Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prinsip yang mendasari Peninjauan Kembali yakni
prinsip keadilan, kemanfaan, kepastian dan putusan
Mahkamah Konstitusi dengan prinsip ne bis in idem,
speedy administration of justice dan lites finiri opertet
haruslah sejalan dan tidak saling membatasi.1
Upaya hukum Peninjauan Kembali (selanjutnya
disingkat PK) pada prinsipnya merupakan upaya hukum
luar biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Upaya hukum PK bertujuan untuk
memberikan keadilan hukum dan bisa diajukan oleh pihak
yang berperkara baik untuk perkara pidana maupun perkara
perdata. Peninjauan Kembali (PK) merupakan hak
1 Imam Nasima,“Meninjau Kembali Aturan Peninjauan Kembali Perkara
Perdata (Bagian 2)”, www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 22 Januari
2016.
terpidana selama menjalani masa pidana di dalam lembaga
kemasyarakatan.2
Adapun pembatasan pengajuan PK yang diatur
dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP dimana PK hanya dapat
dilakukan hanya satu kali merupakan wujud dari prinsip
kepastian hukum (lites finiri opertet). Namun terhadap
peraturan PK tersebut, apabila kita cermati maka akan
dirasa prinsip kepastian hukum mengesampingkan prinsip
keadilan, sehingga prinsip keadilan dan kepastian hukum
tentunya akan saling berbenturan dan rasa keadilan bagi
terpidana belum dapat tercapai.3
Peninjauan Kembali (PK) merupakan tugas
Mahkamah Agung yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1)
huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir
kalinya dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
2 Shanti Dwi Kartika, “Peninjauan Kembali Labih Dari Satu Kali Antara
Keadilan Dan Kepastian Hukum”, Buletin Info Hukum Singkat Pusat
Pengkajian, Pengelolaan Data dan Informasi (P3DI) Sekertariat Jendral DPR
RI, Vol. VI NO. 06/II/P3DI/Maret/2014, hal.3. 3 H. Parman Soeparman, “Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum
Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan”, Reflika
Aditama, Bandung, 2009,hal. 8
Perubahan Kedua Atas undang-undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:
“Mahkamah Agung bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus
permohonan Peninjauan Kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.”
PK hanya bisa dilakukan satu kali sebagai unsur
untuk melahirkan hukum yang bersifat final.
Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dapat dilakukan sepanjang Undang-Undang tersebut
bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan juga menyebutkan secara hierarki
kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-
Undang.4
Jadi, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 (constitutie is de hoogste
wet). Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang
bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut
dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme
pengujian Undang-Undang (judicial review).5
Ada dua alasan penting secara doktriner yang tidak
dapat ditinggalkan dalam pembahasan mengenai PK, yakni
dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yakni conflict van rechtspraak dan novum.6 Hal
yang pertama ialah terdapatnya putusan-putusan yang
berlainan dengan keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal
yang kedua ialah adanya suatu keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat bahwa jika diketahui keadaan
itu, pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan
4 Ibid 5 Ibid. hal 9 6 Lihat ketentuan Pasal 263 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima,
dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan.7
Adapun dalam kasus pidana Antasari Azhar yang
berkaitan dengan PK, yakni bermula ketika diajukan
dimuka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta. Dalam
persidangan yang di Ketuai oleh Hakim Herry Swantoro
tersebut, Antasari dianggap terbukti oleh Majelis Hakim,
bekerja sama dengan pengusaha Sigit Haryo Wibisono
untuk melakukan tindakan pembunuhan terhadap Nasrudin
Zulkarnaen yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur
PT Rajawali Putra Banjaran. Dalam Putusan tersebut,
Antasari Azhar menolak semua tuduhan termasuk
perselingkuhan yang menjadi motif utama pembunuhan
tersebut. Namun, Antasari Azhar kemudian didakwa
dengan hukuman mati yang pada akhirnya oleh PN Jakarta
Selatan divonis penjara selama 18 tahun.8
7 Oemar Seno Adji, “Herziening Gantirung Suap Perkembangan Delik”,
Erlangga Jakarta, 1981, hal. 38-39. 8 Lihat http://www.kompasiana.com/andiansyori/tangisan-antasari-azhar-
keadilan-tidak-dapat-dibatasi-dengan-waktu_12:14 WIB tgl 27 Oktober 2015.
Statusnya sebagai tersangka membuat Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009
memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK.9 Pada
sidangnya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Tanggal 11 Februari 2010, Majelis Hakim Herry
Swantoro menyatakan, semua unsur telah terpenuhi antara
lain, unsur barang siapa, turut melakukan, dengan sengaja,
direncanakan, dan hilangnya nyawa orang lain. Majelis
hakim menyatakan perbuatan terdakwa sudah memenuhi
unsur Pasal 55 KUHP, sehingga majelis hakim tidak
sependapat dengan pledoi terdakwa dan kuasa hukumnya.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru
memperkuat hukuman yang dijatuhkan PN Jakarta
Selatan.10
Antasari Azhar kemudian mengajukan upaya
hukum kasasi namun di tolak oleh Mahkamah Agung.
Tidak berhenti sampai disitu, untuk mencari keadilan,
Antasari Azhar melakukan upaya hukum PK dengan
9 Ibid 10 Ibid
membawa tiga bukti baru dan 48 alasan kekhilafan hakim
yang menjadi dasar mengajukan PK. Namun, PK tersebut
juga ditolak oleh Mahkamah Agung.11
Dalam isi permohonan yang diajukan oleh Antasari
Azhar ke Mahkamah Konstitusi, bahwa di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, telah diputus pada tanggal 11
Februari 2010, putusan tersebut telah memiliki kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan
Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21
September 2010; Bahwa terhadap putusan Mahkamah
Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September
2010, Pemohon I mengajukan upaya hukum luar biasa
berupa Peninjauan Kembali dan diputus oleh Mahkamah
Agung Nomor. 117/PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012.
Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Antasari Azhar tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung
dengan dasar pertimbangan bahwa alasan-alasan tentang
bukti baru (novum) dan kekeliruan nyata yang dilakukan
11 Ibid
oleh hakim dalam memutus perkara yang dikemukakan
oleh Antasari Azhar tersebut tidak dapat dibenarkan,
karena putusan Judex Juris yang menguatkan putusan
Judex Facti tidak terdapat kekeliruan nyata. Penolakan
peninjauan kembali tersebut termuat di dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 117 PK/PID/2011 yang amar
putusannya sebagai berikut:
1. Menolak permohonan peninjauan kembali
dari Pemohon Peninjauan
Kembali/Terpidana: Antasari Azhar S.H.,
M.H;
2. Menetapkan bahwa putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali tersebut
tetap berlaku;
3. Membebankan Pemohon peninjauan
kembali/Terpidana untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat peninjauan kembali
sebesar Rp. 2.500,- (duaribu lima ratus
rupiah).
Bahwa karena telah mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali, maka berdasarkan Pasal 268 ayat (3)
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Pemohon tidak memiliki upaya hukum lain untuk
membersihkan namanya, jika suatu saat terdapat bukti
baru, yang memberikan putusan yang berbeda dengan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tertanggal 11 Februari 2010 jo
putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010
tanggal 21 September 2010.12
Tidak puas dengan hal tersebut diatas, Antasari
Azhar kemudian menggugat KUHAP melalui judicial
review ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pada 8 Maret
2013 Antasari Azhar mengajukan permohonan ke
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review
atas Pasal 268 ayat (3) undang-undang No. 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP yang berbunyi :
“Permintaan Peninjauan Kembali atas
suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali
saja”
12 Lihat putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang
Peninjauan Kembali Berulang Kali.
Permohonan judicial review tersebut diajukan oleh
Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka
Antasariputri.
Batu uji yang digunakan dalam permohonan ini
adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat
(1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam permohonan
ini Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk
memutuskan tiga hal yaitu:
1. Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP
berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali
atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu
kali saja” bertentangan dengan UUD 1945 jika
dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan
ditemukannya keadaan baru (novum);
2. Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP
berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali atas
suatu putusan hanya dapat dilakukan satu
kali saja” tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat jika dimaknai tidak dikecualikan
terhadap alasan ditemukannya keadaan baru
(novum);
3. Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP,
selengkapnya berbunyi: “Permintaan Peninjauan
Kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan
ditemukannya keadaan baru (novum) dapat
diajukan lebih dari sekali ”.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah
Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan Para
Pemohon dengan amar:
Mengabulkan permohonan para Pemohon:
1. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan
UUD 1945;
2. Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun
1981 Tentang KUHAP yang dinilai melanggar Pasal 28J
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang pada intinya bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia yang paling mendasar yaitu
menyangkut kehidupan manusia.13
Menurut penulis, pembatasan peninjauan kembali
(PK) hanya dapat dilakukan satu kali setidak-tidaknya
mengabaikan prinsip dan nilai keadilan. Dalam doktrin
hukum pidana letak keadilan lebih tinggi daripada
kepastian hukum, sehingga apabila harus memilih maka
keadilan mengesampingkan kepastian hukum. Dengan
demikian pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh korban
atau ahli warisnya dapat diajukan lebih dari sekali adalah
dalam rangka mencari dan memperoleh keadilan harus
diberi peluang walaupun mengeyampingkan kepastian
hukum. Di sisi lain Peninjauan Kembali (PK) jelas-jelas
tidak menghalangi eksekusi putusan pidana, sehingga
sebenarnya tidak ada relevansinya dengan kepastian
hukum.14
Pada prinsipnya nilai keadilan sebagaimana diatur
dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
13 Ibid 14 Muhamad Erwin, “Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum”,
Rajawali Pers,Jakarta, 2012, hal.218
Tahun 1945 tersebut di atas dapat disimpulkan keadilan
merupakan pilar penegakan hukum di Indonesia sehingga
para pencari keadilan diberikan hak untuk mencari
keadilan yang seadil-adilnya. Akan tetapi dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
yang dimohonkan untuk diuji membatasi para pencari
keadilan untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya
sehingga hal ini bertentangan prinsip keadilan yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.15
Hakim Bismar Siregar pernah mengatakan;
“Bila untuk menegakan keadilan saya
korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan
hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan
tujuanya adalah keadilan.”16
Dalam perkembangannya falsafah keadilan sering
dikaitkan dengan salah satu bidang pranata kehidupan yaitu
hukum karena keadilan merupakan tujuan yang paling
utama dari hukum. Permasalahnya bila hukum ternyata
15 Ibid 16 Ibid
tidak mampu mewujudkan nilai keadilan dalam kehidupan
bermasyarakat.17
Dasar filosofis pengajuan PK merupakan hak yang
dimiliki oleh setiap orang untuk membuktikan bahwa dia
tidak bersalah melakukan suatu kejahatan. Dalam
Pembukaan UUD 1945, dapat ditemukan kata-kata seperti
"perikemanusiaan dan perikeadilan", "adil dan makmur",
"adil dan beradab" serta kata "keadilan sosial" bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sehingga menurut penulis, upaya hukum
PK seharusnya juga diadakan guna menemukan keadilan
yang sesungguhnya.
Keadilan adalah tolak ukur baik buruknya suatu
hukum. Hal ini diperkuat dengan teori-teori keadilan salah
satunya ide dasar aliran Stoa didasarkan atas dua prinsip
yaitu jangan merugikan seseorang dan berikanlah kepada
tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika prinsip ini
ditaati barulah hal itu disebut adil.18
17 Ibid 18 Ibid, hal 228
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 7
Tahun 2014 memperkuat pembatasan Peninjaun Kembali
hanya satu kali. Hal tersebut dilihat instruksi Mahkamah
Agung (MA) kepada Pengadilan dibawah Mahkamah
Agung yakni guna terwujudnya kepastian hukum, maka
permohonan PK oleh SEMA memberikan petunjuk sebagai
berikut :
1. Bahwa pengaturan upaya hukum Peninjauan
Kembali, selain diatur dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana yang normanya telah dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
tersebut di atas, juga diatur dalam beberapa
Undang-Undang, yaitu: a). Undang - Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Pasal
24 Ayat (2), berbunyi: “Terhadap putusan
Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan
Peninjauan Kembali” b). Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1),
berbunyi: “Permohonan Peninjauan Kembali
dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”;
2. Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat Pasal 268 ayat (3)
Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6
Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma
hukum yang mengatur permohonan Peninjauan
Kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tersebut;
3. Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah
Agung berpendapat bahwa permohonan
Peninjauan Kembali dalam perkara pidana
dibatasi hanya 1 (satu) kali;
4. Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan
lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang
diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 10 Tahun 2009 tentang pengajuan
Peninjauan Kembali yaitu apabilah ada suatu
objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan
Peninjauan Kembali yang bertentangan satu
dengan yang lain baik dalam perkara perdata
maupun perkara pidana;
5. Permohonan Peninjauan Kembali yang tidak
sesuai dengan ketentuan tersebut di atas agar
dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat
pertama permohonan tersebut tidak dapat
diterima dan berkas perkaranya tidak perlu
dikirim ke Mahkamah Agung sebagaimana telah
diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 10 Tahun 2009.19
Berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 7 Tahun 2014 yang memperkuat PK hanya dapat
dilakukan hanya satu kali tersebut di atas, memberikan
pemahaman bahwa keadilan hanya merupakan salah satu
tujuan hukum. Selain keadilan, juga terdapat kepastian
hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum seharusnya
dapat mengakomodir ketiganya. Putusan hakimpun
sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiga tujuan
hukum tersebut.
SEMA Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014
tersebut jelas berbenturan dengan Putusan MK Nomor
34/PUU-XI/2013 tentang pengujian terhadap Kaidah
Hukum dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP dan menjadi
problematika hukum yang dapat dianalisis secara yuridis
sosiologis guna menemukan akibat hukumnya.
19 Lihat Surat Edara Mahakamah Agung No. 7 Tahun 2014 Tentang
Peninjauan Kembali.
Ketatnya persyaratan untuk permintaan pengajuan
PK juga merupakan penerapan asas keadilan terhadap
pemberlakuan asas kepastian hukum, oleh karena itu, PK
harus berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim
adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan
Hakim secara manusiawi. Fungsi Mahkamah Agung dalam
Peradilan PK adalah untuk mengadakan koreksi terakhir
terhadap Putusan Pengadilan yang mengandung
ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan Hakim.
Oleh karena itu walaupun pranata PK semata-mata
didasarkan pada syarat dan pertimbangan hukum tetapi
tujuannya adalah tetap demi memenuhi rasa keadilan
terhadap terpidana.20
Berkaitan dengan tujuan keadilan tersebut diatas,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 34/PUU-
XI/2013 pengujian terhadap Kaidah Hukum dalam Pasal
268 ayat (3) KUHAP, dalam hal ini Mahkamah mengambil
pertimbangan hukum, sebagai berikut:
20 Makalah Tentang Peninjauan Kembali, oleh H. Abdul Kadir Mappong, S.H.,
(Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, Bidang Yudisial), hal.18
“Bahwa upaya hukum luar biasa Peninjauan
Kembali secara historis-filosofis merupakan upaya
hukum yang lahir demi melindungi kepentingan
terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum
Peninjauan Kembali berbeda dengan banding atau
kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum
biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian
hukum karena tanpa kepastian hukum, yaitu dengan
menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya
hukum biasa, justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan
ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai.
Dengan demikian, ketentuan yang menjadi syarat
dapat ditempuhnya upaya hukum biasa di samping
terkait dengan kebenaran materiil yang hendak
dicapai, juga terkait pada persyaratan formal yaitu
terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah
diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak
secara formal pula. Adapun upaya hukum luar biasa
bertujuan untuk menemukan keadilan dan
kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi
oleh waktu atau ketentuan formalitas yang
membatasi bahwa upaya hukum luar biasa
(peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu
kali, karena mungkin saja setelah diajukannya
Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru
(novum) yang substansial baru ditemukan yang
pada saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum
ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu
novum atau bukan novum, merupakan kewenangan
Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan
mengadili pada tingkat Peninjauan Kembali. Oleh
karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya
upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau
substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah
terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam
proses peradilan pidana sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP”
Dari pertimbangan Mahkamah tersebut, dapat
dimaknai bahwa Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya
hukum luar biasa (extraordinary remedy) yang diajukan
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap akibat adanya kekeliruan atau kekhilafan Hakim
dalam memidana terdakwa, adanya putusan yang saling
bertentangan dan adanya keadaan baru (novum). Sehingga
putusan hakim yakni menyatakan membatalkan apa yang
diatur dalam pasal 269 ayat (3) KUHAP karena
bertentangan dengan UUD yakni sebagaimana tertuang
pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1)
dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan uraian diatas maka, penulis hendak
membahas eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali berdasarkan
teori hukum yang relevan, apakah putusan Mahkamah
tersebut telah sesuai dengan tujuan hukum bangsa
Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dengan Judul
“Perspektif Keadilan Upaya Peninjauan Kembali
Putusan Pidana” (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Permohonan Peninjauan
Kembali Lebih dari Satu Kali).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan
sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka rumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut;
1. Bagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi
(MK) mengabulkan permohonan pengujian Pasal
268 ayat (3) KUHAP dalam Putusan MK
No.34/PUU-XI/2013 Tentang Permohonan
Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali dikaji
dari Aspek Yuridis dan Filosofis?
2. Apa Akibat Hukum dikabulkannya permohonan
pengujian Pasal 268 ayat (3) Undang-undang No.8
Tahun 1981 KUHAP dalam Putusan MK
No.34/PUU-XI/2013 Tentang Permohonan
Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar dari
pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK)
mengabulkan permohonan pengujian Pasal 268 ayat (3)
KUHAP.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perspektif
keadilan yang terkandung dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang Permohonan
Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali.
3. Untuk mengetahui akibat hukum dikabulkannya
permohonan pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP oleh
Mahkamah Konstitusi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk
kepentingan akademis maupun kepentingan praktis dalam
perkembangan dan pembangunan hukum dimasa kini dan
masa yang akan datang.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
dan menjelaskan bahwa penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum (hukum pidana) pada
umumnya, khususnya dalam melihat perspektif keadilan
yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
No. 34/PUU-XI/2013 tentang Permohonan Peninjauan
Kembali Lebih dari Satu Kali.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala
pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi hakim
dan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya.
E. Landasan Teori
Dalam menegakan hukum Menurut, Gustav
Radbruch ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus
diperhatikan yaitu unsur kepastian hukum, unsur
kemanfaatan dan unsur keadilan. Unsur kepastian terikat
dengan adanya jaminan perlindungan kepada masyarakat,
unsur kemanfaatan adalah untuk menciptakan manfaat atau
kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat,
dan unsur keadilan merupakan kebenaran, tidak memihak,
dapat dipertanggungjawabkan serta memperlakukan setiap
manusia semuanya sama di depan hukum (equality before
the law). Hakim dalam memberi putusan sudah seharusnya
mempertimbangkan tiga unsur tersebut. Dari ketiga unsur
tersebut keadilan harus mempunyai posisi yang pertama
dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan
kemanfaatan.21 Hal demikianlah yang kemudian akan
menjadi fokus teori dalam penulisan tesis ini.
Kepastian hukum adalah kesesuaian normatif, baik
terhadap ketentuan dan putusan hakim. Kepastian hukum
adalah pelaksanaan tata kehidupan hukum yang jelas,
konsisten, teratur dan tidak dapat dipengaruhi keadaan
bersifat subyektif. Oleh karena itu, kepastian hukum
21 Muhamad Erwin , “Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum”, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 123.
sebagai salah satu tujuan hukum merupakan bagian dari
upaya mewujudkan keadilan.22
Bentuk nyata kepastian hukum diwujudkan dalam
norma, dilaksanakan oleh penegak hukum kepada siapapun
juga, tanpa memandang status sehingga dengan adanya
kepastian hukum maka setiap orang akan dapat
memperkirakan, menerima konsekuensi yuridis dan sanksi
apabila melakukan tindakan hukum tertentu.23
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum
tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan
makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut
sebagai salah satu tujuan hukum. Kata kepastian berkaitan
erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat
dapat disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika
deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai
premis mayor, sedangkan peristiwa konkrit menjadi premis
22 Gustav Ranburch dan Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Bernard L.
Tanya, “Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi”,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 43 23 Ibid
minor. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi tertib.
Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat
kepada ketertiban.24
Dalam kenyataannya sering kali antara kepastian
hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara
keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan dengan
kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum
tertentu jika hakim menginginkan keputusan yang adil bagi
si penggugat atau tergugat, atau bagi si terdakwa maka
akibatnya sering akan meugikan kemanfaatan bagi
masyarakat luas sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat
luas dipuaskan maka perasaan adil bagi tertentu terpaksa
harus dikorbankan.
Aristoteles, mengkonsepkan Keadilan menjadi 2
jenis keadilan, yaitu Keadilan Distributif dan Keadilan
Korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang
kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan
Distributif dan Keadilan Korektif sama-sama rentan
24Arief Sidharta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-
Indonesian”, Utomo, Jakarta, 2006, hal. 411
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya
bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah
keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan
yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang
sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Di sisi lain,
keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang
salah.25
Jhon Rawls, menegaskan penegakan keadilan
yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan 2
prinsip Keadilan yaitu:
a. Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang.
b. Mampu mengatur kembali kesenjangan sosial
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal
benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang
berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.26
25Carl Joachim Friedrich, “Filsafat Hukum Perspektif Historis”, Bandung:
Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal. 24. 26John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973, yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, h. 25.
Notohamidjojo, mengkonsepkan norma hukum menjadi 4
(empat) dan diantaranya adalah Keadilan.Menurut Notohamidjojo,
keadilan adalah kehendak yang ajeg dan menetap untuk
memberikan kepada masing-masing bagiannya. Keadilan itu
bertalian dengan sikap dan hubungan kita dengan sesama manusia.
Keadilan menuntut kepada kita memperlakukan sesama manusia
seperti diri kita sendiri, tidak boleh memaksakan kepada pihak lain
sesuai kehendak, wajib memperhatikan keberadaan pihak lain,
mewajibkan kita mengakui pihak lain sebagai makhluk hidup serta
menempatkan pihak lain sebagai subjek seperti diri kita sendiri
ingin diakui sebagai subjek dan diperlakukan. 27 Dari norma
keadilan terdapat 6 jenis keadilan yang di kemukakan oleh
Notohamidjojo, antara lain; 28
1. Justitia commutative (keadilan komutatif)
Keadilan komutatif khususnya berlaku dalam hukum
perdata. Dalam keadilan komutatif berlaku prinsip prestasi
sama nilai dengan kontrak prestasi, jasa sama nilainya
dengan balas jasa. Keadilan komutatif berlaku dala jual-
belidimana barang yang dijual sehargadengan uang yang
dibayarkan.
2. Justitia distributive (keadilan distribusi)
Keadilan distributive memberikan kepada masing-masing
bagiannya dengan memperhitungkan perbedaan kualitas
27 DR. Notohamidjojo, Editor: DR. Tri Budiyono,”Soal-Soal Pokok Filsafat
Hukum”, Griya Media, Salatiga, hal. 76-77 28Ibid.
masing-masing. Keadilan distributive menyangkut
penataan atau pengaturan manusia dalam masyarakat
negara misalnya dalam pembberian pangkat atau
kedudukan, yang perlu sesuai dengan kualitas serta jasa
masing-masing.
3. Justitia vindicativa (keadilan vindikatif)
Keadilan vindikatif itu memberikan kepada masing-masing
hukumannya sesuai dengan kejahatan atau pelanggaran
yang dilakukannya. Keadilan vindikatif terutama
dikenankan lapangan hukum pidana.
4. Justitia creative (keadilan kreatif)
Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan pada
masing-masing dalam negara bagian kebebasannya untuk
menciptakan sesuai dengan daya kreativitasnya dalam
bidangnya, daalam kebudayaan masyarakat.
5. Justitia Protective (keadilan protetif)
Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan
kepada masing-masing pengayoman yang dierlukan dan
yang menjadi haknya.
6. Justitia Legalis
Keadilan legal itu disebut juga juga justitia generalis, yaitu
keadilan umum. Keadilan legal menuntut ketaatan kepada
undang-undang. Ketaatan kepada undang-undang
dianggap sebagai ketaatan kepada kepentingan masyarakat.
keadilan legal dianggap keadilan umum oleh karena
dianggap sudah turut menyelenggarakan kesejahtraan
umum.
F. Kerangka Pemikiran
Peraturan perundang-undangan dibentuk dengan
tujuan memberikan kepastian bagi seluruh bagi setiap
pengemban hak dan kewajiban untuk tercapainya
ketertiban di dalam suatu negara yang berlandaskan pada
prinsip kepastian hukum. Kepastian hukum yang tidak
dapat dipisahkan dari norma hukum yang tertulis dan
dijadikan sebagai pedoman bagi setiap orang. Kepastian
hukum pula memberikan kejelasan bahwa hal-hal apa saja
yang diperbolehkan, dan yang tidak diperbolehkan
menurut hukum dalam setiap peraturan perundang-
undangan.
Manurut Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 memuat aturan dasar
tentang kekuasaan kehakiman., yakni :
“Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
Berdasarkan pasal tersebut, dalam melaksanakan
penegakan hukum, keadilan sepenuhnya berada di tangan
lembaga kehakiman, dan diatur selanjutnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Lembaga yang bertugas
untuk menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut
berdasarkan pasal Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu
Mahkamah Agung serta lembaga-lembaga peradilan yang
ada di bawahnya, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya
disebutkan dalam pasal 24 c ayat (1) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan
mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang undang terhadap Undang Undang Dasar.
Putusan Mahkamah konstitusi terkadang
menimbulkan kontroversi, dan menimbulkan pro-kontra
dalam masyarakat khususnya para ahli hukum. Dianggap
kontroversial karena pertimbangan pertimbangan hakim
dalam putusannya yang terkadang dianggap ganjil dan
tidak sejalan dengan apa yang tertulis dalam suatu
perundang undangan sehingga tidak dapat diterima.
Sehingga unsur kepastian dalam Peraturan
Perundang-undangan tidak sejalan dengan unsur keadilan
dalam putusan Hakim sebagai corong Undang-undang.
Falsafah keadilan adalah untuk mencari jalan keluar dari
belenggu kehidupan secara rasional dengan menggunakan
hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam
hidupnya. Akan tetapi kenyataannya hukum sering kali
bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan
pertanyaan bagaimana kaitan antara keduanya, serta dalam
kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam
masyarakat untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat
dan melaksanakan kebijakan yang dapat dipakai untuk
tujuan keadilan sosial.
Maka dari itu berkaitan dengan judul tesis yang
akan di tulis, menurut pemahaman penulis, perlu
dipertimbangkan lagi untuk memberikan batasan terhadap
upaya hukum peninjauan kembali. Penulis berasumsi
bahwa pembatasan pengajuan peninjauan kembali dapat
memberikan kepastian hukum, namun mengesampingkan
nilai keadilan di dalamnya. Sedangkan tujuan hukum
seharusnya memberikan kepastian, kemanfaatan, serta
keadilan bagi masyarakat sesuai dengan teori Gustav
Radbruch, yakni tujuan hukum setidaknya dapat
mencapai ; kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Kepastian hukum terkait erat dengan adanya jaminan
perlindungan kepada masyarakat atas tindakan sewenang-
wenang yang bertujuan untuk ketertiban masyarakat,
sementara kemanfaatan adalah untuk menciptakan manfaat
atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat, sedangkan keadilan merupakan kebenaran,
tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan
memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang
sama didepan hukum (equality before the law). Begitu pula
pemikiran penulis berkaitan pula dengan teori
Notohamidjojo yang mengkonsepkan norma hukum
menjadi 4 (empat) dan diantaranya adalah Keadilan.29
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah jenis
penelitian hukum (legal research) yang berorientasi pada
dogmatik hukum, dengan melakukan kajian ilmiah dengan
mempelajari isi dari tatanan hukum positif yang konkret.30
2. Jenis Pendekatan
29 Lihat Penjelasan Halaman 18. 30 Titon Slamet Kurnia dkk, “Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian
Hukum di Indonesia sebuah Reorientasi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013,
hal.71
a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) adalah
pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu
hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab
pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan
untuk membangun argumentasi hukum ketika
menyelesaikan isu hukum yang dihadapi.
Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan
memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep
hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan
permasalahan. 31
b. Pendekatan Kasus (Case Approach) adalah pendekatan
kasus dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
bagaimanakah perspektif keadilan dalam putusan
Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang
Pengujian Syarat Peninjauan Kembali;
31 Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”,
cetakan ke-2, Malang : 2006, Bayumedia Publishing, hal .444.
c. Pendekatan Filosofis adalah pendekatan ini dilakukan
dalam rangka untuk memahami filosofis aturan hukum
dari waktu ke waktu, serta memahami perubahan dan
perkembangn filosofis yang melandasi aturan hukum
tersebut. Jadi, pendekatan ini landasan pijaknya adalah
dasar filosofis apa yang digunakan dalam penelitian ini.
32
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
meliputi:
a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum
yang mengikat yang terdapat dalam unit amatan:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
32 Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum”, (Suatu Kajian Sosiologis dan
Filosofis), Chandra Pratama, 1996, hal 37.
3. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009Tentang
Kehakiman
4. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang
No. 3 Tahun 2009 Tentang Undang-Undang
Mahkamah Agung.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun
2014 Tentang Peninjauan Kembali (PK).
b. Bahan Hukum Sekunder
Yakni yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer misalnya, hasil-hasil penelitian
dan buku-buku, skripsi, jurnal-jurnal hukum, tesis
yang berkaitan dengan perspektif keadilan.33
c. Bahan Hukum Tersier
Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti: kamus, ensiklopedia
hukum dll.34
33 Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, cetakan ke-4, Jakarta : 2005,
Kencana, hal.141. 34 Ammirudin dan Zainal Asikin, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hal.118.
4. Unit Analisa
Yang menjadi unit analis dalam penelitian adalah
Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 34/PUU-XI/2013 tentang Syarat Pengujuan
Peninjauan Kembali.
5. Unit Amatan
Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah isi
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013
tentang Syarat Pengujuan Peninjauan Kembali.
H. Sistimatika Penulisan.
Untuk memberikan uraian yang teratur dan sistematis,
maka materi penulisan tesis ini akan disistematiskan sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan
Yakni menguraikan tentang latar belakang masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian baik kegunaan
teoritis maupun praktis, berisi metode penelitian
yang didalamnya ada jenis penelitian, pendekatan
yang digunakan, sumber-sumber hukum, unit
analisa, serta sistematika penulisan mengenai hal-
hal apa saja yang akan dilakukan di dalam
penulisan tesis ini.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Yakni menjabarkan mengenai Landasan
Teoritik/Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi deskripsi
tentang teori-teori yang digunakan dan dijadikan
bahan dasar atau dasar dari menelaah atau
menganalisi permasalahan hukum yang menjadi
topik penulisan tesis.
BAB III : Hasil Penelitian dan Analisis
Menguraikan tentang hasil yang diperoleh dari
penelitian, yakni uraian mengenai Kasus Posisi,
Fakta dalam Persidangan, Pertimbangan Hakim,
dan Amar Putusan, memaparkan tentang Hasil
Analisis mengenai Dasar Pertimbangan Mahkamah
Mengabulkan Permohonan Pengujian Pasal 268
ayat (3) KUHAP dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Pengujian
Syarat Peninjauan Kembali dari Aspek Yuridis
maupun Filosofis, serta menjelaskan mengenai
akibat hukum di kabulkannya Putusan MK
No.34/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Syarat
Peninjauan Kembali tersebut.
BAB IV : Penutup
Yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan
jawaban dari permasalahan yang telah diteliti, serta
memberikan saran yang merupakan rekomendasi
yang dihasilkan setelah melakukan penelitian.