Upload
ngokhue
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi penjelasan yang melatarbelakangi timbulnya isu penelitian serta
motivasi dilakukannya penelitian ini. Bab ini juga menjelaskan fenomena dan
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan profesionalisma dan independensi auditor
yang ditinjau dari sisi psikologis dan sosiologis. Selain itu, bab ini juga berisi tentang
pertanyaan penelitian, tujuan dan kontribusi dari penelitian. Bagian ini diakhiri
dengan sistematika penulisan disertasi.
I. Latar Belakang Masalah
Skandal audit di Amerika seperti Enron dengan Arthur Andersen, Xerox
dengan KPMG, dan Barclays dengan Price Waterhouse Copper (PWC), dan di
Indonesia seperti Bank Summa dengan KAP (Kantor Akuntan Publik) Andersen, dan
PT Kimia Farma Tbk dengan KAP Hans Tuannakota telah menimbulkan keraguan
publik terhadap independensi auditor. Hal ini disebabkan perusahaan yang terlibat
skandal tersebut telah diaudit dan mendapat opini audit wajar tanpa pengecualian
(unqualified opinion) tetapi perusahan-perusahaan tersebut pada tahun berikutnya
terbukti melakukan kecurangan dalam penyajian laporan keuangannya.
Kondisi ini tidak dapat dipungkiri karena KAP harus menjaga kelangsungan
usahanya dan di lain pihak, perusahaan teraudit memerlukan opini audit wajar tanpa
pengecualian untuk menurunkan konflik keagenan serta untuk memenuhi aturan yang
berlaku. Arthur Andersen dianggap kurang independen terhadap Enron karena Arthur
2
Andersen memiliki kepentingan ekonomi yang besar pada Enron (Zeff, 2003). Hal ini
nampak bahwa pada tahun sebelum skandalnya terungkap, Enron merupakan klien
penting bagi Arthur Andersen karena mampu memberikan pendapatan sebesar $25
juta untuk jasa audit dan $27 juta untuk jasa konsultasi dan jasa yang lain (Kadlec,
2002). Demikian juga dengan fenomena kebankrutan bank Summa dan skandal
manipulasi laporan keuangan oleh PT Kimia Farma Tbk. Sebelum bangkrut, bank
tersebut mendapat opini audit wajar tanpa pengecualian (Media Akuntansi, 2001: 6-7)
demikian juga dengan PT Kimia Farma Tbk, sebelum skandalnya terungkap, diberi
opini audit wajar tanpa pengecualian. PT Kimia Farma Tbk telah melaporkan laba
bersih sebesar Rp132 milyar pada tanggal 31 Desember 2001. Auditor dari KAP
Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) berdalih bahwa mereka telah melakukan
prosedur pengauditan dengan benar dan tidak menemukan adanya kesalahan dalam
penyajian laporan keuangan.
Isu mengenai independensi pada auditor akan selalu terjadi dalam hubungan
antara auditor dan teraudit karena keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
Teraudit harus menyajikan laporan keuangan yang andal untuk memenuhi peraturan
yang ditetapkan1, memenuhi kontrak pendanaan eksternal, memberi sinyal yang
bagus pada investor, serta memenuhi kebutuhan pelanggan dan supplier. Untuk
menguatkan keterandalan laporan keuangan tersebut, teraudit membutuhkan opini
1UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 68 (1) menyatakan bahwadireksi wajib menyerahkan laporan keuangan perseroan kepada akuntan publik untuk diaudit apabila (a) kegiatan usaha perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, (b) perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, (c) perseroan merupakan perseroan terbuka, (d) perseroan merupakan persero, (e) perseroan mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan jumlah nilai paling sedikit Rp50.000.000.000, atau (f) diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
3
dari auditor. Opini audit wajar tanpa pengecualian terutama dari auditor yang
memiliki reputasi bagus dianggap dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap
laporan keuangan yang disajikan (Francis dan Wilson, 1988). Oleh karena itu teraudit
akan berusaha untuk mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian dari auditor. Pada
sisi yang lain, auditor harus mengikuti standar audit yang telah ditetapkan oleh
organisasi profesi akuntan publik (Indonesia: IAPI atau Institut Akuntan Publik
Indonesia) ketika menjalankan tugas pengauditan sehingga ketika auditor
menghadapi teraudit yang memiliki keinginan seperti di atas maka akan muncul
dilema etis di dalam dirinya.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
mengukur tingkat independensi auditor pada level KAP yaitu dengan mendasarkan
pada kemungkinan auditor mengeluarkan opini mengenai going-concern
modifikasian (Robinson, 2008; Callaghan et al., 2009; Li, 2009; Ruiz-Barbadillo et
al., 2009), kemungkinan teraudit mendapat opini audit dengan kualifikasi dan tingkat
managemen laba (Gul et al., 2009), keagresifan teraudit dalam laporan keuangan
yang mereka buat, tingkat ongkos nonaudit dan tingkat managemen laba (Gul et al.,
2003), tingkat ongkos nonaudit dan tingkat konservatisma (Ruddock et al., 2006).
DeFond dan Francis (2005) serta Chen et. al. (2010) menyatakan bahwa penelitian
tentang independensi dengan menggunakan analisis pada aras KAP kurang mampu
menangkap kinerja auditor secara individual. DeFond dan Francis (2005) menyatakan
bahwa untuk memperluas pemahaman terhadap perilaku auditor dan kualitas audit,
pengujian dengan aras analisis individual akan melengkapi pengujian dengan aras
analisis KAP. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan aras individual dalam
4
analisis terhadap kinerja auditor dengan mengukur tingkat independensi auditor
berdasarkan kemampuan auditor dalam mengatasi dilema etis ketika menghadapi
tekanan dari teraudit.
Penelitian dengan menggunakan aras individual sebagai unit analisisnya juga
sejalan dengan handbook yang dikeluarkan IFAC (International Federation of
Acountants) mengenai pedoman pelaksanaan pengauditan yang menyatakan bahwa
standar pengauditan internasional digunakan untuk mengatur pelaksanaan audit oleh
auditor baik secara individu maupun kelompok, biasanya partner yang menerima
penugasan (engagement partner) atau anggota lain dalam tim penugasan. Kantor
akuntan publik hanya diwajibkan untuk membuat sistem pengendalian kualitas untuk
audit dan telaah terhadap laporan keuangan. Selain itu, Standar Profesional Akuntan
Publik secara umum juga mengatur perilaku auditor secara individual dan bukan
KAP. Analisis terhadap pembuatan keputusan auditor secara individual akan dapat
memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai kinerja KAP secara
keseluruhan.
Perilaku independen dari auditor akan nampak ketika auditor mampu
mengatasi tekanan dari teraudit yang sangat berkepentingan dengan laporan keuangan
auditan. Teraudit akan mempengaruhi auditor untuk memberi pendapat sesuai dengan
kepentingannya. Kondisi ini mengakibatkan teraudit sering melakukan belanja opini
(opinion shopping) untuk mempengaruhi auditor dalam memberikan opini auditnya.
Di pihak auditor, jika teraudit merupakan klien “penting” (memberi pendapatan yang
5
signifikan) maka auditor akan dihadapkan pada posisi yang sulit dalam memberikan
pendapat yang objektif atas laporan keuangan yang diauditnya.2
Silvers (2007) mengemukakan bahwa pada saat ini para profesional, termasuk
auditor, lebih mengutamakan untuk memaksimumkan pendapatan dibandingkan
menjaga profesionalisma mereka. Hal ini akan mengakibatkan perilaku auditor
menjadi tidak independen sehingga hasil kerja dan loyalitas auditor tidak dipercaya
oleh masyarakat. Jika profesionalisma auditor dipertanyakan oleh publik maka tata
kelola perusahaan yang bagus dan pengembangan pasar modal suatu negara tidak
akan bekerja secara optimal. Oleh karena itu, auditor yang bertindak profesional akan
menjadi penjaga gawang (gatekeeper) bagi efektifitas pelaksanaan tata kelola
perusahaan yang bagus yang selanjutnya mendorong pengembangan pasar modal di
suatu negara (Silvers, 2007).
IAI dan IAPI telah membuat kebijakan untuk mengatur kembali proses
pendidikan akuntansi di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan
profesionalisma akuntan, termasuk juga auditor (Akuntan Indonesia, 2012: 8).
Auditor diwajibkan untuk mengikuti ujian sertifikasi akuntan publik (USAP) dan
mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan (PPL). Langkah-langkah yang
diambil oleh IAPI ini lebih menitikberatkan pada pengembangan pengetahuan dan
ketrampilan auditor. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah peningkatan
2 Goodwin (2002) serta Brown dan Wright (2008) menyatakan bahwa konflik antara auditor dan teraudit dapat diatasi dengan empat macam gaya managemen konflik yang dilakukan auditor yaitu dengan (1) strategi mendominasi (contending/dominating strategy),(2) strategi membantu (concessionary/obliging strategy),(3) strategi berkompromi (compromising strategy), dan (4) strategi menghindar (avoiding strategy).
6
profesionalisma auditor dengan melakukan restrukturisasi pendidikan profesi sudah
cukup untuk meningkatkan independensi auditor.
Carey (2008) mengatakan bahwa untuk menjadi akuntan atau auditor yang
profesional tidak cukup hanya meningkatkan pengetahuan dan keahlian saja tetapi
juga harus menjaga dan mengembangkan nilai-nilai profesional. Carrington (2010)
menyatakan bahwa kualitas audit dipengaruhi oleh penampilan profesional dari
auditor dan penampilan profesional ini tidak dapat dilepaskan dari proses audit yang
dilakukan. Pengembangan nilai-nilai profesional dilakukan selama auditor bekerja
dan pengembangan nilai-nilai ini akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia
bekerja dan bagaimana ia berinteraksi di dalam lingkungan kerja atau di dalam
organisasi profesinya (Lui et al., 2003).
Lui et al. (2003) mendefinisikan profesionalisma dari perspektif sosialisasi.
Berdasarkan perspektif ini, profesionalisma dapat dipandang sebagai nilai-nilai,
sasaran-sasaran, dan norma-norma yang dipelajari melalui sosialisasi profesional.
Proses sosialisasi ini memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan banyak agen
sosialisasi yaitu sekolah, organisasi profesional, dan tempat bekerja. Profesionalisma
terbentuk sejalan dengan jenjang karir yang dilalui oleh seorang profesional di dalam
suatu organisasi. Oleh karena itu tingkat profesionalisma akan dipengaruhi oleh
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh organisasinya. Lui et al. (2003)
menemukan bahwa profesionalisma akan mempengaruhi sikap kerja seseorang yang
ditunjukkan oleh meningkatnya kepuasan kerja dan identifikasi profesional, serta
menurunnya keinginan untuk keluar dari pekerjaannya. Selanjutnya, sikap kerja akan
mempengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja (Salancik dan Pfeffer, 1978).
7
Profesionalisma merupakan dasar atau pedoman bagi pekerja profesional
untuk bersikap dan berperilaku dalam pekerjaannya. Bagi seorang auditor, perilaku
kerja yang harus ditunjukkan kepada masyarakat adalah sikap independen yaitu
dengan memberi pendapat yang objektif atau tidak memihak pada pihak-pihak yang
memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan yang diauditnya. Jadi, semakin
tinggi tingkat profesionalisma yang dimiliki oleh auditor diharapkan ia menjadi
semakin independen terhadap kliennya ketika menghadapi konflik dengan kliennya.
Pengembangan profesionalisma auditor sangat tergantung pada lingkungan tempat ia
bekerja dan bagaimana nilai-nilai profesionalisma di organisasi profesinya
ditanamkan.
Penelitian ini menggunakan perspektif psikologis-sosiologis dalam rerangka
teori kognitif sosial (social cognitive theory) untuk menjelaskan perilaku auditor
dalam kaitannya dengan penyelesaian dilema etis yang dihadapinya ketika dirinya
dihadapkan dengan kepentingan yang besar dari teraudit agar memberi opini wajar
tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan yang disajikan. Dilema etis terjadi
ketika di satu sisi menghadapi tekanan dari teraudit yang besar dan di sisi yang lain
harus tetap menjaga nilai-nilai profesionalisma. Penyelesaian terhadap dilema etis
akan tercermin pada kemampuan auditor dalam mempertahankan independensinya.
Penelitian ini bertujuan menguji peran konteks kerja dalam pengembangan
profesionalisma auditor dan kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional dalam
meningkatkan kemampuan auditor dalam bertindak independen. Berdasar teori
kognitif sosial, penelitian ini bermaksud menguji peran konteks kerja dan lingkungan
hukum dalam membentuk kognitif seseorang dan perilaku seseorang.
8
Teori kognitif sosial ini dikenalkan oleh Bandura pada tahun 1986 yang
merupakan pengembangan dari teori pembelajaran sosial (social learning theory)
yang juga pernah ditulis oleh Bandura pada tahun 1977. Menurut teori kognitif sosial,
ada tiga aspek yang saling berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan individu
yaitu kognitif (dan faktor personal lain), lingkungan, serta perilaku. Perilaku
independen dari auditor adalah manifestasi dari proses kognitif yang dilakukan
auditor dalam memproses informasi. Informasi ini tidak hanya berasal dari
pengalaman dirinya, tetapi juga melibatkan konteks sosial tempat auditor berinteraksi
dan pengalaman orang lain di masa lalu. Informasi yang berasal dari konteks sosial
dan dari pengalaman orang lain disebut sebagai informasi sosial (Salancik dan
Pfeffer, 1978). Pemrosesan informasi sosial berkaitan dengan pembelajaran yang
dilakukan seseorang selama ia berinteraksi di dalam suatu lingkungan tertentu.
Munculan dari pemrosesan informasi ini akan dapat digunakan untuk membentuk
regulasi diri yang selanjutnya akan membentuk sistem diri. Munculan dari
pemrosesan informasi sosial yang dilakukan dalam interaksinya dengan lingkungan
tempat ia bekerja akan nampak pada tingkat profesionalismanya. Tingkat
profesionalisma ini akan menentukan seberapa besar identifikasi profesionalnya
dibandingkan dengan identifikasinya pada organisasi.
Menurut Bandura (2001), regulasi diri berhubungan dengan kapasitas untuk
mengkoordinasikan proses kognitif, afektif, dan keperilakuan untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan. Regulasi diri ini akan membentuk efikasi diri yang dapat
digunakan sebagai pedoman bagi seseorang agar dapat melakukan tindakan sesuai
sasaran yang ditetapkan. Profesionalisma yang dimiliki oleh auditor merupakan
9
regulasi diri bagi auditor agar ia dapat menghasilkan audit yang berkualitas. Jadi,
profesionalisma sebenarnya merupakan hasil atau munculan dari pemrosesan
informasi sosial yang dilakukan oleh auditor. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi
profesional juga merupakan munculan dari proses kognitif auditor dalam menghadapi
risiko mendapat sanksi profesional. Tinggi rendahnya kekhawatiran akan tergantung
pada pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain ketika keliru dalam
memberikan pendapat.
Simon (1957), dikutip oleh Bazerman (1994), mengatakan bahwa manusia
memiliki keterbatasan dalam rasionalitasnya (bounded rationality) sehingga ia tidak
selalu dapat memproses informasi dengan baik. Hal ini mengakibatkan keputusan
yang dibuat menjadi tidak optimal. Keterbatasan di dalam rasionalitas ini akan
menimbulkan bias kognitif selama pemrosesan informasi sehingga akan
menimbulkan regulasi diri yang mungkin tidak rasional. Di dalam pemrosesan
informasi sosial, faktor lingkungan memiliki peran besar dalam menimbulkan bias
kognitif. Bias kognitif yang dialami auditor mengakibatkan pembentukan
profesionalisma di dalam dirinya menjadi tidak optimal dan mungkin cenderung
menjadi tidak rasional. Ketika auditor berada di dalam lingkungan yang mendukung
pengembangan nilai-nilai profesional maka profesionalisma auditor akan meningkat,
tetapi jika lingkungan tidak mendukung pengembangan nilai-nilai profesional maka
berangsur-angsur profesionalisma yang dimiliki auditor akan luntur.
Lingkungan kerja (konteks kerja) dapat menjadi sumber bias kognitif karena
masing-masing organisasi memiliki tata cara dan struktur organisasi yang berbeda-
beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor di KAP big 4 memiliki komitmen
10
independensi yang lebih rendah dibandingkan auditor di KAP non big 4 (Gendron et
al., 2006; Suddaby et al., 2009). Suddaby et al. (2009) mengatakan bahwa di KAP
big 4, prosedur operasi standar tersusun dengan baik dan prosedur ini digunakan
sebagai pedoman bagi setiap anggota organisasi dalam menjalankan pekerjaaannya.
Prosedur operasi standar yang digunakan sebagai pedoman untuk melakukan
pengauditan mengakibatkan auditor kurang memiliki kesempatan untuk
menggunakan autonominya untuk menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam
membuat keputusan. Ketika auditor memutuskan untuk tetap bekerja pada KAP
tersebut maka nilai-nilai profesionalismanya berangsur-angsur akan berkurang dan
dikompromikan dengan nilai-nilai organisasional yang berlaku di dalam KAP
tersebut. Sikka (2009) mengatakan bahwa sebagian besar akuntan bekerja di dalam
suasana birokratis yang dijalankan dengan logika komersial dibandingkan
profesional. Di dalam struktur organisasi yang seperti ini, akuntan akan terus menerus
mengalami proses pendisiplinan yang memprioritaskan nilai-nilai organisasional
dibandingkan nilai-nilai profesional sehingga pada akhirnya nilai-nilai profesional
dikalahkan oleh nilai-nilai dan kebijakan organisasional. Penurunan profesionalisma
ini akan berakibat pada penurunan kualitas audit yang ditunjukkan oleh perilku
independensi terhadap teraudit.
Bentuk bisnis baru yang dilakukan oleh KAP big 4 mengakibatkan auditor
menjadi bias dalam memproses informasi karena di tempat kerja ia berinteraksi
dengan banyak profesional lain yang memiliki nilai-nilai profesional yang berbeda-
beda (Sikka, 2009). Sudabby et al. (2009) mengatakan bahwa KAP big 4 umumnya
menawarkan lebih banyak jasa, selain jasa audit, dibandingkan KAP non big 4. Hal
11
ini membawa konsekuensi bahwa banyak orang dengan latar belakang profesi yang
bermacam-macam bekerja KAP big 4. Setiap profesi memiliki norma-norma dan
nilai-nilai profesional sehingga masing-masing profesi akan memperlakukan kliennya
dengan cara yang berbeda-beda. Konsultan cenderung akan memberi perhatian pada
kepuasan kliennya dengan mengakomodasi segala keinginan dan kebutuhannya. Di
sisi lain, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut auditor justru menghendaki auditor
untuk bertindak objektif dan tidak mengakomodasi keinginan dari kliennya. Auditor
dapat mengalami bias kognitif di dalam memproses informasi ketika auditor secara
tidak sadar melaksanakan pekerjaannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan
norma-norma yang digunakan oleh konsultan. Bias kognitif ini mengakibatkan
pengembangan profesionalismanya tidak optimal dan akhirnya auditor tidak dapat
bertindak independen sehingga opini yang dibuat juga tidak objektif.
Karakteristik hukum dan pelaksanaannya juga akan mempengaruhi kinerja
auditor. Penelitian lintas negara menunjukkan bahwa auditor dari KAP big 4 tidak
selalu menunjukkan kualitas audit yang lebih bagus dibandingkan dengan KAP non
big 4 (Favere-Marches, 2000; Khurara dan Raman, 2004; Francis dan Wang, 2008;
dan Michas, 2011). Francis dan Wang (2008) menemukan bahwa tingkat
perlindungan investor di suatu negara memiliki pengaruh kuat pada kinerja KAP big
4. KAP big 4 yang beroperasi di negara dengan tingkat perlindungan investor yang
lemah menunjukkan kualitas audit yang tidak lebih bagus dibandingkan KAP non big
4. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat perlindungan investor akan
mempengaruhi perilaku auditor. Tingkat perlindungan investor yang lemah
mengakibatkan teraudit berani untuk menekan auditor agar memenuhi keinginan
12
dirinya (Fan dan Wong, 2005). Di sisi lain, auditor juga berani untuk tidak bertindak
independen karena risiko litigasi yang dihadapinya rendah (Francis et al., 2002;
Francis dan Wang, 2008). Auditor di Indonesia kemungkinan juga cenderung untuk
bertindak tidak independen karena Indonesia termasuk negara dengan karakteristik
tingkat perlindungan investor yang lemah (La Porta et al., 2006). Selain itu,
perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki karakteristik kepemilikan yang
terkonsentrasi (Siregar, 2006). Kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan
perusahaan-perusahaan di Indonesia menghadapi masalah keagenan yang besar.
Kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan ekspropriasi dari pemegang saham
mayoritas pada pemegang saham minoritas. Dominasi pemegang saham mayoritas di
dalam perusahaan juga ditunjukkan oleh kurangnya pemisahan yang jelas antara
manager dan pemegang saham mayoritas karena manager juga dijabat oleh pemegang
saham mayoritas. Di dalam perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi pada
keluarga, manager atau direksi dan komisaris yang bukan independen umumnya
berasal atau masih memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham mayoritas.
Dalam kondisi ini, komisaris independen pun kemungkinan juga tidak dapat
berfungsi secara optimal karena dominasi pemegang saham mayoritas yang sangat
kuat. Bahkan berdasarkan penelusuran terhadap hasil rapat umum pemegang saham
(RUPS), penulis menemukan bahwa RUPS pada beberapa perusahaan justru
melimpahkan wewenang kepada direksi untuk mengangkat, menghentikan, dan
memberi kompensasi pada auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan.
Dalam situasi seperti ini, auditor akan memiliki posisi yang sangat lemah ketika
13
mengaudit perusahaan sehingga auditor tidak dapat bertindak independen dan
akhirnya opini yang diberikan tidak objektif.
Berdasar perspektif psikologis, lingkungan hukum akan berpengaruh pada
penilaian seseorang terhadap risiko mendapatkan sanksi. Clarkson et al. (2002)
mengatakan bahwa ketika seseorang melihat adanya efek negatif dari munculan
terhadap suatu tindakan, maka ia akan berhati-hati dalam melakukan tindakan yang
sama di masa depan. Hal ini berarti, munculan negatif dari suatu tindakan yang
diambil akan menurunkan bias kognitif yang muncul dari pemrosesan informasi yang
dilakukan oleh auditor. Semakin tinggi risiko mendapatkan sanksi profesional ketika
auditor keliru dalam memberikan pendapat akan berpengaruh pada kekhawatiran
auditor mendapat sanksi profesional dan selanjutnya kekhawatiran ini akan
meningkatkan independensi auditor. Semakin tinggi kekhawatiran mendapat sanksi
profesional maka semakin rendah keberanian auditor dalam menghadapi risiko
mendapatkan sanksi tersebut. Keberanian ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan
seseorang bahwa ia mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Keberanian
menghadapi risiko ini terbentuk dari proses kognitif yang dialami oleh auditor
maupun pengalaman orang lain terhadap sanksi yang diterima ketika mereka keliru
dalam melakukan pengauditan.
Penelitian ini penting dilakukan di Indonesia karena sebagian besar
perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan dengan struktur kepemilikan yang
terkonsentrasi dan tingkat perlindungan investor yang lemah. Kondisi ini
memungkinkan auditor menghadapi dilema etis yang besar ketika berhadapan dengan
teraudit. Struktur kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan pemisahan antara
14
pemegang saham dan managemen menjadi tidak jelas karena pemegang saham
mayoritas sebagian besar juga menduduki posisi managemen. Oleh karena itu konflik
keagenan lebih banyak terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang
saham minoritas atau dengan kreditur. Hal ini mengakibatkan tekanan yang besar
bagi auditor untuk bertindak independen ketika menghadapi teraudit. Tingkat
perlindungan investor yang lemah akan mengakibatkan auditor cenderung
mendukung kepentingan pihak yang memiliki kekuasaan dan memberi keuntungan
kepada dirinya.
Isu penelitian di atas menjadi menarik untuk diteliti. Peneliti berpendapat
bahwa pengembangan profesionalisma tidak cukup hanya meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai etis yang seharusnya dimiliki oleh seorang
profesional. Tata kelola yang bagus dari KAP menjadi faktor penunjang bagi
keberhasilan auditor dalam menjaga kualitas auditnya yaitu dengan bertindak
independen. Selain penegakan hukum yang efektif, peneliti menduga bahwa konteks
kerja juga memiliki peran penting di dalam pengembangan tingkat profesionalisma
dan independensi auditor. Penelitian ini mengukur konteks kerja dengan membagi
auditor berdasarkan tempat mereka bekerja yaitu di KAP big 4 atau KAP non big 4.
Penelitian ini bermaksud menguji peran konteks kerja dalam pengembangan
profesionalisma auditor dan kualitas pekerjaan auditor yang ditunjukkan dengan
kemampuan auditor mengatasi dilema etis yaitu dengan menunjukkan sikap
independen dan memberi opini audit yang objektif. Selain itu, penelitian ini juga
menguji pengaruh kekhawatiran mendapat sanksi profesional pada independensi
auditor dan apakah konteks kerja berpengaruh pada hubungan keduanya.
15
II. Pertanyaan Penelitian
Di dalam latar belakang telah diuraikan fenomena yang berkaitan dengan skandal
audit. Skandal audit yang melibatkan auditor dan teraudit telah menimbulkan
keraguan publik terhadap independensi auditor ketika ia melakukan pengauditan.
Pertanyaan penting yang muncul dari fenomena di atas adalah apakah auditor secara
individual juga telah kehilangan independensinya ketika ia mengaudit laporan
keuangan dan apakah profesionalisma dapat digunakan untuk mengawal
independensi auditor. Independensi auditor merupakan perilaku yang ditunjukkan
oleh auditor dalam pembuatan keputusan ketika ia menghadapi dilema etis karena
adanya keinginan teraudit terhadap penyajian laporan keuangan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai profesional auditor. Selain itu, berdasar teori kognitif sosial,
lingkungan dapat berpengaruh pada keputusan yang dibuat oleh seseorang. Sehingga
pertanyaan yang diajukan adalah apakah konteks kerja dan tingkat penegakan hukum
akan berpengaruh pada independensi auditor. Berdasar uraian di atas, peneliti
mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Apakah profesionalisma berpengaruh positif pada indepedensi auditor?
b. Apakah konteks kerja berpengaruh pada tingkat profesionalisma dan
independensi auditor?
c. Apakah tingkat penegakan hukum yang termanifestasi di dalam tingkat
kekhawatiran auditor terhadap sanksi profesional yang akan diterima memiliki
tingkat yang berbeda antar konteks kerja?
16
d. Apakah kekhawatiran mendapat sanksi profesional berpengaruh positif pada
peningkatan independensi auditor?
e. Apakah kekhawatiran mendapat sanksi profesional memperkuat hubungan antara
profesionalisma dan independensi.
III. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menguji peran konteks kerja dan kekhawatiran
auditor mendapat sanksi profesional dalam meningkatkan (menurunkan)
profesionalisma dan independensi auditor ketika auditor menghadapi dilema etis.
Penelitian ini dilakukan dalam rerangka teori kognitif sosial. Dengan menggunakan
pendekatan pemrosesan informasi sosial, penelitian ini menguji pengaruh konteks
kerja dan kekhawatiran mendapat sanksi profesional dalam membentuk sikap kerja
dan perilaku individual. Konteks kerja menunjukkan tempat auditor bekerja yaitu
apakah bekerja di KAP big 4 atau non big 4. Kekhawatiran mendapat sanksi
profesional mencerminkan persepsi terhadap risiko bahwa auditor keliru dalam
memberikan pendapat. Variabel ini juga dapat digunakan untuk mengukur besarnya
tingkat percaya diri auditor dalam menghadapi risiko mendapat sanksi profesional.
Secara spesifik, penelitian ini bermaksud menguji:
a. Peran profesionalisma auditor untuk meningkatkan independensinya.
b. Peran konteks kerja dalam pengembangan profesionalisma auditor dan
peningkatan independensi auditor.
17
c. Peran kekhawatiran mendapat sanksi profesional dalam peningkatan
independensi auditor.
III. Motivasi Penelitian
Ada dua hal yang memotivasi peneliti untuk mengambil tema penelitian ini:
a. Sebagian besar perusahaan di Indonesia memiliki struktur kepemilikan yang
terkonsentrasi dan lebih banyak didominasi oleh keluarga. Hal ini mengakibatkan
pemisahan antara manager dan pemegang saham (terutama pemegang saham
mayoritas) menjadi kurang jelas. Konflik kepentingan lebih banyak terjadi antara
pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas atau antara
pemegang saham mayoritas dengan kreditur. Auditor harus dapat mengatasi
konflik ini dengan cara memberi pendapat yang objektif terhadap laporan
keuangan. Ketika pemegang saham mayoritas memiliki kepentingan yang besar
terhadap laporan keuangan dan kepentingan ini berbenturan dengan kepentingan
minoritas atau kreditor maka auditor akan menghadapi dilema yang besar.
b. Indonesia termasuk negara dengan tingkat penegakan hukum yang lemah (La
Porta et al., 1999). Hal ini dapat berakibat pada penurunan kinerja KAP, terutama
KAP besar (Francis dan Wang, 2008 serta Michas, 2011). Francis dan Wang
(2008) mengatakan bahwa tingkat proteksi investor menjadi motivasi bagi auditor
big 4 untuk melakukan audit yang berkualitas. Di Indonesia, auditor big 4
kemungkinan juga menjadi tidak lebih independen dibandingkan auditor non big
4 ketika menghadapi teraudit.
18
Peneliti menduga bahwa kedua hal di atas dapat berpotensi meningkatkan
tekanan teraudit pada auditor. Hal ini dapat menyebabkan auditor mengalami dilema
etis karena ia harus menjalankan audit sesuai dengan norma-norma profesionalnya
dalam kondisi tekanan dari teraudit yang besar. Kemampuan auditor dalam mengatasi
dilema etis ditunjukkan oleh kemampuan auditor bertindak independen. Kemampuan
auditor dalam bertindak independen berhubungan dengan kemampuan membuat
keputusan etis. Berdasar teori kognitif sosial, kemampuan auditor dalam membuat
keputusan etis akan tergantung pada kapasitas kognitif moral yang dimiliki dan
lingkungan tempat ia membuat keputusan. Kapasitas kognitif moral ditunjukkan oleh
profesionalisma dan kekhawatiran mendapat sanksi profesional, sedangkan
lingkungan tempat ia membuat keputusan ditunjukkan oleh karakteristik organisasi
tempat ia bekerja.
IV. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi:
a. Bagi pemerintah, dalam hal ini adalah Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa
Penilai(PPAJP), dan Komite Profesi Akuntan Publik3
Terdapat dua kontribusi yang dapat diberikan kepada kepada pemerintah dan
Komite Profesi Akuntan Publik yaitu:
3 Komite Profesi Akuntan Publik dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 tahun 2012. Tugas komite ini adalah memberikan pertimbangan terhadap (a) kebijakan pemberdayaan, pembinaan, dan pengawasan akuntan publik dan KAP, (b) penyusunan standar akuntansi dan SPAP, dan (c) hal-hal yang berkaitan dengan profesi akuntan publik (diatur di pasal 4).
19
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai peran
konteks kerja dalam peningkatan profesionalisma auditor. Pemberdayaan
dan pembinaan akuntan publik dan KAP tidak hanya berfokus pada
restrukturisasi terhadap sistem pendidikan bagi auditor dan calon auditor
tetapi juga diperlukan restrukturisasi terhadap struktur organisasi KAP yang
dapat mendukung pengembangan profesionalisma auditor.
2) Penelitian ini diharapkan dapat memberi bukti empiris mengenai peran
penegakan peraturan untuk meningkatkan kualitas audit. Substansi peraturan
yang semakin memberatkan tidak cukup untuk meningkatkan kualitas audit,
tetapi yang terpenting adalah pelaksanaan peraturan tersebut secara
konsisten. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional akan
menimbulkan persepsi bahwa melanggar peraturan akan berisiko tinggi bagi
kariernya maka mereka akan berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya.
Hal ini akan meningkatkan kinerja auditor tersebut. Oleh karena itu,
penetapan aturan mengenai sanksi pidana bagi auditor mungkin tidak akan
membantu menyelesaikan masalah independensi jika tidak diikuti dengan
pelaksanaan peraturan tersebut secara konsisten.
b. Bagi pengembangan teori dan metodologi
1) Penelitian ini menggunakan aras analisis pada auditor secara individual
sehingga diharapkan memberi tambahan pemahaman terhadap perilaku
auditor dan kualitas audit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung
penelitian-penelitian sebelumnya yang mengukur tingkat independensi
auditor pada aras KAP.
20
2) Penggunaan auditor sebagai subjek penelitian dan penggunaan metoda
survei berbasis skenario untuk mengamati pembuatan keputusan etis
responden diharapkan dapat memberi alternatif bagi penggunaan metoda
penelitian lain yang sudah digunakan sebelumnya. Pengamatan terhadap
pembuatan keputusan oleh profesional akan lebih mendekati kondisi yang
sebenarnya di dalam praktik. Penelitian mengenai pembuatan keputusan oleh
auditor juga dapat menangkap peran lingkungan dalam mempengaruhi
keputusan auditor.
V. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bab, yaitu pengantar, tinjauan pustaka dan
pengembangan hipotesis, metoda penelitian, hasil penelitian, dan penutup.
Pada bab pengantar diuraikan mengenai isu penelitian yang berkaitan dengan
independensi auditor dengan menunjukkan berbagai fenomena yang terkait dengan
penurunan independensi auditor. Selanjutnya, bab ini juga menjelaskan mengenai
tujuan penelitian ini dilakukan, motivasi penelitian yang menunjukkan relevansi
penelitian ini khususnya di Indonesia, dan terakhir adalah kontribusi penelitian ini
bagi pengembangan profesi akuntansi, pengembangan metodologi, serta
pengembangan teori kognitif sosial di bidang pengauditan.
Bab dua berisi tentang penyebab terjadinya konflik antara auditor dan teraudit
dan bagaimana menyelesaikan konflik tersebut, penjelasan mengenai teori kognitif
sosial secara umum dan penerapannya di dalam organisasi, dan penjelasan tentang
21
bias kognitif di dalam pemrosesan informasi dan dilema etis dalam rerangka teori
kognitif sosial. Di bab ini juga dijelaskan mengenai berbagai penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya terkait dengan variabel-variabel yang diteliti yaitu
profesionalisma, konteks kerja, kekhawatiran mendapat sanksi profesional, dan
independensi auditor.
Bab tiga berisi tentang metoda penelitian yang digunakan adalah survei
berbasis skenario yang digunakan dalam penelitian ini, partisipan yang dipilih
sebagai subjek dalam penelitian ini, desain penelitian, pengukuran variabel, model
penelitian, dan metoda pengujiannya.
Bab empat berisi tentang demografi subjek penelitian, pengujian realiabilitas
dan validitas data yang digunakan, pengujian statistik deskriptif, pengujian hipotesis
dan pembahasan. Bab ini juga berisi hasil analisis unruk menguji masing-masing
hipotesis yang diajukan. Selanjutnya pada bagian pembahasan diuraikan mengenai
hasil pengujian statistik di atas berikut interpretasi terhadap hasil tersebut.
Terakhir, bab lima berisi tentang simpulan dan implikasi dari hasil penelitian.
Selain itu di dalam bab ini juga dibahas mengenai keterbatasan dan saran untuk
penelitian berikutnya.