Upload
vanlien
View
222
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium
tersebut begitu lekat terdengar. Hal ini mengisyaratkan bahwa kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial yang tergabung dalam kehidupan bermasyarakat tidak
akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia sendiri menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara
hukum (Pasal 1 ayat (3)).
Secara umum hukum dapat diberi definisi sebagai himpunan peraturan-
peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata
kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka
yang melanggarnya.1
Berdasarkan kepentingan yang diaturnya, hukum dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum
yang berkaitan dengan fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan
kepentingan individu.2
Berbicara tentang hukum publik tidak akan pernah lepas dari berbicara
mengenai hukum pidana. Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah
1 R. Soeroso, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38.
2 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 211.
2
bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.3
Secara ringkas hukum pidana merupakan hukum yang bersifat istimewa
karena memiliki sanksi berupa penyengsaraan atau penderitaan (pidana) bagi yang
melanggar. Sanksi tersebutlah yang membedakan hukum pidana dengan hukum
lainnya. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan pidana
terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda.
b. Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Pidana tersebut ditujukan dengan maksud untuk menakut-nakuti setiap
orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik) dan
untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik
3 Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1.
3
menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (aliran
modern).4
Salah satu bentuk pidana yang paling banyak dijatuhkan terhadap pelaku
kejahatan adalah pidana penjara. Pidana penjara di dalam sejarah dikenal sebagai
reaksi masyarakat terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang
pelanggar hukum, pidana penjara juga disebut sebagai “pidana hilang
kemerdekaan” dimana seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara
sosial dari lingkungannya.5
Adanya hukum pidana beserta tujuannya tersebut tidak juga mengurangi
secara signifikan tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Bahkan seorang yang
telah usai menjalani masa hukuman karena telah melakukan tindak pidana dapat
mengulangi lagi perbuatannya tersebut secara berulang kali. Tindakan tersebut
dikenal dengan istilah recidive dan pelakunya dikenal dengan istilah recidivis.
Recidive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan
yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara
perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.6 Tindakan
recidive merupakan dasar dari pemberatan penjatuhan pidana. Hal tersebut
dikarenakan seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang lagi
melakukan kejahatan, membuktikan bahwa seseorang tersebut telah memiliki
4 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 14.
5 Petrus Iwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 14. 6 Teguh Prasetyo, op.cit. h. 191.
4
tabiat buruk yang dianggap sangat membahayakan bagi keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Seiring perkembangan sistem hukum berbagai upaya dilakukan guna
menekan angka tindak kejahatan khususnya recidive. Diundangkannya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU
Pemasyarakatan) sistem penjatuhan pidana yang awalnya berupa pidana penjara
berubah menjadi sistem pemasyarakatan yang dulunya terpidana dalam menjalani
hukuman ditempatkan dalam penjara yang sangat membatasi gerak dari terpidana,
kini telah berubah di dalam menjalani hukuman terpidana ditempatkan dalam
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
Istilah pemasyarakatan itu sendiri, untuk pertama kalinya telah diucapkan
oleh Sahardjo di dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causanya dalam
ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, di dalam
pidatonya beliau antara lain telah mengemukakan rumusannya mengenai tujuan
dari pidana penjara, yaitu disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana
karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat,
dan mendidik mereka menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang
berguna. Atau dengan perkataan lain, tujuan dari pidana penjara itu adalah
pemasyarakatan.7 Sebutan lembaga pemasyarakatan kemudian untuk pertama
kalinya digunakan untuk merubah sebutan rumah penjara di Indonesia
7 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 32.
5
diberlakukan sejak bulan April 1964 sesuai gagasan dari Suhardjo yang pada kala
itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman.
Selaras dengan ajaran Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang di
dalam sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”
memberikan jaminan bahwa setiap warga negara Indonesia diperlakukan secara
beradab dan dihargai hak-hak asasi manusianya meskipun berstatus sebagai
narapidana. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari
Pasal 28A sampai Pasal 28J juga disebutkan bahwa Negara wajib menjamin dan
melindungi hak-hak asasi dari setiap warga negaranya dari segi dan bidang
apapun. Perlindungan terhadap HAM diatur secara khusus dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jadi baik warga Negara biasa
maupun warga Negara yang berstatus narapidana, Negara berkewajiban menjamin
hak-hak asasi dari setiap warga negaranya.
Teori pemidanaan yang berkembang dewasa ini lebih kearah teori
pemidanaan yang modern yang dimaksudkan guna mendidik narapidana agar
nantinya setelah usai dalam menjalani proses pemidanaan, narapidana tidak
mengulangi lagi perbuatannya tersebut (recidive) dan juga agar nantinya dapat
bersosialisasi lagi serta diterima di lingkungan masyarakat. Teori pemidanaan
yang seperti ini dianggap lebih menghargai HAM dan mulai meninggalkan teori
klasik yang lebih menitik beratkan pidana sebagai pembalasan. Sistem yang
sedang berkembang dan dianut di Indonesia saat ini menuju pada usaha perbaikan
narapidana agar menjadi orang yang lebih baik atau dapat dikatakan sebagai
pemasyarakatan.
6
Perspektif kebijakan pidana yang modern telah menimbulkan aliran penologi
terbaru (The New Penology) yang menganut paham Reintegrasi Sosial
(pemasyarakatan) yang dalam garis besarnya sebagai berikut:
1) Pelanggar hukum sebagai individu diakui tidak berbeda dengan anggota
masyarakat yang bukan pelanggar hukum.
2) Konsepsi pemasyarakatan menitikberatkan kepada pulihnya kesatuan
hubungan yang telah retak antara pelanggar hukum dengan masyarakat.
3) Dalam pola rehabilitasi, realisasi reaksi masyarakat terhadap pelanggar
hukum yang diawali oleh instansi penegak hukum lebih diarahkan kepada
pemberian derita, maka dalam pola reintegrasi sosial prinsip kasih sayang,
yang seharusnya terkandung pula dalam pemberian derita (seperti pepatah
jika sayang anak jangan sayang rotan) adalah menjadi tugas atau misi
instansi yang diserahi menampung pelanggar hukum.
4) Pembinaan pelanggar hukum yang terpidana berdasarkan konsepsi
pemasyarakatan tidak cukup hanya dilakukan setelah pelanggar hukum yang
bersangkutan dijatuhi pidana. Pemberian pembinaan yang prinsipil harus
sudah dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak pelanggar hukum ditangkap
dan ditahan oleh pihak kepolisian dan seterusnya. Adapun bentuk
pembinaannya meliputi program diversi, probasi informal, dan intervensi
sebelum persidangan.8
8 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,
Bandung, h. 43.
7
Berangkat atas dasar tersebutlah maka sistem kepenjaraan di Indonesia
berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Konsideran huruf a sampai huruf c UU
Pemasyarakatan disebutkan:
a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan
sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi
dalam satu sistem pembinaan yang terpadu;
b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan;
c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga
Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar merupakan salah satu
lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang sangat ramai diperbincangkan
dikarenakan jumlah narapidana yang over kapasitas sehingga sering muncul
permasalahan di lembaga pemasyarakatan tersebut antara lain seringnya terjadi
keributan antar narapidana sampai kurangnya tenaga pembina dalam melakukan
pembinaan terhadap narapidana. Tentu permasalahan-permasalahan tersebut di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar akan berpengaruh terhadap
efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan terhadap pembinaan narapidana di
lembaga pemasyarakatan tersebut terutama pembinaan bagi narapidana recidive.
Berubahnya sistem kepenjaraan di Indonesia menjadi sistem pemsyarakatan
yang dikatakan lebih ditujukan terhadap mendidik narapidana dan bukan untuk
membalas apa yang telah dilakukan narapidana terhadap korbannya masih dirasa
kurang efektif dalam pelaksanaannya karena dalam prakteknya dilapangan masih
8
banyak narapidana yang seusai ia menjalani proses pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, ia mengulangi lagi melakukan tindak pidana dan menjadi
recidivis.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi untuk mengangkat suatu
permasalahan tersebut diatas ke dalam bentuk suatu karya ilmiah yang berupa
skripsi dengan judul “Efektivitas Sistem Pemasyarakatan Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar Dalam Menanggulangi Recidivis”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dibatasi
beberapa permasalahan pokok dalam bahasan usulan penelitian ini. Adapun
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA
Denpasar?
2. Apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam menanggulangi recidivis?
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, untuk itu perlu adanya pembatasan
dalam ruang lingkup masalah sehingga pembahasan dalam tulisan ini bisa
terfokus pada pokok permasalahan yang dibahas. Adapun pembatasan dalam
ruang lingkup masalah yang akan dibahas di dalam tulisan ini yaitu:
9
1. Pembahasan pertama difokuskan terhadap pelaksanaan sistem
pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Denpasar.
2. Pembahasan kedua difokuskan terhadap efektifitas sistem
pemasyarakatan dalam menanggulangi recidivis.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terkait dengan efektifitas sistem pemasyarakatan dalam
menanggulangi recidivis ini ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Adapun tujuan tersebut antara lain :
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas sistem pemasyarakatan dalam
menanggulangi recidivis.
B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS
Kelas IIA Denpasar.
2. Untuk mengetahui apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam
menanggulangi recidivis.
1.5. Manfaat Penelitian
A. Manfaat Teoritis
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
kontribusi pemikiran dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan
10
terutama di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana dibidang
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
B. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan kontribusi pemikiran serta solusi kongkrit bagi para
lembaga penegak hukum terutama di Lembaga Pemasyarakatan guna
mengefektifkan pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam
penanggulangan tindak recidive yang dalam prakteknya walaupun sistem
kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan yang lebih
mengutamakan pembinaan terhadap narapidana, tindak recidive masih saja
terjadi.
1.6. Kerangka Teoritis
1. Sistem Pemasyarakatan
Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan menyatakan bahwa Pemasyarakatan
adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian
akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Pasal 1 angka 2 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa sistem
pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,
11
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai
pembaharuan pelaksanaan pidana penjara diharapkan merupakan satu kegiatan
yang mengandung dua hal. Hal yang pertama, mengandung suatu pemikiran
tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami revolusi berkenaan dengan
upaya pelaksanaan pidana penjara baru, dan pada hal yang kedua, mengandung
suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam
rangka sistem pemasyarakatan.9
Pola pembinaan berdasarkan pemasyarakatan (re-integrasi sosial) dalam hal
ini tidak terikat pada waktu, melainkan mengandalkan komitmen kegoyong
royongan dalam pembinaan dalam rangka mencegah atau memperkecil timbulnya
residivisme.10
Konfrensi Lembang Bandung merumuskan sepuluh prinsip pemasyarakatan
yang dijadikan dasar pembinaan. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan
itu adalah:
1) Ayomi dan berikan bekal agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai
warga masyarakat yang baik dan berguna ;
2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara. Ini
berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik
baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan
9 Bambang Poernomo, 1985, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, h. 13.
10 Marsono, 2002, Bunga Rampai Pemasvarakatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 91.
12
ataupun penempatan. Satu-satunya derita yag dialami oleh narapidana dan
anak didik hendaknya hanyalah dihilangkannya untuk bergerak dalam
masyarakat bebas;
3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat. Berikan
kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan
dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan
rasa hidup kemasyarakatannya;
4) Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih
jahat daripada sebelum dijatuhi pidana;
5) Selama kehilangan kemerdekaan beegerak narapidana harus dikenalkan
kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat dan hal ini
terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas dan kesempatan
yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga;
6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau Negara
saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan
Negara;
7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila. Ini berarti
bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa
toleransi, jiwa kekeluargaan disamping pendidikan kerohanian dan
kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan
spritual;
8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa
ia penjahat;
9) Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya;
10) Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung
fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.11
Kesepuluh prinsip pemasyarakatan tersebut setidaknya sudah cukup untuk
mengajukan arah yang harus dituju oleh Sistem Pemasyarakatan dalam rangka
pembinaan dan upaya penanggulangan kejahatan agar tindak muncul tindak
recidive.
Pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan
11 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2004, 40 Tahun Pemasyarakatan Mengukir Citra
Profesionalisme, Dept. Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, h. 80.
13
Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yakni dalam ketentuan :
Pasal 2
1) Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan
pembimbing kepribadian dan kemandirian.
2) Program Pembinaan diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.
3) Program Pembimbingan.
Pasal 3
Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandiriaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:
a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Kesadaran berbangsa dan bernegara;
c. Intelektual;
d. Sikap dan perilaku;
e. Kesehatan jasmani dan rohani;
f. Kesadaran hukum;
g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat;
h. Keterampilan kerja; dan
i. Latihan kerja dan produksi.
2. Teori-Teori Pemidanaan
Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi
dalam tiga golongan (teori) yaitu:
a. Teori Absolut (Pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart,
Stahl dan Leo Polak. Teori ini teori tertua (klasik) yang berpendapat pidana
ltu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenar pidana terletak pada kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, oleh
kafena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi yang terkena kejahatan,
maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa
pidana kepada seseorang yang melakukan kejahatan itu. Seperti halnya,
siapa yang membunuh harus dibunuh.
14
b. Teori Relative (Tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah
pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanafaat. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa
pendapat, yaitu tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang
gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan. Selain itu, tujuan pidana
adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas Pencegahan
Umum (Generale Preventie) dan Pencegahan Khusus (Speciale Preventie).
Selain itu, masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von
Lizt, Van Hamel, dan D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman
adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara,
dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan
yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/
norma.
c. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) merupakan gabungan dari Teori
Absolut (Pembalasan) dengan Teori Relatif (Tujuan). Yang pertama kali
mengajukan teori gabungan ini mlah Pellegrino Rossi (1787-1848), Teori ini
menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban
masyarakat dan tidak boleh lebih berat dari beratnya penderitaan
yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana Teori ini dalam juga
melihat kemasa depan dalam pelaksanaan pidana atau pembalasaanya,
yakni dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadinya
15
tindak pidana sebagaimana dalam teori relatif. 12
Jika diperhatikan dari teori-teori pemidanaan yang dipaparkan di atas,
terdapat suatu perkembangan di dalam tujuan pemidanaan, penjatuhan pidana kini
tidak hanya ditujukan terhadap bentuk pembalasan dari tindak pidana yang telah
dilakukan oleh narapidana, namun penjatuhan pidana kini juga ditujukan guna
mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan membina para narapidana yang
dalam menjalani masa pidananya agar nantinya tidak mengulangi lagi
perbuatannya tersebut (recidive). Tujuan pemidanaan yang menitikberatkan
terhadap pembinaan ini juga berkaitan dengan penggunaan istilah lembaga
pemasyarakatan yang lebih menitikberatkan kepada pembinaan dengan tujuan
memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana yang selama ini telah merugikan
masyarakat dan mengembalikannya kembali ke arah yang benar dengan cara
membina narapidana tersebut sehingga nantinya berguna bagi masyarakat pada
umumnya yang telah dirugikannya pada saat ia melakukan tindak pidana.
Sehingga pada saat ia bebas dapat diterima kembali dalam masyarakat dan tidak
menjadi recidivis.
3. Recidivis
Recidive merupakan dasar pemberatan hukuman yang dikarenakan
seseorang yang telah dipidana mengulang lagi melakukan perbuatan jahatnya
tersebut. Recidive berarti pengulangan. Recidive diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana pada Buku II Bab XXXI Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal
12 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,
h. 53-60.
16
488. Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis:
1) Recidive umum
a. Seorang telah melakukan kejahatan.
b. Terhadap kejahatan mana telah dijatuhi hukuman yang telah dijalani.
c. Kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap jenis kejahatan.
d. Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberatan
hukuman.
2) Recidive khusus
a. Seorang melakukan kejahatan.
b. Yang telah dijatuhi hukuman.
c. Setelah menjalani hukuman ia mengulang lagi melakukan kejahatan.
d. Kejahatan mana merupakan kejahatan sejenisnya. 13
1.7. Hipotesis
Berdasarkan atas kerangka teoritis yang telah dipaparkan di atas dan
dikaitkan dengan permasalahan diangkat maka dapat ditarik suatu hipotesis
sebagai berikut:
1. Jika penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dalam pembinaan
narapidana yang dilakukan di LAPAS Kelas II A Denpasar guna
menanggulangi recidivis adalah berdasarkan ketentuan yang di atur dalam
UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, maka Pembinaan
13 Teguh Prasetyo, op.cit, h. 192.
17
di LAPAS Denpasar adalah dengan memberikan bekal keterampilan
berupa pelatihan-pelatihan pekerjaan maupun pembinaan secara mental
dan psikologis agar nantinya diharapkan bekal tersebut dapat digunakan
ketika kembali ke masyarakat agar narapidana tersebut tidak mengulangi
lagi tindak pidananya tersebut.
2. Jika efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi
recidivis dapat dilihat dari tujuan dari pemidanaan atau tujuan dari
penempatan orang di dalam lembaga pemasyarakatan berupa
pemasyarakatan, maka hal tersebut tidak akan pernah dapat dicapai dengan
efektif dan efisien apabila masih terdapat perbedaan pandangan di antara
para penyidik, jaksa, hakim, dan para pelaksana pemasyarakatan tentang
hakikat pemidanaan, khususnya tentang hakikat penempatan orang di
lembaga pemasyarakatan.
1.8. Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah
penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan
adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian
lapangan.14
Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis dapat direalisasikan
kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku ataupun
14 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.
15.
18
penelitian terhadap identifikasi hukum.15
Penelitian hukum empiris ini objek yang
akan diteliti yaitu efektivitas sistem pemasyarakatan guna menanggulangi
recidivis di LAPAS Kelas IIA Denpasar. Permasalahan yang muncul dalam hal ini
adalah sejauh mana sistem pemasyarakatan dapat menanggulangi terjadinya
tindak recidive.
B. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunankan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (The Statue Approach), pendekatan fakta (The Fact
Approach), pendekatan kasus (The Case Approach) dan pendekatan analisis
konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan analsisi konsep hukum digunakan karena yang akan
diteliti adalah berbagai aturan hukum yang dikaitkan dengan konsep hukum, yang
kemudian menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.16
Pendekatan
perundang-undangan merupakan pendekatan yang berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan sistem pemasyarakatan yang
dalam hal ini mangacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pendekatan fakta merupakan
pendekatan yang digunakan berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi dalam
masyarakat terkait dengan efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam
menanggulangi tindak recidive. Pendekatan kasus merupakan pendekatan yang
15 Ibid, h. 16.
16 Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 302.
19
digunakan dalam melihat kasus-kasus recidivis yang terjadi mengingat
bagaimanakah efektifitas sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi kasus
recidivis tersebut. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan pendekatan yang
digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan hukum yang jelas tentang
sistem pemasyarakatan dalam efektifitasnya terhadap penanggulangan recidivis.
C. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan
suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat, atau menguji dan bahkan
menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian
yang ada.17
Jadi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimanakah efektivitas sistem pemasyrakatan guna menanggulangi recidivis.
Dalam penelitian tersebut terdapat keingintahuan terhadap pengaruh atau dampak
suatu variabel terhadap variabel lainnya. Yang dalam hal ini sistem
pemasyarakatan dan recidivis.
D. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data primer
dan data skunder.
1. Data primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai
sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan.18
Data primer yang
digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui study lapangan di
LAPAS Kelas IIA Denpasar melalui teknik pengumpulan data yang
17 Ibid, h. 9.
18 Ibid, h. 16.
20
telah ditentukan.
2. Data skunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan.
Termasuk dalam data skunder meliputi buku-buku, buku-buku harian,
surat-surat pribadi dan dokumen resmi dari pemerintah.19
Dokumen
resmi dari pemerintah meliputi instrumen-instrumen hukum antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999
Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
g. Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
19 Ibid, h. 14.
21
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Teknik Studi Dokumen, Teknik Wawancara (Interview), dan Teknik Penyebaran
Kuisioner. Teknik Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang
relevan dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP No.31
Tahun 1999 dan Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan
No.K.P.10/3/7 serta bahan bacaan yang berkaitan dengan pembinaan narapidana.
Sedangkan Teknik Wawancara (Interview) dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang yang telah
dirancang sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan
mendukung permasalahan di dalam penelitian. Teknik penyebaran kuisioner
dilakukan dengan menyebarkan kuisionar berupa daftar pertanyaan terhadap
responden yang sudah ditentukan sesuai dengan teknik pengambilan sampling.
Dari hasil pengumpulan data tersebut baru kemudian akan dilakukan pengolahan
dan analisis data.
F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini batasan populasinya adalah seluruh narapidana yang
ada di LAPAS Kelas IIA Denpasar. Kemudian teknik yang digunakan adalah
teknik random sampling sehingga setiap elemen mempunyai kesempatan yang
sama untuk menjadi sampel. Dalam hal ini akan ditentukan dulu berapa jumlah
narapidana yang ada di dalam LAPAS Kelas IIA Denpasar baik yang biasa
maupun recidivis. Kemudian cara yang digunakan adalah systematic random
simpling yaitu dari populasi yang ada akan diambil jumlah prosentasenya, dari
22
prosentase tersebut akan dibuat daftar random dari keseluruhan populasi. Dalam
penentuan sample ini akan dipisah antara narapidana biasa dengan recidivis
sehingga dapat diketahui secara jelah bagaimana sistem pemasyarakatan tersebut
berdampak secara efektif terhadap narapidana biasa dan recidivis.
G. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data akan digunakan analisis kuantitatif
yaituanalisis yang diterapkan dalam penelitian yang sifatnya eksplanatoris, sifat
data yang dikumpulkan berjumlah besar, mudah dikualifikasi kedalam kategori-
kategori, data yang terkumpul terdiri dari aneka gejala yang dapat diukur dengan
angka-angka, hubungan antara variabel sngat jelas, pengambilan sampel
dilakukan sangat cermat dan teliti, pengumpulan data menggunakan kuisioner.