23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terletak pada jalur api ( Ring of Fire), Hal tersebut menyebabkan banyaknya aktivitas vulkanisme yang terjadi di Indonesia. Salah satu gunung vulkanik yang masih aktif di Indonesia ialah Gunung Merapi yang terletak di Sleman, Yogyakarta. Gunung tersebut terletak pada 4 perbatasan yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Klaten. Letak gunung tersebut berada pada daerah zona subsduksi, dimana lempeng Indo-Australia menunjam dibawahlempeng Eurasia yang megontrol aktivitas vulkanisme daerah Pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Nusa tenggara. Aktivitas vulkanik terjadi pada beberapa kurun waktu Terakhir, Aktivitas tersebut menyebabkan kerugian material serta merenggut sejumlah korban yang ada pada sekitar lereng Gunung Merapi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya muntahan material dari dalam gunung serta awan panas yang mengarah pada permukiman warga yang menyebabkan rusaknya wilayah permukiman serta timbulnya korban jiwa. Peristiwa Erupsi yang terjadi pada Gunung Merapi beberapa tahun terakhir ialah pada tahun 1998, 2006, dan 2010. Salah satu letusan yang besar terjadi pada tahun 2010, letusan tersebut menyebabkan kerusakan pada beberapa permukiman dekat dengan lereng Gunung Merapi. Akibat lain yang ditimbulkan dari erupsi ialah adanya korban jiwa sebesar 347 orang meninggal serta pengungsi akibat erupsi sebesar 410.318 jiwa. Jumlah terbesar pada D.I. Yogyakarta yaitu 246 jiwa di Kabupaten Sleman, menyusul pada Kabupaten Magelang 52 jiwa, Kabupaten Klaten 29 jiwa, dan Kabupaten Boyolali sebanyak 10 jiwa (BNPB, 2011). Kecamatan Turi Kabupaten Sleman merupakan salah satu yang mengalami dampak dari Erupsi Gunung Merapi dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.ums.ac.id/76674/2/BAB I.pdf · Penerapan identifikasi jalur evakuasi dapat . 3 diterapkan dengan memperhatikan gambaran citra dan metode

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terletak pada jalur api (Ring of Fire),

Hal tersebut menyebabkan banyaknya aktivitas vulkanisme yang terjadi di

Indonesia. Salah satu gunung vulkanik yang masih aktif di Indonesia ialah

Gunung Merapi yang terletak di Sleman, Yogyakarta. Gunung tersebut

terletak pada 4 perbatasan yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang,

Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Klaten. Letak gunung tersebut berada

pada daerah zona subsduksi, dimana lempeng Indo-Australia menunjam

dibawahlempeng Eurasia yang megontrol aktivitas vulkanisme daerah Pulau

Jawa, Sumatera, Bali, dan Nusa tenggara. Aktivitas vulkanik terjadi pada

beberapa kurun waktu Terakhir, Aktivitas tersebut menyebabkan kerugian

material serta merenggut sejumlah korban yang ada pada sekitar lereng

Gunung Merapi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya muntahan material

dari dalam gunung serta awan panas yang mengarah pada permukiman

warga yang menyebabkan rusaknya wilayah permukiman serta timbulnya

korban jiwa.

Peristiwa Erupsi yang terjadi pada Gunung Merapi beberapa tahun terakhir

ialah pada tahun 1998, 2006, dan 2010. Salah satu letusan yang besar terjadi

pada tahun 2010, letusan tersebut menyebabkan kerusakan pada beberapa

permukiman dekat dengan lereng Gunung Merapi. Akibat lain yang

ditimbulkan dari erupsi ialah adanya korban jiwa sebesar 347 orang

meninggal serta pengungsi akibat erupsi sebesar 410.318 jiwa. Jumlah

terbesar pada D.I. Yogyakarta yaitu 246 jiwa di Kabupaten Sleman,

menyusul pada Kabupaten Magelang 52 jiwa, Kabupaten Klaten 29 jiwa,

dan Kabupaten Boyolali sebanyak 10 jiwa (BNPB, 2011). Kecamatan Turi

Kabupaten Sleman merupakan salah satu yang mengalami dampak dari

Erupsi Gunung Merapi dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 20

2

jiwa (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2010). Kerusakan yang terjadi

mengakibatkan banyaknya rumah serta fasilitas umum yang rusak akibat

pengaruh aliran awan panas atau wedhus gembel. Beberapa kerugian lain

yang disebabkan erupsi gunung merapi ialah kehilangan material serta

puluhan hewan ternak. Peristiwa aktivitas guung merapi kembai terjadi pada

bulan maret than 2019, meskipun hanya sebatas keluarnya abu vulkanik

pada radius yang tergolong sangat pendek.

Bencana Erupsi merupakan fenomena yang tidak dapat diprediksi secara

pasti oleh siapapun, oleh karena itu upaya untuk meminimalisir dampak

perlu untuk dilakukan. Upaya untuk meminimalisir hal tersebut diwujudkan

pemerintah melalui Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana. Pasal tersebut menjelaskan mengenai upaya

negara dalam meminimalisir korban serta kerugian akibat adanya berbagai

bencana seperti social, alam, dan sebagainya. Salah satu perwujudan untuk

mengurangi timbulnya korban bencana Erupsi Gunung Merapi pada

Undang- Undang No. 24 Tahun 2007 ialah menyiapkan lokasi evakuasi

sebagaimana pada pasal 45 ayat 2 point E. Jalur evakuasi serta bunker yang

disediakan oleh pemerintah tersebar pada beberapa kecamatan, dengan

jumlah yang beragam. Jalur tersebut dirancang oleh instansi pemerintah

yaitu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dengan

memperhatikan beberapa aspek yang mendukung lancarnya evakuasi. Jalur

evakuasi yang ada pada saat ini dibuat oleh BPBD (Badan Penanggulangan

Bencana Daerah) Kabupaten Sleman. Jalur evakuasi yang ada pada

kecamatan Turi yang tersedia berjumlah 2 jalur, dimana jalur yang dibuat

tidak melewati sungai maupun jembatan. Masih banyaknya jalan yang dapat

dimanfaatkan untuk jalur evakuasi yang memungkinkan perlu

dipertimbangkan untuk bahan pembuatan jalur yang baru.

Citra penginderaan jauh merupakan salah satu media yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi objek yang ada pada permukaan bumi

secara tidak langsung. Penerapan identifikasi jalur evakuasi dapat

3

diterapkan dengan memperhatikan gambaran citra dan metode tertentu.

Metode Least Cost Path merupakan salah satu metode yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi jalur evakuasi melalui nilai pixel yang

terdapat pada sebuah citra satelit. Metode tersebut mampu digunakan untuk

mengidentifikasi jalur evakuasi dengan akurasi yang tergolong baik.

Evaluasi perlu dilakukan untuk menambah optimalisasi dari jalur evakuasi

yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap publik.

1.2. Perumusan Masalah

Bencana yang dapat terjadi dalam kurun waktu tertentu

memerlukan penanganan khusus untuk mengurangi dampak yang

mungkin terjadi. Daerah yang memiliki radius paling dekat dengan

wilayah erupsi Gunung Merapi memerlukan perhatian khusus karena

memiliki risiko dampak yang lebih besar. Kecamatan Turi merupakan

salah satu kecamatan yang memiliki jarak yang dekat dengan Erupsi

Gunung Merapi dan termasuk pada daerah Kawasan Rawan Bencana

oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Jalur evakuasi

sangat diperlukan sebagai sarana untuk masyarakat apabila terjadi Erupsi

Gunung Merapi.

Jalur yang ada pada saat ini merupakan jalur yang dibentuk oleh

Dinas BPBD, evaluasi perlu diterapkan untuk menjadi bahan

pembaharuan jalur yang baru. Penggunaan metode Least Cost Path

sebagai dasar pembuatan peta jalur evakuasi memiliki perbedaan dengan

peta jalur evakuasi yang diterbitkan oleh BPBD. Perbedaan yang ada

terdapat pada parameter yang digunakan dalam pembuatan peta, dimana

dinas hanya menggunakan indikator sungai, jalan dan lokasi jembatan

yang ada pada wilayah tersebut. Peta yang dihasilkan memiliki

perbedaan karena memiliki indikator yang berbeda. Perbedaan tersebut

dapat dibandingkan untuk menguji efektifitas dari peta yang telah ada

dengan peta baru yang akan dibuat untuk menghasilkan hasil yang lebih

efektif.

4

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan maka rumusan

masalah dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana metode Least Cost Path diterapkan dalam penetapan

Jalur Evakuasi Bencana erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Turi?

2. Bagaimana perbandingan efektifitas peta jalur evakuasi yang

dihasilkan dengan metode Least Cost Path dengan peta jalur

evakuasi BPBD Kabupaten Sleman?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan maka tujuan

dari penelitian ini ialah

1. Memetakan jalur evakuasi bencana erupsi Gunung Merapi dengan

metode Least Cost Path.

2. Membandingkan efektifitas peta jalur evakuasi dinas BPBD

Kabupaten Sleman dengan peta jalur evakuasi metode Least Cost Path.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat

terhadap berbagai pihak yang diantara lain ialah:

1. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menjadi sarana untuk melakukan

evakuasi apabila terjadi Bencana Erupsi Gunung Merapi.

2. Bagi Civitas Akademik, penelitian ini dapat menjadi sarana

pembelajaran untuk pemanfaatan data penginderaan jauh dalam

mengatasi permasalahan Bencana Erupsi Gunung Merapi.

3. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat menjadi evaluasi dari arsip yang

telah ada pada instansi terkait untuk bahan pertimbangan

pembaharuan arsip lama.

5

1.5. Telaah Pustaka

1.5.1. Tinjauan Pustaka

1.5.1.1. Bencana Erupsi Gunung Merapi

Bencana Menurut Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 ialah

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana yang terjadi di

Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu bencana alam, bencana non-

alam, dan bencana social.

Bencana Alam menjadi salah satu bencana yang sering terjadi pada

Indonesia seperti banjir, tanah longsor, angin topan, kekeringan, letusan

gunung vulkanik, gempa bumi dan lain sebagainya. Salah satu bencana yang

memiliki dampak besar di Indonesia ialah Erupsi Gunung Vulkanik. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), erupsi dapat diartikan sebagai

letusan gunungapi, semburan sumber minyak, dan uap panas. Tipe erupsi

Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe vulkanian lemah dan tidak

begitu eksplosif, namun aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap

erupsinya). Erupsi yang terjadi menimbulkan banyaknya material piroklastik,

lava, dan abu vulkanik yang keluar menuju permukaan. Material tersebut

memiliki dampak yang berbahaya bagi penduduk yang berada pada daerah

sekitar lahan tersebut. Adapun bahaya tersebut antara lain ialah.

6

Tabel 1. Bentuk Bahaya Erupsi Gunung Merapi

No. Bentuk Bahaya Keterangan

1 Leleran lava leleran lava merupakan cairan lava yang

pekat dan panas dapat merusak segala

infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan

aliran lava tergantung dari kekentalan

magmanya, makin rendah kekentalannya,

maka makin jauh jangkauan alirannya.

Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar

antara 800o 1200o C. Pada umumnya di

Indonesia, leleran lava yang dierupsikan

gunungapi, komposisi magmanya

menengah sehingga pergerakannya

cukup lamban sehingga manusia dapat

menghindarkan diri dari terjangannya.

2 Aliran Piroklastik

(Awan Panas/Wedus

Gembel)

aliran piroklastik dapat terjadi akibat

runtuhan tiang asap erupsi plinian,

letusan langsung ke satu arah, guguran

kubah lava atau lidah lava dan aliran

pada permukaan tanah (surge). Aliran

piroklastik sangat dikontrol oleh

gravitasi dan cenderung mengalir melalui

daerah rendah atau lembah. Mobilitas

tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh

pelepasan gas dari magma atau lava atau

dari udara yang terpanaskan pada saat

mengalir. Kecepatan aliran dapat

mencapai 150 250 km/jam dan

jangkauan aliran dapat mencapai puluhan

7

kilometer walaupun bergerak di atas

air/laut.

3 Jatuhan Piroklastik

(Abu Vulkanik

Jatuhan piroklastik terjadi dari letusan

yang membentuk tiang asap cukup

tinggi, pada saat energinya habis, abu

akan menyebar sesuai arah angin

kemudian jatuh lagi ke muka bumi.

Hujan abu ini bukan merupakan bahaya

langsung bagi manusia, tetapi endapan

abunya akan merontokkan daundaun dan

pepohonan kecil sehingga merusak agro

dan pada ketebalan tertentu dapat

merobohkan atap rumah. Sebaran abu di

udara dapat menggelapkan bumi

beberapa saat serta mengancam bahaya

bagi jalur penerbangan.

4 Lahar Letusan Lahar letusan terjadi pada gunungapi

yang mempunyai danau kawah. Apabila

volume air alam kawah cukup besar akan

menjadi ancaman langsung saat terjadi

letusan dengan menumpahkan lumpur

panas.

5 Gas Beracun Gas beracun umumnya muncul pada

gunungapi aktif berupa CO, CO2, HCN,

H2S, SO2 dll, pada konsentrasi di atas

ambang batas dapat membunuh.

Sumber : Kementrian Energi Sumber Daya Mineral

8

1.5.1.2. Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi

Bencana Erupsi Gunung Merapi memiliki efek pada beberapa rentnag

wilayah yang berbeda antara satu wilayah dengan yang lain. Perbedaan

tersebut dapat dikelompokkan dengan menggunakan Peta Kawasan Rawan

Bencana (KRB) yang dibuat lembaga Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB). Kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan jenis dan sifat dari

letusan gunung vulkanik yang telah terjadi pada beberapa periode sebelumnya.

Erupsi gunung merapi memiliki 3 kawasan yang dikelompokkan berdasarkan

besar kecilnya dampak yang terjadi pada wilayah tersebut. Kawasan tersebut

terbagi menjadi KRB I, KRB II, dan KRB III.

Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana

Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (2011)

Kawasan Rawan Bencana (KRB) merupakan kawasan yang memiliki

dampak paling besar terhadap letusan Gunung Merapi secara langsung.

Menurut BPBD Sleman (2017), wilayah KRB III memiliki resiko terdampak

9

langsung oleh erupsi seperti magma, awan panas, dan hujan abu yang lebat.

Pada wilayah tersebut sangat tidak dianjurkan untuk didirikan bangunan

permukiman tetap dan pusat aktivitas manusia. Radius yang ada pada KRB III

mencapai 8 km – 15 km untuk awan panas terukur dari dari kubah.

KRB II memiliki dampak yang lebih kecil dibandingkan dengan KRB III,

lontaran material serta awan panas menjadi salah satu ancaman yang terjadi

pada kawasan ini. Kejadian erupsi yang besar mengharuskan masyarakat yang

bermukim didaerah tersebut untuk melakukan evakuasi segera untuk

menghindari adanya korban jiwa. Msyarakat dapat kembali ke permukiman

apabila aktivitas vulkanik yang ada mengalami penurunan sesuai dengan

arahan BPBD Sleman serta laporan dari Pos Pengamatan Merapi. Apabila

erupsi terjadi maka wilayah KRB II terdampak aliran panas sejauh 17 km atau

lebih berdasarkan rekaman aktivitas yang sebelumnya.

KRB I memiliki jarak yang paling jauh dari pusat erupsi, akibat dari hal

tersebut berdampak pada timbulnya potensi lahar/banjir. . Lahar adalah aliran

massa berupa campuran air dan material lepas berbagai ukuran yang berasal

dari kegiatan gunungapi. Munculnya lahar dapat menyebabkan kerusakan pada

bagian sekitar sungai apabila meluap, semakin besar luapan yang terjadi

menyebabkan kerusakan yang besar juga terhadap lahan yang diolah

masyarakat.

1.5.1.3. Mitigasi Bencana

Menurut Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 Mitigasi adalah

serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui

pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

menghadapi ancaman bencana. Pengurangan resiko bencana diwujudkan dalam

pasal 47 dilakukan melalui:

1. Pelaksanaan penataan ruang.

2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata

bangunan.

10

3. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara

konvensional maupun modern.

Kegiatan mitigasi bencana dilakukan untuk mempersiapkan apabila terjadi

bencana sewaktu – waktu untuk mengurangi timbulnya korban serta kerugian

material. Pelaksanaan tata ruang dan pembangunan infrastruktur menjadi salah

satu factor penting dalam persiapan penangangan bencana untuk persiapan

jalur evakuasi.

1.5.1.4. Jalur Evakuasi

Menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 Tahun 2010, Evakuasi

adalah kegiatan memindahkan korban bencana dari lokasi bencana ke tempat

yang aman atau penampungan pertama untuk mendapatkan tindakan

penanganan lebih lanjut. Evakuasi dilakukan sebagai sebuah wujud mitigasi

bencana untuk mengurangi jumlah korban yang dapat timbul. Kesiapan

menanggapi bencana diatur dalam pasal 48 UU Nomor 24 Tahun 2007,

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat

sebagaimana dimaksud anatara lain ialah

1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan

sumber daya.

2. Penentuan status keadaan darurat bencana.

3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.

4. Pemenuhan kebutuhan dasar.

5. Perlindungan terhadap kelompok rentan.

6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Berdasarkan beberapa point yang telah dijabarkan jalur evakuasi

merupakan salah satu saran yang harus ada pada daerah rawan bencana. Jalur

evakuasi merupakan salah satu perwujudan dari mitigasi bencana darurat untuk

mengungsikan penduduk dari bencana yang sedang terjadi. Pembuatan jalur

evakuasi didasarkan pada beberapa faktor untuk menunjang efektifitas dari

evakuasi warga yang berada pada wilayah KRB. Menurut BPBD Kabupaten

Sleman (2013), jalur evakuasi erupsi gunungapi dipilih berdasarkan:

1. Jarak dan waktu tempuh evakuasi

11

2. Topografi jalan

3. Ketersediaan sarana transportasi evakuasi

4. Jumlah pengungsi dan hewan ternak

Pusat Informasi Pengembangan Permukiman dan Bangunan Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (PIP2BDIY, 2012) menyatakan jalur evakuasi

adalah jalur yang menghubungkan antara lokasi hunian/titik kumpul dengan

tempat evakuasi sementara dan jalur yang menghubungkan tempat evakuasi

sementara dengan tempat evakuasi akhir.

12

Gambar 2. Peta Jalur Evakuasi Kecamatan Turi

Sumber : BPBD Kabupaten Sleman dengan Modifikasi Penulis

Jalur evakuasi pada Kabupaten Sleman dipilih dengan memperhatikan

adanya sungai yang memiliki hulu lereng pada Gunung Merapi. Pemilihan

13

jalan dengan kondisi fisik yang baik jua menjadi salah satu faktor penting

dalam penentuan jalur evakuasi.

1.5.1.5. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang

diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek,

daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand & Kieffer, 1999). Penginderaan jauh

merupakan salah satu studi yang digunakan untuk mengambil data dengan

lingkup wilayah yang luas tanpa melakukan kontak atau lapangan secara

langsung. Penggunaan media penginderaan jauh memiliki keunggulan dalam

berbagai faktor dalam penerapannya. Faktor tersebut antara lain ialah biaya,

waktu, dan tenaga.

Media penginderaan jauh yang tersedia antara lain ialah citra foto dan

non-foto.citra foto dihasilkan melalui perekaman langsung menggunakan

media kamera dengan hasil berupa foto udara sedangkan, non-foto

merupakan perekaman yang digunakan melalui penyiaman satelit hasilnya

ialah citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran

suatu obyek, daerah atau fenomena hasil rekaman pantulan dan atau pancaran

obyek oleh sensor penginderaan jauh dapat berupa foto atau digital

(Purwadhi, 2001). Waktu perekaman sangat mempengaruhi hasil dari

penentuan jalur evakuasi, mengenal banyaknya perubahan yang dapat terjadi

pada sebuah kurun waktu.

Ekstraksi data penginderaan jauh dilakukan melalui beberapa tahapan

untuk memperoleh informasi spasial daerah kajian yang diteliti. Sutanto

(1995) menyatakan bahwa hasil penginderaan jauh selain citra misalnya

adalah data digital atau data angka/numerik. Data terkait yang digunakan

dalam pemetaan jalur evakuasi dapat diekstraksi melalui kenampakan citra

yang ada. Beberapa data tersebut antara lain ialah penutup lahan dan jaringan

jalan.

14

Bencana merupakan salah satu aspek yang dapat dikaji dalam penginderaan

jauh. Beberapa data penginderaan jauh seperti foto udara maupun citra satelit

menjadi bahan utama dalam pembuatan analisa kebencanaan. Beberapa

penelitian yang dapat dilakukan dengan menggunakan data penginderann

jauh dalam kebencaan antara lain ialah pemodelan geografis sebuah bencana,

analisis hubungan bencana terhadap tata ruang wilayah serta berbagai macam

penelitian lain. Data penginderaan jauh yang digunakan ialah data asil

intepretasi yang menunjukkan kenampakan permukaan bumi pada sebuah

wilayah kajian. Output yang dihasilkan dapat diolah lebih lanjut sesuai

dengan kebutuhan penelitian. Dalam penelitian kali ini pemanfaatan data

penginderaan jauh memiliki peran pada intepretasi jaringan jalan serta

penggunaan lahan yang ada.

1.5.1.6. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis menurut Aranoff (1989) merupakan sistem

berbasis komputer yang mempunyai empat kemampuan untuk menangani

data yang memiliki referensi geografis, yaitu masukan data, manajemen data,

manipulasi dan analisis serta keluaran data. Serangkaian proses tersebut

memiliki fungsi pengolahan data spasial yang spesifik dalam pengolahannya

seperti berikut.

1. Masukan Data

Komponen masukan data ini bertugas melakukan konversi data dari

bentuk yang ada menjadi data yang dapat digunakan dalam SIG.

2. Manajemen data

Komponen manajemen data termasuk fungsi – fungsi yang dibutuhkan

untuk menyimpan dan memanggil data dari basis data. Metode yang

digunakan untuk mengimplementasikan fungsi – fungsi tersebut

berdampak pada effiesiensi kinerja system dalam semua operasi data.

3. Manipulasi dan analisis data

Komponen manipulasi dan analisis data memiliki fungsi untuk

menentukan informasi yang dibutuhkan dan didefinisikan sebagai bagian

dari kebutuhan system.

15

4. Keluaran data

Komponen keluaran data SIG mempunyai fungsi dan kemampuan yang

bervariasi dalam kualitas, akurasi, dan kemudahan dalam penggunaan.

Sistem Informasi Geografi dirancang untuk mengumpulkan,

menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena di mana lokasi

geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis.

Fungsi dari data system informasi geografi dalam penelitian ialah sebagai basis

pengolahan data berdasarkan beberapa data SIG yang ada. Data SIG yang ada

menjadi sebuah acuan untuk pembuatan keluaran data sebagai bentuk dari

analisa yang diperlukan selanjutnya. Kaitannya dengan bencana, data SIG

mampu mewakili kebutuhan dalam melakukan analisis pembuatan beberapa

aspek parameter seperti lereng dan sebagainya.

1.5.1.7. Least Cost Path

Metode least cost path merupakan salah satu metode terapan dari data

penginderaan jauh dan sistem informasi geografis yang menggunakan sistem

data raster untuk menentukan jalur.

a. Cost Surface.

Pembuatan cost surface merupakan tahap awal yang dilakukan

untuk memperoleh biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target lokasi

yang ada. Cost Surface merupakan jumlah akumulasi yang telah

dihasilkan dari data parameter yang telah ditentukan dengan dasar

mempengaruhi jalannya rute evakuasi. Permukaan biaya dihitung dengan

parameter yang ada kemudian dilakukan rasterisasi untuk pengolahan

lebih lanjut. Hasil dari analisis ini berupa data raster dengan nilai piksel

yang merepresentasikan permukaan harga dari semua paramter yang

telah ditumpang susunkan (Purwanto, 2015). Dalam pembuatan cost

surface beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah dalam pembuatan

konversi data raster. Data yang digunakan harus disesuaikan dengan

resolusi spasial yang digunakan, dalam hal ini skala merupakan salah

satu aspek penting yang perlu diperhatikan. Konversi data dilakukan

16

dengan memperhatikan ukuran pikselnya berdasarkan data yang

digunakan, misalnya dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000,

maka dapat dihitung ukuran pikselnya dengan rumus sebagai berikut

(Waldo E. Tobler, 1987 dalam Purwanto, 2015).

Secara lebih detail perbandingan skala peta dengan resolusi optimal

yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Hubungan Resolusi Spasial dengan Skala

Skala Resolusi (meter)

1 : 1.000.000 500

1 : 250.000 125

1 : 100.000 50

1 : 50.000 20

1 : 10.000 5

1 : 5.000 2,5

1 : 1.000 0,5 Sumber: Tobler, 1987 dalam Purwanto 2015

Hasil yang diperoleh akan menunjukkan ukuran piksel yang

mewakili setiap parameter untuk acuan pentuan jalur optimum dengan

besar angka nilai piksel. Hasil dari konversi tersebut yang diberi bobot

pada masing – masing parameter kemudian dapat ditumpang tindihkan

seperti berikut :

Gambar 3. Ilustrasi Cost Surface

Sumber : ArcMap Tools 10.3

17

b. Cost Distance/Cost Backlink.

Cost distance dan cost backlink merupakan analisis

yang dilakukan melalui nilai minimum yang dihasilkan dari

penjumlahan nilai parameter untuk menghasilkan jalur yang

optimum. Cost distance merupakan akumulasi dari cost

surface. Jadi, secara umum cost distance ini menganalisis

akumulasi terkecil dari cost surface yang sebelumnya telah

dilakukan tumpang susundalam bentuk raster (Wiharja,

2011).

Gambar 4. Ilustrasi Cost Distance/Cost Backlink

Sumber : Arc Map Tools 10.3

Nilai yang dihitung adalah an yang pada perhitungan

horizontal merupakan cost sumber ditambahkan cost piksel

selanjutnya (cost n) kemudian dibagi 2. Akumulasi dari

nilai cost distance itu sendiri adalah a + an. Perhitungan

cost distance diagonal sedikit berbeda dengan horizontal,

dimana harga jarak yang dihitung yaitu sebesar akar

pangkat 2, maka seperti pada gambar perhitungan diagonal

adalah a1 = 1,14142 (cost1 + cost2) (Wiharja, 2011).

Cost backlink dilakukan untuk mencari akumulasi

terkecil untuk dapat kembali ke sumber terdekat (Wiharja,

2011). Dapat diidentifikasi sebagai arah yang

menggambarkan rute yang melintasi tiap sel pada segmen

terkecil menuju ke sumber terdekat. Algoritmayang

digunakan untuk mengkomputasi arah raster dengan

18

memberikan kode pada tiap sel untuk mengidentifikasi sel

mana yang ada pada segmen terpendek kembali ke sumber

terdekat. Secara teknis digunakan untuk menganalis sel

sebelumnya yang digunakan untuk mengkalkulasi akumulasi

hargadari sel yang dihitung. Sehingga cost back link dan

cost distance dapat menganalisa jarak optimum yang akan

diperoleh.

c. Cost Path.

Cost path merupakan hasil yang diperoleh dengan

menggunakan cost surface, cost backlink, dan cost distance.

Hasil diperoleh dari cost path ialah jalur/rute berdasarkan

data parameter yang dipakai nilai piksel tersebut

diakumulasikan hingga membentuk data sedemikian rupa.

Data acuan awal serta akhir berupa cost distance dan cost

backlink menjadi acuan awa serta mula rute, sedangkan data

cost surface menjadi data penentu jalur yang akan dilewati.

Gambar 5. Ilustrasi Cost Path

Sumber : ArcTools (Cost Path)

Penerapan least cost path yang terbagi menjadi tiga tahap tersebut

merupakan pengolahan data jalur berdasarkan tiap nilai pixel pada

data raster. Penerapan metode ini sudah dilakukan pada beberapa

bidang seperti kebencanaan, teknis dan social. Penerapan pada metode

kebencanaan merupakan salah satu teknis terapan yang optimal pada

penentuan jalur. Optimalisasi data akan semakin lebih baik apabila

beberapa parameter yang digunakan memiliki keterkaitan terhadap

studi masalah. Terapan pada kebencanaan membutuhkan beberapa

19

parameter seperti jalan, penggunaan lahan, daerah rawan bencana

serta lereng.

1.5.2. Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan rencana

evakuasi bencana Gunung Merapi dan metode dalam penentuan

berbagai jalur. Penelitian tersebut antara lain ialah:

Purwanto (2015) dalam penelitiannya penentuan lokasi jalur

pipa pdam dengan metode least cost path serta analisis debit dan

tekanan airnya di kecamatan gamping dan sekitarnya. Tujuan dari

penelitian ini ialah untuk mengetahui jalur optimum pembuatan pipa

PDAM dengan menggunakan metode Least Cost Path dan Survay

Lapangan. Beberapa parameter seperti jenis tanah, kemiringan lereng,

penutup lahan, dan bentuk lahan. Parameter tersebut kemudian

diproses dengan overlay dan diubah menjadi bentuk data raster

dengan tujuan untuk diolah dengan metode Least Cost Path. Hasil

yang diperoleh ialah Peta rekomendasi Jalur Pipa Baru Kecamatan

Gamping dan sekitarnya serta analisis debit serta tekanan Air Jalur

PDAM.

Satriadi (2018) Penelitian Pemetaan Tematik Ketersediaan

Transportasi untuk Evakuasi dari Erupsi Merapi di Desa Balerane,

Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten. Tujuan dari Mengetahui

ketersediaan transportasi untuk proses evakuasi letusan Gunung

Merapi di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten. Metode yang

digunakan ialah Deskriptif Kuantitatif dengan membandingkan jumlah

kendaraan yang tersedia pada kecamatan tersebut dengan jumlah

estimasi penduduk dan ternak yang ada pada wilayah tersebut. Hasil

yang dihasilkan dari penilitian Peta ketersediaan angkutan evakuasi

terhadap berbagai elemen dan Table perbandingan ketersediaan

angkutan dengan penduduk.

20

Utami (2017) Perbandingan jalur evakuasi metode least cost

path dengan jalur evakuasi badan penanggulangan bencana daerah

(bpbd) kabupaten sleman pada erupsi gunung merapi (studi kasus

kecamatan pakem, kabupaten sleman). Tujuan dari penelitian ini ialah

untuk mengetahui perbandingan tingkat efektifitas antara jalur

evakuasi BPBD dan Jalur evakuasi Metode Least Cost Path

Kecamatan Pakem. Metode yang digunakan adalah Least Cost Path,

dalam penelitian tersebut beberapa parameter digunakan untuk

mengetahui tingkat efektiitas jalur yang akan dibuat. Beberapa

parameter tersebut antara lain ialah kemiringan lereng, penutup lahan,

lebar jalan, sungai dan jembatan. Perubahan data vector menjadi data

raster dilakukan agar bisa memperoleh jalur evakuasi secara digital.

Hasil dari penelitian ini ialah Peta Jalur Evakuasi Metode Least Cost

Path dan Tabel perbandingan evakuasi mengunakan jalur BPBD

dengan Least Cost Path.

Pamungkas (2019) penelitian yang dilakukan bertujuan untuk

mengetahui efektivitas dari peta menggunakan beberapa parameter

yang memiliki pengaruh terhadap kajian yang dilakukan. Pembuatan

jalur evakuasi bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas jalur

terhadap peta pemerintah yang telah dipublikasikan kepada

masyarakat. Beberapa parameter diolah menggunakan metode Least

Cost Path analisis, parameter yang digunakan antara lain beberapa

faktor jalan, kemiringan lereng dan penutup lahan. Perbandingan

dilakukan dengan mengetahui kondisi lapangan secara langsung

melalui survey. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini ialah tingkat

efektivitas jalur evakuasi yang telah dibuat.

21

Tabel 3. Ringkasan Penelitian Sebelumnya

Nama

Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

Puwanto

(2015)

Penentuan Lokasi Jalur Pipa PDAM

Dengan Metode Least Cost Path Serta

Analisis Debit dan Tekanan Airnya Di Kecamatan Gamping dan Sekitarnya

Mengeahui jalur

optimum untuk

pembuatan pipa PDAM

Metode Least

Cost Path dan

Survay Lapangan

- Peta Rekomendasi Jalur

Pipa Baru Kecamatan

Gamping

- Analisa Debit dan

tekanan Air Jalur Pipa

PDAM

Satriadi

(2018)

Pemetaan Tematik Ketersediaan

Transportasi untuk Evakuasi dari Erupsi Merapi di Desa Balerane, Kecamatan

Kemalang, Kabupaten Klaten

Mengetahui

ketersediaan transportasi untuk

proses evakuasi

Metode

deskriptif Kuantitatif

- Peta ketersediaan angkutan evakuasi

terhadap berbagai

elemen

- Table perbandingan ketersediaan angkutan

dengan penduduk serta

ternak

Puji Utami

(2017)

Perbandingan jalur evakuasi metode

least cost path dengan jalur evakuasi

badan penanggulangan bencana daerah (bpbd) kabupaten sleman pada erupsi

gunung merapi (studi kasus kecamatan

pakem, kabupaten sleman)

Mengetahui

perbandingan

tingkat efektifitas antara jalur

evakuasi BPBD

dan Jalur evakuasi Meode least Cost

Path Kecamatan

Pakem

Metode least

cost path - Peta Jalur Evakuasi

Metode Least Cost Path

- Tabel perbandingan

evakuasi mengunakan jalur

BPBD dan Least

Cost Path

Pamungkas

(2019)

Kajian Jalur Evakuasi Bencana Erupsi

Gunung Merapi Dengan Menggunakan

Metode Least Cost PathAnalysis Di Kecamatan Turi Kabupaten Sleman

Evaluasi Jalur

Evakuasi untuk

mengetahui perbandingan

efektifitas metode

Metode Least

Cost Path - Analisa

perbandingan Jalur

berdasarkan beberapa parameter

pembanding

1.6. Kerangka Penelitian

Daerah kawasan lereng merapi merupakan wilayah yang rentan bencana

letusan gunung vulkanik. Kejadian erupsi bisa saja terjadi sewaktu-waktu dan

tidak dapat diprediksi secara pasti. Upaya mitigasi bencana perlu untuk

dilakukan agar dapat meminimalisir jumlah korban serta kerugian yang dapat

terjadi. Perkembangan wilayah serta aktivitas gunung vulkanik yang terjadi

pada beberapa kurun waktu berdampak berbagai perubahan pada wilayah

tersebut. Peta yang ada pada instansi terkait berifat subjektif pada beberapa

aspek saja, maka perlu adanya pembaharuan dengan peta degan meode yang

lebih obyektif dan optimum.

Teknologi penginderaan jauh serta data informasi geografi yang semakin

maju merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk membuat

pembaharuan rute evakuasi. Least Cost Path merupakan salah satu metode

22

penentuan sebuah jalur yang sudah dilakukan dan memiliki hasil yang lebih

baik. Metode ini menerapkan berbagai parameter untuk mengkaji rute baru

yang akan digunakan sebagai bahan evaluasi peta yang ada. Beberapa

parameter ditentukan untuk menghasilkan hasil yang optimal dalam

pembaharuan rute yang ada. Hasil peta jalur evakuasi yang baru kemudian

dibandingkan dengan mengkaji aspek ETA (Estimated Time Arrived),

banyaknya rute yang ada, dan jarak lintasan. Hasil yang diperoleh dari

penelitian ini ialah analisa efektitas dari rute yang diperbaharui dengan yang

lama serta pembuatan peta rute evakuasi yang lebih optimal.

23

1.7. Batasan Operasional

Bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,

baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

(Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007).

Erupsi dapat diartikan sebagai letusan gunungapi, semburan sumber minyak,

dan uap panas. Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai

tipe vulkanian lemah dan tidak begitu eksplosif, namun aliran

piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya (Kamus Besar

Bahasa Indonesia).

Evakuasi adalah kegiatan memindahkan korban bencana dari lokasi bencana

ke tempat yang aman atau penampungan pertama untuk mendapatkan

tindakan penanganan lebih lanjut. Evakuasi dilakukan sebagai sebuah

wujud mitigasi bencana untuk mengurangi jumlah korban yang dapat

timbul. (Peraturan Kepala BNPB Nomor 13 Tahun 2010).

Least cost path adalah analisa tiap sel raster dimana segmen berpindah dari

sel ke sel dengan nilai akumulasi terkecil (Samari, 2009).

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik

melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana. (Undang – Undang Nomor

27 Tahun 2007).