Upload
truongdung
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, seperti adanya
program wajib belajar 12 tahun. Hal ini menandakan bahwa pendidikan merupakan hal yang
penting, terutama bagi masa depan generasi muda. Menurut Lawrence Cremin pendidikan
didefinisikan sebagai usaha sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan,
menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau
kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu1. Sementara Whitehead mendefinisikan
pendidikan adalah bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan; dan dengan seni
kehidupan yang dimaksudkan adalah prestasi yang paling lengkap dari pelbagai kegiatan yang
mengekspresikan potensi-potensi makhluk hidup ketika berhadapan dengan lingkungan yang
sebenarnya2. Ketika kedua definisi ini digabungkan maka pendidikan akan menjadi suatu usaha
yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh pengetahuan ataupun akibat dan hasil-hasil
lainnya dari proses belajar yang melibatkan seni kehidupan serta bagaimana manusia
mengekspresikan dirinya dalam lingkungannya. Lingkungan tempat manusia hidup bisa
memiliki arti yang beragam, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pendidikan
pada akhirnya dapat memberdayakan manusia agar dapat bertindak secara kreatif dalam
memanfaatkan apa yang ada disekitarnya menjadi lebih berguna.
Pendidikan dibutuhkan oleh masyarakat, karena semakin tinggi pendidikan akan
menambah kualitas dari seseorang. Orang masih berpendapat bahwa pendidikan merupakan
1 Thomas Groome, trans., Pendidikan Agama Kristen (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011), 29
2 Ibid., 30
2
suatu wadah untuk melakukan transmisi kebudayaan. Pendidikan norma-norma, sikap, adat-
istiadat, keterampilan sosial semuanya diperoleh dari pendidikan3. Dalam hal ini transmisi
kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu usaha pewarisan pengetahuan, nilai-nilai yang
dianggap baik dan dapat menjadi pedoman yang baku dalam kehidupan bermasyarakat. Ada
berbagai cara yang dilakukan untuk melakukan transmisi kebudayaan yakni melalui keluarga,
masyarakat maupun sekolah. Dalam konteks penelitian ini maka, Pendidikan Agama Krsiten
(PAK) menjadi salah satu jenisnya.
Groome menambahkan bahwa pendidikan yang baik dapat disebut bersifat keagamaan4.
Setiap usaha untuk menemukan yang transenden kemudian dinamakan dengan pendidikan
agama. Dalam pendidikan agama, dikhususkan menjadi Pendidikan Agama Kristen. Pendidikan
Agama Kristen dalam gereja, keluarga dan sekolah secara khusus harus dihubungkan dengan
tradisi Kristen. Seperti yang diungkapkan oleh Groome bahwa istilah pendidikan agama
(Christian Edication) dengan akurat mendeskripsikan investigasi yang umum pada dimensi
kehidupan agama dan pencarian bersama manusia terhadap dasar keberadaan yang transenden,
akan tetapi jika komunitas agama menentukan tradisi miliknya sendiri yang khusus untuk
mensponsori orang-orang dalam pencarian mereka yang bersifat transenden, maka kegiatan
pendidikan itu harus secara khusus dihubungkan dengan tradisi komunitas itu5. Dalam hal ini
Pendidikan Agama Kristen haruslah memiliki tradisi itu sendiri untuk dapat membantu anggota
komunitas dalam pencarian yang bersifat transenden.
Tradisi komunitas khususnya komunitas Kristen, didasarkan pada apa yang tertulis dalam
Alkitab, walaupun tidak dapat dilupakan bahwa setiap kisah dalam Alkitab memiliki tradisi-
tradisi tersendiri dengan latar belakang yang berbeda-beda. Salah satu ajaran didalamnya baik itu
3 Nasution S, Sosiologi Pendidikan. (Bandung : Bumi Aksara, 1983), 13
4 Groome, Pendidikan Agama Kristen, 31
5 Ibid., 34
3
dalam Perjanjian Lama dan juga dalam Perjanjian Baru yakni dalam Maleakhi 3:10a “Bawalah
seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan” dalam ayat ini Buckner
menjelaskan bahwa persepuluhan yang dimaksud adalah sepuluh persen dari semua hasil kerja
atau ladang. Hasil yang terbaik dari ladang haruslah diberikan kepada Allah dan hasil yang jelek
yang akan digunakan oleh pemberi persepuluhan tersebut. Buckner menambahkan bahwa rumah
perbendaharaan yang dimaksud yakni Bait Suci di Yerusalem yang menjadi pusat kebaktian dan
kegiatan-kegiatan agama6. Persembahan yang diberikan bukan hanya sebatas pada uang tetapi
juga persembahan khusus lainnya yaitu waktu, talenta, akal, kemampuan dan karunia. Ayat ini
mau menjelaskan bahwa hasil yang diberikan sebagai persepuluhan dalam Bait Suci adalah tanda
ungkapan syukur. Selain dalam kitab Maleakhi, dalam II Korintus 9:1-15.
Kisah dalam II Korintus ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan apa yang
terdapat dalam kitab Maleakhi. Kisah dalam II Korintus adalah mengenai pengumpulan
persembahan untuk membantu orang-orang kudus di Yerusalem. Beyer dan Simamora
menyebutkan bahwa orang-orang di Akhaya memberikan persembahan mereka sebagai tanda
bukti syukur dengan kerelaan hati dan bukan dengan sedih ataupun paksaan. Kasih Tuhan akan
datang bagi orang di Akhaya dan orang kudus di tempat lain (Yerusalem) dapat terbantu. Bukan
hanya dalam memberikan persembahan dan membantu tetapi secara tidak langsung, persekutuan
bersama orang percaya dapat terbentuk dalam doa syafaat orang-orang kudus untuk orang
Kristen bukan Yahudi7.
Persembahan yang diberikan kepada Tuhan, baik itu dalam Maleakhi ataupun dalam teks
II Korintus memberikan arti yang sama yaitu karunia, talenta, waktu ataupun akal dan juga
6 Charles Buckner. Kupasan Firman Allah Suara Maleakhi. (Bandung:Lembaga Literatur Baptis,
2002), 86-87. 7 Ulrich Beyer & Evalina Simamora, Memberi Dengan Sukacita ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,
2008), 83-108.
4
penekanan yang diberikan dalam II Korintus bahwa persembahan yang diberikan harus sesuai
dengan kerelaan hati perlulah diketahui bahwa semuanya itu harus berdasarkan pada penyerahan
yang utuh kepada Tuhan.
Pemberian persembahan yang terdapat dalam kedua contoh ayat diatas merupakan salah
satu contoh ajaran yang terdapat dalam Alkitab. Ajaran-ajaran tentang memberi persembahan
dalam Alkitab tidak lahir atau muncul dan berkembang begitu saja tetapi didasarkan pada tradisi
yang ada sebelumnya diantaranya adalah budaya di Mesir, Maspero melihat bahwa ada bagian
khusus yang diberikan kepada dewata dari sepersepuluh atas pendapatan yang diperoleh8.
Diungkapkan juga bahwa di Assuria ia melihat raja Tiglath-Pileser menghambur-hamburkan
persembahan kepada dewata dan memperkaya tempat berhala dengan rampasan dari
peperangannya. Setelah selesai berperang raja Tiglath-Pileser akan mempersembahkan
sepersepuluh dari rampasannya kepada dewa Ashur dan juga kepada dewa Ramman. Sayce
menerangkan bahwa persembahan adalah kebiasaan Babylonia untuk mempersembahkannya
kepada tempat-tempat berhala sebagai hasil dari tanah jajahannya9. Kebiasaan untuk
memberikan persembahan persepuluhan dilakukan dikalangan petani orang Roma supaya setiap
petani mempersembahkan persepuluhan hasil panennya pada tempat-tempat berhala. Kisah-kisah
ini dapat disebut sebagai kisah-kisah pertama dalam memberikan persembahan hingga kepada
jemaat pada masa kini.
Tradisi-tradisi dalam Alkitab yang sudah berkembang seperti sekarang ini, tidak bisa
dijadikan sebagai satu-satunya pegangan dalam melaksanakan tugas Pendidikan Agama Kristen,
seorang pendidik perlu memperhatikan beberapa pendukung lain yang disebut dengan fondasi
Pendidikan Agama Kristen. Pazmino menyebut dalam bukunya ada 7 fondasi penting dan salah
8 A.M. Tambunan, Persembahan Persepuluhan (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1945), 19.
9 Ibid., 21.
5
satunya adalah Fondasi Sosiologis10
. Ia menyatakan bahwa tugas seorang pendidik adalah
membuat pengajaran mereka tetap update dan relevan dengan konteks budaya mereka supaya
bisa terus memberi dampak pada peserta didik yang hidup dalam kebudayaan tersebut11
.
Sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Pazmino, Sitompul berpendapat bahwa
Pendidikan Agama yang dilakukan dalam konteks apapun jelas sekali membutuhkan perspektif
kebudayaan didalamnya, karena dalam melakukan pendidikan yang nantinya memiliki tujuan
untuk mengubah suatu masyarakat, pendidikan itu tidak cukup hanya dengan mengkritik dan
meniru dari bangsa lain, tetapi haruslah dilakukan dengan sistem yang sesuai dengan kebudayaan
setempat12
. Ia menambahkan bahwa kebudayaan setempat yang dimaksudkan adalah hal-hal
yang menjadi kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya membudaya. Sesuai dengan apa yang
ditulis oleh Sitompul bahwa gereja dapat berdiri karena memperhitungkan adat kebudayaan
suku-suku13
.
Pendidikan Agama Kristen membutuhkan kebudayaan dalam melangsungkan tugasnya
juga diacu oleh teori dari Geertz tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Dalam teorinya
tersebut ia berpendapat bahwa agama pada awalnya adalah sebuah sistem simbol-simbol yang
akan memberi makna dan motivasi pada para penganutnya lewat ritual-ritual yang pada akhirnya
menjadi suatu realitas unik yang disebut dengan kebudayaan14
. Agama dan kebudayaan memiliki
hubungan erat yang akan menolong satu sama lain, oleh sebab itu dalam melakukan pendidikan
agama perlulah diperhitungkan aspek kebudayaan didalamnya.
10
Robert Pazmino. Fondasi Pendidikan Kristen. (Bandung : STT Bandung bekerjsama dengan
BPK, 2012), 4. 11
Ibid 231-231. 12
A.A Sitompul. Dipintu Gerbang Pembinaan Warga Gereja “Pendidikan dan Kebudayaan”.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 9. 13
Ibid., 188. 14
Daniel Pals, trans., Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif (Seven theories of Religion).
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 342.
6
Dalam kehidupan bersama komunitas Kristen, ditemukan sebuah kebiasaan yang pada
akhirnya menjadi budaya keluarga Kristen dan masih dipertahankan bahkan tetap dibawa
sekalipun sudah jauh dari keluarga yakni tradisi Piring Natzar. Tradisi Piring Natzar dimiliki dan
tetap dilakukan oleh keluarga-keluarga di kepulauan Maluku, khusunya bagi mereka yang berada
di Ambon, Maluku Tengah dan Seram.
“Piring Nazar” ada pada sebuah meja (biasa juga disebut dengan meja sombayang) yang
diatasnya diletakkan sebuah piring dan sebuah Alkitab yang ditutupi dengan kain berwarna
putih. Alkitab diletakkan di atas piring dan di dalam piring diletakkan uang yang akan dibawa
untuk dipersembahakan pada ibadah hari minggu. Biasanya uang yang digunakan adalah uang
yang masih baru dalam artian bahwa uang yang tidak usang ataupun yang sudah robek. Uang
tersebut diletakkan di dalam “Piring Nazar” untuk jangka waktu tertentu. Apabila keluarga ingin
membawa persembahan persepuluhan ke Gereja, maka sebelum uang itu dibawa, uang tersebut
harus di letakkan dahulu di dalam “Piring Nazar” sebelum di bawa ke Gereja, baik untuk
persembahan mingguan maupun persembahan perpuluhan untuk didoakan bersama-sama. Selain
untuk tempat meletakkan persembahan, meja yang diletakkan “Piring Nazar” diatasnya juga
dianggap sebagai mimbar dalam keluarga. Ketika anggota keluarga akan pergi (keluar dari
rumah baik itu pergi jauh ataupun ke sekolah, ke gereja atau ketempat-tempat lain) maka
anggota keluarga harus berdoa terlebih dahulu di depan Piring Natzar tersebut. “Piring Nazar” ini
diletakkan di kamar pertama dalam sebuah rumah dan dalam kebiasaan masyarakat Ambon,
kamar pertama tersebut adalah kamar dari kedua orang tua.
Terdapat sesuatu hal menarik yang disosialisasikan dan diajarkan oleh orang tua kepada
anak-anak, agar mereka melakukan tradisi “Piring Nazar” pada saat mereka jauh dari keluarga.
Keadaan ini dapat dijumpai pada para mahasiswa yang berasal dari Gereja Protestan Maluku
7
(GPM) yang berkuliah di Salatiga dan masih setia melakukan tradisi “Piring Nazar” dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam penelitian ini, berkaitan dengan tradisi “Piring Nazar”, maka akan dilihat
bagaimana pola pendidikan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sehingga ajaran
tentang “Piring Nazar” dapat terinternalisasi dan diwariskan dalam diri mahasiswa. PAK yang
didasarkan pada fondasi sosiologis sangat membantu dalam pelaksanaan pendidikan, oleh sebab
itu tulisan ini akan diberi judul Tradisi “Piring Nazar” Dalam Perspektif Pendidikan Agama
Kristen Dalam Keluarga
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH PENELITIAN
Keluarga dalam hal ini adalah orang tua memiliki peranan yang besar dalam melakukan
pendidikan atau sebagai wadah untuk melakukan pendidikan primer dalam masyarakat. Ada
berbagai jenis pendidikan yang perlu untuk dilakukan oleh orang tua dan salah satunya adalah
pendidikan agama dalam keluarga. Sebelum anak-anak menjadi anggota gereja, anak-anak
terlebih dahulu telah mendapatkan pendidikan agama dalam keluarga. Tradisi “Piring Nazar”
yang dilakukan oleh orang tua kemudian turun kepada anak-anak bukan tanpa sengaja. Tentu
saja tradisi Piring Nazar diajarkan dan disosialisasikan dengan sengaja kepada anak-anak dan
memiliki tujuan tertentu yakni adanya Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga, sehingga
perlulah diketahui dimanakan posisi Pendidikan Agama Kristen dalam tradisi “Piring Nazar”.
1.3 MASALAH PENELITIAN
Pelaksanaan tradisi Piring Nazar adalah suatu kenyataan dalam kehidupan sosio-religius
diantara keluarga Kristen di Ambon. Pada satu sisi Piring Nazar memiliki inti yang sama dengan
ajaran Alkitab, sedangkan disisi yang lain tradisi ini tidak turun begitu saja tetapi melalui proses
8
pendidikan dan sosialisasi. Oleh karena itu pola pendidikan seperti apa yang dilakukan oleh
orang tua kepada anak-anaknya perlu diketahui sehingga diharapkan bisa digunakan oleh
keluarga-keluarga Kristen lain di berbagai tempat.
1.4 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan identifikasi masalah dan masalah penelitian maka rumusan masalah
penelitian adalah Bagaimana Pola Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dapat
menginternalisasi ajaran Piring Nazar dalam pribadi mahasiswa?
Masalah pokok penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal
dari Gereja Protestan Maluku tentang tradisi Piring Nazar?
2. Bagaimana tradisi “Piring Nazar” dalam Pendidikan Agama Kristen pada keluarga
Kristen di Maluku?
3. Bagaimana Pola Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dapat menginternalisasi
ajaran Piring Nazar dalam pribadi mahasiswa?
1.5 TUJUAN PENULISAN
1. Mendeskripsikan pemahaman mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal
dari Gereja Protestan Maluku tentang tradisi “Piring Nazar”.
2. Menganalisis posisi tradisi “Piring Nazar” dalam Pendidikan Agama Kristen bagi
keluarga.
3. Mengidentifikasi pola didikan yang dilakukan oleh orang tua dapat menginternalisasi
ajaran Piring Nazar dalam pribadi mahasiswa
9
1.6 MANFAAT PENULISAN
Manfaat Teoritis
Adanya pemahaman baru bahwa Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga
membutuhkan aspek-aspek kebudayaan. Semua kekayaan budaya yang ada disekitar
manusia dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran bukan hanya sebagai warisan saja.
Manfaat Praktis
Pola pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dapat menjadi contoh bagi keluarga
Kristen lainnya dalam melakukan Pendidikan Agama Kristen kepada anak-anaknya atau
generasi penerusnya.
1.7 METODOLOGI PENELITIAN
a. Metode
Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan dimana posisi Pendidikan Agama
Kristen dalam tradisi “Piring Nazar” yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak
sehingga tradisi “Piring Nazar” dapat terinternalisasi dalam pribadi mereka. Berdasarkan
tujuan tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan penelitian adalah penelitian kualitatif.
Metode Deskriptif Analisis
Jenis penelitian deskriptif analisis bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis,
faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi
penelitian. Jenis deskriptif berusaha menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara
berjalan pada saat penelitian, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.
10
Metode deskriptif analisis dipilih karena penelitian ini bermaksud mendeskripsikan
dan menganalisis pemahaman seperti apa yang mereka dapatkan lewat pola pendidikan yang
dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya sehingga sampai di Salatiga anak-anak masih
melakukan tradisi “Piring Nazar” serta bagaimana mahasiswa memahami makna dari tradisi
“Piring Nazar” dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Informan kunci dalam penelitian ini adalah mahasiswa UKSW yang melakukan
tradisi “Piring Nazar” dan juga para orang tua Ambon yang berada di Salatiga.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui
prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Pendekatan ini sering diterapkan dalam
penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, di samping itu juga peranan
organisasi, pergerakan sosial dan hubungan timbal balik15
. Penelitian kualitatif digunakan
dalam penelitian ini karena sesuai dengan tujuannya yaitu ingin melihat bagaimana pola
pendidikan orang tua sehingga tradisi Piring Natzar bisa terinternalisasi dalam pribadi
mahasiswa.
c. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dalam kerangka studi pendahuluan yaitu kajian
pustaka dan kajian empiris. Kajian pustaka diperoleh melalui studi kepustakaan, sedangkan
15
Anselm Strauss dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2013), 4.
11
kajian empiris diperoleh melalui wawancara, observasi langsung dan FGD yang dibahas
berikut ini.
1) Wawancara
Teknik wawancara merupakan peran seorang peneliti mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang dirumuskan untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur, wawancara bebas dengan
pedoman wawancara yang digunakan hanya garis besar permasalahan yang
ditanyakan16
.
Wawancara dalam penelitian ini untuk mengetahui pola pendidikan orang tua kepada
anak- anak dan wawancara tentang proses internalisasi ajaran Tradisi Piring. Subjek
yang akan diwawancarai adalah Orang Tua yang berasal dari Ambon yang tinggal di
Salatiga sebagai informan kunci dan mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang
berasal dari Ambon.
2) Observasi
Observasi merupakan suatu proses pengamatan terhadap subjek penelitian dan
dilakukan secara terstruktur17
. Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi
langsung, ketika subjek penelitian melakukan tradisi “Piring Nazar” di tempat kediaman
mereka di Salatiga.
3) FGD
Teknik Focus Group Discussion (FGD) untuk para mahasiswa Universitas Krtisten
Satya Wacana. Herdiansyah menyatakan bahwa tujuan FGD adalah untuk berdiskusi
16
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta, 2012), 140. 17
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 145-146.
12
dan berdialog bersama, bertatap muka dengan sesama responden/subjek/informan
penelitian guna menghasilkan suatu informasi langsung dari berbagai sudut pandang.
FGD juga dapat dilakukan guna melakukan crosscheck ulang jika terdapat data yang
kebenarannya masih diragukan18
. Sumber data untuk melakukan teknik ini adalah
mahasiswa Ambon yang berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana.
d. Lokasi Penelitian, Populasi dan Subjek Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian adalah di Salatiga karena subjek penelitian yang akan
diteliti adalah mahasiswa yang berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang
berasal dari Gereja Protestan Maluku. Sampel yang digunakan adalah mahasiswa
Universitas Kristen Satya Wacana yang melakukan Tradisi “Piring Nazar”.
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN TESIS
Sistematika dalam tulisan ini terdiri dari lima (V) BAB. BAB I Pendahuluan; bagian
pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Masalah Penelitian, Variabel
Penelitian, Rumusan masalah Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika
Penulisan. BAB II Teori Rujukan; bagian ini terdiri dari kajian Pustaka yaitu Teori tentang
Pendidikan, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga, Fondasi
Pendidikan Agama Kristen, Sosialisasi dalam keluarga dan tentang “Piring Nazar”. BAB III Data
Lapangan dan Analisa; bagian ini berisiskan data hasil penelitian yang dilakukan dengan metode
dan pendekatan kualitatif di lapangan yang sekaligus akan dianalisa setelah dilakukan pemaparan
mengenai hasil penelitian (data di lapangan). BAB IV Refleksi Teologis; bagian ini merupakan
18
Haris Herdiansyah. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmuSosial (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012), 146-148.
13
refleksi penulis tentang pola pendidikan orang tua dalam keluarga yang dikaitkan dengan data di
lapangan dan ajaran Alkitab tentang mendidik anak dalam keluarga. BAB V Penutup; penutup
terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan berisi temuan-temuan penulis dari hasil
penelitian dan rekomendasi berupa usulan untuk Gereja Protestan Maluku, mahasiswa, orang tua
dan penelitian lanjutan.