Upload
nguyenkhue
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
Pendahuluan
A. Alasan Pemilihan Judul
a. Aktualitas
Sampai saat ini, diskursus tentang migrasi internasional TKI masih
menghangat walaupun praktik migrasi ini sudah terjadi sejak puluhan tahun
silam. Besarnya jumlah penempatan TKI khususnya TKI informal yang
dibarengi dengan skema penempatan dan perlindungan yang masih belum
mampu menjamin “keamanan” TKI membuat topik bahasan ini senantiasa
aktual. Banyak jumlah penempatan, banyak pula kasus-kasus yang menimpa
TKI. Kasus-kasus yang menimpa pahlawan devisa ini seringkali mengancam
harkat, martabat, bahkan nyawa tenaga kerja penyumbang devisa negara ini.
Kasus TKI yang banyak disorot oleh media adalah kasus-kasus TKI ketika
berada di negara rantau. Acap kali kasus ini bagaikan pentas yang menguras air
mata nurani kita. Banyak pengamat dan aktivis migrasi buruh internasional
melihat bahwa kasus-kasus di negara rantau terjadi salah satunya karena masih
belum optimalnya praktik penempatan dan perlindungan TKI. Pemerintah jelas
merupakan aktor yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini. Begitu pula
dengan sektor swasta, khususnya PPTKIS yang menjadi agen penyalur TKI
yang menghubungkan antara TKI dengan penggunanya di luar negeri. Namun,
menurut penulis, menggantungkan nasib buruh migran hanya kepada dua aktor
2
besar tersebut sudah tidak relevan lagi, terlebih saat ini paradigma welfare
pluralism tengah semakin menemukan titik urgensinya.
Paradigma welfare pluralism menuntut masyarakat sipil untuk mengambil
bagian dalam proses pembangunan, tak terkecuali di ranah migrasi tenaga kerja.
Agak sulit kiranya melihat gerak masyarakat sipil tanpa melihat manifestasi dari
masyarakat sipil itu sendiri. Community-Based Organization (CBO) atau organisasi
masyarakat berbasis komunitas merupakan salah satu manifestasi masyarakat sipil.
Salah satu CBO yang bergerak di ranah migrasi tenaga kerja adalah SBMI
Wonosobo.
SBMI Wonosobo didirikan sebagai wadah masyarakat sipil di kabupaten
Wonosobo untuk memperjuangkan hak-hak TKI. Kabupaten Wonosobo sendiri
merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan jumlah penempatan TKI yang
tidak sedikit. Melalui data BNP2TKI tahun 2013, jumlah penempatan TKI dari
kabupaten ini mencapai 1.619 jiwa.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini merupakan sebuah kajian yang menarik
dan aktual karena berusaha melihat fase pra-keberangkatan TKI dan eksistensi
CBO yakni SBMI Wonosobo dalam ranah migrasi tenaga kerja khususnya di pra-
keberangkatan TKI. Fokus utama penelitian ini berada di eksistensi SBMI
Wonosobo. Fase pra-keberangkatan menjadi ruang untuk melihat bagaimana
eksistensi SBMI Wonosobo.
3
b. Orisinalitas
Fenomena migrasi TKI merupakan tema yang menarik untuk diteliti.
Banyak penelitian yang mengangkat tema tersebut terlebih selepas undang-
undang yang mengatur penempatan dan perlindungan pekerja migran direvisi
dan disahkan oleh pemerintah. Selain itu, setelah pemerintah berhasil
meratifikasi konvensi buruh migran, penelitian yang mengambil topik TKI
semakin banyak bak tumbuhnya jamur di musim penghujan. Namun, perlu
disadari bahwa fenomena TKI merupakan fenomena yang bersifat
multidimensional. Dengan demikian maka penelitian mengenai migrasi tenaga
kerja pastilah mempunyai variasi tekanan pembahasan yang berbeda-beda.
Banyak penelitian membedah permasalahan TKI melalui fokus pandang
yuridis. Selain itu, banyak pula penelitian dilakukan dengan penekanan pada
aspek ekonomi. Penelitian yang berfokus pada peranan sektor ketiga atau organisasi
masyarakat sipil sebagai upaya untuk melepaskan jerat permasalahan yang
dialami TKI pernah dilakukan oleh Ni Masjitoh Tri Siswandewi, mahasiswi
Universitas Indonesia. Organisasi yang diteliti peranannya di penelitian
Masjitoh adalah LSM. Penelitian tersebut berjudul “Proses Pendampingan bagi
Pekerja Migran Perempuan (Suatu Studi Kasus 5 orang Pekerja Migran
Perempuan pada LSM Solidaritas Perempuan)”. Terdapat tiga hal yang menjadi
fokus utama tesis ini, yaitu identifikasi latar belakang pekerja migran
perempuan, proses pendampingan yang dilakukan oleh LSM Solidaritas
Perempuan serta identifikasi faktor pendorong dan penghambat dalam proses
pendampingan tersebut. Hasil dari penelitian ini antara lain kepergian para
4
pekerja migran perempuan ini semuanya dengan latar belakang dan motivasi
ekonomi, cara kepergian mereka semuanya menggunakan jasa ‘sponsor’, serta
seluruhnya mendapatkan dukungan sepenuhnya dari keluarga. secara garis besar
LSM berperan sebagai pendamping yang bersifat fungsional seperti memberikan
dukungan, memotivasi, memfasilitasi penyelesaian masalah dan meningkatkan
kesadaran para buruh migran.
Penelitian yang berjudul “Proses Pendampingan bagi Pekerja Migran
Perempuan (Suatu Studi Kasus 5 orang Pekerja Migran Perempuan pada LSM
Solidaritas Perempuan“, menginspirasi penulis untuk melihat bagaimana eksistensi
organisasi masyarakat sipil, khususnya CBO dalam pra-keberangkatan TKI.
Penelitian lain sempat dilakukan oleh Vandy Yoga Swara, mahasiswa
Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2013 tersebut
mengambil judul “Perubahan Habitus TKI Korban Perdagangan Manusia Melalui
Pemberdayaan di Kampung Buruh Migran Desa Tracap Kabupaten Wonosobo”.
Penelitian tersebut meneliti perubahan habitus TKI korban perdagangan manusia
melalui pemberdayaan di Kampung Buruh Migran Desa Tracap Kabupaten
Wonosobo. Fokus yang ditekankan dalam penelitian tersebut adalah identifikasi
hadirnya perubahan habitus pada kelompok mantan TKI korban perdagangan
manusia (human trafficking) di Desa Tracap Kabupaten Wonosobo. Hasil
penelitian ini antara lain bahwa faktor penarik utama yang membuat penduduk Desa
Tracap memilih untuk menjadi TKI adalah ketidakhadiran lapangan kerja alternatif
yang mampu menampung angkatan kerja berpendidikan rendah. Hal tersebut juga
ditambah dengan daya dorong berupa hadirnya calo atau sponsor yang gencar
5
memberikan informasi tentang aspek positif bekerja di luar negeri dengan
segala kemudahan dalam melakukan keberangkatan. Dari kedua penelitian
tersebut, terdapat beberapa temuan yang menjadi pijakan peneliti untuk melihat
secara umum berbagai aktor yang terlibat dan pengaruhnya di fase pra-
keberangkatan TKI. Penelitian ini pada prinsipnya merupakan penelitian baru
dan telah memenuhi syarat orisinalitasnya karena belum ada penelitian
sebelumnya yang mengangkat tema, konsep, dan lokasi yang serupa.
c. Relevansi dengan Departemen
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan studi yang
mempelajari pembangunan dengan menekankan bagaimana tujuan sosial itu
tercapai dalam pembangunan. Keseimbangan antara tujuan ekonomi dan sosial
dalam proses pembangunan merupakan kondisi masyarakat sejahtera yang
didambakan oleh setiap masyarakat.
Terdapat tiga hal yang disoroti dalam departemen ini, yakni; (1)
bagaimana negara memberikan pelayanan kesejahteraan sosial, (2)
bagaimana kondisi sosial yang berkaitan dengan ketimpangan, ketidakadilan
dan dehumanisasi yang menjadi hambatan terwujudnya masyarakat
sejahtera, (3) bagaimana menggerakkan dan memberdayakan masyarakat
agar berkembang mandiri.
Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga
konsentrasi yang dibangun sebagai hasil refleksi dari perubahan sosial yang
terjadi di Indonesia, yakni:
6
a. Kebijakan sosial (social policy); fokus pada kajian tentang upaya negara
dalam pemecahan masalah sosial baik aspek preventif maupun
pengembangannya melalui pelayanan kesejahteraan sosial.
b. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment); fokus pada
elaborasi konsep dan pendekatan yang bertujuan untuk mengembangkan
kapasitas masyarakat agar mandiri dan berkelanjutan dalam mengelola lembaga,
sumber daya dan potensi lokal.
c. Tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility);
sebagai respon atas berkembangnya komitmen swasta untuk terlibat aktif dalam
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fokus pada tata kelola CSR yang
mampu menjembatani kepentingan perusahaan dan masyarakat, analisis
berbasis ilmu dalam menjelaskan CSR untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Apabila dipetakan dalam tiga konsentrasi tersebut, penelitian yang ini dapat
dimasukkan ke dalam payung konsentrasi kebijakan sosial (social policy).
Mengingat bahwa sumbu utama penelitian ini berada pada ranah social policy
khususnya pada kajian mengenai welfare pluralism yang menunjukkan
keseimbangan peran negara, entitas bisnis dan masyarakat sipil dalam
mendialektikakan skema dan praktik penempatan TKI menuju luar negeri ke arah
yang lebih baik. Penelitian ini mempunyai fokus untuk melihat fase pra-
keberangkatan TKI dan eksistensi SBMI Wonosobo–sebagai organisasi masyarakat
7
sipil yang fokus bergerak di ranah migrasi tenaga kerja–terkait dengan fase pra-
keberangkatan TKI di kabupaten Wonosobo.
B. Latar belakang
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia. Laju pertumbuhan penduduk negara ini pada tiap tahunnya terbilang
kencang. Data BPS terakhir menunjukkan bahwa jumlah penduduk negara ini pada
tahun 2010 mencapai 237.641.326 jiwa. Besarnya jumlah penduduk Indonesia
tersebut selain dapat digunakan sebagai kekuatan pembangunan juga menyimpan
sengkarut permasalahan yang cukup serius, salah satunya adalah masalah
ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan apabila tidak dikelola secara optimal maka akan
menjadi bumerang bagi pembangunan. Frinkle dan McIntosh (1994) dalam
Tirtosudarmo (1999:141) melontarkan keyakinannya bahwa tingginya laju
pertumbuhan di dunia ketiga justru menjadi kendala pembangunan. Benar kiranya,
keyakinan akademisi tersebut yang secara realita dapat ditemui di negara ini. Salah
satu permasalahan pembangunan di negara ini adalah tingginya tingkat
pengangguran terbuka (TPT) yang menurut BPS pada tahun 2014 mencapai 5,94.
Pengangguran merupakan masalah serius. Sebagai sebuah upaya untuk mereduksi
tingkat pengangguran penduduk pemerintah melakukan penempatan TKI menuju
luar negeri. Alhasil, banyak penduduk Indonesia yang melakukan migrasi ke luar
negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Fenomena migrasi internasional TKI merupakan persoalan yang serius.
Setidaknya terdapat empat hal yang penulis jadikan landasan untuk menyatakan hal
tersebut. Pertama, migrasi tenaga kerja penduduk Indonesia menuju luar negeri
8
sudah berlangsung sejak lama. Catatan historis singkat yang disusun BNP2TKI
menyatakan bahwa penempatan buruh migran Indonesia (pribumi) menuju ke luar
negeri sudah terjadi sejak sebelum negara Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Ketika itu, tenaga kerja pribumi ditempatkan ke Suriname oleh
Belanda untuk dijadikan buruh perkebunan milik Belanda. Perkembangan
selanjutnya, selepas Indonesia menyatakan kemerdekaannya, tahun 1947
Kementrian Perburuhan lahir. Ketika itu, pada masa awal kelahiran Kementrian
Perburuhan, migrasi TKI menuju luar negeri dilakukan orang per orang. Migrasi
saat itu sangat kental dengan nuansa kekerabatan dan bersifat tradisional. Ketika
itu, belum ada kebijakan dari pemerintah yang mengatur migrasi TKI menuju luar
negeri. Negara tujuan migrasi TKI saat itu pun belum banyak. Negara paling
populer pada masa itu adalah Malaysia dan Arab Saudi. Baru pada tahun 1970
pemerintah turun tangan mengelola migrasi TKI dengan membuat kebijakan
Angkatan Kerja Antar Negara (AKAN). Kebijakan AKAN ini menjadi kebijakan
pertama yang mengatur migrasi TKI menuju luar negeri. Hingga saat ini, terdapat
beberapa kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengatur migrasi TKI. Salah
satu kebijakan tersebut adalah UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Sejarah migrasi TKI menuju luar negeri
sudah berlangsung sangat panjang dan saat ini negara sudah turun tangan untuk
memberikan skema penempatan dan perlindungan TKI. Namun, dalam praktiknya
sampai saat ini migrasi TKI masih saja berkelindan dengan berbagai permasalahan
bahkan sejak dalam fase awal migrasi (fase pra-keberangkatan) di mana fase ini
9
ditengarai oleh banyak pengamat migrasi sebagai hulu permasalahan migrasi tenaga
kerja.
Kedua, Indonesia merupakan negara dunia ketiga dengan jumlah
penempatan tenaga kerja menuju luar negeri yang sangat banyak. Aripurnami
dalam ILO (2006:3) menyatakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 400.000 orang
Indonesia pergi ke tempat-tempat tujuan migrasi yang tidak familiar bagi mereka
di luar negeri. Adapun Tobing dalam Suharto (2005:180) memberikan prediksi
bahwa arus migrasi TKI diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan
dengan melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang
tergabung dalam World Trade Organisation (WTO). Data paling mutakhir yang
disusun BNP2TKI menyatakan bahwa pada tahun 2013 jumlah penempatan TKI ke
luar negeri sebanyak 512.168 jiwa dan total penempatan TKI hingga tahun 2013
mencapai 6,5 juta jiwa yang tersebar ke 142 negara.
Tabel 1. 1.
Jumlah Penempatan TKI Menuju Luar Negeri dalam 3 Tahun Terakhir
No. Tahun Jumlah (dalam
jiwa)
1 2011 586.802
2. 2012 494.609
3. 2013 512.168
Sumber: Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Tahun 2014
Melalui Tabel 1.1. Jumlah Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dalam 3
Tahun Terakhir di atas dapat dilihat bahwa tren migrasi TKI setiap tahun terlihat
fluktuatif. Penempatan TKI tahun 2011 berjumlah 586.802 jiwa. Tahun berikutnya
yakni tahun 2012 penempatan TKI mengalami penurunan sehingga penempatan
10
TKI di tahun ini mencapai angka 494.609 jiwa. Tahun berikutnya yakni tahun 2013
penempatan TKI menuju luar negeri mengalami peningkatan menjadi 512.168 jiwa.
Ketiga, penempatan TKI menuju luar negeri menyumbang pendapatan negara
ini dalam jumlah yang tidak sedikit. Tahun 2013 remitansi1 yang dikirim TKI ke
daerah asal mencapai Rp 88 triliun. Banyaknya jumlah remitansi yang dikirimkan
TKI menempati posisi kedua sumber terbesar pendapatan negara non pajak di mana
posisi pertamanya ditempati oleh pendapatan negara dari sektor migas (minyak dan
gas).
Keempat, penempatan TKI menuju luar negeri menjadi salah satu solusi atas
permasalahan tingginya angka pengangguran dalam negeri yang menurut data BPS
pada tahun 2013 jumlahnya mencapai 7,39 juta jiwa. Dalam konteks ini
penempatan tenaga kerja di luar negeri tidak bisa dipandang sebelah mata. Di
tengah keterbatasan pemerintah untuk menyerap tenaga kerja di dalam negeri,
migrasi internasional TKI menjadi solusi konkret atas meluapnya pengangguran di
negara ini. Selain itu, terkait dengan hak warga negara, migrasi tenaga kerja pada
dasarnya merupakan hak warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik sehingga isu migrasi tenaga kerja internasional sudah seharusnya mendapatkan
perhatian serius dari berbagai pihak baik pemerintah, entitas bisnis maupun
masyarakat sipil.
1 Remitansi merupakan sebagian pendapatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang
dikirimkan ke keluarga mereka di kampung halaman.
11
Pentingnya migrasi TKI menuju luar negeri nampaknya belum mampu
mengambil perhatian pemerintah untuk secara serius menciptakan skema
perlindungan dan persiapan penempatan yang optimal mulai dari tahap rekrutmen
sampai reintegrasi TKI. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya permasalahan yang
terjadi di tiap fase migrasi TKI. Tahun 2013, Crisis Center BNP2TKI menerima
pengaduan sebanyak 4.432 kasus di mana pengaduan yang termasuk fase pra-
penempatan mencapai 206 kasus. Pemerintah sudah berusaha untuk membuat
skema penempatan dan perlindungan TKI, namun upaya pemerintah masih belum
cukup untuk melepaskan jerat permasalahan migrasi yang acap kali mengancam
harkat, martabat bahkan nyawa TKI. Tak sedikit pula pemerhati kebijakan migrasi
internasional tenaga kerja yang melihat bahwa pemerintah sangat kurang peduli
atau cenderung abai terhadap nasib rakyatnya yang memilih untuk bekerja menjadi
buruh migran. Prihatin (2007) menyatakan bahwa pemerintah tidak melakukan
perbaikan yang signifikan mengenai kinerja pelayanan migrasi internasional tenaga
kerja. TKI terkesan dijadikan “sapi perah” oleh pihak-pihak yang ambisius
memburu rente dari proses migrasi TKI.
Permasalahan migrasi tenaga kerja sangatlah komplek dan bersifat
multidimensi. Namun, berbagai permasalahan tersebut dapat dipetakan berdasarkan
fase migrasinya. Irianto (2011:12) mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi
pekerja migran ke dalam 4 tahapan/fase, yaitu permasalahan di proses rekrutmen,
pra-pemberangkatan, penempatan negara tujuan dan saat pulang ke kampung
halaman (reintregrasi). Dari keempat fase tersebut, fase pra-keberangkatan yang
mencakup fase rekrutmen dan pra-pemberangkatan merupakan fase yang sangat
12
penting karena di fase ini merupakan hulu permasalahan TKI. Seperti yang
pernyataan Hayati dalam Situmorang (2012:37) bahwa sebagian besar (80%)
persoalan yang menimpa TKI di luar negeri disebabkan oleh persoalan dalam negeri
yang tidak beres. Tahun 2015, Selain itu, Nusron Wahid selaku kepala BNP2TKI
juga menyatakan bahwa sebanyak 87% permasalahan migrasi TKI menuju luar
negeri berada di hulu atau di fase pra-penempatannya, bukan di hilir migrasi tenaga
kerja.
Pemaparan lebih lanjut mengenai seperti apa masalah hulu migrasi TKI
dijabarkan oleh Irianto (2011:12), bahwa pada proses rekrutmen terdapat banyak
penipuan (informasi menyesatkan mengenai jenis dan kondisi pekerjaan),
penjeratan hutang, pemalsuan dokumen dan penandatanganan kontrak kerja yang
tidak diikuti dengan pemahaman TKI terhadap kontrak kerja tersebut. Selama tahap
pra-pemberangkatan calon TKI ditempatkan di satu “penampungan” untuk diberi
pelatihan kerja. Di penampungan ini para TKI seharusnya dilatih untuk persiapan
memasuki dunia kerja yang sebenarnya di luar negeri. Namun, kasus-kasus yang
menimpa TKI di perantauan nampaknya menyiratkan bahwa persiapan mereka
untuk bekerja ke luar negeri masih belum optimal.
Sementara itu, dewasa ini paradigma pembangunan dunia mengalami
pergeseran dari paradigma sentralistis menuju paradigma welfare pluralism.
Paradigma sentralistis melihat bahwa pemerintah merupakan aktor tunggal yang
bertanggung jawab penuh terhadap upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Paradigma yang kedua yakni paradigma welfare pluralism mempunyai pandangan
bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab atas pencapaian kesejahteraan
13
masyarakat, namun pemerintah bukan satu-satunya aktor. Paradigma welfare
pluralism melihat bahwa terdapat tiga aktor yang harus saling berintegrasi dalam
upaya pembangunan masyarakat. Ketiga aktor tersebut adalah pemerintah melalui
penyusunan regulasi dan kebijakannya, swasta yang berfokus pada kegiatan-
kegiatan ekonomi, dan masyarakat sipil yang manifestasinya dapat dilihat dari
organisasi kemasyarakatan dengan ciri-ciri utama tidak melakukan pemaksaan
(non-coercion) dan tidak berorientasi mencari keuntungan (non-profit).
Peta tiga aktor pembangunan tersebut dalam konteks migrasi TKI di fase pra-
keberangkatan sangat jelas terlihat. Pemerintah yang mengejawantah melalui
lembaga pemerintahannya beserta SKPD, entitas bisnis atau swasta merupakan
PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) yang saat ini berubah nama
berganti menjadi PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta),
dan masyarakat sipil dapat dilihat melalui organisasi masyarakat sipil yang
bergerak di ranah migrasi tenaga kerja.
Secara historis organisasi masyarakat sipil di Indonesia telah hadir ketika
pemerintahan orde baru masih berkuasa. Undang-Undang No 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan cukup kuat untuk menegaskan keberadaannya pada
masa itu. Namun, eksistensi organisasi masyarakat sipil pada masa itu mendapatkan
pengawasan dan intervensi yang sangat kuat dari pemerintah. Pengawasan dan
intervensi pemerintah tersebut membuat ruang gerak organisasi masyarakat sipil
menjadi sangat terbatas.
14
Selepas rezim orde baru tumbang, sesaat setelah peluit reformasi ditiup secara
ingar bingar di negeri ini, hubungan antara negara dan masyarakat menjadi sedikit
lebih mesra. Simpul tali kekang negara terhadap masyarakat sipil seolah mengendur
lantaran api reformasi. Pasca tumbangnya orde baru, pekik dan geliat kebebasan
masyarakat sipil seakan menunjukkan gejala penguatan pada pilar-pilar
pembangunan masyarakat. Kebebasan berkumpul dan berpendapat menjadi hal
yang sangat mudah ditemukan di negeri ini. Alhasil, banyak organisasi masyarakat
sipil lahir dan berkembang sejak saat itu. Salah satu bentuk organisasi masyarakat
sipil yang lebih menyentuh akar rumput masyarakat adalah Community-Based
Organization (CBO). Salah satu CBO yang mempunyai fokus gerak di ranah
migrasi TKI adalah SBMI Wonosobo. Organisasi berbasis buruh migran ini
didirikan di kabupaten Wonosobo karena jumlah penempatan TKI dari kabupaten
ini cukup banyak.
Penulis mengambil lokasi penelitian di kabupaten Wonosobo. Hal ini
berdasarkan kondisi kabupaten Wonosobo yang merupakan salah satu daerah
kantung besar TKI. Tak sedikit penduduk kabupaten Wonosobo memilih untuk
bekerja di luar negeri menjadi TKI. Selain itu, tren penempatan TKI dari kabupaten
ini masih didominasi oleh TKI informal. Padahal, dalam lingkup nasional,
penempatan TKI menuju luar negeri dewasa ini didominasi oleh tenaga kerja sektor
formal. Selain itu, kabupaten ini dipilih karena di kabupaten ini terjadi feminisasi
migrasi tenaga kerja2.
2 Feminisasi migrasi merupakan tren migrasi yang didominasi oleh pekerja migran
perempuan. Feminisasi migrasi tenaga kerja terjadi karena pasar tenaga kerja di luar negeri
15
Jumlah penempatan TKI dari kabupaten Wonosobo setiap tahun sangat besar.
BNP2TKI mencatat pada tahun 2013 jumlah penempatan TKI dari kabupaten ini
sebanyak 1.357 orang. Dari jumlah tersebut rata-rata TKI bekerja di kawasan Asia
Pasifik. Tabel 1.2 berikut berisi jumlah penempatan TKI di kabupaten Wonosobo
berdasarkan tujuan migrasinya.
Tabel 1. 2.
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Kabupaten Wonosobo Tahun 2013
No. Tujuan Migrasi Jumlah Penempatan
(dalam jiwa)
1. Singapura 492
2. Taiwan 374
3. Hong Kong 280
4. Malaysia 161
5. Korea 28
6. Abu Dhabi 17
7. Jepang 5
JUMLAH 1.357
Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) Tahun 2013
Tingginya migrasi penduduk kabupaten Wonosobo untuk bekerja di luar
negeri bukanlah tanpa sebab. Todaro dalam Haris (2002:5) menyatakan bahwa
keputusan seseorang untuk melakukan mobilitas sesungguhnya merupakan
fenomena ekonomi rasional. Melalui kacamata tersebut dapat dibangun gambaran
bahwa penyebab paling utama migrasi tenaga kerja di kabupaten Wonosobo adalah
membutuhkan tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja perempuan banyak diserap di luar negeri di
sektor pekerjaan yang bersifat domestik seperti pembantu rumah tangga, perawat bayi dan perawat
lansia.
16
faktor ekonomi. Pertama, ketersediaan lapangan kerja di kabupaten ini tidak
sebanding dengan jumlah angkatan kerja. Kedua, perbedaan upah yang cukup besar
antara upah yang didapatkan dari bekerja di daerah (kabupaten Wonosobo) dengan
upah yang didapatkan dari bekerja di luar negeri.
Penjelasan di atas senada dengan paparan ILO (2006:15) yang menyatakan
bahwa terdapat tiga faktor umum yang mendorong migrasi perburuhan
internasional yaitu tarikan perubahan demografi dan kebutuhan-kebutuhan pasar
kerja di negara-negara yang berpenghasilan tinggi; dorongan perbedaan upah dan
tekanan-tekanan krisis di negara berkembang; dan berdirinya jejaring antar negara
berdasarkan keluarga, budaya dan sejarah. Lebih lanjut ILO (2006:15) menjelaskan
apabila dilihat dari sudut pandang migran, migrasi sering menjadi mata pencaharian
karena kebanyakan migrasi dilakukan untuk keperluan ekonomi. Migrasi
merupakan hasil keputusan yang dibuat oleh individu-individu dan keluarga-
keluarga untuk mencari solusi terbaik dengan kesempatan-kesempatan dan
keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki. Bagoes dalam Haris (2002:5)
menyatakan hal yang senada bahwa adanya perbedaan tingkat pertumbuhan
ekonomi antara dua negara pada gilirannya menjadi determinan utama yang
menyebabkan terjadinya arus mobilitas lebih tinggi.
Migrasi TKI menuju luar negeri menjadi praktik yang tidak bisa dihindari
lagi. Keterbatasan pemerintah dan swasta untuk memberikan pelayanan yang
optimal terkait penempatan dan perlindungan TKI membuat kehadiran organisasi
kemasyarakatan yang berbasiskan buruh migran sangat diperlukan. Di kabupaten
17
Wonosobo terdapat organisasi kemasyarakatan yang mempunyai fokus gerak di
ranah migrasi internasional TKI yakni SBMI Wonosobo.
SBMI Wonosobo merupakan cabang dari Serikat Buruh Migran Indonesia
SBMI. SBMI sendiri adalah organisasi masyarakat tingkat nasional yang
mempunyai basis anggota buruh migran dan anggota keluarganya. Sebagai reaksi
terhadap permasalahan yang menimpa para TKI maka dilakukan sebuah perluasan
kelembagaan ke berbagai daerah yang menjadi kantung TKI. Salah satu cabang
perluasan lembaga tersebut adalah SBMI Wonosobo. SBMI membuka cabang
SBMI Wonosobo dengan pertimbangan salah satunya adalah tingginya minat
masyarakat Kabupaten Wonosobo untuk bekerja di luar negeri menjadi TKI. Selain
itu, praktik migrasi buruh internasional di kabupaten ini masih belum lepas dari
permasalahan migrasi yang mengintai TKI di setiap tahapan migrasinya.
Tiga aktor (pemerintah, swasta dan organisasi masyarakat sipil) telah hadir
di bidang penempatan TKI di kabupaten Wonosobo. Namun, potret hulu migrasi
TKI masih berkelindan dengan permasalahan migrasi. mempertanyakan eksistensi
sebuah entitas menurut penulis sangat penting dilakukan. Penelitian ini penulis
meneliti eksistensi SBMI Wonosobo dalam penempatan TKI di kabupaten
Wonosobo khususnya di pra-keberangkatan TKI. Eksistensi organisasi ditekankan
dalam penelitian ini.dengan mengambil ruang gerak di fase pra-keberangkatan TKI
Informal.
18
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut, peneliti
merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana eksistensi SBMI Wonosobo sebagai Community Based Organization
di fase pra-keberangkatan TKI Informal di kabupaten Wonosobo?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proses yang terjadi pada fase pra-keberangkatan dalam sistem
penempatan TKI Informal di kabupaten Wonosobo.
2. Mengetahui eksistensi SBMI Wonosobo sebagai Community Based
Organization di fase pra-keberangkatan TKI Informal di kabupaten Wonosobo.
b. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
a. Penelitian ini memberikan gambaran tentang proses yang terjadi pada fase pra-
keberangkatan dalam sistem penempatan TKI Informal di kabupaten Wonosobo;
b. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai eksistensi SBMI Wonosobo di
fase pra-keberangkatan TKI Informal di kabupaten Wonosobo;
c. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian
selanjutnya.
19
2. Bagi Pemerintah
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan pemerintah dalam
mengembangkan program-program yang berkaitan dengan migrasi buruh migran
internasional khususnya TKI Informal di fase pra-keberangkatannya;
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan input atau masukan bagi pemerintah
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan
yang berhubungan dengan TKI Informal khususnya dalam fase pra-keberangkatan.
3. Bagi Penulis
a. Penelitian ini sebagai salah satu proses penerapan ilmu Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan yang selama ini didalami oleh penulis.
b. Penelitian ini menambah ilmu pengetahuan penulis, serta mampu untuk dapat
memperhatikan eksistensi SBMI Wonosobo dalam sistem penempatan TKI
Informal khususnya di fase pra-keberangkatan.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berjudul “Eksistensi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
Wonosobo dalam Pra-Keberangkatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Informal di
Kabupaten Wonosobo” ini memiliki beberapa konsep utama yang perlu ditinjau
yaitu Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Wonosobo, Community Based
Organization (CBO), tenaga kerja Indonesia (TKI) Informal, dan fase pra-
keberangkatan TKI.
20
a. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Informal
Definisi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) termaktub dalam Pasal 1 Kep.
Menakertran RI No Kep 104A/Men/2002 tentang penempatan TKI keluar negeri
yang menyebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki maupun perempuan yang
bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja
melalui prosedur penempatan TKI.
Definisi TKI di atas mempunyai beberapa titik tekan. Pertama, TKI tidak
memandang jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa melakukan
migrasi ke luar negeri untuk bekerja, namun tetap dibatasi oleh jangka waktu
tertentu berdasarkan perjanjian kerja dan melalui prosedur penempatan TKI.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Menurut
Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang tersebut, TKI adalah setiap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja
untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Definisi TKI menurut UU Nomor 39 Tahun 2004 di atas mempunyai beberapa
titik tekan. Pertama, Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan
bisa melakukan migrasi ke luar negeri untuk bekerja. Kedua, tedapat hubungan
kerja yang mengatur jangka waktu dan pengupahan tenaga kerja.
Melalui penjelasan di atas, maka TKI dapat didefinisikan setiap warga negara
Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang memenuhi persyaratan untuk
bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah.
21
TKI Informal menurut penjelasan pasal 24 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 di definisikan sebagai TKI yang bekerja kepada pengguna perseorangan.
Pengguna perseorangan adalah orang perseorangan yang mempekerjakan TKI pada
pekerjaan-pekerjaan antara lain sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT),
pengasuh bayi atau perawat manusia lanjut usia, pengemudi, tukang kebun/taman.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut biasa disebut dengan pekerjaan sektor informal.
Berdasarkan paparan tentang TKI di atas maka yang dimaksud dengan TKI dalam
penelitian ini adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk
bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja
melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah. Sedangkan TKI
Informal merupakan TKI yang bekerja di luar negeri pada pengguna tenaga kerja
perseorangan.
b. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Wonosobo Sebagai Community
Based Organization (CBO)
Kajian mengenai Community Based Organization (CBO) semakin hari
semakin menemukan titik urgensinya. Keberhasilan CBO sebagai salah satu agen
pembangunan membuat CBO menjadi diskursus menarik untuk dikaji. Seiring
dengan banyaknya kajian mengenai CBO, definisi CBO pun banyak bermunculan.
Helmut dan Regina (2005:62) menjelaskan CBO sebagai berikut,
“The term ‘community-based organization’ (CBO) is a general term
used to describe non-profit organization engaged in social services
that serve a particular geographic community, many grassroots
associations, for instance, can be considered CBOs.”
22
CBO merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan
organisasi non-profit yang bergerak di bidang pelayanan sosial yang melayani
komunitas pada geografis tertentu dan banyak mempunyai asosiasi dengan akar
rumput.)
Penjelasan CBO menurut Helmut dan Regina tersebut mempunyai beberapa
titik tekan. Pertama, CBO merupakan organisasi nirlaba. Profit bukan menjadi
orientasi utama dari aktivitas organisasi ini. Kedua, CBO bergerak dengan
melakukan pelayanan-pelayanan sosial. Pelayanan tersebut ditujukan untuk
komunitas pada sebuah area geografis yang menjadi basis CBO. Ketiga, sebagai
agen pembangunan, CBO tidak bergerak sendiri. CBO melakukan aktifitas-aktifitas
organisasinya dengan membangun hubungan atau relasi dengan akar rumput.
Kuatnya hubungan antara CBO dengan akar rumput membuat CBO menjadi aktor
pembangunan yang paham dengan kondisi komunitasnya.
Lebih lanjut, Helmut dan Regina (2005:62) menjelaskan bahwa CBO
didirikan untuk komunitas tertentu, dijalankan oleh anggota masyarakat tersebut,
dan biasanya organisasi ini terlibat dalam pelayanan sosial dan pengorganisasian
masyarakat. CBO berdiri sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki kondisi
masyarakat. Ketika masyarakat berbenturan atau berkasus dengan pihak
(pemerintah, swasta atau masyarakat) lain, CBO juga sering terlihat melakukan
kerja-kerja advokasi.
Adapun, P2KP (http://www.p2kp.org/kamus.asp?catid=5) mendefinisikan
istilah CBO sebagai sebuah bentukan perkumpulan masyarakat yang dihadapkan
pada masalah bersama. Mereka mempunyai potensi budaya yang sama, adanya
23
kesamaan tujuan atau juga hubungan antar individu yang minim konflik hingga
akhirnya bersepakat untuk bersama-sama memecahkan persoalan yang mereka
hadapi bersama.
Definisi CBO menurut P2KP tersebut tidak bertentangan dengan penjelasan
CBO menurut Helmut dan Regina. P2KP melihat CBO sebagai organisasi yang
dibentuk oleh masyarakat untuk menghadapi masalah bersama. CBO potensial
untuk memecahkan masalah bersama di masyarakat yang menjadi basis geraknya
lantaran organisasi ini mempunyai beberapa kesamaan di antaranya adalah budaya,
tujuan, dan pola hubungan antar individu sehingga dalam melakukan upaya
pemecahan masalah yang dihadapi dapat meminimalisir konflik.
Penjelasan lain mengenai CBO dikemukakan oleh Marta Chechetto-Salles
dan Yvette Geyer (2006:4) sebagai berikut,
“A CBO is an organisation that provides social services at the local
level. It is a non-profit organisation whose activities are based
primarily on volunteer efforts. This means that CBOs depend heavily
on voluntary contributions for labour, material and financial
support.”
(CBO merupakan sebuah organisasi yang menyediakan layanan sosial di
tingkat lokal. Organisasi ini adalah organisasi non-profit yang kegiatannya terutama
didasarkan pada upaya relawan. CBO sangat bergantung pada kontribusi sukarela.)
Penjelasan CBO menurut Marta dan Geyer di atas mempunyai substansi
yang sama dengan penjelasan CBO menurut Helmin dan Regina maupun
penjelasan dari P2KP. Marta dan Geyer (2006:4) menjelaskan CBO sebagai
organisasi non-profit. Sifat organisasi yang tidak berorientasi pada profit menuntut
sumbangsih dari relawan untuk menjalankan aktivitas-aktivitas organisasi. Baik
24
untuk melakukan pengorganisasian maupun pelayanan-pelayanan sosial kepada
masyarakat khususnya masyarakat tingkat lokal di mana CBO tersebut berada.
Sebagai manifestasi masyarakat sipil yang berbasis pada komunitas, CBO
mempunyai beberapa karakteristik. Chechetto dan Geyer (2006:4) menjelaskan 4
karakteristik CBO, di antaranya adalah,
1. Tidak berorientasi keuntungan (nirlaba)
2. Mengandalkan kontribusi dari sukarelawan
3. Bergerak di ranah atau level lokal
4. Berorientasi pada pelayanan
Melalui penjelasan mengenai CBO di atas, terdapat beberapa kata kunci
yang dapat menggambarkan CBO yaitu non-profit organization, representatif dari
komunitas, dan melakukan pelayanan terhadap komunitas itu sendiri sesuai dengan
kebutuhan komunitas. Jadi, CBO adalah organisasi non profit yang berasal dari
komunitas yang menyediakan pelayanan-pelayanan atau servis sosial yang
disesuaikan dengan kebutuhan kontekstual komunitas atau masyarakat sasaran.
Organisasi ini boleh dikatakan sebagai organisasi dari, oleh, dan untuk komunitas.
Seringkali CBO disamakan dengan LSM. Memang, kedua jenis organisasi
ini mengambil sektor atau wilayah yang sama yakni masyarakat sipil. Namun, CBO
tidak sama dengan LSM. Kindness dan Gordon (2001) dalam Muhammad
(2011:29-30) melihat perbedaan di antara keduanya. NGO dikenal banyak orang
dengan hal-hal sebagai berikut:
1. organisasi formal yang secara resmi dikenal sebagai organisasi yang tidak
dihubungkan dengan pemerintah (non-pemerintah),
25
2. memiliki tujuan yang mementingkan masyarakat secara luas dan bukan
komersial atau mementingkan profit,
3. merekrut orang yang lebih mengutamakan nilai-nilai pengabdian daripada
motivasi finansial.
Sedangkan CBO diasosiasikan dengan ciri yang sama, tetapi secara umum
CBO lebih menfokuskan dirinya pada isu-isu yang sesuai dengan kebutuhan
komunitasnya. CBO mungkin secara formal terstruktur dengan baik, tetapi
mungkin juga hampir tidak terstruktur dengan baik, organisasi informal, asosiasi
petani adalah contoh dari community based organization, Stocker dan Barbor-
Might (dalam Kindness dan Gordon, 2001) mendiskusikan CBO sebagai Civil
Society Organization (CSO).
CBO memiliki suatu kelebihan apabila dibandingkan dengan organisasi
non-profit yang lain. Selain berbasis pada komunitas yang memiliki sentimen dan
hubungan sosial yang kuat, organisasi ini juga memiliki modal sosial yang dapat
digunakan untuk pembangunan anggota organisasi. Tidak hanya itu, CBO dalam
proses pemberdayaan juga mempunyai nilai lebih karena organisasi ini langsung
bersentuhan dan menyatu dengan masyarakat.
Terdapat banyak macam peran yang dapat dimainkan CBO dalam konteks
pembangunan. Peran satu CBO dengan CBO lain sangat mungkin berbeda.
Mengadaptasi Muhammad (2015), CBO dalam ranah migrasi TKI dapat melakukan
peran di antaranya sebagai berikut:
26
1. Networking. CBO membutuhkan networking atau jaringan baik bentuk
kemitraan, kerjasama, donor, maupun berbentuk asosiasi dengan pihak eksternal.
Jaringan ini dibuat tidak hanya dengan sesama CBO, tetapi juga banyak pihak
seperti NGO, Pemerintah, Swasta, bahkan universitas.
2. Advokasi. Seringkali TKI merasa tidak berdaya menghadapi pihak eksternal baik
itu pemerintah dengan kebijakan dan peraturannya ataupun entitas bisnis. Oleh
karena itu di sinilah pentingnya peran CBO untuk membela dan mengaspirasikan
kepentingan TKI baik pada pihak lain baik itu pemerintah, entitas bisnis, maupun
entitas yang bergerak di sektor masyarakat sipil.
3. Penyalur (medium). Peran organisasi ini merupakan peran intermediary. Artinya,
CBO di sini berperan sebagai aktor penyalur antara masyarakat dengan pemerintah,
entitas bisnis, maupun entitas yang bergerak di sektor masyarakat sipil. Aktor-
Aktor besar pembangunan seperti pemerintah, swasta dan organisasi internasional
yang merespon permasalahan TKI sering terbentur jarak struktural yang cukup
tajam. Hadirnya CBO dapat menjadi jembatan di antara keduanya. Posisi mediator
menjadikan CBO merupakan representasi dari komunitas.
Peran CBO tersebut merupakan peran yang diharapkan dari sebuah CBO
secara umum. Namun, kondisi setiap daerah mempunyai variasinya masing-masing
sehingga tidak menutup kemungkinan di suatu daerah membutuhkan peran yang
lebih kompleks tetapi di daerah lain hanya membutuhkan peran yang sangat
sederhana dari sebuah CBO.
27
Sebagai sebuah entitas di luar negara (state) dan pasar (market), peran CBO
tidak bisa dikesampingkan dalam praktik pembangunan. Apabila CBO dilihat
sebagai organisasi masyarakat sipil atau civil society organization (CSO),
mengadaptasi dari Rahmat (2003:35), terdapat 3 peran yang dapat dimainkannya.
Ketiga peran tersebut yaitu;
1. Sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Peran ini meliputi upaya-
upaya organisasi untuk mengontrol, mencegah, dan membendung dominasi dan
manipulasi negara ataupun dunia usaha terhadap masyarakat. Biasanya peranan ini
dilakukan dengan advokasi kebijakan melalui lobbi, pernyataan politik, petisi
protes dan juga demonstrasi. Termasuk juga mengadvokasi hak-hak rakyat.
Advokasi dilakukan baik di level lokal, nasional, bahkan internasional. peran ini
biasanya bersifat kritis, politis, dan konfliktual, atau berparadigma transformatif.
2. Lembaga pemberdayaan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan
kapasitas kelembagaan, produktifitas dan kemandirian kelompok-kelompok
masyarakat maupun masyarakat secara umum, juga dengan mengembangkan
kesadaran masyarakat dengan maksud terbentuknya masyarakat yang mandiri,
swadaya dan partisipatif serta menyadari hak-haknya sebagai warga negara. peran
ini diaktualisasikan dengan cara pendidikan dan latihan (popular education),
pengorganisasian masyarakat, pencarian metodologi alternatif pembangunan,
rekayasa sosial serta mobilisasi masyarakat. Biasanya peranan ini bersifat
konstruktif atau berparadigma reformatif.
28
3. Sebagai lembaga perantara (intermediary institution). Peranan ini dilakukan
dengan memediasi antara masyarakat dengan pemerintah, dunia bisnis, maupun
lembaga funding. Kemudian, membangun jaringan kerja di antara sesama
organisasi masyarakat sipil. Demikian juga jaringan kerja dengan komponen-
komponen masyarakat lainnya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencapaian
tujuan ataupun misi bersama organisasi.
Ketiga peran tersebut biasanya selalu ada pada setiap organisasi masyarakat
sipil. Namun, tingkat intensitas masing-masingnya berbeda antara satu organisasi
dengan organisasi yang lain. Organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang
advokasi lebih menekankan aspek peranan pengimbang, tapi tidak mengabaikan
peranan sebagai pemberdayaan masyarakat, dan menjadi lembaga perantara paling
tidak di antara sesama organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang yang
sama. Sedangkan, organisasi masyarakat sipil yang bergerak membantu
peningkatan ekonomi masyarakat miskin lebih berperan pada pemberdayaan.
Sementara organisasi masyarakat sipil yang menjadi payung jaringan kerja
beberapa CSO, berperan sebagai lembaga perantara.
29
Tabel 1. 3.
Peran Organisasi Masyarakat Sipil
Pengimbang Pemberdayaan Intermediary
Upaya Mengontrol, mencegah,
membendung dominasi
dan manipulasi negara atau
pasar/swasta.
1. Menyatu dengan rakyat;
2. Mengembangkan
kapasitas kelembagaan,
produktifitas dan
kemandirian kelompok-
kelompok masyarakat dan
masyarakat secara umum;
3. Mengembangkan
kesadaran masyarakat.
1. Memediasi antara
masyarakat dengan
pemerintah, bisnis, dan
funding;
2. Payung atau jaringan
kerja CSO;
3. Memediasi jaringan
kerja antar kelompok-
kelompok masyarakat.
Tujuan Sistem politik yang
demokratis dan
berkeadilan dan diakuinya
hak-hak rakyat
1. Kemandirian;
2. Keswadayaan;
3. Partisipasi masyarakat;
4. Kesadaran akan hal-hak
mereka.
1. Untuk memudahkan
pencapaian misi;
2. Membangun jaringan
kerja antar komponen-
komponen negara,
swasta dan civil society
untuk pemberdayaan
masyarakat.
Cara 1. Advokasi kebijakan
melalui lobby, pernyataan
politik, protes, petisi,
demonstrasi;
2. Advokasi hak-hak
masyarakat.
1. Melebur diri dengan
masyarakat;
2. Pendidikan dan latihan;
3. Pengorganisasian
masyarakat;
4. Pencarian metodologi
alternatif pembangunan;
5. Rekayasa sosial;
6. Tekhnokrasi kerakyatan.
1. Lobby,
2. Koalisi,
3. Kerjasama.
Sifat/
paradig
ma
Konfliktual, politis, kritis,
transformatif
Konstruktif, reformatif Partnership
Sumber: Rahmat (2003:36)
SBMI Wonosobo merupakan organisasi masyarakat yang mempunyai basis
buruh migran dan anggota keluarganya. SBMI Wonosobo didirikan salah satunya
sebagai wadah perjuangan buruh migran di tengah keterbatasan pemerintah dan
swasta dalam mengimplementasikan skema penempatan tenaga kerja menuju luar
negeri.
Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara SBMI Wonosobo dengan
serikat buruh perusahaan, walaupun keduanya mengambil konsep organisasi yang
sama yakni serikat. Apabila dilihat dari sektor wilayah kerja organisasinya, serikat
30
buruh perusahaan berada dalam wilayah atau sektor yang beririsan antara sektor
masyarakat sipil dan sektor swasta (entitas bisnis) karena serikat buruh perusahaan
dibentuk berdasarkan kesepakatan antara buruh dan perusahaan (entitas bisnis).
Berbeda dengan serikat buruh perusahaan, SBMI Wonosobo berada dalam wilayah
atau sektor masyarakat sipil dan tidak beririsan dengan sektor bisnis. Hal ini dapat
ditelusuri dari sejarah terbentuknya SBMI Wonosobo di mana organisasi ini lahir
dari forum aktivis pembela buruh migran di kabupaten Wonosobo yang kemudian
menyublim bersama dengan membawa bendera organisasi SBMI Wonosobo.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan sebelumnya dan melihat bentuk serta
gerak organisasi SBMI Wonosobo selama ini, maka SBMI Wonosobo dapat dilihat
sebagai Community Based Organization yang bergerak di ranah migrasi tenaga
kerja. Eksistensi SBMI Wonosobo dalam penelitian ini dilihat melalui aktivitas-
aktivitas yang dilakukan SBMI Wonosobo terkait fase pra-keberangaktan TKI
Informal di kabuapten Wonosobo.
c. Fase Pra-Keberangkatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Persoalan migrasi TKI tak bisa terlepas dari proses atau tahapan atau fase
dari migrasi itu sendiri. Hingga saat ini terdapat beberapa rujukan untuk mengetahui
klasifikasi permasalahan migrasi berdasarkan tahapan migrasinya. Para peneliti
yang mempunyai fokus kajian di bidang migrasi tenaga kerja membagi proses
migrasi menjadi beberapa fase. Pembagian fase-fase migrasi tersebut pada dasarnya
tidak terpisah satu sama lain tapi merupakan sebuah kesatuan proses yang saling
menjalin yang mencerminkan tahapan dari satu rangkaian proses migrasi. Pada
tahun 2005 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) menerbitkan
31
buku yang berjudul “Panduan Buruh Migran”. Menurut buku tersebut fase migrasi
tenaga kerja dibagi menjadi 6 yaitu: fase rekrutmen, penampungan,
pemberangkatan, penempatan, kepulangan, dan purna kepulangan. Literatur lain
yang ditulis Sulistyowati (2011) menyebutkan bahwa fase migrasi dibagi menjadi
4 fase yaitu: fase rekrutmen, fase pra pemberangkatan, fase penempatan di negara
tujuan, dan fase reintegrasi (kembalinya migran ke dalam masyarakat kampung
halaman).
Menurut Widiastuti (42), fase pra keberangkatan terdapat 3 hal penting yang
harus diperhatikan, yaitu rekrutmen, penampungan dan kontrak kerja. Ketiga hal
ini yang sering menjadi masalah bagi TKI terkait dengan proses migrasi
selanjutnya.
Fase pra-keberangkatan dalam penelitian ini mengacu pada literatur di atas
yaitu bahwa fase pra-keberangkatan merupakan rangkaian proses migrasi yang
dilalui TKI sebelum diberangkatkan ke negara tujuan yakni tahap rekrutmen dan
penampungan TKI. Tahap rekrutmen adalah tahap di mana TKI mendaftarkan diri
mereka untuk bekerja di luar negeri. Sedangkan tahap penampungan merupakan
proses penyiapan TKI agar mampu bekerja di luar negeri. TKI di tahap
penampungan diberi pelatihan keterampilan kerja dan kebudayaan (bahasa dan
budaya). Selain itu, di fase ini juga dilakukan pengurusan dokumen-dokumen
migrasi TKI termasuk di dalamnya penandatanganan kontrak kerja oleh TKI yang
bersangkutan.
32
F. Kerangka Pemikiran
Eksistensi selalu membutuhkan ruang. SBMI Wonosobo merupakan
lembaga yang diteliti eksistensinya dalam penelitian ini. Sedangkan, pra-
keberangkatan TKI informal menjadi sebuah ruang yang digunakan untuk melihat
eksistensi SBMI Wonosobo. Eksistensi organisasi dapat dilihat melalui aktivitas-
aktivitas yang dilakukannya. Secara umum, aktivitas SBMI Wonosobo dalam pra-
keberangkatan TKI berupa kerja-kerja advokasi. Terdapat dua bentuk advokasi
yang dilakukan SBMI Wonosobo yakni advokasi kasus dan advokasi kebijakan.
SBMI Wonosobo merupakan sebuah organisasi. Setiap organisasi perlu
adanya tata manajemen organisasi. Stoner dalam Rokhayati (2014:3)
mendefinisikan manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan
sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.
Lebih lanjut, Rokhayati (2014:3) melihat bahwa proses merupakan titik
tekan definisi manajemen Stoner. Artinya, manajemen dilihat sebagai cara
sistematis untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Konsep manajemen tersebut dalam
penelitian ini digunakan untuk melihat eksistensi SBMI Wonosobo dalam pra-
keberangkatan TKI Informal. Terlebih, kerja-kerja SBMI Wonosobo secara umum
berupa advokasi. Advokasi walaupun merupakan sebuah seni, namun bukan sebuah
gambaran abstrak. Perlu manajemen advokasi agar proses advokasi berjalan dengan
baik dan mencapai hasil yang optimal.
33
Penelitian ini melihat eksistensi SBMI Wonosobo melalui aktivitas-
aktivitas organisasi terkait dengan pra-keberangkatan TKI infornal di kabupaten
Wonosobo. Aktivitas-aktivitas tersebut dilihat dari melalui kaca manajemen
manajemen Stoner.