53
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perang Dunia II merupakan perang dengan tingkat fatalitas tertinggi sepanjang sejarah. 1 Overy (2015: 6) memperkirakan bahwa akumulasi korban dari masyarakat sipil dan pihak militer pada Perang Dunia II mencapai angka 55 juta jiwa. Berbeda dengan mayoritas perang lainnya, Perang Dunia II merupakan salah satu perang unik yang jumlah fatalitasnya didominasi oleh masyarakat sipil. Menurut Bessel (2015: 322–324), kelaparan dan pemboman area padat penduduk merupakan penyebab utama yang meningkatkan jumlah kematian masyarakat sipil pada Perang Dunia II. Fenomena ini dapat dipahami dari ke-total-an Perang Dunia II yang garis depan pertarungan militernya tidak memiliki batasan pasti atau berarti. Tentunya, statistik dan angka-angka yang melaporkan jumlah korban tidak mengilustrasikan secara lebih dekat level destruksi moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Perang Dunia II tercatat sebagai kejadian yang dipenuhi oleh berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Kejadian ini berlanjut hingga beberapa waktu setelah Perang Dunia II berakhir. Uji coba senjata biologi terhadap manusia, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan massal merupakan beberapa bentuk dari kejahatan kemanusiaan yang dapat ditemui secara luas pada Perang Dunia II dan 1 Lihat, Richard Bessel, "Unnatural Deaths", The Oxford Illustrated History of World War II , Richard Overy (Ed.), Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 323. 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/93925/potongan/S2-2016...BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perang Dunia II merupakan perang dengan tingkat

  • Upload
    vuanh

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perang Dunia II merupakan perang dengan tingkat fatalitas tertinggi

sepanjang sejarah.1 Overy (2015: 6) memperkirakan bahwa akumulasi korban dari

masyarakat sipil dan pihak militer pada Perang Dunia II mencapai angka 55 juta jiwa.

Berbeda dengan mayoritas perang lainnya, Perang Dunia II merupakan salah satu

perang unik yang jumlah fatalitasnya didominasi oleh masyarakat sipil. Menurut

Bessel (2015: 322–324), kelaparan dan pemboman area padat penduduk merupakan

penyebab utama yang meningkatkan jumlah kematian masyarakat sipil pada Perang

Dunia II. Fenomena ini dapat dipahami dari ke-total-an Perang Dunia II yang garis

depan pertarungan militernya tidak memiliki batasan pasti atau berarti.

Tentunya, statistik dan angka-angka yang melaporkan jumlah korban tidak

mengilustrasikan secara lebih dekat level destruksi moral, etika, dan nilai-nilai

kemanusiaan lainnya. Perang Dunia II tercatat sebagai kejadian yang dipenuhi oleh

berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Kejadian ini berlanjut hingga beberapa

waktu setelah Perang Dunia II berakhir. Uji coba senjata biologi terhadap manusia,

pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan massal merupakan beberapa bentuk dari

kejahatan kemanusiaan yang dapat ditemui secara luas pada Perang Dunia II dan

1 Lihat, Richard Bessel, "Unnatural Deaths", The Oxford Illustrated History of World War II, RichardOvery (Ed.), Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 323.

1

beberapa saat setelah ia berakhir. Melalui akses yang disediakan oleh Nazi pada

Perang Dunia II di kamp konsentrasi Auschwitz, Josef Mengele—dokter Jerman yang

dijuluki “Angel of Death” [malaikat kematian]—bersama dengan Eduard Wirths

(pimpinannya) dan sekitar 30 dokter Nazi lainnya melakukan ratusan eksperimen

terhadap etnis Yahudi, Jipsi, dan berbagai kelompok lainnya yang berakhir dengan

kematian (United States Holocaust Memorial Museum, “Josef Mengele”, 2015).

Eksperimen-eksperimen tersebut berupa: pembunuhan yang bertujuan untuk

mendapatkan mayat sebagai bahan penelitian, penginfeksian manusia dengan

penyakit yang mematikan, pengoperasian tanpa obat bius, dan berbagai bentuk

praktek medis lainnya yang tidak etis (Ibid.). Blumenthal (1999) mengatakan bahwa

Jepang—meskipun jarang mendapatkan sorotan sebanyak Jerman dan Mengele dalam

hal eksperimen tidak etis terhadap manusia—merupakan negara yang melahirkan

ratusan Mengele. Ia (Ibid.) menyampaikan bahwa unit 731 Jepang—yang

dikomandokan oleh Shiro Ishii—telah melakukan eksperimen-eksperimen yang

bertujuan untuk membuat senjata biologi dengan menggunakan manusia sebagai

kelinci percobaan. Di samping itu, berkenaan dengan penyiksaan dan pembunuhan

massal, Holocaust dan tragedi The Rape of Nanking adalah dua dari beberapa

kejadian genosida yang selalu mendominasi pembicaraan mengenai kejahatan

kemanusian yang dilakukan oleh pihak Axis (Jepang, Jerman, dan Italia) pada Perang

Dunia II.2

2 Lihat, Richard Bessel, "Unnatural Deaths", The Oxford Illustrated History of World War II, RichardOvery (Ed.), Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 328-332.

2

Namun, kejahatan kemanusiaan tidak hanya berasal dari pihak Axis. Sekutu

(Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, dan Uni Soviet) juga tercatat sebagai pihak yang

bertanggung jawab atas beberapa kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II dan

beberapa saat sesudahnya. Lablanca (2015: 99) mengatakan bahwa, setelah tentara

Jerman dipukul mundur dari Italia, beberapa tentara Amerika, Perancis, dan Inggris

melakukan pemerkosaan dan kejahatan lainnya terhadap masyarakat Italia. Peristiwa

yang sama dengan skala yang lebih besar juga terjadi ketika tentara Uni Soviet

berhasil mengokupasi Jerman. Bessel (2015: 335) mengatakan bahwa penyerangan

terakhir Uni Soviet terhadap Jerman diwarnai oleh “...an orgy of arson, rape, and

murder” [...pesta pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan].

Dari berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan, prosekusi dan pengusiran

berbagai kelompok masyarakat dengan basis prejudis yang bersifat rasial, nasional,

dan kultural merupakan praktek kejahatan kemanusiaan yang kerap ditemui pada

Perang Dunia II dan beberapa saat setelah ia berakhir. Sebagaimana yang telah

disampaikan sebelumnya, genosida kelompok Yahudi oleh Nazi adalah kejadian yang

sering terdengar ketika Perang Dunia II menjadi topik diskusi. Tetapi, walaupun tidak

mengikutsertakan pembunuhan massal, ada beberapa prosekusi yang dilakukan oleh

pihak Sekutu terhadap beberapa kelompok masyarakat dengan basis prejudis. Cook

(2011: 9) melaporkan bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas penangkapan

paksa yang bertentangan dengan hak azazi manusia dan tidak konstitusional terhadap

masyarakatnya yang berasal dari etnis Jepang. Selain itu, Bessel (2015: 335–336)

menyampaikan bahwa ada sekitar 12 juta masyarakat keturunan Jerman yang diusir

3

dari beberapa negara Eropa setelah Perang Dunia II dimenangkan oleh pihak Sekutu.

Menurutnya (2015: 336), peristiwa ini mengakibatkan kematian sebanyak 500 ribu

jiwa. Sebagian dari mereka ditangkap oleh Uni Soviet dan meninggal di Gulag dan

sebagiannya lagi meninggal karena kelaparan, malnutrisi, penyakit, dan kedinginan

(Ibid.). Cook (2011: 10) mengatakan bahwa pengusiran masyarakat keturunan Jerman

secara besar-besaran yang berakhir fatal tersebut merupakan aksi retribusi terhadap

Nazi Jerman yang disponsori oleh pihak Sekutu. Ironisnya, prejudis yang

memunculkan kejadian ini memiliki kemiripan dengan prejudis yang mendorong

Nazi untuk melakukan pembersihan etnis Yahudi dan beberapa etnis beserta

kelompok masyarakat lainnya. Tentunya, kejadian ini berbeda dengan genosida Nazi

terhadap kaum/etnis Yahudi, Jipsi, dan kelompok lainnya yang terlihat dari

keterstrukturan dan keterorganisirannya.3

Di samping itu, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tawanan perang

oleh kelompok Sekutu merupakan kompleksitas lain yang membuat Perang Dunia II

tidak bisa dilihat hanya sebagai perang antara kekuatan baik dan buruk atau

pembebas dan penjajah. Bacque (1997: 40) menyatakan bahwa kematian 1,5–2 juta

tawanan perang (tentara Nazi) dari tahun 1941 hingga tahun 1950 adalah pengaruh

langsung dari kebijakan Jendral Eisenhower yang melarang dan mengancam

masyarakat sipil Jerman dengan hukuman mati jika mencoba untuk memberikan

bantuan kebutuhan sehari-hari dan makanan kepada tawanan perang.

3 Di dalam bukunya The Holocaust, Martin Gilbert memaparkan kronologi pembersihan etnis yahudioleh Nazi Jerman; mulai dari bibit anti-semit yang telah ada selama dua milenia lebih sampaikepada pengorganisiran kamp-kamp kerja paksa dan pembunuhan massal. Lihat, Martin Gilbert.The Holocaust. RosettaBooks LLC. 2014. (Edisi elektronik)

4

Lebih jauh, masyarakat sipil juga terlibat dalam membuat permasalahan moral

dan kemanusian pada Perang Dunia II menjadi lebih rumit. Salah satu contohnya

adalah ketika tentara Amerika membebaskan para tawanan kamp konsentrasi di

Dachau. Zarusky (di dalam Benz dan Distel, 2002: 156–157) mengatakan bahwa,

dalam kurun waktu 24 jam, para bekas tawanan kamp konsentrasi Dachau—dengan

dipersenjatai oleh pihak Amerika—membunuh dan menyiksa sekitar 50 sampai 55

penjaga kamp yang sebelumnya menyiksa mereka. Tidak bisa disangkal, aksi para

masyarakat sipil tersebut merupakan sebuah reaksi terhadap perlakuan yang mereka

terima sebelumnya. Namun, selain melanggar konvensi Jenewa tahun 1929,4

peristiwa ini juga mengilustrasikan dalamnya level dehumanisasi perang terhadap

manusia dan bagaimana prinsip-pripsip moral bisa hilang begitu saja.

Dengan kehancuran fisik, psikis, dan moral yang disebabkan oleh Perang

Dunia II, sentimen-sentimen nihilisme5 yang muncul setelahnya merupakan

fenomena yang natural. Perang Dunia II mengaburkan perbedaan antara konsep

pembebas dan penjajah, menjadikan penerapan ide-ide tentang keadilan, moral, dan

etika dasar kemanusiaan sebagai relik sejarah, menekankan bahwa kehidupan

manusia adalah hal yang tidak berharga, menyuarakan ketidak-relevan-an makna dan

4 Mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, Kovensi Jenewa tahun 1929, Bagian I: KetetapanUmum - Artikel 2 mengatakan bahwa tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi,dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan penghinaan, dan tidak boleh dijadikan sebagaitontonan/sorotan massa. Selain itu, aksi pembalasan dendam terhadap mereka dilarang. Lihat,Geneva Convention, 27 July 1929, Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.Geneva, diakses pada 19 Januari 2015, http://www.icrc.org/ihl.nsf/52d68d14de6160e0c12563da005fdb1b/eb1571b00daec90ec125641e00402aa6.

5 Childs mengatakan bahwa nihilisme adalah skeptisisme ekstrim yang menolak segala nilai dankepercayaan yang ada. Lihat, Peter Childs, Modernism (Edisi ke 2), New York: Routledge, 2008,hlm. 220.

5

tujuan hidup, dan tentunya menegaskan bahwa kematian adalah hal yang nyata dan

bisa menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Secara singkat, Perang Dunia

II memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mempunyai akar yang

kuat secara metafisika dan tidak berdaya di dunia fisik.

Fenomena meluasnya kemunculan pandangan-padangan nihilistik pasca

Perang Dunia II dapat dilihat di dalam gerakan sastra 'the theater of the absurd'6

[Teater Absurd] yang didominasi oleh para penulis seperti Samuel Beckett, Eugène

Ionesco, dan Harold Pinter. Menurut Styan (1981: 125–126), gerakan Teater Absurd

adalah manifestasi negatif dari filsafat eksistensialisme Sartre dan absurdisme Camus.

Ia (Ibid.) juga mengatakan bahwa Teater Absurd merupakan sebuah gerakan

kesusastraan yang berusaha untuk menanggapi kebrutalan dan kehancuran akibat

perang—yang baru saja melanda dunia pada waktu itu—melalui pandangan-

pandangan nihilistiknya. Reaksi ini terlihat di dalam kisah-kisah para manusia absurd

yang secara eksklusif mendominasi jenis teater ini. Menurut Ionesco (di dalam Esslin

1961: 23), manusia absurd adalah manusia yang tidak memiliki tujuan, terputus dari

pondasi-pondasi agama, kepercayaan, transendental, dan metafisika. Jadi, ia adalah

orang yang telah kehilangan semua aspek yang membuat hidupnya bermakna.

Kondisi ini tentunya membuat segala tindakannya terlihat tidak masuk akal, aneh, dan

tidak berguna. Selain itu, Menurut Esslin (1961: 7), aspek lain yang diketengahkan

oleh Teater Absurd di dalam menyampaikan ide-idenya adalah ketidakmungkinan

6 Nama the theater of the absurd (Teater Absurd) diperkenalkan pertamakali oleh Martin Esslin didalam essai-nya yang berjudul The Theater of the Absurd pada tahun 1960. Lihat, Michael Y.Bennett, Reassessing the Theatre of the Absurd: Camus, Beckett, Ionesco, Genet, and Pinter, NewYork: Palgrave Macmillan, 2011, hlm. 2.

6

komunikasi karena tidak adanya alat untuk berkomunikasi atau setidaknya bahasa

yang fungsional secara semantik antar karakter-karakternya. Berdasarkan penjelasan

ini, bisa pahami, Teater Absurd berambisi untuk menghadirkan dan melihat

kekacauan dan kekosongan secara dekat.

Walaupun Teater Absurd bisa dikatakan berhasil dalam menggambarkan

keresahan eksistensial masyarakat pasca-perang, berkaitan dengan relevansinya

selaku komentator terhadap krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh Perang Dunia

II dan salah satu objek diskusi untuk meraih pemahaman alternatif, intensif, maupun

komprehensif tentang makna eksistensi kehidupan manusia berdasarkan hubungannya

dengan kejadian apokaliptik Perang Dunia II, Teater Absurd hanya terlihat seperti

proyeksi fase depresi ekstrim kolektif yang dialami oleh sebagian besar umat manusia

(terutama masyarakat Eropa) pasca Perang Dunia II. Sayangnya, ia memperlakukan

fakta situasional tersebut sebagai kebenaran yang stabil. Penjelasan ini

memperlihatkan bahwa potensi kontribusinya di dalam diskusi makna eksistensi

kehidupan manusia dan hubungan dinamisnya dengan Perang Dunia II menjadi

sangat terbatas. Dengan menekankan pembicaraan mengenai ketidakmungkinan

tercapainya makna melalui formatnya, Teater Absurd hilang di dalam obsesinya untuk

mengeksplorasi kekosongan, kebingungan, dan ke-absurd-annya sendiri.

Maka, tidak mengherankan jika Teater Absurd—dengan kekacauan logikanya,

keanehan karakter-karakternya, dan lelucon-leluconnya yang cenderung slapstik—

hanya menikmati popularitas selama kurang lebih sepuluh tahun. Styan (1981: 145)

mengatakan bahwa absurditas vulgar di dalam Teater Absurd tidak memiliki masa

7

depan dan potensi untuk dikembangkan di dalam dunia teater secara teknis.

Naratifnya berhenti dengan kekosongannya.

Namun, tidak bisa dipungkiri, dengan waktu yang cukup singkat, Teater

Absurd mampu menarik perhatian para kritikus dan audiens yang antusias secara

cukup luas. Meskipun bersifat oksimoronik dengan semangat absurdis yang

ditampilkan oleh formatnya, Teater Absurd mengundang pembacaan-pembacaan

hermeneutik dari para kritikus yang menginterpretasikan naratif kekosongan sebagai

naratif parabolik atau alegoris yang menuntut manusia untuk lebih sadar dan

mengandalkan dirinya sebagai pemberi makna eksistensi kehidupannya tanpa

dipengaruhi oleh tekanan-tekanan konformitas.7 Ironisnya, pandangan ini memiliki

nada keharusan dan bentuk konformitas lain. Ambisinya untuk menolak keteraturan,

kepastian, transendentalisme, dan bahasa berakhir dengan sebuah kesatuan

pandangan mengenai realitas yang memunculkan kodifikasi-kodifikasi tentang

identitas ideal dan regulasi-regulasi tentang bagaimana mencapainya. Tetapi,

walaupun tanpa reduksi atau transendentalisasi dari interpretasi para kritikus, Teater

Absurd tetap merupakan sebuah gerakan yang memiliki pandangan terpusat tentang

esensi dari realitas eksistensi manusia. Penekanan karya-karya Teater Absurd

terhadap pandangan yang mengatakan bahwa Yang Absurd merupakan kebenaran dan

makna tidak bisa dicapai, tentunya, mensubversi klaim-klaimnya sendiri.

7 Esslin berpendapat bahwa Teater Absurd memberikan pencerahan kepada manusia dengan caramemaksanya untuk menghadapi absurditas eksistensi tanpa ilusi nilai-nilai besar dan membebaskanmanusia dari berbagai tuntutan yang menyesatkan. Lihat, Martin Esslin, The Theater of the Absurd,London: Publishing Limited, 2001 (Pertamakali terbit: 1961), hlm. 398-399.

8

Pandangan absurdisme yang monolitis ini dan kepopuleran Teater Absurd

membuat sastra membutuhkan karya yang bisa menstimulasi kemunculan pandangan-

pandangan yang lebih dinamis dalam membicarakan permasalahan eksistensi

manusia dan kemanusiaan di bawah pengaruh efek destruktif Perang Dunia II dan

potensi perang nuklir pasca Perang Dunia II. Karya-karya yang memperlakukan

naratifnya sebagai tunggangan untuk memproyeksikan pandangan atau ideologi

tertentu hanya akan terjerat dalam satu ide total—baik itu diskursus absurdisme

Teater Absurd maupun diskursus eskapisme sastra populer—yang menutup elemen-

elemen kemanusiaan lainnya yang patut untuk diperbincangkan. Di samping itu,

karya-karya yang sibuk dengan suatu epos tertentu di dalam sejarah manusia

cenderung berujung kepada kesimpulan yang statis mengenai eksistensi manusia dan

persepsi tentang makna kehidupan. Maka, karya yang dibutuhkan adalah karya yang

tidak terjerat oleh pandangan ideologisnya sendiri atau dibutakan oleh naratif-naratif

besar sejarah kemanusiaan yang bersifat didaktik dalam menggiring interpretasi

audiensnya. Dengan kata lain, sastra membutuhkan karya dengan bahasa baru yang

tidak terikat oleh konsep waktu linear di dalam perspektif metafisika.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, di dalam penelitian ini, novel

Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut, Jr dipandang memiliki kompleksitas yang

berpotensi untuk mengembangkan diskusi tentang pemahaman efek dan hubungan

Perang Dunia II dengan pandangan manusia tentang makna diri dan kehidupan secara

luas. Bloom (2007: 49) mengatakan bahwa, di dalam novel ini, Vonnegut mampu

memberikan gambaran yang menarik tentang pandangan dunia yang apatis dan

9

berhasil memberikan pembelaan yang imajinatif tentang apatisme dan penarikan diri

agar audiensnya tidak serta merta menerima apatisme dan penarikan diri tersebut. Ia

(2007: 15) juga mengatakan bahwa novel ini mengundang sinisme, kelembutan,

keterkaitan dan keberjarakan, keseriusan dan ironi. Jadi, bisa dilihat, Slaughterhouse-

Five mampu menginisiasi ide-ide dan impresi-impresi emosional dari dua polar yang

berlawanan.

Slaughterhouse-Five terinspirasi dari pengalaman Vonnegut ketika menjadi

seorang prajurit yang berperang melawan tentara Jerman pada Perang Dunia II dan

tahanan perang di Dresden.8 Ia menyaksikan kehancuran kota tersebut oleh serangan

bom besar-besaran dari pasukan udara Inggris dan Amerika.9 Sebelum menceritakan

kehidupan karakter utamanya, Vonnegut, dengan gaya metafiksi, memasukan dirinya

kedalam cerita dan menggunakan Bagian I sebagai latar belakang dari penulisan

Slaughterhouse-Five, yang diklaimnya sebagai “more or less”10 kejadian nyata.

Bagian I memuat segala kegelisahan Vonnegut terhadap keputusannya dalam menulis

Slaughterhouse-Five; mulai dari pertanyaan kompleks tentang nilai etis dari motivasi

pribadi penulisan novel, ketidaksempurnaan memorinya dalam mengingat kejadian-

kejadian yang hendak ditulis, sampai kepada tendensi sastra yang selalu mengundang

romantisisme dan mendistorsi intensi pengarang.11 Keraguan-keraguan tersebut

tampaknya menggiring Vonnegut dalam meceritakan kisah kehidupan Billy Pilgrim

8 Lihat, Harold Bloom, Bloom's Guide: Kurt Vonnegut's Slaughterhouse-Five, New York: InfobasePublishing, 2007, hlm. 7.

9 Lihat, Ibid.10 Lihat, Kurt Vonnegut, Jr, Slaughterhouse-Five, New York: Dial Press Trade Paperback, 2009

(Pertamakali terbit: 1969), hlm. 1.11 Lihat, Vonnegut, hlm. 1-33

10

yang sarat akan hiruk-pikuk, keheningan, kejadian-kejadian yang fantastis, kejadian-

kejadian yang banal, kekacauan, keteraturan, kehidupan, dan kematian.

Cerita sentral Slaughterhouse-Five adalah tentang kisah petualangan hidup

Billy Pilgrim yang, kalau dirangkum, bisa terlihat sangat sensasional; berperang pada

Perang Dunia II melawan Jerman, mengalami waktu secara acak, diculik dan

dijadikan objek penelitian sains oleh para alien yang menamakan dirinya

Tralfamadorian.12 Tetapi, dengan gaya penulisan yang deklaratif, karakter utama yang

pasif, dan alur cerita non-linear (dengan pengaplikasian gaya penulisan distorsi

temporal) yang menghapus suspense, pengalaman-pengalaman luar biasa Billy

Pilgrim tersebut tidak memiliki daya mistis dan terkesan tidak bermakna.

Sebagai fiksi dengan latar Perang Dunia II dan peristiwa pemboman Dresden,

Slaughterhouse-Five memiliki pandangan tentang Yang Absurd sebagaimana

absurdisme dan Teater Absurd. Di dalam novel ini, penyebab kemunculan Yang

Absurd adalah sifat deterministik dunia. Determinisme mengimplikasikan makna

absolut yang dapat menghapus makna eksistensi manusia yang, sama dengan bahasa

dan teks, bergantung kepada apa yang dikatakan oleh Derrida dengan differance;

differensiasi dan penangguhan.13 Determinisme menghambat sifat penangguhan di

dalam bahasa yang memungkinkan kemunculan persepsi terhadap makna. Ia

menghancurkan potensi permainan teks yang bergantung kepada mistifikasi dan

12 Lihat, Vonnegut, hlm. 29-32.13 Di dalam bahasa, persepsi tentang makna muncul karena sesuatu dianggap berbeda dengan hal

yang lain. Namun, tanpa penangguhan (temporalisasi) dan tanpa kehadiran dari ketidakhadiransang lain yang dimunculkan di dalam rasa kekinian, persepsi tentang makna tidak akan ada. Maka,persepsi terhadap makna berasal dari differensiasi dan penangguhan. Lihat, Niall Lucy, A DerridaDictionary, Malden: Blackwell Plublishing, 2004, hlm. 27.

11

ketidakpastian. Pandangan deterministik ini bisa dilihat sebagai penghancur makna

diri—yang dianggap memiliki potensi untuk berhubungan dengan tanda-tanda yang

tidak terbatas.

Tetapi, di dalam Slaughterhouse-Five, pandangan determinisme yang

didukung adalah determinisme linguistik. Sedangkan, dunia determinisme fisik yang

disampaikannya merupakan alegori bagi determinisme linguistik. Di dalam novel ini,

determinisme linguistik dianggap sebagai sumber dari kekerasan yang, dengan

impresi keutuhan dan keabsolutannya, membentuk realitas, subjek, dan bagaimana

manusia bertindak. “Kehadiran” dan kepenuhan yang dimpresikan oleh teks dan

bahasa membuat manusia mencoba untuk merealisasikan telos dari teks atau

diskursus yang “menghadirkan” dirinya sebagai kebenaran sejati. Ide-ide

transendental seperti naratif-naratif eskatologi, nasionalisme, patriotisme, dan

perjuangan kebenaran merupakan hasil permainan bahasa yang menimbulkan

kekerasan di dunia fisik melalui restriksi-restriksi, sistem pengeksklusian, dan

pemarginalan. Hal ini menimbulkan rantai kekerasan yang tidak berakhir. Di dalam

novel ini, Yang Absurd berasal dari potensi tidak berakhirnya kelahiran berbagai

bentuk perang yang membuat manusia-manusia dengan kekuatan kecil dan tidak

memiliki kemampuan untuk keluar dari naratif-naratif besar yang memunculkan

perang-perang tersebut terjerat di dalam realitas yang tidak diinginkannya dan harus

mengalihkan perhatian mereka kepada naratif-naratif pribadi untuk memaknai dan

memahami eksistensi diri yang hanya memproliferasi kekerasan yang diimposisikan

kepada mereka.

12

Tentunya, determinisme linguistik di dalam Slaughterhouse-Five berbeda

dengan determinisme yang dikandung oleh absurdisme atau naturalisme14. Keduanya

melihat determinisme sebagai hal stabil yang mengkondisikan manusia secara total.

Sedangkan, determinisme linguistik adalah determinisme artifisial yang fluid dan bisa

diubah karena bahasa hanyalah buatan manusia. Namun, hal ini sangat sulit terjadi

karena, menurut Derrida (1997: 7-8), fonosentrisme yang melahirkan metafisika

kehadiran—kepercayaan terhadap kepenuhan dan kehadiran melalui kekuatan suara

yang menampilkan efek didaktiknya melalui “hearing one self speaks”—telah

mengatur bagaimana manusia melihat dunia dan, sebagai akibatnya, membangun

dunia itu sendiri. Walaupun begitu, hal tersebut menunjukkan pergerakan

Slaughterhouse-Five dari pandangan metafisika yang terpusat sebagaimana

pandangan-pandangan absurdisme dan Teater Absurd. Di samping itu, karena ia

menolak pandangan konsep metafisika tentang waktu linear, Slaughterhouse-Five

melihat kehadiran Yang Absurd sebagai kehadiran yang fluktuatif. Dengan kata lain,

Yang Absurd diperlakukan sebagai pengalaman subjektif yang, meskipun

kevaliditasan kebenarannya tidak ditolak, bukanlah realitas utama. Tentunya, dengan

asumsi determinisme linguistik, semua realitas dianggap sebagai realitas artifisial dan

realitas yang sebenarnya dianggap sebagai hal yang tidak relevan karena ia tidak akan

pernah bisa diketahui atau menghadirkan dirinya. Bahkan, asumsi dan pertanyaan

terhadap “eksistensinya” hanyalah bagian dari permainan bahasa. Hal ini berbeda

14 Di dalam sastra, naturalisme adalah gerakan sastra yang menekankan determinisme biologis dansosial. Lihat, Childs, hlm. 220.

13

dengan pandangan absurdisme dan Teater Absurd yang melihat kehadiran Yang

Absurd sebagai kehadiran yang konstan dan realitas yang sebenarnya.

Selanjutnya, determinisme fisik (yang memperlihatkan keabsurdan eksistensi

Billy Pilgrim) yang kebenaran absolutnya disampaikan melalui Tralfamadorian (alien

yang bisa melihat waktu secara spasial) tidak sepenuhnya didukung. Di dalam novel

ini, Vonnegut terlihat menantang otoritas Tralfamadorian. Ia juga meninggalkan jejak-

jejak ketidakpastian dari klaim-klaim absolut yang dinyatakan oleh Tralfamadorian.

Melalui penjelasan-penjelasan sebelumnya, bisa dipahami, Slaughterhouse-Five

menampilkan dan mengakui kebenaran eksistensi Yang Absurd dan potensi

keabadiannya, namun ia juga menolak kebenaran absolutnya secara universal dan

potensi keabadiannya. Jadi, berbeda dengan absurdisme dan Teater Absurd,

Slaughterhouse-Five tidak menjadikan Yang Absurd sebagai kebenaran metafisika

yang absolut tanpa aspek temporal.

Peleburan antara yang fiktif dengan non-fiktif, distorsi temporal yang

menghapus linearitas, sifat paradoksikal pandangan determinisme linguistik,

interupsi-interupsi kematian di dalam kehidupan, dan imposisi aktualitas terhadap

artifisialitas (atau sebaliknya) di dalam Slaughterhouse-Five sesuai dengan konsep

pharmakon yang dikembangkan oleh Derrida. Secara singkat, konsep ini merujuk

kepada fungsi tulisan yang bisa menjadi obat/remedi dan racun bagi memori

manusia.15 Ia bisa dijadikan sumber pengingat (obat/remedi). Namun, ketergantungan

15 Lihat, Jacques Derrida, Dissemination., Terjemahan Barbara Johnson, London: The Athlone Press,1981, hlm. 103.

14

terhadapnya bisa menyebabkan kelemahan memori (racun). Jadi, pharmakon (melalui

sifat kemenduaannya) merupakan teks yang merusak asumsi kestabilan bahasa dan

kenyamanan yang dimunculkan oleh pandangan-pandangan absolut metafisika—yang

tentunya bersifat logosentris. Dapat dilihat, Slaughterhouse-Five adalah sebuah karya

yang berpotensi untuk memunculkan pandangan-pandangan alternatif tentang

eksistensi manusia, absurditas, dan hubungannya dengan Perang Dunia II. Ia adalah

karya fiksi yang tidak hanya memunculkan pandangan yang berada di satu polar

naratif tertentu tentang manusia dan hal-hal yang mengitarinya.

Pendekatan linguistik yang dipakainya dalam membahas permasalahan

absurditas eksistensi manusia menjadikan Slaughterhouse-Five sebagai fiksi yang

mengandung pandangan absurdisme pascastruktural. Penelitian ini akan

membuktikan bahwa novel Slaughterhouse-Five merupakan fiksi dengan pandangan

absurdisme pascastruktural.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan penjelasan di latar belakang, maka, masalah di dalam

penelitian ini adalah: Elemen-elemen dan pandangan-pandangan apa yang ada di

dalam novel Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut, Jr yang menjadikannya

sebagai fiksi dengan pandangan absurdisme pascastruktural?

15

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa novel Slaughterhouse-

Five karya Kurt Vonnegut, Jr merupakan sebuah fiksi dengan pandangan absurdisme

pascastruktural.

1.4. Tinjauan Pustaka

Di dalam majalah Time, Grossman dan Lacayo (2010) menobatkan

Slaughterhouse-Five sebagai salah satu novel berbahasa Inggris terbaik sejak tahun

1923 yang mengkonfrontasi tragedi terbesar kemanusiaan pada awal abad ke 20

(Perang Dunia II). Bloom (2007: 7) mengatakan bahwa Cat's Cradle dan

Slaughterhouse-Five adalah “...permanent achievement” [...pencapaian abadi].

Kepopulerannya di dalam dunia sastra membuat Slaughterhouse-Five sering

dijadikan sebagai objek penganalisaan oleh para kritikus sastra. Efek traumatik

perang dan mekanisme pengatasan masalah-masalah psikologis merupakan beberapa

topik yang sering dikemukakan di dalam penelitian-penelitian terhadap novel ini.

J.A. Martino (2010) menganalisa karakter utama di dalam Slaughterhouse-

Five, Billy Pilgrim. Ia melihat Pilgrim sebagai seseorang yang ingin sembuh dari

trauma perang melalui pengembaraan waktu. Namun, di dalam usahanya tersebut ia

terjebak oleh luka/trauma tersebut karena ia tidak lagi mengalami waktu secara linear

—yang merupakan aspek penting dalam penyembuhan. Selain itu, David Simmons

(2010) memandang Slaughterhouse-Five sebagai sebuah karya yang memberikan

alternatif dalam menghadapi efek traumatik perang dengan cara menginformasikan

16

realitas sebenarnya tentang perang yang tidak signifikan, destruktif, dan immoral.

Masih berhubungan dengan trauma dan penyembuhan, Alberto Cacicedo (2005)

membahas trauma dan mekanisme pertahanan diri terhadap aspek destruktif yang

disebabkan oleh perang terhadap psikologi tokoh utama Slaughterhouse-Five. Lebih

jauh, Jiannan Tang (2011) mengatakan bahwa Slaughterhouse-Five menampilkan

keinginan Vonnegut terhadap innocence [kesucian dan kenaifan] sebagai obat atas

trauma-trauma yang disebabkan oleh perang. Tetapi kesucian telah dinodai oleh

kebrutalan perang dan kesempatan untuk mendapatkannya di planet Tralfamadorian

tidak bisa diraih karena sebagian masyarakat alien tersebut tidak berbeda dari

manusia dari segi moralnya yang destruktif. Jadi, menurut Tang (Ibid.), innocence

adalah obat yang tidak mungkin dicapai di dunia nyata atau di dunia khayalan.

Disamping itu, berhubungan dengan determinisme dan freewill [keinginan

bebas], Marybeth Davis (2003), di dalam tesisnya yang berjudul “Re-examining

Vonnegut: Existential and Naturalistic Influences on the Author’s Work”

[Mengekseminasi Kembali Vonnegut: Pengaruh-Pengaruh Eksistensial dan

Naturalistik di dalam Karya Pengarang], mencoba untuk menekankan penggunaan

gaya penulisan naturalistik dan pandangan eksistensial di dalam tiga novel Vonnegut;

The Sirens of Titan, Cat’s Cradle, dan Slaughterhouse-Five. Davis (Ibid.) berpendapat

bahwa pengaruh naturalistik yang menjadi gaya utama novel-novel di daerah selatan

Amerika Serikat (yang cenderung deterministik dan sinis) sangat kental di dalam

karya-karya Vonnegut. Tetapi, menurutnya (Ibid.), karya-karya Vonnegut

17

menggunakan gaya penulisan naturalisme untuk menyampaikan pandangan

eksistensialnya yang pro kehidupan dan freewill.

Senada dengan Davis, Lauren Menking (2012), di dalam eseinya yang berjudul

“Indeterminate Mantras: Finding Autonomies in Slaughterhouse-Five and Clockwork

Orange” [Mantra-Mantra yang Tidak Pasti: Menemukan Otonomi di dalam

Slaughterhouse-Five dan Clockwork Orange], menganalisis gaya penulisan dan

teknik naratif (mantras) di dalam Slaughterhouse-Five dan Clockwork Orange yang

bertentangan dengan pernyataan moral dan pandangan Vonnegut tentang manusia dan

dunia. Menking (Ibid.) menyimpulkan bahwa Slaughterhouse-Five adalah sebuah

karya yang mendukung semangat humanisme walaupun ditampilkan melalui gaya

penulisan dan teknik naratif (mantras) yang tidak koheren dengan pandangan aslinya.

Ia (Ibid.) menyatakan bahwa Vonnegut sengaja menggunakan gaya penulisan dan

teknik naratif (mantras) yang mengukuhkan kebenaran pandangan determinisme

sebagai sebuah sumber dialektika untuk mengajak pembacanya sadar terhadap

otonomi diri dan freewill.

Berbeda dengan tulisan-tulisan di atas, penelitian ini tidak bergerak dari

asumsi metafisika bahwa Slaughterhouse-Five adalah sebuah novel yang menyatakan

“esensi” tentang sesuatu. Dengan pandangan pascastrukturalnya dalam mendekati

absurdisme, Slaughterhouse-Five memfokuskan pandangannya kepada pergerakan

teks dan produksi/reproduksi naratif-naratif atau diskursus-diskursus. Pendekatan

pascastruktural tersebut membuat novel ini memandang bahwa hal-hal yang dianggap

sebagai hal-hal esensial seperti absurdistas realitas, free will, kesadaran, dan lain-lain

18

merupakan efek permainan bahasa. Di dalam tulisan ini, Slaughterhouse-Five dilihat

sebagai kritikan terhadap obsesi pembangunan atau pencarian makna absolut baik itu

dengan dasar ilusi-ilusi keagungan maupun yang didasari oleh kehancuran moral dan

kepercayaan terhadap nilai-nilai kemanusian yang diakibatkan oleh trauma perang.

1.5. Landasan Teori

1.5.1. Bahasa, Fonosentrisme-Logosentrisme, dan Différance

Di dalam penelitian ini, penganalisisan karya dan teks-teks yang berada di

dalam jaringannya didasari oleh pendapat Derrida tentang bahasa yang diatur oleh

différance. Neografi ini berasal dari analisa dan kritikannya terhadap sistem makna di

dalam bahasa dan kesimpulan tentang hubungan tuturan dan tulisan yang

disampaikan oleh Ferdinand de Saussure. Saussure (2004: 61) mengatakan bahwa

bahasa merupakan sistem tanda yang memiliki dua unsur yaitu penanda

(signifier/susunan bunyi) dan petanda (signified/makna yang dimaksud). Menurutnya

(2004: 62), hubungan antara kata dengan makna yang direpresentasikannya, pada

dasarnya, bersifat arbiter (semena-mena). Jadi, sebuah kata sebenarnaya hanyalah

sekumpulan paduan bunyi (tuturan) yang tidak memiliki makna apapun. Walaupun

begitu, Saussure (Ibid.) mengatakan bahwa ke-arbiter-an tersebut tidak memberikan

seorang individu keleluasaan untuk menciptakan sebuah penanda untuk petanda

secara bebas. Menurutnya (Ibid.) bahasa bisa bermakna dan berfungsi sebagai sistem

tanda yang mentransfer ide antar manusia karena ia dilahirkan oleh konvensi sosial

19

yang memvalidasi, menstandarisasi, dan meregulasi hubungan antara penanda dan

petanda.

Selanjutnya, Saussure (2004: 70) memandang bahwa, selain konvensi sosial,

elemen utama yang membuat bahasa bisa berfungsi adalah diferensiasi. Baginya

(Ibid.), petanda/makna dan penanda/susunan bunyi tidak lebih penting daripada

tanda-tanda lain yang mengitari petanda dan penanda tersebut. Sifat opisisi dari kata-

kata seperti tubuh/pikiran, individu/masyarakat, dan baik/buruk saling memberi

makna antara satu dengan yang lainnya. Adanya suatu kata tidak lepas dari kehadiran

kata lainnya yang merupakan lawan dari kata tersebut. Sebuah kata dimaknai melalui

apa yang dianggap bukan di dalam dirinya serta dengan kata apa saja ia dikaitkan

(secara berlawanan; oposisi biner). Berdasarkan penjelasan ini, Saussure (Ibid.)

menyatakan bahwa bahasa pada dasarnya adalah sistem diferensiasi. Diferensiasi

merupakan faktor dasar yang melahirkan makna di dalam bahasa. Jadi, bagi Saussure,

diferensiasi adalah penentu utama dan penjelas terakhir dari berbagai hal yang

berkaitan dengan bahasa.

Implikasi dari pandangan ini adalah kepercayan terhadap kestabilan makna.

Saussure (2004: 61) mengatakan bahwa, meskipun bersifat arbiter dan dibentuk oleh

konvensi sosial, hubungan antara penanda dan petanda adalah satu kesatuan yang

tidak bisa dipisahkan. Pandangan tentang kesatuan antara penanda dan petanda hanya

dipreservasi untuk tuturan, bukan tulisan atau sistem tanda lain. Kesimpulan ini

berasal dari pandangannya (Ibid.) yang menyatakan bahwa pemahaman manusia

terhadap bahasa sebagai sebuah hubungan antara bunyi dan makna telah tertanam

20

secara kuat di dalam otak manusia. Pandangan ini merujuk kepada kekuatan tuturan

dalam mempengaruhi psikologi manusia yang membuat seseorang—melalui

mendengarkan suaranya atau suara orang lain—merasakan kehadiran dirinya atau

orang lain sebagai subjek. Ide-ide tentang identitas, diri, dan kesadaran diasumsikan

muncul dari kekuatan suara. Selain itu, Saussure (di dalam Derrida 1997: 30) juga

mengatakan bahwa, bahasa mempunyai tradisi oral yang bebas dari tulisan. Maka,

berdasarkan penempatan diferensiasi selaku yang utama dan absolut, oposisi biner,

observasi fenomena metafisika yang dihadirkan oleh suara/tuturan, dan keunikan

sejarah hubungan antara bunyi dengan petanda, Saussure mengklaim bahwa tuturan

lebih superior dari tulisan.

Derrida menolak keistimewaan yang diberikan oleh Saussure terhadap tuturan

dan penyematan status inferior kepada tulisan. Ia menamakan pandangan Saussure ini

dengan fonosentrisme. Derrida (1997: lviii) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap

sifat absolut dari hubungan antara bunyi dan makna (penanda dan petanda) memiliki

kausalitas yang kuat dengan tradisi logosentrisme filsafat barat yang menganggap

bahwa makna bisa hadir secara utuh tanpa mediasi penanda (metafisika kehadiran).

Logosentrisme, menurut Derrida (1997: 49), dipupuk oleh obsesi sistematis

metafisika barat terhadap kebenaran, keutuhan, keabsolutan, dan finalitas. Obsesi-

obsesi ini mempunyai propensitas terhadap keselektifan sistemik dalam

mengumpulkan fakta dan argumen untuk membangun ideologi-ideologi yang dinilai

sempurna. Lucy (2004: 70) mengatakan bahwa logosentrisme telah menuntun sejarah

pemikiran barat sejak Sokrates hingga saat sekarang ini. Di dalam eposnya, obsesi-

21

obsesi logosentrisme telah berkontribusi dalam memarginalisasi ide, pandangan,

kelompok, dan individu yang dianggap tidak memenuhi kriteria-kriteria yang

dibangun oleh ideologi-ideologi yang dinilai sempurna. Audisme16, rasisme, dan

misogini adalah beberapa pandangan yang menilai status ke-manusia-an kelompok

tertentu berdasarkan standar-standar ideologi-ideologi hasil obsesi-obsesi

logosentrisme. Audisme, secara khusus, berasal dari fonosentrisme. Dengan

menempatkan bahasa oral selaku aspek utama yang membedakan manusia dengan

makhluk lain dan satu-satunya penanda kemampaun berpikir, para filsuf seperti

Sokrates dan Aristoteles memandang orang tuli-bisu sebagai manusia yang tidak

berguna dan tidak bisa berpikir.17 Pandangan ini populer hingga Girolamo Cardano,

pada awal abad ke 16, mengatakan bahwa orang tuli-bisu bisa berpikir dan bahasa

oral bukanlah persyaratan untuk berpikir.18 Contoh praktis ini memberikan sedikit

gambaran mengenai kemungkinan cakupan konsekuensi dari usaha kritikan Derrida

terhadap pemikiran fonosentrisme-logosentrime.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, salah satu justifikasi Saussure

terhadap pandangan fonosentrismenya adalah kepercayaan kepada kehadiran makna

melalui suara atau kelangsungan hubungan antara suara dan petanda. Persepsi ini bisa

dijelaskan oleh ilusi kehadiran/kekinian/kelangsungan yang ditimbulkan oleh suara

16 Tom Humphries (di dalam Bauman, 2004: 239) mendefinisikan audisme sebagai pandangan yangmenganggap bahwa seseorang berstatus superior berdasarkan kemampuannya untuk mendengaratau berperilaku seperti orang yang bisa mendengar. Audisme terlihat di dalam opresi, represi, dandiskrimisi sistemik yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang yang tidak bisa mendengar.Lihat, H-Dirksen L. Bauman, “Audism: Exploring the Metaphysics of Oppression”, Journal ofDeaf Studies and Deaf Education vol. 9 no. 2 , Oxford University Press 2004, hlm. 239.

17 Lihat, Kontributor Wikipedia, "Deaf history," Wikipedia, The Free Encyclopedia, diakses pada 7Juli 2015, https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Deaf_history&oldid=671033983.

18 Lihat, Ibid.

22

melalui keotoritatifannya terhadap indra pendengaran yang bersifat “involuntary”

[tidak memiliki kontrol terhadap input]. Menurut Lucy (2004: 106), fenomena ini

dapat dimaklumi karena seseorang tidak merasa bahwa ia sedang menggunakan

sistem tanda ketika berkomunikasi dengan suara—yang memunculkan perasaan akan

sebuah kehadiran makna secara langsung/utuh; tanpa perantara. Derrida (1997: 20)

menjelaskan bahwa pemikiran yang memungkinkan kemunculan fonosentrisme

bekerja dengan cara menghapus status tuturan sebagai sebuah penanda secara

keseluruhan sehingga melahirkan ilusi akan kehadiran makna secara utuh dan

langsung. Asumsi ini berlawanan dengan fakta tentang bagaimana (impresi) makna

sampai kepada manusia; melalui sistem tanda (yang terdiri dari penanda dan

petanda), baik itu tuturan maupun tulisan. Terlihat, sandaran pandangan

fonosentrisme Saussure bersifat paradoksikal dengan premis awalnya yang

menyatakan bahwa bahasa, dalam hal ini tuturan, merupakan tanda. Ia melupakan

bahwa tanda adalah sebuah media; perpanjangan tangan. Dengan kata lain, bahasa

tidak memiliki kualitas ke-langsung-an. Ia hanyalah representasi dari hal lain. Jadi,

basis keistimewaan tuturan dibanding tulisan bersifat arbiter. Derrida menjelaskan

mekanisme sistem diferensiasi ini di dalam kutipan dibawah ini:

“Let us start, since we are already there, from the problematic of the sign andof writing. The sign is usually said to be put in the place of the thing itself, thepresent thing, "thing" here standing equally for meaning or referent. The signrepresents the present in its absence. It takes the place of the present. Whenwe cannot grasp or show the thing, state the present, the being-present, whenthe present cannot be presented, we signify, we go through the detour of thesign. We take or give signs. We signal. The sign, in this sense, is deferredpresence. Whether we are concerned with the verbal or the written sign, with

23

the monetary sign, or with electoral delegation and political representation,the circulation of signs defers the moment in which we can encounter thething itself make it ours, consume or expend it, touch it, see it, intuit itspresence.” (Derrida, 1982: 9)

[Mari kita mulai, karena kita sudah sampai di sana, dari permasalahanproblematik tanda dan tulisan. Tanda biasanya dianggap terletak di dalam hal-itu-sendiri, hal yang hadir, “hal” disini adalah makna atau referensi. Tandamerepresentasikan 'yang hadir' di dalam ketidakhadirannya. Ia mengambilalih tempat dari 'yang hadir'. Ketika kita tidak bisa menggenggam ataumemperlihatkan suatu hal, menyatakan 'yang hadir', ke-ada-an dari 'yanghadir', ketika 'yang hadir' tidak bisa dihadirkan, kita menandakannya, kitamengambil jalan memutar melalui tanda. Kita menerima atau memberikantanda-tanda. Kita memberikan sinyal. Tanda, di dalam pemahaman ini, adalahkehadiran yang tertunda. Apakah kita berurusan dengan tanda verbal atautulisan, dengan tanda keuangan, atau dengan delegasi dari hasil pemilihan danrepresentasi politik, sirkulasi tanda menunda momen yang bisa membuat kitamenemui hal-itu-sendiri dan menjadikannya milik kita, mengkonsumsi ataumembelanjakannya, menyentuhnya, melihatnya, mengintuisi kehadirannya]

Selanjutnya, objeksi Derrida terhadap anggapan tentang status superior

tuturan dibandingkan tulisan disampaikannya melalui argumen yang menolak

pandangan Saussure tentang fungsi tulisan sebagai representasi dari tuturan. Saussure

(di dalam Derrida, 1997: 32) mengatakan bahwa sistem penulisan terbagi dua dan

keduanya merupakan representasi dari bahasa oral. Tentunya, ketergantungan sistem

penulisan alfabet, abjad, dan sirilik terhadap bahasa oral terlihat cukup jelas. Sistem-

sistem penulisan tersebut didesain untuk merepresentasikan bunyi yang membangun

kata di dalam bahasa oral. Sistem penulisan kedua di dalam kategori Sausserian

adalah sistem penulisan ideografis. Walaupun tidak memiliki komponen representatif

dari fonetis (yang merujuk kepada bunyi bahasa oral), sistem penulisan ideografis

adalah representasi langsung dari kata di dalam bahasa oral. Jadi, bagi Saussure

24

(1997: 32), tidak ada namanya penulisan simbolik, figuratif, atau penulisan sama

sekali (sebagai penanda dari petanda) karena sistem penulisan selalu bergantung

kepada grafisme yang tidak memiliki kualitas penanda. Tulisan, menurut Saussure

(Ibid.), selalu bersifat sekunder dan berfungsi sebagai representasi dari tuturan.

Anggapan ini menggiringnya (1997: 31) untuk mengeksklusikan tulisan dan sistem

penulisan dari bahasa dan objek kajian linguistik karena ia dianggap tidak memenuhi

persyaratan sebagai objek kajian. Jadi, tuturan dianggap sebagai penanda dari petanda

sedangkan tulisan adalah penanda dari penanda (tuturan). Derrida (1997: 33)

mengatakan bahwa pandangan Saussure dinegasi oleh sistem penulisan piktogram

dan ideogram. Kedua sistem penulisan ini tidak bergantung kepada bunyi dan bukan

merupakan representasi grafis dari penanda utama. Jadi, tulisan bisa berdiri sendiri

terlepas dari bahasa oral.

Ketergesa-gesaan Saussure dalam mengabaikan sifat simbolis sistem

penulisan piktogram dan ideogram memperlihatkan keinginan yang kuat untuk

memaksakan hirarki tuturan di atas tulisan. Menurut Derrida (1997: 35), keinginan

yang terlihat dogmatis tersebut berasal dari anggapan—yang telah diwariskan dari

generasi ke generasi (dari Plato, Husserl hingga Saussure)—yang melihat tulisan

sebagai penghancur dan pengacau kemurnian bahasa. Namun, pada saat ini kita telah

memahami ketidakstabilan dari kedua sistem penulisan ini (Ibid.). Maka, tuturan—

melalui kesamaannya dengan sistem penulisan ideogram dan piktogram—juga

memiliki kualitas ketidakstabilan. Jadi, fiksasi Saussure untuk menjaga kemurnian

bahasa dengan mengeksklusikan tulisan dari sistem tanda dan kajian linguistik

25

merupakan impuls yang irasional dan mengilustrasikan imposisi logosentrisme yang

sangat kuat. Menurut Derrida (1997: 33), fakta bahwa tuturan sama tidak stabilnya

dengan tulisan ditambah dengan ketidakpastian batasan-batasan antara penulisan

piktografik dan penulisan fonetis mendemonstrasikan kesalahan limitasi dan tuntutan

logosentrisme Saussurean dan mendorong kita untuk melepaskan linguistik dari

konsep-konsep metafisika (yang diwarisi melalui psikologi) dan berhenti

mempermainkan atau mempolitisasi konsep ke-arbiter-an.

Penolakan Derrida terhadap fonosentrisme-logosentrime, secara lebih jauh, di

dasarkan oleh pemikirannya yang meradikalisasi pandangan Saussure tentang sistem

diferensiasi yang ia anggap sebagai sumber makna dan elemen utama yang

memberikan fungsi kebahasaan kepada tanda. Derrida (1981: 27) menyatakan bahwa

diferensiasi bukanlah sesuatu yang turun dari langit atau terinskripsi di dalam sistem

tertutup untuk selamanya. Jika tanda-tanda muncul karena sistem diferensiasi, sistem

itu sendiri tentunya memiliki hal yang mendiferensiasikannya dan memungkinkan ke-

ada-annya. Menggunakan kepercayaan terhadap keabsolutan diferensiasi dalam

menjelaskan sistem tanda dan bahasa tidak memiliki perbedaan dengan menggunakan

kepercayaan terhadap hal-hal ekstra linguistik seperti tuhan dan kebenaran-kebenaran

absolut lainnya dalam menjelaskan fenomena alam (cuaca, gempa, dan asal-usul

semesta dan dunia). Kepercayaan tersebut hanya memperlihatkan kebuntuan filosofis

dan pemikiran.

Untuk melepaskan diri dan bahasa dari asumsi-asumsi ontoteologis ini,

Derrida mengajukan neografisme atau non-konsep différance. Klaim 'non-konsep'

26

digunakan oleh Derrida untuk menghindari jeratan-jeratan teologi atau metafisika

yang laten di dalam bahasa. Ia memilih untuk menjelaskan différance sebagai strategi.

Namun, strategi yang dimaksud tidak mempunyai ikatan apapun dengan metode yang

terstruktur sesuai dengan sensibilitas metafisika. Derrida menjelaskan strategi unik

dari différance secara lebih jauh di dalam kutipan berikut:

“In the delineation of différance everything is strategic and adventurous.Strategic because no transcendent truth present outside the field of writingcan govern theologically the totality of the field. Adventurous because thisstrategy is not a simple strategy in the sense that strategy orients tacticsaccording to a final goal, a telos or theme of domination, a mastery andultimate reappropriation of the development of the field. Finally, a strategywithout finality, what might be called blind tactics or empirical wandering ifthe value of empiricism did not itself acquire its entire meaning in itsopposition to philosophical responsibility. If there is a certain wandering inthe tracing of différance, it no more follows the lines of philosophy of itssymmetrical and integral inverse, empirical-logical discourse. The concept ofplay keeps itself beyond this opposition, announcing, on the eve of philosophyand beyond it, the unity of chance and necessity in calculations without end.”(Derrida, 1982: 7)

[Dalam menggambarkan différance segalanya bersifat strategis dankepetualangan. Sifat strategis ditandakan oleh tidak adanya kebenarantransenden yang hadir di luar area penulisan yang dapat mengatur totalitasarea secara teologis. Sifat kepetualangan ditandakan oleh fakta bahwa strategiini bukan strategi sederhana dalam artian bahwa strategi mengarahkan taktiksesuai dengan tujuan akhir, sebuah telos atau tema dominasi, penguasaan danpenempatan kembali akhir dari pengembangan area. Akhirnya, strategi tanpafinalitas, apa yang bisa disebut taktik buta atau pengembaraan empiris jikanilai empirisme tidak mengakuisisi seluruh artinya dalam oposisinya terhadaptanggung jawab filosofis. Jika ada pengembaraan tertentu dalam penelusurandifférance, ia tidak lagi mengikuti garis inversi simetris dan integral darifilsafat, wacana empiris-logis. Konsep play (permainan) menempatkandirinya di luar oposisi ini, mengumumkan, pada awal filsafat dan jauhsetelahya, kesatuan kesempatan dan kebutuhan dalam perhitungan tanpaakhir.]

27

Keunikan strategi ini diperlihatkan oleh Derrida di dalam cara ia

menggunakan différance. Derrida (1982: 3–4) menjelaskan bahwa différance

merupakan hal yang mensubversi asumsi keistimewaan tuturan dari tulisan melalui

pendemonstrasian ketidakmampuan tuturan dalam membedakan pengucapan

difference dan différance. Di dalam bahasa Perancis kedua kata ini dilafalkan secara

identik. Fakta ini membuat tulisan—yang tadinya dianggap representasi dari tuturan

—kehilangan identitasnya fonetisnya. Ia tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai

sistem yang merepresentasikan tuturan. Melainkan, ia, sekarang, terlihat memiliki

otoritas sendiri di dalam bahasa karena hanya melalui tulisanlah différance memiliki

kejelasan referensi yang berbeda dari difference. Melalui argumen ini dan fakta

bahwa sistem penulisan fonetis hanya bisa berfungsi dengan menginklusi tanda

nonfonetis (seperti tanda baca dan spasi), Derrida (1982: 5) menyimpulkan bahwa

penulisan fonetis atau penulisan yang benar-benar murni fonetis tidak ada. Lebih

jauh, ia (Ibid.) memandang bahwa pandangan ini juga menunjukkan bahwa tidak ada

suara yang murni fonetis. Secara lebih jelas, ketika kata fonetis digunakan untuk

menjelaskan penulisan, ia tidak digunakan dengan sensibilitas yang sama ketika

menjelaskan sifat kefonetisan suara karena fonetis merujuk kepada kualitas psikologis

suara yang dipercaya dapat menghadirkan subjek dan perasaan ke-kini-an. Derrida

(1997: 7-8) mengatakan bahwa sistem mendengarkan/memahami diri ketika berbicara

melalui substansi fonetik—yang dianggap memungkinkan kehadiran makna—telah

mendominasi pemikiran dunia dan membentuk ide tentang dunia beserta ide tentang

asal mulanya. Selain meruntuhkan hirarki tuturan dan tulisan, dengan menegasi sifat

28

fonetis suara, Derrida mencoba untuk menghancurkan metafisika kehadiran—yang

dilandasi oleh kepercayaan terhadap kualitas psikologis dari suara.

Memang, dengan menggunakan homofon-homofon yang lain, Derrida masih

bisa mengemukakan argumen-argumennya di atas. Tetapi, différance tidak berhenti

sampai disitu. Ia dibangun Derrida dari penggabungan dua kata; differ (membedakan)

dan defer (menangguhkan). Melalui différance, Derrida ingin menjelaskan

mekanisme diferensiasi temporal dari bahasa yang selalu diabaikan oleh metafisika

barat. Diferensiasi sering diasumsikan sebagai sesuatu yang total dan stabil.

Pandangan ini memperlihatkan bagaimana metafisika barat tidak mempertimbangkan

waktu selaku faktor penting di dalam aktivitas diferensiasi. Ia hanya melihat

diferensiasi secara spasial. Padahal, sejarah telah menunjukkan bagaimana bentuk-

bentuk kepercayaan absolut dan berbagai jenis logos selalu berubah. Otoritas mereka

selalu ditransformasi melalui proses transferens dari generasi ke generasi dan

interaksi antar budaya. Derrida (1997: 33) mengkritik tradisi penghapusan sifat

diferensiasi temporal (penangguhan) dari bahasa dengan mengatakan bahwa bahasa

dan konsep-konsep yang dilahirkan oleh sistem diferensiasi spasial berfungsi untuk

membentuk kesejarahan (membuat diskursus-diskursus yang memungkinkan

terciptanya sejarah di dalam realitas budaya manusia) namun, anehnya, ia juga

digunakan untuk menolak sejarah, produksi, dan institusi.

Distorsi, pergerakan, dan penundaan kesatuan ide/pandangan/diskursus di atas

dapat dijelaskan melalui différance. Derrida (1981: 27) mengatakan bahwa différance

merupakan permainan sistematik dari diferensiasi-diferensiasi, jejak-jejak

29

diferensiasi, dan penjarakan yang membentuk relasi antar elemen. Lebih jauh,

Menurutnya (Ibid.) penjarakan bertanggung jawab atas produksi interval yang

memberikan kepenuhan dan fungsi dari suatu tanda. Pandangan ini mengimplikasikan

bahwa identitas dari sesuatu selalu ditunda atau dijauhkan dari dirinya. Hanya melalui

ketidakhadiranlah 'sesuatu' bisa muncul sebagai sesuatu yang ada dan bernama.

Kesatuan penanda dan petanda hanyalah sebuah ilusi karena sebuah petanda akan

selalu merujuk kepada penanda atau petanda lainnya untuk memberikan impresi

kepenuhan dirinya. Menurut Derrida (di dalam Lucy, 2004: 27), tanpa différance

selaku temporalisasi dan tanpa ketidakhadiran sang lain yang diinskripsikan ke dalam

perasaan kekinian tidak akan ada hal-hal yang bisa memunculkan impresi tentang

makna di dalam bahasa. Différance memperlihatkan bahwa tidak ada finalitas,

keabsolutan, dan kepenuhan di dalam bahasa. Perjalanan menuju kesatuan selalu

tertunda atau dibelokkan. Kepercayaan terhadap kehadiran makna, hal-hal yang

transendental, dan konsep-konsep metafisika lainnya tidak memiliki landasan kuat

karena hal-hal tersebut selalu mengalami reduksi, transformasi, distorsi, subversi, dan

berbagai bentuk modifikasi lainnya.

1.5.2. Teks

Berdasarkan penjelasan Derrida tentang bahasa melalui différance, dapat

dipahami, konsep yang mengutamakan interioritas tidak memiliki otoritas di dalam

bahasa. Tentu saja, Derrida tidak ingin mengkanonisasikan dikotomi antara yang luar

dan yang dalam, ekterioritas dan interioritas, atau format dan bentuk. Dikotomi

30

ekterioritas dan interioritas tidak berarti apa-apa di dalam pandangan kebahasaan

derridean karena keduanya selalu mempengaruhi, menggantikan, dan mereferensi

satu dengan yang lainnya. Jadi, interior, eksterior, penanda, petanda, format, dan isi

merupakan klasifikasi-klasifikasi yang tidak memadai dalam menjelaskan bahasa dan

pergerakannya.

Kompleksitas interaksi antar penanda dan petanda dengan tanda-tanda lain

membuat Derrida melihat bahasa sebagai teks. Ia (1988: 148) menyatakan bahwa teks

adalah bahasa dan semua hasil produksinya; diskursus sejarah, politik, institusi sosial,

budaya, atau filsafat. Pernyataan ini membawa kita kepada pernyataan Derrida (1997:

158) yang berbunyi “there is no outside-text” [tidak ada teks luar]. Selain menyatakan

penolakan terhadap dikotomi antara luar dan dalam, sekilas, pandangan ini terlihat

menyiratkan kepercayaan terhadap kemapanan atau keutuhan teks (yang memiliki

referensi tetap). Lucy (2004: 143) mengatakan bahwa teks yang dimaksud Derrida

berbeda dengan pandangan semiotika tentang tanda dan referensi-referensinya (yang

mengacu kepada hal-hal ekstra linguistik) karena referensi di dalam pandangan

Derrida berarti hubungan suatu teks dengan teks lainnya. Pandangan ini tidak

menyatakan bahwa makna bisa muncul dalam satu kesatuan yang tetap. Lucy (2004:

72) menekankan bahwa teks hanya memberikan efek makna dan kehadiran melalui

pergerakannya dan rantai tekstual (kon-tekstualitas) yang dibangunnya. Makna dan

kesatuan mungkin bisa muncul, namun, selain hanya efek atau impresi dari hubungan

antar teks, ia akan terus bertransformasi karena différance; permainan diferensiasi

yang memunculkan diferensiasi-diferensiasi dan efek-efeknya seperti impresi-impresi

31

kehadiran, makna, “consciousness” [kesadaran], subjek, dan hal-hal ekstra linguistik

dan transendental lainnya yang hanya akan muncul sebagai teks dan mengalami

pergerakan selanjutnya. Tentunya, pergerakan tersebut tidak bisa dipandang sebagai

kejadian yang linear seperti yang dikatakan oleh konsep-konsep metafisika karena

différance membentuk kompleksitas rantai tekstual beserta konversi dan inversi dari

teks-teks.

1.5.3. Artifaktualitas dan Spectre

Berdasarkan penjelasan Derrida tentang bahasa dan teks, dapat dikatakan

bahwa, ia melihat bahasa dan produk-produknya sebagai hal-hal yang artifisial.

Tentunya, kata 'artifisial' tidak digunakan secara peyoratif atau mengimplikasikan

tuntutan untuk mengejar yang orisinal. Di sini, artifisial merujuk kepada fakta bahwa

bahasa dan semua progeninya berada di dalam sensibilitas kemanusiaan. Bentuk asli

dari sesuatu, kejadian, atau fenomena tidak bisa diketahui dan tidak mungkin sampai

kepada manusia tanpa dimediasi oleh indra, bahasa, diskursus budaya, konsep moral-

sosial-politik, dan konsep atau diskursus lainnya. Jadi, yang dinamakan dengan

aktualitas—kejadian yang dianggap asli—merupakan hasil interpretasi yang muncul

sebagai produk/bentuk baru yang berbeda dari bentuk “aslinya”. Derrida menamakan

pandangan ini dengan artifaktualitas. Ia (2002: 3) mengatakan bahwa waktu

merupakan sebuh artifak. Menurutnya (Ibid.), keartifisialitasan waktu bisa dilihat dari

bagaimana media (atas dasar kejelasan atau penghematan waktu) memformat,

memperhitungkan, menginisialisasi, dan menyeleksi apa yang bisa disiarkan atau

32

disampaikan. Derrida menjelaskan artifaktualitas secara lebih jauh di dalam kutipan

dibawah ini:

“...in order to know what it's made of, one needs nonetheless to know that it ismade. It is not given but actively produced, sifted, invested, performativelyinterpreted by numerous apparatuses which are factitious or artificial,hierarchizing, and selective, always in the service of forces and interests towhich "subjects" and agents (producers and consumers of actuality -sometimes they are "philosophers" and always interpreters, too) are neversensitive enough. No matter how singular, irreducible, stubborn, distressingor tragic the "reality" to which it refers, "actuality" comes to us by way of afictional fashioning.” (Derrida, 2002: 3)

[...untuk mengetahui apa yang membentuk suatu hal, seseorang harusmengetahui bahwa hal tersebut dibentuk. Hal itu tidak ada begitu saja tetapidiproduksi, disaring, diinvestasikan secara aktif dan diinterpretasikan secaralangsung oleh berbagai aparatus yang faktual atau artifisial, menghirarkikan,dan menyeleksi, selalu di dalam kekuatan dan kepentingan yang tidak dilihatsecara sensitif oleh “subjek” dan agennya (produser dan konsumer dariaktualitas – kadang-kadang mereka adalah filsuf dan yang menginterpretasi).Tidak peduli bagaimana singular, tak-bisa-direduksi, keras, menyusahkan dantragis “realitas” yang dirujuknya, “aktualitas” datang kepada kita melaluipembentukan fiktif.]

Lebih jauh, penjelasan ini menyatakan bahwa konsep tentang yang asli tidak berarti

karena yang asli mungkin tidak akan pernah ada tanpa aparatus indrawi dan konsep-

konsep lain yang digunakan manusia dalam mempersepsikan sesuatu. Pandangan ini

menunjukkan bahwa realitas, dengan banyaknya subjek/agen beserta variasi konsep-

konsep, tidak bersifat monolitis. Jadi, realitas, berdasarkan pandangan artifaktualitas,

muncul dalam berbagai bentuk.

Walaupun Derrida menggunakan kata “fiksi”, penggunaan kata tersebut tidak

dimaksudkan untuk menyatakan bahwa semuanya bersifat fiktif (berdasarkan

33

pemahaman umum, oposisi biner, tentang kata fiksi yang berlawanan dengan kata

realitas dan tidak memiliki pondasi kebenaran faktual), melainkan, semua jenis

pandangan tentang berbagai hal memiliki realitas dan strukturnya masing-masing

sesuai dengan rantai tekstualnya yang hanya bisa diklaim melalui pergerakan atau

pengalaman interpretasi (Derrida, 1988: 148). Pandangan ini memungkinkan subjek

dan agen artifaktualitas untuk mengintrospeksi dan menginvestigasi kembali semua

hal yang dianggap sebagai “realitas” melalui penelusuran jejak-jejak dari aktivitas

pengkonstruksian (penginterpretasian) realitas tersebut. Pandangan ini juga

memudahkan subjek dan agen untuk menekan obsesi-obsesi universalis dan

totalitarianisme. Selain itu, Lucy (2004: 5) mengatakan, dengan menyadari bahwa

realitas merupakan artifaktualitas, subjek dan agennya bisa lebih fleksibel dalam

memandang dunia dan menerima kemungkinan-kemungkinan transformasi yang tidak

diantisipasi, yang mengacaukan dan menyudutkan batasan-batasan dari konsep-

konsep dengan landasan oposisi biner (aktual/artifisial, riil/virtual, atau asli/tiruan).

Selain sebagai pandangan yang menjelaskan bahwa dunia dan realitas yang

dipahami manusia merupakan hasil interaksi antara manusia—melalui bahasa dan

perangkat-perangkat interpresi lainnya—dengan “hal yang sebenarnya”, kemampuan

untuk menerima dan bersedia memahami sang lain merupakan tujuan lain dari

pandangan artifaktualitas. Namun, cara menerima dan memahami sang lain yang

dimaksud tidak dilakukan melalui pengaplikasian perangkat dan bahasa yang telah

familar. Praktek interpretasi tradisional hanya akan menimbulkan prekonsepsi tentang

sang lain. Menurut Derrida (2002: 13), sang lain harus dilihat sebagai spectre.

34

Spectre adalah hantu; sesuatu tidak jelas dan memberikan impresi bahwa ia bukan

berasal dari “realitas” atau artifaktualitas yang familiar. Derrida (Ibid.) mengatakan

bahwa spectre hanya bisa muncul tanpa antisipasi dan tanpa dijembatani oleh alat-alat

dan seperangkat konsep-konsep yang “mengaktualisasikan” atau menerjemahkan ide-

ide dan berbagai fenomena. Menurutnya (Ibid.), jika kita masih mengapropriasikan

ide-ide dan fenomena, spectre bukanlah spectre. Ia (Ibid.) mengatakan bahwa Spectre

haruslah sesuatu yang berada diluar horizon ekspektasi. Maka, keterbukaan dan

penghapusan sumber-sumber prejudis dan prekonsepsi merupakan persyaratan untuk

mengizinkan kemunculan spectre. Memang, dari penjelasan ini, spectre terlihat

sebagai sesuatu yang tidak mungkin karena begitu sesuatu yang dianggap sebagai

spectre diinterpretasikan, ia berubah menjadi sesuatu yang familiar, yang bisa

dipahami. Dapat dipahami, spectre merupakan neografi yang digunakan Derrida

untuk mempromosikan keterbukaan terhadap berbagai hal yang dianggap asing,

mencurigakan, atau mengancam kekuasaan, namun bisa saja (diluar prejudis dan

prekonsepsi) memuat hal-hal yang memiliki efek “positif.”

1.5.4. Pharmakon

Bersama dengan différance, pharmakon merupakan salah satu neografi yang

dipopulerkan oleh Derrida yang berasal dari hasil kritikannya terhadap

fonosentrisme-logosentrisme. Neografi ini berasal dari analisanya terhadap tulisan

Plato yang berjudul Phaedrus. Di dalam Phaedrus, pharmakon adalah 'tulisan' yang

diberikan oleh Theuth (dewa seni dan ilmu pengetahuan) kepada raja Thamus yang

35

dimaksudkan sebagai solusi (obat/remedi) untuk keterbatasan memori dan

kebijaksanaan manusia.19 Tetapi, menurut Thamus, pharmakon (tulisan sebagai

obat/remedi) juga bisa menjadi pharmakon (racun) yang melemahkan memori

manusia dan membuat mereka malas mengingat dan berpikir (sehingga tidak

menemukan kebijaksanaan sejati) karena ketergantungan terhadap tulisan.20

Di dalam Phaedrus, Plato dengan bebas menggunakan kata pharmakon untuk

menandakan obat, racun, dan pengobatan.21 Para penerjemah Phaedrus

menerjemahkan kata pharmakon dengan memasukkannya ke dalam konteks dan

memperkirakan intensi Plato dalam menggunakan kata pharmakon pada suatu

kalimat tertentu dan menghasilkan teks-teks terjemahan yang berbeda-beda.22 Maka,

tulisan berpotensi untuk menyesatkan pikiran karena sangat tidak mungkin

menemukan makna “asli” melalui konteks dan intensi “asli” dari tulisan tanpa

klarifikasi dari penulisnya. Ketidakhadiran si penulis untuk mengklarifikasi

kebenaran dari yang ditulisnya adalah aspek negatif dari tulisan yang mendasari

fonosentrisme Plato. Pandangan ini, sama dengan fonosentrisme Sausserian, berasal

dari asumsi tentang kualitas kehadiran dan kelangsungan dari tuturan—yang

melancarkan aktivitas pentransferan makna, konteks, dan intensi—yang dianggap

tidak dimiliki secara natural oleh tulisan.

Namun, opini Plato tentang tulisan tidak bersifat satu dimensi. Ia menganggap

bahwa tulisan tidak sepenuhnya buruk, distortif, atau destruktif. Menurut Derrida

19 Lihat, Derrida, Dissemination, hlm. 96.20 Lihat, Derrida, Dissemination, hlm. 97.21 Lihat, Lucy, hlm. 90.22 Lihat, Ibid.

36

(1981: 67), Plato tidak pernah mengutuk aktivitas penulisan secara keseluruhan

sebagaimana yang dipercayai oleh beberapa pemikir dan pembaca karya-karyanya.

Lucy (2004: 90) mengatakan bahwa Plato membagi tulisan ke dalam dua kategori,

baik (mengandung kebenaran) dan buruk (menyesatkan). Karena tulisan diasumsikan

sebagai representasi dari tuturan, ia hanya bisa mentransfer makna, konteks, dan

intensi jika ia merepresentasikan tuturan secara sempurna. Asumsi ini menyiratkan

pernyatan bahwa tulisan yang baik dinilai dari konstruksinya yang dapat mengimitasi

tuturan secara tepat.23 Tetapi, imitasi yang sempurna tentu saja tidak mungkin karena,

bagaimanapun, tulisan tidak memiliki aspek kelangsungan dari tuturan. Ia dianggap

bersifat tertutup dan tidak memiliki kualitas dialektika yang menurut Plato

merupakan elemen utama yang bisa mengantarkan manusia kepada kebenaran.24 Jadi,

yang membuat suatu tulisan itu buruk bagi Plato bukanlah sifat multi-interpretatifnya

melainkan ketidakhadiran ayah dari logos (kebenaran yang disampaikan) atau penutur

dari yang dituturkannya. Ketidakhadiran tersebut sangat mencemaskan Plato karena

tulisan dapat memfasilitasi para sofis (yang dianggapnya sebagai musuh kebenaran

dan kebijaksanaan) untuk menyebarkan kepercayaan yang menyesatkan dengan

konstruksi retorikanya yang tertutup.25 Kelangsungan dan kehadiran sangat penting

bagi Plato karena dengan perdebatan (dialektika) para sofis beserta pernyataan

mereka bisa difalsifikasi, didebat, dan ditundukkan sehingga mereka mengakui

kesalahan secara langsung. Maka, penulisan yang baik dan bisa mengantarkan

23 Lihat, Lucy, hlm. 91.24 Lihat, Jasper P. Neel, Plato, Derrida, and, Writing, Illinois: Southern Illinois University, 1988, hlm.

82.25 Lihat, Neel, hlm. 81.

37

pembacanya kepada kebenaran, menurut Plato, bukanlah penulisan yang tertutup dan

mempromosikan satu pandangan utama, melainkan ia adalah penulisan yang

memiliki aspek dialektika.26 Tidak mengherankan, Derrida (1981: 67) mengatakan

bahwa Phaedrus merupakan usaha Plato untuk menyelamatkan tulisan.

Selanjutnya, Neel (1988: 80) berpendapat bahwa ambivalensi dimasukan

kedalam teks oleh Plato karena ia ingin membuka jalan kepada kemungkinan

ditemukannya kebenaran karena menurutnya kemungkinan ditemukannya kebenaran

hanya bisa ada dengan ketidakmungkinannya. Ambivalensi dan ketidakhadiran logos

atau tesis utama yang menentukan makna/arti pasti dari pharmakon di dalam

Phaedrus merupakan strategi Plato untuk mengajak pembacanya berdialektika

dengan diri sendiri, berpikir, dan, pada akhirnya, menemukan kebijaksanaan. Menurut

Neel (Ibid.), Plato beranggapan bahwa kebenaran tetap ada walaupun bercampur

dengan ketidakbenaran. Strategi dialektika ini, pada akhirnya, diharapkan bisa

mengantarkan para pembaca kepada kebenaran yang dianggap selalu mendiami

tulisan (pharmakon). Pandangan ini memperlihatkan kepercayaan bahwa hal-hal

ekstra linguistik muncul lebih dahulu dari pada medianya; kebenaran dari eksposisi,

isi dari bentuk, makna dari penanda, kehadiran dari representasi, intensi dari resepsi,

signifikasi dari interpretasi, tuturan dari tulisan, dan lain-lain.27

Tentu saja, proyek Plato untuk menghadirkan kebenaran melalui tulisan

dialektis tidak akan bisa tercapai karena sifat pharmakon dari tulisan tidak

26 Lihat, Neel, hlm. 80.27 Lihat, Lucy, hlm. 91.

38

mengizinkan finalitas. Derrida menjelaskan pharmakon sebagai sumber oposisi-

oposisi dan diferensiasi-diferensiasi dengan:

“If the pharmakon is ‘ambivalent,’ it is because it constitutes the medium inwhich opposites are opposed, the movement and the play that links themamong themselves, reverses them or makes one side cross over into the other(soul/body, good/evil, inside/outside, memory/forgetfulness, speech/writing,etc.).…The pharmakon is the movement, the locus, and the play: (theproduction of) difference.” (Derrida, 1981: 127)

[Jika pharmakon adalah 'ambivalen,' itu karena ia merupakan media di manaoposisi-oposisi ditentang, pergerakan dan permainan yang menghubungkanmereka satu sama lain, membalikkan mereka atau membuat satu sisimenyeberang ke sisi yang lain (jiwa/tubuh, baik/jahat, dalam/luar,ingatan/kelupaan, pidato/tulisan, dan lain-lain)...pharmakon adalah gerakan,lokus, dan permainan: (produksi) perbedaan.]

“The ‘essence’ of the pharmakon lies in the way in which, having no stableessence, no ‘proper’ characteristics, it is not, in any sense (metaphysical,physical, chemical, alchemical) of the word, a substance…It is rather theprior medium in which differentiation in general is produced.” (Derrida,1981: 125–6)

[esensi' pharmakon terletak di dalam sifatnya yang tidak mempunyai esensiyang stabil, tanpa karakteristik yang 'benar/cocok/cukup', ia bukanlah, didalam pandangan apapun (metafisika, fisika, kimia, alkemis), sesuatu...Iamerupakan medium utama dimana diferensiasi diproduksi pada umumnya.]

Jadi, pharmakon adalah perusak asumsi tentang kebenaran abadi dan kestabilan

bahasa. Plato mungkin bisa dikatakan berhasil dalam “menyelamatkan” tulisan dari

logos yang tertutup, namun ia harus membayar harga mahal; ia tidak bisa

menghentikan keterbukaan dan multiplikasi beserta modifikasi diferensiasi yang

dihasilkan oleh pharmakon. Pharmakon membuat proyek kebenaran Plato dan

39

Platonisme28 runtuh. Keberhasilannya dalam membuat tulisan yang memiliki elemen

dialektika tuturan dan kegagalan tulisan tersebut dalam memunculkan kebenaran final

yang ingin disampaikannya menunjukkan bahwa dialektika bukanlah penjamin

kemunculan kebenaran yang final. Pharmakon tidak menghasilkan satu bentuk

dialektika yang memiliki finalitas, namun, ia terus mereproduksi bentuk-bentuk

dialektika lain sehingga teks tetap terbuka. Berdasarkan hal ini, tuturan tidak

memiliki perbedaan hierarkis dengan tulisan sebagaimana yang ingin dibuktikan29

oleh Plato melalui pembukaan oposisi-oposisi di dalam Phaedrus. Interpretasi-

interpretasi yang berbeda memperlihatkan bahwa tuturan, kehadiran, intensi, isi,

kebenaran, dan makna, tidak lebih dahulu dari tulisan, resepsi, bentuk/format,

eksposisi, dan hal-hal lain yang dianggap sekunder atau ekternal. Pharmakon

(sebagai sumber diferensiasi) akan terus menunda kesatuan teks melalui diferensiasi-

diferensiasi yang diciptakannya (dan hasil diferensiasi-diferensiasi dari diferensiasi-

diferensiasi tersebut ad infinitum).

Pembacaan Derrida tidak berhenti disitu saja. Sebagaimana yang telah

disampaikan sebelumnya, ketakutan terhadap tercemarnya kebijaksanaan dan

kelemahan memori membuat Plato menginjeksikan sifat dialektika tuturan ke dalam

tulisan. Namun, menurut Derrida (1981: 158), Plato tidak pernah bisa menerima jenis

tulisan (dialektis dan terbuka) yang ia gunakan; intensinya selalu terlihat didaktik dan

28 Barbara Johnson mengatakan bahwa Platonisme merupakan terminologi untuk kepercayaan yangmenekankan kategori-kategori metafisika biner yang mendukung pernyataan tentang kebenaranoposisi seperti kebenaran/ketidakbenaran secara kuat. Lihat, Barbara Johnson, “Translator'sIntroduction”, Dissemination, Jacques Derrida, London : The Athlone Press, 1981, hlm. xxiv.

29 Lihat, Neel, hlm. 79.

40

analogus. Melalui investigasi teks-teks yang hilang dan disembunyikan, Derrida

menemukan sebuah kata lain yang berhubungan dengan pharmakon namun tidak

digunakan oleh Plato di dalam Phaedrus. Kepopuleran kata tersebut pada zaman

Plato dan fakta bahwa ia tidak digunakan terlihat sangat mencurigakan bagi Derrida.

Kata tersebut adalah sinonim dari pharmakeus (yang digunakan oleh Plato di dalam

Phaedrus) yang berarti penyihir, dukun, atau tukang racun.30 Pharmakeus adalah

orang-orang (penyihir, dukun, atau tukang racun) yang meracuni dan mengobati

masyarakat. Pharmakeus juga dapat dilihat sebagai para sofis yang menakut-nakuti

masyarakat dengan kematian dan mempromosikan obat (kebijaksanaan) dari

ketakutan tersebut.

Selanjutnya, teks/kata yang hilang dan sinonim dari pharmakeus yang

dimaksud adalah pharmakos. Derrida (1981: 127) mengatakan bahwa (selain berarti

penyihir, dukun, atau tukang racun) pharmakos juga memiliki implikasi lain, yaitu

scapegoat (kambing hitam); orang yang dianggap mengandung dan mempraktekan

evil (kejahatan) dan harus dikeluarkan dari kota untuk menyucikan kota ketika

malapetaka/bencana melanda kota tersebut. Ia (1981: 128) menjelaskan bahwa, di

dalam ritual penyucian tersebut, pharmakoi (bentuk plural dari pharmakos)

dikeluarkan dari kota, dipukuli dibagian genital, dan dibakar hingga mati. Maka,

berbeda dengan pharmakeus, pharmakos mengandung kualitas victimhood (ke-

korban-an) yang problematik untuk divilifikasi. Menggunakan kata pharmakos

sebagai peyoratif untuk menyudutkan posisi para sofis atau tulisan setidaknya

30 Lihat, Neel, hlm. 127

41

mengimplikasikan persetujuan terhadap kekerasan vulgar. Kekerasan massa yang

mengeklusi dan mengeksekusi orang-orang yang dituduh mempraktekan sihir terlihat

sangat irasional. Usaha Plato untuk menjauhkan dirinya dari kekerasan vulgar yang

irasional tersebut melalui penghapusan kata pharmakos merupakan hal yang tidak

begitu mengejutkan. Ia tentunya tidak ingin aksinya dalam “menyelamatkan” tulisan

dari potensinya untuk “meracuni” memori, pikiran, dan kebijaksanaan

diinterpretasikan sebagai sebuah aksi kekerasan yang penuh dengan muatan prejudis.

Namun, kekerasan Plato terhadap tulisan telah terlihat ketika ia mulai

menampilkan argumen Sokrates tentang potensi racun dari tulisan kepada Phaedrus.

Permasalahan awal adalah kelemahan dan keterbatasan memori dan kebijaksanaan

manusia. Tetapi, Plato, melalui tulisannya tentang percakapan Sokrates dengan

Phaedrus, memperlakukan tulisan (yang ia akui memiliki potensi remedi/obat)

sebagai entitas yang mengancam memori dan kebijaksanaan. Jadi, Plato, seperti

masyarakat Yunani, menolak proses instrospeksi dan amnesiak terhadap fakta bahwa

memori dan kebijaksanaan sudah teracuni dari awal. Menurut Neel (1988: 78, 83),

Plato malah mengutuk tulisan secara sembunyi-sembunyi dan berusaha untuk

menggunakan tulisan (dengan memasukan atribut dialektika tuturan) sebagai media

yang menyampaikan pandangan fonosentris-logosentris-nya. Derrida (1981: 156)

juga mengatakan bahwa, walaupun Plato menggunakan permainan (dialektika), ia

masih mengawasi dan meletakan permainan itu di dalam ruang lingkup etik dan

politik yang disetujuinya. Hal ini menunjukkan bahwa teks pharmakon Plato tidak

benar-benar pharmakon karena ia masih ditujukan sebagai media yang menegaskan

42

Platonisme dan logosentrismenya. Tetapi, karena ia membuka ketidakmungkinan

kebenaran, pharmakon bisa mengambil alih logosentrisme dan melahirkan

diferensiasi-diferensiasi teks tanpa batas. Tentu saja, tanpa pembukaanpun,

pharmakon akan selalu menghantui teks karena hubungan teks dengan teks-teks lain

bersifat tidak terbatas.

Prejudis Plato terhadap tulisan dan usahanya untuk “menyelamatkan” tulisan

menimbulkan pertanyaan tentang hubungan Plato dan pharmakeus. Obsesinya

terhadap potensi buruk tulisan setidaknya memperlihatkan paranoia yang salah

tempat karena permasalahan awal adalah kerapuhan memori dan keterbatasan

kebijaksanaan manusia (yang tanpa kehadiran tulisan akan tetap rapuh dan terbatas).

Kecurigaannya terhadap ketidakmungkinan tercapainya kebijaksanaan sejati melalui

tulisan (karena tidak memiliki sifat kelangsungan dan kehadiran tuturan) sangat

problematik karena ia mempromosikan dialektika yang pada dasarnya merupakan

rangkaian penundaan kebenaran. Neel (1988: 87–88) mengatakan bahwa, di dalam

Phaedrus, Sokrates tidak pernah mampu berbicara tentang kebijaksanaan secara

langsung, dengan suara afirmatif, melainkan, ia selalu menyampaikan kebenarannya

melalui penundaan-penundaan. Derrida (1981: ) juga mengatakan bahwa suara

langsung dan afirmatif yang menyerupai suara tuhan hanya muncul dari Thamus yang

diceritakan oleh Sokrates (di dalam tulisan Plato). Maka, untuk menyampaikan

kebijaksanaan, Sokrates-nya Plato harus mengutip atau mengatributkan

kebijaksanaan yang ingin disampaikannya kepada tokoh yang ia anggap mampu

merepresentasikan tuhan atau suara tuhan. Terlihat bahwa, Plato sebenarnya tidak

43

lebih tertarik terhadap kegiatan “penyelamatan” tulisan daripada usaha

mempertahankan kepercayaan fonosentrisme-logosentrismenya. Berdasarkan

penjelasan ini, Plato memiliki kesamaan dengan pharmakeus yang selalu

menekankan ketakutan terhadap kematian agar bisa menjual kebijaksanaan yang bisa

mengkonter ketakutan tersebut. Derrida (1981: 117) memandang bahwa “Sokrates”,

di dalam tulisan Plato, selalu terlihat sebagai seorang pharmakeus. Perbedaan antara

Plato dan pharmakeus terletak di dalam bentuk keuntungan dari penyebaran

ketakutan tersebut; pharmakeus meraih uang dan kekuasaan sedangkan Plato meraih

kenyamanan bahwa logos-nya terjaga.

1.6. Hipotesis Penelitian

Penelitian ini memiliki hipotesis bahwa novel Slaughterhouse-Five karya Kurt

Vonnegut, Jr merupakan fiksi dengan pandangan absurdisme pascastruktural.

1.7. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah adalah metode kualitatif.

Data-data diambil dari studi kepustakaan; data dari karya yang dianalisis beserta teks-

teks lain yang berkaitan. Data-data tersebut merupakan elemen-elemen fiksi (plot,

karakter, latar, diksi, simbol, dan tema). Teknik-teknik naratif di dalam novel

Slaughterhouse-Five seperti metafiksi, metafiksi historiografik, dan distorsi temporal

juga akan dijadikan data untuk dianalisis. Waugh (1984: 2) mengatakan bahwa

metafiksi adalah gaya penulisan karya fiksi yang, secara sadar dan sistematik, selalu

44

mengingatkan pembacanya terhadap status fiktif dirinya untuk memunculkan

pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara fiksi dan dunia nyata. Menurutnya

(Ibid.), selain untuk menganalisis struktur-struktur dasar dari naratif fiksi, metafiksi

juga digunakan untuk menginterogasi kemungkinan dari ke-fiktif-an dunia nyata. Jika

dihubungkan dengan konsep artifaktualitas-nya Derrida, metafiksi berfungsi sebagai

alat untuk memperlihatkan bagaimana diskursus-diskursus (budaya, sejarah, dan

politik) mempunyai realitasnya masing-masing dan dihasilkan oleh aparatus-aparatus

yang tidak memiliki kelengkapan. Dengan kata lain, metafiksi mencoba untuk

menjelaskan tekstualitas dari berbagai diskursus yang mengklaim dirinya sebagai hal-

hal yang faktual dan stabil. Selanjutnya, Hutcheon (1989: 4) menyampaikan bahwa

metafiksi historiografis adalah fiksi yang menggunakan diskursus dan teks sejarah

untuk membuat paralel antara dunia nyata dan fiksi dengan tujuan untuk

mengkonstruksi sebuah pandangan parodis tentang dunia nyata dan sastra. Ia (Ibid.)

mengatakan bahwa hal ini digunakan untuk menunjukkan historisitas dari dunia nyata

dan sastra. Jadi, tidak berbeda dengan metafiksi, metafiksi historiografis

memperlihatkan tekstualitas dari diskursus-diskursus kanon tentang berbagai

fenomena sejarah, budaya, dan politik dan, pada akhirnya, menunjukkan status

diskursus-diskursus tersebut sebagai teks-teks yang diproduksi dan memproduksi.

Terakhir, distorsi temporal adalah penulisan fiksi yang tidak mengikuti struktur

tradisional (yang berasal dari pandangan tentang linearitas waktu dan keteraturan

kronologis di mana suatu kejadian diperlakukan sebagai event yang memunculkan

kejadian lainnya secara suksesif). Distorsi temporal memperlihatkan bahwa masa

45

lalu, masa sekarang, dan masa depan selalu berinteraksi secara schizofrenik dan

menolak konsep tentang linearitas waktu—yang menjadi dasar dari ide tentang

keterpaduan identitas teks.

Selanjutnya, di dalam penelitian ini, ketika rujukan tentang Kurt Vonnegut

disampaikan, rujukan tersebut diperuntukkan bagi “Vonnegut” Si pengarang di dunia

fenomenal, Si narator yang mengaku sebagai pengarang yang menarasikan proses

penulisan novel ini, dan Si narator yang menarasikan kisah hidup Billy Pilgrim. Jadi,

di dalam penelitian ini, (kon)tekstualitas dari novel Slaughterhouse-Five berasal dari

asumsi ini. Memang, Barthes (1977: 148, 161) telah mendeklarasikan kematian

pengarang dan mengatakan bahwa, bagaimanapun, pengarang yang ditemui di dalam

karyanya hanyalah “paper author”. Jadi, bagi Barthes, pengintegrasian pengarang ke

dalam interpretasi melalui cara dan bukti apapun merupakan kesalahan pembacaan.

Pernyataan Barthes ini dapat dilihat sebagai peringatan terhadap pembacaan yang

terlalu berfokus kepada pengarang sehingga karya, sebagai objek utama penelitian,

menjadi terbengkalai karena ia diinterpreasikan berdasarkan “intensi”, “nilai”, dan

“ideologi” pengarang. Pandangan ini mungkin dapat menjaga kedinamisan

pembacaan teks sastra dari kekerasan authorial.

Namun, Martindale (1993: 17) mengatakan bahwa manusia (asli) sama seperti

buku karena kita membaca (menginterpretasikan) apa yang mereka ucapkan dan

lakukan berdasarkan nilai-nilai kultural tertentu (yang diperoleh dari dunia nyata atau

kegiatan di dunia nyata). Jadi, dapat dilihat, pendekatan yang dipakai untuk

menginterpretasikan dunia atau individu asli tidak berbeda dengan dunia fiktif dan

46

karakter di dalam cerita fiksi. Walaupun suatu karya fiksi mengintegrasikan aspek

fantastis dan fiksi sains kedalam dirinya, kejadian dan logika kejadian di dalam karya

tersebut bisa dilihat sebagai sebuah alegori atau metafora yang merefleksikan,

menentang, mengomentari, mendukung suatu kejadian, fenomena, kondisi, dan

pandangan yang ditemui di dunia nyata. Mengisolasi karya fiksi dari dunia nyata

sama saja dengan menghapus relasi-relasi tekstual dari karya fiksi dengan teks-teks

lain yang bukan fiksi. Selain itu, membaca karya fiksi dan menghubungkannya

dengan fenomena di dunia nyata bukan berarti menganggap para karakter, kejadian,

atau latar fiktif seperti Hamlet di dalam Hamlet, pembunuhan lelaki Arab oleh

Meursault di dalam The Stranger, dan planet Tralfamadore di dalam Slaughterhouse-

Five sebagai hal-hal yang nyata atau pernah terjadi di dunia nyata. Seperti yang

dikatakan sebelumnya, mereka hanyalah alegori-alegori dan metafora-metafora yang

akan dikaitkan dengan dunia nyata. Tentunya, Barthes menyadari hal ini. Tetapi

menurut Martindale (Ibid.) batasan ketat antara “teks”31 dan dunia nyata yang

diberikankan oleh Barthes mengundang dekonstruksi. Hal ini disebabkan oleh

keterkaitan aspek sejarah (kondisi sosial, politik, kultural, dan lain sebagainya)

dengan karya fiksi yang selalu digunakan sebagai basis pembacaan. Kaitan tersebut

hanya mungkin jika latar belakang penulisnya diketahui. Selain itu, jika pembacaan

benar-benar dilakukan dengan teknik formalisme yang diimplikasikan oleh Barthes,

relasi-relasi yang ditemukan di dalam teks sastra dengan dunia nyata harus dianggap

31 Secara spesifik, teks yang dimaksud adalah teks sastra, bukan teks dalam pandangan Derrida yangbisa merujuk kepada diskursus-diskursus sejarah, politik, budaya, dan lain sebagainya.

47

sebagai kebetulan dan logika teks beserta kejadian-kejadiannya tidak bisa dibaca

dengan pandangan-pandangan yang didapat dari luar teks sastra. Hal ini tentunya

membuat kritik sastra sebagai kajian yang terbatas dan tidak ada gunanya sama sekali

karena dianggap tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia nyata.

Berdasarkan penjelasan di atas, Kurt Vonnegut yang dimaksud di dalam

penelitian ini adalah Kurt Vonnegut “asli”, bukan Kurt Vonnegut Si “paper author”.

Hal-hal yang diungkapkannya, baik itu yang ada di Bagian I—yang menceritakan

proses penulisan “novel perangnya”—ataupun hal-hal yang ditemukan di dalam cerita

“novel perangnya” merupakan hal-hal yang mengimplikasikan pandangan-

pandangannya. Tetapi, sebagaimana berbagai hal lainnya, “keaslian” hanyalah

artifaktualitas. Dengan kata lain, melalui bahasa metafisika, yang “asli” hanyalah satu

potongan kecil dari sebuah gambar yang telah disaring/dikonversi/diterjemahkan. Di

dalam penelitian ini, yang dianggap “asli” hanyalah eksistensi Vonnegut yang,

melalui gaya penulisan metafiksi dan metafiksi hitoriografis, mengimposisi

kehadirannya kepada pembaca “untuk” memunculkan pandangan tertentu. Materi-

materi dari luar Slaughterhouse-Five tentang biografi atau opini Vonnegut tidak akan

dijadikan dasar untuk mengkonstruksi keaslian “Vonnegut” atau bahan analisis novel

ini.

Lebih Jauh, karena penelitian ini berurusan dengan pelabelan karya sastra

yang dianggap mengandung reaksi terhadap pandangan filsafat absurdisme dan

tekstualitas beserta pandangan Teater Absurd, maka, pandangan absurdisme dan

pandangan Teater Absurd (secara spesifik, pandangan yang diperoleh dari kritikus

48

dan interpreter Teater Absurd terutama pandangan-pandangan dari Martin Esslin,

kritikus yang menciptakan nama “Teater Absurd”) akan dijadikan sebagai data untuk

dianalisis. Hal ini dilakukan untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang

perbedaan fundamental antara novel Slaughterhouse-Five dengan absurdisme dan

pandangan Teater Absurd.

Adapun metode penganalisisan data yang akan digunakan untuk

membuktikan hipotesis penelitian adalah (1) strategi pembacaan dekonstruksi Derrida

dan (2) pengaplikasian analisis-deskriptif berdasarkan teori-teori Derrida seperti

différance, teks, artifaktualitas, pharmakon, dan spectre. Berhubungan dengan

strategi pembacaan dekonstruksi, penelitian ini akan mengaplikasikan cara

pembacaan Derrida terhadap teks yang pada dasarnya dianggap memiliki potensi

paradoks yang menghancurkan kesatuan/kepenuhannya. Lucy (2004: 70) berpendapat

bahwa dekonstruksi menuntut pembaca untuk menyadari ketergantungan teks

terhadap teks sang lain yang selalu dianggap sebagai bagian eksterior dari teks

tersebut, seperti teks-teks politik, sejarah, dan budaya yang “memungkinkan” adanya

teks pertama. Lebih jauh, sesuai dengan mekanisme différance, sebuah teks selalu

menyembunyikan, menunda, dan mengusir teks-teks lain (atau bentuk hubungan

tertentu dengan teks-teks lain) yang tidak mendukung kesatuannya. Teknik

pengusiran teks-teks pengganggu atau bentuk dan kompleksitas hubungan dengan

teks-teks tersebut (yang berpotensi negatif terhadap kepenuhan dan finalitas suatu

teks) merupakan proses penting di dalam membentuk ilusi finalitas suatu teks karena

teks memiliki hubungan dan kompleksitas hubungan yang tak terhingga dengan teks-

49

teks lain sehingga menciptakan ketidakmungkinan untuk menjelaskan hubungannya

dengan teks-teks lain; mulai dari pendefinisian, konteks, konter definisi, verifikasi

dan penjelasan bentuk hubungan teks tersebut dengan variabel-variable tak terhingga

yang memfalsifikasikan klaim kebenaran dari teks, dan teks-teks kondisional dan

situasional yang mengoposisi. Rivkin dan Ryan menjelaskan ketidakmungkinan

finalitas dan kepenuhan identitas suatu teks di dalam kutipan berikut:

“The concept of nature is simply the concept of culture differed and deferred.It is the différance of culture. One important implication of this insight is thatif all things (all objects, ideas, and words) are produced as identities by theirdifferences from other things, then complete determination of identity (astatement of what something “is” fully and completely “in itself”) wouldrequire endless inventory of relations to other terms in a potentially infinitenetwork of differences. Truth, as the result, is always incomplete.” (Rivkindan Ryan, 2004: 258)

[Konsep alam hanyalah konsep budaya yang dibedakan dan ditunda. Ia adalahdifférance dari budaya. Implikasi penting dari pandangan ini adalah jikasemua hal (semua objek, ide, dan kata) diproduksi sebagai identitas melaluiperbedaan-perbedaannya dengan berbagai hal lain, maka, kepastian utuhsebuah identitas (pernyataan tentang sesuatu secara penuh dan utuh)mewajibkan daftar relasi tak terhingga dengan terma-terma lain di dalamjaring-jaring perbedaan yang tak terhingga. Kebenaran, sebagai akibatnya,selalu tidak penuh]

Berdasarkan kutipan di atas, tidak mengherankan jika kita mengenal

pengecualian-pengecualian di dalam berbagai sistem dan konsep epistemologis. Tentu

saja, untuk mendekonstruksi suatu teks, pembaca tidak harus membuat daftar

hubungan perbedaan yang tak terhingga, namun cukup dengan melihat bahwa apa

yang dipromosikan/diistimewakan di dalam sebuah teks perlu dipertanyakan karena

ia tidak mungkin absolut. Tugas pembaca dekonstruksi adalah mencari apa yang

50

dimarginalkan oleh teks tersebut atau bagaimana kebenaran yang diklaim oleh teks

tersebut memiliki diferensiasi-diferensiasi yang tidak sesuai dengan kesatuan

pandangan atau ide yang menjadi klaimnya. Derrida (di dalam Lucy, 2004: 144)

mengatakan bahwa ketidakhadiran dari sang lain di dalam teks meninggalkan jejak.

Di dalam pembacaan dekonstruksi, jejak-jejak dari ketidakhadiran sang lain ini harus

diikuti untuk melihat bagaimana sebuah teks menekan suara-suara disonan yang

mengganggu impresi kepenuhannya. Hal ini berpotensi untuk membebaskan teks dari

anggapan bahwa ia, pada akhirnya, memiliki essensi atau makna tunggal, tertutup,

final, dan absolut.

Pembacaan dekonstruksi akan diaplikasikan kepada pandangan absurdisme

dan Teater Absurd. Pertama, pandangan utama beserta implikasi-implikasi dari

absurdisme dan Teater Absurd akan dijelaskan. Kedua, penelitian akan mencoba

untuk mencari kontradiksi-kontradiksi yang menghancurkan kesatuan dan kepenuhan

teks atau identitas final yang diinginkan oleh teks.

Penelitian ini tidak bertujuan untuk mendekonstruksi teks Slaughterhouse-

Five karena ia merupakan fiksi dengan pandangan absurdisme pascastruktural yang

mendekonstruksi asumsi metafisika di dalam absurdisme. Penelitian ini akan

memperlihatkan bagaimana Slaughterhouse-Five mendekonstruksi asumsi metafisika

di dalam absurdisme. Hal ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan pandangan-

pandangannya tentang naratif, teks dan berbagai asumsi-asumsi metafisika lainnya

melalui keidentikan pandangan-pandangan tersebut dengan konsep-konsep Derrida

seperti difference, teks, artifaktualitas, dan spectre.

51

Tentunya, sebuah teks pada umumnya memiliki pernyataan yang

mengimplikasikan kepenuhan. Tetapi, selain mendekonstruksi absurdisme, novel ini

juga bersifat pharmakon; teks “murni” yang beroperasi di dua titik berlawanan.

Penelitian ini akan mendeskripsikan “kemurnian” Slaughterhouse-Five. Hal ini

dilakukan dengan cara menganalisis teks-teks yang belawanan di dalam

Slaughterhouse-Five yang menunjukkan bagaimana sifat pharmakon-nya menolak

untuk memunculkan satu pandangan yang penuh dan terpusat.

1.8. Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. BAB I adalah pendahuluan yang mencakup

Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka

Teori, Hipotesis Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian.

BAB II berisi pembahasan tentang sejarah kemunculan absurdisme dan Teater

Absurd. Selain itu, pada bab ini, filsafat pemikiran absurdisme dan Teater Absurd

akan dijelaskan dan dianalisis. Selanjutnya, pembacan dekonstruktif akan

diaplikasiksikan kepada absurdisme dan Teater Absurd. Hal ini dilakukan untuk

memperjelas perbedaan antara pandangan-pandangan absurdisme dan Teater Absurd

dengan pandangan-pandangan absurdisme pascastruktural di dalam Slaughterhouse-

Five.

BAB III membahas relasi dari pandangan absurditas (hubungan eksistensi

manusia dan dunia) dengan determinisme fisik dan implikasi-implikasinya di dalam

Slaughterhouse-Five.

52

BAB IV memuat penganalisisan tentang bagaimana novel ini memunculkan

determinisme linguistik, mengobservasi elemen-elemen determinisme linguistik

(bagaimana ia bekerja, menghasilkan kekerasan dan Yang Absurd), mendekonstruksi

impresi ketotalan determinisme linguistik, menghindari determinisme linguistik, dan

memunculkan pandangan absurdisme pascastruktural dengan implikasi-implikasinya

seperti sifat pharmakon dan invitasinya kepada spectre.

BAB V adalah kesimpulan hasil analisis.

53