13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada September 2008 dunia dikejutkan dengan runtuhnya sistem ekonomi kapitalis yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan institusi keuangan dunia lainnya. Krisis ekonomi ini merupakan dampak dari kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) yang melanda industri perbankan Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 2014-2015 krisis ekonomi kembali terjadi yaitu di negara kawasan Eropa yakni Yunani yang ditetapkan sebagai negara default karena tidak mampu membayar hutang-hutangnya kepada kreditur. Sistem keuangan yang semakin terhubung menyebabkan krisis-krisis ini secara tiba-tiba meluas menjadi krisis keuangan global dan kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi yang melanda ke seluruh dunia. Kuatnya intensitas krisis membuat negara-negara kawasan Asia, yang semula dianggap relatif aman dari dampak krisis, akhirnya sulit bertahan dan turut pula terkena imbas krisis. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia saat ini juga berimbas pada perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, perekonomian yang semula dipenuhi optimisme dan tumbuh diatas 6%, tiba-tiba harus mengalami perlambatan dan hanya mampu tumbuh 4,71% pada triwulan I-2015 turun dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,14%. Pertumbuhan perekonomian Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan baik eksternal maupun internal. Tantangan eksternal dipicu oleh belum pulihnya pertumbuhan perekonomian dunia, penurunan harga komoditas global, serta tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. Rencana tapering-off yang akan dilakukan oleh The Federal Reserve juga menyebabkan investor asing mengalihkan investasinya (capital outflow) dari Emerging Market (EM)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/103724/potongan/s2-2016... · Kuatnya intensitas krisis membuat negara-negara kawasan Asia, yang semula dianggap

  • Upload
    builien

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada September 2008 dunia dikejutkan dengan runtuhnya sistem ekonomi kapitalis

yang ditandai dengan bangkrutnya Lehman Brothers dan institusi keuangan dunia

lainnya. Krisis ekonomi ini merupakan dampak dari kredit macet perumahan berisiko

tinggi (subprime mortgage) yang melanda industri perbankan Amerika Serikat.

Selanjutnya pada tahun 2014-2015 krisis ekonomi kembali terjadi yaitu di negara

kawasan Eropa yakni Yunani yang ditetapkan sebagai negara default karena tidak

mampu membayar hutang-hutangnya kepada kreditur. Sistem keuangan yang semakin

terhubung menyebabkan krisis-krisis ini secara tiba-tiba meluas menjadi krisis keuangan

global dan kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi yang melanda ke seluruh

dunia. Kuatnya intensitas krisis membuat negara-negara kawasan Asia, yang semula

dianggap relatif aman dari dampak krisis, akhirnya sulit bertahan dan turut pula terkena

imbas krisis.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia saat ini juga berimbas pada

perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, perekonomian yang

semula dipenuhi optimisme dan tumbuh diatas 6%, tiba-tiba harus mengalami

perlambatan dan hanya mampu tumbuh 4,71% pada triwulan I-2015 turun dari periode

yang sama tahun lalu yang mencapai 5,14%. Pertumbuhan perekonomian Indonesia

dihadapkan pada berbagai tantangan baik eksternal maupun internal. Tantangan

eksternal dipicu oleh belum pulihnya pertumbuhan perekonomian dunia, penurunan

harga komoditas global, serta tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global.

Rencana tapering-off yang akan dilakukan oleh The Federal Reserve juga menyebabkan

investor asing mengalihkan investasinya (capital outflow) dari Emerging Market (EM)

2

sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar negara EM termasuk Indonesia. Nilai

tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) melemah hingga sebesar 7,41% (ytd)

di level Rp13.362 (9-Jun’15).

Sebagai institusi yang berperan dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank

Indonesia mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bertujuan menjaga dan memelihara

kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan

stabil. Instrumen kebijakan utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah menetapkan

suku bunga BI (BI Rate) yang akan menjadi dasar acuan bagi suku bunga pasar, baik

suku bunga pasar uang, DPK maupun kredit. Secara sederhana, BI Rate merupakan

indikasi tingkat suku bunga jangka pendek yang diinginkan Bank Indonesia dalam upaya

mencapai target inflasi (Nuryazini, 2008).

Besarnya tingkat BI Rate menjadi salah satu faktor bagi perbankan untuk

menentukan besarnya suku bunga yang ditawarkan kepada masyarakat. Suku bunga

berpengaruh terhadap keinginan dan ketertarikan masyarakat untuk menanamkan

dananya di bank melalui produk-produk yang ditawarkan. Dari sisi perbankan,

kenaikkan suku bunga juga menimbulkan dampak dari sisi pengelolaan sumber dana dan

pengalokasian dana. Meningkatnya suku bunga dapat menyebabkan peningkatan

nasabah deposan Bank. Namun, di sisi lain kenaikan suku bunga ini akan meningkatkan

suku bunga kredit Bank untuk meng-cover biaya dana yang telah dikeluarkan oleh Bank.

Hal ini dapat menurunkan minat nasabah untuk meminjam uang atau menggunakan

fasilitas kredit dari Bank.

Penentuan BI Rate biasanya ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG)

triwulanan (Januari, April, Juli dan Oktober) untuk berlaku selama triwulan berjalan

dengan mempertimbangkan rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi

kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi. Perubahan BI Rate

3

juga dapat dilakukan dalam RDG bulanan. Perubahan BI Rate dilakukan dalam kelipatan

25 basis points (perubahan dapat 25,50 ataupun 75 basis points sesuai dengan situasi

moneter yang terjadi) (Nuryazini, 2008). Molyneux & Thornton (1992) dan Demirgüç-

Kunt & Huizinga (1999) memiliki bukti empiris yang menunjukkan bahwa tingginya

suku bunga secara signifikan akan berpengaruh pada tingginya profitabilitas bank,

hingga memiliki hubungan yang positif. Tapi lain halnya dengan Naceur (2003) yang

melihat adanya hubungan negatif antara suku bunga dengan profitabilitas bank.

Selama 2 tahun terakhir, BI Rate telah dinaikkan beberapa kali yaitu sejak

pertengahan tahun 2013 dari 5,75% (Mei’13) menjadi 7,50% (Des’13) dan 7,75%

(Des’14) sejalan dengan peningkatan inflasi. Dampaknya adalah kenaikan suku bunga

DPK dan kredit. Rata-rata suku bunga DPK tertinggi (deposito) secara industri

meningkat dari 5,18% (Des’12) menjadi 6,73% (Des’13) dan 7,78% (Des’14) sedangkan

di sisi lain, peningkatan suku bunga kredit cukup rendah karena tidak mampu mengikuti

pertumbuhan suku bunga dana sebab suku bunga kredit perbankan selama ini sudah

tergolong tinggi yaitu dari 10,97% (Des’12) menjadi 11,02% (Des’13) dan 11,61%

(Des’14). Dampaknya adalah spread perbankan menjadi lebih rendah dari tahun-tahun

sebelumnya.

Sepanjang tahun 2014, perkembangan Net Interest Margin (NIM) industri

perbankan mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh peningkatan suku bunga dana.

Berdasarkan data Bank Indonesia, rata-rata NIM industri secara keseluruhan tercatat

turun sebesar 0,65% (yoy) dari 4,89% (Des’13) menjadi 4,24% (Des’14). Penurunan

terjadi pada mayoritas perbankan, namun berdasarkan pemantauan dari data yang ada

terdapat perbedaan penurunan NIM berdasarkan cluster kepemilikan Bank. Penurunan

terbesar yaitu terjadi pada Bank Umum Swasta Non Devisa sedangkan penurunan

terendah terjadi pada Bank Umum Milik Negara.

4

Bank Umum dibagi dalam beberapa cluster yang diklasifikasikan berdasarkan

kepemilikan dan model bisnisnya. Penelitian terkait dengan kinerja Bank bedasarkan

struktur kepemilikan sudah pernah dilakukan yaitu diantaranya oleh Thorsten Beck et al

(2009) yang menemukan bahwa bank swasta di Jerman lebih cenderung memiliki risiko

insolvensi dan default yang tinggi dibandingkan bank pemerintah. Sementara itu,

Peter Alimin (2014) menemukan bahwa terdapat perbedaan kinerja bank umum di

Indonesia pada setiap cluster kepemilikan yang ditunjukkan pada rerata maupun

antarwaktu untuk setiap cluster.

Berangkat dari fakta dan penelitian tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti

lebih lanjut mengenai pengaruh penetapan kebijakan suku bunga acuan BI Rate terhadap

repricing gap yang dilakukan oleh bank berdasarkan struktur kepemilikannya.

1.2 Rumusan Masalah

Dampak dari perlambatan perekonomian dunia saat ini sudah mulai terasa pada

negara-negara di Asia yang mayoritas merupakan emerging market. Indonesia pun tidak

luput dari efek negatifnya. Perekonomian yang sebelumnya diproyeksikan pemerintah

akan mampu tumbuh di atas 6%, tiba-tiba harus mengalami perlambatan dan hanya

mampu tumbuh 4,71% pada triwulan I-2015 turun dari periode yang sama tahun lalu

mencapai 5,14%. Selain itu, kurs rupiah terhadap mata uang asing khususnya USD,

berfluktuasi dengan tren melemah dan terjadi lonjakan depresiasi sebesar 7,41% dari

Rp12.440 (31 Des’14) menjadi Rp13.362 (9 Jun’15).

Perlambatan perekonomian yang diikuti dengan pelemahan nilai tukar mata uang

rupiah terhadap mata uang asing, berdampak pada persepsi investor asing dalam

mengalokasikan dananya di Indonesia. IHSG yang sempat menyentuh level 5.500

terkoreksi cukup dalam hingga pada level 4.935 (15 Jun’15) yang dikontribusi dari

5

penurunan mayoritas seluruh sektor industri dan sektor keuangan akibat net sell yang

dilakukan oleh investor asing. Sektor keuangan yaitu perbankan terkoreksi cukup dalam

sejalan dengan penurunan kinerja perbankan per triwulan I 2015 bila dibandingkan

periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Sebagai institusi yang berperan serta dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,

Bank Indonesia mengeluarkan serangkaian kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk

menekan volatilitas pelemahan rupiah yaitu diantaranya melalui penetapan suku bunga

BI Rate. Perubahan suku bunga BI Rate dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini

sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate akan mendorong kenaikan selisih

antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Melebarnya selisih suku

bunga tersebut akan mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam

instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI yang tingkat return-nya menjadi

lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah.

Kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dalam setahun terakhir adalah

menaikkan suku bunga BI Rate sejak pertengahan tahun 2013 dari 5,75% (Mei’13)

menjadi 7,50% (Des’13) dan 7,75% (Des’14). Berdasarkan grafik 1 terlihat bahwa mulai

terjadi kenaikan signifikan pada pertengahan tahun 2013 yakni di bulan Agustus 2013.

Kenaikan pertama terjadi di bulan Juni 2013 yakni meningkat sebesar 25 bps dari 5,75%

menjadi 6%. Kemudian dalam kurun waktu 1 bulan yakni pada bulan Juli 2013 terjadi

peningkatan menjadi 6,5%. Suku bunga BI Rate mencapai titik tertinggi pada Desember

2014 yakni sebesar 7,75% yang kemudian turun kembali pada Februari 2015 menjadi

sebesar 7,50%. Seiring dengan peningkatan suku bunga BI Rate tersebut, NIM industri

perbankan memperlihatkan adanya penurunan. Jika dilihat dari tahun 2013-2014, terjadi

penurunan NIM sebesar 0,65%.

6

Gambar 1.1 Perkembangan NIM dan BI Rate

Bank umum dibagi dalam cluster kepemilikan dengan mempertimbangkan jumlah

bank di Indonesia yang lebih banyak dan model bisnis yang beragam. Keadaan ini

menyebabkan adanya karakteristik tertentu yang dapat menyebabkan adanya perbedaan

kinerja yang dihasilkan (Alimin, 2014). Taswan (2010) berdasarkan kajian empiris yang

dilakukan oleh Atif Mian (2003) membagi struktur kepemilikan bank di Indonesia

menjadi 4 yaitu kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan pemerintah, domestik dan

kepemilikan asing. Setiap kepemilikan memiliki karakteristik model bisnis yang berbeda

sebagaimana bagan di bawah ini:

Gambar 1.2 Komposisi Pendanaan Bank BUMN

7

Gambar 1.3 Komposisi Pendanaan Bank Asing

Gambar 1.4 Komposisi Pendanaan Bank Swasta Devisa

8

Gambar 1.5 Komposisi Pendanaan Bank Swasta Non Devisa

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia Desember 2014

Berdasarkan grafik di atas, diketahui bahwa pada Desember 2014, komposisi

sumber dana Bank kepemilikan pemerintah sebagian besar didominasi oleh DPK (Dana

Pihak Ketiga) yakni sebesar 76% dari total aset bank. DPK itu sendiri terdiri dari

tabungan, giro dan deposito yang cukup sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Sejalan dengan hal tersebut, komposisi sumber dana Bank dengan kepemilikan Swasta

Devisa dan Non Devisa sebagian besar didominasi oleh DPK masing-masing sebesar

86,58% dan 74,20% dari total aset Bank. Sedangkan bank dengan kepemilikan asing

memiliki komposisi sumber dana yang lebih merata yakni 46% berasal dari DPK dan

lainnya berasal dari masing-masing pinjaman yang diterima, kewajiban pada bank lain

serta kewajiban spot dan derivatif. Berdasarkan perbedaan komposisi sumber dana

diatas, dapat diindikasikan bahwa kebijakan BI Rate akan lebih berpengaruh terhadap

kinerja keuangan bank pemerintah dan bank swasta karena komposisi DPK yang sangat

dominan dibandingakan dengan bank asing.

Kajian yang menghubungkan antara kepemilikan suatu bank dengan kinerja telah

dilakukan oleh Barth, Caprio Jr dan Levine (2002) yakni kepemilikan pemerintah yang

semakin besar pada bank cenderung berkaitan dengan semakin banyaknya pelaksanaan

9

sistem keuangan yang buruk, serta berkaitan pula dengan semakin banyaknya bank yang

perkembangannya lambat/buruk. Selanjutnya studi yang dilakukan oleh oleh La Porta,

Lopez-de-Silanes dan Shleifer (1999) mendukung kajian oleh Barth, Caprio Jr dan

Levine (2002) mengenai peran kepemilikan pemerintah dalam kinerja bank. Studi

tersebut menggunakan pengukuran alternatif kepemilikan bank, serta menguji hubungan

antara kepemilikan pemerintah dan perkembangan keuangan. Hasil studi mereka

memperlihatkan bahwa kepemilikan pemerintah memperlambat perkembangan yang

terjadi di sektor keuangan. Berdasarkan uraian kondisi tersebut, penulis akan meneliti

lebih mendalam mengenai bagaimana pengaruh kebijakan BI Rate terhadap repricing

gap Bank berdasarkan struktur kepemilikannya. Penelitian dilakukan terhadap bank

konvensional selama periode 2013 – 2014 sebagai sampel penelitian.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai

berikut:

Bagaimana pengaruh kenaikan atau penurunan suku bunga BI terhadap repricing gap

Bank Pemerintah, Bank Swasta Devisa, Bank Swasta Non Devisa dan Bank Asing

yang memiliki total aset terbesar selama 2 tahun terakhir?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kenaikan ataupun penurunan

suku bunga BI terhadap repricing gap Bank Pemerintah, Bank Asing, Bank Umum

Swasta Nasional Devisa dan Non Devisa yang memiliki total aset terbesar.

10

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana pengaruh kenaikan atau

penurunan suku bunga BI terhadap repricing gap bank berdasarkan kepemilikannya

Selanjutnya memberikan gambaran bagaimana model bisnis bank yang optimal untuk

memitigasi potensi risiko perubahan suku bunga BI.

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai pengaruh

perubahan suku bunga terhadap repricing gap bank

2. Dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada decision maker bank

terutama dalam pengelolaan risiko perubahan suku bunga BI. Selain itu

memberikan masukan kepada otoritas yaitu Bank Indonesia dalam pertimbangan

dampak penetapan kebijakan suku bunga BI terhadap perbankan.

1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang dipilih dengan metode

purposive sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang

memiliki tujuan tertentu dan mampu memberikan informasi yang diinginkan (Sekaran,

2006). Mengingat keterbatasan atas ketersediaan data dan sumber daya maka

berdasarkan struktur kepemilikannya, bank yang dijadikan sampel adalah bank dengan

total aset terbesar (per Desember 2014) karena dianggap mewakili peer group.

Metode pengukuran risiko suku bunga dibagi menjadi 3 metode yaitu analisis

repricing gap, maturity model dan analisis duration gap. Maturity Model merupakan

model untuk menghitung risiko suku bunga dengan mendasarkan diri pada nilai pasar

yang akan mencerminkan nilai ekonomis secara wajar. Disamping itu Duration model

adalah metode menilai risiko suku bunga dengan menghitung durasi. Meskipun durasi

11

merupakan salah satu teknik yang sangat komprehensif dalam mengukur risiko suku

bunga namun terbatas ketika diaplikasikan pada aktiva yang sewaktu-waktu dihentikan.

Adanya kemungkinan pembayaran kredit secara dini membuat tidak mungkin bank

mencocokkan secara sempurna aktivanya yang sensitif dengan pergerakan suku bunga

dengan liabilities. Dalam hal ini sampel dalam penelitian ini merupakan bank yang

dimana komposisi terbesar dari aktivanya merupakan kredit, sehingga metoda

pengukuran duration gap dinilai kurang tepat.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis repricing gap dalam

menghitung risiko suku bunganya. Repricing Model atau juga sering disebut sebagai

funding gap merupakan suatu analisa pendapatan serta biaya dana (pendapatan bunga

neto) dalam satu periode tertentu dengan menggunakan data historis atau nilai buku. Hal

ini disebabkan sampel dalam penelitian ini merupakan bank yang dimana komposisi

terbesar dari aktivanya merupakan kredit dan juga komposisi terbesar dari liabilitasnya

merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK).

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup atau batasan penelitian dan sistematika

penulisan. Pada bab ini dibahas pentingnya kajian mengenai repricing gap bank

berdasarkan kepemilikan terhadap suku bunga BI Rate selama tahun 2013 sampai

dengan 2014.

12

Bab II : Landasan Teori

Memuat uraian sistematis mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian

yang dilakukan

Bab III: Profil Perusahaan

Bab ini memuat profil dari masing-masing perusahaan yang menjadi sampel dalam

penelitian yang dalam hal ini merupakan 4 bank dengan total aset terbesar per

Desember 2014 berdasarkan kepemilikannya.

Bab IV : Metoda Penelitian

Bab ini membahas rancangan penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel,

instrumen penelitian, pengumpulan data dan metode analisis data. Dalam penelitian

ini, digunakan data dari bank umum konvensional selama periode Januari 2013

sampai dengan Desember 2014. Data yang digunakan adalah rasio NIM dan BI Rate

dalam bentuk data time series. Selanjutnya untuk menganalisa lebih dalam repricing

gap assets dan liabilities, maka diperlukan tren data suku bunga pendapatan dan suku

bunga beban.

Bab V : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Menampilkan hasil penelitian pengaruh perubahan BI Rate terhadap repricing gap

yang dilengkapi juga dengan hasil analisa repricing gap assets dan liabilities untuk

mengetahui bagaimana bank yang menjadi sampel penelitian mengelola risiko

perubahan suku bunga BI.

13

Bab VI : Simpulan dan Rekomendasi

Memuat kesimpulan akhir atas hasil analisis data penelitian dan disertai juga dengan

rekomendasi dari penulis berdasarkan hasil penelitian ini.