Upload
buihuong
View
228
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dekade 1920-an membawa perubahan besar bagi negara Amerika. Perubahan
tersebut dapat dirasakan oleh kalangan masyarakat kelas menengah (Middle Class)
dan masyarakat kelas atas (Upper Class). Perubahan ini memperlihatkan bahwa
segala bentuk keberhasilan, kekayaan, dan kesuksesan terwujud dengan mengusung
konsep American Dream, yang menjadi ideologi orang-orang Amerika. Berpijak dari
ideologi tersebut, baik masyarakat Amerika maupun para pendatang berlomba-lomba
mewujudkan impian mereka. Menurut Juliasih (1994: 8), konsep masyarakat
Amerika ini yang dikenal sebagai The American Dream, sebenarnya merupakan
Trinitas Ideologi Amerika, yaitu, liberty, opportunity, dan progress. Konsep tersebut
tercermin dalam kehidupan masyarakat, baik dalam lingkup sosial maupun budaya
yang berkembang pada tahun 1920-an, ketika segala bentuk kehidupan modern mulai
bermunculan dengan pesat.
American Dream yang kemudian menjadi spirit bagi setiap orang untuk
meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Dasar bagi perjuangan masyarakat, bahkan jauh
sebelum Amerika didirikan oleh kaum imigran. Amerika yang dikenal sebagai daerah
industri dan tekhnologi dapat menarik siapa saja yang ingin mengubah hidup menjadi
lebih baik. Namun, apa yang dijanjikan oleh American Dream tidak sepenuhnya
terjadi. Banyak yang salah melihat kesempatan yang diberikan oleh negara yang
2
menjanjikan tersebut dalam mewujudkan harapan dan kesuksesan. Kekayaan (wealth)
yang berlebihan bisa mengubah kehidupan menuju kesengsaraan dan penderitaan.
Berkembangnya industri dan prekonomian adalah membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk bekerja. Pekerjaan yang menjanjikan dan mendapat uang dengan
mudah dan cepat. Banyak orang tertarik mengejar kebahagiaan dengan
mengumpulkan materi. Sukses yang besar diukur dengan banyaknya materi—uang—
yang dimiliki. Muniroh (2009: 12) menjelaskan bahwa Amerika adalah daratan baru
yang menjanjikan. Tempat baru bagi siapa saja yang menghendaki kehidupan yang
lebih baik dan kebahagiaan. Ungkapan ini adalah konsep dari mimpi American
Dream yaitu Pursuit of Happiness (mencari kebahagiaan).
Keberhasilan dalam pencapaian materi merupakan bukti sukses dan kerja keras
dari mimpi Amerika. Karakteristik utama bagi perkembangan masyarakat Amerika
pada dasawarsa tersebut adalah munculnya materialisme yang berlebihan. Kebutuhan
materi menjadi tujuan setiap orang untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan.
Beberapa penulis abad itu merangkum situasi masyarakat di lingkungan Amerika,
seperti ‗Babbitt‘ (1922) oleh Sinclair Lewis, ‗Martin Eden‘ (1909) oleh Jack London,
‗American Tragedy’ (1925) karya John Dreiser, dan sebagainya. Penulis-penulis ini
melukis kehidupan masyarakat yang berambisi dengan materi yaitu uang. Gambaran
yang diungkapkan bahwa dengan uang mereka bisa mendapatkan segalanya,
termasuk orang yang ia cinta. Gambaran realitas sosial masyarakat yang diangkat
oleh penulis-penulis tersebut adalah bagian dari ciri abad 20—merupakan awal bagi
Amerika memasuki era modern.
3
Abad 20 yang menggemparkan yang sering dikenal juga dengan Roaring
Twenties (Baughman, 1996: vii). Awal dari suatu kemajuan dan permulaan
berkembangnya tekhnologi serta membawa kemajuan bagi masyarakat Amerika. Hal
ini menunjukkan munculnya berbagai media dan fasilitas hidup. Bersamaan dengan
hadirnya media dan kecanggihan tekhnologi memberi kemudahan dalam menjalankan
berbagai aktifitas. Disamping itu, kemajuan menjadi salah satu bentuk dari
kesuksesan dimasa itu. Kemajuan yang dirasakan, baik dibidang ekonomi, sosial dan
politik, membawa dampak yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter
masyarakat Amerika. Masa yang memberi rasa percaya diri dan kebebasan. Hal ini
dapat diketahui melalui maraknya budaya; berupa dansa, minum-minuman keras,
traveling (pelayaran), olahraga dan sebagaianya.
Bangsa Amerika di masa ―Dasawarsa 20-an yang Mengaum‖ jatuh cinta
dengan hiburan modern. Adapun ciri dari kehidupan modern adalah berubahnya gaya
hidup (life style), berdirinya bar sebagai penyedia minuman keras dan klub malam
tumbuh subur, menyajikan musik jazz, minuman koktil, dan gaya busana dan dansa
yang berani. Berdansa, menonton film, tur bermobil, dan radio adalah gaya nasional
(Baughman, 1996). Wanita Amerika, khususnya, merasa terbebaskan
mengekspresikan diri dengan gaya hidup baru abad itu. Banyak yang meninggalkan
peternakan dan desa untuk mengerjakan pekerjaan sipil di kota-kota (Vanspanckeren,
tanpa tahun: 60). Sehingga tidak mengherankan bila Amerika di kenal dengan
sebutan promise land (daratan yang menjanjinkan). Semua bentuk realitas ini
mengungkapkan identitas Amerika.
4
Munculnya kemakmuran dan kekayaan, menjadikan orang-orang mendapatkan
kesempatan bekerja dan mencari uang dengan cepat. Menjalankan segala aktivitas
yang mendatangkan uang, hidup tidak lagi dianggap beban, dimana peluang untuk
menjadi kaya terbuka lebar. Salah satu kegiatan yang mendatangkan uang dengan
cepat adalah penjualan dan berdirinya bar-bar yang dikenal dengan speakeasy (kedai
minuman keras). Banyak orang menjadi kaya dari penghasilan pendistribusian
minuman alkohol. Berdirinya kedai-kedai dan bar minuman keras, membawa
pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Kelompok-kelompok ini dengan
bebas menjalankan bisnis ilegal penjualan cairan-cairan minuman mengandung
alkohol. Baughman (1996: 198) menegaskan bahwa pada bulan januari 1920 ada
sekelompok orang yang menjalankan aktivitas mereka melalui penyelundupan
barang-barang ilegal. Ada perilaku kejahatan pada hubungan politik lokal yang bisa
menjanjikan karir dalam ranah posisi pemerintahan, bahkan besar kemungkinan akan
bisa mendatangkan kekayaan (wealth). Peluang untuk menjadi kaya dapat terwujud
dengan melakukan penjualan minuman-minuman ilegal tersebut. Aktivitas ini dikenal
dengan kegiatan bootlegging (penyelundupan minuman alkohol).
Disamping konflik penyelundupan alkohol, terdapat satu peristiwa yang paling
penting dalam sejarah Amerika di abad modern adalah kasus suap dalam
pertandingan olahraga (sport) yang dikenal dengan Black Sox Scandal. Suatu
permainan olahraga (baseball) World Series yang diadakan setiap akhir musim semi
pada bulan oktober di Amerika (Deveney, 2009: 1). Pertandingan ini mengalami
konflik yang sangat hebat. Masalah besar terjadi dikalangan para pemain dari World
5
Series adalah bahwa delapan orang dari tim baseball White Sox menerima uang suap
dari seorang penjudi.
Skandal suap pada pertandingan Series ini, mempengaruhi terciptanya teks The
Great Gatsby. Karena sejarah turnamen ini membawa skandal buruk bagi kesatuan
Nasional dalam pertandingan baseball (permainan kasti) abad 20. Skandal suap ini
merupakan konflik terbesar dalam sejarah olah raga Amerika. Skandal-skandal ini
yang akan dikaji dan dianalisis selanjutnya dalam penelitian ini. Isu suap dan
penyelundupan barang ilegal dan alkohol menjadi hal menarik untuk diangkat.
Bahkan sampai diberlakukannya prohibition di Amerika, yang menandakan Amerika
abad 20 mengalami perubahan dari berbagai segi sosialita. Nampak jelas bahwa
realitas masyarakat yang hedonis, dengan melakukan berbagai cara demi mencari
nama, kekayaan, dan popularitas.
The Great Gatsby adalah salah satu karya sastra dari penulis prosa realis
Amerika, F. Scott. Fitzgerald. Karya inilah yang membawa namanya masuk dalam
deretan kesusastraan Amerika. Vanspanckeren (tanpa tahun) menerangkan bahwa
pentingnya mengahadapi kenyataan menjadi tema dominan di dasawarsa 1920-an dan
1930-an. Novel yang lahir di abad 20 (twentieth century) ini menggambarkan
perubahan sosialita masyarakat di era modern. Masyarakat yang mulai yakin bahwa
dengan kemajuan industri dan prekenomian akan membawa pada kebahagiaan.
Novel The Great Gatsby ditulis pada tahun 1922 dan diterbitkan tahun 1925.
Mengambil seting rumah-rumah besar dan mewah di Gold Coast, Long Island, New
York. Karya klasik ini melukiskan sebuah aspirasi yang merepresentasikan
6
kemewahan, berlebihan, dan kemakmuran tahun 1920-an. Fitzgerald menggambarkan
kehidupan kecil sosialita masyarakat Amerika, semangat suatu jaman, mimpi-mimpi
pencarian status yang akhirnya hanya merupakan mimpi buruk. Menggunakan tokoh
utama Jay Gatsby sebagai contoh bangkit dan jatuhnya American Dream (Bloom,
2009: 67). Isu skandal dan gagalnya pencapaian mimpi American Dream yang
terdapat dalam novel tersebut memperjelas masalah yang kontroversial mengenai
identitas diri suatu masyarakat.
Realitas tekstual yang berkaitan dengan skandal suap dan isu-isu pengaruh
undang-undang prohibition merupakan masalah yang menarik untuk dikaji. Oleh
karenanya, dalam penelitian ini bila disandingkan dengan konsep yang dikembangkan
Iser yakni berkaitan dengan repertoire—hal-hal atau konvensi yang menjadi materi
yang dikenali dalam teks (TGG), akan diungkapkan. Bukan itu saja, peristiwa yang
terjadi pada dasawarsa 1920-an adalah bagian dari realitas ekstratekstual yang
dimunculkan dalam teks. Bagian dari realitas ekstratekstual ini akan membangun
suatu respons pembaca melalui efek yang ditimbulkan oleh teks.
1.2 Rumusan Masalah
Semua hal yang tergambar dalam novel The Great Gatsby dapat digunakan
untuk mengungkapkan repertoire yang dihadirkan dalam cerita. Kemudian penulis
melakukan suatu proses pembacaan, sehingga ia dapat memunculkan hubungan
antara realitas (fakta) dan fiksi, atau melihat gambaran sejauh mana fiksi mampu
merepresentasikan fakta (repertoire) yang ada. Disamping itu juga, teks TGG dapat
7
dimanfaatkan sebagai pemberi efek pada pembaca, agar nantinya makna yang
diharapkan dapat dikonkretisasikan sebagai bentuk respons estetik melalui proses
pembacaan (komunikasi). Mengetahui itu, ada dua masalah yang akan dipecahkan,
yaitu:
1. Bagaimanakah perwujudan norma sosial budaya sebagai repertoire
dalam novel The Great Gatsby?
2. Bagaimanakah perwujudan norma historis sebagai repertoire dalam
novel The Great Gatsby?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua jenis tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan khusus ialah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yaitu
mengungkapkan perwujudan norma sosial budaya, dan kondisi historis dalam novel
The Great Gatsby sebagai fakta atau realitas yang menjadi landasan dalam
penciptaan novel tersebut. Dengan menjawab permasalahan tersebut, dapat dicapai
tujuan lebih luas, yakni tujuan umum. Tujuan umum penelitian ini adalah
memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai teks The Great Gatsby karya
Fitzgerald, yang memanfaatkan realitas kehidupan sosial budaya dan historis untuk
mengungkapkan bagaimana perwujudan repertoire sebagai kajian respons estetik.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini terdiri dari manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Manfaat teoretis adalah untuk mengembangkan penerapan ilmu tentang
bagaimana/cara untuk mengetahui dan mengungkapkan fakta/realitas yang menjadi
bagian dari struktur terciptanya novel The Great Gatsby (TGG) yang relevan dan
sesuai. Sementara manfaat praktis analisis ini adalah untuk memecahkan dan
menjawab permasalahan-permasalahan yang dibahas – dalam hal ini
mengungkapkan repertoire yang terkandung dalam teks sastra – dan menghadirkan
bentuk pengetahuan respons estetik Wolfgang Iser, khususnya yang berkaitan
dengan repertoire, bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Pembahasan novel The Great Gatsby sudah banyak dilakukan, baik sebagai
respons-respons pembaca terhadap novel itu yang dituangkan dalam bentuk esai
maupun kritik dan karya ilmiah. Diantaranya ada penelitian terhadap novel The
Great Gatsby yang dijadikan objek material oleh Tri Pramesti untuk penelitian di
Universitas Gadjah Mada “The Obsession In The Great Gatsby and Winter Dreams
by F. Scott Fitzgerald” (1991). Hasil analisisnya menyatakan bahwa obsesi dari
tokoh yang dimunculkan dari masing-masing novel tersebut tidak hanya disebabkan
oleh cinta mereka pada seorang wanita yang kaya dan cantik, tapi juga berasal dari
kepercayaan mereka sendiri bahwa mereka ditakdirkan untuk sukses, terkenal dan
kaya. Tokoh menjadi terobsesi dengan kesuksesan, tanpa menyadari bahwa hal
9
tersebut membuat hidupnya hancur. Hasil penemuan analisis tersebut terkesan sama
dengan penelitan ini namun, yang membedakan adalah terletak pada perspective
yang digunakan dalam proses pembacaan yaitu dengan bekal repertoire untuk
memperoleh efek kemudian dimunculkan dalam respons estetik.
Selanjutnya, sebuah disertasi ditemukan berjudul “The Inexhaustible of Life:
Satire of the Nouveau Riche in Petronius’ satyr icon Moliere’s Le Bourgeois
Gentilhomme, and Fitzgerald’s The Great Gatsby” ditulis oleh Sheila Horis Byrd
(1996) di Graduate Faculty of Middle Tennessee State University of America.
Dalam disertasi tersebut menyimpulkan bahwa orang-orang kaya baru (Nouveau
Riche) merupakan satir yang ditampilkan melalui tokoh-tokohnya. Menyindir
kemewahan materi, khususnya uang, yang berasal dari masyarakat yang haus akan
uang, namun uang tidak dapat membeli kebahagiaan.
Peneliti lain dilakukan oleh Bambang Setiawan dari Universitas Gadjah
Mada, dengan judul “F. Scott Fitzgerald’s The Great Gatsby: Reflection of the
American Moral Failure in the Twenties” (1999). Penelitiannya menyimpulkan
bahwa Amerika Serikat pada tahun 1920-an mengalami kekacauan di bidang sosial,
politik dan ekonomi akibat dari kemerosotan moral masyarakatnya.
Penelitian skripsi juga dilakukan oleh Faizah Hidayati, Universitas Gadjah
Mada 2006, dengan judul “The Management Of Ambition Attaining Dreams In F.
Scott Fitzgerald’s The Great Gatsby”. Kesimpulan dari skripsi ini menjelaskan
bahwa setiap orang bebas untuk bermimpi dan memiliki cita-cita, siapapun dia dan
apapun latar belakangnya. Dan mimpi itu akan lengkap apabila ada keinginan dan
10
usaha kerja keras untuk meraihnya. Keberhasilan cita-cita didukung oleh
keseimbangan antara moral dan usaha yang terkontrol.
Ditemukan juga sebuah tesis yang ditulis oleh Darin D. Halvorsen tahun
(2006) berjudul ―The Automobile and Fateful Nostalgia in The Magnificent
Ambersons, One of Ours, and The Great Gatsby” di South Dakota State University
America. Tesis ini menyimpulkan bahwa kemajuan tekhnologi dapat dirasakan oleh
masyarakat baik di kota dan pedesaan. Dengan hadirnya tekhnologi dapat
memproduksi banyak mobil. Kemewahan mobil menjadi simbol kemajuan,
perubahan budaya dan menjadi tren di era 1920-an.
Peneliti The Great Gatsby yang lain, dengan judul The Pursuit Of Happiness
in F. Scott Fitzgerald’s The Great Gatsby, dihasilkan oleh Zahratul Muniroh pada
tahun 2009 di Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya
orang yang bisa bermimpi secara bijak serta mampu menyeimbangkan kesuksesan
materi dengan nilai-nilai spiritual yang akan berhasil mendapatkan kebahagiaan
yang dijanjikan oleh mimpi Amerika. Hasil dari penelitian tersebut melihat bahwa
mimpi Amerika tidak berhasil menjadikan tokoh Gatsby menjadi kaya dan sukses.
Tesis dengan judul ―American Self-Identification: A Strategy of Maintenance
Traced in The Red Badge of Courage, The Great Gatsby, and Catch-22‖ ditulis oleh
Amir Rostamdokht pada tahun (2010) di Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa Amerika mengindentifikasikan dirinya sepanjang Perang
Dunia melalui tiga cara, yaitu: pertama, dengan mencapai keseimbangan konsep
‗diri‘nya di Perang Saudara; kedua, dengan meningkatkan kesadaran nasionalisme
11
Amerika ketika melangkah kepada Perang Dunia I sebagai suatu pola kekuatan diri;
ketiga, dengan mempromosikan citra nasional dan global, unik dan unggul
dibanding dengan bangsa lain serta mampu menyimpan sisa warisan dunia—novel
trilogi—yang berperan sebagai ‗arsip‘ khusus untuk memudahkan analisis perebutan
karakter identitas Amerika.
“Semangat kewirausahaan dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald” (2011) merupakan penelitian yang dihasilkan di Universitas Gadjah
Mada oleh Nasrum. Hasil penelitian ini menggambarkan fenomena masyarakat di
Amerika di tahun 1920-an, di mana jumlah pemilik bisnis bertambah dan memiliki
tujuan berbeda-beda, termasuk menjadikan bisnis sebagai alat untuk merebut
kembali cinta yang hilang, menjadi kaya raya, sukses dan tenar.
Ditemukan juga penelitian oleh Sarah Funderburke yang berjudul
“Operating the Silencer: Muted Group Theory in The Great Gatsby” (2012) di
Liberty University Lynchburg, Virginia. Ia menyimpulkan bahwa ada kelompok
dominan yang berkuasa memiliki status sosial tinggi. Dan sebaliknya ada kelompok
yang tidak berkuasa (diam) dalam hal pembelaan diri dan tidak memiliki power
dalam melawan tindakan-tindakan dari kelompok yang berstatus sosial tinggi.
Penelitian lain dalam tesis yang berjudul “Within and Without: Narrative
Patterns In The Great Gatsby” yang ditulis oleh Adam Bristor (2014), di California
State University, Dominguez Hills. Analisisnya menemukan bahwa penceritaan
dalam TGG yang ditampilkan melalui tokoh Gatsby adalah penceritaan yang
dualisme. Ada sisi kebaikan, keindahan ditampilkan dalam kehidupannya yang serba
12
mewah dan gemerlap, namun dibalik itu ada sisi gelap yang tersimpan. Semangat
dan perjuangan yang dilakukan sang tokoh utama, berakhir dengan penderitaan
(tragic hero).
Berangkat dari beberapa tinjauan pustaka tersebut, penulis melihat segala
kondisi yang dialami oleh tokoh utama, Gatsby sudah diungkapkan. Namun, dalam
kepentingan analisis ini akan mengungkapkan repertoire yang berupa kondisi-
kondisi sosial budaya dan historis yang ada dalam wilayah intratekstual dan
menghubungkannya dengan wilayah ekstratekstual dengan harapan teks tersebut
dapat memberi efek (Wirkung) kepada pembaca yang kemudian memunculkan
respons estetik. Hal ini akan menekankan pada proses pemerolehan efek yang
ditimbulkan oleh teks kepada pembaca dan akan berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Oleh karena itu, dengan berpedoman pada perspektif teori repertoire
yang terdapat dalam buku The Act of Reading; An Aesthetic Response of Wolfgang
Iser (1978), dengan berbekal repertoire maka akan dilakukan tindakan analisis dan
akan diungkapkan. Ditegaskan bahwa penelitian ini menekankan pada efek yang
ditimbulkan oleh teks kepada pembaca guna memberi respons estetik sesuai dengan
horizon harapan pembaca.
1.6 Landasan Teori
Berdasarkan uraian masalah yang diangkat, ditentukan untuk melakukan
penelitian yang merupakan kajian respons estetik terhadap novel The Great Gatsby
karya F. Scott Fitzgerald, khususnya yang berkaitan dengan repertoire (repertoire
13
yang ada dalam teks). Sehingga alat analisis yang digunakan untuk memecahkan
permasalahan tersebut di atas adalah teori respons estetik ditemukan Wolfgang Iser
dan tercantum dalam buku The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response
(1987).
The Act of reading: A theory of Aesthetic Response (1987) yang digagas Iser
menawarkan ada tujuh aspek dari konsep teori atau perspetkif dalam menggali
makna teks sastra. Konsep-konsep tersebut antara lain: konkretisasi makna (the
production of meaning); model pembaca implisit (the implied reader); bentuk fungsi
teks (the funtionalist model of the text); proses pembentukan teks—sebuah
fenomenologi pembacaan (processing the text: A phenomenological of reading);
sastra dan komunikasi: interaksi antara teks dan pembaca (literature and
communication: interaction between text and reader); Antropologi sastra (Iser‘s
literary anthropology); dan teori resepsi bertemu dengan kritik kognitif (reception
theory meets cognitive criticism) (Shi, 2013: 982). Di antara ke tujuh konsep
tersebut penulis mengambil satu fokus perspektif yaitu bentuk fungsi teks sastra
(functionalist model of the text), yang dijadikan sebagai pijakan—kaitannya dengan
repertoire—akan memandu selanjutnya dalam penelitian ini.
Pada dasarnya, konsep yang ditawarkan Iser memberikan perhatian pada dua
hal, yaitu hubungan antara teks dengan realitas, dan hubungan antara teks dengan
pembaca (Iser, 1987: 54). Dari konsep ini dapat diketahui bahwa Iser
mengedepankan perhatian pembaca dalam dua hal; pertama teks sebagai pemberi
efek (Wirkung) atau kesan kepada pembaca atau teks menimbulkan efek atau
14
pengaruh; yang kedua, pembaca sebagai pemberi respons terhadap karya atau teks
yang dibacanya —pembaca masuk melakukan tindak pembacaan atau berdialog
untuk memberi tanggapan estetiknya.
Penjelasan tersebut menjadi pijakan penulis untuk dijadikan landasan atau
perspektif, yaitu functionalist model of the text (bentuk fungsi teks sastra), yang
berkaitan dengan repertoire teks, karena setiap karya atau fiksi memiliki cara-cara
yang berbeda dalam mengangkat serta memunculkan suatu konvensi dalam teks.
Lebih lanjut Iser (1987: 53) menjelaskan bahwa teks sastra atau fiksi
memberitahukan kita sesuatu tentang realitas (fiction is a means of telling us
something about reality) dengan menawarkan konvensi-konvensinya, sehingga ia
menjadi gambaran objek atau fokus dari suatu penelitian. Iser (1987: 69) menyebut
konvensi-konvensi ini sebagai repertoire teks. Repertoire adalah wilayah familiar
yang terdapat dalam teks dan pembaca bertemu untuk memulai komunikasinya (Shi,
2013: 984). Pendapat ini senada dengan dengan ungkapan Austin (dalam Iser,
1987: 69) menjelaskan bahwa ada tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh karya sastra
kaitannya dengan tindak pembacaan demi berlangsungnya komunikasi yaitu: (1)
konvensi-konvensi yang sama bagi pembicara dan penerima—teks dengan pembaca,
(2) prosedur-prosedur yang sudah disepakati bersama—teks dengan pembaca
(penerima), dan (3) keninginan (willingness) keduanya untuk melakukan aksi
komunikasi. Konvensi-konvensi yang diperlukan untuk membangun situasi dalam
teks adalah repertoire, prosedur-prosedur yang diterima disebut dengan strategi,
sedangkan partisipasi pembaca adalah realisasi (konkretisasi).
15
Repertoire terdiri dari semua batas wilayah atau materi-materi yang familiar,
yang dapat dikenali dalam teks. Materi ini bisa berupa referensi terhadap karya-
karya terdahulu atau norma-norma historis atau juga keseluruhan kultur/budaya
darimana teks trsebut muncul. Pada kenyataannya, realitas ini dijadikan
rujukan/acuan memiliki dua implikasi: (1) realitas ditimbulkan, bukan ditentukan,
pada halaman cetak, dan (2) unsur-unsur atau realitas tersebut dipilih sebagai
referensi, bekal pengetahuan tidak dimasukkan semata-mata untuk dijadikan replika
atau tiruan saja (Iser, 1987: 69). Melalui repertoire, teks sastra menyusun kembali
norma-norma baik sosial dan budaya maupun tradisi-tradisi kesusastraan, sehingga
pembaca bisa merealisasikan fungsinya kembali pada kehidupan nyata.
Pada dasarnya, pembacaan yang dilakukan terhadap karya sastra (teks sastra)
merupakan suatu dialog atau interaksi antara struktur karya sastra dengan
pembacanya. Iser (1987: 20) menyatakan bahwa “Central to the reading of every
literary works is the interaction between its structure and its recipients”. (Inti
pembacaan setiap karya sastra adalah interaksi antara struktur teks dan
penerimanya). Karena itu, pembaca (penerima) memiliki peran aktif dalam proses
pemaknaan karya sastra. Iser (1987: 21) menjelaskan bahwa karya sastra hanya
menghadirkan ―aspek-aspek skematik‖ atau schematized aspects kepada pembaca,
yang digunakan untuk memaknai serta memberikan realisasi terhadap aspek-aspek
tersebut melalui konkretisasi. Aspek-aspek skematik itu berupa pokok permasalahan
dari karya itu dihasilkan.
16
Menurut Iser (1987: 24), sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai
wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas). Wilayah
ketidakpastian ini merupakan ―bagian-bagian kosong‖ atau ―tempat-tempat terbuka‖
(Leerstellen, open place) yang ―mengharuskan‖ pembaca untuk mengisinya. Hal ini
disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak penafsiran (poly-
interpretability) (Sangidu, 2004: 21; Pradopo, 1995: 235).
Namun, perlu ditekankan bahwa karya sastra memiliki dua pola, yaitu pola
artistik dan pola estetik. Pola artistik merupakan hasil tulisan pengarang, sedangkan
pola estetik merupakan hasil dari realisasi yang disempurnakan oleh pembaca.
Berdasarkan pola ini, jelaslah bahwa karya sastra itu tidak bisa diidentikkan dengan
teks, maupun dengan konkretisasi saja, tetapi harus ditempatkan antara keduanya
(Iser, 1987: 21). Jadi, kedua pola ini (artistik dan estetik) saling berhubungan dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab karya sastra tidak bisa dimaknai tanpa
menghubungkan kedua pola tersebut. Sehingga fokus dari teks sastra selanjutnya
berada pada konkretisasi, dan objek estetiknya.
Perbedaan yang paling mendominasi dari karya sastra itu adalah bahwa karya
sastra menguraikan konvensi-konvensi dengan cara yang khusus, karena sastra
memberitahukan pembaca tentang fakta atau realitas dengan menawarkan konvensi
kesastraan, sehingga konvensi tersebut menjadi objek dari cerminan atau refleksi
pembaca. Iser menyebut konvensi-konvensi ini adalah sebagai “repertoire” dalam
teks. Repertoire ini adalah familiar territory atau ―wilayah yang dikenali‖, tempat
teks dan pembaca melakukan komunikasi. Iser (1987: 69) menjelaskan:
17
“The repertoire consists of all the familiar territory within in the text.
This may be in the form of references to earlier works, or to social and
historical norms, or the whole culture from which the text has
emerged—in brief, to what the Prague structuralisms have called the
“extra textual reality” (1987: 69)
―Repertoire terdiri atas semua wilayah atau materi yang dikenali
dalam teks. Wilayah atau materi ini dapat berupa karya-karya
terdahulu, norma-norma sosial dan historis, atau juga bisa berupa
unsur atau fenomena kebudayaan yang dimunculkan dalam teks itu.
Jadi, repertoire itu berisi apa saja yang oleh Strukturalisme Praha
menyebutnya sebagai realitas ekstratekstual‖ (Iser, 1987: 69).
Melalui repertoire (yang juga disebut sebagai ―gudang pengetahuan‖ (istilah
Munawwar, 2007: 35)), teks sastra menyusun kembali norma-norma sosial dan
budaya, sehingga pembaca bisa memfungsikannya kembali norma ini dalam
kehidupan nyata. Teks seharusnya dipahami sebagai sebuah reaksi dari sistem ide
yang sudah dipilihkan oleh repertoire itu sendiri (1987: 72). Artinya, potongan
repertoire yang sudah dimunculkan dalam teks memberikan pancingan kepada
pembaca agar mudah memahami teks yang dibacanya
Cara mengungkapkan repertoire atau merepresentasikan makna dari sebuah
teks sastra disebut Iser sebagai ―strategi‖ untuk membentuk atau merancang fungsi
repertoire ini. Iser (1987: 86) menyebutkan bahwa strategi itu mempengaruhi
struktur imanen dalam teks dan tindakan-tindakan pembacaan menggerakkan
pemahaman pada pembaca. Adapun menurut Iser (1987: 87) menyebutkan diantara
peran utama dari ―strategi‖ ini adalah mendefamiliarisasikan hal-hal yang familiar.
Pada kenyataannya, strategi mengatur persepsi pembaca dalam proses
pembacaan agar makna yang direalisasikan tidak semena-mena. Adapun struktur
18
yang mengatur strategi di sini adalah background (latar belakang) dan foreground
(latar depan). Latar belakang dan latar depan ini yang nantinya akan mengendalikan
persepsi dan imajinasi pembaca dan bertanggung jawab atas pemberian makna karya
sastra. Lebih lanjut Iser (1987: 95) menegaskan bahwa hubungan background dan
foreground merupakan struktur dasar yang, dengan melaluinya strategi-strategi teks,
menciptakan tegangan/rangsangan yang membawa kesan atau efek kepada
serangkaian tindakan dan interaksi yang berbeda, yang pada akhirnya diputuskan
dengan kemunculan objek-objek estetis.
Adanya struktur teks dan tindakan terstruktur menjadi bagian yang tidak bisa
dihindarkan dalam memahami proses pembacaan. Iser (1987: 21) menyebutkan
bahwa, dalam karya sastra, pesan disampaikan melalui dua cara yaitu, pertama
pembaca menerima dan kedua pembaca menyusun kembali atas apa yang diterima
tersebut. Selanjutnya, dalam mencari struktur yang memungkinkan pembaca
menjelaskan kondisi dasar interaksi, dengan cara ini pembaca akan mampu
mendapatkan pandangan tentang pengaruh potensial yang menyatu dalam teks itu
(Iser, 1987: 21). Interaksi antara pembaca dengan teks menjadi sangat penting.
Tanpa adanya interaksi ini maka pembacaan (pemaknaan) karya sastra tidak bisa
terjalin. Secara praktis setiap struktur yang dapat dilihat dalam fiksi memiliki dua
sisi: sisi verbal, yaitu yang membimbing reaksi dan mencegahnya dari penafsiran
yang sembarangan; serta sisi afektif, yaitu pemenuhan yang dibuat struktur
sebelumnya melalui bahasa teks (Iser, 1987: 21). Kedua sisi tersebut (verbal dan
19
afektif) tidak dapat dipisahkan, ia menyatu dalam mendukung terjadinya pembacaan,
di mana struktur pengaruh (teks) dan tanggapan oleh pembaca.
Sudah jelas terlihat bahwa konsep dasar teori aesthetic response (respons
estetik) berpusat pada pertanyaan mendasar yang menyangkut proses tanggapan
estetik seorang pembaca dalam mengemukakan makna potensial teks yang
dihasilkan melalui komunikasi antara teks dan pembacanya (Iser, 1987: 54), yakni
bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah teks menjadi bermakna bagi
pembacanya. Pertanyaan ini berkaitan dengan (1) hubungan antara teks dan relitas
(fakta), hubungan atau patner dalam komunikasi; (2) interaksi antara teks dengan
pembaca, cara atau tindakan pembacaan. Cara atau tindakan pembacaan berkaitan
dengan bagaimana teks mengarahkan pembaca dalam proses pembacaan dan
bagaimana pengalaman pembaca mengatur pembacaannya. Dalam kaitannya dengan
pemaknaan, Iser (1987: xx) menegaskan bahwa pembaca seharusnya melakukan
reaksi terhadap teks, bukan sekedar menerima apa yang disampaikan teks semata.
Sehingga pembaca memiliki peran aktif dalam proses pemaknaan teks dan sebagai
pemberi respons.
Pembaca mengisi ―tempat-tempat kosong‖ yang terdapat di dalam karya
sastra, dan karena itu pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana berdialog dan
berkomunikasi dengan teks. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks
dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau
melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari
repertoire dengan strateginya, sehingga lahirlah realisasi teks. Realisasi teks berupa
20
respons (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari pembaca karena mereka
telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula.
Tanda-tanda atau skema yang ditawarkan dalam teks dan pembaca bertemu
melalui cara dari suatu situasi yang tergantung pada realitasnya di dalam
berinteraksi. Jika komunikasai sastra sukses, maka ia harus menghasilkan semua
komponen yang diperlukan untuk pembangunan situasi, karena hal ini tidak
memiliki eksistensi di luar karya sastra. Teks dan pembaca melakukan dialog terus
menerus untuk menghasilkan efek dan mengungkapkan makna terhadap teks yang
dibacanya. Repertoire yang ada dalam teks (repertoire teks) dan yang dimiliki oleh
pembaca inilah yang berinteraksi secara terus-menerus, pembaca dan teks
melakukan kolaborasi tanya jawab sampai menghasilkan makna konkretisasi yang
diharapkan. Dalam hal ini, Iser (1987: 9) menyebutkan bahwa:
“Such a meaning must clearly be the product of an interaction between
the textual signals and the reader’s acts of comprehension. And,
equally clearly, the reader cannot detach himself from such an
interaction; on the contrary, the activity stimulated in him will link him
to the text and induce him to create the conditions necessary for the
effectiveness of the text.”(1987: 9)
―Secara jelas, bahwa makna merupakan hasil interaksi antara tanda-
tanda yang ada dalam teks [repertoire teks] dengan tindakan
pemahaman pembaca [repertoire pembaca]. Dan juga pembaca tidak
bisa melepaskan dirinya sendiri dari sebuah interaksi; sebaliknya,
Aktivitas yang dibangun pada diri pembaca akan menghubungkan dia
dengan teks dan mendorongnya/membangkitkan kesadaran pembaca
untuk menciptakan kondisi-kondisi yang sesuai secara efektif di dalam
teks‖.
Teori ini menegaskan bahwa makna teks sastra tidak hanya mucul begitu
saja, tanpa adanya peran aktif dari pembaca. Pembaca memiliki peran utama dalam
21
proses konkretisasi. Dengan bekal pengetahuan atau repertoire yang dimiliki
pembaca akan menstimulasi/merangsang pemahamannya untuk berinteraksi dengan
repertoire yang ada dalam teks. Sehingga dalam proses dialog tersebut akan
menimbulkan efek/kesan atau ‗Wirkung’ (dalam istilah Iser), yang nantinya akan
menghasilkan makna pada diri pembaca. Fungsi dari repertoire juga yaitu akan
menjadi pemandu bagi pembaca untuk menghadirkan makna dalam proses
pembacaannya. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa karya sastra tidak
bisa terlepas dari materi-materi ekstratekstual (wilayah norma-norma) sebagai
repertoire teks, ia berperan penting dalam membangun struktur karya sastra.
Teks dan pembaca bertemu melalui cara dari suatu situasi yang tergantung
pada realisasinya. Jika komunikasi itu akan berhasil, maka ia harus menghasilkan
semua komponen yang diperlukan untuk membangunan situasi, karena hal ini tidak
memiliki eksistensi di luar karya sastra (Iser, 1987: 68). Komponen yang dimaksud
di sini adalah seperti pendapat Austin (dalam Iser, 1987: 69) tentang tiga kondisi
utama yang membangun (suatu situasi komunikasi) suatu tindakan ujaran
performative (performative utterance); konvensi-konvensi umum bagi pembicara
dan penerima (teks dan pembaca), prosedur-prosedur yang diterima keduanya,
keinginan keduanya berpartisipasi dalam tindak ujaran atau komunikasi. Jelasnya,
bahwa konvensi-konvensi yang ditawarkan—yang nantinya disebut sebagai
repertoire teks—adalah familiar atau berlaku umum bagi pembicara dan penerima,
antara teks dan pembaca. Sedangkan prosedur yang dimaksud di sini adalah strategi-
strategi yang menuntun pembaca untuk membangun suatu situasi dalam proses
22
interaksi—teks dengan pembaca. Sementara partisipasi pembaca yang akhirnya
menentukan dalam ungkapan konkretisasi atau realisasi makna potensial dari teks
yang dibacanya atau dalam konteks ini pembaca/peneliti berperan memberi respons
estetiknya.
Situasi komunikasi itu dibangun dan berada di dalam teks sastra, dan
mengikutsertakan peran pembaca. Hal ini akan berlangsung jika dalam suatu analisis
yang ditekankan pada realisasi makna. Asumsinya bahwa, teks dan pembaca akan
memenuhi kondisi kesediaan, tetapi sejauh konvensi-konvensi dan prosedur itu
disadari, hal inilah yang pertama kali ditekankan dan ditentukan oleh teks. Jadi, hal
terpenting juga adalah bahwa repertoire –wilayah familiar yang ada dalam teks –
menjadi kerangka awal dalam mengenali gudang pengetahuan yang dimunculkan
oleh teks sastra yang dibaca.
Konvensi-konvensi yang sesuai akan membangun sebuah situasi, situasi ini
lebih tepat di sebut dengan repertoire teks. Repertoire teks inilah yang membangun
persepsi pembaca, jika yang dilihat adalah fiksi tersebut sebagai komunikasi.
Penerimaan prosedur-prosedur yang diterima tersebut dinamakan dengan strategi-
strategi, dan partisipasi pembaca yang selanjutnyan ditunjuk untuk melakukan
realisasi/konkretisasi. Jelas, bahwa repertoire dan prosedur-prosedur yang
melingkupinya tidak bisa dipisahkan ia memiliki keterkaitan dalam membangun
komunikasi sastra dengan strateginya untuk menghasilkan makna atau respons
estetik, dan pengaruh (Wirkung) setelah dilakukan proses pembacaan.
23
Untuk melihat seleksi-seleksi norma-norma dan kiasan-kiasan yang dijadikan
repertoire, terlebih dahulu harus memahami apa yang dimaksud dengan realitas
(reality). Karena realitas yang diseleksi inilah yang kemudian dibangun dalam
bentuk serta wujud repertoire dalam teks. Istilah realitas sudah dihubungkan, di
mana tidak ada teks sastra yang menghubungkan suatu keadaan dengan satuan
realitas, tetapi lebih kepada model-model/konsep-konsep realitas dalam
kemungkinan-kemungkinan (hal-hal yang dianggap kebetulan) dan kompleksitas,
hal ini telah dihilangkan menjadi sebuah struktur yang berarti. Sehingga Iser
menyebutnya dengan struktur-struktur sistem atau gambar dunia (structures world-
picture or system) (Iser, 1987: 70).
Munculnya hubungan sistem yang unik antara teks dengan realitas, dalam
bentuk sistem ide atau model-model realitas. Teks tidak menyalin hal-hal ini, dan
juga tidak menyimpang—meskipun terkesan seperti itu karena teori refleksi cermin
dan penyimpangan stilistik. Ia justru menjadi penanggapan atau reaksi terhadap
sistem-sistem ide yang sudah dipilih dan dipadukan dalam repertoire itu sendiri
(Iser, 1987: 72). Artinya, repertoire yang terepresentasi dalam teks yang diambil
dari sistem-sistem ide dari realitas, ditanggapi atau direfleksikan kembali—sebagai
reaksi yang digerakkan kembali oleh kemampuan batasan sistem ide tersebut dengan
realitas yang beraneka ragam guna memberikan perhatian khusus pada hal-hal yang
masih mengalami kekurangan atau sesuatu yang belum tersaji. Lebih lanjut Iser
(1978) menjelaskan bahwa hasil akhir dari gerakan penanggapan atau reaksi yang
dilakukan adalah untuk menyusun dan mengatur kembali kehadiran susunan pola
24
makna potensial teks. (dalam makna kekinian/kontemporer), dimana final dari
pemberian atau tindakan dari respons estetik itu adalah memformulasikan hal-hal
yang belum diformulasikan sebelumnya sehingga ia dapat diproses dan dipahami
kembali.
Repertoire memiliki dua model fungsi: membentuk kembali garis besar
potongan skema familiar untuk disusun/diformulasian sebagai sebuah latar belakang
(background) untuk melakukan proses komunikasi; ia menyediakan kerangka umum
yang dengan bersamanya pesan atau makna teks bisa dibangun/diungkapkan (Iser,
1987: 81).
Repertoire teks dibangun/berangkat dari materi yang sudah diseleksi/dipilih
dari sistem-sistem sosial dan kiasan-kiasan kesusastraan. Seleksi-seleksi norma
sosial dan kiasan-kiasan kesusastraan ini dihadirkan dalam karya dengan konteks
referensial dengan harapan sistem-sistem yang sudah disamakan dapat
diaktualisasikan.
Pada akhirnya fungsi dari strategi adalah untuk menyusun aktualisasi ini, dan
mereka (strategi) bertindak/muncul dengan berbagai cara. Bukan hanya bertindak
dalam kondisi menguhubungkan antara unsur-unsur atau materi repertoire yang
berbeda-beda, membantu untuk menempatkan dasar bagi produksi/menghasilkan
kesamaan, akan tetapi mereka menyediakan sebuah pertemuan (meeteng-point)
antara repertoire dan penghasil dari kesamaan-kesamaan tersebut, yaitu pembaca itu
sendiri. Dengan kata lain, strategi-strategi di sini adalah menyusun kedua hal—
materi-materi repertoire teks dan kondisi-kondisi dibawah naungan material yang
25
dikomunikasikan. Strategi-strategi tidak disamakan dengan pengaruh atau efek,
namun ia hadir beroperasi pada sebuah titik poin sebelum representasi atau efek itu
disesuaikan. Mereka (strategi) meliputi struktur-struktur imanen dalam teks dan
tindkan-tindakan pemahaman dengan cepat digerakkan dalam diri pembaca (Iser,
1987: 86).
Konsep utama yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah kaitannya
dengan repertoire, Wirkung, indeterminasi area, dan respons estetik. Kesemua
bagian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan repertoire yang terkandung dalam
teks TGG dan mewujudkannya melalui pemberian efek kepada pembaca dalam
proses komunikasi atau pembacaan. Sehingga tujuan akhirnya adalah konkretisasi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa repertoire adalah wilayah
familiar yag dikenali dalam teks (Iser, 1987: 69). Wilayah familiar itu merupakan
materi-materi yang penting yang terdapat dalam teks—TGG—khususnya yang
berkaitan dengan seluruh norma atau kondisi sosial, maupun budaya dan historis,
bahkan konflik-konflik yang menjadi materi ekstratekstual teks tersebut. Dari materi
yang dikenali inilah yang nantinya menjadi pancingan kepada pembaca untuk
melakukan interaksi (dialog) agar pembaca dapat mengungkapkan repertoire
tersebut dan menghadirkannya dalam wujud respons estetik. Kemudian, respons
estetik adalah hasil dari konkretisasi makna—wujud makna potensial—atau efek
potensial yang ditimbulkan oleh teks yang berhasil diaktualisasikan atau
direalisasikan sesuai dengan harapan pembaca.
26
Iser (1987: x) menegaskan bahwa respons estetik itu adalah mengkaji—
dalam istilah—hubungan dialektik antara teks, pembaca, dan interaksi antara
keduanya. Inilah yang disebut sebagai respons estetik, karena meskipun kondisi ini
dikendalikan oleh teks, dan karena respons estetik ini akan berperan dalam imajinasi
dan prespektif pembaca. Artinya, respons estetik yang akhirnya mengatur arah dan
fokus pembaca dalam konkeretisasi.
Adapun hubungannya dengan efek (Wirkung), digambarkan bahwa efek dan
respons adalah properti (sistem) tidak ditimbulkan oleh teks, dan tidak juga oleh
pembaca, teks merepresentasikan efek potensial manakala ia direalisasikan melalui
proses pembacaan (Iser, 1987: ix). Dalam hal ini pembaca tetap memiliki peran
utama dalam wujud konkretisasi makna. Pembaca dapat menerima efek ketika ia
melakukan aktivitas dialog atau pembacaan. Pemerolehan efek itu tidak terlepas dari
apa yang ditawarkan di dalam teks, yakni adanya area-area kosong atau wilayah
ketidakpastian yang dikenal dengan Indeterminasi area. Wilayah-wilayah kosong
inilah yang di isi oleh pembaca dan akan menemukan tegangan, ada daya tarik-
menarik oleh pembaca dan terproses dalam kesadaran dan imajinasi pembaca. Proses
ini akan terus menerus berlangsung sampai pembaca menemukan suatu pemaknaan
dari apa yang dibacanya. Dalam hal ini, TGG akan menampilkan ruang-ruang
kosong yang memberikan peluang kepada pembaca untuk mengisinya, dengan
memberikan tanggapan estetiknya.
27
Untuk lebih jelasnya poin-poin utama penjelasan teori Iser digambarkan
pada bagan berikut. Hal ini berkaitan dengan fungsi teks sastra. Dimana teori yang di
gagas Iser ini bersifat fungsionalis.
Bagan1. Model Fungsi Teks (Functionalis Model of the Text).
Wilayah
Indeterminasi
Wujud Skematik
Implied Reader
Realitas intratekstual dan
ekstratekstual
Konkretisasi
Repertoire pembaca
Teks Strategi
Efek
28
Keterangan Bagan:
Pembaca melakukan proses pembacaan terhadap teks. Dimana di dalam teks
terdapat pembaca implisit yang dikenal dengan implied reader. Implied reader ini
menawarkan efek, yaitu bagaimana sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi kepada
pembaca untuk mendekati teks sastra yang dibacanya. Sementara, pembaca memiliki
strategi (tindak-tindak pemahaman) yang berfungasi mengarahkan perhatian pada
teknik konkretisasi. Karena, setiap teks selalu menghadirkan wilayah indeterminasi
(tempat terbuka/kosong). Wilayah kosong atau tempat terbuka ini mengharuskan
pembaca untuk mengisinya sesuai dengan memori dan horison harapan yang
dimilikinya. Untuk mengkonkretisasi makna teks yang dibaca, pembaca akan
menemukan ‗pandangan skematik‘ yaitu pokok permasalahan dari karya itu
dilahirkan. Ini akan merangsang pembaca untuk membangun imajinasinya sehingga
ia memiliki ruang gerak dan fokus pada wujud skematik yang ditampilkan oleh teks
yang menjadi wilayah intratekstual bagi teks tersebut. Dari wujud skematik ini
pembaca terdorong untuk mencari dan mengungkapkan serta menghubungkannya
dengan wilayah ekstratekstual yang berkaitan dengan konteksnya. Setelah
mengungkapkan dua wilayah ini—intratekstual dan ekstratekstual—maka pembaca
kemudian memunculkan respons-respons estetiknya dalam bentuk konkretisasi
makna yang diharapkan.
29
1.7 Hipotesis
Peneliti mengasumsikan bahwa antara wilayah intratekstual yang terdapat
dalam fiksi (dunia rekaan pengarang) dan wilayah ekstratekstual (tempat hidup atau
sebagai latar dari penciptaan karya sastra) terdapat hubungan yang erat. Dalam hal
ini, apa yang dihadirkan dalam teks memuat sumber-sumber yang berupa norma
atau fakta sosial, historis, dan kultural atau budaya yang ada di sekitar
penciptaannya, baik yang telah dialami—oleh pengarang sendiri—ataupun yang
sudah diketahui dan dilihatnya, dan menjadikan fakta tersebut sebagai sarana
komunikasi berupa karya sastra. Hubungan antara intra dan ekstra tekstual dapat
diungkapkan, dan dijelaskan dengan kerangka teori repertoire untuk memperoleh
efek yang kemudian menghadirkan suatu respons estetik. Dari hipotesis ini, dapat
dilihat bahwa hubungan antara realitas dalam teks (fiksi) dapat diungkapkan dan
dijelaskan dengan kerangka teori repertoire.
1.8 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami fenomena
yang dialami objek penelitian secara holistik (menyeluruh) dan dengan
menggunakan cara deskriptif (Moleong, 2007: 6). Adapun yang dimaksud dengan
deskriptif adalah data yang dihadirkan berupa kata-kata, gambar, dan kutipan-
kutipan dari teks (objek penelitian), dan bukan statistik (Moleong, 2001:6).
30
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian, hal penting yang harus dilakukan adalah menentukan objek
material dan objek formal. Adapun objek material dalam penelitian ini adalah novel
―The Great Gatsby‖ (1925) karya F. Scott. Fitzgerald, yang diterbitkan oleh Charles
Scribner‘s Son. Sedangkan objek formal peneltian The Great Gatsby yang berkaitan
dengan teori respons estetik Iser adalah ‗repertoire’ yang terdapat dalam teks
tersebut. Seperti yang dijelaskan Faruk (2012: 23) bahwa yang disebut dengan objek
material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian, sedangkan objek formal
adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu.
Selain itu, penulis juga menentukan data primer dan data skunder. Data
primer adalah data yang berupa unsure-unsur yang membangun repertoire yakni
fakta sosial budaya dan historis dalam teks. Sedangkan data skunder adalah sumber-
sumber data tambahan yang berupa referensi kepustakaan baik itu, berupa buku,
jurnal, laporan penelitian, dan essai. Referensi tertulis akan dipilih dan yang sesuai
dengan objek kajian, yaitu kaitannya dengan repertoire. Dimana data sekunder ini
merupakan kemungkinan terdapat adanya keterkaitan antara fakta ekstratekstual
yang menjadi latar belakang (background) untuk mengungkapkan latar depan
(foreground) yang ada dalam teks tersebut. Hal ini diharapkan akan memandu
penulis dalam mewujudkan hubungan antara teks dengan dunia di luar teks—berupa
fakta sosial, historis, dan keseluruhan budaya yang dimunculkan dalam teks.
31
1.8.2 Metode Analisis Data
Berkaitan dengan analisis data, Faruk (2012: 25) menegaskan bahwa metode
analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan
perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan
data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah
dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan. Oleh karenanya, data-data yang
diperoleh adalah berupa data-data deskriptif, diperlukan langkah-langkah untuk
mencari hubungan antardata tersebut. Sehingga, analisis data dilakukan dengan
tindak pembacaan, klasifikasi data, dan konklusi.
Penelitian ini akan berpedoman pada metode analisis data yang sesuai dengan
teori Respons Estetik Wolfgang Iser. Khususnya yang berkaitan dengan fungsi teks,
dengan menawarkan konsep repertoire. Repertoire yang digunakan dalam analisis
ini adalah memusatkan perhatian pada proses interaksi antara teks dengan
pembacanya, sehingga menghasilkan suatu respons atau objek estetik. Dalam hal ini
untuk memunculkan objek estetik atau respons, maka yang berhak dalam melakukan
tindakan tersebut hanyalah pembaca. Iser (1987: 21) menekankan bahwa ada dua
pola dalam karya sastra yaitu artisitik dan estetik. Pembaca berperan penting dalam
realisasi makna, yaitu kaitannya dengan pola estetik dalam teks sastra. Hal ini
dipertegas kembali dengan ungkapan Iser (1987: 20) bahwa teks hanya akan
memberi makna apabila teks itu dibaca (dilakukan pembacaan). Oleh karena itu,
untuk menggali repertoire yang ada dalam TGG, perlu dilakukan pembacaan.
32
Dimana, metode yang dilakukan dalam analisis ini adalah metode baca (pembacaan
terhadap teks).
Berdasarkan pada pernyataan bahwa teks sastra dapat didefinisikan sebagai
area indeterminasi atau wilayah ketidakpastian/tidak menentu (Iser, 1987: 24). Area
indeterminasi ini disebut juga ―wilayah atau ruang-ruang kososng‖ yang kerap
dikenal dengan sebutan Leerstellen. Tempat-tempat terbuka atau ruang-ruang
kosong ini memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mengisinya. Peran
pembaca mengisi ―ruang-ruang kosong‖ dalam teks ini dalam kondisi komunikasi
atau melakukan dialog dengan teks yang dibacanya. Jelasnya, komunikasi dapat
terjadi, bila pembaca melakukan tindak pembacaan terhadap teks TGG.
Selain itu, teks bisa menimbulkan efek (Wirkung) kepada pembaca. Efek ini
akan mempengaruhi atau menstimulasi pengalaman serta pemikiran-pemikiran yang
dimiliki pembaca. Oleh karena dengan adanya area indeterminasi pada teks,
membuat seorang pembaca membuka pikirannya. Pada saat itulah ide-ide ataupun
penafsiran muncul, mengacu pada pengalaman serta bekal pengetahuan yang
dimiliki. Proses berdialog atau komunikasi yang telah dilakukan dikendalikan oleh
strategi. Strategi merupakan background dan foreground yang mengatur persepsi
pembaca, agar pemaknaan yang akan dihadirkan nantinya tidak semena-mena.
Selain itu, strategi ini juga akan mewujudkan ―bekal atau gudang pengetahuan‖ yang
dimiliki pembaca yang selanjutnya akan melakukan gerakan tarik-menarik atau
kesepakatan dengan harapan-harapan pembacaan yang tersimpan serta kemampuan
pembaca melakukan tindakan kreatif dalam mengimajinasikan teks yang dibacanya
33
sehingga, harapan akhir dari pembacaan pembaca dapat terwujud dalam bentuk
konkretisasi (realisasi makna potensial teks) yaitu wujud objek estetik.
Melalui proses tersebut, diharapkan repertoire teks TGG dapat
diaktualisasikan. Repertoire dimanfaatkan sebagai pemandu oleh pembaca (peneliti)
untuk mencari hubungan antara fakta dengan fiksi, yaitu fakta atau realitas yang
terepresentasi dalam teks TGG. Fakta yang termasuk dalam lingkup norma atau
realitas sosial budaya, dan historis. Fakta sosialnya yaitu berupa konsep American
Dream, bila dihubungkan degan perspektif repertoire, American Dream merupakan
salah satu fakta yang menjadi background cara pandang suatu masyarakat,
khususnya Amerika. Konsep American Dream ini mewakili adanya pola pikir, cara
pandang masyarakat dalam keseharian aktivitas hidupnya yang dimunculkan dalam
teks-teks TGG. Hal ini menekankan bahwa American Dream memiliki keterkaitan
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial maupun kultural masyarakat
Amerika. Seperti yang dijelaskan oleh Adams (dalam Cullen, 200: 6) bahwa
American Dream adalah suatu pencapaian mimpi akan hidup yang lebih baik, lebih
kaya, dan makmur bagi seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas dan
golongan. Berbicara tentang Amerika, tidak terlepas dari kondisi masyarakatnya,
yakni dimana Amerika sendiri yang merupakan tanah subur yang menjanjikan.
Sehingga tidak sedikit dari masyarakat yang berada di belahan negara Eropa datang
demi mewujudkan cita-cita dan kesuksesan hidup yang lebih baik. Persoalan ini
tergambar dengan adanya masyarakat kelas, dunia bisnis, majunya ekonomi,
bebasnya minuman alkohol (sebagai fakta sosial) yang dilatar belakangi oleh
34
fenomena pasca perang Dunia I (sebagai fakta historis). Sehingga dalam tindak
pembacaan dan komunikasi yang terus-menerus dilakukan oleh pembaca (peneliti)
dapat diungkapkan keterkaitan antara realitas atau fakta yang tercermin dalam teks
TGG. Komunikasi antara teks dan pembaca dilakukan berulang-ulang sampai
menghasilkan makna teks secara keseluruhan.
Setelah melakukan pembacaan, selanjutnya dilakukan klasifikasi. Dalam
klasifikasi ini dua cara yang akan dilakukan yaitu living in dan living out (Sangidu,
2004: 74). Cara ini dipergunakan untuk mengelompokkan data yang mendukung
unsur-unsur yang berkaitan dengan repertoire, yakni data yang sesuai akan masuk
pada living in—yang berupa norma atau fakta sosial budaya dan historis. Sementara
data yang tidak berkaitan dengan repertoire akan di living out. Dengan demikian,
dapat diketahui seberapa jauh teks merepresentasikan realitas yang ada dalam TGG,
dan repertoire teks dapat diungkapkan. Setelah dilakukan pengelompokan data,
akan dilakukan konklusi, yaitu tujuannya untuk membuat simpulan dari hasil
penelitian berdasarkan klasifikasi dari data yang diperoleh. Untuk lebih jelasnya
dapat digambarkan cara kerja penelitian ini pada bagan berikut.
35
Bagan 2: Langkah kerja penelitian
nn
Pembaca TGG
Pengungkapan Materi
Repertoire
Norma sosial budaya
Norma/fakta Historis
Wolfgang Iser
-American Dream,
Masyarakat kelas,
Materialis, Bisnis, dan
Skandal suap (fakta sosial).
-Pesta dansa dan musik Jazz
atau Jazz age (fakta budaya)
-Pasca Perang (PD-I)
-Pertempuran di Hutan
Argonne
-Undang-undang
Prohibition (Pelarangan
Alkohol).
Respons Estetik
Repertoire Wirkung/Efek
36
1.9 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I merupakan pendahuluan, yang
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II
berisi perwujudan atau pengungkapan repertoire dalam The Great Gatsby yang
meliputi norma atau fakta sosial American Dream, masyarakat kelas atas (upper
class) dan kelas bawah (lower class), bisnis, dan kurangnya nilai moral, serta norma
budaya yang terungkap (lifestyle [gaya hidup], jazz age [era jazz], musik jazz dan
dansa) sebagai repertoire. Bab III membahas norma historis sebagai repertoire,
yaitu perubahan hidup pasca-PD I, skandal suap dalam (1919 World Series) serta
undang-undang Prohibition (Pelarangan). Bab IV merupakan penutup, yang berisi
simpulan dan saran.