75
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi usia lanjut, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Bruner, 2002). Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di negara maju maupun berkembang. Hipertensi merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%). Berdasarkan data RISKESDAS 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Depkes, 2008). Penderita yang penyebab hipertensinya tidak diketahui disebut penderita hipertensi esensial. Umumnya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh peningkatan tahanan (resistensi) pengaliran darah melalui arteriol-arteriol secara menyeluruh, sedangkan 1

BAB I

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di

atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi usia lanjut,

hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik

90 mmHg (Bruner, 2002). Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang terjadi di negara maju maupun berkembang. Hipertensi

merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%),

setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%). Berdasarkan data RISKESDAS

2007, prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Depkes, 2008).

Penderita yang penyebab hipertensinya tidak diketahui disebut penderita

hipertensi esensial. Umumnya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh

peningkatan tahanan (resistensi) pengaliran darah melalui arteriol-arteriol secara

menyeluruh, sedangkan curah jantung, biasanya normal. Penelitian yang seksama

terhadap fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-

angiotensin-aldosteron, dan ginjal belum mampu mengidentifikasi suatu kelainan

primer penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi

esensial (Katzung, 2001)

Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010

mengalami kenaikan sebesar 400 %, sehingga jumlahnya lebih banyak dari Bawah

Lima Tahun (Balita). Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya

1

Page 2: BAB I

morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular, diantaranya

hipertensi (Bakri S, 2001).

Sebagian besar usia lanjut yang didiagnosis hipertensi pada akhirnya

menjalani terapi dengan menggunakan obat antihipertensi. Pengobatan hipertensi

pada usia lanjut secara farmakologi sedikit berbeda dengan usia muda karena

adanya perubahan-perubahan fisiologis akibat proses menua. Perubahan fisiologis

yang terjadi pada usia lanjut menyebabkan konsentrasi obat menjadi lebih besar,

waktu eliminasi obat menjadi lebih panjang, terjadi penurunan fungsi dan respon

dari organ, adanya berbagai penyakit lain, adanya obat-obat untuk penyakit

penyerta yang sementara dikonsumsi harus diperhitungkan dalam pemberian obat

antihipertensi (Ikawati, 2008)

Penelitian ini dikhususkan pada pasien geriatri didasari oleh kenyataan

bahwa proses penuaan akan mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan

fisiologi, anatomi, psikologi dan sosiologi dan meningkatnya potensi terkena

beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes.

Penyakit-penyakit tersebut biasanya ditangani dengan penggunaan terapi obat

yang sifatnya polifarmasi yang akan memunculkan risiko efek samping obat

sembilan kali dibanding jika mengkonsumsi satu obat. Polifarmasi juga akan

memunculkan masalah interaksi obat, meskipun tidak semua interaksi obat

bermakna secara klinis (Ekowati.R, 2006)

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin melakukan evaluasi

penggunaan obat pada pasien geriatri penderita hipertensi esensial. Evaluasi

penggunaan obat dilihat dari tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat obat

2

Page 3: BAB I

dibandingkan dengan Standar Terapi Penyakit Hipertensi RSUP Dr. M. Djamil

Padang, interaksi obat-obat yang terjadi selama penggunaan obat, perubahan

tekanan darah setelah diberikan obat antihipertensi.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini

adalah :

1). Apakah golongan dan jenis obat antihipertensi yang diberikan pada geriatri

penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil

Padang sesuai dengan Standar Terapi Penyakit Hipertensi RSUP Dr. M.Djamil

Padang ?

2). Apakah target terapi hipertensi menurut JNC 7 yaitu tekanan darah <140/90

mmHg tercapai dengan penggunaan obat antihipertensi yang terpilih ?

3). Adakah interaksi obat antihipertensi dengan obat lainnya yang diberikan dan

berapa persentase kejadiannya ?

1.3. Tujuan Penelitian

1). Mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri

penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil

Padang.

3

Page 4: BAB I

2). Mengetahui obat-obat yang sering berinteraksi pada pasien geriatri

penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil

Padang dan berapa persentase kejadiaannya.

3). Mengetahui keberhasilan terapi obat antihipertensi pada pasien geriatri

penderita hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP Dr. M.Djamil

Padang.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui hasil evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada

geriatri penderita hipertensi primer di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUP

Dr.M.Djamil Padang diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan

dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan pada pasien geriatri.

4

Page 5: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arterial

abnormal yang berlangsung terus-menerus (Brashers, 2003). Hipertensi

merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg (Bakri, 2001). Menurut

The Sevent Report of Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), klasifikasi tekanan

darah pada orang dewasa terbagi seperti tabel dibawah ini (Chobanian, 2003).

Tabel 2.1.1 Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi Tekanan Darah

Tekanan Sistolik (mmHg)

Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Stage 1 140-159 90-99

Hipertensi Stage 2 ≥ 160 ≥ 100

5

Page 6: BAB I

The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure dari Amerika Serikat dan WHO dengan

Internationa Society of Hypertention membuat definisi hipertensi yaitu apabila

tekanan darah sistolik seseorang 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya

90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat antihipertensi (Bakri, 2001).

2.1.3 Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

Hipertensi esensial/primer/idiopatik dan hipertensi sekunder.

1) Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan

darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan

darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular perifer

bertambah, atau keduanya. Pada hipertensi yang baru mulai curah jantung

biasanya normal atau sedikit meningkat dan resistensi perifer normal. Pada tahap

hipertensi lanjut, curah jantung cenderung menurun dan resistensi perifer

meningkat. Adanya hipertensi juga menyebabkan penebalan dinding arteri dan

arteriol, mungkin sebagian diperantarai oleh faktor yang dikenal sebagai pemicu

hipertrofi vaskular dan vasokonstriksi (Insulin, katekolamin, angiotensin, hormon

pertumbuhan) sehingga menjadi alasan sekunder mengapa terjadi kenaikan

tekanan darah.

Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi pelbagai

kelainan (multifaktorial). Bukti-bukti epidemiologik menunjukkan adanya faktor

6

Page 7: BAB I

keturunan (genetik, ketegangan jiwa, dan faktor lingkungan dan makanan (banyak

asupan garam dan kurang asupan kalium atau kalsium) mungkin sebagai

kontributor berkembangnya hipertensi. Tekanan darah tidak meningkat pada

orang-orang berumur dengan menu harian berkadar garam rendah (Katzung,

2001)

Faktor keturunan pada hipertensi esensial diperkirakan berperan sebanyak

30%. Mutasi pada beberapa gen telah dihubungkan dengan penyebab-penyebab

hipertensi yang jarang ditemukan. Sejumlah variasi pada fungsi gen-gen untuk

enzim pengubah angiotensin (ACE), adrenoreseptor β2, dan α adducin (suatu

protein sitoskeletal) nampaknya berkontribusi pada beberapa kasus hipertensi

esensial (Katzung, 2001).

2). Hipertensi Sekunder

Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, antara lain

penyakit parenkim ginjal (3%), penyakit renovaskular (1%), endokrin (1%),

sindrom cushing, hiperplasia adrenal kongenital, feokromositoma, Koarktasio

aorta, kaitan dengan kehamilan, dan akibat obat (Gray, 2003).

2.1.4 Patofisiologi

Hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara faktor

genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh agen mediator neuro-hormonal.

Secara umum disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer dan atau peningkatan

volume darah. Gen yang berpengaruh pada hipertensi primer (faktor herediter

diperkirakan meliputi 30% sampai 40% hipertensi primer) meliputi reseptor

7

Page 8: BAB I

angiotensin II, gen angiotensin dan renin, gen sintetase oksida nitrat endotelial;

gen protein reseptor kinase G; gen reseptor adrenergis; gen kalsium transpor dan

natrium hidrogen antiporter (mempengaruhi sensitivitas garam); dan gen yang

berhubungan dengan resistensi insulin, obesitas, hiperlipidemia, dan hipertensi

sebagai kelompok bawaan.

Teori terkini mengenai hipertensi esensial meliputi :

- Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS)

1) Respon maladaptif terhadap stimulasi saraf simpatis.

2) Perubahan gen pada reseptor ditambah kadar katekolamin serum yang

menetap.

- Peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)

1) Secara langsung menyebabkan vasokonstriksi tetapi juga meningkatkan

aktivitas SNS dan menurunkan kadar prostaglandin vasodilator dan

oksida nitrat.

2) Memediasi remodeling arteri (perubahan struktural pada dinding

pembuluh darah).

3) Memediasi kerusakan organ akhir jantung (hipertrofi), pembuluh darah

dan ginjal.

Defek pada transpor garam dan air.

8

Page 9: BAB I

1) Gangguan aktivitas peptida natriuretik otak (brain natriuretic peptide,

BNF), peptida natriuretik atrial (atrial natriuretic peptide, ANF),

adrenomedulin, urodilatin, dan endotelin.

2) Berhubungan dengan asupan diet kalsium, magnesium, dan kalium

yang rendah.

- Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel.

1) Hipertensi sering terjadi pada penderita diabetes, dan resistensi insulin

ditemukan pada banyak pasien hipertensi yang tidak memiliki diabetes

klinis.

2) Resistensi insulin berhubungan dengan penurunan pelepasan endotelia

oksida nitrat dan vasodilator lain serta mempengaruhi fungsi ginjal.

3) Resistensi insulin dan kadar insulin yang tinggi meningkatkan aktivitas

SNS dan RAA (Brashers, 2007)

2.1.5 Gejala Klinis

Biasanya tak bergejala pada stadium awal; bila tekanan darah meningkat

secara akut, pasien dapat mengalami epistaksis, sakit kepala, penglihatan kabur,

tinitus, pusing, defisit neurologis transien, atau angina; bila perkembangan gejala

lebih lambat, pasien dapat datang dengan gejala yang berhubungan dengan

kerusakan organ akhir, seperti gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, atau

retinopati.

2.1.6 Terapi Hipertensi

9

Page 10: BAB I

1) Tujuan Terapi

Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi

morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari

140/90 mmHg untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 mmhg

untuk penderita diabetes melitus serta ginjal kronik. Tekanan darah sistolik

merupakan indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular daripada tekanan darah

diastole dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol

hipertensi.

2) Terapi Non-farmakologi

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk

memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat

badan, melakukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to

Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan

2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik, mengurangi

konsumsi alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok.

Penderita yang didiagnosis hipertensi stage 1 atau 2 sebaiknya

ditempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan.

3) Terapi Farmakologi

A. Antihipertensi Tahap Pertama

a. Diuretik

10

Page 11: BAB I

Semua diuretik akan menurunkan tekanan darah secara akut dengan

pengeluaran garam dan air, tetapi setelah 4-6 minggu keseimbangan kembali dan

tekanan darah kembali ke nilai asal (Kusnandar, 2009). Ada tiga faktor utama

yang mempengaruhi respon diuretik ini. Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal.

Diuretik yang bekerja pada daerah mereabsorpsi sedikit sodium akan memberi

efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah

yang mereabsorpsi banyak sodium. Kedua, status fisiologi organ akan

memberikan respons yang berbeda terhadap diuretik. Misalnya dekompensasi

jantung, sirosis hati, dan gagal ginjal. Ketiga, interaksi antara obat dengan

reseptor. Berdasarkan cara bekerja, ada beberapa jenis diuretik yang diketahui

pada saat ini.

- Thiazide

Mekanisme kerjanya menghambat reabsorpsi sodium dan penurunan volume

plasma yang disebabkan refleks peningkatan sekresi renin dan aldosteron. Contoh

diuretik thiazide antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, klorotiazid,

bendroflumetiazid. Setelah pemberian secara oral, diuretik thiazide mengalami

absorpsi di usus halus dengan bioavailabilitas yang bervariasi, berikatan dengan

protein plasma dan dieksresi melalui urine. Waktu paruh bervariasi bergantung

jenis diuretiknya tetapi pada umumnya efek tidak lebih dari 24 jam setelah

pemberian dosis satu kali sehari, kecuali klortalidon.

Dosis harian yang digunakan untuk klorotiazid 500 mg, HCT 25 mg,

klortalidon 25 mg dan bendroflumetiazid 2,5 mg. Diuretik thiazide dapat

menurunkan tekanan darah 20/10 mmHg, bergantung pada kondisi pasien.

11

Page 12: BAB I

Diuretik thiazid merupakan turunan dari senyawa sulfonamida yang dapat

menimbulkan reaksi berupa ruam kulit, vaskulitis, nefritis interstiasialis,

pankreatitis dan trombositopenia.

- Loop Diuretik

Loop diuretik lebih kuat dibandingkan dengan golongan thiazide tetapi

memiliki risiko terjadinya hipokalemia yang lebih besar. Penggunaan dosis tinggi

furosemid dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal (Syamsudin, 2011)

- Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika

digunakan tunggal. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia

terutama pada penyakit ginjal kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan

inhibitor ACE, ARB, AINS atau suplemen kalium secara bersamaan. Contoh

diuretik hemat kalium antara lain amilorid, spironolakton.

b. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE).

Inhibitor ACE memiliki efek dalam penurunan tekanan darah melalui

penurunan resistansi perifer tanpa disertai dengan perubahan curah jantung,

denyut jantung, maupun laju filtrasi glomerulus. Penurunan tekanan darah

melalui penghambatan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Syamsudin, 2011)

Inhibitor ACE seperti captopril, enalopril, dan lisinopril memblokade

konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Hal ini mengurangi resistensi

perifer total karena angitensin II menstimulasi sistem simpatis secara sentral,

12

Page 13: BAB I

memacu pelepasan norepinefrin dari saraf simpatis, dan menyebabkan

vasokonstriksi secara langsung. Penurunan angiotensin II plasma, dan akibatnya

penurunan aldosteron, juga memacu diuresis/natriuresis, karena kedua hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal. Inhibitor ACE juga

memetabolisme vasodilator bradikinin, dan sebagian aksi menguntungkan dari

inhibitor ACE mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar bradikinin

(Kusnandar, 2009)

Captopril

Derivat prolin ini adalah inhibitor ACE pertama yang digunakan (1979).

Efek peniadaan pembentukan angiotensin II adalah vasodilatasi dan berkurangnya

retensi garam dan air. Maka berbeda dengan vasodilator lainnya, zat ini tidak

menimbulkan udema atau refleks takikardia. Captopril digunakan pada hipertensi

ringan sampai berat dan pada dekompensasi jantung. Diuretika memperkuat

efeknya, sedangkan kombinasi dengan beta blocker hanya menghasilkan adisi.

Resorpsi dari usus cepat untuk ca 75%, efeknya sudah maksimal setelah

1,5 jam dan bertahan 12-24 jam tergantung pada dosis. PP-nya 25-30%, plasma

t½-nya 2-3 jam. Ekskresinya lewat kemih, separuhnya sebagai metabolit inaktif

dan separuh utuh.

Efek sampingnya yang tersering terjadi adalah hilangnya rasa (kadang-

kadang juga penciuman), batuk kering, dan exanthema. Efeknya dapat ditiadakan

oleh indometasin dan NSAID lainnya.

13

Page 14: BAB I

Dosis untuk hipertensi: oral 1-2 dd 25 mg, bila perlu setelah 2-3 minggu 1-

2 dd 50 mg; dekompensasi: 3 dd 6,25-12,5 mg, berangsur-angsur dinaikkan

sampai 3 dd 25-50 mg. Setelah infark jantung: semula 6,25 mg, berangsur-angsur

dinaikkan sampai 2-3 dd 50 mg.

- Enalapril

Enalapril adalah derivat prolin (1984), tetapi tanpa gugusan -CS. Khasiat

dan penggunaannya sama dengan captopril. Resorpsi prodrug ini dari usus cepat

sampai ca 65%; didalam hati dihidrolisa menjadi enalaprilat aktif dengan PP ca

55% dan t½ ca 11 jam. Efeknya maksimal setelah 4-6 jam dan bertahan lebih

kurang 24 jam. Ekskresinya melalui kemih dan sebagian dalam bentuk utuh.

Efek sampingnya berupa umum dan tidak menimbulkan hilangnya rasa

(tanpa -CS); efeknya tidak dipengaruhi oleh NSAID.

Dosis untuk hipertensi: oral sebagai maleat; 1-2 dd 5-10 mg ac/pc,

pemeliharaan 20-40 mg sehari. Untuk injeksi i.v. Digunakan larutan enaprilat

1mg/ml.

- Lisinopril

Lisinopril adalah derivat long-acting (1988) dengan khasiat dan

penggunaan sama dengan enapril (t½ 12 jam).

Dosis untuk hipertensi: oral 1 dd 10 mg, maksimum 80 mg;

dekompensasi : 1 dd 2,5 mg, maksimum 20 mg sehari.

- Fosinopril

14

Page 15: BAB I

Fosinopril adalah derivat prolin (1992) dengan atom fosfor dalam

rumusnya, yang khusus digunakan pada hipertensi. Di dalam tubuh, zat ini

dihidrolisa menjadi metabolit aktifnya fosinoprilat.

Dosis untuk hipertensi: oral 1 dd 10 mg, sesudah 4 minggu bila perlu

dinaikkan sampai 20-40 mg.

- Perindopril

Derivat indolkarboksilat (1989) ini adalah prodrug yang di dalam hati

dihidrolisa menjadi zat aktif perindoprilat. Digunakan pada hipertensi dan gagal

jantung, bersifat long-acting berhubung pengikatan kuat pada ACE, walaupun t½-

nya hanya ca 4 jam.

Dosis untuk hipertensi: oral 1 dd 4 mg, maksimum 8 mg; dekompensasi: 1

dd 2 mg, maksimum 4 mg (Tjay.T.H,2002)

c. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)

ARB menduduki reseptor angiotensin II yang terdapat dimana-mana

dalam tubuh, antara lain di myocard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat,

ginjal, anak ginjal dan hati. Zat-zat ini lebih efektif daripada penghambat ACE,

karena jalur kedua melalui enzim chymase juga dirintangi. Kombinasi dari kedua

jenis obat kini mulai digunakan agar lebih efektif menurunkan tensi (efek aditif

ringan). Kelompok ARB antara lain losartan, valsartan, ibesartan, candesartan,

dan eprosartan.

- Losartan

15

Page 16: BAB I

Senyawa imidazol-tetrazol ini adalah ARB pertama (1994) yang

dipasarkan. Berlainan dengan penghambat ACE, zat ini tidak menghambat enzim

ACE yang merombak angiotensin I menjadi angiotensin II, meainkan memblok

reseptor Angiotensin II dengan efek vasodilatasi. Khususnya digunakan pada

hipertensi. Efek maksimalnya baru nyata setelah beberapa minggu.

Resorpsinya dari usus baik, tetapi bioavailabilitasnya hanya 33%

berhubung first pass effect besar. Kadar puncak dalam darah dicapai sesudah 3-4

jam. Persentase pengikatannya pada protein 99%, plasma t½-nya 2 jam, dari

metabolit aktifnya 6-9 jam. Ekskresinya melalui kemih (35%) dan tinja (ca 58%).

Efek sampingnya yang paling sering adalah pusing, jarang terjadi

hipotensi ortostatis dan hiperkalemia. Batuk kering dapat terjadi, tetapi jarang

dibandingkan dengan ACE inhibitor. Kombinasinya dengan diuretika-thiazida

memperkuat efek hipotensifnya.

Dosis: oral 1dd 50 mg, bila perlu dinaikkan sesudah 3-6 minggu sampai 1

dd 100 mg.

- Valsartan

Valsartan adalah derivat dengan sifat yang lebih kurang sama dengan

losartan, plasma t½-nya 9 jam. Dosis: 1dd 80-160 mg.

d. Beta Blockers

Zat-zat ini memiliki sifat kimia yang sangat mirip dengan zat β-adrenergik

isoprenalin. Khasiat utamanya adalah anti adrenergik dengan jalan menempati

secara bersaing reseptor β-adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan

16

Page 17: BAB I

peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin (NA).

Reseptor β terdapat dalam 2 jenis, yaitu β1 dan β2.

Reseptor β1 di jantung (juga di SSP dan ginjal). Blokade reseptor ini

mengakibatkan melemahnya daya kontraksi (efek inotrop negatif), penurunan

frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardia), dan penurunan volume-

menitnya. Juga perlambatan penyaluran impuls di jantung (simpul AV). Efek ini

hanya lemah pada pindolol.

Reseptor β2 di bronchia (juga di dinding pembuluh dan usus). Blokade

reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan vasokonstriksi perifer agak

ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu), juga mengganggu mekanisme

homeostatik untuk memelihara kadar glukosa dalam darah (efek hipoglikemis).

Semua beta blockers diintroduksi sebagai obat angina pectoris dan anti-

aritmia (propanolol, 1964). Baru lebih kurang 10 tahun kemudian, obat ini

digunakan sebagai obat antihipertensi. Blokade reseptor beta mengakibatkan

sejumlah efek samping, yang pada umumnya bersifat ringan dan terjadi pada lebih

kurang 10% pengguna, antara lain: dekompensasi jantung, bronchokonstriksi, rasa

dingin di jari-jari kaki dan tangan, toleransi glukosa pada penderita diabetes ID

(Insulin dependent) dapat diturunkan, efek sentral yang meliputi gangguan tidur

dengan mimpi ganjil (nightmare), rasa lesu, kadang-kadang juga depresi dan

halusinasi, gangguan lambung-usus berupa mual, muntah dan diare, penurunan

kolesterol-HDL, sedangkan kadar trigliserida dan kolesterol total justru

meningkat.

17

Page 18: BAB I

Dengan sejumlah obat lain dapat terjadi interaksi bila digunakan

bersamaan, antara lain : efeknya diperkuat oleh antagonis Ca terutama verapamil

diltiazem, dan nifedipin. Efeknya diperlemah oleh barbital, rifampisin dan

antasida. Beta blocker memperkuat efek teofilin (menghambat perombakan).

Klonidin memperbesar risiko rebound hipertensi, maka terapi dengan beta blocker

perlu dihentikan sebelum menggunakan klonidin.

- Acebutolol

Beta blocker selektif ini (1973) bersifat lokal anestetik dengan ISA ringan.

Kombinasi sifat ini menguntungkan karena efek sampingnya yang agak ringan.

Resorpsinya dari usus ca 70%; akibat first pass effect tinggi,

bioavailabilitasnya hanya lebih kurang 40%. Persentase pengikatan proteinnya 11-

25%, plasma t½-nya 2-11 jam. Dalam hati, zat ini dirombak menjadi metabolit

yang sama aktifnya dengan diasetolol. Ekskresinya berlangsung lewat kemih dan

tinja. Asebutolol dan diastolol adalah lipofil, sehingga dapat menimbulkan efek

samping sentral.

Dosis: angina dan antihipertensi, oral 1 dd 400 mg pagi hari, bila perlu

sesudah 2 minggu dinaikkan sampai 2 dd 400 mg, tackikardi-aritmia 2-3 dd 200-

400 mg.

- Atenolol

Zat kardioselektif ini tanpa ISA atau efek lokal anestetik (1975) dan

bersifat hidrofil kuat, maka tidak melintasi rintangan darah-otak dengan efek

sentral minimal.

18

Page 19: BAB I

Reabsorpsinya dari usus hanya 50%, Persentase pengikatan pada

proteinnya 3%, dengan plasma t½ 6-9 jam, namun efek blokade reseptor β

bertahan jauh lebih lama, lebih kurang 24 jam. Tidak dimetabolisme oleh hati dan

diekskresikan lewat kemih.

Dosis : angina dan hipertensi, oral 1-2 dd 100 mg; aritmia, 2 dd 50-100 mg

- Bisoprolol

Bisoprolol adalah derivat selektif lipofil tanpa ISA dengan sifat lokal

anestetik (1986). Bioavailabilitasnya tinggi, ca 90% karena first pass effect

ringan, Persentase pengikatan pada protein ca 30%, plasma t½-nya 10-12 jam.

Ekskresinya berlangsung melalui kemih, separuh sebagai metabolit inaktif.

Dosis : angina dan hipertensi, oral 1 dd 5-10mg.

- Propanolol

Beta blocker pertama ini (1964) memiliki efek lokal anestetik kuat, tetapi

tidak kardioselektif dan tak memiliki ISA. Meskipun banyak sekali derivat lain

telah dipasarkan dengan sifat farmakologi yang lebih baik, namun propanolol

masih merupakan beta blocker penting.

Resorpsinya dari usus baik, tetapi first pass effect besar, hingga hanya

30% mencapai sirkulasi besar. Sebagian besar zat ini diubah dalam hati menjadi

derivat hidroksinya yang aktif. Persentase pengikatan pada proteinnya 90%,

plasma t½-nya 3-6 jam. Bersifat sangat lipofil, sehingga distribusinya di jaringan

dan otak baik dengan sering kali menimbulkan efek sentral.

19

Page 20: BAB I

Dosis: hipertensi, angina dan aritmia, oral 2-3 dd 40 mg dc, bila perlu

dinaikkan dengan interval 1 minggu sampai 320 mg sehari. Profilaksis re-infark,

3 dd 40 mg selama 2-4 minggu dalam waktu tiga minggu infark pertama,

pemeliharaan 2-3 dd 80 mg selama minimal 2 tahun.

e. Penghambat Saluran Kalsium/Antagonis Ca(Calsium Chanel Blocker)

Antagonis Ca menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan

menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan (voltage sensitive),

sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi

otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi

tekanan darah. Antagonis Ca dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks

simpatik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek inotropik

negatif (Sukandar, 2009).

Berdasarkan efek tersebut diatas, antagonis Ca kini terutama digunakan

pada hipertensi, apabila diuretika dan atau beta blocker kurang efektif. Sebaiknya

zat ini dikombinasi dengan suatu beta blocker.

Antagonis Ca secara kimiawi dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu

derivat dihidropiridin dan obat-obat lain. Derivat dihidropiridin memiliki efek

vasodilatasi yang amat kuat, maka terutama digunakan sebagai obat hipertensi.

Kini tersedia antara lain nifedipin, nisoldipin, amlodipin,felodipin, nicardipin,

nimodipin.Kelompok obat-obat lain terdiri dari verapamil, diltiazem dan bepridil.

Nifedipin

20

Page 21: BAB I

Nifedipin adalah zat pertama (1975) dari kelompok dihidropiridin dengan

gugus fenil pada posisi para. Khasiat utamanya adalah vasodilatasi, maka

terutama digunakan pada hipertensi esensial (ringan/sedang), juga pada angina

variant berdasarkan efeknya terhadap jantung yang relatif ringan: tak berkhasiat

inotrop negatif. Pada angina stabil hanya digunakan bila beta blocker di kontra

indikasi atau kurang efektif. Khususnya dianjurkan tablet long-acting Oros.

Resorpsinya dari usus baik (90%), tetapi biavailabilitasnya hanya rata-rata

60% karena first pass effect tinggi. Mula kerja kapsul dalam 20 menit dan

bertahan 1-2 jam, tablet Oros masing-masing 2-4 jam dan 16-18 jam. Persentase

pengikatan pada proteinnya di atas 90%, plasma t½-nya 2-5 jam (ca 11 jam pada

tablet retard). Dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit inaktif yang

diekskresikan lewat kemih (90%) dan tinja (10%).

Efek sampingnya yang sering terjadi adalah udema pergelangan kaki

(10%). Dosis awal yang terlampau tinggi dapat memprovokasi serangan angina

akibat hipotensi kuat mendadak, sporadis, iskemia dan infark akibat refleks-

takikardia, terutama pada lansia. Beberapa penelitian memberikan indikasi

mengenai peningkatan risiko penyakit jantung dan kanker.

Dosis: pada hipertensi 3 dd 10-20 mg atau 2 dd 20-40 mg retard d.c;

angina oral 3-4 dd 10 mg tablet (ditelan utuh), berangsur-angsur dinaikkan

samapai maksimum 6 dd 20 mg, atau 1 dd 30-120 mg tablet retard pagi hari d.c.

- Nisoldipin

21

Page 22: BAB I

Nisoldipin adalah analog 2-nitrofenil (1990) dengan kerja agak panjang

(t½ 2-15 jam) yang digunakan pada angina stabil dan hipertensi dengan dosis

masing-masing 2 dd 5-20 mg dan 1-2 dd 5-20 mg.

- Nicardipin

Derivat 3-nitrofenil ini bersifat lipofil (1986) dengan bioavailabilitas 30%,

persentase pengikatan pada protein ca 98%, dan t½ 1-12 jam. Diekskresikan

sebagai metabolit inaktif lewat kemih (60%) dan tinja (40%).

Nimodipin

Nimodipin adalah derivat 3-nitrofenil lipofil (1985) dengan khasiat utama

terhadap pembuluh otak. Maka, khususnya digunakan setelah pendarahan otak

untuk profilaksis gejala iskemia akibat kejang kapiler otak. Selain itu nimodipin

dapat memperbaiki ingatan lemah pada lansia dengan gejala dementia (kelemahan

pikiran). Mekanisme kerjanya berdasarkan teori bahwa proses metabolisme

kalsium terganggu pada sel yang menua. Pintu kalsium selalu terbuka sedikit,

sehingga ion Ca dapat terus-menerus membocor ke dalam sel-sel saraf.

Nimodipin mencegah pembocoran ion Ca tersebut. Dosis: oral 6 dd 60 mg selama

7 hari.

Amlodipin

Derivat klor long-acting ini (1990) memiliki bioavailabilitas ca 60%,

persentase pengikatan pada protein diatas 95%, dan t½ 35-50 jam. Diekskresikan

60% lewat kemih sebagai terutama metabolit inaktif.

Dosis: hipertensi dan angina variant/stabil 1 dd 5 mg, maksimum 10 mg.

22

Page 23: BAB I

- Felodipin

Felodipin adalah derivat diklor (1987) dengan kerja panjang (t½ 25 jam).

Bioavailabilitasnya hanya 15%, karena first pass effect tinggi; Persentase

pengikatan pada proteinnya 99%. Felodipin dirombak dalam hati menjadi

metabolit inaktif, yang diekskresikan melalui kemih (ca 70%) dan tinja (30%).

digunakan pada hipertensi dan angina variant/stabil dengan dosis 1 dd 5-20 mg.

Verapamil

Senyawa amin alifatis ini (1963) dengan kelompok nitril (-CN) digunakan

pada angina variant dan stabil, juga pada aritmia. Verapamil juga efektif pada

hipertensi ringan sampai sedaang dan dapat mencegah reinfark setelah serangan

jantung jika ada kontra indikasi bagi beta blocker.

Reabsorpsinya dari usus ca 90% dengan bioavailabilitas lebih kurang 43%

berhubung first pass effect besar, Persentase pengikatan pada proteinnya lebih

kurang 90%, plasma t½-nya 4,5-12 jam. Di dalam hati zat ini dirombak jadi lebih

kurang 12 metabolit, yang diekskresikan lewat kemih (70%) dan tinja (15%).

Efek sampingnya yang tersering adalah hipotensi, bradikardi, dan

insufisiensi jantung, serta obstipasi. Jarang AV-blokade, nyeri kepala, udema

kaki, dan efek umum lainnya.

Dosis: pada angina stabil/variant 1-2 dd 240 mg tablet SR, pada hipertensi,

aritmia 3-4 dd 80 mg, maksimum 720 mg sehari untuk beberapa minggu.

Diltiazem

23

Page 24: BAB I

Derivat 1,5-benzothiazepin ini (1973) sama penggunaannya dengan

verapamil, adakalanya juga melalui injeksi pada angina stabil. Juga digunakan

sebagai obat antiaritmia.

Reabsorpsinya dari usus lebih dari 90%, tetapi bioavailabilitasnya hanya

ca 40% karena first pass effect tinggi. Persentase pengikatan pada proteinnya ca

80%, plasma t½-nya 4-8 jam, ekskresinya berlangsung lewat tinja (65%) sebagai

metabolit dan secara utuh lewat kemih (1-4%). Efek sampingnya mirip

verapamil.

Dosis: angina variant/stabil, oral 3-4 dd 60 mg, bila perlu dinaikkan

sampai 3 dd 120 mg. Aritmia, 1.v. 1 dd 0,25-0,3 mg/kg.

f. Alfa Blockers

Zat-zat ini memblokade reseptor alfa adrenergik yang terdapat di otot

polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan mukosa. Dapat dibedakan 2

jenis reseptor yaitu α1 dan α2, yang berada di post synaptis, α2 juga di pre-

sinaptis. Bila reseptor tersebut diduduki (diaktivasi) oleh (nor) adrenalin, otot

polos akan menciut. Alfa blockers melawan antara lain vasokonstriksi tersebut

akibat aktivasi dan dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu: Alfa blockers tak selektif

: fentolamin, yang hanya digunakan i.v. Pada krisis hipertensi tertentu. Alfa-1-

blockers selektif: memblokade hanya reseptor alfa-1 adrenergik secara selektif,

antara lain prazosin, doxazosin, terazosin. Alfa-2-blockers selektif: yohimbin.

Prazosin

24

Page 25: BAB I

Derivat chinazolin-piperazinil ini (1974) berdaya hipotensif kuat

berdasarkan vasodilatasi arteri melalui blokade reseptor alfa-1 secara selektif.

Efek hipotensifnya dimulai setelah 2-3 hari.

Resorpsinya dari usus sampai 80%, Persentase pengikatan pada proteinnya

tinggi (97%), dan t½-nya 2-3 jam, tetapi daya kerjanya lebih panjang, sampai 12

jam. Ekskresinya terutama melalui empedu dan tinja sebagai metabolit dan ca

10% secara utuh lewat kemih.

Efek sampingnya yang terpenting adalah hipotensi ortostatis akut, terlebih

bila disertai pada terapi dengan beta-blockers dan antagonis Ca. Juga efek sentral,

gangguan lambung-usus, reaksi kulit, gangguan seksual,udema, takikardia dan

mulut kering.

Dosisnya untuk hipertensi, permulaan oral 0,25-0,5 mg malam hari,

dengan berangsur-angsur dinaikkan sampai 2-3 dd 0,5-2 mg, maksimum 3 dd 6

mg.

Doxazosin

Doxazosin adalah derivat long-acting (1987), t½ 9-12 jam dengan khasiat

sama dengan prazosin tetapi lebih jarang mengakibatkan hipotensi ortostatis

berbahaya.

Dosisnya permulaan oral malam hari selama 1-2 minggu, bila perlu

dinaikkan sampai 1 dd 2-8 mg

Terazosin

25

Page 26: BAB I

Terazosin adalah derivat long-acting (1987), t½ 8-13 jam. Khasiatnya

tidak sekuat prazosin. Resorpsinya dari usus lebih kurang 90%, persentase

pengikatan pada proteinnya lebih dari 90%, dan dalam hati dirombak menjadi

beberapa metabolit, antara lain turunan piperazin aktif. Ekskresinya melalui

kemih dan tinja.

Efek sampingnya yang paling sering terjadi adalah pusing, nyeri kepala,

dan impotensi. Dosis untuk hipertensi: malam hari 1 mg selama 1 minggu, lalu 1

dd 2 mg.

B. Antihipertensi Tambahan

a. Adrenolitik sentral (α2-agonis)

Klonidin

Derivat imidazolin ini (1966) berkhasiat hipotensif kuat berdasarkan efek

adrenergik sentralnya. Mengikat diri pada reseptor α2. Digunakan pada

hipertensi sedang sampai berat.

Resorpsinya dari usus lengkap dengan bioavailabilitas hampir 100%, efek

hipotensif maksimalnya dicapai dalam waktu 4 jam dan bertahan 8 jam. Plasma

t½-nya 6-20 jam, ekskresinya lewat kemih dan tinja sebagian dalam bentuk

metabolit.

Efek sampingnya sedasi, terutama terjadi pada permulaan terapi.

Penghentian pengobatan tidak boleh mendadak, melainkan berangsur-angsur

dalam 2-4 hari untuk menghindari hipertensi rebound.

26

Page 27: BAB I

Dosis: oral 3 dd 0,75 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampai 0,15-0,6 mg

dalam 2-3 dosis.

Metildopa

Derivat alanin ini (1963) dalam saraf adrenergik diubah secara enzimatis

menjadi zat aktifnya α-metilnoradrenalin (MNA) dan metildopamin. Metildopa

terutama digunakan pada hipertensi sedang sampai berat, kebanyakan dikombinasi

dengan thiazida

Resorpsinya dari usus antara 30-70%; kadar plasma maksimal dicapai

setelah ca 5 jam dan bertahan ca 24 jam. Ekskresinya terutama melalui kemih

secara utuh dan glukonat. Plasma t½-nya 7-16 jam.

Efek sampingnya umum terutama efek sentral. Disamping itu kelainan

darah serius antara lain anemia dan leukopenia, juga hepatitis dalam masa 2 bulan.

Oleh karena itu, dianjurkan pengawasan darah dan hati secara teratur selama

pemakaian.

Dosis: oral permulaan 2 dd 250 mg selama beberapa hari, lalu perlahan-

lahan dinaikkan sampai 3-4 dd 500 mg.

b. Penghambat saraf adrenergik

Reserpin

Reserpin adalah alkaloida dari akar tumbuhan pule pandak (Rauwolfia

serpentina), sejak pertengahan tahun 50-an digunakan sebagai obat antihipertensi

pertama. Namun, berhubung efek sampingnya yang hebat sekarang sudah

27

Page 28: BAB I

terdesak oleh obat-obat lain. Akan tetapi, penelitian baru menunjukkan bahwa

reserpin dalam dosis lebih rendah (bersama HCT) tidak menimbulkan efek buruk

tersebut, dengan kerja lebih baik daripada beta blockers, metildopa, atau

diltiazem.

Resorpsinya dari usus baik, efek maksimalnya baru tercapai setelah 2-3

minggu. Ekskresinya berlangsung 60% lewat tinja secar utuh dan ca 10% melalui

urin. Plasma t½-nya ternyata panjang sekali (24-72 jam) dan efeknya bisa

bertahan sampai satu minggu lebih berkat sifat kumulasi. Karena efek panjang

ini, reserpin tidak menimbulkan hipertensi rebound pada penghentian terapi

seperti pada obat-obat pusat lainnya.

Efek sampingnya yang terpenting pada dosis biasa berupa hidung

tersumbat, pusing, gangguan lambung-usus ringan. Praktis tidak menyebabkan

efek sentral (sedasi, gangguan potensi), juga tidak mempengaruhi kadar

kolesterol. Baru pada dosis di atas 0,25 mg sehari dapat timbul efek buruk,

seperti depresi dengan kecenderungan bunuh diri dan tukak lambung-usus akibat

stimulasi sekresi asam. Dosis: oral 1 dd 0,1-0,25 mg.

c. Vasodilator langsung

Hidralazin

Derivat hidrazin ini adalah salah satu obat hipertensi pertama (1952).

Tidak layak digunakan sebagai monoterapi berhubung efek sampingnya. Khusus

sebagai terapi kombinasi dengan beta-blockers dan thiazida.

28

Page 29: BAB I

Resorpsinya dari usus pesat dan lengkap. Persentase pengikatan pada

protein ca 85%, plasma t½-nya ditentukan secara genetis, tergantung pada

kecepatan biotransformasi dalam hati melalui asetilasi. Dosis: oral semula 2-3 dd

10-25 mg pc, bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimum 200 mg

sehari dalam 3-4 dosis.

Minoksidil

Derivat pirimidin ini (1980) adalah vasodilator kuat dengan kerja langsung

terhadap dinding arteriol. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam 30 menit, dan

mencapai puncak setelah rata-rata 5 jam, efeknya bertahan 2-5 hari. Digunakan

hanya pada hipertensi berat yang resisiten untuk antihipertensi lainnya. Selalu

dikombinasi dengan beta blockers dan diuretikum untuk meniadakan efek

sampingnya.

Efek sampingnya selain hipertrichosis reversibel, juga takikardia dan

udema, yang sewaktu-waktu tak dapat ditanggulangi dengan diuretika kuat,

seperti furosemida. Dosis: oral 1 dd 5 mg, bila perlu dinaikkan berangsur-angsur

sampai maksimum 2 dd 25 mg.

2.2. ASPEK KIMIA OBAT

2.2.1. Diuretika

2.2.1.1. Hidroklortiazida

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau praktis putih; praktis tidak berbau

29

Page 30: BAB I

Kelarutan: Sukar larut dalam air; mudah larut dalam natrium hidroksida,

dalam n-butilamina, dan dalam dimetilformamida; agak sukar larut dalam

metanol; tidak larut dalam eter, dalam kloroform dan dalam asam mineral

encer.

Identifikasi :

A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah didispersikan dalam

kalium bromida P, menggunakan campuran hidroklorotiazida-kalium

bromida yang telah dipanaskan pada suhu 105o selama 2 jam,

menunjukkan maksimum hanya pada panjang yang sama seperti pada

Hidroklorotiazida BPFI.

B. Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam 100.000) dalam metanol

P menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang

sama seperti pada Hidroklorotiazida BPFI.

Penetapan Kadar: Lakukan penetapan dengan cara kromatografi cair

kinerja tinggi seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.

Fase gerak. Buat campuran natrium fosfat monobase 0,1 M asetonitril P

(9:1), atur pH hingga 3,0 ± 0,1 dengan asam fosfat P, saring dan

awaudarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem

seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.

Larutan kesesuaian sistem. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida

BPFI dan klorotiazida, larutkan dalam fase gerak hingga kadar masing-

masing lebih kurang 0,15 mg per ml.

30

Page 31: BAB I

Larutan Baku. Timbang seksama sejumlah Hidroklorotiazida BPFI,

larutkan dalam fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,15 mg per ml.

Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 30 mg, masukkan ke dalam

labu tentukur 200 ml, larutkan dalam sejumlah kecil asetonitril P, tidak

lebih 10% dari volume total larutan, encerkan dengan fase gerak sampai

tanda.

Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi

< 931>. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 254

nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1. Laju aliran lebih

kurang 2,0 ml per menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan

kesesuaian sistem, dan rekam respons puncak seperti yang tertera pada

Prosedur; simpangan baku relatif tidak lebih dari 1,5%; waktu retensi

relatif klortiazida dan hidroklortiazida berturut-turut adalah 0,8 dan 1,0.

Resolusi, R, antara klorotiazida dan hidroklortiazida tidak kurang dari 2,0.

Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang

20 μl) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, ukur respons

puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C7H8ClN3O4S2, dengan rumus

200 C ( γ u ) γs

C adalah kadar hidroklorotiazida BPFI dalam mg per ml Larutan baku; γu

dan γs berturut-turut adalah respons puncak larutan uji dan larutan baku.

2.2.2 Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme

2.2.2.1. Captopril

31

Page 32: BAB I

Pemerian: Serbuk hablur putih atau hampir putih; bau khas seperti sulfida.

Melebur pada suhu 1040 sampai 1100

Kelarutan: Mudah larut dalam air, dalam metanol, dalam etanol, dan dalam

kloroform.

Identifikasi: Spektrum serapan inframerah zat yang didispersikan dalam

kalium bromida P menunjukkan maksimum hanya pada panjang

gelombang yang sama seperti pada Kaptopril BPFI.

Penetapan Kadar

Titran kalium iodat 0,1 N, Larutkan 3,567 kalium iodat yang telah

dikeringkan pada 1100 hingga bobot tetap, dalam air hingga 1000,0 ml.

Prosedur. Timbang seksama lebih kurang 300 mg, masukkan ke

dalam labu erlenmeyer bertutup kaca berisi 100 ml air, larutkan,

tambahkan 10 ml asam sulfat 3,6 N, 1 g kalium iodida 0,1 N sampai warna

biru lemah yang bertahan selama tidak kurang dari 30 detik. Lakukan

penetapan blangko. 1 ml kalium iodidat 0,1 N setara dengan 21,73 mg

C9H15NO3S.

2.2.3. Beta-Blockers

2.2.3.1 Propanolol

Pemerian: Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau; rasa pahit.

Kelarutan: Larut dalam air dan dalam etanol; sukar larut dalam kloroform;

praktis tidak larut dalam eter.

Identifikasi:

32

Page 33: BAB I

A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan

didispersikan dalam minyak mineral P, menunjukkan maksimum hanya

pada panjang gelombang yang sama seperti pada Propanolol Hidroklorida

BPFI.

B. Waktu retensi puncak utama propanolol pada kromatogram larutan uji

sama dengan larutan baku yang diperoleh pada penetapan kadar.

C. Menunjukkan reaksi Klorida seperti yang tertera pada Uji Identifikasi

Umum <291>.

Penetapan Kadar.

Lakukan penetapan kadar dengan cara Kromatografi cair kinerja tinggi

seperti yang tertera pada Kromatografi <931>

Fase gerak. Larutkan 500 mg dodesil natrium sulfat P dalam 18

ml asam fosfat 0,15 M, tambahkan 90 ml asetonitril P dan 90 ml metanol

P, encerkan dengan air hingga 250 ml, campur, saring melalui penyaring

dengan porositas 0,5 μm atau lebih halus. Jika perlu lakukan penyesuaian

menurut kesesuaian sistem seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.

Larutan Baku. Timbang seksama sejumlah Propanolol

Hidroklorida BPFI, larutkan dalam metanol P hingga diperoleh larutan

baku persediaan dengan kadar lebih kurang 1 mg per ml. Pipet 5 ml

larutan ini ke dalam labu tentukur 25 ml, encerkan dengan metanol P

sampai tanda, saring melalui penyaring dengan porositas 0,7 μm atau lebih

halus. Larutan mengandung lebih kurang 0,2 mg propanolol hidroklorida

BPFI per ml.

33

Page 34: BAB I

Larutan resolusi. Buat larutan prokainamida hidroklorida P dalam

metanol P hingga kadar lebih kurang 0,25 mg per ml. Pipet 5 ml larutan

ini ke dalam labu tentukur 25 ml, tambahkan 5,0 ml larutan baku

persediaan yang digunakan untuk membuat larutan baku, encerkan

dengan metanol P sampai tanda.

Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 50 mg, masukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml, tambahkan 45 ml metanol P, kocok dan

sonikasi selama 5 menit. Encerkan dengan metanol P sampai tanda, saring

melalui penyaring dengan porositas 0,7 μm atau lebih halus. Pipet 5 ml

filtrat ini ke dalam labu tentukur 25 ml, encerkan dengan metanol P

sampai tanda.

Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada

Kromatografi <931>. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan

detektor 290 nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L7

dengan ukuran partikel 5 μm. Laju aliran lebih kurang 1,5 ml per menit.

Lakukan kromatografi terhadap Larutan resolusi, rekam respons puncak

utama seperti yang tertera pada prosedur: waktu retensi relatif

prokainamida dan propanolol berturut-turut adalah lebih kurang 0,6 dan

1,0 dan resolusi, R, antara puncak prokainamida dan puncak propanolol

tidak kurang dari 2,0. Lakukan kromatografi terhadap larutan baku, rekam

respons puncak seperti yang tertera pada Prosedur: faktor ikutan puncak

propanolol tidak lebih dari 3,0 dari simpangan baku relatif pada

penyuntikan ulang tidak lebih dari 2,0%.

34

Page 35: BAB I

Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih

kurang 20 μl) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, ukur

respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C16H21NO2.HCl dengan

rumus: 250 C ( γu )

γs

C adalah kadar Propanolol Hidroklorida BPFI dalam mg per ml Larutan

baku; γu dan γs berturut-turut adalah respons puncak propanolol dalam

Larutan uji dan Larutan baku.

2.2.4. Alfa Blockers

2.2.4.1. Prazosin Hidroklorida

Pemerian: Serbuk warna putih atau hampir putih; tidak berbau atau hampir

tidak berbau.

Kelarutan: Sangat sukar larut dalam air; sukar larut dalam etanol 96% dan

dalam metanol; praktis tidak larut dalam aseton dan dalam kloroform.

Identifikasi

A. Larutkan 50 mg dalam 20 ml etanol P 50%, tambahkan 2 ml

kalium hidroksida 1 N, ekstraksi 2 kali, tiap kali dengan 25 ml

diklorometana P, uapkan kumpulan ekstrak, dan keringkan residu pada

suhu 600 dengan tekanan tidak lebih dari 15 mmHg. Spektrum serapan

inframerah residu yang didispersikan dalam kalium bromida P

menunjukkan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama

seperti Prazosin Hidroklorida BPFI.

35

Page 36: BAB I

B. Spektrum serapan ultraviolet larutan 0,0007% dalam asam

klorida-metanol 0,01 N pada panjang gelombang antara 220 nm hingga

400 nm, menunjukkan tiga maksimum, pada panjang gelombang lebih

kurang 247 nm, 330 nm, dan 343 nm. Serapan pada 247 nm lebih kurang

0,95; serapan pada 330 nm lebih kurang 0,19 dan serapan pada 343 nm

lebih kurang 0,18.

C. Larutkan 25 mg dalam 30 ml etanol P, 2 ml larutan

menunjukkan reaksi klorida seperti yang tertera pada Uji Identifiaksi

Umum <291>.

Penetapan Kadar

Timbang seksama lebih kurang 350 mg, larutkan dalam 50 ml

asam asetat glasial P, tambahkan 7 ml raksa (II) asetat LP. Titrasi dengan

asam perklorat 0,1 N LV. Tentukan titik akhir secara potensiometrik. 1

ml asam perklorat 0,1 N setara dengan 41,99 mg C19H21N5O4.HCl

2.2.5. Antagonis Kalsium

2.2.5.1. Nifedipin

Pemerian: Serbuk kuning, terurai oleh cahaya langsung.

Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton.

Identifikasi

A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan

didispersikan dalam kalium bromida P menunjukkan maksimum hanya

pada panjang gelombang yang sama seperti pada Nifedipin BPFI.

36

Page 37: BAB I

B. Ke dalam labu tentukur 50 ml yang berisi 70 mg nifedipin

tambahkan 5,0 ml kloroform P dan encerkan dengan metanol P sampai

tanda. Pipet 1 ml larutan ke dalam labu tentukur 100 ml dan encerkan

dengan metanol P sampai tanda, gunakan sebagai larutan uji. Ukur

serapan larutan uji pada panjang gelombang dari 450 nm sampai 220 nm

menggunakan blangko metanol P. Spektrum larutan uji menunjukkan

maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama seperti

pada larutan Nifedipin BPFI yang diperlakukan sama.

C. Waktu retensi puncak utama larutan uji sesuai larutan baku

yang diperoleh pada Penetapan kadar.

Penetapan Kadar

Lakukan penetapan kadar secara kromatografi cair kinerja tinggi

seperti yang tertera pada Kromatografi <931>.

Fase gerak. Buat campuran air-asetonitril P-metanol P (50:25:25)

saring dan awaudarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut

Kesesuaian sistem seperti yang tertera pada kromatografi <931>.

Larutan baku. Timbang seksama sejumlah Nifedipin BPFI,

larutkan dalam metanol P (lebih kurang 1 mg per ml), dan encerkan secara

kuantitatif dengan fase gerak hingga kadar lebih kurang 0,1 mg per ml.

Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 25 mg nifedipin,

masukkan ke dalam labu tentukur 250 ml, larutkan dalam 25 ml metanol

P, encerkan dengan fase gerak sampai tanda, hingga kadar lebih kurang

0,1 mg per ml.

37

Page 38: BAB I

Sistem kromatografi. Lakukan seperti yang tertera pada

Kromatografi <931>. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan

detektor 235 nm dan kolom 4,6 mm x 25 cm berisi bahan pengisi L1

dengan ukuran partikel 5 μm, laju aliran lebih kurang 1,0 ml per menit.

Lakukan kromatografi terhadap Larutan baku, rekam respons puncak

seperti pada Prosedur: efisiensi kolom tidak kurang dari 16000 lempeng

teoritis per meter, faktor ikutan tidak lebih dari 1,5 dan simpangan baku

relatif respons puncak utama tidak lebih dari 1,0%.

Prosedur. Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih

kurang 25 μl) Larutan baku dan larutan uji ke dalam kromatograf, ukur

respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg, C17H18N2O6 dengan

rumus : 250 C ( γu )

γs

C adalah kadar nifedipin BPFI dalam mg per ml larutan baku, γu dan γs

berturut-turut adalah respons puncak nifedipin dalam Larutan uji dan

Larutan baku.

2.2.6. Penghambat saraf adrenergik

2.2.6.1 Reserpin

Pemerian: Serbuk hablur, putih atau sampai agak kekuningan; tidak

berbau. Terjadi warna gelap perlahan-lahan oleh cahaya langsung, lebih

cepat terjadi dalam bentuk larutan.

38

Page 39: BAB I

Kelarutan: Tidak larut dalam air; mudah larut dalam asam asetat dan

dalam kloroform; sukar larut dalam benzena; sangat sukar larut dalam

etanol dan dalam eter.

Identifikasi

A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan

didispersikan dalam kalium bromida P, menunjukkan maksimum hanya

pada panjang gelombang yang sama seperti pada reserpin BPFI.

B. Larutkan 25,0 mg zat yang telah dikeringkan dalam 0,25 ml

kloroform P dan campur dengan 30 ml metanol P yang telah dihangatkan

hingga suhu 500. Pindahkan campuran dengan bantuan metanol P hangat

ke dalam labu tentukur 250 ml, dinginkan sampai suhu kamar dan

encerkan dengan metanol P sampai tanda. Pipet 10 ml larutan ini kedalam

labu tentukur 50 ml, tambahkan 36 ml kloroform P dan encerkan dengan

metanol P sampai tanda. Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam

50.000) pada panjang gelombang antara 255 nm dan 350 nm,

menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang

sama seperti reserpin BPFI; menggunakan blangko campuran kloroform P-

metanol P (36:14); daya serap masing-masing pada panjang gelombang

serapan maksimum lebih kurang 268 nm berbeda tidak lebih dari 3,0%.

Penetapan kadar

Larutan Baku. Timbang seksama lebih kurang 25,0 mg reserpin

BPFI, larutkan dalam 0,25 ml kloroform P, dan campur dengan lebih

kurang 30 ml metanol P yang sebelumnya telah dihangatkan hingga suhu

500, pindahkan campuran ke dalam labu tentukur 250 ml dengan bantuan

39

Page 40: BAB I

metanol P hangat, dinginkan larutan hingga suhu kamar, encerkan dengan

metanol P sampai tanda (Larutan 1), lindungi larutan dari cahaya.

Sebelum digunakan dalam penetapan kadar, pipet 10,0 ml larutan 1,

masukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, tambahkan 36 ml kloroform P

dan encerkan dengan metanol P sampai tanda.(Larutan baku). Lindungi

larutan dari cahaya.

Larutan uji. Timbang seksama lebih kurang 25,0 mg zat,

masukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, larutkan dan encerkan dengan

kloroform P sampai tanda (larutan 2). Encerkan secara kuantitatif dan

bertahap 5 ml larutan 2 dengan kloroform P hingga 50 ml (Larutan uji).

Lindungi larutan dari cahaya.

Prosedur. Pipet 10 ml larutan uji ke dalam bejana pemisah,

tambahkan 10 ml asam sitrat P (1 dalam 50) dan kocok hati-hati selama 2

menit. Pisahkan dan alirkan kloroform. Cuci larutan asam sitrat 2 kali,

tiap kali dengan 10 ml kloroform P. Kumpulkan cucian dengan larutan

kloroform. Pada kumpulan larutan kloroform tambahkan larutan natrium

bikarbonat P (1 dalam 100), kocok selama 2 menit, dan pisahkan. Alirkan

kloroform, saring melalui kapas ke dalam labu tentukur 50 ml yang berisi

14,0 metanol P. Ekstraksi lapisan larutan bikarbonat dalam corong

pemisah 2 kali, tiap kali dengan 2 ml kloroform P, masing-masing

disaring. Masukkan ke dalam labu tentukur, tambahkan kloroform P

sampai tanda. Pipet 2 kali, masing-masing 5,0 ml alikot larutan kloroform

P-metanol P dan larutan baku, masukkan ke dalam labu tentukur terpisah.

Tambahkan masing-masing 2,0 ml asam klorida P dalam metanol P (1

40

Page 41: BAB I

dalam 10). Pada labu pertama dari tiap pasang (mewakili Larutan baku

dan Larutan uji yang diekstraksi) tambahkan 1,0 ml larutan natrium nitrit P

dalam metanol P (1 dalam 2)(3 dalam 1000). Pada labu kedua dari tiap

pasang (merupakan larutan blangko) tambahkan 1 ml larutan metanol P (1

dalam 2). Campur dan biarkan selama 30 menit. Tambahkan pada

masing-masing labu 0,5 ml larutan amonium sulfamat P (1 dalam 20) dan

metanol P sampai tanda, campur dan biarkan selama 10 menit. Tetapkan

serapan masing-masing larutan pada panjang gelombang 390 nm

menggunakan campuran metanol P-klorofrom P dan air (5,4:3,6:1) sebagai

blangko. Hitung jumlah dalam mg, C33H40N2O8 dengan rumus:

25 (A-A*)u (A-A*)s

(A-A*) adalah perbedaan serapan larutan dengan perlakuan nitrit dan larutan

blangko dari larutan uji (u) dan Larutan baku (s).

2.3. Aspek Farmasetika

Secara farmasetika obat antihipertensi dibuat dalam berbagai bentuk

sediaan, diantaranya adalah :

2.3.1 Bentuk Tablet

Tablet menurut FI edisi IV adalah sediaan padat mengandung bahan obat

dengan atau tanpa bahan pengisi.

Tablet adalah bentuk sediaan farmasi yang paling banyak dibuat atau

diproduksi karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan dari bentuk sediaan

lainnya, diantaranya :

Takaran obat cukup teliti dan serba sama untuk setiap tablet

41

Page 42: BAB I

Pembebasan obat dapat diatur sesuai dengan efek terapi yang diinginkan

Rasa dan bau yang tidak menyenangkan dapat ditutupi dengan penyalutan

Bahan obat yang dapat rusak oleh cairan atau enzim dalam saluran

pencernaan dapat diatasi dengan penyalutan.

Bentuk tablet dapat menjamin kestabilan sifat fisik dan kimia bahan obat,

karena tablet merupakan sediaan kering.

Mudah dalam pengemasan, pengepakan, transportasi dan penggunaannya.

Biaya produksi relatif murah dibandingkan dengan bentuk sediaan lain.

Contoh obat hipertensi bentuk tablet :

2.3.2 Bentuk Injeksi

Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk

yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan,

yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit

atau selaput lendir. Contoh obat antihipertensi dalam bentuk injeksi :

Sintesa Antihipertensi

1. Diuretik

Obat antihipetensi yang termasuk golongan diuretika diantaranya adalah

hidroklortiazid dan furosemid. Pembuatan hidroklortiazid dimulai dari 3-

kloranilin, yang melalui pemanasan dengan asam klorsulfonat, tanpa melindungi

gugus amino, kemudian diikuti reaksi dengan amonia akan menjadi

kloraminofenamid. Dari senyawa ini melalui kondensasi dengan larutan

paraformaldehida atau larutan formaldehida akan diperoleh hidroklortiazid.

42

Page 43: BAB I

Sintesis furosemid dimulai dari asam 2,4-diklorobenzoat, yang dengan

cara yang analog diubah menjadi turunan 5-sulfamoil. Substitusi nukleofiliklor

selanjutnya dengan furfurilamin akan berlangsung secara regiospesifik pada posisi

ortho terhadap gugus karboksil.

2. Inhibitor Angiotensin Converting enzyme

Captopril, (2S)-1-(2S)-2-metil-3-sulfanilpropanoil)-pirolidin-2-asam

karboksilat, adalah ACE inhibitor pertama yang di temukan pada tahun 1975 oleh

Ondetti dkk. Captopril dapat diperoleh melalui reaksi kopling antara (2S)-3-

asetilthio-2-metilpropanoilklorida dan L-prolin dalam suasana basa.

Enalapril disintesa dengan menghilangkan efek dari ikatan sulfihidril-Zn

pada captopril yang diyakini bertanggung jawab terhadap T½ pendek dan efek

samping dari captopril. Enalapril dibuat dengan menggunakan fosgen untuk

membentuk N-(1-(S)-etoksikarbonil-3-fenilpropil)-L-alanin lalu reaksikan

senyawa intermediet ini dengan prolin dalam suasana basa lemah.

3. Beta blocker

Salah-satu obat antihipertensi pemblok beta reseptor adalah propanolol.

Propanolol dibuat dengan pembentukan eter antara 1-naftol dengan α-

epiklorhidrin (1-klor-2,3-epoksi-propan) yang akan memberikan 1-klor-3(1-

naftoksi)-2-propanol. Dengan mereaksikan senyawa ini dengan isoprolamin akan

terbentuk propanolol.

4. Alfa Blockers

Terazosin adalah salah-satu golongan alfa blockers. Terazosin disintesa

dari 3,4-dimetoksi-6-sianoanilin diubah menjadi senyawa isotiosianat dengan

menggunakan tiofosgen. Lalu dikondensasi dengan amina. Tiourea yang

43

Page 44: BAB I

dihasilkan kemudian dialkilasi, misalnya dengan metil iodida. Refluks dengan

suhu tinggi dengan penambahan amonium klorida menghasilkan insersi senyawa

amina, diikuti penutupan cincin untuk menghasilkan terazosin.

5. Angiotensin Reseptor Blockers II (ARB)

Valsartan adalah salah satu golongan Angiotensin reseptor blockers II

(ARB). Valsartan disintesa dari valeril klorida ditambah L-valin metilester

hidroklorida dalam larutan trietanolamin dan diklorometana pada suhu 00 C

menghasilkan metil-N-pentanoil-L-valinat. Senyawa nitrogen tersebut diproteksi

dengan 1-bromo-4-(bromometil) benzen dan natrium hidrida dalam

tetrahidrofuran untuk menghasilkan metil-N-(4-bromobenzil)-N-pentanoil-L-

valinat (valsartan).

6. Penghambat Saraf Adrenergik

Salah satu obat yang termsauk dalam kelompok ini adalah klonidin.

Untuk pembuatan klonidin, 2,6-diklor anilin direaksikan dengan amonium

menjadi senyawa tio ureum yang sesuai. Metilasi dengan metiliodida

memberikan garam isotiouronium, yang dengan etilendiamin tersiklasi menjadi 2-

imino imidazolidin. Karena pada sintesis ini dari garam isotiouronium dapat

dibebaskan metilmerkaptan (baunya), ada cara lain yang tidak mengganggu

lingkungan, 2,6-dikloranilin dengan 1-asetil imidazolidin-2-on dikondensasikan

menjadi 1-asetil klonidin, yang dengan pemanasan dengan pelarut polar seperti

misalnya metanol melalui alkoholisis akan pecah menjadi klonidin.

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

44

Page 45: BAB I

Penelitian dilaksanakan kurang lebih tiga bulan di RSUP DR. M. Djamil

Padang.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan penelitian berupa rekam medik pasien geriatri dengan diagnosa

hipertensi esensial selama kurun waktu 1 juli 2013 – 30 September 2013.

Alat dalam penelitian ini berupa formulir penelitian terstruktur untuk

mencatat data rekam medik penderita hipertensi esensial. Data yang dikumpulkan

dalam formulir penelitian meliputi identitas pasien, riwayat penyakit pasien,

diagnosis, tanda-tanda vital, pemakaian obat antihipertensi, pemakaian obat lain,

tekanan darah. Alat penelitian lain berupa standar terapi penyakit hipertensi

RSUD DR. M.Djamil Padang.

3.3 Metodologi Penelitian

3.3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data

secara prospektif.

3.3.2 Sumber Data

Data didapat dari rekam medik pasien dengan diagnosa hipertensi esensial

dari tanggal 1 juli 2013-30 september 2013.

3.3.3 Populasi

Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh pasien geriatri penderita

hipertensi esensial di Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M.Djamil Padang

periode 1 Juli – 30 September 2013. Subyek yang dipilih harus memenuhi

kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi adalah :

45

Page 46: BAB I

1. Rekam medik pasien Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M.Djamil

Padang periode 1 juli – 30 September 2013.

2. Usia ≥ 60 tahun.

3. Pasien dengan diagnosa hipertensi esensial.

4. Kategori semua gender.

Kriteria eksklusi adalah :

1. Rekam medik pasien Poli Khusus Penyakit Dalam RSUD DR. M. Djamil

Padang diluar periode 1 juli – 30 september 2013.

2. Rekam medis yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang

dibutuhkan dalam penelitian).

3.3.4 Sampel

Penetapan sampel dilakukan dengan metoda sensus.

3.4 Pengumpulan Data.

Data yang diambil adalah data dari rekam medik pasien Poli Khusus

Penyakit Dalam RSUP DR. M.Djamil Padang yang memenuhi kriteria inklusi.

Adapun data yang dikumpulkan mencakup kelengkapan data pasien ( No.MR,

nama pasien, jenis kelamin, umur), riwayat penyakit, diagnosa, pemakaian obat

antihipertensi, pemakaian obat lain, tekanan darah. Lalu dilakukan seleksi data

berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi sesuai literatur. Data tersebut

dicatat dalam formulir penelitian.

3.5 Analisa Data.

Data dianalisa secara deskriptif dalam bentuk narasi, bentuk tabel atau

grafik.Adapun analisa data yang akan diperoleh antara lain demografi pasien yang

meliputi jenis kelamin dan klasifikasi pasien berdasarkan stadium hipertensi,

46

Page 47: BAB I

frekuensi penggunaan antihipertensi berdasarkan golongan obat, persentase

penggunaan antihipertensi tunggal dan kombinasi, pencapaian target tekanan

darah pada pasien geriatri, penggunaan obat lain (selain antihipertensi), interaksi

obat yang potensial terjadi pada geriatri.

DAFTAR PUSTAKA

47

Page 48: BAB I

Chobanian AV, JL Bakris, HR Black, WC Cushman, LA Green, JL Izzo Jr, DW

Jones, et al., 2003. The 7th Report of The Joint National Comittee on

Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.

Http://hyper.aha-journals.org/cgi/content/full/42/6/1206, diakses Januari

2013.

Bakri S, Suhardjono, J Djafar, 2001. Hipertensi pada Keadaan-Keadaan Khusus,

dalam S. Sujono, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke 3, Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Katzung, 2001. Farmakologi Dasar dan Klinis, Edisi I, Jakarta: Salemba Medika.

Ortiz A, 2007. Stereoselective Crystallization as a Key Step for The Synthesis of

New Epimers of Captopril Derivatives.

W. Schunack, K. Mayer, M.Haake, 1990. Senyawa Obat, Buku Pelajaran Kimia

Farmasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bruner & Suddart, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8,

Jakarta: EGC.

Ambati S,2011. Alternative Synthesis of Valsartan via Negishi Coupling,

Department of Chemictry Osmania University, India.

Yogiantoro M, 2006. Hipertensi Esensial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,

Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Gray, Huon. 2005. Kardiologi Edisi IV, Jakarta: Erlangga.

Syamsuni, 2006. Ilmu Resep, Jakarta : EGC.

Aulia Sani, 1994. Hipertensi dan Merokok dalam Jurnal kardiologi Indonesia

Vol.XVII No.2, April – Juni 1994.

48

Page 49: BAB I

Anonim, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Jakarta.

Depkes RI, 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 dalam Laporan

Nasional 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Ikawati Z, 2008. Kajian Keamanan Pemakaian Obat Antihipertensi di Poliklinik

Usia Lanjut Instalasi Rawat Jalan RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.

49