25
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, wacana bunuh diri telah mencuat ke permukaan di tahun 1950-an. Hal ini terungkap pada salah satu alenia pidato Presiden Soekarno pada saat meletakkan batu pertama Gedung Fakultet Pertanian Universitas Indonesia di Bogor tanggal 27 April 1952. (Usman, 2004: 305) “…engkau telah mengalami sendiri: di waktu yang akhir-akhir ini surat kabar-surat kabar dan tuturan-tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata: “harga beras naik gila-gilaan”, “di sana sini mengancam bahaya kelaparan”, “di desa ini dan di desa itu ada orang yang makan bonggol pisang”, “di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem”. “ Di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada anak istrinya” , dan lain sebagainya”. Meskipun kasus bunuh diri di Indonesia sudah mulai marak di tahun 1950-an, namun demikian tidak diketahui secara pasti berapa jumlah kasus bunuh diri di tahun-tahun tersebut. Data mengenai korban bunuh diri di Indonesia baru mulai tercatat di Tahun 1980-an. Dari Tahun 1980 hingga Tahun 1989 terjadi 17.694 kasus bunuh diri. Kasus-kasus ini terjadi di sejumlah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, maupun di daerah-daerah pelosok lainnya. Kejadian ini diduga dilatarbelakangi karena beban ekonomi/lilitan utang, persoalan cinta/asmara, sakit tak sembuh-sembuh, konflik rumah tangga, maupun frustasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa bunuh diri yang terjadi di Indonesia ini adalah khas alasan-alasan orang miskin, baik miskin, materi, pengetahuan, relasi, maupun pengalaman (Darmaningtyas, 2002). Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, fenomena bunuh diri terjadi pula di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1980-1990 tercatat terjadi 337 kasus bunuh diri terjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78037/potongan/S2-2014... · menggunakan metode Inkuiri Naturalistik (I/N) yaitu suatu proses yang digiring

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia, wacana bunuh diri telah mencuat ke permukaan di tahun 1950-an. Hal ini

terungkap pada salah satu alenia pidato Presiden Soekarno pada saat meletakkan batu pertama

Gedung Fakultet Pertanian Universitas Indonesia di Bogor tanggal 27 April 1952. (Usman, 2004:

305)

“…engkau telah mengalami sendiri: di waktu yang akhir-akhir ini surat kabar-surat kabar dan tuturan-tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata: “harga beras naik gila-gilaan”, “di sana sini mengancam bahaya kelaparan”, “di desa ini dan di desa itu ada orang yang makan bonggol pisang”, “di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem”. “Di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada anak istrinya”, dan lain sebagainya”. Meskipun kasus bunuh diri di Indonesia sudah mulai marak di tahun 1950-an, namun

demikian tidak diketahui secara pasti berapa jumlah kasus bunuh diri di tahun-tahun tersebut.

Data mengenai korban bunuh diri di Indonesia baru mulai tercatat di Tahun 1980-an. Dari Tahun

1980 hingga Tahun 1989 terjadi 17.694 kasus bunuh diri. Kasus-kasus ini terjadi di sejumlah

kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, maupun di daerah-daerah

pelosok lainnya. Kejadian ini diduga dilatarbelakangi karena beban ekonomi/lilitan utang,

persoalan cinta/asmara, sakit tak sembuh-sembuh, konflik rumah tangga, maupun frustasi. Secara

umum dapat dikatakan bahwa bunuh diri yang terjadi di Indonesia ini adalah khas alasan-alasan

orang miskin, baik miskin, materi, pengetahuan, relasi, maupun pengalaman (Darmaningtyas,

2002).

Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, fenomena bunuh diri terjadi pula di Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1980-1990 tercatat terjadi 337 kasus bunuh diri terjadi

2

di wilayah ini. Kabupaten Gunungkidul menempati rangking pertama dengan 94 kasus, disusul

Kabupaten Sleman 71 kasus, Kabupaten Bantul 64 kasus, Kota Yogyakarta 57 kasus, dan

Kabupaten Kulonprogo 51 kasus. Untuk Kabupaten Gunungkidul, tercatat dalam dua dekade

(1980-2000) menunjukkan peningkatan angka bunuh diri yang signifikan. Kalau dihitung pada

kurun waktu 1980-1990 dan 1991-2000 tercatat bahwa peningkatan angka bunuh diri di

kabupaten ini lebih dari 30 persen yaitu dari 183 kasus menjadi 249 kasus. Kasus bunuh diri ini

terjadi merata di 18 kecamatan yang ada yaitu di Kecamatan Karangmojo, Gedangsari, Nglipar,

Ngawen, Playen, Paliyan, Saptosari, Panggang, Purwosari, Patuk, Ponjong, Girisubo, Rongkop,

Semin, Semanu, Tanjungsari, Tepus, dan Wonosari. Meskipun jumlah kasus di tiap-tiap

kecamatan ini berbeda-beda, namun demikian, terjadinya kasus di setiap tahunnya,

mengindikasikan bahwa fenomena bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul itu bersifat konsisten

(selalu ada). Bahkan, menurut Darmaningtyas (2002:246) konsistensi ini sudah mengarah pada

sejumlah kecamatan yaitu Kecamatan Wonosari (yang merupakan ibukota Kabupaten

Gunungkidul), Kecamatan Playen, Kecamatan Ponjong, Kecamatan Karangmojo, Kecamatan

Semanu, dan Kecamatan Tepus. Pada dekade 1980-1990, menurut hasil inventarisasi dari media

massa cetak, Kecamatan Wonosari menempati rangking pertama dengan 19 kasus bunuh diri,

kemudia disusul oleh Kecamatan Playen 16 kasus, Ponjong 13 kasus, sedangkan Kecamatan

Semanu dan Kecamatan Tepus masing-masuing 7 kasus.

Sejumlah penelitian tentang fenomena bunuh diri di wilayah Kabupaten Gunungkidul

telah dilakukan antara lain oleh Winarto (1984), Darmaningtyas (1989), Kurniati (1989),

Moetrarsi (1996), Masdjuri (2002), Yoga (2003), dan Setiawan (2005). Penelitian yang telah

dilakukan ini umumnya mengupas tentang pertama, faktor-faktor yang melatarbelakangi

tingginya angka bunuh diri di wilayah ini (apakah ada korelasi antara bunuh diri di Gunungkidul

3

dengan mitos “pulung gantung”?), kedua, dengan cara bagaimanakah mereka melakukan bunuh

diri (gantung diri, minum racun), dan ketiga, latar belakang pelaku bunuh diri (pendidikan, umur,

agama, jenis kelamin). Penelitian-penelitian yang bertemakan bunuh diri di Gunungkidul ini

umumnya lebih banyak menfokuskan perhatiannya pada individu (pelaku bunuh diri), para

peneliti belum mengkaitkan apa yang melekat pada individu-individu pelaku bunuh diri,

misalnya pekerjaan/profesi para korban.

Dari kajian Setiawan (2005) tentang “Latar Belakang Keluarga Bunuh Diri di kabupaten

Gunungkidul dari Tahun 1999 sampai dengan 2003” diketahui bahwa pada rentang tahun 1999-

2003 ini terdapat kekhasan latar belakang pekerjaan para pelaku bunuh diri. Dari 153 korban,

121 korban berlatar belakang pekerjaan sebagai petani atau sekitar 79 persen dari total kasus.

Bahkan, selama rentang tersebut, setiap tahunnya menunjukkan angka kasus yang paling tinggi.

Pada Tahun 1999 misalnya tercatat bahwa dari 42 kasus yang ada terdapat 31 kasus

bunuh diri petani, sementara itu pada tahun 2000, dari 30 kasus terdapat 27 kasus bunuh diri

petani, sedangkan pada tahun 2001, dari 28 kasus terdapat 19 kasus bunuh diri petani, dan pada

tahun 2003 dari 34 kasus yang ada terdapat 31 kasus bunuh diri petani. Kasus bunuh diri petani

tertinggi terjadi di Kecamatan Tepus yaitu 20 kasus. Angka kasus bunuh diri di Tepus

sebenarnya melebihi angka tersebut karena sebelum tahun 2003, Kecamatan Tepus belum

mengalami pemekaran menjadi dua yaitu Kecamatan Tepus dan Kecamatan Tanjungsari.

Dengan demikian, sebenarnya kasus di Kecamatan Tepus (setelah digabung dengan kasus yang

terjadi di Tanjungsari) tercatat menjadi 25 kasus bunuh diri.

Kasus bunuh diri petani tercatat cukup tinggi juga terjadi di Kecamatan Semin 19 kasus,

Wonosari 14 kasus, Playen 14 kasus, Ponjong 10 kasus, dan Saptosari 10 kasus. Titik puncak

bunuh diri itu terjadi pada Tahun 1999 tercatat 42 kasus. Menurut Darmaningtyas (2002:242),

4

pada rentang Tahun 1998-1999 itu telah terjadi peningkatan kasus bunuh diri yang cukup

signifikan; diduga ini ada kaitannya dengan krisis ekonomi Tahun 1998.

1.2. Perumusan Masalah

Kini, satu dekade krisis ekonomi itu sudah terlampaui, namun demikian kasus bunuh diri,

di Kabupaten Gunungkidul masih marak terjadi. Jika dibandingkan 10 tahun yang lalu, tampak

bahwa sudah terjadi penurunan jumla kasus; dari 153 kasus (periode 1999-2003) turun menjadi

120 kasus (periode Januari 2010-Agustus 2014); meskipun angka ini masih tergolong tinggi. Hal

yang menarik kemudian adalah setelah satu dekade itu, tercatat bahwa Kecamatan Tepus masih

konsisten menduduki urutan tertinggi dengan 15 kasus bunuh diri. Hal yang menarik lainnya

adalah sebagian besar korban bunuh diri di Kecamatan Tepus ini diketahui berlatar belakang

pekerjaan sebagai petani. Ini berarti bahwa meskipun secara kuantitas telah terjadi penurunan

kasus, namun demikian secara kualitas sebenarnya kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus,

terutama bunuh diri petani belum mengalami perubahan yang signifikan. Fenomena inilah yang

kemudian perlu di kaji lebih dalam; mengapa setelah satu dekade berlalu, kasus bunuh diri petani

di Kecamatan Tepus itu masih saja terjadi. Pertanyaannya kemudian; mengapa petani di

Kecamatan Tepus memiliki kerentanan terhadap tindakan bunuh diri?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah yang

menyebabkan petani di Kecamatan Tepus rentan terhadap tindakan bunuh diri. Penelitian ini

mencoba mengembangkan teori Dhurkheim yang mencoba memahami fenomena bunuh diri

dengan integrasi sosial masyarakat di Kecamatan Tepus. Ada perspektif yang sedikit berbeda

yang dikembangkan dalam penelitian ini. Ketika penelitian-penelitian sebelumnya tentang bunuh

diri di Gunungkidul lebih fokus pada individu-korban bunuh diri; penelitian ini lebih jauh

5

melihat dan memahami apa yang melekat pada individu-korban bunuh diri yaitu

profesi/pekerjaan korban bunuh diri. Selanjutnya, bagaimanakah individu-korban bunuh diri itu

terhubung dengan orang lain dan komunitas/masyarakat sekitarnya.

1.4. Tinjauan Pustaka

Sejumah kajian tentang marak terjadinya tindakan bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul

telah dilakukan oleh sejumlah kalangan. Secara umum mereka mengamati dan meneliti sebab-

sebab/faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya tingkat bunuh diri di kabupaten ini seperti

Darmaningtyas (2002) dalam bukunya “Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di

Gunungkidul”, Setiawan (2005) dalam tesisnya yang berjudul ”Latar Belakang Keluarga Pelaku

Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul Studi Kasus Bunuh Diri di kabupaten Gununungkidul

dari tahun 1999 sampai dengan 2003”, Yoga (2003) dengan risetnya yang berjudul “Hubungan

antara Jenis Kelamin dengan Cara Bunuh Diri di Gunungkidul Yogyakarta”, Masdjuri (2002)

dengan tesisnya yang berjudul “Bunuh Diri di Gunungkidul”, dan Kurniati (1994) dengan

skripsinya yang berjudul “Pulung gantung: Peristiwa Bunuh Diri di Gunungkidul”.

Kajian yang dilakukan Darmaningtyas (2002) mencoba mengamati fenomena bunuh diri

di Kabupaten Gunungkidul yang terjadi di semua kecamatan di wilayah ini. Kajian ini

menggunakan metode Inkuiri Naturalistik (I/N) yaitu suatu proses yang digiring kepada

pengungkapan banyak cerita yang idiosinkretis namun penting, yang diceritakan oleh orang-

orang yang nyata, mengenai peristiwa-peristiwa yang nyata, dengan cara-cara yang nyata dan

alami. Kajian yang mengamati peristiwa bunuh diri di Gunungkidul pada kurun tahun 1999

hingga tahun 2000 ini menyimpulkan bahwa persoalan bunuh diri di Gunungkidul selama ini

lebih terfokus pada mitos “Pulung Gantung” yang dianggap sebagai faktor utama tingginya

6

angka bunuh diri di Gunungkidul. Pengembangan mitos seperti ini memiliki dampak negatif

pada proses penyelesaian persoalan bunuh diri.

Sementara itu, penelitian Setiawan (2005) mengamati bunuh diri di Gunungkidul dengan

pendekatan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan metode penelitian survei.

Penelitian ini yang mengamati kasus-kasus bunuh diri di Gunungkidul dalam kurun tahun 1999

hingga 2003 ini menyimpulkan bahwa korban bunuh diri tertinggi pada tahun 1999-2003 adalah

di Kecamatan Tepus, untuk status pekerjaan adalah petani, untuk jenis kelamin adalah laki-laki,

usia di atas 61 tahun, dan modus bunuh diri adalah dengan gantung diri. Kesimpulan lainnya

menyebutkan bahwa tindakan bunuh diri sangat dipengaruhi oleh faktor keimanan, kemiskinan,

pendidikan rendah dan sikap altruistik.

Penelitian Masdjuri (2002) mencoba mengamati tentang kecenderungan peningkatan

kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul. Selain itu, penelitian ini juga mengamati tentang

sejauh mana upaya-upaya perventif yang telah dilakukan untuk menekan angka bunuh diri di

daerah ini. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Kajian yang dilakukan

di Kecamatan Tepus, Paliyan, Playen, Panggang, dan Wonosari ini menyimpulkan bahwa

pertama, banyak faktor yang terkait dengan bunuh diri di Gunungkidul yaitu aspek ekonomi,

pendidikan, agama, dan sosial budaya, kedua, aspek budaya (pandangan hidup) “hidup hanya

menjalani, manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri”.

Penelitaian Yoga (2003) tentang Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul ini

menggunakan metode Cross-Sectional non-eksperimental mencoba menguji hipotesa “Hubungan

antara Jenis Kelamin dengan Cara Bunuh Diri”. Penelitian yang menggunakan data dari tahun

1999-2000 ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan cara bunuh

diri di Kabupaten Gunungkidul.

7

Sementara itu, kajian bunuh diri di Gunungkidul yang dilakukan Kurniati (1994)

mengembangkan penelitian ini dengan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analisis. Kajian

yang dilakukan di Desa Mulo dan Desa Siraman ini menyimpulkan bahwa pertama, bunuh diri

di Gunungkidul tidak dapat dipisahkan dari masalah –masalah ekonomi, sosial, dan budaya,

kedua, dekade 80-an bunuh diri di Gunungkidul marak justru ketika kemajuan perekonomian

dan kesejahteraan di gunungkidul baru mulai membaik. Sebagai gambaran di tahun 1970-an

makan thiwul, rumah atap daun kelapa/alang-alang, ketiga, adanya prinsip hidup urip mung

sadermo nglakoni manungso munggawa nasibe dhewe-dhewe, nasib kuwi mung ginaris dening

sing gawe urip (Hidup hanya sekedar menjalani, manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri,

nasib itu sudah digariskan oleh yang membuat kehidupan).

Berbeda dengan pengamat-pengamat sebelumnya yang memaparkan bahwa faktor-faktor

penyebab bunuh diri di Gunungkidul itu dapat dilihat dari berbagai aspek, maka Santosa dan

Daksinarga (2003) menilai bahwa mencari jawab atas faktor-faktor/sebab-sebab terjadinya

tindakan bunuh diri merupakan langkah yang sia-sia. Faktor-faktor penyebab yang dipaparkan

tersebut hanyalah “karangan” saja. Pengarang buku “Talipati: Kisah-kisah Bunuh Diri di

Gunungkidul” ini berpendapat bahwa setiap pelaku bunuh diri (di Gunungkidul khususnya)

selalu merahasiakan alasannya, senantiasa peristiwa akan nampak remang-remang, seperti yang

tertulis pada bait terakhir pada puisi Chairil Anwar (1949) berikut ini.

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi

8

tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah

Santosa dan Daksinarga (2003:25) menggarisbawahi makna dari 2 baris terakhir pada

bait ketiga dari puisi Chairil Anwar ini bahwa hanya pelaku bunuh dirilah yang mengetahui apa

latar belakang mengapa mereka melakukan bunuh diri ”tidak tahu, tapi ada yang tetap tidak

terucapkan, sebelum akhirnya pada akhirnya kita menyerah“ memilih jalan kematian untuk

mengakhiri penderitaannya.

Dari penelitian-penelitian di atas, umumnya lebih fokus pada individu-korban bunuh diri;

belum mengkaitkan apa yang melekat pada individu tersebut misalnya profesi/pekerjaan korban

bunuh diri. Berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan oleh Center for Suicide Research,

Universitas Oxford di Inggris diketahui bahwa tingginya resiko bunuh diri itu erat kaitannya

dengan kelompok pekerjaan/profesi (occupational groups). Di Inggris, ada beberapa kelompok

profesi yang rentan terhadap tindakan bunuh diri yaitu profesi petani, dokter (khususnya

perempuan), dokter gigi, apoteker, ahli bedah hewan (veterinary surgeon), dan perawat-

perempuan.1 Dalam konteks bunuh diri di Gunungkidul, hasil survei Setiawan (2005) menarik

untuk ditelaah lebih dalam tentang marak terjadi bunuh diri petani di Kabupaten Gunungkidul

(dari 153 pelaku bunuh diri, 121 orang adalah petani 79 persen). Data ini menjadi bekal penting

di dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara bunuh diri ini di Gunungkidul dengan

pekerjaan/profesi-korban bunuh diri.

1 Didownload dari http://cebmh.warne.ox.ac.uk/csr/reshighrisk.html

9

1.5. Landasan Teori

Menurut Durkheim (1952: 44) bunuh diri (suicide) adalah applied to all cases of death

resulting directly or indirectly from a positive or negative act of the victim himself, which he

knows will produce this result (setiap kematian yang merupakan akibat langsung atau tidak

langsung dari suatu perbuatan positif atau pun negatif yang dilakukan oleh korban, sementara itu

dia tahu akibat yang ditimbulkannya). Menurut Durkheim, bunuh diri itu dipengaruhi oleh tiga

faktor yaitu faktor kosmik, faktor sosial, dan faktor psikologi. Faktor kosmis mencakup dua hal

yaitu iklim dan suhu udara di tiap musim. Sementara itu, faktor psikologi menyangkut faktor

kejiwaan pelaku, sedangkan faktor sosial meliputi bunuh diri egoistik, altruistik, anomik, dan

fatalistik.

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Dhurkheim

Teori Durkheim tentang bunuh diri ini menekankan pada pemahaman hubungan bunuh

diri dengan integrasi sosial dan regulasi moral. Integrasi sosial merujuk pada kuat tidaknya

keterikatan dengan masyarakat, sedangkan regulasi moral merujuk pada tingkat paksaan

eksternal yang dirasakan oleh individu. Menurut Durkheim, kedua arus sosial tersebut adalah

variabel yang saling berkaitan. Angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan

yang lain meningkat yaitu sebagai berikut.

BUNUH DIRI

Faktor Kosmik Faktor Sosial Faktor

Psikologi

Altruistik Egoistik Anomik Fatalistik

10

Apabila tingkat integrasi sosial pada suatu masyarakat itu rendah/longgar, maka

akan memicu terjadi bunuh diri egoistic. Tipe bunuh diri ini, selain disebabkan karena tidak

terintegrasinya seseorang dalam suatu masyarakat, juga mencerminkan rasa tidak memiliki

berkepanjangan, tidak mempunyai tempat berlindung, merasa kurang bermakna, apatis,

melankolis, dan depresi. Hal ini disebabkan melemahnya individu dalam suatu kebersamaan. Ini

yang disebut Dhurkheim sebagai „excessive individuation’ yaitu individualisasi yang berlebihan;

individu menjadi semakin terpisah dari anggota lainnya dalam sebuah komunitas.

Apabila tingkat integrasi sosial pada suatu masyarakat itu tinggi/ketat, maka akan

memicu terjadinya bunuh diri altruistic. Tipe bunuh diri ini disebabkan oleh tingginya tingkat

integrasi sosial dalam suatu masyarakat. Bunuh diri ini ditandai dengan rasa kewalahan dalam

mencapi tujuan dan keyakinan suatu kelompok sosial. Dengan demikian, kebutuhan individu

dianggap kurang penting dibandingkan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Apabila tingkat regulasi moral pada suatu masyarakat itu rendah/longgar maka

dapat memicu terjadinya bunuh diri anomic yang mencerminkan kebingungan moral individu

dan kurangnya arah sosial, yang berkaitan dengan pergolakan sosial dan ekonomi yang dramatis.

Ini adalah gejala dari kegagalan pembangunan ekonomi dan pembagian kerja untuk

menghasilkan solidaritas di dalam kelompok. Durkheim menjelaskan bahwa ini adalah keadaan

gangguan moral yang mana manusia tidak mengetahui batas pada keinginan dan terus-menerus

dalam keadaan kecewa.

Apabila tingkat regulasi moral pada suatu masyarakat itu tinggi/ketat maka akan

memicu terjadinya bunuh diri fatalistic. Kebalikan dari bunuh diri anomik, ketika seseorang

terlalu diatur, ketika masa depan individu-individu di dalam masyarakat itu diperlakukan tanpa

belas kasihan yang diatur oleh kedisiplinan yang menindas.

11

Dhurkheim menekankan bahwa integrasi sosial dan regulasi moral itu merupakan

petunjuk kunci untuk menelusuri fenomena bunuh diri di suatu wilayah. Menurut Dhurkheim,

integrasi sosial adalah sejauh mana seorang individu merasa terhubung dengan orang lain,

kelompok atau komunitasnya (social integration is the degree to which an individual feels

connected to the other people in his or her group or community). Menurut Shortell, Durkheim

mengidentifikasi dua jenis utama dari integrasi sosial yaitu mekanik dan organik. Integrasi sosial

mekanik didasarkan pada keyakinan bersama dan sentimen, sedangkan integrasi sosial organik

didasarkan pada spesialisasi dan saling ketergantungan. Masyarakat solidaritas mekanik

cenderung relatif kecil dan diorganisasi sekitar afiliasi kekerabatan. Hubungan sosial diatur oleh

hati nurani umum. Pelanggaran norma-norma sosial dianggap sebagai ancaman langsung

terhadap identitas bersama. Reaksi terhadap penyimpangan cenderung menekankan pada

hukuman. Sementara itu, integrasi organik berdasarkan saling ketergantungan-karena semua

orang tidak lagi memproduksi semua hal yang mereka butuhkan, mereka harus berinteraksi.

Solidaritas dalam masyarakat organik yang umumnya bergerak pada organisasi ekonomi dan

politik yang memiliki sistem hukum yang mengatur perilaku berdasarkan prinsip pertukaran dan

restitusi bukan hukuman.

Dalam kategorisasi bunuh diri, Dhurkheim memisahkan antara integrasi sosial dan

regulasi moral (yang berwujud norma-norma sosial). Namun demikian, sebenarnya dua hal ini

sangat kait mengkait. Oleh karena di dalam integrasi sosial itu sudah mengandung norma-norma

yang menjalankannya. Dengan demikian, pembahasan tentang dua hal ini tidak akan dibahas

secara terpisah.

Menurut Cialdini, norma memiliki dua bentuk dasar yaitu norma deskriptif dan norma

injungtif. Norma deskriptif yang sering diistilahkan dengan norma „merupakan‟ ini merujuk pada

12

perbuatan yang bersifat umum atau biasa. Norma-norma semacam itu menggambarkan apa yang

dilakukan kebanyakan orang. Sementara itu norma injungtif atau yang sering disebut sebagai

norma „seharusnya‟ mengacu pada harapan-harapan bersama dalam suatu masyarakat, organisasi

atau kelompok mengenai perbuatan tertentu yang diharapkan-aturan-aturan moral yang telah

disetujui untuk dilaksanakan. Norma-norma semacam itu merefleksikan apa yang disetujui dan

yang tidak disetujui oleh sebagian besar orang. Hal tersebut memotivasi perilaku orang dengan

cara menjanjikan ganjaran atau hukuman sosial informal atas perilaku itu. Norma ini bisa

berwujud norma balas budi (reciprocity) dan norma tanggung jawab. Menurut Goulder (1960),

tidak ada satu pun masyarakat yang tidak menganut norma balas budi; yang mewajibkan kita

membalas orang lain dengan perbuatan (misalnya pemberian, pertolongan antau konsesi) yang

sama dengan perbuatan mereka kepada kita. Sementara itu, norma tanggung jawab sosial;

menyarankan perlunya memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Eksistensi norma

itu sudah ada sejak lama dalam banyak budaya (Berkowitz, 1972). Terjadi perdebatan terkait

dengan konsep norma injungtif ini. Yang menarik dari hasil perdebatan ini adalah seberapa besar

derajat suatu norma mampu mengarahkan perilaku bergantung seberapa besar derajat perhatian

orang bersangkutan terfokus pada norma tersebut (Cialdini et al.,1991). Dengan demikian ,

meskipun norma-norma injungtif berlaku selamanya dalam suatu masyarakat, organisasi, atau

kelompok; namun norma-norma itu tidak dapat dipaksakan selamanya. Hanya dalam situasi

tertentu saja-dimana suatu norma diaktifkan (artinya sangat ditonjolkan) dalam kesadaran

individu-yang bisa mengarahkan perbuatan individu itu secara paksa (Miller dan Grush 1986;

Rutkowski et. al. Dengan demikian, norma-norma sosial bisa digunakan sebagai alat paksa untuk

mengarahkan perbuatan manusia.

13

1.6. Kerangka Pemikiran

Prinsip dasar dari integrasi sosial di Gunungkidul adalah kerukunan. Kerukunan menjadi

cita-cita bersama yang menjadi moral sekaligus norma individu di dalam kelompoknya. Definisi

Dhurkheim tentang integrasi sosial; dalam konteks integrasi sosial masyarakat Gunungkidul;

dapat dipahami sebagai hubungan individu di dalam kelompok dan hubungan antar individu di

dalam kelompok itu. Konsep rukun yang di kembangkan oleh masyarakat Jawa (termasuk di

Gunungkidul); menunjuk pada keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua

hubungan sosial, dalam keluarga, di desa, dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh

masyarakat seharusnya bernafaskan semangat kerukunan (Suseno, 1993:39). Untuk konteks

masyarakat Jawa (di Gunungkidul), maka pemahaman definisi integrasi sosial menurut

Dhurkheim ini perlu diperluas cakupannya. Hubungan antar individu maupun hubungan individu

di dalam masyarakat Gunungkidul bermuara pada solidaritas kelompok. Secara garis besar,

dilihat dari basis pola hubungannya, integrasi sosial masyarakat Gunungkidul dapat

dikelompokkan menjadi dua bentuk integrasi sosial yaitu integrasi sosial yang berbasis hubungan

antar-individu/keluarga dan integrasi sosial yang berbasis pada pola hubungan individu di dalam

kelompok.

Dalam keseharian orang Gunungkidul, bentuk/praktek integrasi sosial antar-individu

/keluarga umumnya berkaitan dengan ritual siklus hidup orang Jawa misalnya ritual mitoni

(umur bayi 7 bulan), lairan (kelahitran bayi ), jagongan-nyumbang (acara pesta pernikahan),

rewang2, maupun layat (upacara kematian). Selain itu, ada juga yang tidak terkait dengan siklus

2 Rewang adalah salah satu wujud dari partisipasi bantuan warga kepada tetangganya yang sedang punya gawe

(hajatan) menikahkan anaknya. Kebutuhan rewang ini biasanya terkait dengan acara perniksahaan sing gedhen (acara besar) yang mengundang tamu ratusan hingga ribuan orang. Rewang ini dilakukan selama 1-3 hari tanpa upah/bayaran. Aktivitas ini mulai dari urusan dapur hingga urusan menyambut tamu. Selain rewang, bantuan warga masyarakat terhadap orang yang mempunyai gawe adalah dengan memberikan bantuan berupa barang atau uang. Kebiasaaan membantu ini disebut nyumbang.

14

hidup yaitu sambatan dan niliki wong loro (besuk orang sakit). Sambatan berasal dari kata

„sambat‟ yang artinya berkeluh kesah karena sesuatu beban yang dialami oleh seseorang.

Sambatan merupakan salah satu bentuk kegiatan gotong royong yang dilakukan warga

masyarakat Gunungkidul; baik dalam aktivitas pertanian maupun dalam aktivitas non pertanian.

Sambatan biasanya melibatkan banyak orang karena biasanya terkait dengan pekerjaan yang

tidak mungkin dilakukan oleh satu-dua orang saja, sementara pekerjaan itu perlu segera

diselesaikan seperti membuat rumah, membuat kandang ternak, atau sambatan dalam

pengolahan lahan pertanian. Tuan rumah yang melakukan sambatan biasanya menyediakan

makanan kecil, makanan besar, minuman, maupun rokok untuk warga masyarakat yang hadir

dan ikut gotong royong tersebut. Prinsip dasar dari sambatan ini adalah tuan rumah tidak

memberikan upah (uang) sebagai jerih payah mereka membantu si tuan rumah.

Sementara itu, bentuk/praktek hubungan individu dengan kelompoknya biasanya

berkaitan dengan kepentingan umum yang dikenal dengan istilah gugur gunung (gotong royong).

Gugur gunung adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Jawa secara

bersama-sama dalam hal pekerjaan yang kaitannya dengan fasilitas umum, misalnya

membersihkan selokan, membuat jalan setapak, membuat jembatan desa, bersih-bersih

lingkungan dan sebagainya. Gugur Gunung dilakukan pada hari minggu atau hari libur dan pada

hari-hari tertentu, misalnya menjelang Bulan Suci Ramadhan, menjelang Hari Ulang Tahun

Kemerdekaan dan lain-lain. Biasanya gugur gunung dilakukan secara berkelompok dalam satu

RT, RW, bahkan satu kampung. Bentuk/praktek integrasi sosial seperti itu; baik yang berbasis

pada hubungan antar-individu maupun berbasis pada hubungan individu dan kelompoknya tidak

memandang status sosial, kaya-miskin, maupun pekerjaannya.

15

Menangkap simbol –simbol integrasi sosial petani di Gunungkidul sebenarnya tidak bisa

dilepaskan dari pemahaman tentang individu di dalam masyarakat Jawa; mengingat warga

masyarakat Gunungkidul hidup dan berkembang di dalam ruang sosial dan budaya Jawa. Salah

satu yang tampak nyata adalah setiap hari mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa.

Sesekali warga menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa campuran (bahasa Jawa dan bahasa

Indonesia); bila mereka berkomunikasi dengan pendatang. Melihat petani Gunungkidul sebagai

orang Jawa ini cukup releven dengan gambaran tentang karakter petani di wilayah Kecamatan

Tepus (Gunungkidul). Menurut Suseno (1993: 12) orang yang hidup di Pulau Jawa yang

kebanyakan adalah orang Jawa umumnya hidup sebagai petani atau buruh tani (seperti juga apa

adanya di wilayah Gunungkidul). Di dataran rendah mereka bercocok tanam padi, di daerah

pegunungan mereka menanam ketela dan palawija; ini seperti gambaran petani di Kecamatan

Tepus Gunungkidul.

Pemahaman tentang hubungan individu di dalam masyarakat Jawa ini sedikit banyak

akan membantu dalam penelusuran mengapa individu (petani) di Gunungkidul rentan terhadap

tindakan bunuh diri. Pemahaman tentang individu dalam masyarakat Jawa dapat dilihat sebagai

individu yang berdiri sendiri (otonom), individu di dalam keluarga, dan individu di dalam

masyarakat. Ketiganya memiliki referensi yang berbeda-beda.

Orang Jawa terbagi menjadi dua golongan sosial yaitu (1) wong cilik (orang kecil) yang

terdiri atas sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan (2)

kaum priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Masyarakat Tepus

sebagian besar masuk golongan yang pertama karena sebagian besar terdiri atas masaa petani.

Menurut Mulder (1996: 36) pemahaman posisi individu di dalam keluarga Jawa dapat

dilihat dari peran individu sebagai orang tua dan individu sebagi anak. Sebagai orang tua (orang-

16

orang dewasa) di Jawa sebagian besar memiliki kewajiban yang berorientasi pada anaknya;

mulai dari mendapatkan anak, mengurus kesejahteraannya, dan mendidik anak menjadi orang

Jawa. Mengurus kesejahteraan anak-anak itu dimulai sejak menyambut kelahiran anak. Orang

tua akan melakukan laku prihatin, terutama ibunya, akan mengurangi makan dan menghindari

pantangan-pantangan ketika hamil. Selain itu, orang tua akan melakukan ritual slametan mitoni

yang diadakan pada bulan ketujuh dari kehamilan. Selain ritual itu, setelah bayi lahir dan

berumur 8 bulan, orang tua melakukan ritual tedhak siti - “turun ke tanah”; si anak sudah

diperbolehkan menapakkan kakinya di tanah. Siklus slametan tidak akan berhenti sampai di

sana, melainkan akan diteruskan untuk merayakan semua krisis kehidupan hingga anak-anak itu

naik ke pelaminan.

Kewajiban orang tua terhadap anak dimulai sejak masih dalam kandungan hingga naik ke

pelaminan. Kewajiban utama orang tua adalah menjaga anak-anaknya menjadi orang (dadi

uwong) artinya menjadikan anak menjadi terhormat di masyarakat. Untuk menuju hal tersebut,

anak dikenalkan dengan aturan-aturan budaya Jawa. Anak yang belum mengenal aturan-aturan

itu digolongkan sebagai durung jawa artinya belum menjadi orang Jawa. Untuk itu mereka

harus dilatih sedikit demi sedikit untuk mengikuti aturan untuk berlaku dengan sepatutnya dan

menguasai diri sehingga harus diisi dengan pengetahuan tentang kebudayaan mereka. Salah satu

hal yang penting ditanamkan orang tua kepada anaknya adalah isin (rasa malu). Isin adalah rasa

kekhawatiran mengenai penampilan seseorang, kekhawatiran untuk jangan dikritik atau

ditertawakan. Rasa ini bertujuan untuk melatih penguasaan diri, sekurang-kurangnya dalam

ungkapan tingkah laku yang bisa dilihat, sedangkan rasa itu juga dapat menuju kepada

perkembangan rasa rendah diri dan kehendak untuk menyendiri. Selain itu, rasa malu itu dapat

memberi sumbangan kepada perkembangan rasa hormat kepada orang lain dan keinginan untuk

17

menghindari pertikaian dan konfrontasi. Dari rasa malu ini bisa berkembang menjadi sikap yang

setara yang disebut sungkan. Sikap sungkan ini berkembang pertama kali kepada ayahnya

sendiri; setalah umur sepuluh-dua belas tahun, cenderung menghindarkan diri. Pada saat ini

seorang anak diharapkan untuk berbahsa Jawa halus (krama) yang resmi untuk berbicara dengan

ayahnya. Sejak saat ini dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih banyak lagi adat

istiadat, tatanan dan sopan santun yang mengatur hubungan bermasyarakat. Pada tataran ini

seorang anak didorong untuk belajar dalam pengembangan penguasaan diri dan kebijaksanaan

untuk saling menghormat dan hidup dalam damai dengan orang lain (Mulder, 1996: 38).

Individu sebagai anak di dalam keluarga mempunyai kewajiban untuk menghormati

dan mematuhi (ngajeni) orang tua. Penghormatan anak itu ditunjukkan dengan menggunakan

bahasa sopan (karma) kepada orang tua, selanjutnya kepatuhan itu ditunjukkan dengan

mendengarkan dan memperhatikan petunjuk-petunjuk orang tua. Pernyataan penghormatan

(ngabekti) ini berlanjut setlah kematian, ketika anak-anak harus memberi penghormatan kepada

orang tua di tempat pemakamannya. Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan kepatuhan

anak itu kepada tatanan. Hal itu dinyatakan dengan tunduk yaitu dengan sikap mengangguk dan

patuh pada keinginan orang tua. Selain hormat dan patuh kepada orang tua, seorang anak harus

mikul dhuwur, mendhem jero yang artinya mikul dhuwur (memikul tinggi-tinggi) yaitu nama

baik dan moral yang tak tercela dari orang tua mereka; dengan memuji kebaikan orang tua dan

keserasian dalam kehidupan kelauraga, terutama dalam hubungan antara orang tua dan anaknya.

Sementara itu, mendhem jero berarti “menanam dalam-dalam” yaitu segala sesuatu yang bisa

menimbulkan ketidak selarasan, perasaan agresif, atau apa saja yang dirasakan sebagai negatif

mengenai kehidupan, terutam adalam hubungan orang tua dan anak, perselisihan harus

disembunyikan di dalam dan tidak untuk dipertunjukkan kepada umum (Mulder, 1996: 42)

18

Bertemunya kewajiban orang tua dan kewajiban anak itu bermuara pada hubungan antara

yang lebih tinggi dan lebih rendah kedudukannya. Seorang anak harus menghormati orang

tuanya dan kenyataan penghormatan itu mengantung arti bahwa yang lebih rendah

kedudukannya mempersembahkan, memberikan persembahan kepada yang lebih tinggi

kedudukannya sebagai upeti. Upeti semacam itu merupakan hadiah penghormatan dan sama

sekali bukan pembayaran kembali atas sesuatu. Hadiah itu berfungsi untuk menarik perhatian

yang penuh kebajikan dari orang yang lebih tinggi kedudukannya itu. Pemberian itu bukan

merupakan pertanda ketergantungan orang tua-yang lebih tinggi kedudukannya terhadap

pemberian anak yang lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, orang tua akan merasa puas dan

bangga kalau mereka tidak mengganggu ketenangan hati (tentrem) anak-anak mereka dengan

mengajukan tuntutan-tuntutan kepadanya (Mulder, 1996:46).

Menurut Hildred Geertz, ada dua kaidah yang menetukan pola pergaulan dalam

masyarakat Jawa yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat (Suseno, 1993:38) Prinsip

kerukunan yang dimaksud ini bahwa dalam setiap situasi, manusia hendaknya bersikap

sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Sementara itu, yang dimaksud

prinsip hormat adalah bahwa manusia di dalam cara bicara dan membawa diri selalu

menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dua

prinsip ini bertujuan pada keinginan orang Jawa akan terciptanya sebuah tatanan (Suseno,

1993:34).

Prinsip rukun dan hormat itu sangat ditekankan dalam pendidikan keluarga. Anggota

keluarga harus bersikap rukun yaitu menciptakan hubungan yang serasi dan melaksanakan seni

minta dan memberi, kompromi, sedangkan anggota keluarga itu secara spontan juga

mengorbankan dorongan-dorongan pribadinya (pamrih) untuk dapat menikmati kesejahteraan

19

(slamet) yang timbul dari hubungan-hubungan serasi. Sementara itu, prinsip hormat dimulai dari

pengenalan rasa sungkan anak terhadap ayahnya; seorang anak berbicara dengan dengan bahasa

krama (bahasa halus) kepadanya. Selain rasa sungkan yang berkembang, di dalam prinsip hormat

itu juga mengandung rasa malu (isin); terhadap orang luar seorang anak harus mempertahankan

penampilannya sesuai dengan kedudukan dan nama baik dari orang tuanya (Mulder, 1996: 42).

Dengan demikian, tata pergaulan seorang individu di dalam masyarakat Jawa itu sebenarnya

sudah dipersiapkan oleh orang tua. Keluarga menjadi „lembaga pendidikan‟ seorang

anak/individu Jawa dalam berinteraksi dengan masyarakat. Bekal yang dibawa oleh masing-

masing individu di dalam keluarga Jawa itu sejalan dengan cita-cita kehidupan bermasyarakat

yaitu menuju masyarakat yang serasi (rukun). Kerukunan itu tidak datang sebagai suatu

pemberian atau sesuatu yang datang dengan sendirinya. Akan tetapi merupakan hasil dari

kemauan aktif untuk saling menghormati dan saling menyesuaikan diri. Untuk mengetahui

harapan-harapan satu sama lain, maka mereka perlu saling tenggang rasa dan hormat, dan

mematuhi asas timbal balik dari berinteraksi tersebut (Mulder, 1996:51).

Sikap dan perilaku hormat di dalam masyarakat Jawa dapat dilihat dari bagaimana

individu-individu itu berinteraksi. Hubungan antar pribadi di dalam masyarakat Jawa merupakan

hubungan vertikal. Mereka berhubungan satu sama lain secara hierarkis. Dimensi vertikal dari

kehidupan sosial ini, dan mengenai kehidupan pada umumnya merupakan tulang punggung

utama dari tatanan moral Jawa dan diabsahkan oleh gagasan bahwa orang-orang yang lebih

tinggi kedudukannya agaknya adalah lebih dekat kepada kebenaran daripada orang-orang yang

lebih rendah. Oleh karena itu, berhak untuk dihormati. Susunan hierarki inilah –hubungan orang

tua dan anak pada intinya-yang harus memberikan stabilitas dan kelangsungan kepada hidup

sosial. Individu yang diharapkan bisa berperilaku dan berbuat sesuai dengan asas-asas tatanan

20

sosial ini adalah individu yang sudah dewasa dalam pengetahuan tentang tatanan. Anak kecil

dianggap sebagai durung Jawa sebab ia belum mengetahui tatanan batin dan aturan-aturan

kehidupan. Dengan demikian, belum bisa diharapkan untuk berperilaku dan berbuat sesuai

dengan asas-asas tatanan. Sementara itu, orang Jawa yang sudah dewasa dalam pengetahuan

tatanan sudah bisa mengidentifikasi diri dengan sadar akan tempatnya di masyarakat, ia

menghormati kedudukan orang lain sambil berbuat berdasarkan harapan-harapan yang ada di

sekitarnya (Mulder, 1996: 54-59)

Tuntutan masyarakat terhadap individu berkaitan dengan lair yaitu tingkah laku

seseorang yang terlihat mata dan penampilan luar. Tuntutan itu adalah suatu tuntutan sepenuhnya

dan kebanyakan orang tampak merasa aman untuk berbuat sesuai dengannya. Apapun yang

dirasakan individu mengenai tuntutan masyarakat adalah merupakan urusannya sendiri selama ia

mendisiplinkan diri berbuat sesuai dengan tuntutan-tuntutan dari kehidupan kelompoknya.

Prinsip kerukunan di dalam masyarakat Jawa bukanlah semacam perasaan sosial alamiah

istimewa pada orang Jawa. Sikap rukun tidak ada hubungan dengan kesediaan hati untuk

menomorduakan kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri terhadap kelompok dan bukan

diartikan sebagai cita-cita tenggelamnya individu di dalam dalam kolektif. Orang Jawa

menyadari diri sebagai individu dalam masalah-masalah hidup pribadi dengan hak dan

kepentingan pribadi. Sejauh diizinkan oleh prinsip kerukunan, dia berusaha sekuat tenaga untuk

memenangkannya. Otonomi hidup pribadi dihargai tinggi. Dia tidak senang apabila orang lain

mencampuri urusannya. Pemahaman orang Jawa atas hak-hak individual tampak juga dalam

basis ekonomi eksistensi individualnya; sebagaian besar sawah, ladang dan rumah merupakan

milik pribadi. Bahkan, di dalam kegiatan kerukunan (gotong-royong) pun sebenarnya sarat

dengan kepentingan pribadi. Paling tidak hanya ada dua jenis gorong royong yang terjadi secara

21

spontan yaitu layat dan gugur gunung. Sementara itu, memenuhi undangan pesta merupakan

kewajiban sosial dan dari setiap tamu diharapkan memberikan sejumlah uang kepada tuan

rumah. Besarnya sumbangan itu akan diingat oleh kedua belah pihak dengan persis dan si

pemberi boleh mengharapkan bila dia mengadakanperayaan, maka tuan rumah itu akan memebri

sumbangan yang sama besar nilainya. Begitu pula individu tahu persis hak-haknya dalam

transaksi tukar menukar, pinjam meminjam, jual beli, dalam menepati janji, dan dalam

pembayaran kembali utangdan sebagianya. Jadi prinsip kerukunan bukan berarti bahwa orang

Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu

mekanisme sosial untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan

kelompok. Bahkan, bisa dikatakan bahwa prinsip kerukunan memberi kemungkinan kepada

orang Jawa untuk memperlihatkan suatu sikap sosial tanpa sekaligus harus merelakan

kepentingan-kepentingan pribadi (Suseno, 1993:56-57).

1.7. Metode Penelitian

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian tentang bunuh diri ini berbeda dengan

penelitian sosial lainnya. Hal ini disebabkan karena narasumber utama yang menjadi

informan/responden yaitu pelaku bunuh diri umumnya sudah sudah meninggal dunia. Dengan

demikian, peneliti perlu memodifikasi metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini.

Penelitian ini berpijak pada Kajian Pustaka dan Kajian Lapangan. Dari kajian pustaka

bertujuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek tentang fenomena bunuh diri (petani) yang terjadi

di dunia dan terutama yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul. Kajian pustaka ini bersumber

pada buku, jurnal, tesis, skripsi, data statistik, hasil penelitian, arsip, surat kabar, dan dokumen-

dokumen yang relevan dengan judul tesis ini. Sementara itu, kajian lapangan menggunakan

22

metode kualitatif dengan menekankan pada pengggalian data melalui observasi lapangan dan

wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci.

Peneliti melakukan prosedur formal yang standar dilakukan untuk melakukan penelitian

di suatu wilayah. Pertama yang dilakukan adalah pengurusan ijin penelitian di Kantor

Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Gunungkidul. Kantor ini mengeluarkan

surat ijin penelitian; sebagai pengantar untuk mengurus surat ijin penelitian (surat pengantar) dari

Kantor Kecamatan. Dalam hal ini surat pengantar dari Kantor Camat Tepus kepada Kepala Desa

se-Kecamatan Tepus. Dengan surat itu, peneliti bisa minta surat pengantar dari Kantor Desa

Tepus agar bisa digunakan bila peneliti melakukan observasi dan wawancara di tingakat dusun.

Kantor Desa Tepus tidak mengeluarkan surat pengantar itu karena menganggap bahwa surat

pengantar dari kantor kecamatan itu sudah cukup kuat. Namun demikian, apabila peneliti akan

mulai melakukan penelitian sebaiknya lapor ke Kepala Dusun, Ketua RW dan ketua RT dimana

kunjungan lapangan itu dilakukan.

1.7.1. Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara datang berkunjung ke Polisi Resort

(Polres) Gunungkidul, Polisi Sektor (Polsek) Kecamatan Tepus, Kantor Kecamatan, dan Kantor

Desa Tepus. Kasus bunuh diri yang terjadi di di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten

Gunungkidul ditangani oleh Bagian Reskrim, Polres Gunungkidul. Data kasus yang disajikan

adalah data kasus yang terjadi setiap tahun di 18 kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang

meliputi hari/tanggal terjadinya, nama, agama, pekerjaan, jenis kelamin, umur, alamat, dan

modus (cara bunuh diri). Sementara itu, data kasus bunuh diri yang terjadi di setiap kecamatan

ditangani Polisi Sektor (Polsek) di wilayah kecamatan terkait. Dengan demikian, data kasus

bunuh diri yang terjadi di Kecamatan Tepus ditangani oleh Polsek Tepus. Data dari Kantor

23

Polsek inilah sebenarnya yang menjadi sumber data kasus yang tercatat di Polres Gunungkidul.

Selain dari Kantor Polres Gunungkidul dan Kantor Polsek Tepus, data kasus bunuh diri yang

terjadi di wilayah kecamatan dapat juga diperoleh di Kantor Kecamatan (Bagian Trantib) dan

UPT Puskesmas tempat di mana kasus bunuh diri itu terjadi. Oleh karena bila terjadi kasus bunh

diri di wilayah kecamatan maka ada tiga pihak yang kompeten untuk menanganinya yaitu

Petugas dari Polsek, Bagian Trantib Kecamatan, dan Paramedik dari Puskesmas terdekat; di

mana kasus itu terjadi. Tiga sumber data sekunder ini bisa menjadi alternatif bila dari ketiga

sumber data sekunder ini tidak lengkap. Ketidaklengkapan data ini biasanya disebabkan karena

pengarsipan data masih dilakukan secara manual (ditulis tangan) sehingga menemui kesulitan

dalam pencarian dan penelusuran data kasus yang sudah tercatat, terutama untuk kasus-kasus

yang sudah cukup lama. Selain di Kantor Kecamatan, data kasus bunuh diri juga tercatat di

kantor desa. Di Desa Tepus misalnya data kasus bunuh diri tercatat di Bagian Pemerintahan Desa

Tepus. Data yang disajikan lebih terinci karena aparat desa terkait sedikit banyak bisa „bercerita‟

tentang kasus-kasus yang terjadi di wilayahnya. Berbekal data sekunder ini, penelusuran data

primer kasus bunuh diri yang terjadi di Kecamatan Tepus ini dapat dilakukan lebih lanjut.

1.7.2. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer diperoleh dengan cara observasi dan wawancara mendalam

terhadap sejumlah informan kunci yaitu aparat desa/kecamatan, kepala dusun, ketua RW, ketua

RT, ketua kelompok tani, tokoh agama, tokoh masyarakat (sesepuh), keluarga korban bunuh diri,

petani setempat, tetangga korban bunuh diri, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda.

Penelitian tentang bunuh diri di Gunungkidul umumnya menjadikan keluarga korban

sebagai sumber informasi utama dan ditambah dengan sumber informasi lainnya dari aparat

setempat dan tokoh masyarakat. Untuk penelitian ini tidak menggunakan pendekatan seperti itu.

24

Tidak akan menempatkan keluarga korban bunuh diri sebagai sumber informasi utama. Dengan

pertimbangan bahwa masyarakat Gunungkidul memandang bahwa bunuh diri adalah aib bagi

keluarga. Dengan demikian, ada kecenderungan bahwa keluarga korban akan defends menutup-

nutupi informasi tentang anggota keluarga yang bunuh diri. Selain itu, peneliti memandang

bahwa secara psikologis keluarga korban bunuh diri sebenarnya mereka dengan sekuat tenaga

ingin melupakan aib tersebut. Dengan demikian bila peneliti „memaksakan diri‟ untuk

wawancara dengan keluarga korban bunuh diri; dikhawatirkan akan mengembalikan memori aib

tersebut.

1.7.3. Analisis data

Data sekunder kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus bersumber dari catatan Bagian

Reskrim Polres Gunungkidul yang disajikan per tahun per wilayah kecamatan. Data kasus per

kasus masih merupakan data mentah sehingga belum bisa dibaca kecenderungan dari kumpulan

kasus-kasus tersebut. Dari data mentah ini kemudian, diolah dan dianalisis dengan

mempertimbangan kategorisasi yang dapat dilakukan. Dari langkah inilah kemudian didapatkan

kecenderungan dari kasus-kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul yang terjadi pada rentang

Tahun 2010-2014 misalnya berapa jumlah total kasus yang ada, apa pekerjaan para korban, dan

berapa usia para korban, dan seterusnya. Berbagai kecenderungan inilah yang kemudian

membantu di dalam membantu di dalam analisis data primer. Data primer bersumber dari hasil

wawancara dengan sejumlah informan kunci. Wawancara itu menggunakan panduan wawancara

yang berbeda-beda berdasarkan isu dan informan yang akan diwawancarai. Hasil wawancara ini

kemudian diorganisasikan berdasarkan isu dan informannya secara naratif.

25

1.7.4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Dengan

pertimbangan bahwa wilayah ini setiap tahun secara konsisten terjadi kasus bunuh diri. Bahkan

pada rentang Tahun 1999-2003, kasus bunuh diri di Kecamatan Tepus tercatat tertinggi se-

kabupaten Gunungkidul yaitu 20 kasus bunuh diri dari total 153 kasus (Setiawan, 2005:110).

Konsistensi tingginya angka bunuh diri di Kecamatan Tepus ini pun terjadi dalam lima tahun

belakangan ini. Dari data Polres Gunungkidul (2014) dari Bulan Januari 2010 hingga Bulan

Agustus 2014 telah terjadi 120 kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul dan kasus di

Kecamatan Tepus tercatat paling tinggi yaitu 16 kasus. Kasus bunuh diri di kecamatan ini

merata terjadi di 5 desa yaitu di Desa Tepus, Purwodadi, Sidoharjo, Giripanggung, dan

Sumberwungu. Dari jumlah total 16 kasus tersebut, 11 korban itu latar belakang pekerjaannya

adalah petani.

1.7.5. Ruang Lingkup Penelitian

Dari pendekatan Dhurkheim tentang bunuh diri yang meliputi faktor kosmik, faktor sosial,

dan faktor psikologi tersebut tesis ini dibatasi pada pada kajian bunuh diri yang dilihat dari faktor

sosial saja. Untuk lokasi penelitiannya fokus pada kasus bunuh diri petani yang terjadi di di

Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Dusun

Tegalweru, Desa Tepus pada rentang Tahun 2010-2014. Hal yang menarik dari Dusun

Tegalweru adalah pada Tahun Bulan Desember 2010 tercatat ada dua kasus bunuh diri petani di

dusun tersebut. Kasus ini bisa dikatakan „kejadian luar biasa‟ apabila dilihat dari cakupan

wilayah terjadinya kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul; Kecamatan Rongkop misalnya

pada rentang Tahun 2010-2014 hanya terjadi satu kasus bunuh diri saja. Sementara Dusun

Tegalweru yang cakupan wilayahnya jauh lebih kecil justru ditemukan kasus bunuh diri lebih

dari satu kasus.

1.8. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terdiri atas lima bab yaitu sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan

Bab II Setting Wilayah Penelitian

Bab III Kasus Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul

Bab IV Bunuh Diri dalam Representasi Integrasi Sosial

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi