13
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Saat ini sering terjadi kekeliruan pengertian akan seks, termasuk istilah-istilah seks yang kemudian karena minimnya pemahaman, banyak yang menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai lelucon, padahal apabila mereka mengerti dengan jelas, mereka pun tidak akan menggangap hal-hal tersebut lucu. Hingga persepsi yang keliru mengenai apa yang dianggap porno. Misalnya istilah ‘sesimpel’ heteroseksual pun masih banyak yang suka keliru. Padahal bila dikaji ulang, mudah sekali untuk diartikan. Kata “heteros” dalam bahasa Yunani yang berarti beda, lawannya “homo” yang berarti sama. Pada intinya heteroseksual adalah orientasi seksual yang tertarik pada lawan jenis. Namun tetap saja masih ada yang keliru. Kejadian-kejadian seperti itu seyogianya perlu ditindak lanjuti secara menyeluruh, karena anak tidak dapat sepenuhnya disalahkan dan dihakimi begitu saja. 1

BAB I

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

Saat ini sering terjadi kekeliruan pengertian akan seks, termasuk istilah-istilah seks

yang kemudian karena minimnya pemahaman, banyak yang menggunakan istilah-istilah

tersebut sebagai lelucon, padahal apabila mereka mengerti dengan jelas, mereka pun tidak

akan menggangap hal-hal tersebut lucu. Hingga persepsi yang keliru mengenai apa yang

dianggap porno. Misalnya istilah ‘sesimpel’ heteroseksual pun masih banyak yang suka

keliru. Padahal bila dikaji ulang, mudah sekali untuk diartikan. Kata “heteros” dalam

bahasa Yunani yang berarti beda, lawannya “homo” yang berarti sama. Pada intinya

heteroseksual adalah orientasi seksual yang tertarik pada lawan jenis. Namun tetap saja

masih ada yang keliru. Kejadian-kejadian seperti itu seyogianya perlu ditindak lanjuti

secara menyeluruh, karena anak tidak dapat sepenuhnya disalahkan dan dihakimi begitu

saja.

Perlu ditekankan bahwa minimnya pemahaman akan seks dan istilah-istilah seks tidak

dapat sepenuhnya dibebankan pada anak atau remaja semata. Masih banyak pihak yang

sebenarnya turut ikut andil dalam pendidikan seks bagi mereka, mulai dari orangtua,

keluarga, guru dan pihak sekolah hingga institusi ataupun komunitas yang berperan dalam

‘membesarkan’ dan mendidik anak dan remaja.

Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh dengan kesukaran. Bukan saja

kesukaran bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tua, masyarakat,

1

Page 2: BAB I

bahkan sering kali bagi polisi. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi

antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (12-21 tahun). Masa transisi ini sering kali

menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan. Di satu

pihak masih kanak-kanak, tetapi di lain pihak ia sudah harus bertingkah laku seperti orang

dewasa.

Ada banyak definisi mengenai remaja, namun menurut Hurlock (1992), remaja

berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.

Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan

mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas

karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua

Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja

menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihannya, karena remaja belum

memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti

Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa

yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa.

Pendapat umum menyatakan bahwa masa remaja adalah periode “badai dan stress”

yang ditandai oleh kemurungan, kekacauan di dalam diri, dan pemberontakan. Tetapi riset

tidak mendukung pandangan pesimistik ini. Penelitian terakhir yang diikuti oleh lebih dari

300 remaja di sekolah menengah pertama melakukan penelitian dua kali setiap tahun

terhadap siswa dan orangtuanya melalui wawancara dan tes psikologi. Mereka dinilai

kembali selama tahun terakhir sekolah lanjutan atas (Petersen, 1998a). data menyatakan

2

Page 3: BAB I

bahwa pubertas memang memiliki efek yang bermakna pada citra tubuh, harga diri, mood,

dan hubungan dengan orangtua dan lawan jenis.

Salah satu hal yang menarik dan terjadi dalam dunia remaja adalah trend pacaran

yang digemari sebagian remaja walau tidak sedikit juga orang dewasa gemar

melakukannya. Bahkan ada rumor yang menarik, bahwasanya bila ada remaja yang belum

punya pacar berarti belum mempunyai identitas diri yang lengkap. Awal dari pacaran

bermula ketika remaja masuk dalam tahap pubertas.

Pada umumnya, perubahan pubertas merupakan pengalaman positif untuk anak laki-

laki, tetapi merupakan pengalaman negatif untuk anak perempuan. Namun, untuk dua jenis

kelamin ini, masa remaja awal relatif bebas dari masalah pada lebih dari separuh penelitian

tersebut. Sekitar 30% kelompok hanya mengalami masalah intermiten. 15% terperangkap

dalam “perputaran kekacauan dan masalah yang semakin buruk” yaitu masalah emosional

dan akademik yang menonjol terus berlangsung atau memburuk (Petersen, 1998a).

Penelitian menyimpulkan bahwa pada remaja yang kehidupannya telah terganggu,

perubahan yang terjadi pada masa remaja awal menambahkan beban lebih lanjut sehingga

masalah mereka lebih besar kemungkinannya untuk menetap.

Tugas utama yang menghadapi remaja adalah membentuk identitas individualitas

untuk menemukan jawaban “Siapa saya?” dan “Kemana saya akan pergi?”. Proses ini juga

melibatkan perasaan tentang kompetensi dan harga diri. Walaupun perkembangan konsep

diri dimulai pada awal masa anak-anak dan terus berlangsung seumur hidup. Masa remaja

adalah periode yang kritis.

3

Page 4: BAB I

Erik Erikson yang merupakan tokoh psikologi telah mengajukan delapan stadium

yang merupakan karakteristik perkembangan seumur hidup. Ia menamakannya stadium

psikososial, karena ia yakin bahwa perkembangan psikologis seorang individu tergantung

pada hubungan sosial yang ditegakkan pada berbagai saat kehidupan mereka.

Ada sudut pandang lain yang menyatakan bahwa masa remaja dimulai bukan dengan

pencarian identitas, tetapi dengan kebutuhan akan keintiman dan bahwa pembentukan

identitas diri dapat diperoleh dari berperan serta dalam hubungan interpersonal yang intim

(Sullivan, 1953). Tidak cukup banyak riset untuk memutuskan antara kedua sudut pandang

tersebut, kemungkinan terbesar keintiman dan identitas berinteraksi di seluruh periode

masa remaja dan dewasa awal.

Keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang berkaitan dengan kegiatan

dan perubahan-perubahan secara mendalam yang dibarengi dengan perasaan kuat atau

disertai dengan keadaan afektif (J.P.Chaplin. 2005). English and English (Syamsu Yusuf,

2003) menyebut emosi ini sebagai “A complex feeling state accompanied by characteristic

motor and grandular activities”. Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003) bahwa aspek

emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1)

rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang

terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang

berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu,

kehilangan arah dan tujuan.

Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau

karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan

4

Page 5: BAB I

emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya

secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya,

ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi,

biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-

duga.

Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui

reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang

wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak

dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan

kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di

lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau

dewasa dan jika hal itu benar-benar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan

emosinya

Jadi, kapan seorang remaja mampu untuk berpikir seperti orang dewasa? Hal ini

bukan hanya pertanyaan akademik, melainkan dapat menjadi masalah hidup dan mati. Ada

tiga masalah yang cenderung muncul pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak-

kanak atau dewasa, yaitu: konflik dengan orang tua, suasana hati yang berubah-ubah (mood

swings) dan depresi, serta tingginya angka perilaku ceroboh, pelanggaran hukum, dan

tindakan berisiko (Spear, 2000). Oleh karena itu, kami melakukan penelitian dengan objek

siswa dan siswi SMP di SMPN 7 Bandung, dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman

remaja terhadap istilah dan perilaku heteroseksual, juga bagaimana dampaknya pada

kehidupan pribadi mereka.

5

Page 6: BAB I

1.2. Masalah Penelitian

1.2.1 Identifikasi Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana para remaja khususnya siswa dan

siswi SMPN 7 Bandung mengetahui dan paham maksud dari istilah Heteroseksual dan

bagaimana dampaknya pada kehidupan pribadi mereka.

1.2.2 Batasan Masalah

Agar masalah penelitan ini lebih terarah dan dapat diterima dengan jelas, maka perlu

dilakukan pembatasan masalah. Adapun masalah yang akan dibahas pada penelitian ini

adalah tentang pemahaman remaja pada istilah dan perilaku Heteroseksual, serta dampak

pada kehidupan pribadi mereka.

1.2.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukaan sebelumnya, maka rumusan

masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman siswa dan siswi SMPN 7 Bandung akan arti

Heteroseksual?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari perilaku Heteroseksual terhadap

perkembangan emosi remaja?

3. Bagaimana dampak perilaku Heteroseksual dalam kehidupan pribadi remaja?

6

Page 7: BAB I

1.3. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pemahaman siswa dan siswi SMPN 7 Bandung akan arti

Heteroseksual.

2. Mengetahui dampak perilaku Heteroseksual terhadap perkembangan emosi

remaja.

3. Mengetahui dampak perilaku Heteroseksual dalam kehidupan pribadi remaja.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan kegunaan baik secara

teoritis maupun praktis. Secara, teoritis penelitian ini berguna untuk pemahaman terhadap

istilah-istilah seks khususnya arti dari Heteroseksual. Secara praktis, penelitian ini

diharapkan bermanfaat bagi:

1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan serta pemahaman terhadap

istilah Heteroseksual dan dampaknya terhadap perkembangan emosi remaja.

2. Pembaca, sebagai media informasi tentang pemahaman remaja terhadap

istilah Heteroseksual dan hubungannya dengan emosi remaja.

1.5. Definisi Operasional

Untuk lebih mengetahui arti dari istilah-istilah pokok dan pengertian khusus dalam

penelitian ini, maka penulis akan memaparkannya secara operasional

7

Page 8: BAB I

a) emo·si /émosi/ n 1 luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu

singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan,

kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif); 3 cak marah;

-- keagamaan getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku religius;

ke·e·mo·si·an n perihal emosi: kalau pendekatan ini yang dipakai, kita akan dapat

menggambarkan derajat ~ seseorang.

b) re·ma·ja 1 a mulai dewasa; sudah sampai umur untuk kawin: ia sekarang sudah

-- , bukan kanak-kanak lagi; 2 a muda: pengantin perempuannya masih -- benar;

3 n pemuda: Pemerintah mendirikan gelanggang -- untuk sarana kegiatan

olahraga;

-- kencur ki remaja yang belum cukup umur; me·re·ma·ja·kan v 1 memudakan

(menjadikan muda); mengganti dengan (tenaga) yang muda: ~ pegawai negeri; 2

ki memugar; memperbaharui: penduduk Jakarta sedang giat ~ kotanya dengan

melebarkan jalan-jalan kampung; pe·re·ma·ja·an n proses, cara, perbuatan

meremajakan: di daerah itu akan dilaksanakan program ~ dan intensifikasi

penanaman kelapa sawit; ~ kota usaha perbaikan kota seperti pemugaran gedung

dan sarana lain sehingga dapat lebih dimanfaatkan dan mengubah penggunaan

lingkungan yang dahulunya.

c) Heteroseksual he.te.ro.sek.su.al [a] cenderung untuk melakukan hubungan seks

dengan orang yang berbeda jenis kelamin.

8