33
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul 1.1.1 Aktualitas Dewasa ini kemunculan desa wisata mulai marak di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut diikuti juga dengan munculnya ide- ide kraetif dalam upaya pengembangan desa wisata agar kesan unik dan berbeda didapat dari desa wisata lainnya. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang berhasil, dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala, namun belum mampu meningkatkan ekonomi masyarakat lokalnya. Fenomena maraknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan, atau di beberapa kasus tidak adanya manajemem yang terbuka dan profesional yang dapat digunakan dalam pengelolaan desa wisata. Keadaan ini menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran dalam desa wisata yang memiliki program kerja yang jelas dan punya kemandirian dalam pengelolaan sehingga keberadaanya bisa berkelanjutan. Meskipun banyak desa-desa wisata bermunculan, tetapi perkembanganya masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul 1.1.1 Aktualitasetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79364/potongan/S1-2015... · dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga

  • Upload
    lamminh

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

1.1.1 Aktualitas

Dewasa ini kemunculan desa wisata mulai marak di berbagai

daerah di Indonesia. Hal tersebut diikuti juga dengan munculnya ide-

ide kraetif dalam upaya pengembangan desa wisata agar kesan unik dan

berbeda didapat dari desa wisata lainnya. Hingga saat ini, tercatat

banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil

yang berhasil, dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara

berkala, namun belum mampu meningkatkan ekonomi masyarakat

lokalnya. Fenomena maraknya desa wisata di Indonesia seringkali

terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige.

Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap

untuk dikunjungi wisatawan, atau di beberapa kasus tidak adanya

manajemem yang terbuka dan profesional yang dapat digunakan dalam

pengelolaan desa wisata. Keadaan ini menuntut adanya organisasi

pelaksana, pengembangan dan pemasaran dalam desa wisata yang

memiliki program kerja yang jelas dan punya kemandirian dalam

pengelolaan sehingga keberadaanya bisa berkelanjutan. Meskipun

banyak desa-desa wisata bermunculan, tetapi perkembanganya masih

2

bersifat fluktuatif dan kualitatif. Hal ini diduga terjadi akibat masih

lemahnya kelembagaan dalam desa wisata tersebut.

Salah satu potensi pariwisata dalam desa wisata berbasis

ekonomi kreatif terdapat di Desa Wisata Kerajinan Tenun di Dusun

Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten

Sleman, DIY. Dalam desa wisata kerajinan Tenun Gamplong, potensi

wisata yang ada dikelola melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan

desa yang teribat dalam pengelolaan desa wisata. Pola-pola

kelembagaan antar lembaga yang ada disinyalir telah berhasil

mempertahankan eksistensi Gamplong sebagai desa wisata kerajinan

Tenun. Dalam hal kelembagaan, konektivitas antara desa wisata dan

ekonomi kreatif diwujudkan dalam bentuk outlet penjualan yang

terletak di daerah wisata tersebut. Bengkel kerja atau studio sebagai

ruang kreatif dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta

konektivitas untuk mempermudah rantai produksi dan meningkatkan

promosi wisata. Dengan kata lain, aktivitas wisata di Gamplong

menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, distribusi,

sekaligus pemasaran.

Melihat dari isu perkembangan desa wisata yang semakin marak

dewasa ini, dan dilihat pula bahwa potensi ekonomi kreatif dapat

dikembangkan bersamaan dengan pengelolaan desa wisata, maka

sekiranya bahwa isu seperti ini cukup aktual untuk dijadikan sebuah

penelitian. Hasil pengembangan desa wisata berbasis ekonomi kreatif

3

melalui strategi penguatan kelembagaan yang baik diharapkan mampu

memberikan dampak positif yang akan berpengaruh pada kehidupan

sosial, iklim bisnis, serta pada eksistensi dan citra desa wisata.

1.1.2 Keterkaitan dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan

Dari sisi judul yang penulis ambil mempunyai keterkaitan

dengan bidang ilmu yang penulis geluti, yaitu Ilmu Pembangunan

Sosial dan Kesejahteraan. Secara umum, Ilmu Pembangunan Sosial

dan Kesejahteraan termasuk dalam lingkup ilmu-ilmu sosial yang

mempunyai obyek material masyarakat atau manusia. Secara definitif,

Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari tentang fenomena pembangunan masyarakat

(community development) yang berbasis pada penelitian sosial dan

berorientasi pada pemecahan masalah-masalah sosial (solving social

problems).

Konsentrasi kajian Ilmu Pembangunan Sosial dan

Kesejahteraan yang dahulunya bernama Jurusan Ilmu Sosiatri berfokus

pada tiga konsentrasi, yaitu; (1) masalah Sosial atau social patologis

dengan penanganan beberapa pendekatan individual approach, (2)

pembangunan masyarakat atau community development yang bergeser

pada upaya pemberdayaan masyarakat, dan (3) Corporate Social

Responsibility (CSR), dimana salah satu penanganan dari berbagai

macam masalah pembangunan masyarakat yang bersifat preventif,

4

rehabilitasi dan developmental. Ketiga konsentrasi tersebut

merepresentasikan kajian mengenai upaya yang dilakukan secara

integral untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang bermuara pada

terciptanya kesejahteraan sosial.

Seiring dengan dinamika perkembangan desa wisata yang

semakin marak, dan pola pengembanganya yang bisa didasari atau

melibatkan masyarakat lokalnya Isu penguatan kelembagaan desa

wisata berbasis ekonomi kreatif jika dispesifikkan berdasar konsentrasi

jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, penelitian ini

merupakan bagian dari upaya sosial yang masuk ke dalam kategori

pemberdayaan masyarakat. Lebih jauh, melalui strategi penguatan

kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif dapat

berpengaruh pada hubungan masyarakat lokal untuk bisa

memanfaatkan moment tersebut sebagai sarana mengembangkan usaha

mandiri untuk mencapai keberdayaan sosial, sehingga juga akan

mendorong terciptanya lapangan kerja dan mendukung perwujudaan

pembangunan daerah dan kesejahteaan sosial masyarakat.

1.1.3 Orisinilitas

Sebuah penelitian dikatakan orisinil atau asli apabila masalah

yang dikemukakan belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu,

ataupun jika pernah diteliti maka dinyatakan secara tegas perbedaanya.

Hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini

adalah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa PSdK

5

UGM tahun 2010 yakni terkait “Pemberdayaan Wanita Lansia Melalui

Pengembangan Usaha Tenun Berbasis Masyarakat” oleh Sayyid

Fachrrazi, dkk. Penelitian ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk

pemberdayaan terhadap Lansia dalam desa wisata Gamplong. Meskipun

penelitian tersebut mengambil tempat yang sama yakni di desa wisata

kerajinan Tenun Gamplong, namun penelitian yang penulis lakukan

mengambil fokus yang berbeda, yakni terkait dengan bentuk-bentuk

strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata berbasis ekonomi

kreatif.

Penelitian lainya berjudul “Strategi Pengembangan Potensi Desa

menjadi Desa Wisata di Kabupaten Tabanan, Bali. Penelitian yang

dilakukan oleh I Wayan Pantiyasa (2013) ini menjelaskan tentang

bentuk-bentuk strategi dalam pengembangan desa wisata yang meliputi:

(a) penataan organisasi pengelola desa wisata, (b) penyusunan aturan

dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok

sadar wisata, (c) pengembangan atraksi wisata, (d) penyiapan sarana dan

prasarana, (e) sosialisasi kepada masyarakat lokal, (f) melakukan

pemasaran produk desa wisata, serta (g) membuat program kebersihan

desa.

Penelitian lainya dilakukan oleh Sapja Anantanyu (2009)

dengan judul “Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas

Kelembagaan Kelompok Petani”. Hasil penelitian menunjukkan upaya

peningkatan kapasitas kelembagaan petani dilakukan sejalan dengan

6

kegiatan penyuluhan pertanian dengan memotivasi petani untuk

berpartisipasi dalam kelembagaan petani. Penyuluhan pertanian

dirancang dengan memberikan muatan pada penguatan kapasitas

individu petani sekaligus penguatan kapasitas kelembagaan petani.

Upaya ini dilakukan oleh pihak pemerintah seperti meningkatkan

kapasitas para penyuluh lapangan dengan menggunakan cara-cara atau

pendekatan partisipatif yang berorientasi pada kebutuhan petani dalam

melakukan kegiatan penyuluhan, dan memperkuat kelembagaan

penyuluhan.

Dalam penelitian yang penulis lakukan, pengembangan desa

wisata Gamplong dilakukan melalui melalui kelompok-kelompok

pengelola, sehingga sekiranya dibutuhkan strategi yang tepat dalam

pengembangan desa wisata. Dalam hal ini, aspek kelembagaan dapat

menjadi kunci penting dalam menunjang keberhasilan desa wisata.

Lebih jauh lagi, melalui hubungan kelembagaan yang dibangun

berdasarkan strategi yang tepat akan mampu memberikan pengaruh

pada upaya-upaya pemberdayaan terhadap masyarakat lokal desa

wisata. Oleh karena itu, pengembangan desa wisata yang

memperhatikan terkait strategi dan kelembagaan, diharapkan akan

mampu mempertahankan eksistensi dan keberlanjutannya.

7

1.2 Latar Belakang

Perkembangan pariwisata di Indonesia sampai saat ini telah masuk ke

dalam tatanan baru. Salah satu tren perkembangan pariwisata dalam beberapa

tahun belakangan adalah perkembangan model pariwisata berbasis desa wisata.

Istilah desa wisata sendiri mengacu pada suatu bentuk integrasi antara

atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu

struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi

yang berlaku (Nuryanti. 1993:10). Desa wisata biasanya merupakan suatu

kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang

mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial

budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur

tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan

menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai

komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi, akomodasi, kuliner,

cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya.

Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia telah mencanangkan program

Visit Indonesia sebagai upaya mempromosikan tujuan pariwisata di Indonesia

kepada wisatawan mancanegara maupun lokal. Dengan adanya kebijakan

tentang kepariwisataan itulah, pengembangan desa-desa wisata di Indonesia

mulai bermunculan. Mengacu pada data Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata, sampai tahun 2012 di Indonesia terdapat 978 desa wisata. Jumlah

ini meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya tercatat 144 desa untuk

tujuan pariwisata (PNPM Mandiri, 2013). Bersamaan dengan maraknya

8

kemunculan desa-desa wisata di Indonesia, hal tersebut diikuti juga dengan

munculnya ide-ide kreatif dalam usaha pengembangan desa wisata yang

dipromosikan, agar kesan unik dan berbeda didapat dari desa wisata lainnya.

Hal inilah yang kemudian mendorong pengembangan desa wisata yang

kemudian ditunjukkan dengan pengelolaan desa wisata yang mengarah ke basis

ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif dan sektor pariwisata merupakan dua hal

yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan

baik. Pariwisata dan ekonomi kreatif dapat diibaratkan sebagai gula dan

semut, dimana pariwisata adalah gula dan ekonomi kreatif adalah semutnya.

Pariwisata akan semakin menarik orang-orang untuk membuat karya yang

mungkin bisa menjadi ciri dari daerah yang mereka kunjungi, atau dengan

kata lain disebut juga dengan oleh-oleh khas. Namun antara pariwisata dan

ekonomi kreatif juga dapat disebut ekonomi kreatif adalah gulanya dan

pariwisata adalah semutnya. Sebut saja desa wisata, desa wisata yang laku

dijual disebabkan karena karya-karya kreatif yang diproduksinya. Ada juga

yang disebabkan karena budaya yang dimiliki desa tersebut.

Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor pariwisata

yang dijelaskan lebih lanjut, kreativitas akan merangsang daerah tujuan

wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai

tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan

wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk

berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian

dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut

9

secara tidak langsung akan melibatkan individu dan pengusaha yang

bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan tersebut akan membawa

dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan

ekonomi serta estetika lokasi wisata.

Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor pariwisata merupakan

sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk

dikembangkan. Dalam mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak

desa wisata misalnya, diperlukan adanya konektivitas, yaitu dengan

menciptakan outlet produk-prdouk kreatif di lokasi yang strategsi dalam desa

wisata. Outlet tersebut nantinya dapat dikemas bersamaan dalam paket-paket

wisata. Pada akhirnya wisatawan yang berkunjung tidak hanya sekedar

membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut

serta dalam proses pembuatan tersebut atau dengan kata lain souvenir

sebagai memorabilia (Suparwoko, 2010:8).

Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun

hanya sebagian kecil yang berhasil, dalam arti sanggup mendatangkan

wisatawan secara berkala, namun belum mampu meningkatkan ekonomi

warganya. Meskipun banyak desa-desa wisata bermunculan, tetapi

perkembanganya masih bersifat fluktuatif dan kualitatif. Fenomena banyaknya

desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas,

tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang

infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan, atau di beberapa kasus

tidak adanya manajemem yang terbuka dan profesional yang dapat digunakan

10

dalam pengelolaan desa wisata. Keadaan ini menuntut adanya organisasi

pelaksana, pengembangan dan pemasaran dalam desa wisata yang memiliki

program kerja yang jelas dan punya kemandirian dalam pengelolaan sehingga

keberadaanya bisa berkelanjutan.

Dalam pengembangan desa wisata, sangatlah penting memberikan

pengenalan kepada masyarakat lokal untuk memahami esensi pariwisata

melalui potensi yang dimiliki. Bagi daerah daerah yang memiliki karakteristik

dan keunikan terutama di kesehariam masyarakat desa maka potensi tersebut

akan sangat membantu dalam upaya pengembangan desa wisata. Lebih jauh,

hal tersebut dapat mencegah masyarakat lokal untuk tidak terlibat dalam lakon

sebagai penonton saja, tetapi penaggungjawab dan pelaku aktif dalam

pariwisata (Damanik, 2010). Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan

dalam upaya pengembangan desa wisata (Sastrayuda, 2010:20):

Pertama, dari sisi pengembangan kelembagaan desa wisata perlunya

perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program atau kegiatan

khususnya pada kelompok sadar wisata agar mampu meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pelaksanaan program

pelatihan pengembangan desa wisata, seperti: pelatihan bagi kelompok sadar

wisata, pelatihan tata boga dan tata homestay, pembuatan cinderamata,

pelatihan guide (pemandu wisata).

Kedua, dari sisi pengembangan objek dan daya tarik wisata, perlunya

perencanaan awal dari masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi

11

wisatawan dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai potensi yang

dimiliki oleh masyarakat, serta perlunya sosialisasi dari instansi terkait dalam

rangka menggalakkan sapta pesona dan paket desa wisata terpadu. Dari sisi

pengembangan sarana prasarana wisata, perencanaan awal dari pemerintah

perlu diarahkan ke pengembangan sarana prasarana wisata yang baru seperti:

pembangunan gapura, gedung khusus pengelola desa wisata, cinderamata khas

setempat, dan rumah makan bernuansa alami pedesaan. Oleh karena itu dalam

pelaksanaannya perlu menjalin kemitraan dengan pemerintah dan pihak

swasta.

Dalam pengembangan desa wisata juga perlu memperhatikan terkait

dengan kelembagaan dalam pengelolaan desa wisata. Aspek kelembagaan

merupakan komponen penting dalam menunjang keberhasilan

pengembangan desa wisata. Melalui upaya kelembagaan diharapkan

pengembangan desa wisata dapat terus berjalan dan berkelanjutan. Menurut

Inskeep (1991), dalam konteks pariwisata, kelembagaan adalah salah satu

komponen penting dalam menunjang keberhasilan pariwisata. Tanpa adanya

kelembagaan yang kuat, maka fungsi perencanaan, pengembangan dan

pemasaran sebuah desatinasi wisata tidak akan berjalan optimal. Keadaan ini

menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran

destinasi wisata yang kuat. Menurut WTO (2004), bahwa semua organisasi

destinasi harus memiliki kelembagaan yang berkerja dalam berbagai bentuk

aktifitas pariwisata, salah satu contohnya adalah bagian pemasaran. Aktivitas

pemasaran disebutkan yang dilakukan mencakup pembuatan dan destinasi

12

brosur, pembuatan website, mengikuti travel mart, pelaksanaan even-even

pariwisata.

Pada hakikatnya hampir sebagian besar Kota/Kabupaten di Indonesia

memiliki potensi untuk mengembangkan sektor pariwisatanya. Salah satu

daerah di Indonesia yang memiliki potensi tersebut dapat dijumpai di Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut data Statistik Kepariwisataan DIY tahun

2012, pertumbuhan kunjungan wisatawan ke DIY mencapai 2.360.173

wisatawan atau telah tumbuh sekitar 46,80 % dari tahun 2011 yang hanya

1.607.694 wisatawan. Melihat potensi pariwisata yang menjanjikan DIY terus

giat melakukan pengembangan pariwisatanya. Salah satu fokus pengembangan

sektor pariwisatanya terdapat dalam sektor desa wisata. Jumlah desa wisata di

DIY sampai tahun 2012 mecapai 65 desa wisata yang tersebar di semua

Kabupaten di DIY dengan Kabupaten Sleman sebagai penyumbang jumlah

desa wisata terbanyak yakni 33 desa wisata. Kabupaten Sleman memiliki

potensi besar dalam pengembangan kegiatan kepariwisataan. Potensi tersebut

ditunjukkan dari jumlah pengunjung daya tarik wisata di Kabupaten Sleman

pada tahun 2012 yang mencapai 3.042.232 orang. Jumlah tersebut juga

termasuk dengan jumlah pengunjung desa wisata di Kabupaten Sleman sebesar

137.281 orang pada tahun yang sama. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan

tahun 2009 yang hanya mencapai 39.219 orang dalam desa wisata di

Kabupaten Sleman.

Salah satu contoh pengembangan pariwisata di Kabupaten Sleman di

sektor desa wisata terdapat di daerah Gamplong yang merupakan salah satu

13

contoh desa wisata yang mengembangkan basis wisata kerajinan Tenun. Desa

Wisata Gamplong sampai saat ini mampu bertahan sebagai desa wisata yang

diminati wisatawan mancanegara maupun lokal karena mempunyai ciri

spesifik yang bisa dijual yakni pada contoh kebudayaan lokalnya dalam bentuk

kerajinan Tenun. Bentuk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan tidak

hanya sekedar membeli produk kerajinan Tenun saja, akan tetapi para

wisatawan juga dapat melihat proses produksi secara langsung bahkan mereka

dapat belajar membuat kain Tenun. Dalam Desa Wisata Kerajinan Tenun

Gamplong, potensi wisata yang ada dikelola melalui lembaga-lembaga

kemasyarakatan desa yang terlibat dalam pengelolaan desa wisata. Bentuk

kelembagaan antar lembaga yang ada telah berhasil mempertahankan

eksistensi Gamplong sebagai desa wisata kerjinan Tenun. Dalam konteks

kelembagaan, konektivitas antara desa wisata dan ekonomi kreatif diwujudkan

dalam bentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata tersebut. Bengkel

kerja atau studio sebagai ruang kreatif dihubungkan dengan daerah wisata

sehingga tercipta konektivitas untuk mempermudah rantai produksi dan

meningkatkan promosi wisata. Dengan kata lain, aktivitas wisata di Gamplong

melalui kerajinan Tenun menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses

produksi, distribusi, sekaligus pemasaran.

Melihat dari isu perkembangan desa wisata yang semakin marak

dewasa ini, dan dilihat pula bahwa potensi ekonomi kreatif dapat

dikembangkan bersamaan dengan pengelolaan desa wisata, maka

pengembangan desa wisata berbasis ekonomi kreatif melalui strategi

14

penguatan kelembagaan yang baik diharapkan akan memiliki dampak positif

yang akan berpengaruh pada masyarakat lokal, iklim bisnis dan citra kawasan

wisata tersebut.

1.3 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

rumusan masalah yang penulis ambil adalah, bagaimanakah bentuk-bentuk

strategi penguatan kelembagaan desa wisata yang berbasis ekonomi kreatif dan

dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk strategi penguatan kelembagaan

dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif;

b. Mengetaui sejauh mana dampak yang ditimbulkan terkait dengan

penguatan kelembagaan dalam desa wisata terhadap masyarakat lokal.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan:

a. Menjadi sumbangan pemikiran terhadap penelitian-penelitaian sejenis,

serta memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan Ilmu

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada khususnya dan

pengembangan ilmu sosial pada umumnya;

b. Memberikan masukan terkait dengan pengembangan desa wisata kerajinan

Tenun Gamplong.

15

1.6 Tinjauan Pustaka

a. Konsep Kelembagaan

Pengertian kelembagaan menurut Pratama (2012:54), mengarah

pada suatu pola hubungan antara anggota masyarakat yang saling

mengikat, diwadahi dalam suatu jaringan atau organisasi dengan

ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode

etik aturan formal dan non-formal sebagai bentuk kerjasama demi

mencapai tujuan yang diinginkan. Kelembagaan berasal dari kata

“lembaga” yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok

masyarakat untuk membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu

dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut Mubyarto (1996:67), yang dimaksud lembaga adalah

organisasi atau kaedah-kaedah baik formal maupun informal yang

mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu baik dalam

kegiatan-kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk

mencapai tujuan tertentu. Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua

pengertian yaitu: pertama, kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule

of the game) dalam interaksi personal. Kelembagaan sebagai aturan main

diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal,

tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan

lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta

tanggung jawabnya. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang

memiliki hierarki. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya merujuk

16

pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah,

koperasi, bank dan sebagainya.

Dalam proses partisipasi dalam suatu kelembagaan ditentukan

oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan

manfaat terhadap anggota dalam organisasi tersebut. Terkait dengan

kelembagaan di pedesaan, terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok,

kelembagaan dan organisasi) yang merupakan aset untuk dapat

dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan.

Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat dilakukan dengan

sistem jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan.

Menurut Sumarti, dkk (2008), kelembagaan di pedesaan dapat

dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: pertama, lembaga formal seperti

pemerintah desa, KUD, dan lain-lain. Kedua, kelembagaan tradisional

atau lokal. Dalam pengertian kelembagaan tradisional ini, kelembagaan

tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan

“asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut.

Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-

kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas

seperti kebiasaan tolong-menolong, gotong-royong, simpan-pinjam,

arisan dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga di perdesaan memiliki

fungsi yang mampu memberikan “energi sosial” yang merupakan

kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka

sendiri. Peran kelembagaan di tingkat desa sangat penting dalam

17

mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat, untuk itu unsur

kelembagaan perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan potensi desa

guna menunjang pembangunan desa.

b. Penguatan Kelembagaan Masyarakat Desa

Lembaga kemasyarakatan di pedesaan menjadi pilihan yang cukup

kredibel sebagai agen pembangunan. Hanya saja, ada persoalan umum

dimana keberadaannya selama ini masih memerlukan pembenahan,

terutama dari segi kapasitas sumber daya maupun kapasitas

manajerialnya. Arah baru yang diharapkan adalah, bagaimana lembaga

kemasyarakatan itu berperan efektif dan optimal dalam pengelolaan

pembangunan desa. Urgensi keberadaan lembaga kemasyarakatan disini

diharapkan akan menjadi wadah sekaligus agen penggerak dalam

memfasilitasi, memediasi, mengkomunikasikan sekaligus sebagai aktor

dalam mengembangkan partisipasi, mendayagunakan keswadayaan

gotong-royong demi mewujudkan kemajuan, kesejahteraan dan

kemandirian masyarakat desa.

Dalam sisi penguatan kelembagaan menurut Fajar Surahman

(2004:7), diperlukan perubahan struktural terhadap kelembagaan lokal

menuju peningkatan taraf hidup produktifitas, kreatifitas, pengetahuan

dan keterampilan maupun kapasitas kelembagaan agar senantiasa survive

dan sustainable. Ada dua bentuk penguatan kelembagaan yang perlu

diperhatikan dalam lembaga kemasyarakatan desa antara lain: (1)

kelembagaan masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi produktif;

18

dan (2) kelembagaan masyarakat dalam pelestarian pranata dan kearifan

lokal. Berikut ini diuraikan kedua bentuk penguatan kelembagaan

tersebut.

a. Kelembagaan Masyarakat dalam Pengembangan Usaha Ekonomi

Produktif

Lembaga lokal yang bergerak di bidang ekonomi, memiliki

kontribusi strategi sebagai wahana dalam menggerakkan potensi

ekonomi lokal. Kerapuhan usaha ekonomi rakyat selamat ini,

disebabkan belum adanya kolaborasi efektif dari berbagai usaha

ekonomi yang ada, agar efisien dalam mengelola, efektif dalam

mengembangkan usaha, dan optimal dalam meningkatkan pendapatan

dan kesejahteraan. Oleh karena itu dalam rangka penguatan

kelembagaan, ekonomi lokal perlu dikembangkan melalui berbagai

kerjasama efektif antar pelaku usaha ekonomi. Ada dua bentuk upaya

penguatan kelembagaan yang bisa menjadi prioritas dalam

pengembangan usaha ekonomi produktif di desa antara lain meliputi :

Pertama, penumbuhan usaha ekonomi sesuai karakteristik

kemampuan dan peluang pasar, melalui: (i) menggali dan

mengaktualkan potensi ekonomi lokal guna merangsang tumbuhnya

peluang kerja dan kesempatan kerja; (ii) peningkatan akses

permodalan yang diarahkan ke pengembangan lembaga keuangan

pedesaan yang lebih kuat; (iii) peningkatan pengetahuan, keahlian,

dan keterampilan usaha bagi SDM desa; (iv) pembinaan kemampuan

19

manajemen usaha; (v) pendampingan guna menjamin keberlanjutan

usaha, sampai titik dimana masyarakat lebih dapat mandiri

Kedua, penguatan transaksi usaha ekonomi rakyat. Pada

umumnya usaha ekonomi masyarakat desa memiliki nilai transaksi

ekonomi yang rendah dan potensial memperoleh ancaman dari usaha

industri dan bisnis skala besar. Hal ini biasanya terjadi karena daya

saing produk rendah, keterbatasan modal, teknis produksi lemah,

kurangnya manajemen dan promosi dagang. Untuk menguatkan

transaksi usaha rakyat, maka diperlukan beberapa langkah,

diantaranya: (a) peningkatan kualitas produk, harga yang bersaing,

efisiensi biaya produksi dan pembenahan distribusi dan promosi; (b)

diversifikasi produk dengan pengaturan pada produksi unggulan; (c)

memfokuskan pada segmen pasar tertentu sehingga terhindar dari

persaingan terhadap pasar yang lebih luas; (d) melakukan pembinaan

secara intensif dan mengatur regulasi dalam penetapan harga pasar;

(e) peningkatan jaringan informasi pasar untuk produk-produk usaha

rakyat melalui kemitraan usaha dengan sektor usaha besar dan

pemerintah.

b. Kelembagaan Masyarakat dalam Pelestarian Tradisi dan

Kearifan Lokal

Tradisi merupakan nilai atau norma, kaidah atau keyakinan-

keyakinan yang masih dihayati dan dipelihara, bahkan dipatuhi oleh

masyarakat desa atau satuan masyarakat lainnya dalam rangka

20

mewujudkan tertib sosial dan kesejahteraannya. Tradisi itu sering kali

terwujud secara lestari dan berkembang berdasarkan ikatan keyakinan

komunitas lokal. Pelestarian tradisi penting dilakukan sebagai filter

terdepan dalam menghadapi budaya asing, disamping itu tradisi yang

tumbuh pada suatu masyarakat pada dasarnya juga menjadi aset atau

modal sosial yang penting dalam rangka memberdayakan masyarakat

demi mewujudkan kualitas hidup dan kesejahteraan.

Selama ini masih berkembang pandangan sederhana mengenai

pengelolaan pembangunan yang beredar luas pada khalayak umum.

Proses pembangunan dimaknai secara sederhana sebagai perubahan

kehidupan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.

Modernitas dilakukan dengan memperkenalkan lembaga dan nilai-

nilai baru dengan menghancurkan tatanan nilai lama atau

kelembagaan tradisional, yang dipandang sebagai kendala terhadap

jalannya proses modernisasi. Dengan demikian, tolak ukur suksesnya

pengelolaan pembangunan lebih mengarah pada seberapa pesat nilai

yang berlaku di masyarakat dengan meninggalkan ikatan nilai tradisi

seperti kekeluargaan, kegotong-royongan, nilai-nilai keagamaan,

adat-kebiasaan lokal, maupun pranata budaya yang sebenarnya telah

berakar dalam pondasi kehidupan sosialnya.

Penguatan kelembagaan dalam hal ini berarti mengoptimalkan

fungsi lokal yang berfungsi sebagai wadah penerapan, pelestarian,

sekaligus pengembangan tradisi yang ada. Dalam hal ini masyarakat

21

memiliki kewenangan untuk menggali dan memanfaatkan potensi

lokal yang ada secara bijaksana dengan tetap berpegang pada nilai-

nilai fungsional yang dibutuhkan agar mereka mampu berpartisipasi

dengan tetap berlandaskan pada jati diri dan akar budaya yang

dimilikinya. Seringkali pengembangan kelestarian dan kearifan lokal

ini tidak semata berorientasi sosial-kultural, namun juga ekonomi,

semacam pengembangan pariwisata lokal.

Pada akhirnya melalui penguatan kelembagaan, lembaga-

lembaga lokal desa diharapkan akan memiliki fungsi dan peran yang

optimal dalam berkontribusi terhadap pembangunan desa. Melalui

lembaga keamsyarakatan desa, diharapkan akan memberikan peluang

besar bagi masyarakat termasuk kelembagaan lokal yang ada dalam

pengambilan keputusan dan mendayagunakan keswadayaan guna

mengembangkan potensi dan menangulangi permasalahan yang

dihadapi dalam rangka mewujudkan mutu kehidupan masyarakat yang

lebih baik.

Menurut Fajar Surahman (2004:12), dalam upaya penguatan

kelembagaan ada beberapa bentuk tindakan yang bisa dilakukan oleh

lembaga kemasyarakatan desa antara lain: (i) perumusan visi dan misi

bersama tentang tujuan, urgensi dan prioritas-prioritas pembangunan

desa; (ii) pengkajian potensi dan modal sosial yang dimiliki bersama

dalam mendukung harapan-harapan perubahan yang diinginkan; (iii)

melaksanakan dan mengendalikan program; (iv) melakukan evaluasi

22

dan refleksi bersama terhadap pelaksanaan program; dan (v)

menyusun rencana tindak lanjut program. Pada akhirnya penyusunan

rencana tindak lanjut program, akan menandai siklus baru dalam

upaya pencapaian mutu kehidupan masyarakat yang lebih baik,

dimana hal ini merupakan langkah transformatif yang dilakukan

secara terus menerus melalui feedback dari semua pihak untuk

terciptanya pembangunan desa yang sustainable. Pada akhirnya

peningkatan fungsi dan peran lembaga kemasyarakatan desa memiliki

arti yang strategis karena lembaga kemasyarakatan desa merupakan

unit terdepan pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak

utama untuk keberhasilan pembangunan desa.

c. Konsep Strategi

Menurut Stoner (2001), strategi dapat didefinisikan berdasarkan 2

prespektif yang berbeda yaitu: (1) dari perspektif apa suatu organisasi

ingin dilakukan (intends to do), dan (2) dari perspektif apa yang

organisasi akhirnya dilakukan (eventually does). Berdasarkan perspektif

yang pertama, strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk

menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan implementasi misinya.

Artinya, bahwa para pengurus dan anggota memainkan peranan penting

yang aktif, sadar dan rasional dalam merumuskan strategi organisasi.

Sedangkan berdasarkan perspektif kedua, strategi didefinisikan sebagai

pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang

waktu. Pada definisi ini, setiap organisasi pasti memiliki strategi,

23

meskipun strategi tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit.

Pandangan ini diterapkan bagi para pengurus anggota yang bersifat

reaktif, yaitu hanya menanggapi dan menyesuaikan diri terhadap

lingkungan secara pasif manakala dibutuhkan. Pernyataan strategi secara

eksplisit merupakan kunci keberhasilan dalam menghadapi perubahan

lingkungan. Strategi memberikan kesatuan arah bagi semua anggota

organisasi. Bila konsep strategi tidak jelas, maka keputusan yang diambil

akan bersifat subyektif atau berdasarkan intuisi belaka dan mengabaikan

keputusan yang lain.

d. Konsep Pengembangan Desa Wisata

Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi,

akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur

kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang

berlaku (Nuryanti. 1993:10). Desa wisata biasanya merupakan suatu

kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang

mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi,

sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan

struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik

dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai

komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi, akomodasi, kuliner,

cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya.

Penentuan strategi dalam pengembangan desa wisata sangatlah

penting dilakukan. Melalui konsep pengembangan desa wisata yang tepat,

24

diharapkan mampu memberikan pengenalan kepada masyarakat pedesaan

untuk memahami esensi pariwisata melalui potensi yang dimiliki. Bagi

daerah daerah yang memiliki karakteristik dan keunikan terutama di

kesehariam masyarakat desa maka pengembangan konsep ini akan sangat

membantu. Ada dua pertimbangan terkait dengan pentingnya konsep

pengembangan desa wisata, yaitu: Pertama, dengan adanya desa wisata

maka pengelola harus menggali dan mempertahankan nilai nilai adat budaya

yang telah berlangsung selama puluhan tahun di desa tersebut. Lestarinya

nilai nilai budaya merupakan daya tarik utama bagi wisatawan. Suatu desa

tidak akan menarik jika tidak memiliki budaya, adat istiadat yang unik.

Kedua, dengan konsep ini maka secara otomatis masyarakat desa dapat

berperan aktif dalam kelangsungan desa wisata. Dengan kata lain, akan

timbul lapangan pekerjaan baru serta upaya pemberdayaan masyarakat akan

lebih intensif dilakukan sebagai langkah mempertahankan kelangsungan

desa wisata. Lebih jauh, hal tersebut dapat mencegah masyarakat untuk

tidak terlibat dalam lakon sebagai penonton, tetapi penaggungjawab dan

pelaku aktif dalam pariwisata (Damanik, 2010). Ada dua poin penting yang

perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan desa wisata (Sastrayuda,

2010):

Pertama, dari sisi pengembangan kelembagaan desa wisata

perlunya perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program

atau kegiatan khususnya pada kelompok sadar wisata agar mampu

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui

25

pelaksanaan program pelatihan pengembangan desa wisata, seperti:

pelatihan bagi kelompok sadar wisata, pelatihan tata boga dan tata

homestay, pembuatan cinderamata, pelatihan guide (pemandu wisata).

Kedua, dari sisi pengembangan objek dan daya tarik wisata,

perlunya perencanaan awal dari masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang

baik bagi wisatawan dan mampu mendatangkan wisatawan dari berbagai

potensi yang dimiliki oleh masyarakat, serta perlunya sosialisasi dari

instansi terkait dalam rangka menggalakkan sapta pesona dan paket desa

wisata terpadu. Dari sisi pengembangan sarana prasarana wisata,

perencanaan awal dari pemerintah perlu diarahkan ke pengembangan sarana

prasarana wisata yang baru seperti: pembangunan gapura, gedung khusus

pengelola desa wisata, cinderamata khas setempat, dan rumah makan

bernuansa alami pedesaan. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya perlu

menjalin kemitraan dengan pemerintah dan pengusaha/pihak swasta.

Dalam konsep pengembangan desa wisata juga perlu

memperhatikan terkait dengan kelembagaan dalam pengelolaan desa

wisata. Aspek kelembagaan merupakan komponen penting dalam

menunjang keberhasilan pengembangan desa wisata. Melalui upaya

penguatan kelembagaan desa wisata diharapkan pengembangan desa

wisata dapat terus berjalan dan berkelanjutan. Menurut Inskeep (1991),

dalam konteks pariwisata, kelembagaan adalah salah satu komponen

penting dalam menunjang keberhasilan pariwisata. Tanpa adanya

kelembagaan yang kuat, maka fungsi perencanaan, pengembangan dan

26

pemasaran sebuah desatinasi wisata tidak akan berjalan optimal. Keadaan

ini menuntut adanya organisasi pelaksana, pengembangan dan pemasaran

destinasi wisata yang kuat. Menurut WTO (2004), bahwa semua organisasi

destinasi harus memiliki kelembagaan yang berkerja dalam berbagai bentuk

aktifitas pariwisata, salah satu contohnya adalah bagian pemasaran.

Aktivitas pemasaran disebutkan yang dilakukan mencakup pembuatan dan

destinasi brosur, pembuatan website, mengikuti travel mart, pelaksanaan

even-even pariwisata.

e. Konsep Ekonomi Kreatif dalam Pengembangan Pariwisata

Menurut Kementerian Perdagangan (2008), ekonomi kreatif dapat

diartikan sebagai era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan

kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber

daya manusianya sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan

ekonominya. Ekonomi kreatif dan sektor pariwisata merupakan dua hal

yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan

baik. Pariwisata dan ekonomi kreatif dapat diibaratkan sebagai gula dan

semut, dimana pariwisata adalah gula dan ekonomi kreatif adalah

semutnya. Pariwisata akan semakin menarik orang-orang untuk membuat

karya yang mungkin bisa menjadi ciri dari daerah yang mereka kunjungi,

atau dengan kata lain disebut juga dengan oleh-oleh khas. Namun antara

pariwisata dan ekonomi kreatif juga dapat disebut ekonomi kreatif adalah

gulanya dan pariwisata adalah semutnya. Sebut saja desa wisata, desa

wisata yang laku dijual disebabkan karena karya-karya kreatif yang

27

diproduksinya. Ada juga yang disebabkan karena budaya yang dimiliki

desa tersebut. Dalam kemunculan desa-desa wisata di Indonesia, hal

tersebut diikuti juga dengan munculnya ide-ide kraetif dalam usaha

pengembangan desa wisata yang dipromosikan, agar kesan unik dan

berbeda didapat dari desa-desa wisata lain. Hal inilah yang kemudian

mendorong pengembangan desa wisata yang kemudian ditunjukkan

dengan pengelolaan desa wisata yang mengarah ke basis ekonomi kreatif.

Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor pariwisata

yang dijelaskan lebih lanjut, kreativitas akan merangsang daerah tujuan

wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi

nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah

tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih

tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas

untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-

produk kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individu

dan pengusaha yang bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan

tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya

dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata.

Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor pariwisata

merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial

untuk dikembangkan. Dalam mengembangkan ekonomi kreatif sebagai

penggerak desa wisata misalnya, diperlukan adanya konektivitas, yaitu

dengan menciptakan outlet produk-prdouk kreatif di lokasi yang strategsi

28

dalam desa wisata. Outlet tersebut nantinya dapat dikemas bersamaan

dalam paket-paket wisata. Pada akhirnya wisatawan yang berkunjung

tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses

pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut

atau dengan kata lain souvenir sebagai memorabilia (Suparwoko, 2010).

Menurut Thomas (2010), desa wisata dan ekonomi kreatif

memliliki potensi besar jika dikelola secara kreatif. Kerajinan memang

punya potensi dalam desa wisata, oleh karena itu penjualan ke wisatawan

lebih mudah jika proses produksi bisa disaksikan oleh pembelanja, atau

dalam hal ini bisa menjadi bagian dari atraksi desa wisata. Ini berarti satu

desa yang punya tradisi produksi kerajinan memiliki potensi lebih besar

daripada desa wisata lain yang hanya menjual produk dari tempat lain.

Sisi lain dari hubungan face to face antara produsen dan konsumen adalah

terbentuknya citra diri dari kawasan wisata tersebut yang bisa dinikmati

oleh masyarakat lokal dan pengrajinya. Dalam proses produksi maupun

produk yang ditawarkan dapat mengandung nilai kebudayaan lokal, tidak

saja pengrajin sendiri tetapi masyarakat lokal dapat merasa bangga

sebagai suatu bagian kebudayaan yang dimiliki.

Permasalahan yang sering kali muncul dalam pengembangan desa

wisata melalui basis ekonomi kreatif adalah lemahnya kelembagaan

dalam desa wisata itu sendiri. Aspek kelembagaan merupakan komponen

penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan desa wisata.

Tanpa adanya kelembagaan yang kuat, maka fungsi perencanaan,

29

pengembangan dan pemasaran dalam sebuah destinasi wisata tidak akan

berjalan optimal. Melalui upaya penguatan kelembagaan dalam desa

wisata, diharapkan pengembangan desa wisata berbasis ekonomi kreatif

ini akan dapat terus berjalan dan berkelanjutan.

f. Kelembagaan UMKM dalam Desa Wisata

Berbicara soal ekonomi kreatif dalam desa wisata tentu tidak bisa

terlepas dengan yang namanya UMKM (Usaha Mikro Kecil dan

Menengah). Penjelasan tentang konsep kelembagaan dalam UMKM

diharapkan semakin memperkuat kajian dalam penguatan kelembagaan

dalam desa wisata berbasis ekonomi kreatif. UMKM yang berada dalam

kawasan desa wisata secara langsung akan ikut memberikan kotribusi

terhadap perkembangan desa wisata tersebut, karena UMKM menjadi

bagian dalam pengerak ekonomi desa. Dalam desa wisata, bentuk-bentuk

UMKM biasanya muncul dalam outlet-outlet kerajinan khas daerah.

Keberadaan UMKM dalam desa wisata sendiri bukan tanpa

hambatan, berbagai hambatan itu antara lain menyangkut masalah

permodalan, pemasaran, dan teknologi yang berakibat pada rendahnya

mutu produk dan tidak adanya keberlanjutan dalam berproduksi.

Disinilah pentingnya peran lembaga kemasyarakatan desa untuk

memperkuat kelembagaan UMKM. Dengan peranan kelembagaan desa,

diharapkan akan meningkatkan kontribusi UMKM terhadap perbaikan

kondisi perekonomian desa, antara lain melalui penyerapan tenaga kerja

dan pengurangan tingkat pengangguran, untuk itu perlu dilakukan

30

penguatan secara kelembagaan terhadap UMKM (Adiningsih. 2002),

antara lain:

Pertama, melalui Institusional Building (membangun institusi).

Institusional building sangat penting bagi institusi yang akan

mengembangkan diri menjadi lebih kuat dan berkelanjutan. Untuk itu ada

beberapa hal prinsip yang dapat dilakukan, antara lain: melakukan

strategic planning (perencanaan strategis), internalisasi budaya bisnis dan

pengembangan sistem kelembagaan. Melalui proses strategic planning,

UMKM akan mengembangkan institusinya sesuai dengan visi dan misi

yang ditetapkan. Selain itu penguatan pada manajemen bisnis dapat

menjadi prioritas yang mengacu pada kemampuan SDM serta peluang

yang ada sesuai dengan keahlian dan kebutuhan konsumen.

Kedua, penguatan jaringan UMKM. Peningkatan jaringan

informasi pasar untuk produk-produk usaha rakyat melalui kemitraan

usaha dengan sektor usaha besar dan pemerintah. Dalam hal ini

pemerintah dan swasta harus menfasilitasi jaringan itu, sehingga secara

kelembagaan semakin kuat.

Ketiga, peningkatan kapasistas SDM. Hal ini dapat dilakukan

melalui agenda studi banding, pelatihan, pembinaan dan lain-lain. Setiap

UMKM tentu memiliki kebutuhan dan keunikan tersendiri, sehingga

upaya peningkatan kapasitas SDM hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan dan kondisi masing-masing UMKM.

31

Makin berdayanya UMKM berarti juga keuntungan bagi desa

wisata itu sendiri. Melalui kelembagaan UMKM yang kuat, berdaya

saing, dan menyejahterakan diharapkan mampu mengurai berbagai

permasalahan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, rendahnya

produktifitas dalam desa wisata. Mampunya UMKM mengatasi problem

tersebut akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan

masyarakat serta meningkatnya citra kawasan wisata sehingga eksistensi

desa sebagai destinasi wisata mampu untuk terus bertahan.

Kerangka Berfikir

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Penelitian

Strategi Penguatan Kelembagaan Desa Wisata Gamplong

Tahap Identifikasi Lembaga

Jumlah Lembaga dalam Desa

WisataProfil Lembaga

Pelaksanaan Kegiatan dan Agenda Kerja

Jejaring Kemitraan

Tahap Evaluasi

Dampak Upaya Penguatan

Kelembagaan

Dampak Jejaring Kemitraan

Dampak Terhadap Perkembangan

Desa Wisata dan Usaha Kerajinan

Tenun

32

Penjelasan Kerangka Berfikir

Fokus dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana strategi

penguatan kelembagaan dalam desa wisata Gamplong. Dalam hal ini upaya

penguatan kelembagaan dilakukan melalui lembaga-lembaga pengelola dalam desa

wisata yang diharapkan berperan efektif dan optimal dalam pengelolaan desa wisata

serta mampu membantu mengembangkan usaha kerajinan Tenun. Urgensi

keberadaan upaya penguatan kelembagaan disini diharapkan akan menjadi wadah

sekaligus penggerak dalam memfasilitasi, memediasi, sekaligus sebagai

meningkatkan kapasitas aktor dalam mengembangkan partisipasi demi

mewujudkan kemajuan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dalam desa

wisata. Analisis strategi penguatan kelembagaan dalam desa wisata Gamplong

bertumpu pada dua tahap yaitu tahap identifikasi lembaga dan tahap evaluasi.

Tahap pertama adalah tahap identifikasi lembaga, dimana ada empat poin

penting yang akan diidentifikasi, yakni: (1) mengidentifikasi jumlah lembaga yang

ada dalam desa wisata dengan melihat cakupan keseluruhan lembaga serta

dinamika keberadaan lembaga dalam lima tahun terakhir; (2) pemetaan terhadap

profil lembaga yang ada dengan mamaknai peran dan fungsi tiap lembaga, struktur

kepengurusan lembaga serta hubungan antar lembaga yang ada; (3)

mengidentifikasi bentuk upaya penguatan kelembagaan melalui cakupan

pelaksanaan kegiatan dan agenda kerja lembaga (pelatihan dan pembinaan), lama

berjalanya kegiatan, manfaat dan kendala yang dihadapi; (4) identifikasi terkait

jejaring kemitraan yang dibangun dengan pihak lain yang meliputi bentuk

kerjasama, lama berjalan, serta manfaat yang didapatkan.

33

Tahap yang kedua adalah tahap evalusi untuk melihat bagaimana dampak

yang ditimbulkan dari upaya penguatan kelembagaan dalam desa wisata Gamplong.

Evaluasi dilakukan melalui tiga poin penting yakni: (1) dampak yang ditimbulkan

terhadap usaha penguatan kelembagaan kepada pengelola desa wisata dan pelaku

usaha kerajinan Tenun; (2) dampak jejaring kemitraan yang dibangun dalam desa

wisata terhadap kapasitas lembaga pengelola desa wisata, serta pengaruh dari

jejaring kemitraan yang dilakukan terhadap kegiatan usaha kerajinan Tenun; (3)

evaluasi terkait dengan perkembangan desa wisata dan usaha kerajinan Tenun

sebagai dampak yang ditimbulkan dari upaya penguatan kelembagaan yang

dilakukan pihak pengelola desa wisata.