13
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal. Pengertian korupsi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dalam hal pengertian yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka secara implicit, maupun eskplisit, terkandung pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik „pemerintah‟, atau „swasta‟, maupun „masyarakat‟, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sebagai unsur pokok atau elemen yang tidak terpisahkan dari pengertian negara. 1 Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 1 Lihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/33266/2/jiptummpp-gdl-ratnaayupu-42812-2-babi.pdf · Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 81 80 67 Penyidikan 2 19 27 24 47

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya

busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi

merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas

oleh manusia secara maksimal. Pengertian korupsi berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal

2 ayat (1) adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri

sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara”.

Dalam hal pengertian yang merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, maka secara implicit, maupun eskplisit, terkandung

pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik „pemerintah‟, atau „swasta‟,

maupun „masyarakat‟, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sebagai

unsur pokok atau elemen yang tidak terpisahkan dari pengertian negara.1

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1 Lihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3874)

2

Di Indonesia kasus korupsi sangat memprihatinkan, kondisi dua tahun

terakhir, 2013-2014 korupsi di Indonesia semakin meningkat dari dua tahun

sebelumnya. Kondisi tersebut menunjukan kurang efektifnya pemberantasan

korupsi di Indonesia, yang menyebabkan koruptor tidak pernah jera dan

selalu memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.

Tren korupsi terindikasi berdasarkan perkembangan kasus yang

semakin meningkat. Jumlah kasus dan tersangka korupsi dalam kurung waktu

2011-2014, cenderung menurun pada 2011-2012 namun meningkat pada

2013-2014.2

Tabel 1 Daftar kasus dan tersangka korupsi

Tahun Jumlah Kasus Jumlah Kerugian Negara

2010 448 1157 2,1 T

2011 436 1056 10 T

2012 402 887 10,4 T

2013 560 1271 7,4 T

2014 629 1328 5,29 T

Data diolah oleh ICW berdasarkan jumlah kasus dan tersangka yang ditangani

oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK.

2ICW. 2015. Tren Korupsi Naik Lagi. Kompas Edisi 18 Agustus 2015. Jakarta

3

Data kasus yang ditangani oleh KPK sejak awal berdiri pada tahun

2003 hingga 2015 sebagai berikut.3

Tabel 2 Data penanganan korupsi oleh KPK (per 30 September 2015).

Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang

belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan

tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan

berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,

perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Komitmen politik dan seruan masyakarat untuk memberantas korupsi

dapat menjadi pendorong dan amunisi bagi KPK untuk meningkatkan

peranannya. Hasil studi komprehensif dan pengkajian oleh Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan (BPKP)4 yang dituangkan dalam buku ”Strategi

Pemberantasan Korupsi Nasional” menyimpulkan bahwa salah satu penyebab

3 Data diambil dari http://acch.kpk.go.id/statistik. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2015

4 Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang dilakukan pemerintah,

dibentuk suatu badan yang khusus melakukan pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP). Lihat Adrian Sutedi. 2012. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Sinar

Grafika

Penindakan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 81 80 67

Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 70 56 31

Penuntutan 2 17 23 19 35 32 32 40 36 41 50 47

Inkracht 0 5 17 23 23 39 34 34 28 40 40 25

Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 34 32 44 48 25

4

kegagalan pemberantasan korupsi adalah lemahnya aparat pemerintah yang

menangani korupsi.5

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi.6 Pasal 1

undang-undang ini menentukan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi

merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak

pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran

serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini, nama Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK)7. Status hukum komisi ini secara tegas

ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh dan kekuasaan

manapun.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan Komisi Pemberantasan

Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun. Kekuasaan manapun disini adalah kekuatan yang dapat

5 Achmad Badjuri. 2011. Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Sebagai

Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia. Semarang. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol. 18 No.1.

Program Studi Akuntansi Universitas Stikubank. Halaman 88. 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250)

7 Pasal 2. Ibid

5

mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau

anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif,

pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau

keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.8

Proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu kriteria-

kriteria tertentu yang dapat mendukung dan menjaga independensi Komisi

Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Proses seleksi yang melibatkan

Presiden sebagai eksekutif dengan bantuan panitia seleksi serta Dewan

Perwakilan Rakyat sebagai legislatif, hal ini seperti yang diamanatkan Pasal

30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a9 dipilih oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang

diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.10

Calon-calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terpilih

disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat tujuh hari kerja terhitung

sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik

Indonesia.11

8Lihat penejelasan pasal 3. Ibid

9 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi

Pemberantasan Korupsi. Pasal 21 ayat (1) huruf a. Ibid 10

Pasal 30 ayat (1). Ibid 11

Pasal 30 ayat (12). Ibid. Dalam ketentuan pasal 30 ayat (12) ini masih dinyatakan

bahwa status presiden yang mengesahkan pengangkatan Pimpinan KPK itu adalah Presiden dalam

kapasitasnya sebagai kepala negara. Padahal, alam paradigma pemikiran sistem presidensil yang

dewasa ini dianut oleh UUD 1945 sesudah perubahan keempat tidak lagi membedakan dan apalagi

6

Melihat proses pemilihan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dapat

menjadi belengguh pada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam

konteks fungsi pengawasan, DPR mempunyai hak untuk mengajukan

pernyataan setuju atau tidak setuju dan tidak dapat melakukan technical

selection seperti yang dilakukan panitia seleksi (pansel). Namun faktanya,

proses pemilihan oleh DPR bersifat technical selection disertai dengan

potensi konflik kepentingan dan political intervention. Proses rekrutmen pada

suatu lembaga negara yang sifatnya independen sebaiknya meniadakan

kelibatkan eksekutif atau legislatif karena berpotensi timbul pengaruh

politik.12

Membandingkan pola rekrutmen pimpinan lembaga negara di

Indonesia, ada ketidakseragaman dalam melakukan proses rekrutmen. Telah

terjadi tindakan diskriminatif dalam proses rekrutmen pimpinan KPK

dibandingkan lembaga lainnya. KPK adalah satu-satunya lembaga yang

proses rekrutmen dan susunan pimpinannya, terutama ketuanya, ditentukan

oleh DPR. Padahal lembaga lainnya yang independen, menentukan sendiri

pemilihan ketuanya.13

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

menelaah tentang proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

memisahkan antara status Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Lihat

Jimly Asshidiqqie. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpress. 12

Bambang Widjojanto. Pada saat memberikan keterangan dalam pengujian Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi.

Jakarta. Selasa 15 April 2014. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id. Diakses pada 12 Oktober

2015 13

Mahfud MD. Ragukan Seleksi Capin KPK di DPR. Tempo. 13 September 2015

7

yang melibatkan Presiden dengan panitia seleksi serta Dewan Perwakilan

Rakyat jika melihat dari perspektif lembaga negara yang independent, oleh

karena itu penulis mengangkat dengan judul “Analisa Yuridis Proses

Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Menuju Independensi

Komisi Pemberantasan Korupsi”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana proses ideal seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

untuk mewujudkan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui proses ideal seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi untuk mewujudkan independensi Komisi Pemberantasan

Korupsi?

8

D. Manfaat Penulisan

Atas dasar latar belakang, maksud dan tujuan sebagaimana penulis uraikan

diatas maka penulis berharap penulisan hukum ini dapat mempunyai manfaat

sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

pengembangan studi, teori-teori serta menambahkan pengetahuan ilmu

hukum tata negara di Indonesia.

2. Secara Praktis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat sumbangan

pemikiran dalam hukum tata negara di Indonesia. Khususnya dalam

kajian terkait independensi lembaga-lembaga negara.

E. Kegunaan

1. Bagi Penulis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan

mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut

hukum tata negara.

2. Bagi Pemerintah

Penulisan hukum ini diharapkan dapat menjadi masukan, sumbangan

pemikiran, serta kontribusi bagi pemerintah untuk terus berbenah dalam

peraturan perundang-undangan dan terkait ketatanegaraan di Indonesia.

9

3. Bagi masyarakat

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

sumbangan pemikiran pada masyarkat luas tentang sistem ketatanegaraan

di Indonesia.

F. Metode Penulisan

1. Metode Pendekatan

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian

masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai

tujuan penelitian atau penulisan.14

Sebuah penelitian tidak akan lepas dari

metode yang akan digunakan, dalam kaitannya dengan permasalahan

yang dikemukakan maka metode yang digunakan adalah metode yuridis

normatif.15

Menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti undang-undang dan

didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok permasalahan,

melihat hukum sebagai norma yang ada di masyarakat. Peneliti perlu

menggunakan pendekatan dalam setiap analisisnya. Pendekatan ini

bahkan akan dapat menentukan nilai dari hasil penelitian tersebut.16

Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni

14

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti. Halaman 112. 15

Soejono Soekamto dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press. Halaman 13-14. 16

Dr. Mukti fajar ND dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Emiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 184

10

dengan mempelajari jurnal-jurnal, buku-buku, peraturan perundang-

undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.17

2. Jenis Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer18

: Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945, Undang-Undang Undang-Undang Nomor 28 Tahun

1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-

17

Op.cit. Halaman 52 18

Bambang Sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, halaman. 116. Bambang mengemukakan bahwa bahan hukum primer yaitu bahan hukum

yang mengikat yang terdiri dari, 1). Norma atau kaidah dasar pembukaan UUD 1945. 2). Peraturan

dasar , yaitu UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 3). Peraturan perundang-undangan. 4).

Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat. 5). Yurisprudensi. 5). Traktat. 7).

Bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku. Dalam UU No. 12 Tahun 2011

tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa peraturan perundang-

undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang dan mengikat secara umum.

11

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang.

b. Bahan Hukum Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh

dari studi pustaka berupa buku-buku, jurnal-jurnal, makalah atau

sumber-sumber yang lain yang berhubungan dengan penulisan

skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer

dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus

hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum : Studi Dokumen, Studi Pustaka

Teknik Analisa Bahan Hukum : Analisa terhadap bahan hukum yang

dalam penulisan hukum yang normatif19

adalah analisis (content

analysis), analisa perbandingan (comparative anlysis), analisa

kesesuaian dan atau analisa keselarasan.

G. Sistematika Penulisan

19

Menurut Hans Kelsen, dalam kenyataan, hukum, moral dan politik saling terjalin secara

erat. Karena itu orang harus mendekati hukum pada struktur formalnya. Padanya keberlakuan

normatif cocok. Positivitas dan keberlakuan kaidah hukum tidak diidentikan. Positivitas, di

samping efektivitas, adalah syarat mutlak (noodzakelijke voorwaarde) untuk keberlakuan normatif

suatu tatanan hukum. Lihat J.J.H. Bruggink. 1999. Refleksi tentang Hukum. Bandung: PT. Cipta

Aditya Bakti. Halaman 151-152.

12

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab dan

masing-masing bab terdiri atas sub bab yang bertujuan agar mempermudah

pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut20

BAB 1 PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat pendahuluan yangmeliputi latar belakang,

ruusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang kajian-kajian teoritik yang berkaitan dengan

permasalahan yang diangkat, antara lain lembaga negara, peran dan

wewenang DPR dalam seleksi pimpinan lembaga negara, menata proses

seleksi pimpinan lembaga negara yang sesuai dengan sistem ketatanegaraan.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi mengenai uraian pembahasan yang diangkat oleh penulis

serta dianalisis secara content, comparative, dan dianalisa kesesuaian atau

keselarasan berdasarkan kenyataan yang ada (yang terjadi) didukung dengan

teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini.

20

2012. Pedoman Penulisan Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Muhammadiyah

Malang. Halaman 22-24.

13

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisi

kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisi saran penulis dalam

menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kajian.