44
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak bisa dipungkiri bahwa pada sejak dahulu kala sampai saat ini paradigma realis adalah paradigma yang mendominasi dalam kajian studi ilmu hubungan internasional. Pada dasarnya kaum realis memiliki beberapa asumsi dasar seperti halnya, bahwa negara adalah aktor utama dalam sistem internasional, sistem internasional yang ada di dunia adalah sistem yang bersifat konfliktual (anarki) dimana setiap negara hanya mementingkan kepentingan negaranya sendiri untuk memperoler power serta kekuasaan sebanyak-banyak tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain atau yang biasa kita sebut dengan struggle for power. Negara sebagai aktor utama selalu bertindak berdasarkan rasional dimana selalu menghitung cost and benefit yang akan didapatkan, dan yang paling utama dalam paradigma realis adalah bahwa power, kekuasaan, dan kepentingan adalah faktor penting dalam menjelaskan segala fenomena yang terjadi dalam dunia internasional. Berbicara tentang dunia internasional dalam pandangan realis selalu erat kaitannya dengan dunia yang anarki, penuh konflik, dan penuh dengan perebutan kekuasaan yang tiada henti. 1 Pandangan kaum realis tersebut juga tergambar dalam konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) 2 1 James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Survey, 5th ed (New York: Longman, 2001), page 6364. 2 Pengunaan istilah (RRT) berdasarkan Keppres RI No. 12 Tahun 2014 pada keputusan poin kedua berbunyi “Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka dalam semua kegiatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/46665/2/BAB I.pdf · dunia internasional. Berbicara tentang dunia internasional dalam pandangan realis selalu erat kaitannya

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Tidak bisa dipungkiri bahwa pada sejak dahulu kala sampai saat ini

    paradigma realis adalah paradigma yang mendominasi dalam kajian studi ilmu

    hubungan internasional. Pada dasarnya kaum realis memiliki beberapa asumsi

    dasar seperti halnya, bahwa negara adalah aktor utama dalam sistem internasional,

    sistem internasional yang ada di dunia adalah sistem yang bersifat konfliktual

    (anarki) dimana setiap negara hanya mementingkan kepentingan negaranya

    sendiri untuk memperoler power serta kekuasaan sebanyak-banyak tanpa

    memperdulikan kepentingan pihak lain atau yang biasa kita sebut dengan struggle

    for power. Negara sebagai aktor utama selalu bertindak berdasarkan rasional

    dimana selalu menghitung cost and benefit yang akan didapatkan, dan yang paling

    utama dalam paradigma realis adalah bahwa power, kekuasaan, dan kepentingan

    adalah faktor penting dalam menjelaskan segala fenomena yang terjadi dalam

    dunia internasional. Berbicara tentang dunia internasional dalam pandangan realis

    selalu erat kaitannya dengan dunia yang anarki, penuh konflik, dan penuh dengan

    perebutan kekuasaan yang tiada henti. 1

    Pandangan kaum realis tersebut juga tergambar dalam konflik yang terjadi

    di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT)2

    1 James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, Contending Theories of International Relations: A

    Comprehensive Survey, 5th ed (New York: Longman, 2001), page 63–64. 2 Pengunaan istilah (RRT) berdasarkan Keppres RI No. 12 Tahun 2014 pada keputusan poin

    kedua berbunyi “Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka dalam semua kegiatan

  • 2

    beserta 4 negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei

    Darussalam). Laut Tiongkok Selatan secara geografis merupakan bagian dari

    Samudera Pasifik. Membentang dari selat Malaka sampai ke selat Taiwan,

    dikelilingi oleh negara-negara ASEAN, di utara berbatasan dengan RRT dan

    Taiwan, barat berbatasan dengan Vietnam Kamboja dan Thailand, Selatan

    berbatasan dengan Malaysia, Brunai Darussalam, Indonesia dan Singapura, di

    timur berbatasan dengan Filipina yang memiliki luas 3,5 juta km² yang memiliki

    banyak potensi yang dimiliki berupa kandungan hayati, mineral minyak bumi dan

    gas, serta menjadi area jalur perdagangan dan pelayaran iinternasional.3

    Laut Tiongkok Selatan merukapan laut yang memiliki luas sekitar 3,5 juta

    kilometer persegi. Luas tersebut merupakan 39% dari total luas wilayah laut di

    Asia Tenggara yang berjumlah lebih kurang 8,9 juta kilometer persegi. Klaim

    pertama kali di Laut Tiongkok Selatan terjadi pada tahun 1947 yang dilakukan

    oleh Tiongkok yang secara sepihak mengklaim hampir seluruh wilayah Laut

    Tiongkok Selatan dengan menerbitkan peta secara sepihak yang berupa tanda

    sembilan garis putus-putus di seputar wilayah perairan itu.4 Hingga sekarang

    masih terjadi pertikaian konflik atau saling klaim antara negara yang merasa

    memiliki hak atas wilayah sekitar Laut Tiongkok Selatan, seperti Negara Republik

    penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/China/Cina

    diubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik

    Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.” 3 Anugrah baginda Harahap, “Upaya ASEAN Dalam menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok

    Selatan Tahun 2010 – 2015”, JOM FISIP Vol. 3 No. 2 – Oktober 2016, hal. 2 4 Akmal Akmal and Pazli Pazli, ―Strategi Indonesia Menjaga Keamanan Wilayah Perbatasan

    Terkait Konflik Laut Tiongkok Selatan Pada Tahun 2009-2014,” Jom Fisip Volume 2 No. 2

    Oktober 2015, Universitas Riau, hal. 2.

  • 3

    Rakyat Tiongkok (RRT), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei

    Darussalam.

    Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya konflik di

    wilayah Laut Tiongkok Selatan yaitu adanya perbedaan Klaim antara Republik

    Rakyat Tiongkok (RRT) dengan beberapa negara anggota ASEAN seperti

    Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pihak Republik Rakyat

    Tiongkok (RRT) sendiri mengeluarkan serta mengklaim peta yang biasa disebut

    Nine Dash Line atau 9 garis putus-putus dalam perbatasan laut atau ZEE mereka

    di wilayah Laut Tiongkok, yang didasari oleh catatan sejarah, peta-peta kuno pada

    zaman dinasti, dokumen-dokumen kuno, dan penggunaan gugus pulau di

    sekitaran daerah sengketa oleh nelayannya yang diperkirakan sejak 2000 tahun

    yang lalu.5 Namun, dilain pihak negara-negara ASEAN (Vietnam, Filipina,

    Malaysia dan Brunei Darussalam) yang terlibat konflik lainnya menggunakan

    patokan untuk menentukan ZEE berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional

    1982.6

    Penyebab yang kedua mengapa konflik di Laut Tiongkok Selatan

    berkelanjutan dikarenakan setiap negara yang terlibat konflik menginginkan

    kekayaan sumber daya alam dan nilai strategis yang dimiliki oleh wilayah Laut

    Tiongkok Selatan. Laut Tiongkok Selatan merupakan salah satu perairan penting

    dan strategis dalam pelayaran internasional bukan hanya bagi Republik Rakyat

    5 Tues Kindyana, Kebijakan Jepang dalam Mengamankan Kepentinganya terkait Konflik Laut

    Tiongkok Selatan, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Pembangunan

    Nasional Veteran Yogyakarta, hal. 31 – 35. 6 Faudzan Farhana, Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut

    Tiongkok Selatan, Jurnal Penelitian Politik, Volume 11 No. 1 Juni 2014, Jakarta, Lembaga Ilmu

    Pengetahuan Indonesia, hal. 168.

  • 4

    Tiongkok (RRT) dan kesepuluh negara pengklaim tapi juga negara-negara besar

    lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Committee for Coordination

    of Joint Prospecting for Mineral Resources in Asian Offshore Areas, Economic

    Commission for Asia and the Far East, pada 1960-an telah ditemukan penemuan

    bahwa kawasan Laut Tiongkok Selatan memiliki potensi mineral yang besar

    terutama minyak dan gas.7

    Sejauh ini upaya yang dilakukan dalam menangani konflik di Laut

    Tiongkok Selatan adalah melalui ASEAN sebagai organisasi regional berupaya

    andil peran dalam konflik yang terjadi, seperti pembentukan DOC (Declaration of

    Conduct) hingga upaya pembentukkan Coc (Code of Conduct). ASEAN

    menyatakan sikapnya atas sengketa-sengketa di Laut Tiongkok Selatan, yaitu

    memandang bahwa Laut Tiongkok Selatan harus dijadikan peluang adanya

    kerjasama untuk kepentingan bersama daripada sebagai sumber konflik. Para

    pihak dari sengketa yang belum selesai harus menghindari tindakan yang dapat

    menganggu perdamaian, keamanan, kebebasan, dan keselamatan navigasi dari

    Laut Tiongkok Selatan, ASEAN dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yakin

    bahwa sengketa territorial di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan negara-

    negara ASEAN dan RRT jangan sampai merusak kerjasama ASEAN- RRT.8

    7 Asnani Usman dan Rizal Sukma, Konflik Laut Tiongkok Selatan dan Tantangan bagi ASEAN,

    CSIS, 1997. Dalam Harini, Setyasih. Kepentingan Nasional RRT dalam Konflik Laut Tiongkok

    Selatan. Transformasi. Vol 14, No 21. 2011, hal. 45.

    8 Widia Dwita Utami, Upaya Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dalam Meredam

    Konflik atas Sengketa Spratly Island, Skripsi, Depok: Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,

    halm. 99

  • 5

    Komitmen ASEAN- (RRT) untuk tidak menggunakan kekerasan pada

    tahun 1997 tetap berlaku. ASEAN memiliki pandangan bahwa (RRT) juga

    memiliki kewajiban hukum untuk menyelesaikan setiap konflik dan sengketa

    yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan secara damai dan menggunakan tindakan

    yang non-kekerasan yang mana sejalan dengan nilai-nilai TAC (Treaty Amity of

    Cooperation) ASEAN9 yang dianut oleh negara-negara di Asia Tenggara.

    10

    Mengingat konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan berkelanjutan

    dan mempunyai resiko dalam mengganggu kestabilan kawasan baik secara politik

    maupun ekonomi dikarenakan dapat mengancam keberlangsungan kerjasama

    ekonomi antara ASEAN dengan RRT. Dalam upaya menjaga perdamaian dan

    stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, para Menteri Luar Negeri negara anggota

    ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration on the South China Sea yang

    ditandatangani di Manila tanggal 22 Juli 1992. Sepuluh tahun kemudian, bersama

    RRT, ASEAN mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South

    RRT Sea (DOC) yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja, pada 4

    November 2002. Deklarasi ini berisikan komitmen dari negara anggota ASEAN

    dan RRT untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati

    9 TAC ASEAN merupakan sebuah kerjasama yang disepakati oleh seluruh anggota ASEAN yang

    diterapkan serta di sepakati untuk di jadkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dijadikan sebagai

    pedoman negara-negara ASEAN dalam berbangsa dan bernegara, yang mana terbentuknya TAC

    itu sendiri didasari oleh kesadaran akan kesamaan sejarah, pengalaman serta tujuan cita-cita setiap

    negara di Asia Tenggara itu sendiri. TAC itu terdiri dari prinsip-prinsip seperti: saling

    menghormati kedaulatan, kemerdekaan, persamaan, keadilan, batas negara, serta identitas nasional

    setiap negara, hak setiap negara untuk bebas dari interfensi atau paksaan dari pihak asing, non-

    inteference masalah domestic antar negara ASEAN, penyelesaian perbedaan dan sengeketa secara

    damai, penolakan terhadap penggunaan kekuatan militer dan ancaman. Baca lebih lanjut, ASEAN,

    Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976, dalam,

    http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/. 10

    Widia Dwita Utami, Upaya Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dalam Meredam

    Konflik atas Sengketa Spratly Island, Skripsi, Depok: Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,

    halm. 99

  • 6

    freedom of navigation di Laut Tiongkok Selatan, menyelesaikan sengketa secara

    damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.

    DOC menjadi pedoman bertindak bagi negara anggota ASEAN dan RRT dalam

    menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah yang menjadi sengketa dengan

    semangat kerja sama dan saling percaya.11

    DOC pada sengketa Laut Tiongkok Selatan yang disepakati oleh pihak

    ASEAN dan RRT tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat serta mengikat,

    akibatnya pihak-pihak yang terlibat sengeketa di Laut Tiongkok Selatan

    khususnya RRT tidak melaksanakan secara menyeluruh prinsip-prinsip DOC

    tentang konflik di Laut Tiongkok Selatan yang disepakati pada tahun 2002

    tersebut. Sebagai contoh RRT malah mengumumkan regulasi tentang operasi

    armada laut guna memperkuat hak pencarian ikan di Laut Tiongkok Selatan,

    selain itu RRT juga menunujukan tindakan-tindakan yang sangat agresif terhadap

    pihak asing (kapal-kapal asing) yang melintasi kawasan laut RRT berupa

    penyerangan pada kapal-kapal tersebut.12

    Keluarnya regulasi serta tindakan-

    tindakan RRT yang provokatif menunjukan bahwa RRT seakan-akan tidak

    menghormati DOC yang telah disepakati oleh kedua pihak yang bersengketa.13

    Maka dari itu banyak tuntutan untuk membentuk sebuah Coc yang

    merupakan perjanjian tertulis yang mempunyai kekuatan hukum yang jelas serta

    mengikat. Terkait pembentukkan Coc konflik Laut Tiongkok Selatan tercacat

    11

    Laut Tiongkok Selatan, Kementerian Luar Negeri Indonesia, diakses dalam

    http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Laut-RRT-Selatan.aspx diakses pada 20

    Maret 2017 pada 17.45 Wib 12

    Setyasih Harini, Kepentingan Nasional RRT dalam Konflik Laut Tiongkok Selatan.

    Transformasi. Vol 14, No 21. 2011, hal. 46 13

    Ibid, hal. 43.

  • 7

    beberapa kali ASEAN mencoba merumuskan COC tersebut. Pertama kali

    pembahasan COC dilaksanakan pada KTT ASEAN di Kamboja pada tahun 2012

    namun tidak ditemukan kesepakatan akhir terkait COC atas Laut Tiongkok

    Selatan dikarenakan Kamboja menolak terkait upaya pembentukan COC tersebut

    dikarenakan adanya ketidaksepakatan antara negara-negara anggota ASEAN

    terkait melibatkan (RRT) atau tidak dalam pembuatan Code of Conduct (COC)

    masalah Laut Tiongkok Selatan.14

    Selain itu juga adanya penyebab gagalnya ASEAN dalam membentuk

    COC dkarenakan adanya sebuah perbedaan persepsi negara Kamboja dengan

    negara anggota ASEAN lainnya dalam memandang konflik di Laut Tiongkok

    Selatan. Kamboja beranggapan bahwa sengketa di Laut Tiongkok Selatan

    bukanlah urusan dari ASEAN melainkan urusan negara yang terlibat sengketa.

    Sedangkan, Negara ASEAN lainnya beranggapan bahwa ASEAN harus

    memberikan sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah di Laut Tiongkok

    Selatan mengingat konflik tersebut berpotensi mengancam stabilitas kawasan.

    Upaya perumusan COC terkait Laut Tiongkok Selatan juga beberapa kali

    dilaksanakan setiap dilaksanakannya KTT ASEAN namun sampai saat ini COC

    terkait Laut Tiongkok Selatan mengalami kebuntuan dan tidak ditemukannya

    sebuah jalan keluar.15

    14

    Rizal Sukma, ASEAN dan Sengketa Laut Tiongkok Selatan, Kompas diakses dalam

    http://internasional.kompas.com/read/2012/04/11/02542066/ASEAN.dan.Sengketa.Laut.RRT.Sela

    tan diakses pada 20 Maret 2017 pada 18.45 Wib 15

    ASEAN Studies Progam, “The South RRT Sea and ASEAN Unity: A Cambodian Perspective

    diakses dalam https://thcasean.org/read/articles/268/The-South-RRT-Sea-and-ASEAN-Unity-A-

    Cambodian-Perspective pada 10 November 2017 pukul 21.14. Wib

    https://thcasean.org/read/articles/268/The-South-China-Sea-and-ASEAN-Unity-A-Cambodian-Perspectivehttps://thcasean.org/read/articles/268/The-South-China-Sea-and-ASEAN-Unity-A-Cambodian-Perspective

  • 8

    Posisi Kamboja sebagai sesama anggota ASEAN seharusnya mendukung

    sesama negara anggota ASEAN namun sikap Kamboja yang seolah-olah

    mendukung (RRT) terkait konflik Laut Tiongkok Selatan menarik untuk dibahas

    lebih mendalam, hal itu terbukti setelah dikeluarkannya keputusan arbitrase

    internasional yang diterbitkan pada 12 Juli 201616

    terkait sengketa di Laut

    Tiongkok Selatan menyatakan bahwa (RRT) tidak berhak atas klaim pulau

    Spratly yang disengketakan namun (RRT) tidak menerima keputusan arbitrase

    internasional tersebut dan Kamboja pun mendukung sikap (RRT) tersebut dan

    Kamboja tetap bersikukuh mendorong bahwa sengketa yang terjadi lebih baik

    diselesaikan secara bilateral.17

    Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap Kamboja

    yang berpihak kepada (RRT) sebagai penghambat ASEAN dalam merumuskan

    Code of Conduct (COC) terkait Laut Tiongkok Selatan.

    Dalam skripsi ini akan membahas bagaimana perkembangan konflik di

    Laut Tiongkok Selatan, yang diwarnai dengan adanya sebuah sikap penolakan

    Kamboja dalam pembentukan COC (Code of Conduct) yang coba dibentuk oleh

    ASEAN dalam konflik di Laut Tiongkok Selatan. Fenomena tersebut menjadi

    menarik untuk diteliti dikarenakan ASEAN adalah organisasi regional yang

    dikenal kompak dan berkomitmen dalam menyelesaikan masalah internal maupun

    eksternal. Hal tersebut didasari oleh terbentuknya ASEAN yang dibentuk dari

    komitmen elite Negara-negara dan secara konstitusional sudah matang. Kamboja

    16

    https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahkamah-arbitrase-soal-

    laut-RRT-selatan 17

    Kamboja Veto, ASEAN Gagal Bahas Laut RRT Selatan diakses dalam

    http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=76676-

    Kamboja%20Veto,%20ASEAN%20Gagal%20Bahas%20Laut%20RRT%20Selatan diakses pada

    20 Maret 2017 20.00 wib

  • 9

    sebagai sesama negara ASEAN yang mana dalam tata cara berhubungan antar

    negara sesama ASEAN didasari oleh prinsip TAC (Treaty of Amity Cooperation).

    Salah satu poin dalam TAC diantaranya berisikan bahwa sesama anggota

    ASEAN harus saling dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi, sosial, politik

    dan keamanan di kawasan. Namun, pada fenomena konflik yang terjadi di Laut

    Tiongkok Selatan. Sikap Kamboja tidak sesuai dengan salah satu poin prinsip

    TAC tersebut dan berdampak pada gagalnya upaya pembentukan COC yang coba

    dirumuskan oleh ASEAN untuk menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan

    pada tahun 2012. Dimana sebuah sikap ketidakkooperatifan yang dilakukan oleh

    Kamboja menjadi menarik untuk di teliti, dikarenakan akibat dari penolakan yang

    dilakukan Kamboja tersebut menjadi sebuah hambatan ASEAN dalam

    menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan.

    1.1 Rumusan Masalah

    Mengapa Kamboja menolak proses pembentukan COC pada konflik Laut

    Tiongkok Selatan pada tahun 2012?

    1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1.3.1.1 Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui serta memahami bagaimana perkembangan dari konflik

    di Laut Tiongkok Selatan dalam perspektif Negara ASEAN dan (RRT)

    2. Untuk Mengetahui pendekatan yang dilakukan oleh (RRT) dalam

    menjaga kepentingan (RRT) di Laut Tiongkok Selatan

  • 10

    3. Untuk mengetahui dan menjelaskan perilaku penolakan Kamboja atas

    proses pembentukan COC pada tahun 2012

    4. Dampak dari sikap penolakan Kamboja dalam upaya penyelesaian konflik

    di Laut Tiongkok Selatan oleh ASEAN

    1.3.2 Manfaat Penelitian

    1.3.2.1 Manfaat Akademis

    Penelitian ini diharapkan mampu membantu memberikan informasi yang

    dapat menjadi referensi terkait dengan perkembangan konflik di Laut

    Tiongkok Selatan, upaya apa saja yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan

    konflik di Laut Tiongkok Selatan, adanya sebuah sikap penolakan Kamboja

    atas proses pembentukkan COC pada tahun 2012, mengapa hal tersebut bisa

    terjadi serta bagaimana kepentingan Kamboja dalam konflik yang terjadi di

    Laut Tiongkok Selatan.

    1.3.2.2 Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan mampu membantu memberikan sebuah

    informasi yang relevan dan signifikan serta masukan untuk semua pihak yang

    terlibat dalam konflik di wilayah Laut Tiongkok Selatan serta untuk mengetahui

    dan menjelaskan penyebab gagalnya resolusi konflik di Laut Tiongkok Selatan

    yang disebabkan oleh penolakan Kamboja atas perumusan COC. Penulis

    mempercayai bahwa sikap penolakan proses pembentukan COC yang dilakukan

    Kamboja dikarenakan adanya kepentingan Kamboja di Laut Tiongkok Selatan.

  • 11

    1.4 Penelitian Terdahulu

    Konflik Laut Tiongkok Selatan adalah konflik yang lama yang belum

    menemui solusi akhirnya, maka banyak penelitian yang membahas terkait konflik

    di Laut Tiongkok Selatan. Hal tersebut membantu penulis sebagai referensi dan

    data pendukung dalam melakukan penelitian ini. Penulis mengambil beberapa

    penelitian terdahulu yang membahas dinamika konflik di Laut Tiongkok Selatan

    yang dapat di klasifikasikan pembahasannya membahasan secara bilateral,

    multilateral, regional. Adapun penelitian terdahulu yang membahas tentang

    perilaku sebuahNegara dalam sebuah sistem internasional atau lingkungannya

    untuk memahami dan membantu penulis untuk menentukan teori yang relevan

    untuk menjelaskan fenomena yang coba diangkat, diantaranya:

    Skripsi dari Widia Dwita Utami, Universitas Indonesia yang berjudul Upaya

    Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dalam Meredam Konflik atas

    Sengketa Spratly Island. Dalam skripsi tersebut penulis membahas tentang upaya

    yang telah dilakukan ASEAN dalam meredam konflik atas sengketa pulau Spratly

    yang merupakan salah satu pulau yang berada di kawasan konflik di Laut

    Tiongkok Selatan. Penulis menjelaskan bahwa sebenarnya sudah banyak upaya

    yang dilakukan ASEAN untuk mengatasi konflik di Laut Tiongkok Selatan,

    dimana ASEAN memiliki posisi melihat sengketa di Laut Tiongkok Selatan

    sebagai peluang dalam mengeratkan kerjasama antar negara ASEAN beserta

    dengan (RRT) maka segala tindakan yang dapat menimbulkan konflik yang

    destruktif harus dihindari, dan hasil dari serangkain upaya yang dilakukan oleh

    ASEAN dalam tulisan tersebut adanya sebuah keinginan bersama untuk

  • 12

    membentuk sebuah Declaration of Conduct (DOC) terkait konflik Laut Tiongkok

    Selatan, hal itu menunjukkan bahwa ASEAN memberikan dampak positif dalam

    konflik Laut Tiongkok Selatan. Guna meredam konflik di Laut (RRT) Selatan,

    ASEAN mengusulkan perumusan suatu Regional Code of Conduct pada

    pertemuan ACSOC ke-5 tanggal 5-7 April 1999 di Kumning, (RRT). Usulan ini

    kemudian disetujui oleh (RRT) pada KTT ASEAN- (RRT) tahun 1999.

    Sehubungan dengan hal tersebut, pada pertemuan ACSOC ke-6 yang

    diselenggarakan pada tanggal 24-25 April 2000 di Kuching, Serawak, telah

    disepakati untuk membentuk WorkingGroup on the Code of Conduct in the South

    (RRT) Sea di bawah ACSOC.

    Selanjutnya adalah penelitian tugas akhir dari Madinna Ulfa Nurjanaj,

    mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penelitian Madinna mendeskripsikan

    bagaiamana ASEAN berusaha menjaga kestabilan kawasan Asia Tenggara

    dengan menciptakan beberapa forum diskusi yang dapat dijadikan wadah untuk

    membahas isu isu yang terjadi di kawasan Asia Tenggara termasuk masalah di

    Laut Tiongkok Selatan. Peran ARF (ASEAN Regional Forum) adalah fokus

    kajian pada penelitian yang dilakukan oleh Madinna, dimana dalam tulisannya dia

    beranggapan bahwa ARF tidak mampu dalam menangani ketengangan yang

    terjadi pada 2011-2012 akibat dari tindakan (RRT) di daerah sengketa di Lau

    (RRT) Selatan.

    Penelitian selanjutnya adalah tulisan dari Colonel Guan-Jiun Jeff Jang yang

    berjudul Conflict Prevention and Confidence Building Measures in the South

    (RRT) Sea. Tulisan tersebut menjelaskan tentang permasalahan yang terjadi di

  • 13

    Laut Tiongkok Selatan yang mana bukan hanya masalah territorial namun adanya

    eksploitasi sumber daya alam, serta perebutan sumber daya alam yang melimpah

    didaerah yang diklaim oleh masing-masing negara-negara yang bersengketa di

    kawasan Laut Tiongkok Selatan. Pelajaran di tahun-tahun lalu membuat

    terjadinya trauma perang, oleh sebab itu negara-negara mencoba meminimalisir

    terjadinya konflik yang menggunakan kekerasan di kawasan Laut Tiongkok

    Selatan. Colonel Guan-Jiun Jeff jang, menawarkan konsep pencegahan konflik

    sebagai upaya mencegah terjadinya kondisi regional yang anarki dikawasan Laut

    Tiongkok Selatan, dimana penulis tersebut mempercayai bahwa diskusi antar

    negara yang terkait sengketa di Laut Tiongkok Selatan sangat diperlukan dan

    sangat fundamental jadi harus dilakukan secara intens agar tidak menimbulkan

    konflik yang semakin meluas.

    Tulisan berikutnya adalah skripsi dari mahasiswa ilmu hubungan internasional

    UMM dengan judul Peran dan Upaya Shangri-La Dialogue dalam

    Menyelesaikan Konflik di Laut (RRT) Selatan. Penulis dalam skripsi tersebut

    menjelaskan konflik Laut Tiongkok Selatan adalah konflik yang sangat panjang

    dan memiliki potensi yang besar dalam mengantar penggunakan militer maka

    dimana konflik tersbeut melibatkan negara di Asia Tenggara maka dari itu harus

    ada upaya lain yang harus di lakukan oleh negara yang terlibat dalam konflik laut

    (RRT) selain penggunan negosiasi bilateral yaitu salah satunya adalah

    pemanfaatan Shangri La Dialogue sebagai salah satu sarana untuk memediasi

    negara-negara yang berkonflik di Laut Tiongkok Selatan. Beberapa hal yang

    sudah dilakukan oleh Shangri-La Dialoge dalam berupaya mengatasi Konflik di

  • 14

    Laut (RRT) Selatan yaitu meningkatkan pembahasan terkait perkembangan isu

    terbaru konflik Laut Tiongkok Selatan dan mencoba menenangkan segala pihak

    yang terlibat konflik, bagaimana mekanisme dalam Shangri-La Dialogue dan

    penulis tersebut percaya bahwa Shangri-La Dialogue cukup berhasil dalam

    meredam atau menurunkan tensi konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan

    Penelitian berikutnya berjudul Upaya Pemerintah Indonesia dalam Mencapai

    Kepentingan Nasional di Laut Tiongkok Selatan yang ditulis oleh Deviana

    Prasetyani, dalam tulisannya menjelaskan bahwa konflik Laut Tiongkok Selatan

    merupakan sebuah ancaman bagi kepentingan nasional negara Indonesia oleh

    karena itu perlu dilakukan upaya-upaya terkait dengan territorial dan terkait batas

    wilayah yang berkaitan dengan konflik Laut Tiongkok Selatan demi menjaga

    kepentingan nasional Indonesia, dikarenakan dalam lautan banyak kepentingan

    Indonesia didalamnya mulai dari aktivitas ekonomi dan lainnya, dimana jika

    Indonesia dapat mempertahankan kepentingan nasionalnya di wilayah perbatasan

    terkait konflik Laut Tiongkok Selatan dapat memberikan peningkatan bagi

    pendapatan ekonomi bagi Indonesia dikarenakan laut yang disengketakan di

    wilayah Laut Tiongkok Selatan memiliki banyak potensi kekayaan alam, selain itu

    dengan adanya upaya pengamanan perbatasan di sekitar konflik Laut Tiongkok

    Selatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dapat meningkatkan keamanan

    Indonesia dan tentunya kepentingan nasional Indonesia tetap terjaga.

    Penelitian selanjutnya adalah sebuah Jurnal dari Setyasih Harini yang berjudul

    “Kepentingan (RRT) dalam Konflik di Laut Tiongkok Selatan” dimana penulis

    menjabarkan bahwa tindakan agresif (RRT) mengklaim banyak pulau dan

  • 15

    wilayah berdasarkan 9 garis putus-putus yang di keluarkan (RRT) didasari oleh

    kepentingan nasional (RRT) itu sendiri untuk memenuhi kepentingan

    nasionalnya. Dimana mengingat (RRT) mengalami pertumbuhan ekonomi yang

    sangat pesat dan meningkatnya jumlah populasi masyarakat (RRT),

    menyebabkan kebutuhan (RRT) akan sumber energipun juga meningkat. Maka

    dari itu (RRT) terus meningkatkan ekspor minyaknya. Namun, (RRT) menyadari

    bahwa hal tersebut tidak bisa terus dilakukan, (RRT) harus mencari sumber daya

    energy alternatif lain. Maka hal tersebut menghasilkan tindakan (RRT) yang

    mengklaim banyak wilayah di Laut Tiongkok Selatan, mengingat di kawasan

    yang diklaim oleh (RRT) sangat kaya akan sumber energi alam yang dibutuhkan

    oleh (RRT).

    Penelitian selanjutnya ada sebuah penelitian yang ditulis oleh Anak Agung,

    Wiwik Dharmiasih & Bagus Surya Widya yang berjudul “Penyebab Kegagalan

    ASEAN dalam Menyelesaikan Konflik di Laut Tiongkok Selatan” menjelaskan

    bahwa Penyebab kegagalan ASEAN dalam penyusunan Code of Conduct dibagi

    menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang dilihat dari

    konsep kelemahan organisasi nasional berdasarkan power negara anggota,

    mekanisme pengambilan keputusan, serta mekanisme penyelesaian sengketa dan

    pola penegakan aturan. Selain itu, faktor eksternal disebabkan oleh adanya

    pengaruh dari negara non anggota ASEAN, yaitu Cina. ASEAN tidak memiliki

    common position dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan karena negara-negara

    anggota ASEAN memiliki kepentingan nasional yang berbeda. Mekanisme

    pengambilan keputusan yang berdasarkan konsensus memperlambat proses

  • 16

    penyusunan COC yang dibuktikan melalui gagalnya penyusunan joint

    communiqué pada ASEAN Ministerial Meeting tahun 2012 yang disebabkan

    penolakan satu negara, yaitu Kamboja, untuk mencantumkan poin yang berkaitan

    dengan Laut Tiongkok Selatan. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa

    dengan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan High Council memiliki

    kelemahan dan tidak berjalan dengan efektif. ASEAN juga tidak memiliki pola

    penegakan aturan (enforcement) yang tegas karena adanya prinsip non intervensi

    dalam ASEAN Way. Faktor eksternal yang sangat berpengaruh adalah adanya

    hubungan ekonomi yang erat antara negara-negara ASEAN dan Cina, strategi

    persuasi dan penundaan yang dilakukan Cina, serta strategi ability to prevail yang

    dilakukan Cina untuk membujuk Negara yang ditargetkan, dalam hal ini

    Kamboja, agar mendukung kepentingan Cina

    Tabel 1.1 : Posisi Penelitian

    NO

    JUDUL DAN

    NAMA

    PENELITI

    JENIS

    PENELITIAN

    DAN ALAT

    ANALISA

    HASIL

    1 Skripsi: Upaya

    Association of

    Southeast Asian

    Nation (ASEAN)

    dalam Meredam

    Konflik atas

    Sengketa Spratly

    Island.

    Deskriptif

    Deduktif

    Upaya ASEAN dalam meredam

    sengketa atas Spratly Island

    1). Sikap ASEAN pertama kali

    atas sengketa Spratly Islands

    adalah mengeluarkan ASEAN

    Declaration on the South (RRT)

    Sea yang ditandatangani enam

    Menteri Luar Negeri negara

    ASEAN (Brunei Darussalam,

    Indonesia, Malaysia, Filipina,

    Singapura, dan Thailand) pada 22

    Juli 1992 di Manila, Filipina

    2). Setelah tahun 1997, ASEAN

  • 17

    Oleh: Widia Dwita

    Utami (Mahasiswi

    Universitas

    Indonesia Fakultas

    Hukum)

    Pendekatan:

    Organisasi

    Internasional,

    Hukum

    Internasional

    dan (RRT) semakin erat

    mendiskusikan Laut (RRT)

    Selatan. Mereka membicarakan

    Code of Conduct in the South

    (RRT) Sea yang bertujuan untuk

    meningkatkan percaya diri di Laut

    (RRT) Selatan, namun tidak

    memiliki efek kekuatan mengikat.

    Akan tetapi, pembicaraan

    ASEAN- (RRT) mengenai Code of

    Conduct in the South (RRT) Sea

    mengalami kesulitan

    3). Terdapat kesulitan dalam

    menyusun Coc

    2 Skripsi: Peran

    Organisasi

    Regional Asia

    Tenggara

    Terhadap

    Penyelesaian

    Sengketa Luat

    (RRT) Selatan

    Periode Tahun

    2011 – 2012

    Oleh : Madinna

    Ulfa N. (UIN

    Syarif

    Hidayatullah,

    Jakarta)

    Deskriptif

    Deduktif

    Pendekatan :

    Organisasi

    Internasional

    Penulis Madinna menjelaskan

    bagaimana peran ARF (ASEAN

    Regional Forum) dalam upaya

    penyelesaian konflik yang terjadi

    di Laut Tiongkok Selatan

    3 Jurnal : Conflict

    Prevention and

    Confidence

    Building Measures

    Eksplanatif

    Deduktif

    Menurutnya permasalahan yang

    ada di Laut (RRT) Selatan bukan

    hanya masalah kedaulatan

    territorial namun ada eksploitasi

    sumber daya alam. Pelajaran

    ditahun-tahun lalu membuat ada

  • 18

    in the South

    (RRT) Sea

    Oleh: Colonel

    Huan-Jiun Jeff

    Jang

    Pendekatan:

    Conflict

    Prevention,

    Diplomasi G to

    G

    trauma perang, oleh sebab itu

    negara-negara mencoba untuk

    meminimalisir, Colonel Guan-Jiun

    Jess Jang, menawarkan konsep

    pencegahan konflik sebagai upaya

    mencegah terjadinya kondisi

    anarki regional.

    4 Skripsi: Peran dan

    Upaya Shangri-La

    Dialogue dalam

    Menyelesaikan

    Konflik di Laut

    (RRT) Selatan

    Oleh: Chotitah

    Anggun Ds.

    Deskriptif

    Deduktif

    Pendekatan:

    Diplomasi

    Polilateral,

    Diplomasi

    Pertahan,

    Diplomasi

    Gastronomi

    Penulis dalam skripsi tersebut

    menjelaskan apa saja upaya yang

    sudah dilakukan oleh Shangri-La

    Dialoge dalam mengatasi Konflik

    di Laut (RRT) Selatan, bagaimana

    mekanisme dalam Shangri-La

    Dialogue dan penulis tersebut

    percaya bahwa Shangri-La

    Dialogue cukup berhasil dalam

    meredam atau menurunkan tensi

    konflik yang terjadi di Laut

    Tiongkok Selatan

    5 Upaya Pemerintah

    Indonesia dalam

    Mencapai

    Kepentingan

    Nasional di Laut

    Deskriptif

    Deduktif

    Indonesia dapat mempengaruhi

    peningkatan perekonomian,

    keamanan laut dan batas wilayah

    territorial untuk kepentingan

    nasionalnya. Penulis menjelaskan

    tentang upaya apa saja yang

    dilakukan oleh pemerintah

    Indonesia dalam Laut Tiongkok

  • 19

    Tiongkok Selatan

    Oleh: Deviana

    Prasetyani

    Pendekatan:

    Kepentingan

    Nasional,

    Kekuatan

    Negara

    Geo-Politik

    Selatan demi kepentingan nasional

    yang ingin dicapai.

    6 Peran ASEAN

    dalam

    Penanganan

    Konflik Laut

    Tiongkok Selatan

    Oleh: Akis Jasuli

    Eksplanatif

    Deduktif

    Pendekatan:

    Organisasi

    Internasional,

    Regional

    Security

    Complex

    Penulis menjelaskan upaya apa

    saja yang di lakukan ASEAN

    dalam konflik yang terjadi di Laut

    Tiongkok Selatan. ASEAN

    berupaya meredam konflik yang

    terjadi di Laut Tiongkok Selatan

    dengan beberapa upaya seperti

    pembentukan forum diskusi ARF

    serta pembentukan DOC pada

    tahun 2002, dimana penulis

    menjelaskan bahwa konflik yang

    terjadi di Laut Tiongkok Selatan

    yang melibatkan beberapa negara

    ASEAN sangat komplek karena

    setia negara ingin mencapai

    kepentingan nasionalnya masing-

    masing.

    7 Jurnal:

    Kepentingan

    (RRT) dalam

    Konfllik di Laut

    Tiongkok Selatan

    Deskriptif

    Deduktif

    Klaim (RRT) terhadap Laut

    Tiongkok Selatan dilatarbekalangi

    oleh kepentingan nasionalnya.

    Pertama, dari segi ekonomi

    menunjukkan keberhasilan

    modernisasi yang dimulai dari

    masa Deng Xiaping hingga

    sekarang. Pertumbuhan ekonomi

    yang semakin meningkat yang

    disertai dengan meningkatnya

    tingkat kesejahteraan masyarakat

    tentu membutuhkan sumber energi

    yang semakin besar. Sumber

    energy terutama energi alam dari

    dalam negeri semakin lama tidak

    cukup untuk memenuhi kebutuhan

  • 20

    Oleh: Setyasih

    Harini

    Pendekatan:

    Realis,

    National

    Interest

    penduduk. Sebagai

    konsekuensinya, pemerintah

    Beijing perlu mencari sumber

    alam alternatif dari luar negeri.

    Laut Tiongkok Selatan

    berdasarkan berbagai penelitian

    menunjukkan adanya kekayaan

    alam yang melimpah sehingga

    dapat dijadikan sebagai sumber

    energi untuk masa mendatang.

    8 Penyebab

    Kegagalan

    ASEAN dalam

    Penyusunan Code

    of Conduct

    Sengketa Laut

    Tiongkok Selatan

    Selama Periode

    2002 - 2012

    Oleh: Anak

    Agung, Wiwik

    Dharmiasih &

    Bagus Surya

    Widya

    Eksplanatif

    Deduktif

    Pendekatan

    Organisasi

    Internasional,

    Regiolisme

    Kegagalan ASEAN dalam

    membentuk COC disebabkan oleh

    2 faktor utama yaitu faktor internal

    dan eksternal. Dimana faktor

    internal tersebut dapat diuraikan

    bahwa adanya perbedaan

    kepentingan Negara ASEAN

    dalam konflik di laut tiongkok

    selatan menyebabkan adanya

    ketidak kesepakatan dalam

    perumusan COC pada tahun 2012,

    selain itu faktor internal lainnya

    adalah mekanisme pengambilan

    keputusan yang di anut ASEAN

    melalui konsensus merupakan

    sebuah kelemahan dikarenakan

    mudah untuk tidak mencapai

    kesapakatan jika ada Negara

    anggota yang menolak sebuah

    keputusan yang di ambil dalam

    KTT ASEAN. Adapun faktor

    internalnya adalah pengaruh cina

    yang sangat besar terhadap

    kerjasama ekonomi Negara

    ASEAN dan Kamboja menjadi

    hambatan yang besar bagi

    pembentukkan COC, Tiongkok

    dengan strategi Delaying dan

    persuasi terhadap Negara ASEAN

    terbukti berhasil hal itu dapat

    dilihat dari sikap Kamboja yang

    menolak pembentukkan COC pada

    tahun 2012

  • 21

    9 Analisis Sikap

    Penolakan

    Kamboja dalam

    Proses

    Pembentukan

    Code of Conduct

    (COC) sebagai

    Penyebab

    Kegagalan

    ASEAN dalam

    Menyelesaikan

    Konflik di Laut

    Tiongkok Selatan

    Oleh: Maharadis

    Juanda

    Eksplanatif

    Deduktif

    Pendekatan:

    Stag Hunt

    Game Theory,

    Regionalisme

    Sikap penolakan Kamboja dalam

    proses pembentukan COC dalam

    konflik Laut Tiongkok Selatan,

    setelah penulis melakukan analisa

    menggunakan pendekatan Stag

    Hunt Game Theory dan konsep

    regionalisme terdapat sebuah

    penjelasan bahwa:

    -sikap penolakan atas

    pembentukan COC oleh Kamboja

    didasari oleh suatu permainan

    politik. Kamboja melakukan

    tindakan yang menunjukkan

    ketidak komitmen an Kamboja

    dalam mencapai tujuan bersama

    ASEAN dalam hal penyelesaian

    konflik di Laut Tiongkok Selatan,

    melalui sikap penolakannya dalam

    pembentukan COC yang secara

    tidak langsung mendukung dan

    tetap menjaga kepentingan (RRT),

    yang dampak dari tindakannya

    tersebut memberikan kerugian/

    hambatan kepada ASEAN dalam

    upayanya untuk menyelesaikan

    konflik di Laut Tiongkok Selatan

    dan hal itu merupakan permainan

    yang dilakukan (RRT) untuk tetap

    menjaga hubungan Kamboja –

    (RRT) tetap baik, mengingat

    Kamboja mengalami

    ketergantungan secara ekonomi,

    politis kepada (RRT).

    -berdasarkan konsep regionalism,

    bahwa adanya sebuah adanya

    sikap ketidak kooperatifan

    Kamboja dengan penolakannya

    terhadap pembentukkan COC

    menunjukkan bahwa adanya

    sebuah ketidak samaan pandangan

    antar Negara ASEAN dalam

    melihat permasalahan di dalam

    kawasan

  • 22

    Beberapa referensi diatas adalah beberapa referensi yang yang digunakan

    sebagai acuan penulis untuk menulis penilitan ini sekaligus sebagai data

    pendukung bagi penulis. Meskipun memiliki pembahasan yang sama terkait tema

    penelitian penulis dengan daftar penelitian di atas yaitu terkait konflik di Laut

    Tiongkok Selatan. Namun, ada beberapa perbedaan dalam isi pembahasan.

    Perbedaan tersebut terletak pada subjek penelitian yang coba di angkat dan

    pendekatan yang di gunakan dalam menjelaskan studi kasus. Saya sebagai penulis

    melihat Kamboja yang merupakan negara bukan yang terlibat dalam konflik Laut

    Tiongkok Selatan ternyata juga ikut terlibat dalam dinamika konflik Laut

    Tiongkok Selatan.

    Serta adanya sebuah sikap opportunis dari Kamboja terkait konflik Laut

    Tiongkok Selatan yang mana Kamboja sebagai negara anggota ASEAN

    seharusnya mendukung sebuah upaya pembentukan COC yang di inisiasi oleh

    ASEAN, namun pada nyatanya Kamboja malah menolak adanya upaya

    perumusan COC tersebut pada pertemuan AMM ke-45 dan seakan malah

    mendukung pihak (RRT) dimana menunjukkan ketidak komitmenan Kamboja

    dalam mencapai kepentingan bersama ASEAN dalam kasus di Laut Tiongkok

    Selatan. Adapun pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan Game

    Theory Stag Hunt dan Regionalisme.

  • 23

    1.5 Kerangka Teori

    1.5.1 Stag Hunt Game Theory

    Dunia ini merupakan sebuah panggung dunia yang penuh dengan drama,

    konflik, anarki serta penuh dengan permainan dimana banyak aktor atau pemain

    yang mencoba menjadi pemenang setiap persaingan, dan kompetisi yang ada.

    Game theory memiliki asumsi dasar bahwa setiap aktor dalam dunia internasional

    selalu bertindak bagaikan sebuah permainan catur yang mana setiap tindakannya

    didasari oleh rasional serta logika dan memiliki tujuan untuk mendapatkan

    keuntungan sebanyak-banyaknya serta meminimalisirkan bahkan menihilkan

    kerugian yang ada, setiap aktor dalam tindakannya selalu melakukan tindakan

    yang dia anggap paling memberikan keuntungan bagi aktor tersebut, hal itu sesuai

    dengan penjelasan dari James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr yang

    menjelaskan bahwa:

    “Game theory is based on abstract form of reasoning, arising from

    combination of mathematics and logic. … In the social sciences,

    game theory specifies what whould happen in situation in which

    actors—each with strategies, goals, and preferred outcomes—

    engage in interaction in the form of a game. Nearly all game

    theorists agree that the theory with which they deal is addressed to

    what is rationally correct behavior in situations in which the

    participant are trying to win—to maximize gain or minimize loss—

    rather than to the way they actually may behave in such situation.

    For the sake of theoretical analysis, game theorist assume rational

    behavior, simply because they find this assumption more profitable

    for theory building than observe of it.”18

    18

    James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, 2001, Contending Theories of International

    Relations: A Comprehensive Survey, (ed.5) New York: Longman, hal. 562.

  • 24

    Game Theory dipahami sebagai sebuah permainan dimana setiap aktor

    dalam bertindak berdasarkan rasional, yang memiliki harapan keluar sebagai

    pemenang, namun hasil dari permainan tersebut tidak hanya di tentukan oleh

    strateti pemain saja, namun juga strategi dari aktor lainnya. Penerapan Game

    theory dalam kebijakan adalah proses pembuatan kebijakan yang berdasarkan

    logika dan berdasarkan rasionalitas. Dimana tujuan dari Game Theory adalah

    melakukan sebuah tindakan menggunakan strategi yang paling Cocok untuk

    mereka mainkan demi mencapai kepentingan mereka.19

    Setiap teori pasti memiliki

    tujuan hasil maupun hasil yang ingin dicapai, Richard C. Snyder menjelaskan

    tentang Game Theory beserta tujuannya adalah:

    “The purpose of game theory is two-fold: to formulate mathematically

    complete principles that will specify what is rational behavior in certan

    kinds of social situations and, on the basis of such principles, to isolate the

    general characteristic os such behaviours. Thus it is a method of analysis

    and a method of selecting the best courses of actions. The social situation

    are those that are goal-oriented—action is geared to accomplishment of

    certain ends. These situations call for rational behavior, i.e, behavior

    designed to produce decisions and courses of action embodying the least

    costly way to achieve goals or to keep losses to a minimum given operating

    conditions. These situations are market by conlflict, competition, and often

    co-operation.”20

    Penggunakan dari Game Theory digunakan di berbagai bidang ilmu

    pengetahuan, baik itu ekonomi, matematik, psikologi sampai ilmu sosial. Dan

    kaitan Game Theory dengan sosial dan ekonomi yaitu, dalam ilmu sosial kurang

    lebih seperti penjelasan sebelumnya bahwa Game Theory dalam ilmu sosial

    19

    James R. Situmorang, Penggunaan Game Theory dalam Ilmu Sosial, Jurnal Administrasi Bisnis

    (2015), Vol.11, No.2: hal. 160–172, (ISSN:0216–1249), Universitas Katolik Parahyangan, hal. 161

    – 163.

    20 James N. Rosenau, 1975, International Politics and Foreign Policy: A Reader In Research and

    Theory, New York: The Free Press; London: Collier Macmillan, hal. 383.

  • 25

    digunakan untuk menjelaskan bahwa aktor dalam bermain dalam dunia

    internasional selalu bertindak sesuai tindakan yang paling memberikan

    keuntungan bagi mereka atau meminimalkan sebuah kerugian, dimana Game

    Theory sebuah metode untuk menganalisa dan memberikan opsi pilihan maupun

    strategi apa yang terbaik yang harus dilakukan oleh suatu aktor agar dapat

    mendapatkan keuntungan sebanyak dan kerugian seminim mungkin.21

    Stag Hunt merupakan salah satu macam Game Theory yang berkembang

    dalam kajian keilmuan saat ini, ide Stag Hunt pada awalnya muncul dari Jean Jack

    Roussenau dalam karyanya yang berjudul Kontrak Sosial dimana Rossesnau

    membahas tentang bagaimana menciptakan sebuah kondisi saling bekerja sama

    dalam kondisi yang kompetitif/ dalam kondisi persaingan. Brian Skryms

    mengulas kembali secara lebih rinci masalah Stag Hunt dalam bukunya yang

    berjudul The Stag Hunt and the Evolution of Social Structure. Stag Hunt adalah

    sebuah teori yang menjelaskan tentang sebuah kondisi dimana jika segerombolan/

    sekelompok orang melakukan perburuan rusa di hutan. Dimana jika semua

    anggota yang berburu memiliki komitmen yang sama dalam memburu rusa maka

    kemungkinan untuk mendapatkan rusa semakin tinggi dan semua anggota dapat

    memakan rusa, namun jika ada salah satu anggota yang tidak berkomitmen dan

    malah memilih untuk berpaling memburu kelinci daripada berfokus mengepung

    dan menangkap rusa, maka kemungkinan rusa akan kabur dan semua orang tidak

    mendapatkan rusa dan makan selain anggota yang memilih menangkap kelinci

    saja yang mendapatkan makan dari hasil tangkapan kelincinya tersebut. Anggota

    21

    James E. Dougherty and Robert L. Pfaltzgraff, 2001, Contending Theories of International

    Relations: A Comprehensive Survey, (ed.5) New York: Longman, hal. 562.

  • 26

    yang pembelot tersebut disebut sebagai The Defector yang menolak untuk

    berkomitmen bekerjasama untuk menangkap rusa dan lebih memilih menangkap

    kelinci.22

    Setiap tindakan yang diambil oleh setiap anggota yang ikut bergabung

    dalam berburu dipengaruhi pada dasarnya dilandasi dengan pandangan anggota

    tersebut terhadap tindakan apa yang akan dilakukan oleh anggota lainnya. Selain

    itu banyak dimensi yang ada didalamnya yang juga mempengaruhi sikap yang

    diambil oleh anggota tersebut dalam memilih berkomitmen memburu rusa atau

    memburu kelinci yang memiliki resiko dan hasil masing-masing, dimensi tersebut

    diantaranya adalah pay off yang berkaitan dengan hasil apa yang akan dia peroleh

    setelah melakukan tindakan tertentu, dan biasanya pay off yang diinginkan oleh

    setiap anggota adalah hasil timbal balik yang banyak memberikan keuntungan

    kepada dirinya.23

    Selanjutnya The Shadow of The Future (bayangan masa depan) bayangan

    masa depan atau segala kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan,

    merupakan sebuah dimensi yang kecenderungan mendorong aktor tersebut untuk

    melakukan kerjasama dengan aktor lainnya. Shadow of The Future terbentuk dari

    beberapa unsur yaitu Long Time Horizon yaitu kerjasama yang terus berlanjut

    dalam kurun waktu yang tak terhinggga, Regularity of Stakes yaitu interaksi yang

    terus menerus terjadi di antara aktor, diulang-ulang dilalukan oleh aktor tersebut

    dengan aktor lainya, Reliability of Information about the Other yaitu informasi

    yang bisa diandalkan tentang tindakan apa yang di ambil oleh aktor lain yang

    22

    Bryan Skyrms, 2004, The Stag Hunt and the Evolution of Sosial Structure, New York,

    Cambridge University Press, hal. 2 – 4 23

    Ibid

  • 27

    sangat menentukan tindakan apa selanjutnya yang akan di ambil oleh aktor

    tersebut. Reliability of Information about the Other merupakan unsur yang sangat

    penting dikarenakan informasi antar aktor satu dengan lainnya akan membentuk

    sebuah rasa saling kepercayaan, Quick Feedback yaitu timbal balik antara

    kebijakan aktor satu dengan aktor lainnya yang saling mempengaruhi satu sama

    lain.24

    Stag Hunt Game Theory menjelaskan bahwa tindakan aktor untuk

    berkomitmen bekerjasama atau tidak, dipengaruhi oleh pandangan aktor tersebut

    terhadap tujuan yang ingin dicapai. Dimana dalam Stag Hunt terbagi menjadi dua

    pihak yang mempunyai tindakan yang berbeda. Pihak yang pertama yaitu aktor

    yang berkomitmen bekerja yang dilandasi dengan dasar keuntungan bersama.

    Sedangkan pihak yang kedua merupakan pihak yang memilih untuk tidak bekerja

    sama atau disebut dengan The Defector yang didasari oleh resiko yang ingin

    dihindari. Dalam Stag Hunt menjelaskan bahwa pihak The Defector yang tidak

    berkomitmen bekerjasama selain didasari oleh upaya untuk menghindari resiko,

    juga disebabkan ketidak sadaran pihak tersebut terhadap keuntungan bersama

    yang dapat dicapai yang notabene lebih besar yang bersifat long-term

    dibandingkan dengan keuntungan yang didapat setelah bertindak secara

    individualis (menolak bekerjasama) yang hanya bersifat short-term dan adanya

    rasa saling ketidak percayaan antar satu pemain dengan lainnya.25

    Adanya bayangan masa depan dan juga pay-off structure, tidak selalu

    ditentukan oleh pertimbangan yang obyektif. Ekspektasi menjadi faktor yang

    24

    R. Axelrod & R.O. Keohane, „Achieving cooperation under anarchy: Strategies and institutions,‟

    World politics, vol. 38, no. 1, 1985 , hal. 232 – 234 25

    Bryan Skyrms , Op. Cit., hal. 3 – 9

  • 28

    sangat penting, karenanya setiap rezim memiliki ekspektasi yang berbeda-beda,

    dan ketika pada masa perubahan rezim maka hal itu juga mempengaruhi

    pertimbangan aktor lainnya. Selain itu dimensi yang mempengaruhi dalam Stag

    Hunt adalah Number of Actor dimana hal itu dipahami sebagai jumlah aktor yang

    tergabung juga menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi pertimbangan

    suatu aktor, dimana dengan adanya mengetahui jumlah aktor yang bergabung

    maka seseorang aktor dapat mengidentifikasi siapa yang akan menjadi the

    Defector dan mereka akan mencari cari bagaimana untuk menekan ataupun

    menentukan tindakan apa yang harus diberikan agar the Defector tidak bertindak

    sendiri yang berujung pada kerugian bersama.26

    The Defector atau pihak yang bertindak sendiri atau lebih memilih

    menangkap kelinci memiliki hasil yang tidak dipengaruhi oleh tindakan pihak

    yang lainnya, namun sebaliknya pihak yang ingin menangkap rusa hasil yang

    akan di peroleh sangat di pengaruhi oleh tindakan pihak lainnya, dimana jika

    semua pihak berkomitmen untuk saling bekerjasama dalam menangkap rusa maka

    rusa tersebut akan tertangkap namun jika ada satu pihak saja yang tidak

    bekerjasama maka kemungkinan rusa itu akan lepas akan sangat tinggi. Dalam

    teori Stag Hunt pihak yang lebih memilih untuk tidak bekerjasama dalam

    menangkap rusa dan lebih memilih kelinci didasari oleh ketidaksadaran akan

    dampak keuntungan bersama yang akan didapatkan jika pihak tersebut

    bekerjasama untuk bersama-sama menangkap rusa seperti jumlah daging banyak

    26

    R. Axelrod & R.O. Keohane, Op.Cit., hal. 235

  • 29

    yang akan di peroleh.27

    Jika di gambarkan dalam tabel maka perhitungannya

    seperti tabel berikut:

    Tabel 1.2. Perhitungan Dalam Stag Hunt

    Stag Rabbit

    Stag 5 , 5 0 , 3

    Rabbit 3 , 0 3 , 3

    Gambar 1.1 Ilustrasi Permainan dalam Stag Hunt

    28

    Jika dikaitkan dalam kajian ilmu hubungan internasional teori Stag Hunt

    sangat relevan untuk menjelaskan sebuah kerjasama yang dilakukan oleh beberapa

    Negara dalam kondisi yang saling kompetitif, dimana setiap Negara dianalogikan

    sebagai pemburu rusa, dimana rusa adalah kepentingan besar yang ingin dicapai

    bersama-sama, sedangkan pemburu yang membelot dan tidak berkomitmen dalam

    menangkap rusa dan memilih menangkap kelinci adalah Negara yang tidak

    27

    Bryan Skyrms , Op. Cit., hal. 5 28

    https://mindyourdecisions.com/blog/2016/12/06/how-a-culture-of-honor-can-be-a-barrier-to-

    cooperation-a-stag-hunt-game-experiment-in-rural-india-game-theory-tuesdays/ diakses pada

    November 2017 pukul 20.00 Wib

    https://mindyourdecisions.com/blog/2016/12/06/how-a-culture-of-honor-can-be-a-barrier-to-cooperation-a-stag-hunt-game-experiment-in-rural-india-game-theory-tuesdays/https://mindyourdecisions.com/blog/2016/12/06/how-a-culture-of-honor-can-be-a-barrier-to-cooperation-a-stag-hunt-game-experiment-in-rural-india-game-theory-tuesdays/

  • 30

    berkomitmen dalam mencapai kepentingan bersama yang ingin dicapai oleh

    sekelompok Negara, dimana Negara tersebut adalah the Defector yang menolak

    untuk bekerjasama dalam mencapai kepentingan bersama dan malah ingin

    mencapai kepentingannya sendiri.

    Dalam kasus sikap sikap penolakan yang di tunjukkan oleh Kamboja pada

    saat proses pembentukan COC (Code of Conduct) yang di inisiasi oleh ASEAN

    pada tahun 2012 yaitu sikap penolakan Kamboja dalam proses pembentukkan

    COC dapat di jelaskan melalui teori Stag Hunt. Dimana sekelompok berburu yang

    bersama-sama bertujuan ingin memburu rusa (tujuan bersama) adalah setiap

    Negara ASEAN yang mencoba merumuskan COC pada tahun 2012 sedangkan

    rusa (tujuan bersama) yang ingin dicapai adalah terbentuknya COC (Code of

    Conduct). Seperti yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya bahwa Stag Hunt

    adalah teori yang menjelaskan tentang komitmen untuk bekerjasama untuk

    mencapai tujuan bersama yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti Pay-off,

    Shadow of The Future, Number of Player dimana anggapan setiap masing-masing

    pemain memiliki asumsi bahwa setiap pemain yang ikut bermain memiliki

    kepentingan yang berbeda-beda.

    Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut halnya tidak

    membuat semua anggota yang berburu tetap ingin berkomitmen dalam bekerja

    sama dalam mencapai tujuan bersama, namun atas pertimbangan untuk mencapai

    kepentingannya sendiri yang biasanya berjangka pendek maka muncul anggota

    yang lebih memilih berburu kelinci (keuntungan yang hanya didapatkan oleh

    pihak tersebut, tidak dengan anggota lainya) dimana hasil yang akan didapatkan

  • 31

    tidak dipengaruhi oleh tindakan pihak lain dan pemain tersebut disebut The

    Defector dan dalam kasus ini yang menjadi pihak The Defector adalah Kamboja

    sebagai pihak yang menolak berkomitmen untuk mencapai kepentingan bersama

    hal itu tergambarkan dari sikap penolakan Kamboja dalam proses pembentukan

    COC pada tahun 2012, sedangkan kelinci (keuntungan pribadi) yang ingin dicapai

    oleh Kamboja adalah untuk tetap menjaga hubungan yang dalam dengan (RRT),

    mengingat (RRT) adalah Negara terbesar dalam memberikan bantuan Kamboja

    dalam sektor ekonomi, bantuan donor dana ataupun militer.29

    Adapun skema

    perhitungan dari Stag Hunt dalam kasus sikap penolakan Kamboja dan Kamboja

    sebagai pihak The Defector yang tidak bekerjasama dalam menangkap rusa atau

    tujuan bersama dan memilih menangkap kelinci (keuntungan sendiri tanpa

    dipengaurhi oleh tindakan pihak lain) sebagai berikut:

    Tabel Stag 1.2.2 Hunt Dalam Kasus Sikap Penolakan Kamboja dalam Proses

    Pembentukkan COC

    Kamboja Cooperate Kamboja Defect

    (Anggota ASEAN

    lainnya) Cooperate

    5,5 0,3

    (Anggota ASEAN

    lainnya) Defect

    0,0 0,3

    *note angka hanyalah penggambaran keuntungan yang akan didapatkan.

    Perhitungan tabel diatas yang menunjukkan keuntungan yang akan didapat

    Kamboja atas tindakannya sebagai The Defector di dasari oleh beberapa

    alasan, seperti halnya (RRT) merupakan partner kerjasama dalam berbagai

    29

    Sovinda Po and Veasne Var, "Cambodia‟s South RRT Sea Dilemma Between RRT and

    ASEAN, diakses dalam https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html pada 1

    November 2017 pada pukul 17.15 Wib

    https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html

  • 32

    bidang baik ekonomi seperti halnya perdagangan bebas yang dilakukan oleh

    kedua Negara mencapai 4,8 US Dollar pada tahun 2015,30

    militer, politis.

    Mengingat Kamboja memiliki ketergantungan ekonomi yang sangat kuat dari

    (RRT), mulai dari 40% investasi di Kamboja berasal dari (RRT), banyaknya

    bantuan persenjataan militer yang di pasok dari (RRT), banyaknya bantuan yang

    diberikan setiap tahunnya, dimana (RRT) sebagai pendonor dana terbesar di

    Kamboja.31

    Selain itu dalam pembangunan infrastruktur di Kamboja (RRT) juga

    mempunyai peran yang besar hal itu dapat di lihat dari 10 jembatan dan lebih dari

    2000 km di bangun dari bantuan dana yang diberikan oleh (RRT). Selain itu

    banyaknya MNC dari (RRT) yang ada di Kamboja kurang lebih sejumlah 3000

    perusahaan memberikan sebuah lowongan pekerjaan bagi banyak masyarakat

    Kamboja, dan menyumbang 2% kepada GDP Negara Kamboja.32

    Seperti yang dijelaskan sebelumnya jika hasil dari pihak The Defector

    tidak dipengaruhi oleh tindakan dari pihak lainnya, maka dalam kasus ini

    Kamboja sebagai pihak The Defector hasil yang akan diperoleh tidak dipengaruhi

    oleh tindakan pihak anggota ASEAN lainnya yang menginginkan terbentuknnya

    COC (Code od Conduct). Pada dasarnya teori Game Theory pada umumnya

    termasuk Stag Hunt akan menghasilkan suatu kondisi ekuilibrium atau kondisi

    atau strategi yang saling menguntungkan kedua belah pihak, namun dalam teori

    Stag Hunt tidak selamanya memberikan kondisi ekuilibrium yang menguntungkan

    semua pihak. Dalam kasus penolakan Kamboja terhadap pembentukkan COC

    30

    https://www.voacambodia.com/a/close-relations-with-RRT-in-cambodia-interest-foreign-

    minister/4028819.html diakses pada 1 Novermber 2017 pukul 18.10 Wib 31

    Ibid 32

    http://www.khmertimeskh.com/news/26618/RRT---s-influence-in-cambodia/ diakses pada 1

    Novermber 2017 pukul 18.10 Wib

    https://www.voacambodia.com/a/close-relations-with-china-in-cambodia-interest-foreign-minister/4028819.htmlhttps://www.voacambodia.com/a/close-relations-with-china-in-cambodia-interest-foreign-minister/4028819.htmlhttp://www.khmertimeskh.com/news/26618/china---s-influence-in-cambodia/

  • 33

    pada tahun 2012 menunjukkan bahwa sikap kamboja tidak memberikan

    keuntungan anggota ASEAN lainnya yang menginginkan terbentukknya COC.

    Namun disatu sisi tindakan tidak bekerjasama dengan Negara anggota

    ASEAN lainnya memberikan keuntungan kepada Kamboja, sebagai penjelasan

    sebelumnya bahwa hasil yang diperoleh The Defector tidak dipengaruhi oleh

    pihak lain, dengan tindakan penolakkan Kamboja terhadap pembentukkan COC

    berdampak kepada tetap terjaganya hubungan baik antara Kamboja denga (RRT),

    dikarenakan dalam pandangan Kamboja jika COC tersebut dibentuk maka

    mengancam hubungan (RRT) dengan ASEAN.

    Shadow of The Future atau ekspetasi yang ingin di dapatkan oleh masing-

    masing anggota ASEAN yang ingin merumuskan COC pada tahun 2012. Pada

    dasarnya menginginkan COC terkait konflik sengketa terbentuk, dan memberikan

    keamanan kedaulatan politik, serta ekonomi kepada seluruh Negara anggota

    ASEAN yang berkonflik serta untuk menghentikan (RRT) dari klaim sepihaknya.

    Namun Kamboja yang selaku The Defector memiliki ekspetasi yang berbeda

    dimana Kamboja berkeinginan agar COC tidak terbentuk dikarenakan Kamboja

    berpendapat jika COC terbentuk maka hal tersebut akan mengancam

    keberlangsungan kerjasama yang dilakukan oleh ASEAN- (RRT) mengingat

    (RRT) adalah partner yang sangat penting bagi ASEAN khususnya dalam bidang

    perdagangan, dan nantinya juga akan berdampak kepada keberlangsungan agenda

    Kamboja yaitu pembangunan ekonomi dan negaranya yang sangat membutuhkan

  • 34

    kerjasama internasional, dan peran (RRT) dalam bantuan pembangunan di

    Kamboja sangat besar.33

    Dengan adanya hubungan kerjasama yang intens dan saling kepercayaan

    yang timbul antara Kamboja – (RRT), yang saling mempengaruhi tindakan satu

    sama lain merupakan unsur yang membentuk Shadow of Future dari pihak

    Kamboja itu sendiri. Selain itu seperti penjelasan sebelumnya bahwa The Defector

    adalah pihak yang menghindari adanya resiko, hal itu sangat sejalan dengan sikap

    penolakan Kamboja pada proses pembentukan COC pada 2012. Dimana sikap

    penolakkan Kamboja sangat terlihat syarat kepentingan, bisa dikatakan sikap

    penolakan Kamboja merupakan sebuah tindakan untuk menghindari resiko akan

    keberlangsungan hubungan antara Kamboja – (RRT).

    Pay-Off yaitu timbal balik yang didapatkan oleh setiap anggota yang ingin

    berburu, timbal balik yang diharapkan oleh Negara anggota ASEAN yang

    menginginkan terbentuknya COC pada tahun 2012 yaitu 0 atau tidak ada timbal

    balik atau keuntungan yang di dapatkan. Sedangan Kamboja sebagai Negara The

    Defector mendapatkan timbal balik yang hanya mereka dapatkan sendiri yaitu

    sebuah keberlanjutan hubungan Kamboja- (RRT) guna mendukung mencapai

    agenda Negara Kamboja yaitu pembangungan dalam sektor ekonomi dan

    infrastruktur. Selain itu Kamboja juga mendapatkan bantuan luar negeri yang

    paling besar selama ini yaitu bantuan 2 miliar US dollar dari (RRT) pasca 2 bulan

    penolakan Kamboja atas pembentukkan COC yang terjadi di tahun 2012.34

    33

    Ibid 34

    Radio Free Asia, Cambodia Scores More Aid From RRT, diakses dalam

    http://www.rfa.org/english/news/cambodia/RRT-04102013151022.html diakses pada 20 April

    2017

  • 35

    1.5.2 Regionalisme

    Intergrasi regional atau kawasan adalah sebuah fenomena yang menyebar

    luas hamper keseluruh Negara di dunia, hal itu di tandai dengan banyaknya

    terbentuk organisasi regional yang ada di dunia. Tidak ada definisi pasti tentang

    integrasi kawasan atau regionalism tapi banyak teoritisi hubungan internasional

    yang menjelaskan karakteristik atau pola-pola yang terjadi di integrasi regional

    atau terjadinya sebuah regionalism. Seperti yang di jelaskan oleh Bruce Russes

    dalam bukunya International Regions and the Interntional System (1967)

    menjelaskan sebuah kawasan mempunyai 3 kriteria atau karakteristik: adanya

    sebuah kedekatan fisik atau geografis, adanya saling ketergantungan satu sama

    lain, dan homogenitas. Kedekatan geografis merupakan salah satu faktor yang

    mengawali terjadinya integrasi kawasan meskipun pada saat ini seiring dengan

    meningkatnya transportasi dan komunikasi, banyak pakar yang berpendapat

    bahwa faktor kedekatan geografis kurang relevan.35

    Kriteria yang kedua yaitu keterkaitan saling ketergantungan satu sama lain

    juga mempengaruhi terjadinya sebuah integrasi kawasan, dimana dikarenakan

    adanya ketergantungan khususnya pada bidang ekonomi akan mendorong

    terjadinya sebuah integrasi kawasan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan

    Negara mereka. Kriteria yang yang ketiga yaitu adanya sebuah homogenitas, yang

    dimaksudkan dengan homogenitas adalah adanya sebuah kesamaan nilai, sistem

    ekonomi, sistem politik, jalan hidup, tingkat pembangunan ekonomi dan lain-lain.

    35

    Walter Carknaes, Thomas Risse & Beth A Simmons, 2013, Handbook Hubungan Internasional,

    terj. Imam Baehaqie, Bandung: Nusa Media, hal. 998 – 999

  • 36

    Dalam artian Negara-negara yang melakukan integrasi regional memiliki

    kecenderungan sikap yang sama dalam melihat sebuah isu yang terjadi di sebuah

    kawasan tersebut.36

    Adapun para teoritisi lainnya menjelaskan bahwa suatu kawasan yang

    berintegrasi memiliki lima karakteristik. Pertama memiliki kedekatan geografis.

    Kedua, memiliki kesamaan dalam sosio-kultural. Ketiga, kesamaan dalam

    keanggotaan dalam organisasi internasional. Keempat, adanya ketergantungan

    ekonomi antar Negara. Kelima, terdapat kemiripan dalam sikap dan tindakan

    politik dalam organisasi internasional.37

    Dalam kasus penolakkan yang dilakukan

    Kamboja dalam proses pembentukkan COC dapat dikatakan sebuah kasus yang

    menarik dikarenakan salah satu poin dalam sebuah kawasan yaitu homogenitas

    kesamaan nilai, ataupun sikap dan tindakan yang seharusnya Negara yang sudah

    berintegrasi memiliki sebuah kesamaan atau kesepakatan suara dalam suatu

    permasalahan yang terjadi di kawasan. Dalam hal tersebut Kamboja dapat

    dikatakan tidak sejalan dengan nilai-nilai yang termuat dalam TAC (Treaty Amity

    of Cooperation) dimana TAC tersebut pada dasarnya sebuah norma atau tata cara

    bergaul dalam ASEAN yang selain menekankan non-intervensi antar anggota

    ASEAN juga saling bekerja sama dalam menyelesaikan masalah bersama.38

    36

    Ibid 37

    Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochammad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan

    Internasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 104 38

    TAC ASEAN merupakan sebuah kerjasama yang disepakati oleh seluruh anggota ASEAN yang

    diterapkan serta di sepakati untuk di jadkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dijadikan sebagai

    pedoman negara-negara ASEAN dalam berbangsa dan bernegara, yang mana terbentuknya TAC

    itu sendiri didasari oleh kesadaran akan kesamaan sejarah, pengalaman serta tujuan cita-cita setiap

    negara di Asia Tenggara itu sendiri. TAC itu terdiri dari prinsip-prinsip seperti: saling

    menghormati kedaulatan, kemerdekaan, persamaan, keadilan, batas negara, serta identitas nasional

    setiap negara, hak setiap negara untuk bebas dari interfensi atau paksaan dari pihak asing, non-

    inteference masalah domestic antar negara ASEAN, penyelesaian perbedaan dan sengeketa secara

  • 37

    Namun dalam kasus penolakkan yang dilakukan Kamboja pada

    pembentukkan COC pada tahun 2012 menunjukkan bahwa adanya sebuah ketidak

    samaan nilai/persepsi dalam memandang suatu permasalahan kawasan, dimana

    Negara ASEAN lainnya ingin terbentuk COC sebagai solusi terhadap

    permasalahan di Laut Tiongkok Selatan, namun Kamboja memiliki pandangan

    yang berbeda dimana dalam pandangan Kamboja jika COC di bentuk maka

    memberikan dampak buruk bagi ASEAN khususnya terkait hubungan ASEAN

    dengan (RRT) mengingat (RRT) merupakan partner yang sangat vital dengan

    ASEAN dalam berbagai aspek kerjasama multilateral yang ada.39

    Hal itu

    menunjukkan bahwa regionalism yang terjadi di Asia Tenggara tidak berjalan

    sepenuhnya dimana masih banyaknya perbedaan setiap masing-masing Negara

    dalam berbagai permasalahan yang ada dalam kawasan belum lagi sering

    terjadinya konflik antar Negara ASEAN secara bilateral.

    1.6 Metode Penelitian

    1.6.1 Variabel Penelitian dan Level Analisa

    Dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel dependen

    (variabel yang di pengaruhi) dan independen (variabel yang mempengaruhi

    variabel dependen) adapun cara untuk mengidentifikasi variabel dependen atau

    independen dengan menentukan terlebih dahulu tingkat analisis, yakni sebuah

    damai, penolakan terhadap penggunaan kekuatan militer dan ancaman. Baca lebih lanjut, ASEAN,

    Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976, dalam,

    http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/. 39

    Sovinda Po and Veasne Var, "Cambodia‟s South RRT Sea Dilemma Between RRT and

    ASEAN, diakses dalam https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html pada 1

    November 2017 pada pukul 17.15 Wib

    https://ippreview.com/index.php/Blog/single/id/425.html

  • 38

    penentuan kepada subyek untuk menjelaskan mengapa sebuah peristiwa dapat

    terjadi. Penentuan tingkat analisis bertujuan supaya penulis dapat memilih teori

    yang relevan untuk menjelaskan suatu fenomena yang terjadi.40

    Dalam penilitian

    penulis tingkat analisis dapat di jelaskan sebagai berikut:

    Unit Analisis dalam penelitian ini adalah: Sikap Penolakan Kamboja yang

    menolak terhadap Proses Perumusan COC yang diinisiasi oleh ASEAN

    pada tahun 2012

    Sedangkan, Unit Eksplanasinya adalah: Proses Pembentukan COC oleh

    ASEAN pada tahun 2012

    Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah Negara-bangsa

    sedangkan yang menjadi unit eskplanasi adalah sistem regional/ global, maka

    penelitian ini menggunakan model analisa induksionis dikarenakan unit

    eksplanasi lebih tinggi daripada unit analis. Selain itu unit analisis dapat dipahami

    sebagai variabel dependen sedangkan unit eksplanasi dapat dipahami sebagai

    variabel independen.

    1.6.2 Metode Penelitian

    Skripsi ini menggunakan metode eksplanatif, dimana penilitian tipe

    eksplanatif dapat dipahami sebuah penelitian yang menganalisa sebuah peristiwa

    40

    Endi Haryono & Saptopo B Ilkodar, Menulis Skripsi: Panduan Untuk Mahasiswa Ilmu

    Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 32

  • 39

    dengan tujuan untuk mencoba menerapkan teori/ konsep yang digunakan dalam

    rangka mencoba menjelaskan fenomena, penelitian eksplanatif bertujuan untuk

    menjawab sebuah pertanyaan “mengapa” suatu fenoma bisa terjadi.41

    Dalam

    kasus penilitian penulis ingin menjelaskan fenomena “mengapa” sikap penolakan

    Kamboja dalam proses pembentukan COC pada tahun 2012 bisa terjadi

    menggunakan teori Stag Hunt dan Regionalisme.

    1.6.3 Teknik Analisa Data

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif

    deduktif, yaitu sebuah Analisa data yang menyangkut kegiatan reduksi, penyajian

    data dan menarik sebuah kesimpulan. Langkah melakukan reduksi data meliputi

    kegiatan memilih data yang relevan dengan tujuan dan tema penelitian,

    menyederhanakan data dengan tanpa mengurangi makna atau membuang data

    yang sekiranya memang tidak dibutuhkan. Data terpilih kemudian akan dipahami,

    diolah dan kemudian akan dijelaskan melalui pemahaman intelektual yang logis

    dan rasional.42

    1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

    Pada penelitian ilmu hubungan internasional sangat jarang menggunakan data

    primer, begitu pula dalam penelitian ini dibutuhkan sumber informasi maupun

    data dari satu sumber yaitu data sekunder dengan menggunakan studi pustaka

    41

    Endi Haryono & Saptopo B Ilkodar, Menulis Skripsi: Panduan Untuk Mahasiswa Ilmu

    Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 2 42

    Endi Haryono & Saptopo B Ilkodar, Menulis Skripsi: Panduan Untuk Mahasiswa Ilmu

    Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 44

  • 40

    seperti buku-buku ilmiah, website resmi, internet, jurnal, serta referensi-referensi

    yang dapat diperoleh dan membantu dakam menguatkan data maupun informasi

    yang disampaikan yang berkaitan dengan judul yang diambil oleh penulis. Penulis

    menggunakan studi literatur untuk memperoleh informasi maupun pedoman

    dalam mencapai data yang akurat, signifikan, faktual dan bermanfaat bagi

    penelitian serta bahan-bahan yang bersifat documenter (dokumen tertulis) seperti:

    laporan, buku-buku teks, makajal jurnal, ebook, artikel ilmiah yang memuat

    pernyataan public atau perseorangan, serta publikasi dari lembaga-lembaga resmi

    Negara dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan penelitian ini. 43

    1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian

    a. Batasan Materi

    Penelitian ini akan fokus menelaah sikap penolakan Kamboja dalam

    konflik Laut Tiongkok Selatan yang menolak adanya proses pembentukan COC

    pada 2012, untuk mengetahui dan menjelaskan kepentingan Kamboja yang

    dalam dinamika Konflik di Laut Tiongkok Selatan.

    b. Batasan Waktu

    Adapun batasan waktu dalam penelitian ini adalah dari tahun sebelum tahun

    2011 - 2014. Peneliti ingin menjelaskan sikap penolakan dari Kamboja terkait

    penolakkannya dalam proses pembentukan COC konflik Laut Tiongkok Selatan.

    Alasan dari batasan waktu tersebut adalah meskipun penolakan yang dilakukan

    oleh Kamboja terhadap proses pembentukkan COC pada tahun 2012. Namun,

    43

    Ibid, hal. 53

  • 41

    perlu dipahami dinamika dari konflik Laut Tiongkok Selatan itu sendiri, mulai

    dari sebelum dan sesudah adanya tindakan penolakkan yang dilakukan oleh

    Kamboja (2012), hal itu disebakan pendekatan Game Theory yang penulis

    gunakan, dikarenakan ada strategi yang dilakukan sebelum tindakan Kamboja di

    ambil, dan timbal balik yang didapatkan Kamboja setelah melakukan penolakkan

    terhadap pembentukkan COC pada sengketa di Laut Tiongkok Selatan.

    1.7.Hipotesa

    Penulis memiliki hipotesa bahwa tindakan penolakan Kamboja yang

    seharusnya mendukung sikap negara sesama ASEAN terkait dalam menyikapi

    konflik Laut Tiongkok Selatan. Namun, pada kenyataanya Kamboja tidak

    menunjukkan adanya itikad untuk mendung ASEAN dengan sikap penolakkan

    perumusan COC atas sengketa di Laut tiongkok Selatan. Hal itu menunjukkan

    adanya ketidaksamaan pandangan antara Kamboja dengan Negara anggota

    ASEAN lainnya. Dimana Negara ASEAN pada umumnya menginginkan

    penyelesaian dengan multilateral guna mencapai kepentingan bersama yang ingin

    dicapai oleh ASEAN terkait konflik di Laut Tiongkok Selatan. Namun, Kamboja

    memiliki pandangan yang berbeda yaitu bahwa konflik Laut Tiongkok Selatan

    bukan urusan dari ASEAN serta menolak pembentukkan COC yang ingin

    dibentuk oleh ASEAN pada tahun 2012

    Adapun hipotesa yang penulis miliki berdasarkan kerangka teori Game

    Theory Stag Hunt terkait sikap penolakan Kamboja terhadap proses pembentukan

    COC adalah sebagai berikut:

  • 42

    1. Sikap penolakan Kamboja dalam proses pembentukkan COC pada tahun

    2012. Merupakan permainan yang dilakukan oleh Kamboja yang

    berdasarkan sikap pragmatism atau self-interest. Dimana posisi Kamboja

    dalam permainan pembentukkan COC pada tahun 2012 adalah sebagai

    pihak The Defectori yaitu pihak yang memutuskan untuk tidak

    bekerjasama dengan anggota lainnya. Dengan tujuan untuk meminimalisir

    kerugian dan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.

    2. Keputusan Kamboja menolak pembentukkan COC tahun 2012 terjadi

    berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional yang dilakukan oleh

    Kamboja. Dimana dalam pandangan Kamboja sangat tidak

    menguntungkan jika Kamboja mendukung terbentuknya COC pada tahun

    2012. Hal itu disebabkan akan dapat mengganggu hubungan Kamboja –

    RRT yang sangat memberikan kerugian bagi Kamboja, mengingat

    kamboja sangat tergantung pada RRT. Ketergantungan Kamboja kepada

    RRT menjadi faktor utama dalam terbentukknya sikap penolakan yang

    dilakukan oleh Kamboja pada COC tahun 2012. Pasalnya 60% dari total

    investasi asing di Kamboja berasal dari RRT, banyaknya MNC yang

    menjadi penyumbang GDB dan menjadi tempat jutaan warga Kamboja

    bekerja. Maka akan menjadi sangat riskan bagi stabilitas hubungan

    Kamboja – RRT jika mendukung terbentuknya COC tahun 2012.

  • 43

    1.8. Sistematika Penulisan

    Pada bab I penulis menuliskan tentang latar belakang, tujuan, manfaat,

    serta alasan mengapa penelitian tersebut diangkat. Kemudian semua hal tersebut

    dianalisis dengan menggunakan teori untuk mendapatkan hasil dari penelitian

    tersebut. Selain itu, dalam bab I juga terdapat beberapa penelitian terdahulu yang

    menjadi landasan awal penelitian penulis, dan beberapa data yang akan

    memperkuat penelitian penulis. Bab I juga akan menjelaskan hipotesis yang

    diperkirakan oleh penulis menjadi jawaban dari penelitian ini.

    Pada bab II penulis akan memaparkan persoalan yang melatar belakangi

    terjadinya konflik sengketa di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Negara

    RRT dan beberapa Negara ASEAN, serta pada bab II penulis akan menjelaskan

    bagaimana pendekatan politik dari RRT kepada Negara ASEAN untuk

    mempengaruhi kebijakan Negara ASEAN terhadap konflik di Laut Tiongkok

    Selatan. Selain itu dalam bab ini akan dijelaskan tentang unit analisis sikap

    penolakan Kamboja pada proses pembentukkan COC Code of Conduct pada

    tahun 2012.

    Pada Bab III penulis akan menjelaskan tentang unit eksplanasi yaitu proses

    pembentukkan COC (Code of Conduct) yang coba diciptakan oleh ASEAN untuk

    menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan. Penjelasan terhadap proses

    pembentukkan COC akan menggunakan Game Theory Stag Hunt, yang mana

    sikap Kamboja yang berpihak kepada RRT merupakan sebuah bentuk permainan

    yang dijalankan oleh Kamboja, dimana dalam proses pembentukkan COC

  • 44

    Kamboja yang menolak bekerjasama disebut sebagai pihak The Defector yang

    bertujuan untuk meminimalisir kerugian untuk mencapai keuntungan sebesar-

    besarnya tanpa memperhatikan keuntungan bersama yang ingin dicapai oleh

    kelompok.

    Bab yang terakhir menjelaskan tentang semua kesimpulan dari penelitian

    yang ditulis sehingga dapat menjelaskan tentang poin-poin dalam kesimpulan dan

    jawaban dari penelitian ini. Selain itu, dalam bab terakhir ini akan dijelaskan

    tentang saran peneliti untuk penelitian selanjutnya.