Upload
vuanh
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perang Dunia II merupakan perang dengan tingkat fatalitas tertinggi
sepanjang sejarah.1 Overy (2015: 6) memperkirakan bahwa akumulasi korban dari
masyarakat sipil dan pihak militer pada Perang Dunia II mencapai angka 55 juta jiwa.
Berbeda dengan mayoritas perang lainnya, Perang Dunia II merupakan salah satu
perang unik yang jumlah fatalitasnya didominasi oleh masyarakat sipil. Menurut
Bessel (2015: 322–324), kelaparan dan pemboman area padat penduduk merupakan
penyebab utama yang meningkatkan jumlah kematian masyarakat sipil pada Perang
Dunia II. Fenomena ini dapat dipahami dari ke-total-an Perang Dunia II yang garis
depan pertarungan militernya tidak memiliki batasan pasti atau berarti.
Tentunya, statistik dan angka-angka yang melaporkan jumlah korban tidak
mengilustrasikan secara lebih dekat level destruksi moral, etika, dan nilai-nilai
kemanusiaan lainnya. Perang Dunia II tercatat sebagai kejadian yang dipenuhi oleh
berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Kejadian ini berlanjut hingga beberapa
waktu setelah Perang Dunia II berakhir. Uji coba senjata biologi terhadap manusia,
pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan massal merupakan beberapa bentuk dari
kejahatan kemanusiaan yang dapat ditemui secara luas pada Perang Dunia II dan
1 Lihat, Richard Bessel, "Unnatural Deaths", The Oxford Illustrated History of World War II, RichardOvery (Ed.), Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 323.
1
beberapa saat setelah ia berakhir. Melalui akses yang disediakan oleh Nazi pada
Perang Dunia II di kamp konsentrasi Auschwitz, Josef Mengele—dokter Jerman yang
dijuluki “Angel of Death” [malaikat kematian]—bersama dengan Eduard Wirths
(pimpinannya) dan sekitar 30 dokter Nazi lainnya melakukan ratusan eksperimen
terhadap etnis Yahudi, Jipsi, dan berbagai kelompok lainnya yang berakhir dengan
kematian (United States Holocaust Memorial Museum, “Josef Mengele”, 2015).
Eksperimen-eksperimen tersebut berupa: pembunuhan yang bertujuan untuk
mendapatkan mayat sebagai bahan penelitian, penginfeksian manusia dengan
penyakit yang mematikan, pengoperasian tanpa obat bius, dan berbagai bentuk
praktek medis lainnya yang tidak etis (Ibid.). Blumenthal (1999) mengatakan bahwa
Jepang—meskipun jarang mendapatkan sorotan sebanyak Jerman dan Mengele dalam
hal eksperimen tidak etis terhadap manusia—merupakan negara yang melahirkan
ratusan Mengele. Ia (Ibid.) menyampaikan bahwa unit 731 Jepang—yang
dikomandokan oleh Shiro Ishii—telah melakukan eksperimen-eksperimen yang
bertujuan untuk membuat senjata biologi dengan menggunakan manusia sebagai
kelinci percobaan. Di samping itu, berkenaan dengan penyiksaan dan pembunuhan
massal, Holocaust dan tragedi The Rape of Nanking adalah dua dari beberapa
kejadian genosida yang selalu mendominasi pembicaraan mengenai kejahatan
kemanusian yang dilakukan oleh pihak Axis (Jepang, Jerman, dan Italia) pada Perang
Dunia II.2
2 Lihat, Richard Bessel, "Unnatural Deaths", The Oxford Illustrated History of World War II, RichardOvery (Ed.), Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 328-332.
2
Namun, kejahatan kemanusiaan tidak hanya berasal dari pihak Axis. Sekutu
(Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, dan Uni Soviet) juga tercatat sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas beberapa kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II dan
beberapa saat sesudahnya. Lablanca (2015: 99) mengatakan bahwa, setelah tentara
Jerman dipukul mundur dari Italia, beberapa tentara Amerika, Perancis, dan Inggris
melakukan pemerkosaan dan kejahatan lainnya terhadap masyarakat Italia. Peristiwa
yang sama dengan skala yang lebih besar juga terjadi ketika tentara Uni Soviet
berhasil mengokupasi Jerman. Bessel (2015: 335) mengatakan bahwa penyerangan
terakhir Uni Soviet terhadap Jerman diwarnai oleh “...an orgy of arson, rape, and
murder” [...pesta pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan].
Dari berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan, prosekusi dan pengusiran
berbagai kelompok masyarakat dengan basis prejudis yang bersifat rasial, nasional,
dan kultural merupakan praktek kejahatan kemanusiaan yang kerap ditemui pada
Perang Dunia II dan beberapa saat setelah ia berakhir. Sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya, genosida kelompok Yahudi oleh Nazi adalah kejadian yang
sering terdengar ketika Perang Dunia II menjadi topik diskusi. Tetapi, walaupun tidak
mengikutsertakan pembunuhan massal, ada beberapa prosekusi yang dilakukan oleh
pihak Sekutu terhadap beberapa kelompok masyarakat dengan basis prejudis. Cook
(2011: 9) melaporkan bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas penangkapan
paksa yang bertentangan dengan hak azazi manusia dan tidak konstitusional terhadap
masyarakatnya yang berasal dari etnis Jepang. Selain itu, Bessel (2015: 335–336)
menyampaikan bahwa ada sekitar 12 juta masyarakat keturunan Jerman yang diusir
3
dari beberapa negara Eropa setelah Perang Dunia II dimenangkan oleh pihak Sekutu.
Menurutnya (2015: 336), peristiwa ini mengakibatkan kematian sebanyak 500 ribu
jiwa. Sebagian dari mereka ditangkap oleh Uni Soviet dan meninggal di Gulag dan
sebagiannya lagi meninggal karena kelaparan, malnutrisi, penyakit, dan kedinginan
(Ibid.). Cook (2011: 10) mengatakan bahwa pengusiran masyarakat keturunan Jerman
secara besar-besaran yang berakhir fatal tersebut merupakan aksi retribusi terhadap
Nazi Jerman yang disponsori oleh pihak Sekutu. Ironisnya, prejudis yang
memunculkan kejadian ini memiliki kemiripan dengan prejudis yang mendorong
Nazi untuk melakukan pembersihan etnis Yahudi dan beberapa etnis beserta
kelompok masyarakat lainnya. Tentunya, kejadian ini berbeda dengan genosida Nazi
terhadap kaum/etnis Yahudi, Jipsi, dan kelompok lainnya yang terlihat dari
keterstrukturan dan keterorganisirannya.3
Di samping itu, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tawanan perang
oleh kelompok Sekutu merupakan kompleksitas lain yang membuat Perang Dunia II
tidak bisa dilihat hanya sebagai perang antara kekuatan baik dan buruk atau
pembebas dan penjajah. Bacque (1997: 40) menyatakan bahwa kematian 1,5–2 juta
tawanan perang (tentara Nazi) dari tahun 1941 hingga tahun 1950 adalah pengaruh
langsung dari kebijakan Jendral Eisenhower yang melarang dan mengancam
masyarakat sipil Jerman dengan hukuman mati jika mencoba untuk memberikan
bantuan kebutuhan sehari-hari dan makanan kepada tawanan perang.
3 Di dalam bukunya The Holocaust, Martin Gilbert memaparkan kronologi pembersihan etnis yahudioleh Nazi Jerman; mulai dari bibit anti-semit yang telah ada selama dua milenia lebih sampaikepada pengorganisiran kamp-kamp kerja paksa dan pembunuhan massal. Lihat, Martin Gilbert.The Holocaust. RosettaBooks LLC. 2014. (Edisi elektronik)
4
Lebih jauh, masyarakat sipil juga terlibat dalam membuat permasalahan moral
dan kemanusian pada Perang Dunia II menjadi lebih rumit. Salah satu contohnya
adalah ketika tentara Amerika membebaskan para tawanan kamp konsentrasi di
Dachau. Zarusky (di dalam Benz dan Distel, 2002: 156–157) mengatakan bahwa,
dalam kurun waktu 24 jam, para bekas tawanan kamp konsentrasi Dachau—dengan
dipersenjatai oleh pihak Amerika—membunuh dan menyiksa sekitar 50 sampai 55
penjaga kamp yang sebelumnya menyiksa mereka. Tidak bisa disangkal, aksi para
masyarakat sipil tersebut merupakan sebuah reaksi terhadap perlakuan yang mereka
terima sebelumnya. Namun, selain melanggar konvensi Jenewa tahun 1929,4
peristiwa ini juga mengilustrasikan dalamnya level dehumanisasi perang terhadap
manusia dan bagaimana prinsip-pripsip moral bisa hilang begitu saja.
Dengan kehancuran fisik, psikis, dan moral yang disebabkan oleh Perang
Dunia II, sentimen-sentimen nihilisme5 yang muncul setelahnya merupakan
fenomena yang natural. Perang Dunia II mengaburkan perbedaan antara konsep
pembebas dan penjajah, menjadikan penerapan ide-ide tentang keadilan, moral, dan
etika dasar kemanusiaan sebagai relik sejarah, menekankan bahwa kehidupan
manusia adalah hal yang tidak berharga, menyuarakan ketidak-relevan-an makna dan
4 Mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, Kovensi Jenewa tahun 1929, Bagian I: KetetapanUmum - Artikel 2 mengatakan bahwa tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi,dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan penghinaan, dan tidak boleh dijadikan sebagaitontonan/sorotan massa. Selain itu, aksi pembalasan dendam terhadap mereka dilarang. Lihat,Geneva Convention, 27 July 1929, Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.Geneva, diakses pada 19 Januari 2015, http://www.icrc.org/ihl.nsf/52d68d14de6160e0c12563da005fdb1b/eb1571b00daec90ec125641e00402aa6.
5 Childs mengatakan bahwa nihilisme adalah skeptisisme ekstrim yang menolak segala nilai dankepercayaan yang ada. Lihat, Peter Childs, Modernism (Edisi ke 2), New York: Routledge, 2008,hlm. 220.
5
tujuan hidup, dan tentunya menegaskan bahwa kematian adalah hal yang nyata dan
bisa menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Secara singkat, Perang Dunia
II memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mempunyai akar yang
kuat secara metafisika dan tidak berdaya di dunia fisik.
Fenomena meluasnya kemunculan pandangan-padangan nihilistik pasca
Perang Dunia II dapat dilihat di dalam gerakan sastra 'the theater of the absurd'6
[Teater Absurd] yang didominasi oleh para penulis seperti Samuel Beckett, Eugène
Ionesco, dan Harold Pinter. Menurut Styan (1981: 125–126), gerakan Teater Absurd
adalah manifestasi negatif dari filsafat eksistensialisme Sartre dan absurdisme Camus.
Ia (Ibid.) juga mengatakan bahwa Teater Absurd merupakan sebuah gerakan
kesusastraan yang berusaha untuk menanggapi kebrutalan dan kehancuran akibat
perang—yang baru saja melanda dunia pada waktu itu—melalui pandangan-
pandangan nihilistiknya. Reaksi ini terlihat di dalam kisah-kisah para manusia absurd
yang secara eksklusif mendominasi jenis teater ini. Menurut Ionesco (di dalam Esslin
1961: 23), manusia absurd adalah manusia yang tidak memiliki tujuan, terputus dari
pondasi-pondasi agama, kepercayaan, transendental, dan metafisika. Jadi, ia adalah
orang yang telah kehilangan semua aspek yang membuat hidupnya bermakna.
Kondisi ini tentunya membuat segala tindakannya terlihat tidak masuk akal, aneh, dan
tidak berguna. Selain itu, Menurut Esslin (1961: 7), aspek lain yang diketengahkan
oleh Teater Absurd di dalam menyampaikan ide-idenya adalah ketidakmungkinan
6 Nama the theater of the absurd (Teater Absurd) diperkenalkan pertamakali oleh Martin Esslin didalam essai-nya yang berjudul The Theater of the Absurd pada tahun 1960. Lihat, Michael Y.Bennett, Reassessing the Theatre of the Absurd: Camus, Beckett, Ionesco, Genet, and Pinter, NewYork: Palgrave Macmillan, 2011, hlm. 2.
6
komunikasi karena tidak adanya alat untuk berkomunikasi atau setidaknya bahasa
yang fungsional secara semantik antar karakter-karakternya. Berdasarkan penjelasan
ini, bisa pahami, Teater Absurd berambisi untuk menghadirkan dan melihat
kekacauan dan kekosongan secara dekat.
Walaupun Teater Absurd bisa dikatakan berhasil dalam menggambarkan
keresahan eksistensial masyarakat pasca-perang, berkaitan dengan relevansinya
selaku komentator terhadap krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh Perang Dunia
II dan salah satu objek diskusi untuk meraih pemahaman alternatif, intensif, maupun
komprehensif tentang makna eksistensi kehidupan manusia berdasarkan hubungannya
dengan kejadian apokaliptik Perang Dunia II, Teater Absurd hanya terlihat seperti
proyeksi fase depresi ekstrim kolektif yang dialami oleh sebagian besar umat manusia
(terutama masyarakat Eropa) pasca Perang Dunia II. Sayangnya, ia memperlakukan
fakta situasional tersebut sebagai kebenaran yang stabil. Penjelasan ini
memperlihatkan bahwa potensi kontribusinya di dalam diskusi makna eksistensi
kehidupan manusia dan hubungan dinamisnya dengan Perang Dunia II menjadi
sangat terbatas. Dengan menekankan pembicaraan mengenai ketidakmungkinan
tercapainya makna melalui formatnya, Teater Absurd hilang di dalam obsesinya untuk
mengeksplorasi kekosongan, kebingungan, dan ke-absurd-annya sendiri.
Maka, tidak mengherankan jika Teater Absurd—dengan kekacauan logikanya,
keanehan karakter-karakternya, dan lelucon-leluconnya yang cenderung slapstik—
hanya menikmati popularitas selama kurang lebih sepuluh tahun. Styan (1981: 145)
mengatakan bahwa absurditas vulgar di dalam Teater Absurd tidak memiliki masa
7
depan dan potensi untuk dikembangkan di dalam dunia teater secara teknis.
Naratifnya berhenti dengan kekosongannya.
Namun, tidak bisa dipungkiri, dengan waktu yang cukup singkat, Teater
Absurd mampu menarik perhatian para kritikus dan audiens yang antusias secara
cukup luas. Meskipun bersifat oksimoronik dengan semangat absurdis yang
ditampilkan oleh formatnya, Teater Absurd mengundang pembacaan-pembacaan
hermeneutik dari para kritikus yang menginterpretasikan naratif kekosongan sebagai
naratif parabolik atau alegoris yang menuntut manusia untuk lebih sadar dan
mengandalkan dirinya sebagai pemberi makna eksistensi kehidupannya tanpa
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan konformitas.7 Ironisnya, pandangan ini memiliki
nada keharusan dan bentuk konformitas lain. Ambisinya untuk menolak keteraturan,
kepastian, transendentalisme, dan bahasa berakhir dengan sebuah kesatuan
pandangan mengenai realitas yang memunculkan kodifikasi-kodifikasi tentang
identitas ideal dan regulasi-regulasi tentang bagaimana mencapainya. Tetapi,
walaupun tanpa reduksi atau transendentalisasi dari interpretasi para kritikus, Teater
Absurd tetap merupakan sebuah gerakan yang memiliki pandangan terpusat tentang
esensi dari realitas eksistensi manusia. Penekanan karya-karya Teater Absurd
terhadap pandangan yang mengatakan bahwa Yang Absurd merupakan kebenaran dan
makna tidak bisa dicapai, tentunya, mensubversi klaim-klaimnya sendiri.
7 Esslin berpendapat bahwa Teater Absurd memberikan pencerahan kepada manusia dengan caramemaksanya untuk menghadapi absurditas eksistensi tanpa ilusi nilai-nilai besar dan membebaskanmanusia dari berbagai tuntutan yang menyesatkan. Lihat, Martin Esslin, The Theater of the Absurd,London: Publishing Limited, 2001 (Pertamakali terbit: 1961), hlm. 398-399.
8
Pandangan absurdisme yang monolitis ini dan kepopuleran Teater Absurd
membuat sastra membutuhkan karya yang bisa menstimulasi kemunculan pandangan-
pandangan yang lebih dinamis dalam membicarakan permasalahan eksistensi
manusia dan kemanusiaan di bawah pengaruh efek destruktif Perang Dunia II dan
potensi perang nuklir pasca Perang Dunia II. Karya-karya yang memperlakukan
naratifnya sebagai tunggangan untuk memproyeksikan pandangan atau ideologi
tertentu hanya akan terjerat dalam satu ide total—baik itu diskursus absurdisme
Teater Absurd maupun diskursus eskapisme sastra populer—yang menutup elemen-
elemen kemanusiaan lainnya yang patut untuk diperbincangkan. Di samping itu,
karya-karya yang sibuk dengan suatu epos tertentu di dalam sejarah manusia
cenderung berujung kepada kesimpulan yang statis mengenai eksistensi manusia dan
persepsi tentang makna kehidupan. Maka, karya yang dibutuhkan adalah karya yang
tidak terjerat oleh pandangan ideologisnya sendiri atau dibutakan oleh naratif-naratif
besar sejarah kemanusiaan yang bersifat didaktik dalam menggiring interpretasi
audiensnya. Dengan kata lain, sastra membutuhkan karya dengan bahasa baru yang
tidak terikat oleh konsep waktu linear di dalam perspektif metafisika.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, di dalam penelitian ini, novel
Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut, Jr dipandang memiliki kompleksitas yang
berpotensi untuk mengembangkan diskusi tentang pemahaman efek dan hubungan
Perang Dunia II dengan pandangan manusia tentang makna diri dan kehidupan secara
luas. Bloom (2007: 49) mengatakan bahwa, di dalam novel ini, Vonnegut mampu
memberikan gambaran yang menarik tentang pandangan dunia yang apatis dan
9
berhasil memberikan pembelaan yang imajinatif tentang apatisme dan penarikan diri
agar audiensnya tidak serta merta menerima apatisme dan penarikan diri tersebut. Ia
(2007: 15) juga mengatakan bahwa novel ini mengundang sinisme, kelembutan,
keterkaitan dan keberjarakan, keseriusan dan ironi. Jadi, bisa dilihat, Slaughterhouse-
Five mampu menginisiasi ide-ide dan impresi-impresi emosional dari dua polar yang
berlawanan.
Slaughterhouse-Five terinspirasi dari pengalaman Vonnegut ketika menjadi
seorang prajurit yang berperang melawan tentara Jerman pada Perang Dunia II dan
tahanan perang di Dresden.8 Ia menyaksikan kehancuran kota tersebut oleh serangan
bom besar-besaran dari pasukan udara Inggris dan Amerika.9 Sebelum menceritakan
kehidupan karakter utamanya, Vonnegut, dengan gaya metafiksi, memasukan dirinya
kedalam cerita dan menggunakan Bagian I sebagai latar belakang dari penulisan
Slaughterhouse-Five, yang diklaimnya sebagai “more or less”10 kejadian nyata.
Bagian I memuat segala kegelisahan Vonnegut terhadap keputusannya dalam menulis
Slaughterhouse-Five; mulai dari pertanyaan kompleks tentang nilai etis dari motivasi
pribadi penulisan novel, ketidaksempurnaan memorinya dalam mengingat kejadian-
kejadian yang hendak ditulis, sampai kepada tendensi sastra yang selalu mengundang
romantisisme dan mendistorsi intensi pengarang.11 Keraguan-keraguan tersebut
tampaknya menggiring Vonnegut dalam meceritakan kisah kehidupan Billy Pilgrim
8 Lihat, Harold Bloom, Bloom's Guide: Kurt Vonnegut's Slaughterhouse-Five, New York: InfobasePublishing, 2007, hlm. 7.
9 Lihat, Ibid.10 Lihat, Kurt Vonnegut, Jr, Slaughterhouse-Five, New York: Dial Press Trade Paperback, 2009
(Pertamakali terbit: 1969), hlm. 1.11 Lihat, Vonnegut, hlm. 1-33
10
yang sarat akan hiruk-pikuk, keheningan, kejadian-kejadian yang fantastis, kejadian-
kejadian yang banal, kekacauan, keteraturan, kehidupan, dan kematian.
Cerita sentral Slaughterhouse-Five adalah tentang kisah petualangan hidup
Billy Pilgrim yang, kalau dirangkum, bisa terlihat sangat sensasional; berperang pada
Perang Dunia II melawan Jerman, mengalami waktu secara acak, diculik dan
dijadikan objek penelitian sains oleh para alien yang menamakan dirinya
Tralfamadorian.12 Tetapi, dengan gaya penulisan yang deklaratif, karakter utama yang
pasif, dan alur cerita non-linear (dengan pengaplikasian gaya penulisan distorsi
temporal) yang menghapus suspense, pengalaman-pengalaman luar biasa Billy
Pilgrim tersebut tidak memiliki daya mistis dan terkesan tidak bermakna.
Sebagai fiksi dengan latar Perang Dunia II dan peristiwa pemboman Dresden,
Slaughterhouse-Five memiliki pandangan tentang Yang Absurd sebagaimana
absurdisme dan Teater Absurd. Di dalam novel ini, penyebab kemunculan Yang
Absurd adalah sifat deterministik dunia. Determinisme mengimplikasikan makna
absolut yang dapat menghapus makna eksistensi manusia yang, sama dengan bahasa
dan teks, bergantung kepada apa yang dikatakan oleh Derrida dengan differance;
differensiasi dan penangguhan.13 Determinisme menghambat sifat penangguhan di
dalam bahasa yang memungkinkan kemunculan persepsi terhadap makna. Ia
menghancurkan potensi permainan teks yang bergantung kepada mistifikasi dan
12 Lihat, Vonnegut, hlm. 29-32.13 Di dalam bahasa, persepsi tentang makna muncul karena sesuatu dianggap berbeda dengan hal
yang lain. Namun, tanpa penangguhan (temporalisasi) dan tanpa kehadiran dari ketidakhadiransang lain yang dimunculkan di dalam rasa kekinian, persepsi tentang makna tidak akan ada. Maka,persepsi terhadap makna berasal dari differensiasi dan penangguhan. Lihat, Niall Lucy, A DerridaDictionary, Malden: Blackwell Plublishing, 2004, hlm. 27.
11
ketidakpastian. Pandangan deterministik ini bisa dilihat sebagai penghancur makna
diri—yang dianggap memiliki potensi untuk berhubungan dengan tanda-tanda yang
tidak terbatas.
Tetapi, di dalam Slaughterhouse-Five, pandangan determinisme yang
didukung adalah determinisme linguistik. Sedangkan, dunia determinisme fisik yang
disampaikannya merupakan alegori bagi determinisme linguistik. Di dalam novel ini,
determinisme linguistik dianggap sebagai sumber dari kekerasan yang, dengan
impresi keutuhan dan keabsolutannya, membentuk realitas, subjek, dan bagaimana
manusia bertindak. “Kehadiran” dan kepenuhan yang dimpresikan oleh teks dan
bahasa membuat manusia mencoba untuk merealisasikan telos dari teks atau
diskursus yang “menghadirkan” dirinya sebagai kebenaran sejati. Ide-ide
transendental seperti naratif-naratif eskatologi, nasionalisme, patriotisme, dan
perjuangan kebenaran merupakan hasil permainan bahasa yang menimbulkan
kekerasan di dunia fisik melalui restriksi-restriksi, sistem pengeksklusian, dan
pemarginalan. Hal ini menimbulkan rantai kekerasan yang tidak berakhir. Di dalam
novel ini, Yang Absurd berasal dari potensi tidak berakhirnya kelahiran berbagai
bentuk perang yang membuat manusia-manusia dengan kekuatan kecil dan tidak
memiliki kemampuan untuk keluar dari naratif-naratif besar yang memunculkan
perang-perang tersebut terjerat di dalam realitas yang tidak diinginkannya dan harus
mengalihkan perhatian mereka kepada naratif-naratif pribadi untuk memaknai dan
memahami eksistensi diri yang hanya memproliferasi kekerasan yang diimposisikan
kepada mereka.
12
Tentunya, determinisme linguistik di dalam Slaughterhouse-Five berbeda
dengan determinisme yang dikandung oleh absurdisme atau naturalisme14. Keduanya
melihat determinisme sebagai hal stabil yang mengkondisikan manusia secara total.
Sedangkan, determinisme linguistik adalah determinisme artifisial yang fluid dan bisa
diubah karena bahasa hanyalah buatan manusia. Namun, hal ini sangat sulit terjadi
karena, menurut Derrida (1997: 7-8), fonosentrisme yang melahirkan metafisika
kehadiran—kepercayaan terhadap kepenuhan dan kehadiran melalui kekuatan suara
yang menampilkan efek didaktiknya melalui “hearing one self speaks”—telah
mengatur bagaimana manusia melihat dunia dan, sebagai akibatnya, membangun
dunia itu sendiri. Walaupun begitu, hal tersebut menunjukkan pergerakan
Slaughterhouse-Five dari pandangan metafisika yang terpusat sebagaimana
pandangan-pandangan absurdisme dan Teater Absurd. Di samping itu, karena ia
menolak pandangan konsep metafisika tentang waktu linear, Slaughterhouse-Five
melihat kehadiran Yang Absurd sebagai kehadiran yang fluktuatif. Dengan kata lain,
Yang Absurd diperlakukan sebagai pengalaman subjektif yang, meskipun
kevaliditasan kebenarannya tidak ditolak, bukanlah realitas utama. Tentunya, dengan
asumsi determinisme linguistik, semua realitas dianggap sebagai realitas artifisial dan
realitas yang sebenarnya dianggap sebagai hal yang tidak relevan karena ia tidak akan
pernah bisa diketahui atau menghadirkan dirinya. Bahkan, asumsi dan pertanyaan
terhadap “eksistensinya” hanyalah bagian dari permainan bahasa. Hal ini berbeda
14 Di dalam sastra, naturalisme adalah gerakan sastra yang menekankan determinisme biologis dansosial. Lihat, Childs, hlm. 220.
13
dengan pandangan absurdisme dan Teater Absurd yang melihat kehadiran Yang
Absurd sebagai kehadiran yang konstan dan realitas yang sebenarnya.
Selanjutnya, determinisme fisik (yang memperlihatkan keabsurdan eksistensi
Billy Pilgrim) yang kebenaran absolutnya disampaikan melalui Tralfamadorian (alien
yang bisa melihat waktu secara spasial) tidak sepenuhnya didukung. Di dalam novel
ini, Vonnegut terlihat menantang otoritas Tralfamadorian. Ia juga meninggalkan jejak-
jejak ketidakpastian dari klaim-klaim absolut yang dinyatakan oleh Tralfamadorian.
Melalui penjelasan-penjelasan sebelumnya, bisa dipahami, Slaughterhouse-Five
menampilkan dan mengakui kebenaran eksistensi Yang Absurd dan potensi
keabadiannya, namun ia juga menolak kebenaran absolutnya secara universal dan
potensi keabadiannya. Jadi, berbeda dengan absurdisme dan Teater Absurd,
Slaughterhouse-Five tidak menjadikan Yang Absurd sebagai kebenaran metafisika
yang absolut tanpa aspek temporal.
Peleburan antara yang fiktif dengan non-fiktif, distorsi temporal yang
menghapus linearitas, sifat paradoksikal pandangan determinisme linguistik,
interupsi-interupsi kematian di dalam kehidupan, dan imposisi aktualitas terhadap
artifisialitas (atau sebaliknya) di dalam Slaughterhouse-Five sesuai dengan konsep
pharmakon yang dikembangkan oleh Derrida. Secara singkat, konsep ini merujuk
kepada fungsi tulisan yang bisa menjadi obat/remedi dan racun bagi memori
manusia.15 Ia bisa dijadikan sumber pengingat (obat/remedi). Namun, ketergantungan
15 Lihat, Jacques Derrida, Dissemination., Terjemahan Barbara Johnson, London: The Athlone Press,1981, hlm. 103.
14
terhadapnya bisa menyebabkan kelemahan memori (racun). Jadi, pharmakon (melalui
sifat kemenduaannya) merupakan teks yang merusak asumsi kestabilan bahasa dan
kenyamanan yang dimunculkan oleh pandangan-pandangan absolut metafisika—yang
tentunya bersifat logosentris. Dapat dilihat, Slaughterhouse-Five adalah sebuah karya
yang berpotensi untuk memunculkan pandangan-pandangan alternatif tentang
eksistensi manusia, absurditas, dan hubungannya dengan Perang Dunia II. Ia adalah
karya fiksi yang tidak hanya memunculkan pandangan yang berada di satu polar
naratif tertentu tentang manusia dan hal-hal yang mengitarinya.
Pendekatan linguistik yang dipakainya dalam membahas permasalahan
absurditas eksistensi manusia menjadikan Slaughterhouse-Five sebagai fiksi yang
mengandung pandangan absurdisme pascastruktural. Penelitian ini akan
membuktikan bahwa novel Slaughterhouse-Five merupakan fiksi dengan pandangan
absurdisme pascastruktural.
1.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan penjelasan di latar belakang, maka, masalah di dalam
penelitian ini adalah: Elemen-elemen dan pandangan-pandangan apa yang ada di
dalam novel Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut, Jr yang menjadikannya
sebagai fiksi dengan pandangan absurdisme pascastruktural?
15
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa novel Slaughterhouse-
Five karya Kurt Vonnegut, Jr merupakan sebuah fiksi dengan pandangan absurdisme
pascastruktural.
1.4. Tinjauan Pustaka
Di dalam majalah Time, Grossman dan Lacayo (2010) menobatkan
Slaughterhouse-Five sebagai salah satu novel berbahasa Inggris terbaik sejak tahun
1923 yang mengkonfrontasi tragedi terbesar kemanusiaan pada awal abad ke 20
(Perang Dunia II). Bloom (2007: 7) mengatakan bahwa Cat's Cradle dan
Slaughterhouse-Five adalah “...permanent achievement” [...pencapaian abadi].
Kepopulerannya di dalam dunia sastra membuat Slaughterhouse-Five sering
dijadikan sebagai objek penganalisaan oleh para kritikus sastra. Efek traumatik
perang dan mekanisme pengatasan masalah-masalah psikologis merupakan beberapa
topik yang sering dikemukakan di dalam penelitian-penelitian terhadap novel ini.
J.A. Martino (2010) menganalisa karakter utama di dalam Slaughterhouse-
Five, Billy Pilgrim. Ia melihat Pilgrim sebagai seseorang yang ingin sembuh dari
trauma perang melalui pengembaraan waktu. Namun, di dalam usahanya tersebut ia
terjebak oleh luka/trauma tersebut karena ia tidak lagi mengalami waktu secara linear
—yang merupakan aspek penting dalam penyembuhan. Selain itu, David Simmons
(2010) memandang Slaughterhouse-Five sebagai sebuah karya yang memberikan
alternatif dalam menghadapi efek traumatik perang dengan cara menginformasikan
16
realitas sebenarnya tentang perang yang tidak signifikan, destruktif, dan immoral.
Masih berhubungan dengan trauma dan penyembuhan, Alberto Cacicedo (2005)
membahas trauma dan mekanisme pertahanan diri terhadap aspek destruktif yang
disebabkan oleh perang terhadap psikologi tokoh utama Slaughterhouse-Five. Lebih
jauh, Jiannan Tang (2011) mengatakan bahwa Slaughterhouse-Five menampilkan
keinginan Vonnegut terhadap innocence [kesucian dan kenaifan] sebagai obat atas
trauma-trauma yang disebabkan oleh perang. Tetapi kesucian telah dinodai oleh
kebrutalan perang dan kesempatan untuk mendapatkannya di planet Tralfamadorian
tidak bisa diraih karena sebagian masyarakat alien tersebut tidak berbeda dari
manusia dari segi moralnya yang destruktif. Jadi, menurut Tang (Ibid.), innocence
adalah obat yang tidak mungkin dicapai di dunia nyata atau di dunia khayalan.
Disamping itu, berhubungan dengan determinisme dan freewill [keinginan
bebas], Marybeth Davis (2003), di dalam tesisnya yang berjudul “Re-examining
Vonnegut: Existential and Naturalistic Influences on the Author’s Work”
[Mengekseminasi Kembali Vonnegut: Pengaruh-Pengaruh Eksistensial dan
Naturalistik di dalam Karya Pengarang], mencoba untuk menekankan penggunaan
gaya penulisan naturalistik dan pandangan eksistensial di dalam tiga novel Vonnegut;
The Sirens of Titan, Cat’s Cradle, dan Slaughterhouse-Five. Davis (Ibid.) berpendapat
bahwa pengaruh naturalistik yang menjadi gaya utama novel-novel di daerah selatan
Amerika Serikat (yang cenderung deterministik dan sinis) sangat kental di dalam
karya-karya Vonnegut. Tetapi, menurutnya (Ibid.), karya-karya Vonnegut
17
menggunakan gaya penulisan naturalisme untuk menyampaikan pandangan
eksistensialnya yang pro kehidupan dan freewill.
Senada dengan Davis, Lauren Menking (2012), di dalam eseinya yang berjudul
“Indeterminate Mantras: Finding Autonomies in Slaughterhouse-Five and Clockwork
Orange” [Mantra-Mantra yang Tidak Pasti: Menemukan Otonomi di dalam
Slaughterhouse-Five dan Clockwork Orange], menganalisis gaya penulisan dan
teknik naratif (mantras) di dalam Slaughterhouse-Five dan Clockwork Orange yang
bertentangan dengan pernyataan moral dan pandangan Vonnegut tentang manusia dan
dunia. Menking (Ibid.) menyimpulkan bahwa Slaughterhouse-Five adalah sebuah
karya yang mendukung semangat humanisme walaupun ditampilkan melalui gaya
penulisan dan teknik naratif (mantras) yang tidak koheren dengan pandangan aslinya.
Ia (Ibid.) menyatakan bahwa Vonnegut sengaja menggunakan gaya penulisan dan
teknik naratif (mantras) yang mengukuhkan kebenaran pandangan determinisme
sebagai sebuah sumber dialektika untuk mengajak pembacanya sadar terhadap
otonomi diri dan freewill.
Berbeda dengan tulisan-tulisan di atas, penelitian ini tidak bergerak dari
asumsi metafisika bahwa Slaughterhouse-Five adalah sebuah novel yang menyatakan
“esensi” tentang sesuatu. Dengan pandangan pascastrukturalnya dalam mendekati
absurdisme, Slaughterhouse-Five memfokuskan pandangannya kepada pergerakan
teks dan produksi/reproduksi naratif-naratif atau diskursus-diskursus. Pendekatan
pascastruktural tersebut membuat novel ini memandang bahwa hal-hal yang dianggap
sebagai hal-hal esensial seperti absurdistas realitas, free will, kesadaran, dan lain-lain
18
merupakan efek permainan bahasa. Di dalam tulisan ini, Slaughterhouse-Five dilihat
sebagai kritikan terhadap obsesi pembangunan atau pencarian makna absolut baik itu
dengan dasar ilusi-ilusi keagungan maupun yang didasari oleh kehancuran moral dan
kepercayaan terhadap nilai-nilai kemanusian yang diakibatkan oleh trauma perang.
1.5. Landasan Teori
1.5.1. Bahasa, Fonosentrisme-Logosentrisme, dan Différance
Di dalam penelitian ini, penganalisisan karya dan teks-teks yang berada di
dalam jaringannya didasari oleh pendapat Derrida tentang bahasa yang diatur oleh
différance. Neografi ini berasal dari analisa dan kritikannya terhadap sistem makna di
dalam bahasa dan kesimpulan tentang hubungan tuturan dan tulisan yang
disampaikan oleh Ferdinand de Saussure. Saussure (2004: 61) mengatakan bahwa
bahasa merupakan sistem tanda yang memiliki dua unsur yaitu penanda
(signifier/susunan bunyi) dan petanda (signified/makna yang dimaksud). Menurutnya
(2004: 62), hubungan antara kata dengan makna yang direpresentasikannya, pada
dasarnya, bersifat arbiter (semena-mena). Jadi, sebuah kata sebenarnaya hanyalah
sekumpulan paduan bunyi (tuturan) yang tidak memiliki makna apapun. Walaupun
begitu, Saussure (Ibid.) mengatakan bahwa ke-arbiter-an tersebut tidak memberikan
seorang individu keleluasaan untuk menciptakan sebuah penanda untuk petanda
secara bebas. Menurutnya (Ibid.) bahasa bisa bermakna dan berfungsi sebagai sistem
tanda yang mentransfer ide antar manusia karena ia dilahirkan oleh konvensi sosial
19
yang memvalidasi, menstandarisasi, dan meregulasi hubungan antara penanda dan
petanda.
Selanjutnya, Saussure (2004: 70) memandang bahwa, selain konvensi sosial,
elemen utama yang membuat bahasa bisa berfungsi adalah diferensiasi. Baginya
(Ibid.), petanda/makna dan penanda/susunan bunyi tidak lebih penting daripada
tanda-tanda lain yang mengitari petanda dan penanda tersebut. Sifat opisisi dari kata-
kata seperti tubuh/pikiran, individu/masyarakat, dan baik/buruk saling memberi
makna antara satu dengan yang lainnya. Adanya suatu kata tidak lepas dari kehadiran
kata lainnya yang merupakan lawan dari kata tersebut. Sebuah kata dimaknai melalui
apa yang dianggap bukan di dalam dirinya serta dengan kata apa saja ia dikaitkan
(secara berlawanan; oposisi biner). Berdasarkan penjelasan ini, Saussure (Ibid.)
menyatakan bahwa bahasa pada dasarnya adalah sistem diferensiasi. Diferensiasi
merupakan faktor dasar yang melahirkan makna di dalam bahasa. Jadi, bagi Saussure,
diferensiasi adalah penentu utama dan penjelas terakhir dari berbagai hal yang
berkaitan dengan bahasa.
Implikasi dari pandangan ini adalah kepercayan terhadap kestabilan makna.
Saussure (2004: 61) mengatakan bahwa, meskipun bersifat arbiter dan dibentuk oleh
konvensi sosial, hubungan antara penanda dan petanda adalah satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan. Pandangan tentang kesatuan antara penanda dan petanda hanya
dipreservasi untuk tuturan, bukan tulisan atau sistem tanda lain. Kesimpulan ini
berasal dari pandangannya (Ibid.) yang menyatakan bahwa pemahaman manusia
terhadap bahasa sebagai sebuah hubungan antara bunyi dan makna telah tertanam
20
secara kuat di dalam otak manusia. Pandangan ini merujuk kepada kekuatan tuturan
dalam mempengaruhi psikologi manusia yang membuat seseorang—melalui
mendengarkan suaranya atau suara orang lain—merasakan kehadiran dirinya atau
orang lain sebagai subjek. Ide-ide tentang identitas, diri, dan kesadaran diasumsikan
muncul dari kekuatan suara. Selain itu, Saussure (di dalam Derrida 1997: 30) juga
mengatakan bahwa, bahasa mempunyai tradisi oral yang bebas dari tulisan. Maka,
berdasarkan penempatan diferensiasi selaku yang utama dan absolut, oposisi biner,
observasi fenomena metafisika yang dihadirkan oleh suara/tuturan, dan keunikan
sejarah hubungan antara bunyi dengan petanda, Saussure mengklaim bahwa tuturan
lebih superior dari tulisan.
Derrida menolak keistimewaan yang diberikan oleh Saussure terhadap tuturan
dan penyematan status inferior kepada tulisan. Ia menamakan pandangan Saussure ini
dengan fonosentrisme. Derrida (1997: lviii) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap
sifat absolut dari hubungan antara bunyi dan makna (penanda dan petanda) memiliki
kausalitas yang kuat dengan tradisi logosentrisme filsafat barat yang menganggap
bahwa makna bisa hadir secara utuh tanpa mediasi penanda (metafisika kehadiran).
Logosentrisme, menurut Derrida (1997: 49), dipupuk oleh obsesi sistematis
metafisika barat terhadap kebenaran, keutuhan, keabsolutan, dan finalitas. Obsesi-
obsesi ini mempunyai propensitas terhadap keselektifan sistemik dalam
mengumpulkan fakta dan argumen untuk membangun ideologi-ideologi yang dinilai
sempurna. Lucy (2004: 70) mengatakan bahwa logosentrisme telah menuntun sejarah
pemikiran barat sejak Sokrates hingga saat sekarang ini. Di dalam eposnya, obsesi-
21
obsesi logosentrisme telah berkontribusi dalam memarginalisasi ide, pandangan,
kelompok, dan individu yang dianggap tidak memenuhi kriteria-kriteria yang
dibangun oleh ideologi-ideologi yang dinilai sempurna. Audisme16, rasisme, dan
misogini adalah beberapa pandangan yang menilai status ke-manusia-an kelompok
tertentu berdasarkan standar-standar ideologi-ideologi hasil obsesi-obsesi
logosentrisme. Audisme, secara khusus, berasal dari fonosentrisme. Dengan
menempatkan bahasa oral selaku aspek utama yang membedakan manusia dengan
makhluk lain dan satu-satunya penanda kemampaun berpikir, para filsuf seperti
Sokrates dan Aristoteles memandang orang tuli-bisu sebagai manusia yang tidak
berguna dan tidak bisa berpikir.17 Pandangan ini populer hingga Girolamo Cardano,
pada awal abad ke 16, mengatakan bahwa orang tuli-bisu bisa berpikir dan bahasa
oral bukanlah persyaratan untuk berpikir.18 Contoh praktis ini memberikan sedikit
gambaran mengenai kemungkinan cakupan konsekuensi dari usaha kritikan Derrida
terhadap pemikiran fonosentrisme-logosentrime.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, salah satu justifikasi Saussure
terhadap pandangan fonosentrismenya adalah kepercayaan kepada kehadiran makna
melalui suara atau kelangsungan hubungan antara suara dan petanda. Persepsi ini bisa
dijelaskan oleh ilusi kehadiran/kekinian/kelangsungan yang ditimbulkan oleh suara
16 Tom Humphries (di dalam Bauman, 2004: 239) mendefinisikan audisme sebagai pandangan yangmenganggap bahwa seseorang berstatus superior berdasarkan kemampuannya untuk mendengaratau berperilaku seperti orang yang bisa mendengar. Audisme terlihat di dalam opresi, represi, dandiskrimisi sistemik yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang yang tidak bisa mendengar.Lihat, H-Dirksen L. Bauman, “Audism: Exploring the Metaphysics of Oppression”, Journal ofDeaf Studies and Deaf Education vol. 9 no. 2 , Oxford University Press 2004, hlm. 239.
17 Lihat, Kontributor Wikipedia, "Deaf history," Wikipedia, The Free Encyclopedia, diakses pada 7Juli 2015, https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Deaf_history&oldid=671033983.
18 Lihat, Ibid.
22
melalui keotoritatifannya terhadap indra pendengaran yang bersifat “involuntary”
[tidak memiliki kontrol terhadap input]. Menurut Lucy (2004: 106), fenomena ini
dapat dimaklumi karena seseorang tidak merasa bahwa ia sedang menggunakan
sistem tanda ketika berkomunikasi dengan suara—yang memunculkan perasaan akan
sebuah kehadiran makna secara langsung/utuh; tanpa perantara. Derrida (1997: 20)
menjelaskan bahwa pemikiran yang memungkinkan kemunculan fonosentrisme
bekerja dengan cara menghapus status tuturan sebagai sebuah penanda secara
keseluruhan sehingga melahirkan ilusi akan kehadiran makna secara utuh dan
langsung. Asumsi ini berlawanan dengan fakta tentang bagaimana (impresi) makna
sampai kepada manusia; melalui sistem tanda (yang terdiri dari penanda dan
petanda), baik itu tuturan maupun tulisan. Terlihat, sandaran pandangan
fonosentrisme Saussure bersifat paradoksikal dengan premis awalnya yang
menyatakan bahwa bahasa, dalam hal ini tuturan, merupakan tanda. Ia melupakan
bahwa tanda adalah sebuah media; perpanjangan tangan. Dengan kata lain, bahasa
tidak memiliki kualitas ke-langsung-an. Ia hanyalah representasi dari hal lain. Jadi,
basis keistimewaan tuturan dibanding tulisan bersifat arbiter. Derrida menjelaskan
mekanisme sistem diferensiasi ini di dalam kutipan dibawah ini:
“Let us start, since we are already there, from the problematic of the sign andof writing. The sign is usually said to be put in the place of the thing itself, thepresent thing, "thing" here standing equally for meaning or referent. The signrepresents the present in its absence. It takes the place of the present. Whenwe cannot grasp or show the thing, state the present, the being-present, whenthe present cannot be presented, we signify, we go through the detour of thesign. We take or give signs. We signal. The sign, in this sense, is deferredpresence. Whether we are concerned with the verbal or the written sign, with
23
the monetary sign, or with electoral delegation and political representation,the circulation of signs defers the moment in which we can encounter thething itself make it ours, consume or expend it, touch it, see it, intuit itspresence.” (Derrida, 1982: 9)
[Mari kita mulai, karena kita sudah sampai di sana, dari permasalahanproblematik tanda dan tulisan. Tanda biasanya dianggap terletak di dalam hal-itu-sendiri, hal yang hadir, “hal” disini adalah makna atau referensi. Tandamerepresentasikan 'yang hadir' di dalam ketidakhadirannya. Ia mengambilalih tempat dari 'yang hadir'. Ketika kita tidak bisa menggenggam ataumemperlihatkan suatu hal, menyatakan 'yang hadir', ke-ada-an dari 'yanghadir', ketika 'yang hadir' tidak bisa dihadirkan, kita menandakannya, kitamengambil jalan memutar melalui tanda. Kita menerima atau memberikantanda-tanda. Kita memberikan sinyal. Tanda, di dalam pemahaman ini, adalahkehadiran yang tertunda. Apakah kita berurusan dengan tanda verbal atautulisan, dengan tanda keuangan, atau dengan delegasi dari hasil pemilihan danrepresentasi politik, sirkulasi tanda menunda momen yang bisa membuat kitamenemui hal-itu-sendiri dan menjadikannya milik kita, mengkonsumsi ataumembelanjakannya, menyentuhnya, melihatnya, mengintuisi kehadirannya]
Selanjutnya, objeksi Derrida terhadap anggapan tentang status superior
tuturan dibandingkan tulisan disampaikannya melalui argumen yang menolak
pandangan Saussure tentang fungsi tulisan sebagai representasi dari tuturan. Saussure
(di dalam Derrida, 1997: 32) mengatakan bahwa sistem penulisan terbagi dua dan
keduanya merupakan representasi dari bahasa oral. Tentunya, ketergantungan sistem
penulisan alfabet, abjad, dan sirilik terhadap bahasa oral terlihat cukup jelas. Sistem-
sistem penulisan tersebut didesain untuk merepresentasikan bunyi yang membangun
kata di dalam bahasa oral. Sistem penulisan kedua di dalam kategori Sausserian
adalah sistem penulisan ideografis. Walaupun tidak memiliki komponen representatif
dari fonetis (yang merujuk kepada bunyi bahasa oral), sistem penulisan ideografis
adalah representasi langsung dari kata di dalam bahasa oral. Jadi, bagi Saussure
24
(1997: 32), tidak ada namanya penulisan simbolik, figuratif, atau penulisan sama
sekali (sebagai penanda dari petanda) karena sistem penulisan selalu bergantung
kepada grafisme yang tidak memiliki kualitas penanda. Tulisan, menurut Saussure
(Ibid.), selalu bersifat sekunder dan berfungsi sebagai representasi dari tuturan.
Anggapan ini menggiringnya (1997: 31) untuk mengeksklusikan tulisan dan sistem
penulisan dari bahasa dan objek kajian linguistik karena ia dianggap tidak memenuhi
persyaratan sebagai objek kajian. Jadi, tuturan dianggap sebagai penanda dari petanda
sedangkan tulisan adalah penanda dari penanda (tuturan). Derrida (1997: 33)
mengatakan bahwa pandangan Saussure dinegasi oleh sistem penulisan piktogram
dan ideogram. Kedua sistem penulisan ini tidak bergantung kepada bunyi dan bukan
merupakan representasi grafis dari penanda utama. Jadi, tulisan bisa berdiri sendiri
terlepas dari bahasa oral.
Ketergesa-gesaan Saussure dalam mengabaikan sifat simbolis sistem
penulisan piktogram dan ideogram memperlihatkan keinginan yang kuat untuk
memaksakan hirarki tuturan di atas tulisan. Menurut Derrida (1997: 35), keinginan
yang terlihat dogmatis tersebut berasal dari anggapan—yang telah diwariskan dari
generasi ke generasi (dari Plato, Husserl hingga Saussure)—yang melihat tulisan
sebagai penghancur dan pengacau kemurnian bahasa. Namun, pada saat ini kita telah
memahami ketidakstabilan dari kedua sistem penulisan ini (Ibid.). Maka, tuturan—
melalui kesamaannya dengan sistem penulisan ideogram dan piktogram—juga
memiliki kualitas ketidakstabilan. Jadi, fiksasi Saussure untuk menjaga kemurnian
bahasa dengan mengeksklusikan tulisan dari sistem tanda dan kajian linguistik
25
merupakan impuls yang irasional dan mengilustrasikan imposisi logosentrisme yang
sangat kuat. Menurut Derrida (1997: 33), fakta bahwa tuturan sama tidak stabilnya
dengan tulisan ditambah dengan ketidakpastian batasan-batasan antara penulisan
piktografik dan penulisan fonetis mendemonstrasikan kesalahan limitasi dan tuntutan
logosentrisme Saussurean dan mendorong kita untuk melepaskan linguistik dari
konsep-konsep metafisika (yang diwarisi melalui psikologi) dan berhenti
mempermainkan atau mempolitisasi konsep ke-arbiter-an.
Penolakan Derrida terhadap fonosentrisme-logosentrime, secara lebih jauh, di
dasarkan oleh pemikirannya yang meradikalisasi pandangan Saussure tentang sistem
diferensiasi yang ia anggap sebagai sumber makna dan elemen utama yang
memberikan fungsi kebahasaan kepada tanda. Derrida (1981: 27) menyatakan bahwa
diferensiasi bukanlah sesuatu yang turun dari langit atau terinskripsi di dalam sistem
tertutup untuk selamanya. Jika tanda-tanda muncul karena sistem diferensiasi, sistem
itu sendiri tentunya memiliki hal yang mendiferensiasikannya dan memungkinkan ke-
ada-annya. Menggunakan kepercayaan terhadap keabsolutan diferensiasi dalam
menjelaskan sistem tanda dan bahasa tidak memiliki perbedaan dengan menggunakan
kepercayaan terhadap hal-hal ekstra linguistik seperti tuhan dan kebenaran-kebenaran
absolut lainnya dalam menjelaskan fenomena alam (cuaca, gempa, dan asal-usul
semesta dan dunia). Kepercayaan tersebut hanya memperlihatkan kebuntuan filosofis
dan pemikiran.
Untuk melepaskan diri dan bahasa dari asumsi-asumsi ontoteologis ini,
Derrida mengajukan neografisme atau non-konsep différance. Klaim 'non-konsep'
26
digunakan oleh Derrida untuk menghindari jeratan-jeratan teologi atau metafisika
yang laten di dalam bahasa. Ia memilih untuk menjelaskan différance sebagai strategi.
Namun, strategi yang dimaksud tidak mempunyai ikatan apapun dengan metode yang
terstruktur sesuai dengan sensibilitas metafisika. Derrida menjelaskan strategi unik
dari différance secara lebih jauh di dalam kutipan berikut:
“In the delineation of différance everything is strategic and adventurous.Strategic because no transcendent truth present outside the field of writingcan govern theologically the totality of the field. Adventurous because thisstrategy is not a simple strategy in the sense that strategy orients tacticsaccording to a final goal, a telos or theme of domination, a mastery andultimate reappropriation of the development of the field. Finally, a strategywithout finality, what might be called blind tactics or empirical wandering ifthe value of empiricism did not itself acquire its entire meaning in itsopposition to philosophical responsibility. If there is a certain wandering inthe tracing of différance, it no more follows the lines of philosophy of itssymmetrical and integral inverse, empirical-logical discourse. The concept ofplay keeps itself beyond this opposition, announcing, on the eve of philosophyand beyond it, the unity of chance and necessity in calculations without end.”(Derrida, 1982: 7)
[Dalam menggambarkan différance segalanya bersifat strategis dankepetualangan. Sifat strategis ditandakan oleh tidak adanya kebenarantransenden yang hadir di luar area penulisan yang dapat mengatur totalitasarea secara teologis. Sifat kepetualangan ditandakan oleh fakta bahwa strategiini bukan strategi sederhana dalam artian bahwa strategi mengarahkan taktiksesuai dengan tujuan akhir, sebuah telos atau tema dominasi, penguasaan danpenempatan kembali akhir dari pengembangan area. Akhirnya, strategi tanpafinalitas, apa yang bisa disebut taktik buta atau pengembaraan empiris jikanilai empirisme tidak mengakuisisi seluruh artinya dalam oposisinya terhadaptanggung jawab filosofis. Jika ada pengembaraan tertentu dalam penelusurandifférance, ia tidak lagi mengikuti garis inversi simetris dan integral darifilsafat, wacana empiris-logis. Konsep play (permainan) menempatkandirinya di luar oposisi ini, mengumumkan, pada awal filsafat dan jauhsetelahya, kesatuan kesempatan dan kebutuhan dalam perhitungan tanpaakhir.]
27
Keunikan strategi ini diperlihatkan oleh Derrida di dalam cara ia
menggunakan différance. Derrida (1982: 3–4) menjelaskan bahwa différance
merupakan hal yang mensubversi asumsi keistimewaan tuturan dari tulisan melalui
pendemonstrasian ketidakmampuan tuturan dalam membedakan pengucapan
difference dan différance. Di dalam bahasa Perancis kedua kata ini dilafalkan secara
identik. Fakta ini membuat tulisan—yang tadinya dianggap representasi dari tuturan
—kehilangan identitasnya fonetisnya. Ia tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai
sistem yang merepresentasikan tuturan. Melainkan, ia, sekarang, terlihat memiliki
otoritas sendiri di dalam bahasa karena hanya melalui tulisanlah différance memiliki
kejelasan referensi yang berbeda dari difference. Melalui argumen ini dan fakta
bahwa sistem penulisan fonetis hanya bisa berfungsi dengan menginklusi tanda
nonfonetis (seperti tanda baca dan spasi), Derrida (1982: 5) menyimpulkan bahwa
penulisan fonetis atau penulisan yang benar-benar murni fonetis tidak ada. Lebih
jauh, ia (Ibid.) memandang bahwa pandangan ini juga menunjukkan bahwa tidak ada
suara yang murni fonetis. Secara lebih jelas, ketika kata fonetis digunakan untuk
menjelaskan penulisan, ia tidak digunakan dengan sensibilitas yang sama ketika
menjelaskan sifat kefonetisan suara karena fonetis merujuk kepada kualitas psikologis
suara yang dipercaya dapat menghadirkan subjek dan perasaan ke-kini-an. Derrida
(1997: 7-8) mengatakan bahwa sistem mendengarkan/memahami diri ketika berbicara
melalui substansi fonetik—yang dianggap memungkinkan kehadiran makna—telah
mendominasi pemikiran dunia dan membentuk ide tentang dunia beserta ide tentang
asal mulanya. Selain meruntuhkan hirarki tuturan dan tulisan, dengan menegasi sifat
28
fonetis suara, Derrida mencoba untuk menghancurkan metafisika kehadiran—yang
dilandasi oleh kepercayaan terhadap kualitas psikologis dari suara.
Memang, dengan menggunakan homofon-homofon yang lain, Derrida masih
bisa mengemukakan argumen-argumennya di atas. Tetapi, différance tidak berhenti
sampai disitu. Ia dibangun Derrida dari penggabungan dua kata; differ (membedakan)
dan defer (menangguhkan). Melalui différance, Derrida ingin menjelaskan
mekanisme diferensiasi temporal dari bahasa yang selalu diabaikan oleh metafisika
barat. Diferensiasi sering diasumsikan sebagai sesuatu yang total dan stabil.
Pandangan ini memperlihatkan bagaimana metafisika barat tidak mempertimbangkan
waktu selaku faktor penting di dalam aktivitas diferensiasi. Ia hanya melihat
diferensiasi secara spasial. Padahal, sejarah telah menunjukkan bagaimana bentuk-
bentuk kepercayaan absolut dan berbagai jenis logos selalu berubah. Otoritas mereka
selalu ditransformasi melalui proses transferens dari generasi ke generasi dan
interaksi antar budaya. Derrida (1997: 33) mengkritik tradisi penghapusan sifat
diferensiasi temporal (penangguhan) dari bahasa dengan mengatakan bahwa bahasa
dan konsep-konsep yang dilahirkan oleh sistem diferensiasi spasial berfungsi untuk
membentuk kesejarahan (membuat diskursus-diskursus yang memungkinkan
terciptanya sejarah di dalam realitas budaya manusia) namun, anehnya, ia juga
digunakan untuk menolak sejarah, produksi, dan institusi.
Distorsi, pergerakan, dan penundaan kesatuan ide/pandangan/diskursus di atas
dapat dijelaskan melalui différance. Derrida (1981: 27) mengatakan bahwa différance
merupakan permainan sistematik dari diferensiasi-diferensiasi, jejak-jejak
29
diferensiasi, dan penjarakan yang membentuk relasi antar elemen. Lebih jauh,
Menurutnya (Ibid.) penjarakan bertanggung jawab atas produksi interval yang
memberikan kepenuhan dan fungsi dari suatu tanda. Pandangan ini mengimplikasikan
bahwa identitas dari sesuatu selalu ditunda atau dijauhkan dari dirinya. Hanya melalui
ketidakhadiranlah 'sesuatu' bisa muncul sebagai sesuatu yang ada dan bernama.
Kesatuan penanda dan petanda hanyalah sebuah ilusi karena sebuah petanda akan
selalu merujuk kepada penanda atau petanda lainnya untuk memberikan impresi
kepenuhan dirinya. Menurut Derrida (di dalam Lucy, 2004: 27), tanpa différance
selaku temporalisasi dan tanpa ketidakhadiran sang lain yang diinskripsikan ke dalam
perasaan kekinian tidak akan ada hal-hal yang bisa memunculkan impresi tentang
makna di dalam bahasa. Différance memperlihatkan bahwa tidak ada finalitas,
keabsolutan, dan kepenuhan di dalam bahasa. Perjalanan menuju kesatuan selalu
tertunda atau dibelokkan. Kepercayaan terhadap kehadiran makna, hal-hal yang
transendental, dan konsep-konsep metafisika lainnya tidak memiliki landasan kuat
karena hal-hal tersebut selalu mengalami reduksi, transformasi, distorsi, subversi, dan
berbagai bentuk modifikasi lainnya.
1.5.2. Teks
Berdasarkan penjelasan Derrida tentang bahasa melalui différance, dapat
dipahami, konsep yang mengutamakan interioritas tidak memiliki otoritas di dalam
bahasa. Tentu saja, Derrida tidak ingin mengkanonisasikan dikotomi antara yang luar
dan yang dalam, ekterioritas dan interioritas, atau format dan bentuk. Dikotomi
30
ekterioritas dan interioritas tidak berarti apa-apa di dalam pandangan kebahasaan
derridean karena keduanya selalu mempengaruhi, menggantikan, dan mereferensi
satu dengan yang lainnya. Jadi, interior, eksterior, penanda, petanda, format, dan isi
merupakan klasifikasi-klasifikasi yang tidak memadai dalam menjelaskan bahasa dan
pergerakannya.
Kompleksitas interaksi antar penanda dan petanda dengan tanda-tanda lain
membuat Derrida melihat bahasa sebagai teks. Ia (1988: 148) menyatakan bahwa teks
adalah bahasa dan semua hasil produksinya; diskursus sejarah, politik, institusi sosial,
budaya, atau filsafat. Pernyataan ini membawa kita kepada pernyataan Derrida (1997:
158) yang berbunyi “there is no outside-text” [tidak ada teks luar]. Selain menyatakan
penolakan terhadap dikotomi antara luar dan dalam, sekilas, pandangan ini terlihat
menyiratkan kepercayaan terhadap kemapanan atau keutuhan teks (yang memiliki
referensi tetap). Lucy (2004: 143) mengatakan bahwa teks yang dimaksud Derrida
berbeda dengan pandangan semiotika tentang tanda dan referensi-referensinya (yang
mengacu kepada hal-hal ekstra linguistik) karena referensi di dalam pandangan
Derrida berarti hubungan suatu teks dengan teks lainnya. Pandangan ini tidak
menyatakan bahwa makna bisa muncul dalam satu kesatuan yang tetap. Lucy (2004:
72) menekankan bahwa teks hanya memberikan efek makna dan kehadiran melalui
pergerakannya dan rantai tekstual (kon-tekstualitas) yang dibangunnya. Makna dan
kesatuan mungkin bisa muncul, namun, selain hanya efek atau impresi dari hubungan
antar teks, ia akan terus bertransformasi karena différance; permainan diferensiasi
yang memunculkan diferensiasi-diferensiasi dan efek-efeknya seperti impresi-impresi
31
kehadiran, makna, “consciousness” [kesadaran], subjek, dan hal-hal ekstra linguistik
dan transendental lainnya yang hanya akan muncul sebagai teks dan mengalami
pergerakan selanjutnya. Tentunya, pergerakan tersebut tidak bisa dipandang sebagai
kejadian yang linear seperti yang dikatakan oleh konsep-konsep metafisika karena
différance membentuk kompleksitas rantai tekstual beserta konversi dan inversi dari
teks-teks.
1.5.3. Artifaktualitas dan Spectre
Berdasarkan penjelasan Derrida tentang bahasa dan teks, dapat dikatakan
bahwa, ia melihat bahasa dan produk-produknya sebagai hal-hal yang artifisial.
Tentunya, kata 'artifisial' tidak digunakan secara peyoratif atau mengimplikasikan
tuntutan untuk mengejar yang orisinal. Di sini, artifisial merujuk kepada fakta bahwa
bahasa dan semua progeninya berada di dalam sensibilitas kemanusiaan. Bentuk asli
dari sesuatu, kejadian, atau fenomena tidak bisa diketahui dan tidak mungkin sampai
kepada manusia tanpa dimediasi oleh indra, bahasa, diskursus budaya, konsep moral-
sosial-politik, dan konsep atau diskursus lainnya. Jadi, yang dinamakan dengan
aktualitas—kejadian yang dianggap asli—merupakan hasil interpretasi yang muncul
sebagai produk/bentuk baru yang berbeda dari bentuk “aslinya”. Derrida menamakan
pandangan ini dengan artifaktualitas. Ia (2002: 3) mengatakan bahwa waktu
merupakan sebuh artifak. Menurutnya (Ibid.), keartifisialitasan waktu bisa dilihat dari
bagaimana media (atas dasar kejelasan atau penghematan waktu) memformat,
memperhitungkan, menginisialisasi, dan menyeleksi apa yang bisa disiarkan atau
32
disampaikan. Derrida menjelaskan artifaktualitas secara lebih jauh di dalam kutipan
dibawah ini:
“...in order to know what it's made of, one needs nonetheless to know that it ismade. It is not given but actively produced, sifted, invested, performativelyinterpreted by numerous apparatuses which are factitious or artificial,hierarchizing, and selective, always in the service of forces and interests towhich "subjects" and agents (producers and consumers of actuality -sometimes they are "philosophers" and always interpreters, too) are neversensitive enough. No matter how singular, irreducible, stubborn, distressingor tragic the "reality" to which it refers, "actuality" comes to us by way of afictional fashioning.” (Derrida, 2002: 3)
[...untuk mengetahui apa yang membentuk suatu hal, seseorang harusmengetahui bahwa hal tersebut dibentuk. Hal itu tidak ada begitu saja tetapidiproduksi, disaring, diinvestasikan secara aktif dan diinterpretasikan secaralangsung oleh berbagai aparatus yang faktual atau artifisial, menghirarkikan,dan menyeleksi, selalu di dalam kekuatan dan kepentingan yang tidak dilihatsecara sensitif oleh “subjek” dan agennya (produser dan konsumer dariaktualitas – kadang-kadang mereka adalah filsuf dan yang menginterpretasi).Tidak peduli bagaimana singular, tak-bisa-direduksi, keras, menyusahkan dantragis “realitas” yang dirujuknya, “aktualitas” datang kepada kita melaluipembentukan fiktif.]
Lebih jauh, penjelasan ini menyatakan bahwa konsep tentang yang asli tidak berarti
karena yang asli mungkin tidak akan pernah ada tanpa aparatus indrawi dan konsep-
konsep lain yang digunakan manusia dalam mempersepsikan sesuatu. Pandangan ini
menunjukkan bahwa realitas, dengan banyaknya subjek/agen beserta variasi konsep-
konsep, tidak bersifat monolitis. Jadi, realitas, berdasarkan pandangan artifaktualitas,
muncul dalam berbagai bentuk.
Walaupun Derrida menggunakan kata “fiksi”, penggunaan kata tersebut tidak
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa semuanya bersifat fiktif (berdasarkan
33
pemahaman umum, oposisi biner, tentang kata fiksi yang berlawanan dengan kata
realitas dan tidak memiliki pondasi kebenaran faktual), melainkan, semua jenis
pandangan tentang berbagai hal memiliki realitas dan strukturnya masing-masing
sesuai dengan rantai tekstualnya yang hanya bisa diklaim melalui pergerakan atau
pengalaman interpretasi (Derrida, 1988: 148). Pandangan ini memungkinkan subjek
dan agen artifaktualitas untuk mengintrospeksi dan menginvestigasi kembali semua
hal yang dianggap sebagai “realitas” melalui penelusuran jejak-jejak dari aktivitas
pengkonstruksian (penginterpretasian) realitas tersebut. Pandangan ini juga
memudahkan subjek dan agen untuk menekan obsesi-obsesi universalis dan
totalitarianisme. Selain itu, Lucy (2004: 5) mengatakan, dengan menyadari bahwa
realitas merupakan artifaktualitas, subjek dan agennya bisa lebih fleksibel dalam
memandang dunia dan menerima kemungkinan-kemungkinan transformasi yang tidak
diantisipasi, yang mengacaukan dan menyudutkan batasan-batasan dari konsep-
konsep dengan landasan oposisi biner (aktual/artifisial, riil/virtual, atau asli/tiruan).
Selain sebagai pandangan yang menjelaskan bahwa dunia dan realitas yang
dipahami manusia merupakan hasil interaksi antara manusia—melalui bahasa dan
perangkat-perangkat interpresi lainnya—dengan “hal yang sebenarnya”, kemampuan
untuk menerima dan bersedia memahami sang lain merupakan tujuan lain dari
pandangan artifaktualitas. Namun, cara menerima dan memahami sang lain yang
dimaksud tidak dilakukan melalui pengaplikasian perangkat dan bahasa yang telah
familar. Praktek interpretasi tradisional hanya akan menimbulkan prekonsepsi tentang
sang lain. Menurut Derrida (2002: 13), sang lain harus dilihat sebagai spectre.
34
Spectre adalah hantu; sesuatu tidak jelas dan memberikan impresi bahwa ia bukan
berasal dari “realitas” atau artifaktualitas yang familiar. Derrida (Ibid.) mengatakan
bahwa spectre hanya bisa muncul tanpa antisipasi dan tanpa dijembatani oleh alat-alat
dan seperangkat konsep-konsep yang “mengaktualisasikan” atau menerjemahkan ide-
ide dan berbagai fenomena. Menurutnya (Ibid.), jika kita masih mengapropriasikan
ide-ide dan fenomena, spectre bukanlah spectre. Ia (Ibid.) mengatakan bahwa Spectre
haruslah sesuatu yang berada diluar horizon ekspektasi. Maka, keterbukaan dan
penghapusan sumber-sumber prejudis dan prekonsepsi merupakan persyaratan untuk
mengizinkan kemunculan spectre. Memang, dari penjelasan ini, spectre terlihat
sebagai sesuatu yang tidak mungkin karena begitu sesuatu yang dianggap sebagai
spectre diinterpretasikan, ia berubah menjadi sesuatu yang familiar, yang bisa
dipahami. Dapat dipahami, spectre merupakan neografi yang digunakan Derrida
untuk mempromosikan keterbukaan terhadap berbagai hal yang dianggap asing,
mencurigakan, atau mengancam kekuasaan, namun bisa saja (diluar prejudis dan
prekonsepsi) memuat hal-hal yang memiliki efek “positif.”
1.5.4. Pharmakon
Bersama dengan différance, pharmakon merupakan salah satu neografi yang
dipopulerkan oleh Derrida yang berasal dari hasil kritikannya terhadap
fonosentrisme-logosentrisme. Neografi ini berasal dari analisanya terhadap tulisan
Plato yang berjudul Phaedrus. Di dalam Phaedrus, pharmakon adalah 'tulisan' yang
diberikan oleh Theuth (dewa seni dan ilmu pengetahuan) kepada raja Thamus yang
35
dimaksudkan sebagai solusi (obat/remedi) untuk keterbatasan memori dan
kebijaksanaan manusia.19 Tetapi, menurut Thamus, pharmakon (tulisan sebagai
obat/remedi) juga bisa menjadi pharmakon (racun) yang melemahkan memori
manusia dan membuat mereka malas mengingat dan berpikir (sehingga tidak
menemukan kebijaksanaan sejati) karena ketergantungan terhadap tulisan.20
Di dalam Phaedrus, Plato dengan bebas menggunakan kata pharmakon untuk
menandakan obat, racun, dan pengobatan.21 Para penerjemah Phaedrus
menerjemahkan kata pharmakon dengan memasukkannya ke dalam konteks dan
memperkirakan intensi Plato dalam menggunakan kata pharmakon pada suatu
kalimat tertentu dan menghasilkan teks-teks terjemahan yang berbeda-beda.22 Maka,
tulisan berpotensi untuk menyesatkan pikiran karena sangat tidak mungkin
menemukan makna “asli” melalui konteks dan intensi “asli” dari tulisan tanpa
klarifikasi dari penulisnya. Ketidakhadiran si penulis untuk mengklarifikasi
kebenaran dari yang ditulisnya adalah aspek negatif dari tulisan yang mendasari
fonosentrisme Plato. Pandangan ini, sama dengan fonosentrisme Sausserian, berasal
dari asumsi tentang kualitas kehadiran dan kelangsungan dari tuturan—yang
melancarkan aktivitas pentransferan makna, konteks, dan intensi—yang dianggap
tidak dimiliki secara natural oleh tulisan.
Namun, opini Plato tentang tulisan tidak bersifat satu dimensi. Ia menganggap
bahwa tulisan tidak sepenuhnya buruk, distortif, atau destruktif. Menurut Derrida
19 Lihat, Derrida, Dissemination, hlm. 96.20 Lihat, Derrida, Dissemination, hlm. 97.21 Lihat, Lucy, hlm. 90.22 Lihat, Ibid.
36
(1981: 67), Plato tidak pernah mengutuk aktivitas penulisan secara keseluruhan
sebagaimana yang dipercayai oleh beberapa pemikir dan pembaca karya-karyanya.
Lucy (2004: 90) mengatakan bahwa Plato membagi tulisan ke dalam dua kategori,
baik (mengandung kebenaran) dan buruk (menyesatkan). Karena tulisan diasumsikan
sebagai representasi dari tuturan, ia hanya bisa mentransfer makna, konteks, dan
intensi jika ia merepresentasikan tuturan secara sempurna. Asumsi ini menyiratkan
pernyatan bahwa tulisan yang baik dinilai dari konstruksinya yang dapat mengimitasi
tuturan secara tepat.23 Tetapi, imitasi yang sempurna tentu saja tidak mungkin karena,
bagaimanapun, tulisan tidak memiliki aspek kelangsungan dari tuturan. Ia dianggap
bersifat tertutup dan tidak memiliki kualitas dialektika yang menurut Plato
merupakan elemen utama yang bisa mengantarkan manusia kepada kebenaran.24 Jadi,
yang membuat suatu tulisan itu buruk bagi Plato bukanlah sifat multi-interpretatifnya
melainkan ketidakhadiran ayah dari logos (kebenaran yang disampaikan) atau penutur
dari yang dituturkannya. Ketidakhadiran tersebut sangat mencemaskan Plato karena
tulisan dapat memfasilitasi para sofis (yang dianggapnya sebagai musuh kebenaran
dan kebijaksanaan) untuk menyebarkan kepercayaan yang menyesatkan dengan
konstruksi retorikanya yang tertutup.25 Kelangsungan dan kehadiran sangat penting
bagi Plato karena dengan perdebatan (dialektika) para sofis beserta pernyataan
mereka bisa difalsifikasi, didebat, dan ditundukkan sehingga mereka mengakui
kesalahan secara langsung. Maka, penulisan yang baik dan bisa mengantarkan
23 Lihat, Lucy, hlm. 91.24 Lihat, Jasper P. Neel, Plato, Derrida, and, Writing, Illinois: Southern Illinois University, 1988, hlm.
82.25 Lihat, Neel, hlm. 81.
37
pembacanya kepada kebenaran, menurut Plato, bukanlah penulisan yang tertutup dan
mempromosikan satu pandangan utama, melainkan ia adalah penulisan yang
memiliki aspek dialektika.26 Tidak mengherankan, Derrida (1981: 67) mengatakan
bahwa Phaedrus merupakan usaha Plato untuk menyelamatkan tulisan.
Selanjutnya, Neel (1988: 80) berpendapat bahwa ambivalensi dimasukan
kedalam teks oleh Plato karena ia ingin membuka jalan kepada kemungkinan
ditemukannya kebenaran karena menurutnya kemungkinan ditemukannya kebenaran
hanya bisa ada dengan ketidakmungkinannya. Ambivalensi dan ketidakhadiran logos
atau tesis utama yang menentukan makna/arti pasti dari pharmakon di dalam
Phaedrus merupakan strategi Plato untuk mengajak pembacanya berdialektika
dengan diri sendiri, berpikir, dan, pada akhirnya, menemukan kebijaksanaan. Menurut
Neel (Ibid.), Plato beranggapan bahwa kebenaran tetap ada walaupun bercampur
dengan ketidakbenaran. Strategi dialektika ini, pada akhirnya, diharapkan bisa
mengantarkan para pembaca kepada kebenaran yang dianggap selalu mendiami
tulisan (pharmakon). Pandangan ini memperlihatkan kepercayaan bahwa hal-hal
ekstra linguistik muncul lebih dahulu dari pada medianya; kebenaran dari eksposisi,
isi dari bentuk, makna dari penanda, kehadiran dari representasi, intensi dari resepsi,
signifikasi dari interpretasi, tuturan dari tulisan, dan lain-lain.27
Tentu saja, proyek Plato untuk menghadirkan kebenaran melalui tulisan
dialektis tidak akan bisa tercapai karena sifat pharmakon dari tulisan tidak
26 Lihat, Neel, hlm. 80.27 Lihat, Lucy, hlm. 91.
38
mengizinkan finalitas. Derrida menjelaskan pharmakon sebagai sumber oposisi-
oposisi dan diferensiasi-diferensiasi dengan:
“If the pharmakon is ‘ambivalent,’ it is because it constitutes the medium inwhich opposites are opposed, the movement and the play that links themamong themselves, reverses them or makes one side cross over into the other(soul/body, good/evil, inside/outside, memory/forgetfulness, speech/writing,etc.).…The pharmakon is the movement, the locus, and the play: (theproduction of) difference.” (Derrida, 1981: 127)
[Jika pharmakon adalah 'ambivalen,' itu karena ia merupakan media di manaoposisi-oposisi ditentang, pergerakan dan permainan yang menghubungkanmereka satu sama lain, membalikkan mereka atau membuat satu sisimenyeberang ke sisi yang lain (jiwa/tubuh, baik/jahat, dalam/luar,ingatan/kelupaan, pidato/tulisan, dan lain-lain)...pharmakon adalah gerakan,lokus, dan permainan: (produksi) perbedaan.]
“The ‘essence’ of the pharmakon lies in the way in which, having no stableessence, no ‘proper’ characteristics, it is not, in any sense (metaphysical,physical, chemical, alchemical) of the word, a substance…It is rather theprior medium in which differentiation in general is produced.” (Derrida,1981: 125–6)
[esensi' pharmakon terletak di dalam sifatnya yang tidak mempunyai esensiyang stabil, tanpa karakteristik yang 'benar/cocok/cukup', ia bukanlah, didalam pandangan apapun (metafisika, fisika, kimia, alkemis), sesuatu...Iamerupakan medium utama dimana diferensiasi diproduksi pada umumnya.]
Jadi, pharmakon adalah perusak asumsi tentang kebenaran abadi dan kestabilan
bahasa. Plato mungkin bisa dikatakan berhasil dalam “menyelamatkan” tulisan dari
logos yang tertutup, namun ia harus membayar harga mahal; ia tidak bisa
menghentikan keterbukaan dan multiplikasi beserta modifikasi diferensiasi yang
dihasilkan oleh pharmakon. Pharmakon membuat proyek kebenaran Plato dan
39
Platonisme28 runtuh. Keberhasilannya dalam membuat tulisan yang memiliki elemen
dialektika tuturan dan kegagalan tulisan tersebut dalam memunculkan kebenaran final
yang ingin disampaikannya menunjukkan bahwa dialektika bukanlah penjamin
kemunculan kebenaran yang final. Pharmakon tidak menghasilkan satu bentuk
dialektika yang memiliki finalitas, namun, ia terus mereproduksi bentuk-bentuk
dialektika lain sehingga teks tetap terbuka. Berdasarkan hal ini, tuturan tidak
memiliki perbedaan hierarkis dengan tulisan sebagaimana yang ingin dibuktikan29
oleh Plato melalui pembukaan oposisi-oposisi di dalam Phaedrus. Interpretasi-
interpretasi yang berbeda memperlihatkan bahwa tuturan, kehadiran, intensi, isi,
kebenaran, dan makna, tidak lebih dahulu dari tulisan, resepsi, bentuk/format,
eksposisi, dan hal-hal lain yang dianggap sekunder atau ekternal. Pharmakon
(sebagai sumber diferensiasi) akan terus menunda kesatuan teks melalui diferensiasi-
diferensiasi yang diciptakannya (dan hasil diferensiasi-diferensiasi dari diferensiasi-
diferensiasi tersebut ad infinitum).
Pembacaan Derrida tidak berhenti disitu saja. Sebagaimana yang telah
disampaikan sebelumnya, ketakutan terhadap tercemarnya kebijaksanaan dan
kelemahan memori membuat Plato menginjeksikan sifat dialektika tuturan ke dalam
tulisan. Namun, menurut Derrida (1981: 158), Plato tidak pernah bisa menerima jenis
tulisan (dialektis dan terbuka) yang ia gunakan; intensinya selalu terlihat didaktik dan
28 Barbara Johnson mengatakan bahwa Platonisme merupakan terminologi untuk kepercayaan yangmenekankan kategori-kategori metafisika biner yang mendukung pernyataan tentang kebenaranoposisi seperti kebenaran/ketidakbenaran secara kuat. Lihat, Barbara Johnson, “Translator'sIntroduction”, Dissemination, Jacques Derrida, London : The Athlone Press, 1981, hlm. xxiv.
29 Lihat, Neel, hlm. 79.
40
analogus. Melalui investigasi teks-teks yang hilang dan disembunyikan, Derrida
menemukan sebuah kata lain yang berhubungan dengan pharmakon namun tidak
digunakan oleh Plato di dalam Phaedrus. Kepopuleran kata tersebut pada zaman
Plato dan fakta bahwa ia tidak digunakan terlihat sangat mencurigakan bagi Derrida.
Kata tersebut adalah sinonim dari pharmakeus (yang digunakan oleh Plato di dalam
Phaedrus) yang berarti penyihir, dukun, atau tukang racun.30 Pharmakeus adalah
orang-orang (penyihir, dukun, atau tukang racun) yang meracuni dan mengobati
masyarakat. Pharmakeus juga dapat dilihat sebagai para sofis yang menakut-nakuti
masyarakat dengan kematian dan mempromosikan obat (kebijaksanaan) dari
ketakutan tersebut.
Selanjutnya, teks/kata yang hilang dan sinonim dari pharmakeus yang
dimaksud adalah pharmakos. Derrida (1981: 127) mengatakan bahwa (selain berarti
penyihir, dukun, atau tukang racun) pharmakos juga memiliki implikasi lain, yaitu
scapegoat (kambing hitam); orang yang dianggap mengandung dan mempraktekan
evil (kejahatan) dan harus dikeluarkan dari kota untuk menyucikan kota ketika
malapetaka/bencana melanda kota tersebut. Ia (1981: 128) menjelaskan bahwa, di
dalam ritual penyucian tersebut, pharmakoi (bentuk plural dari pharmakos)
dikeluarkan dari kota, dipukuli dibagian genital, dan dibakar hingga mati. Maka,
berbeda dengan pharmakeus, pharmakos mengandung kualitas victimhood (ke-
korban-an) yang problematik untuk divilifikasi. Menggunakan kata pharmakos
sebagai peyoratif untuk menyudutkan posisi para sofis atau tulisan setidaknya
30 Lihat, Neel, hlm. 127
41
mengimplikasikan persetujuan terhadap kekerasan vulgar. Kekerasan massa yang
mengeklusi dan mengeksekusi orang-orang yang dituduh mempraktekan sihir terlihat
sangat irasional. Usaha Plato untuk menjauhkan dirinya dari kekerasan vulgar yang
irasional tersebut melalui penghapusan kata pharmakos merupakan hal yang tidak
begitu mengejutkan. Ia tentunya tidak ingin aksinya dalam “menyelamatkan” tulisan
dari potensinya untuk “meracuni” memori, pikiran, dan kebijaksanaan
diinterpretasikan sebagai sebuah aksi kekerasan yang penuh dengan muatan prejudis.
Namun, kekerasan Plato terhadap tulisan telah terlihat ketika ia mulai
menampilkan argumen Sokrates tentang potensi racun dari tulisan kepada Phaedrus.
Permasalahan awal adalah kelemahan dan keterbatasan memori dan kebijaksanaan
manusia. Tetapi, Plato, melalui tulisannya tentang percakapan Sokrates dengan
Phaedrus, memperlakukan tulisan (yang ia akui memiliki potensi remedi/obat)
sebagai entitas yang mengancam memori dan kebijaksanaan. Jadi, Plato, seperti
masyarakat Yunani, menolak proses instrospeksi dan amnesiak terhadap fakta bahwa
memori dan kebijaksanaan sudah teracuni dari awal. Menurut Neel (1988: 78, 83),
Plato malah mengutuk tulisan secara sembunyi-sembunyi dan berusaha untuk
menggunakan tulisan (dengan memasukan atribut dialektika tuturan) sebagai media
yang menyampaikan pandangan fonosentris-logosentris-nya. Derrida (1981: 156)
juga mengatakan bahwa, walaupun Plato menggunakan permainan (dialektika), ia
masih mengawasi dan meletakan permainan itu di dalam ruang lingkup etik dan
politik yang disetujuinya. Hal ini menunjukkan bahwa teks pharmakon Plato tidak
benar-benar pharmakon karena ia masih ditujukan sebagai media yang menegaskan
42
Platonisme dan logosentrismenya. Tetapi, karena ia membuka ketidakmungkinan
kebenaran, pharmakon bisa mengambil alih logosentrisme dan melahirkan
diferensiasi-diferensiasi teks tanpa batas. Tentu saja, tanpa pembukaanpun,
pharmakon akan selalu menghantui teks karena hubungan teks dengan teks-teks lain
bersifat tidak terbatas.
Prejudis Plato terhadap tulisan dan usahanya untuk “menyelamatkan” tulisan
menimbulkan pertanyaan tentang hubungan Plato dan pharmakeus. Obsesinya
terhadap potensi buruk tulisan setidaknya memperlihatkan paranoia yang salah
tempat karena permasalahan awal adalah kerapuhan memori dan keterbatasan
kebijaksanaan manusia (yang tanpa kehadiran tulisan akan tetap rapuh dan terbatas).
Kecurigaannya terhadap ketidakmungkinan tercapainya kebijaksanaan sejati melalui
tulisan (karena tidak memiliki sifat kelangsungan dan kehadiran tuturan) sangat
problematik karena ia mempromosikan dialektika yang pada dasarnya merupakan
rangkaian penundaan kebenaran. Neel (1988: 87–88) mengatakan bahwa, di dalam
Phaedrus, Sokrates tidak pernah mampu berbicara tentang kebijaksanaan secara
langsung, dengan suara afirmatif, melainkan, ia selalu menyampaikan kebenarannya
melalui penundaan-penundaan. Derrida (1981: ) juga mengatakan bahwa suara
langsung dan afirmatif yang menyerupai suara tuhan hanya muncul dari Thamus yang
diceritakan oleh Sokrates (di dalam tulisan Plato). Maka, untuk menyampaikan
kebijaksanaan, Sokrates-nya Plato harus mengutip atau mengatributkan
kebijaksanaan yang ingin disampaikannya kepada tokoh yang ia anggap mampu
merepresentasikan tuhan atau suara tuhan. Terlihat bahwa, Plato sebenarnya tidak
43
lebih tertarik terhadap kegiatan “penyelamatan” tulisan daripada usaha
mempertahankan kepercayaan fonosentrisme-logosentrismenya. Berdasarkan
penjelasan ini, Plato memiliki kesamaan dengan pharmakeus yang selalu
menekankan ketakutan terhadap kematian agar bisa menjual kebijaksanaan yang bisa
mengkonter ketakutan tersebut. Derrida (1981: 117) memandang bahwa “Sokrates”,
di dalam tulisan Plato, selalu terlihat sebagai seorang pharmakeus. Perbedaan antara
Plato dan pharmakeus terletak di dalam bentuk keuntungan dari penyebaran
ketakutan tersebut; pharmakeus meraih uang dan kekuasaan sedangkan Plato meraih
kenyamanan bahwa logos-nya terjaga.
1.6. Hipotesis Penelitian
Penelitian ini memiliki hipotesis bahwa novel Slaughterhouse-Five karya Kurt
Vonnegut, Jr merupakan fiksi dengan pandangan absurdisme pascastruktural.
1.7. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah adalah metode kualitatif.
Data-data diambil dari studi kepustakaan; data dari karya yang dianalisis beserta teks-
teks lain yang berkaitan. Data-data tersebut merupakan elemen-elemen fiksi (plot,
karakter, latar, diksi, simbol, dan tema). Teknik-teknik naratif di dalam novel
Slaughterhouse-Five seperti metafiksi, metafiksi historiografik, dan distorsi temporal
juga akan dijadikan data untuk dianalisis. Waugh (1984: 2) mengatakan bahwa
metafiksi adalah gaya penulisan karya fiksi yang, secara sadar dan sistematik, selalu
44
mengingatkan pembacanya terhadap status fiktif dirinya untuk memunculkan
pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara fiksi dan dunia nyata. Menurutnya
(Ibid.), selain untuk menganalisis struktur-struktur dasar dari naratif fiksi, metafiksi
juga digunakan untuk menginterogasi kemungkinan dari ke-fiktif-an dunia nyata. Jika
dihubungkan dengan konsep artifaktualitas-nya Derrida, metafiksi berfungsi sebagai
alat untuk memperlihatkan bagaimana diskursus-diskursus (budaya, sejarah, dan
politik) mempunyai realitasnya masing-masing dan dihasilkan oleh aparatus-aparatus
yang tidak memiliki kelengkapan. Dengan kata lain, metafiksi mencoba untuk
menjelaskan tekstualitas dari berbagai diskursus yang mengklaim dirinya sebagai hal-
hal yang faktual dan stabil. Selanjutnya, Hutcheon (1989: 4) menyampaikan bahwa
metafiksi historiografis adalah fiksi yang menggunakan diskursus dan teks sejarah
untuk membuat paralel antara dunia nyata dan fiksi dengan tujuan untuk
mengkonstruksi sebuah pandangan parodis tentang dunia nyata dan sastra. Ia (Ibid.)
mengatakan bahwa hal ini digunakan untuk menunjukkan historisitas dari dunia nyata
dan sastra. Jadi, tidak berbeda dengan metafiksi, metafiksi historiografis
memperlihatkan tekstualitas dari diskursus-diskursus kanon tentang berbagai
fenomena sejarah, budaya, dan politik dan, pada akhirnya, menunjukkan status
diskursus-diskursus tersebut sebagai teks-teks yang diproduksi dan memproduksi.
Terakhir, distorsi temporal adalah penulisan fiksi yang tidak mengikuti struktur
tradisional (yang berasal dari pandangan tentang linearitas waktu dan keteraturan
kronologis di mana suatu kejadian diperlakukan sebagai event yang memunculkan
kejadian lainnya secara suksesif). Distorsi temporal memperlihatkan bahwa masa
45
lalu, masa sekarang, dan masa depan selalu berinteraksi secara schizofrenik dan
menolak konsep tentang linearitas waktu—yang menjadi dasar dari ide tentang
keterpaduan identitas teks.
Selanjutnya, di dalam penelitian ini, ketika rujukan tentang Kurt Vonnegut
disampaikan, rujukan tersebut diperuntukkan bagi “Vonnegut” Si pengarang di dunia
fenomenal, Si narator yang mengaku sebagai pengarang yang menarasikan proses
penulisan novel ini, dan Si narator yang menarasikan kisah hidup Billy Pilgrim. Jadi,
di dalam penelitian ini, (kon)tekstualitas dari novel Slaughterhouse-Five berasal dari
asumsi ini. Memang, Barthes (1977: 148, 161) telah mendeklarasikan kematian
pengarang dan mengatakan bahwa, bagaimanapun, pengarang yang ditemui di dalam
karyanya hanyalah “paper author”. Jadi, bagi Barthes, pengintegrasian pengarang ke
dalam interpretasi melalui cara dan bukti apapun merupakan kesalahan pembacaan.
Pernyataan Barthes ini dapat dilihat sebagai peringatan terhadap pembacaan yang
terlalu berfokus kepada pengarang sehingga karya, sebagai objek utama penelitian,
menjadi terbengkalai karena ia diinterpreasikan berdasarkan “intensi”, “nilai”, dan
“ideologi” pengarang. Pandangan ini mungkin dapat menjaga kedinamisan
pembacaan teks sastra dari kekerasan authorial.
Namun, Martindale (1993: 17) mengatakan bahwa manusia (asli) sama seperti
buku karena kita membaca (menginterpretasikan) apa yang mereka ucapkan dan
lakukan berdasarkan nilai-nilai kultural tertentu (yang diperoleh dari dunia nyata atau
kegiatan di dunia nyata). Jadi, dapat dilihat, pendekatan yang dipakai untuk
menginterpretasikan dunia atau individu asli tidak berbeda dengan dunia fiktif dan
46
karakter di dalam cerita fiksi. Walaupun suatu karya fiksi mengintegrasikan aspek
fantastis dan fiksi sains kedalam dirinya, kejadian dan logika kejadian di dalam karya
tersebut bisa dilihat sebagai sebuah alegori atau metafora yang merefleksikan,
menentang, mengomentari, mendukung suatu kejadian, fenomena, kondisi, dan
pandangan yang ditemui di dunia nyata. Mengisolasi karya fiksi dari dunia nyata
sama saja dengan menghapus relasi-relasi tekstual dari karya fiksi dengan teks-teks
lain yang bukan fiksi. Selain itu, membaca karya fiksi dan menghubungkannya
dengan fenomena di dunia nyata bukan berarti menganggap para karakter, kejadian,
atau latar fiktif seperti Hamlet di dalam Hamlet, pembunuhan lelaki Arab oleh
Meursault di dalam The Stranger, dan planet Tralfamadore di dalam Slaughterhouse-
Five sebagai hal-hal yang nyata atau pernah terjadi di dunia nyata. Seperti yang
dikatakan sebelumnya, mereka hanyalah alegori-alegori dan metafora-metafora yang
akan dikaitkan dengan dunia nyata. Tentunya, Barthes menyadari hal ini. Tetapi
menurut Martindale (Ibid.) batasan ketat antara “teks”31 dan dunia nyata yang
diberikankan oleh Barthes mengundang dekonstruksi. Hal ini disebabkan oleh
keterkaitan aspek sejarah (kondisi sosial, politik, kultural, dan lain sebagainya)
dengan karya fiksi yang selalu digunakan sebagai basis pembacaan. Kaitan tersebut
hanya mungkin jika latar belakang penulisnya diketahui. Selain itu, jika pembacaan
benar-benar dilakukan dengan teknik formalisme yang diimplikasikan oleh Barthes,
relasi-relasi yang ditemukan di dalam teks sastra dengan dunia nyata harus dianggap
31 Secara spesifik, teks yang dimaksud adalah teks sastra, bukan teks dalam pandangan Derrida yangbisa merujuk kepada diskursus-diskursus sejarah, politik, budaya, dan lain sebagainya.
47
sebagai kebetulan dan logika teks beserta kejadian-kejadiannya tidak bisa dibaca
dengan pandangan-pandangan yang didapat dari luar teks sastra. Hal ini tentunya
membuat kritik sastra sebagai kajian yang terbatas dan tidak ada gunanya sama sekali
karena dianggap tidak memiliki hubungan apapun dengan dunia nyata.
Berdasarkan penjelasan di atas, Kurt Vonnegut yang dimaksud di dalam
penelitian ini adalah Kurt Vonnegut “asli”, bukan Kurt Vonnegut Si “paper author”.
Hal-hal yang diungkapkannya, baik itu yang ada di Bagian I—yang menceritakan
proses penulisan “novel perangnya”—ataupun hal-hal yang ditemukan di dalam cerita
“novel perangnya” merupakan hal-hal yang mengimplikasikan pandangan-
pandangannya. Tetapi, sebagaimana berbagai hal lainnya, “keaslian” hanyalah
artifaktualitas. Dengan kata lain, melalui bahasa metafisika, yang “asli” hanyalah satu
potongan kecil dari sebuah gambar yang telah disaring/dikonversi/diterjemahkan. Di
dalam penelitian ini, yang dianggap “asli” hanyalah eksistensi Vonnegut yang,
melalui gaya penulisan metafiksi dan metafiksi hitoriografis, mengimposisi
kehadirannya kepada pembaca “untuk” memunculkan pandangan tertentu. Materi-
materi dari luar Slaughterhouse-Five tentang biografi atau opini Vonnegut tidak akan
dijadikan dasar untuk mengkonstruksi keaslian “Vonnegut” atau bahan analisis novel
ini.
Lebih Jauh, karena penelitian ini berurusan dengan pelabelan karya sastra
yang dianggap mengandung reaksi terhadap pandangan filsafat absurdisme dan
tekstualitas beserta pandangan Teater Absurd, maka, pandangan absurdisme dan
pandangan Teater Absurd (secara spesifik, pandangan yang diperoleh dari kritikus
48
dan interpreter Teater Absurd terutama pandangan-pandangan dari Martin Esslin,
kritikus yang menciptakan nama “Teater Absurd”) akan dijadikan sebagai data untuk
dianalisis. Hal ini dilakukan untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang
perbedaan fundamental antara novel Slaughterhouse-Five dengan absurdisme dan
pandangan Teater Absurd.
Adapun metode penganalisisan data yang akan digunakan untuk
membuktikan hipotesis penelitian adalah (1) strategi pembacaan dekonstruksi Derrida
dan (2) pengaplikasian analisis-deskriptif berdasarkan teori-teori Derrida seperti
différance, teks, artifaktualitas, pharmakon, dan spectre. Berhubungan dengan
strategi pembacaan dekonstruksi, penelitian ini akan mengaplikasikan cara
pembacaan Derrida terhadap teks yang pada dasarnya dianggap memiliki potensi
paradoks yang menghancurkan kesatuan/kepenuhannya. Lucy (2004: 70) berpendapat
bahwa dekonstruksi menuntut pembaca untuk menyadari ketergantungan teks
terhadap teks sang lain yang selalu dianggap sebagai bagian eksterior dari teks
tersebut, seperti teks-teks politik, sejarah, dan budaya yang “memungkinkan” adanya
teks pertama. Lebih jauh, sesuai dengan mekanisme différance, sebuah teks selalu
menyembunyikan, menunda, dan mengusir teks-teks lain (atau bentuk hubungan
tertentu dengan teks-teks lain) yang tidak mendukung kesatuannya. Teknik
pengusiran teks-teks pengganggu atau bentuk dan kompleksitas hubungan dengan
teks-teks tersebut (yang berpotensi negatif terhadap kepenuhan dan finalitas suatu
teks) merupakan proses penting di dalam membentuk ilusi finalitas suatu teks karena
teks memiliki hubungan dan kompleksitas hubungan yang tak terhingga dengan teks-
49
teks lain sehingga menciptakan ketidakmungkinan untuk menjelaskan hubungannya
dengan teks-teks lain; mulai dari pendefinisian, konteks, konter definisi, verifikasi
dan penjelasan bentuk hubungan teks tersebut dengan variabel-variable tak terhingga
yang memfalsifikasikan klaim kebenaran dari teks, dan teks-teks kondisional dan
situasional yang mengoposisi. Rivkin dan Ryan menjelaskan ketidakmungkinan
finalitas dan kepenuhan identitas suatu teks di dalam kutipan berikut:
“The concept of nature is simply the concept of culture differed and deferred.It is the différance of culture. One important implication of this insight is thatif all things (all objects, ideas, and words) are produced as identities by theirdifferences from other things, then complete determination of identity (astatement of what something “is” fully and completely “in itself”) wouldrequire endless inventory of relations to other terms in a potentially infinitenetwork of differences. Truth, as the result, is always incomplete.” (Rivkindan Ryan, 2004: 258)
[Konsep alam hanyalah konsep budaya yang dibedakan dan ditunda. Ia adalahdifférance dari budaya. Implikasi penting dari pandangan ini adalah jikasemua hal (semua objek, ide, dan kata) diproduksi sebagai identitas melaluiperbedaan-perbedaannya dengan berbagai hal lain, maka, kepastian utuhsebuah identitas (pernyataan tentang sesuatu secara penuh dan utuh)mewajibkan daftar relasi tak terhingga dengan terma-terma lain di dalamjaring-jaring perbedaan yang tak terhingga. Kebenaran, sebagai akibatnya,selalu tidak penuh]
Berdasarkan kutipan di atas, tidak mengherankan jika kita mengenal
pengecualian-pengecualian di dalam berbagai sistem dan konsep epistemologis. Tentu
saja, untuk mendekonstruksi suatu teks, pembaca tidak harus membuat daftar
hubungan perbedaan yang tak terhingga, namun cukup dengan melihat bahwa apa
yang dipromosikan/diistimewakan di dalam sebuah teks perlu dipertanyakan karena
ia tidak mungkin absolut. Tugas pembaca dekonstruksi adalah mencari apa yang
50
dimarginalkan oleh teks tersebut atau bagaimana kebenaran yang diklaim oleh teks
tersebut memiliki diferensiasi-diferensiasi yang tidak sesuai dengan kesatuan
pandangan atau ide yang menjadi klaimnya. Derrida (di dalam Lucy, 2004: 144)
mengatakan bahwa ketidakhadiran dari sang lain di dalam teks meninggalkan jejak.
Di dalam pembacaan dekonstruksi, jejak-jejak dari ketidakhadiran sang lain ini harus
diikuti untuk melihat bagaimana sebuah teks menekan suara-suara disonan yang
mengganggu impresi kepenuhannya. Hal ini berpotensi untuk membebaskan teks dari
anggapan bahwa ia, pada akhirnya, memiliki essensi atau makna tunggal, tertutup,
final, dan absolut.
Pembacaan dekonstruksi akan diaplikasikan kepada pandangan absurdisme
dan Teater Absurd. Pertama, pandangan utama beserta implikasi-implikasi dari
absurdisme dan Teater Absurd akan dijelaskan. Kedua, penelitian akan mencoba
untuk mencari kontradiksi-kontradiksi yang menghancurkan kesatuan dan kepenuhan
teks atau identitas final yang diinginkan oleh teks.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk mendekonstruksi teks Slaughterhouse-
Five karena ia merupakan fiksi dengan pandangan absurdisme pascastruktural yang
mendekonstruksi asumsi metafisika di dalam absurdisme. Penelitian ini akan
memperlihatkan bagaimana Slaughterhouse-Five mendekonstruksi asumsi metafisika
di dalam absurdisme. Hal ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan pandangan-
pandangannya tentang naratif, teks dan berbagai asumsi-asumsi metafisika lainnya
melalui keidentikan pandangan-pandangan tersebut dengan konsep-konsep Derrida
seperti difference, teks, artifaktualitas, dan spectre.
51
Tentunya, sebuah teks pada umumnya memiliki pernyataan yang
mengimplikasikan kepenuhan. Tetapi, selain mendekonstruksi absurdisme, novel ini
juga bersifat pharmakon; teks “murni” yang beroperasi di dua titik berlawanan.
Penelitian ini akan mendeskripsikan “kemurnian” Slaughterhouse-Five. Hal ini
dilakukan dengan cara menganalisis teks-teks yang belawanan di dalam
Slaughterhouse-Five yang menunjukkan bagaimana sifat pharmakon-nya menolak
untuk memunculkan satu pandangan yang penuh dan terpusat.
1.8. Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. BAB I adalah pendahuluan yang mencakup
Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka
Teori, Hipotesis Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian.
BAB II berisi pembahasan tentang sejarah kemunculan absurdisme dan Teater
Absurd. Selain itu, pada bab ini, filsafat pemikiran absurdisme dan Teater Absurd
akan dijelaskan dan dianalisis. Selanjutnya, pembacan dekonstruktif akan
diaplikasiksikan kepada absurdisme dan Teater Absurd. Hal ini dilakukan untuk
memperjelas perbedaan antara pandangan-pandangan absurdisme dan Teater Absurd
dengan pandangan-pandangan absurdisme pascastruktural di dalam Slaughterhouse-
Five.
BAB III membahas relasi dari pandangan absurditas (hubungan eksistensi
manusia dan dunia) dengan determinisme fisik dan implikasi-implikasinya di dalam
Slaughterhouse-Five.
52
BAB IV memuat penganalisisan tentang bagaimana novel ini memunculkan
determinisme linguistik, mengobservasi elemen-elemen determinisme linguistik
(bagaimana ia bekerja, menghasilkan kekerasan dan Yang Absurd), mendekonstruksi
impresi ketotalan determinisme linguistik, menghindari determinisme linguistik, dan
memunculkan pandangan absurdisme pascastruktural dengan implikasi-implikasinya
seperti sifat pharmakon dan invitasinya kepada spectre.
BAB V adalah kesimpulan hasil analisis.
53