Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi
merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas
oleh manusia secara maksimal. Pengertian korupsi berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal
2 ayat (1) adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”.
Dalam hal pengertian yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, maka secara implicit, maupun eskplisit, terkandung
pengertian tentang keuangan atau kekayaan milik „pemerintah‟, atau „swasta‟,
maupun „masyarakat‟, baik secara keseluruhan maupun sebagian, sebagai
unsur pokok atau elemen yang tidak terpisahkan dari pengertian negara.1
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1 Lihat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3874)
2
Di Indonesia kasus korupsi sangat memprihatinkan, kondisi dua tahun
terakhir, 2013-2014 korupsi di Indonesia semakin meningkat dari dua tahun
sebelumnya. Kondisi tersebut menunjukan kurang efektifnya pemberantasan
korupsi di Indonesia, yang menyebabkan koruptor tidak pernah jera dan
selalu memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.
Tren korupsi terindikasi berdasarkan perkembangan kasus yang
semakin meningkat. Jumlah kasus dan tersangka korupsi dalam kurung waktu
2011-2014, cenderung menurun pada 2011-2012 namun meningkat pada
2013-2014.2
Tabel 1 Daftar kasus dan tersangka korupsi
Tahun Jumlah Kasus Jumlah Kerugian Negara
2010 448 1157 2,1 T
2011 436 1056 10 T
2012 402 887 10,4 T
2013 560 1271 7,4 T
2014 629 1328 5,29 T
Data diolah oleh ICW berdasarkan jumlah kasus dan tersangka yang ditangani
oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK.
2ICW. 2015. Tren Korupsi Naik Lagi. Kompas Edisi 18 Agustus 2015. Jakarta
3
Data kasus yang ditangani oleh KPK sejak awal berdiri pada tahun
2003 hingga 2015 sebagai berikut.3
Tabel 2 Data penanganan korupsi oleh KPK (per 30 September 2015).
Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang
belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Komitmen politik dan seruan masyakarat untuk memberantas korupsi
dapat menjadi pendorong dan amunisi bagi KPK untuk meningkatkan
peranannya. Hasil studi komprehensif dan pengkajian oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP)4 yang dituangkan dalam buku ”Strategi
Pemberantasan Korupsi Nasional” menyimpulkan bahwa salah satu penyebab
3 Data diambil dari http://acch.kpk.go.id/statistik. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2015
4 Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang dilakukan pemerintah,
dibentuk suatu badan yang khusus melakukan pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP). Lihat Adrian Sutedi. 2012. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Sinar
Grafika
Penindakan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Penyelidikan 23 29 36 70 70 67 54 78 77 81 80 67
Penyidikan 2 19 27 24 47 37 40 39 48 70 56 31
Penuntutan 2 17 23 19 35 32 32 40 36 41 50 47
Inkracht 0 5 17 23 23 39 34 34 28 40 40 25
Eksekusi 0 4 13 23 24 37 36 34 32 44 48 25
4
kegagalan pemberantasan korupsi adalah lemahnya aparat pemerintah yang
menangani korupsi.5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi.6 Pasal 1
undang-undang ini menentukan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi
merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini, nama Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)7. Status hukum komisi ini secara tegas
ditentukan sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh dan kekuasaan
manapun.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Kekuasaan manapun disini adalah kekuatan yang dapat
5 Achmad Badjuri. 2011. Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Sebagai
Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia. Semarang. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol. 18 No.1.
Program Studi Akuntansi Universitas Stikubank. Halaman 88. 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250)
7 Pasal 2. Ibid
5
mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau
anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif,
pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau
keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.8
Proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu kriteria-
kriteria tertentu yang dapat mendukung dan menjaga independensi Komisi
Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Proses seleksi yang melibatkan
Presiden sebagai eksekutif dengan bantuan panitia seleksi serta Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai legislatif, hal ini seperti yang diamanatkan Pasal
30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a9 dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang
diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.10
Calon-calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terpilih
disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
kepada Presiden Republik Indonesia paling lambat tujuh hari kerja terhitung
sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden Republik
Indonesia.11
8Lihat penejelasan pasal 3. Ibid
9 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pasal 21 ayat (1) huruf a. Ibid 10
Pasal 30 ayat (1). Ibid 11
Pasal 30 ayat (12). Ibid. Dalam ketentuan pasal 30 ayat (12) ini masih dinyatakan
bahwa status presiden yang mengesahkan pengangkatan Pimpinan KPK itu adalah Presiden dalam
kapasitasnya sebagai kepala negara. Padahal, alam paradigma pemikiran sistem presidensil yang
dewasa ini dianut oleh UUD 1945 sesudah perubahan keempat tidak lagi membedakan dan apalagi
6
Melihat proses pemilihan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
menjadi belengguh pada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam
konteks fungsi pengawasan, DPR mempunyai hak untuk mengajukan
pernyataan setuju atau tidak setuju dan tidak dapat melakukan technical
selection seperti yang dilakukan panitia seleksi (pansel). Namun faktanya,
proses pemilihan oleh DPR bersifat technical selection disertai dengan
potensi konflik kepentingan dan political intervention. Proses rekrutmen pada
suatu lembaga negara yang sifatnya independen sebaiknya meniadakan
kelibatkan eksekutif atau legislatif karena berpotensi timbul pengaruh
politik.12
Membandingkan pola rekrutmen pimpinan lembaga negara di
Indonesia, ada ketidakseragaman dalam melakukan proses rekrutmen. Telah
terjadi tindakan diskriminatif dalam proses rekrutmen pimpinan KPK
dibandingkan lembaga lainnya. KPK adalah satu-satunya lembaga yang
proses rekrutmen dan susunan pimpinannya, terutama ketuanya, ditentukan
oleh DPR. Padahal lembaga lainnya yang independen, menentukan sendiri
pemilihan ketuanya.13
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
menelaah tentang proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
memisahkan antara status Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Lihat
Jimly Asshidiqqie. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpress. 12
Bambang Widjojanto. Pada saat memberikan keterangan dalam pengujian Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi.
Jakarta. Selasa 15 April 2014. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id. Diakses pada 12 Oktober
2015 13
Mahfud MD. Ragukan Seleksi Capin KPK di DPR. Tempo. 13 September 2015
7
yang melibatkan Presiden dengan panitia seleksi serta Dewan Perwakilan
Rakyat jika melihat dari perspektif lembaga negara yang independent, oleh
karena itu penulis mengangkat dengan judul “Analisa Yuridis Proses
Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Menuju Independensi
Komisi Pemberantasan Korupsi”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana proses ideal seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk mewujudkan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk mengetahui proses ideal seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk mewujudkan independensi Komisi Pemberantasan
Korupsi?
8
D. Manfaat Penulisan
Atas dasar latar belakang, maksud dan tujuan sebagaimana penulis uraikan
diatas maka penulis berharap penulisan hukum ini dapat mempunyai manfaat
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan studi, teori-teori serta menambahkan pengetahuan ilmu
hukum tata negara di Indonesia.
2. Secara Praktis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat sumbangan
pemikiran dalam hukum tata negara di Indonesia. Khususnya dalam
kajian terkait independensi lembaga-lembaga negara.
E. Kegunaan
1. Bagi Penulis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan
mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut
hukum tata negara.
2. Bagi Pemerintah
Penulisan hukum ini diharapkan dapat menjadi masukan, sumbangan
pemikiran, serta kontribusi bagi pemerintah untuk terus berbenah dalam
peraturan perundang-undangan dan terkait ketatanegaraan di Indonesia.
9
3. Bagi masyarakat
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
sumbangan pemikiran pada masyarkat luas tentang sistem ketatanegaraan
di Indonesia.
F. Metode Penulisan
1. Metode Pendekatan
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian
masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai
tujuan penelitian atau penulisan.14
Sebuah penelitian tidak akan lepas dari
metode yang akan digunakan, dalam kaitannya dengan permasalahan
yang dikemukakan maka metode yang digunakan adalah metode yuridis
normatif.15
Menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti undang-undang dan
didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok permasalahan,
melihat hukum sebagai norma yang ada di masyarakat. Peneliti perlu
menggunakan pendekatan dalam setiap analisisnya. Pendekatan ini
bahkan akan dapat menentukan nilai dari hasil penelitian tersebut.16
Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni
14
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti. Halaman 112. 15
Soejono Soekamto dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press. Halaman 13-14. 16
Dr. Mukti fajar ND dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Emiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 184
10
dengan mempelajari jurnal-jurnal, buku-buku, peraturan perundang-
undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.17
2. Jenis Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer18
: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Undang-Undang Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
17
Op.cit. Halaman 52 18
Bambang Sunggono, 1998, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, halaman. 116. Bambang mengemukakan bahwa bahan hukum primer yaitu bahan hukum
yang mengikat yang terdiri dari, 1). Norma atau kaidah dasar pembukaan UUD 1945. 2). Peraturan
dasar , yaitu UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR. 3). Peraturan perundang-undangan. 4).
Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat. 5). Yurisprudensi. 5). Traktat. 7).
Bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku. Dalam UU No. 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
11
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang.
b. Bahan Hukum Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh
dari studi pustaka berupa buku-buku, jurnal-jurnal, makalah atau
sumber-sumber yang lain yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini.
c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer
dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus
hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum : Studi Dokumen, Studi Pustaka
Teknik Analisa Bahan Hukum : Analisa terhadap bahan hukum yang
dalam penulisan hukum yang normatif19
adalah analisis (content
analysis), analisa perbandingan (comparative anlysis), analisa
kesesuaian dan atau analisa keselarasan.
G. Sistematika Penulisan
19
Menurut Hans Kelsen, dalam kenyataan, hukum, moral dan politik saling terjalin secara
erat. Karena itu orang harus mendekati hukum pada struktur formalnya. Padanya keberlakuan
normatif cocok. Positivitas dan keberlakuan kaidah hukum tidak diidentikan. Positivitas, di
samping efektivitas, adalah syarat mutlak (noodzakelijke voorwaarde) untuk keberlakuan normatif
suatu tatanan hukum. Lihat J.J.H. Bruggink. 1999. Refleksi tentang Hukum. Bandung: PT. Cipta
Aditya Bakti. Halaman 151-152.
12
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab dan
masing-masing bab terdiri atas sub bab yang bertujuan agar mempermudah
pemahamannya. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut20
BAB 1 PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memuat pendahuluan yangmeliputi latar belakang,
ruusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang kajian-kajian teoritik yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat, antara lain lembaga negara, peran dan
wewenang DPR dalam seleksi pimpinan lembaga negara, menata proses
seleksi pimpinan lembaga negara yang sesuai dengan sistem ketatanegaraan.
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi mengenai uraian pembahasan yang diangkat oleh penulis
serta dianalisis secara content, comparative, dan dianalisa kesesuaian atau
keselarasan berdasarkan kenyataan yang ada (yang terjadi) didukung dengan
teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini.
20
2012. Pedoman Penulisan Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Muhammadiyah
Malang. Halaman 22-24.