42
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi terdiri atas daerah-daerah Kabupaten dan Kota. Dalam rangka melihat hubungan pusat dan daerah, dapat dipahami dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun ketentuan Pasal 18 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut adalah : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. (2) Pemerintahan daerah Propinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 1 Dari ketentuan Pasal tersebut nampak adanya hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kekuasaan itu berada pada pemerintah pusat, kemudian pemerintah pusat melimpahkan sebagian kekuasaan tersebut kepada pemerintah daerah, untuk dilaksanakan sebagai upaya pendekatan pelayanan terhadap 1 Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah Dan Implikasinya, Total Media, Yogyakarta, h.2 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,

dan berkeadilan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi terdiri atas daerah-daerah

Kabupaten dan Kota. Dalam rangka melihat hubungan pusat dan daerah, dapat

dipahami dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Amandemen Undang – Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun ketentuan Pasal 18 Undang –

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut adalah :

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi

dan daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap

Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang

diatur dengan Undang-Undang.

(2) Pemerintahan daerah Propinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.1

Dari ketentuan Pasal tersebut nampak adanya hubungan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Kekuasaan itu berada pada pemerintah pusat, kemudian

pemerintah pusat melimpahkan sebagian kekuasaan tersebut kepada pemerintah

daerah, untuk dilaksanakan sebagai upaya pendekatan pelayanan terhadap

1Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah Dan Implikasinya, Total Media,

Yogyakarta, h.2

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

2

masyarakat, untuk mewujudkan titah pembukaan Undang – Undang Dasar 1945

atau Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.2

Pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah yang melahirkan otonomi

daerah dalam kontek Negara Kesatuan dilakukan melalui pintu desentralisasi.

Menurut R.G. Kartasapoetra desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan

dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta

sebagai pendemokratisasian pemerintahan, untuk mengikutsertakan rakyat

bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.3

Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem, dimana bagian-bagian dan

tugas Negara diserahkan penyelenggaraannya kepada badan atau organ yang

mandiri. Asas ini dilengkapi dengan asas tugas pembantuan, untuk mengikat

hubungan pusat dan daerah supaya dapat dikendalikan dalam ruang Negara

Kesatuan dan menciptakan pemerintahan yang demokratis sebagai cita-cita

masyarakat modern, artinya asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan

merupakan komponen pintu desentralisasi hubungan pusat dan daerah dalam

otonomi daerah.4

Prinsip otonomi daerah selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (5)

Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang

menyatakan bahwa: “Pemerintah Daerah menjalani otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan Pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan

2R Ibrahim, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di

Indonesia. Denpasar, Makalah Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat

Daerah Dewan Perwakilan daerah ( DPD ) di Denpasar 5-7 Februari 2009, h. 6

3Busrizalti, op.cit.

4R Ibrahim, op.cit.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

3

pemerintah pusat”. Dalam hal ini daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua

urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam

pelaksanaan otonomi tersebut, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Prinsip otonomi seluas-luasnya selanjutnya diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 ayat (6)

ditentukan bahwa:

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 9 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menetapkan

antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

memiliki hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan

sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (1)

dinyatakan:

Urusan pemerintah absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)

meliputi “Kewenangan inti dari Pemerintah Pusat meliputi 6 (enam)

wewenang pemerintah yakni dibidang:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional;

f. agama.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

4

Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan

urusan pemerintah yang menjadi wewenangnya diarahkan untuk dapat

mewujudkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum,

dan daya saing daerah.

Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah ditentukan :

(1). Urusan Pemerintahan Konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9

ayat (3) yang menjadi Kewenangan Daerah terdiri atas Urusan

Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.

(2). Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan

Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (2) ditentukan:

Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;

c. pangan;

d. pertanahan;

e. lingkungan hidup;

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;

g. pemberdayaan masyarakat dan desa;

h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;

i. perhubungan;

j. komunikasi dan informatika;

k. koperasi, usaha kecil dan menengah;

l. penanaman modal;

m. kepemudaan dan olah raga;

n. statistik;

o. persandian;

p. kebudayaan;

q. perpustakaan; dan

r. kearsipan

Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam

menyelenggarakan urusan pemerintahan ditentukan pada Peraturan Pemerintah

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

5

Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota.

Dengan adanya otonomi daerah, pembiayaan pemerintah daerah dalam

melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan

sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Daerah dipacu untuk dapat berkreasi

mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan

pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin

dipungut oleh daerah, Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi

salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat

dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.

Dalam Pasal 279 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah ditentukan :

Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang

diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi

daerah;

b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah;

c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan

Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan

d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal).

Dari ketentuan tersebut ditentukan daerah mempunyai hak untuk memungut

pajak daerah dan retribusi daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah

merupakan sumber pendapatan daerah. Pengertian pendapatan asli daerah

berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

6

Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli

daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang

dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”.

Dalam Pasal 285 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah ditentukan :

Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas:

a. Pendapatan asli Daerah meliputi :

1. Pajak daerah;

2. Retribusi daerah

3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan

4. Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah ;

b. Pendapatan transfer; dan

c. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

1) Hasil pajak daerah

2) Hasil retribusi daerah

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

4) Lain-lain pendapat daerah yang sah

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa penyerahan sumber keuangan daerah baik

berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan

merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada

daerah yang diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi. Untuk menjalankan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai

sumber keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan

kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian sumber keuangan kepada

Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintah yang diserahkan

kepada Daerah. Keseimbangan keuangan ini merupakan terjaminnya

terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Ketika

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

7

Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk

membiayai Urusan Pemerintahan dan khususnya Urusan Pemerintahan Wajib

yang terkait Pelayanan Dasar, Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen

DAK untuk membantu daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai.

Secara umum, pendapatan daerah dapat dibagi menjadi dua, yakni :

(1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu; dan

(2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan. 5

Pajak adalah pungutan oleh pejabat pajak sebagai wakil Negara kepada wajib

pajak tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa sehingga

penagihannya dapat dipaksakan. Hal ini tersirat dalam Pasal 23A Undang-Undang

Dasar 1945. Menurut Rochmat Soemitro pajak dapat ditinjau dari aspek ekonomis

dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek ekonomis adalah peralihan

kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang

dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatite) yang secara

langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran

umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah

untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan Negara. Sementara itu

pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena undang-

undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan oleh undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang

kepada (kas) Negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang

secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-

5Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi fiskal : Politik Perubahan Kebijakan 1974-

2004, Kencana, Jakarta, h. 125.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

8

pengeluaran Negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat

pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan

Negara.6

Pajak daerah didalamnya harus pula terdapat unsur imbalan / kontraprestasi

sebagaimana halnya retribusi daerah. Yang membedakan imbalan / kontraprestasi

antara pajak daerah dengan retribusi daerah adalah bahwa pajak daerah

kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya

untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah

kontraprestasi tersebut langsung kepada pembayar retribusi.7

Retribusi adalah pungutan oleh pejabat retribusi kepada Wajib Retribusi yang

bersifat memaksa dengan tegenprestatie secara langsung dan dapat dipaksakan

penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan penagihan

retribusi tidak berbeda dengan pajak, berupa sanksi administrasi maupun sanksi

kepidanaan8. Retribusi dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 merupakan

bagian dari “pungutan yang bersifat memaksa” yang dibutuhkan oleh Negara

karena itu diatur dengan undang-undang9.

Secara otentik pengertian retribusi daerah dapat ditemukan dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Landasan Filosofis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah Negara

Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan

6Muhammad Djafar Saidi, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 25-26

7Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, h.56

8Muhammad Djafar Saidi, op.cit

9ibid

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

9

untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan

berkeadilan, sedangkan landasan sosiologisnya adalah bahwa kebijakan pajak

daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi,

pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan

memperhatikan potensi daerah.

Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menentukan :

“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara

diatur dengan undang-undang”.

Dalam Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditentukan:

“Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan

Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang

khusus disediakan dan / atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk

kepentingan orang pribadi atau badan.”

Dalam pengertian ini, terkandung pula pemaknaan bahwa pelayanan yang

menjadi obyek retribusi adalah pelayanan yang langsung dinikmati oleh anggota

masyarakat (orang pribadi atau badan). Dengan demikian karakter retribusi daerah

adalah :

1. Pungutan oleh pemerintah daerah terhadap anggota masyarakat;

2. Pemerintah daerah memberikan pelayanan berupa barang / jasa yang

memberi keuntungan kepada anggota masyarakat yang membayar

pungutan.

Pasal 108 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa “Objek retribusi adalah” :

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

10

a. Jasa umum;

b. Jasa usaha;

c. Perizinan tertentu.

Tidak semua jasa yang diberikan oleh Pemerintah daerah dapat dipungut

retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis tertentu yang menurut pertimbangan sosial-

ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut

dikelompokkan ke dalam 3 ( tiga ) golongan, yaitu jasa umum, jasa usaha, dan

perizinan tertentu. Hal ini membuat objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa

sebagai berikut :10

1. Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau

diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan

kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.

2. Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang diberikan oleh

pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada

dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

3. Retribusi perijinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu

pemerintah daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau

badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan

pengawasan atas kegiatan kemanfaatan pemanfaatan ruang, penggunaan

sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna

melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

10Siahaan P. Marihot, 2009, Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 435

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

11

Lebih lanjut dalam Pasal 110 ayat (1) Undang - Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa Jenis

Retribusi Jasa Umum adalah:

a. Retribusi Pelayanan Kesehatan

b. Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan

c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta

Catatan Sipil

d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat

e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum

f. Retribusi Pelayanan Pasar

g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran

i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta

j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus

k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair

l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang

m. Retribusi Pelayanan Pendidikan

n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi

Sebagai implementasi dari otonomi daerah maka daerah dapat memungut

pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam

tatanan peraturan perundang-undangan diatur dalam Peraturan Daerah. Pasal 156

ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah menentukan : “Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

Lebih lanjut dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan :

1. Jenis Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 141, untuk Daerah Propinsi

dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan kewenangan Daerah

masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

2. Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, untuk

Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten / Kota disesuaikan dengan jasa /

pelayanan yang diberikan oleh Daerah masing-masing.

3. Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 diatur dalam Peraturan Daerah

yang bersangkutan.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

12

Dokumen kependudukan termasuk retribusi jasa umum yang sebelumnya di

Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 Tahun

2011 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan

Akta Catatan Sipil. Dalam Pasal 2 ditentukan “Dengan nama retribusi pengganti

Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil dipungut atas

penggantian biaya cetak”.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan, yang diundangkan pada tanggal 24 Desember 2013 dalam Pasal

79A ditentukan bahwa “Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan

tidak dipungut biaya”, maka Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 Tahun

2011 tidak berlaku lagi. Hal ini ditegaskan dengan adanya Surat Edaran Menteri

Dalam Negeri Nomor 900 /326/SJ tertanggal 17 Januari 2014 tentang larangan

pungutan uang dalam memberikan pelayanan administrasi kependudukan, maka

terhitung mulai tanggal 1 April 2014 di Kota Denpasar semua pelayanan

administrasi dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya.

Landasan filosofis berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 adalah

dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional,

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan

sosiologisnya adalah dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi

kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan administrasi kependudukan

yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib dan tidak

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

13

diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan

prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan.

Dengan adanya Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar

Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 tertanggal 1 Juli 2014 tentang Penataan

Penduduk Pendatang Di Desa Pakraman, ditentukan untuk menjamin ketertiban

dan keamanan sosial dalam penataan penduduk pendatang (krama tamiu dan

tamiu) yang baru datang dan tinggal menetap maupun sementara dalam jangka

waktu tertentu, dikenakan kontribusi biaya sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu

rupiah) bagi penduduk pendatang luar Provinsi Bali dan penduduk pendatang luar

Denpasar dalam Provinsi Bali sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah).

Pertimbangan dikeluarkan Surat Keputusan tersebut berdasarkan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

bahwa Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar sebagai lembaga adat yang

menjadi partnership kerja Pemerintah Kota Denpasar berwenang membuat aturan

terkait urusan pemerintahan dan urusan adat yang ditujukan dan dikoordinasikan

pelaksanaannya kepada Desa Pakraman se Kota Denpasar.

Dasar hukum pembentukan Majelis Desa Pakraman Bali adalah Peraturan

Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

Dalam Pasal 16 Perda No 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman diatur tugas

dan wewenang Majelis Desa Pakraman yang diatur yaitu:

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

14

(1) Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas:

a. mengayomi adat istiadat;

b. memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik

perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang

masalah-masalah adat;

c. melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan--

aturan yang ditetapkan;

d. membantu penyuratan awig-awig;

e. melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

(2) Majelis Desa Pakraman mempunyai wewenang:

a. memusyawarahkan berbagai hal menyangkut masalah-masalah adat

dan agama untuk kepentingan desa pakraman;

b. sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat

diselesaikan di tingkat desa;

c. membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di

kabupatan/kota, dan di provinsi.

Menurut Profesor Wayan P. Windia, Majelis Desa Pakraman mempunyai

tugas dan wewenang menangani berbagai masalah yang terkait dengan adat dan

hukum adat Bali, termasuk tentunya kasus-kasus adat.11

Atas dasar permasalahan itulah maka penulis menganggap perlu untuk

melakukan suatu kajian ilmiah dengan judul “RETRIBUSI JASA UMUM

KEPENDUDUKAN DI KOTA DENPASAR DIKAITKAN DENGAN

11Wayan P. Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus Dan Penyelesaiannya, Udayana

University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia I) h. 233

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

15

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG

ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN SURAT KEPUTUSAN

MAJELIS MADYA DESA PAKRAMAN KOTA DENPASAR NOMOR

14/12-SK/MMDP/VII/2014 TENTANG PENATAAN PENDUDUK

PENDATANG DI DESA PAKRAMAN”.

1.2. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1.2.1. Bagaimana pengaturan pemungutan retribusi jasa umum

kependudukan di Kota Denpasar?

1.2.2. Bagaimana peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota

Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan tesis ini, penulis hanya akan membahas masalah pengaturan

Retribusi Jasa Umum sesuai dengan Pasal 79A Undang – Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang – Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peranan Majelis

Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum

kependudukan agar pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang penulis

uraikan sehingga pembahasan tersebut tidak menyimpang atau meluas dari apa

yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari tesis ini adalah :

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

16

1.4.1 Tujuan umum :

a. Untuk mengetahui dasar hukum retribusi jasa umum

kependudukan.

b. Untuk menganalisis pengaturan retribusi jasa umum

kependudukan.

c. Untuk menganalisis dan mempelajari konsistensi antara

peraturan tentang retribusi jasa umum kependudukan.

1.4.2 Tujuan khusus :

Adapun tujuan khusus dari penulisan ini agar mengetahui lebih

dalam dan memahami bagaimanakah pengaturan retribusi jasa

umum kependudukan dan bagaimanakah penerapan Pasal 79A

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi

Kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman Kota

Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap pengembangan ilmu hukum secara umum, dan khususnya

Hukum Administrasi Negara, Hukum Pemerintahan Daerah.

1.5.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis dapat memberikan masukan bagi

masyarakat dan juga Pemerintah Daerah tentang pelaksanaan

retribusi jasa umum kependudukan, sedangkan bagi penulis sendiri,

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

17

karya tulis ini disamping untuk memenuhi persyaratan dalam meraih

gelar Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Udayana, juga akan bermanfaat bagi

penulis dalam melaksanakan tugas sebagai aparat Pemerintah

Daerah.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Penelitian sejenis yang terkait dengan kajian yuridis retribusi, telah dilakukan

penelusuran diantaranya sebagai berikut :

Pertama, penulis menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada

tahun 2010, atas nama Komang Lestari Kusuma Dewi berjudul “Pengaturan

Retribusi Perijinan Tertentu Pada Pemerintahan Kota Denpasar”, dengan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kriteria dan tolak ukur untuk menentukan retribusi

perijinan tertentu pada Pemerintahan Kota Denpasar?

2. Bagaimanakah pengaturan retribusi perijinan tertentu pada pemerintahan

Kota Denpasar?

Tesis ini menekankan pada Pemerintahan Kota Denpasar dalam menetapkan

kriteria dan tolak ukur retribusi perijinan tertentu sebagai pelaksanaan otonomi

daerah dan pelaksanaan retribusi perijinan tertentu di Kota Denpasar.

Kedua, penulis menemukan tesis di Universitas Diponegoro, Semarang,

Tahun 2009 atas nama Rona Rositawati berjudul “Sistem Pemungutan Pajak

Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Bogor)”, dengan

rumusan masalah sebagai berikut :

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

18

1. Bagaimana dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era

otonomi daerah?

2. Bagaimana sistem pemungutan pajak dalam era otonomi daerah?

3. Bagaimana konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak

daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah?

Penulisan tesis ini menekankan pada dasar hukum sistem pemungutan pajak

daerah dalam era otonomi daerah dan sistem pemungutan pajak daerah dalam era

otonomi daerah di Kabupaten Bogor. Dalam tesis ini dimuat juga tentang

konsistensi antara Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan

perundang-undangan dibidang pajak daerah.

Ketiga, penulis menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada

tahun 2011, atas nama Ni Putu Diah Siswandari dengan judul “Kewenangan

Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor” dengan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam pemungutan

Pajak Kendaraan Bermotor?

2. Bagaimanakah tata cara pemungutan pajak Kendaraan Bermotor di

Propinsi Bali?

Penulisan tesis ini menekankan pada kewenangan pemungutan pajak yang

merupakan kewenangan dari Pemerintah Provinsi yaitu kewenangan pemungutan

pajak kendaraan bermotor di Propinsi Bali dan dalam penulisan tesis ini berisi

pula materi tentang tata cara pemungutan pajak kendaraan bermotor di Propinsi

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

19

Bali serta tesis ini memuat juga bagi hasil pajak kendaraan bermotor kepada

Kabupaten / Kota.

Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan tampaklah perbedaan-

perbedaan yang spesifik. Penekanan pada penelitian ini dititik beratkan pada

pengaturan pemungutan retribusi yang merupakan kewenangan Pemerintah

Kabupaten / Kota yaitu khususnya pemungutan retribusi jasa umum

kependudukan. Pada penelitian ini melakukan pembahasan berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar dalam pemungutan

retribusi jasa umum kependudukan.

Dalam penelitian terdahulu, baik di Universitas Udayana maupun Universitas

lainnya sepanjang penulis ketahui, penekanan pada penelitian ini belum pernah

memperoleh kajian, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan

masih bersifat orisinal dan layak dijadikan obyek penelitian dalam tesis ini.

1.7. Landasan Teoritis

Dalam rangka mengkaji permasalahan yang diajukan dalam perumusan

masalah, akan menggunakan beberapa asas, teori, dan konsep, sebagai berikut :

1.7.1. Teori Negara Hukum.

1.7.2. Teori Hirarki Norma Hukum.

1.7.3. Asas-asas Hukum Preferensi.

1.7.4. Teori Pluralisme Hukum.

1.7.5. Teori Semi – Autonomus Social Field.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

20

1.7.1.Teori Negara Hukum

Hukum menurut Jonathan Crowe:12

“The law is basically a set of rules. It is a set of general standards that tell us

how to behave, not just in one case, but across a range of situations.

However, legal rules are also social rules, that is, they are rules that are

generally recognized as binding by the members of a particular community.

Their validity within that community depends at least partly on social

acceptance”.

“Hukum pada dasarnya adalah seperangkat aturan. Ini adalah satu set standar

umum yang memberitahu kita bagaimana harus bersikap , bukan hanya dalam

satu kasus, tetapi di berbagai situasi. Namun, aturan hukum juga aturan-

aturan sosial, yaitu, mereka adalah aturan yang umumnya diakui sebagai yang

mengikat oleh anggota komunitas tertentu. Validitasnya dalam masyarakat

yang tergantung setidaknya sebagian pada penerimaan sosial”.

Hukum Positif menurt John Austin:13

“Positive laws, or laws strictly so called, are established directly or

immediately by authors of three kinds:- By monarch, or sovereign bodies, as

supreme political superior: by men in a state of subjection, as subordinate

political superior: by subject, as a private person, in pursuance of legal

rights. But every positive laws or every laws strictly so called, is direct or

circuitious command of monarch or souvereign number … to a person or

persons in a state of subjections to its author”.

“Hukum positif ditetapkan langsung oleh tiga jenis: (1) oleh raja, atau badan

berdaulat, sebagai politik superior: (2) oleh laki-laki sebagai bawahan politik

superior : (3) oleh subjek, sebagai orang swasta, menurut hak-hak hukum .

Tapi setiap hukum positif adalah perintah langsung dari raja yang berdaulat

untuk seseorang atau beberapa orang”.

Secara umum tujuan hukum adalah keadilan menurut Alf Ross:14

“In general, the idea of law is taken to be justice”.

Ciri-ciri suatu Negara menurut Phillipus M. Hadjon adalah:

a. Ada pelaksanaan suatu “kekuasaan”

12Jonathan Crowe, 2008, Legal Theory, Thomson Reuters (Professional), Australia, h. 2-3

13

J.W. Harris, 2004, Legal Philosophies Second Edition, Oxford University Press, Great

Britain, h. 31

14

Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University of California Press, Berkeley & Los

Angeles, h. 3

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

21

b. Terhadap suatu “bangsa” tertentu

c. Di suatu “wilayah” tertentu

d. Kekuasaan itu adalah dalam bentuk “lembaga-lembaga negara”

e. Dan lambang-lambang tertentu (bendera, lagu kebangsaan dan

sebagainya).15

Ciri-ciri yang paling penting dari negara ialah pelaksanaan kekuasaan dalam

arti menciptakan dan memelihara suatu ketertiban tertentu dalam kenyataan.

Negara menurut Neil MacCormick adalah:16

All states, whether or not conforming to the pattern of a constitutional state to

be discussed here, have four essential characteristics. First, they are

territorial, that is, they lay claim to and exercise, to at least a significant

degree, effective control over a specific territory, in a way that involves when

necessary the use of coercive force agains external and internal threats.

Secondly, they claim legitimacy; that is, their governing authorithies claim

that in exercising such effective control they do so as of right and are

properly recognized as being rightfully in authority over the territory.

Thirdly, they claim independence, that is their governing authorities claim

independence, that is, their governing authorities claim that the people of the

state are entitled to a form of government free from external interference by

the states. The fourth, closely related, feature is that these claims are

acknowledged by other state.

Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions, negara

Kesatuan merupakan bentuk negara yang mempunyai kedaulatan tertinggi di

tangan pemerintah pusat. Lebih lanjut menyatakan bahwa the essential qualities of

unitary state may therefore be said to be:17

1. The supremacy of the central parliament

2. The absence of subsidiary sovereign bodies

15Phillipus M. Hadjon dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon I), h. 17

16

Neil MacCormick, 2007, Institutions of Law, Oxford University Press Inc., New York,

United States, h. 39

17

Busrizalti, op.cit, h. 39

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

22

Ciri yang melekat pada Negara Kesatuan berdasarkan uraian di atas adalah:

1. Adanya supremasi dari parlemen pusat.

2. Tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat.

Hubungan antara Hukum dengan Negara menurut Friedrich Julius Stahl dalam

bukunya Principles of Law:18

The relationship of law to the state is twofold: the law requires the state for it

to maintain itself in humanlife, while the state requires the law as the source of

its very existence. Together they form the civil order.

Berdasarkan uraian di atas hubungan hukum dengan negara ada dua: hukum

mengharuskan negara untuk mempertahankan dirinya dalam kehidupan manusia,

dan negara membutuhkan hukum sebagai sumber keberadaannya. Hukum dan

Negara bersama-sama membentuk tertib sipil.

Dalam kepustakaan ilmu hukum dan politik di Indonesia, istilah negara

hukum dipadankan dengan istilah rechtstaat (bahasa Belanda) dan istilah the rule

of law (bahasa Inggris). Di negara-negara civil law, teori dan implementasi negara

hukum muncul dengan konsepsi rechtstaat sementara di negara-negara common

law dengan konsepsi the rule of law.19

Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum melalui dua cara. Pertama,

melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan yaitu apakah konstitusi yang

dimaksud memuat ketentuan tentang negara hukum. Kedua, berdasarkan

pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan

unsur-unsur / ciri-ciri dari suatu negara hukum. Abad ke 19 muncul konsep

18Friedrich Julius Stahl, 2007, Principles of Law, Asiten the Netherland, Word Bridge, h. xviii

19

Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 13

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

23

rechstaat dari Friedrich Julius Stahl. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

adalah sebagai berikut :

a. Pelindungan hak-hak asasi manusia;

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey lahir dalam naungan

sistem hukum anglo saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur the rule of law

sebagai berikut :

a. Supremasi aturan-aturan (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti

bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (eguality before the

law). Dalil ini mengaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain

oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.20

Philipus M Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum

yakni : rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila. 21

Ateng Syafrudin

mengemukakan bahwa kandungan negara hukum adalah sebagai berikut:22

20HR Ridwan, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, h. 3

21

Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban,

Surabaya (Selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon II), h. 69

22

Imam Soebechi, op.cit, h. 21

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

24

a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur) dengan bagian-

bagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas, tentang

perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum.

b. Hak asasi manusia.

c. Pembagian kekuasaan, dengan bagian-bagiannya tentang struktur

kewenangan atau desentralisasi dan tentang pengawasan dan kontrol.

d. Pengawasan dan kekuasaan pengadilan.

Implementasi negara hukum memiliki karakteristik dan model yang

beragam.Terlepas dari berbagai model negara hukum tersebut, Budiono mencatat

bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap

menuju ke arah kesimpulan bahwa negara merupakan negara yang akan

mewujudkan harapan para warga negara akan kehidupan yang tertib, adil dan

sejahtera jika negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan

main23

.

Untuk menganalisis permasalahan retribusi jasa umum dokumen

kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman dalam retribusi jasa

umum penulis mempergunakan teori Negara hukum.

1.7.2. Teori Hirarki Norma Hukum

Hans Kelsen mengemukakan teorinya tentang tata urutan atau susunan

hirarkis dari tata hukum Negara yaitu dengan mempostulasikan norma dasar,

yakni konstitusi dalam arti material adalah urutan tertinggi di dalam hukum

nasional.

23HR Ridwan , op.cit, h. 6

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

25

Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki

tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan

berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada

suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan

fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Menurut Hans Kelsen:24

Hubungan antara norma yang menentukan penciptaan norma lain, dan norma

yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini, bisa divisualisasikan dengan

menggambarkan pengorganisasian norma di tingkat tinggi dan rendah. Norma

yang menentukan penciptaan adalah norma di tingkat yang lebih tinggi,

norma yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini adalah norma di tingkat

yang lebih rendah. Sistem hukum bukan sebuah sistem yang terdiri dari

norma-norma hukum bertingkat, dengan kata lain, berdampingan satu sama

lain; rupanya sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata

norma-norma hukum.

Berdasarkan Teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, di

Indonesia terdapat tata urutan peraturan perundang-undang diatur dalam Pasal 7

ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten / kota

24Hans Kelsen, 2009, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 105

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

26

Menurut Muhammad Bakri, jika tata urutan peraturan perundang-undangan

tersebut dihubungkan dengan pendapat Hans Kelsen, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya adalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

2. Peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar 1945

adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang

walaupun dibuat oleh Presiden namun tingkatannya disamakan dengan

Undang-Undang.

3. Peraturan perundang-undangan yang paling rendah tingkatannya adalah

Peraturan Daerah / Kota.

Untuk menganalisa permasalahan pertama yaitu mengenai pengaturan

pemungutan retribusi jasa umum dokumen kependudukan di Kota Denpasar dan

peranan Majelis Madya Desa Pakraman dalam retribusi jasa umum penulis

mempergunakan teori hukum Jenjang Norma dari Hans Kelsen.

1.7.3. Asas Hukum Preferensi

Antinomi berarti adanya pertentangan dua norma atau lebih, akan tetapi

keduanya sama-sama penting. Dengan kata lain, kedua norma tersebut dijamin

dalam tingkatan hukum yang sama. Dalam teori antinomi dipergunakan asas

preferensi dalam penyelesaian konflik norma yaitu :

1. Asas Lex superior Derogat Legi Inferiori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi mengesampingkan berlakunya peraturan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

27

perundang-undangan yang lebih rendah atau peraturan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

2. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan

yang terdahulu, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat

ketentuan yang sama dan secara hierarkis mempunyai kedudukan yang

sama.

3. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yaitu peraturan perundang-

undangan yang bersifat khusus (spesial) mengenyampingkan berlakunya

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila

kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang

saling bertentangan. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-

undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama.25

Disamping asas preferensi tersebut diatas juga terdapat asas yang diperlukan

dalam tata urutan peraturan perundang-undangan seperti yang dikemukakan oleh

Bagir Manan yaitu:26

1. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ada ketentuan umum

bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar

hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya; peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

25Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 129

26

Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press,

Yogyakarta, h. 45

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

28

tinggi, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat

dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum.

2. Isi atau materi peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah

tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, yang dibuat tanpa wewenang

dan untuk menjaga dan menjamin prinsip tersebut agar tidak

disimpangi atau dilanggar maka terdapat mekanisme pengujian secara

yudisial atas setiap perturan perundang-undangan atau kebijakan

maupun tindakan pemerintah lainnya terhadap peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi yaitu

Undang-Undang Dasar.

Dalam mengkaji permasalahan kedua yaitu peranan Majelis Madya Desa

Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum dokumen

kependudukan penulis mempergunakan teori asas preferensi dalam teori antinomi.

1.7.4. Teori Pluralisme Hukum

Kerangka teori berikutnya adalah teori Pluralisme Hukum yang dikemukakan

John Griffiths dalam artikelnya berjudul “What is legal pluralism” adalah rujukan

yang banyak digunakan oleh pengkaji dan pendukung pluralisme hukum di

Indonesia. Griffiths menyatakan bahwa ideologi sentralisme hukum yang melekat

pada sistem hukum modern menyatakan bahwa apa yang dinamakan hukum itu

adalah merujuk pada hukum negara yang berlaku sama bagi setiap orang. Ia

bersifat seragam, bersifat eksklusif terhadap hukum yang lain, dan dijalankan oleh

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

29

institusi negara.27

Lebih lanjut Griffiths menyatakan bahwa kecenderungan

terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi

sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law)

dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law)

dalam suatu komunitas masyarakat. Pluralisme hukum digunakan sebagai alat

analisa untuk memahami dua atau lebih sistem hukum.28

Lebih lanjut Pluralisme

hukum menurut Griffith adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu

tatanan hukum dalam suatu arena sosial “legal pluralism as that state of affairs,

for any social field, in which behavior pursuant to more than one legal order

occurs”.29

Pemikiran mengenai adanya pluralisme hukum dimunculkan sebagai

tanggapan atas adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang

menyatakan bahwa hukum adalah, dan sudah seharusnya merupakan, hukum

Negara, berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari

semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga

Negara.

27

Myrna A, Safitri 2011, Dalam Untuk Apa Pluralisme Hukum Konsep, Regulasi, Negosiasi

Dalam Konflik Agraria Di Indonesia, Epistema Institute, Jakarta, h. 7 28

Andiko, “Upaya tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di

Indonesia” Dalam Myrna A. Safitri Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan

Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Epistema Institute, Jakarta, h. 58 29

J Griffitths, 1986, What is Legal Pluralism. Journal Of Legal Pluralism and Unofficial

Law.number 24/1986; Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralism, h. 1

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

30

Menurut Griffith:30

“….Law is and should be the law of the state, uniform for all persons,

exclusive of all other law, and administered by a single set of state

institutions”

Menurut Griffith pluralism dan sentralisme hukum merupakan dua kutub

yang secara tegas saling berhadapan.31

“Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an

illusion”.

Menurut Massimo La Torre:

Legal pluralism mean a multiplication and differentiation of the sources of

law or-said differently-of the varios arguments which justify a certain course

of action or specific legal decision.32

Teorinya Griffiths yang mengemukakan konsep pluralisme hukum sebagai

suatu lapangan sosial yang didalamnya terdapat lebih dari satu tatanan hukum (in

social field of more than one legal order).33

Teori Pluralisme Hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua

macam, yaitu pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) dan pluralisme yang

kuat (strong legal pluralism).34

Pluralisme hukum yang lemah merupakan bentuk

lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam

kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum

30Sulistyowati Irianto,2001, Kesejahteraan Sosial Dalam Sudut Pandang Pliralisme Hukum

(Suatu Tema Non Sengketa Dalam Perkembangan Terakhir Antropologi Hukum Tahun 1980-

1990-an) dalam T.O Ihromi Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta, h. 243

31ibid

32

Ida Bagus Wyasa Putra, 2013, Legal Theory a compilation by Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,

Pusat Kajian Hukum Dan Ideologi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 193

33I Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam Pengakuan

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Ringkasan Disertasi Program

Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 27

34Lidwina Inge Nurtjahyo, “Menelusuri Perkembangan Kajian Pluralisme Hukum Di

Indonesia” Dalam Myrna A. SafitriUntuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan

Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Epistema Institute, Jakarta, h. 35.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

31

yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara

itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hirarki sistem hukum

negara.

Salah satu contoh penerapan pluralisme hukum lemah adalah konsep yang

diajukan Hooker yang mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum. Menurut

Hooker, pluralisme hukum mengacu pada situasi dimana dua atau lebih hukum

saling berinteraksi. Situasi pluralisme hukum adalah suatu pertemuan antara dua

atau lebih kebudayaan (dalam hal ini hukum) yang mengakibatkan konflik

mengenai prinsip-prinsip menjadi hal yang sangat biasa. Dalam hal ini terjadi

pertentangan, yaitu antara apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem

yang dominan (hukum Negara) dengan apa yang disebutnya sebagai “servient

law” yang inferior seperti kebiasaan dan hukum agama. 35

Pluralisme hukum kuat merupakan bentuk dari kemajemukan sistem hukum

dalam masyarakat namun semuanya dipandang sama kedudukannya. Tidak ada

hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum

yang lainnya. Teori living law yang dikemukakan Eugene Ehrlich merupakan

salah satu contoh dari penerapan pluralisme hukum kuat. Ehrlich menyatakan

aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif dikontraskan dengan hukum

negara.

Konflik hukum negara dengan hukum rakyat adalah bentuk kesenjangan atau

bahkan konflik kebudayaan antara pembentuk dan pengemban hukum. Tanpa

35Andiko, op.cit. h. 244.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

32

upaya mendamaikan keduanya maka dalam banyak hal hukum negara tidak

berjalan efektif.36

Terdapat berbagai cara mengkaji pluralisme hukum ini: memetakan berbagai

hukum yang ada dalam suatu bidang sosial, utamanya hukum negara dan non –

negara; menjelaskan relasi, adaptasi, kompetisi antar sistem hukum; pilihan

individual warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik, interaksi

global, nasional dan lokal yang memengaruhi relasi antar hukum.37

Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki

otonomi dalam mengatur dirinya, harus tunduk kepada Pancasila dan Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.38

Eksistensi desa pakraman ini

diakui Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut ketentuan

Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Moh. Mahfud MD mengatakan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat

hukum adat ini mengandung empat konsekuensi.39

Pertama, kesatuan masyarakat

hukum adat dapat bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat

melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat

pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya

negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu

36Andiko, op.cit, h. 4

37

ibid, h. 5

38

I Wayan Surpha, 2012, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar,

(Selanjutnya disebut I Wayan Surpha I), h. 57

39

Moh. Mahfud MD, 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD

1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah Disampaikan pada Seminar Awig-Awig II,

Pemberdayaan Awig-Awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang

Sejahtera”, Bali, 30 September 2010.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

33

sebagai kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap

struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata

negara adat setempat.

Kusumadi Pudjosewojo memberi pengertian yang berbeda antara masyarakat

hukum dan masyarakat hukum adat.40

Masyarakat hukum adalah suatu

masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri.

Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan

di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh

penguasa yang lebih tinggi. Rasa solidaritas para anggotanya sangat besar dan

memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar, serta sumber

kekayaan yang ada di wilayahnya hanya dapat dipakai oleh anggota. Struktur

persekutuan hukum ini menurut Soepomo dapat dibedakan berdasarkan pengikat

anggota persekutuan, yakni faktor genealogis (pertalian keturunan yang sama),

faktor teritorial (lingkungan daerah yang sama), dan genealogis teritorial

(campuran keduanya).41

Persekutuan hukum berdasarkan teritorial banyak dijumpai di Bali dan

dikategorikan persekutuan desa. Ada sesuatu yang khas di Bali karena mengenal

istilah desa dinas dan desa pakraman. Desa pakraman merujuk kepada organisasi

sosial yang berdasarkan aturan adat sedangkan desa dinas merupakan organisasi

40I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa,

Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111

41ibid, h. 112.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

34

birokrasi yang berstruktur.42

Kadangkala ada ketergantungan dari dua bentuk desa

ini. Masyarakat adat sangat mematuhi hukumnya sesuai dengan corak tersebut.

Masalah kepatuhan hukum dalam hukum adat, secara analitis dapat dibedakan

menjadi tiga kategori kepatuhan dilihat dari faktor penyebabnya.43

Ketiga

kategori tersebut adalah kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena

pemimpin-pemimpin masyarakat yang memerintahkannya, kepatuhan pada

hukum adat yang disebabkan karena lingkungan sosial menghendakinya, dan

kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena seseorang menganggapnya

sebagai sesuatu yang sebanding atau adil.

Dalam ruang lingkup internasional, pengaturan mengenai masyarakat adat

ditemukan dalam Pasal 25 United Nation Declaration on the Rights of Indigenous

People (UNDRIP) yaitu Deklarasi PBB tentang Masyarakat Asli/Adat,

“masyarakat adat memiliki hak mempertahankan dan untuk mengembangkan

hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah,

teritori, air, dan wilayah lepas pantai dan sumber-sumber lainnya yang

meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.”44

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi

mengedepankan dikotomi antara sistem hukum Negara (state law) di satu sisi

dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi

yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih

42Warren, 1993, Adat and Dinas Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford

University Press, New York, h. 22.

43

Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 339.

44Wayan P. Windia, dkk, 2013, Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali, Udayana

University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia II) h.10.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

35

menekankan pada interaksi danko-eksistensi berbagai sistem hukum yang

mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.

Dalam mengkaji permasalahan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di

Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan penulis

mempergunakan teori pluralisme hukum.

1.7.5. Teori Semi – Autonomus Social Field

Teori yang juga relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Teori yang

diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompok-

kelompok sosial (socialfield) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme

pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa.

“Bidang yang kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturan-

aturan dan adat istiadat serta simbol-simbol berasal dari dalam. Dilain pihak,

bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan

kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.”45

Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki

kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan

adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Namun, ketika

berhubungan dengan masyarakat luar, mereka memahami adanya kesadaran untuk

tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum

negara.

45Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom

sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah

Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.150

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

36

Walaupun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana

untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku

dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain

perlu adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat,

mereka wajib tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok

yang lebih besar.

Van Vollenhoven menjelaskan bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang

perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan

susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang dikuasai oleh

hukum itu hidup sehari-hari.46

Soepomo kemudian mengemukakan penguraian

tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang

dogmatik, melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat

yang bersangkutan.47

Dari kedua pendapat ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang

mengembangkan hukum adat ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts

Gemeenschapen). Persekutuan hukum atau masyarakat hukum ini didefinisikan

sebagai kelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam susunan

yang teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan ini bersifat abadi,

memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun

tidak berwujud.

Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain

hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut

46Tolib Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta,

Bandung, h.75

47

ibid.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

37

serta dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai

prajuru (pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan

tunduk serta taat kepada peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman, yakni

awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.48

Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig

memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan,

awig-awig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai

hukum adat juga serba jelas.49

Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan

visual (dapat diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut

hukum adat terjadi jika telah ada tanda-tanda pengikatnya yang nyata.

Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki

aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara

karena desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara

sebagai kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri

(otonomi) tidak bisa diberlakukan secara penuh.

Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B

ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari

48ibid.,h.56-57

49

Otje Salman Soemadiningat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,

Bandung, h. 118

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

38

Carrol Warren yaitu respon dari pemerintah pusat untuk masalah atau kasus dari

daerah atau lokal adalah domain lokal.50

“indications of responsiveness from central government to the claims of the

local suggest revival of interest in adat beyond the local domain”.

Jika semua persyaratan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sudah dipenuhi oleh desa pakraman, maka

negara pun mengakui eksistensi desa pakraman berikut awig-awignya. Karena

itulah desa pakraman disebut sebagai kesatuan masyarakat yang semiotonom

(semiautonomous social fields) karena tetap harus tunduk kepada aturan dari luar

desa pakraman, yakni negara.

Dalam mengkaji permasalahan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di

Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan penulis

mempergunakan teori Semi Autonomus Social Field.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

“Ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah

sifatnya yang normatif”.51

Dalam kajian normatif hendaklah berpegang pada

tradisi keilmuan hukum itu sendiri”.52

Penelitian hukum normatif disebut juga

penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law

in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang

50Carrol Warren, 2000, Adat And The Discourses Of Modernity In Bali In To Change Bali

Essay In Honour Of I Gusti Ngurah Bagus Edited By Adrian Vickers and I Nyoman Darma Putra

with Michele Ford, Bali Post in association with the Institute of Social Change and Critical

Inquiry,Denpasar, h. 10

51

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada

University Press,Yogyakarta, h. 1

52

ibid. h. 5

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

39

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas53

. Sesuai dengan

permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum

normatif.“ Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.54

Penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka

atau disebut juga penelitian hukum studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan

dengan mengkaji dan menganalisis bahan hukum berupa bahan hukum primer,

sekunder maupun tertier yang terkait dengan retribusi jasa umum.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan

tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai

permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan terhadap permasalahan dalam tesis ini menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual

approach) dan pendekatan histori (historical approach). Pendekatan perundang-

undangan dilakukan dengan cara menganalisis berbagai peraturan perundang-

undangan mengenai retribusi jasa umum. Pendekatan perundang-undangan

dilakukan dengan maksud untuk mengetahui makna yang terkandung dalam

peraturan perundang-undangan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

53Amiruddin dan Zainal Asikin, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 118

54

Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publising, Malang, h. 57

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

40

Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan cara

menganalisis berbagai konsep dan pengertian tentang retribusi jasa umum dan

Majelis Madya Desa Pakraman.

Pendekatan Histori (historical approach) dilakukan dengan cara menganalisis

berbagai konsep sejarah tentang Desa Pakraman dan Majelis Madya Desa

Pakraman.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder

bahan kepustakaan. Adapun bahan hukum yang akan dijadikan sumber penelitian

kepustakaan ini dalam sudut kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi tiga

yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam

penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan, yaitu :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).

3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5049).

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5234).

5. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013

Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5475).

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

41

6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495).

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor

244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5587) sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).

8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan

Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4737).

9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3

Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.

10. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 tahun 2011 Tentang

Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan

Akta Catatan Sipil ( Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011

Nomor 21 )

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, yang meliputi hasil-hasil penelitian, buku-buku, dokumen-

dokumen yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

Denpasar.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yang meliputi:

1. Kamus hukum

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaahan kepustakaan (study

document). Telaahan kepustakaan dilakukan dengan system kartu (cardsystem)

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah · 2017. 4. 1. · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan

42

yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi

yang diperoleh dari bahan primer, sekunder dan tertier.

Bahan hukum sekunder diperoleh dari kepustakaan dan penelitian kasus

dimana penelitian kasus berguna dalam memberikan latar belakang yang lebih

luas mengenai pokok penelitian serta memberikan penjelasan yang lebih konkrit

berkaitan dengan permasalahan yang ada.

1.8.5. Teknik Analisis

Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan

teknik analisis dengan tahapan sebagai berikut: Tahapan pendeskripsian atau

penggambaran yaitu dengan menguraikan proposisi-proposisi hukum sesuai

pokok permasalahan yang dikaji untuk selanjutnya dilakukan interpretasi. Untuk

selanjutnya dilakukan tahap sistematisasi yaitu berupa upaya-upaya mencari

kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara perundang-

undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Dan tahapan yang terakhir

adalah Evaluasi atau analisis yaitu dengan memberi penilaian berupa tepat atau

tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh

peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan

hukum sekunder. Hasil penerapan dari keempat tahapan tersebut kemudian

diberikan argumentasi hukum untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan

yang akan dibahas dalam tesis ini.