bab I dan II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 1

Citation preview

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang PenelitianPendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi pembangunan dan menjadi penentu kemakmuran sebuah negara karena pendidikanlah yang akan menghasilkan insan-insan yang kompeten untuk melaksanakan pembangunan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, dan negara berkewajiban memberikan pendidikan yang layak bagi seluruh warga negaranya. Tujuan Pendidikan di Indonesia sangat luhur sebagaimana dituangkan dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yakni bahwa, Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Namun sampai saat ini tujuan tersebut belumlah menjadi kenyataan, dan sepertinya masih sebatas harapan, karena pada kenyataannya masih begitu banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan kesejahteraan masyarakat masih rendah. Kondisi pendidikan Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, hal ini terlihat dari peringkat Human Development Index (HDI) 2010 di mana Indonesia masih berada dalam kategori negara sepuluh terbawah untuk wilayah east asia Pasifik

Tabel 1.1Peringkat Human Development Index Wilayah East Asia Pasific

10 Highest HDIs10 Lowest HDIs

NoNegaraHDI 2010NoNegaraHDI 2010

Very high human developmentLow human development

1Australia0,9371Papua New Guinea0,431

2New Zealand0,9072Myanmar0,451

3Japan0,884Medium human development

4South Korea0,8773Cambodia0,494

5Hong Kong0,8624Solomon Islands0,494

6Singapore0,8465Laos0,497

7Brunei0,8056Timor-Leste0,502

High human development7Vietnam0,572

8Palau0,7578Indonesia0,600

9Malaysia0,7449Micronesia, Federated States of0,614

10Tonga0,67710Mongolia0,622

Sumber: wikipedia,akses 23 september 2011

Perguruan tinggi adalah institusi yang didedikasikan untuk: (1) menguasai, memanfaatkan, mendiseminasikan, mentransformasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks), (2) mempelajari, mengklarifikasikan dan melestarikan budaya, (3) meningkatkan mutu kehidupan masyarakat(BAN-PT,2008). Selain itu perguruan tinggi merupakan tempat berjalannya tridarma perguruan tinggi yakni pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat serta merupakan tempat berkumpulnya aset-aset intelektual. Perguruan tinggi adalah organisasi yang berbasis pengetahuan karena dalam aktivitas kesehariannya perguruan tinggi melibatkan proses penciptaan, penyebaran dan proses belajar pengetahuan. Hal senada dikemukakan oleh Rowley(2000) yang menyatakan bahwa pada dasarnya perguruan tinggi merupakan organisasi yang dicirikan oleh creating knowledge, dissemination dan learning organization. Untuk menopang dedikasi dan fungsi tersebut maka BAN-PT(2008) mengatakan perguruan tinggi harus mampu mengatur diri sendiri dalam upaya meningkatkan dan menjamin mutu secara terus menerus, baik unsur masukan, proses maupun keluaran berbagai program dan layanan yang diberikan kepada masyarakat.Saat ini perguruan tinggi menghadapi perubahan yang signifikan, di mana tuntutan dari para stakeholder lebih meningkat. Generasi muda sebagai penentu kehidupan berbangsa dan bernegara akan ditentukan oleh kemampuan perguruan tinggi dalam menghasilkan alumni-alumni berkualitas. Untuk itu aktivitas penangkapan pengetahuan yang aktif melalui media elektronik, meningkatkan budaya membaca, kegiatan bedah buku, seminar, dialog, diskusi yang bisa dilakukan dalam interaksi sehari-hari, pengembangan dan penciptaan pengetahuan melalui penelitian dan pengabdian masyarakat harus didorong dan ditingkatkan terus. Ini didukung oleh Loh Benjamin et. al.(2003) bahwa pengembangan dan transmisi knowledge merupakan peran sentral dan tanggung jawab universitas. Penulis meyakini bahwa faktor sumberdaya yang dimiliki masing-masing perguruan tinggi tidak terkecuali sumberdaya manusia memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan sebuah perguruan tinggi. Untuk itu diperlukan sebuah strategi yang tepat agar potensi yang dimiliki sumberdaya manusia mampu dieksplore dengan lebih baik. Konsep RBV mendukung hal ini di mana menurut konsep ini sebuah organisasi akan meraih keunggulan karena adanya berbagai perbedaan dari segi sumberdaya dan kapabilitas. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan sumberdaya yang diyakini mampu memenuhi kriteria VRIO (Valuable, Rare, Inimitate, Organizational) dari Barney (1991) di mana kriteria ini akan membuat sebuah organisasi meraih keunggulan bersaing. Pengetahuan merupakan salah satu intangible asset yang sangat penting dan memiliki nilai strategis. Dengan memahami hal ini seharusnya perguruan tinggi dapat memanfaatkan knowledge sebagai sumberdaya dalam usaha pencapaian tujuan-tujuannya yakni peningkatan kualitas bagi seluruh stakeholder. Knowledge management seharusnya dijadikan strategi kesuksesan organisasi. Knowledge management (McShane,2008), sebagai aktivitas terstruktur guna meningkatkan kapasitas organisasi untuk mendapatkan, membagi dan menggunakan pengetahuan agar mampu bertahan/survive seharusnya digunakan sebagai penggerak terlaksananya tridarma perguruan tinggi karena perguruan tinggi yang sukses adalah perguruan tinggi yang mampu dan konsisten menghasilkan pengetahuan baru, menyebarkannya dan mengimplementasikan dalam teknologi/produk baru. Peran pemimpin dalam suksesnya pelaksanaan Knowledge management sangat penting. Pemimpin selain menjadi perumus visi, misi dan sasaran organisasi pemimpin juga berperan dalam menentukan strategi pencapaiannya dan mengarahkan anggota organisasi kepada pencapaian tujuan tidak terkecuali dalam hal pengelolaan pengetahuan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan memotivasi anggotanya agar mau memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi, McShane(2008), Dessler(2004) dan Certo(2009). Dari pengertian ini jelas tergambar bahwa perilaku seluruh anggota organisasi serta tercapainya tujuan akan sangat ditentukan oleh kemampuan seorang pemimpin Hal ini tentu terkait dengan keterlibatan para anggota dalam berbagai aktivitas-aktivitas penting dalam organisasi ataupun partisipasi aktif mereka dalam melaksanakan strategi pencapaian tujuan. Faktor organisasional yang juga perlu dikaji adalah terkait budaya organisasi. Budaya organisasi dapat memfasilitasi pengelolaan pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Chih-Chien Wang(2004) yang mengatakan bahwa organizational culture is for facilitating knowledge sharing. Perubahan yang terus terjadi dan tantangan yang semakin besar menuntut organisasi untuk selalu belajar karena organisasi yang sukses adalah organisasi yang mau belajar dan terus belajar. Untuk itu pembelajaran seharusnya dijadikan sebagai budaya dalam organisasi sehingga aktivitas keseharian dan tindakan seluruh anggota organisasi mencerminkan pembelajaran yang terus menerus sehingga diharapkan kapasitas organisasi akan semakin meningkat yang tentunya akan berdampak pada kinerja organisasi. Hal yang sama dikemukakan Malik E.M, Rizwan Q and Ali Usman (2010) yang mengatakan A Good Learning Culture will not only help employees to show high level of performance but also keep those good employee in the organization. Budaya pembelajaran organisasional adalah budaya atau nilai yang dianut dalam organisasi yang mendukung pembelajaran yang terus menerus guna mengembangkan kapasitas organisasi secara keseluruhan diyakini berpengaruh pada pelaksanaan knowledge management, karena untuk meningkatkan keinginan belajar diperlukan budaya organisasi yang mendukung proses pembelajaran sehingga dapat memperoleh, mengembangkan serta mentransfer pengetahuan dengan mudah. Hal senada dikemukakan Pool (2000) dan Hall (2001) suppose that during the process of encouraging employees to want to learn, it is necessary for organizational culture to support the organizational learning. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa baik kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional dan pengelolaan pengetahuan memiliki peran dalam pencapaian kinerja organisasiPenulis berkeyakinan bahwa segala proses yang terjadi dalam sebuah organisasi akan sangat ditentukan oleh mekanisme individual olehnya itu penulis mencoba mengkaji konflik dan kepuasan kerja sebagai faktor yang dapat memoderasi pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan. Konflik muncul secara alami dalam sebuah organisasi dapat membuat sejumlah individu merasa sangat frustasi dan tidak nyaman. Ketika konflik muncul kepekaan perasaan meningkat, tujuan terabaikan, ego merupakan ancaman dan menempatkan hubungan antar individu dalam posisi yang berbahaya, Schmitt and Tannebaum (dalam Earnest W.G & McCaslin,2005). Konflik dapat bersifat fungsional yakni mendukung pencapaian tujuan organisasi namun dapat juga bersifat disfungsional yakni menghambat pencapaian tujuan organisasi. Tentu saja konflik tidak harus dihilangkan namun harus dikelola agar bersifat lebih fungsional. Konflik disfungsionallah yang harus diwaspadai karena memiliki kecenderungan kearah yang lebih negatif. Konflik disfungsional memiliki karakteristik yang sama dengan relationship conflict yakni sama-sama cenderung negatif jika dibandingkan dengan task conflict. Konflik disfungsional dapat mengurangi keefektifan karyawan dalam mendukung pemimpinnya khususnya terkait keterlibatan mereka dalam melaksanakan knowledge management sebagaimana dikemukakan Newstrom (2002) bahwa salah satu dampak negatif dari konflik adalah menurunnya tingkat kepercayaan di mana kepercayaan sangat penting dalam sharing knowledge. Jadi disfunctional conflict dapat menghambat knowledge management khususnya sharing knowledge. Demikian pula pengaruh antara budaya pembelajaran organisasi terhadap pengelolaan pengetahuan juga dapat dimoderasi oleh konflik, dalam hal ini meskipun budaya pembelajaran telah ada dalam organisasi ataupun telah diakui dalam organisasi tapi karena konflik disfungsional tinggi maka keinginan anggota organisasi untuk mengikuti budaya tersebut tidak akan maksimal, hal ini sesuai temuan Alfonso (2000) dan Tuija (2004), bahwa konflik dapat menghambat proses learning baik team ability learns maupun individual learning.Kepuasan kerja dapat pula memoderasi baik pengaruh antara kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan. Kepuasan kerja pada dasarnya adalah sikap atau kondisi emosi individu yang senang terhadap pekerjaannya akan menentukan kesesuaian antara individu dengan organisasi. Kepuasan kerja sangat perlu dikaji karena ketidakpuasan yang timbul dapat menjadi masalah yang sangat serius bagi organisasi karena akan berdampak langsung pada perilaku produktif dari karyawan. Ketika kondisi kepuasan tinggi maka peran pemimpin akan semakin optimal begitu pula budaya pembelajaran organisasi akan benar-benar menjadi pedoman dan mewarnai perilaku keseharian anggota organisasi. Hal ini dikemukakan pula oleh Spector (dalam Ali Nazim, 2010) Dissatisfied employee if remained in the organization may involve in counter-productive behavior. Dalam organisasi berbasis pengetahuan salah satu perilaku yang tidak produktif adalah ketika keinginan untuk sharing knowledge masih kurang,Perguruan tinggi di Sulawesi Selatan sampai saat ini nampaknya belum mampu bersaing dengan perguruan tinggi lain di Indonesia khususnya di kawasan Barat Indonesia, hal ini terlihat dari hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Pemeringkat Internasional di antaranya THE-QS, Webomentrics, 4icudll. Tabel 1.2 berikut akan menunjukkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia menurut 4ICUTabel 1.2 Peringkat 20 Besar Perguruan Tinggi di IndonesiaNo PeringkatNama Perguruan Tinggi

1Institut Teknologi Bandung,Bandung

2Universitas Indonesia,Depok and other locations

3Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

4Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

5Universitas Gunadarma ,Depok

6Universitas Sumatera Utara, Medan

7Universitas Diponegoro, Semarang

8Universitas Bina Nusantara, Jakarta

9Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

10Universitas Sebelas Maret, Surakarta

11Universitas Kristen Petra, Surabaya

12Institut Pertanian Bogor, Bogor

13Universitas Padjadjaran, Bandung

14Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta

15Universitas Negeri Malang, Malang

16 Universitas Sriwijaya , inderalaya

17Universitas Andalas,Padang

18Universitas Airlangga, Surabaya

19Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

20Universitas Muhammadiyah Malang, Malang

Sumber: 4 International Colleges & Universities 2011,akses 3 september 2011Penggunaan indikator yang berbeda oleh lembaga-lembaga tersebut ternyata tidak satupun menunjukkan PTN di Sulawesi Selatan masuk peringkat 20 besar. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab dari setiap perguruan tinggi khususnya di Sulawesi Selatan untuk mencari solusi dan melakukan perubahan guna perbaikan ke depan. Kemampuan perguruan tinggi dalam menghasilkan produk berkualitas dan sesuai tuntutan stakeholder dalam hal ini pihak-pihak yang akan mempekerjakan alumni dapat tergambar dari seberapa tinggi alumni yang dihasilkan dapat terserap dalam dunia kerja. BPS Sulawesi Selatan secara rutin melakukan SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional) guna mengumpulkan data ketenagakerjaan. Berikut data tentang pengangguran yang dikumpulkan melalui SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional) Provinsi Sulawesi Selatan. Tabel 1.3 Penduduk Sulawesi Selatan Berumur 15 Tahun keatas dengan Pendidikan Tertinggi Diploma/Akademi/Universitas dan Klasifikasi Pengangguran

TahunPengangguran terbukaSetengah pengangguran terpaksaTotal pengangguran terbuka + setengah pengangguran terpaksa

200798.14716.019114.162

200853.56121.94775.508

200974.77727.240102.017

Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Selatan,2007,2008,2009

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pengangguran terbuka ditambah setengah pengangguran terpaksa untuk kategori pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah diploma/akademi atau perguruan tinggi mengalami peningkatan pada tahun 2009. Kondisi ini menggambarkan kepada kita bahwa perguruan tinggi di Sulawesi Selatan belum mampu menjawab salah satu tantangan yakni menghasilkan alumni berkualitas sesuai tuntutan stakeholder penyedia lapangan kerja. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa kinerja perguruan tinggi di Sulawesi selatan masih rendah. Kondisi ini mendorong penulis untuk mencoba mengkaji berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab terjadinya permasalahan tersebut. Penelitian ini akan lebih difokuskan pada jenjang program studi sarjana karena mutu program studi sarjana merupakan cerminan kinerja perguruan tinggi secara keseluruhan. Hal senada dikemukakan oleh BAN-PT (2008) bahwa mutu program studi sarjana merupakan totalitas keadaan dan karakteristik masukan, proses dan produk atau layanan program studi sarjana yang diukur dari sejumlah standar sebagai tolok ukur penilaian untuk menentukan dan mencerminkan mutu institusi perguruan tinggi.Untuk memahami berbagai kondisi terkait variabel yang diteliti maka dilakukan prasurvei kurang lebih 1 bulan, antara bulan Juni sampai Juli 2011. Pra survey dilakukan dengan cara wawancara dan penyebaran kuesioner yang dibagikan pada 37 responden. Hasil prasurvei memberikan beberapa indikasi yang dapat mempengaruhi pencapaian kinerja perguruan tinggi yang belum optimal. Hasil prasurvei berdasarkan jawaban-jawaban dari sebagian besar responden mengatakan bahwa perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan belum memiliki infrastruktur yang layak terutama teknologi informasi dan komunikasi, perpustakaan yang jauh dari kategori memadai, mengakibatkan para staf dan dosen lambat dalam memperbaharui pengetahuan mereka. Masih jarangnya mengundang pakar/ahli akibatnya perguruan tinggi tidak mampu mengadopsi pengetahuan dari pakar yang berpengalaman. Hal lain adalah kegiatan seminar/bedah buku yang pembicaranya dari kalangan kampus dan diskusi-diskusi tentang perkembangan ilmu pengetahuan juga masih jarang dilakukan, serta keinginan untuk saling sharing pengalaman dan pengetahuan masih rendah, hal ini tentu akan berdampak pada terbatasnya penggunaan pengetahuan dan bahkan menghambat proses pembentukan pengetahuan baru. Kurangnya motivasi para dosen untuk melakukan penelitian dan penulisan, hal ini berdampak pada terhambatnya pengembangan dan penciptaan pengetahuan baru yang tentu saja sangat bertentangan dengan peran perguruan tinggi. Berbagai kondisi ini mengindikasikan pengelolaan knowledge secara keseluruhan belum dilakukan dengan baik khususnya dalam hal knowledge sharing dan knowledge creation. Pimpinan yang sering tidak memberikan toleransi ketika bawahan melakukan kesalahan, kebiasaan pimpinan menegur secara langsung ketika bawahan melakukan kesalahan, komunikasi antara pimpinan dan bawahan yang belum berjalan dengan baiki mengindikasikan bahwa kepemimpimpinan yang berjalan di perguruan tinggi negeri di sulawesi selatan belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Fenomena lain yang diperoleh berdasarkan prasurvei adalah masih minimnya keinginan dan kesadaran setiap individu untuk membantu orang lain belajar, dukungan organisasi terhadap pembelajaran masih kurang, Kurangnya keinginan dari setiap individu maupun organisasi untuk belajar dari kesalahan, bahkan malu ketika melakukan kesalahan membuat mereka tidak berani bertindak akibatnya kreativitas dan potensi mereka akan terpendam. Tidak tersedianya infrastruktur yang dapat mendukung penyimpanan pengetahuan serta transfer pengetahuan mengakibatkan kemampuan setiap orang memenuhi kebutuhannya akan informasi menjadi rendah, kondisi ini mengindikasikan ketidakmampuan organisasi dalam membuat semua bentuk pengetahuan dapat diakses oleh semua orang. Kesadaran tentang pentingnya membangun kepercayaan yang masih rendah berdampak pada keinginan untuk sharing knowledge. Fenomena lain yang diperoleh dari hasil prasurvei adalah bahwa dukungan terhadap anggota organisasi yang senang mengambil resiko masih sangat kurang, hal ini membuat para dosen tidak berani bertindak diluar kebiasaan. Organisasi belum mampu menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan stakeholder berdampak pada kemampuan organisasi untuk memahami dan memenuhi harapan stakeholder, akibat lanjutnya adalah individu dan organisasi tidak mampu melihat perkembangan dan perubahan lingkungan, otomatis membuat organisasi tidak menyadari ketatnya persaingan. Dukungan nyata dari seorang pemimpin terhadap keinginan para dosen untuk mengikuti pelatihan namun seringkali sulit diperoleh, juga seringkali pimpinan tidak mampu memberdayakan orang-orang dalam organisasi untuk membantu pencapaian visi. Hal ini mengindikasikan kemampuan pimpinan dalam menjalin komunikasi dengan bawahannya masih buruk, padahal seorang pemimpin akan sangat menentukan seperti apa bawahannya akan bertindak atau berperilaku. Berbagai kondisi yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa OLC belum tertanam dengan kuat, sehingga apa yang menjadi tujuan dari Organizational Learning Culture yakni mendukung pembelajaran terus menerus guna meningkatkan kapasitas perguruan tinggi secara keseluruhan akan sulit tercapai. Hasil pra survei juga mengindikasikan bahwa kemarahan, kejengkelan ketika ada yang mendominasi diskusi seringkali muncul, perasaan tidak senang bekerja dalam kelompok, mengindikasikan bahwa ada hal-hal terkait lingkungan kerja yang membuat individu tidak merasakan kenyamanan dalam bekerja, di samping itu benturan kepribadian dan perselisihan antar individu secara alami muncul karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sama masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan hal tersebut bisa memunculkan konflik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa konflik yang sifatnya disfungsional dalam hal ini relationship conflict sering muncul. Fenomena lain yang diperoleh dari prasurvei adalah terkait cara organisasi dalam menjalankan berbagai kebijakan yang sering tidak sesuai dengan harapan para anggota organisasi, serta cara pemimpin berinteraksi dengan bawahan terkadang didasarkan atas suka atau tidak suka yang membuat kondisi kerja menjadi tidak nyaman. Berbagai kondisi ini mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam kepuasan kerja yang dirasakan oleh anggota organisasi. Secara ringkas hasil prasurvei dapat digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 1.4Gambaran Umum Kepemimpinan, Budaya pembelajaran organisasional, pengelolaan pengetahuan, konflik dan kepuasan kerja di Perguruan Tinggi Negeri di Sulawesi SelatanDimensiSkor

Sangat rendah/burukRendahSedangTinggiSangat Tinggi/Baik

37-6768-9899-129130-160161-191

Kepemimpinan

1Intellectual stimulation120

2Inspirational motivation98

3Individual considerat ion106

4Idealized influence96

5Management by exception141

6Contingent Reward122

Budaya Pembelajaran Organisasional

1Continuous Learning89

2Dialogue and Inquiry104

3Team learning95

4Embedded System91

5Empowerment98

6System connection99

7Provide Strategic Leadership98

Pengelolaan Pengetahuan

1Knowledge Acquisition107

2Knowledge Creation96

3Knowledge Sharing92

4Knowledge Utilization126

Konflik

Task conflict

1Klarifikasi tentang tugas90

2Diskusi tentang tugas99

3Perbedaan tujuan106

4Perbedaan pendapat dan opini105

5Perbedaan ide-ide yang muncul126

Relationship conflict

1Mendominasi diskusi145

2Tidak senang bekerja dalam kelompok143

3Benturan kepribadian128

4Perselisihan antar individu106

5Ketegangan130

Kepuasan kerja

1Satisfaction with reward91

2Satisfaction with supervisor86

3Satisfaction with job variety121

4Satisfaction with co-worker127

5Satisfaction with management and HR Policies83

6Satisfaction with own capability131

Sumber: Data hasil prasurvei,2011 diolahBerbagai kondisi yang telah diuraikan di atas tentu bukan hal yang bisa dianggap remeh karena akan berdampak pada kelangsungan organisasi tapi harus dicarikan solusi terbaik agar ke depannya kondisi perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan menjadi lebih baik. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan dengan variabel moderasi konflik disfungsional dan kepuasan kerja dan implikasinya pada kinerja organisasi pada perguruan tinggi Negeri di Sulawesi Selatan.1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :1. Bagaimana gambaran kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional, pengelolaan pengetahuan, kinerja organisasi, konflik disfungsional dan kepuasan kerja, pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan2. Apakah kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional berpengaruh terhadap pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan3. Apakah konflik disfungsional dan kepuasan kerja dapat memoderasi pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan3.1 Apakah konflik disfungsional dapat memoderasi pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan3.2 Apakah kepuasan kerja dapat memoderasi pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan4. Apakah kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional secara langsung atau tidak langsung melalui pengelolaan pengetahuan berpengaruh terhadap kinerja organisasi perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan1.3 Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis :1. Gambaran kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional, pengelolaan pengetahuan, kinerja organisasi, konflik disfungsional dan kepuasan kerja, pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan2. Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan pada perguruan tinggi negeri di sulawesi Selatan3. Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan yang dimoderasi oleh konflik disfungsional dan kepuasan kerja pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan3.1 Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan dimoderasi oleh konflik disfungsional pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan3.2 Pengaruh kepemimpinan dan budaya pembelajaran organisasional terhadap pengelolaan pengetahuan dimoderasi oleh kepuasan kerja pada perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan4. Pengaruh kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional secara langsung atau tidak langsung melalui pengelolaan pengetahuan terhadap kinerja organisasi perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan1.4 Kegunaan PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dalam bentuk :1. Keguanaan Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu mendukung pengembangan kajian ilmu manajemen pada umumnya dan secara khusus pada manajemen sumberdaya manusia dan perilaku organisasi baik dalam bentuk konsep-konsep maupun model. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti masalah yang terkait dengan penelitian ini.2. Kegunaan praktis Sebagai referensi bagi pihak pengambil keputusan agar mampu membuat kebijakan-kebijakan dan tindakan yang lebih baik sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan lebih baik Sebagai masukan bagi perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan agar lebih memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi eksistensinya di era persaingan BAB IIKAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian PustakaManajemen sumberdaya manusia merupakan grand theory yang digunakan dalam menganalisis berbagai permasalahan dalam penelitian ini. Secara singkat manajemen sumberdaya manusia adalah upaya pendayaguanaan sumberdaya manusia. Berikut beberapa pendapat pakar tentang manajemen sumberdaya manusia:Mondy and Noe (2004) human resource management adalah pendayagunaan sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sedangkan Ivancevich (2007) mengatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia sebagai sebuah fungsi yang dijalankan dalam organisasi dengan maksud memfasilitasi pendayagunaan manusia secara paling efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi dan individu. Berdasar kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen sumberdaya manusia adalah pendayagunaan sumberdaya manusia dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dan individu secara efektif. Untuk lebih memahami berbagai persoalan serta memberi kejelasan dalam menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini perilaku organisasi, manajemen strategi sumberdaya manusia digunakan sebagai middle range theory. Manajemen strategi merupakan suatu bidang ilmu yang relatif baru , bahkan dalam lingkungan ilmu manajemen itu sendiri. Untuk lebih meningkatkan kemampuan daya saing, organisasi menyadari bahwa dibutuhkan penerapan strategi yang tepat, kompetitif dan komprehensif serta sejalan dengan visi dan misi perusahaan. Manajemen strategi dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan mendasar bagaimana organisasi mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Perkembangan pemikiran manajemen strategis menurut Robert E Hokskisson, et.al (1999) bergerak seperti pendulum pada setiap era perkembangan yaitu Early Development, Industrial Organization Economics, Organizational Economics, The Resource-Based View antara tahun 1960-1990. RBV adalah konsep terakhir yang muncul yang lebih fokus pada bagaimana mengelola karakteristik yang ada pada sumberdaya untuk meraih keunggulan bersaing. Karakteristik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah yang melekat pada sumberdaya manusia. Untuk itu manajemen sumberdaya manusia strategi sangat diperlukan. Berikut beberapa pendapat mengenai manajemen sumberdaya manusia strategi dari beberapa pakar :Amstrongs (2003) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia statejik adalah pendekatan untuk membuat keputusan pada skema dan rencana organisasi berkaitan dengan hubungan pekerjaan dan kebijakan serta pelaksanaan perekrutan, pelatihan, pengembangan, manajemen kinerja, imbalan dan hubungan karyawan. Sedangkan Noe (2004) mendefenisikan Stretgic human recources management (SHRM), is the pattern of planned human recources developments and activities intended to enable an organization to achieve goals. We must have an approach to human recource management, we must have an understanding of the rule of human recource management in the strategic management process. Ivancevich (2007) menyatakan bahwa Strategic human recources management as the acknowledgement that HR policies and practices have critical linkages with organizations overall strategy. Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia stratejik adalah pendekatan yang menjelaskan hubungan antara manajemen sumber daya manusia dengan manajemen stratejik dalam organisasi secara keseluruhan dalam rangka mencapai sasaran organisasi. Penelitian ini fokus pada konsep strategi RBV yang mengarah pada penetapan strategi yang menekankan pada karakteristik sumberdaya manusia yakni pengetahuan yang di yakini mampu mengantarkan organisasi pada competitive advantagePerilaku organisasi terkait dengan bagaimana memahami dan mengatur orang-orang atau individu dalam sebuah organisasi. Kreitner (2006) mengatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang-bidang interdisipliner yang digunakan untuk memahami dan mengatur sumberdaya manusia di tempat kerja dengan lebih baik. Tingkatan analisisnya adalah individu, kelompok dan organisasi. Manajemen sumberdaya manusia strategi maupun perilaku organisasi pada akhirnya memiliki sasaran untuk meningkatkan pencapaian kinerja organisasi Teori tentang kepemimpinan, budaya pembelajar organisasional dan pengelolaan pengetahuan, kinerja organisasi, konflik, kepuasan kerja, merupakan subtantive teory. Pada bagian ini akan dikemukakan teori-teori yang terkait dengan variabel-variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini yakni berbagai Teori tentang kepemimpinan, budaya pembelajaran organisasional dan pengelolaan pengetahuan, kinerja organisasi, konflik, dan kepuasan kerja. Hal ini sangat perlu agar memudahkan dalam pemahaman dan pembahasan. Sebelum menyajikan berbagai konsep variabel berikut gambar rangkaian teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Grand theoryMSDM

Middle Range theoryManajemen Sumberdaya manusia Strategi Perilaku Organisasi

RBV (Resource Based View)Learning Organization dan organizational learning

Organization CultureKnowledge Based View

Subtantive Theory

Organizational Learning CultureJob Satisfaction

Konflik

Kepemimpinan

Knowledge Management

Kinerja organisasi

Gambar 2.1 Rangkaian teori yang digunakan

2.1.1 Konsep Kepemimpinan2.1.1.1 Definisi KepemimpinanKepemimpinan menduduki peran vital dalam organisasi karena seorang pemimpin selain menentukan visi, misi, tujuan dan strategi pencapaian juga bertugas memimpin, mengarahkan, memotivasi anggota kelompok untuk mencapai tujuan.Pendapat dari beberapa pakar akan membantu kita memahami arti dari kepemimpinan diantaranya: Robbins (2009) mengatakan bahwa kepemimipinan adalah proses memimpin sebuah kelompok dan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan. Hal senada dikemukakan oleh McShane (2008) yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi orang lain dan menyediakan ruang/lingkungan bagi mereka untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Kedua pakar ini fokus pada kepemimpinan dalam konteks kelompok/organisasi. Selanjutnya Gibson (2007) menekankan pada upaya menggunakan berbagai jenis pengaruh yang bukan paksaan untuk memotivasi anggota organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam hal ini konteks kepemimpinan yang dikemukakan juga kelompok/organisasi tapi menambahkan unsur motivasi yang memperjelas bahwa upaya yang dilakukan pemimpin bukan bersifat paksaan. Sedangkan Certo (2009) mengemukakan kepemimpinan dalam konteks yang lebih luas yakni bahwa kepemimpinan adalah proses mengarahkan perilaku orang lain untuk mencapai beberapa tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat ahli dapat dikatakan bahwa pendapat mereka pada dasarnya adalah sama yakni menyangkut unsur proses terkait mempengaruhi, mengarahkan dan memotivasi) dan mengarah pada suatu tujuan yang akan dicapai. Dengan demikian kepemimpinan adalah proses di mana seseorang mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi dan membuat orang lain memberikan kontribusinya pada pencapaian tujuan organisasi. 2.1.1.2 Pandangan-pandangan Tentang KepemimpinanPerspektif tentang kepemimpinan dari beberapa pakar sangat beragam, keberagam ini tentu berdasarkan pada sudut pandang masing-masing pakar tersebut, diantaranya: Mc Shane (2008) membagi perspektif kepemimpinan dalam 5 kategori yakni Perspektif kompetensi (sifat), perspektif perilaku, perspektif kontingensi, perspektif transformasional dan perspektif implicit leadership. Kreitner (2006) membagi pandangan kepemimpinan yang sedikit berbeda tapi juga dalam 5 kategori yakni pendekatan sifat, perilaku, situasional, transaksional, kharismatik dan tambahan Sedangkan Schermerhorn (2010) membagi perspektif kepemimpinan dalam empat kategori yakni teori sifat, teori perilaku, teori kontingensi dan teori-teori baru. Dari beberapa pendapat pakat terlihat bahwa semuanya memasukkan tiga teori utama yakni teori sifat, teori perilaku dan teori kontingensi sedangkan teori-teori yang lain seperti transaksional,transformasional, kharismatik, tambahan dan teori-teori baru sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari masing-masing pakar.Beberapa perspektif kepemimpinan dari beberapa pakar di atas selanjutnya akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

A. Teori SifatTeori sifat merupakan sebuah pandangan yang mengatakan bahwa seseorang dianggap, diposisikan dan dipilih sebagai pemimpin berdasarkan sifat khusus yang dimiliki oleh individu tersebut. Sifat khusus inilah yang membuat seorang pemimpin berbeda dengan orang lain. Beberapa pakar perilaku organisasi telah mengemukakan beberapa sifat yang dimiliki individu yang bisa membuatnya menjadi seorang pemimpin diantaranya McShane (2008) menyebutkan beberapa sifat khusus yang membuat seseorang menjadi pemimpin adalah drive, motivasi memimpin, integritas, kepercayaan diri, kecerdasan,pengetahuan bisnis dan kecerdasan emosional. Sifat-sifat khusus tersebut dikemukakan pula oleh Robbins (2009) yang berbeda hanya karena dimasukkannya unsur kejujuran dan ekstraversion. Selanjutnya Baron (2003) juga mengemukakan hal yang hampir semuanya sama namun yang berbeda hanyalah dimasukkannya unsur kreativitas dan fleksibilitas.Untuk memahami makna dari sifat-sifat pemimpin tersebut maka berikut penjelasan dari masing-masing sifat tersebut : Drive berarti bahwa seorang pemimpin harus memiliki dorongan dari dalam yang kuat untuk selalu melakukan berkarya, berprestasi dan melakukan hal terbaik Motivasi memimpin, seorang pemimpin harus selalu berusaha mendapatkan kekuatan agar mampu mempengaruhi dan meyakinkan orang lain Integritas, seorang pemimpin harus memegang prinsip perkataan sesuai perbuatan Kepercayaan diri, seorang pemimpin harus yakin bahwa keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya akan membuatnya mampu mengantarkan organisasi pada pencapaian tujuan Kecerdasan, seorang pemimpin harus mampu mengumpulkan, menyatukan dan menafsirkan banyak informasi dan juga harus dapat menciptakan misi, menyelesaikan berbagai persoalan, dan membuat berbagai keputusan dengan tepat. Pengetahuan bisnis, pemimpin harus punya pemahaman yang baik tentang bisnis serta lingkungan bisnis di mana mereka menjalankan bisnisnya, hal ini perlu agar pemimpin mampu menetapkan strategi terbaik bagi kesuksesan bisnisnya. Kecerdasan emosi, seorang pemimpin harus selalu mampu mengendalikan diri, tenang dan memiliki sikap dewasa dalam menghadapi berbagai kondisi Kejujuran, seorang pemimpin harus berkata dan bertindak apa adanya, berani mengakui kesalahan serta supportive setiap keberhasilan. Kejujuran harus selalu diutamakan dalam hubungan pemimpin dengan bawahan Ekstraversion, seorang pemimpin harus energik, semangat, suka bergaul, tegas. Kreativitas, seorang pemimpin harus kreatif dalam artian selalu memiliki ide-ide yang bagus agar mampu berbagai situasi yang sulit sekalipun Fleksibilitas, seorang pemimpin harus fleksibel luwes dan tidak kaku namun tetap harus memiliki ketegasanB. Teori PerilakuTeori ini meyakini bahwa keefektifan kepemimpinan dalam mencapai tujuan organisasi sangat ditentukan oleh perilaku atau cara bertindak dari seorang pemimpin. a. Ohio State University Studypenelitian yang dilakukan oleh Ohio State University mengindikasikan bahwa perilaku pimpinan didasarkan pada dua dimensi yaitu consideration dan initiating structure. (Schermerhorn.R.John et.al. 2010). Pemimpin dengan consideration yang tinggi sangat mempertimbangkan rasa kemanusiaanya. Pemimpin seperti ini biasanya sensitif akan perasaan orang-orang disekitarnya, dan selalu mencoba untuk melakukan hal terbaik bagi bawahannya, mendengarkan keluhan dan pendapat bawahan, memperlakukan bawahan secara adil, dan menunjukkan perhatian pada kebutuhan bawahan. Sedangkan pemimpin yang memiliki initiating structure yang tinggi memberi perhatian pada persyaratan pekerjaaan, pengendalian yang ketat atas agenda-agenda kerja dan memacu karyawan untuk memaksimalkan kapasitas kinerja. b. Michigan University study Studi yang dilakukan michigan university menemukan dua bentuk perilaku kepemimpinan yakni perilaku pemimpin yang berorientasi karyawan (employee centered behavior) yakni menekankan pada hubungan antar pribadi dan pemimpin yang berorientasi tugas (job centered behavior) menekankan pada aspek teknis dari tugas atau pekerjaan (Certo, 2009)C. Teori SituasionalTeori situasional pada dasarnya menjelaskan bahwa efektifitas kepemimpinan sangat tergantung pada situasi yang dihadapi, hal ini sekaligus berarti bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok untuk berbagai situasi yang berbeda. a. Model Kontingensi FiedlerModel Fiedlers menjelaskan gaya kepemimpinan yang terbaik bergantung pada 3 situasional control yaitu (1) leader-member relations terkait tingkat kepercayaan dan penghargaan bawahan terhadap pemimpinnya serta tingkat kesediaan bawahan untuk mengikuti petunjuk dari atasan; (2) Task Structure merujuk pada kejelasan atau ambiguitas dari prosedur-prosedur kerja; dan (3) Position Power terkait seberapa besar kekuatan yang dimiliki pemimpin untuk melegitimasi, memberikan reward, bahkan memaksa para bawahan. Untuk memudahkan pemahaman kita maka model Fiedler akan diilustrasikan dalam gambar berikut :

Task motivated leader

High Control SituationModerate Control SituationLow control situation

Leader member relationGoodGoodPoorPoor

Task structureHighLowLowHighLowLow

Position powerStrongWeakStrongWeakStrongWeakStrongWeak

12345678

Relationship motivated leader

Gambar 2.2 Variabel situasional fiedler dan gaya kepemimpinan Sumber : Organizational Behavior, Schermerhorn R.John et.al.2010

Kombinasi dari tiga variabel kontrol situasi akan berdampak pada gaya kepemimpinan seperti apa yang paling sesuai. Pertama, seorang supervisor yang berpengalaman dan terlatih dengan baik yang berada pada suatu perusahaan akan sangat didukung oleh para bawahannya dan memiliki wewenang penuh untuk merekrut dan memecat bawahannya. Pemimpin ini akan memiliki control situasi yang tinggi dan akan bekerja pada situasi I,II dan III (tingkat kontrol situasi pada situasi II, III tentunya akan sedikit lebih rendah daripada situasi I). sebaliknya, pemimpin yang memiliki control situasi rendah biasanya tidak disukai oleh bawahannya. Fiedlers beranggapan bahwa pemimpin tersebut harus berperilaku directive untuk menjaga kebersamaan kelompok kerja. b. Path Goal TheoryPath Goal Theory merupakan teori kepemimpinan yang menjelaskan bagaimana perilaku pemimpin yang akan mempengaruhi bagaimana persepsi karyawan tentang harapan (path) antara usaha mereka yang mereka lakukan dengan tujuan (goals). Path Goal Theory menekankan pada empat perilaku utama dari pemimpin yakni : Supportive Leadership, memberi perhatian pada kebutuhan para bawahan, memperlihatkan perhatian terhadap kesejahteraan mereka dan menciptakan suasana bersahabat dalam unit kerja mereka. Directive Leadership, memberitahukan kepada para bawahan apa yang diharapkan pemimpin dari mereka, memberi pedoman yang spesifik, meminta bawahan untuk mengikuti peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur, mengatur waktu dan mengkoordinasi pekerjaan mereka. Partisipative Leadership, melakukan konsultasi dengan para bawahan dan memperhatikan opini dan pendapat mereka. Achievement oriented leadership, menetapkan tujuan-tujuan yang menantang, mencari perbaikan dalam kinerja, menekankan kepada keunggulan dalam kinerja dan memperlihatkan kepercayaan bahwa para bawahan akan mencapai standar tinggi (Robbins,2009).Seperti teori situasional yang lain, path goal theory juga mengatakan bahwa pemimpin akan sukses jika mereka mampu menyesuaikan perilaku mereka dengan situasi yang mereka hadapi. Misalnya kepemimpinan direktif akan cocok jika karyawan kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang pekerjaan, serta jika pekerjaan tidak terstruktur dan kompleks.c. Teori situasional Hersey and BlanchardTeori situasional Hersey and Blanchard ini menjelaskan bahwa keefektifan seorang pemimpin akan ditentukan oleh tingkat kesiapan dari para pengikut/bawahan. Tingkat kesiapan yang dimaksudkan dalam hal ini merujuk pada sejauh mana seseorang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Hersey dan Blanchard mengembangkan 4 perilaku spesifik yakni : 1. Telling, sangat baik diterapkan bagi bawahan yang memiliki tingkat kesiapan rendah. Gaya kepemimpinan yang cocok adalah direktif karena pada situasi ini bawahan biasanya tidak mempunyai kemampuan dan keinginan untuk bertanggung jawab pada suatu pekerjaan dan dirinya sendiri. 2. Selling, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memiliki tingkat kesiapan rendah dan menengah. Kepemimpinan yang sesuai adalah directive dan supportive karena pada situasi ini, biasanya bawahan tidak memiliki kemampuan tapi memiliki keinginan untuk bertanggung jawab pada pekerjaan. 3. Participating, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memiliki tingkat kesiapan menengah dan atas. Kepemimpinan yang cocok adalah supportive karena pada situasi ini, bawahan mempunyai kemampuan tetapi tidak dibarengi oleh keinginan yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan. 4. Delegating, sangat baik diterapkan bagi para bawahan yang memilki tingkat readiness yang tinggi.Untuk menambah pemahaman kita maka model Hersey and Blanchard akan diilustraikan dalam gambar berikut :

Gambar 2.3 Model kepemimpinan situasionalsumber: Stephen P. Robbins, Perilaku Organisasi yang disadur dari buku P. Hersey dan K.H Blanchard, Management of Organizational Behavior ,2003

Pada pendekatan kepemimpinan situasional ini, pemimpin perlu mengembangkan kemampuan dirinya dalam mendiagnosa situasi untuk kemudian memilih dan menerapkan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan. Pemimpin yang baik akan memilih gaya kepemimpinan yang sesuai dengan permintaan lingkungan dan karakteristik individu dari para bawahan.D. Teori Transaksional dan Teori TransformasionalInti dari teori kepemimpinan transaksional adalah terjadinya pertukaran diantara karyawan dan pimpinan artinya pimpinan akan memberikan sesuatu sesuai dengan apa yang karyawan berikan pada pemimpinnya. Kepemimpinan transaksional dicirikan oleh gaya kepemimpinan yang memotivasi para pengikut mereka menuju sasaran yang telah ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran/tugas. Beberapa perilaku kepemimpinan transaksional menurut Avolio (2002) adalah:1. Management by Exception, biasa disebut correction transactional di mana para bawahan diberi penghargaan ataupun hukuman untuk suatu tindakan yang dilakukan dan untuk kondisi-kondisi tertentu intervensi pemimpin sangat dibutuhkan karena kemampuan karyawan yang sangat kurang2. Contingent reward, atau constructive transactional yakni pemimpin memberi penghargaan kepada para pengikut tergantung keberhasilan anggota pada tingkat yang telah ditetapkan.3. Nontransactional passive behavior, pemimpin yang menunggu masalah meningkat baru mengambil tindakan, menghindari pengambilan keputusan, dan tidak pernah ada ketika dibutuhkan.Kepemimpinan transformasional, pada dasarnya adalah pemimpin yang memotivasi para pengikutnya untuk melakukan lebih dari pada apa yang diharapkan dengan cara merentangkan kemampuan mereka dan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Para pemimpin transformasional akan membawa organisasi mereka ke arah masa depan yang mungkin berakibat pada proses dan tingkat prestasi yang secara nyata berbeda. Empat komponen perilaku pemimpin transformasional adalah :1. Idealized Influence, adalah seorang pemimpin yang bertindak sebagai role model. Pemimpin ini menunjukkan ketekunan dalam pencapaian sasaran, menunjukkan etika dan moral yang tinggi dalam berperilaku, mementingkan kepentingan umum, mau berbagi sukses dan perhatian, Hasilnya pemimpin menjadi dihormati.2. Individualized Consideration, adalah perilaku pemimpin yang memiliki perhatian kepada para pengikutnya, membangun hubungan tenggang rasa dan saling menghargai, mengidentifikasi kebutuhan para karyawannya. Pemimpin ini juga memberikan tantangan, kesempatan belajar dan memberikan pendelegasian guna meningkatkan keterampilan dan kepercayaan3. Inspirational Motivation, adalah perilaku kepemimpinan transformasional yang mampu memotivasi dan memberikan inspirasi para pengikutnya agar mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan. Pemimpin menetapkan harapan yang tinggi dan menantang pengikutnya mencapai standar yang tinggi dan mampu mengkomunikasikan visinya dengan baik. Pemimpin menggunakan simbol-simbol dan metafora untuk memotivasi mereka. Pemimpin ini jika bicara selalu antusias, ia seorang yang optimis. Para karyawan dibantu menemukan makna mendalam dalam bekerja sehingga mereka mau mengikutinya secara suka rela. 4. Intellectual Stimulation, adalah perilaku kepemimpin transformasional yang mendorong para pengikut untuk menggunakan imajinasi mereka dan memikirkan kembali permasalahan dengan cara dan metode yang baru, mendorong pembelajaran, dan mendorong para pengikut untuk menciptakan solusi dari berbagai masalah. Hasilnya adalah para pengikut diharapkan menjadi lebih kreatif, (Avolio,2002)Kebanyakan pemimpin memperlihatkan gaya transaksional dan transformasional sekaligus, walaupun mereka melakukannya dengan kadar yang berbeda (Avolio,2002). Dengan pemahaman ini maka penelitian ini dimensi kepemimpinan yang dipilih adalah gabungan antara transaksional dan transformasional. Begitu pula menurut luthans (2005) kepemimpinan yang efektif adalah gabungan antara transaksional dan transformasional sehingga dimensi yang digunakan untuk mengukur kepemimpinan adalah idealized influenced, individual consideration, inspirational motivation, intellectual stimulation, management by exception, contingent reward dan nontransactional passive behavior.E. Pandangan ImplisitImplicit Leadership Perspective pada dasarnya menyatakan bahwa kepemimpinan tergantung pada persepsi dari para pengikutnya terhadap perilaku aktual dan karakteristik dari orang- orang yang menyebut dirinya pemimpin. Distrosi persepsi tentang pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam organisasi meliputi attribution error, stereotyping dan need for situational control.

Attributing ControlSetiap orang memiliki keinginan untuk memberikan atribusi pada setiap kejadian yang dialami agar mereka mampu mengotrol kejadian yang sama di masa yang akan datang. Kesalahan mendasar dari pengatribusian seringkali disebabkan karena sebagian besar orang cenderung memberi atribut pada orang lain dengan hanya melihat motivasi dan kemampuan mereka secara individu daripada mempertimbangkan faktor situasi yang ada. Dalam konteks kepemimpinan karyawan percaya bahwa setiap kejadian disebabkan karena motivasi dan kemampuan dari pemimpin bukan karena faktor lingkungan. Stereotyping LeadershipStreotype sangat dipengaruhi oleh harapan tentang bagaimana pemimpin yang efektif seharusnya bertindak, sehingga seringkali karyawan menilai kefektifan seorang pemimpin hanya berdasarkan penampilan dan tindakan mereka bukan berdasarkan hasil nyata dari tindakan mereka tersebut. Need for Situational ControlHarapan yang tinggi terhadap seorang pemimpin selalu dimiliki oleh setiap orang di mana mereka berharap bahwa pemimpin akan melakukan hal yang berbeda. Keyakinan ini disebabkan karena kepemimpinan merupakan cara mudah untuk menyederhanakan setiap kejadian dalam organisasi di mana kegagalan dan kesuksesan organisasi akan lebih mudah dijelaskan dengan melihat kemampuan pemimpin daripada menganalisis faktor lingkungan, dan juga karena adanya kecenderungan yang kuat bahwa kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan lebih disebabkan oleh individu bukan karena kehendak lingkungan(McShane,2008)F. Teori KharismatikTeori kharismatik melihat pemimpin sebagai simbol, komunikasi nonverbal, visi, kemampuan menginspirasi, kepercayaan diri dan kemampuan persuasif yang luar biasa yang dapat mempengaruhi para pengikutnya. Pemimpin kharismatik dapat mempengaruhi pengikutnya ketika mereka mampu menyampaikan visi yang menarik, mengkomunikasikan harapan dan kinerja yang tinggi dan mengemukakan keyakinan bahwa pengikutnya mampu mewujudkan harapan tersebut. Kondisi ini semakin meningkatkan keyakinan dan harga diri dari pengikutnya (Kreitner,2006)G. Pandangan Tambahana. Leader Member ExchangeTeori ini fokus pada hubungan yang baik antara leader dan follower di mana dikatakan bahwa kefektifan pemimpin akan tercapai ketika terdapat pertukaran positif antara leader dan follower, baik dalam batasan ingroup exchange yang ditandai adanya hubungan partnership maupun outgroup exchange yang ditandai oleh adanya interaksi otoritas formal.b. Kepemimpinan SubtitusiPendekatan substitutes leadership mengatakan bahwa kadangkala hirarki kepemimpinan tidak memiliki dampak yang berarti bagi suatu pekerjaan terlebih apabila variabel-variabel individu, pekerjaan dan organisasi telah memiliki kompetensi tinggi sehingga dapat dijadikan pengganti sebuah kepemimpinan.Contoh dari variabel-variabel tersebut dijelaskan pada gambar 2.5 berikut :

Experience, ability, trainingProfessional orientationIndifference towards organizational rewardsLeader physically separatedLow leader position powerIntrinsically satisfyingHighly structure/routineNeutralises task oriented and supportiveNeutralizes task oriented and supportiveSubstitutes for task oriented and supportiveSubstitutes for supportive leadershipSubstitutes for task oriented leadershipNeutralises task-oriented and supportive leadershipSubstitutes for task oriented, supportif leaderSubstitutes for task oriented leadershipCohesive work groupGambar 2.4 Some examples of leadership substitutes and neutralizers.Sumber : Schermerhorn,R. John, et.al, 2010

Pada gambar terlihat bahwa akan sulit bagi seorang pemimpin yang memiliki gaya task oriented jika para bawahan telah memiliki pengalaman, keahlian dan pelatihan yang baik begitu pula jika pekerjaan telah terstruktur dengan baik. Beberapa contoh dari neutralizes dalam gambar di atas menunjukkan apabila pemimpin memiliki posisi kekuatan yang rendah, pengaruh kepemimpinannya akan sangat rendah, walau sebenarnya penstrukturan kerja dan dukungan pemimpin sebenarnya masih dibutuhkan. Atau, bila secara fisik seorang pemimpin terpisah dari bawahannya, gaya task oriented dan supportive juga akan memiliki pengaruh yang rendah walaupun sebenarnya masih dibutuhkan (Schermerhorn R.John et.al.2010).c. Servant leadershipKepemimpinan ini menyiratkan bahwa para pemimpin sebenarnya memimpin dengan melayani orang lain, para karyawan, pelanggan dan masyarakat dengan karakteristik meliputi mendengarkan, empati, memulihkan, kesadaran, persuasi, konseptualisasi, memandang ke depan, tanggung jawab, komitmen terhadap pertumbuhan orang lain, dan membangun masyarakat (Kreithner and Kinichi,2006)d. Enterpreneur leadershipModel kepemimpinan ini menjelaskan kefeektifan seorang pemimpin didasarkan pada sikap dan keyakinan bahwa pemimpin juga merupakan karyawan sehingga pemimpin bertindak dan memposisikan diri mereka sebagai individu yang memegang peran penting bagi kelangsungan organisasi. Mereka selalu yakni bahwa segala tindakannya akan menguntungkan serta mereka juga tidak pernah memandang remeh kesalahan sekecil apapun yang mereka lakukan.2.1.2 Konsep Budaya Pembelajaran Organisasional

2.1.2.1 Learning Organization dan Organizational LearningSecara umum learning merupakan suatu proses di mana individu-individu memperoleh pengetahuan dan wawasan baru untuk merubah perilaku dan tindakan mereka. Secara tradisonal belajar dibagi dalam tiga domain yakni kognitif, affective dan psychomotorLearning organization menjadi istilah populer setelah Pater Senge melontarkan gagasannya dalam buku Fifth Discipline. Perusahaan mulai banyak yang menyatakan bahwa organisasinya adalah learning organization. Bagaimana organisasi dapat merespon secara kreatif tantangan baru tanpa terlebih dahulu menemukan sesuatu yang baru? Kemudian mengubah cara mereka beroperasi untuk mencerminkan wawasan baru? Artinya Tanpa belajar, perusahaan hanya mengulang praktek-praktek lama, dan menghasilkan perbaikan yang hanya berumur pendek.Marquardt (2002) mengatakan bahwa pembelajaran dapat muncul dalam tiga level yaitu individu, team atau kelompok dan organisasi, dengan demikian pembelajaran dalam organisasi sebenarnya adalah untuk mengembangkan dan memaksimalkan kapasitas di tiga level tersebut. Peter M. Senge (1990) mengemukakan lima disiplin untuk menjadi organisasi pembelajar, yaitu:1. Personal Mastery, terkait bagaimana mengembangkan kapasitas personal dalam mencapai kinerja yang paling diinginkan, dan menciptakan lingkungan organisasi yang menumbuhkan semangat untuk mengembangkan diri seluruh anggota organisasi menuju pencapaian sasaran dan makna bekerja 2. Mental Models, proses bercermin, memperjelas, dan meningkatkan wawasan tentang dunia luar, agar keputusan dan tindakan yang diambil lebih tepat.3. Shared Vision, membangun komitmen kelompok, dengan mengembangkan gambaran bersama tentang masa depan yang akan diciptakan, serta prinsip dan praktek yang menuntun pada pencapaian tujuan masa depan tersebut.4. Team Learning, mentransformasikan keahlian berpikir (thinking skill) dengan menggunakan kemampuan setiap anggota tim sehingga yang diyakini akan menjdi kekuatan besar jika dibanding melakukan pekerjaan secara individu 5. System Thinking, cara pandang, cara berfikir, cara berbahasa untuk menggambarkan dan memahami kekuatan yang akan berdampak pada perilaku. Faktor ini membantu kita untuk melihat bagaimana mengubah sistem secara lebih efektif dan untuk mengambil tindakan yang lebih sesuai dengan proses interaksi antara komponen suatu sistem dengan lingkungan alam, nya.David A.Garvin (dalam Harvard Business Review, 2008), menyebutkan lima kegiatan dalam mengubah perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar, yaitu:1. Memecahkan masalah secara sistematis, tidak hanya mengandalkan insting atau asumsi, tapi melalui metode ilmiah2. Bereksperimen dengan pendekatan baru untuk bekerja, secara sistematis mencari dan menguji pengetahuan baru. 3. Belajar dari pengalaman masa lalu, selalu mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan yang terjadi di masa lalu dan menjadikan sebagai sebuah pelajaran.4. Belajar dari perusahaan lain dan dari pelanggan, untuk memperoleh perspektif baru. 5. Mentransfer pengetahuan ke seluruh unit organisasi, agar menambah nilai guna dari pengetahuan tersebut. Learning organization dan organizational learning merupakan dua istilah yang seringkali dipertukarkan, padahal kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Beberapa pakar telah mengemukakan pandangan mereka tentang kedua hal tersebut diantaranya Senge (1990) mengatakan bahwa learning organization adalah organisasi yang secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk meraih masa depan, selanjutnya Watkins and Marsick (1993) mengemukakan hal yang hampir sama hanya menekankan pada adanya proses perubahan yakni bahwa learning organization adalah sesuatu yang belajar secara terus menerus dan melakukan proses perubahan. Marquardt (2002) juga menekankan pada perubahan di mana beliau mengatakan bahwa Learning organization adalah organisasi yang selalu berubah menjadi manajemen yang lebih baik, memberdayakan orang-orang untuk belajar dan menggunakan teknologi untuk memaksimalkan pembelajaran dan produksi dalam hal ini leraning organisasi lebih fokus pada sistem, prinsip dan karakteristik organisasi yang belajar secara kollektif sedang organizational learning fokus pada bagaimana pembelajaran organisasi muncul terkait keterampilan, proses dan penggunaan pengetahuan. Kreitner (2006) mengatakan Learning organization adalah sebuah tindakan penciptaan, mendapatkan dan membagi pengetahuan yang proaktif yang dapat merubah perilaku yang berdasarkan pada pengetahuan dan wawasan baru. Sedangkan organizational learning adalah proses reflektif yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi pada semua level terkait mengumpulkan informasi baik dari lingkungan eksternal maupun internal dan Malhotra (2000) membedakan keduanya dengan lebih sederhana yakni organizational learning berorientasi proses sedang learning organization berorientasi pada strukturDari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa learning organization adalah sebuah bentuk organisasi yang selalu mendorong dan mendukung pembelajaran pada setiap tingkatan dalam organisasi secara terus menerus agar dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan selalu menjadi yang terbaik. Sedangkan organizational learning adalah proses pembelajaran pada setiap tingkatan organisasi yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi agar mampu beradaptasi dengan setiap perubahan lingkungan yang terjadi.Organisasi secara tidak sadar menolak Learning, karena tiga masalah fundamental yakni: 1. Fokus pada fragmentasi dan bukannya pada system, Fragmentasi berarti pemisahan, yakni menciptakan dinding antar fungsional yang memisahkan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok independent. Akibatnya integrasi dan sinergi antar bagian tidak terjadi sehingga proses belajar berjalan secara parsial. 2. Menekankan kompetisi dan bukannya kerjasamaSecara intrinsic tidak ada yang salah dengan kompetisi, namun paradigma ini mengakibatkan para karyawan bersaing dengan individu, dengan siapa mereka seharusnya berkolaborasi untuk meraih keberhasilan. Kompetisi menghalangi learning karena orang menjadi segan untuk mengakui bahwa mereka tidak mengetahui sesuatu, dan kecenderungannya adalah karyawan ragu menerima tugas yang tidak mereka kuasai. Akhirnya, kompetisi menghasilkan solusi jangka pendek bukan jangka panjang terhadap akar permasalahan. 3. Bersikap reaktif dan bukannya kreatif dan proaktifSeseorang terkadang belajar atau mau berubah sebagai bentuk reaksi atas kondisi yang membuat mereka tertekan dan frustasi. Hal ini bertentangan dengan katalis fundamental dari learning di mana keinginan belajar seharusnya dipicu oleh kepentingan pribadi, rasa ingin tahu, aspirasi, imajinasi, eksperimentasi, dan pengambilan resiko. Masalah lain adalah orang dikondisikan untuk merespon dan bereaksi sesuai pengarahan dan persetujuan orang lain. Hal ini merusak dorongan intrinsik untuk belajar. Kecenderungan manajemen berdasarkan ketakutan, intimidasi, dan krisis, membuat orang-orang tidak hanya menolak learning, tapi dilumpuhkan oleh ketakutan mengambil resiko (Luthans,2005)Kepemimpinan yang efektif menghilangkan kecenderungan kecenderungan tersebut dan membuka jalan bagi Learning Organization. Para pemimpin dapat menciptakan budaya yang menekankan pemikiran system diatas fragmentasi, kolaborasi diatas kompetisi, serta inovasi dan proaksi diatas reaktivitas. Pemimpin memiliki tiga fungsi penting dalam membangun learning organization yakni :1. Membangun komitmen untuk learning. Para pemimpin perlu menanamkan komitmen intelektual dan emosional untuk learning melalui ide-ide, menunjukkan sikap dan perilaku yang diwarnai learning dan menginvestsasikan sumber daya finansial yang dibutuhkan untuk menciptakan infrastruktur learning 2. Pemimpin harus mampu menghasilkan ide-ide yang dapat menambah nilai bagi seluruh stakeholder kunci seperti karyawan, konsumen, dan pemegang saham. 3. Pemimpin harus mampu menggeneralisasi ide yang dapat mengurangi halangan interpersonal, kelompok, dan organisasi terhadap learning, dengan cara menciptakan infrastruktur learning, melakukan aktivitas-aktivitas penilaian dan menghargai learning; meningkatkan dialog terbuka dan jujur; menurunkan konflik; meningkatkan komunikasi (horizontal,vertical); mempromosikan kerja tim; menghargai pengambilan resiko dan inovasi; menurunkan ketakutan akan kegagalan; meningkatkan motivasi berbagi sukses, gagal, dan praktik terbaik; mengurangi stresor dan frustasi; mengurangi kompetisi internal; kolaborasi dan menciptakan keamanan psikologis dan lingkungan yang nyaman (Luthans,2005)2.1.2.2 Organization CultureOrganisasi merupakan wadah dimana sejumlah individu berkumpul dan melakukan interaksi baik formal maupun nonformal, di mana interaksi ini akan berjalan dengan baik jika masing-masing anggota organisasi nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati secara bersama. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang biasa dikenal sebagai budaya organisasi. Untuk membantu kita dalam memahami makna dari budaya organisasi berikut pendapat beberapa pakar seperti :Hofstede(1990) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah Pemrograman mental bersama dari semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Hal senada dikemukakan oleh Luthans (2005) bahwa budaya organisasi adalah suatu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut merasakan, memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Dalam hal ini keduanya menekankan bahwa budaya merupakan kesepakatan anggota organisasi namun Luthans sudah mulai menunjukkan bahwa budaya akan berpengaruh pada cara anggota organisasi berperilaku. Begitu pula dengan Jones (2001) yang menyatakan budaya organisasi sebagai sekumpulan nilai yang mengendalikan interaksi antar anggota organisasi dan interaksi dengan sistem dan lingkungan organisasi lainnya. Robbins (2009) mengemukan budaya organisasi secara lebih lengkap yakni Nilai-nilai, prinsip,tradisi dan cara bekerja yang dianut bersama dan mempengaruhi perilaku serta tindakan para anggota organisasi, dan Kreitner (2006) menekankan pada peran budaya sebagai identitas sebuah perusahaan yakni bahwa budaya organisasi adalah share value dan kepercayaan yang menjadi identitas sebuah perusahaan.Meskipun cara setiap pakar dalam mengemukakan pendapatnya terdapat perbedaan namun intinya mereka mengatakan bahwa budaya organisasi adalah serangkaian nilai,kepercayaan atau norma yang diyakini secara bersama oleh anggota organisasi yang menentukan bagaimana setiap anggota organisasi merasakan, memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungan yuang beraneka ragam dan sekaligus menjadi identitas pembeda bagi organisasi.Isu-Isu Budaya Organisasi TerkiniRobbins(2009) mengemukakan beberapa isu terkini budaya organisasi yakni:1. Menciptakan budaya beretika. Budaya beretika akan membuat perilaku etis senantiasa mewarnai perilaku anggota organisasi. Budaya beretika dapat diciptakan dengan cara memberikan tauladan secara nyata; memperjelas standar etika kerja; adakan pelatihan dan pembelajaran etika; reward yang jelas untuk tindakan-tindakan etis, dan membentuk mekanisme perlindungan bagi para karyawan yang peduli terhadap berbagai tindakan etis2. Menciptakan budaya inovatif. Budaya inovatif adalah budaya yang memungkinkan dan mendukung inovasi selalu tumbuh dalam sebuah organisasi. 3. Menciptakan budaya berorientasi pelanggan4. Menciptakan budaya yang mendukung kebhinnekaan5. Spritualitas dan budaya organisasiSetiap organisasi memiliki budaya yang berbeda-beda dan pengaruhnya terhadap perilaku anggota organisasi juga akan berbeda tergantung pada budaya seperti apa yang tertanam dengan kuat dalam organisasi tersebut. Robbins (2009) membagi budaya dalam 2 kategori yaitu (1) Budaya kuat, budaya yang menanamkan nilai-nilai utama secara kokoh dan diterima secara luas di kalangan para karyawan, serta memberikan pesan yang konsisten kepada karyawan tentang apa yang dipandang berharga dan penting, para karyawan mengidentikkan jati diri mereka dengan budaya organisasi dan yang terpenting memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku para karyawan dibanding budaya yang lemah; (2) Budaya lemah adalah kebalikan dari budaya yang kuat.

2.1.2.3 Budaya Pembelajaran OrganisasionalOrganisasi yang sukses adalah organisasi yang selalu ingin belajar baik dari kesalahan maupun dari kesuksesan. Organisasi tidak boleh statis karena perubahan selalu ada dan akan terjadi. Agar keinginan belajar diikuti oleh seluruh anggota organisasi maka pembelajaran harus dijadikan sebagai budaya sehingga aktifitas dan tindakan seluruh anggota organisasi diwarnai oleh nilai-nilai pembelajaran. Budaya pembelajaran organisasional selain terkait dengan learning organization juga terkait dengan budaya organisasi. Sebuah organisasi dapat menciptakan sebuah budaya yang lebih fokus pada learning. Hal ini penting sebagai sebuah strategi untuk kesuksesan sebuah organisasi. Marquardt (2002) mengatakan bahwa budaya organisasi dalam sebuah learning organization adalah sebuah organisasi dimana learning dipandang sebagai faktor kritis kesuksesan sebuah bisnis, dalam hal ini learning menjadi kebiasaan dan diintegrasikan sebagai bagian dari keseluruhan fungsi organisasi. Budaya pembelajaran organisasional diyakini dapat meningkatkan pembelajaran dalam organisasi dengan menciptakan kepercayaan, nilai, kebiasaan dan lingkungan yang secara terus menerus mendukung pencapaian kesuksesan sebuah organisasi. Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat yang cukup beragam tentang budaya pembelajaran organisasional diantaranya Kandemir (2005) mengatakan bahwa Organizational Learning Culture mengarah pada berbagai bentuk nilai dan perilaku yang mendukung learning. Selanjutnya Skerlavaj et al. (2007) mengatakan hal yang hampir sama namun lebih terperinci yakni bahwa Organizational Learning Culture adalah serangkaian norma dan nilai tentang fungsi dari organisasi yang didukung secara sistematis, pendekatan mendalam untuk pencapaian yang tinggi yakni melalui double loop, strategi atau generative organizational learning melalui fase akuisisi informasi, interpretasi informasi, perubahan kognitif dan perilaku. Selanjutnya Huang Richard et.al.(2009) lebih fokus pada pentingnya pembelajaran dalam organisasi di mana dikatakan bahwa Organizational Learning Culture adalah sesuatu di mana pembelajaran dianggap sebagai faktor kritis untuk kesuksesan sebuah organisasi dan pembelajaran menjadi kebiasaan dan diintegrasikan sebagai bagian dari fungsi organisasi secara keseluruhan. Pendapat beragam yang dikemukakan oleh para pakar namun intinya adalah bagaimana pembelajaran dijadikan sebagai budaya agar organisasi mampu meraih sukses ke depannya, dengan demikian budaya pembelajaran organisasional adalah serangkaian norma atau nilai yang mendukung pembelajaran baik individu, kelompok atau organisasi dan meyakini pembelajaran sebagai faktor kritis kesuksesan sebuah organisasi. Dimensi budaya pembelajaran organisasional terdiri dari continous learning, dialogue and inquiry, team learning, embedded system,empowerment, system connection dan provide leadership Marsick and Watkins (2003)

2.1.3 Konsep Pengelolaan Pengetahuan

2.1.3.1 Definisi Pengetahuan

Pada dasarnya pengetahuan adalah segala sesuatu yang individu ketahui baik abstrak maupun nyata. Pengetahuan akan berbeda dengan data atau informasi. Perbedaan ketiganya dikemukakan secara sederhana oleh Davenport dan Prusak (1998) yang mengatakan bahwa pengetahuan itu bukan data ataupun informasi, tetapi keduanya saling berhubungan. Data adalah seperangkat fakta yang memiliki ciri tertentu mengenai suatu kejadian, biasanya terdapat dalam bentuk catatan-catatan atau transaksi-transaksi. Selanjutnya informasi adalah hasil pengolahan data yang bermakna yang bermanfaat dan berguna dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pengetahuan adalah aplikasi dari data dan informasi. Secara lebih lengkap makna pengetahuan dikemukakan oleh Von Krogh (2000) sebagai berikut : Pengetahuan merupakan pembenaran berdasarkan kepercayaan. Seorang individu menganggap sesuatu benar jika dia percaya bahwa hal tersebut benar setelah melakukan observasi. Pemahaman atas suatu situasi baru dengan berpegang pada kepercayaan menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari kenyataan. Penciptaan pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses unik karena melibatkan perasaan dan sistem kepercayaan yang kadang tidak disadari. Pengetahuan dapat berupa eksplisit yaitu dapat dituliskan, diformulasikan dalam bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar dan implisit yaitu pengetahuan yang terkait dengan perasaan, keterampilan dan bentuk bahasa tubuh, persepsi pribadi, pengalaman, petunjuk praktis dan intuisi. Mengenali nilai dan cara menggunakan pengetahuan implisit merupakan tantangan utama organisasi yang ingin terus menciptakan pengetahuan. Penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terciptanya pengetahuan tersebut. Pengetahuan bersifat dinamis, relasional, berdasarkan tindakan manusia dan bergantung pada konteksnya. Konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan pengetahuan adalah ruang bersama yang dapat memicu timbulnya interaksi antar individu. Dalam konteks organisasional bisa berupa fisik, maya, mental atau ketiganya. Penciptaan pengetahuan meliputi lima langkah utama, yakni berbagi pengetahuan implisit; menciptakan konsep; membenarkan konsep; membangun prototype; melakukan penyebaran pengetahuan di berbagai fungsi dan tingkat di organisasi.Polanyi merupakan orang pertama yang mengkategorikan knowledge menjadi dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Hal yang sama dikemukakan pula Nonaka (2004). Kedua bentuk pengetahuan ini sangat berbeda. Tacit knowledge sifatnya sangat personal berada dalam benak individu, biasanya lahir dari pengalaman, bersifat intuitif, menimbulkan kepercayaan diri, ditopang oleh nilai-nilai dan kepercayaan yang melekat pada individu maupun kelompok. Sedangkan Explicit knowledge bersifat sangat rasional, metodologis, modeling, bersifat positif dan empiris, biasanya dalam bentuk dokumen atau bentuk lain yang mudah didistribusikan melalui berbagai media. Di antara kedua bentuk knowledge yang diyakini dapat membawa organisasi pada keunggulan bersaing adalah tacit knowledge karena sifatnya sangat personal sehingga akan sulit untuk ditiru, namun untuk meoptimalkan kedua bentuk pengetahuan secara bersama maka harus ada interaksi diantara keduanya. Interaksi antara tacit dan explicit knowledge merupakan integrasi dari suatu interaksi alur pikir, intuisi, imajinasi, symbol-simbol yang diwujudkan pada suatu produk yang dapat dipasarkan, dijabarkan melalui proses berfikir logis rasional pada seluruh karyawan yang terkait dalam produk dan jasa, sehingga akan lahir suatu produk/jasa yang benar-benar bersifat inovatif dan bersifat kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun pasar global. Interaksi tacit dan explicit knowledge dibahasakan oleh Nonaka Takeuchi (2004) sebagai proses konversi yang terdiri dari empat yang dikenal dengan SECI model yaitu Socialization, Externalization, Combination, Internalization. Proses konversi knowledge diilustrasikan dalam gambar berikut:

Dari

Ke

Tacit KnowledgeExplicit Knowledge

Tacit Knowledge

Explicit Knowledge

Sosialisasi

Eksternalisasi

Internalisasi

Kombinasi

Gambar 2.5 Empat Model Konversi KnowledgeSumber : Nonaka Takeuchi,2004

Proses konversi berdasar gambar dapat dijelaskan sebagai berikut :1. Sosialisasi yaitu konversi pengetahuan dari tacit ke tacit knowledge, dapat dilakukan dengan proses sharing, interaksi dan pengalaman langsung2. Eksternalisasi yaitu proses konversi pengetahuan dari tacit knowledge menjadi eksplicit knowledge, dapat dilakukan dengan dialog dan refleksi3. Kombinasi yaitu proses konversi pengetahuan dari eksplicit knowledge ke eksplicit knowledge yang baru dilakukan dengan sistemisasi dan pengaplikasian sistem informasi4. Internalisasi yaitu proses konversi pengetahuan dari eksplicit knowledge menjadi tacit knowledge yakni pembelajaran dan akuisisi pengetahuan oleh anggota organisasi dari eksplisit knowledge yang ada melalui pengalaman sendiri

2.1.3.2 Definisi Pengelolaan PengetahuanMerebaknya fenomena manajemen pengetahuan merupakan kritik langsung atas kesalahpahaman yang menganggap pengetahuan sebagai benda mati. Ilmu pengetahuan dapat menemukan produk baru dengan dukungan metode atau model, teknologi yang dikuasai, kualitas kontrol, riset-riset keinginan konsumen, otomatisasi modal dan sebagainya. Pengetahuan dalam organisasi disebut intellectual capital yang terdiri dari human capital, structural capital dan Customer capital:1. Human capital adalah pengetahuan yang dimiliki dan bersumber dari tenaga kerja termasuk keterampilan, pengalaman dan kreativitas, dalam hal ini terkait pengetahuan, keterampilan, kemampuan anggota organisasi melakukan tugasnya, seperti nilai, kultur dan filosofi. Juga pengetahuan, kebijakan, keahlian, intuisi, dan kemampuan peorangn untuk mewujudkan tugas dan tujuan, merupakan milik perorangan dan tidak bisa dimiliki oleh organisasi.2. Structural capital adalah pengetahuan yang terdapat dalam sebuah struktur dan sistem organisasi, pengetahuan yang menetap di sebuah organisasi di luar modal manusia. Struktural Capital terdiri atas market capital dan organizational capital. Market capital adalah nilai dalam hubungan sebuah organisasi dengan klien. Organizational capital di dalamnya ada perangkat keras perangkat lunak, pangkalan data, struktur organisasi, paten, merk dagang, dan segala sesuatu yang mendukung produktivitgas perorangan melalui penggunaan bersama penyebarannya. 3. Customer capital adalah nilai yang bersumber dari kepuasan konsumen, kemampuan pemasok dan sumberdaya eksternal lainnya yang dapat menambah nilai untuk organisasi. ( Edvinsson, L and M.Malone,1997)Beberapa pakar telah mengemukakan pendapat yang beragam tentang pengelolaan pengetahuan akan membantu menambah pemahaman kita diantaranya:Bergero (2003) mengatakan bahwa pengelolaan pengetahuan adalah kemampuan untuk secara selektif mendapatkan, menyimpan dan mengakses praktek terbaik dari pekerjaan terkait pengetahuan dan pembuatan keputusan dari karyawan dan manajer baik sebagai individu maupun sebagai perilaku kelompok. Hal senada dikemukakan McShane(2008) yang mengatakan pengelolaan pengetahuan adalah berbagai aktivitas terstruktur untuk meningkatkan kapasitas organisasi untuk mendapatkan, membagi, dan menggunakan pengetahuan agar organisasi sukses dan survive. Sedangkan Jennex Murray (2005) lebih menekankan pada bagaimana menggunakan pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengelolaan pengetahuan merupakan sebuah proses selektif untuk mengaplikasikan pengetahuan dengan belajar dari pengalaman dalam pembuatan keputusan untuk membuat keputusan saat sekarang dan masa yang akan datang guna meningkatkan efektivitas organisasi. Hal yang agak berbeda juga dikemukakan oleh Rao, Madanmohan, (2005) dimana pengelolaan pengetahuan diartikan sebagai sebuah ilmu yang sistematik dan serangkaian pendekatan yang memungkinkan informasi dan pengetahuan berkembang, mengalir dan menciptakan nilai dalam organisasi yang terkait dengan orang, informasi, arus kerja, tools, best practice, aliansi dan praktek komunitas, dalam hal pandangannya lebih pada proses penciptaan nilai melalui penegtahuan dan informasi. Selanjutnya Liebowitz,J (2001) secara tidak langsung menegaskan bahwa pengetahuan adalah aset yang intangible yang dapay dikonversi untuk menciptakan nilai bagi organisasi dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa pengelolaan pengetahuan adalah proses penciptaan nilai dari aset intangible organisasiBerdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pada intinya mereka ingin mengatakan bahwa pengetahuan merupakan aset yang jika dikelola akan dapat menghasilkan nilai bagi organisasi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa knowledge management adalah aktivitas terstruktur untuk mengembangkan kapasitas organisasi untuk mendapatkan, menciptakan, membagi dan menggunakan pengetahuan baik tacit knowledge maupun eksplicit knowledge agar mampu bertahan dan sukses. Liebowitz (2001) mengemukakan knowledge management life cycle yang digambar seperti berikut :

Knowledge CreationKnowledge ApplicationKnowledge SharingKnowledge Capture

Gambar 2. 6. Knowledge management life cycleSumber : Liebowitz,Jay.2001

Kemampuan untuk mendapatkan, membagi dan menggunakan pengetahuan berarti perusahaan mampu menciptakan atau membangun sistem, struktur dan nilai organisasi yang dapat mendukung proses knowledge management. Hal yang sama dikemukakan oleh Tiwana(2000) bahwa terdapat tiga tahap dalam proses learning dan knowledge yang didukung oleh teknologi yakni knowledge acquisition, knowledge sharing dan knowledge utilization. Selanjutnya dikatakan bahwa tahap-tahap ini tidak harus berurutan tapi dapat berlangsung secara paralel. Gambar berikut menunjukkan proses dan elemen knowledge management menurut McShane (2008):

Knowledge SharingCommunicationTrainingRewardsKnowledge AcquisitionIndividual learningEnvironmental scanningGraftingExperimentation

Knowledge UtilizationSense makingKnowledge awarenessEmpowerment

Gambar 2.7 Proses dan elemen Knowledge ManagementSumber : McShane (2008)Nonaka(1994) mengatakan bahwa knowledge merupakan hal yang penting dalam organisasi namun masih kurang yang memperhatikan tentang bagaimana knowledge tercipta dan bagaimana proses penciptaan knowledge dikelola. Nonaka selanjutnya memperkenalkan konsep knowledge creation dengan model konversi knowledge yang dikenal dengan SECI model. Berikut penjelasan dari knowledge acquisition, knowledge sharing, knowledge utilization dan knowledge creation yang selanjutnya akan digunakan sebagai dimensi pengukuran knowledge management. Knowledge AcquisitionKnowledge acquisition adalah kemampuan organisasi untuk menyaring informasi dan ide-ide yang bersumber dari lingkungan. Terdapat empat cara yang dapat dilakukan organisasi untuk mendapatkan pengetahuan yakni :1. Individual learningIndividual learning dapat diperoleh melalui reinforcement, umpanbalik, observasi dan pengalaman dan praktek manajemen dari banchmarking. Proses mendapatkan pengetahuan dapat lebih efektif melalui pembelajaran individu2. Environmental scanningEnvironmental scanning terkait menerima informasi dari lingkungan eksternal dan internal sehingga strategi pengambilan keputusan yang dibuat lebih efektif. 3. GraftingGrafting adalah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara mengambil individu atau membeli perusahaan secara keseluruhan.

4. ExperimentationExperimentation menyangkut tiga aktivitas dalam mengumpulkan informasi yaitu mendapatkan pengetahuan dari wawasan seseorang sebagai hasil dari pengalaman dan proses kreativitas; mendapat pengetahuan dari kemampuan belajar seorang pimpinan organisasi; mendapat pengetahuan dari penciptaan infrastruktur yang dapat membantu karyawan dalam meningkatkan wawasannya.Knowledge SharingBagaimana organisasi dapat membagi pengetahuan? Banyak eksekutif perusahaan yang percaya bahwa training merupakan elemen utama dalam knowledge management. Pelatihan formal berguna tapi banyak pembagian pengetahuan yang muncul melalui proses komunikasi yang cepat dan mengalir, pembagian informasi melalui lintas batas organisasi. Team juga memainkan peran penting dalam membagi pengetahuan. Organisasi menyebarkan pengetahuan dengan menempatkan anggota baru dalam team yang dapat membawa pengalaman dari kesuksesan team di masa lalu. Strategi yang lain adalah communities of practice. Kelompok informal ini terdiri dari orang-orang yang hidup, menghirup dan suka terhadap pengetahuan khusus. Communities of practice adalah kelompok informal yang terdiri dari orang-orang yang dihubungkan dengan ketertarikan mutual mereka terhadap pengetahuan khusus. Sistem rewards sangat potensial dalam mengurangi masalah. Knowledge UtilizationKnowledge utilization termasuk making sense dari informasi yang diterima dan diaplikasikan dalam perilaku karyawan secara langsung atau melalui system dan struktur organisasi dengan cara (1) karyawan merealisasikan informasi yang mereka dapat untuk meningkatkan pelayanan terhadap konsumen atau kualitas produk; (2) karyawan harus dapat membuat sense atas informasi yang mereka terima; (3) tenaga kerja membutuhkan kebebasan dalam menerapkan pengetahuan. Knowledge CreationKonsep knowledge creation atau penciptaan knowledge diperkenalkan oleh Nonaka (19944) yang biasa dikenal dengan SECI Model yakni proses konversi antara tacit knowledge dan eksplisit knowledge.

2.1.4 Konsep Kinerja Organisasi

Kinerja pada dasarnya adalah hasil dari sebuah kegiatan dalam kurun waktu tertentu dan berdasarkan pada standar tertentu. Penilaian kinerja organisasi merupakan hal yang sangat penting guna mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan tindakan koreksi apa yang perlu dilakukan.

2.1.4.1 Definisi kinerja organisasiTerdapat tiga pendekatan dalam mengukur kinerja organisasi yakni pengukuran objective sifatnya kuantitatif, pengukuran subjective sifatnya kualitatif/judgmental sering berdasarkan persepsi responden dan yang terakhir trianggulation. Definisi kinerja organisasi sangat beragam diantaranya ;Albretch (2011) mengatakan bahwa Kinerja atau performance is the extent to which an organization achieves a set of pre-difined target that are unique to its mission. This targets will include both objective(numerical) and subjective (judgmental) indicators. Artinya kinerja organisasi adalah pencapaian organisasi atas seperangkat target yang telah ditentukan. Target yang dimaksud terdiri dari baik target objective maupun subjective. Sedangkan mengemukakan pandangannya kinerja organisasi dengan memperjelas bahwa kinerja organisasi merupakan hasil kontribusi dari individu dalam organisasi tersebut di mana Wood et.al (2001) mengatakan bahwa kinerja organisasi adalah pengukuran ringkas dari kuantitas dan kualitas kontribusi tugas-tugas yang dilakukan oleh individu/kelompok untuk organisasi yang tergantung pada usaha yang dilakukan, kemampuan yang dimiliki, serta kesesuaian antara pandangan atasan tentang persyaratan tugas.Berdasarkan pendapat beberapa pakar di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja organisasi adalah sebuah pencapaian dari sebuah organisasi yang diukur berdasarkan standar tertentu dalam kurun waktu tertentu.

2.1.4.2 Dimensi-dimensi pengukuran kinerja organisasiDimensi-dimensi pengukuran kinerja organisasi sangat beraneka ragam, namun secara umum dimensi pengukuran kinerja terdiri dari dua yakni financial dan nonfinancial. Kaplan dan Norton (1992) mengembangkan konsep BSC digunakan empat perspektif sekaligus menjadi dimensi pengukuran kinerja yakni perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan inovasi dan pembelajaranPerguruan tinggi merupakan instrumen pendidikan dan memegang peran yang sangat vital dalam menentukan kualitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah pengukuran kinerja yang tepat guna menjamin mutu dan kelayakan institusi perguruan tinggi. Untuk itu menteri pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1994 telah membentuk badan akreditasi nasional perguruan tinggi (BAN-PT) yang bertugas melakukan akreditasi terhadap perguruan tinggi.Mengingat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, PP RI No 19 tahun 2005 dan peraturan perundang-undangan lainnya serta kecenderungan perkembangan kebijakan tentang pendidikan tinggi yang menekankan pada mutu dan akuntabilitas publik institusi perguruan tinggi dan program studi maka diperlukan akreditasi program studi. Instrumen akreditasi telah disusun dengan mempertimbangkan aspek legal peraturan perundang-undangan dan tuntutan praktek-praktek proses akreditasi terbaik yang berlaku internasional.Program studi harus secara aktif membangun sistem penjaminan mutu internal guna mewujudkan akuntabilitas publik. Untuk membuktikan bahwa sistem penjaminan mutu internal telah dilaksanakan dengan baik dan benar maka program studi harus diakreditasi oleh lembaga penjamin mutu eksternal. Dengan sistem penjaminan mutu yang benar program studi akan mampu meningkatkan mutu, menegakkan otonomi dan mengembangkan diri sebagai penyelenggara akademik/profesional sesuai bidang yang dikelolanya dan turut serta dalam meningkatkan kekuatan moral masayarakat secara berkelanjutan.Penelitian ini akan menilai kinerja organisasi dalam hal ini kinerja program studi dengan menggunakan standar yang telah ditetapkan oleh BAN-PT. Standar akreditasi program studi sarjana mencakup standar tentang komitmen program studi sarjana terhadap kapasitas institusional dan komitmen terhadap efektivitas program pendidikan, yang dikemas dalam tujuh standar akreditasi yakni :(1) Visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi pencapaian, (2) Tata pamong,kepemimpinan,sistem pengelolaan dan penjaminan mutu; (3) mahasiswa dan lulusan; (4) sumberdaya manusia; (5) kurikulum,pembelajaran dan suasana akademik; (6) pembiayaan,sarana dan prasarana serta sistem informasi; (7) penelitian dan pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama.2.1.5 Konsep Konflik

Konflik lekat dengan kehidupan, dan sulit untuk ditolak keberadaannya. Konflik dalam organisasi akan muncul seiring dengan maju mundurnya organisasi dan selalu menyertai perubahan yang terjadi dalam suatu organisasi. Intensitas konflik akan bermanfaat apabila berada pada posisi medium, sedangkan pada intensitas tinggi dan rendah akan menghasilkan ekses negatif terhadap organisasi. Pada saat konflik berdampak negatif dan positif seluruh tatanan kehidupan organisasi akan merasakannya tanpa terkecuali sumberdaya manusianya, karena itu, diagnosis konflik sedini mungkin harus dilakukan agar pengendalian konflik dapat efektif.

2.1.5.1 Pengertian KonflikKonflik semakin sering terjadi seiring dengan meningkatnya irama kehidupan sehari-hari dan kegiatan dunia usaha yang berjalan semakin cepat. Memahami konflik, sebab dan akibatnya sangat penting untuk mencapai sukses dalam kehidupan pribadi dan professional. Kesuksesan sebuah organisasi juga akan sangat ditentukan oleh faktor-faktor individual salah satunya adalah konflik. Pendapat dari para ahli mengenai konflik akan menambah pemahaman kita tentang makna sesungguhnya dari konflik diantaranya : Robbins (2009) mengatakan bahwa konflik adalah suatu proses yang mulai bila suatu pihak mulai merasa bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. Hal yang sama dikemukakan Kreitner (2006) dan Mc Shane (2008) dan Slocum/Hellriegel (2007). Hal agak berbeda dikemukakan oleh Gibson, et.al (2003) konflik itu ada apabila adanya konfrontasi diantara kelompok baik yang bersifat negatif maupun positif, dalam hal ini pandangan ini lebih ditekankan pada sifat dari konflik yaitu bersifat positif yang selanjutnya dikenal dengan konflik fungsional dan konflik yang bersifat negatif yang selanjutnya dikenal dengan konflik disfungsional. Selanjutnya Deutsch(dalam Bradford D, Kevin, 2001) juga mengemukakan pandangan yang agak berbeda penekanannya yakni mengatakan bahwa konflik adalah perilaku atau perasaan antar kelompok dalam merespon potensi atau gangguan yang ada yang berdampak pada perilaku anggota kelompok dalam mencapai tujuan, dalam hal ini pendapat ini lebih ditekankan pada dampak konflik terhadap perilaku individu dan kelompok.Dari beberapa pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa konflik adalah suatu persaingan, pertentangan atau ketidaksetujuan diantara kelompok, di mana suatu kelompok merasa sesuatu yang diperhatikannya juga diperhatikan lawannya atau perlakuan negatif dari kelompok lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku individu dalam pencapaian tujuan organisasi. 2.1.5.2 Bentuk-Bentuk KonflikKemampuan berinteraksi secara efektif dengan orang lain untuk membangun kerjasama dalam segala situasi sangat penting bagi sebuah organisasi guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Interaksi yang terjadi dalam organisasi seringkali menghasilkan konflik dalam setiap tingkatan baik tingkatan individu, kelompok maupun organisasi. Pickering (2006) mengatakan bahwa jenis Konflik terdiri dari :1. Konflik diri, yaitu gangguan emosi yang terjadi dalam diri seseorang karena dituntut menyelesaikan pekerjaan atau memenuhi harapan sementara pengalaman, minat, tujuan, dan tata nilai yang dimilikinya tidak sanggup memenuhinya. 2. Konflik antar individu, yaitu konflik antara dua atau lebih individu. Setiap orang mempunyai empat kebutuhan dasar psikologis