22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut begitu lekat terdengar. Hal ini mengisyaratkan bahwa kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang tergabung dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sendiri menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3)). Secara umum hukum dapat diberi definisi sebagai himpunan peraturan- peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya. 1 Berdasarkan kepentingan yang diaturnya, hukum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang berkaitan dengan fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan individu. 2 Berbicara tentang hukum publik tidak akan pernah lepas dari berbicara mengenai hukum pidana. Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah 1 R. Soeroso, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38. 2 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 211.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

  • Upload
    vanlien

  • View
    222

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium

tersebut begitu lekat terdengar. Hal ini mengisyaratkan bahwa kehidupan manusia

sebagai makhluk sosial yang tergabung dalam kehidupan bermasyarakat tidak

akan pernah lepas dari sesuatu yang disebut hukum. Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia sendiri menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara

hukum (Pasal 1 ayat (3)).

Secara umum hukum dapat diberi definisi sebagai himpunan peraturan-

peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata

kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta

mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka

yang melanggarnya.1

Berdasarkan kepentingan yang diaturnya, hukum dapat dibagi menjadi dua

macam yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum

yang berkaitan dengan fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan

kepentingan individu.2

Berbicara tentang hukum publik tidak akan pernah lepas dari berbicara

mengenai hukum pidana. Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah

1 R. Soeroso, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38.

2 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 211.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

2

bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,

yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.3

Secara ringkas hukum pidana merupakan hukum yang bersifat istimewa

karena memiliki sanksi berupa penyengsaraan atau penderitaan (pidana) bagi yang

melanggar. Sanksi tersebutlah yang membedakan hukum pidana dengan hukum

lainnya. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan pidana

terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

3. pidana kurungan;

4. pidana denda.

b. Pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim.

Pidana tersebut ditujukan dengan maksud untuk menakut-nakuti setiap

orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik) dan

untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan yang tidak baik

3 Moeljatno, 2009, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

3

menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (aliran

modern).4

Salah satu bentuk pidana yang paling banyak dijatuhkan terhadap pelaku

kejahatan adalah pidana penjara. Pidana penjara di dalam sejarah dikenal sebagai

reaksi masyarakat terhadap adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang

pelanggar hukum, pidana penjara juga disebut sebagai “pidana hilang

kemerdekaan” dimana seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara

sosial dari lingkungannya.5

Adanya hukum pidana beserta tujuannya tersebut tidak juga mengurangi

secara signifikan tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Bahkan seorang yang

telah usai menjalani masa hukuman karena telah melakukan tindak pidana dapat

mengulangi lagi perbuatannya tersebut secara berulang kali. Tindakan tersebut

dikenal dengan istilah recidive dan pelakunya dikenal dengan istilah recidivis.

Recidive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan

yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara

perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.6 Tindakan

recidive merupakan dasar dari pemberatan penjatuhan pidana. Hal tersebut

dikarenakan seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang lagi

melakukan kejahatan, membuktikan bahwa seseorang tersebut telah memiliki

4 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 14.

5 Petrus Iwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan

dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 14. 6 Teguh Prasetyo, op.cit. h. 191.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

4

tabiat buruk yang dianggap sangat membahayakan bagi keamanan dan ketertiban

masyarakat.

Seiring perkembangan sistem hukum berbagai upaya dilakukan guna

menekan angka tindak kejahatan khususnya recidive. Diundangkannya Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU

Pemasyarakatan) sistem penjatuhan pidana yang awalnya berupa pidana penjara

berubah menjadi sistem pemasyarakatan yang dulunya terpidana dalam menjalani

hukuman ditempatkan dalam penjara yang sangat membatasi gerak dari terpidana,

kini telah berubah di dalam menjalani hukuman terpidana ditempatkan dalam

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).

Istilah pemasyarakatan itu sendiri, untuk pertama kalinya telah diucapkan

oleh Sahardjo di dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causanya dalam

ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, di dalam

pidatonya beliau antara lain telah mengemukakan rumusannya mengenai tujuan

dari pidana penjara, yaitu disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana

karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat,

dan mendidik mereka menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang

berguna. Atau dengan perkataan lain, tujuan dari pidana penjara itu adalah

pemasyarakatan.7 Sebutan lembaga pemasyarakatan kemudian untuk pertama

kalinya digunakan untuk merubah sebutan rumah penjara di Indonesia

7 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 32.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

5

diberlakukan sejak bulan April 1964 sesuai gagasan dari Suhardjo yang pada kala

itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman.

Selaras dengan ajaran Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang di

dalam sila ke-2 yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”

memberikan jaminan bahwa setiap warga negara Indonesia diperlakukan secara

beradab dan dihargai hak-hak asasi manusianya meskipun berstatus sebagai

narapidana. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari

Pasal 28A sampai Pasal 28J juga disebutkan bahwa Negara wajib menjamin dan

melindungi hak-hak asasi dari setiap warga negaranya dari segi dan bidang

apapun. Perlindungan terhadap HAM diatur secara khusus dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jadi baik warga Negara biasa

maupun warga Negara yang berstatus narapidana, Negara berkewajiban menjamin

hak-hak asasi dari setiap warga negaranya.

Teori pemidanaan yang berkembang dewasa ini lebih kearah teori

pemidanaan yang modern yang dimaksudkan guna mendidik narapidana agar

nantinya setelah usai dalam menjalani proses pemidanaan, narapidana tidak

mengulangi lagi perbuatannya tersebut (recidive) dan juga agar nantinya dapat

bersosialisasi lagi serta diterima di lingkungan masyarakat. Teori pemidanaan

yang seperti ini dianggap lebih menghargai HAM dan mulai meninggalkan teori

klasik yang lebih menitik beratkan pidana sebagai pembalasan. Sistem yang

sedang berkembang dan dianut di Indonesia saat ini menuju pada usaha perbaikan

narapidana agar menjadi orang yang lebih baik atau dapat dikatakan sebagai

pemasyarakatan.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

6

Perspektif kebijakan pidana yang modern telah menimbulkan aliran penologi

terbaru (The New Penology) yang menganut paham Reintegrasi Sosial

(pemasyarakatan) yang dalam garis besarnya sebagai berikut:

1) Pelanggar hukum sebagai individu diakui tidak berbeda dengan anggota

masyarakat yang bukan pelanggar hukum.

2) Konsepsi pemasyarakatan menitikberatkan kepada pulihnya kesatuan

hubungan yang telah retak antara pelanggar hukum dengan masyarakat.

3) Dalam pola rehabilitasi, realisasi reaksi masyarakat terhadap pelanggar

hukum yang diawali oleh instansi penegak hukum lebih diarahkan kepada

pemberian derita, maka dalam pola reintegrasi sosial prinsip kasih sayang,

yang seharusnya terkandung pula dalam pemberian derita (seperti pepatah

jika sayang anak jangan sayang rotan) adalah menjadi tugas atau misi

instansi yang diserahi menampung pelanggar hukum.

4) Pembinaan pelanggar hukum yang terpidana berdasarkan konsepsi

pemasyarakatan tidak cukup hanya dilakukan setelah pelanggar hukum yang

bersangkutan dijatuhi pidana. Pemberian pembinaan yang prinsipil harus

sudah dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak pelanggar hukum ditangkap

dan ditahan oleh pihak kepolisian dan seterusnya. Adapun bentuk

pembinaannya meliputi program diversi, probasi informal, dan intervensi

sebelum persidangan.8

8 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,

Bandung, h. 43.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

7

Berangkat atas dasar tersebutlah maka sistem kepenjaraan di Indonesia

berubah menjadi sistem pemasyarakatan. Konsideran huruf a sampai huruf c UU

Pemasyarakatan disebutkan:

a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan

sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi

dalam satu sistem pembinaan yang terpadu;

b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan;

c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,

merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga

Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar merupakan salah satu

lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang sangat ramai diperbincangkan

dikarenakan jumlah narapidana yang over kapasitas sehingga sering muncul

permasalahan di lembaga pemasyarakatan tersebut antara lain seringnya terjadi

keributan antar narapidana sampai kurangnya tenaga pembina dalam melakukan

pembinaan terhadap narapidana. Tentu permasalahan-permasalahan tersebut di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar akan berpengaruh terhadap

efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan terhadap pembinaan narapidana di

lembaga pemasyarakatan tersebut terutama pembinaan bagi narapidana recidive.

Berubahnya sistem kepenjaraan di Indonesia menjadi sistem pemsyarakatan

yang dikatakan lebih ditujukan terhadap mendidik narapidana dan bukan untuk

membalas apa yang telah dilakukan narapidana terhadap korbannya masih dirasa

kurang efektif dalam pelaksanaannya karena dalam prakteknya dilapangan masih

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

8

banyak narapidana yang seusai ia menjalani proses pembinaan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan, ia mengulangi lagi melakukan tindak pidana dan menjadi

recidivis.

Hal tersebutlah yang melatarbelakangi untuk mengangkat suatu

permasalahan tersebut diatas ke dalam bentuk suatu karya ilmiah yang berupa

skripsi dengan judul “Efektivitas Sistem Pemasyarakatan Di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar Dalam Menanggulangi Recidivis”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dibatasi

beberapa permasalahan pokok dalam bahasan usulan penelitian ini. Adapun

permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA

Denpasar?

2. Apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam menanggulangi recidivis?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari

permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, untuk itu perlu adanya pembatasan

dalam ruang lingkup masalah sehingga pembahasan dalam tulisan ini bisa

terfokus pada pokok permasalahan yang dibahas. Adapun pembatasan dalam

ruang lingkup masalah yang akan dibahas di dalam tulisan ini yaitu:

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

9

1. Pembahasan pertama difokuskan terhadap pelaksanaan sistem

pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Denpasar.

2. Pembahasan kedua difokuskan terhadap efektifitas sistem

pemasyarakatan dalam menanggulangi recidivis.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terkait dengan efektifitas sistem pemasyarakatan dalam

menanggulangi recidivis ini ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Adapun tujuan tersebut antara lain :

A. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas sistem pemasyarakatan dalam

menanggulangi recidivis.

B. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS

Kelas IIA Denpasar.

2. Untuk mengetahui apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam

menanggulangi recidivis.

1.5. Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoritis

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

kontribusi pemikiran dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

10

terutama di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana dibidang

pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

B. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan kontribusi pemikiran serta solusi kongkrit bagi para

lembaga penegak hukum terutama di Lembaga Pemasyarakatan guna

mengefektifkan pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam

penanggulangan tindak recidive yang dalam prakteknya walaupun sistem

kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan yang lebih

mengutamakan pembinaan terhadap narapidana, tindak recidive masih saja

terjadi.

1.6. Kerangka Teoritis

1. Sistem Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan menyatakan bahwa Pemasyarakatan

adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian

akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Pasal 1 angka 2 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa sistem

pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

11

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan sebagai

pembaharuan pelaksanaan pidana penjara diharapkan merupakan satu kegiatan

yang mengandung dua hal. Hal yang pertama, mengandung suatu pemikiran

tentang bentuk pidana penjara yang akan mengalami revolusi berkenaan dengan

upaya pelaksanaan pidana penjara baru, dan pada hal yang kedua, mengandung

suatu kegiatan pemikiran tentang perlakuan cara baru terhadap narapidana dalam

rangka sistem pemasyarakatan.9

Pola pembinaan berdasarkan pemasyarakatan (re-integrasi sosial) dalam hal

ini tidak terikat pada waktu, melainkan mengandalkan komitmen kegoyong

royongan dalam pembinaan dalam rangka mencegah atau memperkecil timbulnya

residivisme.10

Konfrensi Lembang Bandung merumuskan sepuluh prinsip pemasyarakatan

yang dijadikan dasar pembinaan. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan

itu adalah:

1) Ayomi dan berikan bekal agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai

warga masyarakat yang baik dan berguna ;

2) Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara. Ini

berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik

baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan

9 Bambang Poernomo, 1985, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem

Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, h. 13.

10 Marsono, 2002, Bunga Rampai Pemasvarakatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 91.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

12

ataupun penempatan. Satu-satunya derita yag dialami oleh narapidana dan

anak didik hendaknya hanyalah dihilangkannya untuk bergerak dalam

masyarakat bebas;

3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat. Berikan

kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan

dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan

rasa hidup kemasyarakatannya;

4) Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih

jahat daripada sebelum dijatuhi pidana;

5) Selama kehilangan kemerdekaan beegerak narapidana harus dikenalkan

kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat dan hal ini

terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke dalam Lembaga

Pemasyarakatan dari anggota-anggota masyarakat bebas dan kesempatan

yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga;

6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau Negara

saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan

Negara;

7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila. Ini berarti

bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa

toleransi, jiwa kekeluargaan disamping pendidikan kerohanian dan

kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan

spritual;

8) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia

meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa

ia penjahat;

9) Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

sebagai satu-satunya derita yang dapat dialaminya;

10) Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung

fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.11

Kesepuluh prinsip pemasyarakatan tersebut setidaknya sudah cukup untuk

mengajukan arah yang harus dituju oleh Sistem Pemasyarakatan dalam rangka

pembinaan dan upaya penanggulangan kejahatan agar tindak muncul tindak

recidive.

Pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan diatur

berdasarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan

11 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2004, 40 Tahun Pemasyarakatan Mengukir Citra

Profesionalisme, Dept. Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, h. 80.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

13

Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yakni dalam ketentuan :

Pasal 2

1) Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan

pembimbing kepribadian dan kemandirian.

2) Program Pembinaan diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.

3) Program Pembimbingan.

Pasal 3

Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandiriaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:

a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Kesadaran berbangsa dan bernegara;

c. Intelektual;

d. Sikap dan perilaku;

e. Kesehatan jasmani dan rohani;

f. Kesadaran hukum;

g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat;

h. Keterampilan kerja; dan

i. Latihan kerja dan produksi.

2. Teori-Teori Pemidanaan

Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi

dalam tiga golongan (teori) yaitu:

a. Teori Absolut (Pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart,

Stahl dan Leo Polak. Teori ini teori tertua (klasik) yang berpendapat pidana

ltu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenar pidana terletak pada kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, oleh

kafena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi yang terkena kejahatan,

maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa

pidana kepada seseorang yang melakukan kejahatan itu. Seperti halnya,

siapa yang membunuh harus dibunuh.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

14

b. Teori Relative (Tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah

pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan

tertentu yang bermanafaat. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa

pendapat, yaitu tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang

gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan. Selain itu, tujuan pidana

adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas Pencegahan

Umum (Generale Preventie) dan Pencegahan Khusus (Speciale Preventie).

Selain itu, masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von

Lizt, Van Hamel, dan D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman

adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara,

dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan

yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/

norma.

c. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) merupakan gabungan dari Teori

Absolut (Pembalasan) dengan Teori Relatif (Tujuan). Yang pertama kali

mengajukan teori gabungan ini mlah Pellegrino Rossi (1787-1848), Teori ini

menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh

melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban

masyarakat dan tidak boleh lebih berat dari beratnya penderitaan

yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana Teori ini dalam juga

melihat kemasa depan dalam pelaksanaan pidana atau pembalasaanya,

yakni dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadinya

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

15

tindak pidana sebagaimana dalam teori relatif. 12

Jika diperhatikan dari teori-teori pemidanaan yang dipaparkan di atas,

terdapat suatu perkembangan di dalam tujuan pemidanaan, penjatuhan pidana kini

tidak hanya ditujukan terhadap bentuk pembalasan dari tindak pidana yang telah

dilakukan oleh narapidana, namun penjatuhan pidana kini juga ditujukan guna

mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan membina para narapidana yang

dalam menjalani masa pidananya agar nantinya tidak mengulangi lagi

perbuatannya tersebut (recidive). Tujuan pemidanaan yang menitikberatkan

terhadap pembinaan ini juga berkaitan dengan penggunaan istilah lembaga

pemasyarakatan yang lebih menitikberatkan kepada pembinaan dengan tujuan

memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana yang selama ini telah merugikan

masyarakat dan mengembalikannya kembali ke arah yang benar dengan cara

membina narapidana tersebut sehingga nantinya berguna bagi masyarakat pada

umumnya yang telah dirugikannya pada saat ia melakukan tindak pidana.

Sehingga pada saat ia bebas dapat diterima kembali dalam masyarakat dan tidak

menjadi recidivis.

3. Recidivis

Recidive merupakan dasar pemberatan hukuman yang dikarenakan

seseorang yang telah dipidana mengulang lagi melakukan perbuatan jahatnya

tersebut. Recidive berarti pengulangan. Recidive diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana pada Buku II Bab XXXI Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal

12 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,

h. 53-60.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

16

488. Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis:

1) Recidive umum

a. Seorang telah melakukan kejahatan.

b. Terhadap kejahatan mana telah dijatuhi hukuman yang telah dijalani.

c. Kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap jenis kejahatan.

d. Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberatan

hukuman.

2) Recidive khusus

a. Seorang melakukan kejahatan.

b. Yang telah dijatuhi hukuman.

c. Setelah menjalani hukuman ia mengulang lagi melakukan kejahatan.

d. Kejahatan mana merupakan kejahatan sejenisnya. 13

1.7. Hipotesis

Berdasarkan atas kerangka teoritis yang telah dipaparkan di atas dan

dikaitkan dengan permasalahan diangkat maka dapat ditarik suatu hipotesis

sebagai berikut:

1. Jika penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dalam pembinaan

narapidana yang dilakukan di LAPAS Kelas II A Denpasar guna

menanggulangi recidivis adalah berdasarkan ketentuan yang di atur dalam

UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, maka Pembinaan

13 Teguh Prasetyo, op.cit, h. 192.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

17

di LAPAS Denpasar adalah dengan memberikan bekal keterampilan

berupa pelatihan-pelatihan pekerjaan maupun pembinaan secara mental

dan psikologis agar nantinya diharapkan bekal tersebut dapat digunakan

ketika kembali ke masyarakat agar narapidana tersebut tidak mengulangi

lagi tindak pidananya tersebut.

2. Jika efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi

recidivis dapat dilihat dari tujuan dari pemidanaan atau tujuan dari

penempatan orang di dalam lembaga pemasyarakatan berupa

pemasyarakatan, maka hal tersebut tidak akan pernah dapat dicapai dengan

efektif dan efisien apabila masih terdapat perbedaan pandangan di antara

para penyidik, jaksa, hakim, dan para pelaksana pemasyarakatan tentang

hakikat pemidanaan, khususnya tentang hakikat penempatan orang di

lembaga pemasyarakatan.

1.8. Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah

penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan

adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian

lapangan.14

Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis dapat direalisasikan

kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku ataupun

14 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.

15.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

18

penelitian terhadap identifikasi hukum.15

Penelitian hukum empiris ini objek yang

akan diteliti yaitu efektivitas sistem pemasyarakatan guna menanggulangi

recidivis di LAPAS Kelas IIA Denpasar. Permasalahan yang muncul dalam hal ini

adalah sejauh mana sistem pemasyarakatan dapat menanggulangi terjadinya

tindak recidive.

B. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunankan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (The Statue Approach), pendekatan fakta (The Fact

Approach), pendekatan kasus (The Case Approach) dan pendekatan analisis

konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundang-

undangan dan pendekatan analsisi konsep hukum digunakan karena yang akan

diteliti adalah berbagai aturan hukum yang dikaitkan dengan konsep hukum, yang

kemudian menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.16

Pendekatan

perundang-undangan merupakan pendekatan yang berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan sistem pemasyarakatan yang

dalam hal ini mangacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pendekatan fakta merupakan

pendekatan yang digunakan berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi dalam

masyarakat terkait dengan efektivitas pelaksanaan sistem pemasyarakatan dalam

menanggulangi tindak recidive. Pendekatan kasus merupakan pendekatan yang

15 Ibid, h. 16.

16 Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 302.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

19

digunakan dalam melihat kasus-kasus recidivis yang terjadi mengingat

bagaimanakah efektifitas sistem pemasyarakatan dalam menanggulangi kasus

recidivis tersebut. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan pendekatan yang

digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan hukum yang jelas tentang

sistem pemasyarakatan dalam efektifitasnya terhadap penanggulangan recidivis.

C. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris merupakan

suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat, atau menguji dan bahkan

menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian

yang ada.17

Jadi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui

bagaimanakah efektivitas sistem pemasyrakatan guna menanggulangi recidivis.

Dalam penelitian tersebut terdapat keingintahuan terhadap pengaruh atau dampak

suatu variabel terhadap variabel lainnya. Yang dalam hal ini sistem

pemasyarakatan dan recidivis.

D. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data primer

dan data skunder.

1. Data primer adalah data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai

sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan.18

Data primer yang

digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui study lapangan di

LAPAS Kelas IIA Denpasar melalui teknik pengumpulan data yang

17 Ibid, h. 9.

18 Ibid, h. 16.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

20

telah ditentukan.

2. Data skunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan.

Termasuk dalam data skunder meliputi buku-buku, buku-buku harian,

surat-surat pribadi dan dokumen resmi dari pemerintah.19

Dokumen

resmi dari pemerintah meliputi instrumen-instrumen hukum antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999

Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan.

g. Peraturan Pemerintah Repulik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006

Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan.

19 Ibid, h. 14.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

21

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

Teknik Studi Dokumen, Teknik Wawancara (Interview), dan Teknik Penyebaran

Kuisioner. Teknik Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang

relevan dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP No.31

Tahun 1999 dan Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan

No.K.P.10/3/7 serta bahan bacaan yang berkaitan dengan pembinaan narapidana.

Sedangkan Teknik Wawancara (Interview) dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang yang telah

dirancang sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan

mendukung permasalahan di dalam penelitian. Teknik penyebaran kuisioner

dilakukan dengan menyebarkan kuisionar berupa daftar pertanyaan terhadap

responden yang sudah ditentukan sesuai dengan teknik pengambilan sampling.

Dari hasil pengumpulan data tersebut baru kemudian akan dilakukan pengolahan

dan analisis data.

F. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini batasan populasinya adalah seluruh narapidana yang

ada di LAPAS Kelas IIA Denpasar. Kemudian teknik yang digunakan adalah

teknik random sampling sehingga setiap elemen mempunyai kesempatan yang

sama untuk menjadi sampel. Dalam hal ini akan ditentukan dulu berapa jumlah

narapidana yang ada di dalam LAPAS Kelas IIA Denpasar baik yang biasa

maupun recidivis. Kemudian cara yang digunakan adalah systematic random

simpling yaitu dari populasi yang ada akan diambil jumlah prosentasenya, dari

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah I.pdf · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ubi societas ibi ius “dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Adagium tersebut

22

prosentase tersebut akan dibuat daftar random dari keseluruhan populasi. Dalam

penentuan sample ini akan dipisah antara narapidana biasa dengan recidivis

sehingga dapat diketahui secara jelah bagaimana sistem pemasyarakatan tersebut

berdampak secara efektif terhadap narapidana biasa dan recidivis.

G. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data akan digunakan analisis kuantitatif

yaituanalisis yang diterapkan dalam penelitian yang sifatnya eksplanatoris, sifat

data yang dikumpulkan berjumlah besar, mudah dikualifikasi kedalam kategori-

kategori, data yang terkumpul terdiri dari aneka gejala yang dapat diukur dengan

angka-angka, hubungan antara variabel sngat jelas, pengambilan sampel

dilakukan sangat cermat dan teliti, pengumpulan data menggunakan kuisioner.