduki reseptor angiotensin II yang terdapat dimana-mana
dalam tubuh, antara lain di myocard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat,
ginjal, anak ginjal dan hati. Zat-zat ini lebih efektif daripada penghambat ACE,
karena jalur kedua melalui enzim chymase juga dirintangi. Kombinasi dari kedua
jenis obat kini mulai digunakan agar lebih efektif menurunkan tensi (efek aditif
ringan). Kelompok ARB antara lain losartan, valsartan, ibesartan, candesartan,
dan eprosartan.
- Losartan
15
Senyawa imidazol-tetrazol ini adalah ARB pertama (1994) yang
dipasarkan. Berlainan dengan penghambat ACE, zat ini tidak menghambat enzim
ACE yang merombak angiotensin I menjadi angiotensin II, meainkan memblok
reseptor Angiotensin II dengan efek vasodilatasi. Khususnya digunakan pada
hipertensi. Efek maksimalnya baru nyata setelah beberapa minggu.
Resorpsinya dari usus baik, tetapi bioavailabilitasnya hanya 33%
berhubung first pass effect besar. Kadar puncak dalam darah dicapai sesudah 3-4
jam. Persentase pengikatannya pada protein 99%, plasma t½-nya 2 jam, dari
metabolit aktifnya 6-9 jam. Ekskresinya melalui kemih (35%) dan tinja (ca 58%).
Efek sampingnya yang paling sering adalah pusing, jarang terjadi
hipotensi ortostatis dan hiperkalemia. Batuk kering dapat terjadi, tetapi jarang
dibandingkan dengan ACE inhibitor. Kombinasinya dengan diuretika-thiazida
memperkuat efek hipotensifnya.
Dosis: oral 1dd 50 mg, bila perlu dinaikkan sesudah 3-6 minggu sampai 1
dd 100 mg.
- Valsartan
Valsartan adalah derivat dengan sifat yang lebih kurang sama dengan
losartan, plasma t½-nya 9 jam. Dosis: 1dd 80-160 mg.
d. Beta Blockers
Zat-zat ini memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat β-adrenergik
isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti adrenergik dengan jalan menempati
secara bersaing reseptor β-adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan
16
peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA).
Reseptor β terdapat dalam 2 jenis, yaitu β1 dan β2.
Reseptor β1 di jantung (juga di SSP dan ginjal). Blokade reseptor ini
mengakibatkan melemahnya daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan
frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardia), dan penurunan volume-
menitnya. Juga perlambatan penyaluran impuls di jantung (simpul AV). Efek ini
hanya lemah pada pindolol.
Reseptor β2 di bronchia (juga di dinding pembuluh dan usus). Blokade
reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi perifer agak
ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu), juga mengganggu mekanisme
homeostatik untuk memelihara kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemis).
Semua beta blockers diintroduksi sebagai obat angina pectoris dan anti-
aritmia (propanolol, 1964). Baru lebih kurang 10 tahun kemudian, obat ini
digunakan sebagai obat antihipertensi. Blokade reseptor beta mengakibatkan
sejumlah efek samping, yang pada umumnya bersifat ringan dan terjadi pada lebih
kurang 10% pengguna, antara lain: dekompensasi jantung, bronchokonstriksi, rasa
dingin di jari-jari kaki dan tangan, toleransi glukosa pada penderita diabetes ID
(Insulin dependent) dapat diturunkan, efek sentral yang meliputi gangguan tidur
dengan mimpi ganjil (nightmare), rasa lesu, kadang-kadang juga depresi dan
halusinasi, gangguan lambung-usus berupa mual, muntah dan diare, penurunan
kolesterol-HDL, sedangkan kadar trigliserida dan kolesterol total justru
meningkat.
17
Dengan sejumlah obat lain dapat terjadi interaksi bila digunakan
bersamaan, antara lain : efeknya diperkuat oleh antagonis Ca terutama verapamil
diltiazem, dan nifedipin. Efeknya diperlemah oleh barbital, rifampisin dan
antasida. Beta blocker memperkuat efek teofilin (menghambat perombakan).
Klonidin memperbesar risiko rebound hipertensi, maka terapi dengan beta blocker
perlu dihentikan sebelum menggunakan klonidin.
- Acebutolol
Beta blocker selektif ini (1973) bersifat lokal anestetik dengan ISA ringan.
Kombinasi sifat ini menguntungkan karena efek sampingnya yang agak ringan.
Resorpsinya dari usus ca 70%; akibat first pass effect tinggi,
bioavailabilitasnya hanya lebih kurang 40%. Persentase pengikatan proteinnya 11-
25%, plasma t½-nya 2-11 jam. Dalam hati, zat ini dirombak menjadi metabolit
yang sama aktifnya dengan diasetolol. Ekskresinya berlangsung lewat kemih dan
tinja. Asebutolol dan diastolol adalah lipofil, sehingga dapat menimbulkan efek
samping sentral.
Dosis: angina dan antihipertensi, oral 1 dd 400 mg pagi hari, bila perlu
sesudah 2 minggu dinaikkan sampai 2 dd 400 mg, tackikardi-aritmia 2-3 dd 200-
400 mg.
- Atenolol
Zat kardioselektif ini tanpa ISA atau efek lokal anestetik (1975) dan
bersifat hidrofil kuat, maka tidak melintasi rintangan darah-otak dengan efek
sentral minimal.
18
Reabsorpsinya dari usus hanya 50%, Persentase pengikatan pada
proteinnya 3%, dengan plasma t½ 6-9 jam, namun efek blokade reseptor β
bertahan jauh lebih lama, lebih kurang 24 jam. Tidak dimetabolisme oleh hati dan
diekskresikan lewat kemih.
Dosis : angina dan hipertensi, oral 1-2 dd 100 mg; aritmia, 2 dd 50-100 mg
- Bisoprolol
Bisoprolol adalah derivat selektif lipofil tanpa ISA dengan sifat lokal
anestetik (1986). Bioavailabilitasnya tinggi, ca 90% karena first pass effect
ringan, Persentase pengikatan pada protein ca 30%, plasma t½-nya 10-12 jam.
Ekskresinya berlangsung melalui kemih, separuh sebagai metabolit inaktif.
Dosis : angina dan hipertensi, oral 1 dd 5-10mg.
- Propanolol
Beta blocker pertama ini (1964) memiliki efek lokal anestetik kuat, tetapi
tidak kardioselektif dan tak memiliki ISA. Meskipun banyak sekali derivat lain
telah dipasarkan dengan sifat farmakologi yang lebih baik, namun propanolol
masih merupakan beta blocker penting.
Resorpsinya dari usus baik, tetapi first pass effect besar, hingga hanya
30% mencapai sirkulasi besar. Sebagian besar zat ini diubah dalam hati menjadi
derivat hidroksinya yang aktif. Persentase pengikatan pada proteinnya 90%,
plasma t½-nya 3-6 jam. Bersifat sangat lipofil, sehingga distribusinya di jaringan
dan otak baik dengan sering kali menimbulkan efek sentral.
19
Dosis: hipertensi, angina dan aritmia, oral 2-3 dd 40 mg dc, bila perlu
dinaikkan dengan interval 1 minggu sampai 320 mg sehari. Profilaksis re-infark,
3 dd 40 mg selama 2-4 minggu dalam waktu tiga minggu infark pertama,
pemeliharaan 2-3 dd 80 mg selama minimal 2 tahun.
e. Penghambat Saluran Kalsium/Antagonis Ca(Calsium Chanel Blocker)
Antagonis Ca menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive),
sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi
otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi
tekanan darah. Antagonis Ca dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks
simpatik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek inotropik
negatif (Sukandar, 2009).
Berdasarkan efek tersebut diatas, antagonis Ca kini terutama digunakan
pada hipertensi, apabila diuretika dan atau beta blocker kurang efektif. Sebaiknya
zat ini dikombinasi dengan suatu beta blocker.
Antagonis Ca secara kimiawi dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
derivat dihidropiridin dan obat-obat lain. Derivat dihidropiridin memiliki efek
vasodilatasi yang amat kuat, maka terutama digunakan sebagai obat hipertensi.
Kini tersedia antara lain nifedipin, nisoldipin, amlodipin,felodipin, nicardipin,
nimodipin.Kelompok obat-obat lain terdiri dari verapamil, diltiazem dan bepridil.
Nifedipin
20
Nifedipin adalah zat pertama (1975) dari kelompok dihidropiridin dengan
gugus fenil pada posisi para. Khasiat utamanya adalah vasodilatasi, maka
terutama digunakan pada hipertensi esensial (ringan/sedang), juga pada angina
variant berdasarkan efeknya terhadap jantung yang relatif ringan: tak berkhasiat
inotrop negatif. Pada angina stabil hanya digunakan bila beta blocker di kontra
indikasi atau kurang efektif. Khususnya dianjurkan tablet long-acting Oros.
Resorpsinya dari usus baik (90%), tetapi biavailabilitasnya hanya rata-rata
60% karena first pass effect tinggi. Mula kerja kapsul dalam 20 menit dan
bertahan 1-2 jam, tablet Oros masing-masing 2-4 jam dan 16-18 jam. Persentase
pengikatan pada proteinnya di atas 90%, plasma t½-nya 2-5 jam (ca 11 jam pada
tablet retard). Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit inaktif yang
diekskresikan lewat kemih (90%) dan tinja (10%).
Efek sampingnya yang sering terjadi adalah udema pergelangan kaki
(10%). Dosis awal yang terlampau tinggi dapat memprovokasi serangan angina
akibat hipotensi kuat mendadak, sporadis, iskemia dan infark akibat refleks-
takikardia, terutama pada lansia. Beberapa penelitian memberikan indikasi
mengenai peningkatan risiko penyakit jantung dan kanker.
Dosis: pada hipertensi 3 dd 10-20 mg atau 2 dd 20-40 mg retard d.c;
angina oral 3-4 dd 10 mg tablet (ditelan utuh), berangsur-angsur dinaikkan
samapai maksimum 6 dd 20 mg, atau 1 dd 30-120 mg tablet retard pagi hari d.c.
- Nisoldipin
21
Nisoldipin adalah analog 2-nitrofenil (1990) dengan kerja agak panjang
(t½ 2-15 jam) yang digunakan pada angina stabil dan hipertensi dengan dosis
masing-masing 2 dd 5-20 mg dan 1-2 dd 5-20 mg.
- Nicardipin
Derivat 3-nitrofenil ini bersifat lipofil (1986) dengan bioavailabilitas 30%,
persentase pengikatan pada protein ca 98%, dan t½ 1-12 jam. Diekskresikan
sebagai metabolit inaktif lewat kemih (60%) dan tinja (40%).
Nimodipin
Nimodipin adalah derivat 3-nitrofenil lipofil (1985) dengan khasiat utama
terhadap pembuluh otak. Maka, khususnya digunakan setelah pendarahan otak
untuk profilaksis gejala iskemia akibat kejang kapiler otak. Selain itu nimodipin
dapat memperbaiki ingatan lemah pada lansia dengan gejala dementia (kelemahan
pikiran). Mekanisme kerjanya berdasarkan teori bahwa proses metabolisme
kalsium terganggu pada sel yang menua. Pintu kalsium selalu terbuka sedikit,
sehingga ion Ca dapat terus-menerus membocor ke dalam sel-sel saraf.
Nimodipin mencegah pembocoran ion Ca tersebut. Dosis: oral 6 dd 60 mg selama
7 hari.
Amlodipin
Derivat klor long-acting ini (1990) memiliki bioavailabilitas ca 60%,
persentase pengikatan pada protein diatas 95%, dan t½ 35-50 jam. Diekskresikan
60% lewat kemih sebagai terutama metabolit inaktif.
Dosis: hipertensi dan angina variant/stabil 1 dd 5 mg, maksimum 10 mg.
22
- Felodipin
Felodipin adalah derivat diklor (1987) dengan kerja panjang (t½ 25 jam).
Bioavailabilitasnya hanya 15%, karena first pass effect tinggi; Persentase
pengikatan pada proteinnya 99%. Felodipin dirombak dalam hati menjadi
metabolit inaktif, yang diekskresikan melalui kemih (ca 70%) dan tinja (30%).
digunakan pada hipertensi dan angina variant/stabil dengan dosis 1 dd 5-20 mg.
Verapamil
Senyawa amin alifatis ini (1963) dengan kelompok nitril (-CN) digunakan
pada angina variant dan stabil, juga pada aritmia. Verapamil juga efektif pada
hipertensi ringan sampai sedaang dan dapat mencegah reinfark setelah serangan
jantung jika ada kontra indikasi bagi beta blocker.
Reabsorpsinya dari usus ca 90% dengan bioavailabilitas lebih kurang 43%
berhubung first pass effect besar, Persentase pengikatan pada proteinnya lebih
kurang 90%, plasma t½-nya 4,5-12 jam. Di dalam hati zat ini dirombak jadi lebih
kurang 12 metabolit, yang diekskresikan lewat kemih (70%) dan tinja (15%).
Efek sampingnya yang tersering adalah hipotensi, bradikardi, dan
insufisiensi jantung, serta obstipasi. Jarang AV-blokade, nyeri kepala, udema
kaki, dan efek umum lainnya.
Dosis: pada angina stabil/variant 1-2 dd 240 mg tablet SR, pada hipertensi,
aritmia 3-4 dd 80 mg, maksimum 720 mg sehari untuk beberapa minggu.
Diltiazem
23
Derivat 1,5-benzothiazepin ini (1973) sama penggunaannya dengan
verapamil, adakalanya juga melalui injeksi pada angina stabil. Juga digunakan
sebagai obat antiaritmia.
Reabsorpsinya dari usus lebih dari 90%, tetapi bioavailabilitasnya hanya
ca 40% karena first pass effect tinggi. Persentase pengikatan pada proteinnya ca
80%, plasma t½-nya 4-8 jam, ekskresinya berlangsung lewat tinja (65%) sebagai
metabolit dan secara utuh lewat kemih (1-4%). Efek sampingnya mirip
verapamil.
Dosis: angina variant/stabil, oral 3-4 dd 60 mg, bila perlu dinaikkan
sampai 3 dd 120 mg. Aritmia, 1.v. 1 dd 0,25-0,3 mg/kg.
f. Alfa Blockers
Zat-zat ini memblokade reseptor alfa adrenergik yang terdapat di otot
polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan mukosa. Dapat dibedakan 2
jenis reseptor yaitu α1 dan α2, yang berada di post synaptis, α2 juga di pre-
sinaptis. Bila reseptor tersebut diduduki (diaktivasi) oleh (nor) adrenalin, otot
polos akan menciut. Alfa blockers melawan antara lain vasokonstriksi tersebut
akibat aktivasi dan dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu: Alfa blockers tak selektif
: fentolamin, yang hanya digunakan i.v. Pada krisis hipertensi tertentu. Alfa-1-
blockers selektif: memblokade hanya reseptor alfa-1 adrenergik secara selektif,
antara lain prazosin, doxazosin, terazosin. Alfa-2-blockers selektif: yohimbin.
Prazosin
24
Derivat chinazolin-piperazinil ini (1974) berdaya hipotensif kuat
berdasarkan vasodilatasi arteri melalui blokade reseptor alfa-1 secara selektif.
Efek hipotensifnya dimulai setelah 2-3 hari.
Resorpsinya dari usus sampai 80%, Persentase pengikatan pada proteinnya
tinggi (97%), dan t½-nya 2-3 jam, tetapi daya kerjanya lebih panjang, sampai 12
jam. Ekskresinya terutama melalui empedu dan tinja sebagai metabolit dan ca
10% secara utuh lewat kemih.
Efek sampingnya yang terpenting adalah hipotensi ortostatis akut, terlebih
bila disertai pada terapi dengan beta-blockers dan antagonis Ca. Juga efek sentral,
gangguan lambung-usus, reaksi kulit, gangguan seksual,udema, takikardia dan
mulut kering.
Dosisnya untuk hipertensi, permulaan oral 0,25-0,5 mg malam hari,
dengan berangsur-angsur dinaikkan sampai 2-3 dd 0,5-2 mg, maksimum 3 dd 6
mg.
Doxazosin
Doxazosin adalah derivat long-acting (1987), t½ 9-12 jam dengan khasiat
sama dengan prazosin tetapi lebih jarang mengakibatkan hipotensi ortostatis
berbahaya.
Dosisnya permulaan oral malam hari selama 1-2 minggu, bila perlu
dinaikkan sampai 1 dd 2-8 mg
Terazosin
25
Terazosin adalah derivat long-acting (1987), t½ 8-13 jam. Khasiatnya
tidak sekuat prazosin. Resorpsinya dari usus lebih kurang 90%, persentase
pengikatan pada proteinnya lebih dari 90%, dan dalam hati dirombak menjadi
beberapa metabolit, antara lain turunan piperazin aktif. Ekskresinya melalui
kemih dan tinja.
Efek sampingnya yang paling sering terjadi adalah pusing, nyeri kepala,
dan impotensi. Dosis untuk hipertensi: malam hari 1 mg selama 1 minggu, lalu 1
dd 2 mg.
B. Antihipertensi Tambahan
a. Adrenolitik sentral (α2-agonis)
Klonidin
Derivat imidazolin ini (1966) berkhasiat hipotensif kuat berdasarkan efek
adrenergik sentralnya. Mengikat diri pada reseptor α2. Digunakan pada
hipertensi sedang sampai berat.
Resorpsinya dari usus lengkap dengan bioavailabilitas hampir 100%, efek
hipotensif maksimalnya dicapai dalam waktu 4 jam dan bertahan 8 jam. Plasma
t½-nya 6-20 jam, ekskresinya lewat kemih dan tinja sebagian dalam bentuk
metabolit.
Efek sampingnya sedasi, terutama terjadi pada permulaan terapi.
Penghentian pengobatan tidak boleh mendadak, melainkan berangsur-angsur
dalam 2-4 hari untuk menghindari hipertensi rebound.
26
Dosis: oral 3 dd 0,75 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampai 0,15-0,6 mg
dalam 2-3 dosis.
Metildopa
Derivat alanin ini (1963) dalam saraf adrenergik diubah secara enzimatis
menjadi zat aktifnya α-metilnoradrenalin (MNA) dan metildopamin. Metildopa
terutama digunakan pada hipertensi sedang sampai berat, kebanyakan dikombinasi
dengan thiazida
Resorpsinya dari usus antara 30-70%; kadar plasma maksimal dicapai
setelah ca 5 jam dan bertahan ca 24 jam. Ekskresinya terutama melalui kemih
secara utuh dan glukonat. Plasma t½-nya 7-16 jam.
Efek sampingnya umum terutama efek sentral. Disamping itu kelainan
darah serius antara lain anemia dan leukopenia, juga hepatitis dalam masa 2 bulan.
Oleh karena itu, dianjurkan pengawasan darah dan hati secara teratur selama
pemakaian.
Dosis: oral permulaan 2 dd 250 mg selama beberapa hari, lalu perlahan-
lahan dinaikkan sampai 3-4 dd 500 mg.
b. Penghambat saraf adrenergik
Reserpin
Reserpin adalah alkaloida dari akar tumbuhan pule pandak (Rauwolfia
serpentina), sejak pertengahan tahun 50-an digunakan sebagai obat antihipertensi
pertama. Namun, berhubung efek sampingnya yang hebat sekarang sudah
27
terdesak oleh obat-obat lain. Akan tetapi, penelitian baru menunjukkan bahwa
reserpin dalam dosis lebih rendah (bersama HCT) tidak menimbulkan efek buruk
tersebut, dengan kerja lebih baik daripada beta blockers, metildopa, atau
diltiazem.
Resorpsinya dari usus baik, efek maksimalnya baru tercapai setelah 2-3
minggu. Ekskresinya berlangsung 60% lewat tinja secar utuh dan ca 10% melalui
urin. Plasma t½-nya ternyata panjang sekali (24-72 jam) dan efeknya bisa
bertahan sampai satu minggu lebih berkat sifat kumulasi. Karena efek panjang
ini, reserpin tidak menimbulkan hipertensi rebound pada penghentian terapi
seperti pada obat-obat pusat lainnya.
Efek sampingnya yang terpenting pada dosis biasa berupa hidung
tersumbat, pusing, gangguan lambung-usus ringan. Praktis tidak menyebabkan
efek sentral (sedasi, gangguan potensi), juga tidak mempengaruhi kadar
kolesterol. Baru pada dosis di atas 0,25 mg sehari dapat timbul efek buruk,
seperti depresi dengan kecenderungan bunuh diri dan tukak lambung-usus akibat
stimulasi sekresi asam. Dosis: oral 1 dd 0,1-0,25 mg.
c. Vasodilator langsung
Hidralazin
Derivat hidrazin ini adalah salah satu obat hipertensi pertama (1952).
Tidak layak digunakan sebagai monoterapi berhubung efek sampingnya. Khusus
sebagai terapi kombinasi dengan beta-blockers dan thiazida.
28
Resorpsinya dari usus pesat dan lengkap. Persentase pengikatan pada
protein ca 85%, plasma t½-nya ditentukan secara genetis, tergantung pada
kecepatan biotransformasi dalam hati melalui asetilasi. Dosis: oral semula 2-3 dd
10-25 mg pc, bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimum 200 mg
sehari dalam 3-4 dosis.
Minoksidil
Derivat pirimidin ini (1980) adalah vasodilator kuat dengan kerja langsung
terhadap dinding arteriol. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam 30 menit, dan
mencapai puncak setelah rata-rata 5 jam, efeknya bertahan 2-5 hari. Digunakan
hanya pada hipertensi berat yang resisiten untuk antihipertensi lainnya. Selalu
dikombinasi dengan beta blockers dan diuretikum untuk meniadakan efek
sampingnya.
Efek sampingnya selain hipertrichosis reversibel, juga takikardia dan
udema, yang sewaktu-waktu tak dapat ditanggulangi dengan diuretika kuat,
seperti furosemida. Dosis: oral 1 dd 5 mg, bila perlu dinaikkan berangsur-angsur
sampai maksimum 2 dd 25 mg.
2.2. ASPEK KIMIA OBAT
2.2.1. Diuretika
2.2.1.1. Hidroklortiazida
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau
29
Kelarutan: Sukar larut dalam air; mudah larut dalam natrium hidroksida,
dalam n-butilamina, dan dalam dimetilformamida; agak sukar larut dalam
metanol; tidak larut dalam eter, dalam kloroform dan dalam asam mineral
encer.
Identifikasi :
A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah didispersikan dalam
kalium bromida P, menggunakan campuran hidroklorotiazida-kalium
bromida yang telah dipanaskan pada suhu 105o selama 2 jam,
menunjukkan maksimum hanya pada panjang yang sama seperti pada
Hidroklorotiazida BPFI.
B. Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam 100.000) dalam metanol
P menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang
sama seperti pada Hidroklorotiazida BPFI.
Penetapan Kadar: Lakukan penetapan dengan cara kromatografi cair
kinerja tinggi seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.
Fase gerak. Buat campuran natrium fosfat monobase 0,1 M asetonitril P
(9:1), atur pH hingga 3,0 ± 0,1 dengan asam fosfat P, saring dan
awaudarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem
seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.
Larutan kesesuaian sistem. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida
BPFI dan klorotiazida, larutkan dalam fase gerak hingga kadar masing-
masing lebih kurang 0,15 mg per ml.
30
Larutan Baku. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida BPFI,
larutkan dalam fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,15 mg per ml.
Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 30 mg, masukkan ke dalam
labu tentukur 200 ml, larutkan dalam sejumlah kecil asetonitril P, tidak
lebih 10% dari volume total larutan, encerkan dengan fase gerak sampai
tanda.
Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi
< 931>. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 254
nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1. Laju aliran lebih
kurang 2,0 ml per menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan
kesesuaian sistem, dan rekam respons puncak seperti yang tertera pada
Prosedur; simpangan baku relatif tidak lebih dari 1,5%; waktu retensi
relatif klortiazida dan hidroklortiazida berturut-turut adalah 0,8 dan 1,0.
Resolusi, R, antara klorotiazida dan hidroklortiazida tidak kurang dari 2,0.
Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang
20 μl) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, ukur respons
puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C7H8ClN3O4S2, dengan rumus
200 C ( γ u ) γs
C adalah kadar hidroklorotiazida BPFI dalam mg per ml Larutan baku; γu
dan γs berturut-turut adalah respons puncak larutan uji dan larutan baku.
2.2.2 Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme
2.2.2.1. Captopril
31
Pemerian: Serbuk hablur putih atau hampir putih; bau khas seperti sulfida.
Melebur pada suhu 1040 sampai 1100
Kelarutan: Mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam
kloroform.
Identifikasi: Spektrum serapan inframerah zat yang didispersikan dalam
kalium bromida P menunjukkan maksimum hanya pada panjang
gelombang yang sama seperti pada Kaptopril BPFI.
Penetapan Kadar
Titran kalium iodat 0,1 N, Larutkan 3,567 kalium iodat yang telah
dikeringkan pada 1100 hingga bobot tetap, dalam air hingga 1000,0 ml.
Prosedur. Timbang seksama lebih kurang 300 mg, masukkan ke
dalam labu erlenmeyer bertutup kaca berisi 100 ml air, larutkan,
tambahkan 10 ml asam sulfat 3,6 N, 1 g kalium iodida 0,1 N sampai warna
biru lemah yang bertahan selama tidak kurang dari 30 detik. Lakukan
penetapan blangko. 1 ml kalium iodidat 0,1 N setara dengan 21,73 mg
C9H15NO3S.
2.2.3. Beta-Blockers
2.2.3.1 Propanolol
Pemerian: Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau; rasa pahit.
Kelarutan: Larut dalam air dan dalam etanol; sukar larut dalam kloroform;
praktis tidak larut dalam eter.
Identifikasi:
32
A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan
didispersikan dalam minyak mineral P, menunjukkan maksimum hanya
pada panjang gelombang yang sama seperti pada Propanolol Hidroklorida
BPFI.
B. Waktu retensi puncak utama propanolol pada kromatogram larutan uji
sama dengan larutan baku yang diperoleh pada penetapan kadar.
C. Menunjukkan reaksi Klorida seperti yang tertera pada Uji Identifikasi
Umum <291>.
Penetapan Kadar.
Lakukan penetapan kadar dengan cara Kromatografi cair kinerja tinggi
seperti yang tertera pada Kromatografi <931>
Fase gerak. Larutkan 500 mg dodesil natrium sulfat P dalam 18
ml asam fosfat 0,15 M, tambahkan 90 ml asetonitril P dan 90 ml metanol
P, encerkan dengan air hingga 250 ml, campur, saring melalui penyaring
dengan porositas 0,5 μm atau lebih halus. Jika perlu lakukan penyesuaian
menurut kesesuaian sistem seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.
Larutan Baku. Timbang seksama sejumlah Propanolol
Hidroklorida BPFI, larutkan dalam metanol P hingga diperoleh larutan
baku persediaan dengan kadar lebih kurang 1 mg per ml. Pipet 5 ml
larutan ini ke dalam labu tentukur 25 ml, encerkan dengan metanol P
sampai tanda, saring melalui penyaring dengan porositas 0,7 μm atau lebih
halus. Larutan mengandung lebih kurang 0,2 mg propanolol hidroklorida
BPFI per ml.
33
Larutan resolusi. Buat larutan prokainamida hidroklorida P dalam
metanol P hingga kadar lebih kurang 0,25 mg per ml. Pipet 5 ml larutan
ini ke dalam labu tentukur 25 ml, tambahkan 5,0 ml larutan baku
persediaan yang digunakan untuk membuat larutan baku, encerkan
dengan metanol P sampai tanda.
Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 50 mg, masukkan ke
dalam labu tentukur 50 ml, tambahkan 45 ml metanol P, kocok dan
sonikasi selama 5 menit. Encerkan dengan metanol P sampai tanda, saring
melalui penyaring dengan porositas 0,7 μm atau lebih halus. Pipet 5 ml
filtrat ini ke dalam labu tentukur 25 ml, encerkan dengan metanol P
sampai tanda.
Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada
Kromatografi <931>. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan
detektor 290 nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L7
dengan ukuran partikel 5 μm. Laju aliran lebih kurang 1,5 ml per menit.
Lakukan kromatografi terhadap Larutan resolusi, rekam respons puncak
utama seperti yang tertera pada prosedur: waktu retensi relatif
prokainamida dan propanolol berturut-turut adalah lebih kurang 0,6 dan
1,0 dan resolusi, R, antara puncak prokainamida dan puncak propanolol
tidak kurang dari 2,0. Lakukan kromatografi terhadap larutan baku, rekam
respons puncak seperti yang tertera pada Prosedur: faktor ikutan puncak
propanolol tidak lebih dari 3,0 dari simpangan baku relatif pada
penyuntikan ulang tidak lebih dari 2,0%.
34
Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih
kurang 20 μl) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, ukur
respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C16H21NO2.HCl dengan
rumus: 250 C ( γu )
γs
C adalah kadar Propanolol Hidroklorida BPFI dalam mg per ml Larutan
baku; γu dan γs berturut-turut adalah respons puncak propanolol dalam
Larutan uji dan Larutan baku.
2.2.4. Alfa Blockers
2.2.4.1. Prazosin Hidroklorida
Pemerian: Serbuk warna putih atau hampir putih; tidak berbau atau hampir
tidak berbau.
Kelarutan: Sangat sukar larut dalam air; sukar larut dalam etanol 96% dan
dalam metanol; praktis tidak larut dalam aseton dan dalam kloroform.
Identifikasi
A. Larutkan 50 mg dalam 20 ml etanol P 50%, tambahkan 2 ml
kalium hidroksida 1 N, ekstraksi 2 kali, tiap kali dengan 25 ml
diklorometana P, uapkan kumpulan ekstrak, dan keringkan residu pada
suhu 600 dengan tekanan tidak lebih dari 15 mmHg. Spektrum serapan
inframerah residu yang didispersikan dalam kalium bromida P
menunjukkan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama
seperti Prazosin Hidroklorida BPFI.
35
B. Spektrum serapan ultraviolet larutan 0,0007% dalam asam
klorida-metanol 0,01 N pada panjang gelombang antara 220 nm hingga
400 nm, menunjukkan tiga maksimum, pada panjang gelombang lebih
kurang 247 nm, 330 nm, dan 343 nm. Serapan pada 247 nm lebih kurang
0,95; serapan pada 330 nm lebih kurang 0,19 dan serapan pada 343 nm
lebih kurang 0,18.
C. Larutkan 25 mg dalam 30 ml etanol P, 2 ml larutan
menunjukkan reaksi klorida seperti yang tertera pada Uji Identifiaksi
Umum <291>.
Penetapan Kadar
Timbang seksama lebih kurang 350 mg, larutkan dalam 50 ml
asam asetat glasial P, tambahkan 7 ml raksa (II) asetat LP. Titrasi dengan
asam perklorat 0,1 N LV. Tentukan titik akhir secara potensiometrik. 1
ml asam perklorat 0,1 N setara dengan 41,99 mg C19H21N5O4.HCl
2.2.5. Antagonis Kalsium
2.2.5.1. Nifedipin
Pemerian: Serbuk kuning, terurai oleh cahaya langsung.
Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton.
Identifikasi
A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan
didispersikan dalam kalium bromida P menunjukkan maksimum hanya
pada panjang gelombang yang sama seperti pada Nifedipin BPFI.
36
B. Ke dalam labu tentukur 50 ml yang berisi 70 mg nifedipin
tambahkan 5,0 ml kloroform P dan encerkan dengan metanol P sampai
tanda. Pipet 1 ml larutan ke dalam labu tentukur 100 ml dan encerkan
dengan metanol P sampai tanda, gunakan sebagai larutan uji. Ukur
serapan larutan uji pada panjang gelombang dari 450 nm sampai 220 nm
menggunakan blangko metanol P. Spektrum larutan uji menunjukkan
maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama seperti
pada larutan Nifedipin BPFI yang diperlakukan sama.
C. Waktu retensi puncak utama larutan uji sesuai larutan baku
yang diperoleh pada Penetapan kadar.
Penetapan Kadar
Lakukan penetapan kadar secara kromatografi cair kinerja tinggi
seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.
Fase gerak. Buat campuran air-asetonitril P-metanol P (50:25:25)
saring dan awaudarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut
Kesesuaian sistem seperti yang tertera pada kromatografi <931>.
Larutan baku. Timbang seksama sejumlah Nifedipin BPFI,
larutkan dalam metanol P (lebih kurang 1 mg per ml), dan encerkan secara
kuantitatif dengan fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,1 mg per ml.
Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 25 mg nifedipin,
masukkan ke dalam labu tentukur 250 ml, larutkan dalam 25 ml metanol
P, encerkan dengan fase gerak sampai tanda, hingga kadar lebih kurang
0,1 mg per ml.
37
Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada
Kromatografi <931>. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan
detektor 235 nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1
dengan ukuran partikel 5 μm, laju aliran lebih kurang 1,0 ml per menit.
Lakukan kromatografi terhadap Larutan baku, rekam respons puncak
seperti pada Prosedur: efisiensi kolom tidak kurang dari 16000 lempeng
teoritis per meter, faktor ikutan tidak lebih dari 1,5 dan simpangan baku
relatif respons puncak utama tidak lebih dari 1,0%.
Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih
kurang 25 μl) Larutan baku dan larutan uji ke dalam kromatograf, ukur
respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C17H18N2O6 dengan
rumus : 250 C ( γu )
γs
C adalah kadar nifedipin BPFI dalam mg per ml larutan baku, γu dan γs
berturut-turut adalah respons puncak nifedipin dalam Larutan uji dan
Larutan baku.
2.2.6. Penghambat saraf adrenergik
2.2.6.1 Reserpin
Pemerian: Serbuk hablur, putih atau sampai agak kekuningan; tidak
berbau. Terjadi warna gelap perlahan-lahan oleh cahaya langsung, lebih
cepat terjadi dalam bentuk larutan.
38
Kelarutan: Tidak larut dalam air; mudah larut dalam asam asetat dan
dalam kloroform; sukar larut dalam benzena; sangat sukar larut dalam
etanol dan dalam eter.
Identifikasi
A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan
didispersikan dalam kalium bromida P, menunjukkan maksimum hanya
pada panjang gelombang yang sama seperti pada reserpin BPFI.
B. Larutkan 25,0 mg zat yang telah dikeringkan dalam 0,25 ml
kloroform P dan campur dengan 30 ml metanol P yang telah dihangatkan
hingga suhu 500. Pindahkan campuran dengan bantuan metanol P hangat
ke dalam labu tentukur 250 ml, dinginkan sampai suhu kamar dan
encerkan dengan metanol P sampai tanda. Pipet 10 ml larutan ini kedalam
labu tentukur 50 ml, tambahkan 36 ml kloroform P dan encerkan dengan
metanol P sampai tanda. Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam
50.000) pada panjang gelombang antara 255 nm dan 350 nm,
menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang
sama seperti reserpin BPFI; menggunakan blangko campuran kloroform P-
metanol P (36:14); daya serap masing-masing pada panjang gelombang
serapan maksimum lebih kurang 268 nm berbeda tidak lebih dari 3,0%.
Penetapan kadar
Larutan Baku. Timbang seksama lebih kurang 25,0 mg reserpin
BPFI, larutkan dalam 0,25 ml kloroform P, dan campur dengan lebih
kurang 30 ml metanol P yang sebelumnya telah dihangatkan hingga suhu
500, pindahkan campuran ke dalam labu tentukur 250 ml dengan bantuan
39
metanol P hangat, dinginkan larutan hingga suhu kamar, encerkan dengan
metanol P sampai tanda (Larutan 1), lindungi larutan dari cahaya.
Sebelum digunakan dalam penetapan kadar, pipet 10,0 ml larutan 1,
masukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, tambahkan 36 ml kloroform P
dan encerkan dengan metanol P sampai tanda.(Larutan baku). Lindungi
larutan dari cahaya.
Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 25,0 mg zat,
masukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, larutkan dan encerkan dengan
kloroform P sampai tanda (larutan 2). Encerkan secara kuantitatif dan
bertahap 5 ml larutan 2 dengan kloroform P hingga 50 ml (Larutan uji).
Lindungi larutan dari cahaya.
Prosedur. Pipet 10 ml larutan uji ke dalam bejana pemisah,
tambahkan 10 ml asam sitrat P (1 dalam 50) dan kocok hati-hati selama 2
menit. Pisahkan dan alirkan kloroform. Cuci larutan asam sitrat 2 kali,
tiap kali dengan 10 ml kloroform P. Kumpulkan cucian dengan larutan
kloroform. Pada kumpulan larutan kloroform tambahkan larutan natrium
bikarbonat P (1 dalam 100), kocok selama 2 menit, dan pisahkan. Alirkan
kloroform, saring melalui kapas ke dalam labu tentukur 50 ml yang berisi
14,0 metanol P. Ekstraksi lapisan larutan bikarbonat dalam corong
pemisah 2 kali, tiap kali dengan 2 ml kloroform P, masing-masing
disaring. Masukkan ke dalam labu tentukur, tambahkan kloroform P
sampai tanda. Pipet 2 kali, masing-masing 5,0 ml alikot larutan kloroform
P-metanol P dan larutan baku, masukkan ke dalam labu tentukur terpisah.
Tambahkan masing-masing 2,0 ml asam klorida P dalam metanol P (1
40
dalam 10). Pada labu pertama dari tiap pasang (mewakili Larutan baku
dan Larutan uji yang diekstraksi) tambahkan 1,0 ml larutan natrium nitrit P
dalam metanol P (1 dalam 2)(3 dalam 1000). Pada labu kedua dari tiap
pasang (merupakan larutan blangko) tambahkan 1 ml larutan metanol P (1
dalam 2). Campur dan biarkan selama 30 menit. Tambahkan pada
masing-masing labu 0,5 ml larutan amonium sulfamat P (1 dalam 20) dan
metanol P sampai tanda, campur dan biarkan selama 10 menit. Tetapkan
serapan masing-masing larutan pada panjang gelombang 390 nm
menggunakan campuran metanol P-klorofrom P dan air (5,4:3,6:1) sebagai
blangko. Hitung jumlah dalam mg, C33H40N2O8 dengan rumus:
25 (A-A*)u (A-A*)s
(A-A*) adalah perbedaan serapan larutan dengan perlakuan nitrit dan larutan
blangko dari larutan uji (u) dan Larutan baku (s).
2.3. Aspek Farmasetika
Secara farmasetika obat antihipertensi dibuat dalam berbagai bentuk
sediaan, diantaranya adalah :
2.3.1 Bentuk Tablet
Tablet menurut FI edisi IV adalah sediaan padat mengandung bahan obat
dengan atau tanpa bahan pengisi.
Tablet adalah bentuk sediaan farmasi yang paling banyak dibuat atau
diproduksi karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan dari bentuk sediaan
lainnya, diantaranya :
Takaran obat cukup teliti dan serba sama untuk setiap tablet
41
Pembebasan obat dapat diatur sesuai dengan efek terapi yang diinginkan
Rasa dan bau yang tidak menyenangkan dapat ditutupi dengan penyalutan
Bahan obat yang dapat rusak oleh cairan atau enzim dalam saluran
pencernaan dapat diatasi dengan penyalutan.
Bentuk tablet dapat menjamin kestabilan sifat fisik dan kimia bahan obat,
karena tablet merupakan sediaan kering.
Mudah dalam pengemasan, pengepakan, transportasi dan penggunaannya.
Biaya produksi relatif murah dibandingkan dengan bentuk sediaan lain.
Contoh obat hipertensi bentuk tablet :
2.3.2 Bentuk Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk
yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan,
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit
atau selaput lendir. Contoh obat antihipertensi dalam bentuk injeksi :
Sintesa Antihipertensi
1. Diuretik
Obat antihipetensi yang termasuk golongan diuretika diantaranya adalah
hidroklortiazid dan furosemid. Pembuatan hidroklortiazid dimulai dari 3-
kloranilin, yang melalui pemanasan dengan asam klorsulfonat, tanpa melindungi
gugus amino, kemudian diikuti reaksi dengan amonia akan menjadi
kloraminofenamid. Dari senyawa ini melalui kondensasi dengan larutan
paraformaldehida atau larutan formaldehida akan diperoleh hidroklortiazid.
42
Sintesis furosemid dimulai dari asam 2,4-diklorobenzoat, yang dengan
cara yang analog diubah menjadi turunan 5-sulfamoil. Substitusi nukleofiliklor
selanjutnya dengan furfurilamin akan berlangsung secara regiospesifik pada posisi
ortho terhadap gugus karboksil.
2. Inhibitor Angiotensin Converting enzyme
Captopril, (2S)-1-(2S)-2-metil-3-sulfanilpropanoil)-pirolidin-2-asam
karboksilat, adalah ACE inhibitor pertama yang di temukan pada tahun 1975 oleh
Ondetti dkk. Captopril dapat diperoleh melalui reaksi kopling antara (2S)-3-
asetilthio-2-metilpropanoilklorida dan L-prolin dalam suasana basa.
Enalapril disintesa dengan menghilangkan efek dari ikatan sulfihidril-Zn
pada captopril yang diyakini bertanggung jawab terhadap T½ pendek dan efek
samping dari captopril. Enalapril dibuat dengan menggunakan fosgen untuk
membentuk N-(1-(S)-etoksikarbonil-3-fenilpropil)-L-alanin lalu reaksikan
senyawa intermediet ini dengan prolin dalam suasana basa lemah.
3. Beta blocker
Salah-satu obat antihipertensi pemblok beta reseptor adalah propanolol.
Propanolol dibuat dengan pembentukan eter antara 1-naftol dengan α-
epiklorhidrin (1-klor-2,3-epoksi-propan) yang akan memberikan 1-klor-3(1-
naftoksi)-2-propanol. Dengan mereaksikan senyawa ini dengan isoprolamin akan
terbentuk propanolol.
4. Alfa Blockers
Terazosin adalah salah-satu golongan alfa blockers. Terazosin disintesa
dari 3,4-dimetoksi-6-sianoanilin diubah menjadi senyawa isotiosianat dengan
menggunakan tiofosgen. Lalu dikondensasi dengan amina. Tiourea yang
43
dihasilkan kemudian dialkilasi, misalnya dengan metil iodida. Refluks dengan
suhu tinggi dengan penambahan amonium klorida menghasilkan insersi senyawa
amina, diikuti penutupan cincin untuk menghasilkan terazosin.
5. Angiotensin Reseptor Blockers II (ARB)
Valsartan adalah salah satu golongan Angiotensin reseptor blockers II
(ARB). Valsartan disintesa dari valeril klorida ditambah L-valin metilester
hidroklorida dalam larutan trietanolamin dan diklorometana pada suhu 00 C
menghasilkan metil-N-pentanoil-L-valinat. Senyawa nitrogen tersebut diproteksi
dengan 1-bromo-4-(bromometil) benzen dan natrium hidrida dalam
tetrahidrofuran untuk menghasilkan metil-N-(4-bromobenzil)-N-pentanoil-L-
valinat (valsartan).
6. Penghambat Saraf Adrenergik
Salah satu obat yang termsauk dalam kelompok ini adalah klonidin.
Untuk pembuatan klonidin, 2,6-diklor anilin direaksikan dengan amonium
menjadi senyawa tio ureum yang sesuai. Metilasi dengan metiliodida
memberikan garam isotiouronium, yang dengan etilendiamin tersiklasi menjadi 2-
imino imidazolidin. Karena pada sintesis ini dari garam isotiouronium dapat
dibebaskan metilmerkaptan (baunya), ada cara lain yang tidak mengganggu
lingkungan, 2,6-dikloranilin dengan 1-asetil imidazolidin-2-on dikondensasikan
menjadi 1-asetil klonidin, yang dengan pemanasan dengan pelarut polar seperti
misalnya metanol melalui alkoholisis akan pecah menjadi klonidin.
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
44
Penelitian dilaksanakan kurang lebih tiga bulan di RSUP DR. M. Djamil
Padang.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan penelitian berupa rekam medik pasien geriatri dengan diagnosa
hipertensi esensial selama kurun waktu 1 juli 2013 – 30 September 2013.
Alat dalam penelitian ini berupa formulir penelitian terstruktur untuk
mencatat data rekam medik penderita hipertensi esensial. Data yang dikumpulkan
dalam formulir penelitian meliputi identitas pasien, riwayat penyakit pasien,
diagnosis, tanda-tanda vital, pemakaian obat antihipertensi, pemakaian obat lain,
tekanan darah. Alat penelitian lain berupa standar terapi penyakit hipertensi
RSUD DR. M.Djamil Padang.
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data
secara prospektif.
3.3.2 Sumber Data
Data didapat dari rekam medik pasien dengan diagnosa hipertensi esensial
dari tanggal 1 juli 2013-30 september 2013.
3.3.3 Populasi
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien geriatri penderita
hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M.Djamil Padang
periode 1 Juli – 30 September 2013. Subyek yang dipilih harus memenuhi
kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah :
45
1. Rekam medik pasien Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M.Djamil
Padang periode 1 juli – 30 September 2013.
2. Usia ≥ 60 tahun.
3. Pasien dengan diagnosa hipertensi esensial.
4. Kategori semua gender.
Kriteria eksklusi adalah :
1. Rekam medik pasien Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M. Djamil
Padang diluar periode 1 juli – 30 september 2013.
2. Rekam medis yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang
dibutuhkan dalam penelitian).
3.3.4 Sampel
Penetapan sampel dilakukan dengan metoda sensus.
3.4 Pengumpulan Data.
Data yang diambil adalah data dari rekam medik pasien Poli Khusus
Penyakit Dalam RSUP DR. M.Djamil Padang yang memenuhi kriteria inklusi.
Adapun data yang dikumpulkan mencakup kelengkapan data pasien ( No.MR,
nama pasien, jenis kelamin, umur), riwayat penyakit, diagnosa, pemakaian obat
antihipertensi, pemakaian obat lain, tekanan darah. Lalu dilakukan seleksi data
berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi sesuai literatur. Data tersebut
dicatat dalam formulir penelitian.
3.5 Analisa Data.
Data dianalisa secara deskriptif dalam bentuk narasi, bentuk tabel atau
grafik.Adapun analisa data yang akan diperoleh antara lain demografi pasien yang
meliputi jenis kelamin dan klasifikasi pasien berdasarkan stadium hipertensi,
46
frekuensi penggunaan antihipertensi berdasarkan golongan obat, persentase
penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi, pencapaian target tekanan
darah pada pasien geriatri, penggunaan obat lain (selain antihipertensi), interaksi
obat yang potensial terjadi pada geriatri.
DAFTAR PUSTAKA
47
Chobanian AV, JL Bakris, HR Black, WC Cushman, LA Green, JL Izzo Jr, DW
Jones, et al., 2003. The 7th Report of The Joint National Comittee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.
Http://hyper.aha-journals.org/cgi/content/full/42/6/1206, diakses Januari
2013.
Bakri S, Suhardjono, J Djafar, 2001. Hipertensi pada Keadaan-Keadaan Khusus,
dalam S. Sujono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke 3, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Katzung, 2001. Farmakologi Dasar dan Klinis, Edisi I, Jakarta: Salemba Medika.
Ortiz A, 2007. Stereoselective Crystallization as a Key Step for The Synthesis of
New Epimers of Captopril Derivatives.
W. Schunack, K. Mayer, M.Haake, 1990. Senyawa Obat, Buku Pelajaran Kimia
Farmasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Bruner & Suddart, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,
Jakarta: EGC.
Ambati S,2011. Alternative Synthesis of Valsartan via Negishi Coupling,
Department of Chemictry Osmania University, India.
Yogiantoro M, 2006. Hipertensi Esensial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gray, Huon. 2005. Kardiologi Edisi IV, Jakarta: Erlangga.
Syamsuni, 2006. Ilmu Resep, Jakarta : EGC.
Aulia Sani, 1994. Hipertensi dan Merokok dalam Jurnal kardiologi Indonesia
Vol.XVII No.2, April – Juni 1994.
48
Anonim, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta.
Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 dalam Laporan
Nasional 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Ikawati Z, 2008. Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi di Poliklinik
Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.
49