Upload
builien
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada September 2008 dunia dikejutkan dengan runtuhnya sistem ekonomi kapitalis
yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan institusi keuangan dunia
lainnya. Krisis ekonomi ini merupakan dampak dari kredit macet perumahan berisiko
tinggi (subprime mortgage) yang melanda industri perbankan Amerika Serikat.
Selanjutnya pada tahun 2014-2015 krisis ekonomi kembali terjadi yaitu di negara
kawasan Eropa yakni Yunani yang ditetapkan sebagai negara default karena tidak
mampu membayar hutang-hutangnya kepada kreditur. Sistem keuangan yang semakin
terhubung menyebabkan krisis-krisis ini secara tiba-tiba meluas menjadi krisis keuangan
global dan kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi yang melanda ke seluruh
dunia. Kuatnya intensitas krisis membuat negara-negara kawasan Asia, yang semula
dianggap relatif aman dari dampak krisis, akhirnya sulit bertahan dan turut pula terkena
imbas krisis.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia saat ini juga berimbas pada
perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, perekonomian yang
semula dipenuhi optimisme dan tumbuh diatas 6%, tiba-tiba harus mengalami
perlambatan dan hanya mampu tumbuh 4,71% pada triwulan I-2015 turun dari periode
yang sama tahun lalu yang mencapai 5,14%. Pertumbuhan perekonomian Indonesia
dihadapkan pada berbagai tantangan baik eksternal maupun internal. Tantangan
eksternal dipicu oleh belum pulihnya pertumbuhan perekonomian dunia, penurunan
harga komoditas global, serta tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global.
Rencana tapering-off yang akan dilakukan oleh The Federal Reserve juga menyebabkan
investor asing mengalihkan investasinya (capital outflow) dari Emerging Market (EM)
2
sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar negara EM termasuk Indonesia. Nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) melemah hingga sebesar 7,41% (ytd)
di level Rp13.362 (9-Jun’15).
Sebagai institusi yang berperan dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank
Indonesia mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bertujuan menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan
stabil. Instrumen kebijakan utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah menetapkan
suku bunga BI (BI Rate) yang akan menjadi dasar acuan bagi suku bunga pasar, baik
suku bunga pasar uang, DPK maupun kredit. Secara sederhana, BI Rate merupakan
indikasi tingkat suku bunga jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia dalam upaya
mencapai target inflasi (Nuryazini, 2008).
Besarnya tingkat BI Rate menjadi salah satu faktor bagi perbankan untuk
menentukan besarnya suku bunga yang ditawarkan kepada masyarakat. Suku bunga
berpengaruh terhadap keinginan dan ketertarikan masyarakat untuk menanamkan
dananya di bank melalui produk-produk yang ditawarkan. Dari sisi perbankan,
kenaikkan suku bunga juga menimbulkan dampak dari sisi pengelolaan sumber dana dan
pengalokasian dana. Meningkatnya suku bunga dapat menyebabkan peningkatan
nasabah deposan Bank. Namun, di sisi lain kenaikan suku bunga ini akan meningkatkan
suku bunga kredit Bank untuk meng-cover biaya dana yang telah dikeluarkan oleh Bank.
Hal ini dapat menurunkan minat nasabah untuk meminjam uang atau menggunakan
fasilitas kredit dari Bank.
Penentuan BI Rate biasanya ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG)
triwulanan (Januari, April, Juli dan Oktober) untuk berlaku selama triwulan berjalan
dengan mempertimbangkan rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi
kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi. Perubahan BI Rate
3
juga dapat dilakukan dalam RDG bulanan. Perubahan BI Rate dilakukan dalam kelipatan
25 basis points (perubahan dapat 25,50 ataupun 75 basis points sesuai dengan situasi
moneter yang terjadi) (Nuryazini, 2008). Molyneux & Thornton (1992) dan Demirgüç-
Kunt & Huizinga (1999) memiliki bukti empiris yang menunjukkan bahwa tingginya
suku bunga secara signifikan akan berpengaruh pada tingginya profitabilitas bank,
hingga memiliki hubungan yang positif. Tapi lain halnya dengan Naceur (2003) yang
melihat adanya hubungan negatif antara suku bunga dengan profitabilitas bank.
Selama 2 tahun terakhir, BI Rate telah dinaikkan beberapa kali yaitu sejak
pertengahan tahun 2013 dari 5,75% (Mei’13) menjadi 7,50% (Des’13) dan 7,75%
(Des’14) sejalan dengan peningkatan inflasi. Dampaknya adalah kenaikan suku bunga
DPK dan kredit. Rata-rata suku bunga DPK tertinggi (deposito) secara industri
meningkat dari 5,18% (Des’12) menjadi 6,73% (Des’13) dan 7,78% (Des’14) sedangkan
di sisi lain, peningkatan suku bunga kredit cukup rendah karena tidak mampu mengikuti
pertumbuhan suku bunga dana sebab suku bunga kredit perbankan selama ini sudah
tergolong tinggi yaitu dari 10,97% (Des’12) menjadi 11,02% (Des’13) dan 11,61%
(Des’14). Dampaknya adalah spread perbankan menjadi lebih rendah dari tahun-tahun
sebelumnya.
Sepanjang tahun 2014, perkembangan Net Interest Margin (NIM) industri
perbankan mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh peningkatan suku bunga dana.
Berdasarkan data Bank Indonesia, rata-rata NIM industri secara keseluruhan tercatat
turun sebesar 0,65% (yoy) dari 4,89% (Des’13) menjadi 4,24% (Des’14). Penurunan
terjadi pada mayoritas perbankan, namun berdasarkan pemantauan dari data yang ada
terdapat perbedaan penurunan NIM berdasarkan cluster kepemilikan Bank. Penurunan
terbesar yaitu terjadi pada Bank Umum Swasta Non Devisa sedangkan penurunan
terendah terjadi pada Bank Umum Milik Negara.
4
Bank Umum dibagi dalam beberapa cluster yang diklasifikasikan berdasarkan
kepemilikan dan model bisnisnya. Penelitian terkait dengan kinerja Bank bedasarkan
struktur kepemilikan sudah pernah dilakukan yaitu diantaranya oleh Thorsten Beck et al
(2009) yang menemukan bahwa bank swasta di Jerman lebih cenderung memiliki risiko
insolvensi dan default yang tinggi dibandingkan bank pemerintah. Sementara itu,
Peter Alimin (2014) menemukan bahwa terdapat perbedaan kinerja bank umum di
Indonesia pada setiap cluster kepemilikan yang ditunjukkan pada rerata maupun
antarwaktu untuk setiap cluster.
Berangkat dari fakta dan penelitian tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut mengenai pengaruh penetapan kebijakan suku bunga acuan BI Rate terhadap
repricing gap yang dilakukan oleh bank berdasarkan struktur kepemilikannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dampak dari perlambatan perekonomian dunia saat ini sudah mulai terasa pada
negara-negara di Asia yang mayoritas merupakan emerging market. Indonesia pun tidak
luput dari efek negatifnya. Perekonomian yang sebelumnya diproyeksikan pemerintah
akan mampu tumbuh di atas 6%, tiba-tiba harus mengalami perlambatan dan hanya
mampu tumbuh 4,71% pada triwulan I-2015 turun dari periode yang sama tahun lalu
mencapai 5,14%. Selain itu, kurs rupiah terhadap mata uang asing khususnya USD,
berfluktuasi dengan tren melemah dan terjadi lonjakan depresiasi sebesar 7,41% dari
Rp12.440 (31 Des’14) menjadi Rp13.362 (9 Jun’15).
Perlambatan perekonomian yang diikuti dengan pelemahan nilai tukar mata uang
rupiah terhadap mata uang asing, berdampak pada persepsi investor asing dalam
mengalokasikan dananya di Indonesia. IHSG yang sempat menyentuh level 5.500
terkoreksi cukup dalam hingga pada level 4.935 (15 Jun’15) yang dikontribusi dari
5
penurunan mayoritas seluruh sektor industri dan sektor keuangan akibat net sell yang
dilakukan oleh investor asing. Sektor keuangan yaitu perbankan terkoreksi cukup dalam
sejalan dengan penurunan kinerja perbankan per triwulan I 2015 bila dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Sebagai institusi yang berperan serta dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,
Bank Indonesia mengeluarkan serangkaian kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk
menekan volatilitas pelemahan rupiah yaitu diantaranya melalui penetapan suku bunga
BI Rate. Perubahan suku bunga BI Rate dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini
sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate akan mendorong kenaikan selisih
antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Melebarnya selisih suku
bunga tersebut akan mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam
instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI yang tingkat return-nya menjadi
lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah.
Kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dalam setahun terakhir adalah
menaikkan suku bunga BI Rate sejak pertengahan tahun 2013 dari 5,75% (Mei’13)
menjadi 7,50% (Des’13) dan 7,75% (Des’14). Berdasarkan grafik 1 terlihat bahwa mulai
terjadi kenaikan signifikan pada pertengahan tahun 2013 yakni di bulan Agustus 2013.
Kenaikan pertama terjadi di bulan Juni 2013 yakni meningkat sebesar 25 bps dari 5,75%
menjadi 6%. Kemudian dalam kurun waktu 1 bulan yakni pada bulan Juli 2013 terjadi
peningkatan menjadi 6,5%. Suku bunga BI Rate mencapai titik tertinggi pada Desember
2014 yakni sebesar 7,75% yang kemudian turun kembali pada Februari 2015 menjadi
sebesar 7,50%. Seiring dengan peningkatan suku bunga BI Rate tersebut, NIM industri
perbankan memperlihatkan adanya penurunan. Jika dilihat dari tahun 2013-2014, terjadi
penurunan NIM sebesar 0,65%.
6
Gambar 1.1 Perkembangan NIM dan BI Rate
Bank umum dibagi dalam cluster kepemilikan dengan mempertimbangkan jumlah
bank di Indonesia yang lebih banyak dan model bisnis yang beragam. Keadaan ini
menyebabkan adanya karakteristik tertentu yang dapat menyebabkan adanya perbedaan
kinerja yang dihasilkan (Alimin, 2014). Taswan (2010) berdasarkan kajian empiris yang
dilakukan oleh Atif Mian (2003) membagi struktur kepemilikan bank di Indonesia
menjadi 4 yaitu kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan pemerintah, domestik dan
kepemilikan asing. Setiap kepemilikan memiliki karakteristik model bisnis yang berbeda
sebagaimana bagan di bawah ini:
Gambar 1.2 Komposisi Pendanaan Bank BUMN
8
Gambar 1.5 Komposisi Pendanaan Bank Swasta Non Devisa
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014
Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa pada Desember 2014, komposisi
sumber dana Bank kepemilikan pemerintah sebagian besar didominasi oleh DPK (Dana
Pihak Ketiga) yakni sebesar 76% dari total aset bank. DPK itu sendiri terdiri dari
tabungan, giro dan deposito yang cukup sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Sejalan dengan hal tersebut, komposisi sumber dana Bank dengan kepemilikan Swasta
Devisa dan Non Devisa sebagian besar didominasi oleh DPK masing-masing sebesar
86,58% dan 74,20% dari total aset Bank. Sedangkan bank dengan kepemilikan asing
memiliki komposisi sumber dana yang lebih merata yakni 46% berasal dari DPK dan
lainnya berasal dari masing-masing pinjaman yang diterima, kewajiban pada bank lain
serta kewajiban spot dan derivatif. Berdasarkan perbedaan komposisi sumber dana
diatas, dapat diindikasikan bahwa kebijakan BI Rate akan lebih berpengaruh terhadap
kinerja keuangan bank pemerintah dan bank swasta karena komposisi DPK yang sangat
dominan dibandingakan dengan bank asing.
Kajian yang menghubungkan antara kepemilikan suatu bank dengan kinerja telah
dilakukan oleh Barth, Caprio Jr dan Levine (2002) yakni kepemilikan pemerintah yang
semakin besar pada bank cenderung berkaitan dengan semakin banyaknya pelaksanaan
9
sistem keuangan yang buruk, serta berkaitan pula dengan semakin banyaknya bank yang
perkembangannya lambat/buruk. Selanjutnya studi yang dilakukan oleh oleh La Porta,
Lopez-de-Silanes dan Shleifer (1999) mendukung kajian oleh Barth, Caprio Jr dan
Levine (2002) mengenai peran kepemilikan pemerintah dalam kinerja bank. Studi
tersebut menggunakan pengukuran alternatif kepemilikan bank, serta menguji hubungan
antara kepemilikan pemerintah dan perkembangan keuangan. Hasil studi mereka
memperlihatkan bahwa kepemilikan pemerintah memperlambat perkembangan yang
terjadi di sektor keuangan. Berdasarkan uraian kondisi tersebut, penulis akan meneliti
lebih mendalam mengenai bagaimana pengaruh kebijakan BI Rate terhadap repricing
gap Bank berdasarkan struktur kepemilikannya. Penelitian dilakukan terhadap bank
konvensional selama periode 2013 – 2014 sebagai sampel penelitian.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Bagaimana pengaruh kenaikan atau penurunan suku bunga BI terhadap repricing gap
Bank Pemerintah, Bank Swasta Devisa, Bank Swasta Non Devisa dan Bank Asing
yang memiliki total aset terbesar selama 2 tahun terakhir?
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kenaikan ataupun penurunan
suku bunga BI terhadap repricing gap Bank Pemerintah, Bank Asing, Bank Umum
Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa yang memiliki total aset terbesar.
10
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pengaruh kenaikan atau
penurunan suku bunga BI terhadap repricing gap bank berdasarkan kepemilikannya
Selanjutnya memberikan gambaran bagaimana model bisnis bank yang optimal untuk
memitigasi potensi risiko perubahan suku bunga BI.
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai pengaruh
perubahan suku bunga terhadap repricing gap bank
2. Dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada decision maker bank
terutama dalam pengelolaan risiko perubahan suku bunga BI. Selain itu
memberikan masukan kepada otoritas yaitu Bank Indonesia dalam pertimbangan
dampak penetapan kebijakan suku bunga BI terhadap perbankan.
1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang dipilih dengan metode
purposive sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang
memiliki tujuan tertentu dan mampu memberikan informasi yang diinginkan (Sekaran,
2006). Mengingat keterbatasan atas ketersediaan data dan sumber daya maka
berdasarkan struktur kepemilikannya, bank yang dijadikan sampel adalah bank dengan
total aset terbesar (per Desember 2014) karena dianggap mewakili peer group.
Metode pengukuran risiko suku bunga dibagi menjadi 3 metode yaitu analisis
repricing gap, maturity model dan analisis duration gap. Maturity Model merupakan
model untuk menghitung risiko suku bunga dengan mendasarkan diri pada nilai pasar
yang akan mencerminkan nilai ekonomis secara wajar. Disamping itu Duration model
adalah metode menilai risiko suku bunga dengan menghitung durasi. Meskipun durasi
11
merupakan salah satu teknik yang sangat komprehensif dalam mengukur risiko suku
bunga namun terbatas ketika diaplikasikan pada aktiva yang sewaktu-waktu dihentikan.
Adanya kemungkinan pembayaran kredit secara dini membuat tidak mungkin bank
mencocokkan secara sempurna aktivanya yang sensitif dengan pergerakan suku bunga
dengan liabilities. Dalam hal ini sampel dalam penelitian ini merupakan bank yang
dimana komposisi terbesar dari aktivanya merupakan kredit, sehingga metoda
pengukuran duration gap dinilai kurang tepat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis repricing gap dalam
menghitung risiko suku bunganya. Repricing Model atau juga sering disebut sebagai
funding gap merupakan suatu analisa pendapatan serta biaya dana (pendapatan bunga
neto) dalam satu periode tertentu dengan menggunakan data historis atau nilai buku. Hal
ini disebabkan sampel dalam penelitian ini merupakan bank yang dimana komposisi
terbesar dari aktivanya merupakan kredit dan juga komposisi terbesar dari liabilitasnya
merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK).
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup atau batasan penelitian dan sistematika
penulisan. Pada bab ini dibahas pentingnya kajian mengenai repricing gap bank
berdasarkan kepemilikan terhadap suku bunga BI Rate selama tahun 2013 sampai
dengan 2014.
12
Bab II : Landasan Teori
Memuat uraian sistematis mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan
Bab III: Profil Perusahaan
Bab ini memuat profil dari masing-masing perusahaan yang menjadi sampel dalam
penelitian yang dalam hal ini merupakan 4 bank dengan total aset terbesar per
Desember 2014 berdasarkan kepemilikannya.
Bab IV : Metoda Penelitian
Bab ini membahas rancangan penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel,
instrumen penelitian, pengumpulan data dan metode analisis data. Dalam penelitian
ini, digunakan data dari bank umum konvensional selama periode Januari 2013
sampai dengan Desember 2014. Data yang digunakan adalah rasio NIM dan BI Rate
dalam bentuk data time series. Selanjutnya untuk menganalisa lebih dalam repricing
gap assets dan liabilities, maka diperlukan tren data suku bunga pendapatan dan suku
bunga beban.
Bab V : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Menampilkan hasil penelitian pengaruh perubahan BI Rate terhadap repricing gap
yang dilengkapi juga dengan hasil analisa repricing gap assets dan liabilities untuk
mengetahui bagaimana bank yang menjadi sampel penelitian mengelola risiko
perubahan suku bunga BI.